“putusan tentang suami mafqud”
TRANSCRIPT
i
“PUTUSAN TENTANG SUAMI MAFQUD”
(Studi Putusan Nomor. 3144/Pdt. G/2016/PA. Cbn dan Putusan
Nomor. 002/Pdt.G/2009/PA.GM)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
Zara Putri Aulia
NIM. 1113043000060
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439/2017
ii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2017
Zara Putri Aulia
NIM: 1113043000060
v
ABSTRAK
ZARA PUTRI AULIA. NIM 1113043000060. PUTUSAN TENTANG SUAMI
MAFQUD (STUDI PUTUSAN NOMOR 3244/PDT.G/2016/PA.CBN DAN
PUTUSAN NOMOR.02/PDT.G/2009/PA.GM). Program Studi Perbandingan
Madzhab, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai dalil dan pertimbangan
hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Cibinong dan Hakim
Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutuskan perkara terkait suami mafqud.
Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terkait dalil dan
pertimbangan hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutuskan perkara suami
mafqud. Apakah talak satu ba’in sughro atau fasakh yang seharusna dijatuhkan dalam
perkara tersebut.
Penelitian ini merupakan penggabungan dari penelitian normatif dan
penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku dan perundang-undangan yang terkait dengan masalah
yang dibahas, sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan menganalisa penetapan
Pengadilan Agama Cibinong dan Pengadilan Agama Giri Menang. Metode
pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka (library research). Studi
pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang
konsep dan pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu putusan
tentang suami mafqud (Studi Putusan Nomor 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn dan Putusan
Nomor.02/Pdt.G/2009/PA.GM)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Cibinong dalam menjatuhkan talak satu bain sughro terkait perkara suami mafqud
ialah perimbangan karena akan menimbulkan kemudharatan jika perkawinan tersebut
tetap dilanjutkan, seperti kaidah fiqhiyah digunakan oleh Majlis Hakim yang artinya
“menolak kemudharatan harus didahulukan daripada menairk kemanfaatan.
Sedangkan Hakim Pengadilan Agama Giri Menang memfasakh terkait perkara suami
mafqud dengan dalil yang digunakan majlis hakim yaitu Pasal 80 angka 2 dan angka
4 huruf (a), serta pasal 116 huruf b Kompilsai Hukum Islam.
Kata kunci : Suami Mafqud, Pertimbangan Hakim, Hukum Islam dan
Hukum Positif
Pembimbing : 1. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
2. Ahmad Bisri Abd. Shamad, MA
Daftar Pustaka : 595 s.d. 2016
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Kuasa alam semesta
yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam
rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam penulis menyanjungkan
kepada Baginda Alam yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan
keluarga, serta para Sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan
dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada
jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang
penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan
masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Dengan demikian dengan kesempatan yang berharga ini penulis
mengungkapkan rasa hormat serta ucapan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah
3. Dr. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hj. Siti Hana, LC, MA selaku Sekretaris
Program Studi Perbandingan Mazhab
4. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA dan H. Ahmad Bisyri Abd Shamad
keduanya merupakan pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya
vii
5. Staf Lembaga Pengadilan Agama Cibinong yang telah memberikan penulis
izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi
dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian
6. Kedua Narasumber penulis Prof. Dr. Khuzaimah Tanggo, MA dan Dra. Hj.
Tati Sunaengsih, S.H,M.H yang telah meluangkan waktunya untuk
wawancara dalam penelitian skripsi ini
7. Seluruh staf pengajar/Para Dosen Prodi Perbandingan Mazhab yang
namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi
rasa takdzim saya, yang telah banyak memberikan ilmunya tanpa kenal
lelah sepanjang penulis ada disini. Selain itu, para pimpinan dan staf
Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum juga Perpustakaan Utama yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini
8. Teristimewa untuk kedua orangtua penulis Ayahanda Nuril Hudaya dan
Ibunda Irma Nurochmah, yang telah merawat dan mendidik dengan baik
sampai saat ini. Dengan kasih sayangnya yang abadi, dengan do’anya
yang tiada henti, dengan kesabarannya yang tak terdantingi dan selalu
memberikan penulis support baik segi moril maupun materil. Terimakasih
atas segala didikannya, doanya, kesabarannya, jerih payahnya, serta nasihat
yang selalu mengalir tiada henti tanpa pernah jemu hingga ananda dapat
menyelesaikan studi. Sungguh jasa kalian tiada tara dan tak akan pernah
bisa terbalas seperti apa yang telah kalian berikan. Juga untuk kedua adiku
Muthia Nurma Tsani dan Adinda Zathia Khafshah yang telah mewarnai
lika-liku pembuatan skripsi ini. Semoga kalian juga dimudahkan dalam
menuntut ilmunya dan menjadi kebanggan orang tua. Aamiin
9. Pimpinan Umum SDIT Daarul Fataa Drs. KH. Shaleh Ramli beserta staf
dewan guru yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun
tidak mengurangi rasaa ta’dzim penulis. Terimakasih atas ilmu yang telah
diberikan tanpa mengenal kata lelah selama 6 tahun.
viii
10. Pimpinan Umum Pondok Pesantren Al-Awwabin Abuya KH. Abdurrahman
Nawi juga Pembina asrma Putri Al-Awwabin Ustz. Hj. Diana Rahman
beserta para Asatidz dan Asatidzah yang telah mendidik penulis selama 6
Tahun, yang juga dari sinilah penulis memutuskan untuk mengambil
jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih, semoga Buya dan Umah sehat selalu,
panjang umur dan semoga ilmu yang telah diberikan kepada seluruh santri
akan bermanfaat dan juga semoga suatu saat penulis bisa mengharumkan
nama baik almamater tercinta Al-Awwabin
11. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab angkatan 2013,
Terkhusus sahabat-sahabatku Ladies PMH 2013. Terimakasih sudah
memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta, dan
lainnya, selama 4 tahun kita bersama dan mempunyai harapan untuk bisa
wisuda bersama. Terimakasih kalian yang telah memberikan kritik dan
saranya dalam pembuatan skripsi ini, semoga persahabatan kita tidak akan
pernah pudar walau terpisahkan oleh jarak dan waktu
12. Sahabat-sahabatku Dede Shofiyatul Munawwaroh, Nurul Mahmudah, Nur
Qonita Aulia, Halimah, Dwi Sulis Diana dan Shafwatun Nida, walau raga
kita jauh, do’a dan support kalian selalu ada sampai detik ini. Terimakasih
telah menjadi pendengar yang baik untuk penulis ketika mencurahkan
keluh kesah penulisan skripsi ini juga terimakasih untuk tetap menjadi
sahabat yang baik sampai detik ini.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi
inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung moril maupun
materil. Hanya ucapan terimakasih yang dapat penulis haturkan semoga
segala bantuan tersebut akan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu
ix
kiranya diberikan demi kebaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka
akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Jakarta, Desember 2017M
Robi’ul Awwal 1439H
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................ 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5
E. Review Kajian Terdahulu ................................................. 5
F. Signifikasi Masalah ............................................................ 7
G. Metode Penelitian............................................................... 8
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
BAB II MAFQUD DALAM KONSEP HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF .................................................................................. 12
A. Pengertian tentang Suami Mafqud ..................................... 12
B. Pandangan Hukum Islam tentang Suami Mafqud .............. 14
C. Pandangan Hukum Positif tentang Suami Mafqud ............ 21
a. Menurut Undang-Undang ............................................ 21
xi
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam ............................... 24
D. Status Perkawinan Ketika Suami Mafqud ......................... 25
BAB III ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG CERAI GUGAT
KARENA SUAMI MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA
CIBINONG DAN GIRI MENANG ......................................... 30
A. Perkara No. 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn............................... 30
B. Perkara No. 002/Pdt.G/2009/PA.GM ................................. 40
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN FIQH MUNAKAHAT DAN
UNDANG-UNDANG TENTANG CERAI GUGAT KARENA
SUAMI MAFQUD....................................................................... 55
A. Putusan Suami Mafqud (Talak Satu Ba’in Sughra) .......... 55
B. Putusan Suami Mafqud (Fasakh) ....................................... 59
BAB V PENUTUP ............................................................................. 68
A. Kesimpulan ....................................................................... 68
B. Saran .................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................ 77
A. Surat Permohonan Data/Wawancara
B. Hasil Wawancara
1. Pengadilan Agama Cibinong
2. Guru Besar Perbandingan Mazhab UIN Jakarta
C. Surat Keterangan Wawancara
1. Pengadilan Agama
2. Guru Besar Perbandingan Mazhab UIN Jakarta
xii
D. Contoh Putusan
1. Putusan No. 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn
2. Putusan No. 002/Pdt.G/2009/PA.GM
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan
terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia
atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا Tidak dilambangkan
بb Be
تt Te
ثts te dan es
جj Je
حh ha dengan garis bawah
خkh ka dan ha
دd De
ذdz de dan zet
رr Er
زz Zet
xiv
سs Es
شsy es dan ye
صs es dengan garis bawah
ضd de dengan garis bawah
طt te dengan garis bawah
ظz zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
غgh ge dan ha
فf Ef
قq Qo
كk Ka
لl El
مm Em
نn En
وw We
هh Ha
ء Apostrop
يy Ya
xv
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ــــــــــ
i Kasrah ــــــــــ
u Dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي___ ai a dan i
و___ au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi diatas ـــــا
î i dengan topi atas ـــــى
û u dengan topi diatas ـــــو
xvi
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
الإجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلامية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf Kapital
xvii
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-
Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar
kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-
Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah الأصل في الأشياء الإباحة 4
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria denga seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencantuman berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan
kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama dan kerohanian sehingga perkawinan bukan
hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani saja tetapi mempunyai unsur
bathin dan rohani.1
Perkawinan dalam istilah Arab diartikan dengan Al-Nikah yang
bermakna Al-Wath’ dan al-dammu wa al- taddakhul yang diartikan dengan
makna berkumpul dan akad. Wahbah al-Zuhaily mengartikan perkawinan
dengan akad yang membolehkan terjadinya al-Istimta‟ (persetubuhan) atau
melakukan Wath’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita
yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.2
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 adalah akad yang
sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk menaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.3
Dari pengertian pernikahan tersebut dapat dipahami bahwa baik
Undang Undang maupun Hukum Islam sama-sama mengartikan bahwa
1 M. Idris Mulyono, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1/1974 Dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, IND-HILL-CO, Jakarta 1990, h. 114 2Wahbah Az-Zuhaily,Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damasyiq 1989,
h. 29 3Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta
1995, h. 114
2
landasan sebuah Perkawinan itu bertujuan untuk membentuk rumah tangga
yang kekal sakinah mawwadah wa rahmah. Dalam sebuah keluarga suami
istri harus saling berbagi baik suka ataupun duka, saling memberi dan
menerima, saling mengasihi dan saling mencintai, karena pada dasarnya
cinta itu sederhana.
Prinsipnya suatu perkawinan juga ditujukan untuk hidup bersama
selamanya dan kebahagiaan yang kekal bagi pasangan suami isteri yang
bersangkutan dan Keluarga kekal yang bahagia itulah yang dituju. Banyak
perintah Allah dan Rasul yang bermaksud untuk ketentraman keluarga
selama hidup.4Namun tidak semua pasangan suami isteri bisa
mengaplikasikan prinsip perkawinan tersebut. Karena sebuah rumah tangga
terkadang memiliki permasalahannya tersendiri yang menyebabkan
perselisihan diantara mereka, yang pada akhirnya perselisihan tersebut
menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk bercerai.
Walaupun menurut Al-Qur‟an thalaq itu harus dijatuhkan oleh
suami, namun pelaksanaan hak itu harus dibatasi. Qur‟an menggariskan
prosedur perceraian seperti yang terdapat didalam Firmannya dalam surah
An-Nisa ayat 355 :
حكما من أىلو وحكما من أىلها إن يريدا قاق ب ينهما فاب عث واوإن خفتم ش ن هم إصل را احا ي وفق الله ب ي إن الله كان عليما خبي
“Apabila kamu khawatir akan terjadi perpecahan antara mereka maka
kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan seorang hakan dari pihak
perempuan. Jika kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dari ayat tersebut terang sekali bahwa apabila dikhawatirkan
percekcokan antara suami dan isteri akan menyebabkan putusnya
4M. Idris Mulyono, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1/1974 Dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, h. 68 5 QS. An-Nisa:35 (4)
3
perkawinan maka segera harus ditunjuk dua juru damai dari masing-masing
pihak. Pertamakali juru damai itu harus mengusahakan kerukunan kembali
diantara keduanya, dan ketika itu gagal barulah ditempuh perceraian.
Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang
boleh ditempuh manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi
dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Karena kebolehan thalaq
adalah sebagai alternatif terakhir. Islam menunjukkan agar
sebelumterjadinya perceraian ditempuh usaha-usaha perdamaian antara
kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbiter) dari kedua belah pihak.6
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa mempertahankan itu lebih
sulit dari pada membangun, hal ini pula berlaku dalam sebuah ikatan
rumahtangga. Banyak faktor yang bisa membuat ikatan suami isteri hancur
begitu saja sehingga rasanya untuk mempertahankannya adalah sesuatu
yang sia-sia.
Di Indonesia terdapat banyak profesi yang mengharuskan seorang
suami meninggalkan isteri dan keluarganya untuk mencari nafkah atau
menjalankan tugas negara dengan jangka waktu yang cukup lama. Salah
satu kekhawatiran seorang isteri adalah ketika suami yang pergi untuk
sekian lama menghilang tanpa diketahui keberadaannyadan meninggalkan
kewajibannya sebagai seorang suami. Sehingga menimbulkan kerugian
lahir dan batin bagi isteri dan keluarga yang ditinggalkan. Hilangnya
seorang suami akan membuat seorang isteri diliputi rasa ketidakjelasan
tentang status hukum yang dimilikinya. Sehingga tidak jarang seorang isteri
6Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Diindonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2015,
h. 223
4
memutuskan untuk menggugat cerai suaminya yang tidak jelas
keberadannya.7
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai putusan
hakim suami yang mafqud. Dalam kasus suami mafqud ini saya
menemukan 2 putusan hakim yang berbeda pengadilan dan berbeda juga
dalam memutuskannya. Maka saya akan menganalisis serta
membandingkan kedua putusan tersebutdidalam skripsi ini dengan judul
“Putusan Karena Suami Mafqud” (Studi Putusan Nomor 3144/Pdt.
G/2016/PA. Cbn dan Putusan Nomor 02/Pdt. G/2009/PA. GM)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
beberapa masalah yang dapat :
1. Bagaimanakah status isteri ketika suami mafqud?
2. Bagaimakah cara Pengadilan Agama Cibinong dan Pengadilan Agama
Giri Menang memutuskan Perceraian suami mafqud?
C. Batasan dan Rumusan Maslah
Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perceraian
karena suami mafqud, maka untuk fokusnya penulis akan membatasi
penulisan yakni penulis hanya akan membandingkan dua Putusan
Pengadilan Agama yang berbeda yakni Pengadilan Agama Cibinong dan
Pengadilan Giri Menang dalam perkara Suami mafqud. Dan dalam
pembahasannya penulis hanya akan membahas kedua putusan tersebut
dalam prespektif hukum islam dan Hukum Positif. Dalam Hukum Islam
penulis akan membahas yakni hanya menurut Imam Empat Mazhab yakni
Imam Syafi‟i, Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, dan Imam
Malik. Sedangkan dalam prespektif Hukum Positif penulis akan
7 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan,
Jakarta, 2016, h. 43(Lihat, repository.umy.ac.id)
5
membahasnya menurut Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah :
1. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam menyelesaikan
perkara Nomor 3144/Pdt. G/2016/PN.Cbn dan Perkara Nomor 02/ Pdt.
G/2009/PN.GM?
2. Bagaimana Fiqh memandang Putusan 3144/Pdt.G/2016/PN.Cbn dan
Perkara Nomor 02/ Pdt.G/2009/PN.GM?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana penyelesaian gugat cerai akibat
suami mafqud
2. Untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk Putusan Hakim di
Pengadilan Agama Cibinong dan Pengadilan Agama Giri Menang
mengenai gugat cerai suami mafqud tersebut
3. Untuk membandingkan bagaimana Hukum Islam dengan Hukum
Positif menyikapi kasus suami yang mafqud
2) Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penulisan ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan juga menjadi sumber informasi bagi masyarakat
Umumnya dan bagi mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab
mengenai suami yang mafqud
2. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu sumber
bacaan bagi masyarakat pembaca pada umumnya dan mahasiswa
6
khususnya yang dapat dipertimbangnkan dalam memecehkan
masalah yang relevan
3. Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi para pihak yang
berkepentingan atas permasalahan permasalahan yang telah
dirumuskan diatas
E. Review Kajian Terdahulu yang Relevan
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan
dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan
karya tulis terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan
pembahasan yang penulis angkat khususnya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Syari‟ah dan Hukum.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu, yaitu:
1. Idham Abdul Fattah R, NIM 106044101403“Putusan Pengadilan
Agama Kota Tangerang Dalam Perkara Cerai Talak Dengan Alasan
Isteri Mafqud”. Skripsi S1 Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.8
Didalam skripsi ini penulis menganalisis dua putusan perkara
perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang Selatan mengenai Isteri
yang mafqud. Selain itu dalam skripsi ini ia menjelaskan bagaimana
seharusnya kewajiban seorang isteri kepada suami dan anak-anaknya dan ia
menganggap bahwa kasus isteri yang mafqud ini jarang terjadi, karena
biasanya yang sering terjadi adalah kasus suami yang mafqud. Penulis juga
dalam bahasanya ia memberi gambaran apa yang harus dilakukan seorang
suami ketika isterinya mafqud.
Jadi dalam skripsi ini penulis hanya menganalisis 2 putusan dari
pengadilan yang sama terkait isteri yang mafqudSedangkan saya
8 Idham Abdul Fattah R, Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang Dalam
Perkara Cerai Talak Dengan Alasan Isteri Mafqud, UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta,2010
7
menganalisis 2 putusan dari Pengadilan yang berbeda dan berbeda juga
hasil putusannya mengenai suami yang mafqud.
2. Siti Munawwaroh, NIM 107044202135 “Pelimpahan Hak Asuh
Anak kepada Bapak karena Istri Mafqud (Analisa Yurisprudensi N0.
881/Pdt.G/2008/PA.JB)” . Skripsi S1 Konsentrasi Administrasi
Keperdataan Islam Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hodayatullah
Jakarta, 2008.9
Skripsi ini menganalisa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat tentang hak asuh anak (Hadhanah) ketika seorang isteri
mafqud. Dalam skripsi ini penulis menganalisis satu putusan dari
Pengadilan Agama Jakarta Barat mengeni pelimapahan hak asuh anak
kepada bapak karena isteri mafqud, didalam putusannya bapak (yakni
suami dari isteri yang mafqud) meminta kepada Pengadilan Agama Jakarta
Barat untuk melimpahkan hak asuh kedua anaknya kepadanya karena
isterinya mafqud. Ia juga menjelaskan siapa yang berhak mengasuh anak
ketika terjadi perceraian juga beberapa penjelasan mengenai Hadhanah.
Dalam pembahasannya jelas sangatlah berbeda dengan pembahasan
yang akan saya uraikan nantinya. Dalam skripsi ini difokuskan pembahasan
tentang siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah).
Sedangkan yang saya bahas lebih mengenai suami mafqud tidak mengenai
hadhanah. Jadi kedua review terdahulu yang saya cantumkan, mereka
keduanya membahas mengenai isteri yang mafqud juga hadhanah ketika
isteri mafqud, walaupun dalam prosesnya kita sama-sama menganalisis
putusan Pengadilan Agama namun kasusnya sangatlah berbeda dengan apa
yang saya bahas.
9 Siti Munawwaroh, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Karena Isteri
Mafqud (Analisa Yurisprudensi No. 881/Pdt.G/2008/PA..JB, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2008
8
F. Signifikasi Masalah
Yang mendasari peneliti mengemukakan permasalahan ini adalah
karena ketika seorang isteri ditinggalkan oleh suaminya selama bertahun-
tahun tanpa ada kabar yang jelas, maka seorang isteri pasti butuh kepastian
tentang pernikahannya. Hukum positif dan hukum islam membolehkan
isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya ketika meninggalkannya
bertahun-tahun. Dan yang jadi masalah dalam kasus ini adalah hakim
diPengadilan Agama Cibinong menjatuhkan talak satu ba’in sughro kepada
isteri dalam kasus suami mafqud, dan hakim diPengadilan Agama Giri
Menang memutuskan Fasakh dalam kasus suami mafqud juga.
Sehingga dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa hal ini sangat
perlu untuk diteliti yang kemudian dijelaskan agar masyarakat kelak akan
mengetahui bagaimana cara mengatasi suami yang mafquddan apa saja
langkah yang dapat diambil oleh istri jika suaminya mafqud. Sehingga para
suami bisa lebih berhati hati lagi dalam bertindak terhadap keluarga, dan
bisa menjadikan keluarganya Sakinah Mawaddah Wa Rahmah.
G. Metode Penelitian
Penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam
mencari fakta dan prinsip-prinsip, suatu penyelidikan yang sangat cerdik
untuk menetapkan sesuatu. Pencarian yang dimaksud dalam hal ini tentunya
pencarian itu akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.10
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian
normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau peneltian lapangan.
Penelitian normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, di mana dalam
10
Faisar Ananda Arfa dan Watni Marpaung, metode penelitan hukum islam,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 12
9
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut
memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat
pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.11
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif tertulis, yaitu metode penelitian hukum terhadap aturan
hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum normatif, peraturan
perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer
dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis melakukan
pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak yang
berkenaan dengan bahan-hahan hukum positif yang dikaji.12
2. Sumber Data
a. Data Primer, yang didapatkan dari Pengadilan Agama berupa putusaan
perceraian karena suami mafqud yang terjadi dipengadilan Agama
Cibinong. Wawancara dengan pihak yang berkepentingan seperti
Hakim/Panitera, dan juga beberapa Tokoh Ulama, kemudian data
tersebut dianalisisdengan cara menguraikan dan menghubungkan
dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder, yaitu semua yang berhubungan langsung dengan objek
penelitian. Dalam hal ini adalah kitab-kitab, buku-buku dan literature
yang berkaitan dengan hukum suami yang mafqud baik dari UUP No. 1
Tahnun 1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).
c. Data Tersier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung
dalam penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta
ensiklopedi yang berkaitan dengan pembahasan.
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), cet. ke-IV,( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 23. 12
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010, h. 38
10
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan beberapa cara untuk metode
pengumpulan data
a. Study lapangan dengan cara wawancara terhadap
Hakim/Panitera juga beberapa ulama terkait dengan Putusan
Pengadilan Agama Cibinong Nomor 2016/Pdt. G/2015/PA. Cbn
dan Putusan Pengadilan Agama Giri Menang Nomor 02/Pdt.
G/2009/PA. GM
b. Penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan
dengan mempelajari penelitian sebelumnya, mengkaji buku-
buku, surat kabar, dan majalah/jurnal yang berhubungan dengan
pembahasan skripsi ini.13
Namun juga menggunakan Undang
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan
landasan teoritis serta informasi yang relevan dengan judul
skripsi ini.
4. Metode Analisa Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan dua metode yakni
metode komparatif yaitu membandingan dan juga metode content analysis
yakni merupakan analisa data secara kualitatif. Kemudian
menginterprestasikannya dengan bahasa penulis sendiri dengan melalui
beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan berbagai macam
metode yang terpilih.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 dan tahun 2014.
13
Arif Wicaksono, Status Perkawinan Isteri Akibat Suami Hilang, Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,h. 14
11
H. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengnai pokok pembahsan maka penulis menyusun
skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, riview kajian terdahulu, signifikansi penelitian, metode
dan teknik penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.
BAB II membahas tentang pengertian umum tentang suami mafqud,
Pandangan hukum islam mengenai suami mafqud, dan Pandangan hukum
positif mengenai suami mafqud, dan status pernikahan isteri ketika suami
mafqud
BAB III membahas tentang analisis penulis tentang putusan Hakim
yakni perkara No. 3144/Pdt. G/2016/PN. Cbn, dan Perkara No. 02/Pdt.
G/2009/PN. GM
BAB IV membahas tentang analisa perbandingan Fiqh Mazhab
Munakahat mengenai Putusan tentang suami mafqud (Talak satu ba’in
sughra), dan putusan tentang suami mafqud (fasakh).
BAB V adalah merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan
yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan
di masa yang akan datang
12
BAB II
MAFQUD DALAM KONSEP HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
1. Pengertian Mafqud
Mafqud bentuk ism maf‟ul dari kata faqada-yafqudu-faqdan yang
berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.14
Menurut Wahbah Zuhaily
yang dimaksud mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui
apakah ia masih hidup sehingga tidak dapat dipastikan kedatangannya
kembali atau apakah ia sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.15
Sedangkan dalam pengertian hukum waris mafqud itu ialah orang yang
hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya sehingga tidak diketahui
lagi keadaan yang bersangkutan, apakah ia masih hidup atau sudah wafat.16
Muhammad Toha Abul „Ula Kholifah mengatakan bahwa mafqud adalah
orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak
diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat
dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat.17
Menurut istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghaib, kata ini
secara bahasa memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat.
Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Hilang yang tidak terputus karena ada berita atau informasi
tentangnya
14
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur‟an, 1973), h. 642 15
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, ( Beirut Dar el-Fikr), Juz 7, h.
642 16
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, ( Jakarta: Kencana 2005), h. 16 17
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/05/02/sekilas-tentang-mafqud/
13
2. Hilang yang terputus yaitu sama sekali tidak diketahui
keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya18
Jadi dari pengertian-pengertian tentang mafqud diatas, dapat penulis
simpulkan bahwa mafqud adalah orang yang telah pergi meniggalkan
keluarganya tanpa ada kejelasan tentang keadaan dan keberadaanya, dan
juga tidak ada kepastiannya apakah orang itu masih hidup atau sudah tiada,
ataupun dia diketahui keberadaannya namun kepergiannya itu
menyebabkan kesulitan bagi keluarganya.
Dalam keadaan seperti ini isteri dapat mengambill keputusan
terhadap status perkawinanya. Walaupun pada dasarnya talak itu adalah hak
suami, namun Pengadilanpun mempunyai hak untuk menjatuhkan talak
kepada isteri atas nama suaminya dalam kasus-kasus tertentu, antara lain19
:
1. Karena tidak ada nafkah
2. Karena bahaya yang kritis
3. Karena jelek pergaulan
4. Karena suami ditahan
5. Karena takut terjadi bencana
Alasan pengadilan menjatuhkan talak dalam konteks mafqud ini
yaitu karena takut terjadi bencana. Maksudnya ketika suami meninggalkan
isterinya dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan mendatangkan
banyak kemudharatan kepada isterinya. Contohnya, tidak ada yang
menafkahi hidupnya baik lahir maupun batin dan itu pasti akan
menyulitkan dirinya dan keluarganya juga dikhawatirkan dia akan berbuat
zinah. Maka dari itu jika seorang suami mafqud, baik dia terputus beritanya
18
Kamus Yunus, Kamus Bahasa Arab, h. 304 (Lihat skripsi, Idham Abdul
Fattah,Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang Dalam Perkara Cerai Talak Dengan
Alasan Isteri Mafqud, UIN Jakarta,2010, h. 40 19
Hotnidah Nasution, Relasi Suami Isteri Dalam Islam, Pusat Study Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2004, h. 35
14
ataupun tidak terputus, maka Isteri bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan
Agama.
2. Pandangan Hukum Islam Mengenai Mafqud
Hukum Islam sangatlah luas pembahasannya, namun dalam
pembahasan suami mafqud ini, penulis akan membahasnya dari segi
Pandangan Ulama Mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi‟i, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. ParaUlama berbeda
pendapat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap hartanya dan apa
yang dilakukan oleh isterinya.
(1) Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang
itu dianggap masih hidup, baik mengenai isterinya maupun
mengenai hartanya. Keduaduanya masih kepunyaannya sampai ada
kepastian tentang mati atau hidupnya. Pendapat ini memegang apa
yang telah ada dengan yakin.20
فذىب الحنفية و الشافعية إلى إعتباره حيا فى الأمرين وقالوا ىى زوجتو 21وفى ىذا محافظة على أمر ثبت بيقنوالدال، مالو حتى يتبن أمره
(2) Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang itu dianggap sudah mati
mengenai isteri dan hartanya yaitu sesudah lewat waktu yang
ditentukan menurut mereka, isteri itu keluar dari ikatan
perkawinannya dan hartanya dibagikan kepada ahli warisnya.
Pendapat ini memperhatikan nasib isteri dan menghilangkan
kemelaratan terhadapnya, sedang harta mengikuti hal itu. Dengan
demikian, isterinya keluar dari ikatan nikah dengannya, dan
hartanya dibagikan kepada ahli warismya.
20
Ismuha, Terjemah Perbandingan Mazhab dalam Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, h..
246 21
Syaikh Mahmoud Syaltout dan M. Ali As-Sayis, Muqoronatu al-Madzaahib fi al-
Fiqhu, 1953 M, h. 118
15
وذىب الحنابلة إلى اعتباره ميتا فيهما على تفصيل يأتى بعد. وذلك عقب انتهاء مدة التربص الدقدرة عندىم فتخرج زوجو من عصمة ويقسم مالو على
ورثتو(3) Ulama Malikiyah berpendapat bahwa kematian orang itu hanya
ditinjau dari isterinya saja sedangkan hartanya tetap sebagai
miliknya. Pendapat ini hanya mementingkan nasib isteri, sedang
mengenai harta tidak ada alasan untuk dianggap orang itu mati.
أما الدال فيبقى على ميتافي حق الزوجة فقط. هوذىب الدالكية إلى إعتبار تدعو اليو فى . وفى ىذا الإعتبار مراعاة لحق الدرأة ولا ضرورة لكليتوحكم م 22الأموال
(4) Ia dianggap masih hidup mengenai hartanya, dan sudah mati
mengenai isterinya. Pendapat ini memperhatikan segi harta, lebih
banyak dari memperhatikan segi isteri, sedang menurut pandangan
syara‟ urusan harta adalah lebih enteng dari urusan isteri. Dan lagi
harta itu dapat dipelihara dengan jalan perwalian sebagai yang
dilakukan terhadap harta orang yang tidak mampu memeliharanya.
Oleh karena itu sepanjang pengetahuan kita tidak ada seorangpun
Ulama Fiqh yang berpendapat seperti alternatif keempat. Pendapat
mereka hanya berkisar antara tiga alternatif terdahulu.
وقد عهد العمل فى الشريعة عليهما فى حن أن ىذا الاعتبار يراعى جانب الدال أكثر مما يراعى جانب الدرأة مع أن أمر الدال أىوان فىنظر من أمرالدرأة.
ن ماطة القوامة التى عهدت فى أموال ولأن الدال يمكن حفظو وتنميتو بوسا نظر إلى الدفقود لا يستطيعون حفظها وتنميتها. ولذذا لا نعلم أن فقيه
22
Ibid
16
بهذا الاعتبار الرابع. وإنما ارائهم دائرة على الاعتبارات الثلثة الدتقدنة كما علمت
Para ulama berselisih pendapat tentang suami yang hilang dan tidak
diketahui hidup matinya. Menurut Imam Malik, siisteri diberi waktu
selama empat tahun sejak ia mengadukan perkaranya kepada hakim. Jika
pencarian informasi tentang hidup atau matinya sang suami telah berakhir
tanpa adanya kejelasan perkaranya, maka hakim memberikan tempo
tersebut kepada isteri. Jika tempo waktu empat tahun tersebut telah
berakhir, si isteri harus menjalanai iddah kematian selama empat bulan
sepuluh hari. Setelah itu ia baru bebas. Menurut Imam Malik, harta suami
tidak boleh diwarisi sebelum tenggang waktu yang biasanya
memungkinkan untuk mengetahui kepastian nasib orang yang hilang.23
Ada yang mengatakan tenggang waktunya ialah tujuh puluh tahun. Ada
yang mengatakan delapan puluh tahun. Ada yang mengatakan sembilan
puluh tahun. Dan ada pula yang mengatakan seratus tahun. Ini berlaku
bagi orang yang pada waktu berada dibawah umur-umur tersebut. Inilah
pendapat yang dikutip dari Umar bin Khattab, dan juga dari Utsman, Al-
Laits setuju pada pendapat ini. Menurut Imam Syafi‟i, Imam Abu
Hanifah, dan ats-Tsauri, si isteri tidak halal kecuali sesudah ada kepastian
tentang kematian suaminya. Pendapat ini dikutip dari Ali dan Ibnu
Mas‟ud.24
23
Abdul Rasyad Shiddiq, Terjemah Bidayatul Nujtahid wa Nihayatul muqtashid,
Akbar Media, Jakarta, 2013, hlm. 138 24
Ibid, (Jika seorang suami pergi dari isterinya hal ini tidak lepas dari dua
kemungkinan. Pertama, jika perginya bersifat sementara masih bisa didengar kabar
beritanya, dan masih bisa berkirim surat menurut para ulama ia tidak boleh menikah lagi.
Kecuali kalau sang suami kesulitan memberikan nafkah kepada siisterinya dari hartany,
maka dalam hal ini si isteri berhak menuntut pembatalan nikah.
Kedua, mungkin ia pergi dan diyakini meninggal dunia contohnya sperti ia pegi tanpa pamit
kepada isteri atau keluarganya dan lama tidak pulang-pulang, atau diyakini dia pergi
ketempat yang dekat tetapi tidak memberikan kabar berita, atau ia naik kapal lalu tenggelam
17
واختلفوا في الدفقود الذي تجهل حياتو أوموتو في أرض الإسلم، فقال مالك فاذا انتهى يضرب لامرأتو أجل أربع سنن من يوم ترفع أمرىا الى الحاكم،
فاذ انتهى الكشف عن حياتو أو موتو فجهل ذلك ضرب لذا الحاكم الأجل، الوفاة أربعة أشهر وعشرا وحلت قال ؛ وأما مالو فل يورث حتى دت عدةاعت
يأتي عليو من الزمان ما يعلم أن الدفقود لا يعيش الى مثلو غالبا، فقيل سبعون، وقيل ثمانون، وقيل تسعون، وقيل مائة فيمن غاب وىو دون ىذه الأسنان، وروي
ثمان وبو قال الليث، ىذا القول عن عمر بن الخطاب، وىو مروي أيضا عن عوقال الشافعي وابو حنيفة والثوري؛ لاتحل امرأة الدفقود حتى يصح موتو، وقولذم
25مروي عن علي وابن مسعود
Silang pendapat ini disebabkan pertentangan antara pengakuan
adanya istishab al-hal atau pertimbangan keadaan dengan qiyas.
Berdasarkan pertimbangan istishab al-hal, ikatan pernikahan itu praktis
terputus hanya karena kematian atau talak. Kecuali jika ada dali yang
menunjukkan kebalikannya. Sementara qiyas menyamakan antara
kerugian yang menimpa isteri karena kepergian sang suami dalam tempo
yang lama, dengan kerugian yang ditimbulkan oleh sumpah dan impoten.
bersama beberapa temannya, dan lain sebagainya. Menurut Imam Ahmad, dalam kasus ini
siisteri harus menunggu selama empat tahun dan setelah menjalani masa iidah seperti wanita
yang ditinggal mati suaminya yakni selama empat bulan sepuluh hari ia baru boleh menikah
lagi. Ini pendapat Umar, Utsman, Ibnu Abbas dan Ibnu az-Zubair. Juga pendapat yang
dikatakan oleh Atha‟ Umar bin Abd Aziz, Al-Hasan, az-Zuhri, Qatadah, al-Laits, Ali bin Al-
Madini, Abdul Aziz abu Salamah, Imam Malik dan Imam Syafi‟i dalam pendapat versi
lama. Tetapi kata Imam Malik orang yang pergi untuk berperang tidak perlu ditunggu. Kata
Sa‟id bin al-Musayyab harus ditunggu selama setahun.
Menurut pendapat yang dikuti dari Imam Ahmad jika sudah menunggu selama empat tahun
dan sudah menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, siistri boleh menikah
lagi.) 25
Ibnu Rusyd al-Hafiid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Juz II, Kariyat
Putra, 595 M, Semarang, hlm. 39
18
Oleh karena itulah dalam masalah ini siistri juga berhak memilih
sebagaimana dalam kedua masalah tadi.26
والسبب في اختلفهم معارضة استصحاب الحال للقياس, وذلك استصحاب الحال يوجب أن لا تنحل عصمة إلا بموت طلق حتى يدل أن الدليل على غن
بالإيلء والعنة, فيكون ة تذلك, واما القياس فهو تشبو الضرر اللحق لذا من غيب لذا الخيار كما يكون في ىذين
Ulama juga membedakan antara hilang yang lahirnya selamat dan
hilang yang lahirnya tidak selamat.
Diantaranya Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hilang itu ada dua
macam, yaitu hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga
ketempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara.
Menurut mazhab Hanbaly ikatan suami isteri itu tidak hilang selama
belum diyakini mati suami atau lewat masa yang orang seperti dia tidak
hidup lagi, dan itu tidak dikembalikan pada ijtihad Hakim. Sedangkan
dalam hal ini Ulama Syafi‟iyah dan Ulama Hanafiyah yaitu harus lewat
waktu tertentu yaitu 90 tahun terhitung sejak lahirnya orang itu. Dan
hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang tiba
tiba diantara keluarganyaa, atau ia keluar untuk shalat tapi tidak kembali
lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu
tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang
bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan
sebagainya. Hukum mengenai hal itu, ditunggu sampai 4 tahun. Kalau
tidak ada juga kabar beritanya, maka hartanya dibagikan dan isterinya
mulai beriddah sebagai isteri yang meninggal suaminya, yaitu 4 bulan 10
hari. Al-Qodli menyebutkan bahwa hartanya tidak dibagikan sampai lalu
26
Abdul Rasyad Shiddiq, Ibid
19
iddah kemarian suami sesudah 4 tahun tersebut. Sesudah itu tidak
memerlukan lagi keputusan Hakim.27
وي رلح الحنابل ة أن الويب ة نوع ان ؛ غيب ة ساىرى ا الس لمة كس فر التج ارة فى غ ن الد ذىب خلف و مهلكة. والسفر لطلب العلم والسياحة. أحم د ب ن حنب ل ق ال؛ إن
تمض ى م دة لا يع يش لدثله ا. وذال ك زول م اي يت يقن موت و أو ت وى و أن الزوجي و لا افعية أن و لا ب د م ن مض ى م دة ردود الى اجته اد الح اكم. ق الو الحنفي ة والش م
التعم ن. وق د روى ا بتس عن س نة م ن وق ت ولادة الدفق ود. و غيب ة ساىرى ا الذ ل كال ذلح يفق د م ن ب ن أىل و أو ف رج للص لة ف ل يرج ع أو يمض ى لحاج ة عل ى أن يع ود ف ل يظه ر ل و خ أو ييفق د ب ن الص فن. أو م ن غ رق س فينة أو و ذل ك
. والحك م في و أن ينتظ ر ب و أرب ع س نن ف ن ي يظه ر ل و م ن س ائر أس باب الذ ل خ قس م مال و وأعت دت زوجت و للوف اة أربع ة أش هر وعش را. وذك ر القاض ى أن و لا
يقس م مال و ح تى تمض ى ع دة الوف اة بع د الأرب ع الس نن ولا يفتقرذل ك كل و الى 28حكم حاكم
Disini Ulama Hanabilah mengatakan bahwa keputusan-keputusan
tersebut adalah mengenai kasus-kasus orang hilang yang menurut lahirnya
adalah tidak selamat. Maka hukum ini terbatas pada kasus-kasus serupa
tanpa membedakan antara yang sebabnya membinasakan dan yang tidak
demikian. Sedang hilang yang menurut lahirnya selamat adalah tetap
menurut kaidah:29
درء الدفاسد مقدم على جلب مصالح
27
Ismuha, Terjemah Perbandingan Mazhab dalam Fiqih, Bulan Bintang,
Jakarta,op. cit., h. 249 28
Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh Ali As-Sayis, op. cit., hlm 118 29
. Ismuha, op. cit., h. 253
20
“Sesuatu yang diyakini, tidak dapat hilang dengan sebab sesuatu yang
diragukan”
قال الحنابلة إن ىذه القضايا وردت فى مفقود بويبة ساىراىا الذل فيقتصر فىهذا ىل سبب من شأنو الأالويبة من غن تفريقو بن مالو الحكم على ما يماثل تلك
وما ليس لو سبب كذلك. وتبقى الويبة التى ساىرىا السلمة على مقتضى قاعدة. 30)اليقن لا يزول بالشك(
.
Adapun Ulama Malikiyah berpendapat jika hilang itu dengan sebab
yang biasanya selamat maka mereka itu menunggu sampai seumur orang
pada masa itu. Kalau hilang dengan sebab yang biaasanya tidak selamat,
mereka membagi dua macam. Yang pertama sebab besar dugaan tidak
selamat karena terjadinya sesudah sebab yang membinasakan, maka
mereka itu memberi hukum sudah dapat dianggap cerai antara suami istri
seketika selesainya kejadian itu kalau memerlukan waktu untuk pulang,
dan sehabis waktu dapat pulang, kalau memerlukan waktu itu. Yang
kedua ialah yang tidak berat dugaan selamat, karena bukan terjadi sesudah
sesuatu sebab yang membinasakan. Mereka itu mengatakakn bahwa
dalam hal inilah yang diberi waktu 4 tahun.31
أما الدالكية فقد نظروا إلى ما يولب فيو السلمة فتركوه للتعمن وإلى ما يولب فيو الذل وجعلوا ىذا قسمن؛قسم يعظم فيو غلبة الذل لوقوعو بعد سبب مهلك
مدة عودة أوبعد مدة بالتفريق عقب السبب مباشرة ان كان لا يحتاج إلى فحكمواالعودة الدمكنة إلى بلده إن كان يحتاج إلى مدة، وقسم اخر لا تعظم فيو غلبة
30
Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh Ali As-Sayis, op. cit., hlm. 119 31
Ismuha , op. cit., h. 254
21
الذل لعدم وقوعو بعد سبب مهلك وقالوا إن ىذا القسم ىو محل التقدير بأربع 32سنن
Kemudian masing-masing dari Ulama Hanabilah dan Ulama
Malikiyah mengatakan bahwa menceraikan antara orang yang hilang dan
isterinya adalah didasarkan kepada menolak kemelaratan terhadap istri
yang suaminya sudah hilang dan meninggalkannya berhadapan dengan
kepahitan hidup sendirian, dan apabila istri itu masih muda, tentu ia tidak
dapat menjaga dirinya dari faktor-faktor fitnah yang berada
disekelilingnya. Oleh karena itu maka hendaklah ditetapkan waktu dalam
hal kemelaratan karena hilangnya suami yang menimpa istrinya.33
ثم قال كل من الحنابلة والدالكية إن التفريق بن الوائب وامرأتو قد بني على اساسدفع الضرر عن زوجة غاب عنها زوجها وتركها تتعرض لعنت الحياة الفردية خصوصا إذا كانت الزوجة شابة لا تستطيع أن تحفظ نفسها من عوال اافتنة التى
34يحيط بها أسبابها نن كل جانب
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa terdapat beberapa
perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai Mafqud dan juga
memiliki alasan tersendiri terhadap perbedaan tersebut. Seperti Ulama
Syafiiiyah dan Ulama Malikiyah berpendapat bahwa istri harus menunggu
selama 90 tahun terhitung sejak lahirnya orang itu, sedangkan Ulama
Malikiyah dan Ulaama Hanabilah berpendapat mereka harus menunggu
minimal selama empat tahun setelah ketidak jelasan keberadaan suaminya,
baru ia boleh mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya dengan
alasan mafqud/ghaib yang menyebabkan kemelaratan kepada dirinya,
32
Syaikh Mahmoud Syalthout dan Syaikh Muhammad Ali as-Sayis, op. cit., h. 121 33
Ismuha, h. 254 34
Syaokh Mahmoud Syaltout dan Syaikh Muhammad Ali As-Sayis, h. 121
22
tetapi selebihnya keputusannya diserahkan kepada qodhi/hakim di
Pengadilan Agama setempat. Namun ini barulah menurut Hukum Islam,
selanjutnya akan dibahas menurut Hukum Positif yakni menurut Undang-
Undang dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Pandangan Hukum Positif Mengenai Mafqud
a. Menurut Undang-Undang
Menurut pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu
perkawinan dapat putus atau bubar karena35
:
1. Kematian
2. Oleh tidak hadirnya sisuami atau siisteri (afwezigheid) selama
sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau
suaminya
3. Oleh keputusan hakim setelah pisah meja dan ranjang (scheiding
van tafel en bed)
4. Oleh perceraian
Pasal 208 BW menegaskan bahwa perceraian perkawinan sekali-
kali tidak dapt terjadi hanya dengan persetujuan bersama. Yang
dapat dijadikan alasan perceraian secara limitatif telah ditetapkan
dalam Pasal 209 BW, yaitu:
a) Zina
b) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk
c) Dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan
d) Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh
salah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainnya
35
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, Jakarta 2007, h. 39
23
sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa,
atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya
Pasal 38 Undang Undang Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. atau keputusan Pengadilan
Pasal 39 Undang Undang Perkawinan menegaskan bahwa36
:
- Perceraian hhanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak
- Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukum sebagai
suami isteri
- Tata cara pereraian didepan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri
Alasan-alasan perceraian menurut Undang Undang Perkawinan
(Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974) ialah:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadatpenjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
36
Ahmad Rofiq,, Hukum Perdata Islam Diindonesia, PT. Rja Grafindo Jakarta,
cet-1, 2013, h. 218
24
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan,
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam
rumah tangga.
Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara
tegas bahwa suami atau isteri sudah tidak melaksanakan kewajibannya
sebagai suami atau isteri, baik kewajibannya yang bersifat lahiriyah
maupun batiniyah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk
mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya
perasaan sayang dan cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan
hak suami atau isteri yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian adalah solusi
untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum formal ada, tetapi
secara faktual sudah tidak ada lagi.37
Alasan hukum perceraian berupa meninggalkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, harus
37
Ibid
25
dimajukan didepan sidang pengadilan dari rumah kediaman pihak yang
menuntut perceraian setelah lampaunya waktu 2 tahun terhitung sejak saat
pihak lainnya meningglkan tempat kediaman tanpa sebab yang sah,
kemudian tetap segan untuk kumpul kembali dengan pihak yang
ditinggalkan.38
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak memuat
penjelasan tentang pengertian dan kriteria hukum “tanpa alasan yang sah”,
sehingga dapat saja ditafsirkan bahwa jika ada hal-hal dalam rumah tangga
suami dan isteri yang sangat buruk, sehingga dianggap pantas bagi suami
atau isteri untuk meninggalkan pihak lainnya itu, maka keadaan demikian
tidak merupakan alasan bagi pihak lainnya untuk menuntut perceraian.
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 juga tidak
memberikan penjelasan tentang “hal lain diluar kemampuannya”. Oleh
karena itu, terbuka peluang hukum untuk ditafsirkan bahwa kalimat “hal
lain diluar kemampuannya” adalah faktor yang menyebabkan suami atau
isteri meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut, baik
dengan atau tanpa izin dan alasan yang sah, misalnya suami atau isteri
menghilang tanpa diketahui keberadaan dan kabarnya, meskipun telah
diupayakan pencariannya secara maksimal, menggunakan segala sumber
daya yang ada, termasuk bantuan dari warga masyarakat dan aparat
kepolisian serta media massa.39
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai perceraian
karena suami mafqud. Yakni Bagian kesatu Pasal 116 yang isinya sama
38
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,
1981, h. 140 39
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 193
26
seperti Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, namun dalam kompilasi
Hukum Islam ditambah 2 point lagi yaitu40
:
1. Suami melanggar ta‟lik talak
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga
Jadi, sama halnya dengan Undang-Undang Perkawinan didalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang isteri yang suaminya tidak lagi
diketahui keadaan dan keberadaannya maka ia boleh mengajukan gugatan
cerai dengan alasan yang terdapat di Pasal 116 point 2 KHI dan Pasal 39
ayatb(2) UU No. 1 Tahun 1974 point b yakni salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lalin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.41
Jadi menurut Hukum Positif baik Undang-Undang maupun
Kompilasi Hukum Islam. ketika seorang suami meninggalkan isterinya
selama dua tahun berturu-turut ia sudah boleh mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama setempat. Berbeda dengan pendapat para
ulama fikih yang harus menunggu minimal selama empat tahun terlebih
dahulu baru ia boleh mengajukan gugata ke Pengadilan Agama. Namun
kesemuanya itu hasil akhirnya tetap ada di tangan seorang hakim.
Dapat saya simpulkan dari penjelasan-penjelasan diatas keempat
Ulama Fikih yakni Ulama Syafi‟iah, Ulama Hanabilah, Ulama Hanafiah
dan Ulama Malikiyah masing-masing berpendapat mengenai seberapa
lama isteri harus menunggu suaminya sehingga ia dapat mengajukan
perceraian, begitu juga Hukum Positif yang ada di Indonesi telah
mengatur mnegenai hal tersebut
40
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, CV Akademika Pressindo,
Jakarta cet-4, h. 141 41
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, op. cit., h. 141
27
Perbandingan Lama Masa Tunggu Suami Mafqud Menurut Hukum
Islam dan Hukum Perkawinan
No
Hukum
Islam/Hukum
Positif
Lama Masa Tunggu
Menurut Lahirnya
Selamat
Menurut Lahirnya
Tidak Selamat
1 Hanabilah
Ikatan suami istri tidak
tidak hilang sebelum
diyakini meninggal,
atau lewat masa orang
seusianya tidak hidup
lagi
4 Tahun
2 Syafi‟iyah 90 Tahun (terhitung
sejak orang itu lahir) -
3 Hanafiyah 90 Tahun (terhitung
sejak orang itu lahir) -
4 Malikiyyah
Menunggu sampai
seumur orang pada
masa itu
4 Tahun
5
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974
tetang
Perkawinan
Apabila salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya (Pasal 39 ayat (2) point b)
6 Kompilasi
Hukum Islam
Perceraian dapat terjadi karena alasan, salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2(dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya (Pasal 116
point b, Kompilasi Hukum Islam
28
4. Status Isteri Karena Suami Mafqud
Ketika seorang isteri ditinggalkan suaminya selama bertahun-tahun
tanpa ada kabar darinya juga tidak diketahui keberadaannya apakah ia
masih hidup atau sudah mati, pastinya seorang isteri akan merasakan
bingung tentang statusnya sebagai istri. Semestinya jika ia masih istri yang
sah dari suaminya maka nafkah lahir batin wajib ia dapatkan. Akan tetapi,
akibat ketidakjelasan keberadaan suami semua hak nya itu tidak lagi
didapatkannya.
Berbagai spekulasi pun bermunculan akibat ketidakpastian dan
ketidakjelasan posisi suami yang menghilang itu. Disatu sisi istri mau
bertahan meskipun suaminya tidak lagi memberi nafkah lahir-batin, ia rela
menunggu sampai kapanpun. Tetapi disisi lain, ada juga yang tidak bisa
menahannya karena berbagai alasan hingga memutuskan untuk menikah
lagi lantaran anak-anak yang butuh figur ayah, dan juga rindu akan sosok
pendamping yang siap melindungi.
Dalam sebuah pernikahan biasanya setelah akad selesai maka suami
akan membacakan sighat ta‟lik talak. Jumhur ulama mazhab berpendapat
bahwa bila seseorang telah menta‟likkan talaknya yang dalam
wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka
masing-masing, maka ta‟lik itu dianggap sah untuk semua bentuk ta‟lik,
baik itu mengandung sumpah ataupun mengandung syarat biasa. Maksud
adanya sighat ta‟lik talak ini yaitu bertujuan agar terdapat keseimbangan
antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan
perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami42
. Seperti
yang kita ketahui isi dari sighat ta‟liq talak diantaranya yaitu jika suami
meninggalkan isteri selama 2 tahun berturut-turut dan isteri tidak rela maka
otomatis akan jatuh talak satu kepada isteri.
42
Ismuha, op. cit., h. 237
29
Didalam hukum positif, seorang isteri akan tetap menjadi isteri dari
suami yang menikahinya secara sah sampai suaminya menceraikannya atau
dia sendiri yang mengajukan cerai dan pengajuannya itu diterima oleh
pihak yang berwenang. Walaupupun ketika awal pernikahan suami tersebut
telah mengucapkan sighat talik talak tetapi didalam hukum positif
perceraianpun ada aturan-aturanya, yakni jika salah satu pasangan ingin
berpisah maka salah satu diantaranya harus mengajukan gugatan ke
Pengadilan maka sehabis itu melalui proses-prosesnya akan terjadi
perceraian yang sah. Tetapi jika salah satunya tidak ada yang mengajukan
gugatam kepengadilan maka pernikahannya itu tetap masih ada, termasuk
ketika suaminya mafqud walaupun sudah dalam jangka waktu yang cukup
lama, tetapi isteri tidak mengajukan tuntutan apapun kepengadilan maka
status isteri tersebut tetaplah menjadi isteri sahnya dari suami mafqud
tersebut dan isteri tersebut dianggap ridho akan perbuatan suaminya
tersebut. Karena seusai peraturan yang terdapat didalam Undang-Undang
yakni Perceraian yang sah yaitu yang dilakukan didepan Pengadilan.
Seperti Hadits yang diriwiyatkan oleh Daruquthny dalam sunannya
dari Siwar bin Mash'ab, katanya telah diceritakan kepada kami oleh
Muhamad bin Syurahbil Al-Hamsany dari Mugjirah bin Syu'bah ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah SAW:43
بما أخرجو الدارقطنى فى سننو عن سوار بن مصعب. حدثنا محمد بن شرحبيل رسول الله صلى الله عليو وسلم، امرأة الدفقود الذمدان عن مونة بن شعبة قال؛قال
قي(رواه السنن الصون البيه ) امرأتو حتى يأتيها البيان
Adapula Hadits yang diriwayatkan dari Abd. Raziq, katanya telah
dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Abdullah Al'Azramy dari Al-
43
Ismuha, op. cit., h. 251
30
Hakam bin 'Uyainah dari 'Ali Rodhiyallahu 'Anhu ia berkata mengenai
isteri orang yang hilang:
بما رولح عن عبد الرازق؛ أخ نا محمد بن عبدالله العزرمى عن الحكم ابن عتيبة عن على رضى الله عنو قال؛ فى امرأة الدفقود ىى امرأة الدفقود ىى امرأة ابتليت فلتص
نن الصون البيهقي(رواه الس ) حتى يأتيها موت أوطلق
Dan dari kedua Hadits tersebut dapat kita pahami bahwa seorang
isteri yang suaminya hilang maka dia tidak boleh menikah lagi sampai ada
berita kematiannya atau berita talak. Jadi ketika belum ada berita kepastian
tentang suaminya dan juga belum ada berita talak maka istri tersebut status
nya masih isteri dari suami yang hilang tersebut. Namun jika sudah ada
talak yang dijatuhkan kepada dirinya maka statusnya sudah bukan menjadi
istri dari suami yang mafqud tersebut dan dia boleh menikah membangun
rumah tangga kembali dengan orang lain.
Seperti yang diriwayatkan dari Sa‟id bin Musayyab, ia menceritakan
bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pernah mengatakan: ”Siapa
pun wanita yang kehilangan suaminya, maka ia harus menunggu selama
empat tahun. Kemudian menjalani „iddah selama empat bulan sepuluh hari,
dan selanjutnya halal baginya menikah dengan laki-laki lain, ada pula
pendapat yang mengatakan: Jika suaminya itu pulang kembali pada saat ia
sedang menjalani masa „iddah atau sesudahnya dan belum ada lalki-laki
lain yang menikahinya, maka suaminya itu masih berhak atas isterinya
tersebut. Akan tetapi, jika sang isteri telah menikah dengan laki-laki lain
dan sudah berhubungan badan, maka tidak diperbolehkan bagi suaminya
untuk kembali padanya.44
44
M. Abdul Ghoffar E.M, Fiqih Wanita (Edisi Indonesia), Pustaka Al-Kautsar.
Cet.24, Jakarta, 2007, hlm. 435
31
Dari semua penjelasan mengenai status isteri ketika suami mafqud
kesimpulannya adalah, isteri dari seorang suami yang mafqud akan tetap
menjadi isteri sah dari suaminya tersebut sampai ada berita kepastian
kematian atau thalaq. Jadi jika belum ada kepastian mengenai kematian atau
belum jatuh talak/keputusan hakim kepadanya, maka dia belum boleh
menikah dengan lelaki lain, karena statusnya masih tetap menjadi istri sah
dari suaminya yang mafqud. Dan jika dia tetap menikah dengan seseorang
meski belum ada kepastian kematian tentang suaminya atau belum jatuh
talak kepadanya, maka pernikahan tersebut bisa dibatalkan. Seperti yang
terdapat didalam Pasal 71 ayat 2 yaitu suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila, perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya).
32
BAB III
PERKARA CERAI GUGAT DENGAN ALASAN SUAMI MAFQUD
DIPENGADILAN AGAMA CIBINONG DAN PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
A. Duduk Perkara
Dalam surat gugatan duduk perkara/posita sangat eksistensinya,
setiap surat gugatan memuat posita. Posita gugatan merupakan istilah
yang akrab digunakan dalam praktik peradilan dan disebut juga sebagai
fundamental petendi. Fundamentum petendi yaitu dasar guagatan atau
dasar tuntutan, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan
adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan.
Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan terlebih
dahulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan
seperti itu. 45
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa
yang terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang
berlaku dilingkungan peradilan. Putusan-putusan Hakim pada dasarnya
tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat. Majelis Hakim
dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilandan untuk itu
Hakim melakukan suatu penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang
ada apakah benar-benar terjadi.
Berikut penulis akan memaparkan duduk perkara, pertimbangan
hakim serta menganalisis dua perkara putusan perceraian mengenai suami
mafqud. Yakni putusan Nomor 3144/Pdt. G/2016/PA.Cbn (Pengadilan
Agama Cibinong) dan Putusan Nomor 002/Pdt.G/2009/PA.GM
45
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pemblokiran, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 57
33
(Pengadilan Agama Giri Menang) Serta penulis akan mewawancarai
beberapa narasumber terkait dengan Putusan Perceraian Suami Mafqud.
1. Perkara Nomor 3144/Pdt. G/2016/PA. Cbn
1) Duduk Perkata
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan yang
tertanggal 22 September 2016 yang terdaftar dibagian kepaniteraan
Pengadilan Agama Cibinong dengan register perkara Nomor 3144/Pdt.
G/2016/PA. Cbn. Antara Penggugat, umur 40 tahun, tempat tinggal di Kp.
Cibuntu Ali Odah RT 04/06, Desa Ciadas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor dan Tergugat, umur 40 tahun, dahulu bertempat tinggal di Kp.
Cibuntu Ali Odah RT 04/06, Desa Cicadas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor
Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat pada tanggal 15 Juni
2002 penggugat dan tergugat telah melangsungkan pernikahan, berdasarkan
kutipan akta nikah nomor: 814/82/VI/2002 tertanggal 22 Juni 2002, yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor. Setelah menikah penggugat dan tergugat memutuskan
untuk tinggal bersama di Kp. Cibuntu Ali Odah RT. 4 RW. 6, Desa
Cicadas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dan selama
pernikahannya mereka memiliki 1 orang anak perempuan yang bernama
Siti Neisca Okaviani yang lahir pada tanggal 01 Oktober 2002, Bogor.
Namun sejak Mei 2003 antara mereka sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus yang disebabkan
1. Tergugat memiliki sifat egois dan tempramental
2. Tergugat kurang cukup dalam memberikan nafkah pada
penggugat
3. Tergugat tidak terbuka dalam hal keuangan pada penggugat
34
4. Komunikasi antara penggugat dengan tergugat sudah sangat
buruk dalam urusan rumah tangga
5. Antara penggugat dan tergugat sudah tidak cocok lagi untuk
berumah tangga
Dengan alasan diatas Penggugat memohon kepada Pengadilan
Agama Cibinong untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra kepada Tergugat terhadap
Penggugat
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku
Pada surat putusan majelis hakim telah memikirkan adanya, bahwa
penggugat selalu hadir dalam persidangan yang telah ditentukan,
pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan pihak Tergugat yang tidak pernah
hadir dan tidak diwakilkan oleh orang lain, sedangkan jurusita telah
memanggil Tergugat dengan resmi dan patut. Upaya majelis hakim tidak
berhasil dengan upaya perdamaian dan menasihati pihak Penggugat.
Penggugat tetap meminta kepada majelis hakim untuk mengabulkan
gugatannya, dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh Pengguagat:
1. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nimor 814/82/VI/2002 bertanggal
27 Juni 2002 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Ciampea Kabupaten Bogor
2. Fotokopi Srat Keterangan No. 474/9618/VIII-Pem/2016, atas
nama Penggugat, yang dikeluarkan oleh Camat Ciampea
Kabupaten Bogor.
3. Fotokopi surat keterangan No. 474/02/2007/II/2017, yang
dikeluarkan oleh Kepala Desa Cicadas Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor
4. Keterangan 2 orang saksi diantaranya:
a. Anin bin Karna
35
Bahwa hubungan saksi dan Penggugat adalah paman
penggugat. Saksi mengatakan bahwa dia mengetahui bahwa rumah
tangga antara Penggugat dan Tergugat tidak harmonis dan sering
bertengkar sejak tahun 2004 dan penyebab mereka bertengkar
yaitu karena Tergugat tidak tanggung jawab dalam memberikan
nafkah kepada Penggugat. Antara Penggugat dan Tergugat juga
sudan pisah rumah selama kurang lebih 12 (dua belas) tahun.
Saksi pun sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat
tetapi tidak berhasil, dan saksi tidak sanggup lagi mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Saliman bin Sajim
Bahwa hubungan saksi dan Penggugat adalah tetangga
Tergugat. Saksi megatakan bahwa ia mengetahui rumah tangga
antara Penggugat dan Tergugat tidak harmonis dan sering
bertengkar sejak sekitar Mei 2003 dan Tergugat telah
meninggalkan Penggugat selama 12 tahun dan keberadaan
Tergugat sudah tidak diketahui lagi Penggugat juga sudah
berusaha mencarinya namun tidak ditemukan. Saksi kedua ini juga
sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun
tidak berhasil dan juga tidak sanggup lagi mendamaikan kedua
belah pihak.
1) Pertimbangan Hukum Hakim46
Pelaksanaan tugas Peradilan, seorang hakim tidak boleh
dipengaruhi atau diintimidasi oleh kekuasaan siapapun, bahkan
Ketua Penngadilan sendiri tidak berhak ikut campur dalam soal
peradilan yang dilaksanakannya. Hakim bertanggungjawab kepada
46
Putusan No. 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn
36
diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang
telah ditetapkan.
Dan berdasarkan hasil penelitian dalam petitum dari gugatan
penggugat, Putusan Nomor 3244/Pdt. G/2016/PA. Cbn, maka
pertimbangan Hukum Majelis Hakim berdasarkan posita dan
petitum gugatan Penggugat telah dengan jelas menunjukkan tentang
adanya sengketa dalam kehidupan rumah tangga antara Penggugat
dan Tergugat sebagaimana dalam gugatan penggugat dan
keterangan para saksi dipersidangan.
Menimbang, bahwa perkara yang diajukan Penggugat pada
pokoknya adalah gugatan perceraian, berdasarkan ketentuan Pasal
49 huruf a berikut penjelasan Pasal 49 huruf a angka 9 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka Pengadilan Agama
berwenang menerima dan memeriksa perkara a qu.
Menimbang, bahwa yang menjadi dalil pokok gugatan yang
harus dibuktikan kebenarannya didepan persidangan sesuai dengan
isi posita gugatannya adalah bahwa keadaan rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis, sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran diantara mereka, sehingga tidak ada
harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga mereka.
Menimbang, bahwa guna meneguhkan dalil-dalil gugatan,
Penggugat telah mengajukan alat bukti tertulis, yaitu berupa
Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 814/82/VI/2002, Fotokopi
atas nama Penggugat, fotokopi surat Keterangan dan alat bukti
keterangan dari dua orang saksi. Dan saksi yang diajukan oleh
Penggugat yaitu Anin bin Karna dan Saliman bin Sajim. Para saksi
tersebut telah memberikan keterangan di bawah sumpah yang saling
37
bersesuaian antara satu dengan yang lain sebagaumana terurai
diatas.
Menimbang, bahwa Penggugat menerangkan Tergugat telah
tidak diketahui lagi keberadaannya di wilayah Indonesia telah
dikuatkan dengan saksi-saksi dipersidangan. Oleh karena itu Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat telah tidak diketahui lagi
alamat dengan pasti di Wilayah Negara Republik Indonesia maka
pemanggilan kepada Tergugat melalui siaran radio.
Menimbang, bahwa Tergugat tidak hadir dipersidangan, dan
tidak menyuruh orang lain untuk hadir dipersidangan sebagai
kuasanta, padahal Tergugat sudah dipanggil secara sah dan patut,
maka majelis berpendapat perkara ini dapat diperiksa tanpa
hadirnya Tergugat.
Menimbang, bahwa berlandaskan fakta-fakta tersebut diatas,
seharusnya suatu perkawinan merupakan suatu pergaulan hidup
antara dua orang (manusia) yang berbeda jenisnya yang dilakukan
secara teratur yang menghasilkan ketentraman dan kedamaian
dalam keluarga. Bahwa tujuan Perkawinan sebagaimana dimaksud
dalam [asal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah mewujudkan
kehiidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Menimbang bahwa sebagaimana terbukti antara Penggugat dan
Tergugat sering terjadi pertengkaran yang terus menerus sejak tahun
2004, antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah kurang
lebih selama dua belas tahun sampai sekarang, maka Majelis Hakim
menilai rumah tangga mereka telah kehilangan hakekat dan makna
dari tujuan perkawinan tersebut, dimana ikatan perkawinan antara
keduanya sudah sedemikian rapuh, tidak terdapat lagi rasa sakinah
(ketenangan) dan rasa mawaddah (cinta) serta rahmah (kasih
sayang). Sebagaimana dimaksud Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
38
jo. Pasal 1 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 telah tidak
terwujud.
Menimbang bahwa majelis berpendapat pula mempertahankan
rumah tangga yang demikian akan menambah penderitaan lahir
batin yang berkepanjangan serta akan memunculkan kemudharatan-
kemudharatan yang lebih besar lagi terhadap rumah tangga dan
keluarga-keluarga mereka, padahal agama Islam mengajarkan
menghilangkan kesulitan/kemudharatan lebih diutamakan dari
mendapatkan kemaslahatan, hal ini sesuai maksud dalil ushul fikih
yang artinya “menolak kemadharatan harus didahulukan daripada
menarik kemanfaatan”
Menimbang, bahwa oleh karena ternyata Tergugat telah
membangkang terhadap Panggilan Pengadilan, sedangkan gugatan
Penggugat beralasan dan tidak melawan hukum maka sesuai
ketentuan Pasal 125 HIR Tergugat yang tidak datang menghadap
dipersidangan harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat
dikabulkan secara verstek.
Menimbang, bahwa berdasarkan catatan status perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat belum pernah bercerai, oleh karena
itu talak Tergugat terhadap Penggugat yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama adalah talak yang kesatu, berdasarkan ketentuan
Pasal 119 ayat (2) huruf c Kompilasi Hukum Islam, talak yang
dukatuhkan adalah talak satu ba‟in sughra.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan,
maka sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009,
maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan
kepada Penggugat.
39
Mengingat,segala peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta hukum syar‟i yang berkaitan dengan perkara ini.
2) Analisa Penulis
Suatu perkawinan memang dapat putus dan berakhir karena
beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami
terhadap isterinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya,
atau karena sebab-sebab lain.47
. dan menurut Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan Perkawinan dapat putus karena Kematian,
Perceraian, dan atas kepustusan Pengadilan. Dalam kasus ini putusnya
perkawinan Keputusan Pengadilan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa
perkawinan itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa48
. Juga tujuan
dari pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu membangun rumah
tangga yang sakinnah mawaddah wa rahmah. Namun rasanya kedua
pasangan ini tidak berhasil untuk mencapai tujuan tersebut sehingga
berakhir dengan perceraian.
Dalam kasus Putusan Nomor 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn. penggugat
(isteri) tekah mengajukan gugatan terhadap suaminya keperngadilan Agama
Cibinong dengan alasan bahwa terhitung sejak bulan Juli 2014 sampai
gugatan ini diajukan (2016) Tergugat telah meninggalkan dirinya dan
anaknya tanpa ada kabar yang pasti tentang keberadaannya. Tidak diketahui
alasan yang membuatnya menunggu selama 12 tahun tersebut, mungkin
selama itu penggugat masih berharap tergugat (suaminya) kembali
kepadanya sehingga ia masih bersabar menunggunya. Namun karena
Tergugat tidak kunjung datang juga dan penggugat butuh kepastian
47
Abd. Rahman Ghazaly, Fqih Munakahat, Pernada Media, Bogor 2003, h. 191 48
Amiur Nuruddin dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag,
40
statusnya, maka ia memutuskan untuk tidak menunggunya lagi dan
mengajukan gugatan perceraian kepengadilan Agama.
Perlu diketahu yang membedakan proses perkara sidang cerai
karena suami mafqud dengan proses perceraian lainnya yaitu pada proses
proses pemberkasan atau alat bukti tertulis, dalam perkara mafqud ini
penggugat harus melampirkan surat keterangan mafqud yang dibuat oleh
desa setempat, dan proses pemanggilannya yaitu melalui siaran Radio
setempat. Namun setelah dua kali disiarkan dan Tergugat tetap saja tidak
ada kabarnya, sehingga perkara inipun diputuskan secara versteck. Pasal
125 HIR yang mengatur perihal verstek. Pasal ini Ayat (1) menyatakan,
apabila pada hari yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula tidak
menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah
dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir
(verstek)49
. Jadi jika biasanya diputusan lain ada petitum dan positanya,
namun dalam putusan verstek ini tidak ada, karena memang tidak ada
bantahan dan tuntutan dari pihak Tergugat.
Setelah itu dalam putusan ini terdapat 2 orang saksi yang dimintai
kesaksiannya atas perkara ini yaitu Paman Penggugat dan seorang yang
pernah bertetangga dengannya. Kedua saksi tersebut membenarkan bahwa
memang sering terjadi pertengkaran diantara Penggugat dan Tergugat dan
membenarkan juga bahwa mereka telah pisah rumah selama kurang lebih
12 Tahun. Dan dari keterangan mereka, mereka mengatakan bahwa sudah
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil.
Sepertihalnya dalam Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat an-Nisa
Ayat 35 (4) 50
49
Moh. Taufik Makarao,SH.MH., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rinerka
Cipta, Jakarta, 2004, h. 57 50
QS. An-Nisa, Ayat : 35
41
حكما من أىلو وحكما من أىلها إن يريدا قاق ب ينهما فاب عث واوإن خفتم ش ن هم إصل را احا ي وفق الله ب ي إن الله كان عليما خبي
“Apabila kamu khawatir akan terjadi perpecahan antara mereka
maka kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan seorang hakan dari
pihak perempuan. Jika kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Diantara dalil yang dikeluarkan Hakim yaitu satu qaidah fiqh yang
artinya “menolak kemudharatan harus didahulukan daripada menarik
kemanfaat”, maksudnya ketika suami mafqud maka selama itu juga
kewajibannya sebagai suami dan hak isterinya telah ia lalaikan, seperti
menafkahkan keluarganya, melindungi keluarganya, serta memberikan
kasih sayang kepada keluarganya, semua itu akan menimbulkan
kemudharatan siiteri yakni istrinya akan terlantar karena tidak ada yang
menafkahi, melindungi dan mengasihi. Untuk menghindari kemudharatan
lainnya yaitu agar isteri terhindar dari perbuatan zinah apalagi jika isterinya
itu masih muda takut nantinya akan timbul fitnah. Oleh karena itu untuk
menghilangkan kemudharatan seperti itu dalam kasus suami mafqud ini
isteri sebaiknya mengajukan gugatan perceraian agar ia mendapatkan status
yang jelas dalam pernikahannya dan agar dia bisa melanjutkan
kehidupannya.
Dan majelis hakim pun sudah tepat mendalilkan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
Islan, karena menurut penulis jika perkawinan tersebut terus dipaksakan
untuk bersatu maka sudah tidak layak lagi karena sudah melanggar pasal 3
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “perkawinan bertujuan untuk
42
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.51
Pada perkara ini Hakim menjatuhkan Talak satu ba‟in sughra
terhadap Tegugat berdasarkan ketentuan Pasal 119 ayat (2) huruf c
Kompilasi Hukum Islam yakni Talak ini dijatuhkan oleh Pengadilan
Agama. Majelis hakim menjatuhkan Tallak satu ba‟in sughra yang artinya
suami isteri tersebut tidak boleh rujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah. Jadi jika tiba-tiba setelah putusan
ini suaminya kembali lagi jika keduanya ingin memperbaiki hubungannya
maka harus dimulai dengan akad yang baru lagi. Namun lain halnya jika
isteri telah menikah dengan laki-laki lain, maka isteri boleh menentukan
pilihannya sendiri.
Penulis pun setuju apa yang sudah menjadi ketetapan pertimbangan
dari majelis hakim Pengadilan Agama Cibinong. Namun didalam putusan
ini hakim memakai dalil Pasal 116 huruf f saja, dan menurut penulis akan
lebih kuat lagi jika ditambahkan dengan pasal 116 huruf b. Selebihnya,
Menurut penulis proses persidangan sudah sesuai dengan hukum acara
peradilan agama yaitu Pengadilan Agama Cibinong telah membaca dan
mempelajari berkas perkara dan telah mendengarkan keterangan Penggugat
dan para saksi, serta memeriksa bukti-bukti persidangan. Dalam proses
perceraian suami mafqud penggugat harus melampirkan surat keteranga
mafqud dari desa setempat, dan penggugat telah melengkapinya dan diberi
tanda P.3 oleh majelis hakim. Juga dalam proses pemanggilannya harus
melalui radio, dan itu juga sudah dilakukan dengan memanggil Penggugat
melalui Radio Teiman 93,7 FM Tegar Beriman. Dan ketika sudah dua kali
dilakukan pemanggilan melalui radio dan Tergugat tetap tidak datang maka
majelis Hakim menjatuhkannya dengan verstek. Menurut saya semua itu
51
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, op. cit., h. 141
43
sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Juga dalam hal ini isteri
mengajukan gugatan perceraian karena suami mafqud ini setelah ia telah
menunggu suaminya selama 12 tahun, dan ini sudah masuk dalam syarat
untuk mengajukan cerai karena mafqud.
Dengan demikian dijatuhkan amar terhadap putusan ini berarti
Pengadilan Agama Cibinong telah mengabulkan gugatan penggugat untuk
menceraikan suaminya (tergugat) dalam perkara nomor
3166/Pdt.G/2016/PA.Cbn, pada hari selasa tanggal 05 Januari 2016 M,
bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul awal 1437 H oleh Dr. nasich Salam
Suharto, Lc, LLM sebagai Ketua Majelis, Drs. H. Yusri dan H. Fikri
Habibi, S.H.,M.H masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut
diucapkan dalam sidang terbuka oleh ketua majelis dengan didampingi oleh
Dra. Hj. Tati Sunengsih, S.H.,M.H sebagai panitera pengganti, serta
dihadiri oleh pemohon tanpa dihadiri Termohon.
2. Perkara Nomor 176/Pdt. G /2013/PA.GM
1) Duduk Perkara
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan yang
tertanggal 9 januari 2009 yang terdaftar dibagian kepaniteraan Pengadilan
Agama Giri Menang dengan register perkara Nomor 02/Pdt.
G/2009/PA.GM. Antara Penggugat, umur 22 tahun, bertempat tinggal di
Sekotong, Kabupaten Lombok Barat dan Tergugat, umur 25 tahun, semula
bertempat tinggal di Sekotong Kabupaten Lombok Barat, tetapi sekarang
tidak diketahui alamatnya secara pasti diseuruh wilayah Indonesia.
Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat pada tanggal 24
Desember 2005 Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan pernikahan
berdasarkan Syariat Islam di Medan Sekotong Barat. Pernikahan tersebut
tidak tercatat pada KUA/PPN Kecamatan setempat, sdedangkan Penggugat
berkepentingan dengan hal tersebut untuk mengajukan perceraian, oleh
karena itu Penggugat juga memohon untuk mengisbatkan pernikahannya
44
untuk kepentingan perceraian. Dalam pernikahan ini antara Penggugat dan
Tergugat belum dikaruniai seorang anak.
Bahwa kerukunan rumah tangga mereka hanya berjalan tiga bulan
lamanya, kemudian secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan
penggugat , tergugat pergi meninggalkan Penggugat ke Lombok Timur dan
ternyata tergugat menikah lagi dengan wanita lain tanpa persetujuan
penggugat dan kabarnya sudah mempunyai seorang anak dari isteri
keduanya. Selama tergugat berada di Lombok Timur kurang lebih satu
setengah tahun, tergugat tidak pernah pulang dan tidak pernah mencari
Penggugat dan pula tidak pernah memberikan nafkah kepada Penggugat.
Dan ternyata menurut paman Tergugat ternyata Tergugat sudah pergi lagi
ke Makaysia juga tanpa izin dari Penggugat. Dan selama itu Tergugat tidak
pernah memberikan kabar maupun nafkah lahir dan batin kepada
Penggugat.
Dengan alasan diatas Penggugat memohon kepada Pengadilan
Agama Giri Menang untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugata Penggugat
2. Mengisbatkan pernikahan Penggugat dengan Tergugat yang
dilaksanakan tahun 2005 dalam rangka perceraian
3. Menceraikan Penggugat dengan Tergugat
4. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan hukum yang
berlaku
Bahwa Majelis Hakim telah mengupayakan perdamaian dengan
menasihati Penggugat, akan tetapi tidak berhasil, dan ternyata dengan
ketidakhadiran Tergugat menjadikan perkara ini tidak bisa untuk
diselenggarakan mediasi guna memenuhi peraturan Pemerintah No. 1 tahun
2008. Sehingga Penggugat tetap meminta kepada majelis hakim untuk
mengabulkan gugatannya, dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh
Penggugat:
45
a. Surat Keterangan Berdomisili Nomor: Pem.14.1/119/SB/V/2009
atas nama Penggugat yang dikeluarkan oleh Kepala Desa
Sekotong Barat Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat
b. Surat Keterangan yang menernagkan bahwa Tergugat telah 3
tahun berada di Luar Negeri, yang dikleuarkan oleh Kepala Desa
Sekotong Barat Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok
Barat, nomor: 118/SB/V/2009 tanggal 12 Mei 2009
c. Keterangan dua orang saksi
a. Awad bin Ismail
Bahwa hubungan saksi dan Penggugat adalah orang tua
Penggugat. Saksi mengatakan bahwa dia mengetahui bahwa
Penggugat dan Tergugat melangsungkan pernikahan secara
Syari‟at Islam pada tahun 2005. Saksi juga mengetahui bahwa
setelah pernikahan tersebut Penggugat dan Tergugat hidup
rukun selama 3 bulan, setelah itu Tergugat perhi ke Lombok
Timur dan selanjutnya ke Malaysia dengan alasan mencari
pekertjaan dan kepergian tersebut tanpa izin dari Penggugat.
Selama itu Tergugat tidak pernah pulang dan tidak memberi
kabar kepada Penggugat baik surat, telepon, maupun kabar dari
orang lain. Dan saksi sebagai keluarga Penggugat pernah
menasihati Penggugat untuk bersabar tetapi tidak berhasil, dan
sudah tidak sanggup lagi untuk menasihatinya.
b. Jahre bin Jahnum
Bahwa hubungan saksi dan Penggugat adalah paman
Penggugat. Saksi mnegetahui bahwa sejak tiga tahun yang lalu
antara Penggugat dan Tergugat telah berpisah tenpat tinggal dan
tidak pernah kumpul lagi sampai sekarang. Selama itu juga
saksi mengetahui Tergugat tidak pernah mengirim uang sebagai
nafkah sampai sekarang dan tidak ada juga meninggalkan harta
46
dan benda atauuang sebagai jaminan hidup Penggugat. Saksi
sebagai kelurga Penggugat juga pernah menasihati Penggugat
agar bersabar tetapi tidak berhasil, dan sudah tidak sanggup lagi
untuk menasihati Penggugat.
2) Pertimbangan Hukum Hakim52
berdasarkan hasil penelitian dalam petitum dari gugatan penggugat,
Putusan Nomor 3244/Pdt. G/2016/PA. Cbn, maka pertimbangan
Hukum Majelis Hakim berdasarkan posita dan petitum gugatan
Penggugat telah dengan jelas menunjukkan tentang adanya sengketa
dalam kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat
sebagaimana dalam gugatan penggugat dan keterangan para saksi
dipersidangan.
Menimbang, bahwa berdasaekan keterangan Penggugat yang
didukung dengan alat bukti tertulis yakni surat keterangan domisili dan
kesaksian para saksi dipersidangan, terbukti Penggugat adalah penduduk
yang bertempat tinggal diwilayah Lombok Barat dan oleh karena itu
perkara ini termasuk dalam yuridiksi Pengadilan Agama Giri Menang.
Menimbang, bahwa pada hari-hari persidangan yang telah
ditetapkan Penggugat telah hadir sendiri dipersidangan dan tidak pula
menyuruh oranglain untuk hadir sebagai wakil/kuasanya yang sah
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut melalui RRI Regional I
Mataram sebagaimana reelas panggilan nomor: 02/Pdt.G/2009/PA.GM,
tetapi Tergugat tidak hadir oleh karena itu perkara ini dapat diselesaikan
tanpa hadirnya Tergugat (verstek)
Menimbang, bahwa pokok dari gugatan Penggugat adalah mohon
agar Pengadilan menceraikan Penggugat dari Tergugat karena sejak
52
Putusan Nomor 002/Pdt.G/2009/PA.GM
47
tahun 2006 Tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat tanpa nafkah
lahir batin ,, dan hingga sekarang tanpa ada kabar beritanya.
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan serta
keterangan saksi-saksi, Majelis Hakim telah menemukan fakta bahwa
perkawinan Penggugat dengan Tergugat benar telah dilangsungkan dan
telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang ada didalam Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan hukum Islam serta dengan memperhatikan
Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Isabat nikah
yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
ytang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian oleh karenanya beralasan bagi Majelis Hakim
untuk menetapkan sahnya perkawinan antara Penggugat dengan
Tergugat yang dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2005.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendengar keterangan 2
orang saksi, dan keduanya memberikan keterangan dibawah sumpah.
Mereka memberikan keterangan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah
suami isteri yang sah, setelah menikah mereka hanya rukun selama 3
bulan kemudian Tergugat telah pergi tanpa seijin Penggugat,
meninggalkan Penggugat semula ke Lombok Timur selanjutnya ke
Malaysia untuk mencari pekerjaan, Tergugat tidak pernah mengirim
uang sebagai nafkah dan tanpa kabar beritanya sampai sekarang.
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan
Penggugat tersebut, maka majelis berkesimpulan bahwa Tergugat telah
melalaikan kewajibannya sebagai suami terhadap Penggugat sehingga
Penggugat merasa keberatan dan tidak rela atas perlakuan Tergugat
tersebut, oleh karena itu telah terbukti bahwa Tergugat tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 80 (angka 2 dan angka 4
huruf a) Kompilasi Hukum Islam, dan akhirnya Penggugat tidak sanggup
lagi membina rumah tangga dengan Tergugat
48
Menimbang, bahwa dari uraian-uraian sebagaimana tersebut diatas,
Majelis Hakim menemukan fakta dipersidangan bahwa Tergugat telah
terbukti pergi meninggalkan dan membiarkan penggugat selama kurang
lebih 3 tahun berturut-turut, tanpa nafkah dan tanpa kabar beritanya,
sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga penggugat
dengan Tergugat tidak harmonis lagi sehingga tujuan perkawinan
sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, yaitu bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam, yaitu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak terwujud dalam rumah tangga
Penggugat dan Tergugat.
Menimbang, bahwa Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf b Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa perceraian dapat terjadi karnea alasan atau alasan-alasan (b) salah
satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-perimbangan siatas,
gugatan Penggugat telah terbukti adanya alasan yang memungkinkan
untuk bercerai sesuai ketentuan Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah
nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf b Kompilasi Hukum Islam
tersebut
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersenut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat
patut untuk dikabulkan dengan memfasakh pernikahan Penggugat
dengan Tergugat
49
Menimbang, bahwa perkara ini menyangkut bidang perkawinan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang nomor 7
tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 tahun
2006, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat.
Mengingat segala peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta
hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini.
3) Analisa Penulis
Dalam kasus perceraian diatas bahwa disini posita yang akan
dicermati penulis adalah suami meniggalkan isteri tanpa adanya kabar
dan alasan yang sah walaupun dalam putusan ini bukti tertulisnya berupa
surat keterangan suaminya sudah 3 tahun tinggal di Malaysia. Namun,
saya tetap beranggapan bahwa ini termasuk dalam kategori
ghaib/mafqud. karena dalam kasus Putusan nomor
3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn dan Putusan nomor 02/Pdt.G/2009/PA.GM
keduanya memiliki kesamaan yaitu suami dari kedua Penggugat tersebut
sama-sama telah meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang cukup
lama.
Bedanya didalam perkara nomor 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn hanya
mengajukan perkara gugat cerai saja sedangkan dalam perkara ini
Penggugat selain mengajukan gugat cerai ia mengajukan itsbat nikah.
Itsbat nikah yaitu proses hukum yang harus ditempuh oleh pasangan
suami dan isteri di Pengadilan Agama, agar perkawinan yang tidak
dicatat yang telah sah menurut hukum agama (Islam), tetapi menjadi
Perkawinan dicatat menurut negara. Dan itsbat nikah ini juga ditujukan
agar Penggugat bisa mendapatkan akta nikah yang sebagai salah satu
syarat untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Namun dalam hal ini saya akan lebih fokus terhadap pembahasan gugat
cerainya .
50
Sama halnya dengan perkara nomor 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn
dalam perkara ini pun Tergugat dipanggil melalui radio, yaitu RRI
Regional I Matraman dengan relaas panggilan nomor
002/Pdt.G.2009/PA.GM namun Tergugat tidak juga hadir sehingga
perkara ini pun diputuskan secara verstek. Dan hanya perkara ghaib saja
Tergugat pemanggilannya melalui radio, maka dari itu kedua putusan ini
adalah perkara yang sama. Perkara ini pun dalam pembuktiannya
menghadirkan dua orang saksi yakni Ayah dan Paman Penggugat, dan
bukti tertulis lainnya.
Dalam perkara ini Hakim Pengadilan Agama Giri Menang
menjatuhkaan fasakh nikah dengan dalil bahwa Tergugat telah
melalaikan kewajibannya sebagai suami terhadap Penggugat sehingga
Penggugat merasa keberatan dan tidak rela atas perlakuan tergugat, oleh
karena itu tergugat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 80 (angka 2 dan angka 4 huruf a) Kompilasi Hukum Islam, juga
dalil lainnya yaitu Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf b Kompilasi Hukum Islam yakni
Perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya53
.
Dalam putusan ini juga terdapat bukti tertulis yakni berupa surat
keterangan yang menyatakan bahwa Tergugat telah tinggal di Malaysia
selama 3 tahun. Seperti yang telah kita ketahui di bab sebelumnya telah
dibahas, bahwa hilangnya suami itu ada dua macam yakni yang terputus
informasinya dan yang tidak terputus informasinya. Dalam utusan ini
perkara tersebut masuk dalam kategori hilang yang tidak terputus
informasinya. Namun disini juga tidak tertulis dengan jelas dimana
53
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, op. cit., hlm. 141
51
alamat Tergugat yang pasti. Dan juga didalam putusan tersebut berkali-
kali di tegaskan bahwa Penggugat tidak tahu kabar dan keadaan
Tergugat serta terputus semua komunikasi pada Tergugat. Disini
Penggugat juga mengetahui Tergugat telah tinggal diMalaysia hanya dari
satu orang saja, yaitu Paman Tergugat. Yang tidak bisa dipastikan
apakah itu benar atau tidak karena tidak dituliskan secara pasti dimana
alamat tempat tinggal dari Tergugat.
Dan diketahui juga bahwa Tergugat telah memiliki isteri baru tanpa
diketahui oleh Penggugat. Jadi jelaslah pernikahan seperti ini sudah tidak
layak lagi untuk dipertahankan. Karena sudah tidak sesuai lagi dengan
tujuan perkawinan seperti dalil yang telah dipakai oleh majelis hakim
yaitu pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu bertujuan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah, dan rahmah. Dan dalam kasus ini tujuan dari pernikahan
tersebut tidak terwujud dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
Maka dari itu untuk menghindari kemudharatan yang lebih menyakitkan
lagi bagi Penggugat, dia bisa mengajukan perceraian ke Pengadilan.
Namun menurut saya dalam putusan ini, seharusnya Hakim bisa
menambahkan kaidah Fiqh seperti halnya putusan Nomor
3144/Pdt.G/2013/PA.Cbn tidak hanya Undang-Undang saja yang dipakai
dalam memutskan suatu perkara. Karena memang didalam Al-Qur‟an
dan Hadits tidak ada penjelasan tentang suami mafqud secara rinci jadi
mungkin bisa ditambahkan dengan satu kaidah fiqih, Walaupun hanya
dengan menggunakan dalil Undang-Undang sudah sah, tetapi itu akan
lebih mneguatkan lagi dalil-dalil yang sudah ada. Walaupun hanya
dengan menggunakan dalil Undang-Undang sudah sah
52
Terlepas dari itu semua, saya sangat setuju dengan dalil yang
dipakai oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini. Tetapi saya
kurang setuju dengan putusan Hakim yang menjatuhkan putusannya
dengan memfasakh perkara ini. Memang jika suami meninggalkan
kediaman selama 2 tahun berturutu-turut boleh difasakh. Namun,
menurut saya sebaiknya dijatuhkan talak, karena jika nanti suatu saat
suaminya kembali lagi maka talak yang tersisa hanya tinggal dua,
sedangkan jika difasakh maka sama saja suami belum pernah mentalak
isteri tersebut, walaupun nantinya jika ia ingin kembali harus dengan
akad yang baru.
Dengan demikian dijatuhkan amar terhadap putusan ini berarti
Pengadilan Agama Giri Menang telah mengabulkan gugatan Penggugat
untuk memfasakh pernikahan Penggugat dan Tergugat dalam perkarra
nomor 002/Pdt.G/2009/PA.GM, pada tanggal 12 Mei 2009 M bertepatan
dengan tanggal 16 Jumadil Awal 1430 H. Oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Giri Menang dengan susunan Majelis Hj. Atin
Adriah, S.Ag. MH, sebagai Hakim Ketua dan Siti Aisyah, S.Ag, dan H.
Abdul Majid, SHI., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan
mana pada hari itu juga dibacakan dalam sidang terbuka oleh umum oleh
Ketua Majelis tersebut dengan dibantu oleh Lalu Wirame, SH., sebagai
panitera pengganti dengan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya
Tergugat.
53
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN FIQIH MUNAKAHAT DAN UNDANG-
UNDANG TENTANG GUGAT CERAI SUAMI MAFQUD
Akibat dari perceraian itu berbeda-beda, tergantung apa yang
menjadi penyebab perceraiannya. Diantara sebab terjadinya perceraian
yaitu54
:
1. Perceraian karena talak
2. Perceraian karena fasakh
3. Perceraian karena khulu‟
4. Perceraian karena sumpah li‟an
Dan dalam bab ini penullis akan menganalisa dua putusan yang
terjadi karena talak dan karena fasakh, keduanya merupakan perkara suami
mafqud akan tetapi dua Pengadilan Agama yang berbeda ini berbeda
dalam menjatuhkan putusannya. Pengadilan Agama Cibinong dalam
perkara ini menjatuhkan talak satu bain sughra kepada Penggugat
sedangkan Pengadilan Agama Giri Menang memfasakh pernikahan
Penggugat dengan Tergugat. Maka dari itu penulis akan meganalisa apa
yang menjadi penyebab perbedaan diantara kedua putusan tersebut dan apa
akibat yang akan terjadi setelah putusan tersebut.
A. Putusan Tentang Suami Mafqud (Talak Satu Ba’in Sughra)
Majelis Hakim Pengadilan Agama Cibinong menjatuhkan talak satu
ba‟in sughra Didalam perkara Nomor 3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn tentang
suami mafqud. Seperti yang kita ketahui bahwa hak talak itu ada ditangan
suami bukan ditangan istri, meskipun ia adalah pasangan dalam akad untuk
menjaga perkawinan, serta untuk menilai berbagai bahaya pengakhiran
54
Tihami Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009, h. 315
54
perkawinan dengan cara yang tepat dan tidak terkontrol. Hal itu karena
laki-laki yang membayar mahar dan yang memberikan nafkah kepada istri
dan rumah biasanya lebih memperhatikan konsekuensi berbagai perkara,
dan lebih jauh dari sikap kesembronoan dalam tindakan yang bisa
memberikan keburukan yang besar baginya. Sedangkan perempuan
biasanya lebih terpengaruh dengan perasaan dibandingkan laki-laki. Jika
dia memilih hak untuk menalak, maka bisa jadi dia jatuhkan talak dengan
sebab yang sederhana yang tidak perlu membuat hancur perkawinan.55
Walaupun pada dasarnya Talakitutetapberadaditangansuami, namun
isteri juga diberi hak untuk melepaskan diri dari suami yang dibencinya,
atau suami secara sengaja menyakiti istri atau mengganggunya. Dan
dengan demikian berarti kita menghalang-halangi kemungkinan
kesewenag-wenangan pihak suami dengan hak talak yang ada ditangannya
yang menyalahi akhlak islam.56
Jadi talak juga bisa dilakukan oleh selain suami, baik dengan
mengatasnamakan suami misalnya oleh pengacara atau representasi lain
yang ditunjuk sebagai wakil suami, maupun tanpa mengatasnamakan
suami, misalnya hakim (pengadilan) yang menjatuhkan talak dalam
beberapa kasus darurat57
. Seperti contohnya dalam kasus ini hak cerai
dapat diberikan kepada isteri manakala suami tidak diketahui dimana ia
berada atau mafqudul akhbar (tak diketahui kabar beritanya). Dalam hal ini
yang menjatuhkan talak bukan suami akan tetapi hakim (pengadilan).
Walaupun dalam hal ini tidak terjadi syiqaq, namun suami tidak
memenuhi kewajibannya sebagai suami. Dalam hal tersebut memang tidak
ada petunjuk al-Qur‟an maupun hadits yang pasti berapa lama seorang
55
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, ( Beirut Dar el-Fikr), Juz 9,
h. 320 56
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh, CV. Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta 1989,
h. 51 57
Abu Malik Kamal bin as-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunah, Jilid 3, Pustaka
Azzam, Jakarta, 2007, h. 367
55
isteri harus menunggu58
. Namun banyak pendapat ulama dan juga hukum
tertulis yang mengatur itu semua yang bisa untuk dijadikan dalil dalam
pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara ini.
Perlu diketahu Talak ba’in terbagi mennjadi dua yaitu59
:
a. Talak bain sughra, yang dimaksud dengan talak ba‟in sughra ialah
talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi
tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya.
b. Talak bain kubra, yang dimaksud dengan talak bain kubra ialah talak
yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas isteri, suami
haram kawin lagi dengan istrinya tersebut kecuali mantan istrinya
tersebut telah kawin dengan laki-laki lain.
Dan di Kompilasi Hukum Islam jugabterdapat pengertian mengenai
talak bain sughra dan kubra. Didalam pasal 119 dijelaskan60
:
(1) Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah
(2) Talak bain sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah61
:
a. Talak yang terjadi qobla dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khuluk
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Jadi dapat kita pahami bahwa talak bain sughra ialah talak yang
dijatuhkan kepada isteri dan tidak bisa dirujuk akan tetapi jika suami isteri
tersebut ingin bersama lagi maka harus dengan akad yang baru. Dalam
perkara ini hakim telah menjatuhkan talak satu bain sughra kepada
58
Kama Rusdiana, Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, Jakarta 2007, h. 30 59
A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,
h. 245 60
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta, 2010, h.
141 61
Ibid
56
penggugat yang menandakan bahwa status Penggugat tersebut sudah jelas
bahwa ia bukan lagi isteri dari suami yang mafqud tersebut. Akan tetapi
karena yang dijatuhkan oleh hakim yaitu talak satu bain sughra, maka
ketika suatu saat nanti tiba-tiba suaminya datang kembali dan ingin rujuk
dan disetujui juga dengan Penggugat maka itu diperbolehkan dengan
syarat-syarat tertentu dan nantinya hak talak yang tersisa hanya tinggal dua
kali saja.
Didalam kitab fiqh islam wa adillatuhu dikatakan bahwa talak
menjadi talak bain sughra yaitu karena62
:
1. Talak yang terjadi sebelum persetubuhan yang bersifat hakiki
atau setelah terjadi khalwat yang benar-benar shahih. Talak
yang pertama adalah talak bain, karena talak ini tidak
mewajibkan iddah dan juga tidak menerima rujuk.
2. Talak yang bersifat sindiran yang gandengkan dengan sesuatu
yang menunjukkan kekerasan, kekuatan, atau bainunah. Karena
talak yang dijatuhkan dengan sindiran jika diniatkan talak
merupakan talak satu bain, meskipun dia berniat dua pada lafal
maka ditetapkan yang paling rendah yaitu satu
3. Talak berdasarkan iwadh harta atau khulu‟
4. Talak yang dijatuhkan oleh qodhi bukan karena sebab si suami
tidak memberikan nafkah atau karena sebab „illa. Hanya saja
yang menjadi sebab adalah kekurangan yang ada pada diri
suami atau akibat kerenggangan ikatan suami-istri. Atau akibat
mudharatnya istri dengan ketidakberadaan suami atau
tertawannya suami. Karena pengaduan isteri kepengadilan
dilakukan hanya untuk menghilangkan kerugian dari dirinya,
62
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, op. cit., h 380-381
57
dan menentukan nasib perkawinan. Maksud ini tidak dapat
terwujud kecuali dengan talak bain.
Dan dalam perkara ini talak bain sughra yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama/Qodhi. Undang-undang tahun 1920 telah menetapkan
syarat-syarat bagi Pengadilan menjatuhkan talak. Syarat-syarat ini
berdasarkan ijtihad para ahli fiqih, karena dalam perkara suami
mafqud/ghaib ini tidak ada keterangan yang tegas dari Al-Qur‟an dan
Hadits tetapi pengadilan Agama dapat menetapkan talak dalam perkara
karena suami tidak mampu memberi nafkah, cacad nya suami,
membahayakan jiwa isteri, meninggalkan pergi tanpa alasan dan hukuman
penjara berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat dapat dijatuhkan talak
karena suami meninggalkan isteri. Imam Malik menganggap talak bain dan
Imam Ahmad menganggap fasakh. Dan biasanya Pengadilan menjatuhkan
talak satu bain sughra karena alasan suami meninggalkan istri tanpa alasan
dan guna melepaskannya dari kesusahan yang dideritanya dan agar ia
mendapatkan status yang jelas dalam pernikahannya. Karena seorang isteri
berhak menuntut perceraian jika suami pergi meninggalkannya, sekalipun
suami punya harta sebagai pembayar nafkah, dengan syarat:63
1. Perginya suami dari isterinya tanpa ada alasan yang diterima
2. Perginya dengan maksud menyusahkan isteri
3. Perginya keluar negri tempat tinggalnyya
4. Lebih dari satu tahun dan lagi isteri merasa dibuat susah
التطليق لويبة الزوج ىو مذىب مالك واحمد، دفعا للضرر عن الدرأة، فللمرأة أن :64تطلب التفريق إذا غاب عنها زوجها ولو كان لو مال تنفق منو بشرط
63
Sayyid Sabiq, alih bahasa Moh Tholib, Fikih Sunnah, PT Al-Ma‟arif, Cet. 5,
Bandung, 1987, h. 90 64
Sayyid Sabiq , Fiqih Sunnah Jilid 2, Daarul Fath, 1999 M, h. 189
58
أن يكون غياب الزرج عن زوجتو لون عذر مقبول -
أن تتضرر بويابو -
أن تكون الويبة فى بلد غن الذلح تقيم فيو -
65تضرر فيها الزوجةأن تمر سنة ت - Jika kepergian suami dari isterinya dengan alasan yang dapat
diterima, seperti untuk menuntut ilmu atau berdagang atau sebagai petugas
diluar daerah atau tentara yang bertugas ditempat yang jauh, dalam
keadaan seperti ini baru isteri tidak dibenarkan untuk minta cerai. Begitu
pula halnya kalau perginya suami hanya dalam negri tempat kediamannya
sendiri. Tetapi dalam putusan ini kepergian suaminya lebih dari satu tahun
dan lagi isteri merasa dibuat susah jadi dia juga berhak minta cerai karena
kesusahan yang dialaminya, bukan karena kepergian suaminya.
Hakim Pengadilan Agama Cibinong didalam perkara
No.3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn yang menjatuhkan talak satu bain sughra,
berdasarkan peraturan yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang Perkawinan, dan juga satu kaidah fikih. Diantara dalil-
dalilnya yaitu Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa
tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah juncto Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1975 jo. Pasal
19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam, juga berdasarkan satu kaidah fikih yang artinya
menolak kemudharatan harus didahulukan daripada menarik kemanfaatan,
65
Ibid
59
dan juga dengan ketentuan pasal 119 ayat (2) huruf c Kompilasi Hukum
Islam, maka dari itu talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra.
Jadi perkara ini dijatuhkan talak satu bain sughra yaitu karenna
memang antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat lagi
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah,
dan juga berdasarkan Pasal 116 huruf f bahwa perceraian ini terjadi karena
diantara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan aman hidup rukun lagi dalam rumah
tangga, dan menurut penulis selain pasal 116 huruf f perceraian ini juga
terjadi karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya, seperti yang terdapat didalam pasal 116
huruf b. Sehingga dijatuhkan talak satu bain sughra karena talak ini
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama seperti yang terdapat didalam pasal 119
ayat (2) huruf f.
Namun lain halnya dengan perkara No. 002/Pdt.G/2009/PA.GM.
Meskipun kasusnya sama namun majelis hakim tidak menjatuhkan talak
bain sughra melainkan memfasakh perkara tersebut.
B. Putusan Tentang Suami Mafqud (Fasakh)
Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang memfasakh
pernikahan dalam perkara Nomor. 02/Pdt.G/2009/PA.GM.66
Seperti yang
telah dibahas dalam bab II bahwa suami yang hilang itu ada 2 macam yaitu
hilang yang terputus semua informasinya dan hilang yang masih tidak
terputus infotmasinya. Didalam putusan Pengadilan Agama Cibinong itu
termasuk dalam hilang yang terputus semua informasinya sedangkan dalam
kasus ini hilangnya yaitu hilang yang tidak terputus informasinya,
66
Putusan Nomor. 02/Pdt.G/2009/PA.GM
60
meskipun dalam perkara ini Penggugat mengetahui keberadaan Tergugat,
namun dia tidak mengetahui alamatnya secara pasti, kemungkinan itu
hanya dugaan. Jadi kedua kasus tersbut mempunyai perkara yang sama.
Seperti yang telah dibahas diatas juga hak melepaskan diri dari
ikatan perkawinan tidak mutlak ditangan suami, walaupun memang hak
talak itu diberikan kepadanya, tetapi disamping itu isteri juga diberi hak
menuntut cerai dalam keadaan-keadaan dimana ternyata pihak suami
berbuat menyalahi dalam menunaikan kewajibannya atau dalam keadaan-
keadaan khusus. Jadi jelaslah bahwa istri mempunyai hak pula dalam
masalah perceraian ini. Dan dia juga dalam keadaan-keadaan tertentu
berhak untuk memilih apakah dia akan tetap bersama suaminya atau tidak.
Salah satu hak isteri untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahannya
welain talak ialah dengan jalan fasakh.Didalam fikih memang biasanya
disebut fasakh namun didalam undang-undang biasanya disebut
pembatalan nikah.
Secara etimologi fasakh berarti membatalkan. Apabila dihubungkan
dengan perkawinan, fasakh berarti membatalkan perkawinan atau
merusakkan perkawinan. Kemudian secara terminologis fasakh bermakna
pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau
karena pernikahan yang terlanjur menyalahi hukum pernikahan.67
Fasakh menurut bahasa yang dikemukakan oleh Al-Abu Luwis
Ma‟lufi:68
الفسخ ىو نقض الامر اوالعقد“Fasakh adalah merusakkan pekerjaan atau aqad “
67
Abdul Ghafur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum
Positif), UII Press, Yogyakarta, 2011, h. 141 68
Firdaweri, op. cit., h. 52
61
Menurut istilah syar‟i fasakh berarti:
فسخ العقد ن قده وحل الربطة الت ت ربط ب ن الزوجن “Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan
memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami isteri”
Ali Hasabilah memperinci mengenai pembagian fasakh ini sebagai
berikut:69
عد طل قا وىو نوعان كما قلنا في مبداء فسخ الزوج وىو ماتنحل بو عقدبو ولا ي الكلم على الفرق ما يحتاج الى قضاء القاضى وما لا يحتاج اليو.
Fasakh perkawinan ialah sesuatu yang merusakkan akad
(perkawinan) dan dia tidak dinamakan thalaq. Fasakh itu terbagi kepda
duam macam. Fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim dan
fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim.
Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa terjadi
fasakh itu ada karena sebab yang dapat merusakkan perkawinan. Dan
ditinjau kepada sebab yang merusakkan itu fasakh terbagi kepada dua
macam:
1. Fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim, ini harus melalui
jalur proses pengadilan
2. Fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, ialah waktu
suami isteri mengetahu adanya sebab yang merusakkan perkawinan
ketika itu mereka wajib memfasakhkan perkawinannya, tanpa melalui
proses pengadilan.
Dalam hal fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim dan
yang tidak. Mengenai ini as-Sayid Sabiq menjelaskan sebagai berikut:
1. Fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim ialah bila:
69
Ibid
62
القاضي قضاء الى فيحتاج جلى غن خفيا الفسخ سبب مايكون "Apa saja yang menjadi sebab fasakh iti tersembunyi, tidak jelas, maka
dalam hal ini berkehendak kepada keptusaa hakim”
Misalnya suami impoten, suami pergi tanpa ada kabar kejelsannya
(ghaib), atau karena „Ila, dan lain sebagainya yang menyebabkan isteri
tidak senang dalam keadaan demikian, maka dia berhak menuntut
fasakh kepada hakim.
2. Fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim adalah
apabila sebeb fasakh itu jelas, sebagaimana diterangkan bahwa apa saja
yang menjadi sebab fasakh itu jelas, dalam hal ini tidak berkehendak
kepada keputusan hakim, seperti apabila nyata bagi siami istri bahwa
mereka saudara sesusuan, ketika itu mereka wajib memfasakhkan
perkawinannya, tanpa berkehendak kepada keputusan hakim, tanpa
melalui prosedur pengadilan.
Tetapi bagi masyarakat Indonesia, seara yuridis formilnya, untuk
memperoleh pembuktian tentang putusnya perkawinan dan termasuk
masalah fasakh ini dan pengakuan sahnya menurut Undang-Undang harus
ditempuh melalui Pengadilan Agama. Ini mengigat bahwa pembatalan
suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh, baik terhadap suami
isteri, maupun terhadap keluarganya. Dalam peraturan pemerintah no.9
tahun 1975 pasal 37 tercantum bahwa batalnya perkawinan hanya dapt
diputuskan pengadilan.
Dan Menurut Abdul Ghofur Anshori, alasan terjadinya fasakh
secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:70
a. Perkawinan yang telah berlangsung ternyata kemudian tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan, baik mengenai rukun maupun syarat.
Dapat juga terjadi karena keadaan bahwa pada perkawinan tersebut
terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan.
70
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h. 141
63
b. Fasakh terjadi karena pada diri suami atau isteri terdapat sesuatu yang
menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, karena kalau
dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau
keduanya. Fasakh dalam bentuk ini disebut khiyar fasakh.
Alasan-alasan yang memperbolehkan seorang isteri menuntut
fasakh di Pengadilan menurut penjelasan Soemiyati, ialah sebagai
berikut71
:
a. Suami sakit gila
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat
sembuh
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk berhubungan
badan
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya
e. Isteri merasa tertipu baik nasab, kekayaan atau kedudukan suami
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita,
sehinggga tidak diketahui hidup matinya dan waktunya sudah cukup
lama.
Adapun faktor-faktor penyebab fasakh menurut Abdul Ghoful Anshori adalah
sebagai berikut:72
a. Siqaq
b. Fasakh karena cacat
c. Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah
d. Fasakh karena suami gaib (al-Mafqud)
e. Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan
71
Muhammad saifuddin, Sri Turatmiyah, Hukum Perceraian, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, h. 138 72
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h..142
64
Isteri yang diceraikan pengadilan dengan jalan fasakh, tidak dapat
dirujuk oleh suaminya. Jadi, kalau keduanya ingin kembali hidup bersama
harus dengan perkawinan baru, yaitu melaksanakan akad nikah baru.
Pereraian dengan fasakh tidak mengurangi hak talak suami, lain halnya
dengan talak satu bain sughra yang mengurangi satu hak talak dari suami.
Dengan demikian apabila suami isteri yang telah bercerai dengan fasakh,
kemudian hidup bersama lagi sebagai suami isteri, oleh karena perceraian
karena fasakh ini tidak dapat kawin lagi atau rujuk, maka perceraian karena
alasan fasakh menurut pendapat Sudarsono dihukumkan sebagai talak bain
kubro.73
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena
talak. Sebab talak ada talak raj’i dan talak bain. Talak raj’i tidak
mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika sedangkan talak bain
mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, pendapat lain mengatakan
fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan. Pada hakikatnya
fasakh ini lebih keras daripada khulu‟, dan tak ubahnya seperti melakukan
khulu’ pula. Artinya, khulu’ yang dilakukan oleh pihak perempuan
disebabkan ada beberapa hal. Perbedaannya adalah khulu’ diucapkan oleh
suami sendiri sedangkan fasakh diucapkan oleh qodhi nikah setelah isteri
mengadu kepadanya dengan mengembalikan maharnya.74
Menurut Sudarsono, suami hilang tidak tentu hidup matinya setelah
ditunggu empat tahun dapat dikualifikasikan sebagai fasakh yang
merupakan alasan hukum perceraian menurut hukum Islam. pada
prinsipnya fasakh adalah hak suami dan isteri tetapi dalam praktik
(khususnya di Indonesia) lebih banyak diberikan kepada pihak isteri,
karena suami telah punya hak talak.75
73
Muhammad saifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, op. cit.,h.140 74
. A. Tihami, dan Sohari Sahrani, op. cit., h. 201 75
Muhammad Saifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, op. cit.,h.141
65
Tujuan disyariatkannya fasakh tiada lain hanya untuk melepas
beban pihak istri mupun suami. Dimana salah satu dari suami istri tersebut
terdapat sesuatu penyakit yang nantinya akan menjadi sebuah penyakit
yang mematikan atau keadaan yang tidak memungkinkan dalam menjalani
hubungan rumah tangga, contoh: jika suami ghaib maka otomatis dia tidak
menafkahi keluarganya atau istri, maka disana diperbolehkan untuk
melakukan pembatalan perkawinan (fasakh), agar supaya tidak ada yang
dirugikan dalam hubungan rumah tangga dan supaya terciptanya sebuah
kemaslahatan dalam rumah tangga pada nantinya.76
Sama halnya dengan putusan No.3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn,
didalam putusan ini tidak terdapat dalil Al-Qur‟an ataupun hadits, karena
memang Al-Qur‟an dan Hadits tidak menjelaskan secara eksplisit
mengenai suami yang mafqud. Tetapi majelis hakim menggunkan dalil
yang terdapat didalam Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam.
seperti Pasal 80 angka 2 dan angka 4 huruf a Kompilasi Hukum Islam,
Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf b Kompilasi Hukum Islam, dan sama halnya seperti putusan
pengadilan agama Cibinong yaitu Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
Memang berbeda dengan putusan pengadilan agama Cibinong yang
menjatuhkan talak satu bain sughra, pengadilan agama Giri Menang
memfasakh pernikahan pada putusan No.002/Pdt.G/2009/PA.GM, namun
tentu keputusan itu berdasarkan undang-undang serta ketentuan fikih yang
ada. Karena memang ketika suami meninggalkan isterinya 2 tahun
berturut-turut atau lebih tanpa diketahui kabar kejelasan darinya atau
mafqud (ghaib) maka itu boleh difasakh. Namun tidak salah juga jika
76
Ibid
66
dijatuhkan talak satu bain sughra kepada isteri yang mengajukan gugatan
tersebut. Hanya saja nanti akan berbeda akibat dari talak ataupun fasakh.
Yang perlu dicatat bahwa antara membatalkan dan menyudahi itu
adalah dua hal yang berbeda. Meski fasakh dan talak sama-sama
memisahkan hubungan pernikahan antara suami dan istri, namun status dan
konsekuensi hukum yang mengikuti di belakangnya berbeda. Kalau
diibaratkan dengan sewa menyewa rumah, maka fasakh itu adalah
membatalkan sewa rumah sehingga uang dikembalikan dan pihak penyewa
meski sempat menempati rumah itu, setelah fasakh tentu sudah tidak lagi
menempati rumah sewaan. Dalam hal ini yang terjadi dalam fasakh adalah
batalnya perjanjian sewa menyewa. Sedangkan talak kalau diibaratkan
dengan sewa rumah adalah tidak meneruskan sewa atau tidak
memperpanjang kontrak rumah, setelah sebelumnya sudah terjadi sewa
menyewa sekian lama. Dalam hal ini yang terjadi dalam talak adalah tidak
diteruskannya perjanjian sewa menyewa. Maka apabila terjadi kasus
dimana sepasang suami istri berpisah dengan cara fasakh dalam
perkawinan mereka, secara hukum seolah-olah mereka belum pernah
menikah sebelumnya77
.
Jadi kedua putusan tersebut mempunyai perkara yang sama yakni
seorang isteri yang mengajukan gugatan ke Pengadilan karena suaminya
telah pergi meninggalkannya selama bertahun-tahun dan tanpa ada
kejelasan kabar darinya. Memang berbeda putusan yang dijatuhkan akan
tetapi majelis hakim dari kedua Pengadilan Agama yang berbeda ini pun
memiliki dalil masing-masing dengan segala pertimbangannya. Yang
membedakan antara talak satu bain sughra dan fasakh juga yaitu
akibatnya. Jika talak satu bain sughra yang dijatuhkan maka akibatnya hak
talak suami yaitu hanya tersisa 2 kali saja, sedangkan jika fasakh maka hak
77
www.rumahfikih.com
67
talak suami tidak berkurang atau suami masih mempunyai hak 3 kali talak
untuk isterinya. dan dalam hal ini saya lebih setuju jika dijatuhkan talak
satu bain sughra bukan di fasakh.
Dan didalam kedua putusan tersebut dalam dalil-dalilnya hanya
menggunakan hukum positif saja yakni Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pendapat para ahli fikih tidak
digunakan. Seperti halnya mayoritas para ulama berpendapat bahwa harus
menunggu minimal 4 tahun istri baru bisa menggugat, tetapi didalam
putusan Pengadilan Agama Giri Menang Penggugat baru ditinggalkan
Tergugat sekitar 3 tahun 6 bulan dan gugatannya dikabulkan oleh
Pengadilan. Karena memang pendapat para fuqoha hanya sebagai penguat,
atau akan dipakai ketika tidak ada peraturannya didalam hukum positif
yang berlaku.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai putusan
karena suami mafqud menurut hukum Islam dan hukum Positif yang
didasarkan kepada Putusan Pengadilan Agama Cibinong dan Pengadilan
Agama Giri Menang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dalam kedua putusan tersebut diketahu bahwa kedua majelis hakim
yang berbeda itu telah menjatuhkan putusan yang berbeda tetapi kedua
putusan tersebut memiliki kasus yang sama, yakni kedua suami Penggugat
tersebut telah meninggalkannya dalam kurun waktu yang lama dan tanpa
ada kabar yang jelas dari suaminya/hilang..Pengadilan Agama Cibinong
menjatuhkan talak satu bain sughra dalam putusan
No.3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn, dan Pengadilan Agama Giri Menang
memfasakh putusan No.002/Pdt.G/2009/PA.GM. Tetapi hilang disini ada 2
macam yaitu hilang yang terputus semua informasi tentangnya seperti
didalam perkara Pengadilan Agama Cibinong dan hilang yang tidak
terputus informasi tentangnya seperti putusan didalam perkara Pengadilan
Agama Giri Menang.
Dan didalam pertimbangannya juga kedua Pengadilan Agama
tersebut memakai dalil yang berbeda tetapi ada juga yang sama.
Diantara dalil yang sama yaitu keduanya sama-sama memakai dalil yang
terdapat didalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Kedua putusan tersebut pun
sama-sama diputuskan secara versteck, yakni perkara yang diputuskan
tanpa ada hadirnya Tergugat, selain itu proses pemanggilan Tergugat
perkara ghaib ini pun sama-sama melalui siaran Radio. Pengadilan Agama
69
Cibinong memanggil melalui Radio Teman 93 FM Tegar Beriman, dan
Pengadilan Agama Giri Menang melalui RRI Regional I Mataram.
Adapun Pertimbangan hukum lainnya yang dipakai oleh Pengadilan
Agama Cibinong adalah Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1975 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 jo. Pasal
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yaitu perceraian dapat terjadi karena
adanya pertengakaran terus menerus yang terjadi antara suami dan isteri
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Juga
berdasarkan satu kaidah fikih yang artinya menolak kemudharatan harus
didahulukan daripada menarik kemanfaatan, karena jelas jika seorang
suami meninggalkan isterinya begitu saja tanpa ada kabar yang pasti dari
suaminya jelas akan banyak kemudharatan yang timbul kepada isterinya,
maka dari itu kemudharatan seperti ini harus dihilangkan dengan cara
mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Dan pertimbangan
hukum yang digunakan juga dengan ketentuan pasal 119 ayat (2) huruf c
Kompilasi Hukum Islam,
Sedangkan Pertimbangan hukum lainnya yang dipakai oleh
Pengadilan Agama Giri Menang selain Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
yaitu dalil yang terdapat didalam Pasal 80 angka 2 dan angka 4 huruf a
Kompilasi Hukum Islam, yakni intinya suami tidak dapat melaksanakan
kewajibannya seperti memberi nafkah, kiswah, dan lain sebagainya. Pasal
19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf
b Kompilasi Hukum Islam, yakni Perceraian dapat terjadi karena salah satu
pihak meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Kedua Pengadilan Agama tersebut memutuskan perkara perceraian
ini pun sudah berdasarkan prosedur yang berlaku dan Pertimbangan hukum
yang sesuai dengan Undang-Undang. Hanya saja akibat yang dapat
70
ditumbulkan dari kedua putusan tersebut akan berbeda karena putusan yang
dijatuhkan itu berbeda. Akibat dari jatuhnya talak satu bain sughra maka
nantinya hak talak suami berkurang jadi tinggal 2, dan jika ingin rujuk
kembali harus dengan akad yang baru. Sedangkan akibat dari pernikahan
yang fasakh maka itu sama saja diantara keduanya seperti belum pernah
menikah sama sekali atau tidak berkurang hak talak suami jika ia ingin
kembali lagi, namun harus dengan muhalil terlebih dahulu.
Dan penulis dalam hal ini lebih setuju jika dijatuhkan talak satu
kepada suami yang hilang/ghaib, karena suami tersebut sudah menyakiti
lahir batin isteri dan keluarganya. Jadi sepertinya jika difasakh itu sama
saja seperti diantara keduanya belum terjadi pernikahan, padahal tidak
seperti itu keadaannya.
B. Saran
Saran penulis untuk meminimalisirkan perceraian pada kasus suami
gahib ini khususnya yaitu,
1. sebaiknya suami isteri dalam berumah tangga masing-masing harus
mengetahui hak dan kewajibannya terlebih dahulu sebagai seorang
suami/isteri sebelum menikah diantaranya dengan membaca buku
seputar perkawinan.
2. Sebaiknya disekolah tingkat Tsanawiyah atau Aliyah terdapat pelajaran
seputar fikih munakahat, agar mereka nantinya tidak terlalu awam
mengenai pernikahan, jika ingin menikah setelah lulus dari sekolahnya
3. Hendaknya para Ustad/ustadzah di seriap daerah itu berperan aktif
dikehidupan masyarakat dalam membina atau membimbing dalam segi
hal agama agar menghindari adanya suami mafqud dalam suatu
pernikahan melalui dakwah/siraman rohani
4. Hendaknya juga para keluarga terdekat jika memang mulai melihat
rumah tangga saudara, anak, adik, kakak atau lainnya, sudah mulai
tidak harmonis lagi, sebaiknya dibantu dengan cara menasihati satu
71
sama lain agar tidak saling menyakiti lahir dan batin antara keduanya
sebisa mungkin, jika memang nanti keduanya tetap ingin bercerai maka
akan bercerai dengan baik tidak dengan cara ghaib seperti kedua
perkara diatas.
72
Daftar Pustaka
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Juz 9. Damaskus:
Dar Al-Fikr, 2007
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Juz 7. Damaskus:
Dar Al-Fikr, 2007
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo,
Jakarta 1995
Nasution, Hotnidah, Relasi Suami Isteru Dalam Islam, Pusat Study Wanita,
Jakarta 2004
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
2015
Mulyono, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ind-Hill-Co, Jakarta
1990
Rusdiana, Kama, dan Aripin, Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, UIN
Jakarta Pers, Jakarta 2007
Thalib, Moh, Fikih Sunnah 8, PT. AL-Ma‟arif, Bandung, 1987
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid II, Daarul Fath, 1999
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Rajawali Press, Jakarta 2001
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Prenada Media Group,
Jakarta 2016
73
Ahmadi, Fahmi, Muhammad, dan, Aripin Jaenal, Metode Penelitian Hukum,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010
Arfa, Ananda, Faisar, dan, Marpaung Watni, Metode Penelitian Islam,
Prenada Media Group, Jakarta, 2016
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara
Peterjemah, Jakarta, 1973
Syarifuddin Amir, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2005
Ismuha, Terjemah Perbandingan Mahab dalam Fikih, Bulan Bintang,
Jakarta
Syaltouth, Syaikh, Mahmoud, as-Sayis, Syaikh, M. Ali, Perbandingan
Mazhab dalam Masalah Fikih, PT. Bulan Bintang, Jakarta 1973
Shiddiq, Rasyad, Abdul, Terjemah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashiid, Akbar Media, Jakarta, 2013
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashiid Juz II, Kariyat
Putra, Semarang, 595 M
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung,
Jakarta, 1981
Syaifuddin, Muhammad, dan kawan kawan, Hukum Perceraian, Sinar
Grafika, Jakarta
Ghazaly, Abdul, Rahman, Fiqih Munakahat, Pernada Media, Bogor, 2003
Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Nikah, CV. Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta 1989
Tihami, dan, Sahrani Sohari, Fikih Munakahat, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
74
Anshori, Gahfur, Abdul, Hukum Perkawinan Islam (Perpektif Fikih dan
Hukum Positif), UII Pers, Yogyakarta, 2011
Makarou, Moh, Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rinerka
Cipta, Jakarta, 2004
Nuruddin, Amiur, dan, Tarigan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islamm di
Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU.
No. 1/1974 sampai KHI),
Goffar, Abdul, Fiqih Wanita (Edisi Indonesia), Cet.24 Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta 2007
Sembiring, Rosnidar, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam
Perkawinan, Jakarta, 2016,
Hasibuan, Yusuf, Fauzie, Hukum Acara Perdata, Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, Jakarta, 2006
Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata (Hukum Acara Perdata (Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pemblokiran, dan Putusan
Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2013
Inayah, Iin, Skripsi tentang Perceraian dalam Putusan Verstek menurut
Hukum Islam (Analisi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor. 0965/Pdt.G/2009/PA.JS, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2009
Munawwarah, Siti, Skripsi tentang Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada
Bapak karena Isteri Mafqud (Analisa Yurisprudensi No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
75
Fattah, Abdul, Idhab, Skripsi tentang Putusan Pengadilan Agama Kota
Tangeran dalam Perkara Cerai Talak dengan Alasan Istri Mafqud,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Wicaksono, Arief, Skripsi tentang Status Isteri Karena Suami Mafqud, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta,2008
Putusan Nomor.3144/Pdt.G/2016/PA.Cbn
Putusan Nomor.002/Pdt.G/2009/PA.GM
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/05/02/sekilas-tentang-mafqud
www.rumahfikih.com
repository.umy.ac.id
76
LAMPIRAN
Wawancara I
Narasumber : Dra. Hj. Tati Sunaengsih, S.H.MH
Jabatan : Panitera Muda Hukum
1. Apa pengertian mafqud menurut menurut Bapak/Ibu?
- Yaitu seseorang yang meninggalkan isterinya dan tidak diketahu
secara pasti kabar serta alamat tempat tinggal pastinya.
2. Faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perceraian
karena suami mafqud?
- Biasanya masalah faktor ekonomi, mungkin karena suami tidak
bekerja dan dia merasa tidak sanggup untuk menafkahi
keluarganya sehingga dia meninggalkan keluarganya begitu
saja, atau juga bisa karena dia menikah lagi dengan seseorang
lalu memilih untuk tinggal dengan isteri barunya tanpa
meninggalkan kabar yang jelas.
3. Sumber utama apa yang dipakai majelis hakim dalam
menentukan perceraian karena suami mafqud/ghaib?
- Sumber yang dipakai yaitu Undang-Undang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, Kaidah Fiqih dan Al-Qur’an
4. Ulama Fikih berpendapat ketika seorang suami dinyatakan
mafqud maka minimal istri haru menunggunya terlebih dahulu
selama 4 tahun baru setelahnya boleh menceraikan suaminya,
namun Undang-Undang mengatakan bahwa jika suami telah
meninggalkan isterinya selama dua tahun berturut-turut maka
isteri boleh menceraikan suaminya. Pendapat mana yang
Bapak/Ibu gunakan dalam menangani perkara suami mafqud?’
- Yang kami pakai dalam memutuskan perkara karena suami
mafqud/ghaib yaitu Undang-Undang, jadi walaupun suami telah
meninggalkan isteri selama 2 tahun tanpa ada kabar kejelasan
dari suaminya maka dia sudah boleh mengajukan gugatan, tidak
harus menunggu selama 4 tahun
5. Pengadilan Giri Menang memfasakh pernikahan karena suami
izin mencari pekerjaan dan meninggalkannya selama 2,5 tahun,
namun ia tak kunjung kembali dan tiba tiba dia mendapat
kabar bahwa suaminya telah tinggal dimalaysia bersama isteri
barunya, dan Pengadilan Agama Cibinong menjatuhkan talak
satu bain sughra karena suaminya telah meninggalkan isteri
selama 13 tahun berturut-turut. Apakah kedua kasus tersebut
sama? Atau berbeda, sehingga putusannya yang dijatuhkannya
berbeda?
-ya kedua kasus tersebut sama, walaupun dalam putusan pengadilan
Agama Giri Menang ada surat keterangan bahwa suami telah
tinggal di Malaysia selama 3 tahun, namun itu hanya dugaan saja
karena tidak tertulis dengan jelas dimana alamat tempat tinggalnya,
karena yang dimaksud mafqud/ghaib itu jika seseorang tidak
diketahui dimana alamatnya secara pasti.
6. Menurut Bapak/Ibu apakah yang seharusnya dijatuhkan dalam
perkara ini? Apakah fasakh atau talak satu ba’in sughra?
- Menurut saya seharusya memang dijatuhkan talak tidak difasakh
7. Apakah perceraian karena suami mafqud/ghaib banyak terjadi
di Pengadilan Agama Cibinong?
- Tidak, sangat sedikit perceraian yang disebabkan karena suami
mafqud/ghaib
8. Apakah hanya perkara perceraian karena suami mafqud saja
yang proses pemanggilannya melalui siaran radio?
- Ya hanya perceraian karena suami mafqud/ghaib saja yang
proses pemanggilannya melalui radio. Dan itu prosesnya
ditunggu selama 4 bulan jika memang tidak ada kabar juga,
maka perkara ini akan diputuskan tanpa hadirnya Tergugat.
Wawancara II
Nama : Prof. Hudzaimah Tahido Yanggo, MA
Jabatan : Guru Besar Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN
Jakarta
1. Menurut Ibu apa sebab yang menjadikan Majelis Hakim Berbeda dalam
menjatuhkan Putusannya?
- Menurut saya, Majelis Hakim yang menjatuhkan talak satu itu melihat
sesuai dengan ikrar ta’liq talak yang diucapkan ketika menikah, yang di
antara isinya yaitu jika suami selama 6 bulan tidak memberikan nafkah
lahir dan batin, meninggalkan istrinya selama dua tahun berturut-turut,
sedangkan istri tidak rela dengan itu semua, maka otomatis akan jatuh
talak satu kepada isteri. Jadi biarpun suaminya tidak hadir di
persidangan tetap jatuh talak satu kepada istri. Dalam kasus ini, suami
hilang tidak ada beritanya sudah lebih dari dua tahun, sedangkan istri
tidak rela, maka sudah jatuh talak satu. Yang satu memfasakh, saya
kira karena hal ini yang mengajukan gugatan adalah istri, ini termasuk
dalam khulu’. Sebenarnya ini bukan fasakh tetapi khulu’. Khulu’ itu
memang fasakh, didalam fikih pun terdapat ikhtilaf apakah khulu’ itu
termasuk fasakh atau talak. Jadi fasakhnya pernikahan ini adalah
karena khulu’.
2. Menurut Ibu putusan yang harus dijatuhkan dalam perkara ini fasakh/talak?
- sebenarnya fasakh nikah itu kalau suami murtad atau salah satu di
antara suami atau istri murtad, tapi ini tidak murtad hanya hilang, tetapi
seperti sighat ta’lik talak terdapat kata- kata jika meninggalkan istri
selama dua tahun berturuut-turut maka akan jatuh talak satu. jadi
seharusnya memang jatuh talak bukan fasakh, karena isteri tidak rela.
3. Ulama fikih berbeda pendapat mengenai seorang istri yang suaminya hilang
maka harus menunggu terlebih dahulu selama 4 tahun bahkan ada yang
berpendapat lebih dari itu baru ia bisa mengajukan perceraian. Sedangkan
didalam Hukum Positif baik didalam Undang-Undang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam dinyatakan jika seorang suami/istri meninggalkan
rumahnya selama dua tahun berturut-turut maka dia sudah Boleh
mengajukan perceraian kePengadilan Agama. Menurut ibu seharusnya isteri
harus menunggu berapa lama dulu sehingga ia bisa mengajukan perceraian?
- Ya kalau lama sekali tidak pulang- pulang itu namanya menganiaya
istri, karena memang terdapat ikhtilaf diantara mereka ada yang
mengatakan 2 tahun, ada juga yang mengatakan 4 tahun bahkan ada
yang lebih dari itu, maka dibuatlah Kompilasi Hukum Islam. Seorang
suami harusnya memberi nafkah istrinya. Jadi dalam memutuskan
suatu pertkara Pengadilan Agama harus merujuk kepada Undang-
Undang dan Kompilasi Hukum Islam, kecuali isteri rela.
4. Apa akibat bagi istri jika jatuh talak satu bain sughra padanya, dan apa juga
akibatnya jika pernikahannya difasakh?
- Jika fasakh itu karena dia saudara sepersusuan atau salah satu murtad,
maka sama saja seperti talak bain kubra, berarti tidak boleh menikah
lagi. Tetapi jika fasakhnya karena khulu’ maka dia sama dengan talak
satu bain sughra dan jika ingin kembali maka harus dengan akad baru
dan mahar baru
5. Apakah fasakh dan pembatalan nikah itu sama ?
- Beda, kalau fasakh akan batal secara otomatis tanpa izin dari
pengadilan/tanpa harus mengajukan perkaaranya ke Pengadilan Agama,
akan tetapi Pengadilan Agama hanya mengesahkan saja, seperti ketika
sudah menikah mereka baru tau kalau mereka adalah saudara
sepersusuan, atau salah satu diantara suami siteri tersebut murtad.
Sedangkan Pembatalan nikah maka perkaranya harus diajukan terlebih
dahulu ke Pengadilan Agama.