referat prognosis epilepsi

20
BAB 1 PENDAHULUAN Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal secara berkala, Pada epilepsi terjadi dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24 jam akibat lepas muatan listrik neuron- neuron serebral secara berlebihan. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Epilepsi terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5%-2% dari jumlah penduduk. Penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi 16 . Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan jangka waktu terapi yang relatif lama. Pemberian informasi yang jelas terhadap penderita dan keluarganya merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi. 1

Upload: roza

Post on 14-Dec-2014

69 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Referat Neurologi

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Prognosis Epilepsi

BAB 1

PENDAHULUAN

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi yang

dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal secara berkala, Pada epilepsi terjadi dua atau

lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24 jam akibat

lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara berlebihan. Epilepsi merupakan salah satu

penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik,

disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya (pendidikan

yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak

menikah bagi penyandangnya). Epilepsi terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana

laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini

yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian

meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5%-2% dari

jumlah penduduk. Penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila

dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan

bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4

juta penderita penyandang epilepsi16.

Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan jangka waktu terapi yang relatif lama.

Pemberian informasi yang jelas terhadap penderita dan keluarganya merupakan hal yang

sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi. Prognosis epilepsi

dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan, baik dengan pengobatan maupun status

psikososial, dan status neurologis penderita. Pengetahuan tentang prognosis akan sangat

berguna untuk pemberian informasi yang adekuat pada penderita epilepsi dan keluarganya,

serta membantu dalam pengambilan keputusan medis. Tujuan penulisan makalah ini adalah

mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang prognosis epilepsi15.

1

Page 2: Referat Prognosis Epilepsi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan

Prognosis adalah ramalan kemungkinan perjalanan dan hasil akhir gangguan. Konsep

dasar utama prognosis epilepsi adalah kesempatan untuk mencapai remisi serangan dan

kemungkinan terjadinya kematian prematur. Remisi adalah pengurangan atau meredanya

gejala suatu penyakit, sedangkan relaps adalah kembalinya gejala suatu penyakit setelah

tampaknya mereda dan masa pengobatan selesai. Batasan remisi yang sering dipakai adalah 2

tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi5,6. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2

tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.

Batasan lain yang banyak pula dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan

(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE18.

Prognosis epilepsi menurut berbagai penelitian dapat ditinjau dari banyak faktor

predeiktor antara lain jenis kelamin, usia saat onset, kausa, tipe bangkitan, jumlah bangkitan

sebelum terapi, defisit neurologi yang menyertai, kepatuhan berobat, riwayat keluarga,

gambaran EEG18.

2.2 Pengehentian OAE, remisi, dan relaps

Dalam penghentian pemberian OAE ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara

lain19 :

1. Syarat umum :

a. Penghentian OAE didiskusikan dengan pasien / keluarganya setelah bebas

bangkitan minimal 2 tahun.

b. Gambaran EEG normal

c. Harus dilakukan bertahap, umumnya 25 % dari dosis semula, setiap bulan

dalam jangka waktu 3 – 6 bulan.

d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

2. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada

keadaan :

- Semakin tua usia kemungkinan kekambuhan makin tinggi.

- Epilepsi simtomatik.

- Gambaran EEG yang abnormal

2

Page 3: Referat Prognosis Epilepsi

- Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan.

- Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita.

- Penggunaan lebih dari satu OAE

- Masih timbul 1 / lebih bangkitan saat memulai terapi.

- Mendapat terapi 10 tahun / lebih.

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari

bangkitan selama 3 – 5 tahun / lebih dari 5 tahun.

Dalam pengehentian pemberian OAE juga harus diberikan pendampingan konsultasi

sosial terhadap penderita melalui keluarga terdekatnya tentang (pengenalan gejala epilepsi/

faktor pencetus, pencegahan, pengobatan, aspek kehidupan sosial, aspek kecerdasan, dan

gangguan mental yang mungkin saja bisa timbul).

Pengetahuan tentang prognosis akan sangat berguna untuk pemberian informasi yang

adekuat pada penderita dan keluarganya, serta membantu dalam pengambilan keputusan

medis. Kajian yang dilakukan oleh Neville dan Gilliam menyatakan bahwa pengetahuan

tentang faktor prediktor prognosis sebaiknya digunakan untuk membantu tindakan

penatalaksanaan medis pasien epilepsi. Penderita sindrom epileptik yang berobat teratur, 1/3

akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan

terakhir, obat dihentikan penderita tidak menngalami epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami

remisi. Diperkirakan 30 % penderita tidak akan mengalami remisi walaupun minum obat

dengan teratur. Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya epilepsi, etiologi, tipe

epilepsi, umur awal terjadi epilepsi. Pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks

akan mengalami remisi lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadi epilepsi,

remisi lebih sering terjadi17.

Sesudah terjadi remisi, kemungkinan terjadinya serangan ulang paling sering didapat

pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih

mudah mengalami relaps sesudah remisi17.

2.3 Remisi Epilepsi

Batasan remisi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)

dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus

dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan

lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi

terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Penelitian prospektif terhadap 792

orang pasien epilepsi menunjukkan bahwa 87% pasien akan mencapai remisi 3 tahun.

3

Page 4: Referat Prognosis Epilepsi

Penderita epilepsi sekunder (simptomatik) memiliki kemungkinan remisi yang lebih

rendah dan dihubungkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Remisi pada

penderita epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat disimak pada tabel berikut

ini15.

Tabel 1. Tingkat Remisi Epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu

Di antara berbagai penelitian di atas, penelitian Silampaa, dkk, Kwan dan Brodie

Berg, dkk, merupakan penelitian yang paling menarik untuk disimak. Penelitian Silampaa,

dkk menunjukkan bahwa 64% penderita epilepsi akan mencapai remisi 5 tahun. Epilepsi

idiopatik merupakan epilepsi dengan tingkat remisi paling tinggi (92%). Tingkat remisi

paling rendah didapatkan pada epilepsi simptomatik dengan tingkat remisi 45%. Sedangkan

penelitian Kwan dan Brodie menunjukkan bahwa tingkat remisi 1 tahun mencapai 63,4%.

Angka remisi paling tinggi didapatkan pada penderita epilepsi kriptogenik (43%), dan pada

penderita dengan jumlah serangan sebelum terapi yang kurang dari 20 kali (73%). Penelitian

Berg, dkk memperlihatkan bahwa remisi 2 tahun dapat dicapai oleh 74% penderita. Waktu

tengah (median time) untuk mencapai remisi adalah 2.3 tahun (antara 2-6 tahun). Probabilitas

4

Page 5: Referat Prognosis Epilepsi

untuk tercapainya remisi pada pengamatan 2 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun berturut-turut adalah

7%, 50%, dan 73%15.

2.4 Relaps Epilepsi

Segera setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan

terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai

kemudian obat ihentikan. Dokter harus benar-benar mempertimbangkan risiko

terjadinya relaps setelah penghentian obat, sehingga keputusan untuk penghentian

obat adalah bersifat individual. Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi

dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini15.

Tabel 2. Kejadian relaps pada penderita epilepsi setelah obat dihentikan

Kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa kejadian relaps berkisar antara 18-66%

setelah OAE dihentikan. Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi rutin adalah

5

Page 6: Referat Prognosis Epilepsi

sebesar 25% pada tahun pertama, dan 29% pada tahun kedua. Berbagai faktor prediktor yang

meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja/dewasa, jenis epilepsi

sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Penelitian Bouma, dkk menunjukkan

bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps adalah defisit neurologi yang menyertai

epilepsi. Penelitian Berg, dkk memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps

dalam analisa multivariat adalah:

1. gambaran perlambatan fokal pada EEG, dan

2. bangkitan epilepsi mioklonik

Penelitian lain oleh Speechio, dkk di Italia terhadap 225 penderita epilepsi anak dan

dewasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps

adalah penghentian obat dan status psikiatrik abnormal.

2.5 Kematian pada Penderita Epilepsi

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko

kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal seperti terlihat pada tabel 3.

Risiko kematian ditunjukkan dengan nilai Standarized Mortality Ratio (SMR) yang

merupakan hasil bagi antara jumlah kematian pada penderita epilepsi dibanding

dengan populasi rujukan. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita

epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital dengan SMR

sebesar 50, epilepsi simptomatik di urutan kedua dengan SMR sebesar 4,3. Penderita

epilepsi idiopatik memiliki risiko kematian yang paling rendah dengan SMR sebesar

1,6.

Jumlah, persentase dan faktor penyebab kematian penderita epilepsi dapat

dilihat pada tabel berikut:

6

Page 7: Referat Prognosis Epilepsi

Tabel 3. Kejadian kematian pada penderita epilepsi

Pada tabel di atas angka kematian paling tinggi didapatkan pada penelitian

Silampaa, dkk, yaitu sebesar 17.9%. Angka insidens kematian pada penderita epilepsi

adalah 6,8 per 1.000 orang penduduk, risiko kematian meningkat pada penderita yang

berumur kurang dari 20 tahun. Sebuah kajian ahli (expert panel) terhadap 45 kematian

epilepsi menunjukkan bahwa 18 kematian bersifat mendadak dan tidak

terjelaskan/SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epilepsy), dengan angka kejadian

3,5 per 1.000 penderita epilepsi. Penyebab SUDEP sampai saat ini masih

kontroversial, hipotesa yang diajukan sampai saat ini adalah hipoventilasi sentral dan

gangguan jantung. Penelitian Camfield, dkk menunjukkan bahwa kematian pada

penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf

pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi (84.6%). Faktor prediktor

kematian yang paling bermakna dalam analisa multivariat adalah adanya defisit

neurologis penyerta15.

7

Page 8: Referat Prognosis Epilepsi

2.6 Faktor Prediktor

Data yang lengkap dan teliti tentang prognosis epilepsi akan sangat penting untuk

menentukan terapi yang rasional dan pemberian penyuluhan dan nasihat yang tepat. Kajian

yang dilakukan Wong terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada

sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan

tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi

anak-anak faktor prognosis yang dihubungkan dengan kemungkinan remisi yang lebih besar

adalah tidak adanya defisit neurologis, fungsi psikomotor yang normal, intelegensi normal,

umur awitan di atas 2 tahun, frekuensi serangan yang rendah sebelum terapi rutin OAE,

gambaran EEG yang normal, dan respon terhadap terapi yang cepat.

Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik awal

bangkitan (jumlah dan frekuensi serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi,

gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi. Kajian

yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa peran berbagai faktor prediktor prognosis

epilepsi masih kontroversial dan tidak konklusif15.

8

Page 9: Referat Prognosis Epilepsi

2.6.1 Remisi 6 bulan

Penderita epilepsi yang pernah mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dalam minimal

2 tahun terapi adalah 86 orang (78,2%).

Tabel 4. faktor prediktor tercapainya remisi 6 bulan berturut-turut dalam terapi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya

remisi 6 bulan berturut-turut dengan terapi obat antiepilepsi adalah tipe bangkitan, jumlah

serangan sebelum terapi, dan defisit neurologi. Subyek dengan tipe bangkitan parsial

kompleks memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mencapai remisi dibanding dengan

subyek yang memiliki bangkitan general tonik klonik (RR: 0,56,0,29-0,87, p<0,05).

Penderita epilepsi dengan bangkitan konvulsif yang tinggi dijumpai pada 33,6%.

Pasien dengan jumlah bangkitan yang tinggi sebelum terapi rutin obat anti epilepsi memiliki

probabilitas lebih kecil untuk mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dalam terapi dibanding

dengan subyek yang bangkitannya rendah (< 10 kali).

Faktor prediktor lain yang bermakna adalah adanya defisit neurologi yang menyertai

epilepsi. Defisit neurologi dijumpai pada 17 (15,5%) subyek epilepsi dengan bangkitan

konvulsif. Penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi memiliki probabilitas yang lebih

rendah untuk mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dengan terapi OAE dibanding penderita

tanpa defisit neurologi. Jenis kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis bangkitan,

riwayat kejang demam, riwayat keluarga penyandang epilepsi, dan kepatuhan terhadap

9

Page 10: Referat Prognosis Epilepsi

terapi tidak terbukti sebagai faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya remisi 6

bulan berturut-turut. Penemuan ini kurang sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang

memperlihatkan bahwa penderita epilepsi simptomatik memiliki probabilitas yang lebih kecil

untuk yang didiagnosis epilepsi simptomatik hanya didasarkan pada anamnesis.

2.6.2 Remisi 12 bulan

Penderita epilepsi yang pernah mencapai remisi 12 bulan berturut- turut dalam 2

tahun terapi adalah sebesar 48 orang (43,6%).

Tabel 5 menunjukkan faktor prediktor tercapainya remisi 12 bulan dalam terapi.

Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya

remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi obat antiepilepsi adalah jumlah serangan

sebelum terapi, defisit neurologi, dan kepatuhan terhadap program terapi. Tidak ada subyek

dengan tipe bangkitan parsial komples yang mencapai remisi 12 bulan berturut-turut.

Pasien dengan jumlah bangkitan yang tinggi sebelum terapi rutin obat antiepilepsi

memiliki probabilitas yang lebih kecil untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dalam

terapi dibanding dengan subyek yang bangkitannya rendah (RR: 0,587, 95% CI: 0,34-0,92,

p: 0,036). Faktor prediktor lain yang bermakna adalah adanya defisit neurologi yang

menyertai epilepsi. Defisit neurologi dijumpai pada 17 (15,5%) subyek epilepsi dengan

bangkitan konvulsif. Penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi memiliki probabilitas

10

Page 11: Referat Prognosis Epilepsi

yang lebih rendah untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi OAE

dibanding penderita tanpa defisit neurologi (RR: 0,238, 95% CI: 0,06-0,889, p: 0,004).

Faktor prediktor lain yang bermakna adalah kepatuhan terhadap program terapi

epilepsi. Kepatuhan terhadap program terapi dijumpai pada 70 (63,6%) subyek epilepsi

dengan bangkitan konvulsif. Penderita epilepsi yang patuh terhadap program terapi memiliki

probabilitas yang lebih tinggi untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi

OAE dibanding penderita yang tidak patuh (RR: 0,583, 95% CI : 0,345-0,986)). Jenis

kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis bangkitan, riwayat kejang demam, dan riwayat

keluarga penyandang epilepsi tidak terbukti sebagai faktor prediktor yang bermakna untuk

tercapainya remisi 12 bulan berturut-turut.

Data yang lengkap dan teliti tentang prognosis epilepsi akan sangat penting untuk

menentukan terapi yang rasional dan pemberian penyuluhan dan nasihat yang tepat. Kajian

yang dilakukan Wong terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada

sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan

tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi

anak-anak faktor prognosis yang dihubungkan dengan kemungkinan remisi yang lebih besar

adalah tidak adanya defisit neurologis, fungsi psikomotor yang normal, intelegensi normal,

umur awitan di atas 2 tahun, frekuensi serangan yang rendah sebelum terapi rutin OAE,

gambaran EEG yang normal, dan respon terhadap terapi yang cepat.

Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik awal

bangkitan (jumlah dan frekuensi serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi,

gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi. Kajian

yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa peran berbagai faktor prediktor prognosis

epilepsi masih kontroversial dan tidak konklusif15.

11

Page 12: Referat Prognosis Epilepsi

BAB 3

KESIMPULAN

1. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan

dicapai pada 2 tahun pertama terapi.

2. Kejadian relaps berkisar antara 18-66% setelah OAE dihentikan.

3. Penderita epilepsi memiliki resiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi

normal

4. Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, yang bermakna antara lain :

– Jumlah serangan sebelum terapi

– Defisit neurologi

– Kepatuhan pengobatan

Faktor-faktor lain seperti Jenis kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis

bangkitan, riwayat kejang demam, dan riwayat keluarga juga berpengaruh namun

tidak terlalu bermakna.

12

Page 13: Referat Prognosis Epilepsi

DAFTAR PUSTAKA

1. WHR. Epilepsy in The World Health Report, Mental Health : New Understanding,

New Hope. WHO, 2001.

2. Shafer PO. Improving The Quality of Life in Epilepsy: Non Medical Issues Too Often

Overlooked. Postgraduate Medicine, January 2002.

3. Harsono. Epilepsi. Edisi Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001

4. Dreifuss FE. Prognosis of Childhood Seizure Disorders : Present and Future,

Epilepsia 1994; 35 (suppl 2): s30-s34

5. Gilliam F. Epilepsy Outcomes : Prognosis and Predictive Factors. Epilepsy Quarterly

2001; 9 (2).

6. Smith D, Chadwick D. The Management of Epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry

2001 ; 70(Suppl 2) ( June )

7. Carpay HA, Arts WFM, Geerts AT, Stroink H, dkk. Epilepsy in Childhood : An

Audit of Clinical Practice. Arch Neurol 1998;55(5): 668-673

8. Page RM, Cole GE, Timmreck TC. Basic Epidemiological Methods and Biostatistics;

A Practical Guide Book, Jones and Bartlet Publisher. London, 1996

9. Arts WFM, Geerts AT, Brouwer OF, Peters ACB, Stroink H, Donselaar CAV. The

Early Prognosis of Epilepsy in Childhood : The Prediction of Poor Outcome. The

Dutch Study of Epilepsy in Childhood. Epilepsia 1999;40 (6): 726-734

10. Laupacis A, Wells G, Richardson S, Tugwell P. ser’s Guide to The Medical

Literature; How to Use an Article About Prognosis. JAMA 1994;272(3): 234-237

11. Kyngas H. Predictors of Good Compliance in Adolescents with Epilepsy. Seizure

2001; 10: 549-553

12. Basuki A, Dikot Y. Evaluasi Penatalaksanaan pada Penderita Epilepsi yang Tidak

Terkendali. Epilepsi 1998 ;3(1): 44-49

13. Kaliaperumal VG, Sundararaj N, Mani KS. Seizure Prognosis for Partial Epilepsies

in India. Epilepsy Res.1989(3):86-91

14. Amang A. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pengobatan Epilepsi di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta, Laporan Penelitian Akhir IP Saraf FK UGM Yogyakarta, 1990

15. Pinzon, R. 2006. Karakteristik prognosis Epilepsi. Dexa Media: Jakarta

16. Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Gajahmada University Press : Yogyakarta

17. Universitas Sumatra Utara. Epilepsi. [serial online]http://digilib.unsri.ac.id.pdf

13

Page 14: Referat Prognosis Epilepsi

18. Pinzon, Harsono, Rusdi. 2009. Profil Remisi Epilepsi Onset Anak-anak CDK

173/vol.36 no.71. SMF Saraf RS Bethesda: Yogyakarta

19. Kelompok studi epilepsi. 2006. PERDOSSI: Jakarta

14