putusan mahkamah konstitusi nomor 13/puu-xv/2017...
TRANSCRIPT
![Page 1: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/1.jpg)
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017
TENTANG UJI MATERIL PASAL 153 AYAT (1) HURUF F
UNDANG -UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN
Skripsi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum ( S.H.)
Oleh :
FAQIH AFIF RIDLO
NIM : 11150480000052
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
i
![Page 2: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/2.jpg)
![Page 3: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/3.jpg)
![Page 4: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/4.jpg)
![Page 5: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/5.jpg)
v
ABSTRAK
Faqih Afif Ridlo, 11150480000052, “PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 TENTANG UJI MATERIL
PASAL 153 AYAT (1) HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN”. Strata Satu (S-1),
Program Studi Ilmu Hukum, Kosentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa dasar pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam mengabulakan uji materil Pasal 153 Ayat (1)
huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
dianggap bertentangan degan UUD 1945 Pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 28D
Ayat (2) dan apa aspek keadilan dan kemanfaatan terhadap pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi yang mengabulakan uji materil Pasal 153 Ayat
(1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tentang Ketenagakerjaan.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum yuridis
normatif, Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat
deskriptif analitis, dan Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (library research).
Dari penelitian ini, diketahui bahwa dikabulkannya perkawinan pekerja
dalam satu perusahaan adalah untuk menjaga hak dasar pekerja, yaitu hak
bekerja dan juga hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana
tertuang dalam Pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, hal ini
merupakan bentuk pemenuhan negara terhadap hak-hak dasar yang harus
dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia secara menyeluruh tanpa terkecuali
sebagai bentuk keadilan. Keadilan dimunculkan dari pada aturan hukum, maka
aturan hukum yang mengandung ketidakadilan harus dihapuskan, apalagi
aturan hukum yang mendiskriminasi hak-hak dasar warga negara, dan
ketimpangan ekonomi serta perbedaan posisi dan jabatan harus diatur
sedemikian rupa sehingga kemanfaatan dirasakan terutama bagi pihak yang
seringkali dirugikan, yakni pakerja yang posisinya lemah dalam perjanjian
kerja.
Kata Kunci : Putusan, Mahkamah Konstitusi, Aspek Keadilan,
Tinjauan.
Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1987 Sampai Tahun 2018
![Page 6: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/6.jpg)
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر الر بسم للاه
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berbagai macam nikmat serta karuniaNya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 13/PUU-XV/2017 TENTANG UJI MATERIL PASAL 153 AYAT
(1) HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 DITINJAU
DARI ASPEK KEADILAN”. Penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah menghantarkan kita dari
jaman kegelapan hingga jaman yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan
seperti sekarang ini.
Pencapaian ini tidak dapat diraih tanpa bantuan, dorongan serta motivasi dari
berbagai macam pihak. Maka dalam kesempatan kali ini, peneliti ingin
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Abdul Qodir, S.H., M.Hum. Pembimbing skripsi yang telah memberikan
arahan dan masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah menyediakan berbagai macam fasilitas yang memudahkan
peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
![Page 7: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/7.jpg)
vii
persatu. Hanya doa serta ucapan terima kasih yang dapat peneliti sampaikan,
semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan kalian.
Akhir kata peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberi manfaat serta
inspirasi bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 16 Oktober 2019
Faqih Afif Ridlo
![Page 8: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/8.jpg)
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.....................................................iii
LEMBARAN PERNYATAAN............................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah...................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................11
D. Metode Penelitian....................................................................12
E. Sistematika Penulisan..............................................................14
BAB II ASPEK KEADILAN
A. Kerangka Konseptual..............................................................17
B. Teori Keadilan John Rawls.....................................................23
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.......................................26
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
13/PUU-XV/2017
A. Pertimbangan Hukum..............................................................31
B. Amar Putusan..........................................................................40
BAB IV TINJAUAN ASPEK KEADILAN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017
A. Tinjauan Pertimbangan Hukum Terhadap Pengabulan Judicial
Review Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XV/2017..................................................................................41
B. Tinjauan Aspek Keadilan Terhadap Pengabulan Judicial
Review Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XV/2017..................................................................................54
BAB V PENUTUP
![Page 9: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/9.jpg)
ix
A. Kesimpulan..............................................................................63
B. Rekomendasi...........................................................................63
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................65
![Page 10: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/10.jpg)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak negara ini didirikan, bangsa Indonesia telah menyadari
bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan dasar warga negara sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 NRI
yang menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kerena setiap orang
membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi
mereka yang sudah berkeluarga, tentunya kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi bertambah, oleh karenanya pekerjaan adalah sumber
penghidupan dan hak dasar bagi setiap orang yang merupakan warga
negara maka negara sebagai institusi tertinggi berkewajiban mengayomi
setiap hak yang dimiliki warga negara, dalam hal ini adalah pemenuhan
pekerjaan untuk seluruh warga. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang
matang di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara
tersebut.1
Amanat dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 tersebut
ditindaklanjuti dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, dan sebagaimana yang tertera dalam penjalasan
umumnya adalah bahwa :
“Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
seluruhnya untuk mewujdukan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materil maupun spiritual berdasarkan
pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan dalam pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan.” (Mediya Rafeldi, 2016:1)
1Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) , h. 1
![Page 11: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/11.jpg)
2
Artinya, dunia kerja yang menyangkut tenaga kerja sangatlah penting dan
merupakan komponen dari pembangunan bangsa Indonesia.
Negara melalui pemerintah menyusun strategi berupa kebijakan
dan program kerja dalam rangka perencanaan tenaga kerja, pada tingkat
makro maupun mikro, yang tujuan oprasionalnya adalah pembangunan
tenaga kerja.2 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mejelaskan bahwa yang disebut dengan tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat. Artinya bahwa pekerja adalah orang
yang melakukan kegiatan atau aktivitas produksi yang bertujuan untuk
menghasilkan suatu prodak barang atau jasa baik untuk dirinya sendiri
atau orang lain.
Tenaga kerja adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja,
yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain
seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Secara praktis pengertian
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurut dia hanya dibedakan oleh
batas umur.3 Jadi, yang dimaksud dengan tenaga kerja, yaitu individu yang
sedang mencari atau sudah melakukan pekerjaan yang menghasilkan
barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia
yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yang bertujuan untuk
memperoleh hasil atau upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Kehidupan manusia sangatlah dinamis dan banyak perubahan
yang sangat cepat dalam setiap sudut kehidupan, tidak dapat dipungkiri
lagi terdapat berbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan
2 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan , (Jakarta : Pt Rajagrafindo
Persada, 2014), h. 28
3 Payaman Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, dikutip dalam
Sendjun H Manululang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka
Citra, 1998), h. 3
![Page 12: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/12.jpg)
3
pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Salah satunya adalah larangan
suami-istri bekerja pada perusahaan yang sama atau yang dalam istilah
hukum ketenagakerjaan disebut dengan ikatan perkawinan dengan pekerja
lainnya dalam suatu perusahaan. Ini bukanlah fenomena baru, awalnya hal
ini dianggap lazim sampai pada akhirnya masalah ini baru muncul
kepermukaan ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 153
Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan
bertentangan dengan UUD 1945.4
Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa :
“pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama.” (Mediya Rafeldi,
2016:56)
Peraturan tersebut artinya memberikan ruang kepada para
pengusaha untuk membuat perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama yang isinya memuat larangan bagi pasangan
suami-istri untuk bekerja pada perusahaan yang sama.
Hubungan diantara pekerja dan pengusaha diikat dalam perjanjian
kerja atau perjanjian kerja bersama, dimana hal ini diatur dalam buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian yang besifat
terbuka, artinya kedua pihak yang saling berjanji bebas untuk membuat
suatu perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
kesusilaan. Pasal 1601 a, Bab 7a, mejelaskan bahwa perjanjian kerja
adalah persetujuan dimana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya
4 Abdul Hadi, “Fenomena Menikah Dengan Teman Sekantor Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Uji Materi Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan”, Surya Kencana Dua, Vol. 5 Nomor 1 Juli 2018, h. 352
![Page 13: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/13.jpg)
4
untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan, untuk sesuatu waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan merima upah.5
Perjanjian kerja menurut Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara
pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Selain itu ada perjanjian kerja
bersama, menurut Pasal 1 Angka (21) perjanjian kerja bersama merupakan
hasil perundingan anatara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat
pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Di sisi lain pengusaha juga membuat
peraturan perusahaan secara tertulis yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib perusahaan.
Pada dasarnya, perjanjain kerja, sama dengan perjanjian pada
umumnya, artinya perjanjian kerja pun harus memenuhi syarat-syarat sah
perjanjian sebagaimana yang dituangkan di didalam Pasal 1320 KUHPer,
yaitu :
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. hal tertentu;
4. dan sebab yang halal.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan
pasal yang sangat populer karena menerangkan tentang syarat yang harus
dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai
pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun
syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa
5 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan ,… h. 22
![Page 14: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/14.jpg)
5
disebut syarat objektif.6 Adapun dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak,
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya
pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perusahaan biasanya memiliki kebijakan perusahaan tersendiri
mengenai masalah pasangan suami-istri dalam perusahaan yang sama.
Kebijakan perusahaan tersebut biasanya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kondisi ini
menyebabkan ada perusahaan yang memperbolehkan pasangan suami istri
bekerja pada perusahaan yang sama, ada pula yang melarang atau
memperbolehkan dengan catatan tidak dalam satu unit atau divisi.7
perusahaan melarang adanya suami istri bekerja pada perusahaan yang
sama dilandasi dengan alasan, yaitu mejaga profesionalitas dari pekerja,
apalagi jika pasangan suami-istri tersebut membawa konflik rumah
tangga kedalam kantor, tentunya ini sangat mengganggu kinerja mereka
dan kondisi kantor dalam perusahaan tersebut menjadi tidak kondusif.
Adapun pertimbangan pemberlakuan aturan tersebut menurut Sri Muliati
Abdullah antara lain :8
1. Mewujudkan pemerataan pendapatan di masyarakat. Aturan tersebut
diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas bagi keluarga-
keluarga lainnya, sehingga kesejahteraan tidak hanya terpusat pada
keluarga-keluarga tertentu saja.
6 Ahmadi Miru dan Saka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW , (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h.32
7 Mardiyantoso Eddy Tarman, “Romantika Pasangan Suami Istri Sekantor”, Auditoria
Vol. V No. 22 Edisi Januari-Februari 2011, h. 18
8 Careernews, Pasutri Dilarang Sekantor, http://careernews.id/issues/view/2240-
pasutridilarang- sekantor, diakses Tanggal 9 Oktober 2018 Pukul 14.10 WIB
![Page 15: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/15.jpg)
6
2. Menghindari konflik pribadi. Apabila pasangan suami istri bekerja di
satu perusahaan yang sama, maka ada kekhawatiran urusan rumah
tangga bisa terbawa ke kantor, begitupun sebaliknya. Hal semacam itu
bisa berpengaruh pada kinerja pasangan tersebut di perusahaan.
3. Menghindari unsur subyektivitas dalam penerapan aturan di kantor.
Apabila pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang sama, maka
dikhawatirkan pemberian reward dan punishment tidak akan
maksimal. Hal ini dimungkinkan terjadi apabila salah satu dari
pasangan tersebut memiliki jabatan yang lebih tinggi dan memiliki
kewenangan untuk memberikan reward dan menjatuhkan punishment.
4. Menghindari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ada risiko terciptanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme apabila ada hubungan kekeluargaan di
dalam suatu kantor yang dilandasi motif memperkaya keluarga.
Berbicara mengenai hak pekerja/buruh berarti kita membicarakan
hak-hak asasi, maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang
melekat pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan
jika hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja itu akan menjadi turun
harkat dan derajatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang bukan asasi
berupa hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang sifatnya non asasi.9 Artinya, pekerja memiliki hak-hak
asasi sebagai manusia, seperti hak untuk hidup, hak bekerja, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan dan lain sebagainya yang memang
dimiliki oleh setiap manusia baik pekerja maupun bukan pekerja. Selain
itu, pekerja memiliki haknya sebagai pekerja, yaitu hak yang hanya
dimiliki oleh pekerja, seperti hak menjadi anggota serikat tenaga kerja, hak
atas jaminan sosial dan k3 (keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan
kerja), hak menerima upah yang layak dan lain sebagainya. Semua hak
tersebut telah dijamin di dalam peraturan perundang-undangan dan harus
dipenuhi serta dilindungi di dunia kerja. Negara sebagai organisasi
9 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan,... h. 15
![Page 16: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/16.jpg)
7
tertinggi berperan dalam mengatur setiap hal yang berkaitan dengan warga
negaranya, termasuk dalam hal hak asasi manusia yang dimiliki setiap
warga negara, maka negara atau organisasi wajib mengakui dan
melindungi hak asasi manusia tiap manusia, tanpa terkecuali.10
UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja. Pasal 28D Ayat (2) UUD Tahun 1945 menjelaskan bahwa setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945
menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Artinya Pasal 153
Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan tersebut sangatlah bertentangan dengan UUD 1945
karena sangat membatasi hak-hak pekerjanya, hal tersebut membuat para
pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya mengajukan
permohonan mengenai peraturan tersebut, karena apabila kedua pihak
yang bekerja dalam satu perusahaan tidak dapat atau batal melaksanakan
perkawinan maka ini sangat merugikan kedua belah pihak apalagi jika
dihadapkan dengan ketentuan salah satu pihak harus mengundurkan diri
dari perusahaan dan bahkan perusahaan akan memutus hubungan kerja
berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang ada di perusahaan, maka itu sangatlah merugikan para pihak
karena harus membatalakan perkawinan atau kehilangan pekerjaan demi
melaksanakan perkawinan, untuk itu beberapa pihak yang merasa
dirugikan akhirnya mencoba mengajukan permohonan uji materil Pasal
153 Ayat (1) huruf f ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap
bertentangan dengan UUD dan diputuskan pada Putusan Nomor 13/PUU-
XV/ 2017 dengan amar putusan yang berbunyi “mengabulkan permohonan
para pemohon untuk seluruhnya” dan menyatakan “Pasal 153 Ayat (1)
10
B. Arif Sidharta, “Konsepsi Hak Asasi Manuisa”, (Nomor 4 Bulan Oktober Tahun XX
Jurnal Hukum Pro Justitia, 2002 ), h.13
![Page 17: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/17.jpg)
8
huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Dengan diputusnya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tersebut maka
frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah dihapus dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal 153 Ayat (1) Huruf f, di sisi lain memiliki alasan
keberlakuan, seperti kekhawtairan yang disebutkan di atas dan itu semua
demi kemaslahatan dan keberlangsungan perusahaan itu sendiri yang
semata-mata untuk menjaga produktifitas perusahaan, karena memang
produktifitas perusahaan akan menunjang pertumbuhan perekonomian di
negara ini. Pasal 28 J UUD 1945 pun menghendaki pembatasan terhadap
hak asasi manusia, dan ditambah bahwa di dalam hukum perjanjian
menganut suatu asas yang disebut pacta sunt servanda dimana perjanjian
yang dibuat itu haruslah ditaati oleh kedua belah pihak karena perjanjian
mengikat seperti undang-undang bagi para pihak tersebut.
Peneliti berpendapat bahwa ada dua hal yang saling bertentangan
antara pro dan kontra terkait hubungan perkawinan antara rekan kerja,
yaitu demi kemaslahatan dan keberlangsungan perusahaan juga kinerja
para pekerja dan di sisi lain bahwa hak untuk bekerja serta melanjutkan
keturunan atau perkawinan adalah hak setiap orang, dan jodoh pun tidak
bisa detentukan dimana akan menemukannya, maka ini haruslah diteliti
untuk menemukan jawaban apakah dengan dibolehkannya perkawinan
antara rekan kerja memang membawa keadilan yang pasti, karena melihat
bahwa larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan ditujukan
untuk kemaslahatan perusahaan dan di sisi lain bahwa keberlakuan Pasal
153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai
sumber larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan pun didasari
oleh adanya alasan-alasan, singkatnya peneliti ingin meninjau dengan
![Page 18: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/18.jpg)
9
dasar teori keadilan John Rawls untuk dijadikan dasar dalam meninjau
aspek keadilan dalam putusan tersebut yang diputuskan atas dasar nilai
keadilan. Sehingga peneliti dalam penelitian ini, meneliti dalam bentuk
analisis dengan menggunakan judul “Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XV/2017 Tentang Uji Materil Pasal 153 Ayat 1 Huruf
F Ditinjau Dari Aspek Keadilan ”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sebagaimana pemaparan latar belakang penelitian di atas, ada
beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu :
a. Adanya perjanjian antara pihak pengusaha dan pihak pekerja yang
membatasi hak-hak pekerja dan merugikan pekerja.
b. Adanya kebijakan perusahaan terkait PHK yang dilegalkan
Undang-Undang terhadap pekerja yang memiliki ikatan
perkawinan.
c. Adanya larangan pekerja melakukan perkawinan antara rekan kerja
dalam satu kantor.
d. Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang melegalkan perusahaan untuk
mem-PHK pekerja yang memiliki ikatan perkawinan dan
merugikan hak-hak pekerja.
e. Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan degan UUD
NRI 1945 Pasal 28B Ayat (1) dan pasal 28D Ayat (2).
f. Adanya alasan pemberlakuan Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
g. Adanya ketentuan di dalam Pasal 28J UUD 1945 terkait kebolehan
pembatasan terhadap hak asasi manusia.
h. Adanya suatu asas di dalam hukum perjanjian, yaitu Pacta Sunt
Servanda yang mana pekerja harus menaati apa yang disepakati
bersama pengusaha.
![Page 19: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/19.jpg)
10
i. Adanya permohonan ke Mahkamah Konstitusi terkait uji materil
Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
j. Dikabulkannya uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
2. Pembatasan Masalah
Peneliti untuk lebih memudahkan penelitian ini dalam membahas
permasalahan secara spesifik, jelas dan lugas, maka peneliti membatasi
masalah hanya pada adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait
uji materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang yang peneliti paparkan dan
identifikasi masalah di atas dan untuk mempermudah peneliti dalam
penelitian ini, maka peneliti merumuskan masalah pokok, yaitu:
Mengapa adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 153
Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Selanjutnya peneliti membuat beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
a. Apa dasar pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
mengabulkan uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
dianggap bertentangan degan UUD NRI 1945 Pasal 28B Ayat (1)
dan Pasal 28D Ayat (2) ?
b. Apa tinjauan aspek keadilan dan kemanfaatan menurut teori
keadilan John Rawls terhadap pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang dianggap bertentangan degan UUD NRI 1945 Pasal 28B Ayat
(1) dan Pasal 28D Ayat (2)?
![Page 20: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/20.jpg)
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak peneliti capai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
mengabulkan uji materil Pasal 153 angka (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
dianggap bertentangan degan UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) dan
pasal 28D ayat (2).
b. Untuk mengetahui aspek keadilan terhadap pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materil Pasal 153
angka (1) huruf f Undang-Undang Nomot 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan degan
UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) dan pasal 28D ayat (2).
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini
dapat memberikan manfaat, antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang
lebih luas di bidang ketenagakerjaan umunya dan dapat
memperdalam perihal perjanjian di bidang ketenagakerjaan
khususnya, yaitu perjanjian antara pihak perusahaan dan pihak
pekerja yang memperhatikan hak-hak pekerja .
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dunia ketenagakerjaan di Indonesia akan lebih
maju lagi, yaitu lebih memperhatikan hak-hak pekerja sebagai
pihak yang sering dirugikan dalam hubungan industrial, dan juga
untuk menghimbau perusahaan-perusahaan agar memperhatikan
hak-hak pekerjanya seta pemerintah untuk lebih memperhatikan
segala aspek khususnya aspek keadilan dan kemanfaatan dalam
membuat suatu Undang-Undang.
![Page 21: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/21.jpg)
12
D. Metode Penelitian
Dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian adalah hal yang sangat
penting, yang mana ditujukan untuk memahami dan menjawab
permasalahan yang diteliti. Untuk itu peneliti dalam hal ini akan
menjabarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Pendekatan Penelitian
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
hukum yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya dan juga pendekatan kasus Case Aprroach, yaitu
pendekatan penelitian hukum dengan meneliti alasan-alasan yang
digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.11
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian
dengan mengumpulkan dan merekap data yang bukan dicatat dalam
bentuk angka namun memberikan penjelasan secara jelas dan
sedalam-dalamnya.12
c. Data Penelitian
Data adalah bahan keterangan tentang suatu obyek penelitian yang
diperoleh dalam penelitian. Data utama yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XV/2017. Adapun penjabaran sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
11
. Peter Mahmud Marzuki,, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2011 ), h.158
12
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1992), h. 10
![Page 22: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/22.jpg)
13
hukum perimer terdiri perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.13
Adapun bahan primer dalam penelitian ini
adalah : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang tidak
mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau
menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.14
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dan lain-lain sepanjang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian .15
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Studi
kepustakaan ialah suatu metode yang berupa pengumpulan bahan-
bahan hukum, yang diperoleh dari buku pustaka atau bacaan lain yang
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181
14
. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 185
![Page 23: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/23.jpg)
14
memiliki hubungan dengan pokok permasalahan, kerangka, dan ruang
lingkup permasalahan. Dalam penelitian ini penulis mencari dan
mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan
perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum, skripsi,
makalah-makalah, surat kabar, artikel, majalah atau jurnal-jurnal
hukum, maupun pendapat para sarjana yang mempunyai relevansi
dengan judul penelitian yang dapat menunjang penyelesaian penelitian
ini.
e. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, maka pengelolaan
data yang digunakan dalam peneletian ini adalah dengan memilah dan
memilih data dari hasil studi kepustakaan sesuai kebutuhan atau porsi
yang diperlukan untuk disajikan dalam bentuk narasi yang akan
dijadikan jawaban antas rumusan masalah yang dicantumkan oleh
peneliti. Sedangkan dalam hal peneliti menganalisa data, peneliti
menganalisa potongan-potongan teks yang dikumpulkan sebagai data
dengan memahami dan menafsirkannya sesuai kebutuhan untuk
disajikan secara naratif dalam skripsi kualitatif ini.
f. Metode Penulisan
Dalam Penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika pembahasan yang dipaparkan oleh peneliti di sini,
ditujukan untuk mempermudah dalam membahas masalah-masalah dalam
penelitian ini, supaya pembahasan permasalahan menjadi sistematis dan
efektif. Berikut adalah susunan pembahasan dalam penelitian ini :
BAB I : PENDAHULUAN
![Page 24: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/24.jpg)
15
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan
masalah, tinjauan kajian terdahulu sebagai perbandingan
dengan skripsi yang akan diteliti, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan rancangan sistematika
penelitian.
BAB II : ASPEK KEADILAN
Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan kerangka
konseptual penelitian dan juga kerangka teori yang
dijadikan landasan dalam penenelitian ini, yaitu teori
keadilan John Rawls.
BAB III : PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 13/PUU-XV/2017
Dalam bab ini akan menguraikan data yang ditemukan
peneliti, terutama bagaimana pertimbangan hukum yang
digunakan hakim dalam memutuskan permohonan judicial
review dan amar putusan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut.
.
BAB IV : TINJAUAN ASPEK KEADILAN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-
XV/2017
Dalam bab ini penulis akan mengkaji aspek keadilan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
dilandaskan dengan keadilan menurut teori John Rawls.
BAB V : PENUTUP
![Page 25: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/25.jpg)
16
Bab ini berisikan kesimpulan dari semua yang telah dibahas
sebelumnya oleh peneliti dan rekomendasi yang berguna
bagi peneliti-peneliti setelahnya dalam meneliti kasus
hukum, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan.
![Page 26: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/26.jpg)
17
BAB II
ASPEK KEADILAN
A. Kerangka Konseptual
1. Pokok-pokok Keadilan John Rawls
Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan bahwa Teori
keadilan Rawls berangkat dari keyakinan yang dituangkannya dalam
proposisi panjang yang pokok-pokonya adalah :
a. Keadilan merupakan kebijakan utama institusi sosial, seperti
kebenaran pada sistem berpikir seseorang. Hukum atau
institusi-institusi betapapun bagus dan efisiensinya apabila
tidak adil haruslah diperbaiki atau dihapus. Benar dan adil
adalah hal yang tidak dapat dikompromikan.
b. Setiap orang memiliki hak yang tertanam pada prinsip keadilan
yang tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama kepentingan
umum. Keadilan tidak membenarkan dikorbankannya
kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi
kepentingan orang lain.
c. Dalam masyarakat berkeadilan, kemerdekaan dengan
sendirinya terjamin; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak
bisa dijadikan mangsa tawar-menawar politik atau hitungan-
hitungan kepentingan umum.
d. Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk
menghindarkan ketidakadilan lebih besar.1
2. Unsur-unsur Pokok Keadilan John Rawls
Bur Rasuanto membuat kesimpulan terkait keadilan
menurut John Rawls, bahwa unsur-unsur pokok keadilan Rawls
adalah :
a. Prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan;
1 John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:
Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern,… h. 40
![Page 27: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/27.jpg)
18
b. Kesamaan dalam distribusi;
c. Nikmat-nikmat primer;
d. Ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh dapat menguntungkan
semua pihak.
Nikmat-nikmat primer merupakan suatu pengertian umum
mengenai apa-apa yang menjadi kebutuhan dan dikejar setiap
orang untuk hidup sebagai manusia normal. Tentu apa yang
dikejar dan apa yang didapat masing-masing orang tidaklah sama,
tergantung kemampuan, kesempatan, dan juga selera atau nilai
yang dianut. Teori keadilan Rawls, tidak secara langsung
menghapuskan ketidaksamaan antara manusia satu dengan lainnya
melainkan hendak memastikan bahwa semua manusia berhak
mendapatkan hak dan kesempatan yang sama.
3. Gagasan Konsep Keadilan John Rawls
Pan Mohammad Faiz menjelaskan bahwa Secara spesifik,
Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan
dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal
dengan “posisi asali” dan “selubung ketidak tahuan”. Rawls
berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara
antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak
yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan,
kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang
tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara
seimbang. Kondisi demikianlah yang disebut Rawls sebagai “posisi
asali”. Posisi asali ini dapat dikatakan merupakan status quo awal
yang pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai di
dalamnya adalah fair. Hal ini menjelaskan kepatutan istilah
![Page 28: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/28.jpg)
19
“keadilan sebagai fairness.2 Mengasumsikan bahwa posisi asali
menentukan seperangkat prinsip, maka benar bahwa kapanpun
lembaga-lembaga sosial memasukkan prinsip-perinsip tersebut
mereka yang terlibat bisa saling mengatakan bahwa mereka
berkerja sama dalam kerangka yang akan mereka sepakati jika
mereka bebas dan setara dan hubungannya satu sama lain adalah
fair.3
Sementara itu konsep “selubung ketidaktahuan”
diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,
termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga
membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan
yang tengah berkembang. Melalui dua konsep tersebut, Rawls
mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip
kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut
teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.4
4. Prinsip Keadilan John Rawls
Selain itu Rawls juga mengemukakan dua prinsip utama
dalam keadilan, yang pertama adalah setiap orang mempunyai hak
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang, yang kedua adalah ketimpangan
sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa, sehingga (a)
dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan (b)
semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.5 Melalui jalan
2 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.14
3 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.14
4 John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Pan Mohammad Faiz, “Teori Keadilan
John Rawls”, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2009, h. 140
5 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.72
![Page 29: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/29.jpg)
20
komentar umum, prinsip-prinsip tersebut terutama menerapkan
struktur dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak
dan kewajiban dan mengatur distribusi keuntungan sosial dan
ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan rumusan mereka, prinsip-prinsip
tersebut menganggap bahwa struktur sosial dapat dibagi menjadi
dua bagian utama, prinsip yang pertama diterapkan yang satu, dan
yang kedua pada yang lain. Mereka membagi antara aspek-aspek
sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan
warganegara dan aspek-aspek yang menunjukan dan mengukuhkan
ketimpangan sosial-ekonomi.6 Menempatkan prinsip kebebasan
setara di atas prinsip yang mengatur ketimpangan sosial dan
ekonomi. Hal ini berarti struktur dasar masyarakat adalah menata
ketimpangan kekayaan dan otoritas dengan cara-cara yang sejalan
dengan kebebasan setara yang diharuskan oleh prinsip
sebelumnya7
Kebebasan dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara
yang telah dijamin pemenuhan dan pemberlakuannya diharuskan
setara oleh prinsip pertama, karena suatu masyarakat yang adil
mempunyai hak-hak dasar yang sama.8 Prinsip kedua berkenaan
dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta desain organisasi
yang menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggungjawab,
atau rantai komando. Sementara distribusi kekayaan dan
pendapatan tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua orang,
dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan
6 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.73
7 John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 48
8 John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 73
![Page 30: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/30.jpg)
21
komando harus bisa diakses oleh semua orang. Masyarakat yang
menerapkan prinsip kedua dengan membuat posisi-posisinya
terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini,
akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian hingga
semua orang diuntungkan.9
Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip
pertama mendahului prinsip kedua. Ini merupakan tatanan yang
membutuhkan kita untuk memenuhi prinsip pertama dalam
penataan sebelum kita bisa beranjak ke yang kedua, yang kedua
sebelum kita memepertimbangkan yang ketiga, dan seterusnya.
Suatu prinsip tidak bisa berjalan hingga prinsip-prinsip sebelumnya
bisa sepenuhnya dipenuhi atau tidak diterapkan, prinsip-prinsip
yang lebih awal dalam tata urutan mempunyai bobot mutlak, dan
tanpa terkecuali. 10
Urutan ini mengandung arti bahwa pemisahan dari
lembaga-lembaga kebebasan setara yang diperlukan prinsip
pertama tidak bisa dijustifikasi oleh, atau digantikan dengan,
keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi
kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus sejalan
dengan kebebasan warga negara dan kesamaan kesempatan. 11
sekarang harus dicermati bahwa dua prinsip tersebut (dalam hal ini
berlaku bagi semua rumusan) adalah kasus khusus tentang
konsepsi keadilan yang lebih umum yang bisa dijelaskan sebagai
berikut :
9 John Rawls, Teori Keadilan,... h.73
10
John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 47
11
John Rawls, Teori Keadilan, ... h.74
![Page 31: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/31.jpg)
22
Semua nilai sosial-kebiasaan dan kesempatan, pendapatan
dan kekayaan, dan basis-basis harga diri- didistribusikan
secara sama kecuali jika distribusi yang tidak sama dari
sebagian, atau semua, nilai tersebut demi keuntungan
semua orang. 12
5. Prinsip Fairness untuk individu
Rawls berusaha menggunakan prinsip ini untuk menilai
semua kebutuhan yang merupakan kewajiban yang dibedakan dari
tugas alamiah. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang diwajibkan
melakukan perannya sebagaimana yang ditentukan oleh institusi
ketika dua kondisi terpenuhi:
e. Pertama, institusinya adil (atau fair) yakni memenuhi dua
prinsip keadilan;
f. Kedua, oarng secara sukarela mnerima keuntungan dari tatanan
atau mendapat keuntungan dari peluang yang ditawarkannya
demi mengejar kepentingannya.13
Gagasan ini utamanya adalah bahwa ketika sejumlah orang
terlibat dalam kerjasama yang saling menguntungkan sesuai
dengan aturan, lantas membatasi kebebasan mereka agar
memberikan keuntungan untuk semua orang, mereka yang patuh
pada batasan tersebut punya hak mendapat kepatuhan serupa dari
orang-orang yang mendapat keuntungan dari kedudukan mereka.
Kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari kerja kooperatif orang
lain tanpa melakukan peranan kita. Dua prinsip keadilan
menentukan bagian yang fair dalam kasus institusi yang dimiliki
12
John Rawls, Teori Keadilan, ... h.74 13
John Rawls, Teori Keadilan, ... h.133-134
![Page 32: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/32.jpg)
23
struktur dasar. Jadi jika tatanan ini adil, setiap orang menerima
bagian yang fair ketika semua melakukan bagian peranannya.14
Kebutuhan yang didefinisikan oleh prisnip fainess adalah
kewajiban. Semua kewajiban muncul dengan cara ini. Namun
penting untuk dicatat bahwa prinsip fairness punya dua bagian,
pertama yang menyatakan bahwa institusi-institusi atau praktik-praktik
harus adil, yang kedua adalah bagian yang menggolongkan tindakan
sukarela yang dibutuhkan. 15
B. Teori Keadilan John Rawls
Kerangka atau landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat
dibutuhkan sebagai landasan untuk dapat menganalisa, mengkaji, dan
menyimpulkan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini. Dibawah ini
peneliti memaparkan landasan teori yang dipilih peneliti sebagai alat untuk
mencari jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.
John Rawls, atau nama lengkapnya John Borden Rawls,
dilahirkan pada tahun 1921 dari sebuah keluarga kaya di Baltimore,
Maryland.16
John Rawls boleh disebut sebagai salah satu dari filusuf
politik yang paling penting dalam abad ini. Keadilan menurut John Rawls
adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran
dalam sistem pemikiran.17
Suatu teori, betapapaun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga
hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efesien dan rapihnya, harus
direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki
kehormatan yang bersandar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat
14
John Rawls, Teori Keadilan, ... h.134 15
John Rawls , Teori Keadilan, ... h.134
16
Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPI’s, Vol. 9, No.
2, Juli-Desember 2013, h.3
17
John Rawls, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2011), h.3
![Page 33: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/33.jpg)
24
sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak
jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal
yang lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan
pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh
sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu,
dalam masyarakat yang adil kebebasan warganegara dianggap mapan;
hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar
politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang
mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak
adanya teori yang lebih baik; secara analogis ketidakadilan bisa dibiarkan
hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai
kebijakan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa
diganggu gugat.18
Institusi sosial adalah himpunan kaidah –kaidah dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat, yang dimaksud dengan kebutuhan pokok di dalam kehidupan
manusia itu seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan pencarian
hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk menyatakan rasa
keindahan, kebutuhan jasmaniah diri, manusia, dan lain sebagainya.19
Jadi,
institusi itu pada hakikatnya merupakan alat perlengkapan masyarakat
untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat
dipenuhi secara seksama. Keseksamaan di sini pada pokoknya
mengandung makna keteraturan. Di samping itu, keadilan merupakan
salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui di
semua tempat di dunia ini. Keadilan dikukuhkan ke dalam institusi yang
namanya hukum, maka, institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi
saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam
18
John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 4
19
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016) h.
77-78
![Page 34: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/34.jpg)
25
masyarakat.20
Sejatinya, selain hukum sebagai institusi sendiri, hukum pun
merasuki ke setiap institusi-institusi sosial, seperti instiusi perkawinan,
pendidikan, ketenagakerjaan atau industial, semua itu diatur oleh hukum.
Artinya hukum sebagai sumber keadilan harus mendatangkan keadilan di
setiap institusi-institusi sosial yang ada.
Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan terkait keadilan
sosial bahwa John Rawls memperjuangkan kesamaan hak yang dimiliki
satu orang dengan yang lainnya, dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan
Rawls memberikan sumbangan pemikiran supaya hubungan antara
pengusaha dengan karyawannya bisa berjalan dengan baik. Tidak ada yang
merasa dirugikan, karena dua unsur ini adalah hal yang harus ada dan
saling membutuhkan dalam dunia kerja, pengusaha membutuhkan
karyawan dan sebaliknya juga. Rawls menerapkan prinsip kesamaan
dalam distribusi primary goods atau nikmat-nikmat primer.21
Nikmat-
nikmat primer yang dirumuskan Rawls sebagai semua nikmat, material
dan nonmaterial, yang langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kondisi kehidupan dan masa depan seseorang. Nikmat
primer itu mencakup nikmat ekonomi, hak-hak dan kemerdekaan,
kekuasaan dan kesempatan, juga kehormatan diri.
Rawls menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan
utama yang harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi semangat dasar
dari berbagai lambaga sosial dasar suatu masyarakat. Memperlakukan
keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara
adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati
harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Harga diri dan martabat
manusia tidak bisa diukur dengan kekayaan ekonomis, sehingga harus
dimengerti jauh bahwa keadilan lebih luas melampaui status ekonomi
20
Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h. 118 21
John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:
Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: IKAPI,
2005), h. 43
![Page 35: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/35.jpg)
26
seseorang. tinggi dan luhurnya martabat manusia itu ditandai dengan
kebebasan, karena itu juga kebebasan harus mendapatkan prioritas
dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan ekonomis yang bisa dicapai
seseorang.22
Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan bahwa Teori John
Rawls berbicara mengenai keadilan sosial, yang subjek utamanya adalah
struktur dasar masyarakat. Bagi Rawls konsepsi keadilan haruslah
berperan mengenai penyediaan cara di dalam institusi-institusi sosial
utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan kewajiban, serta
menentukan pembagian hasil-hasil kerja dari kerja sama sosial.23
Masyarakat dalam memahami keadilan mungkin berbeda, akan tetapi
meskipun berbeda dalam memahami, masyarakat tetap sependapat bahwa
adil itu ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antara orang, dalam
memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan
keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling bersebrangan demi
kemanfaatan kehidupan sosial.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Disini peneliti akan menguraikan secara ringkas tentang
kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah
ketenagakerjaan khususnya terkait masalah yang akan diteliti. Berikut
adalah yang dapat ditemukan oleh peneliti sejauh yang berkenaan dengan
masalah-masalah yang akan diteliti, diantaranya adalah :
1. Skripsi
b. Skripsi Rizki Nur Ariansyah.24
Persamaan antara skripsi saya dan
skripsi Rizki Nur Ariansyah adalah sama-sama membahas tentang
22
John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan
Demokrasi, Telaah Terhadap Filsafat Politik John Rawls, ( Yogyakarta : Kanisius, 2001), h. 22-
23 23
John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:
Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern,... h. 40-41
24
Rizki Nur Ariansyah, Skripsi : Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Perluasan Makna Agama Dalam Administrasi Kependudukan, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018)
![Page 36: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/36.jpg)
27
Putusan Mahkamah Konstitusi, sedangkan perbedaannya adalah
dalam skripsi Rizki Nur Ariansyah membahas tentang implikasi
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-VIX/2016 serta
bagaimana alasan dan metode yang digunakan oleh hakim dalam
memberikan perluasan makna agama yang mana hakim dalam
putusan ini mempraktekkan beberapa metode penafsiran, yaitu
penafsiran konstekstual dan penafsiran ekstensif, di mana
penafsiran kontekstual ini digunakan karena belum adanya
definisi tentang makna kata agama dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, sehingga memberikan penafsiran
ekstensif untuk memperluas makna kata agama yang juga
termasuk penghayat kepercayaan , sedangkan dalam skripsi saya,
membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017 terkait uji materil Pasal 153 Ayat (1) Hutuf F
yang ditinjau dari aspek keadilan dan kemanfaatan yang di
dasarkan atas teori keadilan John Rawls.
c. Skripsi M. Zainul Abidin.25
Persamaan antara skripsi saya dan
skripsi M. Zainul Abidin adalah sama-sama membahas tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tentang
uji materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf F, sedangkan perbedaanya
adalah dalam penelitian ini memaparkan bahwa adanya undang-
undang ketenagakerjan yang dirasa merugikan pihak karyawan
yang terdapat kata kecuali dimana apabila seorang karyawan
hendak melakukan perkawinan dalam satu perusahaan maka salah
satu diantara mereka harus memutus hubungan kerja, dengan
adanya undang-undang yang dirasa merugikan karyawan dan
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga timbul sebuah gugatan
ke MK, dimana isi putusan tersebut memperbolehkan seseorang
25
M. Zainul Abidin, Skripsi : Putusan Hubungan Kerja Atas Alasan Ikatan Pernikahan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 Prespektif Fiqih Siyasah
Dusturiyah, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2018)
![Page 37: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/37.jpg)
28
melakukan permikahan dalam satu perusahaan tanpa harus
memutus hubungan kerja. seseorang boleh melakukan pernikahan
dalam satu perusahaan tanpa harus memutus hubungaan kerja.
Selanjutnya putusan tersebut dianalisis ke dalam siyasah
dusturiyah dibagian siyasah qodla’iyyah yang menjelaskan
tentang kehakiman serta mendukung dengan adanya isi putusan
yang dikeluarkan oleh MK karena putusan tersebut menghasilkan
kemaslahatan bagi masyarakat khususnya bagi pekerja yang
hendak melakukan pernikahan dalam satu perusahaan, sedangkan
dalam skripsi saya, membahas mengenai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 terkait uji materil P asal 153
Ayat (1) Hutuf F yang ditinjau dari aspek keadilan dan
kemanfaatan yang di dasarkan atas teori keadilan John Rawls.
2. Buku
Adrian Sutedi, S.H., M.H.26
dalam bukunya yang berjudul Hukum
perburuhan menjelaskan bahwa tenaga kerja selalu menjadi pihak
yang lemah apabila dihadapkan pada pemberi kerja yang
merupakan pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang
selalu dianggap lemah, tidak jarang para tenaga kerja selalu
mengalami ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan
perusahaan. Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk
melindungi kepentingan buruh dengan dasar filosofis bahwa
buruh selalu merupakan subordinasi dari pengusaha.
Ketidakadilan yang sering dialami buruh adalah perihal
pemutusan hubungan kerja yang menghilangkan haknya sebagai
warga negara yang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan
diperlakukan secara adil dalam dunia kerjanya, padahal buruh
memiliki hak – hak yang memang dilindungi oleh Undang-
Undang baik hak asasi maupun yang bukan asasi.
3. Jurnal
26
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)
![Page 38: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/38.jpg)
29
Jurnal ditulis oleh Wurianalya Maria Novenanty.27
Jurnal Ilmu
Hukum, Veritas et Justisia, Volume 2 Nomor 1 Juni 2016.
Persamaan antara skripsi saya dan jurnal Wurianalya Maria
Novenanty adalah sama-sama membahas tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tentang uji
materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf F, sedangkan perbedaannya
adalah Jurnal ini membahas bahwa ada beberapa perusahaan
yang membuat aturan yang mengharuskan pekerjanya
mengundurkan diri atau bahkan bersedia di-PHK apabila dia
memutuskan menikah dengan pekerja lain di perusahaan tersebut.
Alasannya, antara lain, mencegah konflik pribadi, subyektivitas,
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penulis mengkaji kesesuaian
aturan tersebut dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia: Undang- Undang Dasar 1945, Peraturan yang terkait
dengan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Temuan utama penulis adalah
bahwa hak untuk menikah sebenarnya dapat dibatasi asalkan
untuk kepentingan bangsa dan ketertiban umum. Pembatasan
hanya dapat diberlakukan oleh perusahaan yang bersifat publik
dengan tujuan memajukan kepentingan publik, sedangkan dalam
skripsi saya, membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XV/2017 terkait uji materil Pasal 153 Ayat (1)
Hutuf F yang ditinjau dari aspek keadilan dan kemanfaatan yang
di dasarkan atas teori keadilan John Rawls.
27 Wurianalya Maria Novenanty, “Pembatasan Hak Untuk Menikah Antara Pekerja
Dalam Satu Perusahaan”, Verietas et Justisia, Vol. 2 No. 1 Juni 2016.
![Page 39: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/39.jpg)
30
![Page 40: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/40.jpg)
31
BAB III
PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017
A. Pertimbangan Hukum
Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 Ayat (1) Huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, Selanjutnya disebut UU
48/2009), salah satu kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945;
Permohonan para pemohon adalah pengujian konstitusionalitas
norma Undang-undang, in casu Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU 13/2003)
terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan
a quo;
Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta
penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian materiil
(Judicial review ) Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
![Page 41: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/41.jpg)
32
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-
undang, yaitu :
a. Perorangan warga negara Indonesia ( termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat;
d. Lembaga negara;
Para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. Kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 Ayat (1) UU MK;
b. Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-
undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menjelaskan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
harus memenuhi lima syarat, yaitu :
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. Kerugian Konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
![Page 42: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/42.jpg)
33
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband ) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;
Berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK dan
syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon
sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian
konstitusionalnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 153 Ayat (1)
huruf f UU 13/2003;
Para pemohon mendalilkan bahwa :
1. Pemohon I sampai dengan pemohon VII adalah pegawai PT. PLN
(Persero) dan Pengurus Dewan Pemimpin Serikat Pegawai Perusahaan
Listrik Negara dan Pemohon VIII adalah mantan pegawai PT. PLN
(Persero), masing-masing sebagai perseorangan warga negara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) Huruf a
UU MK beserta penjelasannya;
2. Para pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional, bahkan
banyak pekerja yang telah mengalami kerugian actual dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
3. Dengan merujuk pada Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya”, sehingga dapat dikatakan bahwa
![Page 43: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/43.jpg)
34
para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
memperjuangkan kepentingan diri sendiri dalam hal jaminan untuk
mempertahankan pekerjaan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja;
4. Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
5. Maka para pemohon mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan
konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 153
Ayat (1) huruf f UU 13/2003 terhadap UUD 1945 karena menurut
para Pemohon pasal tersebut mengandung materi muatan yang bersifat
menghilangkan dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja para
pemohon disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu perusahaan,
sehingga para pemohon kehilangan jaminan kerja dan penghidupan
yang layak;
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK dikaitkan dengan
kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para pemohon, menurut
Mahkamah, berdasarkan penalaran yang wajar para pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Para pemohon mendalilkan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2)
dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang 1945, dengan argumenatasi yang
pada pokoknya sebagai berikut :
a. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah dalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28B Ayat
(2) UUD 1945. Hal itu ditegaskan pula dalam Pasal 10 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas
kehendak bebas calon suami dan calon istri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketenuan Pasal
![Page 44: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/44.jpg)
35
153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
membawa konsekuensi bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan
adanya perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan. Karena
menurut Undang-undang Perkawinan sahnya perkawinan adalah sah
setelah dilakukan menurut agama berarti norma Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga melarang orang
melakukan perintah agamanya;
b. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 153 (1) Hurut f Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menghilangkan
jaminan kerja para pemohon dan hak atas penghidupan yang layak
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan
kerja yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Jika
perusahaan beralasan bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk
mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, alasan itu tidak
dapat diterima sebab terjadinya korupsi,kolusi, dan nepotisme adalah
tergantug kepada mentalitas seseorang;
c. Sesungguhnya, perkawinan antara sesama pegawai dalam satu
perusahaan justru menguntungkan pihak perusahaan karena dapat
menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menanggung satu
orang pekerja beserta keluarga tetapi perusahaan memiliki dua orang
pekerja, di mana bisa suami atau istri yang berkedudukan sebagai
penanggung yang akan didaftarkan ke perusahaan yang bersangkutan.
Setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan seksama
permohonan para pemohon, bukti surat/tulisan perhomohonan, keterangan
tertulis DPR, keterangan lisan dan tertulis presiden, keterangan Asosiasi
Pengusaha Indonesia ( APINDO ), dan keterangan tertulis PT.PLN
(Persero), bukti suarat/tulisan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ,
kesimpulan tertulis pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, dan
kesimpulan tertulis Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut.
![Page 45: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/45.jpg)
36
Bahwa pada pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja”. Sejalan dengan itu, Pasal 23 Ayat
(1) Deklarasi HAM PBB juga menegaskan, “Setiap orang berhak atas
pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-
syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas
perlindungan dari pengangguran”. Hak konstitusional sebagaim ana diatur
dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 adalah bagian dari hak asasi
manusia yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, politik, sosial, dan
kebudayaan. Berbeda dengan hak asasi manusia yang tergolong ke dalam
hak-hak sipil dan politik yang pemenuhannya dilakukan dengan sesedikit
mungkin campur tangan negara, bahkan dalam batas-batas tertentu negara
tidak boleh campur tangan, pemenuhan terhadap hak-hak yang tergolong
kepada hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan justru membutuhkan peran
aktif negara sesuai kemampuan atau sumber daya yang dimiliki oleh tiap-
tiap negara.
Bahwa Pasal 28I Ayat (4) UUD1945 menegasakan, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah”. Oleh karena itu, terlepas dari jenis
atau kategorinya, tanggungjawab negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28I Ayat (4) Undang-undang 1945 tersebut tetap melekat pada
negara, khususnya Pem erintah. Dalam hal ini khsusnya hak untuk bekerja
serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang layak dan adil dalam
hubungan kerja serta hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keterunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun tanggungjawab untuk
menlindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia itu oleh
konstitusi ditegaskan menjadi tanggungjawab negara, khususnya
pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa institusi atau orang perorangan di
luar negara tidak wajib menghormati keberadan hak-hak tersebut. Sebab,
![Page 46: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/46.jpg)
37
setiap hak yang dimiliki seseorang selalu menimbulkan kewajiban pada
pihak lainnya untuk menghormati keberadaan hak itu.
Selanjutnya, hak atas pekerjaan adalah juga berkaitan dengan hak
kesejahteraan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia mempertegas ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 28D Ayat (2) UUD tersebut. Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap warga negara, sesuai dengan
bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan, memilih
pekerjaan yang layak”. Dalam Ayat (2) diatur, “Setiap orang berhak
dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas
syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Ketentuan ini sejalan dengan
ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 Ayat (1) Internasional Covenant on
Economic, Sosial, and Cultural Right ( Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ) yang telah diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional
Covenant on Economic, Sosial, dan Cultural Right (Konvenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya )
menyatakan, “Negara-negara Pihak pada Konvenan ini mengakui hak atas
pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari
nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya sendiri secara
bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi
hak tersebut”.
Pertimbangan sebagaimana terurai di atas menunjukan bahwa
kewajiban melindungi hak untuk mendapatkan pekerjaan bukan hanya
menjadi kewajiban konstitusional ( constitutional obligation ) negara tapi
juga talah menjadi kewajiban yang telah lahir dari hukum internasional (
international legal obligation ), dalam hal ini kewajiban yang lahir dari
keikutsertaan Indonesia dalam International Convenant on Economic,
social, and Cultural Right. Konstitusi memang memberikan wewenang
konstitusional kepada negara untuk membuat pembatasan terhadap hak
![Page 47: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/47.jpg)
38
asasi manusia, namun kewenangan itu tunduk pada persyaratan yang
ditentukan oleh konstitusi, sebagaimana akan diuraikan lebih jauh dalam
pertimbangan di bawah ini.
Apabila dalam suatu perusahaan yang mempersyaratkan
pekerja/buruh tidak boleh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan yang
sama dan menjadikan hal itu sebagai dasar dapat diberlakukannya
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan,
Mahkamah Konstitusi menilai bahawa aturan tersebut tidak sejalan dengan
norma dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 38 Ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 6 Ayat (1)
Internasional Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Right
Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005,
Pasal 23 Ayat (1) Deklarasi HAM PBB sebagimana telah disebutkan.
Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat
direncanakan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir
sebagai syarat untuk mengesampingkan penemuhan hak asasi manusia,
dalam hal ini hak atas pekerjaan serta untuk membentuk keluarga adalah
tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai
degan Pasal 28J Ayat (2) Undang-undang 1945 pembatasan terhadap hak
asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demoktratis.
Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 Ayat (1) huruf f
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain karena
tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya
![Page 48: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/48.jpg)
39
pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian pula tidak
ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya
fakta bahwa pekerja/buruh dalam suatu perusahaan memiliki pertalian
darah dan/atau ikaatan perkawinan.
Bahwa menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan PT.
PLN (Persero), dalam keterangannya menyatakan memberlakukan Pasal
153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan di lingkaran internal mereka adalah dengan tujuan untuk
mencegah hal-hal negatif yang timbulnya konflik kepentingan dalam
mengambil suatu keputusan internal perusahaan. Menurut Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat
pembatasan konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J
Ayat (2) Undang-undang 1945. Adapun kekhawatiran akan terjadinya hal-
hal negatif di lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik
kepentingan dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan,
hal tersebut dapat dicegah degna merumuskan peraturan perusahaan yang
ketat sehingga terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga
terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
Adapun argumentasi yang disampaikan baik oleh Presiden maupun
Pihak terkait APINDO yang menghubungkannya dengan Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan Undang-undang berlaku sebagi Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alsan yang
ditentukan oleh Undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Menurut Mahkamah Konstitusi, argumentasi demikian tidak
selalu sesuai untuk diterapkan tanpa memeperhatikan keseimbangan
keududukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika
persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah terang kiranya bahwa antara
![Page 49: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/49.jpg)
40
pengusaha dan pekerja/buruh berada dalam posisi yang tidak imbang.
Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang lemah
karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dalam kebebasan
berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi
tidak sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan pertibangan demikian maka kata
“telah” yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tetang Ketenagakerjaan tidak dengan
sendirinya berarti telah terpenuhinya prinsip kebebasan berkontrak.
Seluruh pertimbangan Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil
permohonan para pemohon berasalan menurut hukum.
B. Amar Putusan
Amar putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017 adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153
Ayat (1) huruf f Un dang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan degan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
![Page 50: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/50.jpg)
41
BAB IV
TINJAUAN ASPEK KEADIAN DAN KEMANFAATAN DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017
A. Tinjauan Pertimbangan Hukum Terhadap Pengabulan Judicial Review
Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017
Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna. Manusia adalah Zoon Politicon, Kata-kata Yunani yang
asalnya dari Aristoteles ini menurut penjelasan yang diberikan oleh Prof.
Hans Kelsen, berarti “Man is a social and political being”, yang
dinyatakan sebagai “Manusia itu selalu hidup dalam pergaulan hidup
manusia, dan dalam keadaan demikian ia selalu berorganisasi.1 Artinya,
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang artinya hidup saling
membutuhkan satu sama lain dan tidak terlepas dari pergaulan dan
interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuhan
menciptakan manusia dengan kesempurnaan di antara ciptaan lainnya
karena selain dibekali nafsu, manusia juga dibekali akal fikiran, rasa dan
kehendak.
Salah satu bentuk pergaulan manusia adalah dalam hal
ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja.2 Berkaitan dengan itu pemerintah memeperhatikan segala hal yang
bersangkutan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13
1 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1987 ), h. 32
2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012),
h.191
![Page 51: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/51.jpg)
42
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang bertujuan mengagayomi dan
melindungi setiap aspek yang berkaitan dengan tenaga kerja, yang
dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pekerjaan adalah hal yang sangat fundamental bagi setiap orang,
karena untuk melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup. Setiap
orang membutuhkan sumber penghidupan dan penghasilan yang tidak lain
adalah pekerjaan yang dimilikinya. Sejalan dengan itu, ada individu yang
menduduki posisi sebagai pekerja ada juga yang menduduki posisi sebagai
pengusaha. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan
kerja pada pengusaha dengan mendapat upah.3 Artinya, pekerja adalah
pihak yang mencari dan menerima pekerjaan dari pengusaha. Pengusaha
adalah pihak pemberi kerja yang menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Hubungan antara pengusaha dan pekerja disebut hubungan
kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pelaku usaha dengan
karyawan yang diikat dalam suatu perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah, berdasarkan itu hubungan kerja di awali
dengan adanya perjanjian kerja.
Banyak sekali permasalahan yang ada di dalam hubungan kerja,
yaitu antara pengusaha dan pekerja. Hal ini terjadi karena adanya hal-hal
yang diinginkan dari pihak pengusaha maupun dari pihak pekerja yang
terkadang saling bertolak belakang dan masing-masing dari mereka ingin
mempertahankan hal yang diinginkannya. Salah satu permasalahan yang
terjadi adalah terkait larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan
dengan konsekuensi pengunduran diri bahkan pemutusan hubungan kerja.
3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,... h. 191
![Page 52: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/52.jpg)
43
Ada perusahaan yang mengatur larangan ini dan ada yang tidak
mengaturnya. Artinya, ada perusahaan yang melarang perkawinan pekerja
ada juga yang membolehkannya. Perbedaaan itu terjadi karena adanya
Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa :
“pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama.” (Mediya Rafeldi,
2016:56)
Pekerja yang berada di perusahaan yang megatur larangan ini
mereka merasa hak konstisionalnya terdiskriminasi dan dikesampingkan
oleh adanya kebijakan perusahaan yang bersumber dari pada Pasal 153
Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Diajukanlah uji materil pasal ini, akhirnya Mahkamah
Konstitusi memutus denga amar putusan mengabulkan permohonan
pemohon dan menyatakan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat yang dituangkan di dalam Putusan Nomor 13/PUU-
XV/2017.
Putusan Nomor 13/PUU-XV/2017 dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah konstitusi menimbang bahwa:
“pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang
tidak dapat direncanakan maupun dielakan. Oleh karena itu,
mejadikan sesuatu yang bersifar takdir sebagai syarat untuk
mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini
hak atas pekerjaan dan hak untuk membentuk keluarga, adalah hal
yang tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara
konstitusional.”
Sebagai suatu negara, Indonesia mengakui dan melindungi Hak
Asasi Manusia dalam UUD 1945. Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan tanggung jawab negara,
khususnya pemerintah, di mana hal tersebut dilakukan sesuai dengan
![Page 53: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/53.jpg)
44
prinsip negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu, pelaksanaannya
harus dijamin dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.4
Konsep hak asasi manusia sebenarnya dapat dilacak sebagai
teologis lewat hubungan antara manusia sebagai makhluk dan
penciptanya. Tidak ada manusia yang lebih tinggi dari pada manusia
lainya dan hanya satu yang mutlak, yakni Tuhan yang Maha Esa.
Keberadaaanya sebagai Prima Facie yang berkonsekuensi kepada
kerelatifan pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut memberikan
faham bahwa manusia diciptakan langsung dengan hak-haknya yang tidak
dapat terpisahkan.5 Hak-hak yang tidak dapat dipisahkan tersebut
disandang sejak manusia dilahirkan bahkan sejak dia dalam kandungan
ibunya, salah satu hak yang dia sandang adalah hak utuk berkeluarga dan
hak bekerja, dimana hak ini dijamin dan dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan.
UUD 1945 mengatur tentang Hak Asasi Manusia, terkait dengan
perkawinan diatur dalam Pasal 28B Ayat (1) yang menyatakan “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturnan melalui
perkawinan yang sah”. Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 juga dituangkan
kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Hak Asai
Manusia yang berbunyi “ Setiap Orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan perkawinan
yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan
calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan “. Hak bekerja diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak”, dilanjutkan dalam Pasal 28D Ayat (2) yang
4 Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII
(Pusham UII : Yogyakarta,2008), h.242
5 Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2012 ), h.199
![Page 54: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/54.jpg)
45
berbunyi “Setiap Orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Sejalan dengan itu, Pasal 23 Deklarsi HAM PBB juga menegaskan
bahwa “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas perlindungan dan pengangguran”. Hak untuk
berkerja pun dituangkan kembali dalam Undang-undang Hak Asasi
Manusia, yaitu terkait hak atas kesejahteraan, termasuk di antaranya hak
atas pekerjaan yang ada dalam Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang Hak
Asasi Manusia bahwa “ Setiap warga negara, sesuai dengan bakat,
kecakapan, dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak “dan Ayat
(2) bahwa “ Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”.
Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat tentunya menjamin hak
bekerja, terkait hak berkerja juga didukung oleh International Covenant
On Economic, Sosial, and Cultural Right (Konvenan Internasional
Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi
oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 yang dalam Pasal 6 Ayat (1)
menyatakan :
“Negara pihak dari konvenan ini mengakui hak atas pekerjaan,
termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah
melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan
akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak
ini.”
Pasal-pasal yang tertuang dalam UUD 1945 dan Undang-undang
Hak Asasi Manusia tersebut dan didukung dengan Pasal 23 Ayat (1)
Deklarasi HAM PBB ditambah keiikutsertaan Negara Indonesia sebagai
negara pihak dari Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, sudah sepatutnya untuk diakui bahwa hak berkelurga,
melakukan perkawinan, dan melanjutkan keturunan serta hak bekerja
adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara tanpa terkecuali.
![Page 55: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/55.jpg)
46
Keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memang didasarkan dengan
alasan-alasan :
1. Mengacu Pasal 28J UUD 1945
Pada dasarnya UUD 1945 Pasal 28J memberikan kesempatan
untuk membatasi hak-hak asasi manusia yang dimiliki warga negara,
yang berbunyi “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk mejamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”, dilanjutkan Pasal 28I yang mengatur dan
menyebutkan dengan rinci tentang hak-hak yang tidak dapat dibatasi
dan dikurangi, yang berbunyi “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak untuk kemerdekaan fikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun “.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, sebagai penjelasan lebih lanjut pasal-pasal terkait hak asasi
manusia dalam UUD 1945 juga menyebutkan bahwa terhadap hak
asasi manusia dapat diadakan pembatasan sesuai dengan Pasal 73,
bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang HAM
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata-
mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa. Meskipun hak untuk berkerja dan
membentuk keluarga tidak tercantum di dalam Pasal 28I UUD 1945,
![Page 56: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/56.jpg)
47
namun bukan berarti dua hak itu dapat dikesampingkan dalam keadaan
tertentu karena pembatasan sebagaimana yang ada dalam UUD 1945
dan Undang-undang Hak Asasi Manusia semata-mata dimaksudkan
untuk menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang lain dan
ditujukan untuk pemenuhan terhadap tuntutan keadilan, itu pun harus
sesuai serta berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan mendefinisikan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, dalam Pasal 2 Ayat (1)
menjelaskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
dan Ayat (2) berbunyi, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Artinya, bahwa suatu
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai hukum
agama dan menurut kepercayaan masing-masing calon dan dicatatkan
sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Adapun larangan perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan yaitu, orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan;
![Page 57: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/57.jpg)
48
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.”
Terkait frasa “Peraturan lain yang berlaku” dalam Pasal 8
huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut tidak dapat
diartikan secara sempit begitu saja dan secara serta-merta memasukan
Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan didalamnya sebagaimana keterangan dari
Dewan Perwakilan Rakyat yang menerangkan itu di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi ini, akan tetapi mengacu kepada pembatasan
yang tertuang dalam Pasal 28J bahwa pembatasan ditujukan untuk
mengakui kebebasan dan hak orang lain serta harus sesuai serta
berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Peneliti berpendapat sejalan dengan pertimbangan mahkamah
bahwa tidak ada hak dan kebebasan orang lain yang terganggu dengan
adanya perkawinan pekerja. Makhluk di dunia ini, termasuk manusia
diciptakan oleh Tuhan dalam dua jenis kelamin: “wanita” dan “Pria”.
Mengikuti kodratnya sebagai makhluk untuk meneruskan jenisnya,
maka terdapat hubungan antara wanita dan pria yang bersifat abadi.
Hubungan antara pria dan wanita untuk memenuhi kodratnya itu
dianggap harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang tertentu.6
Ketentuan tertentu adalah perkawinan yang sah yang dan dicatat dan
sejalan dengan norma agama. Artinya, perkawinan yang tidak sah dan
dilarang adalah yang tidak dicatat dan tidak sesuai dengan norma
agama. Perkawinan didasari cinta merupakan takdir dan kodrat
manusia sebagai makluk Tuhan yang bersifat abadi untuk saling
6 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia,...h. 34-35
![Page 58: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/58.jpg)
49
mencintai. Nilai-nilai agama pun tidak ada yang melarang dan
membatasi perkawinan antara sesama pekerja.
Terkait pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan
berdasarkan kepentingan ketertiban umum dan keamanan. Oleh
karenanya peneliti berpendapat pembatasan terkait perkawinan
pekerja dalam satu perusahaan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
yang bersifat umum, yang mengakomodir kepentingan umum seperti
perbankan yang mempunyai kerahasiaan yang harus dijaga dan
melayani kepentingan masyarakat umum, degan demikian sudah
seharusnya dipertimbangkan terkait parusahaan yang bersifat umum
yang mengakomodir kepentingan masyarakat umum dan
keamanannya harus dijaga. karena pada dasarnya peraturan
perundang-undangan kita mengamini pembatasan hak asasi manusia
dapat dilakukan atas dasar pertimbangan kepentingan umum.
2. Mengacu Kepada Pasal 1338 KUH Perdata
Peneliti mengkaji bahwa permasalahan pokok terkait larangan
perkawinan antara rekan kerja dalam satu perusahaan menekankan
pada segi perjanjian sebagai sumber hukum para pihak. Pasal 153 Ayat
(1) Huruf f menyatakan “Kecuali diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama” diadakan supaya
pekerja dan pengusaha sebagai pembuat perjanjian menentukan hal
lain, karena dalam hal perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak
dan asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) yang
dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang menetapkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dengan kata lain, asas ini melandasi
pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu
kewajiban hukum sehingga para pihak terikat untuk melaksanakan
![Page 59: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/59.jpg)
50
perjanjian tersebut.7 Artinya, pekerja wajib tunduk kepada perjanjian
yang sudah mengikatnya, termasuk adanya larangan perkawinan antara
reakan kerja.
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan
bahwa asas tersebut tidaklah selalu sesuai di dalam setiap perjanjian,
sejatinya asas tersebut bertumpu pada kesamaan dan keseimbangan,
yaitu keseimbangan para pihak yang ada di dalamnya. Pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa dengan adanya
posisi yang tidak seimbang tersebut, maka filosofi kebebasan
berkontrak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak
sepenuhnya terpenuhi.
Peneliti berpendapat bahwa memang antara pekerja dan
pengusaha adalah dua posisi yang tidak seimbang, pengusaha sebagai
majikan yang memberi kerja dan pekerja sebagai buruh yang mencari
pekerjaan dan diberi pekerjaan. Artinya, hubungan pekerja dan
pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi)
pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi
memberikan perintah kepada pekerja yang secara sosial ekonomi
mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah ini yang membedakan
antara perjanjian kerja dan perjanjian lainnya.8 Ketidakseimbangan
itulah yang mendasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa
asas kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Sercanda menjadi
tidak sesuai dalam perjanjian kerja.
Peneliti berpendapat bahwa pernyataan ketidak seimbangan
para pihak di dalam perjanjian kerja yang berakibat bahwa asas
kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Sercanda menjadi tidak
7 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis, (Jakarta:
Salemba Empat, 2014), h. 23
8 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 65
![Page 60: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/60.jpg)
51
sesuai dalam perjanjian kerja haruslah ditinjau ulang karena jika
persoalan dititik beratkan atas alasan ini dapat menyebabkan seluruh
dokumen yang disepakati oleh pekerja dan pengusaha termasuk
perjanjian yang dilandasi dengan itikad baik dan kepatutan serta
menguntungkan dan tidak merugikan kedua pihak dapat dibatalkan
dengan pernyataan ini. Peneliti lebih menitikberatkan kepada asas
itikad baik yang harus tertuang di dalam perjanjian kerja yang harus
dipenuhi. Asas itikad baik adalah semua perjanjian yang dibuat harus
dilandasi dengan itikad baik (in good faith), yang berarti bahwa
perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kesusilaan
serta kepatutan dan perjanjian yang dibuat harus mencerminkan
suasana batin yang tidak menunjukan adanya kesengajaan untuk
merugikan pihak lain.9 Artinya, apabila perjanjian yang dibuat dengan
kesadaran menyebabkan kerugian pihak lain dan dalam hal ini adalah
hak konstitusional pekerja yang dirugikan maka sudah jelas bahwa
perjanjian itu tidak bisa dibenarkan dan dapat dibatalkan, akan tetapi
jika tidak menyebabkan kerugian dan justru menguntungkan kedua
pihak serta berdasarkan kepatutan maka tidak dapat dibatalkan.
Pekerja pada dasarnya merupakan pihak yang lemah dan
memang sering dirugikan dalam perjanjian kerja serta tidak secara
mutlak dapat menentukan kehendaknya sehingga mau tidak mau harus
mematuhi segala syarat untuk dapat memperoleh pekerjaan. Dengan
demikian, ada unsur keterpaksaan bagi pekerja dan kehendak yang
cacat karena tidak secara mutlak dapat menentukan kehendaknya yang
mau tidak mau harus setuju dengan perjanjian yang dibuat, oleh karena
pekerja membutuhkan pekerjaan sebagai sumber penghidupannya.
Menurut Asri Wijayanti, kesepakatan yang terjadi antara buruh
dan majikan secara yuridis haruslah bebas dalam arti tidak
terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling
dan bedrog (penipuan, paksaan dan kekhilafan). Kenyataan
dalam hubungan kerja, buruh terutama yang unskillabour tidak
9 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis,... h. 24
![Page 61: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/61.jpg)
52
secara mutlak dapat menentukan kehendaknya, ini dapat terjadi
karena buruh hanya mempunyai tenaga yang melekat pada
dirinya untuk kompensasi dalam melakukan suatu hubungan
kerja.10
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pun
memberikan penegasan bahwa “sebuah perjanjian tidak memenuhi
syarat kesepakatan apabila kesepakatan tersebut diberikan karena
kekhilafan, paksaan, atau penipuan”. Peneliti berpendapat, bahwa
meskipun dalam permasalahan ini tidak ada paksaan secara langsung,
akan tetapi paksaan itu ada secara tidak langsung, yaitu oleh sebab
kondisi pekerja yang membutuhkan pekerjaan sebagai sumber
penghidupannya.
3. Kemaslahatan Perusahaan
Keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga berlandaskan
demi kemaslahatan perusahaan, yaitu menjaga keberlangsungan
perusahaan agar tetap baik dan setabil. Rincian alasan bahwa larangan
perkawinan pekerja dalam satu peruasahaan, yaitu demi kemaslahatan
perusahaan, antara lain adalah :
a. Dapat menyebabkan konflik pribadi. Apabila pasangan suami istri
bekerja di satu perusahaan yang sama, maka ada kekhawatiran
urusan rumah tangga bisa terbawa ke kantor, begitupun
sebaliknya. Hal semacam itu bisa berpengaruh pada kinerja
pasangan tersebut di perusahaan.
b. Dapat menyebabkan terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Ada risiko terciptanya korupsi, kolusi, dan nepotisme apabila ada
hubungan kekeluargaan di dalam suatu kantor yang dilandasi
motif memperkaya keluarga.
10
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 43
![Page 62: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/62.jpg)
53
c. Dapat menghilangkan objektivitas dalam penerapan aturan di
kantor. Apabila pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang
sama, maka dikhawatirkan pemberian reward dan punishment
tidak akan maksimal. Hal ini dimungkinkan terjadi apabila salah
satu dari pasangan tersebut memiliki jabatan yang lebih tinggi dan
memiliki kewenangan untuk memberikan reward dan
menjatuhkan punishment.
d. Membuka peluang kerja bagi keluarga lainnya. Aturan tersebut
diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas bagi
keluarga-keluarga lainnya, sehingga kesejahteraan tidak hanya
terpusat pada keluarga-keluarga tertentu saja.
Menurut peneliti hal-hal yang dicantumkan di atas sebagai
alasan dilarangnya perkawinan antara rekan kerja hanyalah sebatas
mentalitas dan kepribadian suatu individu. Ketika berbicara mengenai
manusia, maka kita berbicara mengenai makhluk yang memiliki akal
budi dan dan hati nurani. Akal budi dan hati nurani tersebut yang
membentuk nilai-nilai dalam kesadaran manusia yang akhirnya dapat
membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, juga mana yang adil dan tidak adil. Mentalitas dan
kepribadian seseorang kembali lagi kepada orang itu sendiri dan
karena perkawinan adalah hak yang sangat mendasar bagi setiap orang
maka seharusnya dengan tanpa membatasi hak dasar tersebut
perusahaan dapat menanggulangi kekhawatiran untuk terjadinya
konflik pribadi, kerupsi, kolusi, nepotisme, dan hilangnya objektivitas
dalam penegakan disiplin di dalam perusahaan disebabkan
perkawinan antara sesama pekerja dalam satu perusahaan, tentunya
dengan manajemen sumber daya manusia yang baik dengan
pengaturan peranan manusia yang baik dan prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik demi tujuan yang optimal.
Manajemen sumber daya manusia yang baik dengan
pengaturan peranan manusia yang baik tentunya bergantung pada
![Page 63: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/63.jpg)
54
disiplin. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong
para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan.11
Salah satu contohnya adalah dengan membuat suatu peraturan
perusahaan yang dapat membangun integritas dan kondusivitas di
perushaan, seperti menempatkan pekerja yang memiliki pertalian
darah ataupun ikatan perkawinan di dalam divisi yang berbeda. Di sisi
lain, manajemen sumber daya manusia yang baik dengan
memindahkan pasangan pekerja ke divisi yang berbeda sebagaimana
yang dikemukakan di atas tentunya sangat kecil kemungkinan dapat
diterapkan terhadap perusahaan yang mempunyai sekala kecil.
Peneliti berpendapat untuk membuat ketentuan hukuman yang
tegas bagi pasangan pekerja yang membawa konflik pribadi ke ranah
pekerjaan yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan
kekhawatiran lain yang disebutkan di atas, bahkan pemutusan
hubungan kerja pun dapat dilakukan apabila pasangan pekerja
melakukan kehawatiran yang telah disebutkan. Artinya, meskipun
pada akhirnya adalah sama-sama berujung dengan pemutusan
hubungan kerja akan tetapi pendapat atau konsep yang peneliti
paparkan itu adalah bentuk penghargaan terhadap hak asasi yang
dimiliki pekerja yang artinya pengusaha menjalankan pemenuhan
terhadap hak membentuk keluarga yang dimiliki pekerja sebagai
kewajibannya dan pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja karena pekerja melakukan kehawatiran yang disebutkan di atas
sebagai sanksi atas tidak adanya tanggungjawab pekerja untuk
menjalankan kewajibannya. sehingga terwujudnya kondisi kerja yang
berkeadilan, baik, efektif, dan profesional. Akhirnya, keseimbangan
hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja tercipta.
11
Sondang P. Siagian, Manajemen Sumberdaya Manusia, (Jakarta : Bumi Aksara, 2016),
h. 305
![Page 64: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/64.jpg)
55
B. Tinjauan Aspek Keadilan dan Terhadap Pengabulan Judicial Review
Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017
Kehidupan bermasyarakat sangatlah erat dengan kepentingan-
kepentingan yang ada di setiap individu sebagai makhluk sosial yang
berinteraksi dan sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewaijiban. Ketertiban sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, negara sebagai
organisasi tertinggi patut memiliki alat guna menertibkan masyarakat
dengan berbagai kepentingannya masing-masing, karena ketertiban
bukanlah hal yang muncul dengan sendirinya akan tetapi harus
diwujudkan melalui suatu kekuatan yang mengikat secara umum, yaitu
hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun
hukum dalam bentuk putusan dari suatu lembaga peradilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor13/PUU-XV/2017 yang
berisi uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUDasar 1945 Pasal 28B
Ayat (1) dan 28D Ayat (2) dengan amar putusan mengabulkan
permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Diajukannya uji materil pasal
tersebut karena dirasa mendiskriminasi dan mengesampingkan hak asasi
manusia yang dimiliki pekerja, yaitu hak bekerja dan hak berkeluarga.
Pendiskriminasian dan pengesampingan hak asasi yang dimiliki pekerja
adalah akibat dari adanya suatu perjanian kerja, peraturan perusahaan,
dan/atau perjanjian kerja bersama yang mengatur larangan perkawinan
pekerja dalam satu perusahaan yang berusumber dari Pasal 153 ayat (1)
huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka titik berat dari permasalahan yang ada adalah dalam hal perjanjian
![Page 65: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/65.jpg)
56
dan kebijakan, yaitu perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan
peraturan perusahaan sebagai kebijakan tertulis perusahaan yang terasa
mendiskriminasi hak-hak asasi pekerja yang dilegalkan dan diizinkan oleh
Pasal 153 ayat (1) huruf f.
Peneliti mengkaji permohonan pemohon bahwa Pasal 153 Ayat
(1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengandung ketidakadilan yang dirasakan pekerja dalam
hubungan kerja, ketidakadilan yang disebabkan degan adanya Pasal 153
Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan antara lain adalah :
1. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan membenturkan dua hak dasar pekerja yang
merupakan hak konstitusional setiap warganegara, yaitu hak bekerja
dan hak berkeluarga dan menjadikannya pilihan yang apabila dipilih
salah satu maka yang lain tidak terpenuhi, yakni pertama, antara
pekerja menikahi rekan kerjanya dan kehilangan pekerjaannya karena
PHK yang merupakan konsekuensi dari pada perkawinan pekerja
dalam satu perusahaan, atau kedua, tetap bekerja dan tidak menikahi
seseorang yang dicintainya yang merupakan rekan kerjanya. Ditambah
pembenturan terhadap dua hak dasar ini dijadikan sebagai syarat kerja
terhadap pekerja untuk mendapatkan hak kerjanya. padahal setiap
orang berhak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
dan setiap orang berhak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
2. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mendiskriminasi hak berkeluarga serta
melanjutkan keturunan yang dimiliki pekerja karena membatasi
kehendak bebas pekerja untuk menentukan siapa yang akan
dijadikannya sebagai pendamping hidupnya. Hak berkeluarga adalah
hak yang dimiliki setiap orang dan hak berkeluarga diperoleh melalui
perkawinan yang sah dan perkawinan yang sah hanya dapat
berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
![Page 66: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/66.jpg)
57
bersangkutan. Tentunya hak setiap orang lah untuk menentukan
pendamping hidupnya termasuk para pekerja.
3. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menghilangkan hak atas pekerjaan dan hak
atas penghidupan yang layak. Melihat bahwa konsekuensi dari Pasal
153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang dituangkan di dalam kebijakan perusahaan
adalah Pemutusan Hubungan Kerja, yang mana PHK untuk pekerja
akan berpengaruh secara pisikologis, ekonomis dan finansial karena
pekerja akan kehilangan mata pencahariannya dan untuk mencari mata
pencahariannya yang baru sebagai penggantinya harus mengeluarkan
biaya serta kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum
mendapatkan pekerjaan baru sebagai penggantinya.12
maka hal itu
berakibat hilangnya sumber penghidupan pekerja dan secara langsung
menghilangkan penghidupan yang layak, karena penghidupan yang
layak dicapai melalui sumber penghidupan atau pendapatan pekerja,
yaitu pekerjaan yang dimiliki pekerja.
Berbicara mengenai keadilan, menurut John Rawls keadilan adalah
kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam
sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus
ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi,
tidak peduli betapapun efesien dan rapihnya, harus dihapuskan jika tidak
adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan,
sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak dapat membatalkannya. Atas
dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang.
Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap
mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-
menawar politik. 13
Pendapat Rawls di atas mengartikan bahwa seluruh
12
Zainal Asikin, et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008 ), h. 173-174
13
John Rawls, Teori Keadilan,... h. 3-4
![Page 67: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/67.jpg)
58
peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan lembaga yang berwenang yang
mengatur kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, dan politik haruslah
adil, karena itulah sumber keadilan bagi manusia, jika sumber keadilannya
tidak adil, maka tentu yang akan dirasakan masyarakat adalah
ketidakadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor13/PUU-XV/2017
menengahi dua hal, yaitu hak konstitusional pekerja dan kemaslahatan
perusahaan. Mengacu kepada pendapat Rawls bahwa keadilan adalah
kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam
sistem pemikiran.14
Artinya, keadilan haruslah tertuang di dalam kebijakan
yang dikeluarkan lembaga yang berwenang, dalam hal Pasal 153 Ayat (1)
Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memang dirasa tidak adil
oleh pekerja yang berada di perusahaan yang mengatur larangan
perkawinan pekerja dalam satu perushaan, karena dirasa bahwa adanya
ketidaksamaan antara pekerja yang berada di perusahaan yang mengatur
larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan dan pekerja yang
berada di perusahaan yang tidak mengatur larangan perkawinan pekerja
dalam satu perushaan, padahal mereka semua merupakan warganegara
Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak-hak konstitusional yang
sama, sejalan dengan unsur pokok keadilan Rawls adalah equality atau
kesamaan, yaitu kesamaan dalam distribusi, setiap orang mempunyai hak
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang
sama bagi semua orang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 adalah
bentuk penghapusan terhadap hukum yang dirasa tidak adil bagi pekerja.
Rawls berkata hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efesien dan
rapihnya, harus dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki
kehormatan yang berdasar pada keadilan.15
Tentunya, dengan adanya
14
John Rawls, Teori Keadilan,... h. 3
15
John Rawls, Teori Keadilan,... h. 4
![Page 68: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/68.jpg)
59
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 , hak dasar yang
dimiliki oleh para pekerja, yaitu hak berkeluarga menjadi terpenuhi dan
menjadi sama, karena di dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang
mempunyai hak-hak dasar yang sama. Ini merupakan bentuk perlindungan
terhadap tenaga kerja.
Permasalahan di dalam pengajuan uji materil Pasal 153 Ayat (1)
Huruf f di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XV/2017, pada dasarnya menitikberatkan dalam hal perjanjian, yaitu
perjanjian kerja. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan
bahwa asas Pacta Sunt Servanda tidak terpenuhi secara filosofis
disebabkan ketidakseimbangan para pihak di dalam perjanjian kerja, yaitu
pekerja dan pengusaha yang mimiliki status sosial dan ekonomi yang
berbeda. Pekerja sebagai pihak yang mencari dan menerima pekerjaan
yang mempunyai posisi lemah dan pengusaha sebagai pihak yang
memberi pekerjaan yang mempunyai posisi yang kuat, ditambah bahwa
hal yang diatur di dalam perjanjian kerja adalah ketidakadilan yang
merugikan satu pihak, yaitu pekerja yang hak konstitusionalnya dirugikan,
maka hal itu tidak memenuhi asas itikad baik dalam perjanjian kerja.
Peneliti berpendapat bahwa meskipun memang kedudukan pekerja dan
pengusaha berbeda akan tetapi perjanjian kerja haruslah didasari dengan
ruh kesamaan, sehingga kesepakatan yang di buat didalam perjanjian kerja
didasari atas kesepakatan yang fair sehingga tidak ada pihak yang
dirugikan terutama pihak yang kedudukannya lemah yang berpotensi
dirugikan, yaitu pekerja, maka dengan ruh kesamaan dan kesamaan
kehendak yang utuh, meskipun kedudukan pihak-pihak di dalam
perjanjian kerja tidaklah imbang, akan tetapi asas Pacta Sunt Servanda
menjadi terpenuhi. Hal itu sejalan dengan konsep keadilan yang digagas
John Rawls yang disebut sebagai posisi asali, dimana Rawls berusaha
untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap
orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi
lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan,
![Page 69: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/69.jpg)
60
status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain
sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan
dengan pihak lainnya secara seimbang. Kondisi demikianlah yang disebut
Rawls sebagai “posisi asali”. Posisi asali ini dapat dikatakan merupakan
status quo awal yang pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai
di dalamnya adalah fair. Hal ini menjelaskan kepatutan istilah “keadilan
sebagai fairness.16
Sejatinya keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f di sisi lain pun
didasari dengan alasan-alasan yang telah peneliti sebutkan sebelumnya,
yang dalam pokoknya adalah kemaslahatan perusahaan. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 di dalam pertimbangan pembuatannya, di huruf d
menjelaskan bahwa :
“perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.”
Sejalan dengan itu kemaslahatan perusahaan pun sudah seharusnya
dipertimbangkan demi memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha. Ditambah bahwa dalam keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, menurut keterangan pemerintah
adalah supaya pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian kerja dapat
menentukan hal lain dan menyesuaikan dengan jenis kegiatan usaha
perusahaan. Melihat bahwa ada beberapa perusahaan yang mengakomodir
kepentingan umum yang mempunyai kerahasiaan yang harus dijaga,
layaknya perbankan, maka dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XV/2017 sudah seharusnya pun dapat menjamin
kemaslahatan perusahaan yang mengakomodir kepentingan umum. Maka
untuk perusahaan yang mengakomodir kepentingan umum dan
16
John Rawls, Teori Keadilan,... h.14
![Page 70: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/70.jpg)
61
mempunyai kerahasiaan yang tinggi seharusnya dapat dilakukan
pengecualian, layaknya perbankan, karena seandainya pasangan pekerja
melakukan kekhawatiran yang disebutkan di atas, seperti korupsi maka
akan menimbulkan kegaduhan dan ketidaktertiban perekonomian sehingga
kepentingan setiap orang pun terganggu dan dalam sekala besar. Meskipun
pengecualian ini terlihat sebagai bentuk ketidaksamaan akan tetapi hal ini
berdiri atas dasar kepatutan dikarenakan kondisi yang berbeda dan demi
menghindari ketidakadilan yang lebih besar, yaitu kegoncangan
perekonomian sejumlah orang yang disebabkan oleh satu orang saja.
Equity atau kepatutan tidak bermaksud untuk mengubah atau
mengurangi keadilan hukum, melainkan sebatas memberikan
koreksi atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu serta
kondisi kasus tertentu. Dengan demikian “summa iustitia summa
iniuria” tidak akan terjadi, karena nilai keadilan dalam hubungan
antara individu dikembalikan pada proporsi yang sewajarnya.17
Di sisi lain, keadilan pun tidak membenarkan dikorbankannya
kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan orang
lain. Hal ini, sejalan dengan unsur pokok keadilan Rawls bahwa
Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk
menghindarkan ketidakadilan lebih besar.18
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 memang
mendatangkan keadilan dengan menghapuskan hukum yang tidak adil.
akan tetapi memang sudah sepatutnya bagi perusahaan yang
mengakomodir kepentingan umum yang memiliki kerahasian yang harus
dijaga ketat haruslah dijadikan pengcualian oleh sebab untuk menghindari
ketidakadilan yang lebih besar yang disebabkan satu individu merugikan
sejumlah orang dalam sekala besar. Di sisi lain, bahwa bagi perusahaan
yang tidak mengakomodir kepentingan umum, haruslah menggunakan
17
Agus Yudha Hemoko, Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak
Bisnis), (Jakarta: Kencana, 2013), h. 67
18
John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, dll h.
40
![Page 71: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/71.jpg)
62
cara lain untuk mencegah kekhawatiran yang ada tanpa harus membatasi
hak asasi menusia yang dimiliki pekerja, sehingga perlindungan terhadap
tenaga kerja yang berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki pekerja pun
dapat dilaksanakan dan tetap memperhatikan kemaslahatan perusahaan
demi perkembangan dan kestabilan dunia usaha.
![Page 72: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/72.jpg)
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh penjabaran di atas, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Pokok pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
13/PUU-XV/2017 tentang Uji Materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf f
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
adalah demi menjaga dan memenuhi hak dasar yang dimiliki oleh
setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai warga
negara, yaitu hak bekerja sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
28D Ayat (2) UUD 1945 dan hak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan atau hak untuk menikah yang ada dalam
Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945.
2. Keadilan yang tertuang di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XV/2017 adalah penghapusan terhadap hukum yang
tidak adil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
merupakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang
ditujukan untuk mendatangkan rasa keadilan bagi seluruh warga
negara, dalam hal ini adalah pemenuhan hak bekerja dan hak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan atau hak untuk
menikah untuk para pekerja.
B. Rekomendasi
Berdasarkan seluruh pemaparan yang peneliti bahas di atas maka
di akhir peneliti ingin menyampaikan pesan, yaitu :
1. Masalah ketenagakerjaan sering kali membahas mengenai hak-hak
para pekerja yang dirugikan. Oleh karena itu, seharusnya Pemerintah
dan DPR dalam membuat undang-undang lebih bijak dan hati-hati dan
peraturan yang dibuatnya harus memperhatikan hak-hak asasi manusia,
sehingga tidak terjadi pelanggaran dan diskriminasi hak- hak asasi
![Page 73: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/73.jpg)
64
manusia, khususnya dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
2. Pengusaha haruslah menaati setiap aturan yang dibuat dan setiap
keputusan yang diputuskan oleh lembaga negara yang berwenang.
Oleh karena itu, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
haruslah ditaati dan diterapkan oleh setiap perusahaan guna
menciptakan kepastian hukum di Indonesia. Pemetintah pun harus
mengawasi setiap peraturan dan keputusan yang ada, khususnya
Putusan Mahkamah Konstitusi ini, sehingga hukum ditegakan dengan
seadil-adilnya.
3. Peneliti berpendapat bahwa terhadap perusahaan yang mengakomodir
kepentingan umum layaknya perbankan yang mimiliki kerahasiaan
yang harus dijaga semestinya dikecualikan. Hal ini demi menghindari
kerugian yang dialami sejumlah orang dalam sekala besar.
4. Peneliti berpesan pada peneliti selanjutnya, yang meneliti
permasalahan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi ini, untuk
memperhatikan ditegakannya putusan tersebut, karena masih banyak
perusahaan yang mungkin tidak mematuhi putusan ini, dan juga
mendorong supaya dengan adanya kebolehan perkawinan pekerja
dalam satu perusahaan bisa membawa efek positif bagi kedua belah
pihak, baik perusahaan, maupun untuk pekerja.
![Page 74: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/74.jpg)
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Assiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta
: Sinar Grafika, 2012.
Asikin, Zainal et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2008.
Ata Ujan, Andre, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Terhadap Filsafat
Politik John Rawls, Yogyakarta : Kanisius, 2001. Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2012.
H Manululang, Sendjun, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia, Jakarta: PT Rineka Citra, 1998.
Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2012.
Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Di Indoneisa, Jakarta
: Ghalia Indonesia, 1987.
K.M. Smith, Rhona, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia UII , Yogyakarta : PushamUII, 2008.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011.
Miru, Ahmadi dan Saka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW , Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012.
Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan
Hebermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: IKAPI,
2005.
Rawls, John, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.
Rafeldi, Mediya, Undang-undang Ketenagakerjaan, Jakarta : ALIKA,
2016.
Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis,
Jakarta : Salemba Empat, 2014.
![Page 75: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/75.jpg)
66
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali
Pers, 2016.
Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan , Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Uwiyono, Aloysius, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan, Jakarta : Pt
Rajagrafindo Persada, 2014.
Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia
Pustaka, 1992.
Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Yudha Hemoko, Agus, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Bisnis, Jakarta: Kencana, 2013.
B. Jurnal
Eddy Tarman, Mardiyantoso, “Romantika Pasangan Suami Istri
Sekantor”, Auditoria Vol. V No. 22 Edisi Januari-Februari 2011.
Fattah, Damanhuri, ”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPI’s,
Vol. 9, No. 2, Juli- Desember 2013.
Hadi, Abdul, “Fenomena Menikah Dengan Teman Sekantor Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materi Pasal 153 Ayat (1)
Huruf F Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan”, Surya Kencana Dua, Vol. 5 Nomor 1 Juli 2018.
Mohammad Faiz, pan. “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi,
Volume 6, Nomor 1, Tahun 2009.
Sidharta, B. Arif, “Konsepsi Hak Asasi Manuisa”, Nomor 4 Bulan Oktober
Tahun XX Jurnal Hukum Pro Justitia, 2002.
C. Peraturan Perundang-undanngan
Undang-Undang Dasar 1945 NRI
Undang-Undang R.I., Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang R.I., Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asai Manusia
Undang-Undang R.I., Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
![Page 76: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)](https://reader030.vdocuments.site/reader030/viewer/2022013002/5e366093cab0ae443b601144/html5/thumbnails/76.jpg)
67
D. Internet
Careernews, Pasutri Dilarang Sekantor,
http://careernews.id/issues/view/2240 pasutridilarang- sekantor,
diakses Tanggal 9 Oktober 2018 Pukul 14.10 BBWI