radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

12
JOURNAL READING GAMBARAN KLINIS DAN RADIOGRAFI DISPLASIA FIBROSA MONOSTOTIK MANDIBULA Oleh : Regina Lintang Saraswati 0810743015 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: hulkijo67271

Post on 26-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

monositik mandibula

TRANSCRIPT

Page 1: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

JOURNAL READING

GAMBARAN KLINIS DAN RADIOGRAFI

DISPLASIA FIBROSA MONOSTOTIK MANDIBULA

Oleh :

Regina Lintang Saraswati 0810743015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

Oktober 2012

Page 2: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

GAMBARAN KLINIS DAN RADIOGRAFI

DISPLASIA FIBROSA MONOSTOTIK MANDIBULA

• Steven R. Singer, DDS •

• Muralidhar Mupparapu, DMD, MDS •

• Joseph Rinaggio, DDS, MS •

ABSTRAK

Artikel ini menjelaskan displasia fibrosa mandibula kronis pada seorang pria 40 tahun.

Penekanan diagnosa ditemukan pada gambaran radiografi. Jika lesi pada mandibula tersebut

telah matang, maka gambaran radiolusensi yang telah membesar akan menjadi sebuah kista

tulang sederhana. Pasien tersebut merasa tidak ada gejala langsung yang berhubungan

dengan cedera mandibula. Berbagai aspek diagnosa, penampilan radiografi, dan diagnosa

banding telah dilakukan. Informasi ini akan berguna untuk semua dokter gigi, ahli bedah mulut,

dan maksilofasial dan petugas kesehatan lainnya untuk mengenali penampilan lesi fibro –

osseous kronis.

Kata Kunci : diagnosis, diferensial, displasia fibrosa tulang, kelainan mandibula.

© J Bisa Dent Assoc 2004, 70 (8) :548-52

PENDAHULUAN

Displasia fibrosa adalah gangguan metabolisme tulang yang diklasifikasikan sebagai lesi

fibro-osseous jinak (benign). Jaringan penghubung fibrosa berisi tulang abnormal yang

menggantikan tulang yang normal. Etiologi displasia fibrosa sendiri tidak diketahui. Gambaran

radiografi dari trabekula berbentuk ireguler nampak pada diagnosa banding. Displasia fibrosa ini

sering terjadi pada pasien yang berumur 20 tahun ke atas. Lesi displasia fibrosa ini dibedah

kontur untuk estetik atau fungsional.

LAPORAN KASUS

Lelaki berusia 40 tahun dirujuk ke klinik radiografi panoramik oral dan maksilofasial, New

Jersey Dental School di Newar oleh klinik emergency di medical centre di institusi yang sama.

Pasien tersebut, supir taxi, mengeluhkan sakit di bagian punggung, leher, dan bahu yang

menjalar ke rahang. Pasien menyebutkan bahwa rasa sakit itu dengan jelas menjalar ke rahang

bawah kiri yang sudah terjadi selama 20 tahun terakhir. Pemeriksaan klinis menunjukkan

Page 3: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

ekspansi mandibula kiri tersebut difus dan bertulang keras. Tidak ada perubahan secara kasat

mata pada kulit atau mukosa intraoral yang berbatasan dengan daerah yang bengkak. Ketika

pasien mengunjungi medical centre sebelumnya, telah dilakukan film radiograf ekstraoral,

termasuk posteroanterior (PA), lateral oblique mandibula kiri dan reverse Towne.

Film radiograf panoramik dengan kualitas tinggi dibutuhkan untuk memvisualisasikan

perpanjangan superior lesi yang tidak didapatkan dari film panoramic biasa. Proyeksi panoramik

menampakkan pembesaran difus di mandibula kiri, yang meluas dari area kaninus kiri ke

kondilus dan meliputi batas inferior, alveolar crest, ramus, dan processus koronoideus. Batas

anterior lesi nampak jelas karena adanya lapisan lesi yang berbatasan dengan tulang normal.

Ekspansi radial lesi nampak jelas di panoramic, PA, sefalometrik, dan reverse Towne, dan lesi

tersebut melenyapkan tulang kortikal sepanjang batas inferior mandibula. Kenyataannya, batas

inferior mandibula seluruhnya digantikan oleh lesi. Gigi posterior mandibula pada sisi yang

terinfeksi terdesak ke atas, dan menyebabkan perubahan oklusi. Meskipun kepala kondilus

nampak memiliki morfologi yang normal, leher kondilus dan processus koronoideus juga

terkena lesi tersebut.

Secara internal, bagian terbesar lesi memiliki tekstur radiopak campuran dengan

perubahan pola trabekula. Pada pusat lesi, terdapat area radiolusen difus kira – kira sebesar 3

x 3 cm yang dikelilingi oleh pinggiran hiperostotik. Area ini menunjukkan kurangnya kekerasan

jaringan tulang dibandingkan area yang mengelilingi lesi.

Figure 1: Photograph of the patient at the time of presentation. Arrows indicate the swelling of the left

mandible.

Figure 3: Panoramic view showing the

anteroposterior and inferior extent of the lesion. The superiormost extent of the lesion is not visible.

Page 4: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

Figure 2: Reverse Towne view demonstrating the extent of the lesion in the buccolingual and inferio-superior dimension

Figure 4: High panoramic view capturing the remodelled neck of the condyle and the coronoid processes of the mandible.

Pasien ini akhirnya dirujuk ke departemen bedah mulut dan maksilofasial di rumah sakit

yang sama, di mana ahli bedah menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan computed

tomography (CT). Gambaran aksial CT menggambarkan radiolusensi unilocular di dalam lesi

bertulang yang berlokasi posteroinferior dalam badan mandibula. Dengan bone window setting,

lesi nampak kasar dkelilingi oleh batas regular dan non-ossified. Mayoritas inti pusat lesi

memiliki densitas yang konsisten dengan jaringan lunak. Coronal CT memastikan perluasan

ramus di mediolateral plane. Morfologi tulang bagian fungsional dari kepala kondilus muncul

relative tidak berubah. Meskipun biopsi telah dipertimbangkan, pasien menolak prosedur

investigasi atau perawatan lebih lanjut terhadap lesi mandibula. Dia meminta perawatan hanya

dilakukan untuk menghilangkan keluhannya saja, yang tidak ada hubungannya dengan lesi

mandibula.

Figure 5: Axial computed tomography view of the mandible (bonewindow setting). The centre of the lesion is radiolucent.

Figure 6: Coronal computed tomography view of the mandible (bonewindow setting) demonstrating the unaffected right mandible as wellas the affected left mandible

.

Page 5: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

Karena keluhan awal pasien adalah nyeri dari punggung dan bahu yang menjalar ke

rahang, pasien dirawat gejalanya untuk kondisi muskoloskeletal postural, yang kemungkinan

berhubungan dengan pekerjannya sebagai sopir taksi.

Diskusi

Displasia fibrosa adalah perkembangan anomali di mana tulang normal digantikan

dengan jaringan penghubung fibrosa. Seiring dengan pertumbuhan lesi, jaringan penghubung

fibrosa digantikan dengan tulang trabekula pola ireguler. Displasia fibrosa adalah kelainan

terlokalisir, di mana kelainan ini dapat melibatkan satu tulang (monostotik) atau multiple

(poliostotik). Studi terakhir menjelaskan berbagai macam bentuk displasia fibrosa terjadi pada

populasi di Hong Kong. Prevalensi displasia fibrosa sebagai berikut: 74% monostotik, 13%

poliostotik, dan 13% kraniofasial. Bentuk monostotik biasanya terjadi selama decade kedua

kehidupan dan menjadi tidak aktif saat dekadi ketiga. Perubahan hormonal, seperti saat

kehamilan, dan mengaktifkan kembali lesi yang tadinya tidak aktif. Bentuk kraniofasial displasia

fibrosa bias difus dan mungkin melibatkan beberapa tulang. Ketika ruang anatomis dan foramen

menyempit karena pearmbahan dari lesi, pasien mungkin mengalami berbagai gejala, termasuk

sakit kepala, kehilangan penglihatan, proptosis, diplopia, kehilangan pendengaran, anosmia,

obstruksi hidung, epistaksis, epiphora, dan gejala sinusitis.

Dengan perkembangan awal displasia fibrosa, pasien biasanya melaporkan

pembengkakan wajah dan asimetri. Meskipun lesi ini biasanya tanpa gejala, perambahan di

kanal dan foramen, serta keterbatasan gerakan, dapat menimbulkan keluhan nyeri dan

ketidaknyamanan. Umumnya keluhan ini terjadi pada laki – laki dan kadang – kadang pada lesi

displasia fibrosa yang sudah dewasa. Rongga tulang tersebut dianalogkan ke kista tulang

sederhana. Rongga tulang tersebut nampak pada kasus ini.

Pada studi McDonald-Jankowski, kebanyakan presentasi radiografi displasia fibrosa

digambarkan dengan buruk, area ovoid (fusiform) dari tulang displastik menampilkan tampilan

dasar seperti kaca. Pada displasia fibrosa mandibula, kanalis mandibula dapat terdesak ke

inferior atau superior. Petrikowski dan kawan – kawan menyatakan bahwa perpindahan kanalis

mandibula adalah sebuah keunikan hingga displasia fibrosa dan mungkin adalah

pathognomonik. Pada kasus ini, kanalis mandibula nampak tereposisi secara inferior. Meskipun

batas displasia fibrosa diketahui sebagai “ill define”, mereka dapat nampak jelas pada

panoramic dan film rangka polos (seperti pada kasus ini) jika batas dari bagian yang meluas

dari lesi tersebut tersuperimpos hingga ke mandibula. Kehilangan lamina dura karena

Page 6: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

pergantian tulang normal dapat menjadi satu dari tanda diagnosa displasia fibrosa. pada kasus

kronis, lesi cenderung menjadi lebih radiopak.

Literatur mengatakan bahwa displasia fibrosa pada wanita dapat tereaktivasi selama

kehamilan. Hubungan ini lebih umum terlihat pada bentuk poliostotik. Lesi cystic menyerupai

kista tulang aneurismal yang telah dicatat dalam asosiasi dengan bentuk monostotik.

Panoramik, reverse Towne, PA, dan lateral skull dapat dengan jelas memvisualisasikan

lesi di mandibula. Dibutuhkan paling tidak 2 gambaran, ekspos pada sudut kanan, untuk menilai

lesi di semua dimensi. Karena kompleksitas anatomi, CT sangat membantu untuk mendapatkan

gambaran lesi di maksila.

Diagnosa banding pada tahap radiolusen awal yaitu : central ossifying fibroma (COF),

central giant cell granuloma (CGCG), kista tulang aneurismal, osteomielitis dan lesi fibro-osseus

awal. Karena lesi – lesi ini merepresentasikan variasi dari proses penyakit dengan sifat

berbeda, termasuk infeksi dan disfungsi endokrin, diagnosa yang tepat menggabungkan klinis,

radiografi, dan kadang – kadang temuan histologist merupakan hal yang sangat penting. \

COF adalah neoplasma jinak yang umumnya memiliki tampakan radiografis dan

histology yang mirip dengan displasia fibrosa. Bagian jaringan COF menunjukan stroma

jaringan penghubung fibrosa selular atau sklerotik yang mengandung trabekula osseous

prominen dalam berbagai ukuran yang dihubungkan dengan osteoblas prominen. Campuran

tulang lamellar dan anyaman dapat terlihat khas. Seringkali, ada juga kalsifikasi ovoid tersebar

menyerupai sementum. Berbeda dengan displasia fibrosa, kapsul kadang –kadang mengelilingi

lesi. Secara radiografi, tepinya konsisten dengan COF, sedangkan tepi displasia fibrosa

cenderung menyatu dengan sekeliling lesi. Kadang kala, batas sklerotik, absent dari displasia

fibrosa, juga dapat terlihta pada COF. COF terjadi kebanyakan pada decade ketiga dan

keempat kehidupan, sedangkan displasia fibrosa lebih umum terjadi di maksila posterior, dan

lesi cenderung membesar. Kedua lesi tersebut cenderung meluas ke korteks tulang.

Perbedaan kedua lesi ini bersifat kritis karena protocol perawatan cukup berbeda. COF,

meskipun jinak, harus dienukleasi karena potensial untuk kambuh. Displasia fibrosa umumnya

self-limiting dan tidak memerlukan pengobatan kecuali untuk alasan kosmetik, nyeri,

ketidaknyamanan, atau gangguan fungsi. Jika dilakukan pengobatan, yang terdiri dari

rekonturing atau reseksi, harus ditunda sampai setelah penghentian pertumbuhan tulang,

karena pengobatan dini dapat mempercepat pertumbuhan lesi.

Tahap awal displasia fibrosa juga harus dibedakan dari CGCG, yang lebih lebih sering

muncul di anterior mandibula, hasil dalam ekspansi umumnya menyakitkan tulang dan muncul

Page 7: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

dalam radiografis sebagai radiolusen unilokuler atau multilokuler cacat dengan baik

digambarkan, non-korticated margins.

Displasia fibrosa juga mirip dengan Paget’s disease pada pemeriksaan klinis, terutama

jika pasien dengan fibrosa displasia tidak nampak hingga kemudian hari. Selain predileksi

Paget’s desease yang menyerang populasi manusia yang lebih tua, beberapa fitur radiografi

dan klinis membantu membedakan lesi ini dari lesi radiografis serupa lainnya. Fitur – fitur ini

termasuk ketebalan korteks, tampilan keterlibatan tulang seperti katun wol dan peningkatan

level darah fosfat alkalin. Fitur klinis yang paling berguna untuk membedakan Paget’s desease

dengan displasia fibrosa adalah Paget’s desease cenderung terjadi secara bilateral di rahang,

sedangkan displasia fibrosa hanya secara unilateral. Secara histologist, Paget’s desease

menunjukkan banyaknya trabekula osseous dengan garis reversal prominen yang menunjukkan

osteoblastik simultan dan aktifitas osteoklastik, tulang yang terkena berada dalam stroma

jaringan penghubung fibrosa yang tervaskularisasi dengan baik. Meskipun osteomielitis

menunjukkan sequestra di tahapan berikutnya, hal ini mirip dengan displasia fibrosa pada

tahapan awal, khususnya jika ada hubungannya dengan pembengkakan. Biasanya, tanda –

tanda keradangan dan adanya pengeringan saluran sinus merupakan indikasi dari

oesteomielitis. Osteomielitis dapat terjadi setelah infeksi pulpa asal odontogenik, meskipun

penyebaran hematogen dari tempat yang jauh juda dilaporkan. Setelah gigi yang terkena

dirawat, lesi seringkali sembuh dengan sendirinya.

Chang dan kawan menjelaskan tentang gadis berusia 6 tahun mengeluhkan nyeri local

hingga ke dagu kiri setelah mengalami trauma kronis. Lesi tersebut awalnya didiagnosa sebagai

osteomielitis kronis, tapi seteleh kegagalan perawatan antibiotik, hingga dicurigai sebagai tumor

tulang malignan setelah diadakannya pemeriksaan MRI. Displasia fibrosa mandibula yang

dihubungkan dengan osteomielitis kronis dikonfirmasi pada kasus ini dengan mengulang biopsy

1 tahun setelah onset awal. Alasan mengapa diagnosa tertunda ditegakkan pada kasus ini

mungkin karena kasus ini memiliki kemiripan klinis dan karakteristik radiologis dengan displasia

fibrosa mandibula dan osteomielitis kronis. Juga, biopsy awal tidak menunjukkan pada lokasi

yang tepat.

Osteomielitis sklerosis difus (DSO) adalah salah satu dari infeksi rahang kronis dan

inflamasi. DSO secara radiografi secara jelas digambarkan sebagai radiiopacity, seringkali

meliputi area luas tulang, di mana mungkin menunjukkan zona radiolusensi kecil. Tulang yang

terkena tidak menunjukkan ekspansi kecuali adanya infeksi yang melibatkan kortikal plate, yang

mungkin menyebabkan reaksi periostal. Secara histology, DSO menggambarkan tulang

sklerotik yang mengalami perubahan area dari aposisi dan resorpsi. Di antara tulang trabekula

Page 8: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

terletak jaringan penghubung fibrosa yang terinfiltrasi oleh sel inflamatori kronis. Displasia

fibrosa seringkali dibedakan dari osteosarcoma pada gambaran radiografi. Gambaran radiografi

pada osteosarcoma adalah orthoradial striation, kerusakan korteks dengan pertumbuhan

komponen jaringan, pelebaran menyeluruh pada ruang ligament periodontal dan kerusakan

lamina dura. Pemeriksaan histopatologis tulang diindikasikan pada semua kasus DSO atau

osteosarcoma.

Meskipun tidak ada indikasi kuat untuk melakukan biopsy pada kasus yang dijelaskan di

sisni, setiap perubahan mendaadak dalam presentasi klinis atau sifat lesi mungkin memerlukan

penyelidikan lebih lanjut.

Referensi

1. White SC, Pharoah MJ. Oral radiology. Principles and interpretation.5th ed. St. Louis

(MO): Mosby Inc; 2004. p. 485–515.

2. McDonald-Jankowski D. Fibrous displasia in the jaws of a Hong-Kong population:

radiographic presentation and systematic review.Dentomaxillofac Radiol 1999;

28(4):195–202.

3. Barat M, Rybak LP, Mann JL. Fibrous displasia masquerading as chronic maxillary

sinusitis. Ear Nose Throat J 1989; 68(1):44–6.

4. Chang CY, Wu KG, Tiu CM, Hwang B. Fibrous displasia of mandible with chronic

osteomyelitis in a child: report of one case. Acta Paediatry Taiwan 2002; 43(6): 354-

7.

5. Langlais RP, Langland OE, Nortje CJ. Diagnostic imaging of the jaws.Baltimore (MD):

Williams & Wilkins; 1995. p. 583–8.

6. Petrikowski CG, Pharoah MJ, Lee L, Grace M. Radiographic differentiation of

osteogenic sarcoma, osteomyelitis and fibrous displasia of the jaws. Oral Surg Oral

Med Oral Pathol Oral Radio Endod 1995;80(6):744–50.

7. Henry A. Monostotic fibrous displasia. J Bone Joint Surg 1969;51(2):300–6.

8. Gallagher PJ. Osteo articular connective tissue disease. In: Underwood JC, editor.

General and systemic pathology. 2nd ed. Edinburgh:Churchill Livingstone; 1996. p.

797.

9. Neville B, Damm D, Allen C, Bouquot J. Oral and maxillofacial pathology. 2nd ed.

Philadelphia (PA): Saunders; 2002. p. 553–6.

10. Ankrom MA, Shapiro JR. Paget’s disease of bone (osteitis deformans).J Am Geriatr

Soc 1998; 46(8):1025–33.

Page 9: radiologi kedokteran gigi monositik mandibula

11. Mintz MC, Dalinka MK, Schmidt R. Aneurysmal bone cyst arising in fibrous displasia

during pregnancy. Radiology 1987; 165(2):549–50.

12. Mendelsohn DB, Hertzanu Y, Cohen M, Lello G. Computed tomography of

craniofacial fibrous displasia. J Comput Assist Tomogr 1984;8(6):1062–5.

13. Revel MP, Vanel D, Sigal R, Luboinski B, Michel G, Legrand I,Masselot J.

Aneurysmal bone cysts of the jaws: CT and MR findings.J Comput Assist Tomogr

1992; 16(1):84–6.

14. Lerda W, Magnano M, Ferraris R, Gerri F, Motta M, Bongioannini G. Differential

diagnosis in fibro-osseous lesions of facial bones: report of a case of ossifying

fibroma and review of literature. Acta Otorhinolaryngol Ital 2002; 22(5):295–300.

15. Slootweg PJ. Maxillofacial fibro-osseous lesions: classification and differential

diagnosis. Semin Diagn Pathol 1996; 13(2):104–12.

16. Groot RH, van Merkesteyn JP, Bras J. Diffuse sclerosing osteomyelitis and florid

osseous displasia. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996;

81(3):333–42.