referat - atresia duodeni

Upload: ahmad-rahmat-ramadhan-tantu

Post on 05-Mar-2016

141 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

Referat Atresia duodeni. Pediatrik, Ilmu Kesehatan Anak

TRANSCRIPT

  • REFERAT DESEMBER 2015

    ATRESIA DUODENI

    Nama : Ahmad Rahmat Ramadhan

    No. Stambuk : N 111 14 055

    Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp.A

    DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

    RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

    PALU

    2015

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus halus.

    Segmen pada usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum

    akan diikuti oleh bagian usus yang panjang yang disebut jejunum. Jejunum

    diikuti oleh ileum yang merupakan bagian terakhir dari usus halus yang akan

    menghubungkan usus halus dengan usus besar. Apabila bagian dari usus ini

    gagal untuk berkembang pada masa fetus, akan mengakibatkan terjadinya

    sumbatan pada usus yang disebut dengan atresia intestinal. 1

    Atresia merupakan kondisi tidak ada atau tertutupnya lubang pada tubuh

    atau organ yang berbentuk tubular secara congenital, 50% kasus atresia intestinal

    terjadi pada duodenum, dan 46% kasus terjadi pada jejunoileal.. Intestinum

    adalah bagian dari saluran pencernaan yang dimulai dari struktur setelah pilorus

    gaster hingga anus dan terdiri dari usus halus dan usus besar, yang fungsinya

    melengkapi proses pencernaan, memberi air ke tubuh, elektrolit, zat gizi, dan

    menyimpan ampas fekal hingga dikeluarkan 2.

    Angka kejadian atresia intestinal di Amerika Serikat mencapai 1 dari

    3000 kelahiran hidup, tetapi di Benua Afrika angka kejadian ini bisa lebih

    banyak yaitu 1 dari 1000 kelahiran hidup. Kasus atresia intestinal akan

    menunjukkan gejala beberapa jam setelah kelahiran, tetapi pada beberapa kasus

    yang telah terjadi, sering tidak dilaporkan, sehingga tidak mendapatkan

    pelayanan medis. Sebelum tahun 1952, kematian akibat atresia jejuno ileal

    mencapai 90%. Di antara tahun 1952 dan 1955, kematian mencapai 80% ketika

    anastomosis primer terjadi tanpa reseksi usus. Pada saat reseksi dan dilatasi usus

    bisa dilakukan, angka kematian menurun hingga 22%. Kematian menurun

    kembali hingga 10% pada tahun 1959 sampai 2000. Beberapa faktor yang

    berkontribusi dalam kematian antara lain infark usus proksimal, peritonitis,

    kelemahan anastomosis, atresia distal yang tidak diketahui, dan sepsis 3.

  • 2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Embriogenesis

    Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

    hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,

    esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.

    Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon

    asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut

    hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan

    ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat

    disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum

    urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan

    anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan

    proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani

    perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus

    dapat tidak ada atau rudimenter. 5

    Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari

    usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal

    pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil bentuk

    melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini bersama-sama

    dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum membelok dari

    posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen. Deodenum dan

    kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan

    mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua

    lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas

    menjadi terfikasasi di posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang

    sama sekali kecuali di daerah pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum

    (tutup duodenum) yang tetap intraperitonial. Selama bulan ke dua, lumen

    duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini

    akan mengalami rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh

  • 3

    pembuluh darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri

    mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua pembuluh

    darah tersebut. 5

    2.2 Anatomi Duodenum

    Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan usus

    yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan

    jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum

    merupakan bagian terminal atau muara dari sistem apparatus biliaris dari hepar

    maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari

    saluran cerna atas. Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas

    dan bawah oleh adanya ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang

    terletak pada flexura duodenojejunales yg merupakan batas antara duodenum dan

    jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut

    dengan plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio

    epigastrium dan umbilikalis 4.

    Duodenum memiliki penggantung yg disebut dengan mesoduodenum.

    Gambar 1. Bagian bagian usus

  • 4

    Gambar 2. Bagian-bagian duodenum

    Duodenum terdiri atas beberapa bagian:

    1. Duodenum pars superior

    Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae

    lumbal I dan terletak di linea transpylorica. Bagian ini terletak setinggi

    vertebrae lumbal I dan memiliki sintopi:

    a. Anterior : Lobus quadrates hepatis, vesica velea

    b. Posterior : Bursa omentalis, a. gastroduodenalis, ductus

    choledocus, v. portae hepatis, dan v. cava inferior

    c. Superior : Foramen epiploica winslow

    d. Inferior : Caput pankreas

    2. Duodenum pars decendens

    Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi vertebrae lumbal

    II-III. Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duodeni major dan

    minor yang merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan ductus

    choledocus serta ductus pancreaticus minor yang merupakan organ

    apparatus billiaris dan termasuk organ dari system enterohepatic.

    Duodenum bagian ini memiliki sintopi :

    a. Anterior : Fundus vesica felea, colon transersum, lobus

    hepatis dextra

  • 5

    b. Posterior : Ureter dextra, hilus renalis dextra

    c. Medial : Caput pankreas

    d. Lateral : Colon ascendens, fleksura coli dextra, lobus

    hepatis dextra

    3. Duodenum pars horizontal

    Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra

    mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi

    vertebrae lumbal II.

    Duodenum bagian ini memiliki sintopi :

    a. Anterior : Mesenterium usus halus, vasa mesenterica

    superior, lekukan jejunum

    b. Posterior : Ureter dextra, m. psoas dextra, aorta

    c. Superior : Caput pancreas

    d. Inferior : Lekukan jejunum

    4. Duodenum pars ascendens

    Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga

    pada flexura duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan

    jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang

    menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan

    ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang dimana ligamentum ini

    juga merupakan batas yang membagi saluran cerna menjadi saluran cerna

    atas dan saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini memiliki skeletopi

    setinggi Vertebrae Lumbal I atau II. Duodenum bagian ini memiliki sintopi

    :

    a. Anterior : Mesenterium, lekukan jejunum

    b. Posterior : Pinggir kiri aorta, pinggir medial m. psoas sinistra 4

    Vaskularisasi duodenum

    Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi

    menjadi 2. Untuk duodenum pars superior hingga duodenum pars

    descendens diatas papilla duodeni major (muara ductus pancreticus major),

  • 6

    divaskularisasi oleh R. superior a. pancrearicoduodenalis cabang dari a.

    gastroduodenalis, cabang dari a. hepatica communis, cabang dari triple

    hallery yang dicabangkan dari aorta setinggi Vertebae Thoracal XII

    Vertebrae Lumbal I. dan aliran vena nya langsung bermuara ke system

    portae. Sedangkan dibawah papilla duodeni major, duodenum

    divaskularisasi oleh R. duodenalis a. mesenterica superior yg dicabangkan

    dari aorta setinggi Vertebrae Lumbal I. Sedangkan aliran vena nya bermuara

    ke v. mesenterica superior 4.

    Inervasi duodenum

    Duodenum di innervasi oleh persarafan simpatis oleh truncus

    sympaticus segmen thoracal VI-XII, sedangkan persarafan parasimpatis nya

    oleh n. vagus (n. X) 4.

    2.3 Atresia duodenum

    2.3.1 Definisi

    Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian

    pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak

    berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan

    perjalanan makanan dari lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum

    bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi

    jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses

    absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi

    ini disebut dengan duodenal stenosis 5.

    2.3.2 Epidemiologi

    Secara statistik insidensi atresia duodenum dilaporkan terdapat 1

    diantara 5000-10000 kelahiran di Afrika. Atresia duodenum dan

    jejunoileal peringkat kedua paling banyak penyebab obstruksi intestinal

    pada populasi Afrika. Sekitar 20-30% bayi dengan atresia duodenal

    memiliki sindrom down. Atresia duodenal selalu dihubungkan dengan

    defek kelahiran lain 3,6.

  • 7

    2.3.3 Etiologi

    Penyebab atresia duodenum belum diketahui, tetapi diperkirakan

    hasil dari permasalahan selama perkembangan embrio dimana duodenum

    tidak berubah bentuk secara normal. Masa kehamilan minggu ke 5

    sampai ke 10, duodenum berupa chord padat. Obstruksi instriksi hasil

    dari kegagalan vakuoliasasidan rekanalisasi. Pancreas annular hasil dari

    fusi bagian anterior dan posterior, pembentukkan cincin jaringan

    pankreas yang disekitar duodenum. Obstruksi ekstrinsik hasil dari

    berbagai macam kelainan perkembangan embriologi spesifik penyebab

    patologi 3,6.

    Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi

    pada neonates lainnya yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomaly

    ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada

    beberapa penelitian, anomaly ini diduga karena gangguan pembuluh

    darah mesenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus,

    malrotasi, gastroskisis maupun penyebab yang lain. Pada atresia

    duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses

    rekanalisasi. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa

    annular pancreas berhubungan dengan terjadinya aresia duodenal 7

    Klasifikasi

    Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi, yaitu :

    a. Tipe 1 : Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau

    membrane pada lumen duodenum.

    b. Tipe 2 : Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal

    dihubungkan dengan fibrous cord.

    c. Tipe 3 : Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen

    proksimal dan distal.

  • 8

    Gambar 3. Tipe atresia duodenum

    Patogenesis

    Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya

    atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini

    karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir

    foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh

    proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10.

    Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan

    duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi

    saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi

    epitelial (kegagalan proses vakuolisasi) 8.

    Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi

    dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke

    6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan

    terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis

    yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya

    degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini

    mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini

    mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan. Pada

    beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik.

    Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur organ sekitarnya,

    seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas

    anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum,

  • 9

    terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan

    perkembangan duodenum 9.

    2.3.4 Penegakkan diagnosis

    a. Manifestasi klinis

    Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus.

    Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien

    dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah

    kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering

    terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus

    ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena

    muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus,

    muntah yang timbul yaitu non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal

    dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif

    setelah neonates mendapat ASI.

    Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika

    atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus

    yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang

    mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau

    dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari

    pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya

    dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus

    dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan

    sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan

    atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit,

    konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan

    mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium

    yang nampak seperti normal 10

    Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak

    terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila

    kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami

    dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika

  • 10

    dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau

    hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan

    berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi

    duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30

    ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5

    ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan

    nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan

    karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103 F maka

    kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis 10.

    b. Pemeriksaan fisik

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi

    distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya

    pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada

    epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah.

    Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga

    sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus

    sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia

    duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid 10.

    Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang

    melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik

    duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum

    maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua

    bagian dinding perut 10.

    c. Pemeriksaan penunjang

    Pre natal

    Secara general, atresia duodenum sulit untuk di diagnosis selama

    kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non spesifik pada

    fetal ultrasound seperti dilatasi lambung. Karena cairan amnion ditelan dan

    dicerna secara normal oleh fetus, atresia duodenum dapat menyebabkan

    peningkatan cairan dalam sakus amnion, hidramnion. Ini mungkin

    merupakan tanda awal atresia duodenum. Diagnosis saat masa prenatal

  • 11

    yakni dengan menggunakan prenatal ultrasonografi. Sonografi dapat

    meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan melihat adanya struktur

    yang terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44% kasus.

    Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8

    kehamilan 3.

    Gambar 4. Gambaran USG prenatal pada atresia duodenal

    Post natal

    Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan

    kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan

    pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni

    pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien

    bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami

    gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan

    terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia

    dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan elektrolit harus

    lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan

    pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami

    demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum 5.

    Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain

    abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign

    tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak

  • 12

    gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat

    dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila

    pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia

    duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena

    muntah, maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan

    juga akan menyebabkan gambaran double-bubble 7

    Gambar 5. Gambaran double bubble pada atresia duodenum

    2.3.5 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan secara umum yaitu :

    - Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung

    - Memberikan cairan elektrolilt melalui intravena (mengkoreksi dehidrasi

    dan ketidakseimbangan elektrolit).

    - Mengatasi sindrom down.

    - Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan

    namun tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada sifat

    abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenostomi.

  • 13

    a. Pre operasi

    Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastrik dan

    menyediakan penggantian cairan dan elektrolik. Banyak penderita

    merupakan prematur dan umur kelahirannya rendah, maka harus menjaga

    tubuh dari panas dan menghindari hipoglikemia terutama pada kasus

    berat bayi lahir rendah, penyakit jantung kongenital, sindroma distres

    respirasi 3.

    Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat

    diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan

    abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik.

    Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian

    besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan

    kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh

    bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat

    badan lahir yang sangat rendah, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya

    pesien dirawat dalam inkubator. 1

    b. Intraoperasi

    Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi

    endotrakeal. Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan

    otot, transversal, insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa

    menggunakan motode laparoskopi untuk memperbaiki 11.

    Sisi ke sisi duodenoduodenostomi merupakan standar perbaikan

    untuk stenosis duodenal, atresia atau obstruksi yang disebabkan vena

    porta preduodenal. Ketika pankreas annular dihubungkan dengan

    obstruksi duodenal bertemu, pilihan penyembuhan dengan

    duodenoduodenostomi antara segmen duodenum yang diatas dan

    dibawah pada area cincin pankreas 11.

  • 14

    Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe dari

    atresia duodenum.

    1) Tipe 1

    Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane

    pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang dilakukan adalah

    menginsisi dinding duodenum kemudian mengeksisi membrane

    bagian dalamnya, kemudian dijahit.

    Gambar 6. Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1

    2) Tipe 2

    Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal dihubungkan

    dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah

    dudenoduodenostomi. Bagian yang mengalami atresia dihilangkan,

    kemudian kedua ujung tersebut digabungkan.

    3) Tipe 3

    Atresia dengan diskontinuitas komplit antar segmen proksimal dan

    distal. Tindakan bedah yang dilakukan adalah gastrojejunum, yaitu

    menggabungkan antara utung jejunum langsung ke lambung.

  • 15

    Gambar 7. Tindakan operasi pada atresia duodenum tipe 2 (atas) dan

    atresia duodenum tipe 3 (bawah)

    c. Post operasi

    Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,

    pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi

    parenteral via central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif

    untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak

    cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien 3.

    2.3.6 Komplikasi

    - Komplikasi yang dapat ditemukan ialah kelainan congenital lainnya.

    - Mudah terjadi dehidrasi. Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18%

    pasien, dan beberapa pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi

    yang sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali yaitu :

    o Kebocoran anostomosis

    o Obstruksi fungsional duodenum

  • 16

    o Adhesi

    o Bengkak pada bagian pertama usus halus (megaduodenum)

    o Permasalahan pergerakan usus

    o Refluks gastroesofageal

    o Sepsis intraabdomen

    (Richard et al, 2001)

    2.3.7 Prognosis

    Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum adalah 90 -

    95%. Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta

    abnormalitas congenital yang menyertainya. Morbiditas dan mortalitas telah

    membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir. Adanya kemajuan

    dibidang anestesi pediatric, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka

    kesembuhannya telah meningkat hingga 90%. Menurut Milar (2005),

    walaupun prognosis atresia duodenal secara general bagus namun angka

    kematian sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital diindentifikasikan

    sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan permasalah prematur

    lebih jauh meningkatkan resiko kematian 3,7.

  • 17

    BAB III

    KESIMPULAN

    1. Atresia duodenum merupakan kondisi dimana duodenum tidak berkembang

    dengan baik.

    2. Penyebab terjadinya atresia duodenum sampai saat ini belum diketahui,

    namun sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonates

    lainnya seperti sindrom down, maupun penyakit jantung.

    3. Penegakkan diagnosis yaitu dengan anamnesis didapatkan pasien memiliki

    gejala obstruktif usus, yaitu muntah terus menerus. Pada pemeriksaan fisik

    ditemukan distensi abdomen. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan double

    buble.

    4. Tindakan bedah yang dilakukan ialah sesuai dengan tipe atresi duodenum.

  • 18

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK,. 2011. Duodenal Atresia and

    Hirchsprung Disease in a Patient with Down Syndrome. European Journal

    of General Medicine, June 2011,Vol 8 Issue 2, p. 157.

    2. Dorland, W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

    Hal 206 dan 1113.

    3. Millar A. J. W., Gosche J. R., and Lakhoo K. 2003. Intestinal Atresia and

    Stenosis. Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa Chapter

    63. p.385-388.

    4. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran.Jakarta :

    EGC.

    5. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and

    Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230

    6. Wyllie, R. 2007. Intestinal Atresia, Stenosis, and Malrotation: Nelson

    Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 327.

    7. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. 2001.

    Sonographic Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J

    Roentgenol.2001;131:701-702

    8. Alan PL, James AM. Congenital Duodenal Abnormalies in a Adult. Arch

    Surgery.2001;136:578-561

    9. Free FA, Barry G. Duodenal Obstruction in the Newborn Due To Annular

    Pancreas. Surg.2004;103:321-325

    10. Langman, 2009. Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The

    British Journal of Radiology.2011;66: 86-88

    11. Fellicitas, Eckoldt-Wolke, Afua A. J. Hesse, Sanjay Krishnaswami. 2009.

    Chapter 62: Duodenal Atresia and Stenosis. Afr J Paediatr Surg 2009; 6:11

    13.

    12. Kessel D, Bruyn D, Drake F. Ultrasound Diagnosis Of Duodenal atresia

    combined with isolated oesophageal atresia. Br. J. Radiol. 1993 Jan; 66

    (781): 86-8.

  • 19

    13. Blanco-Rodrguez, G., Penchyna-Grub, J., Porras-Hernndez, JD.,

    TrujilloPonce A. 2008. Transluminal Endoscopic Electrosurgical Incision

    of Fenestrated Duodenal Membranes. Pediatric Surgery Int. Epub :711

    714.