referat kronik kidney disease pada anak.docx edit
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup
signifikan selama 2 abad terakhir. Data dari the United States Renal Data System (USRDS)
menunjukkan bahwa angka kejadian gagal ginjal pada dewasa meningkat, hal ini sering
dihubungkan dengan tingginya biaya perawatan dan prognosis yang buruk. Sementara itu,
angka kejadian CKD pada anak terus meningkat dalam 2 dekade terakhir, dimana penderita
terbanyak berasal dari keluarga miskin dan etnik minoritas.1
Terjadi peningkatan prevalensi End-Stage Renal Disease (ESRD) pada anak maupun
dewasa sehingga CKD merupakan masalah kesehatan yang menjadi topik perhatian di
Amerika Serikat. Jumlah penderita anak yang sampai ke tahap gagal ginjal diperkirakan
sekitar 2 % dari keseluruhan penderita gagal ginjal di Amerika Serikat. Pada tahun 2004,
prevalensi penderita gagal ginjal pada anak meningkat menjadi 22 % bila dibandingkan tahun
1992. Meskipun jumlah kejadiannya lebih sedikit dibandingkan dewasa, anak dengan CKD
membutuhkan sumber daya yang lebih besar, dan perawatan yang lebih kompleks untuk
mencapai hasil yang lebih optimal.2
Berbagai kelainan ginjal baik kelainan kongenital maupun didapat dapat
menyebabkan CKD. CKD pada anak didasari oleh berbagai penyakit ginjal dan saluran
kemih yang bervariasi mulai dari cacat bawaan umum saluran kemih, sampai kelainan
metabolisme yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi ginjal.3
Dampak dari CKD tidak hanya mencakup progresifitasnya menjadi gagal ginjal, tapi
juga peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Pedoman berbasis bukti praktek klinis
mendukung pengenalan penyakit ini secara dini dan pengobatan komplikasi yang terkait
dengan CKD untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak, dan kualitas hidup
anak dengan CKD. Perawatan anak yang tepat dapat mengurangi angka kejadian penyakit
dan mahalnya biaya perawatan.1
1
I.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis,
tatalaksana, prognosis dan komplikasi Chronic Kidney Disease pada Anak.
I.3. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi Chronic
Kidney Disease pada Anak.
I.4. Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.
I.5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang Chronic Kidney
Disease pada Anak
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease/CKD) merupakan terminologi baru yang
dikeluarkan oleh The National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, merupakan penyakit ginjal dengan kerusakan
ginjal minimal selama tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(Glomerulus Filtration Rate/ GFR).1.3
Kriteria KDOQI untuk penyakit ginjal kronik3 :
1. Terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih, berupa kerusakan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), yang
bermanifestasi sebagai salah satu atau lebih gambaran berikut :
- Kelainan pada biopsi ginjal
- Kelainan pada pemeriksaan radiologis
- Kelainan pada pemeriksaan darah atau urin
2. GFR < 60 ml/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa tanda-tanda
lain kerusakan ginjal seperti yang disebutkan di butir 1.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kejadian CKD di setiap negara berbeda dan diperkirakan kejadian sebenarnya lebih tinggi
dari data yang ada karena banyak kasus yang tidak terdeteksi. Penelitian Italkid-project
melaporkan prevalensi CKD pada anak mencapai 12,1 kasus/tahun/1 juta anak dengan
rentang usia 8,8-13,9 tahun atau 74,4 per satu juta pada populasi yang sama. Prevalensi CKD
stadium I dan II dilaporkan mencapai 18,5-58,3 per satu juta anak. Penelitian multisenter di
Turki melaporkan insidens CKD mencapai 10,9 kasus per satu juta anak, dengan mayoritas
stadium V (32,5%), stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%). Sekitar 68% anak dengan
CKD berkembang menjadi GGT (Gagal Ginjal Terminal) pada usia 20 tahun. Anak dengan
GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20 tahun. Penyebab
kematian paling sering adalah penyakit kardiovaskular diikuti dengan infeksi. Prevalensi
GGT meningkat 32% sejak tahun 1990 di Amerika Utara. Di Indonesia belum ada data
3
nasional tentang kejadian CKD. Tahun 2006 dan 2007 dijumpai 382 pasien CKD yang
berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta. 4
Data juga menunjukkan bahwa penyakit ginjal kronik pada anak lebih banyak
mengenai laki-laki (64 % dari total penderita) dibandingkan wanita. Berdasarkan ras, CKD
meliputi 61 % terjadi pada ras kaukasian, 19% Afrika-Amerika, dan 14 % Hispanic.1
Di Amerika Serikat, angka kejadian dan jumlah kasus yang berkembang menjadi
gagal ginjal terminal/ GGT (End Stage of Renal Disease /ESRD) sama antara laki-laki dan
wanita, meskipun kelainan berupa uropati obstruktif lebih sering terjadi pada laki-laki.1
2.3 ETIOLOGI
Terdapat perbedaan penyebab yang mendasari terjadinya CKD pada anak dan dewasa.
Nefropati diabetes dan hipertensi yang merupakan penyebab tersering pada dewasa sangat
jarang menjadi penyebab timbulnya CKD pada anak.1
Dua penyebab utama CKD pada anak adalah kelainan kongenital dan
glomerulonefritis kronik. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun
adalah kelainan kongenital, kelainan perkembangan saluran kencing seperti uropati
obstruktif, hipoplasia dan displasia ginjal, dan ginjal polikistik. Menurut laporan
ethylenediaminetetraacetate (EDTA), glomerulonefritis dan pielonefritis merupakan
penyebab tersering timbulnya CKD diikuti oleh penyakit herediter (15%), penyakit sistemik
(10,5 %), hipoplasia ginjal (7,5 %), penyakit vaskular (3%), penyakit lainnya (9%) serta yang
tidak diketahui etiologinya 7 %. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis interstisial yang
tersering adalah uropati obstruktif kongenital dan nefropati refluks (>60%), diikuti oleh
displasia ginjal.5
Secara praktis penyebab CKD dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan
didapat, dan kelainan herediter.5
1. Kelainan kongenital : hipoplasia renal, dysplasia renal, uropati obstruktif.
2. Kelainan herediter : nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat : glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa,
kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis).
Penyebab CKD pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbulnya CKD.
Penyakit ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya
dengan kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan
malformasi ginjal, sedangkan penyakit ginjal kronik yang timbul pada anak di atas 5 tahun
4
dapat disebabkan oleh penyakit glomerular (glomerulonefritits, sindrom hemolitik uremik)
dan kelainan herediter (sindrom alport, kelainan ginjal kistik).5
Data dari the North American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study
(NARPTCS) menunjukkan bahwa seiring meningkatnya usia, kejadian penyakit ginjal kronik
dengan kelainan urologi congenital sebagai etiologinya menurun dan kejadian penyakit ginjal
kronik dengan penyakit glomerulus sebagai etiologinya meningkat.3
2.4 KLASIFIKASI
NKF-KDOQI membagi CKD dalam lima stadium yaitu,4
a. Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (≥90
mL/menit/1,73 m²)
b. Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89 mL/menit/1,73 m²)
c. Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/menit/1,73 m²)
d. Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/menit/1,73 m²)
e. Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis)
Klasifikasi CKD tersebut digunakan untuk anak di atas dua tahun sehubungan dengan
proses pematangan ginjal yang masih berlangsung. Nilai LFG digunakan sebagai fokus utama
dalam pedoman ini karena LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai
LFG dapat dihitung berdasarkan rumus berikut,4
LFG (mL/menit/173 m2) = K x TB (cm)
Kreatinin serum (mg/dL)
Keterangan
- K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K= 0,45
untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13
tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
- TB=tinggi badan
5
2.5 PATOFISIOLOGI
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya
telah diatasi atau telah menjadi tidak aktif. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi
sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal
kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya gambaran
histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit
primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang
awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut.
Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
gagal ginjal terminal.6
Gambar 1. Siklus terjadinya gagal ginjal progresif.
(Wassner :1999)6
6
2.6 PATOGENESIS
Ginjal awalnya menyesuaikan dengan kerusakan dengan meningkatkan laju filtrasi di nefron
yang normal yang tersisa, proses yang disebut hiperfiltrasi adaptif. Akibatnya, pasien dengan
penyakit ginjal ringan kronis seringkali memiliki konsentrasi kreatinin normal atau mendekati
normal serum. Mekanisme homeostatik tambahan (paling sering terjadi di dalam tubulus
ginjal) menyebabkan konsentrasi serum sodium, kalium, kalsium fosfor, dan dan air tubuh
total juga tetap dalam kisaran normal, khususnya dengan tahap ringan sampai tahap moderat
penyakit ginjal kronis.4
Hiperfiltrasi adaptif, meskipun awalnya menguntungkan, tampak berakibat pada
kerusakan jangka panjang pada glomeruli dari nefron yang tersisa, yang dimanifestasikan
oleh proteinuria dan insufisiensi ginjal progresif. Ireversibilitas ini perlu untuk
pengembangan stadium akhir gagal ginjal.8
Proteinuria pada CKD merupakan tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria
berperan dalam penurunan fungsi ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus berdampak toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan dengan peran
berbagai sitokin terjadi sklerosis glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial. Hipertensi yang
tidak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas penyakit karena menyebabkan
nefrosklerosis arteriolar dan menambah cedera akibat hiperfiltrasi. Hiperfosfatemia
menyebabkan pembentukan ikatan kalsium fosfat yang mengendap di interstisial ginjal dan
pembuluh darah. Hiperlipidemia mempengaruhi fungsi glomerulus dengan menimbulkan
cedera yang diperantarai zat oksidan.4
Meskipun masalah mendasar yang diprakarsai penyakit ginjal kronis sering tidak
dapat diobati terutama, studi yang luas pada hewan percobaan dan studi pendahuluan pada
manusia menunjukkan bahwa kemajuan dalam penyakit ginjal kronis mungkin sebagian besar
karena faktor-faktor sekunder yang tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit awal. Ini
termasuk anemia, osteodistrofi, sistemik dan hipertensi intraglomerular, hipertrofi
glomerulus, proteinuria, asidosis metabolik, hiperlipidemia, penyakit tubulointerstitial,
peradangan sistemik, dan metabolisme prostanoid berubah.6
7
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1 Manifestasi Klinis
Anak-anak dengan CKD datang ke dokter dengan berbagai keluhan, yang berhubungan
dengan penyakit utamanya, atau sebagai konsekuensi akibat penurunan fungsi ginjalnya.
Awal CKD biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak khas
seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, gangguan pertumbuhan.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai anak yang tampak pucat, lemah, hipertensi. Keadaan
tersebut dapat berlangsung menahun, dan perburukan terus berlangsung secara tersembunyi,
dimana gejala akan bermunculan setelah anak memasuki stadium gagal ginjal terminal.5
Anak dengan glomerulonefritis dapat bermanifestasi edema, hipertensi, hematuria, dan
proteinuria. Sedangkan anak dengan kelainan kongenital seperti displasia ginjal dan uropati
obstruktif datang berobat dengan keluhan gagal tumbuh, dehidrasi karena poliuria, infeksi
saluran kemih, maupun insufisiensi ginjal. Pada stadium lanjut pasien tampak pucat,
perawakan pendek, dan menderita kelainan tulang.2
Osteodistrofi renal adalah gangguan tulang pada CKD dengan manifestasi klinis
antara lain kelemahan otot, nyeri tulang, gangguan berjalan, fraktur patologis, dan gangguan
pertumbuhan. Pada anak dalam pertumbuhan, dapat terjadi rakhitis, varus dan valgus tulang
panjang. Penyakit tulang pada umumnya asimtomatik pada CKD awal dan baru
bermanifestasi setelah osteodistrofi renal tahap lanjut. Pada tahap ini telah terjadi
hipokalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan alkalin fosfatase, dan penurunan kadar 1,25
dihidroksi vitamin D. Gambaran radiologis pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut
menunjukkan resorpsi periosteal dengan pelebaran metafisis. Berdasarkan rekomendasi NKF-
KDOQI, biopsi tulang perlu dipertimbangkan pada semua pasien CKD yang mengalami
fraktur patologis atau hiperkalsemia persisten dengan kadar hormon paratiroid 400-600
pg/mL.4
Kelelahan, kurangnya perhatian, gagal gantung kongestif dapat menjadi manifestasi
dari anemia. Anemia merupakan masalah yang umum pada CKD dengan prevalens 36,6%
dan meningkat seiring dengan peningkatan stadium CKD, dari 31% CKD stadium 1 menjadi
93,3% pada CKD stadium 4 dan 5. NKF-KDOQI menggunakan nilai rujukan dari National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES-III) dan merekomendasikan untuk mulai
melakukan pemeriksaan lanjutan jika kadar hemoglobin di bawah persentil lima menurut usia
dan jenis kelamin. Anemia pada CKD paling sering disebabkan oleh defisiensi eritropoetin
dan zat besi. Penyebab lain adalah inflamasi, kehilangan darah kronik, hiperparatiroid,
keracunan alumuniun, defisiensi vitamin B12 dan asam folat, hemolisis, serta efek samping
8
obat imunosupresif dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor. Defisiensi besi
berhubungan dengan penurunan nafsu makan sehingga tidak mampu menjaga cadangan besi
dalam tubuh secara adekuat lewat makanan. Defisiensi tersebut juga disebabkan oleh
kehilangan darah kronik akibat pengambilan darah yang sering, intervensi bedah, dialisis, dan
masa hidup eritrosit yang memendek.3,4
2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain :7
a. Pemeriksaan darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count,
hapusan darah.
b. Kimia darah :
- Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Kalsium, Fosfor, Clorida), ureum,
kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.
- Analisa gas darah
- Kadar hormon paratiroid
c. Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan ureum dan kreatinin,
asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia,
hiperurikemia, hipoalbuminemia (pada pasien dengan proteinuria berat), serta peningkatan
kadar trigliserida dan kolesterol serum. Hitung darah lengkap biasanya sel menunjukkan
normokromik, anemia normositik. Pada anak dengan CKD disebabkan oleh
glomerulonefritis, urinalisis menunjukkan hematuria dan proteinuria. Pada anak dengan CKD
dari lesi kongenital seperti displasia ginjal, urinalisis biasanya memiliki berat jenis rendah
dan kelainan minimal.3,4,7
Pemeriksaan penunjang lainnya :5
- Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi
ginjal.
- Rontgen foto thorax, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui
terjadinya hipertrofi ventrikel.
- Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
o Ultrasonografi ginjal
o Radioisotop-Scan
9
o Intravenous urogram
o Urinalisis
o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
o Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN
antibodies, ANCA
o Biopsi ginjal
2.8 DIAGNOSIS BANDING
1. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak atau cepat dalam fungsi filtrasi
ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai dengan peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
dengan azotemia (peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah). Namun, segera setelah gagal
ginjal, konsentrasi nitrogen urea darah atau tingkat kreatinin mungkin normal, dan satu-
satunya tanda gagal ginjal yaitu dari penurunan produksi urin.9 Penyebab gagal ginjal akut
terdiri dari 3 mekanisme utama sebagai berikut:9
1. Kegagalan prerenal - kondisi fungsi tubulus dan glomerulus normal, namun laju
filtrasi ginjal tertekan oleh gangguan perfusi ginjal.
2. Gagal ginjal intrinsik (renal) - penyakit pada ginjal itu sendiri, terutama yang
mempengaruhi glomerulus atau tubulus, yang berhubungan dengan pelepasan
vasokonstriktor aferen ginjal. cedera ginjal iskemik adalah penyebab paling umum
dari gagal ginjal intrinsik.
3. Gagal ginjal Postrenal – Obstruksi postrenal menyebabkan peningkatan tekanan
tubulus dan menurunkan laju filtrasi.
Gejala klinis yang timbul pada gagal ginjal akut adalah pucat (anemia), oliguria, edema,
hipertensi, muntah dan letargi. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi gagal
ginjal akut menjadi lebih berat yaitu gejala kelebihan (overload) cairan berupa gagal jantung
kongestif, edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis dengan atau tanpa melena akibat gastritis atau tukak lambung, kejang-
kejang dan kesadaran menurun sampai koma.10
2. Glomerulonefritis kronik
Hampir semua bentuk glomerulonefritis akut memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi glomerulonefritis kronis. Kondisi ini ditandai dengan glomerulus ireversibel dan
10
progresif serta fibrosis tubulointerstitial, yang akhirnya menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus dan retensi racun uremik. Jika perkembangan penyakit tidak dihentikan dengan
terapi, glomerulonefritis akan berkembang menjadi penyakit ginjal kronis, penyakit ginjal
stadium akhir, dan penyakit kardiovaskular.11
Tanda utama kelainan glomerulus adalah proteinuria, hematuria, sembab, hipertensi
dan penurunan fungsi ginjal.12
3. Nefropati diabetik
Nefropati diabetik merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan:13
Persistent albuminuria yang dikonfirmasi pada sedikitnya 2 kali 3-6 bulan terpisah.
Penurunan progresif laju filtrasi glomerulus (GFR).
Peningkatan tekanan darah arteri
2.9 PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK
Tujuan dalam pengelolaan penyakit ginjal kronik yaitu mengobati penyebab primer
kerusakan ginjal, menghilangkan atau mengurangi komorbiditas, mencegah atau mengurangi
gangguan fungsi ginjal, mengobati gangguan metabolik yang berhubungan dengan penyakit
ginjal kronik, mencegah dan mengobati penyakit jantung, dan mengoptimalkan pertumbuhan
dan perkembangan normal (Tabel 1). Kompleksitas perawatan, tuntutan ekonomi, dan beban
emosional kepada pasien dan keluarga pasien cenderung meningkat seiring perkembangan
penyakit ginjal kronik.14
11
Tabel 1 Pedoman evaluasi dan penatalaksanaan anak pada penyakit ginjal kronik(Guidelines for evaluation and treatment of children with chronic disease)
I. Patients with CKD should be evaluated to determine:a. Diagnosis (type of kidney disease)b. Comorbid conditionsc. Severity, assessed by GFR d. Complications, related to level of GFRe. Risk factors for loss of kidney functionf. Risk factors for cardiovascular disease
II. Treatment of CKD should include:a. Specific therapy, based on diagnosisb. Evaluation and management of comorbid conditionsc. Slowing the loss of kidney functiond. Prevention and treatment of cardiovascular diseasee. Prevention and treatment of complications related to decreased kidney
function (i.e. hypertension, anemia, acidosis, growth failure)f. Preparation for kidney replacement therapyg. Treat persistent signs and symptoms of uremia with initiation of chronic
dialysis or transplantationIII. Action plan should be developed for each patient, based on the stage of CKD as
defined by the K/DOQI CKD classificationIV. Review of medications should be performed at all visits for the following:
a. Dosage adjustment, based on level of kidney functionb. Detection of potentially adverse effects on kidney function or complications
of CKDc. Detection of drug interactionsd. Therapeutic drug monitoring, if necessary
V. Evaluate self-management behaviours at all stages of CKD; suggested areas of discussion include:a. Provide verbal and written information regarding the diagnosis and
treatmentb. Identification of responsible adult to supervise medication administration,
even for the adolescent patientc. Asses potential barriers for medication adherence [i.e. social instability,
patient and family denial, financial barriers, poor communication among care providers)
d. Address preventive health issues [i.e. need for ongoing care with their primary care provider, immunizatios, smoking prevention]
VI. Patients with CKD should be referred to a specialist for consulation and comanagement. Patients with a GFR <30 ml/min/1.73 m2 should be referred to a pediatric nephrologists
(Sumber: Clinical Pediatric Nephrology, 2007)14
2.9.1 Pendekatan Kelompok
Dalam rangka mengoptimalkan hasil perawatan anak dan remaja pada semua tahap penyakit
ginjal kronik, perawatan perlu dilakukan oleh multidisiplin tim. Tim ini harus terdiri dari
perawat yang berfungsi sebagai koordinator tim perawatan, ahli gizi ginjal, sosial pekerja,
12
ahli bedah yang mengkhususkan diri di bidang bedah vaskular dan penempatan kateter
peritoneal dialysis, dan ahli nefrologi. Paramedis lainnya yaitu tim yang dapat memberikan
perawatan berkala harus mencakup seorang urolog anak, ahli bedah transplantasi, dan
konselor sekolah dan pendidik (Gambar 2).14
Gambar 2. Model perawatan multidisiplin untuk anak dengan CKD
(Sumber: Clinical Pediatric Nephrology, 2007)14
2.9.2 Perawatan Individu pada Peningkatan Risiko untuk CKD
Anak-anak dan remaja yang berisiko untuk CKD tapi tanpa kerusakan ginjal (misalnya ginjal
tunggal, diabetes mellitus) dan dengan fungsi ginjal normal, harus menjalani skrining rutin
untuk mendeteksi dini kerusakan ginjal (lihat Tabel 2) dan untuk memperkirakan tingkat
GFR. Pasien ini disarankan untuk mengikuti program pengurangan faktor risiko, jika
diperlukan, dan mengikuti skrining rutin CKD. Hipertensi tidak termasuk tingkatan penyakit
ginjal kronik tetapi dikenal sebagai tanda kerusakan ginjal dan sebagai faktor risiko
terjadinya progresivitas penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskular. Pasien yang berisiko
tinggi menderita CKD harus menjalani skrining hipertensi. Anak atau remaja dengan tekanan
darah tinggi harus dievaluasi risiko menderita CKD.14
Tabel 2 Marker kerusakan ginjal(Marker of kidney damage)Blood:
Serum creatinine elevation Blood urea nitrogen (BUN) elevation
13
Hypoalbuminemia Hyperuricemia Hypo- or hypernatremia Hypo- or hyperkalemia Hypo- or hyperphosphatemia Metabolic acidosis
Urine: Microalbuminuria Proteinuria Hematuria RBC casts Pyuria WBC casts Tubular cells Granular casts Lipid
Imaging: Increased echogenicity Small, ‘hyperechoic’ kidneys Absence of one kidney Acute pyelonephritis Kidney scarring Large kidneys Kidney size disparities Hydronephrosis Urinary obstruction Renal artery stenosis Nephrocalcinosis Urinary calculus disease Cystic kidney diseases Medullary sponge kidney
(Sumber: Clinical Pediatric Nephrology, 2007)15
2.9.2Nutrisi
Evaluasi, pengelolaan gizi dan pertumbuhan adalah bagian yang penting dari perawatan anak-
anak dan remaja dengan CKD. Para ahli gizi menilai dan mengembangkan resep makanan
yang sesuai kalori, protein, cairan, dan elektrolit yang diperlukan untuk usia pasien dan
tingkat asupan gangguan ginjal. Pada bayi, mengoptimalkan nutrisi membutuhkan selang
nasogastrik atau selang gastrostomy. Untuk pasien dengan poliuria dan pembuangan garam di
ginjal, asupan air yang cukup tingggi dan penambahan sodium (natrium klorida atau natrium
bikarbonat) direkomendasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan. Namun, beberapa
laporan telah menyuarakan keprihatinan mengenai asupan natrium yang berlebihan menjadi
faktor risiko penurunan fungsi ginjal.14
14
Anak oliguria dengan CKD berisiko untuk volume overload dan hiperkalemia, dan
seringkali memerlukan pembatasan diet cairan, natrium, dan kalium. Namun, dengan
pembatasan makanan yang ketat dan penurunan asupan kalori dapat menyebabkan
kekurangan gizi. Untuk mencegah kekurangan gizi, inisiasi dini dialisis dapat
dipertimbangkan untuk pasien tersebut.14
2.9.3 Terapi hormon pertumbuhan
Pertumbuhan linier harus dievaluasi secara berkala pada anak-anak dengan CKD. Jika
pertumbuhan terus menjadi suboptimal setelah koreksi cairan, elektrolit, dan asam-basa,
rhGH terapi harus dipertimbangkan. Pengobatan dengan recombinant human Growth
Hormone (rhGH) diindikasikan pada anak dengan CKD (dikoreksi GFR kurang dari 75
ml/min/1.73m2) dan adanya hambatan pertumbuhan (Standard Devition Score /SDS) <-2.0).
Provokatif pengujian untuk GH tidak diperlukan pada anak-anak yang memenuhi kriteria
klinis seperti di atas. Dosis yang dianjurkan dari rhGH adalah 0,05 mg/kg/hari, diberikan
secara subkutan selama 6 hari dalam seminggu. Jeda pengobatan disarankan untuk anak
dengan rhGH mencapai persentil 50 terhadap tinggi badan orang tua. Penerusan rhGH
diindikasikan jika terjadi penurunan yang signifikan dalam kecepatan pertumbuhan setelah
penghentian terapi. Panduan untuk memulai rhGH terapi diberikan dalam Tabel 3.14
Tabel 3. Pedoman penggunaan growth hormone pada penderita CKD
(Guidelines for growth hormone use in chronic disease)
Indications:• Children with permanent kidney impairment (GFR <75 ml/min/1.73m2) and• Presence of growth retardation (SDS more negative than − 2.00)• And/or height velocity below the 25th percentile• No stimulation test of growth hormone is required
Recommended dosage:• Growth hormone administered at 0.05 mg/kg/daysubcutaneously 7 days per week.
Other considerations:• Fluid and electrolyte imbalances should be corrected• Maintain optimal nutritional intake• Treat renal osteodystrophy and metabolic acidosis• Obtain bone age and baseline radiographs of the hips and knees• Observe for acute side effects, such as headache and increased intracranial hypertension
(Sumber: Clinical Pediatric Nephrology, 2007)14
15
Data mengenai efikasi dan keamanan rhGH terapi pada bayi <2 tahun atau pada
remaja selama pubertas tersedia terbatas. Potensi komplikasi dari terapi rhGH yaitu hipertensi
intrakranial, nekrosis aseptik, slipped femoralis epiphyses, dan malignancy.14
Pertumbuhan anak sering memburuk ketika menjalani dialisis. Anak-anak ini juga
lebih cenderung memiliki respon buruk untuk rhGH. Faktor bertanggung jawab untuk respon
yang buruk terhadap rhGH pada anak yang menjalani dialisis tidak jelas. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa dosis dialisis disampaikan mungkin mempengaruhi kemanjuran rhGH
pada anak-anak yang menjalani dialisis.14
2.9.4 Penatalaksanaan anemia
Anemia pada CKD dapat dikoreksi dengan menggunakan terapi human recombinant
eritropoietin (EPO) dan suplemen zat besi. EPO dapat diberikan secara subkutan, intravena,
atau intraperitoneal. EPO biasanya diberikan secara injeksi subkutan pada pasien CKD atau
mereka yang menjalani dialisis peritoneal. Pada pasien hemodialisis, EPO diberikan melalui
rute intravena selama dialisis. Frekuensi pemberian EPO dapat bervariasi dari satu kali
sampai tiga kali per minggu. Penggunaan EPO subkutan memperpanjang waktu paruhnya,
dan penurunan total dosis mingguan. 14
EPO biasanya dimulai dengan dosis mingguan dari 300 unit/kg, dibagi menjadi tiga
dosis terpisah. Setelah hemoglobin (atau hematokrit) telah mencapai kisaran target, frekuensi
administrasi EPO bisa menurun hingga dua kali bahkan sekali dalam seminggu. Pemeliharaan
dosis EPO bervariasi antara 60 dan 600 units/kg/week. Anak muda dan bayi umumnya
memerlukan dosis EPO yang lebih tinggi. Kehilangan darah, infeksi atau peradangan,
hiperparatiroidisme sekunder, dan kekurangan zat besi menginduksi ketahanan EPO dan
dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk respon terapi yang memadai. EPO dengan waktu
paruh yang lama (Aranesp) baru-baru ini diperkenalkan, tetapi data keamanan dan
keefektifan Aranesp pada anak dengan CKD terbatas.14
Sasaran hemoglobin 11-12 g/dl (hematokrit 33-36%) direkomendasikan oleh
K/DOQI. Untuk mencapai dan memelihara target hemoglobin/hematokrit ini, besi yang cukup
perlu diberikan untuk mempertahankan saturasi transferin (TSAT) dari lebih besar dari 20%
(kisaran 20-50%), dan tingkat feritin serum di atas 100 ng/ml (kisaran 100-800 ng/ml).
Dibutuhkan 3-4 minggu EPO untuk peningkatan hemoglobin pada fase inisiasi. Jika selama 4
minggu, respon terapi EPO suboptimal, dosis EPO harus ditingkatkan. Selama 3 bulan terapi
awal EPO, TSAT dan feritin serum harus diperiksa setiap bulan pada pasien, terutama pada
mereka yang tidak menerima besi intravena. Setelah pencapaian sasaran hemoglobin /
16
hematokrit, dan serum feritin TSAT, evaluasi harus ditentukan paling tidak setiap 3 bulan.
Untuk pasien CKD yang tidak diobati dengan EPO, TSAT lebih besar dari 20% dan ferritin
serum lebih besar dari 100 ng /ml; status besi pasien harus dipantau setiap 3-6 bulan.14
2.9.5 Koreksi asidosis metabolik
Tingkat bikarbonat serum harus dimonitor pada pasien dengan CKD tahap 3, 4, dan 5 dan
pasien yang menjalani dialisis. Tingkat bikarbonat serum harus dipertahankan di atas 22
mmol/L untuk mencegah penyakit tulang dan untuk memperbaiki katabolisme protein yang
berlebihan. 14
2.9.6 Mencegah cedera ginjal yang tersisa
Terapi pada CKD tahap awal untuk mencegah kehilangan nefron dan penurunan fungsi ginjal
telah terbukti efektif pada populasi dewasa. Strategi ini termasuk blokade sistem renin-
angiotensin system (RAS), kontrol tekanan darah, pengurangan proteinuria, kontrol diabetes
yang ketat, dan diet protein. Banyak strategi yang dilakukan pada usia dewasa untuk
memperlambat progresivitas kerusakan ginjal tetapi tidak dapat dilakukan pada anak dengan
CKD karena data yang terbatas.14
a. ACE inhibitor terapi
Dalam penelitian eksperimental pada pasien dengan kerusakan nefron, pemberian
angiotensin-converting inhibitor enzim (ACEIs) dapat melindungi sisa fungsi nefron . Studi
klinis jangka panjang pada pasien nefropati diabetes mendokumentasikan peran ACEIs dalam
memperlambat laju penurunan dari ginjal function. Selain menurunkan efek dari tekanan
darah, blokade RAS mengurangi proteinuria dan mengganggu dengan mekanisme terjadinya
fibrosis ginjal. Antagonis reseptor angiotensin (Aras) juga telah terbukti memberikan
renoprotection, mirip dengan ACEIs. Karena dari potensi hiperkalemia, ACEIs sebagai terapi
renoprotection harus dihindari pada CKD lanjutan dengan GFR kurang dari 30 mL/min/1.73
m2.14
b. Pencegahan Infeksi
Bagi anak penderita congenital uropathies, pencegahan infeksi saluran kemih (UTI) harus
dimasukkan sebagai bagian dari perawatan. Strategi ini termasuk profilaksis antimikroba
untuk ISK, pengobatan disfungsional berkemih, dan rujukan untuk mendapatkan intervensi
bedah pediatrik urologi bila diperlukan. 14
17
c. Menghindari cedera nefrotoksik
Menghindari agen nefrotoksik, sangat dianjurkan untuk pasien dengan CKD. Karena dampak
yang merugikan pada fungsi ginjal normal yang masih tersisa, potensi untuk gagal ginjal
akut, dan mungkin interaksi dengan ACEIs, pasien dengan CKD harus diberikan konseling
agar menghindari Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAID).14
Episode berulang dari dehidrasi dapat berakibat buruk terhadap fungsi ginjal pada
pasien CKD dengan high-output. Orang tua seperti pasien harus diberi konseling tentang
pentingnya menjaga hidrasi yang baik dalam mempertahankan fungsi ginjal yang sehat. 14
Pasien CKD yang menjalani prosedur radiografi yang memerlukan penggunaan
kontras ionik intravena berisiko tinggi terjadi nefrotoksik gagal ginjal akut dan khilangan
fungsi ginjal. Sekarang rekomendasi pada pasien tersebut adalah untuk memberikan hidrasi
yang cukup sebelum dan sesudah prosedur radiografi. Manfaat terapi renoprotective
tambahan seperti bikarbonat N-asetilsistein atau natrium telah diusulkan namun pembuktian
masih belum jelas hingga saat ini.14
Keluarga anak-anak dengan CKD harus dididik tentang kemungkinan interaksi obat
antara obat yang diresepkan dan terapi obat alternatif. Banyak terapi alternatif telah terbukti
nefrotoksik,dan orang tua harus memperingatkan tentang kemungkinan dampak buruk pada
ginjal mereka. Terapi alternatif tidak memberikan keterangan pada kemasannya mengenai
efek samping atau sifat nefrotoksik pada kemasan.14
2.9.7 Mengelola hipertensi
Hipertensi mempengaruhi hasil penyakit ginjal dan penurunan fungsi ginjal pada orang
dewasa dan anak. Kontrol tekanan darah dianggap menjadi salah satu intervensi inti untuk
pencegahan penurunan fungsi ginjal. Seperti disebutkan di atas, ACEIs dan Aras yang
idealnya cocok untuk pengobatan hipertensi serta memberikan proteksi ginjal. Namun, agen
antihipertensi lainnya mungkin diperlukan untuk kontrol hipertensi yang adekuat pada anak
dengan penyakit ginjal.14
2.9.8 Pembatasan protein
Pembatasan diet protein telah terbukti memperlambat penurunan fungsi ginjal pada orang
dewasa dengan CKD. Namun, data yang tersedia tidak menunjukkan manfaat yang signifikan
dari diet pembatasan protein pada anak. Sebuah multisenter Eropa, meneliti hubungan diet
rendah protein dengan progresivitas gagal ginjal kronik, dengan jumlah pasien yang diteliti
18
191 orang, pasien berusia 2-18 tahun, baik pasien dengan pembatasan protein (0,8-1,1
g/kg/hari), atau tidak ada pembatasan protein. Pada akhirnya 2 dan 3 tahun follow up, tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam penurunan fungsi ginjal antara kedua kelompok.
Selanjutnya, pembatasan diet protein dapat mengganggu pertumbuhan pada pasien yang
sudah berisiko untuk pertumbuhan yang kurang. Saat ini jumlah intake protein pada anak
CKD, disesuaikan dengan Recommended Dietary Allowance (RDA).14
2.9.9 Faktor risiko kardiovaskular
Penyakit kardiovaskuler pada orang dewasa dengan CKD memberikan kontribusi terhadap
morbiditas dan mortalitas dari patients. Penelitian serupa pada anak baru-baru ini,
menunjukkan peningkatan risiko kematian kardiovaskular pada anak dengan ESRD.
Selanjutnya, orang dewasa muda dengan CKD, banyak diantaranya telah menunjukan gejala
CKD di masa kecil, juga telah tercatat memiliki risiko morbiditas kardiovaskular dan
mortaliti lebih tinggi.14
2.9.10 Perencanaan untuk dialisis
Perencanaan untuk terapi pengganti ginjal harus dimulai dengan perkembangan CKD ke
tahap 4 (GFR adalah <30 ml / min/1.73 m2). Pada saat ini, pasien dan perawat harus bertemu
dengan tim yang akan memberikan perawatan ESRD dan transplantasi. Penilaian
multidisiplin harus dilakukan untuk menentukan waktu yang tepat untuk memulai dialisis
berdasarkan status fisik dan metabolik anak itu. Penilaian juga dilakukan pada kemampuan
para pengasuh dan keadaan lingkungan rumah. Berdasarkan data hasil klinis pada orang
dewasa, umumnya direkomendasikan bahwa terapi pengganti ginjal harus dimulai dengan
penurunan GFR untuk <15 ml/min/1.73 m2. Adanya dan tingkat keparahan komorbiditas
gejala uremik, malnutrisi, gangguan pertumbuhan, dan disfungsi neurokognitif mungkin
memerlukan dan membenarkan terapi dialysis lebih awal. Pemilihan modalitas terapi
pengganti ginjal baik dialisis peritoneal atau hemodialisis harus disesuaikan dengan
kebutuhan setiap anak.14
2.9.11 Pre-emptive transplantasi
Beberapa anak dapat melewati dialisis dan menerima pre-emptive transplantasi ginjal. Anak-
anak lebih mungkin untuk menjadi pra-emptively transplantasi, dibandingkan dengan
adults.107 Pasien yang menjalani pre-emptive transplantasi cenderung memiliki kelangsungan
hidup lebih baik dibandingkan mereka yang menjalani dialisis sebelum transplantasi ginjal.108
19
Pengaruh ras, faktor ekonomi, dan latar belakang pendidikan merupakan faktor yang terkait
dengan hasil pre-emptive transplantasi ginjal. Selain itu, kondisi yang menghalangi pasien
dari menjalani pre-emptive transplantasi (Tabel 5) cenderung berhubungan dengan
kelangsungan hidup allograft, setelah mereka dipindahkan. Namun demikian, pre-emptive
transplantasi harus dipertimbangkan pada anak-anak dengan donor yang tersedia.14
Tabel 4 Kontraindikasi relatif pre-emptive transplantasi (Relative contraindcations for pre-emptive kidney transplantation)1. Conditions requiring native nephrectomies prior to transplant:• Uncontrolled hypertension• Chronically infected urinary tract with stasis• Persistent nephrotic syndrome2. Patient non-compliance with medications, follow-up visits, and general ability to follow
instructions3. Catastrophic presentation with ESRD4. Inadequate time to assess patient and family for pre-emptivetransplant5. Problems with the potential live donor:• Health problem identified in the donor• Live donor pregnancy• The potential recipient is allosensitized to the donor
(Sumber: Clinical Pediatric Nephrology, 2007)14
2.9.12 Rehabilitasi dan kualitas hidup
CKD yang cukup berat dapat mengganggu aktivitas normal sehari-hari, rehabilitasi pasien
dengan onset masa kanak-kanak CKD diperlukan untuk integrasi manajemen penyakit,
adaptasi sosial dan perkembangan normal. Terapis, konselor, dan psikiater anak diperlukan
untuk membantu anak dan keluarga beradaptasi dengan kehidupan penyakit kronis. Selain
memenuhi kebutuhan medis dan emosional anak-anak ini, adalah sama penting untuk
mempertimbangkan kebutuhan pendidikan pasien. Jika penyakit anak menghalangi mereka
belajar di sekolah, rumah sakit berbasis atau rumah berbasis pendidikan dengan individual
yang memadai program pendidikan (IEP) harus dipertimbangkan. Mempertahankan
kemajuan pendidikan anak dan partisipasi di sekolah merupakan proses penting dalam
rehabilitasi. Tujuan utamanya ditujukan untuk membantu para anak menjadi orang dewasa
produktif dan independen.14
2.10 PROGNOSIS
20
Setelah penyakit ginjal kronis (CKD) terjadi, pengembangan menjadi stadium akhir penyakit
ginjal (ESRD) muncul tertentu. Namun, tingkat pengembangan tergantung pada diagnosis
yang mendasarinya, pada keberhasilan pelaksanaan tindakan pencegahan sekunder, dan pada
pasien.8
Sekitar 70% anak dengan penyakit ginjal kronis akan menjadi ESRD pada usia 20
tahun. Anak-anak dengan ESRD memiliki harapan hidup selama 10 tahun sekitar 80%.
Penyebab paling umum kematian pada anak-anak adalah penyakit jantung, diikuti oleh
infeksi. Dari kematian karena penyebab kardiovaskular, 25% disebabkan oleh serangan
jantung (menyebabkan tidak pasti), 16% stroke, 14% untuk iskemia miokard, 12% untuk
edema paru, 11% untuk hiperkalemia, dan 22% menjadi penyakit kardiovaskular yang lain,
termasuk aritmia. Data dari Australia dan Selandia Baru (ANZ) mengungkapkan bahwa
risiko kematian dikaitkan dengan tahun di mana terapi pengganti ginjal dimulai, usia pasien
pada awal terapi itu, dan jenis dialisis yang digunakan.8
Setelah laju filtrasi glomerulus diperkirakan (eGFR) menurun menjadi kurang dari 30
mL/menit per 1,73 m2 dan anak mengalami stadium IV penyakit ginjal kronis, anak dan
keluarga harus siap untuk terapi pengganti ginjal. Keluarga itu harus diberikan informasi
yang berhubungan dengan transplantasi ginjal preemptive, peritoneal dialisis, dan
hemodialisis. Ketika transplantasi preemptive bukanlah pilihan, pilihan antara 2 bentuk
dialisis umumnya ditentukan oleh masalah teknis, sosial, dan kepatuhan, serta preferensi
keluarga. Dialisis peritoneal lebih sering terjadi pada bayi dan anak muda.8
Pasien jangka panjang yang menjalani dialisis memiliki tingkat morbiditas dan
kematian yang tinggi. Transplantasi ginjal preemptive harus menjadi tujuan manajemen pada
anak-anak.8
Angka keberhasilan transplantasi ginjal pada anak dari tahun ketahun makin
bertambah. Di Guy’s Hospital London 5 year actual survival adalah 96%. Transplantasi
ginjal pada anak dibawah umur 6 tahun yang biasanya kurang baik dibanding anak > 6 tahun,
juga meningkat yaitu 5 year actuarial survival dari 69% menjadi 90% setelah dipakainya
siklosporin A sebagai obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan tubuh.15
2.11 KOMPLIKASI
Hipertensi
Risiko kardiovaskular akan meningkat terkait dengan stadium akhir penyakit ginjal, dan
diperkirakan angka kematian kardiovaskular adalah 10 sampai 100 kali lipat lebih tinggi pada
pasien dialisis dari usia dan jenis kelamin individu dalam populasi umum. Risiko
21
kardiovaskular yang terkait dengan gangguan ginjal meningkat pada awal perjalanan penyakit
ginjal. Lebih spesifik, ada bukti bahwa derajat ringan sampai derajat sedang gangguan ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Banyak faktor risiko kardiovaskular,
didokumentasikan dalam populasi umum, menyebabkan risiko kardiovaskular pada pasien
CKD. Bahkan, banyak faktor risiko Framingham lebih banyak terjadi antara individu dengan
CKD dibandingkan mereka dengan fungsi ginjal normal.16
Selain itu, faktor risiko non-tradisional, khusus untuk pasien CKD, juga menyebabkan
beban penyakit kardiovaskular. Hipertensi merupakan faktor risiko kardiovaskular tradisional
yang memberikan kontribusi dengan risiko kardiovaskular yang terkait dengan
CKD. Muntner dkk menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi akan meningkatkan risiko
baru atau kejadian kardiovaskuler berulang pada individu dengan stadium 2-3 CKD.16
Tekanan darah sistolik lebih sangat terkait dengan kematian pasien kardiovaskular
pada pasien dialisis dibandingkan dengan tekanan diastolik. Bagaimana pernah, hubungan
antara tekanan darah sistolik dan kematian dimana tekanan sistolik tinggi atau darah rendah
tampaknya terkait dengan angka kematian pada pasien stadium 5 CKD. Rendah tekanan
sistolik dapat mengidentifikasi sekelompok pasien lebih sakit daripada menjadi etiologi untuk
kematian. Pedoman K / DOQI merekomendasikan pres-target darah kurang dari 130/85 mm
Hg untuk semua pasien dengan penyakit ginjal dan kurang dari 125/75 mmHg untuk pasien
dengan ekskresi protein urin lebih besar dari 1 g/24 jam. Angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor atau Angioreceptor blockers tensin, mengingat efek ginjal mereka pelindung,
optimal lini pertama pada pasien dengan agen proteinuri (O 1 g/24 jam), progresif penyakit
ginjal betic dan nondiabetes.16
Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyebab paling umum dari penyakit ginjal kronis. Hiperglikemia
merupakan faktor risiko independen untuk nefropati. Patofisiologi nefropati diabetik adalah
kompleks dan kemungkinan besar melibatkan kedua hemodinamik dan faktor glukosa-
tergantung, termasuk disfungsi endotel, dan kehilangan pengaturan tekanan darah
intraglomerular. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat A1C berhubungan dengan
hilangnya fungsi ginjal dan bahwa kontrol glikemik mengurangi perkembangan penyakit
ginjal.17
Untuk mencegah perkembangan nefropati pada pasien dengan diabetes mellitus,
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan kontrol glikemik, dengan tujuan
menjadi konsentrasi A1C di bawah 7 persen. ADA juga merekomendasikan skrining tahunan
22
untuk mikroalbuminuria dan kontrol tekanan darah dengan ACE inhibitor atau angiotensin II
antagonis reseptor.17
Dislipidemia
Dislipidemia adalah faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan komplikasi umum dari
penyakit ginjal progresif. Kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki panel
lipid abnormal yang meningkatkan resiko mereka untuk atherogenesis. Dislipidemia
meningkatkan angka kematian kardiovaskuler, yaitu 10 sampai 20 kali lebih tinggi pada
pasien dialisis dari pada populasi normal bahkan setelah penyesuaian dilakukan untuk usia,
jenis kelamin, dan diabetes melitus.17
Kelainan lipid paling terlihat pada penyakit ginjal kronis adalah tingkat tri-gliserida
yang tinggi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki rasio peningkatan low
density lipoprotein (LDL) kolesterol high-density lipoprotein (HDL) kolesterol. Kolesterol
LDL, termasuk lipoprotein (a), adalah pro-aterogenik, dan tingkat yang sedikit meningkat
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Tingkat kolesterol LDL teroksidasi juga
ditinggikan, kolesterol ini mengaktifkan jalur pro-inflamasi, sehingga meningkatkan
atherogenesis dan disfungsi endotel. Kadar kolesterol HDL yang menurun, menunjukkan
kehilangan efek anti-aterogenik.17
Anemia
Anemia didefinisikan sebagai penurunan satu atau lebih sel darah merah besar; konsentrasi
hemoglobin, hematokrit, atau hitung sel darah merah.. Organisasi Kesehatan Dunia
mendefinisikan anemia sebagai jumlah hemoglobin kurang dari 13 g/dL pada pria dan wanita
menopause, dan kurang dari 12 g/dL pada wanita premenopause. Para NKF mendefinisikan
anemia sebagai Hemoglobin kurang dari 13,5 g/dL pada pria dan kurang dari 12,0 g/dL pada
wanita. Anemia normokromik, anemia normositik biasanya menyertai progresif CKD dan
prevalensi keseluruhan CKD terkait anemia adalah sekitar 50%. Meskipun anemia dapat
didiagnosis pada pasien CKD, ada korelasi kuat antara prevalensi anemia dan keparahan
CKD. Seperempat dari stadium 1 pasien CKD; setengah dari mereka bertingkat untuk CKD
stadium 2, 3, dan 4, dan tiga perempat pasien CKD memulai dialisis menderita anemia. Oleh
karena itu, penyedia layanan kesehatan primer memainkan peran penting dalam mendiagnosa
dan mengelola anemia pada pasien CKD. Sedangkan anemia pada CKD dapat disebabkan
oleh beberapa mekanisme (besi, folat, atau kekurangan vitamin B12, perdarahan
gastrointestinal; hyperparathyroidisme; peradangan sistemik, dan dipersingkat kelangsungan
hidup sel darah merah), penurunan sintesis eritropoietin adalah etiologi yang paling penting
dan spesifik penyebab CKD terkait anemia. Erythropoietin adalah glikoprotein yang disekresi
23
oleh ginjal interstisial fibroblas dan sangat penting untuk pertumbuhan dan differensiasi sel
darah merah di sumsum tulang. Dalam CKD, atrofi tubulus generates fibrosis
tubulointerstitial, yang akan berpengaruh pada kapasitas sintesis eritropoietin ginjal akan
mengakibatkan anemia. Morbiditas dan mortalitas pada anemia akan meningkat pada pasien
CKD dengan komplikasi cardiovascular (angina, hipertrofi ventrikel kiri [LVH], dan
memburuknya gagal jantung) yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari fungsi
ginjal dan pembentukan lingkaran setan disebut anemia'' cardiorenal sindrome''. Kehadiran
LVH berhubungan dengan tingkan penurunan harapan hidup pasien dialisis. Bahkan, stadium
akhir penyakit ginjal pasien dengan LVH memiliki tingkat ketahanan hidup 5 tahun 30%
lebih rendah daripada individu tanpa LVH. 16
Selain itu, anemia merupakan prediktor independen kematian pada pasien penyakit
arteri dengan CKD. Anemia pada CKD diperlakukan melalui rekombinan eritropoietin
manusia (EPO). Intervensi ini telah menggantikan transfusi sebagai andalan pengobatan dan
meningkatkan kelangsungan hidup pasien CKD dengan anemia. Target dari Hemoglobin
pada pasien dengan CKD telah berubah sebagai studi yang telah dilaporkan. Normalisasi
tingkat hemoglobin tidak lagi dianggap tujuan terapi karena ini tingkat target telah dikaitkan
dengan mortalitas yang lebih tinggi. Koreksi dari Hemoglobin dan percobaan Hasil Pada
Insufisiensi Ginjal (CHOIR) mempelajari hasil pengobatan anemia pada lebih dari 1400 CKD
pasien (MDRD eGFR antara 15 sampai 50 mL/menit per 1,73 m2 yang memiliki hemoglobin
kurang dari 11 g/dL pada saat masuk. Subyek terdaftar secara acak diberikan terapi EPO
protokol terapi yang dirancang untuk mencapai target hemoglobin tingkat baik 13,5 (n = 715)
atau 11,3 g / dL (n = 717). Studi ini dihentikan sebelum waktunya karena tingkat kematian
yang lebih tinggi dan merugikan kelompok dengan tingkat HgB yang lebih tinggi yang
ditargetkan. Konsekuensinya, US Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan
peringatan dan merekomendasikan tingkat Hgb sasaran antara 11 dan 12 g / dL pada pasien
CKD, meskipun data yang lebih akan diperlukan untuk menentukan tingkat Hb yang optimal
untuk memaksimalkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian dari pasien anemia
yang berhubungan dengan komplikasi. Singkatnya, meskipun manfaat yang jelas dari
pengobatan anemia pada morbiditas dan mortalitas pada pasien CKD, proporsi yang
signifikan dari CKD anemia pasien tidak menerima perawatan yang memadai sebelum
dialisis untuk mencapai saat ini FDA direkomendasikan target dan setengah dari semua
pasien CKD dengan anemia melakukan tidak menerima pengobatan dengan erythropoietin.16
Gangguan Mineral dan Tulang
24
Istilah CKD terkait mineral dan gangguan tulang'' terdiri dari kelainan dalam metabolisme
tulang dan mineral dan / atau extraskeletal kalsifikasi sekunder untuk patofisiologi CKD
kation. Renal osteodistrofi adalah spektrum perubahan histologis yang terjadi pada arsitektur
tulang pasien dengan CKD. Ginjal adalah situs utama untuk ekskresi fosfat dan sebuah
hidroksilasi vitamin D. Pasien CKD mengembangkan hyperphosphatemia sebagai akibat dari
tidak memadainya 1,25 dihidroksi-tingkat vitamin D yang mencerminkan berkurangnya
sintesis dari parenkim jaringan parut. Selain itu, ekskresi fosfat ginjal berkurang. Bersama-
sama, kedua proses tersebut menyebabkan kadar kalsium serum menurun yang
mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid (sekunder
hiperparatiroidisme). Hormon paratiroid memiliki efek phosphaturic. Itu juga meningkatkan
jumlah kalsium dengan peningkatan resorpsi tulang dan promoting 1-a-hidroksilasi dari 25-
hidroksi vitamin D disintesis oleh hati (Efek terbatas karena cadangan ginjal berkurang dari
jaringan parut). Kenaikan tingkat fosfor yang hampir secara universal diamati pada tahap 3
pasien CKD. Namun, hiperparatiroidisme sekunder sering mulai merusak arsitektur tulang
sebelumnya, sebelum serum fosfor dicatat tidak normal, indicating bahwa terapi pengikat
fosfat perlu dimulai ketika eGFRs telah menurun di bawah 50 mL / menit per 1,73 m.16
Perubahan arsitektur tulang dapat disebabkan oleh salah satu pergantian tulang yang
tinggi atau keadaan omset tulang yang rendah. Empat jenis fenotipe tulang (ginjal
osteodistrofi) dapat didiagnosis pada pasien CKD: osteitis fibrosa cystica (Tulang omset
tinggi dengan hiperparatiroidisme sekunder), osteomalasia (Rendah boneturnover
andinadequatemineralization, primarilyrelated todiminan vitamin D sintesis), gangguan
tulang adinamik (turnover tulang yang rendah dari berlebihan penekanan kelenjar paratiroid),
dan osteodistrofi campuran (Dengan elemen pergantian tulang baik tinggi dan rendah). Pada
pasien predialysis, omset tinggi tulang merupakan penyakit tulang yang paling
umum. Sebaliknya, omset rendah tulang mendominasi pada pasien dialisis. Pasien dengan
penyakit omset rendah mewakili kebanyakan kasus osteodistrofi ginjal. Asidosis, efek
supresi phosphatase pada sintesis ginjal 1,25 dihidroksi-vitamin D sintesis, dan tidak adanya
efek penghambatan fisiologis vitamin D pada parathormon sekresi juga faktor kecil yang
memberikan kontribusi pada tulang omset rendah penyakit pada pasien CKD.16
Gangguan mineral CKD terkait tulang secara signifikan meningkatkan mortalitas
pada pasien CKD. Bahkan, hyperphosphatemia adalah salah satu faktor resiko yang paling
penting yang terkait dengan penyakit kardiovaskular pada pasien CKD. Mekanisme yang
tepat yang mendasari hubungan ini masih belum jelas. Hal ini diyakini berhubungan dengan
hiperparatiroidisme dan kalsifikasi pembuluh darah, hasil dari tingkat fosfor yang
25
tinggi. Penggunaan kalsium berbasis pengikat dan kelebihan terapi vitamin D juga dapat
menyebabkan kalsifikasi vaskular dan kematian pasien kardiovaskular. Pasien hemodialysis
yang memiliki tingkat plasma fosfor di atas pedoman K / DOQI tingkat target memiliki
tingkat kematian 40% lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka memiliki tingkat
target.16
Tujuan utama dari pengobatan CKD terkait gangguan tulang dan mineral adalah
mengurangi tingkat fosfor. Perawatan awal adalah membatasi asupan diet fosfor ketika fosfat
atau tingkat hormon paratiroid mulai naik. Menurut K / DOQI pedoman tingkat serum fosfor
harus dipertahankan antara 2,7 dan 4,6 mg / dL pada pasien dengan stadium 3 dan 4 CKD,
dan antara 3,5 dan 5,5 mg / dL pada individu dengan stadium 5 CKD.16
Kelas yang berbeda dari pengikat fosfat dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Untuk formulasi terapi kronis, kalsium berbasis pengelolaan CKD terkait hyperphosphatemia
adalah kelas yang paling banyak menggunakan fosfat pengikat dan telah digantikan oleh
aluminium fosfat binder sejak toksisitas alumunium telah diakui. Namun, kalsium pengikat
bebasis fosfat dapat menyebabkan hiperkalsemia, yang dapat meningkatkan jaringan deposisi
kalsium, terutama dengan adanya hiperfosfatemia. 16
Selain pengikat fosfat, kelas-kelas lain beberapa obat telah dikembangkan untuk
mengelola CKD terkait gangguan mineral. Mengingat berkurangnya 1-hidroksilasi vitamin D
oleh gagal ginjal, vitamin D dan yang terkait senyawa mungkin diperlukan untuk
meningkatkan konsentrasi kalsium serum dan menciptakan kerjasama untuk menekan sekresi
hormon paratiroid. Pasien juga dapat diberikan calcimimetics, agen yang meningkatkan
sensitivitas kalsium dari kalsium reseptor yang disintesis oleh kelenjar paratiroid, mengatur
sekresi hormon tiroid dan mengurangi hiperplasia paratiroid kelenjar.16
Nutrisi
Pasien dengan penyakit ginjal kronis beresiko untuk gizi buruk dan hipoalbuminemia. Kedua
kondisi ini dikaitkan dengan hasil buruk pada pasien yang mulai dialisis.16
Pengaruh pembatasan protein diet pada penyakit ginjal adalah subjek
perdebatan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pembatasan protein diet memperlambat
perkembangan penyakit ginjal, terutama pada pasien dengan diabetes mellitus. Namun, studi
ini dikacaukan oleh manfaat terapi ACE-inhibitor pada tingkat pengembangan penyakit.16
Studi MDRD berusaha untuk menentukan tingkat asupan protein yang mungkin
mengurangi risiko pengembangan penyakit ginjal dan juga meminimalkan risiko kekurangan
gizi. Studi ini mengevaluasi tiga tingkat asupan protein diet dan menemukan bahwa diet
sangat rendah protein (0,28 g/kg/hari) mengalami sedikit penurunan tingkat pengembangan
26
proteinuria dibandingkan dengan diet dengan asupan protein yang lebih tinggi (0,56 g/kg
/hari dan 1,3 g/kg/hari). Diet sangat rendah protein tidak menimbulkan kekurangan gizi,
tetapi juga tidak mengurangi pengembangan menjadi gagal ginjal atau kematian.17
Uremia
Meskipun pengobatan yang optimal, fungsi ginjal dapat terus memburuk. Akhirnya, pasien
dapat mengembangkan uremia dan gagal ginjal. Gejala uremia termasuk anoreksia, mual,
muntah, malaise, asteriksis, kelemahan otot, disfungsi trombosit, perikarditis, perubahan
status mental, kejang dan, mungkin, koma. Gejala-gejala ini hasil dari akumulasi beberapa
racun selain urea. Dengan demikian, tidak ada korelasi yang ketat antara presentasi klinis dan
plasma darah urea nitrogen dan kadar kreatinin.17
Uremia akut atau uremia akibat penyakit progresif adalah indikasi untuk dialisis
segera. Pasien dengan gagal ginjal harus dievaluasi untuk transplantasi ginjal.17
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Sanjeev Gulati, MBBS, MD, DNB(Peds), DM, DNB(Neph), FIPN(Australia), FICN, FRCPC(Canada). 23 April 2012. Chronic Kidney Diseases in Children di akses dari http://emedicine.medscape.com/article/984358-overview#a0101 tanggal 15 Juli 2012
2. Waraby, Bradley A, dkk. Chrronic Kidney Disease in Children the Global Perspective. Diakses dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2064944 tanggal 15 Juli 2012.
3. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
4. Sudung O. Pardede, Swanty Chunnaedy.2009. Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 3, Oktober 2009 hal 200-201
5. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. 2002. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. IDAI. Jakarta: FKUI
6. Mohammad Sjaifullah Noer. 20 Februari 2006. Gagal Ginjal Kronik Pada Anak (Chronic Renal Failure in Fhildren) hal 3-4 diakses dari http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-mqb0gj-pkb.pdf#download tanggal 15 Juli 2012
7. Behrman. Chronic Renal Failure in Nelson Textbook of Pediatrics. Elsevier Science (USA). 2004, section527.2
8. Sanjeev Gulati, MBBS, MD, DNB(Peds), DM, DNB(Neph), FIPN(Australia), FICN, FRCPC(Canada). 23 April 2012. Chronic Kidney Diseases in Children di akses dari http://emedicine.medscape.com/article/984358-overview#aw2aab6b2b2 tanggal 15 Juli 2012.
9. Biruh T Workeneh. Acute Renal Failure. Diakses pada tanggal 19 Juli 2012. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/243492-overview .
10. Alatas, Husain. Gagal Ginjal Akut. Dalam: Husain Alatas, Talaran Tambunan, Partini P. Trihono, Sudung O. Pardede, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:Badan Penerbit IDAI. 2002: 490-508.
11. Moro O Salifu. Chronic Glomerulonephritis. Diakses pada tanggal 19 Juli 2012. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/239392-overview .
12. Noer, Syaifullah M.. Glomerulonefritis. Dalam: Husain Alatas, Talaran Tambunan, Partini P. Trihono, Sudung O. Pardede, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:Badan Penerbit IDAI. 2002: 323-361.
28
13. Vecihi Batuman. Diabetic Nephropathy. Diakses pada tanggal 19 Juli 2012. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview .
14. Craig S Wong, Robert H Mak. Chronic Kidney Disease in Clinical Pediatric Nephrology. Thomson Publishing UK. 2007,section 22: 338-350.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. 2002. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Nefrologi Anak. IDAI. FKUI:Jakarta hal 528.
16. Robert Thomas, M.D, Abbas Kanso, M.D, John R. Sedor, M.D. Chronic Kidney Disease and Its Complications. Diakses tanggal 18 Juli 2012. Diunduh dari http://ether.stanford.edu/urology/CKD.pdf
17. Catherine S. Snively, M.D and Cecilia Gutierrez, M.D. Chronic Kidney Disease: Prevention and Treatment of Common Complications. Diakses pada tanggal 18 Juli 2012. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/2004/1115/p1921.html
29