referat asma tata

54
Tinjauan Pustaka  PENAT ALAKSANAAN ASMA PERSISTEN P ADA ANAK Oleh: Strata Pertiwi, S.Ked I1A010007 Pembimbing: dr. Khairiyadi,M.Kes, Sp.A SMF ILMU KESEHATAN ANAK FK UNLAM – RSUD ULIN BANJARMASIN JULI 2014

Upload: aina-nurlaila

Post on 13-Oct-2015

46 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

punya tata

TRANSCRIPT

Tinjauan PustakaPENATALAKSANAAN ASMA PERSISTEN PADA ANAKOleh:

Strata Pertiwi, S.Ked

I1A010007Pembimbing:

dr. Khairiyadi,M.Kes, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FK UNLAM RSUD ULIN

BANJARMASIN

JULI 2014

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BABI PENDAHULUAN......................................................................................

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................

7

A. Definisi .................................................................................................

7

B. Epidemiologi ........................................................................................

8

C. Faktor Resiko .......................................................................................

15 D. Klasifikasi .........................................................................................

17E. Patogenesis ...........................................................................................

20

F. Mekanisme Asma .................................................................................

20G. Diagnosis ............................................................................................

35H. Diagnosis Banding .............................................................................

38

I. Penatalaksanaan .................................................................................

39J. Pencegahan ........................................................................................

51

K. Prognosa .............................................................................................

60

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Derajat searngan asma ................................................................

18

Tabel 2. Klasifikasi serangan asma .........................................................

19Tabel 3. Mediator sel mast dan pengaruhnya terhadap asma....................

34

Tabel4. Diagnosis asma ...........................................................................................37Tabel 5. Dosis glukokortikoid .....................................................................

43

Tabel 6. Onset dan durasi obat...............................................................

46

Tabel 7. Pengobatan sesuai derajat serangan..........................................

50

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi saluran nafas .............................................................................. 13

Gambar 2. epidemiologi ............................................................................................. 15Gambar 3. Respon imun pada asma ............................................................................. 22

Gambar 4. Penyempitan saluran nafas pada asma ..................................................... 24Gambar 5. Patogenesis .............................................................................................. 33Gambar 6. Algoritme tatalaksana asma ..............................41

Gambar 7. alur tatalaksana asma pada anak ..............................42BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik saluran nafas yang berhubungan dengan hiperesponsif dan penyempitan saluran nafas yang menimbulkan gejala gejala gangguan pernafasan secara episodic yang membaik secara spontan atau setelah pemberian obat. Dengan mengobatinya asma dapat dikontrol secara efektif hingga jarang terjadi eksaserbasi dan penderita dapat menjalani kualitas hidup yang baik1. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma(GINA)2.

Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh

National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota3.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.1 Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat.1,2,3GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafasdengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Padaorang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesaknafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejalatersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namunbervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupundengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitasjalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untukkepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batukpersisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderungpada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranyaaktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun denganpengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.4

2. Anatomi dan fisiologi

Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.2Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.2Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang.Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.2Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:7

1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru.

2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.

3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.2Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.2

Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma

3. Epidemiologi

Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan.3

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.5

Asma merupakan masalah diseluruh dunia. Diperkirakan mengenai lebih dari 300 juta individu diseluruh dunia. Berdasarkan hasil metode untuk mengukur prevalansi pengidap penyakit ini pada anak dan dewasa, terlihat hasil prevalansi global berkisar dari 1%- 18% dari populasi berbagai negara. Terdapat bukti kenaikan yang nyata pada prevalansi pasien berbagai negara dengan penyakit asma. The World Health Organization memperkirakan 15 juta (1%) individu menjadi cacat akibat asma pertahun, dan kematian berkisar 250,000 individu dimana hal ini tidak ada hubungannya dengan meningkatnya prevalensi tiap negara.5

Gambar 24. Faktor Resiko

Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Atopi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hiperreaktivitas bronkus

Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis Kelamin

Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.

d. Ras

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

5. Faktor Pencetus

Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :

1. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah

b. Alergen luar rumah

2. Faktor Lain

a. Alergen makanan

b. Alergen obat obat tertentu

c. Bahan yang mengiritasi

d. Ekspresi emosi berlebih

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

6. Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.2Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut)7 :

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1)Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa7

Table 1. derajat serangan asma2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan77. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.1,8Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik. 1,8

Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf. 1,81. Inflamasi Saluran Napas

Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.8a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan Th2mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC). 1,8

b. Mekanisme limfosit T-IgE

Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan me-ngontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi.

c. Mekanisme limfosit TnonIgE

Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (Airway Hyperresponsiveness/AHR).

Gambar 3. Respon Immun Pada Asma

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas

Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF). 1,8

Gambar 4. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi

Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti.

a. Sel mast

Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR.

b. Makrofag

Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit.

c. Eosinofil

Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.

d. Neutrofil

Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.

e. Limfosit T

Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.

f. Basofil

Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen.

g. Sel dendrit

Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.

h. Sel struktural

Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8

4. Mediator Inflamasi

Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.8

a. Histamin

Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.

b. Prostaglandin

Prostaglandin (PG)D2dan PGF2merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin E2menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan prostaglandin.

c. Platelet activating factor (PAF)

Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit.

d. Leukotrien

Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.

e. Sitokin

Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan olehlimfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk IgE.

f. Endotelin

Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.

g. Nitric oxide (NO)

Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal.

h. Radikal bebas oksigen

Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.

i. Bradikinin

Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.

j. Neuropeptida

Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.

k. Adenosin

Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8

5. Mekanisme Saraf

Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks.

a. Mekanisme kolinergik

Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.

b. Mekanisme adrenergik

Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.

c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)

Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8

Gambar 5. Patogenesis Asma9Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma10MediatorPengaruh terhadap asma

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin dan Thromboksan A2

Bradikinin

Platelet-activating factor (PAF)Kontruksi otot polos

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin dan Thromboksan E2

Bradikinin

Platelet-activating factor (PAF) Chymase

Radikal oksigenUdema mukosa

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin

Hidroxyeicosatetraenoic acidSekresi mukus

Radikal oksigen

Enzim proteolitik

Faktor inflamasi dan sitokinDeskuamasi epitel bronkial

8. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.1,2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.1,2 Pemeriksaan Laboratorium

Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot Leyden).1,2 Pemeriksaan Penunjang

Spirometri

Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.

Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.

Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

Tabel 4. Diagnosis Asma1,2,3

9. Diagnosis Banding

Bronkitis kronikBronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.

Emfisema paruSesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya.

Gagal jantung kiri Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru. Emboli paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

10. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.1,2,3,10Tujuan penatalaksanaan asma2: Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise Menghindari efek samping obat Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel Mencegah kematian karena asmaPenatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.2Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan pengobatan medikamentosa :

Pengobatan non-medikamentosa

Penyuluhan

Menghindari faktor pencetus

Pengendali emosi

Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa Gambar 6.Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.

Gambar 7. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak Klinik / IGD

Gambar 8.Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Asma episodik jarang

3-4 minggu, obat

dosis / minggu

> 3x < 3x

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Asma persisten

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.10Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain

Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi1,3,10DewasaDosis rendahDosis mediumDosis tinggi

Obat

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

200-500 ug

200-400 ug

500-1000 ug

100-250 ug

400-1000 ug

500-1000 ug

400-800 ug

1000-2000 ug

250-500 ug

1000-2000 ug

>1000 ug

>800 ug

>2000 ug

>500 ug

>2000 ug

AnakDosis rendahDosis mediumDosis tinggi

Obat

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

100-400 ug

100-200 ug

500-750 ug

100-200 ug

400-800 ug

400-800 ug

200-400 ug

1000-1250 ug

200-500 ug

800-1200 ug

>800 ug

>400 ug

>1250 ug

>500 ug

>1200 ug

Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi.Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Agonis beta-2 kerja lamaTermasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-210OnsetDurasi (Lama kerja)

SingkatLama

CepatFenoterolProkaterolSalbutamol/ AlbuterolTerbutalinPirbuterolFormoterol

LambatSalmeterol

Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.Termasuk pelega adalah 1,10:

Agonis beta2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofillin

Adrenalin

Agonis beta-2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring). Cara pemberian pengobatanPengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 1,3,10: lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas efek sistemik minimal atau dihindarkan beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 1,3,10Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat AsmaMedikasi pengontrol harianAlternatif / Pilihan lainAlternatif lain

Asma IntermitenTidak perlu---------------

Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug BD/hari atau ekivalennya) Teofilin lepas lambat

Kromolin

Leukotriene modifiers------

Asma Persisten Sedang

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau Ditambah teofilin lepas lambat

Asma Persisten Berat

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ( 1 di bawah ini:

teofilin lepas lambat

leukotriene modifiers glukokortikosteroid oralPrednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mgditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

PENGOBATAN BERDASARKAN DERAJAT BERAT ASMA

Asma Intermiten

Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal. 7,10Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten sedang. Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan , atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene modifiers ; atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin . Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.7,10

Asma Persisten Ringan

Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari . 7,10Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya.

Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari . Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah. 7,10Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.

Asma Persisten Berat

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari . Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari. 7Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) . Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.7,10Indikator asma tidak terkontrol

Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma

Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut

Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau exercise-induced asthma)

11. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :2,31. Status asmatikus

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Pneumothoraks

5. Emfisema

12. Pencegahan Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma. 3Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan menjanjikan. 3a. Periode prenatal

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis. 3Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan. 3b. Periode postnatal

Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang. 3Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan . Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen. 3

Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi . 3,5Pencegahan sekunder

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma. 3,5Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung. 3,5Pencegahan Tersier

Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat. 3,513. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang.6Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya 9%.6DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia. Nopember 2008; 58(11), 444-51.2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya : Airlangga University Press. 2002. h 263 300.

3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan asma di Indonesia. 2003. h 73-54. Pocket Guide for Asthma management and Prevention. Gina ( Global Initiative for Asthma ). Updated 2011.5. National Heart Lung and Blood Institute. Stop Asthma Today. NIH. Update September 2010. h 10-75426. Pustaka Medik. Asma bronchial pada Anak. May 2012.7. Asthma Manajement, step therapy guideline for managing asthma in adults and children. Update August 20098. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 6.

9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 82.10. Mcfadden ER. Clinical guideline for the diagnosis, evaluation and management of adult and children with asthma. NewYork : Department of health. Updated July 201311. Goldman Lee, Schafer Andrew, et al. Goldmans Cecil Medicine. Asthma, America. 2012.12. The Expert Panel Report 3 Summary Report 2007 : Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Expert panel of NAEPP Coordinating Committee, coordinated by the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) of the National Institute of health National Institute of Institutes of health, USA.2008BATUK, MENGI, SESAK

Obstruksi difus saluran napas

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Melepas MEDIATOR :

Histamin

Prostaglandin (PG)

Leukotrien (L)

Platelet Activating Factor (PAF), dll

Banyak Sel :

Sel Mast

Eosinofil

Netrofil

Limfosit

pemicu

Hiperreaktivitas

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

Dirawat di ICU

Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Pulang

Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak Perbaikan

Perbaikan

Pengobatan Awal

Oksigenasi dengan kanul nasal

Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)

Kortikosteroid sistemik :

- serangan asma berat

- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator

- dalam kortikosterois oral

Serangan Asma Mengancam Jiwa

Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Ringan

Respons buruk dalam 1 jam

Resiko tinggi distress

Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran menurun

APE < 30%

PaCO2 < 45 mmHg

PaCO2 < 60 mmHg

Respons Tidak Sempurna

Resiko tinggi distress

Pem.fisis : gejala ringan sedang

APE > 50% terapi < 70%

Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons baik

Respons baik dan stabil dalam 60 menit

Pem.fisi normal

APE >70% prediksi/nilai terbaik

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik

(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Dirawat di ICU

Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik

Kortikosteroid IV

Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV

Aminofilin drip

Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik

Dirawat di RS

Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik

Kortikosteroid sistemik

Aminofilin drip

Terapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi

Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin

Pulang

Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2

Membutuhkan kortikosteroid oral

Edukasi pasien

Memakai obat yang benar

Ikuti rencana pengobatan selanjutnya

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)

Tatalaksana awal

nebulisasi (-agonis 1-3x, selang 20 menit (2)

nebulisasi ketiga + antikolinergik

jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Serangan sedang

(nebulisasi 1-3x,

respons parsial)

berikan oksigen (3)

nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi

pasang jalur parenteral

Serangan ringan

(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)

observasi 2 jam

jika efek bertahan, boleh pulang

jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang

Serangan berat

(nebulisasi 3x,

respons buruk)

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi

pasang jalur parenteral

nilai ulang klinisnya, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap

foto Rontgen toraks

Boleh pulang

bekali obat (-agonis (hirupan / oral)

jika sudah ada obat pengendali, teruskan

jika infeksi virus sbg. pencetus, dapat diberi steroid oral

dalam 24-48 jam kon-trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi

Ruang Rawat Sehari/observasi

oksigen teruskan

berikan steroid oral

nebulisasi tiap 2 jam

bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

Ruang Rawat Inap

oksigen teruskan

atasi dehidrasi dan asidosis jika ada

steroid IV tiap 6-8 jam

nebulisasi tiap 1-2 jam

aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan

jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang

jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Catatan:

Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan (-agonis + antikolinergik

Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif

Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali

Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

PE

NGHINDARAN

Obat diganti kortikoteroid oral

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:

(-agonis kerja panjang

teofilin lepas lambat

antileukotrien

atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

(-agonis kerja panjang (LABA)

teofilin lepas lambat

antileukotrien

atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)

Tambahkan obat pengendali:

Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

Obat pereda: (-agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

PAGE 2