refer at

35
BAB I PENDAHULUAN Demensia adalah suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan sebagin besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang luas. Gejala demensia seperti ke hilangan memori, gangguan berbahasa, disorientasi, perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar karakter (1). Pada demensia terjadi gangguan kognitif yang cukup mengganggu fungsi sosial ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses neurodegenaratif dan proses iskemik (2). Di USA, demensia telah menjadi masalah kesehatan yang sangat penting. Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (2). Pada tahun 2005 penderita demensia di kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 jumlah ini akan meningkat menjadi 64 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah kasus demensia baru di kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050 jumlah ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru per tahun (3). Selain itu, lamanya durasi, bebab pengasuhan dan biaya yang terkai dalam perawatan dan 1

Upload: fiqhiyatun

Post on 03-Jul-2015

182 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Demensia adalah suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan sebagin

besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang luas.

Gejala demensia seperti kehilangan memori, gangguan berbahasa, disorientasi,

perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-

hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar karakter (1). Pada

demensia terjadi gangguan kognitif yang cukup mengganggu fungsi sosial

ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses

neurodegenaratif dan proses iskemik (2).

Di USA, demensia telah menjadi masalah kesehatan yang sangat penting.

Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada

usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (2). Pada tahun 2005 penderita

demensia di kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun

2050 jumlah ini akan meningkat menjadi 64 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah

kasus demensia baru di kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050

jumlah ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru per tahun

(3). Selain itu, lamanya durasi, bebab pengasuhan dan biaya yang terkai dalam

perawatan dan kontribusi pada penderita demensia menjadi masalah besar dalam

kesehatan (2).

Faktor risiko terjadinya demensia meliputi semakin bertambahnya usia

semakin besar risiko terjadinya demensia. Stroke dan factor risiko kardiovaskular

yang menjadi factor meningkatkan risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi,

hiperlipidemia, diabetes merupakan factor risiko terjadinya demensia (4).

Penatalaksanaan demensia meliputi terapi farmakologis maupun non

farmakologis. Terapi farmakologis meliputi penggunaan obat-obatan berupa

antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer,

cholinesterase inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya. Terapi non farmakologis

meliputi intervensi kognitif dan psikososial serta aktivitas fisik (5,6).

1

Page 2: Refer At

Oleh karena itu perlu dilakukan penelusuran kepustakaan tentang demensia

untuk memberi pengetahuan tentang demensia dan untuk mencegah perburukan

kognitif ke arah demensia dan pengobatan terhadap demensia serta untuk

mengetahui terapi agar dapat meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang

menderita demensia.

2

Page 3: Refer At

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Terdapat sejumlah definisi tentang demensia, tetapi semuanya harus

mengandung 3 hal pokok yaitu gangguan kognitif, gangguan tadi harus

melibatkan berbagai aspek fungsi kognitif dan bukannya hanya sekedar penjelasan

defisit neuropsikologik, dan pada penderita tidak terdapat gangguan kesadaran (7).

Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan

sebagin besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang

luas. Gejala demensia seperti kehilangan memori, gangguan berbahasa,

disorientasi, perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar

karakter (1). Gangguan kognitif yang terjadi cukup mengganggu fungsi social

ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses

neurodegenaratif dan proses iskemik (2).

Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara

multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik system

saraf pusat, tidak disertai penurunan kesadaran secara akut seperti halnya terjadi

pada delirium (7).

II.2. Epidemiologi

Di kawasan Asia Pasifik, pada tahun 2005 penderita demensia berjumlah

13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 diprediksikan jumlah ini akan

meningkat menjadi 64,6 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah kasus baru di

kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050 jumlah ini

diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru pertahun (3).

Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada

usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (2).

3

Page 4: Refer At

KESELURUHAN PREVALENSI: CHINA, INDIA DAN KAWASAN LAIN, 2005-50

Berikut adalah tabel prevalensi dan insidensi demensia di kawasan Asia

Pasifik :

I.3. Jenis-jenis Demensia

Demensia terdiri dari beberap jenis yaitu (7) :

1. Demensia jenis Alzheimer pembagiannya terdiri dari demensia

Alzheimer dengan awitan dini (usia 65 tahun), dengan awitan lambat (usia

diatas 65 tahun), dengan delirium, dengan waham, dengan perasaan

depresif,tanpa penyulit (7).

Manifestasi demensia jenis Alzheimer yaitu (7) :

4

Page 5: Refer At

a. Gangguan memori : muncul tahap awal, gangguan ,memori hal-hal

yang baru lebih berat daripada hal-hal yang lama, memori verbal

dan visuil juga terganggu, ,memori prosedural relatif masih baik

b. Gangguan perhatian : muncul pada tahap awal, sulit untuk

merubah mental set, sulit untuk mendorong perhatian dan

preverasi, gangguan untuk mempertahankan gerak yang terus-

menerus

c. Gangguan fungsi visuo-spasial : muncul pada tahap awal,

gangguan dalam hal menggambar dan mencari/menemukan alur

d. Gangguan dalam pemecahan masalah : muncul pada tahap awal,

gangguan dalam hal abstraksi dan menyatakan pendapat.

e. Gangguan dalam kemapuan berhitung : muncul pada tahap awal

f. Gangguan kepribadian : hilangnya rem, agitasi, mudah tersinggung

g. Gangguan isi pikiran : waham

h. Gangguan afek : depresi

i. Gangguan berbahasa : sulit menemukan kata yang tepat, artikulasi

dan komprehensi relatif masih baik

j. Gangguan persepsi : gangguan visual, penghidu, dan pendengaran;

halusinasi, ilusi

k. Gangguan praksis : apraksia ideasional dan ideomotor

l. Gangguan kesadaran akan penyakit : menolak pendapat bahwa dia

sakit, mungkin diikuti waham, konfabulasi, dan indifference

m. Gangguan kemampuan sosial : muncul di kemudian hari, tidak

begitu mencolok

n. Defisit motorik : muncul dikemudian hari, relatif ringan

o. Inkontinensia urin dan alvi : muncul dikemudian hari

p. Kejang / epilepsi : muncul dikemudian hari

2. Demensia vaskular (dahulu multi-infark demensia) merupakan penyebab

kedua demensia setelah penyakit Alzheimer (8). Pembagiannya ialah

demensia vaskular dengan delirium, dengan waham, dengan perasaan

depresif dan tanpa penyulit (7,8)

5

Page 6: Refer At

Penjelasan tentang demensia vaskular adalah sebagai berikut (7) :

- stroke akan menimbulkan demensia apabila jaringan otak yang rusak

meliputi 50-100 gram, dengan demikian disebut sebagai multinfark

demensia

- Sebagian besar penderita dengan kerusakan otak antara 50-100 gram

mengalami stroke berulang kali dan mengenai kedua hemisferium serebri

- Tidak ada hubungan antara munculnya demensia dan tingkat aterosklerosis

serebral

- Lesi otak dibagian mana saja mampu menimbulkan demensia. Sementara

itu, perubahan mental pada lesi otak tunggal bergantung pada arteri yang

terganggu antara lain : a. Serebri media, a. Serebri anterior, a. Serebri

posterior dan infark subkortikal. Stroke belum tentu menimbulkan

demensia; ini perlu sekali dipahami

3. Demensia karena kondisi medik umum lainnya (4)

a. Demensia infeksi HIV

Demensia HIV; pada awalnya berfikir dan berekspresi lambat, sulit

berkonsentrasi, apatis, prilaku masih baik, depresi. Motorik gerakan

lambat dan lemah, ataksia, reflek patologis positif

b. Demensia karena trauma kepala

Demensia bersifat statis, dengan gangguan menetap lesi biasanya besar

dan tunggal.

c. Demensia karena penyakit Parkinson

d. Demensia karena penyakit Huntington

e. Demensia karena penyakit Creutzfeldt-Jakob

Demensia (d dan e) bersifat progresif dengan kerusakan pada serebral.

f. Demensia karena penyakit Pick

Demensia penyakit Pick; klinis mirip Alzheimer perbedaan primer adanya

atropi terutama lobus frontalis dan temporalis.

g. Demensia karena penyakit lainnya

4. Demensia karena penggunaan substansi tertentu dalam jangka lama

5. Demensia karena etiologi multipleks

6

Page 7: Refer At

6. Demensia yang tidak terspesifikasi

II.4. Etiologi

Demensia dapat terjadi karena proses degenatif maupun non generatif.

Patofisiologi demensia vaskular berhubungan dengan etiologi vaskular seperti

penyakit serebrovaskular dan faktor resiko vaskular (seperti infark pada otak,

white matter lessions dan atropi usia, pendidikan, jenis kelamin dan faktor

kognitif (seperti kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif) (2,8,9).

Diabetes melitus (DM) dapat meningkatkan resiko demensia pada lanjut

usia. Hal ini melibatkan mekanisme multipel, efek tidak langsung DM yaitu dapat

menyebabkan infark mikrovaskular sehingga menimbulkan disfungsi serebral

seperti stroke (10).

Penggunaan hormonal jangka panjang dapat meningkatkan risiko

terjadinya demensia. Menurut Women’S Health Initiative Memory Study

insidensi demensia pada wanita usia 65 tahun ke atas dengan riwayat penggunaan

hormonal yang lama meningkat (11). Peningkatan berat badan dan perokok dapat

meningkatkan risiko terjadinya demensia vaskular, hal ini dapat dihubungkan

dengan faktor risiko vaskular (8,12).

II.5. Diagnosis

Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,

termasuk gengguan memori, setidak-tidaknya satu diantara gangguan kognitif

berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif.

Deficit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi social atau

okupasional (pergi ke sekolah, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang dan

kegiatan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya

fungsi luhur sebelumnya. Rincian gambaran klinik dimensia adalah sebagai

berikut: (7)

1. Gangguan memori, dalam bentuk ketidakmampuan untuk belajar tentang

hal-hal baru atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau

dipelajari. Pada dimensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian

berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota

keluarga, dan bahkan namanya sendiri. (7)

7

Page 8: Refer At

2. Afasia, dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda.

Penderita afasia berbicara secara samara-samar atau terkesan hampa. Dengan

ungkapan kata-kata yang panjang dan menggunakan istilah-istilah yang tidak

menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan atau tertulis dapat juga

terganggu. Pada tahap lanjut penderita bisa menjadi bisu tau mengalami

gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (meniru apa yang ia dengar)

atau palilalia (mengulang suara atau kata terus-menerus). (7)

3. Apraksia, ialah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun

kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap

baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menyisir rambut,

melambaikan tangan, memasak, mengenakan pakaian, menggambar. (7)

4. Agnosia, ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda

meskipun fungsi sensoriknya utuh. Contohnya penderita tidak mengenali

kursi, pena meskipun visusnya baik. Demikian pula, meski taktilnya utuh,

penderita tidak mampu mengenali benda yang diletakkan ditangannya atau

yang disentuhnya. (7)

5. Gangguan fungsi eksekutif, merupakan gejala yang sering dijumpai pada

dimensia. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berfikir abstrak,

merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan memantau dan

menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan ini berkaitan dengan

gangguan pada lobus frontalis atau jaras subkortikal yang berhubungan

dengan lobus frontalis.(7)

6. Gejala yang lain, sangat bervariasi. Penderita dimensia dapat mengalami

gangguan orientasi ruang dengan demikian akan sulit untuk melakukan

kegiatan yang berkaitan dengan ruangan sementara itu, wawasannya menjadi

sempit dan sulit untuk menyatakan pendapat. Penderita kurang atau tidak

menyadari adanya gangguan memori atau kelainan kognitifnya. Penderita

melakukan pengukuran yang tidak realistik terhadap kemampuannya dan

membuat rencana yang tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya.

Memperhitungkan resiko dalam aktivitasnya juga dapat keliru. Kadang-

kadang penderita demensia dapat membahayakan orang lain dengan tindakan

8

Page 9: Refer At

kekerasan yang dilakukannya. Dapat terjadi percobaan bunuh diri, terutama

pada tahap awal, dimana penderita masih lebih mampu melaksanakan rencana

kerjanya. Demensia kadang-kadang disertai gangguan motorik : mudah

terjatuh pada saat berjalan. Sementara penderita memperlihatkan tingkah laku

yang tidak terkendali atau aneh, misalnya membuat lelucon yang tidak lucu,

lupa akan higiene dirinya, memperlihatkan hal-hal yang tidak pantas kepada

orang lain, atau tak menganggap lagi adanya aturan sosial yang berlaku. Suara

tertelan pada demensia berkaitan dengan gangguan subkortikal misalnya pada

penyakit parkinson, Huntington, serta beberapa kasus demensia vaskular.

Gangguan kognitif multipleks pada dimensia seringkali berhubungan dengan

gangguan tidur dan berperasaan. Waham sering muncul pada demensia.

Halusinasi dapat terjadi pada seluruh modalitas sensorik, tetapi yang paling

sering adalah halusinasi visual. Penderita demensia rentan terhadap stressor

fisik ( penyakit atau tindakan bedah minor) dan psikososial (berkunjung ke

Rumah sakit, turut belasungkawa), yang dapat memperberat defisit intelektual

dan masalah-masalah lainnya yang terkait. Beberapa penderita menunjukkan

adanya gangguan ekstrapiramidal, abnormalitas aktifitas susunan saraf pusat

dan saraf tepi, inkontinensia urin dan feses. Kejang dapat terjadi tetapi sangat

jarang ditemukan. (7)

7. Tanda klinik dan kondisi medik secara umum, bergantung pada riwayat

penyakit, letak dan tahap perjalanan proses patologis yang mendasarinya.

Penyebab utama demensia adalah penyakit Alzheimer, kemudian diikuti oleh

penyakit vaskular dan kemudian faktor etiologi multipleks. Penyebab-

penyebab lainnya ialah penyakit Pick, hidrosefalus, normotensif, penyakit

Parkinson, penyakit Huntington, trauma kepala, tumor otak, anoksia, infeksi,

penyakit endokrin, penyakit Creutzfeldt-Jakob, defisiensi vitamin, penyakit

imunologik, penyakit hepar, gangguan metabolik dan sklerosis multipleks

(DSM-IV, 1994). (7)

8. Gambaran spesifik tentang budaya dan umur, perlu dipahami untuk

melengkapi data tentang demensia. Latar belakang budaya dan pendidikan

perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi kapasitas mental seseorang.

9

Page 10: Refer At

Sekelompok orang dengan latar belakang tertentu mungkin saja tidak mengerti

sama sekali tentang pengetahuan umum (misalnya nama presiden,

pengetahuan geografi), memori (tanggal lahir yang dalam budayanya tidak

diperingati secara rutin), dan orientasi (perasaan tentang tempat atau lokasi

yang tidak pernah diperhatikan). Perbedaan dalam hal penyebab demensia,

apabila diberlakukan untuk semua kelompok budaya sangat bervariasi. Umur

awitan demensia bergantung pada etiologi, namun demikian biasanya pada

usia lanjut dengan puncak prevalensi diatas 85 tahun. Gangguan yang jelas

dalam hal memori dan keterampilan multipleks, yang diperlukan untuk

mendiagnosa demensia, mungkin sulit didapatkan pada usia balita. Dengan

demikian, diagnosis demensia praktis tidak bisa ditegakkan pada usia tersebut

sampai mereka berumur lebih tua (antara 4-6 tahun). Pada individu berusia

dibawah 18 tahun dengan retardasi mental, diagnosis demensia dapat

ditegakkan apabila kondisinya tidak hanya dicirikan oleh retardasi mental saja.

Demensia jarang terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi dapat terjadi akibat

penyakit tertentu misalnya cedera kepala, tumor otak, infeksi HIV, stroke,

adrenoleukodistrofi. (7)

9. Perjalanan klinik demensia, secara historis telah berubah. Istilah demensia

memang menunjuk pada makna progresif atau suatu yang tidak kembali lagi

(irreversibel). Namun demikian, defisiensi demensia didasarkan atas pola

defisit kognitif dan tidak membawa konotasi prognosis. Demensia dapat

bersifat progresif, statik atau mengalami remisi. Pola awitan dan gejala klinik

berikutnya bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Tingkat disabilitas

tidak hanya bergantung pada beratnya gangguan kognitif tetapi juga

bergantung pada pendukung sosial. Pada demensia lanjut, penderita dapat

terlupa secara total terhadap lingkungannya dan memerlukan perawatan yang

konstan. Penderita demensia lanjut rentan terhadap kecelakaan dan penyakit

infeksi, yang seringkali bersifat fatal. (7)

Kriteria diagnosis demensia jenis Alzheimer (DSM-IV) ( 7)

A.Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh kedua keadaan berikut

ini:

10

Page 11: Refer At

1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk mempelajari hal baru atau

menyebut kembali informasi yang baru saja diperolehnya).

Satu (atau lebih) dari gangguan kognitif berikut ini:

a. Afasia (gangguan bahasa)

b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik,

sementara fungsi motoriknya normal)

c. Agnosia (tak dapat mengenal atau mengidentifikasi objek walaupun

fungsi

sensoriknya normal.

d. Gangguan fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasi, daya abstraksi,

membuat urutan)

B. Defisit kognitif pada A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan

jelas dalam fungsi sosial atau okupasional dan menggambarkan penurunan

tingkat kemampuan fungsional sebelumnya secara jelas.

C. Awitan bersifat bertahap dan fungsi kognitif menurun terus-menerus.

D. Defisit kognitif pada A1 dan A2 tidak disebabkan oleh :

1. Gangguan sistem saraf sentrallainnya yang menyebabkan defisit memori

dan kognisi yang progresif (gangguan peredaran darah otak, penyakit

Parkinson, penyakit Huntington, hematome subdural, hidrosefalus

normotensi dan tumor otak).

2. Gangguan sistemik yang dapat menyebabkan demensia (hipotiroidisme,

defisit vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin, hiperkalsemia,

neuritis, infeksi HIV).

3. Intoksikasi bahan kimia/obat-obatan.

E. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.

F. Gangguan yang ada tidak menggambarkan kelainan Aksis I (depresi mayor,

skizofrenia).

Kriteria diagnosis demensia vaskular (DSM-IV) (2)

A. Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh kedua keadaan

berikut ini: (7)

11

Page 12: Refer At

1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk mempelajari hal

baru atau menyebut kembali informasi yang baru saja diperolehnya).

2. Satu (atau lebih) dari gangguan kognitif berikut ini:

a. Afasia (gangguan bahasa)

b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik,

sementara fungsi motoriknya normal)

c. Agnosia (tak dapat mengenal atau mengidentifikasi objek walaupun

fungsi

sensoriknya normal.

d. Gangguan fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasi, daya abstraksi,

membuat urutan)

A. Defisit kognitif pada A1 dan A2 masing-masing menyebabkan

gangguan fungsi sosial dan okupasional yang jelas dan

menggambarkan penurunan tingkat kemampuan fungsional

sebelumnya secara jelas.

B. Tanda dan gejala neurologik fokal (reflek fisiologis yang meningkat,

reflek patologik positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah,

kelumpuhan anggot gerak) atau bukti radiologik yang menunjukkan

adanya GDPO (infark multipleks yang melibtkan korteks dan

subkorteks) yang dapat menjelaskan kaitannya dengan munculnya

gangguan.

C. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.

Disamping kriteria tersebut di atas, skor Iskemik Hachinski dapat

membantu penegakkan diagnosis klinik demensia vaskular

A. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.

Disamping kriteria tersebut di atas, skor Iskemik Hachinski dapat

membantu penegakkan diagnosis klinik demensia vaskular.

Skor Iskemik Hachinski (7)

Gambaran Skor

12

Page 13: Refer At

Awitan sangat mendadakPerubahan bertahapPerjalanan klinik berfluktuasiBingung malam hariKepribadian relatif baikDepresiKeluhan somatikGangguan emosionalRiwayat hipertensiRiwayat GPDOBukti adanya aterosklerosisGejala neurologik fokalTanda neurologik fokal

2121111112122

Skor ≤ 4 mengesankan adanya demensia degeneratif primer dan skor 8

menggambarkan adanya demensia vaskular

II.5.1. Pemeriksaan klinis

Ada delapan (8) set kriteria dignosis klinik untuk demensia vaskular yang

digunakan pada klinis dan penelitian yaitu: skor iskemik Hachinski original, skor

iskemik Hachinski dengan modifikasi, skor iskemik Rosen, DSM III, DSM III-R,

DSM IV, ICD 10, the state of California Alzheimer’s Disease Diagnostic and

Treatment Center (ADDTC). (7)

1. Pemeriksaan Memori

2. Pemeriksaan kemampuan berbahasa

3. Pemeriksaan apraksia

4. Pemeriksaan daya abstraksi

5. Mini mental stage examination

II.5.2. Pemeriksaan Penunjang

- CT Scan atau MRI;

- EEG (electroencephalography)

- PET (Positron Emission Tomography) dan SPET (Singel photon Emission

Computed Tomography) ialah tes yang digunakan untuk mengukur tingkat

aktivitas pada area otak yang berbeda. (PET) (13)

13

Page 14: Refer At

II.5.3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk Demensia adalah 1) Delirium, 2) Depresi (7)

II.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demensia meliputi non farmakologis dan farmakologis.

Berikut akan diuraikan pengobatan pada penderita demensia.

II.6.1. Non Farmakologi

Terapi non farmakologi pada orang dengan demensia sangat penting untuk

mendukung agen psikofarmakologi yaang digunakan pada pengobatan demensia

dan telah terbukti efektif manfaatnya. Sebelum memberikan suatu intervensi non

farmakologis, masalah periaku/kebiasaan atau gejala yang terdapat pada seorang

penderita harus diidentifikasi dan diperhitungkan dalam hal frekuensi dan tingkat

keparahannya. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dalam hal ini sangatlah

penting. Tujuan dari perawatan penderita harus jelaskan kepada perawat atau

14

Page 15: Refer At

pengasuh penderita; walaupun perilaku yang ditargetkan tidak dapat dihilangkan

sepenuhnya tetapi paling tidak dapat dikurangi dan ditoleransi (14).

Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan

seperti (14):

1. Pendekatan untuk pengasuh

Pengasuh penderita demensia harus mendapat edukasi tentang proses penyakit

dan manifestasi klinis penyakit. Dalam situasi yang baik, peniruan strategi

yang meliputi berfikir dengan tenang, menggunakan sentuhan, musik,

boneka, dan keluarga. Membantu pengasuh mengerti kunci intensitas perilaku

yang sangat penting.

2. Pendekatan Tingkah Laku

Pendekatan yang sangat membantu pada masa lalu harus dicoba

sebelumnya.lebih baik mengalihkan perhatian pasien yang sedang marah atau

agresif dari pada mencoba untuk mengetahui alasan mereka. Mengajukan

pertanyaan tertutup (misalnya ”apakah kamu ingin sereal untuk sarapan?”).

Bukan dengan pertanyaan terbuka seperti ”Makanan apa yang kamu inginkan

untuk sarapan?”. pertanyaan tertutup mungkin akan kurang membingungkan

dan membuat stres pasien. Terapi yang baik berfokus pada respon emosi,

bukan isi dari kata-kata penderita. Penggunaan terapi yang mengingatkan pada

sesuatu seperti menceritakan kembali pengalaman yang menyenangkan.

Selain itu juga digunakan terapi seperti tari, seni, musik dan olah raga. Terapi

seperti ini sudah terbukti bermanfaat pada penderita. Orientasi terhadap

realitas tidak dianjurkan kecuali dalam tahap awal penyakit. Ketika tidak

mengancam halusinasi atau delusi dilaporkan, jaminan kepada pengasuh

mungkin hanya terapi yang dibutuhkan.

3. Modifikasi Lingkungan

Pasien dengan perilaku yang tidak agresif secara fisik, misalnya seperti

mondar-mandir dan berjalan, mungkin akan merespon terhadap penciptaan

lingkungan yang aman dimana mereka dapat berjalan tanpa risiko. Barang-

barang seperti senjata dan pisau harus dijauhkan. Membuat lingkungan yang

aman adalah pekerjaan yang sedang diusahakan. Untuk pasien dalam stadium

15

Page 16: Refer At

lanjut, lingkungan yang aman dapat dicapai hanya dalam pengaturan yang

khusus seperti unit Alzheimer atau fasilitas perawatan jangka panjang.

4. Pengembangan dan Perawatan Rutin

Pasien dengan demensia harus mendapatkan perawatan yang konsisten.

Melayani makan pada waktu yang sama akan mengurangi stres dan

kemungkinan gangguan perilaku.

5. Intervensi Sensorik

Sentuhan mungkinbermanfaat pada banyak orang dewasa yang lebih tua yang

delusional. Terapi musik dan hewan peliharaan yang menciptakan lingkungan

seperti di rumah pada panti jompo, hal ini sepertinya dapat mengurangi

perilaku yang mengarah pada psikosis dan dapat meningkatkan kualitas hidup.

II.6.2. Farmakologi

Terapi farmakologis pada pasien dengan demensia meliputi beberapa jenis

obat sebagai berikut :

1. Antipsikotik Tipikal

Obat-obatan psikotropika, terutama antipsikotik, telah sering digunakan

dalam upaya untuk memperbaiki gejala-gejala psikotik pada demensia.

Namun, hal ini masih kontroversi, karena beberapa persepsi publik

menunjukkan penggunaan antipsikotik pada demensia sebagai sarana untuk

menciptakan "zombie" dalam rangka untuk meringankan beban kerja petugas

kesehatan. Namun, psikosis dan parah agitasi / agresi yang parah dalam

demensia dapat menimbulkan risiko signifikan untuk pasien dan orang-orang

di sekitar mereka, sehingga upaya untuk mengobati gejala-gejala ini memang

diperlukan (15).

Antipsikotik tipikal (juga disebut antipsikotik konvensional) yang pertama

kali dikembangkan pada tahun 1950-an dan bertindak terutama untuk

mengurangi tingkat neurotransmitter dopamin di otak (15).

Obat-obat antipsikotik yang termasuk dalam golongan ini adalah

haloperidol, thioridazine, trifluoperazine dan acetophenazine. Tidak terdapat

16

Page 17: Refer At

perbedaan kemanjuran antara antipsikotik tipikal yang berbeda terhadap gejala

neuropsikiatrik (6).

Sebuah penelitian RCT terhadapt thiridazine vs plasebo didapatkan

perbaikan yang signifikan terhadap agitasi, tetapi tidak menyebutkan efek

samping dari obat tersebut. Dalam beberapa penelitian terdapat bukti yang

jelas bahwa obat antipsikotik tipikal berguna untuk mengobati gejala

neuropsikiatri secara luas. Pada haloperidol terdapat sedikit manfaat dalam

dosis 1,2 – 3,5 mg/d. Namun tidak jelas apakah manfaat yang didapat lebih

besar daripada efek samping yang ditimbulkan, khususnya gejala

ekstrapiramidal dan sedasi. Tidak ada bukti bahwa salah satu obat antipsikotik

tipikal lebih manjur daripada yang lain (6).

Seperti semua obat-obatan antipsikotik dapat menghasilkan efek

samping pada beberapa orang. Yang paling umum gerakan termasuk

gangguan yang mungkin mirip dengan penyakit Parkinson (disebut sebagai

efek samping ekstrapiramidal atau ekstrapiramidal sindrom); mulut kering,

penglihatan kabur dan sembelit (disebut sebagai efek antikolinergik) sehingga

disebut sebagai mereka karena aksi obat ini pada reseptor cholinergic) ;

perasaan pusing atau cahaya headedness; dan penambahan berat badan (15).

Kadang kala antipsikotik dapat menyebabkan efek samping yang lebih

serius seperti diabetes atau sindrom metabolik, sindrom ganas neuroleptic

(demam, pernapasan cepat, berkeringat, kekakuan otot dan mengurangi

kesadaran), dan aritmia jantung (denyut jantung tidak teratur). Antipsikotik

juga dapat meningkatkan risiko stroke pada orang-orang lanjut usia dengan

demensia dan dalam setiap pasien dengan pra-faktor risiko yang ada untuk

stroke (15).

Orang tua dengan demensia beresiko dari serius dan mengancam nyawa

efek samping bila diobati dengan antipsikotik - yang jelas ada peningkatan

risiko stroke dan kecil risiko kematian meningkat ketika antipsikotik (atipikal

dan tipikal) digunakan pada orang-orang lanjut usia dengan demensia (15).

2. Antipsikotik Atipikal

17

Page 18: Refer At

Antipsikotik atipikal dikenal juga sebagai antipsikotik generasi ke dua.

Beberapa contoh golongan ini adalah clozapine, olanzapine, risperidone,

quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole. Terdapat beberapa penelitian yang

menyebutkan manfaat dari olanzapine dan risperidone terhadap pengobatan

neuropsikiatri gejala demensia. Pada dosis 5 – 10 mg/ d olanzapine atau 1,0

mg/d risperidon menunjukkan efek yang efektif terhadap gejala neuropsikiatri

untuk mengobati gejala demensia pada pasien dengan avaskular demensia atau

vaskular demensia. Gejala ekstrapiramidal yang ditimbulkan lebih rendah jika

menggunakan dosis tersebut (6).

Risperidone (Risperdal), ini berlisensi untuk pengobatan demensia

gangguan yang berhubungan dengan perilaku di Inggris: dan kemudian hanya

khusus untuk jangka pendek (sampai 6 minggu ') perlakuan terhadap agresi

terus-menerus sedang sampai parah demensia Alzheimer tidak responsif

terhadap pendekatan non-farmakologis (yaitu orang-orang yang tidak

melibatkan penggunaan obat-obatan) dan di mana terdapat risiko bahaya bagi

pasien atau orang lain. Risperidone (Risperdal) lisensi untuk jangka pendek

pengobatan agresi terus-menerus dalam demensia Alzheimer diberikan pada

tahun 2008 setelah analisis baru dari tiga uji coba terkontrol secara acak

dilakukan pada tanggal 1-3 masalah perilaku pada orang tua menunjukkan

manfaat yang jelas untuk jangka pendek penggunaan risperidone (15).

3. Antidepresan

Penggunaan antidepresan untuk pasien dengan demensia disertai dengan

gejala depresi tersebar luas, tetapi mereka kemanjuran klinis tidak pasti

(cocran). Jenis obat golongan antidepresan adalah sertraline, fluexetine,

citalopran, dan cialis. Dalam percobaan hanya citalopram yang memberikan

manfaat terhadap penderita demensia. Citalopram hanya dapat memperbaiki

agitasi dan labilitas. Dalam beberapa penelitian tampaknya meskipun agen

serotonergik ditoleransi dengan baik tetapi tidak efektif dalam pengobatan

gejala neuropsikiatrik demensia selain depresi (6).

4. Mood Stabilizer

18

Page 19: Refer At

Beberapa contoh golongan ini adalah valproate, carbamazepin. Valproate

tidak menunjukkan hasil yang efektif untuk mengobati gejala neuropsikiatri

demensia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, valproate

menunjukkan efek yang jelek, efek sedasi yang paling umum. Sehingga

penggunaan valproate tidak dianjurkan. Efek carbamazepin juga tidak

menunjukkan bukti yang cukup terhadap pengobatan gejala neuropsikiatri

demensia, terutama efek toksik hematologi dan interaksi obat (6).

5. Cholinesterase Inhibitor

Obat yang termasuk golongan ini adalah galantamin, donepezil,

rivastigmin dan tacrine. Golongan ini direkomendasikan untuk penyakit

demensia Alzheimer ringan dan sedang. Galantamin dapat menunjukkan efek

yang signifikan secara statistik, namun hasil jangka panjang pengobatan tidak

diketahui. Donepezil menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik.

Terdapat peningkatan kognitif dengan penggunaan obat ini, namun dalam

beberapa penelitian hanya menilai secara global sehinga perubahan klinis

tidak pasti. Tidak semua studi menunjukkan perbaikan pada penyakit

Alzheimer dan demensia vaskular. Efek jangka panjang obat ini belum

diketahui. Tacrine menunjukkan efek yang serius terhadap kerusakan hati.

Rivastigmine belum diketahui efek penggunaan jangka panjangnya (6).

6. Obat lainnya

Memantine agen modifikasi neuropeptida. Memantine menunjukkan efek

yang signifikan secara statistik. Terdapat beberapa bukti bahwa penggunaan

memantine menunjukkan peningkatan kualitas hidup, beban pengasuh, dan

pemanfaatan sumber daya. Memantine, N-methyl-D-aspartate receptor

disetujui untuk pengobatan demensia Alzheimer berat dan sedang dan juga

demensia vaskular (6,16).

Selain itu, penderita demensia dengan faktor risiko vaskular dapat

dilakuakan terapi terhadap faktor risiko vaskular penderita (5) :

a. Sebagai faktor risiko vaskular dan komorbiditas berdampak pada

perkembangan dan ekspresi penderita demensia, harus diperiksa untuk

19

Page 20: Refer At

diperlakukan secara optimal pada pasien dengan gangguan kognitif

ringan.

b. Terapi terhadap hipertensi. Terdapat bukti yang baik untuk pengobatan

terhadap hipertensi sistolik (> 150 mmHg) pada semua orang usia tua.

Selain mengurangi gejala stroke, insiden demensia dapat dikurangi.

Target tekanan darah harus 140 mmHg atau kurang.

c. Terdapat beberapa bukti bahwa menobati hipertensi dapat mencegah

penurunan kognitif lebih lanjut yang terkait dengan penyakit

serebrovaskular. Tidak ada bukti yang kuat salah satu golongan lebih

unggul daripada yang lain.

d. Terapi dengan antiplatelet seperti asam asetisalisilat. Saat ini tidak ada

bukti yang mendukung penggunaan asam asetisalisilat pada demensia

diperlakukan secara khusus berhunungan dengan penyakit

serenrovaskular. Asam asetisalisilat atau terapi antiplatelet lainnya harus

digunakan untuk mencegah terjadinya stroke iskemik berulang pada

pasien.

II.7. Pencegahan

Sebenarnya tidak diketahui secara pasti cara mencegah penyakit demensia,

namun secara umum dapat dilakukan dengan menghindari atau mengurangi faktor

risiko vaskular. Pada usia pertengahan dan usia tua harus diperhatikan faktor

risiko vaskular dan faktor risiko modifikasi seperti merokok, konsumsi alkohol,

obesitas, hipertensi, kolesterol). Dan melakukan pengobatan segera bila telah

mengalami faktor risiko tersebut. (1).

II.8. Komplikasi

Demensia pada tahap lanjut dapat menimbulkan beberapa komplikasi

seperti pneumonia, episode demam, dan masalah makan. Komplikasi ini

dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas di atas 6 bulan. Gejala distress dan

intervensi yang membebani umumnya terjadi pada beberapa penderita. Pada suatu

studi kohort penderita prospektif penghuni panti jompo menunjukkan bahwa

20

Page 21: Refer At

pasien dengan demensia lanjut memiliki angka kematian yang tinggi karena

masalah infeksi dan makanan yang cenderung berkembang dalam tahap terminal

demensia (17).

BAB III

PENUTUP

21

Page 22: Refer At

III. 1. Kesimpulan

Demensia merupakan penurunan progresif atau permanen beberapa fungsi

intelektual, mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi penderita. Selain itu

demensia adalah gangguan fungsi intelektual setelah lahir, akibat penyakit organik

otak. Dapat disimpulkan demensia ialah penurunan progresif kapasitas

intelektual akibat penyakit otak. Demensia secara umum dibagi menjadi demensia

vaskular dan non vaskular seperti Alzheimer.

Faktor risiko terjadinya demensia meliputi semakin bertambahnya usia

semakin besar risiko terjadinya demensia. Stroke dan factor risiko kardiovaskular

yang menjadi factor meningkatkan risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi,

hiperlipidemia, diabetes merupakan factor risiko terjadinya demensia.

Penatalaksanaan demensia meliputi nonfarmakologis dan non

farmakologis serta penatalaksanaan terhadap faktor risiko karidiovaskular.

Pendekan non farmakologis merupakan terapi lini pertama pada demensia. Untuk

terapi farmakologis terdapat beberapa golongan obat demensia meliputi

antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer,

cholinesterase inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya, namun terapi

farmakologis ini juga harus didukung dengan pendekatan non farmakologis.

Terhadap penderita dengan factor risiko vascular juga dapat diberikan terapi

terhadap factor risiko tersebut, hal ini terutama pada demensia vascular.

III.2.Saran

Diharapkan akan dilakukan tinjauan kepustakaan yang lebih lanjut

terhadap tatalaksana penyakit demensia karena penulis menyadari banyak terdapat

kekurangan dalam penulisan terhadap tinjauan kepustakaan ini.

22