putusan mahkamah konstitusi nomor 13/puu-xv/2017...

76
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 TENTANG UJI MATERIL PASAL 153 AYAT (1) HURUF F UNDANG -UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN Skripsi Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H.) Oleh : FAQIH AFIF RIDLO NIM : 11150480000052 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M i

Upload: others

Post on 15-Jan-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017

TENTANG UJI MATERIL PASAL 153 AYAT (1) HURUF F

UNDANG -UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN

Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum ( S.H.)

Oleh :

FAQIH AFIF RIDLO

NIM : 11150480000052

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2019 M

i

Page 2: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)
Page 3: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)
Page 4: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)
Page 5: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

v

ABSTRAK

Faqih Afif Ridlo, 11150480000052, “PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 TENTANG UJI MATERIL

PASAL 153 AYAT (1) HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003 DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN”. Strata Satu (S-1),

Program Studi Ilmu Hukum, Kosentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441 H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa dasar pertimbangan hukum

Mahkamah Konstitusi dalam mengabulakan uji materil Pasal 153 Ayat (1)

huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

dianggap bertentangan degan UUD 1945 Pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 28D

Ayat (2) dan apa aspek keadilan dan kemanfaatan terhadap pertimbangan

hukum Mahkamah Konstitusi yang mengabulakan uji materil Pasal 153 Ayat

(1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tentang Ketenagakerjaan.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum yuridis

normatif, Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat

deskriptif analitis, dan Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

studi kepustakaan (library research).

Dari penelitian ini, diketahui bahwa dikabulkannya perkawinan pekerja

dalam satu perusahaan adalah untuk menjaga hak dasar pekerja, yaitu hak

bekerja dan juga hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana

tertuang dalam Pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, hal ini

merupakan bentuk pemenuhan negara terhadap hak-hak dasar yang harus

dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia secara menyeluruh tanpa terkecuali

sebagai bentuk keadilan. Keadilan dimunculkan dari pada aturan hukum, maka

aturan hukum yang mengandung ketidakadilan harus dihapuskan, apalagi

aturan hukum yang mendiskriminasi hak-hak dasar warga negara, dan

ketimpangan ekonomi serta perbedaan posisi dan jabatan harus diatur

sedemikian rupa sehingga kemanfaatan dirasakan terutama bagi pihak yang

seringkali dirugikan, yakni pakerja yang posisinya lemah dalam perjanjian

kerja.

Kata Kunci : Putusan, Mahkamah Konstitusi, Aspek Keadilan,

Tinjauan.

Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H., M.Hum.

Daftar Pustaka : Tahun 1987 Sampai Tahun 2018

Page 6: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر الر بسم للاه

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan berbagai macam nikmat serta karuniaNya sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 13/PUU-XV/2017 TENTANG UJI MATERIL PASAL 153 AYAT

(1) HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 DITINJAU

DARI ASPEK KEADILAN”. Penulis haturkan shalawat serta salam kepada

junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah menghantarkan kita dari

jaman kegelapan hingga jaman yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan

seperti sekarang ini.

Pencapaian ini tidak dapat diraih tanpa bantuan, dorongan serta motivasi dari

berbagai macam pihak. Maka dalam kesempatan kali ini, peneliti ingin

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Abdul Qodir, S.H., M.Hum. Pembimbing skripsi yang telah memberikan

arahan dan masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah menyediakan berbagai macam fasilitas yang memudahkan

peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung

dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu

Page 7: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

vii

persatu. Hanya doa serta ucapan terima kasih yang dapat peneliti sampaikan,

semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan kalian.

Akhir kata peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberi manfaat serta

inspirasi bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 16 Oktober 2019

Faqih Afif Ridlo

Page 8: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.....................................................iii

LEMBARAN PERNYATAAN............................................................................iv

ABSTRAK..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR...........................................................................................vi

DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah...................9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................11

D. Metode Penelitian....................................................................12

E. Sistematika Penulisan..............................................................14

BAB II ASPEK KEADILAN

A. Kerangka Konseptual..............................................................17

B. Teori Keadilan John Rawls.....................................................23

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.......................................26

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN

DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

13/PUU-XV/2017

A. Pertimbangan Hukum..............................................................31

B. Amar Putusan..........................................................................40

BAB IV TINJAUAN ASPEK KEADILAN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Tinjauan Pertimbangan Hukum Terhadap Pengabulan Judicial

Review Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-

XV/2017..................................................................................41

B. Tinjauan Aspek Keadilan Terhadap Pengabulan Judicial

Review Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-

XV/2017..................................................................................54

BAB V PENUTUP

Page 9: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

ix

A. Kesimpulan..............................................................................63

B. Rekomendasi...........................................................................63

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................65

Page 10: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak negara ini didirikan, bangsa Indonesia telah menyadari

bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan dasar warga negara sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 NRI

yang menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kerena setiap orang

membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi

mereka yang sudah berkeluarga, tentunya kebutuhan hidup yang harus

dipenuhi bertambah, oleh karenanya pekerjaan adalah sumber

penghidupan dan hak dasar bagi setiap orang yang merupakan warga

negara maka negara sebagai institusi tertinggi berkewajiban mengayomi

setiap hak yang dimiliki warga negara, dalam hal ini adalah pemenuhan

pekerjaan untuk seluruh warga. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang

matang di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara

tersebut.1

Amanat dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 tersebut

ditindaklanjuti dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, dan sebagaimana yang tertera dalam penjalasan

umumnya adalah bahwa :

“Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat

seluruhnya untuk mewujdukan masyarakat yang sejahtera, adil,

makmur, yang merata, baik materil maupun spiritual berdasarkan

pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan dalam pembangunan nasional, tenaga kerja

mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai

pelaku dan tujuan pembangunan.” (Mediya Rafeldi, 2016:1)

1Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) , h. 1

Page 11: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

2

Artinya, dunia kerja yang menyangkut tenaga kerja sangatlah penting dan

merupakan komponen dari pembangunan bangsa Indonesia.

Negara melalui pemerintah menyusun strategi berupa kebijakan

dan program kerja dalam rangka perencanaan tenaga kerja, pada tingkat

makro maupun mikro, yang tujuan oprasionalnya adalah pembangunan

tenaga kerja.2 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan mejelaskan bahwa yang disebut dengan tenaga

kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat. Artinya bahwa pekerja adalah orang

yang melakukan kegiatan atau aktivitas produksi yang bertujuan untuk

menghasilkan suatu prodak barang atau jasa baik untuk dirinya sendiri

atau orang lain.

Tenaga kerja adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja,

yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain

seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Secara praktis pengertian

tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurut dia hanya dibedakan oleh

batas umur.3 Jadi, yang dimaksud dengan tenaga kerja, yaitu individu yang

sedang mencari atau sudah melakukan pekerjaan yang menghasilkan

barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia

yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yang bertujuan untuk

memperoleh hasil atau upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Kehidupan manusia sangatlah dinamis dan banyak perubahan

yang sangat cepat dalam setiap sudut kehidupan, tidak dapat dipungkiri

lagi terdapat berbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan

2 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan , (Jakarta : Pt Rajagrafindo

Persada, 2014), h. 28

3 Payaman Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, dikutip dalam

Sendjun H Manululang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka

Citra, 1998), h. 3

Page 12: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

3

pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Salah satunya adalah larangan

suami-istri bekerja pada perusahaan yang sama atau yang dalam istilah

hukum ketenagakerjaan disebut dengan ikatan perkawinan dengan pekerja

lainnya dalam suatu perusahaan. Ini bukanlah fenomena baru, awalnya hal

ini dianggap lazim sampai pada akhirnya masalah ini baru muncul

kepermukaan ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 153

Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan

bertentangan dengan UUD 1945.4

Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa :

“pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan

alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu

perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahan, atau perjanjian kerja bersama.” (Mediya Rafeldi,

2016:56)

Peraturan tersebut artinya memberikan ruang kepada para

pengusaha untuk membuat perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama yang isinya memuat larangan bagi pasangan

suami-istri untuk bekerja pada perusahaan yang sama.

Hubungan diantara pekerja dan pengusaha diikat dalam perjanjian

kerja atau perjanjian kerja bersama, dimana hal ini diatur dalam buku III

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian yang besifat

terbuka, artinya kedua pihak yang saling berjanji bebas untuk membuat

suatu perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan

kesusilaan. Pasal 1601 a, Bab 7a, mejelaskan bahwa perjanjian kerja

adalah persetujuan dimana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya

4 Abdul Hadi, “Fenomena Menikah Dengan Teman Sekantor Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Tentang Uji Materi Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan”, Surya Kencana Dua, Vol. 5 Nomor 1 Juli 2018, h. 352

Page 13: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

4

untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan, untuk sesuatu waktu

tertentu, melakukan pekerjaan dengan merima upah.5

Perjanjian kerja menurut Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara

pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-

syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Selain itu ada perjanjian kerja

bersama, menurut Pasal 1 Angka (21) perjanjian kerja bersama merupakan

hasil perundingan anatara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat

pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau

perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban kedua belah pihak. Di sisi lain pengusaha juga membuat

peraturan perusahaan secara tertulis yang memuat syarat-syarat kerja dan

tata tertib perusahaan.

Pada dasarnya, perjanjain kerja, sama dengan perjanjian pada

umumnya, artinya perjanjian kerja pun harus memenuhi syarat-syarat sah

perjanjian sebagaimana yang dituangkan di didalam Pasal 1320 KUHPer,

yaitu :

Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. hal tertentu;

4. dan sebab yang halal.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan

pasal yang sangat populer karena menerangkan tentang syarat yang harus

dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai

pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun

syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa

5 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan ,… h. 22

Page 14: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

5

disebut syarat objektif.6 Adapun dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan

bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak,

kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya

pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Perusahaan biasanya memiliki kebijakan perusahaan tersendiri

mengenai masalah pasangan suami-istri dalam perusahaan yang sama.

Kebijakan perusahaan tersebut biasanya diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kondisi ini

menyebabkan ada perusahaan yang memperbolehkan pasangan suami istri

bekerja pada perusahaan yang sama, ada pula yang melarang atau

memperbolehkan dengan catatan tidak dalam satu unit atau divisi.7

perusahaan melarang adanya suami istri bekerja pada perusahaan yang

sama dilandasi dengan alasan, yaitu mejaga profesionalitas dari pekerja,

apalagi jika pasangan suami-istri tersebut membawa konflik rumah

tangga kedalam kantor, tentunya ini sangat mengganggu kinerja mereka

dan kondisi kantor dalam perusahaan tersebut menjadi tidak kondusif.

Adapun pertimbangan pemberlakuan aturan tersebut menurut Sri Muliati

Abdullah antara lain :8

1. Mewujudkan pemerataan pendapatan di masyarakat. Aturan tersebut

diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas bagi keluarga-

keluarga lainnya, sehingga kesejahteraan tidak hanya terpusat pada

keluarga-keluarga tertentu saja.

6 Ahmadi Miru dan Saka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai

1456 BW , (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h.32

7 Mardiyantoso Eddy Tarman, “Romantika Pasangan Suami Istri Sekantor”, Auditoria

Vol. V No. 22 Edisi Januari-Februari 2011, h. 18

8 Careernews, Pasutri Dilarang Sekantor, http://careernews.id/issues/view/2240-

pasutridilarang- sekantor, diakses Tanggal 9 Oktober 2018 Pukul 14.10 WIB

Page 15: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

6

2. Menghindari konflik pribadi. Apabila pasangan suami istri bekerja di

satu perusahaan yang sama, maka ada kekhawatiran urusan rumah

tangga bisa terbawa ke kantor, begitupun sebaliknya. Hal semacam itu

bisa berpengaruh pada kinerja pasangan tersebut di perusahaan.

3. Menghindari unsur subyektivitas dalam penerapan aturan di kantor.

Apabila pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang sama, maka

dikhawatirkan pemberian reward dan punishment tidak akan

maksimal. Hal ini dimungkinkan terjadi apabila salah satu dari

pasangan tersebut memiliki jabatan yang lebih tinggi dan memiliki

kewenangan untuk memberikan reward dan menjatuhkan punishment.

4. Menghindari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ada risiko terciptanya

korupsi, kolusi, dan nepotisme apabila ada hubungan kekeluargaan di

dalam suatu kantor yang dilandasi motif memperkaya keluarga.

Berbicara mengenai hak pekerja/buruh berarti kita membicarakan

hak-hak asasi, maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang

melekat pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan

jika hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja itu akan menjadi turun

harkat dan derajatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang bukan asasi

berupa hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang sifatnya non asasi.9 Artinya, pekerja memiliki hak-hak

asasi sebagai manusia, seperti hak untuk hidup, hak bekerja, hak

berkeluarga dan melanjutkan keturunan dan lain sebagainya yang memang

dimiliki oleh setiap manusia baik pekerja maupun bukan pekerja. Selain

itu, pekerja memiliki haknya sebagai pekerja, yaitu hak yang hanya

dimiliki oleh pekerja, seperti hak menjadi anggota serikat tenaga kerja, hak

atas jaminan sosial dan k3 (keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan

kerja), hak menerima upah yang layak dan lain sebagainya. Semua hak

tersebut telah dijamin di dalam peraturan perundang-undangan dan harus

dipenuhi serta dilindungi di dunia kerja. Negara sebagai organisasi

9 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan,... h. 15

Page 16: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

7

tertinggi berperan dalam mengatur setiap hal yang berkaitan dengan warga

negaranya, termasuk dalam hal hak asasi manusia yang dimiliki setiap

warga negara, maka negara atau organisasi wajib mengakui dan

melindungi hak asasi manusia tiap manusia, tanpa terkecuali.10

UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk

bekerja. Pasal 28D Ayat (2) UUD Tahun 1945 menjelaskan bahwa setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945

menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Artinya Pasal 153

Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan tersebut sangatlah bertentangan dengan UUD 1945

karena sangat membatasi hak-hak pekerjanya, hal tersebut membuat para

pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya mengajukan

permohonan mengenai peraturan tersebut, karena apabila kedua pihak

yang bekerja dalam satu perusahaan tidak dapat atau batal melaksanakan

perkawinan maka ini sangat merugikan kedua belah pihak apalagi jika

dihadapkan dengan ketentuan salah satu pihak harus mengundurkan diri

dari perusahaan dan bahkan perusahaan akan memutus hubungan kerja

berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama yang ada di perusahaan, maka itu sangatlah merugikan para pihak

karena harus membatalakan perkawinan atau kehilangan pekerjaan demi

melaksanakan perkawinan, untuk itu beberapa pihak yang merasa

dirugikan akhirnya mencoba mengajukan permohonan uji materil Pasal

153 Ayat (1) huruf f ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap

bertentangan dengan UUD dan diputuskan pada Putusan Nomor 13/PUU-

XV/ 2017 dengan amar putusan yang berbunyi “mengabulkan permohonan

para pemohon untuk seluruhnya” dan menyatakan “Pasal 153 Ayat (1)

10

B. Arif Sidharta, “Konsepsi Hak Asasi Manuisa”, (Nomor 4 Bulan Oktober Tahun XX

Jurnal Hukum Pro Justitia, 2002 ), h.13

Page 17: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

8

huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Dengan diputusnya

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tersebut maka

frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

atau perjanjian kerja bersama Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah dihapus dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 153 Ayat (1) Huruf f, di sisi lain memiliki alasan

keberlakuan, seperti kekhawtairan yang disebutkan di atas dan itu semua

demi kemaslahatan dan keberlangsungan perusahaan itu sendiri yang

semata-mata untuk menjaga produktifitas perusahaan, karena memang

produktifitas perusahaan akan menunjang pertumbuhan perekonomian di

negara ini. Pasal 28 J UUD 1945 pun menghendaki pembatasan terhadap

hak asasi manusia, dan ditambah bahwa di dalam hukum perjanjian

menganut suatu asas yang disebut pacta sunt servanda dimana perjanjian

yang dibuat itu haruslah ditaati oleh kedua belah pihak karena perjanjian

mengikat seperti undang-undang bagi para pihak tersebut.

Peneliti berpendapat bahwa ada dua hal yang saling bertentangan

antara pro dan kontra terkait hubungan perkawinan antara rekan kerja,

yaitu demi kemaslahatan dan keberlangsungan perusahaan juga kinerja

para pekerja dan di sisi lain bahwa hak untuk bekerja serta melanjutkan

keturunan atau perkawinan adalah hak setiap orang, dan jodoh pun tidak

bisa detentukan dimana akan menemukannya, maka ini haruslah diteliti

untuk menemukan jawaban apakah dengan dibolehkannya perkawinan

antara rekan kerja memang membawa keadilan yang pasti, karena melihat

bahwa larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan ditujukan

untuk kemaslahatan perusahaan dan di sisi lain bahwa keberlakuan Pasal

153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai

sumber larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan pun didasari

oleh adanya alasan-alasan, singkatnya peneliti ingin meninjau dengan

Page 18: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

9

dasar teori keadilan John Rawls untuk dijadikan dasar dalam meninjau

aspek keadilan dalam putusan tersebut yang diputuskan atas dasar nilai

keadilan. Sehingga peneliti dalam penelitian ini, meneliti dalam bentuk

analisis dengan menggunakan judul “Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 13/PUU-XV/2017 Tentang Uji Materil Pasal 153 Ayat 1 Huruf

F Ditinjau Dari Aspek Keadilan ”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sebagaimana pemaparan latar belakang penelitian di atas, ada

beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu :

a. Adanya perjanjian antara pihak pengusaha dan pihak pekerja yang

membatasi hak-hak pekerja dan merugikan pekerja.

b. Adanya kebijakan perusahaan terkait PHK yang dilegalkan

Undang-Undang terhadap pekerja yang memiliki ikatan

perkawinan.

c. Adanya larangan pekerja melakukan perkawinan antara rekan kerja

dalam satu kantor.

d. Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang melegalkan perusahaan untuk

mem-PHK pekerja yang memiliki ikatan perkawinan dan

merugikan hak-hak pekerja.

e. Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan degan UUD

NRI 1945 Pasal 28B Ayat (1) dan pasal 28D Ayat (2).

f. Adanya alasan pemberlakuan Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

g. Adanya ketentuan di dalam Pasal 28J UUD 1945 terkait kebolehan

pembatasan terhadap hak asasi manusia.

h. Adanya suatu asas di dalam hukum perjanjian, yaitu Pacta Sunt

Servanda yang mana pekerja harus menaati apa yang disepakati

bersama pengusaha.

Page 19: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

10

i. Adanya permohonan ke Mahkamah Konstitusi terkait uji materil

Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan.

j. Dikabulkannya uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

2. Pembatasan Masalah

Peneliti untuk lebih memudahkan penelitian ini dalam membahas

permasalahan secara spesifik, jelas dan lugas, maka peneliti membatasi

masalah hanya pada adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait

uji materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang peneliti paparkan dan

identifikasi masalah di atas dan untuk mempermudah peneliti dalam

penelitian ini, maka peneliti merumuskan masalah pokok, yaitu:

Mengapa adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 153

Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

Selanjutnya peneliti membuat beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

a. Apa dasar pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi

mengabulkan uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

dianggap bertentangan degan UUD NRI 1945 Pasal 28B Ayat (1)

dan Pasal 28D Ayat (2) ?

b. Apa tinjauan aspek keadilan dan kemanfaatan menurut teori

keadilan John Rawls terhadap pertimbangan hukum Mahkamah

Konstitusi yang mengabulkan uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

yang dianggap bertentangan degan UUD NRI 1945 Pasal 28B Ayat

(1) dan Pasal 28D Ayat (2)?

Page 20: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak peneliti capai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi

mengabulkan uji materil Pasal 153 angka (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

dianggap bertentangan degan UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) dan

pasal 28D ayat (2).

b. Untuk mengetahui aspek keadilan terhadap pertimbangan hukum

Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materil Pasal 153

angka (1) huruf f Undang-Undang Nomot 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan degan

UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) dan pasal 28D ayat (2).

2. Manfaat Penelitian

Dengan adanya tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini

dapat memberikan manfaat, antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang

lebih luas di bidang ketenagakerjaan umunya dan dapat

memperdalam perihal perjanjian di bidang ketenagakerjaan

khususnya, yaitu perjanjian antara pihak perusahaan dan pihak

pekerja yang memperhatikan hak-hak pekerja .

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dunia ketenagakerjaan di Indonesia akan lebih

maju lagi, yaitu lebih memperhatikan hak-hak pekerja sebagai

pihak yang sering dirugikan dalam hubungan industrial, dan juga

untuk menghimbau perusahaan-perusahaan agar memperhatikan

hak-hak pekerjanya seta pemerintah untuk lebih memperhatikan

segala aspek khususnya aspek keadilan dan kemanfaatan dalam

membuat suatu Undang-Undang.

Page 21: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

12

D. Metode Penelitian

Dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian adalah hal yang sangat

penting, yang mana ditujukan untuk memahami dan menjawab

permasalahan yang diteliti. Untuk itu peneliti dalam hal ini akan

menjabarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Pendekatan Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

hukum yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya dan juga pendekatan kasus Case Aprroach, yaitu

pendekatan penelitian hukum dengan meneliti alasan-alasan yang

digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.11

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian

dengan mengumpulkan dan merekap data yang bukan dicatat dalam

bentuk angka namun memberikan penjelasan secara jelas dan

sedalam-dalamnya.12

c. Data Penelitian

Data adalah bahan keterangan tentang suatu obyek penelitian yang

diperoleh dalam penelitian. Data utama yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-

XV/2017. Adapun penjabaran sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan

11

. Peter Mahmud Marzuki,, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2011 ), h.158

12

Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka,

1992), h. 10

Page 22: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

13

hukum perimer terdiri perundang-undangan, catatan-catatan resmi

atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim.13

Adapun bahan primer dalam penelitian ini

adalah : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang tidak

mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau

menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-

dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku

teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.14

c. Bahan Non Hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, dan lain-lain sepanjang mempunyai relevansi

dengan topik penelitian .15

d. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Studi

kepustakaan ialah suatu metode yang berupa pengumpulan bahan-

bahan hukum, yang diperoleh dari buku pustaka atau bacaan lain yang

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181

14

. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181

15

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 185

Page 23: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

14

memiliki hubungan dengan pokok permasalahan, kerangka, dan ruang

lingkup permasalahan. Dalam penelitian ini penulis mencari dan

mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan

perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum, skripsi,

makalah-makalah, surat kabar, artikel, majalah atau jurnal-jurnal

hukum, maupun pendapat para sarjana yang mempunyai relevansi

dengan judul penelitian yang dapat menunjang penyelesaian penelitian

ini.

e. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa penelitian ini adalah jenis

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, maka pengelolaan

data yang digunakan dalam peneletian ini adalah dengan memilah dan

memilih data dari hasil studi kepustakaan sesuai kebutuhan atau porsi

yang diperlukan untuk disajikan dalam bentuk narasi yang akan

dijadikan jawaban antas rumusan masalah yang dicantumkan oleh

peneliti. Sedangkan dalam hal peneliti menganalisa data, peneliti

menganalisa potongan-potongan teks yang dikumpulkan sebagai data

dengan memahami dan menafsirkannya sesuai kebutuhan untuk

disajikan secara naratif dalam skripsi kualitatif ini.

f. Metode Penulisan

Dalam Penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Penelitian

Sistematika pembahasan yang dipaparkan oleh peneliti di sini,

ditujukan untuk mempermudah dalam membahas masalah-masalah dalam

penelitian ini, supaya pembahasan permasalahan menjadi sistematis dan

efektif. Berikut adalah susunan pembahasan dalam penelitian ini :

BAB I : PENDAHULUAN

Page 24: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

15

Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan

masalah, tinjauan kajian terdahulu sebagai perbandingan

dengan skripsi yang akan diteliti, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan rancangan sistematika

penelitian.

BAB II : ASPEK KEADILAN

Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan kerangka

konseptual penelitian dan juga kerangka teori yang

dijadikan landasan dalam penenelitian ini, yaitu teori

keadilan John Rawls.

BAB III : PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN

DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 13/PUU-XV/2017

Dalam bab ini akan menguraikan data yang ditemukan

peneliti, terutama bagaimana pertimbangan hukum yang

digunakan hakim dalam memutuskan permohonan judicial

review dan amar putusan dalam putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut.

.

BAB IV : TINJAUAN ASPEK KEADILAN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-

XV/2017

Dalam bab ini penulis akan mengkaji aspek keadilan dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017

dilandaskan dengan keadilan menurut teori John Rawls.

BAB V : PENUTUP

Page 25: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

16

Bab ini berisikan kesimpulan dari semua yang telah dibahas

sebelumnya oleh peneliti dan rekomendasi yang berguna

bagi peneliti-peneliti setelahnya dalam meneliti kasus

hukum, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan.

Page 26: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

17

BAB II

ASPEK KEADILAN

A. Kerangka Konseptual

1. Pokok-pokok Keadilan John Rawls

Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan bahwa Teori

keadilan Rawls berangkat dari keyakinan yang dituangkannya dalam

proposisi panjang yang pokok-pokonya adalah :

a. Keadilan merupakan kebijakan utama institusi sosial, seperti

kebenaran pada sistem berpikir seseorang. Hukum atau

institusi-institusi betapapun bagus dan efisiensinya apabila

tidak adil haruslah diperbaiki atau dihapus. Benar dan adil

adalah hal yang tidak dapat dikompromikan.

b. Setiap orang memiliki hak yang tertanam pada prinsip keadilan

yang tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama kepentingan

umum. Keadilan tidak membenarkan dikorbankannya

kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi

kepentingan orang lain.

c. Dalam masyarakat berkeadilan, kemerdekaan dengan

sendirinya terjamin; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak

bisa dijadikan mangsa tawar-menawar politik atau hitungan-

hitungan kepentingan umum.

d. Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk

menghindarkan ketidakadilan lebih besar.1

2. Unsur-unsur Pokok Keadilan John Rawls

Bur Rasuanto membuat kesimpulan terkait keadilan

menurut John Rawls, bahwa unsur-unsur pokok keadilan Rawls

adalah :

a. Prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan;

1 John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:

Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern,… h. 40

Page 27: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

18

b. Kesamaan dalam distribusi;

c. Nikmat-nikmat primer;

d. Ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh dapat menguntungkan

semua pihak.

Nikmat-nikmat primer merupakan suatu pengertian umum

mengenai apa-apa yang menjadi kebutuhan dan dikejar setiap

orang untuk hidup sebagai manusia normal. Tentu apa yang

dikejar dan apa yang didapat masing-masing orang tidaklah sama,

tergantung kemampuan, kesempatan, dan juga selera atau nilai

yang dianut. Teori keadilan Rawls, tidak secara langsung

menghapuskan ketidaksamaan antara manusia satu dengan lainnya

melainkan hendak memastikan bahwa semua manusia berhak

mendapatkan hak dan kesempatan yang sama.

3. Gagasan Konsep Keadilan John Rawls

Pan Mohammad Faiz menjelaskan bahwa Secara spesifik,

Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan

dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal

dengan “posisi asali” dan “selubung ketidak tahuan”. Rawls

berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara

antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak

yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,

seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan,

kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang

tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara

seimbang. Kondisi demikianlah yang disebut Rawls sebagai “posisi

asali”. Posisi asali ini dapat dikatakan merupakan status quo awal

yang pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai di

dalamnya adalah fair. Hal ini menjelaskan kepatutan istilah

Page 28: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

19

“keadilan sebagai fairness.2 Mengasumsikan bahwa posisi asali

menentukan seperangkat prinsip, maka benar bahwa kapanpun

lembaga-lembaga sosial memasukkan prinsip-perinsip tersebut

mereka yang terlibat bisa saling mengatakan bahwa mereka

berkerja sama dalam kerangka yang akan mereka sepakati jika

mereka bebas dan setara dan hubungannya satu sama lain adalah

fair.3

Sementara itu konsep “selubung ketidaktahuan”

diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada

tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,

termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga

membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan

yang tengah berkembang. Melalui dua konsep tersebut, Rawls

mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip

kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut

teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.4

4. Prinsip Keadilan John Rawls

Selain itu Rawls juga mengemukakan dua prinsip utama

dalam keadilan, yang pertama adalah setiap orang mempunyai hak

yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan

yang sama bagi semua orang, yang kedua adalah ketimpangan

sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa, sehingga (a)

dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan (b)

semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.5 Melalui jalan

2 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.14

3 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.14

4 John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Pan Mohammad Faiz, “Teori Keadilan

John Rawls”, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2009, h. 140

5 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.72

Page 29: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

20

komentar umum, prinsip-prinsip tersebut terutama menerapkan

struktur dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak

dan kewajiban dan mengatur distribusi keuntungan sosial dan

ekonomi.

Sebagaimana diungkapkan rumusan mereka, prinsip-prinsip

tersebut menganggap bahwa struktur sosial dapat dibagi menjadi

dua bagian utama, prinsip yang pertama diterapkan yang satu, dan

yang kedua pada yang lain. Mereka membagi antara aspek-aspek

sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan

warganegara dan aspek-aspek yang menunjukan dan mengukuhkan

ketimpangan sosial-ekonomi.6 Menempatkan prinsip kebebasan

setara di atas prinsip yang mengatur ketimpangan sosial dan

ekonomi. Hal ini berarti struktur dasar masyarakat adalah menata

ketimpangan kekayaan dan otoritas dengan cara-cara yang sejalan

dengan kebebasan setara yang diharuskan oleh prinsip

sebelumnya7

Kebebasan dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara

yang telah dijamin pemenuhan dan pemberlakuannya diharuskan

setara oleh prinsip pertama, karena suatu masyarakat yang adil

mempunyai hak-hak dasar yang sama.8 Prinsip kedua berkenaan

dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta desain organisasi

yang menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggungjawab,

atau rantai komando. Sementara distribusi kekayaan dan

pendapatan tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua orang,

dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan

6 John Rawls, Teori Keadilan, ... h.73

7 John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 48

8 John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 73

Page 30: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

21

komando harus bisa diakses oleh semua orang. Masyarakat yang

menerapkan prinsip kedua dengan membuat posisi-posisinya

terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini,

akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian hingga

semua orang diuntungkan.9

Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip

pertama mendahului prinsip kedua. Ini merupakan tatanan yang

membutuhkan kita untuk memenuhi prinsip pertama dalam

penataan sebelum kita bisa beranjak ke yang kedua, yang kedua

sebelum kita memepertimbangkan yang ketiga, dan seterusnya.

Suatu prinsip tidak bisa berjalan hingga prinsip-prinsip sebelumnya

bisa sepenuhnya dipenuhi atau tidak diterapkan, prinsip-prinsip

yang lebih awal dalam tata urutan mempunyai bobot mutlak, dan

tanpa terkecuali. 10

Urutan ini mengandung arti bahwa pemisahan dari

lembaga-lembaga kebebasan setara yang diperlukan prinsip

pertama tidak bisa dijustifikasi oleh, atau digantikan dengan,

keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi

kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus sejalan

dengan kebebasan warga negara dan kesamaan kesempatan. 11

sekarang harus dicermati bahwa dua prinsip tersebut (dalam hal ini

berlaku bagi semua rumusan) adalah kasus khusus tentang

konsepsi keadilan yang lebih umum yang bisa dijelaskan sebagai

berikut :

9 John Rawls, Teori Keadilan,... h.73

10

John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 47

11

John Rawls, Teori Keadilan, ... h.74

Page 31: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

22

Semua nilai sosial-kebiasaan dan kesempatan, pendapatan

dan kekayaan, dan basis-basis harga diri- didistribusikan

secara sama kecuali jika distribusi yang tidak sama dari

sebagian, atau semua, nilai tersebut demi keuntungan

semua orang. 12

5. Prinsip Fairness untuk individu

Rawls berusaha menggunakan prinsip ini untuk menilai

semua kebutuhan yang merupakan kewajiban yang dibedakan dari

tugas alamiah. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang diwajibkan

melakukan perannya sebagaimana yang ditentukan oleh institusi

ketika dua kondisi terpenuhi:

e. Pertama, institusinya adil (atau fair) yakni memenuhi dua

prinsip keadilan;

f. Kedua, oarng secara sukarela mnerima keuntungan dari tatanan

atau mendapat keuntungan dari peluang yang ditawarkannya

demi mengejar kepentingannya.13

Gagasan ini utamanya adalah bahwa ketika sejumlah orang

terlibat dalam kerjasama yang saling menguntungkan sesuai

dengan aturan, lantas membatasi kebebasan mereka agar

memberikan keuntungan untuk semua orang, mereka yang patuh

pada batasan tersebut punya hak mendapat kepatuhan serupa dari

orang-orang yang mendapat keuntungan dari kedudukan mereka.

Kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari kerja kooperatif orang

lain tanpa melakukan peranan kita. Dua prinsip keadilan

menentukan bagian yang fair dalam kasus institusi yang dimiliki

12

John Rawls, Teori Keadilan, ... h.74 13

John Rawls, Teori Keadilan, ... h.133-134

Page 32: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

23

struktur dasar. Jadi jika tatanan ini adil, setiap orang menerima

bagian yang fair ketika semua melakukan bagian peranannya.14

Kebutuhan yang didefinisikan oleh prisnip fainess adalah

kewajiban. Semua kewajiban muncul dengan cara ini. Namun

penting untuk dicatat bahwa prinsip fairness punya dua bagian,

pertama yang menyatakan bahwa institusi-institusi atau praktik-praktik

harus adil, yang kedua adalah bagian yang menggolongkan tindakan

sukarela yang dibutuhkan. 15

B. Teori Keadilan John Rawls

Kerangka atau landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat

dibutuhkan sebagai landasan untuk dapat menganalisa, mengkaji, dan

menyimpulkan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini. Dibawah ini

peneliti memaparkan landasan teori yang dipilih peneliti sebagai alat untuk

mencari jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.

John Rawls, atau nama lengkapnya John Borden Rawls,

dilahirkan pada tahun 1921 dari sebuah keluarga kaya di Baltimore,

Maryland.16

John Rawls boleh disebut sebagai salah satu dari filusuf

politik yang paling penting dalam abad ini. Keadilan menurut John Rawls

adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran

dalam sistem pemikiran.17

Suatu teori, betapapaun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga

hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efesien dan rapihnya, harus

direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki

kehormatan yang bersandar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat

14

John Rawls, Teori Keadilan, ... h.134 15

John Rawls , Teori Keadilan, ... h.134

16

Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPI’s, Vol. 9, No.

2, Juli-Desember 2013, h.3

17

John Rawls, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, ( Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2011), h.3

Page 33: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

24

sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak

jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal

yang lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan

pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh

sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu,

dalam masyarakat yang adil kebebasan warganegara dianggap mapan;

hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar

politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang

mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak

adanya teori yang lebih baik; secara analogis ketidakadilan bisa dibiarkan

hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai

kebijakan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa

diganggu gugat.18

Institusi sosial adalah himpunan kaidah –kaidah dari segala

tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan

masyarakat, yang dimaksud dengan kebutuhan pokok di dalam kehidupan

manusia itu seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan pencarian

hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk menyatakan rasa

keindahan, kebutuhan jasmaniah diri, manusia, dan lain sebagainya.19

Jadi,

institusi itu pada hakikatnya merupakan alat perlengkapan masyarakat

untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat

dipenuhi secara seksama. Keseksamaan di sini pada pokoknya

mengandung makna keteraturan. Di samping itu, keadilan merupakan

salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui di

semua tempat di dunia ini. Keadilan dikukuhkan ke dalam institusi yang

namanya hukum, maka, institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi

saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam

18

John Rawls, Teori Keadilan, ... h. 4

19

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016) h.

77-78

Page 34: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

25

masyarakat.20

Sejatinya, selain hukum sebagai institusi sendiri, hukum pun

merasuki ke setiap institusi-institusi sosial, seperti instiusi perkawinan,

pendidikan, ketenagakerjaan atau industial, semua itu diatur oleh hukum.

Artinya hukum sebagai sumber keadilan harus mendatangkan keadilan di

setiap institusi-institusi sosial yang ada.

Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan terkait keadilan

sosial bahwa John Rawls memperjuangkan kesamaan hak yang dimiliki

satu orang dengan yang lainnya, dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan

Rawls memberikan sumbangan pemikiran supaya hubungan antara

pengusaha dengan karyawannya bisa berjalan dengan baik. Tidak ada yang

merasa dirugikan, karena dua unsur ini adalah hal yang harus ada dan

saling membutuhkan dalam dunia kerja, pengusaha membutuhkan

karyawan dan sebaliknya juga. Rawls menerapkan prinsip kesamaan

dalam distribusi primary goods atau nikmat-nikmat primer.21

Nikmat-

nikmat primer yang dirumuskan Rawls sebagai semua nikmat, material

dan nonmaterial, yang langsung maupun tidak langsung dapat

mempengaruhi kondisi kehidupan dan masa depan seseorang. Nikmat

primer itu mencakup nikmat ekonomi, hak-hak dan kemerdekaan,

kekuasaan dan kesempatan, juga kehormatan diri.

Rawls menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan

utama yang harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi semangat dasar

dari berbagai lambaga sosial dasar suatu masyarakat. Memperlakukan

keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara

adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati

harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Harga diri dan martabat

manusia tidak bisa diukur dengan kekayaan ekonomis, sehingga harus

dimengerti jauh bahwa keadilan lebih luas melampaui status ekonomi

20

Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h. 118 21

John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:

Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: IKAPI,

2005), h. 43

Page 35: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

26

seseorang. tinggi dan luhurnya martabat manusia itu ditandai dengan

kebebasan, karena itu juga kebebasan harus mendapatkan prioritas

dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan ekonomis yang bisa dicapai

seseorang.22

Bur Rasuanto di dalam bukunya menjelaskan bahwa Teori John

Rawls berbicara mengenai keadilan sosial, yang subjek utamanya adalah

struktur dasar masyarakat. Bagi Rawls konsepsi keadilan haruslah

berperan mengenai penyediaan cara di dalam institusi-institusi sosial

utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan kewajiban, serta

menentukan pembagian hasil-hasil kerja dari kerja sama sosial.23

Masyarakat dalam memahami keadilan mungkin berbeda, akan tetapi

meskipun berbeda dalam memahami, masyarakat tetap sependapat bahwa

adil itu ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antara orang, dalam

memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan

keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling bersebrangan demi

kemanfaatan kehidupan sosial.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Disini peneliti akan menguraikan secara ringkas tentang

kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah

ketenagakerjaan khususnya terkait masalah yang akan diteliti. Berikut

adalah yang dapat ditemukan oleh peneliti sejauh yang berkenaan dengan

masalah-masalah yang akan diteliti, diantaranya adalah :

1. Skripsi

b. Skripsi Rizki Nur Ariansyah.24

Persamaan antara skripsi saya dan

skripsi Rizki Nur Ariansyah adalah sama-sama membahas tentang

22

John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan

Demokrasi, Telaah Terhadap Filsafat Politik John Rawls, ( Yogyakarta : Kanisius, 2001), h. 22-

23 23

John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:

Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern,... h. 40-41

24

Rizki Nur Ariansyah, Skripsi : Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap

Perluasan Makna Agama Dalam Administrasi Kependudukan, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2018)

Page 36: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

27

Putusan Mahkamah Konstitusi, sedangkan perbedaannya adalah

dalam skripsi Rizki Nur Ariansyah membahas tentang implikasi

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-VIX/2016 serta

bagaimana alasan dan metode yang digunakan oleh hakim dalam

memberikan perluasan makna agama yang mana hakim dalam

putusan ini mempraktekkan beberapa metode penafsiran, yaitu

penafsiran konstekstual dan penafsiran ekstensif, di mana

penafsiran kontekstual ini digunakan karena belum adanya

definisi tentang makna kata agama dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia, sehingga memberikan penafsiran

ekstensif untuk memperluas makna kata agama yang juga

termasuk penghayat kepercayaan , sedangkan dalam skripsi saya,

membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

13/PUU-XV/2017 terkait uji materil Pasal 153 Ayat (1) Hutuf F

yang ditinjau dari aspek keadilan dan kemanfaatan yang di

dasarkan atas teori keadilan John Rawls.

c. Skripsi M. Zainul Abidin.25

Persamaan antara skripsi saya dan

skripsi M. Zainul Abidin adalah sama-sama membahas tentang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tentang

uji materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf F, sedangkan perbedaanya

adalah dalam penelitian ini memaparkan bahwa adanya undang-

undang ketenagakerjan yang dirasa merugikan pihak karyawan

yang terdapat kata kecuali dimana apabila seorang karyawan

hendak melakukan perkawinan dalam satu perusahaan maka salah

satu diantara mereka harus memutus hubungan kerja, dengan

adanya undang-undang yang dirasa merugikan karyawan dan

bertentangan dengan UUD 1945 sehingga timbul sebuah gugatan

ke MK, dimana isi putusan tersebut memperbolehkan seseorang

25

M. Zainul Abidin, Skripsi : Putusan Hubungan Kerja Atas Alasan Ikatan Pernikahan

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 Prespektif Fiqih Siyasah

Dusturiyah, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2018)

Page 37: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

28

melakukan permikahan dalam satu perusahaan tanpa harus

memutus hubungan kerja. seseorang boleh melakukan pernikahan

dalam satu perusahaan tanpa harus memutus hubungaan kerja.

Selanjutnya putusan tersebut dianalisis ke dalam siyasah

dusturiyah dibagian siyasah qodla’iyyah yang menjelaskan

tentang kehakiman serta mendukung dengan adanya isi putusan

yang dikeluarkan oleh MK karena putusan tersebut menghasilkan

kemaslahatan bagi masyarakat khususnya bagi pekerja yang

hendak melakukan pernikahan dalam satu perusahaan, sedangkan

dalam skripsi saya, membahas mengenai Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 terkait uji materil P asal 153

Ayat (1) Hutuf F yang ditinjau dari aspek keadilan dan

kemanfaatan yang di dasarkan atas teori keadilan John Rawls.

2. Buku

Adrian Sutedi, S.H., M.H.26

dalam bukunya yang berjudul Hukum

perburuhan menjelaskan bahwa tenaga kerja selalu menjadi pihak

yang lemah apabila dihadapkan pada pemberi kerja yang

merupakan pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang

selalu dianggap lemah, tidak jarang para tenaga kerja selalu

mengalami ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan

perusahaan. Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk

melindungi kepentingan buruh dengan dasar filosofis bahwa

buruh selalu merupakan subordinasi dari pengusaha.

Ketidakadilan yang sering dialami buruh adalah perihal

pemutusan hubungan kerja yang menghilangkan haknya sebagai

warga negara yang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan

diperlakukan secara adil dalam dunia kerjanya, padahal buruh

memiliki hak – hak yang memang dilindungi oleh Undang-

Undang baik hak asasi maupun yang bukan asasi.

3. Jurnal

26

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)

Page 38: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

29

Jurnal ditulis oleh Wurianalya Maria Novenanty.27

Jurnal Ilmu

Hukum, Veritas et Justisia, Volume 2 Nomor 1 Juni 2016.

Persamaan antara skripsi saya dan jurnal Wurianalya Maria

Novenanty adalah sama-sama membahas tentang Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 tentang uji

materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf F, sedangkan perbedaannya

adalah Jurnal ini membahas bahwa ada beberapa perusahaan

yang membuat aturan yang mengharuskan pekerjanya

mengundurkan diri atau bahkan bersedia di-PHK apabila dia

memutuskan menikah dengan pekerja lain di perusahaan tersebut.

Alasannya, antara lain, mencegah konflik pribadi, subyektivitas,

korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penulis mengkaji kesesuaian

aturan tersebut dengan peraturan perundang-undangan di

Indonesia: Undang- Undang Dasar 1945, Peraturan yang terkait

dengan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan. Temuan utama penulis adalah

bahwa hak untuk menikah sebenarnya dapat dibatasi asalkan

untuk kepentingan bangsa dan ketertiban umum. Pembatasan

hanya dapat diberlakukan oleh perusahaan yang bersifat publik

dengan tujuan memajukan kepentingan publik, sedangkan dalam

skripsi saya, membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 13/PUU-XV/2017 terkait uji materil Pasal 153 Ayat (1)

Hutuf F yang ditinjau dari aspek keadilan dan kemanfaatan yang

di dasarkan atas teori keadilan John Rawls.

27 Wurianalya Maria Novenanty, “Pembatasan Hak Untuk Menikah Antara Pekerja

Dalam Satu Perusahaan”, Verietas et Justisia, Vol. 2 No. 1 Juni 2016.

Page 39: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

30

Page 40: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

31

BAB III

PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Pertimbangan Hukum

Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 Ayat (1) Huruf a

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,

selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5076, Selanjutnya disebut UU

48/2009), salah satu kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945;

Permohonan para pemohon adalah pengujian konstitusionalitas

norma Undang-undang, in casu Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU 13/2003)

terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan

a quo;

Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta

penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian materiil

(Judicial review ) Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang

Page 41: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

32

diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-

undang, yaitu :

a. Perorangan warga negara Indonesia ( termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat;

d. Lembaga negara;

Para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. Kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal

51 Ayat (1) UU MK;

b. Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang

diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-

undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

menjelaskan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

harus memenuhi lima syarat, yaitu :

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon yang

diberikan oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para pemohon

dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan

pengujian;

c. Kerugian Konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi;

Page 42: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

33

d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband ) antara kerugian

dimaksud dengan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan

pengujian;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan

maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau

tidak lagi terjadi;

Berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK dan

syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon

sebagai berikut:

Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian

konstitusionalnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 153 Ayat (1)

huruf f UU 13/2003;

Para pemohon mendalilkan bahwa :

1. Pemohon I sampai dengan pemohon VII adalah pegawai PT. PLN

(Persero) dan Pengurus Dewan Pemimpin Serikat Pegawai Perusahaan

Listrik Negara dan Pemohon VIII adalah mantan pegawai PT. PLN

(Persero), masing-masing sebagai perseorangan warga negara

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) Huruf a

UU MK beserta penjelasannya;

2. Para pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional, bahkan

banyak pekerja yang telah mengalami kerugian actual dengan

berlakunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan;

3. Dengan merujuk pada Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 yang

menyatakan, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun

masyarakat, bangsa, dan negaranya”, sehingga dapat dikatakan bahwa

Page 43: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

34

para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

memperjuangkan kepentingan diri sendiri dalam hal jaminan untuk

mempertahankan pekerjaan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja;

4. Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;

5. Maka para pemohon mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan

konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 153

Ayat (1) huruf f UU 13/2003 terhadap UUD 1945 karena menurut

para Pemohon pasal tersebut mengandung materi muatan yang bersifat

menghilangkan dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja para

pemohon disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu perusahaan,

sehingga para pemohon kehilangan jaminan kerja dan penghidupan

yang layak;

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK dikaitkan dengan

kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para pemohon, menurut

Mahkamah, berdasarkan penalaran yang wajar para pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

Para pemohon mendalilkan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2)

dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang 1945, dengan argumenatasi yang

pada pokoknya sebagai berikut :

a. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah dalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28B Ayat

(2) UUD 1945. Hal itu ditegaskan pula dalam Pasal 10 Ayat (1)

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sementara itu, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas

kehendak bebas calon suami dan calon istri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketenuan Pasal

Page 44: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

35

153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

membawa konsekuensi bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan

adanya perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan. Karena

menurut Undang-undang Perkawinan sahnya perkawinan adalah sah

setelah dilakukan menurut agama berarti norma Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga melarang orang

melakukan perintah agamanya;

b. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 153 (1) Hurut f Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menghilangkan

jaminan kerja para pemohon dan hak atas penghidupan yang layak

serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan

kerja yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Jika

perusahaan beralasan bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk

mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, alasan itu tidak

dapat diterima sebab terjadinya korupsi,kolusi, dan nepotisme adalah

tergantug kepada mentalitas seseorang;

c. Sesungguhnya, perkawinan antara sesama pegawai dalam satu

perusahaan justru menguntungkan pihak perusahaan karena dapat

menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menanggung satu

orang pekerja beserta keluarga tetapi perusahaan memiliki dua orang

pekerja, di mana bisa suami atau istri yang berkedudukan sebagai

penanggung yang akan didaftarkan ke perusahaan yang bersangkutan.

Setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan seksama

permohonan para pemohon, bukti surat/tulisan perhomohonan, keterangan

tertulis DPR, keterangan lisan dan tertulis presiden, keterangan Asosiasi

Pengusaha Indonesia ( APINDO ), dan keterangan tertulis PT.PLN

(Persero), bukti suarat/tulisan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ,

kesimpulan tertulis pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, dan

kesimpulan tertulis Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Mahkamah

Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut.

Page 45: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

36

Bahwa pada pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja”. Sejalan dengan itu, Pasal 23 Ayat

(1) Deklarasi HAM PBB juga menegaskan, “Setiap orang berhak atas

pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-

syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas

perlindungan dari pengangguran”. Hak konstitusional sebagaim ana diatur

dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 adalah bagian dari hak asasi

manusia yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, politik, sosial, dan

kebudayaan. Berbeda dengan hak asasi manusia yang tergolong ke dalam

hak-hak sipil dan politik yang pemenuhannya dilakukan dengan sesedikit

mungkin campur tangan negara, bahkan dalam batas-batas tertentu negara

tidak boleh campur tangan, pemenuhan terhadap hak-hak yang tergolong

kepada hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan justru membutuhkan peran

aktif negara sesuai kemampuan atau sumber daya yang dimiliki oleh tiap-

tiap negara.

Bahwa Pasal 28I Ayat (4) UUD1945 menegasakan, “Perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung

jawab negara, terutama pemerintah”. Oleh karena itu, terlepas dari jenis

atau kategorinya, tanggungjawab negara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28I Ayat (4) Undang-undang 1945 tersebut tetap melekat pada

negara, khususnya Pem erintah. Dalam hal ini khsusnya hak untuk bekerja

serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang layak dan adil dalam

hubungan kerja serta hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan

keterunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun tanggungjawab untuk

menlindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia itu oleh

konstitusi ditegaskan menjadi tanggungjawab negara, khususnya

pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa institusi atau orang perorangan di

luar negara tidak wajib menghormati keberadan hak-hak tersebut. Sebab,

Page 46: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

37

setiap hak yang dimiliki seseorang selalu menimbulkan kewajiban pada

pihak lainnya untuk menghormati keberadaan hak itu.

Selanjutnya, hak atas pekerjaan adalah juga berkaitan dengan hak

kesejahteraan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia mempertegas ketentuan yang tertuang dalam

Pasal 28D Ayat (2) UUD tersebut. Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang

Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap warga negara, sesuai dengan

bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan, memilih

pekerjaan yang layak”. Dalam Ayat (2) diatur, “Setiap orang berhak

dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas

syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Ketentuan ini sejalan dengan

ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 Ayat (1) Internasional Covenant on

Economic, Sosial, and Cultural Right ( Konvenan Internasional tentang

Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ) yang telah diratifikasi dengan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional

Covenant on Economic, Sosial, dan Cultural Right (Konvenan

Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya )

menyatakan, “Negara-negara Pihak pada Konvenan ini mengakui hak atas

pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari

nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya sendiri secara

bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi

hak tersebut”.

Pertimbangan sebagaimana terurai di atas menunjukan bahwa

kewajiban melindungi hak untuk mendapatkan pekerjaan bukan hanya

menjadi kewajiban konstitusional ( constitutional obligation ) negara tapi

juga talah menjadi kewajiban yang telah lahir dari hukum internasional (

international legal obligation ), dalam hal ini kewajiban yang lahir dari

keikutsertaan Indonesia dalam International Convenant on Economic,

social, and Cultural Right. Konstitusi memang memberikan wewenang

konstitusional kepada negara untuk membuat pembatasan terhadap hak

Page 47: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

38

asasi manusia, namun kewenangan itu tunduk pada persyaratan yang

ditentukan oleh konstitusi, sebagaimana akan diuraikan lebih jauh dalam

pertimbangan di bawah ini.

Apabila dalam suatu perusahaan yang mempersyaratkan

pekerja/buruh tidak boleh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan yang

sama dan menjadikan hal itu sebagai dasar dapat diberlakukannya

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan,

Mahkamah Konstitusi menilai bahawa aturan tersebut tidak sejalan dengan

norma dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 38 Ayat (1)

dan ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 6 Ayat (1)

Internasional Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Right

Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005,

Pasal 23 Ayat (1) Deklarasi HAM PBB sebagimana telah disebutkan.

Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat

direncanakan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir

sebagai syarat untuk mengesampingkan penemuhan hak asasi manusia,

dalam hal ini hak atas pekerjaan serta untuk membentuk keluarga adalah

tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai

degan Pasal 28J Ayat (2) Undang-undang 1945 pembatasan terhadap hak

asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang

lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demoktratis.

Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 Ayat (1) huruf f

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain karena

tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya

Page 48: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

39

pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian pula tidak

ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya

fakta bahwa pekerja/buruh dalam suatu perusahaan memiliki pertalian

darah dan/atau ikaatan perkawinan.

Bahwa menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan PT.

PLN (Persero), dalam keterangannya menyatakan memberlakukan Pasal

153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan di lingkaran internal mereka adalah dengan tujuan untuk

mencegah hal-hal negatif yang timbulnya konflik kepentingan dalam

mengambil suatu keputusan internal perusahaan. Menurut Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat

pembatasan konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J

Ayat (2) Undang-undang 1945. Adapun kekhawatiran akan terjadinya hal-

hal negatif di lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik

kepentingan dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan,

hal tersebut dapat dicegah degna merumuskan peraturan perusahaan yang

ketat sehingga terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga

terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.

Adapun argumentasi yang disampaikan baik oleh Presiden maupun

Pihak terkait APINDO yang menghubungkannya dengan Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai

dengan Undang-undang berlaku sebagi Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain

dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alsan yang

ditentukan oleh Undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan

itikad baik”. Menurut Mahkamah Konstitusi, argumentasi demikian tidak

selalu sesuai untuk diterapkan tanpa memeperhatikan keseimbangan

keududukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika

persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah terang kiranya bahwa antara

Page 49: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

40

pengusaha dan pekerja/buruh berada dalam posisi yang tidak imbang.

Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang lemah

karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dalam kebebasan

berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi

tidak sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan pertibangan demikian maka kata

“telah” yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tetang Ketenagakerjaan tidak dengan

sendirinya berarti telah terpenuhinya prinsip kebebasan berkontrak.

Seluruh pertimbangan Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil

permohonan para pemohon berasalan menurut hukum.

B. Amar Putusan

Amar putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

13/PUU-XV/2017 adalah sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153

Ayat (1) huruf f Un dang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

bertentangan degan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Page 50: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

41

BAB IV

TINJAUAN ASPEK KEADIAN DAN KEMANFAATAN DALAM

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Tinjauan Pertimbangan Hukum Terhadap Pengabulan Judicial Review

Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

13/PUU-XV/2017

Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk ciptaan Tuhan yang

paling sempurna. Manusia adalah Zoon Politicon, Kata-kata Yunani yang

asalnya dari Aristoteles ini menurut penjelasan yang diberikan oleh Prof.

Hans Kelsen, berarti “Man is a social and political being”, yang

dinyatakan sebagai “Manusia itu selalu hidup dalam pergaulan hidup

manusia, dan dalam keadaan demikian ia selalu berorganisasi.1 Artinya,

bahwa manusia adalah makhluk sosial yang artinya hidup saling

membutuhkan satu sama lain dan tidak terlepas dari pergaulan dan

interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuhan

menciptakan manusia dengan kesempurnaan di antara ciptaan lainnya

karena selain dibekali nafsu, manusia juga dibekali akal fikiran, rasa dan

kehendak.

Salah satu bentuk pergaulan manusia adalah dalam hal

ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan

dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa

kerja.2 Berkaitan dengan itu pemerintah memeperhatikan segala hal yang

bersangkutan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan

sesudah masa kerja dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13

1 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia

Indonesia, 1987 ), h. 32

2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012),

h.191

Page 51: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

42

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang bertujuan mengagayomi dan

melindungi setiap aspek yang berkaitan dengan tenaga kerja, yang

dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Pekerjaan adalah hal yang sangat fundamental bagi setiap orang,

karena untuk melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup. Setiap

orang membutuhkan sumber penghidupan dan penghasilan yang tidak lain

adalah pekerjaan yang dimilikinya. Sejalan dengan itu, ada individu yang

menduduki posisi sebagai pekerja ada juga yang menduduki posisi sebagai

pengusaha. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan

kerja pada pengusaha dengan mendapat upah.3 Artinya, pekerja adalah

pihak yang mencari dan menerima pekerjaan dari pengusaha. Pengusaha

adalah pihak pemberi kerja yang menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah orang

perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang

mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain. Hubungan antara pengusaha dan pekerja disebut hubungan

kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pelaku usaha dengan

karyawan yang diikat dalam suatu perjanjian kerja yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah, dan perintah, berdasarkan itu hubungan kerja di awali

dengan adanya perjanjian kerja.

Banyak sekali permasalahan yang ada di dalam hubungan kerja,

yaitu antara pengusaha dan pekerja. Hal ini terjadi karena adanya hal-hal

yang diinginkan dari pihak pengusaha maupun dari pihak pekerja yang

terkadang saling bertolak belakang dan masing-masing dari mereka ingin

mempertahankan hal yang diinginkannya. Salah satu permasalahan yang

terjadi adalah terkait larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan

dengan konsekuensi pengunduran diri bahkan pemutusan hubungan kerja.

3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,... h. 191

Page 52: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

43

Ada perusahaan yang mengatur larangan ini dan ada yang tidak

mengaturnya. Artinya, ada perusahaan yang melarang perkawinan pekerja

ada juga yang membolehkannya. Perbedaaan itu terjadi karena adanya

Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa :

“pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan

alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu

perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahan, atau perjanjian kerja bersama.” (Mediya Rafeldi,

2016:56)

Pekerja yang berada di perusahaan yang megatur larangan ini

mereka merasa hak konstisionalnya terdiskriminasi dan dikesampingkan

oleh adanya kebijakan perusahaan yang bersumber dari pada Pasal 153

Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Diajukanlah uji materil pasal ini, akhirnya Mahkamah

Konstitusi memutus denga amar putusan mengabulkan permohonan

pemohon dan menyatakan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan

hukum yang mengikat yang dituangkan di dalam Putusan Nomor 13/PUU-

XV/2017.

Putusan Nomor 13/PUU-XV/2017 dalam pertimbangan hukumnya

Mahkamah konstitusi menimbang bahwa:

“pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang

tidak dapat direncanakan maupun dielakan. Oleh karena itu,

mejadikan sesuatu yang bersifar takdir sebagai syarat untuk

mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini

hak atas pekerjaan dan hak untuk membentuk keluarga, adalah hal

yang tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara

konstitusional.”

Sebagai suatu negara, Indonesia mengakui dan melindungi Hak

Asasi Manusia dalam UUD 1945. Perlindungan, pemajuan, penegakan,

dan pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan tanggung jawab negara,

khususnya pemerintah, di mana hal tersebut dilakukan sesuai dengan

Page 53: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

44

prinsip negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu, pelaksanaannya

harus dijamin dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.4

Konsep hak asasi manusia sebenarnya dapat dilacak sebagai

teologis lewat hubungan antara manusia sebagai makhluk dan

penciptanya. Tidak ada manusia yang lebih tinggi dari pada manusia

lainya dan hanya satu yang mutlak, yakni Tuhan yang Maha Esa.

Keberadaaanya sebagai Prima Facie yang berkonsekuensi kepada

kerelatifan pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut memberikan

faham bahwa manusia diciptakan langsung dengan hak-haknya yang tidak

dapat terpisahkan.5 Hak-hak yang tidak dapat dipisahkan tersebut

disandang sejak manusia dilahirkan bahkan sejak dia dalam kandungan

ibunya, salah satu hak yang dia sandang adalah hak utuk berkeluarga dan

hak bekerja, dimana hak ini dijamin dan dilindungi oleh peraturan

perundang-undangan.

UUD 1945 mengatur tentang Hak Asasi Manusia, terkait dengan

perkawinan diatur dalam Pasal 28B Ayat (1) yang menyatakan “Setiap

orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturnan melalui

perkawinan yang sah”. Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 juga dituangkan

kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Hak Asai

Manusia yang berbunyi “ Setiap Orang berhak membentuk suatu keluarga

dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan perkawinan

yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan

calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan “. Hak bekerja diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD

1945 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak”, dilanjutkan dalam Pasal 28D Ayat (2) yang

4 Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII

(Pusham UII : Yogyakarta,2008), h.242

5 Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, ( Jakarta : Sinar

Grafika, 2012 ), h.199

Page 54: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

45

berbunyi “Setiap Orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Sejalan dengan itu, Pasal 23 Deklarsi HAM PBB juga menegaskan

bahwa “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih

pekerjaan, berhak atas perlindungan dan pengangguran”. Hak untuk

berkerja pun dituangkan kembali dalam Undang-undang Hak Asasi

Manusia, yaitu terkait hak atas kesejahteraan, termasuk di antaranya hak

atas pekerjaan yang ada dalam Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang Hak

Asasi Manusia bahwa “ Setiap warga negara, sesuai dengan bakat,

kecakapan, dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak “dan Ayat

(2) bahwa “ Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang

disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”.

Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat tentunya menjamin hak

bekerja, terkait hak berkerja juga didukung oleh International Covenant

On Economic, Sosial, and Cultural Right (Konvenan Internasional

Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi

oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 yang dalam Pasal 6 Ayat (1)

menyatakan :

“Negara pihak dari konvenan ini mengakui hak atas pekerjaan,

termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah

melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan

akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak

ini.”

Pasal-pasal yang tertuang dalam UUD 1945 dan Undang-undang

Hak Asasi Manusia tersebut dan didukung dengan Pasal 23 Ayat (1)

Deklarasi HAM PBB ditambah keiikutsertaan Negara Indonesia sebagai

negara pihak dari Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya, sudah sepatutnya untuk diakui bahwa hak berkelurga,

melakukan perkawinan, dan melanjutkan keturunan serta hak bekerja

adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara tanpa terkecuali.

Page 55: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

46

Keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memang didasarkan dengan

alasan-alasan :

1. Mengacu Pasal 28J UUD 1945

Pada dasarnya UUD 1945 Pasal 28J memberikan kesempatan

untuk membatasi hak-hak asasi manusia yang dimiliki warga negara,

yang berbunyi “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk mejamin

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan

untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis”, dilanjutkan Pasal 28I yang mengatur dan

menyebutkan dengan rinci tentang hak-hak yang tidak dapat dibatasi

dan dikurangi, yang berbunyi “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak untuk kemerdekaan fikiran dan hati nurani, hak beragama,

hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apapun “.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, sebagai penjelasan lebih lanjut pasal-pasal terkait hak asasi

manusia dalam UUD 1945 juga menyebutkan bahwa terhadap hak

asasi manusia dapat diadakan pembatasan sesuai dengan Pasal 73,

bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang HAM

hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata-

mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban

umum, dan kepentingan bangsa. Meskipun hak untuk berkerja dan

membentuk keluarga tidak tercantum di dalam Pasal 28I UUD 1945,

Page 56: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

47

namun bukan berarti dua hak itu dapat dikesampingkan dalam keadaan

tertentu karena pembatasan sebagaimana yang ada dalam UUD 1945

dan Undang-undang Hak Asasi Manusia semata-mata dimaksudkan

untuk menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang lain dan

ditujukan untuk pemenuhan terhadap tuntutan keadilan, itu pun harus

sesuai serta berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan mendefinisikan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, dalam Pasal 2 Ayat (1)

menjelaskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

dan Ayat (2) berbunyi, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Artinya, bahwa suatu

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai hukum

agama dan menurut kepercayaan masing-masing calon dan dicatatkan

sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Adapun larangan perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan susuan yaitu, orang tua susuan, anak susuan,

saudara susuan dan bibi/paman susuan;

Page 57: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

48

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari

seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku, dilarang kawin.”

Terkait frasa “Peraturan lain yang berlaku” dalam Pasal 8

huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut tidak dapat

diartikan secara sempit begitu saja dan secara serta-merta memasukan

Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan didalamnya sebagaimana keterangan dari

Dewan Perwakilan Rakyat yang menerangkan itu di dalam putusan

Mahkamah Konstitusi ini, akan tetapi mengacu kepada pembatasan

yang tertuang dalam Pasal 28J bahwa pembatasan ditujukan untuk

mengakui kebebasan dan hak orang lain serta harus sesuai serta

berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,

kesusilaan, dan ketertiban umum.

Peneliti berpendapat sejalan dengan pertimbangan mahkamah

bahwa tidak ada hak dan kebebasan orang lain yang terganggu dengan

adanya perkawinan pekerja. Makhluk di dunia ini, termasuk manusia

diciptakan oleh Tuhan dalam dua jenis kelamin: “wanita” dan “Pria”.

Mengikuti kodratnya sebagai makhluk untuk meneruskan jenisnya,

maka terdapat hubungan antara wanita dan pria yang bersifat abadi.

Hubungan antara pria dan wanita untuk memenuhi kodratnya itu

dianggap harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang tertentu.6

Ketentuan tertentu adalah perkawinan yang sah yang dan dicatat dan

sejalan dengan norma agama. Artinya, perkawinan yang tidak sah dan

dilarang adalah yang tidak dicatat dan tidak sesuai dengan norma

agama. Perkawinan didasari cinta merupakan takdir dan kodrat

manusia sebagai makluk Tuhan yang bersifat abadi untuk saling

6 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia,...h. 34-35

Page 58: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

49

mencintai. Nilai-nilai agama pun tidak ada yang melarang dan

membatasi perkawinan antara sesama pekerja.

Terkait pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan

berdasarkan kepentingan ketertiban umum dan keamanan. Oleh

karenanya peneliti berpendapat pembatasan terkait perkawinan

pekerja dalam satu perusahaan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan

yang bersifat umum, yang mengakomodir kepentingan umum seperti

perbankan yang mempunyai kerahasiaan yang harus dijaga dan

melayani kepentingan masyarakat umum, degan demikian sudah

seharusnya dipertimbangkan terkait parusahaan yang bersifat umum

yang mengakomodir kepentingan masyarakat umum dan

keamanannya harus dijaga. karena pada dasarnya peraturan

perundang-undangan kita mengamini pembatasan hak asasi manusia

dapat dilakukan atas dasar pertimbangan kepentingan umum.

2. Mengacu Kepada Pasal 1338 KUH Perdata

Peneliti mengkaji bahwa permasalahan pokok terkait larangan

perkawinan antara rekan kerja dalam satu perusahaan menekankan

pada segi perjanjian sebagai sumber hukum para pihak. Pasal 153 Ayat

(1) Huruf f menyatakan “Kecuali diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama” diadakan supaya

pekerja dan pengusaha sebagai pembuat perjanjian menentukan hal

lain, karena dalam hal perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak

dan asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) yang

dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang menetapkan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Dengan kata lain, asas ini melandasi

pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu

kewajiban hukum sehingga para pihak terikat untuk melaksanakan

Page 59: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

50

perjanjian tersebut.7 Artinya, pekerja wajib tunduk kepada perjanjian

yang sudah mengikatnya, termasuk adanya larangan perkawinan antara

reakan kerja.

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan

bahwa asas tersebut tidaklah selalu sesuai di dalam setiap perjanjian,

sejatinya asas tersebut bertumpu pada kesamaan dan keseimbangan,

yaitu keseimbangan para pihak yang ada di dalamnya. Pertimbangan

hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa dengan adanya

posisi yang tidak seimbang tersebut, maka filosofi kebebasan

berkontrak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak

sepenuhnya terpenuhi.

Peneliti berpendapat bahwa memang antara pekerja dan

pengusaha adalah dua posisi yang tidak seimbang, pengusaha sebagai

majikan yang memberi kerja dan pekerja sebagai buruh yang mencari

pekerjaan dan diberi pekerjaan. Artinya, hubungan pekerja dan

pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi)

pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi

memberikan perintah kepada pekerja yang secara sosial ekonomi

mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan suatu

pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah ini yang membedakan

antara perjanjian kerja dan perjanjian lainnya.8 Ketidakseimbangan

itulah yang mendasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa

asas kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Sercanda menjadi

tidak sesuai dalam perjanjian kerja.

Peneliti berpendapat bahwa pernyataan ketidak seimbangan

para pihak di dalam perjanjian kerja yang berakibat bahwa asas

kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Sercanda menjadi tidak

7 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis, (Jakarta:

Salemba Empat, 2014), h. 23

8 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2012), h. 65

Page 60: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

51

sesuai dalam perjanjian kerja haruslah ditinjau ulang karena jika

persoalan dititik beratkan atas alasan ini dapat menyebabkan seluruh

dokumen yang disepakati oleh pekerja dan pengusaha termasuk

perjanjian yang dilandasi dengan itikad baik dan kepatutan serta

menguntungkan dan tidak merugikan kedua pihak dapat dibatalkan

dengan pernyataan ini. Peneliti lebih menitikberatkan kepada asas

itikad baik yang harus tertuang di dalam perjanjian kerja yang harus

dipenuhi. Asas itikad baik adalah semua perjanjian yang dibuat harus

dilandasi dengan itikad baik (in good faith), yang berarti bahwa

perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kesusilaan

serta kepatutan dan perjanjian yang dibuat harus mencerminkan

suasana batin yang tidak menunjukan adanya kesengajaan untuk

merugikan pihak lain.9 Artinya, apabila perjanjian yang dibuat dengan

kesadaran menyebabkan kerugian pihak lain dan dalam hal ini adalah

hak konstitusional pekerja yang dirugikan maka sudah jelas bahwa

perjanjian itu tidak bisa dibenarkan dan dapat dibatalkan, akan tetapi

jika tidak menyebabkan kerugian dan justru menguntungkan kedua

pihak serta berdasarkan kepatutan maka tidak dapat dibatalkan.

Pekerja pada dasarnya merupakan pihak yang lemah dan

memang sering dirugikan dalam perjanjian kerja serta tidak secara

mutlak dapat menentukan kehendaknya sehingga mau tidak mau harus

mematuhi segala syarat untuk dapat memperoleh pekerjaan. Dengan

demikian, ada unsur keterpaksaan bagi pekerja dan kehendak yang

cacat karena tidak secara mutlak dapat menentukan kehendaknya yang

mau tidak mau harus setuju dengan perjanjian yang dibuat, oleh karena

pekerja membutuhkan pekerjaan sebagai sumber penghidupannya.

Menurut Asri Wijayanti, kesepakatan yang terjadi antara buruh

dan majikan secara yuridis haruslah bebas dalam arti tidak

terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling

dan bedrog (penipuan, paksaan dan kekhilafan). Kenyataan

dalam hubungan kerja, buruh terutama yang unskillabour tidak

9 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis,... h. 24

Page 61: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

52

secara mutlak dapat menentukan kehendaknya, ini dapat terjadi

karena buruh hanya mempunyai tenaga yang melekat pada

dirinya untuk kompensasi dalam melakukan suatu hubungan

kerja.10

Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pun

memberikan penegasan bahwa “sebuah perjanjian tidak memenuhi

syarat kesepakatan apabila kesepakatan tersebut diberikan karena

kekhilafan, paksaan, atau penipuan”. Peneliti berpendapat, bahwa

meskipun dalam permasalahan ini tidak ada paksaan secara langsung,

akan tetapi paksaan itu ada secara tidak langsung, yaitu oleh sebab

kondisi pekerja yang membutuhkan pekerjaan sebagai sumber

penghidupannya.

3. Kemaslahatan Perusahaan

Keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga berlandaskan

demi kemaslahatan perusahaan, yaitu menjaga keberlangsungan

perusahaan agar tetap baik dan setabil. Rincian alasan bahwa larangan

perkawinan pekerja dalam satu peruasahaan, yaitu demi kemaslahatan

perusahaan, antara lain adalah :

a. Dapat menyebabkan konflik pribadi. Apabila pasangan suami istri

bekerja di satu perusahaan yang sama, maka ada kekhawatiran

urusan rumah tangga bisa terbawa ke kantor, begitupun

sebaliknya. Hal semacam itu bisa berpengaruh pada kinerja

pasangan tersebut di perusahaan.

b. Dapat menyebabkan terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Ada risiko terciptanya korupsi, kolusi, dan nepotisme apabila ada

hubungan kekeluargaan di dalam suatu kantor yang dilandasi

motif memperkaya keluarga.

10

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), h. 43

Page 62: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

53

c. Dapat menghilangkan objektivitas dalam penerapan aturan di

kantor. Apabila pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang

sama, maka dikhawatirkan pemberian reward dan punishment

tidak akan maksimal. Hal ini dimungkinkan terjadi apabila salah

satu dari pasangan tersebut memiliki jabatan yang lebih tinggi dan

memiliki kewenangan untuk memberikan reward dan

menjatuhkan punishment.

d. Membuka peluang kerja bagi keluarga lainnya. Aturan tersebut

diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas bagi

keluarga-keluarga lainnya, sehingga kesejahteraan tidak hanya

terpusat pada keluarga-keluarga tertentu saja.

Menurut peneliti hal-hal yang dicantumkan di atas sebagai

alasan dilarangnya perkawinan antara rekan kerja hanyalah sebatas

mentalitas dan kepribadian suatu individu. Ketika berbicara mengenai

manusia, maka kita berbicara mengenai makhluk yang memiliki akal

budi dan dan hati nurani. Akal budi dan hati nurani tersebut yang

membentuk nilai-nilai dalam kesadaran manusia yang akhirnya dapat

membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan

mana yang salah, juga mana yang adil dan tidak adil. Mentalitas dan

kepribadian seseorang kembali lagi kepada orang itu sendiri dan

karena perkawinan adalah hak yang sangat mendasar bagi setiap orang

maka seharusnya dengan tanpa membatasi hak dasar tersebut

perusahaan dapat menanggulangi kekhawatiran untuk terjadinya

konflik pribadi, kerupsi, kolusi, nepotisme, dan hilangnya objektivitas

dalam penegakan disiplin di dalam perusahaan disebabkan

perkawinan antara sesama pekerja dalam satu perusahaan, tentunya

dengan manajemen sumber daya manusia yang baik dengan

pengaturan peranan manusia yang baik dan prinsip pengelolaan

perusahaan yang baik demi tujuan yang optimal.

Manajemen sumber daya manusia yang baik dengan

pengaturan peranan manusia yang baik tentunya bergantung pada

Page 63: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

54

disiplin. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong

para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan.11

Salah satu contohnya adalah dengan membuat suatu peraturan

perusahaan yang dapat membangun integritas dan kondusivitas di

perushaan, seperti menempatkan pekerja yang memiliki pertalian

darah ataupun ikatan perkawinan di dalam divisi yang berbeda. Di sisi

lain, manajemen sumber daya manusia yang baik dengan

memindahkan pasangan pekerja ke divisi yang berbeda sebagaimana

yang dikemukakan di atas tentunya sangat kecil kemungkinan dapat

diterapkan terhadap perusahaan yang mempunyai sekala kecil.

Peneliti berpendapat untuk membuat ketentuan hukuman yang

tegas bagi pasangan pekerja yang membawa konflik pribadi ke ranah

pekerjaan yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan

kekhawatiran lain yang disebutkan di atas, bahkan pemutusan

hubungan kerja pun dapat dilakukan apabila pasangan pekerja

melakukan kehawatiran yang telah disebutkan. Artinya, meskipun

pada akhirnya adalah sama-sama berujung dengan pemutusan

hubungan kerja akan tetapi pendapat atau konsep yang peneliti

paparkan itu adalah bentuk penghargaan terhadap hak asasi yang

dimiliki pekerja yang artinya pengusaha menjalankan pemenuhan

terhadap hak membentuk keluarga yang dimiliki pekerja sebagai

kewajibannya dan pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja karena pekerja melakukan kehawatiran yang disebutkan di atas

sebagai sanksi atas tidak adanya tanggungjawab pekerja untuk

menjalankan kewajibannya. sehingga terwujudnya kondisi kerja yang

berkeadilan, baik, efektif, dan profesional. Akhirnya, keseimbangan

hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja tercipta.

11

Sondang P. Siagian, Manajemen Sumberdaya Manusia, (Jakarta : Bumi Aksara, 2016),

h. 305

Page 64: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

55

B. Tinjauan Aspek Keadilan dan Terhadap Pengabulan Judicial Review

Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

13/PUU-XV/2017

Kehidupan bermasyarakat sangatlah erat dengan kepentingan-

kepentingan yang ada di setiap individu sebagai makhluk sosial yang

berinteraksi dan sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan

kewaijiban. Ketertiban sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, negara sebagai

organisasi tertinggi patut memiliki alat guna menertibkan masyarakat

dengan berbagai kepentingannya masing-masing, karena ketertiban

bukanlah hal yang muncul dengan sendirinya akan tetapi harus

diwujudkan melalui suatu kekuatan yang mengikat secara umum, yaitu

hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun

hukum dalam bentuk putusan dari suatu lembaga peradilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor13/PUU-XV/2017 yang

berisi uji materil Pasal 153 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUDasar 1945 Pasal 28B

Ayat (1) dan 28D Ayat (2) dengan amar putusan mengabulkan

permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Diajukannya uji materil pasal

tersebut karena dirasa mendiskriminasi dan mengesampingkan hak asasi

manusia yang dimiliki pekerja, yaitu hak bekerja dan hak berkeluarga.

Pendiskriminasian dan pengesampingan hak asasi yang dimiliki pekerja

adalah akibat dari adanya suatu perjanian kerja, peraturan perusahaan,

dan/atau perjanjian kerja bersama yang mengatur larangan perkawinan

pekerja dalam satu perusahaan yang berusumber dari Pasal 153 ayat (1)

huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

maka titik berat dari permasalahan yang ada adalah dalam hal perjanjian

Page 65: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

56

dan kebijakan, yaitu perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan

peraturan perusahaan sebagai kebijakan tertulis perusahaan yang terasa

mendiskriminasi hak-hak asasi pekerja yang dilegalkan dan diizinkan oleh

Pasal 153 ayat (1) huruf f.

Peneliti mengkaji permohonan pemohon bahwa Pasal 153 Ayat

(1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mengandung ketidakadilan yang dirasakan pekerja dalam

hubungan kerja, ketidakadilan yang disebabkan degan adanya Pasal 153

Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan antara lain adalah :

1. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan membenturkan dua hak dasar pekerja yang

merupakan hak konstitusional setiap warganegara, yaitu hak bekerja

dan hak berkeluarga dan menjadikannya pilihan yang apabila dipilih

salah satu maka yang lain tidak terpenuhi, yakni pertama, antara

pekerja menikahi rekan kerjanya dan kehilangan pekerjaannya karena

PHK yang merupakan konsekuensi dari pada perkawinan pekerja

dalam satu perusahaan, atau kedua, tetap bekerja dan tidak menikahi

seseorang yang dicintainya yang merupakan rekan kerjanya. Ditambah

pembenturan terhadap dua hak dasar ini dijadikan sebagai syarat kerja

terhadap pekerja untuk mendapatkan hak kerjanya. padahal setiap

orang berhak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

dan setiap orang berhak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

2. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan mendiskriminasi hak berkeluarga serta

melanjutkan keturunan yang dimiliki pekerja karena membatasi

kehendak bebas pekerja untuk menentukan siapa yang akan

dijadikannya sebagai pendamping hidupnya. Hak berkeluarga adalah

hak yang dimiliki setiap orang dan hak berkeluarga diperoleh melalui

perkawinan yang sah dan perkawinan yang sah hanya dapat

berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang

Page 66: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

57

bersangkutan. Tentunya hak setiap orang lah untuk menentukan

pendamping hidupnya termasuk para pekerja.

3. Pasal 153 Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan menghilangkan hak atas pekerjaan dan hak

atas penghidupan yang layak. Melihat bahwa konsekuensi dari Pasal

153 Ayat (1) Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang dituangkan di dalam kebijakan perusahaan

adalah Pemutusan Hubungan Kerja, yang mana PHK untuk pekerja

akan berpengaruh secara pisikologis, ekonomis dan finansial karena

pekerja akan kehilangan mata pencahariannya dan untuk mencari mata

pencahariannya yang baru sebagai penggantinya harus mengeluarkan

biaya serta kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum

mendapatkan pekerjaan baru sebagai penggantinya.12

maka hal itu

berakibat hilangnya sumber penghidupan pekerja dan secara langsung

menghilangkan penghidupan yang layak, karena penghidupan yang

layak dicapai melalui sumber penghidupan atau pendapatan pekerja,

yaitu pekerjaan yang dimiliki pekerja.

Berbicara mengenai keadilan, menurut John Rawls keadilan adalah

kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam

sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus

ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi,

tidak peduli betapapun efesien dan rapihnya, harus dihapuskan jika tidak

adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan,

sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak dapat membatalkannya. Atas

dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang.

Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap

mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-

menawar politik. 13

Pendapat Rawls di atas mengartikan bahwa seluruh

12

Zainal Asikin, et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2008 ), h. 173-174

13

John Rawls, Teori Keadilan,... h. 3-4

Page 67: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

58

peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan lembaga yang berwenang yang

mengatur kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, dan politik haruslah

adil, karena itulah sumber keadilan bagi manusia, jika sumber keadilannya

tidak adil, maka tentu yang akan dirasakan masyarakat adalah

ketidakadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor13/PUU-XV/2017

menengahi dua hal, yaitu hak konstitusional pekerja dan kemaslahatan

perusahaan. Mengacu kepada pendapat Rawls bahwa keadilan adalah

kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam

sistem pemikiran.14

Artinya, keadilan haruslah tertuang di dalam kebijakan

yang dikeluarkan lembaga yang berwenang, dalam hal Pasal 153 Ayat (1)

Huruf f Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memang dirasa tidak adil

oleh pekerja yang berada di perusahaan yang mengatur larangan

perkawinan pekerja dalam satu perushaan, karena dirasa bahwa adanya

ketidaksamaan antara pekerja yang berada di perusahaan yang mengatur

larangan perkawinan pekerja dalam satu perusahaan dan pekerja yang

berada di perusahaan yang tidak mengatur larangan perkawinan pekerja

dalam satu perushaan, padahal mereka semua merupakan warganegara

Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak-hak konstitusional yang

sama, sejalan dengan unsur pokok keadilan Rawls adalah equality atau

kesamaan, yaitu kesamaan dalam distribusi, setiap orang mempunyai hak

yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang

sama bagi semua orang.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 adalah

bentuk penghapusan terhadap hukum yang dirasa tidak adil bagi pekerja.

Rawls berkata hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efesien dan

rapihnya, harus dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki

kehormatan yang berdasar pada keadilan.15

Tentunya, dengan adanya

14

John Rawls, Teori Keadilan,... h. 3

15

John Rawls, Teori Keadilan,... h. 4

Page 68: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

59

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 , hak dasar yang

dimiliki oleh para pekerja, yaitu hak berkeluarga menjadi terpenuhi dan

menjadi sama, karena di dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang

mempunyai hak-hak dasar yang sama. Ini merupakan bentuk perlindungan

terhadap tenaga kerja.

Permasalahan di dalam pengajuan uji materil Pasal 153 Ayat (1)

Huruf f di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-

XV/2017, pada dasarnya menitikberatkan dalam hal perjanjian, yaitu

perjanjian kerja. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan

bahwa asas Pacta Sunt Servanda tidak terpenuhi secara filosofis

disebabkan ketidakseimbangan para pihak di dalam perjanjian kerja, yaitu

pekerja dan pengusaha yang mimiliki status sosial dan ekonomi yang

berbeda. Pekerja sebagai pihak yang mencari dan menerima pekerjaan

yang mempunyai posisi lemah dan pengusaha sebagai pihak yang

memberi pekerjaan yang mempunyai posisi yang kuat, ditambah bahwa

hal yang diatur di dalam perjanjian kerja adalah ketidakadilan yang

merugikan satu pihak, yaitu pekerja yang hak konstitusionalnya dirugikan,

maka hal itu tidak memenuhi asas itikad baik dalam perjanjian kerja.

Peneliti berpendapat bahwa meskipun memang kedudukan pekerja dan

pengusaha berbeda akan tetapi perjanjian kerja haruslah didasari dengan

ruh kesamaan, sehingga kesepakatan yang di buat didalam perjanjian kerja

didasari atas kesepakatan yang fair sehingga tidak ada pihak yang

dirugikan terutama pihak yang kedudukannya lemah yang berpotensi

dirugikan, yaitu pekerja, maka dengan ruh kesamaan dan kesamaan

kehendak yang utuh, meskipun kedudukan pihak-pihak di dalam

perjanjian kerja tidaklah imbang, akan tetapi asas Pacta Sunt Servanda

menjadi terpenuhi. Hal itu sejalan dengan konsep keadilan yang digagas

John Rawls yang disebut sebagai posisi asali, dimana Rawls berusaha

untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap

orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi

lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan,

Page 69: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

60

status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain

sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan

dengan pihak lainnya secara seimbang. Kondisi demikianlah yang disebut

Rawls sebagai “posisi asali”. Posisi asali ini dapat dikatakan merupakan

status quo awal yang pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai

di dalamnya adalah fair. Hal ini menjelaskan kepatutan istilah “keadilan

sebagai fairness.16

Sejatinya keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f di sisi lain pun

didasari dengan alasan-alasan yang telah peneliti sebutkan sebelumnya,

yang dalam pokoknya adalah kemaslahatan perusahaan. Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 di dalam pertimbangan pembuatannya, di huruf d

menjelaskan bahwa :

“perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin

hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan

serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk

mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan

tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.”

Sejalan dengan itu kemaslahatan perusahaan pun sudah seharusnya

dipertimbangkan demi memperhatikan perkembangan kemajuan dunia

usaha. Ditambah bahwa dalam keberlakuan Pasal 153 Ayat (1) Huruf f

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, menurut keterangan pemerintah

adalah supaya pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian kerja dapat

menentukan hal lain dan menyesuaikan dengan jenis kegiatan usaha

perusahaan. Melihat bahwa ada beberapa perusahaan yang mengakomodir

kepentingan umum yang mempunyai kerahasiaan yang harus dijaga,

layaknya perbankan, maka dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 13/PUU-XV/2017 sudah seharusnya pun dapat menjamin

kemaslahatan perusahaan yang mengakomodir kepentingan umum. Maka

untuk perusahaan yang mengakomodir kepentingan umum dan

16

John Rawls, Teori Keadilan,... h.14

Page 70: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

61

mempunyai kerahasiaan yang tinggi seharusnya dapat dilakukan

pengecualian, layaknya perbankan, karena seandainya pasangan pekerja

melakukan kekhawatiran yang disebutkan di atas, seperti korupsi maka

akan menimbulkan kegaduhan dan ketidaktertiban perekonomian sehingga

kepentingan setiap orang pun terganggu dan dalam sekala besar. Meskipun

pengecualian ini terlihat sebagai bentuk ketidaksamaan akan tetapi hal ini

berdiri atas dasar kepatutan dikarenakan kondisi yang berbeda dan demi

menghindari ketidakadilan yang lebih besar, yaitu kegoncangan

perekonomian sejumlah orang yang disebabkan oleh satu orang saja.

Equity atau kepatutan tidak bermaksud untuk mengubah atau

mengurangi keadilan hukum, melainkan sebatas memberikan

koreksi atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu serta

kondisi kasus tertentu. Dengan demikian “summa iustitia summa

iniuria” tidak akan terjadi, karena nilai keadilan dalam hubungan

antara individu dikembalikan pada proporsi yang sewajarnya.17

Di sisi lain, keadilan pun tidak membenarkan dikorbankannya

kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan orang

lain. Hal ini, sejalan dengan unsur pokok keadilan Rawls bahwa

Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk

menghindarkan ketidakadilan lebih besar.18

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 memang

mendatangkan keadilan dengan menghapuskan hukum yang tidak adil.

akan tetapi memang sudah sepatutnya bagi perusahaan yang

mengakomodir kepentingan umum yang memiliki kerahasian yang harus

dijaga ketat haruslah dijadikan pengcualian oleh sebab untuk menghindari

ketidakadilan yang lebih besar yang disebabkan satu individu merugikan

sejumlah orang dalam sekala besar. Di sisi lain, bahwa bagi perusahaan

yang tidak mengakomodir kepentingan umum, haruslah menggunakan

17

Agus Yudha Hemoko, Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak

Bisnis), (Jakarta: Kencana, 2013), h. 67

18

John Rawls, A Theory of Justice, dikutip dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, dll h.

40

Page 71: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

62

cara lain untuk mencegah kekhawatiran yang ada tanpa harus membatasi

hak asasi menusia yang dimiliki pekerja, sehingga perlindungan terhadap

tenaga kerja yang berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki pekerja pun

dapat dilaksanakan dan tetap memperhatikan kemaslahatan perusahaan

demi perkembangan dan kestabilan dunia usaha.

Page 72: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

63

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh penjabaran di atas, peneliti menyimpulkan bahwa:

1. Pokok pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor

13/PUU-XV/2017 tentang Uji Materil Pasal 153 Ayat (1) Huruf f

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

adalah demi menjaga dan memenuhi hak dasar yang dimiliki oleh

setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai warga

negara, yaitu hak bekerja sebagaimana yang tertuang dalam Pasal

28D Ayat (2) UUD 1945 dan hak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan atau hak untuk menikah yang ada dalam

Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945.

2. Keadilan yang tertuang di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 13/PUU-XV/2017 adalah penghapusan terhadap hukum yang

tidak adil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017

merupakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang

ditujukan untuk mendatangkan rasa keadilan bagi seluruh warga

negara, dalam hal ini adalah pemenuhan hak bekerja dan hak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan atau hak untuk

menikah untuk para pekerja.

B. Rekomendasi

Berdasarkan seluruh pemaparan yang peneliti bahas di atas maka

di akhir peneliti ingin menyampaikan pesan, yaitu :

1. Masalah ketenagakerjaan sering kali membahas mengenai hak-hak

para pekerja yang dirugikan. Oleh karena itu, seharusnya Pemerintah

dan DPR dalam membuat undang-undang lebih bijak dan hati-hati dan

peraturan yang dibuatnya harus memperhatikan hak-hak asasi manusia,

sehingga tidak terjadi pelanggaran dan diskriminasi hak- hak asasi

Page 73: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

64

manusia, khususnya dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

2. Pengusaha haruslah menaati setiap aturan yang dibuat dan setiap

keputusan yang diputuskan oleh lembaga negara yang berwenang.

Oleh karena itu, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

haruslah ditaati dan diterapkan oleh setiap perusahaan guna

menciptakan kepastian hukum di Indonesia. Pemetintah pun harus

mengawasi setiap peraturan dan keputusan yang ada, khususnya

Putusan Mahkamah Konstitusi ini, sehingga hukum ditegakan dengan

seadil-adilnya.

3. Peneliti berpendapat bahwa terhadap perusahaan yang mengakomodir

kepentingan umum layaknya perbankan yang mimiliki kerahasiaan

yang harus dijaga semestinya dikecualikan. Hal ini demi menghindari

kerugian yang dialami sejumlah orang dalam sekala besar.

4. Peneliti berpesan pada peneliti selanjutnya, yang meneliti

permasalahan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi ini, untuk

memperhatikan ditegakannya putusan tersebut, karena masih banyak

perusahaan yang mungkin tidak mematuhi putusan ini, dan juga

mendorong supaya dengan adanya kebolehan perkawinan pekerja

dalam satu perusahaan bisa membawa efek positif bagi kedua belah

pihak, baik perusahaan, maupun untuk pekerja.

Page 74: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

65

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Assiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta

: Sinar Grafika, 2012.

Asikin, Zainal et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2008.

Ata Ujan, Andre, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Terhadap Filsafat

Politik John Rawls, Yogyakarta : Kanisius, 2001. Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti, 2012.

H Manululang, Sendjun, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di

Indonesia, Jakarta: PT Rineka Citra, 1998.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2012.

Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Di Indoneisa, Jakarta

: Ghalia Indonesia, 1987.

K.M. Smith, Rhona, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi

Manusia UII , Yogyakarta : PushamUII, 2008.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011.

Miru, Ahmadi dan Saka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal

1233 sampai 1456 BW , Jakarta : Rajawali Pers, 2014.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012.

Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan

Hebermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: IKAPI,

2005.

Rawls, John, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.

Rafeldi, Mediya, Undang-undang Ketenagakerjaan, Jakarta : ALIKA,

2016.

Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis,

Jakarta : Salemba Empat, 2014.

Page 75: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

66

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali

Pers, 2016.

Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan , Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Uwiyono, Aloysius, dkk, Asas-asas Hukum perburuhan, Jakarta : Pt

Rajagrafindo Persada, 2014.

Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia

Pustaka, 1992.

Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

Yudha Hemoko, Agus, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam

Kontrak Bisnis, Jakarta: Kencana, 2013.

B. Jurnal

Eddy Tarman, Mardiyantoso, “Romantika Pasangan Suami Istri

Sekantor”, Auditoria Vol. V No. 22 Edisi Januari-Februari 2011.

Fattah, Damanhuri, ”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPI’s,

Vol. 9, No. 2, Juli- Desember 2013.

Hadi, Abdul, “Fenomena Menikah Dengan Teman Sekantor Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materi Pasal 153 Ayat (1)

Huruf F Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan”, Surya Kencana Dua, Vol. 5 Nomor 1 Juli 2018.

Mohammad Faiz, pan. “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi,

Volume 6, Nomor 1, Tahun 2009.

Sidharta, B. Arif, “Konsepsi Hak Asasi Manuisa”, Nomor 4 Bulan Oktober

Tahun XX Jurnal Hukum Pro Justitia, 2002.

C. Peraturan Perundang-undanngan

Undang-Undang Dasar 1945 NRI

Undang-Undang R.I., Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang R.I., Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asai Manusia

Undang-Undang R.I., Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 76: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47991/1/FAQIH AFIF... · bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 153 Ayat (1)

67

D. Internet

Careernews, Pasutri Dilarang Sekantor,

http://careernews.id/issues/view/2240 pasutridilarang- sekantor,

diakses Tanggal 9 Oktober 2018 Pukul 14.10 BBWI