qÂdir al-jailÂnÎ -...
TRANSCRIPT
TAFSIR ISYÂRÎ TENTANG SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-
QÂDIR AL-JAILÂNÎ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Riswan Sulaeman
NIM: 1112034000071
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ABSTRAK
Riswan Sulaeman: “Tafsir Isyârî Tentang Surga Menurut Syaikh „Abd al-
Qâdir al-Jailânî (470-561 H)”
Surga di dalam al-Qur‟an dan hadis seringkali dideskripsikan sebagai
tempat yang di dalamnya terdapat sungai yang mengalir, pepohonan dan buah-
buahan, kasur-kasur yang tebal lagi empuk, dipan-dipan yang indah, dan lain
sebagainya. Para mufassir bebrbeda pandangan mengenai kenikmatan yang akan
diperoleh di surga kelak. Ada yang meyakini kenikmatan tersebut bersifat jasmani
(material), sebagaimana yang dideskripsikan dalam al-Qur‟an maupun Hadis.
Sebagian yang lain berpendapat bersifat ruhani (immaterial), seperti yang
dilakukan oleh para filusuf dan ahli tasawwuf. Ada pula yang menggabung
keduanya, jasmani (material) dan rohani (immaterial).
Dalam penelitian ini peneliti fokus membahas penafsiran tentang surga
yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-Jailânî.
Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi menarik untuk diteleiti karena
menurut al-Jailânî kenikmatan yang diperoleh oleh manusia di dalam surga
bersifat ruhani (immateri). Kenikmatan tersebut berupa makrifat, pengetahuan
ilahi yang hakiki. Makrifat merupakan puncak kenikmatan dan akhir kerinduan
seorang hamba kepada Tuhannya, juga merupakan karunia tertinggi yang
diberikan Allah Swt kepada hambanya, karena adanya kesungguhan, kerajinan,
kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Makrifat yang
diperoleh sorang hamba di dalam surga terbagi menjadi dua, ma‟rifat al-kulliyyah
dan ma‟rifat al-juziyyah.Ma‟rifat al-kulliyyah merupakan sumber segala
pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat al-kulliyyah itu
mengalirlahma‟rifat al-juziyyah (pengetahuan-pengetahuan parsial), layaknya
sungai-sungai yang mengalir dari lautan menuju daratan. Memperoleh ma‟rifat al-
kulliyyah merupakan sebuah proses yang berlangsung kontinyu atau berulang-
ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb, maka semakin banyak hakikat atau
rahasia ketuhanan yang dapat diketahui. Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat
al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi ma‟rifah yang penuh tentang Tuhan karena
Tuhan itu tak terbatas (infinite), sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat
terbatas (finite).
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan
dan baru kemudian dianaslisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran
al-Jailânî terhadap surga diperlukan tafsir itu sendiri dan karya-karya al-Jailânî
lainnya seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-Haqq, al-Mukhtasar
fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaibdan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu
dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban
atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya. Kajian ini juga
menggunakan pendekatan tematik al-Qur‟an, yakni berusaha mencari jawaban
atas penafsiran surga menurut al-Jailânî dengan jalan menghimpun seluruh
penafsiran al-Jailânî terhadap ayat-ayat surga, lalu menganalisanya lewat ilmu-
ilmu bantu yang relevan, untuk kemudian melahirkan konsep surga yang utuh
dalam perspektif al-Jailânî.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.
Berkat izin dari-Nya pemulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita
termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan
syafa‟at pada hari Kiamat kelak.
Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “TAFSIR ISYÂRÎ
TENTANG SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-QÂDIR AL-JAILÂNΔ
ini tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya yang penulis miliki. Ada
banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak
langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini
penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
4. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi
penulis dalam mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.
iii
5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, M.A., selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing,
mengarahkan, dan mengoreksi dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman
berharga kepada penulis.
7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Saefudin dan Ibu Rokhayati,
yang selalu mendoakan kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang
tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Yang dengan sabar menunggu dalam
menyelesaikan masa studi penulis. Juga adik-adik tercinta yang berkat
merekalah aku semangat menyelesaikan tugas akhir ini, Ghofur
Rahmat Septian, dan Diah Ayu Restiani.
8. Keluarga Besar Tafsir Hadis angkatan 2012, terkhusus bagi kawan-
kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga dan takkan
retak walaupun jarak memisahkan kita.
9. Kawan-kawan gerakan PMII, GM-I, SMGI, dan RINGKAS, yang
telah banyak berkontribusi dalam membangun keintelektualan penulis
dengan kajian dan diskusi, serta kesadaran penulis agar selalu peka
dan peduli terhadap lingkungan, baik lokal maupun nasional.
Terkhusus bagi Bung Maslam Danuri yang senantiasa mendidik dan
melatih penulis dalam berorganisasi secara ikhlas, tanpa pamrih dan
mengharap imbalan.
iv
10. Ada banyak orang lagi, namun tidak bisa saya sebutkan semuanya.
Tapi yang pasti saya sangat berterima kasih atas apa yang telah
mereka lakukan.
Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat
ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.
Ciputat, 15 Juni 2017
Riswan Sulaeman
v
DAFTAF ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah .................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat ....................................................... 11
D. Metode Penelitian .......................................................... 12
E. Kajian Pustaka ............................................................... 14
F. Sistematika Penulisan .................................................... 17
BAB II ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR
SURGA
A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir .............. 19
B. Sejarah Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir .................... 24
C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi ................................. 33
D. Perkembangan Ragam Tafsir Surga
1. Periode Klasik ........................................................ 40
2. Periode Modern ...................................................... 45
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYAIKH „ABD AL- QÂDIR
AL-JAILÂNÎ
A. Biografi Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî
1. Konteks Sosial-Politik Masa al-Jailânî ..................... 49
2. Riwayat Hidup al-Jailânî .......................................... 55
3. Konsep Tasawwuf al-Jailânî ..................................... 59
4. Geneologi Tasawuf al-Jailânî ................................... 63
B. Profil Kitab Tafsîr al-Jailânî
1. Latar Belakang Tafsîr al-Jailânî ............................... 64
2. Metode dan Corak Tafsîr al-Jailânî ......................... 68
3. Sistematika Penulisan Tafsîr al-Jailânî .................... 71
BAB IV MAKNAISYÂRÎ SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-
QÂDIR AL-JAILÂNÎ
A. Taman-Taman Surga .................................................... 72
B. Bidadari-Bidadari Surga ............................................... 85
C. Makanan dan Minuman Ahli Surga ............................. 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................. 92
B. Saran ......................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapatdalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2012-2013 UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
a. PadananAksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
vii
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ء
Y Ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal
tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
VokalPanjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas ى ا
î i dengantopi di atas ى ي
viii
û u dengantopi di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ا, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-
diwân.
Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah kata
sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah.Misalnya, kata اعشسح
tidakditulisad-darûrahmelainkanal-darûrah, demikianseterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitandenganalihaksaraini, jikahurufta marbûtahterdapatpada kata
yang berdirisendiri, makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /h/
(lihatcontoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja
dihuruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No TandaVokal Latin Keterangan
Tarîqah طريقة 1
al-Jâmi‟ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
ix
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,
maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah, ortodoksi dan heterodoksi merupakan sesuatu yang sangat
relatif, tergantung pada perkembangan ajaran resmi agama Islam dalam sejarah.
Penilaian bahkan penghakiman tentang tafsir yang ortodoks atau yang heterodoks
sangat ditentukan oleh paham Islam dari aktor-aktor yang memiliki otoritas
keagmaan (ulama) dan kekuasaan (sultan) sekaligus. Karena pemahaman Islam
mengalami perkembangan dan perubahan, maka apa yang dituduh sebagai
heterodoks ternyata dikemudian hari diterima sebagai yang ortodoks dan begitu
sebaliknya.1
Secara etimologis ortodoksi berarti ajaran yang benar; heterodoksi berarti
ajaran yang seperti benar padahal tidak.2 Secara terminologis ortodoksi berarti
ketaatan kepada ajaran resmi, sedangkan heterodoksi berarti penyimpangan
kepada ajaran resmi. Dalam Islam dikenal misalnya istilah sunnah dan bid‟ah
dalam bidang teologi dan fiqh, mu‟tabarah dan ghair mu‟tabarah dalam bidang
tasawuf, mu‟tamad dan ghair mu‟tamad dalam bidang fatwa dan lain-lain.3 Dalam
definisi Arkoun ortodoksi adalah ajaran yang menjadi kesadaran kelompok
1Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,
No. 2 (April 2012), h. 180. 2Ortodoksi berasal dari bahasa Yinani orth yang berarti benar dan doxa yang berarti
ajaran.Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar. Sedangkan heterodoksi berasal dari kata hetero
yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heteredoksi berarti ajaran yang mirip namun
tidak benar. William L. Reese, Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western
Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 540. 3 Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979), h. 236-237.
2
mayoritas yang dengannya kelompok itu melihat berbagai kesadaran lain yang
dikembangkan oleh kelompok minoritas sebagai heterodoks.4
Secara normatif, ortodoksi tafsir dapat dilacak akarnya pada hadis-hadis
anti tafsîr bi al-ra‟y. Hadis-hadis itu berisi kecaman Rasulullah terhadap orang-
orang yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y (opini pribadi). Rasulullah
mengancam mereka dengan neraka, sebanding dengan ancamannya terhadap para
pemalsu hadis.5 Hampir satu abad lamanya tafsîr bi al-ra‟y dihindari dan baru
muncul kemudian pada awal era dinasti Abbasiyyah.6
Dalam masa seabad itu, al-Qur‟an lebih banyak ditafsirkan melalui atsar
yang bersumber dari nabi Muhammad melalui para sahabat dan tâbi‟în yang
terkemuka, yang kemudian dikenal dengan tafsîr bi al-ma‟tsûr. Penafsiran al-
Qur‟an dengan opini pribadi (ra‟y) pada masa itu akan dianggap sebagai
perbuatan menyimpang (heresy) yang terkadang mengakibatkan sanksi fisik.7
Tapi seperti halnya hadis palsu, kelahiran tafsir heterodokspun tidak bisa
dibendung. Pada masa sahabat, komentar-komentar tentang al-Qur‟an yang tidak
berasal dari Rasulullah sudah mulai ditambahkan. Pelakunya adalah para sahabat
sendiri, terutama yang dipandang ahli dalam tafsir al-Qur‟an seperti Ibn „Abbas,
4 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru (Jakarta: INIS, 1994), h.264. 5 Hadis-hadis anti tafsir bi al-ra‟y ini jumlahnya ada dua puluh lima. Tujuh belas
diriwayatkan dari Ibn „Abbas delapan dari Jundab ibn Abdiilah. Hadis-hadis itu dapat dilihat
dalam Abȗ „Îsâ Muhammad bin „Îsâ al-Tumȗzi al-Silmî, Sunan al-Tumȗzi (Kairo : Dâr al-Hadis,
2010). 6 Muhammad Husain al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah Wahbah,
2000), j. I, h.146. 7Contohnya orang-orang yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakr berkata bahwa
perbuatan mereka didasari QS. Al-Taubah/9: 103. Menurut mereka, ayat itu memerintahkan
Muhammad untuk mengambil zakat dari mereka.Sebagai gantinya Muhammad mendoakan
mereka sehingga mereka merasa tenang.Kewajiban membayar zakat hanya kepada Muhammad
karena doanya mujarab. Sedangkan doa Abu Bakr tidak mujarab, karena itu tidak ada kewajiban
membayar zakat kepada Abu Bakr. Karena kelakuan mereka ini Abu Bakr memerangi mereka
dalam perang Riddah. Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, v. VI. h, 311.
3
Ibn Mas‟ud, dan „Ubayy ibn Ka‟b yang kemudian hari diikuti oleh para tâbi‟în
yang menjadi murid mereka. Pada masa itu batas-batas ortodoksi tafsir mulai
bergeser. Orang yang berhak menafsirkan al-Qur‟an tidak lagi hanya Rasulullah
yang telah wafat, tapi juga mereka yang masih hidup namun memeroleh warisan
dari Rasulullah terutama dalam bidang tafsir, asbâb al-nuzûl, bahasa Arab8, dan
riwayat Isra‟iliyyat9. Penafsiran dari orang-orang seperti ini digolongkan tafsir
yang ortodoks sementara penafsiran dari sumber lain dianggap heterodoks.10
Dengan semakin banyaknya subjek yang diperbolehkan berbicara tentang
tafsir al-Qur‟an selain Rasulullah maka semakin gemuklah tafsîr bi al-ma‟tsûr
terutama oleh unsur-usur non hadis seperti riwayat isra‟iliyyat, mislanya.11
Setelah tafsîr bi al-ra‟y mengukuhkan diri sebagai bagian dari tafsir yang
ortodoks12
, masuklah kemudian ke dalam batas ortodoksi genre tafsîr bi al-isyâri,
8 Ibn Taiymiyyah berkata:
رذثش اال ثذ ك ؼب ال ، زي هب هللا رؼب: ا اضاضب هشاب ػشثب ؼ رؼو
Mennghayati al-Qur‟an tanpa memahami maknanya itu tidak mungkin, sebagaimana
firman Allah Swt: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Yusuf: 2). Lihat. Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-
Tafsîr (Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t), h. 9. 9 Ibn Taiymiyyah berkata:
االعشائخ رزش العزشبد ال الػزوبد، كبب ػ ثالثخ اهغب: ادذب ب ػب صذز ب ثبذب ب شذ االدبدث
ثبصذم كزاى صذخ. اثب ب ػب زث ثب ػذ ب خبل. اثبث ب غد ال زا اوج ال ز اوج، كال
ب روذ.ؤ ال زة رجص دبز،
Riwayat-riwayat Israiliyyat disebutkan sebagai penguat (penyaksian) bukan sebagai
keyakinan, maka sesungguhnya riwayat-riwayat Israiliyyat itu terbagi menjadi tiga macam:
pertama, riwayat yang diketahui kebenarannya dengan dikuatkan oleh riwayat yang sidq (benar)
maka riwayat itu menjadi sahîh(sah/benar). Kedua, riwayat yang diketahui kebohongannya karena
adanya riwayat yang bertentangan dengannya.Ketiga, riwayat yang didiamkan karena tidak adanya
penjamin, maka tidak dipercayai dan tidak pula diingkari, namun kisahnya boleh didahulukan. Ibn
Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr, h. 42. 10
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr, h.61, 65, 102. 11Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,
No. 2 (April 2012), h. 190. 12
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam
semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan
umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah
menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan
hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada
yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah
4
yaitu pentakwilan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan makna lahirnya untuk
menunjukkan makna yang tersembunyi sesuai dengan petunjuk khusus yang
diterima seorang sufidan dimungkinkan menguatkan makna isyârî dan makna
zahir yang dimaksud ayat.13
Tafsir semacam ini telah ada semenjak abad ke III hijriah, ulama sufi yang
menempuh jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan
menulis dalam kitab tafsir. Abȗ Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin „Isa
bin Abdullah al-Tustarî telah mengarang kitab tafsir yang berjudul Tafsîr al-
Qur‟an al-AzÎm atau Tafsîr al-Tustarî. Ia lahir pada tahun 200 H di daerah Ahwaz
dan wafat di Basrah tahun 283 H. Ia termasuk orang „ârifîn terkenal dengan sikap
wara‟ dan mendapat anugrah karamah. Dalam hidupnya, Tustarî (w. 283 H)
pernah bertemu dengan sufi besar yaitu Dzunnun al-Misri.14
Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah al-Sulamî dengan nama
kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr. Al-Sulami merupakan seorang tokoh sufi Khurasan
yang lahir pada tahun 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad
IV H. Menurut al-Dzahabî, kitab tafsir al-Sulamî ini polanya sama dengan tafsir
al-Tustarî yaitu tidak setiap ayat yang diberikan penafsiran. al-Sulamî menyusun
kitab tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/ para sufi kemudian
disusun menurut tertib surat dalam al-Qur‟an. Nama kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr
(imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai
mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing.
Lihat. „Ali Hasan Al-„Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja
Grafindo persada, 1994), h. 42 13
Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261. 14
Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 281. Dzunnun (w. 860 M) dikenal
peletak ajaran ma‟rifah. Pengetahuan sufi tentang tuhan itu Esa, melalui perantaraan hati sanubari.
Inilah pengetahuan hakiki tentang tuhan yang disebut dengan ma‟rifah. Lihat. Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 76.
5
terbatas pada penggunaan pola isyârî dan tidak berlandaskan makna zahir.15
Tafsir
al-Sulamî ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya yakni Tafsîr al-Tustarî,
karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isyârî
termasuk Tafsîr al-Tustarî.
Abȗ al-Hasan al-Wâhidî (w. 468 H./1075 M.) ketika mengomnetari
Haqâiq al-Tafsîr mengatakan bahwa siapapun yang meyakini kitab itu adalah
tafsir maka sungguh ia telah kafir. Komentar yang lebih baik terhadap tafsîr bi al-
isyâri baru muncul pada abad ke-7. Ibn al-Salâh (w. 645 H./ 1247 M.) berkata
bahwa berdasarkan prasangka baiknya terhadap orang-orang terpercaya di
kalangan sufi, ia menganggap perkataan para sufi itu sebagai sisi lain dari isi
kandungan al-Qur‟an16
. Hanya saja para sufi tidak boleh mengklaim pendapat
mereka sebagai tafsir, atau berupaya menafsirkan kata-kata al-Qur‟an secara
sewenang-wenang seperti yang dilakukan kaum Bâtiniyyah.17
Al-Qurtubi
menuduh tafsir kaum Bâtiniyyah sebagai tafsir heterodoks, karena kaum
Bâtiniyyah ini terlebih dahulu meyakini suatu ra‟y, baru kemudian mencari
dalilnya dalam al-Qur‟an. Selain itu mereka tidak memedulikan konteks ayat,
sehingga mereka menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan keumuman lafaznya,
15
Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 284. 16
Istilah Arabnya adalah naẓīru mā warada bihi al-qur‟ān. Secara sederhana naẓīr bisa
berarti sesuatu yang sebanding, bandingan, tamsil. Dikatakan sisi lain dari al-Qur‟an karena sisi ini
merujuk seperti pada dua sisi mata uang yang bisa digali dari makna-makna al-Qur‟an. Jadi, jika
umumnya al-Qur‟an digali melalui makna ẓāhirnya, maka naẓīr dari sisi ẓāhir adalah sisi bāṭinnya. 17
Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad ibn Abdullah ibn Bahadur ibn Abdullah al-
Mihaji al-Zarkasyi, Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 187.
6
tanpa memerhatikan berbagai atsar yang mungkin membawa informasi penting
tentang makna ayat yang sesungguhnya.18
Salah satu tema spesifik al-Qur‟an yang sering menjadi perselisihan antara
tafsir yang ortodoks dan heterodoks adalah tentang surga. Bahkan dalam sejarah
kemanusiaan, mulai dari Nabi Adam sampai saat ini, meski berbeda aliran,
budaya dan agama manusia memberikan perhatian besar terhadap kehidupan
setelah kematian dan kebahagiaan yang akan diperoleh dalam kehidupan
tersebut.19
Surga di dalam al-Qur‟an dan hadis seringkali dideskripsikan sebagai
tempat yang di dalamnya terdapat sungai yang mengalir, pepohonan dan buah-
buahan, kasur-kasur yang tebal lagi empuk, dipan-dipan yang indah, dan lain
sebagainya.20
Deskripsi kenikmatan tersebut sangatlah menarik dan benar-benar
memancing hasrat masyarakat Arab pada saat itu yang umumnya hidup di gurun
pasir yang gersang. Terutama masyarakat Badui yang hidup nomaden dan sangat
sulit merasakan kenikmatan sebagaimana yang dideskripsikan oleh al-Qur‟an dan
hadis.
Dalam penelitian ini peneliti akan fokus membahas penafsiran tentang
surga yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-
Jailânî. Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi menarik untuk diteleiti
18
Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim
al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
v.1, h. 34. 19
Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari Akhir (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), h.381. 20“Mereka Itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di
bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau
dari sutera Halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang
indah.Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. al-Kahfi: 31).
7
karena terkesan menyimpang (heterodoks) dari tafsir otoritatif yang menggunakan
atsar sebagai sumber rujukan tafsirnya (ortodoks).
Salah satu ayat yang mendeskripsikan kenikmatan surga ialah QS. Ali
Imran(2) ayat 15 sebagai berikut:
Artinya: Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada
Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-
isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan
hamba-hamba-Nya.
Ketika al-Jailânî menafsirkan lafaz al-jannah pada ayat tersebut ia tidak
menafsirkannya sebagai kebun maupun tempat yang terdapat kenikmatan
melainkan menafsirkannya sebagai makrifat dan hakikat yang diperuntukkan
kepada orang-orang yang menjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah dan
bagi orang-orang yang selalu bertawajuh kepada Allah.21
Makrifat bagi al-Jailânî
merupakan anugrah tertinggi yang diberikan Allah kepada hambanya, makrifat
juga merupakan puncak dari kenikmatan dan akhir dari kerinduan. Hal ini bisa
dimengerti karena di alam dunia seorang hamba tidak mampu melihat Tuhannya
namun ia harus selalu menjani segala perinhtah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
SedangkanAl-Sulami mengomentari ayat tersebut dalam karyanya Haqâiq
al-Tafsîr sebagai berikut:
21
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. II, h. 318.
8
“Barangsiapa yang melakukan amal ibadah karena mengharapkan
surga maka sesungguhnya tujuan ibadahnya dari mulai dewasa hingga
akhir adalah berharap masuk surga. Akan tetapi barangsiapa yang
melakukan ibadah atas dasar keikhlasan maka ia akan mendapatkan
keridhoan Allah Swt.”22
Penafsiran yang dilakukan oleh al-Jailânîtentu tidak lazim dilakukan oleh
para mufassir lainnya, karena menafsirkan makna sebuah kata jauh dari makna
aslinya. Bila dibandingkan penafsiran al-Jailânî tersebut dengan penafsiran
Kemenag RI sebagai tafsir yang otoritatif di Indonesia maka akan terlihat nuansa
yang sangat berbeda, antara tafsir bi al-ra‟y yang tidak meninggalkan atsar
sebagai sumber tafsirnya dan tafsir bi al-isyârî yang menggunakan intuisi untuk
menjelaskan makna yang tersembunyi dari sebuah ayat al-Qur‟an.
Dalam tafsir kemenag RI dijelaskan bahwa kata al-jannah memiliki arti
“tertutup”, atau kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan yang rindang dan
ranting pohon yang satu saling berkaitan dengan ranting pohon yang lain,
sehingga permukaan tanah kebun tersebut menjadi tertutup dari pandangan mata.
Bangsa Arab menerjemahkan kata ini sebagai suatu hal yang tidak terjangkau oleh
panca indera manusia yang disebabkan adanya penghalang.23
Dari penafsiran tersebut peneliti tertarik untuk menelusuri lebih dalam
tentang penafsiran al-Jailânî terhadap surgadi dalam al-Qur‟an. adapun
pertimbangan peneliti memilih tafsir al-Jilani sebagai bahan penelitian adalah
sebagai berikut:
22
Abȗ „Abd al-Rahmân Muhammad bin al-Husain bin Mȗsa al-Azadî al-Sulamî, Tahqiq;
Sayyid „Imran. Haqâiq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Maktabah al-„Alamiyyah, 2001), h.88. 23
Lihat. QS. al-Sajdah: 17. Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari
Akhir (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h.382.
9
Pertama, tafsir al-Jailânî tergolong Tafsir Isyârî. Meskipun tidak semua
ayat dalam surah- surah al-Qur‟an ditafsirkan secara isyârî, akan tetapi struktur
dalam bangunan pandangan sufi terhadap tauhîd melalui penafsiran beliau kepada
seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam al-
Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna. Sehingga, ini
memperkuat tafsir al-Jailânî sebagai sebuah referensi utama, serta standar
matlamat(tujuan utama) bagi umat Islam, khususnya bagi para penempuh jalan
Allah SWT.24
Kedua, dalam Tafsir al-Jailânî, ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara
penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis. Jika terdapat ayat
yang dapat ditafsirkan dengan ayat lain maka dijelaskan sambil dibandingkan
antara dua ayat tersebut, sehingga makna dan tujuannya semakin jelas. Dapat
dikatakan bahwa tafsir ini sangat memerhatikan cara penafsiran al-Qur‟an dengan
al-Qur‟an.25
Lalu setelah beliau menuturkan beberapa hadis marfu‟ yang
berkenaan dengan ayat tersebut, sambil menjelaskan argumentasinya dengan
mengiringi perkataan para sahabat, tâbi‟în dan ulama salaf.26
24
ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-
„Ilmiyyah, 2013), j. I, h. 35-42. 25
Contohnya ketika al-Jailanî menafsirkan QS. Al-Baqarah: 26 berikut:
)از( خشج ػ غشن ازدذ ثبعزذوبس ثؼط اظبش )وع( وص )ػذ هللا( ازي دج اذد
-۷[}ث{, ه : }أغذ ثشث{ثو: أص ازاد إ أثذ األعبء اصلبد عب ) ثؼذ( رذ ثزش )ثو( اثن
ثن ازي عأ أ ال وط لضػا زجا إ ججش ص، ثؼذ ب وعا اؼذ ا ]۲۷۱األػشاف:
Artinya : (Orang-orang yang) keluar dari jalan tauhid yang meremehkan sebagian mazhar
tersebut (melanggar), mengingkari (perjanjian Allah) yang menjadi tali Allah yang terentang dari
keazalian dzat-Nya sampai pada keabadian asma dan dzat-Nya, terlebih (sesudah) perjanjian
tersebut ditegaskan dengan menyebutkan (perjanjian-Nya) yang teguh dengan firman-Nya:
“Bukankah Aku Tuhan kalian? “, lalu mereka menjawab: “Ya, benar” (QS. Al-A‟raf/7: 172).
Mereka melanggar perjanjian teguh yang sebenarnya tidak boleh dilanggar itu dan mereka tidak
segera menambal dan menyambungnya.
Dari penggalan penafsiran al-Jailanî tersebut, terlihat bahwa ia menggunakan ayat al-
Qur‟an sebagai penguat argumentasinya ini menunjukkan bahwa beliau sangat memerhatikan
penafsiran al-Qur‟an dengan al-Quran. Lihat. Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. I, h. 59. 26
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani,j. I, h. xxv.
10
Ketiga, tafsir ini tergolong Tafsir Isyari. Meskipun tidak semua ayat dalam
surah- surah al-Qur‟an ditafsirkan secara Isyari, akan tetapi struktur dalam
bangunan pandangan sufi terhadap Tauhid melalui penafsiran beliau kepada
seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam al-
Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna. Sehingga, ini
memperkuat Tafsîr al-Jailânî sebagai sebuah referensi utama, serta standar
matlamat bagi umat Islam, khususnya bagi para penempuh jalan Allah SWT.27
Keempat, kitab tafsir ini telah terbukti diterima dan tersebar di seluruh
dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syaikh Dr. Ali Jum‟ah (Mufti
Mesir), Mufti Syiria, Mufti Libanon, serta para syaikh sufi seperti murabbi besar
Syaikh Yousse Riq al-Bakhour dan lain-lain.28
Kelima, Syaikh „Abd al-Qâdiral-Jailânî terkenal dengan kedudukannya
sebagai imam di madrasah yang ia dirikan dan ia bina hingga memberi hasil yang
baik. Al-Jailânî adalah salah satu tokoh awal yang menggugah para pemuda yang
alpa di masa itu. Ia mengembuskan semangat untuk kembali kepada Islam yang
bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah. Dengan yang dilakukannya itu,
al-Jailânî telah menjadi pembukan jalan bagi kemunculan Shalahuddin al-Ayubi.
Dengan semangat yang ditumbuhkan oleh al-Jailânî pada generasi masa itu, di
tangan Shalahuddin al-Ayubi pasukan Islam berhasil menaklukan bangsa Eropa
serta membebaska Bait al-Maqdis dari cengkraman mereka. Semua prestasi itu
hanya dapat terwujud dengan membebaskan pemikiran dan ruh generasi muda
27
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani,j. I, h. xxv. 28
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. I, h. xxv.
11
dari segala bentuk kerusakan material, moral dan intelektual, melalui pengaruh
kuat dari semangat yang muncul di masa Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî.29
Dari latar belakang dan alasan-alasan yang sudah diuraikan dalam paparan
di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji penafsiran Syaikh „Abd al-Qâdir terhadap
surgadalam sebuah penelitian skripsi yang berjudul “Tafsir Isyârî tentang Surga
Menurut Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî ”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan permasalahan mendasar
dalam penelitian ini yaitu:
Pertama, ortodoksi dan heterodoksi tafsir dalam perkembangan Islam
merupakan suatu dialektika sejarah.
Kedua, penggambaran kenikmatan surga merupakan tema spesifik al-
Qur‟an. tema ini banyak diangkat pada surat-surat al-Qur‟an yang pada umumnya
diturunkan di kota Mekkah pada awal karir Nabi Muhammad Saw.30
Karena itu
penggambaran terhadap surga cenderung literal, bahkan ada yang menuduh
penggambaran tersebut sebagai matrealistis.31
Surga digambarkan sebagai taman
yang mengalir sungai di dalamnya.32
Mengingat masyarakat Arab pada masa itu
29
Syaikh Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani dalam „Abd al-Qâdir Al-Jailânî, terj.
Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-bantani dkk, Tafsir al-Jaelani (Tangerang Selatan:
Salima Publika, 2013), j. I, h.xvi. 30
Dr. Kholid Walid, Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra
(Jakarta: Sadra Press, 2012), h. 215. 31
Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Deathan Resurrection (English,
Oxford University, 2002), h. 133. 32
QS. al-Baqarah/2: 25
12
hidup dengan kehidupan keras dan gersang menjadikan taman dengan air yang
mengalir sebagai sebuah kehidupan yang indah dan ideal.33
Ketiga, bagi para pemikir yang berorientasi pada filsafat atau tasawuf,
penggambaran surga yang disebutkan oleh teks-teks al-Qur‟an hanya bersifat
simbolis, makna sesungguhnya tidak dapat dipahami hanya dari ibarat yang
disampaikan.34
2. Pembatasan Masalah dan Rumusan Maslah
Banyak ditemukan di dalam al-Qur‟an ayat-ayat mengenai surga. Agar
pembahasan dalam penelitian ini jelas dan terarah dengan baik, maka penulis
membatasi pada penafsiran yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî
terhadap:taman-taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan
minuman ahli surga.
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka penulis
merumuskan masalah pada:
Bagaimana Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî menafsirkan berbagai
kenikmatan surgadi dalam al-Qur‟an ?
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian
ini adalah:
33
Smith, The Islamic Understanding of Death an Resurrection, h. 138. 34
Walid, Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat, h. 216.
13
1. Mengtetahui dialektika sejarah perkembangan ortodoksi dan
heterodoksi tafsir dalam khazanah keilmuan Islam.
2. Mengetahui pemahaman utuh mengenai gambaran umum Syaikh ʽAbd
al-Qâdir al-Jailânî dan tafsirnya.
3. Memahami sumber, metode serta corak yang digunakan Syaikh ʽAbd
al-Qâdir al-Jailânî dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.
4. Mengetahui kenikmatan surgadi dalam Tafsir al-Jailânî.
5. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Theology Islam pada
jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah
1. Menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir.
2. Ikut andil dalam sumbangsih pemikiran terhadap wacana keislaman,
terutama untuk melengkapi buku-buku dan sumber bacaan lain yang
juga membahas tafsir.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Reserch). Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-
laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan
dengan masalah yang akan dipecahkan.35
35
M. Nzair, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.27.
14
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa
buku-buku. Sumber data primer adalah kitab Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa
al-Mafâtih al-Ghaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-
Hikâm al-Furqâniyyah atau yang dikenal dengan Tafsîr al-Jailânî karya Syaikh
„Abd al-Qâdir al-Jailânî. Adapun sumber data sekunder berupa kitab-kitab
karangan Abd al-Qâdir seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-
Haqq, al-Mukhtasar fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaib dan kitab-kitab tafsir seperti
Tafsîr al-Tabrî, Tafsîr al-Qurtubî,Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridâ, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, serta buku-buku yang
memberikan penjelasan kearah penelitian ini. Karya-karya ini dijadikan bahan
tambahan bagi sumber primer. Dari sumber primer maupun sekunder, diharapkan
data kualitatif sesuai yang diinginkan
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis,
yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan baru
kemudian dianaslisa.36
Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran al-
Jailânî terhadap surga diperlukan tafsir itu sendiri dan karya-karya al-Jailânî
lainnya seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-Haqq, al-Mukhtasar
fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaibdan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu
36
Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah
(Bandung: Tarsio, 1972), h. 132, Gay (1962) mendefinisikan metode penilitian deskriptif sebagai
kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan
yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penilitian., Consuelo
G. Sevila, dkk., Pengantar Metode Penilitian, terj. Alimuddin Tuwu (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.
71. Menurut Koaruddin, Decriptive Research adalah suatu riset yang tujuannya untuk
mengumpulkan fakta yang disertai penafsiran. Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa,
1987), h. 69.
15
dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban
atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.
Karena kajian ini menggunakan pendekatan tematik al-Qur‟an, maka
diperlukan juga metode tafsir maudȗ‟i yakni suatu metode tafsir yang berusaha
mencari jawaban al-Qur‟an tentang suatu masalah tertentu dengan jalan
menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya lewat ilmu-
ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk kemudian
melahirkan konsep utuh dari al-Qur‟an tentang masalah tersebut.37
Dalam mencari
ayat-ayat yang berkaitan dengan Surga, peneliti menggunakan kamus al-Mu‟jam
al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm. Peneliti menelusuri lafadz untukج
menemukan ayat-ayat جبد (taman-taman surga) di dalam al-Qur‟an. Adapaun
ayat-ayat tersebut adalah: QS. Al-Baqarah: 25, Ali Imran: 15, 136, 195, 198; al-
Nisa: 13, 57, 122;al-Maidah: 12, 65, 85, 119; al-An‟am: 99, 141; al-Taubah: 21,
72, 73, 89, 100; Yunus: 9; dan al-Ra‟d 438
. Karena banyaknya ayat-ayat yang
membahas tentang surga maka penulis membatasinya dengan ayat-ayat جبد
(taman-taman surga), bentuk jamak dari جخ (taman surga). Lafaz جبد menjadi
fokus penelitian penulis dalam meneliti dikarenakan al-Jailânî menafsirkan lafaz
ini dalam setiap ayat al-Qur‟an secara berbeda-beda. Kemudian setelah ayat-ayat
tersebut ditemukan penulis hanya mencantumkan penafsiran pada QS. Al-
Baqarah: 25, hal ini karena ayat ini merupakan ayat pertama dalam tartib mushaf
yang menginformasikan berbagai macam kenikmatan surga. Selain itu merupakan
kebiasaan para mufassir untuk tidak mengulangi penafsirannya apabila telah
37„Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudȗ‟i(Kairo: al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977), Cet.II, h.23. 38
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm,
(Kairo: Mathba‟ah Dar al-Kutub, 1364 H), h. 181.
16
menjabarkan dan menjelaskan masalah dalam suatu ayat. Selain meneliti
penafsiran al-Jailânî terhadap taman-taman surga (جبد), peneliti juga akan
membahas penafsiran al-Jailânî terhadap bidadari-bidadari surga yang terdapat
pada QS. Al-Waqiah: 22, serta makanan dan minuman ahli surga pada QS. Al-
Waqiah: 21 dan al-Insan 17. Berbagai macam kenikmatan surga pada ayat-ayat
tersebut penulis teliti agar dapat memberikan pemahaman yang utuh terhadap
surga menurut al-Jailânî.
Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini mengacu pada pedoman
penulisan skripsi dalam buku “Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Program Strata 1 2012/2013” yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan
pada tahun 2012.
E. Kajian Pustaka
Telah ada beberapa tulisan, baik berbentuk buku maupun artikel yang
membahas dan berhubungan dengan surga. Akan tetapi peneliti belum
menemukan tulisan yang membahas tentang konsep surga dalam tafsir al-Jailânî.
Diantara penelitian bertema surga yang berhasil penulis temukan adalah:
1. Delapan Pintu Surga oleh Muhammad Monib39
. Buku ini
mendeskripsikan tentang delapam pintu yang harus ditempuh manusia
untuk memasuki surga Allah SWT yakni; syahadat, shalat, puasa, zakat,
haji dan umrah, sedekah, akhlak mulia dan jihad. Penelitian ini
membahas tema yang sama tentang surga, namun lebih difokuskan pada
bagaimana cara manusia untuk masuk surga. Yang menurut penulisnya,
39
Muhammad Monib, 8 Pintu Surga (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011).
17
terdapat delapan cara atau pintu memasukinya. Penulis tidak
menemukan makna surga dalam penelitian ini sebagaimana yang
dideskripsikan oleh al-Jailânî dalam tafsirnya.
2. Kehidupan di Surga Jannatun Na‟im oleh Halimuddin.40
Buku ini
menguraikan tentang pengertian surga, bahan dasar surga, orang yang
diperbolehkan masuk surga, dan yang menyambut di pintu surga, segala
macam kesenangan dan keindahan surga berdasarkan al-Qur‟an dan
hadis-hadis pilihan. Penelitian ini juga membahas tema yang sama
tentang surga, namun hanya menguraikan pengertian tentang surga
berdasarkan pemahaman tekstual yang terdalam di dalam al-Qur‟an
maupun hadis.
3. Mega Rista Octaviani,41
mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, mendeskripsikan
visualisasi surga dan neraka yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Ia
memfokuskan penelitiannya terhadap peran dan fungsi visualisasi surga
dan neraka yang terdapat dalam al-Qur‟an. Hal ini berbada dengan
penulis yang memfokuskan penelitian terhadap penafsiran al-Jailânî
terhadap surga di dalam al-Qur‟an.
Adapun karya-karya ilmiah yang sudah membahas Tafsîr al-Jailânî yaitu :
1. Ahmad Gunawan42
, mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, menjelaskan tentang
40
Halimuddin, Kehidupan Di Surga Jannatun Na‟im (Jakarta: Rineka Cipta, 1992). 41Mega Rista Octaviani, “Visualisasi Surga dan Neraka” (Skripsi Tafsir Hadis Fakutas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 42
Ahmad Gunawan, “Pemaknaan Basmalah Pada Surat-Surat Juz „Amma Dalam Tafsir
al-Jailânî” (Skripsi Tafsir Hadis Fakutas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).
18
pemaknan basmalah pada surat-surat juz „amma dalam Tafsîr al-
Jailânî. Penelitian ini lebih difokuskan untuk membahas pemaknaan
basmalah yang dilakukan al-Jailânî, berbeda dengan penulis yang
memfokuskan pembahsan terhadap penafsiran surga yang dilakukan
oleh al-Jailânî.
2. Muhammad Mufti Najmul Umam Assondani43
, mahasiswa Fakutas
Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, menjelaskan
tentang sifat Allah dalam tafsir sufi (Tafsir al-Jailânî karya Syaikh „Abd
al-Qâdir al-Jailânî Namudzajan). Berbeda dengan penelitian penulis
yang membahas penafsiran al-Jailânî terhadap surga, penelitian ini
fokus membahas tentang sifat Allah yang terdapat dalam tafsir al-
Jailânî.
3. Siti Komariyah44
, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Walisongo Semarang, menjelaskan tentang penafsiran huruf al-
muqatha‟ah menurut Syaikh ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî dalam Tafsîr al-
Jailânî.Berberda dengan penulis yang membahas tafsir surga. Penelitian
skripsi ini lebih fokus membahas penafsiran al-Jailânî terhadap ahrȗf
al-Muqâta‟ah.
4. Abdurrahman Azzuhdi45
, mahsiswa Fakultas Ushuluddin, Studi Agama,
dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga
43
Muhammad Mufti Najmul Umam Assondani, “Sifat Allah dalam Tafsir Sufi (Tafsir al-
Jailânî Karya Syaikh Abd al-Qadir al-Jailânî Namudzajan)” (Skripsi Fakultas Dirasat Islamiyah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 44
Siti Komariyah, “Penafsiran Huruf al-Muqatha‟ah Menurut Syaikh Abd al-Qadir al-
Jailânî dalam Tafsir al-Jailânî” (skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Walisongo
Semarang, 2013). 45
Abdurrohman Azzuhdi, “Tafsir al-Jailânî (Telaah Otentisitas Tafsir Sufistik Abd al-
Qadir al-Jailânî dalam Kitab Tafsir al-Jailânî)” (skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi
Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).
19
Yogyakarta, menjelaskan tentang Tafsîr al-Jailânî (telaah otentisitas
tafsir sufistik ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-Jailânî).
Penelitian ini berusaha untuk menelaah kembali keaslian (otentisitas)
Tafsir al-Jailânî yang diklaim oleh Syaikh Muhammad Fadhil sebagai
buah tangan Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam beberapa bab dan setiap babnya terdiri dari
beberapa subbab yang sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.
Dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang utuh dan sistematis dengan
perincian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menjelaskan seputar latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
Bab kedua menjelaskan dan memaparkan pengetian, sejarah ortodoksi dan
heteredoksi, legalitas dan otoritas tafsir sufi, serta menampilkan ragam
perkembangan tafsir surga dari periode klasik, pertengahan, modern, hingga
kontemporer.
Bab ketiga berisi tentang pengenalan terhadap Syaikh ʽAbd al-Qâdir al-
Jailânî yang mencakup konteks sosial-politik, riwayat hidup, konsep sufistik,
geneologi tasawuf. serta profil dari kitab Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-
Mafâtih al-Ghaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm
al-Furqâniyyah atau yang dikenal dengan Tafsîr al-Jailânî.
20
Bab keempat mendeskripsikan serta menganalisa penafsiran isyârî Syaikh
„Abd al-Qâdir al-Jailânî terhadap kenikmatan surga yang mencakup: taman-taman
surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman ahli surga.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan yang didasari uraian dan bahasan
bab sebelumnya serta saran-saran yang berkaitan dengan tema yang dibahas di
dalam skripsi ini.
19
BAB II
ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR SURGA
A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi
Secara etimologis ortodoksi berarti ajaran yang benar; heterodoksi berarti
ajaran yang seperti benar padahal tidak.1 Secara terminologis ortodoksi berarti
ketaatan kepada ajaran resmi, sedangkan heterodoksi berarti penyimpangan
kepada ajaran resmi. Dalam Islam dikenal misalnya istilah sunnah dan bid‟ah
dalam bidang teologi dan fiqh, mu‟tabarah dan ghair mu‟tabarah dalam bidang
tasawuf, mu‟tamad dan ghair mu‟tamad dalam bidang fatwa dan lain-lain.2 Dalam
definisi Arkoun ortodoksi adalah ajaran yang menjadi kesadaran kelompok
mayoritas yang dengannya kelompok itu melihat berbagai kesadaran lain yang
dikembangkan oleh kelompok minoritas sebagai heterodoks.3 Penggunaan istilah
ortodoksi dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam telah dilakukan oleh
Fazlur Rahman dalam karyanya Islam pada tahun 1966.4
Tafsir menurut pengertian bahasa adalah menerangkan (اششح),
menjelaskan (اجب), menyatakan (إظبس).5 Sedangkan tafsir dalam pengertian
istilah sebagaimana disebutkan Abȗ Hayyan dalam pendahuluan tafsirnya yaitu
1Ortodoksi berasal dari bahasa Yunaniorth yang berarti benar dan doxa yang berarti
ajaran.Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar. Sedangkan heterodoksi berasal dari kata hetero
yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heteredoksi berarti ajaran yang mirip namun
tidak benar. William L. Reese, Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western
Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 540. 2 Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979), h. 236-237.
3 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru (Jakarta: INIS, 1994), h.264. 4Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979).
5 Istilah tafsir inipun sudah populer di telinga masyarakat seperti ditemukan dalam media-
media cetak khususnya, atau dalam berbagai pembicaraan, diskusi dan segalanya. Penggunaan
kata ini biasanya menunjukkan pada penjelasan atas suatu pernyataan atau dengan mengemukakan
makna yang tidak harfiah. Sungguhpun demikian dalam tulisan ini penulis akan menggunakan
makna tafsir menurut istilah dan pengertian dalam „ulȗm al-Qur‟an.
suatu ilmu yang membahas tentang al-Qur‟an (menyangkut bacaan lafaz dan
maknanya), menjelaskan kaidah struktur kalimatnya, serta aspek lain dalam „ulȗm
al-Qur‟an, seperti naskh, asbâb al-nuzȗl, dan lain-lain.6 Tafsir sebagai proses
berarti menerangkan makna al-Qur‟an dan seluk-beluknya, juga kisah di
dalamnya serta asbâb al-nuzȗl-nya7. Ada juga yang berpendapat bahwa tafsir
adalah ilmu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Qur‟an, juga untuk
mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya.8
Bebricara mengenai tafsîr berarti membicarakan pula mengenai istilah
ta‟wîl9 yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan makna yang
terkandung dalam al-Qur‟an. Karena dalam hipotesis yang dilakukan oleh Nasr
Hamid Abu Zaid peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks atau ta‟wîl(sisi lain
dari teks).10
Istilah ta‟wîldalam pemikiran agama resmi telah berubah menjadi
istilah yang dibenci demi istilah tafsîr. Di balik perubahan ini ada upaya
memberangus semua orientasi pemikiran agama “oposisi” baik pada tataran
intelektual maupun tataran perdebatan kontemporer dalam kebudayaan. Cap
sebagai pemikiran ta‟wîlîyang ditunjukan oleh pemikiran yang dominan terhadap
6 Abȗ Hayyan, Al-Bahr al-Muhît fî al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992 M/1412 H), j. I, h.
14. 7 „Ali bin Muhammad Al-Jurjâni, Al-Ta‟rifât (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), v.I, h. 87.
8 Abȗ al-Faḍl „Abd al-Raḥmân ibn Abî Bakr ibn Muḥammad Jalâl al-Dîn al-Khuḍairî al-
SuyūṭīAl-Suyȗtî, Al-Itqân fî „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr, 1951), v.II, h. 174. 9Ta‟wîl menurut bahasa berasal dari al-awl. Pengertian dari ungkapan: Mâ ta‟wîlu hâdza
al-kalâm ? maksud dari kalam ini berakibat (bertujuan) ke mana? „ala al-amru ilâ kadzâ, artinya
masalah tersebut menjadi demikian. Kata tersebut berasal dari kata al-ma‟âl, yaitu akibat dari
kondisi akhir. Awwaltuhu fa‟âla, artinya saya mengubahnya maka ia pun berubah, sehingga kata
ta‟wîl berarti mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Ada yang mengayakan asalnya
dari iyâlah, yaitu mengatur, sehingga seolah-olah orang yang men- ta‟wîl ujaran, mengatur ujaran,
dan meletakan ujaran pada tempatnya. Lihat. Abȗ Abdillah Badr al-Dîn Muhammad ibn Abdillah
ibn Bahâdur al-Zarkasyî, Al-Burhân fî „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ihya‟ n al-Kutub al-
„Arabiyyah, 1957), j.II, h. 148-149. 10
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an; Kritik terhadap Ulumul Qur‟an/
Mafhȗm al-Nash; Dirâsah fî „Ulȗm al-Qur‟an, penerjemah. Khiron Nahdiyyin(Yogyakarta: LkiS,
2002), h. 275.
lawannya, bertujuan mengklasifikasikan para penganjur pemikiran tersebut ke
dalam wilayah mereka yang dalam hatinya terdapat kebimbangan kemudian
mereka mengikuti apa yang tidak jelas untuk membuat fitnah. Klasifikasi semcam
ini pararel dengan wacana politik praktis yang mencap semua gerakan oposisi
atau protes politik menentang kebijakan eksekutif sebagai gerakan yang bertujuan
membangkitkan fitnah (kekacauan). Sebaliknya ta‟wîl-ta‟wîldari pemikiran resmi
disebut sebagai tafsîr, bertujuan menyematkan “objektifitas” dan “kebenaran”
mutlak terhadap ta‟wîl-nya tersebut. Seolah-olah meresahkan sikap ulama-ulama
pemerintah,Abȗ Qâsim Muhammad bin Habîb al-Naisyaburî mengatakan:
ب ازأ ازلغش لشم ث ا عئا ػ ش لغ بب هذ جؾ ك ص
إ ذ ب ػ خ ا سح أ ؼى اغ ال ؼشك ح رال وشآ ا ال ذغ ا إ زذ ال ا
ازشغ ػ لغ ا أ أػل ذطب ا ذ ب ػ ذ اؼا ازثش ػذ اطـب
ي األؿل ر اصددب ػ جب بع ا ازؼت الجز ش ل ا هث ت اط ذ ا ب
ا ل ال ذ ذ ػ لزعذ جب جبغخ ا ػ ال أل ؤا اغ بط
طب صبدسح اغ ابط ذ ازالم صبدس بء ػ ؼ ا ػ ـ ام صائ از جش اغ
اخزطبف اغش ذ ب ػ خزطل بس ثب ذ صلذب ثب ذسع دب
ش ش خ اط خشم ا ب وذخ سأط إرا لشا شثا ا ششدب إرا عئا ؿعجا
ب ش ك زبكغ ظ ك ب ث زذ خصب ؼض ث بخ ػ اص ر
: "ازشجغ ثب ؼػ ع ػ صى هللا هذ هب ض ف ك ج ج ا خى ا
الثظ ثث صس" 11
Pada masa kini mucul para mufassir yang apabila ditanya
perbedaan antara tafsir dan ta‟wil, mereka tidak dapat menjelaskannya
dengan benar. Mereka tidak pandai membaca al-Qur‟an, mereka pun tidak
mengetahui arti surat atau ayat. Yang menjadi sasaran mereka adalah
membuat fitnah dan membual di kalangan awam untuk mendapatkan harta
duniawi. Mereka sama sekali tidak mau bekerja keras. Mereka tidak mau
akalnya bersusah payah berpikir karena mereka dikerumuni orang-orang
yang bodoh. Mereka tidak dapat bersikap bijaksana menanggapi
pertanyaan masyarakat. Mereka tidak segan-segan mengobrol dengan
orang-orang bodoh. Mereka memamerkan diri, namun tidak berani
menemui ulama. Mereka bersikap otoriter seperti penguasa. Mereka
menerkam apa yang ada pada masyarakat bagaikan singa. Mereka
mempelajari semalam satu halaman dan membual panjang lebar di siang
hari. Apabila ditanya mereka marah. Apabila masyarakat menjauhinya,
11
Al-Zarkasyî, Al-Burhân fî „Ulȗm al-Qur‟an, j.II, h. 152.
mereka mengejarnya. Tidak tahu malu itulah modal mereka. Pandir dan
gegabah merupakan perilaku mereka. Mereka berlomba meraih apa yang
membuat mereka hina. Mereka liar, tidak dapat dijaga, mereka berada
dalam pusat kebodohan dan kekotoran mulut. Nabi Saw pernah bersabda:
“orang-orang yang kenyang dengan apa yang tidak diberikan bagaikan
orang-orang yang mengenakan dua pakaian kepalsuan.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maksud dari istilah ortodoksi tafsir
sejauh yang dipakai dalam tulisan ini berarti ketaatan karya-karya tafsir terhadap
ajaran resmi agama Islam. Sebaliknya heterodoksi tafsir berarti penyimpangan
suatu karya tafsir dari ajaran resmi agama Islam. beberapa istilah lain telah
digunakan untuk menyebut ortodoksi dan heterodoksi tafsir ini. Muhammad
Husain al-Dzahabi misalnya menggunakan istilah al-tafsîr al-sahîh dan al-tafsîr
al-munharifah untuk menyebut ortodoksi dan heterodoksi tafsir ini.12
Berbicara mengenai ortodoksi dan heterodoksi berarti berbicara mengenai
apa yang disebut episteme oleh Michel Foucault, yaitu aturan-aturan penyisihan
yang diakui dan dipakai oleh suatu masyarakat. Aturan-aturan itu meliputi: (1)
pelarangan, (2) pembagian dan penolakan, (3) oposisi antara benar dan salah.13
Walaupun dapat dibedakan, namun dalam kenyataan ketiga episteme ini saling
berkaitan. Suatu ajaran yang dianggap salah atau sesat misalnya, sudah barang
tentu akan ditolak masyarakat, dan dilarang untuk berkembang. Episteme menurut
Michel Foucault adalah semacam kacamata yang dipakai masyarakat untuk
melihat dan memaknai kenyataan. Bila struktur epistme ini berubah maka berubah
pula kenyataan.14
12
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Ittijâhat al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm
Dawâfi‟uha wa Dâfihâ (Kaio: Dar al-I‟tisam, 1978), bab I dan II. 13
Michael Foucault, Archeology of Knowlage and The Discaurse on Language (New
York: Pantheon Books, 1971), h. 149-150. 14
F.R. Ankersmit, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick
Hartoko (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 310-311.
Dilihat dari pendekatan ini, maka ortodoksi dan heteredoksi tafsir adalah
semacam pembagian, yang diikuti oleh penolakan, bahkan pelarangan terhadap
tafsir yang dianggap heterodoks karena telah menyimpang dari ajaran resmi
agama Islam. Tentu saja apa yang disebut ajaran resmi agama Islam itu
mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga batas-batas ortodoksi dan
heterodoksi tafsir pun mengalami perubahan dan perkembangan. Apa yang
dikelompokkan terhadap tafsir yang heterodoks pada suatu masa, dapat berubah
menjadi tafsir yang ortodoks di masa yang lain. Sebaliknknya tafsir yang
diangggap ortodoks pada suatu masa, boleh jadi akan dianggap sebagai tafsir yang
heterodoks di kemudian masa. Misalnya tafsir al-kasysyâf yang membela
pemikiran mu‟tazilah. Ketika Mu‟tazilah menjadi ajaran resmi dinasti
Abbasiyyah, tafsir al-kasysyâf dipandang sebagai bagian dari tafsir yang
ortodoks. Namun ketika ajaran resmi dinasti tersebut berubah, tafsir semacam itu
tiba-tiba digolongkan ke dalam tafsir yang heterodoks.15
Dengan demikian, ortodoksi dan heterodoksi tafsir itu sesuatu yang
relative sifatnya, tergandung pada perkembangan ajaran resmi agama Islam dalam
alur sejarah. Untuk dapat memahami kenapa sebuah tafsir ditolak oleh suatu
masyarakat diperlukan pemahaman yang memadai tentang pandangan dunia
(Welthanschaung) masyarakat tersebut. Harus diselami bagaimana masyarakat itu
melihat kenyataan, dengan ukuran apa mereka memilah kenyataan, lalu
menyisihkan apa yang mereka anggap salah, tabu atau gila dari kenyataan yang
mereka hadapi. Hal ini karena kenyataan bukanlah sekedar apa yang terjadi, tapi
terutama adalah pemaknaan terhadap apa yang terjadi. Foucault menyebut “proses
15Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,
No. 2 (April 2012), h. 181-182.
yang bekerja” itu sebagai wacana, yaitu sebuah area pembicaraan, diskusi,
polemik di mana pihak-pihak yang terlibat bertarung memerebutkan hegemoni
kebenaran. Sekali hegemoni kebenaran berubah, maka berubah pula batas-batas
ortodoksi dan heterodoksi.
B. Sejarah Ortodoksi dan Hetereodoksi Tafsir
Islam adalah agama yang telah berusia 14 abad pernah mengalami
perubahan batas-batas ortodoksi dan heterodoksi. Pembicaraan mengenai mana
Islam yang sebenar-benarnya dan mana Islam yang menyimpang adalah masalah
klasik yang terus berlanjutan hingga saat ini. Karena itu Islam sebagai sebuah
ajaran agama dalam perjalanan sejarahnya niscaya mengalami kontinuitas dan
perubahan.
Telah menjadi consensus bahwa ajaran Islam yang telah diwariskan oleh
Rasulullah sudah sempurna. Ia mewariskan dua hal yang merupakan inti agama
yaitu al-Qur‟an dan Hadis. Perubahan dan perkembangan apapun, akan
kehilangan label Islamnya jika tidak mendasarkan diri pada al-Qur‟an dan Hadis
ini.16
Keduanya adalah unsur yang secara berkesinambungan menjiwai
keseluruhan ajaran Islam.
Setiap ajaran agama yang dipahami dan dipraktikan pasti mengalami
perubahan dan perkembangan.17
Walaupun sumber ajaran agamanya tidak
16
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Ibtellectual Tradition
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 23. 17
Telah diketahui besama bahwa masyarakat dari zaman ke zaman mengalami proses
sosial menuju bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Proses ini menimbulkan arus perubahan
yang tidak bisa dibendung. Agar dapat mempertahankan fungsinya sebagai institusi sosial, agama
dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan sosial ini. Agama
yang tidak punya potensi dan energi untuk berubah akan mati. Lihat. Hendropuspito, Sosiologi
Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), h. 127-150.
mengalami perubahan, namun penafsiran dan implementasinya terus berubah dari
zaman ke zaman. Ada yang resmi ada pula yang tidak. Pembagian resmi dan tidak
resmi ini adalah instrument yang digunakan oleh otoritas keagamaan untuk
mengontrol perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu batasan resmi atau
ridak resminya suatu ajaran agama sangat tergantung pada siapa yang memegang
otoritas. Bergantinya pemegang otoritas biasanya diikuti pula dengan bergesernya
batas-batas resmi ajaran itu. Karena itu wacana keagamaan pada awalnya
merupakan pertarungan elit yang kemudian menyebar ke akar rumput lewat
propaganda. Elit yang berhasil membentuk hegemoni kebenaran di kalangan
penguasa dan masyarakat akan memperoleh otoritas untuk melempar ajaran yang
berbeda ke dalam wilayah heterodoksi, sementara ia sendiri dapat dengan leluasa
mengklaim bahwa ajarannya lah yang benar.18
Pemegang otoritas yang pertama dan utama dari suatu agama adalah
pendirinya. Ajaran resmi suatu agama adalah ajaran asli yang disampaikan dan
dibangu oleh pendiri agama itu. Dalam Islam, ajaran resmi agama tersebut
dibangun oleh Nabi Muhammad yang kemudian dikodifikasikan dalam dua buah
korpus: al-Qur‟an dan Hadis. Rasulullah menegaskan sendiri hal ini melalui
sabdanya terkenal bahawa ia akan meninggalkan untuk umatnya dua buah pusaka,
mereka tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitab
Allah dam sunnah Nabi.19
Walaupun matan hadis tersebut diragukan
18
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, h. 265. 19
Mâlik bin Anas, Muwatta‟ Mâlik (Mesir: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, t.t), v.II, h.
899, hadis no.1594; Al-Hâkim, Al-Mustadrak „Ala al-Sâhihain (Beiut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah,
1441 H/1990 M), v.I, h. 172, hadits no. 319.
keabsahannya oleh kalangan Syiah,20
namun sudah menjadi keyakinan bersama
seluruh umat bahwa al-Qur‟an dan Hadis adalah ajaran resmi Islam yang
ditinggalkan Rasulullah.
Sepeninggal Rasulullah otoritas untuk menentukan ajaran resmi agama
diwarisi oleh al-Khulafâ‟ al-Râsyidîn. Kata khâlifah sendiri berarti pengganti
yaitu pengganti Rasulullah baik secara politik, sosial, maupun agama. Pada masa
ini batas-batas ortodoksi masih berkutat pada al-Qur‟an dan Hadis. Tidak ada
pergeseran besar kecuali mengenai definisi Islam dan kodifikasi al-Qur‟an.21
Sejak saat itu, yakni pasca mepat khalifah, otoritas untuk menentukan
kebenaran agama tidak lagi terpusan di tangan khalifah, karena para khalifah
terbukti keliru. Otoritas itu mulai diklaim dan menyebar ke tangan para elit
intelektual. Para elit intelektual ini mulai merumuskan Islam yang benar versi
mereka sendiri sebagai oposisi terhadap pemahaman Islam yang dianut para
khalifah, dan mulai mempropagandakannya ke tengah masyarakat. Sejak saat itu
lahirlah berbagai madzhab yang saling berseteru merebutkan batas-batas
ortodoksi.22
Secara normatif, ortodoksi tafsir dapat dilacak akarnya pada hadis-hadis
anti tafsîr bi al-ra‟y. Hadis-hadis itu berisi kecaman Rasulullah terhadap orang-
orang yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y (opini pribadi). Rasulullah
mengancam mereka dengan neraka, sebanding dengan ancamannya terhadap para
20
Menurut kaum Syi‟ah matan hadis ini betentangan dengan matan hadits yang lebih
shahih yaitu hadits tsaqalain yang diriwayatkan oleh Muslim (w. 261H/874 M), Sahîh Muslim
(Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, t.t), v.IV, h. 1873, hadits no. 2408. 21
Lihat. Hamdani Anwar, “Masa al-Khulafa al-Rasyidin”, dalam Taufiq Abdullah,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), j.II, h.38-40. 22Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,
No. 2 (April 2012), h. 190-191.
pemalsu hadis.23
Hampir satu abad lamanya tafsîr bi al-ra‟y dihindari dan baru
muncul kemudian pada awal era dinasti Abbasiyyah.24
Dalam masa seabad itu, al-Qur‟an lebih banyak ditafsirkan oleh atsar yang
bersumber dari nabi Muhammad melalui para sahabat dan tâbi‟în yang
terkemuka, yang kemudian dikenal dengan tafsîr bi al-ma‟tsûr. Penafsiran al-
Qur‟an dengan opini pribadi (ra‟y) pada masa itu akan dianggap sebagai
perbuatan menyimpang (heresy) yang terkadang mengakibatkan sanksi fisik.25
Abû Bakr al-Siddîq juga tidak membenarkan penafsiran dengan ra‟y (opini
pribadi), ia berkata:
أي أسض رو أي عبء رظ إرا هذ ك زبة هللا ب ال أػ26
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang
menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang
tidak aku ketahui.”
Dari pernyataan Abû Bakr tersebut terlihat bahwa para sahabat sangat
berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur‟an, mereka tidak berani menafirkan al-
Qur‟an kecuali dengan pengetahuan yang mereka dapatkan dari Nabi Saw. Namun
23
Contoh hadis larangan menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y
ثب علب ػجذ األػى، ػ دذ اخ، ػ ثب أث ػ : دذ هب ج ش ا ػ ذ ث ثب ع : دذ غ هب ش، ث جج عؼذ ث
: ، هب ع ػ صى هللا اج ػجبط، ػ اث اروا اذذث ػ»ػ وؼذ أ زج ذا ك زؼ زة ػ ، ك ز ب ػ إال
ابس وؼذ أ زج ك ثشأ ك اوشآ هب « : »ابس، «زا دذث دغ
Hadis-hadis anti tafsir bi al-ra‟y ini jumlahnya ada dua puluh lima. Tujuh belas
diriwayatkan dari Ibn „Abbas delapan dari Jundab ibn Abdiilah.Lihat. Abȗ „Îsâ Muhammad bin
„Îsâ al-Tumȗzi al-Silmî, Sunan al-Turmȗzi (Kairo : Dâr al-Hadîs, 2010). 24
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah
Wahbah, 2000), j.I, h.146. 25
Contohnya orang-orang yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakr berkata bahwa
perbuatan mereka didasari QS. Al-Taubah/9: 103. Menurut mereka, ayat itu memerintahkan
Muhammad untuk mengambil zakat dari mereka.Sebagai gantinya Muhammad mendoakan
mereka sehingga mereka merasa tenang.Kewajiban membayar zakat hanya kepada Muhammad
karena doanya mujarab. Sedangkan doa Abu Bakr tidak mujarab, karena itu tidak ada kewajiban
membayar zakat kepada Abu Bakr. Karena kelakuan mereka ini Abu Bakr memerangi mereka
dalam perang Riddah. Ibn Kats r, al-Bidayâh wa al-Nihâyah, v.6. h, 311. 26
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr (Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t), h.
47.
pada masa itu ada beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ijtihad.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muadz berikut:
: هب ؼبرا إى ا جؼث ب أساد أ ع صى هللا ػ هللا سع ق »أ روع
: « إرا ػشض ي هعبء؟ ، هب زبة هللا : أهع ث ؟»، هب زبة هللا رجذ ك : كجغخ « كئ ، هب
: ، هب ع صى هللا ػ هللا صى هللا »سع هللا رجذ ك عخ سع ال ك كئ ، ع ػ
؟ : « زبة هللا هب صذس، ع صى هللا ػ هللا ال آ كعشة سع ذ سأ، : أجز هب
هللا » ب شظ سع هللا ، سع كن سع ازي ذ لل ذ «ا27
Bahwasanya Rasulullah Saw ketika mengutus Mu‟adz ke Yaman
bersabda: “Bagaimana engkau berhukum apabila datang kepadamu suatu
perkara? Ia menjawab: Saya akan berhukum dengan kitab Allah. beliau
bersabda: Bagaimana tidak engkau temukan dalam kitab Allah?. Ia
menjawab: Maka saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw. Beliau
bersabda: Bagaiman bila tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah
Saw dan tidak pula dalam kitab Allah? Ia menjawab: Saya akan berijtihad
dengan pikiran saya dan tidak akan mundur. Maka Rasulullah saw
memukul dadanya dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusannya, utusan Allah yang diridahi oleh
Rasulullah.
Indikasi penafsiran al-Qur‟an dengan ra‟y memang telah ada pada awal
abad pertama hijriyah seperti yang terdapat dalam hadis di atas, namun tafsîr bi
al-ma‟tsur lebih banyak digandrungi dan merupakan mainstream ulama pada saat
itu. Kecuali hanya beberapa sahabat saja yang menafsirkan al-Quran dengan ra‟y,
seperti „Abdullah bin Mas‟ud dan Ibnu Abbas. Merka berdua dipandang ahli
dalam tafsir, bahkan Ibn Abbas diberi gelar Turjumân al-Qur‟an (Penafsir al-
Qur‟an). Hal ini berdasarkan barokah doa Nabi Saw:
ا كو ك اذ، ػ ازأ
“Semoga Allah menganugrahinya kecerdasan dalam agama, dan
pengetahuan tentang ta‟wîl”.
Ijitihad yang dilakukan oleh para sahabat tersebut telah menyebabkan
perbedaan pendapat dalam menafsirkan lafadz dan ayat.Adab-adab jahîly
27
Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Syaddad bin Amrin bin Amir, SunanAbû Daud(Kairo : Dâr
al-Hadîs,2010), j.III, h.303.
(kesusasteraan Arab), baik sya‟ir maupun natsar, sebab nuzûl dan adat-adat
kebiasaan orang Arab dalam mempergunakan tutur kata, menjadi sumber tafsir
bagi golongan tafsîr bil ra‟y. Selain itu, para sahabat ini menjadikan kisah-kisah
isra‟iliyyat dan penjelasan-penjelasannya sebagai dasar bagi tafsir. Ibn Abbas
banyak bertanya kepada Ka‟ab al-Ahbar (orang Yahudi yang telah masuk
Islam).28
Dengan demikian, masuklah penjelasan-penjelasan kisah yang diterangkan
orang-orang Yahudi ke dalam bidang-bidang tafsir, dengan hal yang tidak
berpautan dengan hukum.
Memang para sahabat banyak yang sengaja bertanya kepadaAhl al-Kitâb
tentang kisah-kisah itu walaupun Nabi Saw tidak membenarkan para sahabat
mempercayai kisah-kisah itu. Maka dengan tidak disadari kisah-kisah itu menjadi
bahan tasfir.
Para sahabat, seperti Ali, Abdullah ibn Abbas, Ibn Mas‟ud, Ubay bin
Ka‟ab menyampaikan dan menerangkan tafsir-tafsir yang mereka terima dari
Rasul dan riwayat-riwayat yang mereka terima dari orang Israil kepada tabi‟in.
Mereka menerangkan tafsir al-Qur‟an, baik dengan jalan dirâyah maupun dengan
jalan riwâyah, serta sebab-sebab nuzûl dan tentang orang yang karena mereka
diturunkan ayat kepada tabi‟in. Para tabi‟in meriwayatkan segala apa yang
diterangkan para sahabat kepada tâbi‟it-tâbi‟în.
Pada masa itu batas-batas ortodoksi tafsir mulai bergeser. Orang yang
berhak menafsirkan al-Qur‟an tidak lagi hanya Rasulullah yang telah wafat, tapi
28
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2011), h. 179.
juga mereka yang masih hidup namun memeroleh warisan dari Rasulullah
terutama dalam bidang tafsir, asbâb al-nuzûl, bahasa Arab, dan riwayat
Isra‟iliyyat. Penafsiran dari orang-orang seperti ini digolongkan tafsir yang
ortodoks sementara penafsiran dari sumber lain dianggap heterodoks.29
Dengan semakin banyaknya subjek yang diperbolehkan berbicara tentang
tafsir al-Qur‟an selain Rasulullah maka semakin gemuklah tafsîr bi al-ma‟tsûr
terutama oleh unsur-usur non hadis seperti riwayat isra‟iliyyat, mislanya.30
Hal ini
sangatlah disayangkan oleh para ulama hadis. Namun yang paling disayangkan
bagi para ulama hadis adalah dibuangnya sanad dari tafsîr bi al-ma‟tsûr ini,
sehingga silsilah yang menjadi jalur periwayatan tafsir itu tidak bisa dilacak
apalagi dikritisi. Bila terhadap hadis para ulama melakukan usaha yang serius
untuk memilah mana hadis yang palsu mana yang tidak. Terhadap tafsir mereka
patah arang. Salah seorang ulama hadis yang terkenal, Ahmad ibn Hambal
mengatakan bahwa ada tiga hal yang tidak jelas asal usulnya, tafsîr, maghâzî dan
malâhim.31
Namun, meski demikian, setelah tafsir diabaikan oleh para ulama
hadis, ia menjadikan madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah sebagai ukuran tafsir
yang ortodoks.32
Setelah tafsîr bi al-ra‟y mengukuhkan diri sebagai bagian dari tafsir yang
ortodoks pada abad ke-III H, masuklah kemudian ke dalam batas ortodoksi
coraktafsîr bi al-isyârî, yaitu pentakwilan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda
dengan makna lahirnya untuk menunjukkan makna yang tersembunyi sesuai
29
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h.61, 65, 102. 30Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, v. 13,
No. 2 (April 2012), h. 190. 31
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h. 59. 32
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h. 79-92.
dengan petunjuk khusus yang diterima seorang sufi.33
Al-Dzahabi menggunakan
kata sufi (اصك) dalam menyebut tafsir sufi. Ia mengungkapkan bahwa tafsir sufi
:adalah (رلغش صك)
رصف ظشي رصف ػ ب اثش ك رلغش اوشا اش ب جؼ
ازلغش اصك34
Dari dua jenis tasawuf yaitu nazâri dan „amali, masing-masing
mempunya pengaruh dalam penafsiran al-Qur‟an sehingga membentuk
penafsiran sufistik.
Tafsir semacam ini telah ada semenjak abad ke III hijriah, ulama sufi yang
menempuh jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan
menulis dalam kitab tafsir. Abȗ Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin „Isa
bin Abdullah al-Tustarî telah mengarang kitab tafsir yang berjudul Tafsîr al-
Qur‟an al-AzÎm atau Tafsîr al-Tustarî. Ia lahir pada tahun 200 H di daerah Ahwaz
dan wafat di Basrah tahun 283 H. Ia termasuk orang „ârifîn terkenal dengan sikap
wara‟ dan mendapat anugrah karamah. Dalam hidupnya, Tustarî (w. 283 H)
pernah bertemu dengan sufi besar yaitu Dzunnun al-Misri.35
Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah al-Sulamî dengan nama
kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr. Al-Sulami merupakan seorang tokoh sufi Khurasan
yang lahir pada tahun 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad
IV H. Menurut al-Dzahabi, kitab tafsir al-Sulamî ini polanya sama dengan tafsir
al-Tustarî yaitu tidak setiap ayat yang diberikan penafsiran. al-Sulamî menyusun
kitab tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/ para sufi kemudian
33
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261. 34
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 251. 35
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 281. Dzunnun (w. 860 M) dikenal
peletak ajaran ma‟rifah. Pengetahuan sufi tentang tuhan itu Esa, melalui perantaraan hati sanubari.
Inilah pengetahuan hakiki tentang tuhan yang disebut dengan ma‟rifah. Lihat. Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 76.
disusun menurut tertib surat dalam al-Qur‟an. Nama kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr
terbatas pada penggunaan pola isyârî dan tidak berlandaskan makna zahir.36
Tafsir
al-Sulamî ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya yakni Tafsîr al-Tustarî,
karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isyârî
termasuk Tafsîr al-Tustarî.
Kemudian abad abad ke V hijriah, „Abd al-Karîm bin Hawazin al-Qusyairî
(w. 465 H) mengarang kitab tafsir yang berjudul Latâif al-Isyârat. Tafsirnya ini
mencerminkan tafsir sufistik yang menyingkapkan tentang zauq dan
memunculkan perasaan yang diperoleh dalam mujâhadah. Di dalamnya
mengandung makna halus al-Qur‟an dari penjelasan para sufi.37
Disebutkan oleh
Iyazi bahwa al-Qusyairi juga pernah belajar pada al-Sulamî (w. 412 H).38
Tafsir Sufistik yang muncul pada perkembangan berikutnya yaitu pada
abad VI hijriah yang disusun oleh Ibnu „Arabi dengan nama Tafsîr al-Qur‟an al-
„Azîm. Ibnu „Arabi lahir di Murcia, Andalus pada tahun 560 H/ 1165 M dan lama
tinggal di Ishbilly yaitu sekitar 30 tahun. Di sini ia banyak menimba ilmu dari
beberapa guru di antaranya Abȗ Muhammad „Abd al-Haq bin „Abdurrahman al-
Isbillî dan al-Qâdî Abȗ Muhammad Abdullah al-Bazillî sehingga Ibnu „Arabi
dikenal dengan ketinggian ilmunya.39
Dari perjalanan hidupnya di wilayah timur
dan di saat itu pulalah ia memperdalam pengetahuan tasawufnya maka daerah
36
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 284. 37
Disebutkan juga di belakang namanya denhan Naisyaburi dimana ia memang berasal
dari daerah Naisyabur (376-465 H). Dalam madzhab fiqh, ia pengikut ajaran Syafi‟i dan dalam
madzhab kalam ia masuk aliran Asy‟ari. Lihat. Muhammad „Ali „Iyâzi, Al-Mufassirun Hayatuhum
wa Manhajuhum (Taheran: Wizarah Thaqafah Islamiyah, 1414 H/ 1994 M), h. 603-605. 38
Nama al-Qusyairi sangat terkenal dengan kitab risalahnya yaitu Risalah al-Qusyairi.
Lihat. „Iyâzi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 604. 39
Abdul Warith M. Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
2006), h. 3- 10.
terakhir yang menjadi ujung perjalanan hidupnya adalah di Damaskus. Ia wafat
dan dikuburkan di kota itu pada tahun 638 H/1240 M.40
Ibnu „Arabi adalaah
seorang yang menguasai bermacam ilmu pengetahuan di samping tasawuf. Ia juga
dikenal mengarang kitab hukum, sejarah, sastera, dan yang mengesankan
karangan tasawufnya yang bercorak filsafat yaitu al-Futȗhat al-Makkiyyah, Fusȗs
al-Hikâm serta kitab tafsir yang bercorak sufistik. Karena itu ia dikenal dengan
filsuf sufi.41
Pada abad ke V H penafsiran para sufi masih dianggap heterodoks. Abu
al-Hasan al-Wahidi (w. 468 H./1075 M.) ketika mengomnetari Haqâiq al-Tafsîr
mengatakan bahwa siapapun yang meyakini kitab itu adalah tafsir maka sungguh
ia telah kafir. Komentar yang lebih baik terhadap tafsîr bi al-isyâri baru muncul
pada abad ke-7. Ibn al-Salâh (w. 645 H./ 1247 M.) berkata bahwa berdasarkan
prasangka baiknya terhadap orang-orang terpercaya di kalangan sufi, ia
menganggap perkataan para sufi itu sebagai sisi lain dari isi kandungan al-Qur‟an.
Hanya saja para sufi tidak boleh mengklaim pendapat mereka sebagai tafsir, atau
berupaya menafsirkan kata-kata al-Qur‟an secara sewenang-wenang seperti yang
dilakukan kaum Bâtiniyyah.42
Al-Qurtubî (w. 671H) menuduh tafsir kaum
Bâtiniyyah sebagai tafsir heterodoks, karena kaum Bâtiniyyah ini terlebih dahulu
meyakini suatu ra‟y, baru kemudian mencari dalilnya dalam al-Qur‟an. Selain itu
mereka tidak memedulikan konteks ayat, sehingga mereka menafsirkan ayat
semata-mata berdasarkan keumuman lafaznya, tanpa memerhatikan berbagai
40
Mustafa bin Sulaiman, Syarh Fusȗs al-Hikâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-„ilmiyyah,
2007), h. 9. Lihat juga. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 92. 41
„Abd al-A‟lâ „Afifî, Ta‟liq Fusȗs al-Hikâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi, 1980), h.
9. 42
Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Bahadur bin Abdullah al-
Mihaji al-Zarkasyi, Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 187.
atsar yang mungkin membawa informasi penting tentang makna ayat yang
sesungguhnya.43
Pada abad ke VIII H, tafsir kaum sufi ini telah diakui secara penuh sebagai
bagian dari ortodoksi. Hal ini besar kemungkinan disebabkan usaha al-Ghazali (w.
505 H) dua abad sebelumnya yang membela habis-habisan tafsir kaum sufi ini
dalam karyanya, Ihyâ „Ulȗm al-Dîn.44
Selain itu setelah abad ke VI H, ajaran-
ajaran sufi telah diterima dan dipraktikan secara luas oleh masyarakat muslim.
Akibatnya, resistensi terhadap tafsir kaum sufi ini semakin lama semakin
memudar, sedang dukungan terhadapnya terus bermunculan.
Ibn „Atâ‟ Allah al-Sakandarî (w.709 H./ 1309 M.). seorang sufi masyhur
dari Mesir, menyatakan bahwa al-Qur‟an selain mengandung makna eksoterik
juga mengandung makna esoterik. Disebutkan dalam hadis bahwa setiap ayat itu
memiliki makna zâhir dan bâtin. Karena itu, kita hendaknya tidak mengabaikan
adanya tafsir esoterik hanya karena hasutan orang yang menentangnya. Menurut
al-Sakandarî, tafsir kaum sufi ini tidak bermaksud memutar balikkan isi al-
Qur‟an. Kecuali tafsir tersebut mengklaim bahwa hanya makna esoterik yang
benar sedang makna eksoteriknya keliru. Ia juga berpendapat bahwa tafsir
kaumini sufi ini tidak bermaksud menggantikan tafsir eksoterik,. Pernyataan ini
disebut lebih jauh oleh al-Taftâzanî (w. 791 H./1388 M.). Menurutnya,
menafsirkan al-Qur‟an dengan makasud menghilangkan syariat seperti yang
dilakukan kaum Bâtiniyyah. Apa yang dilakukan para sufi tidak demikian.
43
Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim
al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
v.1, h. 34. 44
Al-Ghazali, Ihya „Ulȗm al-Dîn, v. I, h. 290-297.
Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an pertama-tama harus ditafsirkan berdasarkan
makna-makna eksoteriknya terlebih dahulu, baru sejalan dengan itu dikemukakan
pula makna-makna esoteriknya. Menurut al-Taftâzanî, yang demikian itu tidak
termasuk tafsir yang heterodoks, justru merupakan ciri kesempurnaan iman dan
kejernihan pengetahuan.45
C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi
Salah satu perspektif yang lahir dari usaha untuk memahami al-Qur‟an
adalah tafsir dengan corak sufistik. Sebuah tafsir yang mencoba membedah
noktah-noktah al-Qur‟an berdasarkan sudut pandang mistis.46
Kehadiran tafsir
dengan corak ini tidak terlepas dari perkembangan ajaran tasawuf yang
menekankan seseorang untuk mengolah sisi spritualitas dirinya degan berbagai
latihan ruhani, dalam istilah para sufi biasa disebut dengan mujâhadah dan
riyâdah.47
Selain itu, kegelisahan para sufi melihat adanya segolongan umat Islam
yang merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah lahiriyah
semata dan mengabaikan esensi batin dari ibadah.48
Seperti shalat misalnya, bagi
para sufi tidak dapat dipandang hanya sebagai aktifitas gerak badan semata
melainkan juga sebagai media perjumpaan hamba dengan Allah (liqâ ila Allah),
dengan khusu‟ dan kesungguhan. Bahkan lebih dari itu, shalat seorang hamba
45
„Abdurrahman ibn Abî Bakr Jajâl al-Dîn al-Suyȗtî, al-Itqân fi „Ulȗm al-Qur‟an
(Mesir: al-Haiah al-„Âmmah li al-Kitâb, 1974 M), j.II, h. 184-185. 46
Moh. Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Ibn „Ajîbah: Kitâb al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr
al-Qur‟an al-Majîd (Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017), h. 27. 47
Sebagaimana disebutkan bahwa tasawuf merupakan representasi dari dimensi
mistisisme Islam. Tujuan utama dari ajarannya adalah agar menjadikan seorang hamba dapat
berhubungan langsung dengan Tuhan. Harun Nasution mengunggkapkan bahwa intisari dari dari
mistisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan
dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam
Islam (Jakarta:Bulang Bintang, 2014), h.43 48
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI-Press, 1986), j.II,
h.9.
Allah akan mengantarnya menyaksikan Allah (musyâhadah ila Allah) dengan
penglihatan spritual.49
Ada beberapa istilah yang dipakai ulama untuk menyebut tafsir sufi dan
sejenisnya. Secara umum seluruh istilah ini dipakai untuk penafsiran yang
menekankan dimensi esoterik ayat, termasuk diantaranya penafsiran para filosof
dan mu‟tazilah. Istilah-istilah tersebut adalah Tafsîr al-Bâtinî atau Bâtiniyah,
Tafsîr Isyârî, al- Tafsîr al-Faidî, al- Tafsîr al-Ramzî, al- Tafsîr bi Bâtinial-
Qur‟an, al-Manhâj al-Ramzî, al- Tafsîr al-Sȗfi, dan al-Manhâj al-Tamstîlî, dan
Tafsîr al-Irsyâdî. Perbedaan istilah ini disebabkan masing-masing memiliki
karakteristik yang digunakan dalam menakwilkan al-Qur‟an. Namun secara
teknis, semua jenis tafsir ini memiliki persamaan, yaitu berusaha menggali makna
esoterik yang tersembunyi dibalik makna lahir ayat.50
Muhammad Husain al-Dzahabi membagi corak tafsir sufi berdasarkan
kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf „amali dan nazâri.
Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isyârîdan tafsir sufi
nazârî.51
Tafsir sufi isyârî merupakan pengungkapan makna isyârî ayat oleh para
sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa:
رأ ابد اوشا اش ػ خالف ب ظش ب ثوزع إشبساد خلخ رظش
ألسثبة اغى ازطجن ثب ث اظاش اشادح52
49
Tamrin, Tasawuf Irfâni:Tutup Nasut Buka Lahut (Malang:UIN Maliki Press, 2010), h.
100. 50
Berbagai istilah di atas dikemukakan oleh beberapa ulama dan sarjana: seperti tafsir al-
Batini di populerkan oleh Ali al-Shabuni, Tafsir Isyari yang disebutkan Subhi al-Shalih dan oleh
Manna al-Qattan yang diidentikkannya sebagai tafsir Faidi. Untuk istilah tafsir al-Ramzi dipakai
oleh al-Dzahabi dan al-Shirazi. Adapun al-Alusi menyebut dengan istilah Tafsir al-Irsyadi. Ketiga
istilah terakhir dipopulerkan oleh Ahmad Khalil, Manhaj al-Ramzi, Tafsir al-Sufi, dan al-Manhaj
al-Tamtsili. Lihat. Habibi Al-Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari: Melacak Kejiwaan
Mufassir (Ponorogo: sPIP-Press, 2015), h. 23. 51
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j.II, h. 251. 52
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261.
Menakwilkan ayat al-Qur‟an di luar makna zahirnya melalui
isyarat tersembunyi yang yata bagi suluk (pelaku tasawuf), dan
dimungkinkan menguatkan makna isyârî dan makna zahir yang dimaksud
ayat.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isyârî adalah
menjelaskan ayat al-Qur‟an dengan jalan menakwilkan ayat di luar makna
zahirnya yang dipahami oleh pelaku tasawuf (sulȗk) melalui isyarat yang
terkandung (terselubung) di dalam susunan ayatnya. Disamping itu selain
mengambil ayat secara isyârî diambil juga makna zahirnya. Proses menafsirkan
ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan rohani dan memperoleh
pengetahuan rabbanî, sehingga ia mampu menangkap isyarat suci dari ayat.53
Bila
dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi, tidak sama dalam
implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir serta makna isyârî nya,
ada yang dominan pendekatan makna zahirnya bahkan ada yang mengabaikan
makna zahirnya.54
Sedangkan tafsir sufi nazârî adalah:
اجذ أ ظش ؤالء جبدث ظشخ رؼب كغلخ كب ث رصك ػ
ازصكخ إ اوشا ظشح رزش غ ظبسبر رؼب
Ahli sufi yang membangun ajaran tasawufnya berdasarkan pada
pemahaman teoritis dan ajaran filsafat sehingga mereka para ahli tasawuf
itu memandang ayat al-Qur‟an dengan pandangan yang cenderung larut
dalam teori dan ajaran filsafatnya.
Para sufi nazârîmenjelaskan makna sufistik al-Qur‟an berdasarkan pada
kajian teoritis dan ajaran filsafat. Proses memahami ayat baginya beranjak dari
pikiran dan pengetahuan teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam
menjelaskan ayat.
53
Al-Alȗsi, Rȗh al-Ma‟âni fi Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm wa Sab‟i al-Matsâni (Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), j.I, h. 6. 54
Septiawadi, Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam al-Asâs fi al-Tafîr (Jakarta: Lectura
Press, 2004), h. 101.
Dalam diskursus ilmu al-Qur‟an, tafsir sufi sering dicurigai secara
berlebihan oleh para penolaknya. Sehingga dalam ketegorisasi dalam memilah
antara tafsir yang dinilai telah memenuhi syarat (Mahmȗd/ ortodoks) dan
penafsiran yang dinilai tercela (mazmȗm/ heterodoks); tasir sufi ada yang
mengatakan termasuk dalam kategori kedua, yaitu tafsir yang tercela dinilai telah
menyimpang dan terkadang disebut sebagai bid‟ah. Hal ini disebabkan penafsiran
sufi berusaha menguak makna batin al-Qur‟an yang terkadang dalam beberapa
kasus tafsir sufi tidak terikat dengan ketentuan makna literal atau lahiriah teks.
Dari sinilah kemudian mengilhami beberapa sarjana seperti Ignaz Goldziher yang
secara simplistik menyamakan tafsir sufi dan tafsir Bâtiniyah.55
Paling tidak penolakan terhadap tafsir sufi berlandaskan beberapa alasan:
pertama, adanya kekhawatiran tafsir jenis sufi hanya berpijak pada makna batin
(esoterik) saja dan mengabaikan makna zahirnya (eksoterik) akibatnya dimensi
syari‟at dilecehkan. Kedua, makna yang diproduksi para mufassir, dalam hal ini
para sufi terkadang mengabaikan kaidah bahasa Arab. Makna denotatif
ditundukkan dengan oleh makna konotatif yang diperoleh oleh sufi berdasarkan
pengalaman spritualnya. Walhasil, makna yang dihasilkan sangat bersifat
subjektif dan irasional dan sangat sulit dipahami. Terlebih lagi para sufi
mengklaim makna tersebut merupakan limpahan langsung dari Tuhan
(given/mauhubah). Ketiga, tafsir jenis ini juga kerap dicurigai bagian dari
tasawuf, sementara tasawuf sendiri masih sering dianggap sebagai ajaran
menyimpang dari al-Qur‟an dan Hadits. Bahkan lebih dari itu, tasawuf dianggap
55
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Terj. M. Alaika
Salamullah dkk (Yogyakarta: elSaq, 2006), h. 306.
sebagai ajaran kaum musyrikin yang dimasukkan dalam ajaran Islam.56
Keempat,
bagi sebagian kelompok menilai tafsir sufi merupakan produk paham syiah, yang
dalam doktrinnya meyakini para imam mereka memiliki otoritas mutlak dalam
penafsiran al-Quran. Bagi mereka, para imam tidak lain adalah mata rantai
pewaris ilmu batin al-Qur‟an dari Rasulullah. Sedangkan kelompok yang
menolak tafsir sufi ini mengatakan bahwa yang memiliki otoritas menjelaskan
kandungan ayat al-Qur‟an hanyalah Rasulullah dan para sahabatnya.57
Agaknya
untuk alasan yang keempat ini tidak terlepas dari problem sentimen sektarian
dalam Islam, khususnya antara mazhab sunni dan syiah.
Adapun kalangan yang mengakui tafsir sufi menyatakan bahwa upaya
penyingkapan makna batin al-Qur‟an yang dilakukan oleh penafsir sufi sejatinya
berpedoman langsung dari ayat-ayat al-Qur‟an, salah satunya pada QS.
Muhammad: 24.
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati
mereka terkunci?
Bagi para sufi ayat ini mengisyaratkan bahwa al- Qur‟an memiliki makna
lahir dan batin. Ayat ini dianggap sebagai dorongan untuk menyibak makna
terdalam al-Qur‟an hingga mencapai puncak pemahaman yang tertinggi tentang
Tuhan (ma‟rifatullah). Bagi para sufi membaca (tilâwah al-Qur‟an) saja tidak
cukup, tetapi juga diperlukan tadabbur al-Qur‟an yang dalam pengertiannya;
56
M. Ulinnuha Khusman, “Tafsir Esoterik: Sebuah Metode Penafsiran Elit yang
Terlupakan,” Suhuf : Jurnal Kajian al-Quran dan Kebudayaan, Vol, 3, No. 2, 2012, h.20. 57
Salman Fadlullah, “Tafsir Ishari: Menguak Aspek yang Terabaikan dari al-Qur‟an.
Mulla Shadra,” Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. I, No. 4, 2011, h. 175 .
mengkaji, mempelajari, dan melihat secara mendalam dengan kalbu.58
Hal ini
selaras dengan apa yang diungkapkan oleh al-Qusyairi dalam tafsirnya bahwa
dengan ‚tadabbur al-Qur‟an‛ akan membuka jalan menuju hakikat pengetahuan
tentang Tuhan („irfân).59
Di samping itu, para sufi juga menjustifikasi pemikiran mereka
berlandaskan pada salah satu riwayat yang berbunyi:
ب أض هللا اخ اال ب ظبش ثبغ دشف دذ دذ طغ
Allah tidak menurunkan satu pun, setiap ayat memiliki makna lahir
dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap
batasan memiliki tempat untuk melihatnya.60
Dalam riwayat lain juga mengindikasikan adanya contoh penafsiran
dengan pemgambilan makna isyarat yang terkandung di balik kandungan tekstual
al-Quran, berdasarkan Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas; yang dikisahkan
dapat memahami secara langsung makna tersirat dari Qur‟an surah al-Nashr:
[110]: 1-3. Yang menurut Ibnu „Abbas mengisyaratkan tanda-tanda kedatangan
ajal nabi Muhammad. Menurut beberapa ulama‟, riwayat tersebut
mengindikasikan adanya pemahaman yang tersirat di balik zahir ayat. Sekalipun
penafsiran yang dilakukan oleh Ibn Abbas tersebut secara metodologis tidak sama
persis seperti penafsiran yang dilakukan oleh para sufi, namun beberapa ulama
58
Kautsar Azhari Noer, Hermenutik Sufi: Sebuah Kajian atas Pandangan Ibnu „Arabi
tentang Takwil al-Qur‟an, Jurnal Kanzphilosophia: a journal for Islamic philosophy and
Mysticism, Vol 2, No. 2, December, 2012, h. 319. 59
Abȗ Qâsim al-Qusyairî, La‟tâif al-Isyârât (Beirut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah, 1971),
j.III, h. 204. 60
Dari riwayat ini kemudian menginspirasi seorang mufassir sufi klasik Sahl al-Tustari
untuk membagi makna ayat al-Qur‟an menjadi empat: zâhir, bâtinhadd, dan matla‟ . Makna lahir
zahir berarti makna yang dihasilkan sesuai dengan bacaan. Makna batin lebih mengarah kepada
pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir oleh kerenaya Tustari menyebutnya sebagai fahm.
Adapun makna hadd adalah makna yang menunjukkan hukum dari suatu ayat, seperti halal dan
haram dari suatu ayat al-Qur‟an, dan matla‟ adalah makna yang diperoleh dari bimbingan hati
(isyarat al-Qalbi) untuk mencapai makna yang dimaksud oleh Allah swt. Lihat. Husain al-
Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, t.t), j.II, h. 282.
sepakat riwayat tesebut sebagai bukti adanya peluang untuk menggali makna-
makna al-Qur‟an atau isyarat yang tersembunyi dibalik makna tekstualnya.61
Kendati argumen para sufi dibangun berdasarkan al-Qur‟an dan Hadits,
keberadaan tafsir sufi tetap saja dicurigai, dengan kekhawatiran adanya berbagai
penafsiran yang melenceng. Oleh sebab itu, agar menjaga tidak terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir ini, maka para ulama memperketat
persyaratan-persyaratan agar dapat diterima dikalangan umum. Husain al-Dzahabi
misalnya mengemukakan syarat-syarat tersebut antara lain: Pertama, tidak
menafikan makna zahir ayat (kandungan tekstualnya). Kedua, penafsiran itu
diperkuat oleh dalil syara‟. Ketiga, penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil
„aqli atau rasio. Keempat, para sufi yang menafsirkan al-Qur‟an tidak mengklaim
bahwa hanya penafsiran batinlah yang dikehendaki Allah, sementara kandungan
tekstualnya tidak.62
Adapun „Ali al-Sabunî menambahkan tiga persayaratan lagi,
yaitu: (1) makna zahirnya tidak bertentangan dengan makna batinya, (2)
penakwilannya tidak melampaui konteks kata, (3) tidak mengacaukan pemahaman
orang awam.63
Berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan di atas akan memunculkan
kerumitan dalam menilai kebenaran tafsir isyârî, hal ini disebabkan oleh cara
pandang tafsir sufi berbeda dengan yang lainnya. Pasalnya, karakteristik utama
tafsir sufi bersifat wijdanî, sehingga amat sulit diidentifikasi dengan akal semata.
Bahkan jika ditinjau dalam beberapa kasus tafsir sufi sama sekali tidak terikat
61
Lihat. Manna al-Qattân, Mabâhits fî „Ulȗm al-Qur‟an, (al-Qâhirah : Maktabah
Wahbah) h. 347; Muhammad „Ali Al-Sabunî, al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Pakistan: Maktabah
al-Busra, 2011), h.121; Nur al-Din „Itr, „Ulȗm al-Quran al-Karîm (Damaskus : Matba‟ah al-Sibl,
1993), h. 97-98. 62
Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn, j.II, h.279. 63
Al-Sabȗnî, al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an, h.121.
dengan kaidah kebahasaan ataupun kaidah-kaidah lain yang biasa digunakan oleh
mufassir pada umumnya. Namun paling tidak dengan syarat-syarat demikian,
dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir sufi pada hakikatnya adalah tafsir yang
sangat eksklusif. Hanyalah orang-orang tertentu yang telah mencapai kematangan
ilmu hakikat (tasawuf) yang dapat melakukannya. Ini sejalan dengan esensi
tasawuf sebagai hubungan antara Allah dan hambanya. Selain, itu yang tidak
kalah penting dalam tujuan tasawuf adalah kebersihan hati dan kesucian jiwa.
D. Perkembangan Ragam Tafsir Surga
1. Periode Klasik
a. Tafsir Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an
QS. Al-Baqarah: 25
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-
buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah
diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa
dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal
di dalamnya”
Kata اجبدadalah bentuk jamak dari kata tunggal اجخyang berarti taman
atau surga. Menurut al-Tabarî (w. 310 H) adapun yang dimaksud taman adalah
apa yang ada di dalam taman berupa pepohonan, tanaman dan buah-buahan ,
bukan tanahnya karena itu Allah berfirman رجشي رذزب االبس“yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya”. Allah bermaksud menginformasikan tentang air
sungai yang mengalir di bawah pepohonannya, tanamannya dan buah-buahannya,
bukan mengalir di bawah tanahnya, karena jika mengalir di bawah tanah maka
mata tidak dapat melihatnya kecuali dengan membuka penutupnya. Jadi, ciri
sungai-sungai surga yang dimaksud adalah bahwa ia mengalir bukan pada lubang
tanah.64
Para mufassir berbeda pendapat mengenai buah-buahan yang diberikan
kepada ahli surga dikarenakan firman Allah “inilah yang pernah kami berikan
kepada kami dahulu”. Sebagian mereka menakwilkan buah-buahah tersebut
adalah buah-buahan yang pernah dimakan dan dirasakan ketika di dunia.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa buah-buahan surga sebagiannya sangat
mirip dengan buah-buahan di dunia dalam warna dan rasa. Pendapat ini beralasan
bahwa buah surga setiap kali dipetik ia langsung digantikan dengan yang lain.65
Menurut al-Tabarî pendapat yang kedua ini tidak sesuai dengan dzahir
ayat. Adapun yang benar adalah pendapat pertama yang menakwilkan: “inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu ketika di dunia.” Karena Allah
menginformasikan dalam firman-Nya: “setiap mereka diberi rezeki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan inilah yang diberikan kepada kami
dahulu.” Bahwa setiap penduduk surga diberikan makanan mereka berkata:
“inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Tidak mengkhususkan
perkataan mereka atas suatu makanan tanpa yang lain. Jika Allah
64
Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-
Qur‟an/Tafsir Al-Thabari, Penerjemah. Anshari Taslim, Muhyidin Mas Rida, Mangala, Athaillah
Manshur (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j.I, h.471. 65
Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an, j.I, h. 473-475.
menginformasikan bahwa ini adalah perkataan penduduk surga setiap kali
diberikan makanan, maka jelas ini pula perkataan mereka ketika pertama kali
makan makanan surga yang diberikan kepada mereka ketika telah memasuki
surga. Jika jelas bahwa ini perkataan mereka ketika diberikan makanan surga
pertama kalinya, juga kedua kalinya dan seterusnya, maka diketahuilah bahwa
mustahil ketika pertama kali diberikan makanan mereka berkata: inilah makanan
surga seperti yang pernah diberikan kepada kami sebelum ini. Karena bagaimana
mereka bisa mengatakan demikian sementara mereka baru pertama kali
merasakannya. Kecuali jika ada orang sesat yang hendak menisbatkan perkataan
dusta ini kepada mereka, padahal Allah telah mensucikan mereka secara lahir dan
batin.66
Terdapat perbedaan pula mengenai firman Allah: “mereka diberi buah-
buahan yang serupa”. Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud
denan زشجب(serupa) yaitu, semuanya baik, tidak ada yang busuk. Sebagian lain
mengatakan bahwa buah-buahan surga dan dunia serupa warnanya meskipun
berbeda rasanya. Al-Tabarî lebih sepakat pada pendapat yang kedua, yakni serupa
dalam warna tapi berbeda dalam rasa.67
Selain diberikan kenikmatan taman rindang yang mengalir sungai-sungai
dibawahnya, dan buah-buahan yang kelezatannya tidak serupa dengan dunia. Di
dalam surga disediakan pula istri-istri yang suci, dari segala kotoran dan keraguan
yang ada pada kaum wanita di dunia seperti haid, nifas, air besar, air kecil, ludah
66
Al-Tabârî, Tafsir Al-Thabari, j.I, h.475-476. 67
Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an, j.I, h.476-483.
ingus, air mani, dan segala sesuatu yang tidak disukai. Para ahli surga pun kekal
dalam kenikmatan abadi yang dianugrahkan Allah kepada mereka.
b. Tafsir Al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟an
Menurut al-Qurtubî (w. 671H) اجخ(surga) adalah اجغبر(kebun). Disebut
.sebab ia melindungi siapa saja yang berada di dalamnya dengan pepohonanجخ
Contoh lain: al-mijan (perisai), al-janîn (janin), dan jannah (surga). Dibawah
surga tersebut terdapat sungai yang mengalir, yakni dibawah pepohonannya.
Tidak pernah pepohonan itu disebutkan karena lafadz جخsudah menunjukkan hal
tersebut. Sungai-sungai tersebut mengalir di permukaan tanah surga yang tidak
ada saluran-salurannya sesuai dengan kehendak Allah, ke arah mana yang
diinginkan oleh penghuninya.68
Al-Qurtubî mencantumkan berbagai pendapat mengenai firman Allah:
“setiap mereka diberi rezeki buah-buahan, mereka berkata inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu.” Sebagian mufassir mentakwilkan: “ini yang telah
dijanjikan kepada kami dai dalam dunia”. Sebagian yang lain berkata: “ini telah
diberikan kepada kami di dalam dunia.” Sebab, warnanya sama dengan warna
buah-buahan dunia. Namun apabila mereka memakannya, mereka menemukan
rasa yang berbeda. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud هج
(dahulu), takni di dalam surga. Sebab, di sana mereka diberi dan terus diberi.
Apabila disajikan makanan dan buah-buahan kepada mereka di awal siang, lalu
mereka memakannya, kemudian disajikan kembali kepada mereka seperti itu di
akhir siang, mereka berkata: “ini telah diberikan kepada kami
68
Syaikh Imâm Al-Qurtubî, Al-Jami‟ li Ahkâm al-Qur‟an/ Tafsîr al-Qurtubî, Penerjemah.
Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashirul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), j.I, h. 540-541.
sebelumnya.”Maksudnya, kami telah memakannya di awal siang, sebab warnanya
sama. Namun ketika mereka memakannya, mereka menemukan rasa yang berbeda
dengan rasa yang sebelumnya.69
Para ahli surga diberi buah-buahan yang serupa (زشجب). Menurut al-
Qurtȗbi maksudnya ialah serupa sebagiannya dengan sebagian lainnya dalam
bentuk, namun berbeda dalam rasa. Ini dikatakan oleh Ibnu „Abbas, Mujahid,
Hasan, dan lainnya. Ikrimah berkata “serupa dengan buah-buahan dunia namun
sebagian besar sifatnya berbeda.” Menurut Ibn Abbas, ini adalah ungkapan
takjub, sebab tidak ada sesuatupun di dalam dunia yang melihat betapa bagus dan
besarnya. Qatadah berkata. “sangat bagus, tidak ada cacat sedikitpun,
sebagaimana firman Allah Swt: زبثب زشجب(yaitu) al-Qur‟an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya).70
Tidak seperti buah-buahan dunia yang tidak serupa, sebab ada
yang bagus dan tidak bagus.71
Firman Allah Swt: كب اصاج “dan untuk mereka di dalamnya ada
isteri-isteri”mubtada‟ dan khabar. Kata اصاجadalah bentuk jamak dari صج. Al-
mar‟ah adalah zauj al-rajul (isteri seorang laki-laki), dan al-rajul adalah zauj al-
mar‟ah (suami seorang permpuan). Al-Ashma‟i berkata, “orang Arab hampir
tidak pernah mengucapkan zaujah (untuk arti isteri).” Namun al-Farra‟
menceritakan bahwa orang Arab biasa mengatakan zaujah, „Ammar bin Yasir
pernah berkata tentang Aisyah, Ummul Mu‟minin ra, “Demi Allah, sesungguhnya
aku tahu bahwa dia adalah isteri beliau di dunia dan di akhirat, akan tetapi Allah
69
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h.541. 70
QS. Al-Zumar: 23. 71
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h. 542.
tengah menguji kalian.” Perkataan ini disebutkan oleh Bukhari dan dipilih oleh al-
Kisa‟i.72
Isteri-isteri yang disediakan Allah untuk para ahli surga tersebut dalam
keadaan suci. Maksudnya ialah suci dari haid, ludah, buang air kecil, buang air
besar, melahirkan dan hal-hal yang menjijikan lainnya yang terdapat pada
manusia. Para ahli surga kekal di dalamnya dengan keabadian yang hakiki.73
2. Periode Modern
a. Tafsir al-Manâr
Muhammad Abduh (w. 1905 M) dalam menafsirkan jannah dalam ayat 25
surat al-Baqarah, lebih cenderung menggambarkan dengan sifat-sifat yang bukan
sebagaimana dilihat di dunia ini. ia lebih menitik beratkan pada segi kejiwaan dari
gambaran menurut lahiriyah ayat. Ia mengatakan: Di banyak tempat, lafaz jannah
selalu berdampingan dengan lafadz nâr. Jannah menurut bahasa adalah kebun,
tetapi yang dimaksud oleh ayat itu bukan maksud menurut bahasa saja, melainkan
keduanya merupakan tempat yang kekal di alam akhirat.74
Jannah adalah tempat bagi orang-orang yang berbuat baik dan bertaqwa.
Sedangkan neraka adalah tempat bagi orang-orang yang durhaka dan orang-orang
yang fasiq. Kita percaya keduanya termasuk alam ghaib dan tidak bisa membatas
hakikat keduanya karena alam ghaib tidak bisa dikiaskan kepada alam Syahadah.
Apakah Dar al-Ni'mah dinamakan jannah hanyalah perumpamaan ? Kernudian
diceritakan tentang sungai-sungai yang mengalir didalamnya, karena di dunia ini
72
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h. 542-543. 73
Al-Qurtubî, Tafsir al-Qurtubî, j.I, h. 543. 74
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟an al-Hakîm/ Tafsîr al-Manâr (Mesir: al-Haiat
al-Misriyyah al-„Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. I, h. 194.
kebun-kebun biasa dialiri sungai, ataukah dinamakan Jannah tersebut karena
mencakup semua kebun ? yaitu nama untuk keseluruhan dengan nama untuk
sebagian. Hanya Allah yang mengctahui maksud firman-Nya.75
Yang mengetahui hakikat jannah hanyalah Allah. Manusia tidak bisa
mengetahuinya secara pasti. Walaupun ayat itu menggambarkan dengan gambaran
dunia, tetapi Jannah bukan dunia, Sudah semestinya kita melupakan dunia ketika
kita akan menerangkan jannah. Kalau tidak, kita akan terjerumus pada
kesalahan.76
Ketika Abduh menafsirkan lafadz "Kullamâ ruziqȗ minhâ min
tsamarâtin", ia mengatakan: tujuan makan di dunia untuk menjaga badan dari
kerusakan, Oleh karena itu makan dan minum di akhirat adalah untuk tujuan lain
atau untuk kelezatan yang tidak kita ketahui, karena di alam ghaib. Kita hanya
percaya kepada Allah dan yakin bahwa kelezatan di akhirat lebih dari kelezatan di
dunia.77
Rizki tersebut adalah wujud janji, sebagai pahala atas perbuatan baiknya.
Ketika mereka di beri rizki, mereka menyebut janji Allah sebagai tanda terima
kasih daripada-Nya karena telah memberi petunjuk untuk beramal yang dijanjikan
dengan pahala itu. Itu menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara yang
dijanjikan dengan yang diberi janji. Seolah-olah amal itulah wujud pahala. Ahli
surga akan makan dan minum rizki sebagai pahala bagi perbuatan baiknya
sewaktu di dunia. Makan dan minum di surga beda dengan di dunia baik cara
ataupun tujuannya, karena di surga tanpa makanpun lidak akan hancur. Abduh
75
Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194. 76
Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194. 77
Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194.
mengatakan bahwa makanan di surga itu seolah-olah amal baiknya sewaktu di
dunia.78
Selanjutnya ketika menafsirkan lafadz "Wa lahum FîhâAzwâj
Mutahharat", Abduh mengatakan: bergaul dengan isteri-isteri di akhirat
keadaannya sama dengan hal-hal ghaib lainnya. Kita beriman kepada apa yang
diperintahkan Allah, tidak menambah dan tidak menguranginya dan jangan
membahas tentang cara-caranya. Kita tahu secara umum bahwa kehidupan akhirat
lebih berharga dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Hikmah mengambil
kenikmatan dengan isteri adalah keturunan, sedangkan di akhirat tidak ada
keturunan.Oleh karena itu kelezatan bergaul dengan isteri di akhirat lebih tinggi.79
Kemudian ketika menafsirkan lafadz "Wa hum FîhâKhâlidȗn", ia
mengatakan al-khulȗd menurut syara‟ adalah kekal abadi, yakni tidak akan keluar
darinya dan juga tidak akan rusak, kemudian merekaturun dari surga karena
surganya rusak. Kehidupan di surga adalah kehidupan yang kekal abadi dan tidak
akan berakhir.80
Penggambaran masalah kehidupan di akhirat digambarkan dengan
gambaran yang sebagaimana dapat dilihat di dunia ini, menurut Abduh adalah
supaya lebih berkesan kepada jiwa yang sederhana umat Islam, juga Yahudi dan
kristen yang sudah berpikiran jauh apokaliptis (pewahyuan) daripada jika
menjelaskan rahasia kerajaan ruhani secara psichologis dan metafisis semata.
Begitulah gambaran Jannah yang digambarkan oleh Abduh tak ubahnya
seperti orang mimpi mendapatkan kenikmatan sewaktu tidurnya. la mimpi makan
buah-buahan atau bersenang-senang dcngan isteri yang cantik disuatu tempat
78
Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 195. 79
Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 195-196. 80
Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 196-197.
yang belum pernah ia datangi. padahal jasadnya berada di tempat tidur. Bedanya
kalau mimpi bisa berakhir jika kita bangun dari tidur sedangkan di surga bersifat
kekal abadi.81
b. Tafsir al-Misbâh
Dalam awal penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah ayat 25 tersebut M.
Quraish Shihab menerangkan bahwa merupakan kebiasaan al-Qur‟an
menyandingkan dua hal bertentangan guna melahirkan keserasian. Sebelum ayat
ini, al-Qur‟an menguraikan keadaan orang-orang kafir dan siksa yang akan
mereka hadapi. Di sini Allah mengemukakan lawannya yakni orang-orang
beriman dan ganjaran yang akan mereka peroleh. Kalau ayat yang lalu merupakan
berita yang mengandung ancaman, maka ayat ini memerintahkan Nabi
Muhammad Saw, untuk menyampaikan berita gembira kepada mereka yang
benar-benar beriman secara tulus terhadap semua unsur keimanan dan
membuktikan kebenaran imannya dengna beranak saleh.82
Quraish berpendapat bahwa surga ada bermacam-macam. Ada yang
dinamai surga al-Firdaus, surga „Adn, surga Mau‟ud, surga „Illiyyîn dan lain-lain,
yang mengalir di sekelilingnya atau di bawah pepohonannya sungai-sugai.83
Mereka (ahli surga) dianugrahi aneka rezeki, antara lain berupa buah-
buahan yang setiap dihidangkan kepada mereka rezeki yang berupa buah-buahan,
mereka menduganya sama dengan buah duniawi atau sama dengan apa yang telah
dihidangkan sebelumnya sehingga mereka berkata: “ini yang pernah
dianugrahkan kepada kita sebelum ini”, yakni sebelum kami masuk surga, ketika
81
Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 197. 82
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), v. I, h. 129. 83
Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130.
kami masih hidup di dunia atau sebelum ini, ketika kami telah berada di surga.
Tetapi sebenarnya tidak demikian, karena mereka dianugrahi yang serupa dalam
bentuk atau warna dan jenisnya dengan apa yang mereka dapatkan di dunia, atau
yang mereka dapatkan sebelumnya, tetapi tidak sama rasa dan nikmatnya.84
Allah menyerupakan buah-buah yang dihidangkan itu dengan apa yang
telah dianugrahkan sebelumnya agar mereka tidak ragu untuk memakannya,
karena sesuatu yang belum pernah dicoba boleh jadi menimbulkan tanda tanya di
dalam benak yang dapat mengakibatkan seseorang enggan menyicipinya.85
Ketika menafsirkan "Wa lahum FîhâAzwâj Mutahharat". Quraish
mengatakan bahwa kata azwâj berarti pasangan-pasangan bukan istri-istri. Bila
azwâj diterjemahkan sebagai isteri-istri maka itu sungguh keliru, karena azwâj
bentuk jamak dari lata zauj yang berarti pasangan. Kareba itu misalnya, istri Nabi
Muhammad Saw., Aisyah ra., dinamai zauj al-Nabi, yakni pasangan (hidup)
Nabi.86
Jadi maksud dari firman Allah tersebut ialah pasangan-pasangan yang
telah berulang kali disucikan dari segala macam kotoran; bukan hanya dari haid,
karena ini hanyalah salah satu bentuk penyucian dan itu pun hanya bagi wanita.
Padahal pasangan-pasangan yang dimaksudkan adalah pria buat wanita dan
wanita buat pria, sehingga penyucian itu mencakup segala yang mengotori
jasmani dan jiwa pria yang antara lain seperti dengki, cemburu, kebohongan,
keculasan, pengkhianatan, dan lain-lain.87
Untuk memberi kebahagian yang lebih mantap dan menghilangkan rasa
cemas yang boleh jadi muncul dalam benak ketika menduga bahwa kenikmatan
84
Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130. 85
Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130. 86
M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga, dan Ayat-ayat
Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 177-178. 87
Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I,h. 130.
itu tidak abadi, ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa mereka tinggal di sana
kekal selama-lamanya.88
Dalam akhir penafsirannya, Quraish menerangkan bahwa Surga dan
kenikmatannya adalah sesuatu yang abstrak (immaterial), maka melalui wahyu-
wahyu-Nya Allah bermaksud menjelaskan petunjuk-petunjuk-Nya kepada
menusia dengan perumpamaan yang bersifat konkret (material).89
88
Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I,h. 130. 89
Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I, h. 131.
49
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYAIKH „ABD AL- QÂDIR AL-JAILÂNÎ
A. Biografi Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî
1. Konteks Sosial-Politik Masa al-Jailânî
Sebelum memasuki fokus kajian pembahasan hagiografi Syaikh „Abd al-
Qâdir al-Jailânî, penulis terlebih dahulu menengok alur konteks sejarah pada masa
Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî yakni kisaran tahun 470-561 H./1077-1168 M.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui berbagai macam kejadian yang menyelimuti
perjalanan hidup al-Jailânî dari lahir hingga wafatnya, baik dalam kancah politik,
sosial maupun ilmu pengetahuan. Al-Jailânî hidup pada masa kekhalifahan
Abbasyiyah tepatnya pada periode keempat (477-590H/1084-1197 M). Pada
periode ini pemerintahan dibawah kendali khalifah Abbasyiyah IV yang
dihegemoni oleh kesultanan Bani Saljuk.1 Pada masa ini banyak terjadi kekeruhan
politik dan konflik keagamaan. Mulai dari perebutan daerah kekuasaan, harta
hingga perebutan jabatan tahta kerajaan.
Kesultanan Saljuk merupakan salah satu dinasti kecil yang lahir pada masa
kekhalifahan Abbasyiyah yang ingin melepaskan diri. Dinasti ini didirikan oleh
Rukn al-Din Abû Thâlib Tuqhru Bek bin Mikail bin Saljuk.2
Bani Saljuk mengalami pergolakan yang sangat besar baik dari dalam
(internal) maupun dari luar (eksternal). Dari dalam, misalnya terjadi gerakan yang
1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), h.
50. 2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 65.
dipimpin oleh Hasan bin al-Sabah, gerakan ini dikenal dengan gerakan Batniyyah.
Selain itu, gerakan ini juga terkenal dengan gerakan “Hasyasyin”3. Gerakan
tersebut adalah gerakan teroris yang berupaya memberontak pembesar-pembesar
kerajaan. Gerakan ini bermarkas di benteng maut (Qal‟ah Alamut).4
Di antara para pembesar kerajaan yang menajdi korban kekerasan gerakan
ini adalah seorang muadzin di Isfahan, Nizâm al-Mulk, menteri Maliksyah,
Ubaidillah bin „Ali bin Khutaibi (ketua mahkamah tinggi Isfahan), Abu A„la Said
bin Muhammad al-Bukharî (Mufti Isfahan), Abu al-Mahasin „Abd al-Wâhid bin
Ismâ„îl Rayân.5
Pergolakan dari dalam lainnya yaitu, kerusuhan dari Asia tengah yang
digerakkan oleh Tutusy Alep Arselan karena Tutusy tidak puas diberi kedudukan
di wilayah Syam dan juga sejumlah kelompok yang tidak puas dengan kebijakan
Malikisyah yang memecat 7.000 tentara yang dianggapnya kurang disiplin.
Adapun pergolakan dari luar, mislanya adanya perang salib yang
berlangsung hampirtiga abad lamanya dari tahun 1029 M sampai dengan 1270 M.
Umat Islam sangat sulit menghadapi tentara salib yang sangat terorganisir karena
masih disibukkan oleh masalah internal yang tak kunjung selesai.
Dinasti Abbasiyah IV yang dimulai tahun 447-456 H/1055-1258 M atau
dari masuknya Bani Saljuk ke Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan
3 Gerakan ini disebut dnegan “Hasyasyin” karena mereka penghisap hasyisy (sejenis
ganja) untuk memperoleh tingkatan “asyik”, tingkatan yang dikehendaki oleh sebagian orang-
orang sufi. Orang barat menamkannya “Assasin”, karena mereka adalah teroris-teroris bagi lawan
politiknya.Lihat.Nuruzzaman al-Shiddiqi, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah
(Yogyakarta: PLP2M, 1985), h.28. 4 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî (Yogyakarta: LkiS, 2011)h.16.
5 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.17.
bangsa Tartar yang dipimpin oleh Hulagu, diwarnai dua corak kepemimpinan.
Yaitu corak kekhalifahan dan corak kesultanan. Kekhalifahan dipegang oleh
turunan Abbasiyah, sedangkan kesultanan dipegang oleh turunan Saljuk.6
Pada tanggal 10 Ramadhan 529 H, keduanya bersengketa dalam hal
perebutan kota Baghdad. Kesultanan yang dipimpin oleh sultan Mas‟ûd mampu
melemahkan kekhalifahan yang dipimpin oleh khalifah al-Murtasyid dan mampu
menguasai Baghdad. Akhirnya, kekhalifahan melemah bahkan kadang-kadang
hanya sebatas lambang saja. Karena kekuasaan yang sebenarnya pada saat itu di
tangan wazir atau panglima atau sultan sehingga kadang-kadang nasib khalifah
tergantung pada selera para penguasa, diangkat, diturunkan, atau bahkan
dibunuh.7 Hal tersebut sampai menghebohkan kaum muslimin dan menyebabkan
terjadinya fitnah dimana-mana. Sebagian kaum muslimin menuntut agar khalifah
dikembalikan dalam kedudukannya.
Masa dinasti Abbasiyah IV yang dikuasai oleh Bani Saljuk selalu diwarnai
oleh bentrokan antar saudara dalam pemerintahan. Bentrokan saudara dalam Bani
Saljuk dimulai dari kepemimpinan Sultan Mahmûd yang diberi gelar sultan atas
usaha ibunya, yaitu Turkhan Khatun ketika Mahmûd berusia empat tahun.
Pengangkatan tersebut menimbulkan kecemburuan terhadap Barkyaruk, anak tiri
dari Turkhan Khatun. Dia menuntut kesultanan Mahmud sehingga terjadi
pertempuran seala dua tahun dan berakhr dengan kemenangan di tangan
Barkyaruk. Mahmud turun dari jabatannya, sedangkan ibunya ditangkap.8
6 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), h.51. 7Sunanto, Sejarah Islam Klasik, h.52.
8 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.38.
Setelah itu bentrokan saudarapun terjadi antara Barkyaruk dengan
pamannya, Tutusy di Azerbajian. Dalam pertempuran itu, pertahanan Barkyaruk
porak poranda dan memakasa Barkyaruk mundur ke Isfahan tempat sultan
Mahmud berkuasa. Sehingga kesempatan inipun tidak disia-siakan oleh Mahmud
untuk membalas dendamnya karena telah menurunkannya dari jabatan sultan.
Mahmud berencana untuk membunuh Barkyaruk, tetapi rencana itu gagal karena
Mahmud terlebih dahulu menemui ajalnya. Bahkan Barkyaruk diangkat oleh
rakyat sebagai penggantinya. Sejak saat itulah Saljuk terancam perpecahan.9
Pemerintahan Bani Saljuk pada masa Wazir Barkyaruk, Negara ditandai
dengan kedzaliman dan kemerosotan moral. Mereka terlena oleh kemgahan
duniawi, berfoya-foya, mabuk-mabukan, menumpuk harta dan budak serta
tindakan-tindakan dzalim lainnya yang mengakibatkan dehumanisasi,10
despiritualisasi,11
dan destrukturalisasi. Bahkan masa itu ditandai dengan masa
kesuraman.
Berdirinya dinasti Bani Saljuk merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kemunduran kekhalifahan Abbasyiyah.12
Faktor lain yang
meyebabkan kemunduran kekhalifahan Abbasyiyah, yakni kemewahan hidup di
kalangan penguasa yang ditambah dengan tunduknya kekhalifahan pada tentara
bayarannya sendiri yang berasal dari etnik Turki, sehingga tentara bayaran inilah
yang seakan-akan menjadi penguasa.13
9 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h. 39.
10Dehumanisasi berarti tidak adanya rasa prikemanusiaan.Lihat. Tim Penyususun Kamus,
Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 533. 11
Despiritualisasi berasal dari kata spiritual yang berarti berhubungan dengan atau sifat
kejiwaan (rohani, batin). Lihat. Tim Penyususun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 1373. 12
Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137-138. 13
Imam Ghazali Said, Pengkafiran Sesama Muslim (Surabaya: Diantama, 2012), h. 3.
Bani Abbasyiyah telah mengalami pergantian periode kekhalifahan
sebanyak 5 kali pada masa hidup al-Jailânî:
a. Al-Mustadhir Billah. Lahir pada tahun 470 H, dibaiat menjadi khalifah
pada tahun 487 H. dan meninggal pada tahun 512 H. Pada masa awal
pemerintahannya banyak terjadi perseteruan antara kelompok Ahlussunnah wal
Jamaah dengan kelompok Rafidhah hingga terjadi kebakaran dibanyak tempat dan
beberapa kejadian yang banyak memakan korban.
b. Al-Mustarsyid. Memimpin dari tahun 512 H. hingga 529 H. Dia mampu
mempertahankan kekhalifahan selama 17 tahun. Namun, nasibnya malang karena
mati secara tragis di tangan kelompok Bathiniyah.
c. Al-Rasyid Billah. Memimpin hanya dalam durasi waktu yang sangat
singkat yakni 11 bulan. Ia mati karena dibunuh. Pada masanya kelompok
Rafidhah mulai sedikit.
d. Al-Muqtafi li Amrillah. Pada masanya perang salib berkobar.
e. Al-Mustanjid Billah.14
Pada periode-periode itulah berdiri dua kubu kekuatan antara kekhalifahan
Abbasyiyah dengan dinasti Saljuk. Di sini Saljuk mempunyai hasrat untuk
merebut kursi kekhalifahan. Mereka ingin menguasai kekhalifahan Abbasyiyah
serta menggeser kedudukannya. Dari sinilah terjadi peperangan besar antara
khalifah dengan Sultan, yang mana kemenangan berada dipihak Sultan. Hal ini
berujung pada naiknya derajat kesultanan dan turunnya derajat kekhalifahan
karena tertawan.15
Kedudukan khalifah menjadi tak lebih dari sekedar boneka para
14
Said bin Musfir al-Qathani, Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-I‟tiqadiyah
wa al-Shufiyah/Buku putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî (Jakarta: Darul Falah, 2003), h. 5-6. 15
Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, penerjemah Abu Asma
(Solo: CV. Ramadhani, 1985), h. 9-10
sultan.16
Kekalahan yang berada di pihak khalifah ini berdampak pada
terampasnya harta kekayaan beserta penghasilan para penduduk Baghdad.
Peristiwa peperangan antara kekhalifahan dengan kesultanan banyak menelan
korban. Derita ini membuat para penduduk Baghdad mengalami kegoncangan
lahir batin.17
Belum lagi peristiwa perang Salib yang membawa dampak
kehancuran, ketidak-amanan, dan ketidak-damaian.18
Kondisi sosial suatu masyarakat tidak lepas dari kondisi politik yang
terjadi pada masa itu. Kondisi politik yang carut-marut ini menghasilkan situasi
sosial yang carut marut pula. Kondisi sosial kekhalifahan Abbasyiyah masa ini
ditandai dengan gaya hidup sangat glamor dan serba-serbi kemewahan dunia. Para
khalifah sangat suka berfoya-foya baik untuk memuaskan kebutuhan lahir
maupun batin. Hal ini bisa dilihat dari kecintaannya pada benda-benda mewah,
fashion yang modis, dan lebih parah lagi rusaknya moral yang menyebabkan
tindakan seksual merajalela.19
Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh al-Jailânî semasa hidupnya.
Situasi ini diantaranya yang mendorong al-Jailânî untuk menjadi petunjuk jalan
kebenaran, berdakwah, mengajar, dan bertekad memperbaharui jiwa-jiwa yang
rusak, memerangi kemunafikan, memadamkan bara api perpecahan.20
Kondisi politik dan sosial pada masa al-Jailânî tidak sama halnya dengan
kondisi keilmuan pada masanya. Bahkan bisa dibilang berbanding terbalik 180 %,
16
Philip K. Hitti, History of the Arab, penerjemah Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 605. 17
Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, h. 11. 18
Syarif, A History of Muslim Philosophy (New Delhi: Low Price Publication, 1961),
h.349. 19
Philip, History of the Arab, h. 416-417. 20
Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, h.12.
karena kondisi keilmuan pada waktu itu masuk dalam katagori terbaik.21
Hal ini
terbukti dengan berdirinya akademi Islam pertama yakni Nizâmiyyah.
Nizâmiyyah inilah yang kemudian menjadi nisbat bagi pembangunan akademi-
akademi lainnya. Nizâmiyyah didirikan pada tahun 1065 M. oleh Nizâm al-Mulk,
seorang menteri pada masa Bani Saljuk.22
Di Madrasah Nizâmiyyah inilah al-
Jailânî menimba ilmu dan di sini juga ulama‟ terkemuka yakni al-Ghazali sempat
mengajar selama 4 tahun.23
Dan jika ditengok ke belakang yakni pada masa awal
kekhalifahan Abbasyiyah merupakan awal kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai
bidang, antara lain: bidang kedokteran, filsafat Islam, Astronomi dan matematika,
kimia, geografi, historiografi, teologi, hukum dan etika Islam, sastra, dan bidang
kesenian lainnya.24
2. Riwayat Hidup al-Jailânî
Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dikenal sebagai wali-sufi dibanding
sebagai ahli hukum Islam, walaupun beliau cakap dalam hal itu. Karena itu,
gelarnya yang terkenal adalah Sultân al-Auliyâ (Rajanya para wali), Imâm al-
Asfiyâ‟ (pemimpin para sufi) dan sebagai al-Gauts al-„Azâm (manifestasi sifat
Allah Yang Maha Agung, yang mendengar permohonan dan memberikan
pertolongan).25
Pemaparan riwayat hidup beliau diwarnai dengan kisah-kisah
yang tidak rasional dan erat dengan fenomena yang unik dan ajaib. Seluruh
21
Said, Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-I‟tiqadiyah wa al-Shufiyah/Buku
putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî, h. 9. 22
Philip, History of Arab, h. 515. 23
Philip, History of Arab, h. 516-518. 24
Philip, History of Arab, h. 454-503. 25„Abd al-Qadir al-Jailânî, Sirr al-Asrar; Secret of The Secret- Hakikat Segala
Kehidupan, Terj. Zaimul Am (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.15.
fenomena kehidupan Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî itu diabadikan dalam satu
karya yang disebut dengan Manâqib26„Abd al-Qâdir al-Jailânî.
Nama lengkapnya adalah Syaikh Abû Muhammad Muhyi al-Dîn „Abd al-
Qâdir al-Jailânî bin Abi Sâlih Mûsa Janki Dausat bin Abdullah al-Jili bin Yahya
al-Zâhid bin Muhammad bin Daud bin Mûsa bin Abdullah bin Mûsa al-Jûn bin
Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsamma bin Abû Muhammad Hasan bin Abû
Tâlib.27
Al-Jailânî dilahirkan di desa Naif, negeri Jailan, yaitu sebuah daerah
terpencil di belakang Tabaristan, Iran. Daerah tersebut juga biasa disebut dengan
Kaila dan Kailani serta dinisbahkan dengan Jailî, Jailanî dan Kailanî.28
Beliau
lahir pada tanggal 1 Ramadhan 470 H/1077 M dan dilahirkan dari seorang ibu
yang bernama Syarifah Fatimâh binti Sayyid Abdullah al-Suma‟I al-Zâhid bin
Jamâluddin Muhammad bin sayyid Tâhir bin sayyid Abi al-Ata„ Abdullah bin
sayyid Mûsa Kâmaluddin „îsa bin Alauddin Muhammad al-Jawâd bin sayyid „Alî
Rida bin sayyid Mûsa al-Khâdim bin sayyid Ja‟far al-Sâdiq bin sayyid
Muhammad al-Bâqir bin sayyid Zainal „Abidîn bin sayyid Husain bin sayyid „Alî
r.a. bin Abi Tâlib r.a.29
Al-Jailânî dididik di lingkungan yang besar lagi mulia, sesuai dengan
nasab dan keturunannya. Ibu dan kakeknya, al-Suma‟î, sangat mencintainya.
26
Manakib adalah kisah kekeramatan para wali, seperti Manakib Syaikh Abd al-Qadir al-
Jailânî.Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990). 27
„Abd al-Qadir al-Jailânî, al-Mukhtashar fi Ulum al-Din (Istambul: Markaz al-Jailânî li
al-Buhuts al-“ilmiyyah, 2010), h. 13. 28
Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir
Jailani.Penerjemah. Imam Mukhtar Ghazali dan Ibnu Abdurrahaman Fatan Al Maydani(Jakarta:
Beirut Publishing, 2015), h. 176. 29
Al-Jailânî, al-Mukhtashar fi Ulum al-Din, h. 13-14.
Sejak kecil beliau sudah ditinggal ayahnya oleh karena itu beliau dididik dan
digmebleng oleh ibu dan kakeknya dengan pendidikan kaum sufi yang hidup
dengan sederhana dan ikhlas. Kealiman dan kekukatan batinnya sudah terlihat
semenjak beliau masih kecil. Beliau tidak mau menyusu pada siang hari bulan
Ramdhan. Kealimannya tersebut belanjut hingga tampak pada perilakunya sehari
hari. 30
Setelah Al-Jailânî mengetahui bahwa menuntut ilmu hukumnya adalah
wajib bagi setiap muslim dan muslimah beliau mulai mengadakan perjalanan
menuntut ilmu dari kota dan negrinya, Jilan, menuju Baghdad pada tahun 408 H.
Usia beliau saat itu sekitar 18 tahun. Ketika Abdul Qadir sampai di Baghdad, ia
mempunyai tujuan untuk belajar di madrasah Nizhamiyah.31
Madrasah
Nizhamiyah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan teologi yang diakui
oleh negara. Nizhamiyah didirikan pada tahun 1065 M Oleh seorang menteri
Persia yakni Nizham al-Mulk dan Nizhamiyah ini dijadikan sebagai pusat studi
teologi (madrasah), khususnya dalam mempelajari ajaran mazhab Syafi‟i dan
teologi Asy‟ariyah.32
Beliau belajar dari para ulama besar setelah menguasai
qirâat al-Qur‟an dengan baik. Di Baghdad beliau bertemu dengan banyak ulama
terkenal yang beliau timba kearifan dan keilmuannya sehingga menjadi seorang
alim yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu33
. Al-Dzahabi melukiskan
sosok beliau dalam biografinya:
30
M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.40. 31
Al-Jailânî, Al-Fath al-Rabbani/Meraih Cinta Ilahi, penerjemah. Abu Hamas (Jakarta:
Khatulistiwa, 2009), h. xii. 32
Philiph K.Hitti, History of Arabs, h.515-516. 33
Al-Sallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir Jailani, h.176.
“Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî adalah seorang pemuka, Imam,
ulama, seorang yang zuhud, arif, panutan, Syaikh al-Islam, wali Allah, dan
Reformis Islam.”34
Ibn Rajab juga menggambarkan beliau di dalam kitab Dzail Thabaqat
Hanabilah:
“Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî adalah seorang tokoh
peradaban, teladan orang-orang arif, pemimpin para ulama, kharismatik
lagi berwibawa, memiliki ilmu yang luas, dan bijaksana.”35
Dalam menuntut ilmu al-Jailânî telah menghabiskan waktu selama 32
tahun. Beliau mempelajari berbagai jenis keilmuan, misalnya, ilmu fiqh, ilmu
tafsîr, ilmu khilâf (ilmu yang berbhubungan tentang perselisihan para ulama),
ilmu usûl (kalam), ilmu nahwu, ilmu saraf, ilmu balâghah, ilmu mantiq dan ilmu
tasawwuf.36
Dalam masa menuntut ilmu, beliau mengalami penderitaan panjang
dalam menanggung kesempitan hidup dan menjalani sakitnya kekurangan.
Namun, hal itu tidak membuat tekad beliau surut dan tidak pula melemahkan
beliau menghadapai rintangan untuk menuntut ilmu. Setelah menguasai berbagai
macam ilmu al-Jailânî mulai membuka madrasah keilmuan dan majelis-majelis
nasihat di tahun 520 H.37
Adapun guru-guru al-Jailânî, diantaranya: Abu al-Wafa‟ „Ali bin „Aqil al-
Hambali, Abu al-Khattab Mahfudz al-Kaludzani al-Hambali, Abu Hasan
Muhammad bin al-Qadi Abu Ya‟la Muhammad bin Husain bin Muhammad al-
Fara‟ al-Hambali, al-Qadi Abu Sa‟id al-Mubarrak bin „Ali al-Mahzumi al-
Hambali. Al-Jailânî belajar sastra dari „Ali Abu Zakariya Yahya bin „Ali al-
34
Syamsyuddin Muhammad Ahmad al-Dzahabi, Siyar A‟lam al-Nubala (t.t: Yayasan al-
Risalah, 1982), j.30, h.439. 35
Abu al-Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin Ahmad bin Rajab, Al-Dzail al-Thabaqat
al-Hanabilah (Kairo: al-Sunnah Muhammadiyyah, t.t),J.1, h. 290. 36
M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.40. 37
Al-Shallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir Jailani, h.177.
Tabrizi dan belajar ilmu hadis dari Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqilani,
Abu Sa‟id Muhammad bin Abd al-Karim bin Khasysisya, Abu al-Ghanim
Muhammad bin Muhammad bin „Ali bin Maimun al-Farisi, dll.38
Dari hasil ketekunannya menuntut ilmu dan sebagai bukti dari
penguasaannya terhadap literatur keilmuannya, al-Jailânî mempunyai banyak
karya, diantaranta: Tafsîr al-Jailânî, al-Fathu al-Rabbanî, al-Salawatu wa al-
Aurad, al-Rasâil, al-Ghunyah Li Tâlib Târiq al-Haqq, al-Diwân, Sir al-Asrâr,
Asrâr al-Asrâr, Jala‟ al-Khâtir, al-Amru al-Muhkâm, Usûl al-Siba‟, al-Mukhtasar
fi Ulûm al-Dîn, Usul al- Dîn.39
Al-Jailânî meninggal pada tanggal 11 Rabiul akhir tahun 561 H/1166 M
dalam usai 91 tahun. Tanggal ini diperingati oleh para pengikutnya hingga saat
ini. al-Jailânî meninggalkan empat orang istri dan empat puluh Sembilan anak.
Dua puluh putera dan selebihnya puteri.40
3. Konsep Taswuf al-Jailânî
Pengertian tasawuf menurut al-Jailânî adalah percaya kepada Yang Haq
(Allah) dan berperilaku baik kepada makhluk. Lebih jelasnya tasawuf menurut
beliau adalah bertaqwa kepada Allah, mentaatiNya, menerapkan syari‟at,
menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah
penganiayaan, sabar menerima suratan takdir, menjaga kehormatan para guru,
bersikap baik dengan saudara, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut,
38
ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-
„Ilmiyyah, 2013), j.I, h. 21. 39
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.I, h. 21-22 . 40
M. Zainuddin, Karomah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.37.
melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan harta, dan tolong
menolong dalam kebaikan baik urusan agama maupun dunia.
Ada 2 hal yang penting berkaitan dengan tasawuf yakni: pertama;
mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak mulia. Kedua;
etis dalam pergaulan dengan memberikan hak kepada guru dan saudara,
memberikan nasihat dan ikhlas dalam segala hal serta meninggalkan
permusuhan.41
Adapun tasawuf al-Jailânî dibangun atas 8 pilar, yakni: dermawan, ridâ,
sabar, isyârah, mengasingkan diri atau uzlah, tasawwuf, bepergian, dan
kefakiran.42
a. Kemurahan hati Nabi Ibrahim. Al-Jailânî menjadikan Nabi Ibrahim
sebagai teladan dalam hal melatih kemurahan hati seseorang. Nabi
Ibrahim dikenal sangat dermawan kepada sesame dan sangat senang
menjamu tamu. Sifat tersebut disebut dengan al-Sakha (dermawan).
Sakha aadalah berbaik kepada sesame dan mau berkorban dengan
hartanya.43
b. Kepasrahan Nabi Ismail. Nabi Ismail sangat pasrah melakukan apa
yang diperintahkan Allah Swt sekalipun dia harus mati. Hal ini
sebagaimana diketahui bahwa Nabi Ismail sangat pasrah ketika dirinya
akan disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) atas perintah Allah yang
ditunjukan kepada ayahnya. Tanpa ada sedikit keraguan dan ketakutan
41
Said, Buku Putih: Syekh Abdul Qadir al-Jailânî, h. 418-420. 42
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Adab al-Suluk wa al-Tawasul ila Manâzil al-Muluk, terj.
Tatang Wahyuddin. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), h. 236. 43
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Makrifah, t.t), v. II, h.247.
Ismail-pun rela untuk melakukannya agar dirinya lebih dekat dengan
Allah SWT. Sifat seperti itu disebut dengan al-Ridâ(rela). Ridâadalah
diamnya hati dalam guratan nasib. Seperti yang dikatakan Dzu al-Nun
al-Mishri, ridâadalah sikap senang hati dalam menjalani nasib.
Maksudnya adalah sikap yang senantiasa menerima lapang dada atas
segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpahkan kepadanya.44
c. Kesabaran Nabi Ayub. Al-Jailânî menjadikan sabra sebagai salah satu
tahapan untuk bertasawwuf sehingga menjadi sufi yang sempurna.
Salah satu makna sabra yang dikutip al-Kalabadzi adalah “pengharapan
akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah”, dan ini merupakan
pengabdian yang paling mulia dan paling tinggi. Tetapi sabar pada
tingkat yang lebih tinggi adalah “sabra atas kesabaran”. Menurut al-
Aqlami, sabra adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak
menyenangkan yang menghampirinya dan dari kesenangan yang
menjauhinya.45
Dalam hal kesabaran, al-Jailânî meneladani sifat Nabi
Ayub a.s. Nabi Ayub dikenal sebagai Nabi yang paling sabra atas apa
yang menimpa dirinya. Nabi Ayub tetap bersabar atas cobaan yang
menimpa tubuhnya, harta, dan anak-anaknya. Namun, hal itu tidak
mengurangi ketaatannya kepada Allah Swt.
d. Doa Nabi Zakariya. Dalam hal ini, al-Jailânî memilih Nabi Zakariya
sebagai panutannya. Nabi Zakariya dikenal cerdas, tanggap dan gigih
dalam berdoa. Siang malam dia selalu berdoa bersama keluarganya. Hal
ini disebut dengan Isyarah (intuisi).
44
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.188. 45
Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifa al-Saja‟ Syarh Safinah al-Naja‟ (Indonesia:
Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah), h.15.
e. Kemiskinan Nabi Yahya. Maksudnya adalah mengasingkan diri dari
duniawi agar terhindar dari kegilaannya terhadap duniawi. Sifat seperti
itu disebut dengan al-Ghurbah (mengasingkan diri).
f. Berbusana wool seperti Nabi Musa. Maksud lainnya adalah
bertasawuf/menyucikan diri. Karena salah satu asal kata tasawuf adalah
busana yang terbuat dari wool. Namun yang terpenting adalah ketika
orang bertasawuf atau menyucikan diri yaitu mengedepankan
kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Apapun yang
dilakukannya semata-mata untuk kehidupan akhirat.46
g. Melanglang buana seperti Nabi Isa al-siyahah (berkelana). Nabi Isa a.s
adalah orang yang banyak dan sering berkelana di muka bumi yang
dimaksud dengan berkelana adalah melawan hawa nafsu dengan
melakukan perjalanan dan jauh dari keluarga yang bertujuan mendidik
jiwa dan melawan nafsu dan agar bertemu orang-orang shaleh.47
h. Kefaqiran Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad adalah Nabi yang
paling memiliki sifat ini, menurut al-Ghazali, kefakiran diartikan
sebagai ketaktersediaan apa yang dibutuhkan oleh seorang akan
sesuatu. Maka dalam arti ini seluruh wujud selain Allah adalah fakir.48
Al-Jailânî memandang akhirat bersifat baik dan kekal, tempat yang penuh
dengan kenikmatan dan kesucian. Sedangkan dunia merupakan tempat bencana
dan pengasingan. Dunia adalah api bagi orang yang bertaubat dan orang yang
hanya mencari kehidupan dunia akan terjerat di dalamnya. Al-Jailânî melandasi
46
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.2. 47
Hasyim Muhammad, Dialog Antar Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta: Walisongo
Press, 2003), h.40. 48
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.198.
argunentasinya tersebut terhadap hadis Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah
tidak menciptakan makhluk yang lebih Ia benci selain dunia dan Allah tidak
melihat kepda dunia semnjak ia diciptkan”. Menurut al-Jailânî seharusnya orang
yang berakal meninggalkan dunia dan mencari akhirat; bersifat qana‟ah dengan
merasa cukup atas apa yang diperolehnya; menjadikan sisa hidupnya amal yang
bermanfaat untuknya pada hari kiamat; menjalani hidupnya dengan usahanya
sendiri dan jangan mengkhawatirkan hari esok, karena Allah memberikan rizki
setiap hari, dan Allah menanggung rizki seluruh makhluk-Nya.49
Al-Jailânî tidak bermaksud menganjurkan manusia untuk meninggalkan
usaha (kasb) agar bisa hidup di dunia, karena ia menyadari bahwa seluruh Nabi
mempunyai profesi dan mereka berusaha. Bahkan Rasulullah menganjurkan
manusia untuk berusha dengan sabdanya; “Orang yang berusaha adalah kekasih
Allah”. Usaha (kasb) tidak menghalangi tawakal karena sesungguhnya dengan
meninggalkan usaha (kasb) itu bertentangan dengan hikmah.50
4. Geneologi Tasawuf al-Jailânî
Dalam mendalami ilmu tasawuf, al-Jailânî berguru kepada tiga orang guru
yakni Syaikh Abu al-Khair Hammad bin Muslim al-Dabbas, Abu Muhammad
Ja‟far bin Ahmad bin al-Hasan bin Ahmad al-Bahgdadi, dan Abu Sa‟id Mubarak
bin „Ali al-Makhzumi al-Hambali.51
Syaikh al-Dabbas banyak mempengaruhi kehidupan sufistik al-Jailânî.
Syaikh al-Dabbas dikenal berkepribadian sangat keras, tegas dalam tutur kata, dan
49
Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 249-254. 50
Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 249-254. 51
Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 36.
kaku dalam bergaul.52
Metode yang dipakai oleh Syekh al-Dabbas adalah metode
mujahada. Di balik perlakuan yang keras itulah yang menjadi model ujian bagi
para murid-muridnya. Hal ini bisa dilihat dari takaran seberapa jauh tingkat
kesabaran dan ketabahan sang murid. Karena pada dasarnya tasawuf itu menjauhi
kesenangan dan hawa nafsu.53
Al-Jailânî menerima khirqah (jubah kesufian) dari Syaikh Abû Sa‟îd
Mubârak al-Makhzûmî. Khirqah itu secara turun temurun telah berpindah tangan
dari beberapa tokoh sufi yang agung. Khirqah yang mulia itu bersambung sampai
kepada Rasulullah Saw. Syaikh Abû Sa‟îd Mubârak al-Makhzûmî mendapatkan
khirqah itu dari Syaikh Abû al-Hasan „Alî bin Muhammad al-Qursyî, dari Abu al-
Farraj al-Tursûsî, dari Abû al-Fadl „Abd al-Wâhid al-Tamîmî, dari Abû Bakr al-
Syiblî, dari Abû Qâsim Junaid al-Baghdadî, dari Sirri al-Saqatî, dari Syaikh
Ma‟rûf al-Karakhî, dari Daud al-Taî, dari Sa‟îd Habîb al-„Ajamî, dari Abû al-
Hasan al-Bashrî, dari „Alî bin Abî Tâlib, dari Nabi Muhammad Saw.54
B. Profil Kitab Tafsir al-Jilani
1. Latar Belakang Tafsir al-Jailânî
Tafsîr al-Jailânî diterbitkan oleh Markâz al-Jailânî li al-Buhûts al-
„Ilmiyyah tahun 2009. Penyunting naskah ini adalah Syaikh Muhammad Fâdil
Jailânî al-Hasanî al-Huasinî al-Tailanî al-Jamazraqî yang tinggal di Istambul
Turki. Ia menyatakan telah melacak manuskrip di lebih dari 50 perpustakaan di 20
52
Al-Tadafi, Mahkota Para Aulia: Syekh Abdul Qadir al-Jailani, h.30. 53
Said, Buku Putih: Syekh Abdul Qadir al-Jailani, h.22. 54
Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 36-42.
negara dan menemukan 17 karya al-Jailânî. Termasuk menemukan manuskrip
tersebut di perpustakaan Vatikan.55
Penisbatan tafsir ini kepada Syaikh Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî
menjadi paradoks karena terdapat beberapa perbedaan pandangan. Para penulis
biografi al-Jailânî maupun peminat kajian tafsir tidak menyebutkan adanya kitab
tafsir al-Qur‟an secara utuh karya al-Jailânî. Muhammad Husain al-Zahabi
misalnya, penulis Tafsir wa al-Mufassirûn tidak mencantumkan tafsir ini dalam
karyanya. Pada bab tafsir sufi mengupas Tafsir al-Qur‟an al-Karîm karya al-
Tusturi, Haqâiq al-Tafsir karya al-Sulami, „Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur‟an
karya Abu Muhammad al-Syirazi, al-Ta‟wîlât al-Najmiyyah karya Najm al-Din
Dayyat dan „Ala al-Daulah al-Samnânî dan Tafsîr al-Qur‟an yang dianggap
sebagai karya Ibnu Arabi.56
Rupanya Tafsir al-Jailânî luput dari pembahasannya,
padahal al-Jailânî ialah tokoh yang banyak dikenal orang melalui tarekat dan
karangannya.
„Abd al-Qâdir Muhammad Salih yang menulis al-Tafsîr wa al-Mufassirûn
fi „Asri al-Hadîts juga tidak menyinggung tafsir ini sebagai kelengkapan
pembahasan tafsir sufi pada bukunya. Ia hanya menamilkan al-Man‟u al-Fâkhirah
fi Ma„âlim al-Âkhirah karangan Muhammad Syâkir al-Hasimî al-Misrî. Yûsuf
Muhammad Tâha Zaidan, penulis biografi „Abd al-Qâdir al-Jailânî sekaligus
pakar yang cukup otoritatif dalam bidang manuskrip tasawuf menginformasikan
bahwa perpustakaan Rasyid Tripoli dan India mengoleksi Tafsir al-Qur‟an yang
dianggap milik al-Jailânî. Namun menurutnya tafsir tersebut masih diragukan
55
Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.
Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), h.24-25 56
Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn, j. II, h.300-336.
keasliannya, dikarenakan para penulis manaqib-manaqib al-Jailânî tidak memberi
isyarat bahwa al-Jailânî memiliki karya di bidang tafsir, bahkan al-Jailânî sendiri
tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang tafsir.
Kesimpulan Taha Zaidan rupanya telah dikemukakan oleh Khairuddin al-
Zirkili (1893-1976) dalam A‟lam. Dengan tegas ia menyatakan bahwa tafsîr al-
jailânî yang memiliki nama asli Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-
Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-
Furqâniyyah adalah karya Ni‟matullah bin Mahmud al-Nakhjawani (w. 920 H).57
di kalangan akademisi klasik lebih dikenal dengan Syaikh Ilwan.58
Keterangan
senada diberikan Haji Khilafah (w. 1067 M) dalam Kasyf al-Zunnun59
dan
Hidayah al-„Arifin karya al-Babani.60
Menurut kedua sumber ini al-Fawâtih al-
Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-
Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah ditulis oleh al-Nakhjawani (w. 920 H)
pada tahun 902 H berdasarkan pancaran-pancaran cahaya sufistik dan tanpa
merujuk pada referensi apapun.
Namun demikian, peneliti kitab ini , Syaikh Dr. Muhammah Fadhil, telah
melampirkan bukti keontetikannya berupa salinan manuskrip (ا) yang di dalamnya
penyalin tafsir menuliskan pada setiap akhir juz 1 hingga juz 3 kalimat berikut,
“telah selesai juz 3 dari tafsir Sultân al-„Ârifîn Sayyid „Abd al- Qâdir al-Jailânî
qaddasallah sirrah.” Dalam salinan manuskrip (ج) telah dituliskan pada juz 1,
57
Nama “al-Nakhjawani” dinisbatkan kepadanya karena berasal dari Nakhvhevan
(Bahasa: Azezi: Naxcivan Muxtar), sebuah kawasan Azerbaijan seluas 5.500 km yang berbatasan
dengan Armenia, Turki dan Iran. Naxcivan terdiri dari 6 rayon, Babak, Julfa, Ordubad, Sadarak,
Shahbuz, dan Shahrur. http://id.wikipedia.org diakses pada 29 Januari 2017. 58
Khairuddin al-Zarkili, al-A‟lam, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v. 8, h.39. 59
Haji Khalifah, Kasyf al-Zunnun, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v.2, h. 1292. 60
Al-Babani, Hidayah al-„Arifin, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v. 2, h. 306.
“juz pertama dari tafsir al-Qur‟an karya Maulana pemilik cahaya rabbani, organ
shamadani, Imam Para Arif, Mahkota Agama, qutb yang sempurna Sayyid „Abd
al- Qâdir al-Jailânî.”61
Fâdil juga memaparkan data yang terdapat dalam kitab
Maktabah al-Madrasah al-Qâdiriyyah al-„Ammah fi Baghdad karya sekretaris
umum perpustakaan Qâdiriyyah yakni Sayyid Nuri Muhammad Sabri. Pada
halaman 23 kitabnya dia menyatakan bahwa salah satu buah karya al-Jailânî
adalah tafsir al-Qur‟an (Tafsîr al-Jailânî) dengan tulisan tangannya sendiri.62
Selain itu, Mufti Iraq, al-„Âlim al-„Allamah Syaikh „Abd al-Karim
Basyarah al-Mudarris menyebutkan dalam kitabya, Isnad al-„Alam ila Hadrah
Sayyid al-„Alam tentang beberapa karangan al-Jailânî. Ia menyatakan bahwa
Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî memiliki beberapa karya, yang di antara karya
besarnya adalah Tafsir al-Qur‟an al-„Azîm dalam 6 jilid yang salah satu
salinannya terdapat di Tharablus, Libya dan belum dicetak hingga sekarang. Para
Nuqaba yakni pimpinan keluarga al-Jailânî yang berada di Baghdad pernah
berencana mencetaknya, namun karena beberapa halangan maka tidak dapat
dicetak.63
Kitab tafsir al-Jailânî disusun karena Syaikh „Abd al-Qadir Al-Jailânî ingin
mewujudkan nilai-nilai Islam yang berasal dari kitabullah (al-Qur‟an) melalui
pembaharuan keimanan, penguatan ketakwaan, dan hubungan dengan Allah Swt.
Kitab ini juga bertujuan untuk membebaskan pemikiran dan ruh generasi muda
61
Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir
al-Jailânî. Penerjemah Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani (Ciputat: PENERBIT
SALIMA PUBLIKA & Markaz al-Jailânî, 2013), h. xxiii. 62
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, h. 24-26. 63
Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir
al-Jailânî. Penerjemah Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani (Ciputat: PENERBIT
SALIMA PUBLIKA & Markaz al-Jailânî, 2013), h. xxiii.
dari segala bentuk keruskan material, moral dan intelektual. Dalam kitab ini, al-
Jailânî tidak sekedar menafsirkan al-Qur‟an dengan pola tafsir yang lazim terdapat
di pelbagai kitab tafsir lain, tetapi tafsir ini lebih banyak bertumpu pada
pemaparan berbagai sugesti yang dapat menghidupkan ruh serta menumbuhkan
ketakwaan di satu sisi, dan di sisi yang lain dapat mengikat murid dengan
gurunya, sehingga guru dapat terus meningkatkan kualitas murid mencapai derajat
setinggi mungkin.64
Dengan itu, maka al-Jailânî mengajak agar orang-orang Islam melihat teks
berdasarkan moral (ibrah), tidak hanya dengan teori pengetahuan saja, dan
berdasarkan rasa (dzauq), dan suara hati (wujdan), tidak dengan argumentasi
(dalîl) dan demonstrasi (burhân), dan dengan penyingkapan (kasyf) dan
penyaksian (al-„ayyan) bukan dengan spekulasi (takhmin) dan asumsi (hisbân).65
2. Metode dan Corak Tafsîr al-Jailânî
Tafsir karya al-Jailânî tidak seperti kitab-kitab tafsir lainnya yang
berpegang pada ilmu. Akan tetapi kitab tafsir beliau lebih berpegang kepada
isyarat-isyarat yang menghidupkan ruh, meletakkan taqwa di satu sisi, dan di sisi
lain menghubungkan antara murid dan gurunya, agar si murid bisa naik menuju
derajat yang tertinggi. Kitab ini aslinya berjudul al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-
Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm
al-Furqâniyyah. Yakni membicarakan tentang pengaruh isayarat-isyarat al-
Qur‟an terhadap diri beliau sendiri akibat dari kedekatannya dengan Allah swt
64
Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.
Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), j,I, h.28-
29 65
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî,j. I, h.30.
dan wushulnya dengan Nabi saw, yang tentu saja tiap-tiap orang berhak
mengalami pengalaman yang berbeda-beda dengan al-Quran sesuai dengan kadar
mujahadah dan kedekatannya dengan Allah swt.
Sumber penafsiran Tafsir al-Jailânî adalah bi al-isyâri, yaitu mennakwilan
ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan makna dzahirnya karena adanya isyarat
yang tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh ahli suluk dan tasawuf, dan
memungkinkan menggabungkan maksud dari makna tersirat (esoterik) maupun
tersurat (eksoterik).66
Dalam sumber tafsirnya al-Jailânî tidak menukil pendapat
dari orang lain kecuali sedikit saja dari perkataan para ulama seperti Sayyidina Ali
r.a, Ibnu Abbas, dan lain lain.67
Jadi, tafsir ini tergolong tafsir isyari, meskipun
tidak semua ayat dalam surah-surah al-Qur‟an ditafsirkan secara isyari, akan tetapi
struktur dalam bangunan pandangan sufi terhadap tauhid melalui penafsiran al-
Jailânî kepada seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat
dalam al-Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna.68
Dalam masalah ayat hukum, al-Jailânî hanya menjelaskan sedikit saja.
Terkadang beliau juga menjelaskan masalah qira‟at. Beliau tidak terpancang pada
qiraat Imam Hafsh saja, melainkan beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan banyak
varian qira‟at tetapi tanpa menyebutkannya.69
66
Al-Syaikh al-Akbar Abu Bakr Muhyi al-Din ibn „Ali ibn Muhammad ibn Ahmad al-
Tami al-Hatimi al-Makruf bi Ibn „Arabi, Tafsir al-Qur‟an al-Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), h. 16. 67
Dr. H Muh. In‟amuzzahidin, M. Ag, Menyingkap Makna Sufistik Tafsir Al-Jailânî
Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailânî (Semarang: IAIN Walisongo, 2014), h. 56-57. 68
Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.
Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), j. I,
h.xxv. 69
Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.I, h. 25.
Metode yang digunakan dalam tafsir al-Jailânî adalah tahlili, yaitu
menafsirkan al-qur‟an secara menyeluruh dengan penafsiran yang detail. Metode
tahlili ini merupakan metode yang paling detail guna menafsirkan ayat al-Qur‟an
secara menyeluruh dari awal hingga akhir.
Corak penafsiran yang digunakan oleh al-Jailânî adalah corak sûfi isyâri
(sufi indikatif)yang merupakan perenungan yang mendalam atas ayat al-quran
melalui latihan spiritual, menahan hawa nafsu dan pembersihan diri. Namun corak
penafsiran sûfi isyâri ini tidak diaplikasikan pada semua ayat al-Qur‟an.
Ada beberapa ayat yang mau tidak mau harus ditafsirkan secara lafzî
melihat tidak adanya isyarat dalam ayat tersebut. Tetapi dalam pembukaan dan
penutup semua ayat, al-Jailânî menggunakan syarh isyârisesuai dengan tema dan
tujuan suatu surat.
3. Sistematika Penulisan Tafsîr al-Jailânî
Adapun sistematikan tafsir ini yaitu: Judulnya Tafsir al-Jailânî dengan
judul asli al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li
al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah. Pengarang kitab ini
adalah al-Sayyid al-Syârif al-Syaikh Muhyi al-Din Abȗ Muhammad „Abd al-
Qâdir al-Jailânî al-Hasanî al-Husainî. Editor, al-Sayyid al-Syârif al-Duktȗr
Muhammad Fâdil al-Jailânî al-Hasanî al-Husainî al-Tailânî al-Jamazraqî. Kitab
ini diterbitkan oleh Markaz al-Jailânî li Buhȗts al-„Ilmiyyah, Istambul pada tahun
2009 menggunakan hard cover bewarna hijau dan memakai kertas warna putih
tulang. Berjumlah 6 jilid. Jilid 1 dari surat al-Fâtihah sampai dengan surat al-
Mâidah, jilid 2 dari surat al-An‟âm sampai dengan surat Ibrâhîm, jilid 3 mulai dari
surat al-Hijr sampai surat al-Nȗr, jilid 4 dari surat al-Furqân sampai surat Yâsîn,
jilid 5 dari surat al-Sâffat sampai surat al-Wâqi‟ah, dan jilid 6 mulai dari surat al-
Hadîd sampai al-Nâs.
Tafsir ini ditulis dengan urutan mushafi yakni dimulai dari surat al-Fâtihah
dan diakhiri dnegan surat al-Nâs. Pada setiap surat selalu Diwali dengan basmalah
dan prolog (Fâtihah al-Sûrah), dan di akhir penafsiran tiap surat selalu ada epilog
(Khâtimah al- Sûrah). Dalam hal pemaparan, ayat-ayat al-Qur‟an ditempatkan di
atas dan tafsirnya ditempatkan di bawah ayat.
72
BAB IV
MAKNAISYÂRÎ SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL- QÂDIR AL-
JAILÂNÎ
Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui kenikmatan surga menurut al-
Jailânî. Untuk mengetahui penafsiran surga dalam tafsir al-Jailânî, penulis akan
mencoba menginventarisir penafsiran surga yang berada di setiap surat yang
membahas tentang surga. Namun, karena banyaknya ayat di dalam al-Qur‟an yang
membahas tentang surga dan agar mempermudah penulisan skripsi ini, maka
penulis membatasinya dengan mencari penafsiran Al-Jailânî terhadap: taman-
taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman ahli surga.
A. Taman-taman Surga (جنات)
1. QS. al-Baqarah: 25
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-
buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah
diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa
dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal
di dalamnya.”
Tafsir:
( ( اؤ اه ادذ ) ثبزبة اض ػ ػجذب )
( ػب ) ( اؤ ك اجزجا ػ البعذح اخ( اي دن ثجذ ) ثؼذ )
سكغ اود ) زضبد اؼ اؼ اذن از اؼبسف اخ اخصخ ػ جغ اود )
ابكخ زدذ ) ابس ابسف اجضئخ ازشرجخ ػ ري اؼبسف اخ )
( ( خطا ب اي ري اؼبسف اخ ) ( دبصخ شجشح او ) )
( ززش اؼد اغبثوخ )دظب بال خص سرجذ االب ) )
االػب اثبثزخ ا ك ػب االعبء اصلبح ا ك اح اذلظ ا ك ػب االساح ا ؿش ري
اؼجبساد ؿبخ اززار بخ شه اززار ثبثشاد اذلظ ثب ) زبثال )
( االثب )( زجذدا ثزجذد ( ك ري اشرجخ اخ ) اػب صبذخ بح خبصخ )
( ( ػ شائت االؿبس ابؼخ ػ اص ا داس اوشاس ) ك ري اشارت )
( دائ ثذا ثبه ثجوبء شزـشه ثشبذح وبء عجذب )1
(Dan sampikanlah kabar gembira) kepada orang-orang mukmin
di dunia yang yakin dan bertauhid, (orang-orang yang beriman) kepada
kitab yang diturunkan kepada hamba kami, (dan berbuat baik) dengan
mengimani kitab tersebut dan menjauhi berbagai bentuk kerusakan yang
dilarang, (bahwa sesungguhnya) sudah dipastikan, yakni (surga-surga)
yang berisi ilmu al-yaqîn, „ain al-yaqîn, dan haqq al-yaqîn yang
merupakan makrifat universal (al-mâ‟arif al-kulliyyah) yang
menyelamatkan manusia dari semua belenggu yang menafikan tauhid,
(mengalir di bawahnya sungai-sungai) makrifat parsial (al-mâ‟arif al-
juz‟iyyah) yang muncul dari makrifat yang universal tadi, (setiap kali
mereka diberi rezeki buah-buahan) yang tumbuh dari pohon keyakinan
(syajârat al-yaqîn ), (sebagai rezeki) atau anugrah sempurna yang akan
menyelamatkan mereka dari derajat al-imkân, (mereka berkata) karena
mereka mengingat berbagai perjanjian terdahulu, (inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu) yakni saat berada di derajat al‟ayân al-
tsâbitah atau di alam asma dan sifat, atau di alam lauh al-mahfuz, atau di
alam rûh , atau istilah-istilah lainnya yang menjadi puncak kenikmatan dan
akhir dari kerinduan mereka untuk menikmati buah yang akan
dianugrahkan kepada mereka. (Mereka diberi buah-buahan) yang mirip,
yang serupa maksudnya buah itu baru, tetapi serupa dengan yang
sebelumnya, (dan untuk mereka di dalamnya) di dalam martabat universal
(al-martabat al-kulliyyah) itu, (istri-istri) berupa amal sholeh dan niat
1ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markâz al-Jîlani li al-Buhûts al-
„Ilmiyyah, 2013), v.I, h. 56-57.
yang tulus, (yang suci) dari segala keburukan yang selain Allah, yang
menghalangi manusia untuk mencapai surga, (dan mereka di dalamnya) di
dalam martabat itu, (kekal) mereka kekal dengan kekekalan Allah, baqa‟
bersama baqa‟-Nya, dan mereka tenggelam dalam musyahâdah
perjumpaan dengan Allah Swt.
Analisa Tafsir:
Di dalam al-Qur‟an tempat kenikmatan bagi orang-orang yang beriman
kelak diungkapkan dengan kata al-jannah yang artinya adalah tertutup dan atau
kebun yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon yang sangat rindang dan ranting
pohon yang satu saling berkaitan dengan dengan ranting pohon yang lain,
sehingga permukaan tanah kebun tersebut menjadi tertutup dari pandangan mata.
Kata ini dipahami oleh bangsa Arab sebagai suatu hal yang tidak terjangkau oleh
panca indera manusia yang disebabkan adanya penghalang. Namun setelah
turunnya ayat-ayat al-Qur‟an bangsa Arab menerima pemahaman baru tentang
kata ini, yakni sebagai tempat untuk meraih kenikmatan dan pembalasan di
akhirat kelak.2
Al-Qur‟an menggambarkan masalah kehidupan di akhirat dengan
gambaran sebagaimana gambaran yang dapat dilihat di dunia ini. Menurut Abduh
penggambaran tersebut dimaksudkan supaya lebih berkesan kepada jiwa yang
sederhana bagi umat Islam daripada menjelaskan rahasia kerajaan ruhani secara
psichologis dan metafisis semata.3
Di beberapa ayat masalah mengenai surga digambarkan dengan sifat
konkret, seperti pada QS. Al-Baqarah ayat 25 tersebut. Namun di ayat yang lain
2 Kementrian Agama RI, Taf sir Tematik Keniscayaan Hari Akhir, h. 382.
3 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Manâr (Mesir: Al-Haiat al-Mishriyyah al-„Âmmah li
al-Kitâb, 1990), j.I, h. 232.
surga digambarkan dengan gambaran yang lain bukan sebagaimana hal yang
dapat dilihat di dunia, seperti firman Allah pada QS. Al-Sajdah ayat 17 berikut:
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang
indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan.
Bagi Al-Jailânî surga ialah makân al-qurb (tempat yang dekat dengan
Allah) dan neraka adalah makân al-bu‟d (tempat yang jauh dari Allah). Surga
merupakan tempat bagi kenikmatan ruhani di alam akhirat, diperuntukan bagi
manusia yang beriman dan beramal saleh sedangkan neraka adalah tempat bagi
para pengingkar dan fasik yang jauh dari taufîq dan tahqîq (pembenaran) . Di
dalam surga atau makân al-qurb tersebut seorang hamba akan mendapatkan
karunia tertinggi berupa makrifat dengan cara menyaksikan (musyâhadah) al-
Haqq4, sebagaimana firman Allah Swt “Wajah-wajah orang-orang mukmin pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.”5 Sedangkan neraka
atau makân al-bu‟d adalah tempat yang jauh dari keridhaan Allah, tempat
keterasingan, pengusiran dan keterpencilan.6
Al-Jailânî memaknai taman taman surga (جبد) pada surat al-Baqarah ayat
25 sebagai „„ilm al-yaqîn, „ain al-yaqîn dan haqq al-yaqîn, yang merupakan
ma‟rifat al-kulliyyah (Universal) yang menyelamatkan manusia dari semua
belenggu yang menafikan tauhid.
`
4Al-Haqq menurut al-Jailânî ialah:
إرا ب ج شئ ػ اخب، ج ػ اإلدبغخ اثب .رؼبى اذن ػ ػ اشجب، ػ صق ازلشم اصب
“Terlalu luhur untuk dicapai pakar apapun, dan terlalu luhur untuk dideskripsikan dengan
sifat jauh dan dekat. Ketika sesuatu telah melewati batas imajinasi, maka Ia melampaui persepsi
dan perumpamaan”. Lihat. al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v.I, h. 23. 5 QS. Al-Qiyâmah: 22-23.
6 Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v. I, h. 69.
Dalam dunia sufi terdapat tiga tahap keyakinan, yakni: „ilm al-yaqîn (ilmu
keyakinan)7, „ain al-yaqîn (penyaksian keyakinan)
8, dan haqq al-yaqîn
(keyakinan haqiqi).9 Tingkatan-tingkatan keyakinan tersebut merupakan tahap
atau proses seorang salik untuk mencapai ma‟rifah sekaligus juga menunjukkan
derajat dan kedudukan seorang salik. Allah Swt menganugrahkan ketiga tahapan
keyakinan tersebut kepada para penghuni surga secara hissî (rasa), karena ruh
tidak lagi bergnatung pada jasad. Sedangkan di alam dunia manusia dengan susah
payah harus menempuh tahapan keyakinan tersebut secara kasbî (usaha), yakni
dengan ta‟lîm dan riyâdah, karena „aql dan qalb yang masih terikat di dalam jasad
harus diajarkan dan dilatih untuk mengenal Tuhan.
Ma‟rifat Allah/ mengenal Allah adalah puncak kenikmatan dan tujuan
penciptaan. Sebagaimana pandangan al-Jailânî bahwa tujuan manusia diciptakan
7 „Ilmu al-yaqîn adalah suatu ilmu yang menyingkapkan apa yang diketahui (ma‟lûm),
sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan serta tidak dibarengi kemungkinan keliru ataupun
ilusi. „Ilm al-yaqîn merupakan sesuatu yang dihasilkan tidak dengan argumentasi rasional , tetapi
dengan pemberian langsung ke dalam hatinya. Taraf makrifat „ilm al-yaqîn adalah fanâ‟ fi al-afâl
atau tajalli fi al-af‟âl maksudnya adalah tidak ada gerakan/fi‟il kecuali dengan fi‟il Allah. Lihat.
Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Tasawuf
(Wonosobo: Amzah, 2005). h. 92; Dr. Mustafa Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, t.t), h. 179-180. 8„ain al-yaqîn adalah penyaksian keyakinan dengan mata hati (bashîrah). Terbukanya
mata ini merupakan suatu keajaiban dan misteri serta hanya muncul karena rahmat dari yang Maha
Pengasih (Al-Rahmah Al-Rahmiyyah). Makrifat „ain al-yaqîn adalah makrifat dalam taraf fanâ‟ fi
al-sifât atau atau tajalli fi al-sifât maksudnya adalah tidak ada yang hidup, yang kuasa, yang
berkehendak, yang mengetahui, dan berkata-kata melainkan Allah. Lihat. Totok dan Samsul,
Kamus Ilmu Tasawuf. h. 17; Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h.180-181. 9haqq al-yaqîn adalah keyakinan hakiki yang merupakan tahap terakhir dalam kenaikan
menuju Allah Swt. Makrifat haqq al-yaqîn adalah makrifat dalam taraf fanâ‟ fi al-dzât atau tajalli
fi al-dzât maksudnya adalah salik telak mencapai makrifat atas haqq al-yaqîn , dimana tidak ada
wujud yang mutlak melainkan Allah. Salik telah mencapai derajat keyakinan yang sempurna, yang
mampu merasai dan mengenal tuhannya. Lihat. Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 181-
182.
oleh Allah Swt adalah untuk ma‟rifat Allah10
. Ia melandasi argumentasinya
tersebut berdasarkan firman Allah Swt QS. Al-Dzâriyât ayat 56:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah kepada-Ku.”
Al-Jailânî menafsirkan kalimatt illâ liya‟budûn/menyembah kepada-Ku
dengan illâ liya‟rifûn/mengenal kepada-Ku. Penafsiran al-Jailânî tersebut senada
dengan penafsiran Ibn „Abbas yang dikutip al-Qusyairi dalam Risâlat al-
Qusyairiyyah-nya11
. Menurut al-Jailânî ma‟rifah dapat dicapai dengan menyibak
penghalang jiwa dari cermin hati dengan cara membersihkan jiwa tersebut,
dengan demikian seorang akan melihat dalam cermin hati tersebut keindahan
harta tersembunyi dalam sirr lubuk hati. Sebagaimana Firman Allah dalam hadis
qudsi yang dikutip Al-Jailânî dalam kitab Sirr al-Asrâr:
ذ ضا خلب، كأدججذ أ أػشف، كخوذ اخن أػشف12
“Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal maka aku
ciptakan makhluk agar Aku dikenal.”
Jadi ketika Allah menjelaskan bahwa penciptaan makhluk itu untuk
mengenal Allah, maka manusia wajib makrifat kepada Allah. Alam makrifat
adalah alam lâhut13
yang di dalamnya rûh qudsi diciptakan dalam bentuk yang
terbaik.14
10
ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Sirr al-Asrâr wa Mazhar al-Anwâr fîmâ Yahtaju Ilaihi al-
Abrâr; Rahasia Segala Rahasia, penerjemah. Drs. Anding Mujahidin, M.Ag. (Jakarta: PT.
Laksana Utama, 2009), h. 16. 11
Abû al-Qasim al-Qusyairi, Risalat al-Qusyairiyyah fi „Ilmi al-Tasawwuf, penerjemah.
Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 8. 12
Al-Jailânî, Sirr al- Asrâr, h. 19. 13
Lâhut berasal dari kata ilâh yang berarti Tuhan. Dengan demikian, lâhut diberi makna
sesuatu yang mengacu pada sifat ke-Tuhan-an. Dalam tasawuf lâhut diartikan sebagai sifat dasar
Dalam proses penciptaan makhluk Al-Jailânî meyakini bahwa Allah
pertama kali menciptakan rûh Muhammad Saw dari cahaya keindahan-Nya,
sebagaimana yang ia terangkan dalam kitab Sirr al-Asrâr:
Allah berfirman dalam hadis qudsi: “Aku pertama kali ciptakan
Muhammad dari cahaya wajah-Ku.” Juga sabda Rasulullah Saw: “Yang
pertama kali Allah ciptakan adalah rûh ku. Yang pertama kali Allah
ciptakan adalah cahayaku. Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena.
Yang pertama kali Allah ciptakan adalah akal.” Yang dimaksud semuanya
adalah satu, yakni hakikat Muhammadiyyah. Tetapi ia disebut cahaya
karena al-zulmâniyyat al-jalâliyyah. Sebagaimana firman Allah: “Telah
datang kepadamu dari Allah cahaya dan al-kitab.”15
Ia juga disebut akal
karena dapat memahami kulliyyât (segala yang bersifat universal). Juga
disebut pena karena media untuk transfer ilmu sebagaimana pena
merupakan media transfer ilmu dalam alam huruf. Jadi rûh Muhammadî
merupakan intisari alam raya, awal dan pangkal segala makhluk,
sebagaimana sabda Rasulullah: “Aku dari Allah dan orang-orang yang
beriman dariku.”
Dari rûh Muhammadî ini diciptakanlah semua rûh di alam Lâhut
dalam bentuk hakiki yang paling baik, yakni hajâlat al-uns di alam
tersebut, yaitu negri asal. Setelah 4000 tahun berlalu, Allah menciptakan
„arsy dari nûr al-„aini (cahaya jiwa) Muhammad Saw, sedangkan kulliyyât
yang lainnya diciptakan darinya. Rûh -rûh itu diturunkan ke kerak dasar
kainat (alam raya) yakni jasad sebagaimana firman Allah Swt: “kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”16
Allah
menurunkan rûh-rûh dari alam Lâhut ke alam Jabarȗt17
, memberi mereka
pakaian dengancahaya Jabarȗt di antara dua tempat haram, yakni rûh
sultâni, kemudian Allah menurunkan mereka dengan pakaian ini ke alam
Malakȗt, yakni rûh rawâni, kemudian Allah menurunkan mereka ke alam
Mulk dan memberi mereka pakaian dengan Nȗr Mulk, yakni rûh jismâni,
kemudian Allah ciptakan jasad sebagaimana firman-Nya: “Dari bumi
(tanah) itulah kami menjadikan kamu.”18
Kemudian Allah menyurûh rûh
yang ada pada Tuhan. Sifat dasar yang ada pada Tuhan itu seperti ke-Esaan-Nya, kedahuluan-Nya
dan lain sebagainya yang tidak dimiliki makhluk-Nya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf (Bandung: Angkasa, 2009), J. II, h. 935. 14
Al-Jailânî, Sirr al-Asrâr, h. 18. 15
QS. Al-Maidah: 5 16
QS. Al-Tin: 5 17
Istilah Jabarȗt berarti alam kekuasaan, dan merupakan tingkatan ketiga dari lima
prinsip kehadiran Tuhan (al-Hadrah al-Ilahiyyah al-Khamsh). Yakni, Hahȗt (esensi atau realitas
absolut), Lahȗt (realitas being, tuhan), Malakȗt (alam malaikat), dan Nasȗt (alam manusia).
Jabarȗt juga disebut dengan Ta‟ayyun Awwal (penyingkapan awal), al-Haqîqat al-
Muhammadiyyah (hakikat Muhammad), dan al-Kitâb al-Mastȗr (kitab tertulis). Lihat. Tim Penulis
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, J. II, h. 619. 18
QS. Thaha: 55.
-rûh masuk ke dalam tubuh, sebagaimana firman Allah: “Dan telah
meniupkan ke dalamnya rûh (ciptaan) Ku.”19
Ketika rûh telah bergantung pada jasad, ia telah melupakan janji
kepada Allah yang telah ia ambil pada suatu masa: “Bukankah Aku
Tuhanmu?”20
Sehingga ia tidak kembali kepada negri asli. Hanya sedikit
sekali manusia yang mengingat negri asal mereka , kembali kepadanya dan
merindukannya dan sampai ke alam asal mereka.21
Hadis qudsi yang dikutip al-Jailânî di atas tidak penulis temukan di dalam
kamus takhrij hadis al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi22
dan
Mausû‟ah Atrâf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf23
. Hadis qudsitersebut juga dikutip
oleh Nizâm al-Dîn al-Hasan al-Naisâbûrî (850 H) dalam Gharâib al-Qur‟an wa
Raghâibal-Furqân24dan Ismâ‟îl Haqqî bin Mustafa (1127 H) dalam Rûh al-
Bayân25
. Namun dalam tafsir-tafsir tersebut juga tidak dicantumkan sanad yang
bersambung hingga Rasulullah, sehingga kehujjahan hadis itu diragukan bahkan
ditolak.
Konsep Nûr Muhammadini merupakan sebuah paham di dalam tasawuf,
yang menganggap bahwa dunia dan seisinya itu bermula dari Nûr Muhammad.
Paham Nûr Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan
penghargaan terhadap manusia agung, Nabi Muhammad Saw yang namanya
selalu disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim.
Bermula dari penafsirn Muqâtil bin Sulaiman(w. 150 H) terhadap QS. Al-Nûr: 35:
19
QS. Al-Hijr: 29 20
Al-A‟raf: 172 21
Al-Jailânî, Sirr al-Asrâr, h. 12. 22
A.J.wensinck, Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi (leiden :
EJ.Brill,1943). 23
Muhammad Said Zaghul, Mausu‟ah Atraf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf (Beirut : Dâr al-
Fikr,1994 ). j. II, h. 358; j. III, h. 133, 333; j. IV, h. 304, 388; j. V, h. 60, 105, 206. 24
Nizâm al-Dîn al-Hasan al-Naisâbûrî, Gharâib al-Qur‟an wa Raghâib al-Furqân
(Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416 H), 25
Ismâ‟îl Haqqî bin Mustafa, Rûh al-Bayân, j. III, h.72, 255, 294; j. VI, h. 168; j. VII, h.
157; j. VIII, h. 289; j. IX, h. 10.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang
di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Ayat itu oleh Muqâtil dihubungkan dengan Nabi Muhammad saw. Kata
misbâh (lampu) itu dianggap sebagai lambang yang tepat bagi
Muhammad.Melalui Muhammadlah cahaya Ilahi dapat menyinari dunia.Melalui
Muhammad juga umat manusia dituntun menuju sumber cahaya itu. Kata “tidak
dari timur dan dari barat” mengacu kepada tugas kerasulan Nabi Muhammad saw
yang rachmatan lil-„alamin (memberi rahmat/ kasih sayang untuk segenap
alam).26
Ide Muqâtil itu diambil oleh Sahl al-Tustari, tokoh sufi Irak (w. 283 H)
yang mengatakan adanya ”lajur cahaya”, yaitu sejenis timbunan yang terdiri dari
26
Penggalan Tafsir Muqâtil bin Sulaiman:
ث س ث شبح ؼ -صى هللا ػ ع -نور محمد إرا ب غزدػب ك صت أث ػجذ هللا ث ػجذ اطت
صجبح ك صجبجخ اصبكخ ربخ اصلبء ؼ ثبشبح صت ػجذ هللا ثبشبح اح صجبح ؼ اغشاج ا غذ ثببكزح كب
-ؼ ثبغشاج اإلب ك جغذ ذذ -صى هللا ػ ع -ؼ ثبضجبجخ جغذ ذذ -صى هللا ػ ع -أث ذذ
ضجبجخ كب اصجبح اح صبسد اح ظخ كزت سب اح ث ػجذ هللا ث شج ، كب خشجذ ا-صى هللا ػ ع
ال خلبء ك عء اات اذسي اضشح ك -ػ اغال -ك زت األجبء -صى هللا ػ ع -اضجبجخ ثذذ
.اات وب اشزشي اجشجشط ثبغشبخ
Abû al-Hasan Muqâtil bin Sulaiman al-Azdî al-Balkhî, Tafsîr Muqâtil bin Sulaiman
(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, 1423 H), j. III, h. 199.
segenap jiwa-jiwa yang suci. Berdasarkan teori Muqattil di atas, esensi
Muhammad menurut Tustari, disebut „amûd al-nûr‟(tiang cahaya), yakni jasad
halus dari keyakinan yang diemanasi dari Tuhan sendiri yang membungkuk
kepada-Nya selama satu juta tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk-makhluk.27
Kemudian ide ini ditangkap oleh Al-Hallaj(w. 621 H) yang kemudian
mengembangkannya di dalam faham Nûr Muhammad. Konsep al-Hallaj tentang
Nûr Muhammad selanjutnya diteruskan oleh Ibnu „Arabi(w. 638 H) dengan
konsep wahdat al-wujûd-nya dan dilanjutkan oleh „Abdul Karîm al-Jilli dalam
Insân al-kâmil (w. 826 H).
Al-Jailânî tidak hanya menafsirkan surga (جبد) sebagai taman yang berisi
„ilm al-yaqîn , „ain al-yaqîn , dan haqq al-yaqîn 28
, akan tetapi beliau juga
menafsirkannya sebagai: makrifat dan hakikat29
; mulâhazah, mukâsyafah dan
musyâhadah30
; taman kebahagian yang berupa kenikmatan rûhani31
. Penafsiran
Al-Jailânî yang berbeda-beda terhadap taman-taman surga (جبد) tersebut seoalah-
olah memberikan kesan keinkonsistenan Al-Jailânî dalam menafsirkan, padahal
bila ditelaah lebih lanjut penafsiran Al-Jailânî yang berbeda-beda tersebut
merupakan suatu betuk konsep yang utuh mengenai surga.
27
Lihat. Abû Muhammad Sahl bin „Abdullah bin Yûnus bin bin Rafî‟ al-Tustarî, Tafsîr
al-Tustarî (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1423 H), j.I, h. 27, 69, 111, 156. 28
Lihat tafsir QS. Al-Baqarah: 25, Al-Nisa: 57, Al-Nisa: 122, Al-Maidah: 12; 65; 85;
119, Al-Taubah: 21; 72; 89, Ibrahim: 23, Al-Hijr: 45, Al-Kahfi: 31, Al-Hajj: 14, Al-Furqan: 10,
Mu‟min: 8, Al-Syura: 22. Al-Dukhan: 52, Al-Fath: 5, Al-Dzariyat: 15, Al-Qamar: 54, AL-
Waqi‟ah: 12, Al-Hadid: 12, Al-Mujadilah: 22, Al-Taghabun: 9, Al-Thalaq: 11, Al-Tahrim: 8, Al-
Buruj: 11. Al-Bayyinah: 8. Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-
„Ilmiyyah, 2013). 29
Lihat tafsir QS. Ali Imran: 15, Al-Maidah: 119, Yunus: 9, Thaha: 76, Muhammad: 12.
Ibid. 30
Lihat Tafsir QS. Ali Imran: 136, Ali Imran: 195, Al-Fath: 17. Ibid. 31
Lihat tafsir QS. Ali Imran: 198. Ibid.
Dalam QS. Al-Baqarah: 25 Al-Jailânî menafsirkan jannât (taman-taman)
surga sebagai al-mâ‟ârif al-kulliyyah (universal) dan tajrî min tahtihâ al-anhâr
(sungai-sungai yang mengalir) sebagai al-mâ‟ârif al-juziyyah (parsial).Makrifat
kulliyyah dan makrifat juziyyah merupakan dua kata kunci yang menggambarkan
konsep surga menurut Al-Jailânî.
Jadi, surga (جبد) menurut Al-Jailânî adalah taman kebahagiaan yang
berupa kenikmatan rûhani. Kenikmatan tersebut berupa makrifat kulliyyah
(pengetahuan universal), pengetahuan ilahi yang hakiki yang datang melalui:
perhatian (mulâhadzah), penyingkapan (mukâsyafah)32
, dan penyaksian
(musyâhadah)33
; „ilmu al-yaqîn ,‟ain al-yaqîn , dan haqq al-yaqîn . Makrifat
merupakan karunia tertinggi yang diberikan Allah Swt kepada hambanya. Karunia
makrifat diberikan karena adanya kesungguhan, kerajinan, kepatuhan dan dan
ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah.34
Oleh karena itu al-Jailânî
menafsirkan kenikmatan surga dengan makrifat.
Kemudian tentang haqîqah yang sering bersanding dengan makrifah
dalam penafsiran al-Jailânî merupakan kebenaran ilahi yang menunjukkan
kebenaran esoteris, melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi
32
Secara etimologis, perkataan mukâsyafah merupakan ungkapan atau kosa kata bahasa
Arab dalam bentuk masdar (kata benda) dari karta kerja kasyafa-yaksyifu, yang secara kebahasaan
berarti menunjukkan, menjelaskan, membukakan, atau menampakkan. Dengan demikian
mukasyafah dapat diartikan sebagai penunjukan, penjelasan, keterbukaan atau penampakan.
Sedangkan secara terminologis, dalam ilmu tasawuf yang dimaksud mukasyafah adalah kehadiran
hati yang disertai tersingkapnya tabir yang selama ini menghalangi mata batin seorang sufi dari
Tuhannya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.875. 33
Musyahadah berasal dari kata syahada-yusyahidu-musyahadatan yang secara bahasa
berarti “saling menyaksikan”. Menurut istilah para sufimusyahadah adalah pengetahuan langsung
tentang hakikat Tuhan. Hal ini berarti dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Tasawwuf, j. II, h.906. 34
Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h.180-181.
melampaui bentuk-bentuk luaran yang mana ia tidak dapat direduksikan kepada
bentuk luaran yang bersifat eksoterik.35
Dalam dunia sufi haqîqah diartikan sebagai aspek batin dari syariat,
sehingga haqîqah menjadi aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan
rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan seorang salik.36
Ibn „Arabi
membagi haqîqah menjadi dua yakni haqîqat al-kulliyah (realitas universal)dan
haqîqat al-juz‟iyyah (realitas partikular). Haqîqat al-kulliyyah merupakan haqîqat
al-Muhammadiyyah yang pada dirinya tercakup segala realitas wujud. Ia
merupakan milik bersama antara Tuhan dan makhluk. Menurut Ibn „Arabi Al-
haqîqat al-Muhammadiyyah tidak dapat disifati dengan wujûd (ada) maupun
adam (tiada), tidak dpat pula disifati dengan baru atau qadîm, karena bila ia
berada pada “ada” atau qadîm ia pun qadîm, tetapi bila ia berada pada “ada” yang
baru ia pun baru. Jadi bentuk haqîqat al-Muhammadiyyah itu merupakan suatu
bentuk wujud tersendiri yang menghubungkan antara Yang Mutlak dan alam yang
terbatas. Ia disebut qadîm bila dipandang sebagai ilmu Tuhan yang qadîm, tapi ia
dikatakan baru karena memanifestasikan diri pada alam yang terbatas dan baru.37
Jadi kenikmatan rûhani yang dialami oleh hamba Allah di taman-taman surga
menurut al-Jailânî melukiskan betapa erat kaitan antara hakikat dan makrifat,
dimana hakikat merupakan kenikamtan awal sedangkan makrifat kenikmatan
puncak.
Adapun ma‟rifat al-juz‟iyyah yang merupakan penafsiran dari tajrî min
tahtihâ al-anhâr (sungai-sungai yang mengalir dibawahnya) maksudnya ialah
35
Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 68. 36
Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 70. 37
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j.I, h.450.
makrifat yang terus membaru tanpa henti dengan tajalliyât yang mengalir dari
semua asma dan sifat ilahiyyah. Ma‟rifat al-juz‟iyyah merupakan makrifat yang
terpancar dari ma‟rifat al-kulliyyah. Oleh karena itu proses untuk
mendapatkannya pun sama dengan makrifat al-kulliyyah, yakni melalui mukâsy-
afah dan musyâhadah. Memperoleh ma‟rifat al-kulliyyah merupakan proses yang
berlangsung kontinyu atau berulang-ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb38
,
maka semakin banyak hakikat atau rahasia ketuhanan yang dapat diketahui.
Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi
makrifah yang penuh tentang Tuhan karena Tuhan itu tak terbatas (infinite),
sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat terbatas (finite).39
Penafsiran al-Jailânî terhadap taman-taman surga tersebut sangat berbeda
dengan mayoritas mufassir. Misalnya al-Tabarî menafsirkan lafadz jannât adalah
bentuk jamak dari kata tunggal jannah yang berart taman (surga). Adapun
penyebutan taman adalah apa yang berada di dalam taman yakni berupa
pepohonan, tanaman, dan buah-buahan, bukan tanahnya. Oleh karena itu, Allah
berfirman tajrî min tahtihâ al-anhâr “yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”,
karena telah dimaklumi bahwa Allah bermaksud menginformasikan tentang air
sungainya yang mengalir di bawah pepohonannya, tanamannya dan buah-
buahannya, buka mengalir di bawah tanahnya, sebab jika mengalir di bawah tanah
maka mata tak dapat melihatnya kecuali dengan membuka penutupnya. Jadi, ciri
38
Menurut al-Qusyairi qalb merupakan sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan,
mencintai-Nya, dan melihat-Nya. Qalb mempunyai tiga potensi kapasitas, yaitu: (1) ptensi
kapasitas untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan disebut qalb (hati); (2) potensi kapasitas untuk
mencintai Tuhan disebut ruh; (3) potensi kapasitas untukmelihat Tuhan disebut sir. Lihat: Tim
Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.796. 39
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.799.
sungai-sungai surga yang dimaksud adalah, dia mengalir bukan pada lubang
tanah.40
Selanjutnya al-Jailânî menafsirkan buah-buahan yang diberikan kepada
ahli surga tersebut sebagai buah yang tumbuh dari pohon keyakinan (syajarat al-
yaqîn). Buah tersebut merupakan rizki atau anugrah yang sempurna yang
menyelamatkan mereka dari derajat al-imkân41
. Mereka yang mengingat
perjanjian terdahulu berkata “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”,
maksudnya ialah ketika berada di derajat al‟ayân al-tsâbitah atau di alam asma
dan sifat, atau di alam lauh al-mahfuz, atau di alam rûh, atau istilah-istilah lainnya
yang menjadi puncak kenikmatan dan akhir dari kerinduan mereka untuk
menikmati buah yang akan dianugrahkan kepada mereka. Buah tersebut serupa
dengan sebelumnya namun baru.
Berbeda dengan al-Jailânî yang menafsirkan kenikamtan buah surga
tersebut bersifat immateri (ruhani), para mufassir lainnya menganggap bahwa
kenikmatan buah surga itu bersifat materi (jasmani). Mislanya al-Tustarî yang
berpendapat bahwa para ahli surga akan diberikan buah-buahan sebagaimana
buah-buahan yang berada di dunia. Buah-buahan surga tersebut serupa dengan
buah-buahan dunia dalam hal warna dan namanya namun berbeda rasa dan
40
Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-
Qur‟an/Tafsîr Al-Tabarî, Penerjemah. Anshari Taslim, Muhyidin Mas Rida, Mangala, Athaillah
Manshur, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. I, h. 471. 41
Al-imkânsecara bahasa berarti mumkin, yaitu tidak pasti ada dan tiada, maka selain
Allah dari makhkluk ini adalah selamanya bagi mumkin. Maka, dalam tasawuf, mumkin atau imkan
itu ialah alam kerendahan dan bukan tujuan ibadah, jika seseorang beramal untuk tujuan imkan
maka dia jatuh ke alam kerendahan. Lihat. Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.II, h. 366.
kelezatannya. Menurut al-Tustarî para malaikat memberi makan para wali wali
dengan apel di waktu sarapan dan makan malam.42
Senada dengan al-Tustarî, Imam al-Tabârî berpandangan bahwa buah-
buahan surga serupa dalam warna tapi berbeda dalam rasa. Setiap kali ahli surga
diberikan buah-buahan mereka berkata “inilah seperti yang pernah diberikan
kepada kami ketika dahulu di dunia”. Maksudnya ialah Allah menginformasikan,
bahwa mereka mengatakan demikian ketika mereka diberikan makanan yang
serupa warnanya dengan apa yang pernah diberikan kepada mereka ketika di
dunia meskipun rasanya berbeda, dimana tidak ada sesuatupun di dunia yang
rasanya menyamai sesuatu di surga.43
Kemudian istri-istri/azwâj ditafsirkan al-Jailânî sebagai amal sholih dan
niat yang tulus, mutahharah/suci dari segala keburukan selain Allah, yang
menghalangi manusia untuk mencapai surga. Kata azwaj merupakan bentuk
jamak dari kata zauj yang berarti pasangan. Karena itu menurut Quraish Shihab,
istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah ra dinamai zauj al-Nabi, yakni pasangan
hidup Nabi.44
Namun yang dimaksud al-Jailânî dalam ayat tersebut adalah
pasangan bagi orang-orang beriman ialah amal sholih dan niat yang tulus.
Al-Jailânî menganggap bahwa para penghuni surga itu kekal di dalam
surga. Mereka kekal dengan kekekalan Allah dan tenggelam dalam musyahadah
42
Al-Imam Sahl bin Abdullah Al-Tustarî, Tafsîr Al-Tustarî (Libanon: Dâr al-Kutub Al-
„Ilmiyyah, 2007), h. 27. 43
Al-Tustarî, Tafsîr Al-Tustarî, h. 467-468 44
M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat
Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 178.
perjumpaan dengan Allah. Penafsiran al-Jailânî tersebut mengindikasikan bahwa
al-Jailânî menganut paham yang serupa dengan ittihâd45
atau wahdat al-wujûd46
.
B. Bidadari-bidadari Surga
QS. Al-Waqiah: 22
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang
tersimpan baik.”
Tafsir:
)( صسح اػزوبدار اصذذخ اشاعخخ. ( )
.اص ك أصذاف أشجبد47
(Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli) yakni gambaran dari
keyakinan mereka yang benar dan kokoh. (laksana mutiara yang tersimpan
baik) yang tersimpan dalam tiram-tiram ruh mereka.
Analisa Tafsir
Hûr al-„ain bentuk jamaknya adalah Ahwar atauhaurâ sedangkan „ain
jamaknya adalah „aina yang memiliki arti yaitu nampaknya sedikit warna putih
pada mata di sela kehitamannya. Ini melukiskan tentang keindahan mata. Ada
45
Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihâd
artinya bersatunya manusia denganTuhan. Ketika seorang sufi telah berada dalam keadaan fanâ‟,
maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-
Baqâ‟. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal
dari Tuhan. Lihat. A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-
Sufisme(Jakarta;RajaGrafindoPersada,1999),h.152. 46
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-
wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada. Dengan
demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham
wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut
menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam
disebut haqq. Lihat. Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), h.492
dan 494; Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
cet III, h.92. 47
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 497.
juga yang mengartikannya sipit atau lebar. Menurut Qurasih Shihab apapun
makna ayat di atas bermaksud menjelaskan bahwa Hur al-„Ain adalah pasangan
yang sangat baik dan Indah dalam pandangan pasangannnya.48
Sedangkan Al-Jailânî menafsirkan hûr „în (bidadari-bidadari) sebagai
gambaran mansuia yang memiliki keyakinan yang benar dan kokoh. Dalam
tafsirnya ia mendeskripsikan bahwa bidadari-bidadari surga berkulit jernih putih
dengan sedikit warna kuning seperti perak, mereka dilindungi dan dijaga dari
kecacatan, matanya indah (seluruh bagian mata termasuk pelupuk dan saluran
matanya), mereka selalu menjaga pandangan dan memendekkan penglihatan dan
tidak akan pernah menaruh perhatian selain kepada pasangannya. Bidadari-
bidadari surga tersebut dipersiapkan dan disediakan sesuai dengan tingkatan
keimanan dan kesalehan seorang hamba.49
Penafsiran al-Jailânî tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat
al-Qur‟an tentang sifat-sifat bidadari-bidadari surga, seperti bermata indah,
membatasi pandangan, seakan-akan mereka telur yang tersimpan dengan baik,50
mata mereka lakasana yaqut dan marjan51
, mereka pun belum disentuh oleh jin
dan manusia.52
48
M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 13,
h. 551. 49
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 49. 50
QS. Al-Saffat: 48-49
“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya,
seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” 51
QS. Al-Rahman: 58
“seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan”. 52
QS. Al-Rahman: 56
Bidadari-bidadari tersebut berada di dalam surga yang diperuntukkan bagi
mereka yang dekat dengan Allah dan sampai kepada tempat kesatuan. Mereka
berbeda-beda dalam mendapatkan anugrah, ketinggian derajat, dan kemuliaan
kedudukan sesuai dengan jalan yang mereka tempuh dan usaha yang mereka
lakukan. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang paling dahulu
beriman, karena mereka adalah orang-orang taat yang mendekatkan diri kepada
Allah dengan jalan tauhid sifât dan af‟âl, dan sebagian kecil adalah orang-orang
yang kemudian beriman yakni sebgaian dari umat Nabi Muhammad Saw karena
mereka sampai kepada Allah melalui jalan tauhid dzât.
C. Makanan dan Minuman Ahli Surga
1.1 Makanan Ahli Surga
Q.S al-Waqi‟ah: 20-21
“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung
dari apa yang mereka inginkan.”
Tafsir:
( ( ثشح ) أي خزش زخج أللغ أاع اؼبسف )
رززر ثب أساد اثبس األعبء اصلبد اإلخاذوبئن األدا اوببد از
( ( زود ثب أشجبد ) )53
“Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya,
tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi
suami mereka), dan tidak pula oleh jin” 53
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 497.
(Dan buah-buahan) yang banyak (dari apa yang mereka pilih)
yakni apa yang mereka pilih dan pilah untuk diri mereka dari berbagai
macam makrifat, hakikat, ahwal, dan maqamat yang dinikmati oleh ruh-
ruh mereka dari asma dan sifat Tuhan. (Dan daging burung) yang dimakan
oleh ruh mereka (apapun yang mereka inginkan).
Analisa Tafsir:
Al-Jailânî menafsirkan buah-buahan yang beraneka macam tersebut
sebagai macam-macam makrifat, hakikat, ahwal dan maqamat. Buah surga itu
merupakan anugrah sempurna yang menyelamatkan manusia dari derajat al-imkân
yang tumbuh dari pohon keyakinan (syajârat al-yaqîn), puncak kenikmatan dan
akhir dari kerinduan.54
Para penhuni surga menikmati buah-buahan tersebut dari
asma dan sifat Tuhan sebagaimana pernah mereka menikmatinya ketika berada di
alam asma dan sifat, atau di alam lauh al-mahfûz, atau di alam ruh, atau istilah-
istilah lainnya.55
Penafsiran Al-Jailânî tentang buah-buahan surga tersebut sangat berbeda
dengan beberapa mufassir, misalnya menurut al-Tabarî makna ayat tersebut
adalah, para pemuda yang awet muda, yang melayani para al-sâbiqûn tadi selalu
berkeliling dengan membawa berbagai macam buah dan daging unggas dari
taman surga yang bebas dipilih oleh para al-sâbiqûn, yang dapat memberikan
kepuasan serta kenikmatan bagi mereka.56
Al-Jailânî tidak memberikan penafsiran yang gamblang mengenai lahm
tayr (daging burung), ia hanya menjelaskan bahwa para penghuni surga akan
memakannya.
54
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.I, h. 56-57. 55
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.I, h. 56-57. 56
Al-Tabarî, TafsÎr al-Tabarî, j. 24, h. 517.
Dalam sebuah hadis yang dikutip dalam tafsir al-qurtubî, Rasulullah Saw
pernah ditanya, “apakah al-kautsar itu? Beliau menjawab, „Itu adalah sungai
yang diberikan Allah kepadaku, yakni di dalam surga. Airnya lebih putih dari
susu dan rasanya lebih manis dari madu. Di sana ada burung yang lehernya
seperti leher onta.‟ Umar ra berkata, „Sungguh burung itu telah mendapatkan
kenikmatan.‟ Rasulullah Saw bersabda, „Yang memakannya lebih baik
darinya‟.”57
Al-Tsa‟labi meriwayatkan dari Abu Darda, bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga ada burung sebesar leher unta berbaris
di tangan wali Allah. Salah satu burung berkata, „Hai wali Allah, aku dipelihara
di tempat pemeliharaan di bawah arsy dan aku minum dari mata air tasnim.
Maka makanlah aku. „Burung itu terus membanggakan dirinya di hadapan wali
Allah tersebut hingga tergerak hati wali Allah tersebut untuk memakan salah
satunya. Tiba-tiba burung itu jatuh di hadapan wali Allah tersebut dengan
berbagai warna masakan. Maka wali Allah tersebut pun memakan apa yang
diinginkannya. Apabila wali Allah tersebut sudah kenyang, tulang-belulang
burung itu berkumpul dan terbang bebas seperti sedia kala di dalam surga.”58
Sedangkan menurut Quraisy Syihab penggunaan kata yatakhayyarun/
memilih untuk buah-buahan dan yasytahun/ menginginkan untuk daging burung
karena biasanya keinginan berkaitan dengan makanan. Di sisi lain, buah beraneka
ragam. Karena itu, mereka memilih beberapa jenis terlebih dahulu. Bahwa ayat di
57
Syaikh Imam al-Qurtubî, Al-Jâmi‟ Li Ahkâm Al-Qur‟an, penerjemah. Ahmad Khotib,
Dudi Rasyadi, Faturrahman, Fachrurazi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), v.17, h.629; lihat. HR.
Al-Tirmidzi dalam pembahasan tentang sifat surga, bab: Tentang Sifat Burung Surga (4/680-681,
no. 2542) dan dia mengatakan hadis ini adalah hadis hasan gharib. 58
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.17, h.630; lihat. Al-Suyȗti dalam Al-Dur Al-Mansȗr
(6/155-156).
atas hanya menyebut satu makanan, bukan berarti bahwa selainnya tidak
dihidangkan. Yang disebut disini adalah yang secara umum dinilai paling mewah
dan lezat sehingga yang kalau demikian telah terhidangkan, maka pasti yang
lainpun demikian.59
1.2 Minuman Ahli Surga
QS. Al-Insan: 17
Di dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang
campurannya adalah jahe. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga
yang dinamakan salsabil.”
Tafsir:
( ) ( ؤالء اوشث ( أي ك ري األا األاة ) خشا )
اخس اذجخ ادح ) أي بضجج ك اغبؽ عشػخ االذذاس )
( ( جبسخ ثبء اذبح األصخ األثذخ اغشذخ ) ذازب )
إسشذب إ ششة ازدذ ثذش ادذح ازارخ، أب رو رو ري اؼ ازششذخ ثذش
اذبح األصخ األثذخ ألسثبة اؼبخ ثوب: ع أب اطبت اذبئش ك ثذاء اطت عجال إ
ادذح اذووخ اذوخ.60
(Mereka diberi minuman) mereka yang dekat dengan Allah (di
dalamnya) yakni di dalam bejana-bejana dan piala-piala (segelas) arak dari
arak-arak cinta dan kasih ( yang campurannya adalah jahe) yakni seperti
jahe dalam kesegaran dan cepat ditelan. (Sebuah mata air surga) yang
mengalir dari air kehidupan azali yang kekal dan abadi (yang dinamakan
salsabil) untuk memandu dan membimbingnya kepada pancuran tauhid
dan laut kesatuan dzat, seolah-olah bertemu dan mengajarkan mata air
yang menetes itu dari laut kehidupan azali yang abadi bagi pemilik
„inâyah dengan ucapannya: “tanyalah wahai para pencari yang bingung di
sahara pencarian jalan kepada kesatuan kebenaran hakiki.”
59
Shihab. Tafsir al-Misbah, v. 13, h. 348. 60
Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.VI, h. 248.
Analisa Tafsir:
Bangsa Arab sangat suka dengan minuman yang dicampur dengan jahe,
karena aroma wanginya. Jahe itu sendiri dapat menyegarkan lidah dan
membangkitkan selera makan. Mereka pun tergiur dengan kenikmatan akhirat
yang mereka yakini sangat nikmat dan lezat itu.61
Terdapat perbedaan pendapat tentang makna ayat tersebut. Al-Qurtubi
menukil perkataan dari Mujahid bahwa zanjabil adalah nama sebuah mata air
yang dengannya orang-orang yang didekatkan bisa minum, dan air itulah yang
dicampurkan kepada minuman seluruh penghuni surga dan sifat air itu mudah
ditelan di dalam tenggorokan.62
Sedangkan menurut al-Tabârî firman Allah “yang dinamakan
salsabil” , merupakan sifat mata air dan disifatkan dengan sesuatu yang halus di
dalam tenggorokan serta dalam keadaan mengalir. Ia tunduk kepada penghuni
surga dan dialirkan sesuai dengan keinginan mereka. 63
Adapun penafsiran al-Jailânî tentang ayat tersebut sunggguh berbeda dari
dua mufassir tersebut. Menurutnya, orang-orang yang dekat dengan Allah
(muqarrabun) di dalam surga akan diberikan segelas minuman yang berupa arak
dari arak-arak cinta dan kasih Tuhan. Minuman tersebut bukan campuran jahe
namun seperti jahe dalam kesegaran dan mudah ditelan. Minuman itu berasal dari
mata air surga, yang mengalir dari air kehidupan yang kekal dan abadi. Aliran air
tersebut membimbing dan memandu ahli surga kepada pancuran tauhid dan laut
kesatuandzat.
61
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.29, h. 713. 62
Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.29, h. 713. 63
Al-Tabarî, TafsÎr al-Tabarî, j.25, h. 908.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Dalam perspektif al-Jailânî surga ialah makân al-qurb (tempat yang dekat
dengan Allah) dan neraka adalah makân al-bu‟d (tempat yang jauh dari Allah).
Surga merupakan tempat bagi kenikmatan ruhani di alam akhirat, diperuntukan
bagi manusia yang beriman dan beramal saleh sedangkan neraka adalah tempat
bagi para pengingkar dan fasik yang jauh dari taufîq dan tahqîq (pembenaran) . Di
dalam surga atau makân al-qurb tersebut seorang hamba akan mendapatkan
karunia tertinggi berupa makrifat dengan cara menyaksikan (musyâhadah) al-
Haqq1, sebagaimana firman Allah Swt “Wajah-wajah orang-orang mukmin pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.”2 Sedangkan neraka
atau makân al-bu‟d adalah tempat yang jauh dari keridhaan Allah, tempat
keterasingan, pengusiran dan keterpencilan.
Menurut al-Jailânî kenikmatan yang diperoleh oleh manusia di dalam
surga bersifat ruhani (immateri). Kenikmatan tersebut berupa makrifat,
pengetahuan ilahi yang hakiki. Makrifat merupakan karunia tertinggi yang
diberikan Allah Swt kepada hambanya, karena adanya kesungguhan, kerajinan,
`
1Al-Haqq menurut al-Jailânî ialah:
إرا ب ج شئ ػ اخب، ج ػ اإلدبغخ اثب .رؼبى اذن ػ ػ اشجب، ػ صق ازلشم اصب
“Terlalu luhur untuk dicapai pakar apapun, dan terlalu luhur untuk dideskripsikan dengan
sifat jauh dan dekat. Ketika sesuatu telah melewati batas imajinasi, maka Ia melampaui persepsi
dan perumpamaan”. Lihat. al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v.I, h. 23. 2 QS. Al-Qiyâmah: 22-23.
kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Oleh karena itu
ketika menafsirkan berbagai macam kenikmatan surga yang dilukiskan al-Qur‟an,
al-Jailânî kerap kali mengaitkannya dengan makrifat. Misalnya ketika
menafsirkan lafaz jannah (taman-taman surga) dalam QS. Al-Baqarah ayat 25, ia
menafsirkannya sebagai ma‟rifat al-kulliyyah (pengetahuan universal). Kemudian
tajrî min tahtihâ al-anhâr (sungai-sungai yang mengalir dibawahnya)
ditafsirkannya sebagai ma‟rifat al-juziyyah (pengetahuan parsial). Ma‟rifat al-
Kulliyyah merupakan sumber segala pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah.
Dari ma‟rifat al-kulliyyah itu mengalirlah pengetahuan-pengetahuan parsial,
layaknya sungai-sungai yang mengalir dari lautan menuju daratan. Memperoleh
ma‟rifat al-kulliyyah merupakan proses yang berlangsung kontinyu atau berulang-
ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb, maka semakin banyak hakikat atau
rahasia ketuhanan yang dapat diketahui. Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat
al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi ma‟rifah yang penuh tentang Tuhan karena
Tuhan itu tak terbatas (infinite), sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat
terbatas (finite).
Bagi al-Jailânî makrifat merupakan puncak dari kenikmatan dan akhir dari
kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya. Selain itu, makrifat merupakan
perintah, karena al-Jailânî memahami khitab Allah “illa liya‟budun sebagai illa
liya‟rifun pada QS. Al-Dzariyat: 56 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”. Perintah untuk ma‟rifat Allah
itu bertujuan agar seorang hamba senantiasa mendekatkan (taqarrub) dirinya
kepada sang pencipta.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa apa yang ditafsirkan oleh al-
Jailânî dari berbagai macam kenikmatan surga di dalam al-Qur‟an bertujuan untuk
menggerakan jasad dan membangkitkan kesadaran qalb agar senantiasa taat
beribadah kepada Allah Swt. Karena kebanyakan manusia lupa terhadap
perjanjian awal dengan tuhan-nya, disebabkan mereka terhalang oleh berbagai
macam kenikmatan dunia. Walaupun penafsiran al-Jailani tersebut secara metode
tidak dibenarkan, namun karena adanya berbagai dalil sârih yang mendukung
penafsirannya, maka selayaknya tafsirnya dapat diterima dan dibenarkan. Lagi
pula tafsirnya tersebut merupakan sebuah kompilasi dan isyarat yang seiring
dengan irama kehidupan, ruh, dan gerak yang muncul dari qalb ahli ibadah yang
selalu berhubungan dengan Allah Swt.
B. Saran-saran
Setelah selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa masalah yang masih
mengganjal dalam hari penulis yang kiranya dapat dikaji lebih lanjut oleh para
pembaca. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas kenikmatan surga yang
berupa: taman-taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman
ahli surga. Masih banyak kenikmatan-kenikmatan surga lainnya yang dipaparkan
di dalam al-Qur‟an dan ditafsirkan oleh al-Jailânî, namun tidak penulis cantumkan
dalam skripsi ini. Penafsiran al-Jailânî mengenai kenikmatan surga yang bersifat
ruhani (immateri) ini layak diperkenalkan kepada masyarakat, guna
membangkitkan qalb agar senantiasa taat beribadah kepada Allah Swt.
Demikian apa yang telah penulis paparkan, dan penulis berharap agar
pembahasan ini berkembang, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat
berbagai macam penafsiran kenikmatan surga yang bersifat jasmani (materi)
mupun ruhani (immateri), karena masih banyak sub-sub bab mengenai surga.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad dan Ridha, Rasyid. Tafsir al-Qur‟an al-Hakîm/ Tafsir al-Manâr.
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
„Abd al-Bâqî, Muhammad Fuad. Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-
Karîm, (Kairo: Mathba‟ah Dar al-Kutub, 1364 H), h. 181.
Assondani, Muhammad Mufti Najmul Umam. “Sifat Allah dalam Tafsir Sufi (Tafsir
al-Jailânî Karya Syaikh Abd al-Qadir al-Jailânî Namudzajan).”Skripsi
Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Abdullah, Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002.
Al-Alȗsi. Rȗh al-Ma‟âni fi Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm wa Sab‟i al-Matsâni. Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001.
Azzuhdi, Abdurrohman. “Tafsir al-Jailânî (Telaah Otentisitas Tafsir Sufistik Abd al-
Qadir al-Jailânî dalam Kitab Tafsir al-Jailânî).” Skripsi Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013.
Ankersmit, F.R. Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick
Hartoko. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Arkoun, Muhammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
Al-Amin, Habibi. Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari: Melacak Kejiwaan Mufassir.
Ponorogo: sPIP-Press, 2015.
Ashshiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an/ Ilmu Tafsir. Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.
Alba, Cecep,Dr. MA, Cahaya Tasawuf, Bandung: CV. Wahana Karya Grafika, 2011.
Badruddin Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadur Ibn Abdullah al-
Mihaji al-Zarkasyi. Al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Baihaqi, Muhammad. Perjalanan Roh Manusia Melalui Empat Alam. Malaysia: al-
Hidayah, 1995.
Darmawan, Dadang. “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”. Jurnal Refleksi, v. 13, No.
2 (April 2012).
Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Mesir: Maktabah
Wahbah, 2000.
Al-Farmawi, „Abd al-Hayy. Al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudȗ‟i. Kairo: al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977.
Foucault, Michael. Archeology of Knowlage and The Discaurse on Language. New
York: Pantheon Books, 1971.
Fadlullah, Salman. “Tafsir Ishari: Menguak Aspek yang Terabaikan dari al-Qur‟an.
Mulla Shadra,” Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. I, No. 4, 2011.
Al-Garnâtî, Abȗ Hayyan. Al-Bahr al-Muhît fî al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992
M/1412 H.
Ghazali, Muhammad. Terj. Drs. Masykur Hakim, M.A dan Ubaidillah. Kayfa
Nata‟ammal ma‟al-Qur‟an/ Berdialog dengan al-Qur‟an. Bandung: Mizan,
1996.
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern. Terj. M.
Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: elSaq, 2006.
Gunawan, Ahmad. “Pemaknaan Basmalah Pada Surat-Surat Juz „Amma Dalam Tafsir
al-Jailânî.” Skripsi Tafsir Hadis Fakutas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013.
Hairul,Moh. Azwar. Mengkaji Tafsir Sufi Ibn ‘Ajîbah: Kitâb al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur’an al-Majîd. Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017.
Halimuddin. Kehidupan Di Surga Jannatun Na‟im. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Hitti, Philip K. History of the Arab, penerjemah. Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
Ibnu „Arabi, Muhy al-Din. Tafsir al-Qur‟an al-Karim. Beirut: Dar al-Yaqzah al-
„Arabiyyah. 1980.
Al-Jailânî, ʽAbd al-Qâdir, Tafsir al-Jailânî, Istambul : Markaz al-Jîlani li al-Buhûts
al-„Ilmiyyah, 2013.
----------. Tafsir al-Jailânî, terj.Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahary al-Bantani.
Tangerang Selatan: Salima Publika, 2013.
----------. Rahsia segala Rahasia, Jakarta: PT. Laksana Utama, 2009.
----------. Mukhtashar fi Ulum al-Din, Istambul: Markaz AL-JAILÂNÎ, 2010.
----------. Fiqih Tasawuf / al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq fi al-Akhlaq wa al-
Tashawwauf wa al-Adab al-Islamiyyah, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
----------. Al-Fath al-Rabbani/Meraih Cinta Ilahi, penerjemah. Abu Hamas. Jakarta:
Khatulistiwa, 2009.
----------. Adab al-Suluk wa al-Tawasul ila Manâzil al-Muluk, terj. Tatang
Wahyuddin. Bandung: Pustaka Hidayah, 2007.
Jumantoro, Drs. Totok, M.A. dan Amin, Drs. Samsul Munir, M.Ag. Kamus Ilmu
Tasawuf. Wonosobo: Amzah, 2005.
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. „Abdul Ghafar E.M. Jakarta: Pustaka Imam
Syafi‟I, 2008.
Ibn Sulaiman, Mustafa. Syarh Fusȗs al-Hikâm. Beirut: Dâr al-Kutub al-„ilmiyyah,
2007).
Al-Jurjâni, „Ali bin Muhammad, Al-Ta‟rifât. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari Akhir. Jakarta: Lentera
Abadi, 2010.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
Komariyah, Siti.“Penafsiran Huruf al-Muqatha‟ah Menurut Syaikh Abd al-Qadir al-
Jailânî dalam Tafsir al-Jailânî.” Skripsi Fakultas Ushuluddin, Institut Agama
Islam Walisongo Semarang, 2013.
Mahmud, Syihabuddin al-Alusi. Ruh al-Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-„Azim wa al-
Sab‟I al-Masani. Libnan: Dar al-Fikr. 1987.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: PP.
al-Munawwir, 1984.
Muhammad, Hasyim. Dialog Antar Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Walisongo
Press, 2003.
Monib, Muhammad. 8 Pintu Surga. Jakarta: Kompas Gramedia, 2011.
Nzair, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.
Noer Iskandar Al Barsyany.Tasawwuf.Tarekat dan Para Sufi. Jakarta: Grafindo,
2001.
al-Nabawi, Syekh Abul Hasan. Syekh Abdul Qadir Jaelani, penerjemah. Abu Asma.
Solo: CV. Ramadhani, 1985.
Nasution, Harun. Filasafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang,
2008.
----------. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI-Press, 1986.
Octaviani, Mega Rista. “Visualisasi Surga dan Neraka.” Skripsi Tafsir Hadis Fakutas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an. terj. Mudzakir AS. Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.
Al-Qusyairî, Abȗ Qâsim. La‟tâif al-Isyârât. Beirut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah, 1971.
----------. Risalat al-Qusyairiyyah fi „Ilmi al-Tasawwuf, penerjemah. Mohammad
Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. Al-Jami li Ahkam al-
Qur‟an/ Tafsir al-Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Qathani, Said bin Musfir. Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-
I‟tiqadiyah wa al-Shufiyah/Buku putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî. Jakarta:
Darul Falah, 2003.
Rahman, Fazlur, Islam. New York: Anchor Books, 1968.
----------. Islam and Modernity: Transformation of an Ibtellectual Tradition. Chicago:
The University of Chicago Press, 1982.
Reese, William L. Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western
Thought. New York: Humanity Books, 1996.
Said, Imam Ghazali. Pengkafiran Sesama Muslim. Surabaya: Diantama, 2012.
Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1994.
----------. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera
Hati, 2002.
----------, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt, cet. I. Jakarta:
Lentera Hati, 2001.
----------, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Al-Surga dan Ayat-ayat Tahlil,
cet ke-3. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Septiawadi. Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam al-Asâs fi al-Tafîr. Jakarta: Lectura
Press, 2004.
Siregar, A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta;Raja
Grafindo Persada,1999.
Al-Shallabi, Dr. Ali Muhammad. Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir
Jailani. Penerjemah. Imam Mukhtar Ghazali dan Ibnu Abdurrahaman Fatan
Al Maydani. Jakarta: Beirut Publishing, 2015.
Supriyadi, Dedy. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Al-Sulamî, Abȗ „Abd al-Rahmân Muhammad bin al-Husain bin Mȗsa al-Azadî.
Haqâiq al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Maktabah al-„Alamiyyah, 2001.
Al-Sabunî, Muhammad „Ali. Al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an. Pakistan: Maktabah al-
Busra, 2011.
Al-Silmî, Abȗ „Îsâ Muhammad bin „Îsâ al-Tumȗzi. Sunan al-Tumȗzi. Kairo : Dâr al-
Hadis, 2010.
Al-Suyȗtî, Abȗ al-Faḍl „Abd al-Raḥmân ibn Abî Bakr ibn Muḥammad Jalâl al-Dîn
al-Khuḍairî. Al-Itqân fî „Ulȗm al-Qur‟an. Beirut: Dâr al-Fikr, 1951.
Smith, Jane Idelman. The Islamic Understanding of Death an Resurrection. English,
Oxford University, 2002.
Surachmad, Winarmo. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: Tarsio, 1972.
Tamrin. Tasawuf Irfâni:Tutup Nasut Buka Lahut. Malang:UIN Maliki Press, 2010.
Al-Tabarî, Abȗ Ja‟far Muhammad bin Jarīr . Tafsîr Al-Tabarî. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Tasawwuf. Bandung: Angkasa,
2009.
Taimiyyah, Ibn. Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr. Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t.
Al-tustarî, Al-Imam Sahl bin Abdullah. Tafsîr Al-Tustarî. Libanon: Dâr al-Kutub Al-
„Ilmiyyah, 2007.
Walid, Kholid. Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra.
Jakarta: Sadra Press, 2012.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993.
Zainuddin, Muhammad. Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî. Yogyakarta:
LkiS, 2011.
Al-Zarkasyi, Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad ibn Abdullah ibn Bahadur ibn
Abdullah al-Mihaji. Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Zagri, Dr. Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t.