r e d a k s i - kemlu.go.id diplomasi multilateral vol... · menghadirkan buletin diplomasi...
TRANSCRIPT
2
R E D A K S I
Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral
Redaktur
Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan
Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH
Direktur Sosbud OINB
Penyunting Wakil-wakil dari:
Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan
Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH
Direktorat Sosbud OINB
Alamat Redaksi: Setditjen Multilateral
Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9
Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110
Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411
Email: [email protected]
D A F T A R I S I
Sapa Redaksi ......................................................................... 1
Artikel:
KTT D-8 di Pakistan: Indonesia Dorong Intra-Trade Negara-
negara D-8 .................................................................................... 2
KTM OKI di Djibouti: Dari Isu Palestina, Suriah, Hingga
Penistaan Agama .......................................................................... 4
Indonesia Greeted the UN High Commissioner for Human
Rights ............................................................................................ 7
Menguatkan Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko
Bencana ........................................................................................ 9
Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina ................................... 13
Indonesia dan Agenda Pembangunan Pasca-2015 ................... 17
Indonesia’s Role in the New Global Partnership for Effective
Development Cooperation .......................................................... 22
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 dan Doha Climate
Gateway ...................................................................................... 25
Indonesia Terpilih Sebagai Anggota UNCITRAL Periode 2013-
2019 ............................................................................................ 29
Economic Outlook: Can Emerging Economies Decouple from
the Developed Economies? ......................................................... 31
106 WNI Ikuti Rekrutmen Calon Pegawai PBB .......................... 36
Sekilas Info Diplomasi Multilateral ........................................ 38
Agenda Diplomasi Multilateral ............................................... 42
Isi tulisan dalam Buletin ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber dengan jelas. Penggandaan dan pengutipan untuk tujuan lain harus dengan izin.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 1
S A P A R E D A K S I
Para pembaca yang budiman,
Pergantian tahun selalu mendatangkan sesuatu yang baru; semangat baru, kreativitas baru,
kegembiraan baru. Dengan semangat kebaruan di pergantian tahun itulah kami kembali
menghadirkan Buletin Diplomasi Multilateral ke hadapan pembaca.
Edisi Volume II No. 1 Tahun 2013 ini merupakan edisi pertama di tahun 2013. Isu-isu yang
dibahas di dalamnya adalah isu diplomasi multilateral yang hangat di sepanjang triwulan
Oktober-Desember 2012, antara lain KTT D-8 di Pakistan, KTM OKI di Djibouti, pengakuan
PBB atas status kenegaraan Palestina, pertemuan High Level Panel (HLP) yang membahas
agenda pembangunan pasca-2015, perkembangan negosiasi di bidang perubahan iklim, dan
sebagainya.
Seturut dengan pergantian tahun, kami juga ingin sampaikan bahwa versi PDF dari Buletin
Diplomasi Multilateral telah tersedia di portal Kemlu (www.kemlu.go.id) di bagian Arsip.
Dengan diunduhnya Buletin ini di portal, kami berharap semakin banyak pembaca yang
dapat mengaksesnya secara gampang dan mudah disimpan. Ke depan, kami berencana
mengunduh seluruh terbitan Buletin ini ke portal Kemlu supaya memudahkan pembaca
mengaksesnya.
Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Semoga Buletin ini dapat memberikan manfaat
kepada pembaca.
Salam,
Redaksi
| Volume II No. 1 Tahun 2013 2
KTT D-8 di Pakistan: Indonesia Dorong Intra-Trade Negara-negara D-8
Ariestya Dwi Cahyani*
Para kepala negara/pemerintahan berfoto saat KTT D-8.
Negara-negara yang tergabung ke dalam
Developing Eight (D-8) perlu meningkatkan
perdagangan di antara sesama (intra-trade)
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
mereka. Selain itu, D-8 juga perlu
meningkatkan keterhubungan (konektivitas)
melalui pembangunan infrastruktur, turisme,
transportasi udara, transportasi laut, dan
harmonisasi kebijakan.
Hal tersebut disampaikan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam Pertemuan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-8 D-8
dengan tema “Democratic Partnership for
Peace and Prosperity“ yang diselenggarakan
di Islamabad, Pakistan, pada tanggal 19-22
November 2012.
D-8 sebagai suatu kelompok kerja sama
ekonomi yang memiliki total penduduk
sekitar 1 milyar jiwa atau 15 persen dari
total penduduk dunia merupakan pasar
potensial bagi Indonesia dalam memperluas
pemasaran produk-produk unggulannya.
Dengan telah berlakunya perjanjian
perdagangan (Preferential Trade
Agreement/PTA) dan perjanjian bea cukai
(Customs) antarnegara D-8, percepatan
Volume II No.1 Tahun 2013 | 3
volume perdagangan intra-D-8 sangatlah
potensial. Patut dicatat bahwa dalam kurun
waktu delapan tahun, perdagangan intra-D-
8 telah meningkat lebih dari tiga kali lipat,
dari angka 14,5 juta dolar AS di tahun 1999
menjadi sekitar 50 juta dolar AS di tahun
2007. Diharapkan angka ini dapat
meningkat lagi hingga 500 juta dolar AS di
tahun 2018.
Pada kesempatan itu, Presiden juga
menyerukan agar anggota D-8
meningkatkan sistem perlindungan sosial di
negaranya masing-masing, memperkuat
kerja sama di sektor UKM, ketahanan
pangan, dan pembangunan dalam kerangka
MDGs serta turut berpartisipasi secara aktif
dalam diskusi pembangunan berkelanjutan
pasca-2015. Selain itu Presiden juga
menekankan pentingnya pembangunan
yang berorientasi kepada manusia (human
centered development) dalam rangka
penguatan institusi D-8.
KTT ke-8 D-8 ini diketuai oleh Presiden
Pakistan dan dihadiri oleh Presiden
Indonesia, Presiden Iran, Presiden Nigeria,
Perdana Menteri Turki, Wakil Presiden Mesir,
Deputi Perdana Menteri Malaysia, serta
Penasehat Perdana Menteri Bangladesh.
Didahului oleh pertemuan Menteri dan
Komisi, KTT ke-8 menghasilkan tiga
dokumen akhir, yaitu Piagam D-8, Visi
Global D-8, dan Deklarasi Islamabad. Selain
itu, pada tingkat Menteri juga disepakati
penambahan (amandemen) pada Statuta
Sekretariat yang diharapkan dapat
memberikan penguatan pada tujuan,
struktur, dan pembagian kerja dari
Organisasi dan Sekretariat D-8 yang
dibentuk pada tahun 1997 dan bermarkas di
Istanbul, Turki, ini.
Di sela-sela penyelenggaraan KTT, tuan
rumah juga mengadakan berbagai
pertemuan yang dilaksanakan secara
paralel, yaitu Forum Bisnis, Pertemuan
Kepala Bank Sentral, Pertemuan Kepala
Promosi Ekspor, Seminar Perdagangan,
serta Pameran Dagang. Menjelang
berakhirnya pertemuan, secara terpisah lima
negara anggota D-8, yaitu Indonesia, Iran,
Pakistan, Mesir, dan Turki, melakukan
pembicaraan terkait penyelesaian masalah
Suriah dan Gaza. Pembicaraan ini tidak
terkait dengan D-8, namun lebih pada
ungkapan keprihatinan atas tidak kunjung
usainya krisis yang telah banyak
menimbulkan korban jiwa dan kerusakan.
*Ariestya Dwi Cahyani adalah staf Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 4
KTM OKI di Djibouti: Dari Isu Palestina, Suriah, Hingga Penistaan Agama
Muhammad Yusuf*
Suasana sidang KTM OKI di Djibouti (www.smiic.org)
Indonesia secara konsisten terus menunjukkan komitmennya dalam membantu perjuangan kemerdekaan Palestina. Salah satunya adalah dengan menyerukan kembali perlunya dilakukan langkah-langkah konkret membantu Palestina, antara lain adalah menanggapi berbagai tindakan ilegal Israel, mendukung dan membantu pencapaian keanggotaan Palestina di PBB, serta meningkatkan pembangunan kapasitas Palestina. Hal itu disampaikan delegasi Indonesia dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang
diselenggarakan di Djibouti pada tanggal 15-17 November 2012. Seruan serupa pernah disampaikan Indonesia pada Pertemuan Komite Palestina Gerakan Non-Blok (GNB) di Tehran, Iran, bulan Agustus 2012. KTM OKI merupakan pertemuan reguler yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Tema KTM tahun 2012 adalah “Session of Solidarity for Sustainable Development” yang dihadiri oleh 51 negara anggota OKI (dengan 26 delegasi pada tingkat menteri), observer, dan organisasi serta negara-negara tamu yang diundang. Mahmoud Ali
Volume II No.1 Tahun 2013 | 5
Youssouf, Menteri Luar Negeri Djibouti, bertindak selaku Ketua KTM ke-39 dengan anggota Biro yang terdiri dari Afghanistan, Gabon, Palestina, dan Kazakhstan. Pada kesempatan tersebut, Indonesia juga
menyoroti isu komunitas muslim Rohingya di
Myanmar dan menyesalkan aksi kekerasan
yang terjadi di Myanmar dan mengakibatkan
terbunuhnya warga muslim Rohingya.
Merespons hal itu, Indonesia terus melakukan
pendekatan terhadap Pemerintah Myanmar
agar meneruskan proses demokratisasi dan
mengambil langkah nyata untuk menciptakan
perdamaian, menghentikan pertikaian, dan
memberikan perlindungan bagi semua warga
negara Myanmar, termasuk muslim Rohingya.
Sementara itu, selaku Ketua Komite Perdamaian Filipina Selatan OKI, Indonesia terus berupaya mendorong penyelesaian perdamaian Filipina Selatan. Sesuai Perjanjian Perdamaian 1996, Pemerintah RI (Pemri) melalui KBRI Manila akan melanjutkan konsultasi informal guna mencari solusi atas isu-isu yang belum selesai. Selain itu, Indonesia menyambut baik atas ditandatanganinya the Framework Agreement on Bangsamoro antara Pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pada tanggal 15 Oktober 2012. Krisis di Negara-negara Muslim
Pertemuan KTM di Djibouti ini diselenggarakan dalam suasana yang memprihatinkan pada saat beberapa negara Muslim dilanda krisis. Sekjen OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dalam sambutannya mengatakan bahwa pendudukan wilayah Palestina dan agresi Israel telah menimbulkan penderitaan bagi rakyat
Palestina. Blokade Israel di Jalur Gaza merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus segera diakhiri. Sementara itu, terus berlangsungnya pertumpahan darah di Suriah telah menimbulkan tantangan serius bagi dunia Islam. Semua pihak di Suriah diserukan untuk menanggapi secara positif misi Joint Special Envoy Lakhdar Brahimi.
Sekjen OKI juga menyampaikan bahwa OKI
telah meningkatkan kesadaran masyarakat
internasional atas berbagai pelanggaran serius
yang dilakukan terhadap lebih kurang 2 juta
Muslim Rohingya di Myanmar. Untuk
menangani secara serius berbagai
pelanggaran HAM di dunia internasional, OKI
membentuk the OIC Independent Permanent
Human Rights Commission (IPHRC) yang
beranggotakan 18 Komisioner. Selanjutnya,
Komisi HAM ini telah melakukan Sidang
Pertamanya di Jakarta dan telah
menyelesaikan rules of procedure yang pada
akhirnya dapat disahkan pada KTM ini.
Keprihatinan juga disampaikan oleh Presiden
Djibouti. Menurutnya, saat ini umat Islam
tengah menghadapi berbagai tantangan dan
perubahan yang hanya dapat dihadapi dengan
kebersamaan dan membangun kepedulian
serta kerjasama antara sesama Umat Islam.
Umat Islam harus bersatu untuk melawan
siapapun yang ingin merusak persatuan dan
menghina agama Islam. Berkaitan dengan itu,
umat Islam perlu mendorong dialog antar-
agama sebagaimana telah dilakukan oleh Raja
Abdullah dalam menciptakan perdamaian dan
kerukunan antar-umat beragama. Kerja sama
dan solidaritas umat Islam akan tetap menjadi
pilar utama bagi penciptaan kemakmuran bagi
| Volume II No. 1 Tahun 2013 6
segenap umat Muslim.
Memerangi Intoleransi
Setelah pelaksanaan sesi pleno, pertemuan
dilanjutkan dengan sesi brainstorming yang
bertemakan “An OIC Approach for Combating
Discrimination and Intolerance against
Muslim.” Sekjen OKI pada sesi ini
menyampaikan concept paper terkait isu
tersebut. Paper mencakup imbauan kepada
negara-negara OKI untuk mengambil langkah-
langkah nyata guna menghentikan usaha
sistematik dan meningkatnya kegiatan-
kegiatan yang mendeskriditkan dan menghina
umat Islam seperti video yang berjudul
“Innocence of Muslim.”
Menanggapi concept paper tersebut, Indonesia
menggarisbawahi pentingnya umat Islam
merespon meningkatnya intoleransi terhadap
Islam dengan langkah konkret dan tepat. Umat
Islam perlu terus memperkuat dialog serta
menampilkan wajah Islam yang toleran dan
menyejukkan. Ditekankan bahwa salah satu
cara terbaik untuk mencegah terulangnya
tindakan penistaan terhadap Islam dan agama
lain adalah dengan menyepakati suatu
instrumen internasional melalui konsensus.
Terkait dengan rancangan resolusi (ranres)
yang berjudul An OIC Approach for Combating
Discrimination and Intolerance against
Muslim, Indonesia menyampaikan perlunya
ranres tersebut dilihat sebagai bagian dari
upaya OKI di forum PBB untuk memerangi
penistaan terhadap agama. Oleh karena itu,
resolusi-resolusi OKI di Dewan HAM dan
Majelis Umum PBB mengenai hal tersebut
perlu dirujuk dengan jelas.
Sementara itu, pertemuan Special Committee
(SC) juga diselenggarakan secara paralel
dengan Sesi Pleno. Pertemuan tersebut
membahas 12 isu, yaitu isu-isu/ranres yang
belum disepakati pada Pertemuan SOM
Jeddah dan ranres baru. Pembahasan
mencakup isu Muslim Minoritas, situasi di Mali
dan daerah Sahel, situasi Somalia dan bantuan
ekonomi untuk Somalia, pendirian kantor
keamanan pangan OKI di Kazakhstan,
rencana pendirian kantor regional OKI, dan dua
ranres baru mengenai pensitaan agama dan
mekanisme bantuan keuangan bagi Palestina.
Di sesi terakhir, Konferensi mengadopsi
Deklarasi KTM OKI ke-39 dan menetapkan
Republik Guinea sebagai tuan rumah KTM OKI
ke-40. Selain itu juga ditetapkan berbagai
resolusi yang telah diputuskan oleh Pertemuan
Senior Official Meeting (SOM) di Jeddah bulan
September 2012 dan oleh Special Committee
di sela-sela KTM OKI ke-39 di Djibouti.
* Muhammad Yusuf adalah staf Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 7
Indonesia Greeted the UN High Commissioner for Human Rights
Chiara Sari*
Foreign Minister Marty Natalegawa in a talk with Ms. Navanethem Pillay.
The UN High Commissioner for Human Rights, Ms. Navanethem Pillay, visited Indonesia upon invitation from the Government of Indonesia. Following her visit to Bali to attend the 5th Bali Democracy Forum, Ms. Pillay visited Jakarta during November 12th-13th, 2012, to meet Indonesia’s top officials such as Minister for Foreign Affairs; Coordinating Minister for Politics, Law and Security; Minister for Law and Human Rights; etc. The Government’s invitation of Ms. Pillay is
aimed to show her from the firsthand the
development and progress achieved by
Indonesia in promoting and protecting
human rights. During the visit, Ms. Pillay
was engaged in constructive dialogues with
various stakeholders. At the end of her visit,
Ms. Pillay conducted a press conference
organized by the United Nations Information
Centers/UNIC in the UN Office Building.
Ms. Pillay commended Indonesia’s
significant progress in its democratic
transition since 1998, confirming that such
| Volume II No. 1 Tahun 2013 8
progress can serve as a positive model for
other countries which are going through
similar transition. Through its constructive
role in the regional human rights
mechanisms such as in ASEAN and the
Organization of Islamic Cooperation (OIC),
as well as global body of the Human Rights
Council, Indonesia has made an increasingly
important contribution to the advancement
of human rights, either in the region or in the
global stage.
Another aspect that Ms. Pillay praised was
Indonesia’s commitment to ratify human
right conventions. Now, Indonesia is a party
to eight core human rights conventions and
committed to ratify another two
conventions: the Optional Protocol to the
Convention against Torture (OPCAT) and the
Convention for the Protection of All Persons
from Enforced Disappearance. Just recently
Indonesia had ratified the Convention on the
Rights of Migrant Workers, sending an
encouraging signal to neighboring countries
that have yet to embrace international
human rights standards on protecting the
rights of migrant workers. Ms. Pillay also
appreciated Indonesia’s acceptance of 150
out of 180 recommendations during the
Universal Periodic Review (UPR) in last
September.
Ms. Pillay was impressed to find out that
three human rights bodies in Indonesia are
strong and vibrant -- the National
Commission on Human Rights (Komnas
HAM) which has received A-status
accreditation from the International
Coordinating Committee of National Human
Rights Institutions, the National Commission
on Women (Komnas Perempuan), and the
National Commission on Child Protection
(Komnas Perlindungan Anak). Those three
are playing pivotal role in protecting human
rights in Indonesia, and the Government’s
unconditional support to them is highly
appreciated by the High Commissioner.
This visit is a sign that Indonesia is
committed to the cooperation with the
Office of the High Commissioner for Human
Rights in promoting and protecting human
rights in Indonesia. The outcome of the visit
will be part of High Commissioner’s report to
the Human Rights Council Plenary March
Session in 2013.
* Chiara Sari is staff of the Directorate of Human Rights and Humanitation Affairs, Indonesian Foreign Ministry.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 9
Menguatkan Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana
Masni Eriza*
Sebagai negara yang rentan terhadap
ancaman bencana alam, Indonesia memiliki
perhatian khusus terhadap isu-isu bencana.
Dalam konteks itu, Indonesia bekerja sama
dengan UN International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR) menggelar konferensi
tentang penguranan risiko bencana yang
dihadiri oleh para menteri negara-negara Asia
Pasifik. Perhelatan bertajuk 5th Asian
Ministerial Conference on Disaster Risk
Reduction (AMCDRR) itu berlangsung pada
tanggal 22-25 Oktober 2012, bertempat di
Yogyakarta, salah satu kota yang menjadi
saksi bagaimana bencana alam memporak-
porandakan suatu daerah. Tak kurang dari
dua ribu peserta dari 50 negara menghadiri
acara tersebut. Mereka terdiri dari berbagai
unsur, mulai dari pemerintah, parlemen,
akademisi, peneliti, pengusaha, media,
hingga masyarakat pada umumnya.
Sebelumnya, konferensi yang dilaksanakan
dua tahun sekali ini telah berlangsung di
Beijing, China pada tahun 2005, New Delhi,
India pada tahun 2007, Kuala Lumpur,
Malaysia pada tahun 2008, dan Incheon,
Korea Selatan pada tahun 2010. AMCDRR
adalah forum regional untuk kawasan Asia
dan Pasifik yang merupakan perpanjangan
dari Global Platform on Disaster Risk
Reduction (GPDRR) yang diselenggarakan
setiap dua tahun sekali di Jenewa.
Sebagaimana diketahui, pada penyelenggara-
an sesi ke-tiga GPDRR pada tahun 2011 lalu,
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
mendapat pengakuan dari Sekjen PBB Ban
Ki-moon sebagai Global Champion on
Disaster Risk Reduction.
5th AMCDRR yang dibuka oleh Presiden RI ini
mengambil tema besar “Strengthening Local
Capacity for Disaster Risk Reduction.” Tema
ini dibagi ke dalam tiga sub-tema yang
mendukung tema utama, yaitu: Integrating
Local Level Disaster Risk Reduction and
Climate Change Adaptation into National
Development Planning, Local Risk
Assessment and Financing, dan
Strengthening Local Risk Governance and
Partnership. Satu orang kepala negara
(Presiden Nauru) dan 50 delegasi setingkat
Menteri atau wakil Menteri berpartisipasi aktif
dalam High Level Round Table Meetings yang
diketuai oleh Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), DR.
Syamsul Maarif.
Dalam pidatonya, Presiden menekankan pentingnya penguatan kapasitas lokal dalam mengurangi risiko bencana. Masyarakat lokal di semua negara rawan bencana selalu berada paling depan dalam menghadapi risiko bencana, sehingga penguatan kapa-sitas lokal dalam penanganan kebencanaan sangat penting bagi upaya-upaya pengurangan resiko bencana, baik di tingkat lokal itu sendiri maupun di tingkat nasional.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 10
Presiden SBY membuka 5
th AMCDRR
Ada enam faktor yang secara khusus
digarisbawahi oleh Presiden.
Pertama, perlunya memperkuat
ketangguhan masyarakat lokal menghadapi
bencana melalui pengembangan desa
tangguh bencana. Kedua, pentingnya
partisipasi pemangku kepentingan dari
berbagai sektor terhadap kapasitas
masyarakat lokal terhadap pengurangan
risiko bencana.
Ketiga, pengembangan kapasitas sumber
daya manusia dan teknologi di tingkat lokal.
Keempat, pendanaan bagi pencapaian
kapasitas pengurangan risiko bencana di
tingkat lokal.
Kelima, koherensi kapasitas pengurangan
risiko bencana di tingkat nasional dan lokal.
Dan keenam integrasi pengurangan risiko
bencana dan adaptasi perubahan iklim
skala kecil ke dalam proses pembangunan
lokal.
Apa yang disampaikan Presiden tersebut
memperoleh afirmasi dan apresiasi dari para
peserta Konferensi. Pidato tersebut dinilai
tepat sasaran dan tepat waktu mengingat
intensitas dan frekuensi bencana yang
meningkat pesat di kawasan Asia dan
Pasifik dalam dua tahun belakangan ini.
Secara khusus, UNISDR menyebut bahwa
sambutan Presiden RI tersebut kembali
menunjukkan komitmen serta leadership
Volume II No.1 Tahun 2013 | 11
Indonesia di bidang penanggulangan
bencana.
Film tentang Bencana
Konferensi tersebut dimeriahkan dengan
acara festival film yang menampilkan film-
film pendek bertemakan bencana alam. Film
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu
pengurangan risiko bencana, human story,
dan investigasi. Film-film tersebut kemudian
dinilai oleh para juri independen dan
menghasilkan tiga pemenang untuk masing-
masing kategori. Beberapa judul film yang
masuk antara lain Takbir Gempa (Indonesia),
A Time For action (Malaysia), Towards
Resilience-Story of Climate Change Frontier
(Bangladesh), dan Special Task Call (China)
untuk kategori pengurangan resiko bencana.
Sedangkan untuk kategori human story
adalah Do You Hear Me (Sri Lanka), Kazol on
the Flood (Bangladesh), dan Memories of A
Summer Day (Korea).
Penghargaan untuk kategori pengurangan
resiko bencana diraih oleh film dari
Indonesia berjudul Takbir Gempa yang
diproduksi oleh BNPB. Film ini bercerita
tentang detik-detik setelah bencana tsunami
yang melanda Aceh pada 26 Desember
2004. Film ini juga mengulas bagaimana
kebijakan Pemerintah menangani situasi
pasca-tsunami dan menggambarkan situasi
generasi muda di Aceh saat ini yang lebih
siap mengahadapi bencana.
Film berjudul Kazol on the Flood dari
Bangladesh keluar sebagai pemenang untuk
kategori human story. Film ini bercerita
mengenai Kazol, seorang penyandang cacat
dari Bangladesh yang dengan segala keter-
batasannya bangkit dan ikut menjadi bagian
dari program pengurangan risiko bencana di
desanya.
Untuk kategori investigasi, film yang keluar
sebagai pemenang adalah Memories of A
Summer Day dari Korea Selatan yang
berlatar belakang kondisi Korea Selatan
pasca-bencana topan di tahun 2012. Film
ini bertutur tentang upaya Kementerian
Lingkungan dan Badan Manajemen Tanggap
Darurat (NEMA) dalam menangani bencana
alam yang diakibatkan oleh cuaca.
Penyerahan hadiah kepada pemenang film kategori
investigasi dari Korea Selatan
Selain festival film, acara tersebut juga
digenapi dengan DRR Market Place, yaitu
suatu pameran yang ditujukan untuk
menampilkan prestasi dan inisiatif dalam
bidang pengurangan risiko bencana yang
dilakukan oleh pemerintah negara-negara
anggota, badan multilateral, masyarakat
madani, dan para pemangku kepentingan
lainnya. Di sini juga diperagakan peralatan
| Volume II No. 1 Tahun 2013 12
dan alat-alat berat yang digunakan pada
situasi pasca-bencana.
Di hari terakhir, para peserta Konferensi
berkesempatan melakukan site visit ke
lokasi terjadinya bencana letusan gunung
Merapi dan cultural visit ke candi Borobudur
dan Prambanan. Di gunung Merapi, para
peserta melihat secara langsung puing-
puing peninggalan bencana letusan gunung
Merapi pada tahun 2010 lalu. Mereka juga
mengunjungi menara observasi gunung
Merapi dan mendapatkan informasi
mengenai sistem kesiapan bencana
masyarakat setempat.
Deklarasi Jogja
Hasil dari Konferensi AMCDRR ini adalah
Deklarasi Jogja yang berisi kesepakatan
para perserta tentang beberapa hal, yaitu:
1. Pentingnya mengintegrasikan antara
pengurangan risiko bencana dengan
adaptasi perubahan iklim.
2. Pentingnya kajian terhadap risiko
anggaran akibat bencana.
3. Pengurangan risiko bencana perlu
melibatkan komunitas lokal dan
menguatkan tata kelolanya.
4. Pentingnya membangun ketangguhan
masyarakat lokal.
5. Negara-negara diminta untuk
mengidentifikasi hal-hal yang akan
dicapai pasca-2015 serta menyertakan
cara-cara pengukuran yang efektif.
6. Pentingnya mengurangi faktor-faktor
risiko bencana.
7. Pentingnya mengkaji isu terkait lainnya
dalam Hyogo Framework for Actions,
yakni suatu rancangan bersama banyak
negara yang berisi panduan tentang
peran yang bisa dimainkan berbagai
sektor dalam upaya pengurangan risiko
bencana.
Walaupun tidak bersifat mengikat, Deklarasi
Jogja ini merupakan cerminan komitmen
negara-negara di kawasan untuk
meningkatkan kapasitasnya dalam
pengurangan risiko bencana. Indonesia
selaku tuan rumah akan mengawal
implementasi Deklarasi Jogja ini, untuk
kemudian dibahas dan dievaluasi pada
pertemuan 6th AMCDRR yang akan
dilaksanakan di Thailand pada tahun 2014.
* Masni Eriza adalah Kepala Subdit Kemanusiaan, Direktorat HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 13
Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina
Shohib Masykur*
Kamis, 29 November 2012, merupakan hari
bersejarah bagi bangsa Palestina. Setelah
puluhan tahun terkatung-katung, Palestina
akhirnya diakui dunia sebagai sebuah
negara yang berdaulat. Melalui pemungutan
suara, Sidang Majelis Umum PBB
memutuskan status Palestina sebagai
negara pengamat non-anggota (non-
member observer state), naik dari status
sebelumnya sebagai entitas non-anggota
(non-member entity). Tulisan ini ingin
menelisik secara singkat bagaimana
akhirnya Palestina diakui sebagai negara
oleh PBB dan apa dampak yang
ditimbulkannya.
Perjuangan Palestina di PBB
Upaya perjuangan kemerdekaan Palestina dilakukan melalui berbagai jalur, di antaranya yang terpenting adalah melalui diplomasi di PBB. Selama ini status Palestina di PBB adalah sebagai entitas non-anggota, sebuah status yang telah disandang sejak tahun 1974 ketika Palestine Liberation Organization (PLO) diakui sebagai observer. Sejak tahun 1998, Palestina diberi hak untuk berpartisipasi pada sesi Debat Umum (General Debate) Sidang Majelis Umum PBB dan menjadi co-sponsor suatu resolusi. Hak ini membuat Palestina memiliki status unik yang berada di antara observer dan anggota. Momen penting perjuangan Palestina di PBB adalah ketika pada tanggal 23 September
2011 Presiden Palestina Mahmud Abbas secara resmi mengajukan permohonan kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon agar Palestina menjadi negara anggota penuh PBB (full member state). Namun upaya Abbas tersebut gagal karena terkendala persetujuan Dewan Keamanan (DK) PBB. Pasal 4 ayat (2) Piagam PBB mensyaratkan keanggotaan penuh di PBB harus melalui persetujuan 9 dari 15 negara anggota DK dengan persetujuan bulat dari 5 anggota tetapnya. Setelah persetujuan DK diperoleh, barulah usulan tersebut dibawa ke Majelis Umum untuk memperoleh dukungan dari paling sedikit 2/3 jumlah anggota.
Mahmoud Abbas dan para delegasi Palestina
di Sidang Majelis Umum PBB, November 2012
(www.un.org).
Persetujuan DK terkendala karena adanya
perbedaan pandangan di antara para
anggota mengenai apakah Palestina telah
memenuhi kriteria sebagai negara pecinta
damai (peace-loving state) sehingga berhak
menjadi anggota sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 4 Piagam PBB.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 14
Sebagian negara berpendapat bahwa
Palestina belum termasuk kategori pecinta
damai karena adanya Hamas yang
dianggap melakukan tindakan terorisme.
Sementara sebagian negara yang lain
berpandangan bahwa Hamas bukanlah
representasi Palestina, dan faktanya
banyak negara lain yang memiliki kondisi
pemerintahan lebih buruk namun dapat
diakui sebagai negara. Perbedaan ini
menjadi semakin rumit dengan adanya
pandangan dari negara-negara yang
menghendaki penyelesaian two-state
solutions melalui negosiasi terlebih dahulu
sebelum penetapan status kenegaraan
Palestina.
Patut dicatat bahwa pada tanggal 31
Oktober 2012, UNESCO telah mengakui
Palestina sebagai negara anggotanya yang
ke-195 melalui pemungutan suara dengan
perolehan 107 mendukung, 14 menentang,
52 abstain, dan 21 absen.
Namun, pengakuan UNESCO itu tentunya
berbeda efeknya dengan pengakuan dari
PBB yang merupakan organisasi
internasional terbesar dan paling mewakili
hampir seluruh negara di dunia. Karena
itulah Palestina bersikeras untuk
mendapatkan pengakuan dari PBB dengan
menjadi anggota penuh.
Gagal dengan upaya pertamanya, Abbas
berganti strategi. Di tahun berikutnya,
Palestina kembali mengajukan diri, bukan
sebagai anggota penuh melainkan sebagai
negara pengamat non-anggota (non-
member observer state). Berbeda dengan
negara anggota penuh, untuk menjadi
negara pengamat non-anggota tidak
diperlukan persetujuan DK PBB, hanya
dibutuhkan persetujuan dari 2/3 anggota di
Majelis Umum. Karena mayoritas negara
pada dasarnya mendukung kemerdekaan-
nya, Palestina berhasil mendapatkan
dukungan dari 138 negara, sementara 9
negara menolak, dan 41 negara abstain.
Dengan status barunya itu, kedudukan
Palestina di PBB menyerupai Tahta Suci
Vatikan yang tidak memiliki hak pilih di
organ-organ PBB namun dapat menjadi
anggota penuh pada agensi-agensi PBB.
Bagaimanapun, Palestina tidak akan
berhenti hanya pada status sebagai negara
pengamat non-anggota. Dengan berpijak
pada status barunya itu, Palestina akan
berjuang untuk menjangkau status yang
lebih tinggi, yakni sebagai negara anggota
penuh PBB.
Indonesia, dalam hal ini, terus menerus
memberikan dukungannya terhadap
Palestina. Dukungan itu tidak hanya
bersifat bilateral berupa pemberian
bantuan pembangunan kapasitas, tetapi
juga dukungan diplomasi di forum-forum
multilateral seperti PBB, OKI, dan GNB.
Salah satu bentuknya adalah Indonesia
menjadi salah satu co-sponsor dari
resolusi pengajuan Palestina sebagai
negara pengamat non-anggota.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 15
Babak Baru Konflik Palestina-Israel?
Banyak pihak turut merayakan penetapan
Palestina sebagai negara ini. Tapi apakah
status tersebut akan membawa dampak
signifikan dan merupakan penanda dari
babak baru konflik Palestina-Israel? Tidak
mudah menjawab pertanyaan tersebut.
Keuntungan paling nyata dari status
sebagai negara adalah Palestina dapat
menjadi negara pihak pada Statuta Roma
dan memperoleh akses ke International
Criminal Court (ICC). Dengan begitu,
Palestina dapat mengadukan Israel ke ICC
apabila seterunya itu melakukan
serangan-serangan yang menewaskan
banyak korban sipil seperti telah sering
dilakukan sebelumnya. Selama ini upaya
Palestina membawa kasusnya ke ICC
selalu kandas di tengah jalan karena
Palestina tidak dianggap sebagai negara
sehingga dinilai tidak berhak mengajukan
kasus ke ICC.
Namun perlu dicatat, politik berperan di
sini. Dukungan dari negara-negara Barat
atas penaikan status Paletina bukan tanpa
syarat. Negara-negara Eropa bersedia
mendukung dengan catatan Palestina
tidak akan membawa kasusnya ke ICC,
suatu syarat yang telah disetujui oleh
Palestina. Dengan begitu, sebenarnya
Palestina telah tersandera oleh langkah
politik yang diambilnya sendiri. Benar
bahwa secara politik Palestina bisa saja
tidak menepati janjinya itu dan tetap
mengajukan Israel ke ICC. Akan tetapi
langkah semacam itu akan mendatangkan
reaksi negatif dari negara-negara Barat
yang sebelumnya mendukung Palestina
dan dapat berakibat merugikan.
Dari perspektif lain, pencapaian status baru
tersebut bisa dimaknai sebagai kemenangan
simbolik bagi Palestina yang dua minggu
sebelumnya baru saja mengalami gempuran
dari Israel yang menewaskan banyak warga
sipil di Jalur Gaza. Tekanan internasional
atas Israel meningkat seiring dengan
pengakuan dunia internasional atas
kemerdekaan Palestina. Namun apakah
kemenangan simbolik itu signifikan artinya
masih perlu didiskusikan dan dilihat
dampaknya lebih jauh.
Bagaimanapun, hal yang paling penting
adalah perdamaian dengan Israel. Tanpa
perdamaian, warga Paletina tidak akan bisa
hidup tenteram karena ancaman serangan
dari Israel terus-menerus ada, terlebih
dengan berlanjutnya blokade Israel dan Mesir
ke Jalur Gaza. Kewenangan Palestina
sebagai negara berdaulat juga tidak akan
bisa sepenuhnya dijalankan, seperti
penguasaan atas wilayah perbatasan,
pemberian rasa aman kepada warga,
pencegahan okupasi teritori, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, status kenegaraan sendiri
ibarat pisau bermata dua bagi Palestina
karena berpotensi mempersulit proses
negosiasi dan pencapaian perdamaian
dengan Israel yang bereaksi keras atas status
baru Palestina. Sesaat setelah status
| Volume II No. 1 Tahun 2013 16
kenegaraan Palestina diperoleh, Israel
mengumumkan akan membangun
pemukiman baru di Zona E-1, suatu langkah
yang direspons secara negatif bahkan oleh
negara-negara Barat yang selama ini
cenderung permisif terhadap Israel. Zona E-1
yang terletak di Tepi Barat merupakan “garis
merah” yang oleh negara-negara Barat
dianggap sebagai batasan yang tidak boleh
diterobos oleh Israel. Pemukiman Israel di
kawasan ini akan mengarantina warga
Palestina yang tinggal di Yerusalem timur
dan memisahkannya dengan warga di
daerah lain. Bahkan Amerika Serikat yang
merupakan sekutu terdekat Israel pun
mengkritik tindakan tersebut.
Tantangan lain yang dihadapi Palestina
adalah konflik internal yang tak kunjung usai
antara Fatah dan Hamas. Tak hanya
terpisah secara geografis, kedua entitas di
Palestina ini semenjak dulu juga bersilang
pendapat dalam hal strategi politik
mencapai kemerdekaan. Fatah cenderung
terbuka dengan perundingan dan mengakui
negara Israel, sedangkan Hamas memilih
jalur perlawanan militer dan tidak mengakui
Israel. Saat Abbas mengajukan permohonan
keanggotaan penuh ke PBB tahun 2011,
Hamas mengkritik keras upaya tersebut.
Namun, perkembangan terakhir pada saat pengajuan sebagai negara pengamat non-anggota di tahun 2012, Hamas mengapresiasi tindakan Abbas. Hal ini memunculkan optimisme bahwa kedua
pihak yang selama ini tidak akur itu dapat menyatukan visi dan bahu-membahu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina secara mutlak dan mewujudkan perdamaian yang abadi. Apabila optimisme ini tidak dapat dijaga, bukan tidak mungkin usulan agar dibentuk tiga negara yang terdiri dari Israel, Tepi Barat, dan Gaza akan mengemuka.
* Shohib Masykur adalah Staf pada
Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan
tidak mewakili institusi. Bahan-bahan untuk
tulisan ini merupakan hasil kerja bersama
banyak pihak.
Referensi:
Barriers to peace, The Economist, December
8th-14th 2012, hal. 15.
Reconciliation at last?, The Economist,
December 8th-14th 2012, hal. 37.
Tim Hume dan Ashley Fantz, Palestinian
United nations bid explained, http://edition.
cnn.com/2012/11/28/world/meast/un-
palestinian-bid/index.html.
Robert McMahon, Palestinian Stathood at
the UN, http://www.cfr.org/palestinian-
authority/ palestinian-statehood-
un/p25954.
Hasan Abu Nimah, Little to celebrate in U.N. ‘Palestine’ vote, http://english.alarabiya.net/ views/2012/12/05/253397.html.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 17
Indonesia dan Agenda Pembangunan Pasca-2015: Membangun Masa Depan Tanpa Kemiskinan
Nona Gae Luna*
Presiden SBY mengadakan jumpa pers bersama Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan Presiden Liberia, Ellen Johonson Sirleaf (www.presidenri.go.id).
Sejak tahun 2000 pasca-disepakatinya
Millennium Declaration, kebijakan
pembangunan global bertumpu pada
delapan tujuan pembangunan di dalam
Millennium Development Goals (MDGs).
Setelah berjalan 12 tahun, MDGs dipandang
cukup berhasil dalam menggalang perhatian
dan dukungan berbagai kalangan untuk
mencapai target-target pembangunan.
Laporan MDGs pada tahun 2012
menunjukkan bahwa populasi penduduk di
negara-negara sub-Sahara Afrika yang
mengenyam pendidikan setingkat SD telah
meningkat dari sebanyak 58 persen pada
tahun 1999 menjadi 76 persen pada tahun
2010. Sampai pada tahun 2012, prestasi juga
ditunjukkan oleh sejumlah negara dalam
menurunkan angka kematian anak, kematian
akibat malaria dan tuberculosis, serta angka
dan infeksi HIV. Akses terhadap air bersih juga
bertambah luas di banyak negara.
Meskipun diterpa krisis ekonomi pada periode
2008-2009, tingkat kemiskinan di banyak
negara semakin menurun, khususnya di
wilayah sub-Sahara Afrika di mana tingkat
kemiskinan ekstremnya paling tinggi. Jika tren
| Volume II No. 1 Tahun 2013 18
ini terus berlanjut, diperkirakan tingkat
kemiskinan akan berada di bawah 15persen
sebelum tahun 2015 dan memenuhi target
ketika MDGs menemui tenggat waktunya.
Selain capaian-capaian tersebut, terdapat
pula target yang diperkirakan tidak dapat
terpenuhi pada tahun 2015. Kematian ibu
dan anak, akses air bersih, dan penduduk di
pemukiman kumuh adalah beberapa
tantangan yang masih memerlukan kerja
keras. Disparitas pencapaian MDGs juga
terjadi cukup besar, baik antarnegara
maupun di dalam negara. Dengan waktu
yang tersisa kurang dari tiga tahun,
diperlukan upaya dan kerja sama
internasional yang lebih kuat untuk
memujudkan tujuan MDGs.
Berkaca dari semakin kompleksnya
tantangan pembangunan ke depan, hal yang
perlu segera dipersiapkan sejak dini adalah
bagaimana merumuskan agenda
pembangunan baru setelah tenggat waktu
MDGs tahun 2015 berakhir.
Pada KTT MDGs tahun 2010, komunitas
internasional sepakat meminta Sekjen PBB
untuk membuat rekomendasi mengenai
agenda pembangunan pasca-2015
(Resolusi Majelis Umum PBB nomor 65/1).
Agenda pembangunan pasca-2015 tersebut
diharapkan dapat pula mencakup
tantangan-tantangan pembangunan baru
yang sebelumnya tidak tercakup di dalam
MDGs. Menyikapi resolusi tersebut, Sekjen
PBB kemudian melakukan serangkaian
upaya tindak lanjut. Pertama, menugaskan
United Nations Department of Economic and
Social Affairs (UNDESA) dan United Nations
Development Programme (UNDP) untuk
memimpin United Nations System Task
Team on the Post-2015 UN Development
Agenda. Task Team tersebut akan
melakukan persiapan secara menyeluruh
dalam sistem PBB (system-wide
preparations) untuk penyusunan agenda
pembangunan pasca-2015 dengan
dukungan dari seluruh sistem kelembagaan
PBB. Kedua, Sekjen PBB membentuk High-
level Panel of Eminent Persons on the Post-
2015 Development Agenda.
High-level Panel Panel (HLP)
High-level Panel of Eminent Persons on the
Post-2015 Development Agenda
(selanjutnya disebut HLP) bertugas untuk
memberikan masukan mengenai agenda
pembangunan pasca-2015 dalam bentuk
laporan paling lambat pada akhir bulan Mei
2013. Masukan tersebut akan menjadi
masukan kunci bagi Sekjen PBB dalam
pertemuan mengenai MDGs yang akan
diadakan oleh Presiden Sidang Majelis
Umum PBB ke-68 pada bulan September
2013.
HLP diketuai secara bersama oleh Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Perdana
Menteri Inggris David Cameron. Anggota
HLP terdiri dari 23 perwakilan pemerintah,
sektor swasta, masyarakat madani, dan
kelompok pemuda dari lima kelompok
Volume II No.1 Tahun 2013 | 19
regional PBB. Anggota Panel yang berasal
dari wilayah Asia adalah Mantan Menteri
Luar Negeri China, Yingfan Wang; Mantan
PM Jepang, Naoto Kan; Ratu Yordania,
Rania Al Abdullah; peneliti ekonomi
internasional dari India, Abhijit Banerjee;
Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Korea
Selatan, Sung-Hwan Kim; Menteri Keuangan
Timor Leste, Emilia Pires; dan jurnalis
pemenang Nobel 2011 dari Yaman, Tawakel
Karman.
Task Team PBB sendiri telah menghasilkan
laporan awal berjudul “Realizing the Future
We Want for All” pada bulan Juni 2012 yang
diharapkan dapat menjadi referensi bagi
konsultasi antarberbagai pemangku
kepentingan atas agenda pembangunan
pasca-2015. Secara umum, laporan
tersebut membahas visi, bentuk, dan
proses penyusunan agenda pembangunan
pasca-2015.
Peran Indonesia
Meskipun terpilihnya Presiden RI untuk
menjadi salah satu Ketua Bersama HLP
berdasarkan kapasitas pribadi, peran
Indonesia di mata dunia internasional
dipandang semakin strategis dengan
keterlibatan langsung Presiden RI di
dalam HLP. Tak dapat dipungkiri, hal ini
menjadi kesempatan bagi Indonesia
sebagai negara berkembang untuk
berkontribusi dan menentukan agenda dan
arah pembangunan global pasca-2015.
Secara substansi, dalam berbagai
pertemuan dan kegiatan outreach HLP,
Presiden RI berkesempatan untuk me-
ngusulkan konsep sustainable growth with
equity sebagai tujuan dari agenda
pembangunan pasca-2015. Konsep
tersebut bertolak dari fakta adanya
ketidakadilan di mana hanya 20 persen
penduduk yang menikmati lebih dari 70
persen pendapatan dunia. Ketimpangan
tersebut telah terbukti dapat menimbulkan
masalah sosial dan instabilitas politik.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan juga terjadi di banyak
negara, khususnya di negara-negara yang
memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup besar seperti Indonesia. Konsep
sustainable growth with equity kemudian
diusulkan dengan harapan supaya
pertumbuhan ekonomi dapat bersifat
inklusif dengan berorientasi pada
kesejahteraan sosial dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan.
Presiden RI juga menyerukan pentingnya
kemitraan antar negara maupun
antarberbagai pemangku kepentingan di
dalam suatu negara sebagai prakondisi
penting bagi pembangunan. Peran aktif
sektor swasta, masyarakat madani,
kelompok pemuda, dan akademisi yang
dilengkapi dengan sistem yang transparan
dan akuntabel menjadi bagian penting
dalam agenda pembangunan pasca-2015.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 20
Dari segi proses, Indonesia dituntut untuk
dapat berperan aktif sebagai salah satu
Ketua Bersama dalam berbagai kegiatan
outreach guna menggalang dukungan dari
berbagai pemangku kepentingan, khusus-
nya di wilayah Asia Pasifik. Outreach
bukan hanya penting dari sisi transparansi
tetapi juga dari sisi meningkatkan
kepemilikan (ownership) atas proses
pembahasan agenda pembangunan
pasca-2015.
Mengacu pada berbagai pengalaman panel
ataupun komisi tingkat tinggi bentukan
Sekjen PBB, inklusivitas menjadi syarat
penting bagi keberhasilan HLP. Sebagai
contoh adalah High-level Panel on Global
Sustainability yang dibentuk Sekjen PBB
pada tahun 2010 dan diketuai oleh
Presiden Afrika Selatan dan Presiden
Finlandia. Tujuan panel tersebut adalah
untuk menghasilkan rekomendasi penting
bagi Konferensi Rio+20. Pada akhirnya,
panel tersebut dinilai tidak berhasil karena
dinilai tidak transparan dan inklusif
sehingga laporan yang dihasilkan tidak
menjadi rujukan Konferensi Rio+20.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi
pada World Commission on Environment
and Development (Brundtland Commission)
yang dibentuk Sekjen PBB pada tahun 1983.
Komisi tersebut dipandang berhasil dalam
mendorong konsep sustainable
development dan kemudian menjadi
rujukan bagi Deklarasi Rio saat Earth
Summit tahun 1992.
Berkaca dari pengalaman-pengalam
tersebut, HLP telah mengadakan kegiatan
outreach secara intensif selama tahun 2012
di New York maupun di sela-sela pertemuan
HLP. Konsultasi antarpemangku
kepentingan tersebut diharapkan dapat
berjalan secara transparan dan inklusif guna
memperbesar tingkat akseptabilitas HLP
bagi semua kalangan. Secara khusus,
Indonesia juga telah mengadakan konsultasi
regional di Bali pada tanggal 13-14
Desember 2012.
Melihat pengalaman tersebut, dan semakin
dekatnya tenggat waktu penyampaian
laporan akhir HLP pada bulan Mei 2013,
semua Ketua Bersama HLP perlu
memanfaatkan waktu yang tersisa untuk
mendapatkan dukungan politik seluasnya
bagi agenda pembangunan pasca-2015
yang bold and ambitious but achievable.
Hal ini semakin krusial mengingat Open
Working Group on Sustainable
Development Goals (OWG SDGs) sebagai
hasil KTT Rio+20 yang juga bertugas
membahas agenda pembangunan pasca-
2015 belum juga berhasil dibentuk. Jika
OWG SDGs belum juga berproses sampai
menjelang Sidang Majelis Umum PBB ke-
68, maka diperkirakan hasil HLP akan
menjadi rujukan utama bagi laporan Sekjen
PBB menjelang pembahasan agenda
pembangunan pasca-2015 pada forum
intergovernmental process.
Peran Indonesia di dalam HLP ini, baik
dalam penyusunan substansi maupun dari
Volume II No.1 Tahun 2013 | 21
segi proses, tentunya akan memengaruhi
laporan akhir HLP yang akan menentukan
masa depan pembangunan global.
Diharapkan peran tersebut dapat
membantu masyarakat internasional dalam
mewujudkan sebuah konsensus global bagi
agenda pembangunan pasca-2015 yang
melanjutkan pencapaian MDGs menuju
masa depan yang lebih berkelanjutan dan
bebas dari kemiskinan.
*Nona Gae Luna adalah Kepala Seksi
Pengentasan Kemiskinan pada Direktorat
Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan
Hidup (PELH), Kementerian Luar Negeri.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Profil: United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
UNCITRAL dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2205(XXI) tanggal 17 Desember 1966. Pada awal pembentukannya, komisi ini beranggotakan 29 negara dan dipilih oleh MU PBB. Pemilihan anggota UNCITRAL pertama kali diselenggarakan pada SMU PBB ke-22 tahun 1967 dan pada tanggal 1 Januari 1968 komisi ini mulai aktif bekerja.
Pembentukan UNCITRAL berawal dari berkembang pesatnya perdagangan internasional di era tahun 1960an. Pada masa itu, aturan hukum nasional dan regional digunakan dalam mengatur perdagangan internasional. Namun, tiap
negara dan kawasan regional memiliki aturan hukum yang berbeda-beda. PBB memandang perbedaan ini sebagai hambatan untuk mengembangkan perdagangan dunia. Untuk itu, dibutuhkan aturan dan standar global untuk harmonisasi dan unifikasi regulasi-regulasi tersebut. Pembentukan aturan dan standar, serta harmonisasi dan unifikasi ini harus berlangsung secara koordinatif dan sistematis. Karena pada saat itu belum ada badan atau organ PBB yang secara khusus menangani isu ini, maka MU PBB memutuskan untuk membentuk UNCITRAL dengan mandat mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional, serta sebagai badan inti (core) PBB yang menangani isu hukum perdagangan internasional. Dalam perkembangannya, keanggotaan UNCITRAL diperluas menjadi 60 negara melalui Resolusi MU PBB 57/20 (2003), namun masa periode keanggotaannya tetap sama, yaitu enam tahun.
UNCITRAL melakukan satu pertemuan reguler setiap tahunnya yang dilaksanakan secara alternatif di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat dan di kantor UNCITRAL, Vienna International Centre, Wina, Austria.
UNCITRAL memiliki perbedaan ruang lingkup tugas dari World Trade Organization (WTO) yang juga menangani isu perdagangan internasional. WTO menangani isu-isu kebijakan perdagangan, termasuk liberalisasi perdagangan, penghapusan hambatan perdagangan (trade barrier), serta berbagai isu yang umumnya berkaitan dengan hukum publik. Sementara, UNCITRAL menangani aplikasi aspek hukum kepada pihak swasta yang terlibat dalam perdagangan internasional. UNCITRAL tidak menangani dan tidak terlibat dalam kebijakan perdagangan antar dua negara, seperti anti-dumping, pembatasan kuota impor, dan pembebanan bea.
Indonesia telah berhasil dua kali terpilih menjadi anggota UNCITRAL, yaitu pada periode 1977-1983 dan periode 2013-2019.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 22
Indonesia’s Role in the New Global Partnership for Effective Development Cooperation
Satryo Bramono Brotodiningrat*
Development issues have always been a
major focus in Indonesia’s economic
diplomacy agenda. Now that Indonesia has
reached middle income status, it places its
posture in international development
cooperation as a development partner and
not as an aid or development recipient. As
such, Indonesia is more than willing to play
an active role in shaping the international
framework, principles and norms that
underlie global development cooperation.
In recognition of Indonesia’s achievements in development and active role in the global development agenda, the Minister of National Development Planning/Head of Bappenas, Dr. Armida Alisjahbana, was recently chosen as Co-Chair of the Global Partnership for Effective Development Cooperation, along with the Finance Minister of Nigeria and the Secretary of State for International Development of the United Kingdom. The three Co-Chairs represent recipients of development cooperation, countries engaged in South-South cooperation, and providers of development cooperation, in recognition of the increasingly multi-stakeholder nature of development. The Global Partnership for Effective
Development Cooperation, or shortened as
the Global Partnership, is an international
initiative that aims to bring together
countries and organizations to ensure
effective development cooperation and
support achievement of results. Among the
Partnership’s main goals are to:
a. Maintain and strengthen political support
for effective development cooperation;
b. Monitor the implementation of the Busan
commitments;
c. Facilitate knowledge exchange and
sharing of lessons learned; and
d. Support national implementation of the
Busan commitments.
The Global Partnership held its first Steering
Committee Meeting in London on 5-6
December 2012 with an aim of preparing the
main vision, work process and ministerial
level meeting that will be held in late 2013.
Along with the Co-Chairs, there are fifteen
Steering Committee members that represent
a diverse group of stakeholders, namely:
Representatives of recipients of
development co-operation: Governments
of Chad, Guatemala, Bangladesh, Samoa,
Timor-Leste.
Representative of recipients and
providers of development cooperation:
Government of Peru.
Representatives of providers of
development cooperation: European
Volume II No.1 Tahun 2013 | 23
Commission, Governments of South
Korea and the United States.
Representative of the private sector:
Center for International Private
Enterprise.
Representative of parliamentarians:
Inter-Parliamentary Union.
Representative of civil society
stakeholders: BetterAid
Representative of multilateral
development banks and international
organizations: World Bank, UNDP and
OECD
The Global Partnership is perceived as a
valuable opportunity for Indonesia to
contribute towards a new global consensus
on global development cooperation that
goes beyond official development
assistance and engages a wider group of
stakeholders. In this respect, among the
priorities that may be the focus of the
Global Partnership include the issue of how
to effectively tap into sources of funding
for development other than official
assistance, such as domestic resource
mobilization, private sector and
philanthropic funding. In Indonesia’s case,
the Global Partnership may be utilized to
promote and improve Public-Private
Partnerships (PPP) in infrastructure
development, for example.
Another issue that may be the focus of the
Global Partnership is how it can play a role
in the post-2015 global development
agenda. With the MDGs era set to end by
2015, the Global Partnership may not be
rooted strongly in time to focus purely on
the attainment of the MDGs. However, it
may play a pivotal role in helping countries
in carrying out the Post-2015 agenda that
has yet to be determined. In short, if the
Global Partnership is the how, it still needs
a what.
In this respect, the Global Partnership may need to create synergies with different processes that will determine the Post-2015 development agenda, namely the United Nations. Fortunately, Indonesia is in an auspicious position because President Yudhoyono is one of the Co-Chairs of the UN Secretary General High Level Panel of Eminent Persons of the Post-2015 Development Agenda. Therefore, Indonesia may link the two processes with a view to establishing a strong foundation for a renewed global development framework in the Post-2015 era. Lastly, the Global Partnership’s mandate to
facilitate knowledge sharing and lessons
learned may be empowered to promote
Indonesia’s South-South or triangular
cooperation schemes. Indonesia’s deep
experience in development knowledge can
be linked up with interested parties that
wish to learn from Indonesia’s development
successes. In particular, development
programs that has garnered much positive
attention, such as Indonesia’s PNPM
(Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri), can be shared with
countries that find such programs
appropriate.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 24
In closing, it is worthwhile to remember that Indonesia’s posture is now as a development partner and not as a recipient. Thus, the Global Partnership is a great opportunity to play a role as a country that both receives and provides development cooperation. As its economic growth continues, Indonesia’s development posture will continue to evolve. It is even conceivable that one day Indonesia will be a
net provider of development assistance. When that occurs, development assistance may be counted on as one of Indonesia’s effective diplomatic tools.
*Satrio Bramono Brotodiningrat is Head of Section of International Financial Institutions at the Directorate of Development, Economic and Environmental Affairs, Indonesian Foreign Ministry.
Profil: International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) merupakan organisasi internasional di bawah PBB yang bertanggung jawab memastikan keselamatan dan keamanan pelayaran serta mencegah polusi laut yang disebabkan oleh kapal. Organisasi yang beranggotakan 169 negara ini didirikan pada tahun 1948 di Jenewa, Swiss, dan bermarkas di Inggris. Pada saat didirikan, organisasi ini bernama Inter-governmental Maritime Consultative Organization (IMCO), dan namanya berubah menjadi IMO pada tahun 1982. Pada mulanya IMO fokus pada masalah keselematan pelayaran dengan mengadopsi versi baru dari International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), sebuah konfensi keselamatan pelayaran yang muncul sebagai respons atas tragedi kapal Titanic 1912. Namun belakangan ketika volume minyak yang dilayarkan semakin meningkat, ditambah lagi dengan terjadinya bencana Torrey Canyon tahun 1967 di mana 120.000 ton minyak tumpah di pantai barat Inggris, IMO mulai memperhatikan masalah lingkungan. Aturan-aturan baru diperkenalkan untuk mencegah terjadinya kecelakaan tanker dan meminimalisir akibatnya. IMO juga menangani persoalan-persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pelayaran rutin seperti membersihkan tanki kargo minyak dan membuang limbah ruang mesin kapal. Di antara semua aturan, yang paling penting adalah pembentukan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships pada tahun 1973. Konvensi ini mengatur tidak saja polusi yang disebabkan oleh kecelakaan dan tumpahan minyak, tetapi juga oleh bahan kimia, sampah, dan polusi udara. Dalam perannya sebagai penjaga keselamatan dan kebersihan laut, IMO memiliki misi mewujdkan “pelayaran yang aman dan efisien di laut yang bersih.” Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia merupakan Anggota Dewan IMO kategori C sejak 1985 hingga sekarang. Kategori C terdiri dari 20 negara yang memiliki kepentingan khusus dalam angkutan laut dan keanggotaannya mencerminkan keterwakilan geografis. Selain kategori C, terdapat kategori A yang merupakan negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional terbesar dan penyedia angkutan laut internasional terbesar serta kategori B yang merupakan negara yang mewakili kepentingan terbesar dalam international seaborne trade.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 25
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 dan Doha Climate Gateway
Nurul Sofia*
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 atau
yang juga dikenal dengan COP18/CMP8
United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) and Kyoto
Protocol telah berlangsung di Doha, Qatar,
pada tanggal 26 November-8 Desember
2012. Ini adalah untuk pertama kalinya
Konferensi Perubahan Iklim PBB
dilangsungkan di kawasan Timur Tengah
dengan dihadiri oleh 9000 peserta yang
terdiri dari kepala pemerintahan, pejabat
pemerintah, perwakilan badan PBB,
organisasi internasional, akademisi,
masyarakat madani, serta perwakilan media
(Bulletin, 2012).
Konferensi Perubahan Iklim ini sangat penting artinya karena UNFCCC merupakan kerangka kerja sama multilateral satu-satunya untuk membahas perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim merupakan isu yang krusial mengingat dampak buruknya yang makin terasa. Hampir di seluruh wilayah dunia, masyarakat merasakan pola musim yang berubah dan cuaca yang kian ekstrim. Dampak tersebut bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, namun juga seluruh sendi kehidupan. Kehancuran yang diakibatkan perubahan iklim dapat menghambat upaya negara berkembang dan negara maju untuk mengurangi kemiskinan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Di Indonesia pun, frekuensi bencana terus
meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Negara
Perencanaan dan Pembangunan Nasional,
dalam satu dasawarsa terakhir hampir 79
persen dari bencana yang melanda berbagai
daerah di Indonesia seperti banjir, longsor,
puting beliung, kekeringan, gelombang
pasang terjadi akibat perubahan iklim
(Antara, 2012).
Seputar UNFCCC dan Protokol Kyoto
Isu perubahan iklim menjadi fokus perhatian
dunia dikarenakan meningkatnya suhu rata-
rata global pada satu abad terakhir sebagai
akibat menumpuknya gas rumah kaca (GRK)
yang dihasilkan oleh kegiatan manusia.
Berdasarkan asumsi tersebut, masyarakat
dunia sepakat untuk menangani perubahan
iklim secara global dengan menghasilkan
Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai
Perubahan Iklim, UNFCCC, pada tahun 1992.
Pada COP ke-3 UNFCCC yang berlangsung di Kyoto, Jepang tahun 1997, Protokol Kyoto telah diadopsi untuk melaksanakan salah satu ketentuan dalam Konvensi terkait pengurangan emisi oleh negara maju. Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005 setelah dipenuhinya syarat ratifikasi untuk negara-negara pihak. Protokol Kyoto menetapkan target untuk mengikat 37 negara industri dan Uni Eropa untuk
| Volume II No. 1 Tahun 2013 26
mengurangi gas rumah kaca. Salah satu prinsip dasar dalam KP adalah menempatkan beban yang lebih berat pada negara maju di bawah prinsip “common but differentiated responsibilities (CBDR)” dengan alasan bahwa negara maju secara historis bertanggung jawab atas besarnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Doha Climate Gateway
Pada tahun 2012, rangkaian Konferensi
perubahan iklim mencapai titik yang sangat
krusial mengingat berakhirnya Periode
Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31
Desember 2012 dan semakin mendesaknya
proses pembentukan rezim baru perubahan
iklim pasca-berakhirnya Periode Komitmen
Kedua Kyoto Protokol pada tahun 2020.
Sebagai hasil akhir COP 18/CMP 8 di Doha,
telah disepakati Doha Climate Gateway
yang memuat antara lain hal-hal sebagai
berikut:
a. Berlakunya Periode Komitmen Kedua
Protokol Kyoto dengan jangka waktu 8
tahun, terhitung mulai 1 Januari 2013
sampai 31 Desember 2020.
b. Negara maju menyatakan komitmennya
untuk scale up dan menetapkan
pathways guna memenuhi janji mereka
memberikan pendanaan jangka panjang
sebesar USD 100 miliar per tahun pada
tahun 2020 untuk membantu program
adaptasi dan mitigasi negara
berkembang.
c. Disepakatinya workplan proses menuju
pembentukan persetujuan perubahan
iklim global pada tahun 2015, dan
meningkatkan ambisi penurunan emisi
sebelum tahun 2020.
d. Rampungnya penciptaan infrastruktur
baru untuk dukungan pendanaan dan
teknologi bagi negara berkembang. Di
antaranya adalah disahkannya Songdo di
Korea Selatan sebagai negara tuan
rumah sekretariat Green Climate Fund,
dan dipilihnya UNEP-led Consortium
sebagai tuan rumah dari Climate
Technology Center.
e. Dalam bidang Adaptasi, telah disepakati
pembentukan mekanisme internasional
untuk merumuskan modalitas mengenai
“loss and damage” sebagai suatu tools
dalam melindungi populasi rentan
terhadap dampak perubahan iklim,
dukungan (termasuk pendanaan) untuk
implementasi National Adaptation Plans
di negara berkembang, serta
diselesaikannya rencana kerja Komite
Adaptasi.
f. Dukungan terhadap gender balance dan
peningkatkan partisipasi perempuan
dalam proses negosiasi dan representasi
di dalam badan-badan di bawah
UNFCCC.
g. Telah disepakati bahwa Konperensi
Perubahan Iklim ke-19 akan
dilaksanakan pada bulan
November/Desember 2013 di Warsawa,
Polandia.
Indonesia dan Doha Climate Gateway
Pembahasan isu perubahan iklim di Doha
terfokus pada pembahasan mengenai
pengaturan perubahan iklim pasca-2012,
Volume II No.1 Tahun 2013 | 27
khususnya komitmen negara-negara maju
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sebagai tindak lanjut periode komitmen
pertama Protokol Kyoto. Negosiasi juga
berjalan berlarut-larut dikarenakan
keengganan negara maju untuk
berkomitmen menurunkan emisi GRK
nasional-nya tanpa keikutsertaan negara
berkembang dan alotnya pembahasan
mengenai dukungan means of
implementations yang terkait dengan
pendanaan, alih teknologi, dan
pengembangan kapasitas untuk aksi
adaptasi dan mitigasi negara berkembang.
Walaupun Konferensi Doha telah berhasil
membuat keputusan diadopsinya periode
kedua Protokol Kyoto, tingkat agregat
ambisi pengurangan emisi oleh negara-
negara maju tersebut dinilai masih jauh dari
harapan, yaitu hanya 18 persen di bawah
level tahun 1990. Ditambah lagi, Kanada
keluar dari KP mengikuti jejak Amerika
Serikat, sementara Rusia, Jepang dan New
Zealand tidak berkomitmen dalam periode
kedua KP.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) telah merekomendasikan 25-40
persen pengurangan emisi di bawah level
tahun 1990 untuk menjaga agar temperatur
global tidak membahayakan. Kenaikan suhu
permukaan bumi sebesar 3 derajat Celsius
atau lebih, akan menyebabkan berbagai
dampak yang ekstrem, seperti gelombang
panas, kekeringan parah, banjir besar, dan
dapat mengakibatkan pula naiknya
permukaan air laut dan menenggelamkan
pulau-pulau kecil.
Dalam upaya pelengkap di bawah Protokol
Kyoto di atas, negara-negara maju dan
negara berkembang diharapkan
meningkatkan ambisi komitmen dan aksi
pengurangan emisi secara sukarela dalam
kegiatan dalam negeri masing-masing.
Pada Konferensi Doha, para pihak juga
membahas tentang bentukan rezim
perubahan iklim baru yang berkekuatan
hukum di bawah Konvensi, yang diharapkan
dapat difinalisasi pada tahun 2015 dan
berlaku pada tahun 2020 untuk
menggantikan Protokol Kyoto. Proses
pembentukan rezim baru ini akan menjadi
krusial untuk menentukan masa depan
kerangka multilateral dalam upaya
penanganan perubahan iklim, di antaranya
termasuk pembagian tanggung jawab
antarnegara untuk penurunan emisi dan
dukungan untuk implementasi adaptasi
ataupun mitigasi dalam bentuk transfer
teknologi, pengembangan kapasitas,
pendanaan, dan lainnya.
Berdasarkan hasil konferensi Doha tersebut, beberapa pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti Indonesia, antara lain adalah ratifikasi amandemen Protokol Kyoto dan mempersiapkan submisi di ADP terkait dengan mitigasi, adaptasi, dan means of implementations. Walaupun banyak pihak memandang pesimis hasil kerangka multilateral untuk
| Volume II No. 1 Tahun 2013 28
membahas isu perubahan iklim, Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang secara positif memandang kerangka kerja multilateralisme di bawah UNFCCC sebagai keberlanjutan upaya dunia untuk secara bersama mengatasi permasalahan perubahan iklim. Peran aktif dan kontribusi Indonesia dalam proses Konferensi diharapkan dapat memberikan implikasi positif dalam proses implementasi di dalam negeri. Pada COP 18 ini, Indonesia juga telah memainkan peranan aktifnya sebagai Ketua Cartagena Dialogue for Progressive Action yang merupakan kelompok informal yang berupaya menjembatani perbedaan pandangan negara dalam mencapai hasil COP 18/CMP 8.1 Dari sisi Indonesia, hasil COP 18/CMP 8 dinilai telah mencerminkan terakomodasinya kepentingan dan posisi RI pada berbagai isu utama Konferensi. Indonesia juga melihat potensi diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi sebagai salah satu hasil Doha gateway untuk dimanfaatkan sebagai langkah memperkuat adaptasi dan rencana aksi adaptasi di negara-negara rentan. Selain itu, komitmen pendanaan dari negara maju dalam jangka menengah ataupun jangka panjang dapat dimanfaatkan untuk mendorong aksi yang terkait dengan adaptasi, mitigasi, dan REDD+, dalam upaya menyukseskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2020 sebesar 26 persen dengan upaya sendiri jika dibandingkan dengan garis dasar pada kondisi Bisnis Seperti Biasa (BAU baseline) dan sebesar 41 persen apabila ada dukungan internasional.
Bibiliografi:
Antara. (2012, 11 29). Inilah Penyebab Utama Bencana di Indonesia. Retrieved 12 19, 2012, from www.Republica.co.id: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/11/29/me8sji-inilah-penyebab-utama-bencana-di-indonesia
Bulletin, E. N. (2012). Summary of the Doha Climate Change Conference. New york: International Institute for Suistanable Development (IISD).
Shyam Saran: Doha's 'gateway' to nowhere.
(2012, 12 19). Retrieved 12 19, 2012, from
www.business-standard.com:
http://www.business-
standard.com/india/news/shyam-saran-
dohas-gateway-to-nowhere/496018/
* Nurul Sofia adalah Kepala Seksi Pembangunan Ekonomi Badan-Badan Regional PBB pada Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup (PELH). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
1 Cartagena Dialogue bukanlah kelompok perunding (negotiating group) namun merupakan forum informal yang beranggotakan 30 negara berkembang dan negara maju yang berpandangan sama dalam mencari solusi bermasa terhadap tantangan perubahan iklim global. Negara-negara berkembang di dalam forum ini mewakili kawasan-kawasan Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara kepulauan kecil. Mengingat Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Cartagena Dialogue ke-9 di Bali pada Oktober 2012, maka Indonesia menjadi Chair pertemuan-pertemuan koordinasi Cartagena Dialogue selama berlangsungnya COP18/CMP8 di Doha.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 29
Indonesia Terpilih Sebagai Anggota UNCITRAL Periode 2013-2019
Benny Kurnia Rahman*
General Assembly Hall Markas PBB di New York, beberapa saat sebelum pemilihan anggota UNCITRAL periode 2013-2016, tanggal 14 November 2012 (Setditjen Multilateral).
Indonesia telah terpilih menjadi anggota Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional (United Nations Commission on International Trade Law/UNCITRAL) periode 2013-2019. Pemilihan anggota UNCITRAL ini berlangsung di sela-sela Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-67 di New York pada tanggal 14 November 2012. Pemilihan ini bertujuan untuk menggantikan 30 negara yang masa keanggotaannya pada UNCITRAL akan berakhir pada tanggal 7 Juli 2013. Situasi pencalonan cukup kompetitif, terutama di tingkat kelompok regional,1 tempat lobi-lobi dilakukan sejak jauh hari sebelum tanggal pemilihan. Lobi-lobi tersebut berhasil mengamankan situasi
pencalonan, sehingga negara-negara kandidat berhasil memperoleh persetujuan (endorsement) dari masing-masing kelompok regionalnya untuk mengikuti pemilihan UNCITRAL periode 2013-2019 ini. Mayoritas kelompok regional juga berhasil
menjaga agar jumlah negara kandidat dari
kelompoknya sama dengan jumlah kursi
(posisi) yang akan ditinggalkan oleh negara-
negara yang akan berakhir masa
keanggotaannya di tahun 2013.2 Di dalam
dunia pencalonan, situasi ini dinamakan
clean-slate dan memungkinkan seluruh
negara kandidat yang mencalonkan diri
untuk terpilih. Uniknya, dalam pemilihan
| Volume II No. 1 Tahun 2013 30
untuk periode kali ini, satu kelompok
regional bahkan memiliki jumlah negara
kandidat lebih sedikit dari kursi yang
tersedia.
Dengan adanya dua situasi di atas, sesuai dengan rules of procedures yang berlaku dalam pemilihan anggota UNCITRAL, seluruh negara kandidat terpilih secara aklamasi tanpa perlu dilakukan pemungutan suara. Ini adalah kali kedua Indonesia terpilih
menjadi anggota UNCITRAL. Indonesia
pertama kali terpilih sebagai anggota UN-
CITRAL pada periode 1977-1983, lebih dari
dua puluh tahun yang lalu. Sejak
berakhirnya masa keanggotaan pada tahun
1983, Indonesia menyandang status
sebagai pengamat (observer), namun tetap
berperan aktif dalam berbagai pertemuan
UNCITRAL, baik di tingkat komisi maupun
kelompok kerja (working group).
Dengan menjadi anggota UNCITRAL,
Indonesia berkesempatan untuk mengkaji
keharmonisan model hukum nasionalnya
dengan model-model hukum produk
UNCITRAL yang menjadi rujukan hukum
perdagangan internasional.
Di samping itu, Indonesia juga dapat mengkaji berbagai kelemahan dari model hukum perdagangan nasionalnya, sehingga perbaikan dapat segera diambil agar sistem hukum perdagangan Indonesia dapat diselaraskan dengan sistem hukum perdagangan internasional dan, yang paling
utama, untuk menjaga kepentingan Indonesia dalam perdagangan internasional. Terakhir, dengan menjadi anggota UN-
CITRAL, setiap Delegasi RI yang hadir pada
setiap persidangan UNCITRAL akan terlibat
secara langsung dalam diskursus teknis
legal model hukum. Oleh karena itu, untuk
menjaga kepentingan nasionalnya,
Indonesia juga akan berupaya untuk
mengembangkan terus kapasitas SDM-nya.
Indonesia akan mulai menjabat sebagai
anggota UNCITRAL pada tanggal 8 Juli
2013, bertepatan dengan dimulainya sesi
pertemuan tahunan reguler UNCITRAL untuk
tahun 2013. Keanggotaan Indonesia akan
berlangsung selama enam tahun dan akan
berakhir pada pertengahan tahun 2019.
*Benny Kurnia Rahman adalah Staf
Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral,
Kementerian Luar Negeri
1 Sebagaimana pemilihan-pemilihan lainnya di dalam lingkup
Majelis Umum PBB, pemilihan anggota UNCITRAL dibagi
berdasarkan lima kelompok regional, yaitu Asia Pasifik, Afrika,
Amerika Latin dan Karibia, Eropa Timur, serta Eropa Barat dan
Lainnya. 2 Total jumlah kursi yang tersedia di tiap-tiap kelompok regional
adalah sebanyak jumlah negara-negara yang akan berakhir
keanggotaannya. Negara-negara yang akan berakhir
keanggotaannya di tahun 2013 adalah: 7 negara dari kelompok
Asia Pasifik (Bahrain, China, Jepang, Malaysia, Korea Selatan,
Singapura, dan Sri Lanka); 7 negara dari kelompok Afrika (Afrika
Selatan, Benin, Kamerun, Mesir, Maroko, Namibia, dan Senegal); 5
negara dari kelompok Amerika Latin dan Karibia (Bolivia, Chile, El
Salvador, Honduras, dan Meksiko); 4 negara dari kelompok Eropa
Timur (Armenia, Bulgaria, Latvia, dan Rusia); dan 7 negara dari
kelompok Eropa Barat dan Lainnya (Kanada, Perancis, Inggris,
Jerman, Yunani, Malta, dan Norwegia). Total kursi yang tersedia
dalam pemilihan periode 2013-2019 adalah 30 kursi.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 31
Economic Outlook: Can Emerging Economies Decouple from the Developed Economies?
Gracia C. Sidabutar*
The global economic landscape has
changed dramatically in recent decades as a
result of the rising economic integration and
financial linkages. In the past two decades,
the total volume of international trade has
more than tripled, and the volume of cross-
border financial flows has increased by more
than nine fold.i As such, there has been a
closer correlation between economic cycles
in advanced and emerging economies.
The striking growth rate of the emerging
economies in recent years has sparked
discussion as to whether emerging
economies are decoupling from the
developed economies. As evidenced, the
world’s distribution of economic activity is
drifting away from its 20th century linchpin,
indicated by a shift in the world’s economic
center of gravity and the trend decouplingii
experienced by emerging countries as well
as the development of intra-regional trade
clusters.iii
However, despite arguments that emerging
economies are becoming more resilient to
global shocks, the twenty first century has
also witnessed an increase in the cyclical
linkages between the emerging and
developed economies. The fundamental
difference is that at present emerging
nations are less sensitive to global shocks,
whereas in previous global financial crisisiv
emerging markets often fared much worse
than developed countries. Nevertheless,
looking at the effect of the collapse of GDP
growth, the recent financial crisis hit both
emerging and developed economies equally
hard.
Defining “Decoupling”
Decoupling itself is a “loose” term that is
short of precise definition. Most economics
experts, investors and financial practitioners
appear to agree that decoupling lies on two
principal interpretations: business cycle
synchronicity and sensitivity.v With
increasing financial globalization, emerging
economies are more likely to experience
synchronicity in the sense of global
expansions and recessions. In the 2008
global financial crisis, developing countries
experienced a similar slowdown in growth,
particularly through collapse of exports to
developed countries, declining private
capital inflows, and domestic financial
freeze as a form of contagion.vi
However, sensitivity, as another key
aspect of decoupling, has also contributed
| Volume II No. 1 Tahun 2013 32
to a robust debate over the level of
progress that emerging economies have
made since the Asian financial crisis of
the late 1990s. During the 2008 global
financial crisis, emerging economies as a
group have recovered faster than the
developed nations and managed to
achieve positive growth that has come
about before the crisis. Thus, is
decoupling a fact or a mere fiction?
Looking at cyclical decoupling, there has
been clear evidence against the
decoupling view, however it appears that
there is an emerging story about trend
decoupling between developed and
emerging economies. Since the early
2000s, emerging economies have been
experiencing higher growth rates relative
to developed economies despite the
cyclical synchrony. This improved growth
performance is not just a reflection of the
two largest emerging economies, India
and China; rather it is an aggregate
represent-tation of the developing
countries’ growth rate.
In the aftermath of the global financial
crisis, emerging economies have shown
their economic resilience by achieving a
median growth rate of 2.13 percent. On
the other hand, the median growth among
advanced or high-income countries is at
approximately minus 3.72 percent in
2009. This economic performance
suggests that emerging economies are in
fact less sensitive to global shocks and
have fared the recent global financial
crisis considerably better than the
advanced economies.
Factors Contributing to Trend Decoupling of
Emerging Economies
Emerging economies have continued to
grow significantly faster not only because
they are simply supposed to grow faster,vii
but also due to notable and widespread
improvements in the domestic balance
sheet fundamen-tals,viii structural change
and policy improvements.
In the 1980s, government profligacy,
incipient credit bubbles and increasingly
unsustainable external positions plague
most emerging markets.ix There were nearly
a dozen emerging countries with inflation
rates over 100 percent annually, and roughly
20 countries whose currencies experienced
significant devaluation. As such, during the
earlier global crisis, emerging markets lack
the capacity to resort to monetary, financial
and fiscal counter-cyclical policies to
respond to the shock.
However, since the early 2000s, emerging
markets domestic balance sheets have
improved significantly due to current
account surpluses, lower government
Volume II No.1 Tahun 2013 | 33
borrowings, better domestic banking
systems and relatively lower external debts.
The state of balance sheets of emerging
markets is currently as “clean” as they have
ever been.
Evidently, emerging markets still have
issues with improving their market structure,
transparency and liquidity at the micro level.
However, if lower macro-volatility and
higher comparative growth continues,
emerging markets have the potential for the
sustainability of relative valuations of its
assets over the past few years.
The most important concerns, however, is
whether emerging market could maintain its
period of clean domestic balance sheets.
Historically, most developing countries
started the postwar era with relatively low
debts, balanced trade and promising
financial system. The period of clean
balance sheets and strong growth in the
1960s and 1970s were, however, followed
by growing excesses, lax management and
economic complacency throughout the
1980s and 1990s. As such, emerging
economies should continuously improve
their clean balance sheets to ensure
renewed future outperformance.
Maintaining Emerging Economies’ Rapid
Growth Rate
With weaker demands for emerging market
products by consumers in the developed
economies, the most viable and sustainable
step to maintain strong growth performance
is to restructure the economies and
transform existing institutions to break away
from export dependence and rely more on
domestic demand as a source of growth.x
Emerging markets should continue to
rebalance its economic growth by
diversifying the sources of economic
growth, implementing structural changes
and making policy improvements.
Over the past decade, emerging economies
have saved and invested roughly 30 percent
of their GDP compared to an average of 20
percent for developed economies. In theory,
there are three ways to grow: investing more
capital, putting more labors to work, and
increasing total factor productivity. In this
regard, emerging economies should
continue to give high priority to sustain
investment in infrastructure development to
steer themselves to a more balanced growth
strategy, as well as transforming basic
industries into high value-added
manufacturing and services. Due to better
access to global information, existing
technologies and best practices, it is easier
for emerging market to move beyond early
production of tradable goods and adapt
more complex technologies.
Emerging economies should also expand
into intra-emerging market trade and
| Volume II No. 1 Tahun 2013 34
gradually progress into an integrated
economic bloc similar to that of the
European Union (EU). The emerging world is
no longer a small market, accounting for
approximately 35 percent of the global
economy. The increase in intra-regional
trade between emerging economies could
possibly be precipitated by the proliferation
of free trade arrangements within the
specific regions.xi The common criticism to
this view is that intra-emerging market trade
is less likely to be considered as a move
towards decoupling as “final demand”xii is
closely linked to that of the developed
countries. While arguably most trade
between emerging markets are tied to “final
demand” in the developed countries, the
data for developed EU economies showed
the exact same figure, which implies that
there is nothing distinctive about emerging
market trade relationships.
Furthermore, with the rise of China, there is
an opportunity for sustained trend
decoupling in East Asia.xiii China is
increasingly strengthening its footing as a
hub for East Asia’s regional trade. During the
first half of 2010, China’s imports from the
East Asian economies had returned to the
level of its import in 2008. The import
demand from China has significantly
contributed to East Asia’s speedy and strong
recovery from the global financial crisis.
China is beginning to become an engine of
growth for other Asian countries. However,
China’s ability to maintain its high import
demand remains uncertain if its exports
continue to decline as a share of GDP.
In addition to that, widespread improvement
in domestic balance sheet fundamentals
should be maintained to ensure the capacity
to resort to fiscal, monetary and financial
counter-cyclical policies in response to
unforeseen global shocks.
There is no denying the fact that not a single
country is completely isolated from global
shocks. What is more important, however, is
to ensure the resilience and rapidness of
economic recovery from global shocks.
Future Economic Outlook for Emerging
Economies
The synchronization of business cycles
across countries is by no means an unusual
event. It is merely the consequences of
globalization, which increases economic and
financial inter-linkages between emerging
and developed economies. Demand and
supply shocks emanating in the developed
countries are transmitted to the emerging
countries through trade and financial
channels.
The advanced and emerging countries seem
to be moving more closely and strongly
linked over time, not less. As such, there is
little if any evidence of cyclical decoupling;
Volume II No.1 Tahun 2013 | 35
the idea that business cycles are becoming
more independent and less synchronized
across countries. However, trend decoupling
is indeed an emerging story that appears to
characterize the growth performance of
developed and emerging economies. In the
period ahead, China and India will continue
to be the engine of rapid growth trends in
the emerging markets, at levels that are well
above the rest of the world. Other major
emerging markets, such as Indonesia,
Mexico, Thailand, Argentina and Chile, are
also projected to significantly increase its
contribution to the real global GDP growth.
However, it is also important to note that the
recent trend decoupling could not be
guaranteed to persist forever as emerging
economies “catch-up” with their developed
counterparts and reach “steady state”xiv
growth rates.
* Gracia C. Sidabutar is staf of the
Directorate of Trade, Industry, Investment,
and IPRS, Indonesian Foreign Ministry. The
article is of personal.
i M. Ayhan Kose et al., “How much Decoupling? How much Converging?” Finance & Development Magazine, IMF, June 2008, Volume 45, Number 2. ii Trend decoupling is when developing economies have systematically higher growth rates relative to advanced economies, despite the increasing business cycle synchronicity and sensitivity to the world economy. This implies that emerging economies have become more resilient to global shocks. iii Global Economics View, “Global Growth Generators: Moving beyond ‘Emerging Markets’ and ‘BRIC’,” Citigroup Global Markets, February 2011. iv Previous global financial crisis refers to the 1997-98 currency crisis in Asia and to a lesser extent the 1998 Russian Financial Crisis that resulted in a devaluation of the ruble and default of Russian government bond. v M. Ayhan Kose et al., “Global Business Cycles: Convergence or Decoupling?” NBER, Working Paper 14292, October 2008. vi Otaviano Canuto, “Recoupling or Switchover? Developing Countries in the Global Economy,” in “The Day After Tomorrow: A Handbook on the Future of Economic Policy in the Developing World,” The World Bank, September 2010. vii Based on the modern growth theory, poorer countries are poised to grow faster, allowing them to catch up with their more advanced neighbors. Structural transformation from agriculture into industrialist society, that leaves huge space for further relative specialization or sectoral adjustment. viii Jonathan Anderson, “The Real Decoupling,” UBS Investment Research, August 2009. ix Jonathan Anderson, “Emerging Markets Poised to Perform,” Far Eastern Economic Review, September 2009. x Yung Chul Park, “The Global Financial Crisis: Decoupling of East Asia – Myth or Reality?”, Asian Development Bank Institute, Working Paper Series No. 289, June 2011. xi Goldman Sachs Global Economics Group, “BRICs and Beyond,” The Goldman Sachs Group, 2007. xii Intra-emerging market trade is tied to final demand in the developed economies through export processing, production chaining and production fragmentation. xiii East Asia refers to Northeast Asian countries and members of ASEAN. xiv Steady state growth rate is defined as an economy where saving/investment equals depreciation, and the economy reaches equilibrium. A steady state economy aims for stable fluctuating levels in population and consumption of energy and materials.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 36
106 WNI Ikuti Rekrutmen Calon Pegawai PBB
Ary Raharjo*
Sebanyak 106 Warga Negara Indonesia (WNI)
memperoleh kesempatan untuk mengikuti ujian
tertulis pada seleksi penerimaan calon pegawai
PBB melalui Young Professionals Programme
(YPP) 2012. Selain 106 WNI, terdapat pula 8
Warga Negara Asing (WNA) yang ambil bagian
dalam ujian dimaksud yang diselenggarakan di
Gedung Caraka Loka, Jakarta, pada tanggal 5
Desember 2012. Sementara itu, 20 WNI lainnya
mengikuti ujian di berbagai negara tempat
mereka berdomisili, atau di negara terdekat.
Dari sekitar 41.000 orang yang mengirimkan
lamaran secara online sejak tanggal 13 Juli
hingga 19 September 2012, sebanyak 407
orang di antaranya adalah WNI. Setelah
dilakukan penyaringan tahap awal, sekitar
5.000 pelamar diundang untuk mengikuti ujian
tertulis yang dilaksanakan di berbagai negara.
Jumlah seluruh WNI yang dipanggil untuk
mengikuti ujian tertulis sebanyak 140 orang.
Namun pada hari pelaksanaan, dari 120 WNI
yang telah terdaftar untuk mengikuti ujian di
Jakarta, hanya 106 orang yang hadir untuk
mengikuti ujian tertulis di bidang-bidang politik,
sosial, sistem informasi dan teknologi, ekonomi
dan arsitektur.
Indonesia ditetapkan sebagai salah satu pusat
penyelenggaraan ujian tertulis setelah syarat
jumlah kandidat minimal 15 orang yang lulus
dalam seleksi tahap pertama atau seleksi
administrasi berhasil terpenuhi. Selain di
Indonesia, ujian tertulis juga digelar di 58
negara, antara lain Australia, Selandia Baru,
India, Malaysia, Afghanistan, Lebanon, Amerika
Serikat, Belgia, Brasil, India, Chile, dan
Kolombia. Ujian dilaksanakan hampir serentak
guna menghindari kebocoran soal. Setelah
registrasi, Ms. Helen Kwon-Karaul dari
UNESCAP yang bertindak selaku koordinator
ujian di Jakarta memberikan pengarahan
kepada peserta ujian mengenai tata cara
menjawab soal. Ujian berlangsung selama 4,5
jam dari pukul 15.55 WIB hingga 20.25 WIB.
Seorang peserta ujian diminta untuk menjadi
saksi pembukaan amplop berisi buku soal ujian
guna memastikan bahwa buku soal dimaksud
masih tersimpan di dalam amplop tertutup dan
tersegel. Setelah ujian, yang bersangkutan
kembali diminta menyaksikan penyimpanan
seluruh buku jawaban peserta ke dalam amplop
dan membubuhkan tanda tangannya pada
amplop-amplop tersebut untuk dikirimkan
kembali ke kantor Sekretariat PBB di New York
sehari setelah ujian.
Hasil ujian tertulis akan langsung disampaikan
kepada peserta ujian melalui e-mail sekitar
bulan Februari-Maret 2013. Peserta yang lulus
akan diundang untuk mengikuti proses seleksi
selanjutnya, berupa wawancara, yang
rencananya akan diselenggarakan di Bangkok
atas biaya PBB.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 37
Para peserta mengerjakan ujian seleksi YPP
Sekilas tentang YPP
Young Professionals Programme (YPP)
adalah program perekrutan pegawai PBB
yang diselenggarakan setiap tahun dan
secara khusus merekrut para profesional
muda dari seluruh dunia untuk berkarir
sebagai pegawai internasional PBB (UN
international civil servant). Sebelumnya,
program perekrutan ini dinamakan National
Competitive Recruitment Examination (NCRE)
yang terakhir kali diselenggarakan pada
tahun 2010. Sejak tahun 2011, NCRE
berubah menjadi YPP.
Perekrutan YPP tidak mensyaratkan
pengalaman kerja, sehingga seorang fresh
graduate sekalipun dapat mengajukan
lamaran untuk mengikuti program ini.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi
adalah: 1) Memiliki gelar Strata 1 (S1), 2)
Berusia maksimal 32 tahun, 3) Mempunyai
kemampuan bahasa Inggris dan/atau
Perancis yang sangat baik, dan 4) Warga
negara dari negara yang diundang untuk
mengikuti program YPP.
Proses lamaran dilakukan secara online melalui
website https://careers.un.org. Seluruh
kandidat harus membuat profil terlebih dahulu
sebelum mengajukan lamarannya. Pelamar
juga hanya dapat mengajukan satu lamaran
saja, dan sekiranya seorang pelamar memenuhi
syarat untuk jenis pekerjaan lain yang
ditawarkan, maka ia harus memilih pekerjaan
yang paling diminati.
Para kandidat yang berhasil lolos seluruh
tahapan ujian YPP akan ditempatkan pada
berbagai pos penugasan PBB atau pada
misi/operasi pemeliharaan perdamaian PBB,
pada jenjang jabatan P-1 atau P-2. Adapun
peserta yang lolos seleksi namun tidak
mendapat tempat penugasan akan dimasukkan
dalam daftar cadangan yang akan mengisi
jabatan lowong di kemudian hari. Daftar
cadangan itu mempunyai batas waktu 2 tahun
sejak berakhirnya pelaksanaan ujian. Peserta
dalam daftar cadangan yang menolak
undangan wawancara atau menolak tawaran
pekerjaan akan dikeluarkan dari daftar
cadangan.
Sebelum penugasan pertama, para peserta
yang telah dinyatakan lulus akan mengikuti
program orientasi selama 2 minggu. Penugasan
awal umumnya berlangsung selama 2 tahun,
yang akan diikuti oleh penugasan kedua pada
pos penugasan yang berbeda.
*Ary Raharjo adalah Kasubbag Pelaporan pada
Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral,
Kementerian Luar Negeri.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 38
Sekilas Info Diplomasi Multilateral
Oktober-Desember 2012
Melindungi Dunia dari Bahaya Rekayasa Genetik
Pertemuan keenam Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the
Cartagena Protocol on Biosafety atau COP/MOP Cartagena Protocol on Biosafety
diselenggarakan di Hyderabad, India, pada tanggal 1-5 Oktober 2012. Pertemuan tersebut
bertujuan untuk mengkaji implementasi Protokol Kartagena dan membuat keputusan yang
diperlukan guna mengedepankan implementasi yang efektif. Protokol Cartagena merupakan
protokol internasional yang mengatur keamanan perpindahan lintas batas antarnegara,
penanganan, dan penggunaan organisme hidup hasil modifikasi (Living Modified
Organisms/LMOs) sebagai produk dari bioteknologi modern dan hasil rekayasa genetik yang
dapat mengakibatkan kerugian bagi lingkungan dan manusia. Protokol Cartagena diadopsi
pada tanggal 29 Januari 2000 di Montreal, Kanada, dan mulai berlaku pada tanggal 11
September 2003. Hingga saat ini, 159 negara dan Uni Eropa telah meratifikasi atau
menyetujuinya. Indonesia menandatangani Protokol Cartagena pada bulan Mei tahun 2004,
dan meratifikasi Protokol tersebut melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 pada
tanggal 17 Juli 2004.
Indonesia Juru Bicara Negara-negara Penghasil Kayu
Indonesia terpilih sebagai juru bicara bagi negara-negara penghasil kayu dalam Pertemuan
Sesi ke-48 International Tropical Timber Council (ITTC) yang berlangsung di Yokohama,
Jepang, tanggal 5-10 November 2012. ITTC merupakan governing body dari International
Tropical Timber Organization (ITTO), sebuah intergovernmental organization yang
mendorong pelestarian dan perlindungan dalam rangka penggunaan maupun perdagangan
hasil produksi hutan. Keanggotaannya mewakili 80 persen hutan tropis dunia dan 90persen
perdagangan kayu dunia. ICCO mengadakan sidang council setiap tahun, mempertemukan
antara negara produsen dengan konsumen kayu. Dengan menjadi juru bicara, secara
otomatis Indonesia berperan sebagai leading negotiator untuk masa 3 tahun mendatang,
khususnya untuk isu perdagangan kayu tropis dan produk kayu lainnya, peran hutan dalam
mengentaskan kemiskinan dan perubahan iklim, konservasi hutan, standarisasi, dan isu-isu
terkait perdagangan lainnya. Kedudukan sebagai juru bicara mempunyai arti strategis bagi
Indonesia di ITTO dan diharapkan dapat menjadi batu loncatan bagi posisi Executive Director
atau posisi senior lainnya di ITTO di masa mendatang.
Volume II No.1 Tahun 2013 | 39
Peringatan Satu Dekade Bali Process
Peringatan 10 tahun Bali Process diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada tanggal 12-13
November 2012. Sebanyak 24 negara di kawasan Asia Pasifik dan sejumlah organisasi
internasional hadir di acara tersebut. Peringatan ini dilangsungkan dalam bentuk rangkaian
konferensi “Bali Process Experience” dan forum “Advancing Regional Cooperation on
Trafficking in Persons.” Bali Process dibentuk untuk mengatasi meningkatnya irregular
migration serta arus people smuggling dan trafficking in persons di kawasan Asia-Pasifik.
Sebagai inisiasi awal, pada tahun 2002 dan 2003 Indonesia dan Australia menggagas
penyelenggaraan Bali Regional Ministerial Meeting on People Smuggling, Trafficking in
Person and Related Transnational Crime (BRMC I dan BRMC II) yang menghasilkan sebuah
Regional Consultative Process (RCP) yang dikenal sebagai Bali Process on People
Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime (selanjutnya disebut
sebagai Bali Process), di mana Indonesia bersama Australia selanjutnya bertindak sebagai
Co-chairs.
Upaya Menangani Tahanan Terorisme
Global Counterterrorism Forum (GCTF) Workshop on the Management and Custody of
Terrorist Detainees in Prison diselenggarakan di Sydney, Australia, pada tanggal 7-9
November 2012. Forum yang dihadiri oleh sekitar 60 peserta dari 15 negara dan perwakilan
UNODC dan Uni Eropa ini dimaksudkan sebagai wadah bagi aparat lembaga pemasyarakatan
untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi guna menerapkan best practices
dalam pengelolaan tahanan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Para peserta menyepakati
beberapa strategi, di antaranya pengembangan kemampuan petugas lapas secara
menyeluruh dan komprehensif, peningkatan upaya kerja sama intelijen, dan alokasi sumber
dana tambahan dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung program deradikalisasi.
Mengelola Gula Dunia
International Sugar Organization (ISO) menggelar sidang International Sugar Council (ISO)
ke-42 di London, Inggris, pada tanggal 29-30 November 2012. Topik utama sidang adalah
status keanggotaan Meksiko yang terancam keluar dari organisasi akibat penundaan
pembayaran iuran keanggotaan lowongan jabatan ISO Executive Director. ISO adalah
organisasi intergovernmental yang dibentuk berdasarkan International Sugar Agreement
(ISA) tahun 1992 dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas perdagangan gula dunia
melalui sejumlah kegiatan, antara lain pertukaran data/statistik, seminar, dan pertemuan
regular di antara negara anggota. Indonesia tergabung dalam keanggotaan ISO setelah
melalui proses aksesi pada tanggal 13 Mei 2011.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 40
Upaya Melindungi Pekerja Migran
Sidang ke-6 Global Forum on Migration and Development (GMFD) diselenggarakan di Port
Louis, Mauritius, tanggal 21-22 November 2012. Isu yang dibahas dalam forum tersebut
antara lain adalah pengalaman negara-negara peserta dalam penyelamatan kecelakaan laut,
khususnya yang menimpa migran, dan tantangan yang dihadapi serta model kerja sama
yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kerja sama kawasan. Hasil-hasil GFMD 2012
akan dibahas pada High-Level Dialogue on Migration and Development yang akan
dilaksanakan di sela-sela SMU PBB tahun 2013. GFMD merupakan forum antar-negara yang
bersifat non-binding dan sukarela untuk mendiskusikan masalah-masalah terkait migrasi
dan pembangunan. GFMD diselenggarakan satu tahun sekali dan dihadiri oleh negara-
negara anggota, badan-badan khusus PBB, organisasi internasional, serta organisasi
masyarakat sipil.
Pengaturan Internet Skala Global
Indonesia mengusulkan dibuatnya suatu konvensi global mengenai pengaturan
internet/jagad maya dalam rangka mewujudkan suatu kondisi di jagad maya yang kondusif
bagi perkembangan pemanfaatan internet dalam skala nasional dan internasional. Usulan itu
disampaikan dalam World Conference on International Telecommunications (WCIT) 2012
yang berlangsung di Dubai, Persatuan Emirat Arab (PEA), pada tanggal 3-14 Desember
2012. Konferensi ini bertujuan untuk melakukan review terhadap International
Telecommunication Regulations (ITRs), satu dari empat perjanjian internasional yang
menjadi landasan dibentuknya misi International Telecommunication Union (ITU), yaitu
Badan khusus PBB yang menangani isu telekomunikasi global. ITRs ditandatangani oleh 178
negara, termasuk Indonesia, dan bertujuan antara lain untuk menetapkan prinsip umum
terkait penyediaan dan pengoperasian telekomunikasi internasional, memfasilitasi
interkoneksi dan interoperability global, mempromosikan efisiensi, pemanfaatan dan
ketersediaan jasa telekomunikasi internasional. Sejak ditetapkan pada World Administrative
Telegraph and Telephone Conference di Melbourne, Australia, tahun 1988, ITRs belum
pernah mengalami perubahan/penyesuaian.
Indonesia Calonkan Mari Elka sebagai Dirjen WTO
Indonesia mengajukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr. Mari Elka Pangestu,
sebagai Direktur Jenderal World Trade Organization (WTO) untuk menggantikan Pascal Lamy
yang akan habis masa jabatannya pada 31 Agustus 2013. Jabatan Dirjen WTO memiliki
periode tugas selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode 4 tahun berikutnya.
Masa pembukaan pencalonan kandidat Dirjen WTO dibuka mulai 1 Desember 2012 dan
Volume II No.1 Tahun 2013 | 41
ditutup pada 31 Desember 2012. Periode pemilihan akan berlangsung dari April hingga Mei
2013 melalui serangkaian konsultasi para anggota kepada General Council (GC). Negara
yang akan menjadi pesaing Indonesia adalah Yordania, Meksiko, Kenya, Ghana, Kosta Rika,
Brazil, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Jika terpilih, Mari akan menjadi perempuan kedua
dari Indonesia yang menduduki jabatan tinggi di lembaga internasional prestisius setelah Sri
Mulyani Indrawati yang menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia sejak 2010.
Penguatan Peran Perempuan di Negara-negara OKI
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-4 mengenai Peranan
Perempuan dalam Pembangunan telah diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 4 – 6
Desember 2012, dengan tema “strengthening women’s participation and roles in economic
development in OIC member states”. Pertemuan dihadiri oleh delegasi dari 40 negara (di
antaranya diwakili oleh 23 pejabat tingkat menteri) dan badan-badan OKI, organisasi
internasional, dan tamu undangan lain. Pertemuan berhasil mengadopsi Jakarta Declaration
yang berisikan komitmen negara-negara OKI mengenai penguatan peran dan partisipasi
perempuan dalam pembangunan ekonomi. Deklarasi juga memuat sejumlah rekomendasi
guna merespon isu-isu yang menjadi permasalahan bersama anggota OKI terkait perempuan
di bidang ekonomi, antara lain akses perempuan terhadap sumber daya produktif,
penciptaan kesempatan dan kapasitas perempuan di dunia kerja, dan eliminasi segregasi
antara perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 42
Agenda Diplomasi Multilateral
Januari-Maret 2013
Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), Davos, Swiss,
23-27 Januari 2013.
World Economic Forum (WEF) Annual Meeting yang berdiri sejak 1971 merupakan forum
pertemuan tahunan bagi CEO dan pemilik perusahaan ternama dari seluruh dunia untuk
berinteraksi dengan leaders dari negara-negara utama, dunia usaha, media, serta pemangku
kepentingan lainnya. Langkah besar Indonesia pada pertemuan WEF diawali pada Annual
Meeting WEF tahun 2011 di Davos yang dihadiri oleh Presiden RI. Sejak itu, sekitar 17
pengusaha Indonesia telah menjadi anggota WEF. Tahun ini pertemuan akan
diselenggarakan di Davos, Swiss, pada tanggal 23-27 Januari 2013 dengan tema “Resilient
Dynamism.” Selain Presiden RI, turut hadir pula Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan,
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri ESDM, Menteri Pertahanan, dan Menteri
Keuangan.
Pertemuan Ketiga High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development
Agenda (HLP), Monrovia, Liberia, 30 Januari-1 Februari 2012.
High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP) telah
mengadakan dua kali pertemuan, masing-masing di New York tanggal 25 September 2012
dan di London tanggal 1 November 2012. Pertemuan HLP berikutnya diadakan di Monrovia,
Liberia, pada tanggal 30 Januari-1 Februari 2013, dengan fokus pembahasan pada isu
‘national building blocks for achieving sustainable prosperity.’
KTT ke-12 OKI di Kairo, Mesir, 2-7 Februari 2013.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan
diselenggarakan di Kairo, Mesir, pada tanggal 2-7 Februari 2013. KTT OKI merupakan forum
yang diadakan setiap tiga tahun sekali. KTT sebelumnya diselenggarakan di Senegal pada
tahun 2008. Isu yang akan menjadi perhatian pada KTT ke-12 ini masih seputar konflik di
negara-negara Timur Tengah, konflik Palestina-Israel, dan pemajuan perekonomian negara-
negara anggota. Selain itu akan dilakukan penyerahan keketuaan OKI dari Senegal ke Mesir.
Ministerial Meeting on the Reform of the UN Security Council, Roma, Italia, 4 Februari 2013.
Pada tanggal 4 Februari 2013, bertempat di Roma, Italia, akan diselenggarakan pertemuan
untuk membahas perkembangan terkini dan tindak lanjut terkait reformasi Dewan Keamanan
Volume II No.1 Tahun 2013 | 43
PBB. Pada kesempatan tersebut, negara-negara kunci, termasuk Indonesia, diharapkan
dapat menyampaikan posisinya terkait reformasi DK PBB serta membahas langkah ke depan
proses reformasi DK PBB yang hingga saat ini masih mengalami stagnasi
Seminar regional “Maintaining a Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapons,” Jakarta,
12 Februari 2013.
Sebagai tindak lanjut ratifikasi Indonesia atas Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty
(CTBT), Indonesia akan menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Maintaining a
Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapons.” Wakil-wakil pemerintah, parlemen, dan
akademisi dari negara-negara ASEAN akan diundang untuk berpartisipasi dalam seminar ini
untuk mendiskusikan upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara untuk mempertahankan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan
bebas senjata nuklir.
The 5th UNAOC Global Forum/Vienna Forum, Wina, Austria, 27-28 Februari 2013
The Alliance of Civilization (AoC) merupakan forum yang diprakarsai Sekjen PBB Kofi Annan
dan disponsori oleh PM Spanyol dan Turki pada tahun 2005. Salah satu tujuan AoC adalah
mendorong terciptanya “Harmony among Civilization”. AoC berupaya menjembatani jurang
(gap) Budaya dan Agama, serta membangun kemauan politik bersama dan memobilisasi aksi
bersama menghadapi prejudice, mispersepsi dan menolak ekstrimisme dalam masyarakat.
AoC memiliki empat pilar aksi, yaitu pendidikan, kepemudaan, media, dan migrasi. Sebagai
tindaklanjut rangkaian dialog yang telah berlangsung melalui UNAOC Global Forum di
Madrid, Istanbul, Rio de Janeiro, dan Doha, UNAOC kembali akan menyelenggarakan The 5th
UNAOC Global Forum/Vienna Forum pada tanggal 27-28 Februari 2013 di Wina, Austria,
dengan mengusung tema "Responsible Leadership in Diversity and Dialogue".
High Level Segment Human Right Council Sesi ke-22, Jenewa, Februari 2013.
High Level Segment (HLS) adalah forum yang diselenggarakan satu tahun sekali dalam
sidang Dewan HAM (DHAM) PBB di mana para pejabat tingkat tinggi negara anggota
maupun peninjau DHAM menyampaikan pernyataan mengenai berbagai upaya pemajuan dan
perlindungan HAM di negara masing-masing. Dalam Sidang DHAM Sesi ke-22, HLS akan
berlangsung pada tanggal 25-28 Februari 2013.
| Volume II No. 1 Tahun 2013 44
International Seminar on the Bali Process: Toward the 5th BRMC, Jakarta, Februari 2013.
Seminar ini diselenggarakan untuk menyambut pertemuan tingkat Menteri (BRMC) V yang
direcanakan diselenggarakan pada awal April 2013. BRMC V sendiri akan membahas hal-hal
yang terkait penanganan isu penyelundupan manusia, perdagangan orang, dan kejahatan
lainnya, serta akan membahas tindak lanjut dari hasil pertemuan Peringatan 10 tahun Bali
Process yang telah diadakan di Bali pada tanggal 12-13 November 2012.
Jakarta International Defense Dialogue (JIDD), Jakarta, 20-21 Maret 2013.
Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) merupakan sebuah forum diskusi di bidang
Pertahanan. Tema JIDD tahun 2013 adalah “Defense and Diplomacy.” Dalam pertemuan ini
akan hadir beberapa kepala negara dan kepala pemerintahan serta menteri-menteri yang
menangani isu pertahanan dan hubungan luar negeri untuk membahas keterkaitan antara
diplomasi dan pertahanan, dan bagaimana kedua hal tersebut dapat dioptimalkan untuk
meningkatkan kepercayaan di antara pemerintah dalam rangka mewujudkan perdamaian
dan keamanan yang berkelanjutan. Dalam penyelenggaraan JIDD 2013, Kementerian
Pertahanan bekerja sama dengan International Peace Institute (IPI), sebuah think thank
internasional yang berbasis di New York.
Pertemuan Keempat High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development
Agenda, Bali, 25-27 Maret 2013.
Pasca-pertemuan HLP di Monrovia, pertemuan HLP keempat dijadwalkan akan
diselenggarakan di Bali tanggal 25-27 Maret 2013. Pada pertemuan tersebut, pembahasan
akan difokuskan pada isu global partnership dan means of implementation. Pada bulan
Maret 2013 pula diharapkan draft pertama laporan HLP telah selesai untuk dibahas lebih
lanjut. Pertemuan terakhir HLP akan diadakan pada bulan Mei 2013 dilanjutkan penyerahan
laporan akhir HLP kepada Sekretaris Jenderal PBB.