public disclosure authorized aceh dan nias setahun … · kami sekarang telah membangun landasan...
TRANSCRIPT
ACEH DAN NIAS SETAHUN SETELAH TSUNAMIUpaya Pemulihan Dan Langkah Ke Depan
Laporan bersama BRR dan rekanan-rekanan internasional, Desember 2005
35507
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
ACEH BESAR
ACEH SINGKILSIMEULUE
ACEH UTARA
BANDA ACEH (KOTA)
LANGSA (KOTA)
LHOKSUMAWE (KOTA)
ACEH TIMUR
BIREUEN
ACEH JAYA
ACEH BARAT
NAGAN RAYA
ACEH BARAT DAYA
ACEH TENGAH
GAYO LUES
BENER MERIAH
ACEH TENGGARA
PIDIE
ACEH SELATAN
ACEH TAMIANG
SABANG (KOTA)
Nias
NIAS
SIMEULUE
ACEH
NORTH SUMATRA
INDONESIA
SRILANKA
INDIA
�
KATA pENgANTAr
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTARPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADALAPORAN BADAN PELAKSANA REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI ACEH-NIAS
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhSaudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Laporan ini menandai satu tahun sejak bencana tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 dan gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005. Jatuhnya korban jiwa yang demikian besar dan kerusakan sangat parah yang ditimbulkannya merupakan kejadian yang tragis. Kepedihan yang diderita masyarakat Aceh dan Nias dan masyarakat Indonesia secara umum juga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun demikian, setelah terjadinya tragedi besar ini, bantuan datang mengalir dari seluruh penjuru dunia. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih yang tulus atas nama bangsa Indonesia.
Keuletan dan keberanian para korban yang selamat dari bencana sedemikian mengesankan pula. Martabat, ketabahan dan disiplin mereka sangat jelas terlihat selama bulan Ramadhan pertama semenjak bencana. Perjanjian perdamaian yang dicapai di Helsinki dan upaya kerjasama yang menyertai proses perdamaian merupakan capaian penting yang memberikan awal baik bagi keberhasilan pelaksanaan program pemulihan. Saya menghargai hal ini dan berterima kasih kepada semua pihak yang berperanserta di dalamnya.
Kita kini sedang melewati masa-masa sulit dalam proses pemulihan kembali setelah terjadinya tsunami dan gempa bumi. Perjalanan ke depan akan panjang dan berat. Saya yakin dan berharap perjalanan ke depan itu juga akan bermanfaat seraya kita bekerja bersama dalam membangun kembali dan memperkuat masyarakat dan prasarana yang terkena dampak bencana tersebut serta memperkuat lembaga pemerintahan dan kemampuan ekonomi yang diandalkan masyarakat untuk memberikan kesejahteraan dan dan kemajuan dalam kehidupannya.
Saya memberikan perhatian khusus terhadap hasil kerja Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (BRR NAD-Nias) selama beberapa bulan sejak saya membentuknya. Badan ini telah menunjukkan kepemimpinan profesional yang kuat dan efektif terhadap upaya pemulihan yang dilakukan baik oleh pihak-pihak nasional maupun internasional. Saya akan terus memantau kemajuannya dan tetap memberikan dukungan bagi pelaksanaan kinerjanya yang sangat baik.
Saya yakin akan kemampuan badan ini untuk melaksanakan bukan saja suatu program rekonstruksi yang efektif namun juga sebuah model reformasi dan pembangunan yang dapat kita banggakan bersama.
Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta membantu masyarakat Aceh dan Nias. Kami menyambut baik dan mengagumi peran serta Anda semua dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias.
Bagi masyarakat yang terkena bencana, saya juga berharap Anda semua kembali pulih. Saya akan terus mengerahkan segenap upaya saya melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias untuk memberikan dukungan yang Anda semua perlukan dalam menghadapi masa-masa sulit ini.
Kami sekarang telah membangun landasan yang kuat untuk melaksanakan upaya pemulihan yang berkelanjutan. Saya mengajak semua pihak untuk terus bekerjasama secara tulus dalam upaya keras kita semua guna mengatasi berbagai tantangan besar yang menghadang di hadapan kita.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 14 December 2005PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Utusan Khusus PBB, Mantan Presiden William J. Clinton:
Selama tiga kali kunjungan saya ke Aceh setelah terjadinya peristiwa bencana alam yang dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004, saya merasa tersentuh oleh kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh rakyat Aceh. Keberanian dan tekad mereka untuk membangun kembali kehidupan dan komunitas mereka setelah dilanda bencana alam yang dahsyat ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua untuk bertindak yang lebih baik dan berbuat yang lebih banyak lagi. Menjelang peringatan satu tahun terjadinya peristiwa yang mengenaskan ini, kita patut merasa bangga. Banyak kemajuan yang telah dicapai dalam melindungi nyawa dan mata pencaharian korban-korban tsunami yang selamat. Sekolah-sekolah sementara, tempat-tempat penampungan, dan klinik-klinik kesehatan telah berfungsi sementara menunggu bangunan-bangunan yang permanen selesai didirikan. Program Cash for Work, distribusi makanan, dan program-program latihan kejuruan membantu mempertahankan standar kehidupan sementara upaya-upaya terus dilakukan untuk mengaktifkan kembali dunia usaha, pertanian dan perikanan. Perjalanan kita untuk membangun kembali Aceh masih jauh, tetapi prosesnya sudah dan sedang berlangsung.
Bapak Kuntoro dan timnya di BRR patut diberi acungan jempol atas kemajuan ini. Badan tersebut memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan upaya pemulihan dan memastikan agar proses tersebut dipimpin oleh warga negara Indonesia sendiri. Keputusan Presiden Yudhoyono untuk mendirikan suatu badan khusus untuk menangani tugas yang sulit ini, yang dipimpin oleh Bapak Kuntoro, adalah suatu keputusan yang tepat. Ini akan dicatat dalam sejarah, khususnya sehubungan dengan rekonstruksi besar-besaran yang sedang dilangsungkan.
Rekan-rekan rakyat Aceh di dunia internasional juga telah memegang peranan penting dalam upaya pemulihan ini. Telah terjalin kerjasama yang luar biasa, termasuk dengan rombongan-rombongan militer yang memasok air dan makanan pada minggu-minggu pertama, LSM-LSM internasional – besar dan kecil – yang menyediakan bantuan bagi seluruh masyarakat, serta PBB dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Pemerintah negara-negara sahabat telah banyak membantu, dengan cara memberikan bantuan pembiayaan bagi proses pemulihan ini. Bantuan juga telah banyak diberikan oleh pihak perorangan dari seluruh dunia, yang besarnya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah berkaitan dengan bantuan perorangan.Tugas yang berat dan banyaknya jumlah pihak yang terlibat cukup menyulitkan bagi kita untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa saja yang dibutuhkan dan siapa saja yang dapat membantu untuk menyediakan kebutuhan tersebut. Laporan ini akan menjelaskan situasi tersebut, dan saya merasa yakin laporan ini akan memberikan sumbangan yang penting dalam memandu upaya pemulihan.
Saya akan terus berusaha untuk mempromosikan pemulihan Aceh. Kita harus mempertahankan komitmen dan upaya kita selama yang diperlukan guna membangun kembali Aceh dan Nias, dan memastikan agar masyarakatnya memiliki program pembangunan yang lebih aman dan lebih sehat.
One United Nations Plaza, New York, NY 10017 USA
United Nations Nations UniesOffice of the Secretary-General’s Special Envoy for Tsunami Recovery
5
Palang Merah Indonesia
Pada hari Minggu malam, tanggal 26 Desember 2004, saya tiba di Banda Aceh. Dalam waktu 15 menit sejak kedatangan saya di bandara, saya telah berkumpul bersama para sukarelawan penanggulangan bencana Satgana yang pertama kali tiba, dan telah mulai mengevakuasi jenazah-jenazah dan korban-korban yang terluka dari daerah-daerah sekitar. Tim tersebut telah mulai memeriksa kondisi di sana, dan saya sangat beruntung dapat menerima laporan langsung tentang bencana alam yang sangat dahsyat ini.
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam ini sungguh di luar dugaan saya. Belum pernah saya membayangkan atau mempersiapkan diri saya secara fisik dan mental, dalam kedudukan saya sebagai Ketua Palang Merah Indonesia, untuk menghadapi bencana alam yang mengerikan ini. Namun demikian, kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan oleh para sukarela-wan Satgana memberikan kekuatan kepada saya dalam menghadapi situasi yang kritis tersebut.
Dalam menanggulangi peristiwa tragis ini, PMI, Federasi Internasional, ICRC serta puluhan staf dan sukarelawan masyarakat nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dari seluruh penjuru dunia bekerja saling bahu-membahu untuk memberikan bantuan sesuai dengan mandat kami yang bersifat universal. Operasi penanggulangan bencana darurat ini berjalan dengan sukses, dan yang pertama-tama harus kita berikan penghargaan adalah para sukarelawan yang terlibat secara aktif.
Sekarang, satu tahun kemudian, banyak pelajaran yang kita dapat, terutama perlunya dibangun suatu sistem peringatan dini (early warning system) dengan pendekatan yang holistik dan berbasis pada masyarakat. Kita mengakui bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan tantangan yang sulit dan rumit. Proses pemulihan yang diperlukan untuk membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias adalah tugas yang sangat penting. Kita harus menegaskan kembali komitmen jangka panjang kita dan mengambil tindakan riil berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang membutuhkan bantuan kita.
Saya yakin bahwa semua pihak yang berkepentingan akan memenuhi komitmennya demi kepentingan para korban bencana alam ini; ini adalah tanggung jawab utama kami. Revitalisasi yang efektif atas masyarakat sipil di Aceh dan Nias akan mencip-takan masyarakat yang lebih ulet.
Mar’ie Muhammad
Ketua Palang Merah Indonesia
� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Desember 2005 PAUL WOLFOWITZ Presiden
Bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 menimbulkan kerusakan yang tak terbayangkan parahnya di Aceh dan Nias. Tiga bulan kemudian, gempa bumi yang besar kembali terjadi, sehingga menambah jumlah kerusakan yang parah, terutama di Nias. Kejadian-kejadian yang dahsyat ini mengundang simpati dan bantuan yang luar biasa jumlahnya dari seluruh penjuru dunia. Pihak perorangan memberikan dukungan yang sangat besar, demikian pula para donor, guna membantu para korban yang selamat.
Namun demikian, rekonstruksi bukan sekadar membangun kembali jalan, rumah, sekolah, dan klinik kesehatan. Rekonstruksi juga berarti membangun kembali kehidupan masyarakat—sehingga mereka dapat kembali mencari nafkah dan mengaktifkan kembali lembaga-lembaga mereka, serta menyembuhkan luka-luka emosional yang masih terkenang di benak mereka. Aceh dan Nias adalah daerah-daerah yang miskin bahkan sebelum terjadinya bencana alam tersebut, dan upaya pemulihan semakin dipersulit oleh konflik yang sudah puluhan tahun berlangsung di Aceh.
Saya sangat terkesan oleh keberanian dan keuletan rakyat Aceh yang saya lihat selama kunjungan saya awal tahun ini. Masyarakat Indonesia ingin sekali memegang peranan aktif dalam membangun kembali komunitasnya. Kebutuhan untuk keadaan darurat dapat dipenuhi pada bulan-bulan setelah terjadinya bencana alam, penyakit dan kekurangan gizi yang serius berhasil dihindarkan. Kemajuan dapat dicapai dalam tahun 2005 dalam rangka memahami kebutuhan masyarakat setempat, menangani masalah-masalah perencanaan dan kebijakan, serta mengembangkan kemampuan untuk rekonstruksi skala besar.
BRR, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Indonesia, sedang mengembangkan kemampuannya dalam mengkoordinasikan pihak-pihak yang terkait, memantau program-program, dan berusaha memastikan agar kebutuhan masyarakat dapat diketahui dan dipenuhi. Penting sekali bagi mereka untuk terus mengembangkan dan menyesuaikan kemampuan mereka sebagaimana yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan investasi yang sedang dilakukan.
Satu tahun setelah terjadinya tsunami, kita harus tetap ingat bahwa kita masih dalam tahap awal dari proses rekonstruksi dan pemulihan yang rumit. Penundaan dalam pengucuran dana, pendirian suatu badan baru untuk mengelola pemulihan, dan upaya untuk mengkoordinasikan ratusan pihak yang ingin memberikan pertolongan menyebabkan rekonstruksi fisik pada awalnya berlangsung dengan lamban. Bencana tsunami menunjukkan kepada kita bahwa negara-negara perlu memiliki sistem dan kebijakan tentang pemulihan sebelum terjadinya bencana—agar dapat menanggulangi bencana secara cepat dan efektif.
Suatu prestasi luar biasa yang dicapai tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh bencana tsunami, adalah kemajuan dalam rangka menciptakan perdamaian di daerah ini. Dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian pada bulan Agustus antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta kemajuan yang dicapai selama ini, kita semakin yakin bahwa pada akhirnya perdamaian akan tercapai. Untuk menjaga proses perdamaian yang masih rapuh ini, program-program pemulihan dari bencana tsunami perlu dikaitkan erat dengan upaya-upaya pemulihan dan rekonsiliasi dari konflik guna memberikan harapan bagi masyarakat Aceh dan Nias.
Tahun depan memegang peranan penting sehubungan dengan pemulihan daerah bencana dalam jangka panjang. Tahun 2006 adalah tahun di mana tindakan yang berskala besar harus dilakukan. Upaya-upaya yang serius harus dilakukan untuk memastikan agar masyarakat yang terkena dampak tsunami mengendalikan program-program rekonstruksi, dan agar pemerintah serta para rekanan bekerja sama secara transparan guna memperoleh hasil. Kemajuan yang dicapai serta masalah-masalah yang dihadapi selama satu tahun ini yang diulas dalam laporan ini harus membuka jalan bagi tercapainya kemajuan yang cepat menuju pemulihan.
Pemulihan Aceh dan Nias adalah ujian bagi Indonesia, dan ujian bagi seluruh masyarakat internasional. Dunia mengawasi kita. Kita tidak boleh mengecewakan pihak-pihak yang telah begitu baik memberikan bantuan bagi tragedi yang mengenaskan ini. Yang lebih penting lagi, kita tidak boleh mengecewakan rakyat Aceh dan Nias dalam mendukung mereka menuju masa depan yang lebih aman.
THE WORLD BANK
�
UCApAN TErIMA KASIHLaporan ini disusun oleh tim gabungan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan masyarakat internasional, dibawah pimpinan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Palang Merah/Bulan Sabit Merah dan UNDP serta partisipasi dan kontribusi yang besar dari berbagai lembaga pemerintah dan lembaga donor lainnya.
Laporan ini disusun dibawah bimbingan Kuntoro Mangkusubroto (Kepala, BRR), Sudirman Said (Deputi bidang Jasa Manajemen, BRR), Andrew Steer (Country Director Indonesia, Bank Dunia) dan Joel Hellman (Aceh Coordinator, Bank Dunia).
Tim ini dipimpin oleh Wolfgang Fengler, John Clark, Richard Cibulskis (World Bank) dan Kate Clifford (BRR).
Tim BRR terdiri dari Agus Halim, Ahya Ihsan, Amin Subekti, Bill Nicol, David Kelaher, Dharma Nursani, Mikael Setiawan, Owen Podger, Puteri Watson, Rahmad Dawood, Siduhuaro Dachi, Simon Crewe, Widjajanto dan William Sabandar.
Tim inti internasional terdiri dari Garth Seneque (Kantor PBB Urusan Koordinasi Upaya Pemulihan), Howard Arfin (Palang Merah/Bulan Sabit Merah), Pieter Smidt (Bank Pembangunan Asia), Simon Field (UNDP), Andre Bald, Amy Sim, Bastian Zaini, Chairani Triasdewi, Cut Dian Rahmi, Gary Swisher, Indra Irnawan, Jerry A. Lebo, Joe Leitmann, Keith Clifford Bell, Magda Adriani, Margaret Arnold, Mohamad Al Arief, Oleksiy Ivaschenko, Patrick Barron, Prabha Chandran, Rehan Kausar, Rosfita Roesli, dan Sophie Naudeau (Bank Dunia).
John Aglionby (The Guardian) menyumbangkan Catatan Harian Nusa dan memberikan dukungan editorial.
Foto-foto dibuat oleh Arif Ariadi dan Bodi Ch (BRR) kecuali “Tukang Becak” oleh Peter Biro.
Tim inti sangat berterima kasih kepada kelompok multi-lembaga yang lebih besar yang telah memberikan sumbangan, masukan dan arahan yang sangat berharga dalam laporan ini. Kelompok ini terdiri dari kolega-kolega dari organisasi-organisasi sebagai berikut:
Bank Pembangunan Asia (ADB) Tim ETESP dari Departemen Regional Asia Tenggara dengan dukungan dari konsultan-konsultan sektor yang bekerja di bawah ETESP
AIPRD Bernadette Whitelum, Georgina HarleyKedutaan Besar Inggris Liam DoghertyPalang Merah Inggris Clare GrahamCIDA/Kedutaan Besar Kanada Angela Keller, Renaldy MartinKedutaan Besar Perancis Annie Evrard, Jean-Charles ROUGEKedutaan Besar Jepang T. FukuwatariKedutaan Besar Republik Federal Jerman Monika AllramsederKomisi Eropa Destriani NugrohoFAO Bart DominicusIFC John CallanderIFRC Johan Schaar, Fidelis don Chulu, Holger Leipe,
Vina AugustinaILO Peter Rademaker beserta timInternews Sophie BoudreIMC Alina Paul
� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
IRC Joanne OfferKedutaan besar Italia Dario MarianiMulti-Donor Fund Diane Zhang, Sabine JoukesMuslim Aid Fadlullah WilmotOCHA Indonesia Daniel Nicol, Dora CheckOXFAM Claude St. Pierre, Lilliane FanKedutaan Besar Kerajaan Denmark Anders Malmgren-HansenKedutaan Besar Kerajaan Belanda Jaco Mebius, Niek de RegtSave the Children Kara PiersonKedutaan Besar Swedia Christina WedekulUniversitas Syiah Kuala Syamsul Rizal, Agus Sabti, Fadrial Karmil, Teuku
Iqbalsyah, Zinatul HayatiTrocaire Orla FaganTim Ceureumen Kantor PBB Urusan Koordinasi Upaya Pemulihan Andrew HarperUNEP John PoulsenUNESCO Han QunliUN Habitat Bruno DerconUNICEF Dr. Tarek M. Hussain, Dara Johnston, Sayo AokiUNIMS Ardi Adji, Dylan Shaw, Neil Taylor, Rodd
McGibbonUSAID Melissa Janis, Theresa TuanoWetlands International I Nyoman Ngurah Suriada PutraWHO Dr Anshu Banerjee, Jyotti ReddiBank Dunia Ahmad Zaki Fahmi, Angus Mackay, Arnold Lopulalan, Bambang Suharnoko, Erman Rahman, Fajar Pane, Geoffrey Read, George Soraya, Giovanna Dore, James Sheppard, Jan Drozdz, Janelle Plummer, John Victor Bottini, Kathy Macpherson, Kurnya Roesad, Mark Marquardt, Muslahuddin Daud, Pawan Patil, Rajashree S. Paralkar, Samuel Clark, Scott Guggenheim, Sylvia Njotomihardjo, Taufiq Dawood, Tim Brown, William E. Wallace dan Yoichiro Ishihara.
Tim inti juga memperoleh masukan dari sejumlah staf dari berbagai lembaga pemerintah pusat serta daerah sebagai berikut: Irhamuddin (Kepala Bagian Perencanaan, Dinas Pendidikan Propinsi NAD), Ari Sumarsono (EMIS, Dinas Pendidikan Propinsi NAD, Renani Pantjastuti (Departemen Pendidikan Nasional) dan Dr. Marwan (Dinas Kesehatan Propinsi).
Karl Jackson, Homi Kharas dan John Underwood adalah sebagai penasehat dari Bank Dunia.
Kepada semua pihak di atas yang telah memberikan kontribusinya, tim inti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Wolfgang Fengler ([email protected]) atau John Clark ([email protected]).
�
DAfTAr ISIDaftar Tabel 10Daftar Gambar 10Daftar Kotak 10Daftar Peta 11Daftar Lampiran 11Daftar Istilah 12
rINgKASAN EKSEKUTIf 14
BAgIAN I. SETELAH SATU TAHUN – DIMANA pOSISI KITA 29Bab 1 - Membangun Kembali Rumah-rumah dan Masyarakat. 29
Tempat Tinggal Sementara dan Perumahan Permanen 33Hak Atas Tanah dan Hak Milik 42Masyarakat Memimpin Pemulihan Mereka Sendiri 49
Bab 2 – Pemulihan Mata Pencaharian 57Perikanan dan Pertanian 59Menciptakan Lapangan Kerja 65Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 71
Bab 3 – Memulihkan Layanan Masyarakat 77Pendidikan 78Kesehatan 84Air dan Sanitasi 92Transportasi 98
Bab 4 – Pertumbuhan Berkesinambungan 107Ekonomi 108Lingkungan Hidup 115
Bab 5 – Proses Perdamaian dan Pemulihan 125Bab 6 – Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 28 Maret – Fokus khusus pada Nias 135
BAgIAN II. KEUANgAN DAN KOOrDINASI 147Bab 7 - Pembiayaan Rekonstruksi 147Bab 8 - Aliran Dana dan Kendalanya 157Bab 9 – Tantangan Koordinasi 165
BAgIAN III. MELANgKAH KE DEpAN – TANTANgAN DAN STrATEgI UNTUK TAHUN 2006 DAN SELANJUTNYA 173Bab 10 - Prioritas Pemulihan untuk Tahun 2006-2007 173Bab 11- Visi dan Rencana Jangka Panjang untuk Aceh dan Nias 185Bab 12 - Kesimpulan – Implikasi bagi Semua Pihak 193
LAMpIrAN 201
10 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
DAfTAr TABEL
1 Kerusakan, Kebutuhan dan Kemajuan di Aceh dan
Nias
1.1. Penilaian Kerusakan Perumahan
1.2. Janji dan Kemajuan oleh LSM/Donor
1.3. Kerusakan terhadap Hak Milik dan Sistem
Administrasi Tanah
1.4. Kemajuan dalam Pemetaan Tanah dan Pemulihan
Hak Milik
2.1. Status Ketenagakerjaan untuk Penduduk Berusia
10 Tahun ke Atas
2.2. Dua Puluh Profesi Teratas Berdasarkan Gender di
Database Layanan Lapangan Kerja
4.1. Indikator-indikator Perbankan Utama
4.2. Indikator-indikator Kerusakan Lingkungan
6.1. Estimasi Kerusakan dan Penilaian Kerugian Nias
6.2. Rangkuman Proyek
6.3. Komitmen Perumahan untuk Nias
7.1. Kebutuhan Rekonstruksi: Membangun Kembali
Aceh dan Nias
7.2. Dana Rekonstruksi Aceh dan Nias
10.1. Target Perumahan untuk Aceh dan Nias
DAfTAr gAMBAr
1 Pembagian Tahapan Kegiatan Tanggap Darurat
dan Pemulihan Skematik
2 Kebutuhan Rekonstruksi dan Komitmen
1.1. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Perumahan
2.1. Kerusakan/Kehilangan dan Penyediaan Perahu
2.2. Distribusi Perahu vs Perahu Rusak/Hilang
2.3. Kecenderungan dalam Pemberian Kredit Mikro
oleh Bank Komersial Lokal
3.1. Penyebab Kerusakan Sekolah di Kabupaten
Bireuen
3.2. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Pendidikan
3.3. Partisipasi Sekolah Sebelum dan Sesudah
Bencana
3.4. Pelayanan Kesehatan di Aceh Sebelum Gempa
Bumi dan Tsunami
3.5. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Kesehatan
3.6. Jumlah Organisasi per Kabupaten
3.7. Status Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Rumah
Sakit, Puskesmas dan Pustu yang Rusak dan
Hancur
3.8. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Air dan
Sanitasi
3.9. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Perhubungan
4.1. Propinsi-Tingkat pengaruhTerhadap GDP Rasio %
4.2 Kecenderungan IHK (di berbagai kota)
4.3. Peningkatan IHK pada Bulan Oktober 2005
4.4. Harga Bahan-bahan Konstruksi Terseleksi, Oktober
2005 vs. Desember 2004.
4.5. Upah Pekerja Konstruksi, Oktober 2005 vs.
Desember 2004
4.6. Komposisi Kerugian akibat Bencana oleh Bank
BPD
4.7. Kerusakan permukaan berdasarkan fungsi di
Banda Aceh dan Aceh Besar
4.8. Komposisi Pembiayaan atas Sektor Lingkungan
5.1. Frekwensi Konflik GAM-RI Per Bulan 2005
6.1. Struktur Ekonomi Nias (%)
6.2. Perilaku Harga Beras Setelah Tanggal 28 Maret di Nias
6.3. Nias – Perbandingan antara Kerusakan dan Dana
yang Dijanjikan
7.1. Kebutuhan Rekonstruksi dan Komitmen
7.2. Alokasi Sektoral Program Rekonstruksi Saat Ini
7.3. Alokasi Dana vs “Kebutuhan Inti Minimum”
8.1. Proses Anggaran Pemerintah
9.1. Gambaran Skematis Dari strategi koordinasi
stakeholder yang diperluas
10.1. Struktur Organisasi BRR
11.1. Tahapan Tanggap Darurat dan Upaya Pemulihan
DAfTAr KOTAK
1 Membandingkan Laju Rekonstruksi di Berbagai
Negara
1.1. Catatan Harian Nusa: Perumahan
1.2. Pilihan yang Sulit dalam Pembangunan
Perumahan
1.3. Belajar dari Masyarakat Lamjabat
2.1. Pertanian Sebagai Mata Pencaharian di Paya
Bakong
2.2. Catatan Harian Nusa: Proyek-proyek untuk
Memperbaiki Mata Pencaharian
2.3. Pelatihan Keterampilan Kayu di Lamlumpu
2.4. Tidak Ada Akses Terhadap Kredit untuk Usaha
Penjualan Mobil yang Terkena Dampak Tsunami
11
2.5. Membuat Tukang Becak Kembali ke Jalan
3.1. Catatan Harian Nusa: Pendidikan
3.2. Catatan Harian Nusa: Kesehatan
3.3. Menyembuhkan Luka
3.4. Catatan Harian Nusa: Air dan Sanitasi
3.5. Menyalurkan Air ke Desa-desa
5.1. Catatan Harian Nusa: Dampak Konflik dan Proses
Perdamaian
5.2. Nota Kesepahaman (MoU)
5.3. Perdamaian di Cot Tufah
5.4. Hari-Hari Tanpa Kerja
6.1. Lelah Mengejar Ikan
7.1. Dana Multi-Donor
7.2. Lambatnya Pelaksanaan
8.1. Penyebab Kelambanan dalam Proses
Rekonstruksi
8.2. Dana Perwalian untuk Pemulihan Aceh dan Nias
9.1. Pertemuan Berkala Kelompok Kerja untuk Sektor
Khusus di Banda Aceh
9.2. Database Pemulihan Aceh Nias
10.1. Prioritas Infrastruktur untuk Tahun 2006-2007
– Rencana dan Kemajuan
DAfTAr pETA
1.1. Distribusi atas Mereka yang Mengalokasikan Diri
Sebagai Pengungsi Internal
1.2. Kebutuhan Perumahan dan Kemajuan
Rekonstruksi
1.3. RALAS dan Kegiatan-kegiatan Inventaris
Masyarakat
3.1. Rekonstruksi Sekolah dan Partisipasi Sekolah
Dasar
3.2. Membangun Kembali Perhubungan di Aceh
– Pekerjaan yang Sedang Dilakukan, Isu-isu dan
Solusi
4.1. PDB 2005 (%) diproyeksikan Menurun per
Kabupaten
4.2. Proporsi Penduduk Miskin Sebelum dan Sesudah
Bencana
5.1. Kecamatan yang Terkena Tsunami dan Konflik di
Aceh
5.2. Lokasi Mereka yang Pulang
6.1. Daerah-Daerah yang Terkena Dampak Gempa
Bumi tanggal 28 Maret
7.1. Pembiayaan dan Kebutuhan
9.1. Distribusi Kegiatan LSM berdasarkan Kabupaten
Dibandingkan dengan Kebutuhan
DAfTAr LAMpIrAN
A.1 Summary of Needs, Projects and Gaps
A.2 The Reconstruction and Development Program
for Aceh and Nias
A.3 Financing Aceh and Nias Reconstruction
A.4 Damage and Loss vs. Reconstruction Program,
by Kabupaten
A.5 The Demographic and Economic Impact in
the Disaster Affected Region: Cross Country
Comparisons
A.6 Methodological Notes
A.6.1 General Methodology and Definitions
A.6.2 Measuring The Spatial Dimension of
Reconstruction
A.6.3 Summary of Major Projects in Nias by NGO
A.7 Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan
GAM
A.8 Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden RI
Tentang Aceh dan Nias
A.8.1 Instruksi President RI Nomor 15 Tahun 2005
Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara
Pemerintah RI dan GAM
A.8.2 Peraturan Presiden RI Nomor 69 Tahun 2005
Tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan
Asing Dalam Rangka Hibah untuk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara
A.8.3 Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2005
Tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
A.9 Data Sources
12 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
DAfTAr ISTILAHAdat Kebiasaan sosial atau tradisiADB Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank)AIPRD Australia Indonesia Partnership for
Reconstruction and DevelopmentAMDAL Analisa Mengenai Dampak
LingkunganAMM Aceh Monitoring MissionAusAID Australian Agency for International
DevelopmentBAPEDALDA Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan DaerahBapel Badan Pelaksana BRRBAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan
NasionalBarat BaratBPD Bank Pembangunan DaerahBPM Badan Pengembangan Masyarakat BPN Badan Pertanahan NasionalBPS Biro Pusat StatistikBQ Baitul QiradhBRR Badan Rehabilitasi dan RekonstruksiBupati Kepala KabupatenCamat Kepala KecamatanCDA Community Driven AdjudicationCDC Centers for Disease Control and
PreventionCDD Community Driven DevelopmentCFAN Coordination Forum for Aceh and
NiasCGI Consultative Group for IndonesiaCIDA Canadian International Development
AgencyCoHA Perjanjian Penghentian permusuhan
(Cessation of Hostilities Agreement)CoSA Committee on Security
ArrangementsCPI Indeks Harga Konsumen (Consumer
Price Index)CRS Catholic Relief ServicesCSO Civil Society OrganizationDDR Disarmament Demobilization and
ReintegrationDfID UK Department For International
DevelopmentDHWS Directorate for Housing, Water and
SanitationDinas Pengelola Sub-Proyek PropinsiDinas Bina Marga Kantor Pengelola Jalan Daerah Dinas Sosial Departemen SosialDIPA Daftar Isian Proyek AnggaranDISNAKERTRANS Dinas Tenaga Kerja dan TransmigrasiEC European CommissionECHO European Commission Humanitarian
Office
ECLAC Economic Commission for the Latin America and Caribbean
EIA Environmental Impact Assessment EMIS Education Management Information
SystemERTR Emergency Response and
Transitional RecoveryETESP Earthquake and Tsunami Emergency
Support ProjectEU Uni Eropa (European Union)FAO Food and Agriculture OrganizationFY Tahun Anggaran (Financial year)GAM Gerakan Aceh MerdekaGDP Produk Domestik Bruto (Gross
Domestic Product)GeRAK Gerakan Anti KorupsiGIS Geographic Information SystemGOI Pemerintah IndonesiaGPS Global Positioning SystemGTZ German Cooperation Agency
(Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit)
HIC Humanitarian Information CenterIAP Immediate Action PlanIBI Ikatan Bidan IndonesiaICW Indonesia Corruption WatchIDP Pengungsi (Internally Displaced
Person) IFRC International Federation of Red Cross
and Red Crescent SocietiesILO Organisasi Buruh Internasional
(International Labor Organization)IMC International Medical Corps.IOM International Organization for
MigrationIRC International Rescue CommitteeIRD International Relief and DevelopmentJICA Japan International Cooperation
AgencyJICS Japan International Cooperation
SystemKDK Komite Darurat KemanusiaanKDP Kecamatan Development ProjectKerap Komite lokal yang dipilih untuk
menangani dan memantau dana rekonstruksi di bawah Urban Poverty Project
KfW German Development Bank (Kreditanstalt fuer Wiederaufbau)
KPK Komite Pemberantasan KorupsiKPPN Kantor Pelayanan Perbendaharaan
NegaraLC Land ConsolidationLCS Logistics Coordination ServiceLCT Landing CraftLDR Loan and Deposit Ratio
1�
LEI Eco Labeling Institute LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan
IndonesiaLRWG Livelihood Recovery Working
GroupsMDTF Multi Donor Trust Fund (untuk Aceh
dan North Sumatra), umumnya disebut sebagai Multi Donor Fund
MFI Micro Finance Institutions MOC Departemen Perhubungan (Ministry
of Communication)MOE Departemen Lingkungan Hidup
(Ministry of Environment)MoNE Departemen Pendidikan Nasional
(Ministry of National Education)MoRA Departemen Urusan Agama (Ministry
of Religious Affairs) MOU Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding)MPW Departemen Pekerjaan Umum
(Ministry of Public Works)MSF Medecins Sans FrontieresNAD Nanggroe Aceh DarussalamNGO Lembaga Swadaya Masyarakat
(Non-Governmental Organization)NPL Kredit Macet (Non-Performing Loan)OCHA Office for the Coordination of
Humanitarian AffairsOECD Organization of Economic
Coordination & DevelopmentP3JJ Proyek Perencanaan dan
Pengawasan Jalan dan JembatanPDAM Perusahaan Daerah Air MinumPerpu Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang UndangPERTAMINA Perusahaan Pertambangan Minyak
NasionalPesantren Sekolah IslamPHC Pusat Kesehatan Masyarakat (Public
Health Center)PHO Kantor Kesehatan Masyarakat
(Public Health Office) PLN Perusahaan Listrik NegaraPMU Program Management UnitPosko Pos KoordinasiPuskesmas Pusat Kesehatan MasyarakatR3MAS Rencana Rehabilitasi & Rekonstruksi
Masyarakat Aceh dan SUMUTRALAS Reconstruction of Aceh Land
Administration SystemRKA-KL Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/LembagaRKP Rencana Kerja PemerintahRCRC Palang Merah / Bulan Sabit Merah
(Red Cross/Red Crescent)Rp Indonesian Rupiah
SAKERNAS Survey Tenaga Kerja NasionalSAMAK Solidaritas Masyarakat Anti KorupsiSCF Save the Children FundSD Sekolah DasarSME Usaha Kecil dan Menengah (Small &
Medium Enterprises) SNREA Strategic Natural Resource and
Environmental AssessmentSPADA Support for Poor and
Disadvantaged Areas ProjectSST Satuan Sabungan TeleponSUMUT Sumatera UtaraSyariah Hukum IslamTELKOM Perusahaan Telekomunikasi Milik
Negara TNI Tentara Nasional IndonesiaTSAD Tim Sosialisasi Aceh DamaiUN Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations)UNDP United Nations Development
ProgramUNEP United Nations Environment
ProgramUNFPA United Nations Family Planning
AgencyUNHAS United Nations Humanitarian Air
ServiceUNICEF United Nations Children’s FundUNIMS United Nations Information
Management SystemsUNJLC United Nations Joint Logistics
CentreUNOCHA United Nations Office Coordination
Humanitarian AffairsUNOPS United Nations Office for Project
ServicesUNORC United Nations Office of the
Recovery CoordinatorUPP Urban Poverty ProjectUSAID United States Agency for
International DevelopmentUSO Universal Service Obligation WFP World Food Program WHO Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organization)YIPD Yayasan Inovasi Pemerintah Daerahyoy tahunan (year-on-year)
1� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi gempa bumi kurang lebih 150 km di lepas pantai Aceh. Gempa bumi tersebut merupakan gempa bumi terkuat di dunia yang pernah terjadi dalam satu generasi. Empat puluh lima menit kemudian gelombang tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan hanya dalam waktu beberapa menit saja gelombang tersebut menyapu bersih daerah pesisir pantai Nanggroe Aceh Darussalam sepanjang 800 kilometer – sama dengan jarak pesisir pantai dari San Francisco sampai San Diego. Sebanyak 130.000 orang tewas dan 37.000 orang dinyatakan hilang.
gempa bumi yang terjadi pada tanggal 28 Maret menambah jumlah korban di Nias, Simeulue dan Aceh bagian Selatan. Kedahsyatan bencana alam yang terjadi pada saat itu sangat sulit dipahami. Sebagai gambaran: gempa bumi yang terjadi di bulan Desember menyebabkan permukaan tanah di Pulau Simuelue, yang luasnya sekitar 2.000 kilometer persegi dan berpenduduk sebanyak 78.000 jiwa, turun sekitar satu meter, sedangkan gempa bumi yang terjadi pada bulan Maret menyebabkan permukaan tanah di sana naik setinggi dua meter – bahkan lebih tinggi di beberapa bagian pulau itu. Kenyataan bahwa kita dapat berjalan menyusuri terumbu karang yang muncul ke permukaan laut membuat kita sadar akan dahsyatnya perubahan yang ditimbulkan oleh alam.
peristiwa tersebut telah menyebabkan kerusakan yang parah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah yang sebelumnya telah dilanda kemiskinan, dan juga memicu datangnya bantuan darurat yang luar biasa dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebelum terjadi Tsunami, lebih dari sepert iga penduduk
rINgKASAN EKSEKUTIfNanggroe Aceh Darussalam dan Nias hidup dalam kemiskinan; sekarang, hampir separuh dari jumlah penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan atau bergantung pada bantuan pangan. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk kembali pulih sepenuhnya. Bencana tersebut juga memicu datangnya bantuan darurat berskala nasional dan internasional yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tentara Nasional Indonesia dan pasukan militer dari berbagai negara memimpin upaya pencarian dan penyelamatan, menyalurkan bantuan dan melakukan kegiatan pembersihan awal. PBB mengeluarkan permohonan dana bantuan darurat sebesar US$800 juta untuk negara-negara yang dilanda bencana tsunami. LSM-LSM dan lembaga- lembaga donor turut memberikan bantuan yang luar biasa besarnya.
Upaya ini sekarang telah beralih dari penanggulangan keadaan darurat ke upaya untuk membantu masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias membangun hidup mereka kembali. Tamu-tamu yang datang berkunjung masih tercengang melihat dahsyatnya kerusakan yang terjadi, tetapi sekarang mulai melihat tanda-tanda kegiatan pemulihan karena penduduk yang selamat dari bencana tersebut, bersama-sama dengan staf dari 124 LSM internasional, 430 LSM nasional, lusinan lembaga donor dan lembaga PBB, berbagai instansi pemerintah, instansi militer dan lain-lain sebagainya bersama-sama melakukan upaya rekonstruksi.
Berbagai mekanisme baru dan inovatif untuk pendanaan upaya pemulihan telah memberikan kepastian bahwa sumberdaya yang memadai telah tersedia. Lima belas negara donor telah sepakat untuk menyatukan bantuan mereka dalam Dana Multi Donor untuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias sebesar
15
US$525 juta, yang diketuai bersamasama oleh Uni Eropa (sebagai donor terbesar), Bank Dunia dan BRR. Bank Pembangunan Asia meluncurkan proyek Bantuan Darurat Gempa bumi dan Tsunami dengan dana bantuannya sendiri sebesar US$300 juta. Dan program-program hibah dan pinjaman lunak bilateral telah ditawarkan oleh Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development, Pemerintah Jepang dan Jerman, dan USAID serta beberapa negara lainnya dari seluruh dunia. LSM-LSM internasional dan organisasi-organisasi seperti Palang Merah/ Bulan Sabit Merah, CARE, CARDI, Catholic Relief Services, MercyCorps, Oxfam, Save the Children, dan World Vision telah menggalang dana yang sangat besar untuk mendukung upaya bantuan dan pemulihan yang sedang berlangsung. Dana-dana tersebut memberikan harapan bahwa “membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik” memang mungkin dilaksanakan.
Harapan terbesar akan terjadinya upaya pemulihan yang berkesinambungan telah ditopang oleh ditandatanganinya perjanjian damai di Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tangal 15 Agustus 2005 yang mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun dan telah menelan korban sebanyak 15.000 orang. Perjanjian-perjanjian sebelumnya tidak berhasil, tetapi berbagai pelajaran telah dipetik dan prospek perjanjian kali ini terlihat baik. Sejauh ini perdamaian tetap terjaga. Mantan pasukan GAM dengan lancar diintegrasikan ke dalam masyarakat asal mereka, persenjataan telah diserahkan sesuai jadwal, pasukan TNI di Aceh telah dikurangi sesuai kesepakatan dan lembaga-lembaga setempat – baik lembaga pemerintah maupun lainnya – menyambut baik para pemimpin GAM untuk menduduki posisi pembuat keputusan. Kemungkinan terdapat suatu “ l ingkaran
mulia”; bencana tsunami telah memberikan kesempatan ter jadinya perdamaian, dan upaya-upaya rekonstruksi membuka peluang memperkuat perdamaian tersebut dengan menyatukan kembali seluruh masyarakat untuk merencanakan masa depan mereka.
KEMAJUAN – SETELAH SATU TAHUN
Bantuan darurat tetap diperlukan, tetapi upaya yang dilakukan sekarang difokuskan pada rekonstruksi, dan telah terdapat kemajuan di berbagai bidang. Di Aceh dan Nias, sebagian besar wilayah kota masih berupa puing-puing reruntuhan; sekitar 67.500 orang masih tinggal di tenda-tenda, dan sebagian besar dalam keadaan menyedihkan. Ratusan ribu orang masih bergantung pada bantuan pangan dan program-program lapangan pekerjaan darurat. Akan tetapi, tidak seperti di wilayah bencana yang serupa di tempat-tempat lain, wabah penyakit atau kelaparan tidak terjadi, karena adanya upaya penaggulangan keadaan darurat yang terkoordinasi dengan baik. Saat ini, hampir 1.000 proyek rekonstruksi sedang ber ja lan, yang sebagian besar telah menunjukkan kemajuan sebagaimana ditunjukkan dalam data keseluruhan yang ditampilkan Tabel 1.
program-program pemulihan ditargetkan pada berbagai kebutuhan, yang penekanan utamanya diberikan pada perumahan, kesehatan dan memperbaiki lapangan kerja di bidang pertanian. Sampai awal Desember, 16.200 rumah telah dibangun dan 13.200 sedang dibangun untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal, 15.000 keluarga ditampung di barak-barak sementara, dan PBB serta Palang Merah/Bulan Sabit Merah saat ini memimpin upaya pembangunan rumah sementara sehingga pada awal tahun 2006 diharapkan tidak ada lagi keluarga yang harus hidup di tenda-tenda darurat. Sebagian
1� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
1 Berbagai masalah perumahan berdasarkan sumber-sumber berikut ini: penilaian kerusakan IOM atas rumah-rumah yang hancur disesuaikan agar mencerminkan hilangnya warga desa (Maret); Survei BRR tentang Camat dan Kepala Desa (Novem-ber); Sensus BPS tahun 2005 menunjukkan 192.055 pengungsi termasuk 12.353 tinggal di tenda-tenda di atas tanah mereka sendiri
Kerusakan Kemajuan
Masyarakat • 167.000 orang meninggal atau hilang karena tsunami
• 500.000 orang kehilangan rumah di Aceh• 900 orang meninggal dalam gempa di
bulan Maret, 13.500 keluarga kehilangan rumah di Nias
• Di Aceh, lebih dari 300.000 orang telah dapat kembali ke rumah mereka
• Sekitar 75.000 orang mengungsi ke rumah saudara dan tetangga
Perumahan • Dibutuhkan 80.000 – 110.000 rumah baru di Aceh dan 13.500 di Nias
• Sekitar 50.000 ditampung di barak-barak;
• Dan sekitar 67.500 orang tetap tinggal di tenda-tenda
• 16.200 rumah baru telah selesai dibangun
• 13.200 sedang dibangun• 5.000 buah rumah baru sedang
dibangun setiap bulannya
Infrastruktur • 3.000 km jalan rusak• 14 dari 19 pelabuhan rusak parah• 8 dari 10 lapangan udara rusak• 120 jembatan arteri (dan 1.500 jembatan
kecil) rusak
• 235 km jalan telah dibangun kembali• Proyek jalan pantai barat telah dimulai• Proyek-proyek besar pembangunan jalan
sedang berjalan• 5 pelabuhan utama sedang dibangun• 35 jembatan arteri telah dibangun
kembali
Pendidikan • Lebih dari 2.000 gedung sekolah rusak• Kurang lebih 2.500 orang guru meninggal
• 335 sekolah baru telah dibangun atau sedang dibangun
• Lebih dari 1.100 guru baru atau temporer telah mendapat pelatihan
• 1,7 juta buah buku teks telah didistribusikan
Kesehatan • Lebih dari delapan rumah sakit rusak atau hancur
• 114 puskesmas dan puskesmas pembantu rusak atau hancur
• 38 rumah sakit, klinik dan puskesmas telah dibangun;
• 51 lainnya sedang dibangun
Ekonomi • Kerusakan sebesar US$1,2 milyar pada sector produktif;
• Proyeksi penurunan perekonomian sebesar 5% di Aceh; 20% di Nias
• Ledakan proyek konstruksi telah merangsang perekonomian
Perikanan • 4.717 perahu nelayan hilang• 20.000 hektar tambak rusak atau tidak
berfungsi
• 3.122 perahu diganti atau sedang dibuat• 5.000 hektar tambak telah diperbaiki,
kembali berfungsi
Pertanian • 60.000 petani mengungsi• Lebih dari 60.000 hektar lahan pertanian
rusak
• 40.000 petani telah dibantu untuk kembali
• 13.000 hektar lahan pertanian telah diperbaiki
KegiatanUsaha
• 100.000 pengusaha kecil telah kehilangan usahanya
• 7.000 pekerja telah mendapat pelatihan keterampilan
• Lebih dari 120.000 ditampung dalam program pembukaan lapangan kerja
Kerusakan, Kebutuhan dan Kemajuan di Aceh dan NiasTabel 1.
1�
• Honduras: Badai Mitch menimbulkan kerusakan di beberapa negara Amerika Tengah pada tahun 1998. Di Honduras saja, lebih dari 441.000 orang mengungsi. Empat tahun kemudian, sekitar 85.000 rumah telah dibangun kembali, tetapi ratusan orang masih tinggal di tempat-tempat penampungan sementara.
• India: Gempa di Gujarat pada tahun 2001 menewaskan sekitar 14.000 orang; program pemulihan ditujukan untuk membangun kembali 214.000 buah rumah; pada dua tahun pertama 113.000 buah rumah telah dibangun (53%)
• Iran: Pada bulan Desember 2003, gempa bumi yang terjadi di Bam menewaskan lebih dari 30.000 orang dan 75.000 orang lainnya kehilangan rumah. Setahun kemudian, sebagian besar orang tinggal di tempat-tempat penampungan yang telah dibuat sebelumnya dan hanya 5% dari rumah permanen yang diperlukan telah dibangun kembali.
• Jepang: Gempa bumi di Kobe menewaskan 6.400 orang dan 300.000 lainnya mengungsi pada tahun 1995. Diperlukan waktu tujuh tahun untuk mencapai pemulihan sepenuhnya berkaitan dengan kependudukan, pendapatan, dan industri.
• Turki: Setelah gempa bumi di Erzincan pada tahun 1992, sebuah program pemerintah untuk membangun 3.600 rumah belum terlaksana sampai dua tahun kemudian. Setelah terjadinya Gempa bumi pada bulan Agustus 1999 di Marmara (yang menghancurkan 64.000 rumah), kapasitas pemerintah untuk melakukan rekonstruksi meningkat, dan diperlukan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan pembangunan rumah secara keseluruhan.
• Amerika Serikat: Di Florida sebagian orang masih tingal di rumah-rumah sementara lebih dari satu tahun setelah Badai Ivan terjadi di tahun 2004.
• Venezuela: Banjir dan tanah longsor yang terjadi pada tahun 1999 membuat 80-100.000 orang mengungsi; lebih dari sepertiganya masih tinggal di barak-barak/tempat penampungan sementara 8 bulan kemudian. Setahun setelah terjadinya bencana tersebut, semua pengungsi telah memiliki rumah; akan tetapi, banyak yang ditekan untuk pindah.
Membandingkan Laju Rekonstruksi di Berbagai NegaraKotak 1
besar anak-anak sekarang telah kembali bersekolah, puskesmas-puskesmas sebagian besar telah dibuka kembali, sekitar dua-pertiga petani telah kembali mengerjakan sawah dan ladang mereka yang rusak, dan tigaperempat perahu nelayan yang hilang telah diganti atau sedang dibuat. Beberapa kemajuan, tetapi lebih terbatas, telah mulai tampak pada upaya pemulihan lapangan pekerjaan.
Orang-orang yang terpaksa mengungsi atau yang kehilangan mata pencahariannya agak frustasi karena setelah setahun berlalu upaya pemulihan tidak dapat berjalan lebih cepat. Laju kegiatan rekonstruksi setelah terjadinya bencana yang begitu besar tidak pernah cukup cepat, mengingat dampaknya pada kehidupan, tetapi upaya rekonstruksi tersebut sedang berjalan sekurang-kurangnya sama cepatnya dengan yang terjadi setelah adanya bencana lain baru-baru ini. (kotak 1)
Upaya pemulihan dihambat oleh tantangan yang sangat kompleks. Perencanaan sebesar apa pun tidak dapat menghindarkan masalah-masalah tersebut. Di antaranya adalah:• Tanah harus dibers ihkan dar i jutaan
ton puing dan diurug sebelum dapat digunakan kembali – baik untuk pertanian maupun membangun rumah; dan sebelum membangun rumah, harus ditentukan ter leb ih dahulu s iapa pemi l ik tanah tersebut.
• Sebagian besar lahan tidak lagi cocok untuk perumahan karena sekarang berupa dataran yang tergenang yang disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang telah menurunkan permukaan sebagian besar kawasan pesisir sampai dengan 1,5 meter.
• A i r bers ih, sa luran a i r kotor, l is t r ik , transportasi umum dan sarana lainnya harus direncanakan terlebih dahulu sebelum pembangunan rumah untuk memastikan
1� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
bahwa masyarakat dapat hidup kembali. • Satu-satunya jalan yang mencapai pantai
barat telah hancur di beberapa bagian, sepert i ha lnya pu la beberapa buah pelabuhan. Meskipun telah ada jalan darurat yang dibangun oleh TNI, yang hanya dapat dilalui oleh truk berkapasitas 5 ton saja ketika keadaan kering, merupakan hal yang terbukti sangat sulit untuk membawa ribuan ton bahan bangunan yang diperlukan untuk rekonstruksi.
• Pu l au -pu l au , khususnya N i as dan Simeulue, telah kehilangan sebagian besar pelabuhannya dan kondisi infrastruktur tidak memadai untuk menangani transportasi bahan-bahan yang akan digunakan karena belum pernah sebelumnya ada rekonstruksi berskala sebesar ini.
• Sejak dimulainya rekonstruksi telah terjadi beberapa gempa bumi susulan (termasuk yang terbesar yang terjadi pada bulan Maret), banjir besar, tanah longsor dan angin topan. Flu burung dan polio juga telah sampai ke Aceh.
Walaupun tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah ini, penyebab-penyebab keterlambatan lainnya seharusnya dapat diatasi. Pemerintah memerlukan waktu beberapa bulan untuk merumuskan strateginya. Banyak LSM dan donor yang telah memberikan komitmen untuk melaksanakan program-program di mana mereka tidak terlalu berpengalaman. Banyak donor yang dengan cepat menjanjikan bantuan untuk pemulihan tetapi kemudian memerlukan waktu beberapa bulan untuk memberikan wewenang atau mentransfer dananya. Kebijakankebijakan yang kurang tepat sering menimbulkan keterlambatan yang seharusnya tidak perlu terjadi dan menyebabkan langkah awal yang salah -misalnya, kebijakan awal untuk membatasianggaran untuk sebuah rumah baru sampai dengan US$3.000 – jumlah
yang jelas terlalu kecil – menghambat proyek-proyek perumahan. Kebijak tersebut kemudian diubah, tetapi setelah dimulainya banyak program.
proses-proses anggaran untuk dana pemerintah dan bantuan resmi yang diberikan melalui pemerintah telah terbukti lamban. Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia (seperti di banyak negara lainnya), proses transfer dana dari kantor perbendaharaan negara dapat menjadi rumit. Pelaksanaan anggaran pada tahun ini bahkan menjadi lebih lambat akibat adanya reformasi yang baru saja di luncurkan, walaupun situasi yang ada memerlukan tindakan tanggapan yang cepat. Walaupun dirancang untuk meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas, sistem yang baru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian pada awalnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan terhadap praktik-praktik yang telah berlaku selama ini. Karena perlu meningkatkan kecepatan pengucuran dana, sistem anggaran hampir tidak berfungsi sehingga sumberdaya yang sangat besar yang telah dialokasikan oleh pemerintah untuk pemulihan mengendap di Jakarta sampai bulan September 2005.
STrATEgI rEKONSTrUKSI
r e n c a n a i n d u k p e m e r i n t a h u n t u k rehabilitasi dan rekonstruksi memuat dua keputusan penting yang pada awalnya memperlambat rekonstruksi , tetapi memberikan landasan yang kokoh untuk kemajuan yang berkesinambungan dalam upaya pemulihan dalam jangka panjang. Keputusan pertama adalah pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) setingkat menteri untuk memimpin upaya pemul ihan; walaupun diper lukan waktu beberapa bulan sampai badan tersebut beroperasi penuh. Keputusan kedua adalah
1�
BRR te rd i r i dar i t iga lembaga: Badan Pelaksana (Bapel), yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto; Badan Penasihat tingkat tinggi untuk memandu strategi rekonstruksi; dan Badan Pengawas untuk memantau kegiatan, menangani pengaduan masyarakat, dan melakukan audit. Ketiga badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sebutan BRR lazim digunakan untuk badan pelaksana, hal yang juga dilakukan dalam laporan ini.
prioritas pertama Brr adalah untuk mengklarifikasi misinya, membangun kepengurusannya dan mengembangkan berbagai standard operating procedure untuk mengadakan koordinasi, kepemimpinan strategis dan kendali mutu atas berbagai macam kegiatan yang sedang dilakukan oleh para donor dan LSM. BRR menetapkan proses peninjauan kembali dan persetujuan untuk memastikan bahwa proyek-proyek tersebut sesuai dengan pr ior i tas dan kebutuhan
mengharuskan agar masyarakat memegang kendali dalam perencanaan upaya pemulihan mereka sendiri; proses yang partisipatif sering lebih lamban dibandingkan proses top-down tetapi lebih efektif dalam jangka panjang karena rencanarencana tersebut mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Pilihan-pilihan strategi Indonesia telah mengambil arah yang berbeda dari strategistrategi yang dipilih oleh negara-negara lain yang dilanda bencana, tetapi mengingat kompleksnya kondisi politik dan sosial di lokasi bencana tsunami terjadi, pilihan-pilihan tersebut menjadi masuk akal. Memang, pembentukan badan yang dapat dipercaya dan independen untuk mengawasi rekonstruksi dan penekanan pada proses-proses yang digerakkan oleh masyarakat, tentu saja telah memberikan kontribusi pada proses perdamaian.
Sejak pembentukannya pada bulan April Brr telah dengan cepat mengambil kepemimpinan atas upaya rekonstruksi.
Pembagian Tahapan Kegiatan Tanggap Darurat dan Pemulihan Skematikgambar 1
Tahap kegiatan
2005 2006 2007 2008 20092005 2006 2007 2008 2009
Darurat
Perumahan Jangka waktu lebih panjang
Infrastruktur fisikdan sosial
Mata pencahariandan bisnis
Sege
ra
2005 2006 2007 2008 2009
20 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
pemulihan secara keseluruhan. BRR merancang kebijakan-kebijjakan dan panduan-panduan untuk menetapkan standar-standar dan praktik-praktik umum dalam bidang-bidang utama dengan fokus yang besar pada upaya pencegahan korupsi. BRR juga membangun sebuah pusat operasi untuk menelusur i proyekproyek yang dibiayai para donor dan berupaya untuk membuat kerangka kerja baru untuk koordinasi donor. Dengan alokasi sumberdaya yang cukup besar dari moratorium Paris Club, BRR menjadi sumber dana pemerintah yang penting untuk kegiatan rekonstruksi.
Sekarang Brr telah diberikan kewenangan tambahan untuk melaksanakan proyek-proyek rekonstruksi perumahan melalui kontrak langsung. Hal ini memungkinkan BRR untuk bert indak langsung j ika ada kekurangan atau jika ada program-program yang tidak berjalan dengan baik, dengan cara mengambil alih tanggung jawab atas program tersebut atau mengalihkannya kepada lembaga lain. BRR juga memprioritaskan pelibatan pemerintahan kabupaten dalam rekonstruksi dengan menyalurkan dana BRR sendiri untuk proyek-proyek yang dikelola oleh pemerintahan provinsi da n kabupaten. BRR juga akan menggunakan hibah (block grants) untuk memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatasi kebutuhan prasarana tingkat menengah mereka, sambil memberikan peningkatan kapasitas yang diperlukan dengan pendekatan “learning by doing” (belajar sambil melakukan).
peralihan dari tahap bantuan ke tahap rekonstruksi bukan tanpa hambatan. Jeda kegiatan di pertengahan 2005 berkesan bahwa upaya pemulihan kehabisan tenaga. Perencanaan untuk tahap pemulihan dimulai dengan intens pada bulan Maret dan tidak
berhenti sampai revisi anggaran Pemerintah disetujui pada bulan Juli. Pembayaran untuk kegiatan-kegiatan pemulihan masih tertahan sementara bagian utama tanggap darurat mulai mereda. Hal tersebut menyebabkan kekosongan da lam arus pendanaan -sebagaimana diilustrasikan dengan daerah abu-abu pada gambar 1 – dan bersamaan dengan meningkatnya kekecewaan di antara para pengungsi yang tidak sabar ingin melihat kemajuan.
program pemulihan sekarang mendapatkan momentum dan dana mulai mengalir untuk proyek-proyek rekonstruksi. Hal tersebut menjadi mungkin karena kapasitas telah meningkat, rencana-rencana telah disepakati bersama dengan masyarakat, kontrak-kontrak telah diberikan dan bahan-bahan bangunan telah diadakan. Sumber daya yang mengalir untuk proyek-proyek rekonstruksi meningkat sampai sekitar US$150 juta per bulan dan kemungkinan mencapai US$200 juta pada tahun 2006. BRR telah menetapkan pembagian tahapan upaya rekonstruksi, sebagaimana di i lustrasikan dalam bagan, meluas dari penekanan yang saat ini diberikan pada sektor perumahan sehinga mencakup sektor prasarana dan mata pencaharian pada tahun 2006, dan akan mencakup kebutuhan prasarana jangka panjang dan peningkatan kapasitas lokal pada tahun-tahun berikutnya (gambar 1).
Kemajuan dalam rekonstruksi telah nampak jelas. Sekarang setiap perjalanan melalui zona yang terkena tsunami memperlihatkan serangkaian rumah-rumah baru, proyekproyek pekerjaan umum dan lahan konstruksi yang digarap oleh lembaga internasional atau instansi pemerintah. Meskipun demikian wilayah-wilayah yang lebih terpencil masih sangat terabaikan, khususnya Nias.
21
MEMBANgUN KEMBALI pErUMAHAN DAN MASYArAKAT
Sekitar 500.000 orang harus mengungsi dari rumah mereka karena tsunami. Sebagian besar dari mereka telah dapat menempati kembali rumah mereka atau mencari alternatif lain, akan tetapi sekitar 190.000 orang tetap tidak memiliki tempat tinggal di Aceh dan 13.500 keluarga di Nias. Sekitar 67.500 orang di Aceh tetap tinggal di tenda-tenda.
Tantangan pertama yang harus diatasi sehubungan dengan perumahan permanen adalah klarifikasi pemilik tanah. Seringkali tidak ada jejak yang jelas sehubungan dengan batas-batas tanah. Sebuah program sedang dikembangkan untuk mengembalikan hak milik dengan menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Orang-orang di sebuah desa pertama kali memetakan komunitas mereka dengan menunjukkan perkiraan batas-batas, kerusakan terhadap properti, dan siapa yang sebelumnya tinggal di sana. Seluruh masyarakat kemudian memutuskan secara kolektif siapa yang memiliki atau seharusnya mendapatkan suatu bidang tanah. Badan Pertanahan Nasional kemudian mengesahkan keputusan masyarakat tersebut, menggambar peta yang terperinci dan memulai proses pemberian hak yang sah atas bidangbidang tanah tersebut. Kecepatan adalah salah satu hal yang penting dalam proses yang rumit tersebut.
Berurusan dengan masalah tanah di mana orang-orang harus pindah jauh lebih rumit. Sekitar 30.000 keluarga kemungkinan besar harus pindah secara tetap, bahkan terkadang keseluruhan komunitas. Apabila LSM atau pihak yang lain siap untuk membantu (mungkin dengan membeli tanah yang dibutuhkan) dan apabila kepala pemerintah lokal menjalankan kepemimpinan yang tegas, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan.
proyeksi saat ini mengindikasikan bahwa 60.000 rumah akan dibangun sampai bulan Juni 2006, dan program perumahan penuh akan selesai pada pertengahan tahun 2007. Hal tersebut berarti terdapat 75.000 rumah yang harus dibangun di Aceh pada tahun 2006. Kemajuan tetap lamban di wilayah-wilayah yang terpencil, khususnya kepulauan Nias dan Simeulue.
Sebagian besar proyek-proyek perumahan saat in i berada d i wi layah-wi layah yang lebih mudah dijangkau dan tidak memerlukan lahan baru yang besar; proyek pembangunan rumah yang paling sulit belum lagi dimulai. Pada tahun 2006, akan ada keharusan untuk membangun rumahrumah untuk para penghuni pulau, orang-orang yang ada di daerah-daerah terpencil, dan mereka yang tanahnya telah tersapu atau menjadi rawan banj i r secara permanen. Banyak halangan-halangan kebijakan yang harus diatasi. Sebagai akibatnya, terdapat risiko bahwa awal pembangunan perumahan dapat mencapai puncaknya dalam waktu dekat seiring dengan dicapainya daerah-daerah yang lebih sulit tersebut.
MEMULIHKAN MATA pENCAHArIAN
Tsunami menyebabkan kerugian sekitar US$1,2 miliar pada sektor-sektor produktif. Lebih dari setengah kerugian tersebut dialami sektor perikanan dan sisanya dialami oleh sektor perkebunan dan manufaktur. Program penyediaan lapangan kerja (cash-for-work), yang didanai oleh banyak negara donor dan LSM, telah memainkan peran yang penting dalam menyediakan jaring pengaman dan menggerakkan kembali perekonomian. Program-program tersebut sekarang secara bertahap mulai dikurangi, karena banyak proyek-proyek pembangunan rumah dan kegiatan-kegiatan penempatan tenaga kerja reguler sedang diluncurkan.
22 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Ledakan proyek pembangunan menawarkan banyak pekerjaan, tetapi mungkin dapat menjebak. Peningkatan jumlah pengangguran menyusul terjadinya tsunami telah teratasi oleh pekerjaan-pekerjaan dalam proyek konstruksi, akan tetapi pada akhirnya ledakan tersebut akan mereda. Meskipun terdapat godaan untuk mempertahankan peker jaan yang terkait dengan pemulihan untuk orang-orang setempat, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya in.asi upah dan harga di daerah yang akan berdampak negatif terhadap Aceh dan Nias untuk jangka panjang. Daerah tidak dapat beralih dari ekonomi yang digerakkan oleh proyek konstruksi apabila tenaga kerja telah menentukan upahnya sendiri melebihi standar pasar Indonesia, dan tingkat upah lebih . eksibel untuk bergerak naik daripada turun. Keseimbangan harus dijaga antara memastikan bahwa pekerjaan rekonstruksi membantu pengungsi dan membuka peluang .eksibilitas untuk migrasi tenaga kerja.
Banyak bantuan telah diberikan untuk sektor perikanan, akan tetapi selalu dalam bentuk yang tidak tepat dan kesenjangan tetap ada. Sebagian besar kapal nelayan kecil telah diganti, akan tetapi kemungkinan banyak yang tidak akan bertahan selama 12 sampai 18 bulan kerena buruknya rancangan dan hasil kerja serta penggunaan bahan-bahan yang tidak memenuhi standar. Selain itu, bahkan sebelum terjadinya tsunami sudah ada keragu-raguan tentang kesinambungan penangkapan ikan di pesisir, sementara dilaporkan terdapat banyak cadangan ikan di lautan yang lebih dalam. Beberapa lembaga menyediakan kapal yang lebih besar yang diperlukan untuk menangkap cadangan ikan tersebut. Ada kesenjangan lain juga. Banyak tambak udang dan ikan air tawar belum direhabilitasi dan hanya sedikit lembaga yang membantu dalam memenuhi kebutuhan yang terkait dengan pemasaran, seperti pembangunan kembali pabrik es yang hancur akibat tsunami.
pertanian adalah salah satu dari sedikit aspek pemulihan yang terbukti lebih mudah ditangani daripada yang diperkirakan pada awalnya. Skema penempatan tenaga kerja darurat untuk membersihkan puing dan endapan, serta memperbaiki saluran pembuangan dan irigasi telah membantu 40.000 keluarga untuk kembali bertani (dua per tiga dari rumah tangga yang terkena dampak tsunami). Tampaknya hujan di banyak daerah telah menyapu salinitas yang ditakuti akan mengurangi kesuburan tanah dan faktanya beberapa daerah melaporkan hasi l yang memuaskan – karena nilai nutrisi dari endapan lumpur. Di daerah-daerah lain, investasi yang besar pada saluran pembuangan diperlukan untuk mengembalikan tingkat produksi tanah seperti sebelum terkena tsunami.
Banyak w i rausahawan ska la kec i l dan menengah mengalami kesulitan untuk kembali berusaha. Sejumlah LSM memberikan hibah awal usaha atau fasilitas pembiayaan mikro untuk perusahaan kecil dan menengah (UKM). Tetapi sistem perbankan formal tidak menyediakan layanan normal kepada usaha-usaha di Aceh dan Nias karena banyaknya kredit macet tekait dengan tsunami membuat mereka tidak mau menanggung risiko. Kerugian aset, kurangnya akses kepada modal, dan rusaknya saluran pasar normal mereka telah menghilangkan semangat para wirausahawan.
MEMULIHKAN BErBAgAI pELAYANAN UMUM
Sebagian besar layanan pendidikan telah cepat dipulihkan, akan tetapi masih ada masalah kualitas. Banyak anak-anak sekarang belajar di tenda-tenda atau tempat belajar sementara. Sebuah program besar dilaksanakan untuk melatih lebih dari 1.100 guru
2�
baru atau guru sementara. Meskipun demikian, pendidikan anak mengalami kemunduran akibat gangguan pelayanan, perpindahan masyarakat dalam proses relokasi, serta trauma akibat bencana. Lebih dari lima persen anak berusia 7-12 tahun tidak mendaftar sekolah sampai bulan Agustus dan lebih dari sepuluh persen anak-anak berusia 13-15 tahun tidak bersekolah. Sepertinya banyak anak meninggalkan sekolah untuk bekerja, sehingga dapat kehilangan peluangpeluang hidup di masa dapan. Tantangan ke depan adalah untuk menyelesaikan perbaikan lebih dari 2000 sekolah di Aceh dan Nias, menggantikan sarana sementara dengan sarana permanen yang tahan bencana. Hal tersebut juga memberikan peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Para donor pada awalnya memfokuskan dukungan mereka untuk merekonstruksi sekolah-sekolah dasar di wilayah-wilayah kota dan sepanjang jalan utama. Penentuan sasaran yang lebih baik diper lukan untuk menjamin bahwa kebutuhan akan pendidikan menengah juga terpenuhi, serta kebutuhan-kebutuhan penting di daerahdaerah pedesaan terpencil dan wilayah-wilayah yang terkena konflik.
Sebagian besar sarana kesehatan telah dipulihkan sampai pada kondisi seperti sebelum terjadinya tsunami. Para donor dan LSM memberikan respon dengan cepat dan dengan murah hati untuk kebutuhan sektor kesehatan dengan mendirikan rumah sakit lapangan dan menyediakan staf serta peralatan. Rekonstruksi dan peningkatan kapasitas untuk sarana kesehatan permanen sekarang sudah mencapai 70 persen dari puskesmas dan puskesmas pembantu yang rusak, dan di beberapa daerah para donor telah memberikan sumber daya yang memadai. Rendahnya tingkat investasi publik dan ada konflik yang berjalan bertahun-tahun menunjukkan bahwa sarana kesehatan umum memang telah berada dalam keadaan yang buruk sebelum terjadinya
bencana alam tersebut. Perencanaan untuk jangka panjang akan menjadi prioritas yang tinggi pada tahun mendatang, sama pentingnya dengan masalah tumpang tindih, modal, dan kapasitas pemeliharaan. Lebih banyak program juga diperlukan untuk mengatasi masalahmasalah kesehatan mental yang lebih rumit dan memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan penanganan cedera fisik.
Memenuhi kebutuhan transportasi adalah prioritas utama. Perbaikan besar yang dilakukan terhadap jaringan jalan setelah bencana diperlukan agar operasi bantuan mencapai area-area yang jauh, akan tetapi hal tersebut hanyalah perbaikan darurat. Seiring dengan mulainya musim penghujan, akses ke daerah-daerah di pesisir barat menjadi sangat sulit dan perawatan darurat sedang dilakukan. Revisi rencana induk transportasi sedang dibuat. Pekerjaan jalan besar oleh Amerika Serikat, Jepang dan pihak lainnya telah dimulai, dan komitmen yang ada seharusnya memenuhi sebagian besar kebutuhan jalan nasional, akan tetapi masih ada kesenjangan yang besar dalam pendanaan untuk jalan-jalan kabupaten. Pembangunan kembali pelabuhan mengalami kekurangan pendanaan. Dalam jangka waktu 1 tahun, bagian-bagian utama dari jalan pesisir barat seharusnya dalam kondisi yang baik, dan perbaikan darurat pelabuhan-pelabuhan penting seharusnya telah diselesaikan. Akan tetapi, satu tahun adalah waktu yang lama bagi orang-orang yang tinggal di tenda-tenda, dan tanpa transportasi ke masyarakat yang terkena dampak bencana, pemulihan akan terus mengalami gangguan.
penyediaan air bersih dan sanitasi harus seiring sejalan dengan pembangunan rumah. Operasi darurat memberikan perhatian yang besar terhadap kebutuhan dalam sektor Kebutuhan ini dan sebagai akibatnya tidak ada wabah penyakit yang besar atau penyakit
2� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
yang ditularkan melalui air. Akan tetapi, sekitar 80.000 orang masih mendapatkan air setiap hari dari truk-truk pengangkut air yang disediakan oleh LSM dan para donor. Tetapi sekarang operasi pemulihan telah berpindah ke rekonstruksi sarana air bersih dan sanitasi permanen, khususnya di kota-kota besar. Sarana tersebut dalam kondisi buruk sebelum tsunami. Jepang memperbaiki sarana-sarana di Banda Aceh, sementara UNICEF dan BRR mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di sektor lain dan di pemukiman-pemukiman sementara.
Sementara program-program prasarana tingkat masyarakat dan skala besar masih berjalan, masih ada kesenjangan yang besar dalam bidang prasarana di tingkat kabupaten dan kota. Kesenjangan koordinasi dan pendanaan utama terkait dengan jalan sekunder, tanggul, selokan, dan Program Rekonstruksi pasokan air bersih yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Hal tersebut berada di luar ruang lingkup dari sebagian besar LSM dan memerlukan sistem perencanaan dan pelaksanaan pemerintah. Akan tetapi, pemerintah kabupaten di Aceh dan Nias saat ini tidak memiliki kapasitas untuk tugas tersebut, dan dalam banyak kasus, motivasi untuk melaksanakan tugas tersebut. pEMULIHAN YANg BErKELANJUTAN
Membangun kembal i perekonomian merupakan tantangan yang besar dan pelaksanaan terbaiknya adalah dengan memulai rekonstruksi f isik sesegera mungkin. Diperkirakan bahwa bencana akan mengurangi PDB tahun 2005 sampai dengan 5 persen di Aceh dan 20 persen di Nias, meskipun dampaknya sangat berbeda per kabupaten di mana ada dua kabupaten yang kehilangan setengah dari PDB mereka. Hal ini menunjukkan bahwa akan ada 325.000
penduduk di Aceh dan 149.000 di Nias yang mungkin akan hidup di bawah garis kemiskinan tanpa jaring pengaman yang memadai. Pasca tsunami, harga-harga terutama di Banda Aceh, meningkat lebih tajam daripada di tingkat nasional, di mana inflasi tahunan pada bulan Oktober 2005 mencapai 37,5 persen – terutama disebabkan oleh permintaanbahan-bahan bangunan dan buruh terampil yang tinggi. Ledakan proyek konstruksi juga menyebabkan kenaikan upah sampai dengan 30-40 persen untuk semua profesi.
Bank-bank umum mengalami kerugian besar karena pinjaman-pinjaman yang tidak dapat dilunasi. Bank-bank tersebut berusaha menyelamatkan yang dapat mereka selamatkan dengan memperingan persyaratan bagi para kreditur yang mengalami kesulitan. Hal ini tidak didukung oleh karena kurangnya strategi pemerintah dalam membantu para debitur yang kehilangan aset produktif mereka karena tsunami. Namun demikian deposito bank meningkat secara signifikan karena ledakan proyek konstruksi dan terdapat keyakinan bahwa hal tersebut, yang dilipatgandakan oleh per jan j ian damai, akan membantu memulihkan kembali kepercayaan terhadap sektor perbankan dan perekonomian secara umum.
pemulihan lingkungan alam memerlukan kerja keras selama bertahun-tahun. Bencana alam berdampak besar terhadap l ingkungan di wilayah-wilayah perkotaan dan pedesaan. Sekitar 800 kilometer pantai Aceh, seringkali selebar sampai dengan 5 km, mengalami dampak yang parah dan keseluruhan garis pantai Nias mengalami perubahan. Kerusakan yang besar disebabkan oleh puing reruntuhan dan timbunan lumpur di tanah pertanian dan tambak ikan. Di banyak tempat, pantai-pantai hilang dan palung sungai mengalami perubahan. Meskipun lingkungan
25
mendapatkan porsi keci l dar i komitmen pemulihan dari negara donor dan pemerintah, ada beberapa program pengelolaan limbah dan pemulihan ekosistem yang sangat efektif. Permasalahan yang besar adalah dampak lingkungan yang merugikan yang mungkin timbul sehubungan dengan permintaan bahan bangunan, khususnya kayu dan batu
MANfAAT pErDAMAIAN
Sejauh ini perdamaian tetap terjaga, tetapi sejumlah peristiwa pada tahun 2006 akan menguji kekuatannya. Perjanjian damai disambut secara luas oleh masyarakat Aceh sebagai kesempatan baru yang penting – pencerahan dari kesuraman selama 12 bulanterakhir. Pada tahun 2006, akan dibuat undangundang baru tentang pemerintahan Aceh, yang tanpa dapat dih indar i akan melibatkan proses negosiasi dan debat publik yang padat. Pemilihan gubernur Aceh dan sebagian besar bupati yang akan datang akan menguji transisi ke arah kewenangan demokratis, bukan ke arah kewenangan militer.
Masyarakat internasional dapat memainkan peranan penting dalam membantu menjaga perdamaian. Pemulihan tsunami dan pasca konflik perlu sedapat mungkin diintegrasikan. Set idaknya, semua instansi harus peka terhadap isu kon.ik guna menjamin bahwa program-program bantuan tidak memperburuk tekanan yang dapat menimbulkan kon.ik. Semua proyek harus bersifat sangat adil dan inklusif. Instansi-instansi harus berhati-hati dalam kaitannya dengan proses dan hasil akhir dan sebaiknya menetapkan mekanisme penanganan keluhan yang responsif.
MEMBIAYAI prOgrAM rEKONSTrUKSI
M a s y a r a k a t A c e h d a n N i a s a k a n m e m b u t u h k a n s e t i d a k n y a U S $ 5 , 8 m i l i a r u n t u k m e m b a n g u n k e m b a l i kehidupan mereka. Jumlah tersebut telah memperhitungkan in.asi yang meningkat karena kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh bencana, khususnya untuk barang-barang yang berkaitan dengan rekonstruksi. Sumber daya tambahan akan diperlukan untuk memperbarui sarana yang sudah dalam kondisi buruk sebelum terjadinya bencana, khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami dampak kon.ik dan Nias.
Satu tahun setelah tsunami, US$4,4 miliar telah dialokasikan untuk proyek-proyek khusus. Pemerintah (termasuk anggaran tahun 2006) mengalokasikan US$1,1 miliar, LSM-LSM mengalokasikan US$1,5 miliar, dan donor-donor mengalokasikan US$1,8 miliar (lihat gambar 2). Proyek-proyek ini memenuhi kebutuhan minimum di sebagian besar sektor, namun tetap terdapat kesenjangan sektor yang cukup besar, khususnya dalam hal transportasi, pengendalian banjir dan lingkungan. Dari US$4,4 miliar tersebut, US$775 juta telah dihabiskan sampai dengan akhir bulan November 2005.
Terdapat kesempatan untuk membangun kembal i secara lebih baik. Program rekonstruksi dan pembangunan total untuk Aceh dan Nias akan mencapai jumlah sekitar US$9 miliar (2005-2009). Pemerintah Indonesia, donor-donor dan LSM-LSM masing-masing diperkirakan untuk mengeluarkan dana sebesar US$2,5 -3,5 miliar. Karena pembangunan kembali membutuhkan US$5,8 miliar, apabila semua rekan menepati komitmen mereka dan mengeluarkan dana secara bijaksana, maka akan tersedia dana sebesar US$3 miliar untuk membuat Aceh dan Nias menjadi tempat yang lebih baik dari sebelumnya (lihat Gambar 2).
2� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
KEgIATAN YANg AKAN DATANg
Koordinasi antar semua pemangku kepentingan (stakeholde) belum cukup kokoh dan cenderung terfokus pada pembagian informasi bukan strategi bersama. BRR berusaha menangani hal ini dengan menyelenggarakan forum-forum koordinasi, kelompok-kelompok penasihat kebijakan, dan mekanisme-mekanisme lain untuk mengembangkan kebijakan dan strategi sektoral dan geografis. BRR juga membantu memperkokoh koordinasi di tingkat daerah, dengan membuka kantor-kantor daerah dan dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah dan para tokoh masyarakat.
Brr telah menetapkan empat prioritas utama untuk tahun 2006: • Menyediakan tempat berlindung yang
layak untuk semua: Melalui kampanye tempat berlindung sementara, mempercepat la ju pembangunan rumah permanen,
memecahkan dilema kebijakan dan strategi yang ada, dan menutup kesenjangan yang ada melalui pelaksanaan langsung apabila diperlukan.
• Merehabil itasi prasarana penting: Terutama jalur-jalur transportasi sepanjang pantai barat, saluran air dan sarana perkotaan, dan perlindungan pantai; juga mempersiapkan rencana jangka panjang untuk pengembangan prasarana.
• Memperkuat kapasitas kelembagaan dan manusia: Dengan mengembangkan kapas i tas pemer in tah daerah untuk m e n a n g a n i s k e m a p r a s a r a n a d a n p e m b a n g u n a n y a n g k o m p l e k s ; mengembangkan kapasitas organisasi independen untuk memantau hal tersebut dan membantu mencegah korupsi; dan dengan melanjutkan pemulihan sarana dan layanan pendidikan dan kesehatan.
Program Rekonstruksi
Dikomitmenkanbelumdialokasikan
gambar 2
DONORS (1.�)
Penilaian kerusakandan kerugian
(�.5)NGOs (1.5)
NIAS (0.�)
GOI (1.1)
Pemerintah Indonesiadonor LSM
Meningkatkan kualitasfasilitas-fasilitas di daerah yang
terkena tsunami dan gempa bumiPengitegrasian kembali pasca
konfik dan pembangunan
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
i
Membangunkembali
US$ miliar
Membangunkembali lebih baik
Sumber: Sekertariat Dana Multi-Donor
Sudah dialokasikan ke proyek-proyektertentu
Infalasi (1.0)
Kebutuhan Rekonstruksi dan Komitment (US$ miliar)
Kebutuhan
2�
• M e m u l i h k a n m a t a p e n c a h a r i a n : Dengan digunakan untuk menciptakan kesempatan kerja dan keterampilan yang berkelanjutan; menyelesaikan revitalisasi 64.000 hektar tanah pertanian yang rusak; mengembangkan potensi yang baru di sektor perkebunan; memastikan pendekatan yang leb ih menye lu ruh terhadap pemulihan di sektor perikanan; dan memberikan dukungan yang lebih kepada Usaha-Usaha Kecil Menengah (UKMs).
A c e h d a n N i a s m e m i l i k i p o t e n s i pembangunan yang cukup besar untuk jangka panjang yang harus diperhatikan. Dibukanya pintupintu Aceh secara tiba-tiba kepada dunia memberikan pilihan kepada propinsi tersebut. Aceh dapat kembali menjadi daerah yang relatif terisolasi di ujung kepulauan Indonesia atau dapat mengkonsolidasikan hubungannya dengan negaranya dan dengan dunia yang lebih luas. Lokasinya tepat untuk hal tersebut, dengan jalur laut ke tempat-tempat di dunia dengan perekonomian yang berkembang paling pesat. Aceh juga dapat memi l ih untuk memperkokoh hubungan dagang dan usahanya . Aceh memi l i k i sumber daya alam sangat besar yang dapat dimanfaatkan, dan kesempatan – dengan proses perdamaian – untuk memanfaatkan potensi manusianya secara penuh. Dengan pemandangan yang indah, pantai-pantai yang
cantik dan Taman Nasional kelas dunia, Aceh dan Nias berpotensi untuk mengembangkan pariwisata. Prospekprospek masa depan menjanjikan, dan saat ini adalah saat yang tepat untuk memprakarsai konsultasi publik yang luas tentang arah yang perlu diambil oleh masyarakat.
pemulihan Aceh dan Nias akan memakan waktu yang lama, dan tanpa dapat d ih indar i akan mempert imbangkan kemundurankemunduran dan pencapaian-pencapaian. Inilah saatnya untuk keluar dari sentimen “proyek saya, atau anda” dan mengenali kebutuhan akan koordinasi aktif. Terdapat satu upaya pemulihan yang wajar dan semua instansi berbagi tanggung jawab untuk memastikan kebenarannya. BRR memimpin koordinasi ini, tetapi tidak dapat melakukannya sendiri. Semua instansi harus memberikan informasi tentang pengalamanpengalaman dan program-program mereka, dan bersiap untuk bekerjasama dengan yang lainnya. Dengan cara ini, kita tidak hanya akan membangun rumah, melainkan tempat tinggal. Dengan memperhatikan proses-proses yang timbul karena masyarakat, kita tidak hanya akan membangun perumahan di seluruh wilayah Aceh dan Nias yang rusak, tetapi kita juga akan menciptakan masyarakat yang hidup. Ini adalah tujuan akhir yang harus kita perjuangkan bersama.
2� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian ISETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
MEMBANGUN KEMBALI RUMAH-RUMAH DAN MASYARAKAT Bab 1
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
�0
pada menit-menit yang menegangkan saat tsunami menghantam pesisir Aceh, daerah yang sebelumnya merupakan lingkungan perkotaan yang ramai dan desa-desa yang sedang berkembang berubah menjadi reruntuhan, yang dipenuhi jutaan puing dan lumpur. Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, khususnya di Nias dan Aceh Barat Daya.
Di tengah-tengah kebutuhan darurat yang mendesak untuk menangani orang-orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal, salah satu tantangan pemulihan yang paling jelas muncul adalah perumahan. Sekitar 500.000 orang tinggal di jalan-jalan – apabila memang dapat disebut “jalan”. Pada awalnya mereka tidur di bangunan-bangunan umum dengan selimut yang diberikan oleh tentara atau para relawan, atau di rumah-rumah milik orang-orang yang lebih beruntung. Sedikit demi sedikit, banyak orang yang dapat memperbaiki dan membersihkan rumah-rumah mereka; sebagian membangun gubuk di atas lahan rumah mereka sebelumnya, dan yang lainnya bahkan telah membangun rumah-rumah baru. Akan tetapi, sekitar 190.000 orang tetap tidak memiliki rumah, ditambah dengan lebih dari 40.000 orang yang ada di Nias. Pemerintah – khususnya angkatan bersenjata – melakukan pekerjaan yang mengesankan dengan membangun akomodasi berbentuk barak dan mengkoordinasikan pihak lainnya dalam program pembangunan pemukiman sementara untuk para pengungsi, yang sekarang menampung sekitar 15.000 keluarga.
Beberapa hari setelah tsunami, ratusan LSM internasional dan donor tiba di provinsi tersebut untuk melihat apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu. Sebagian dari mereka berfokus pada penyediaan makanan, tenda, air, jasa pengobatan dan kebutuhan darurat lainnya, akan tetapi banyak yang melihat
penyediaan tempat berlindung sebagai prioritas mereka. Selang beberapa minggu dan bulan, semakin banyak lembaga yang datang dan rencana segera disusun untuk membangun kembali rumah-rumah, bukan hanya tempat berlindung sementara.
Banyak dari lembaga-lembaga tersebut belum pernah membangun rumah sebelumnya – bahkan yang telah bekerja dalam bidang bantuan dan pembangunan selama bertahun-tahun. Akan tetapi mereka menjawab tantangan tersebut dengan semangat dan keyakinan yang besar. Meskipun masyarakat Aceh dan Nias akan selamanya berterima kasih akan hal tersebut, kekurangan tetap ada. Sekarang ini, ada 109 lembaga yang membangun rumah-rumah di Aceh dan Nias; masing-masing dengan ide mereka sendiri tentang apa yang harus dilakukan untuk memenuhi tugas tersebut. Sebagian hanya membangun rumah; sedangkan lainnya mengembangkannya hingga mencakup penyediaan lokasi dan layanan penuh. Beberapa lembaga menawarkan unit rumah siap bangun, yang lainnya menawarkan rumah bata lengkap dengan 3 ruang tidur. Hal ini bisa menimbulkan masalah – penyimpangan dari perencanaan kota. Ini dapat saja terjadi, tetapi kemungkinan besar tidak. Hal tersebut tidak terjadi untuk satu alasan baik. Masyarakat yang memegang kendali.
pada awal tahap rekonstruksi, banyak lembaga terkemuka dan pemerintah Indonesia dengan tegas menekankan pentingnya penerapan proses-proses partisipatif; yaitu mempercayai penilaian dari masyarakat itu sendiri dan memastikan bahwa mereka yang mengendalikan pemulihan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, sebagian besar lembaga (tetapi tidak semuanya) telah membahas secara berhati-hati semua pilihan yang mungkin diambil dengan orang-orang yang selamat di sebuah desa dan membantu mereka dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Sebagian dari mereka hanya ingin membangun kembali
�1Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
rumah-rumah seperti rumah mereka sebelumnya dan di atas lahan yang sama. Beberapa mengambil peluang tersebut untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan gang-gang sempit dan rumah-rumah sempit yang mereka miliki sebelumnya. Orang-orang lainnya harus pindah, mungkin karena tanah yang mereka tempati dahulu telah tersapu air laut atau tergenang seterusnya. Gagasan awal dari sebuah rencana induk – cetak biru yang ditetapkan oleh pemerintah tentang ke mana masyarakat akan dipindahkan dan di mana rumah-rumah dan sarana-sarana akan dibangun – telah menghasilkan Pembangunan yang Digerakkan oleh Masyarakat (CDD) sebagaimana dijelaskan dalam bagian ‘Masyarakat’.
Beberapa tahun dari sekarang, cerita tentang pemulihan Indonesia setelah terjadinya bencana tsunami akan menjadi contoh klasik pembangunan yang Digerakkan oleh Masyarakat dalam skala besar. Cerita tersebut sedang dalam masa pembuatan saat ini. Dengan lebih dari 1.000 masyarakat desa dan kota yang terlibat, hal tersebut mungkin merupakan contoh yang paling luas cakupannya tentang perencanaan partisipatif yang pernah ada di dunia. Ada harga yang harus dibayar selain manfaat-manfaat yang didapatkan, sebagaimana akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya. Akan banyak halangan serta tekanan dalam prosesnya. Akan tetapi, telah jelas bahwa CDD membuat perubahan yang besar. Program-program yang lebih baik yang muncul kemudian tidak hanya memperhatikan penyediaan tempat berlindung untuk orang-orang akan tetapi juga mencerminkan sarana-sarana yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang tersebut, mempertimbangkan kebutuhan orang-orang akan keamanan dan kebutuhan sosial, serta mencerminkan keinginan untuk memulihkan dan memperkuat mata pencaharian. Program-program tersebut tidak hanya membagun rumah, tetapi juga membangun tempat tinggal.
penentuan kebutuhan perumahan bukan hal yang mudah. Beberapa bulan pertama setelah tsunami, lembaga-lembaga internasional yang tiba di Banda Aceh, Meulaboh atau lokasi-lokasi lainnya melihat kebutuhan akan rumah sejauh mereka memandang. Sampai beberapa waktu belakangan ini, banyak yang meyakini bahwa sekitar 500.000 orang membutuhkan rumah baru. Pada minggu-minggu awal yang kacau tersebut, logistik yang bermasalah tidak memungkinkan untuk mengumpulkan data yang dapat diandalkan. Pada waktu itu, pemerintah telah menentukan batas atas sebesar US$3000 untuk biaya pembangunan rumah baru. Oleh karena itu, lembaga-lembaga, yang ingin melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan, menghitung berapa anggaran yang dapat mereka alokasikan untuk proyek-proyek perumahan dan memperkirakan berapa banyak yang dapat mereka berikan dengan batas atas yang ditentukan pemerintah tersebut.
Beberapa bulan kemudian, kekurangan dari perhitungan dari sisi penawaran tersebut menjadi jelas. Koordinasi melalui pokja tempat tinggal dengan didukung oleh pengumpulan data yang lebih baik jelas menunjukkan bahwa terjadi ketidakserasian. Penawaran yang diberikan melebihi 200.000 rumah, sementara kebutuhan akan rumah-rumah baru kemungkinan hanya berkisar 80.000 sampai 110.000 di Aceh ditambah dengan 13.500 di Nias . Pada saat yang sama, para pengungsi (dan banyak LSM) mengungkapkan kemarahan mereka karena batas atas biaya yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memadai, khususnya dengan mempertimbangkan kemurahan hati masyarakat global. Pada bulan Juni, badan rekonstruksi yang baru dibentuk (BRR) secara resmi mengubah kebijakan untuk meningkatkan batas atas tersebut dan pada saat yang sama menegaskan bahwa setiap pihak yang membangun rumah harus mengambil tanggung jawab untuk menyediakan layanan-layanan terkait dan menerapkan pendekatan CDD.
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
�2
Memperbaharui kembali rancangan rumah disertai dengan perjanjian-perjanjian yang lebih baik dengan masing-masing masyarakat (tidak hanya pemerintah tingkat Kabupaten) telah menyebabkan peningkatan terus menerus pada kualitas rumah yang ditawarkan dan penurunan jumlah yang dijanjikan secara proporsional. Ketakutan akan kelebihan pasokan telah mereda. Akan tetapi, “pasar pembeli” dalam masyarakat-masyarakat tersebut sering berganti dari satu pemasok ke pemasok lainnya apabila tidak puas dengan mitra awalnya atau terbujuk bahwa mereka dapat memperoleh penawaran yang lebih baik. CDD memiliki banyak manfaat, akan tetapi dapat juga mendorong perselisihan antar lembaga.
Banyak yang menganggap bahwa secara aktual pembangunan rumah-rumah dimulai dengan lambat, meskipun dalam kenyataannya tidak lebih lambat dari yang terjadi pada sebagian besar bencana berskala besar lainnya. Ketika musim hujan menjelang, terdapat keputusan mendesak untuk mengeluarkan para pengungsi yang paling rentan dari tenda-tenda (67.500 orang) sebelum awal tahun 2006 dan semua pengungsi sebelum akhir Juni. Rumah-rumah yang layak, siap bangun, dan mudah dirakit sedang diimpor dan banyak LSM mengangkut dan mendirikan rumah-rumah sementara di berbagai lokasi di sekitar Aceh dan Nias.
Kemajuan pembangunan perumahan telah menghadapi berbagai hambatan – yang sebagian besar saat ini telah diatasi. Waktu yang dihabiskan untuk melakukan pendekatan-pendekatan CDD telah mulai dibicarakan, akan tetapi jelas bahwa hal tersebut merupakan investasi yang baik, bukan waktu yang terbuang percuma. Akan tetapi penundaan karena kebijakan yang tidak sesuai atau tidak jelas telah mengakibatkan rasa frustasi. Salah satunya adalah batas atas harga yang terlalu rendah; yang lainnya terkait dengan definisi yang tidak
jelas tentang rumah permanen (dibandingkan dengan rumah sementara), tidak adanya peraturan tentang bangunan, peraturan awal yang mengharuskan penggunaan kayu lokal (yang mana tidak dapat diterima oleh LSM-LSM yang berkomitmen untuk menggunakan kayu dari program-program kehutanan berkesinambungan yang tersertifikasi), dan penundaan yang lama dan tingginya tarif impor peralatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rekonstruksi. BRR telah mengatasi sebagian besar masalah-masalah tersebut dan telah mengadakan koordinasi yang lebih jelas antara para penyedia tempat tinggal. BRR telah menetapkan peraturan tentang bangunan (bersama dengan Departemen Pekerjaan Umum), menyelesaikan masalah tertahannya peralatan di pelabuhan Medan, mengizinkan penggunaan kayu asing apabila diperlukan dan menyelesaikan berbagai hambatan-hambatan lainnya.
Beberapa halangan terhadap kemajuan tidak dapat diselesaikan dengan cepat, misalnya masalah tanah. Saat banyak daerah telah tersapu menjadi reruntuhan dan tidak ada tanda-tanda yang jelas sehubungan dengan batas-batas rumah dan properti sebelumnya, pembangunan rumah tidak dapat dilakukan sebelum mendapatkan persetujuan dari semua pihak yang terkait tentang penetapan batas-batas tersebut – karena apabila tidak dilakukan, hal tersebut dapat menyebabkan masalah-masalah hukum atau orang-orang dapat kehilangan hak mereka. Salah satu cerita yang mengesankan adalah upaya yang dilakukan oleh banyak pihak untuk membantu Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memulihkan hak-hak milik. Selain itu, banyak keluarga – bahkan seluruh desa – harus berpindah tempat karena lingkungan tempat tinggal mereka sebelumnya sudah tidak dapat dihuni lagi.
Kesulitan fisik untuk mencapai daerah-daerah yang rusak serta sedikitnya truk pengangkut bahan-bahan bangunan
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
serta peralatan berat lainnya yang dapat dikerahkan menyebabkan kemajuan di berbagai daerah lebih lambat dari pada yang diharapkan, apalagi yang diinginkan. Hal tersebut membuat semua pihak menjadi frustasi. Oleh karena itu, jalan keluar imajinatif sedang dicari, misalnya penetapan lokasi produksi untuk membuat panel semen fiber atau bata dari bahan-bahan lokal yang tersedia, daripada membawanya dari luar lokasi. Lembaga-lembaga juga mencari cara-cara untuk memerangi ketidakpastian pasokan kebutuhan-kebutuhan konstruksi yang penting.
TEMPAT TINGGAL SEMENTARA DAN PERUMAHAN PERMANEN
Meskipun terdapat berbagai hambatan, dan ketidakpastian data tentang kebutuhan masyarakat dan rencana lembaga-lembaga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kemajuan sedang berjalan. Setiap perjalanan di Aceh saat ini akan melewati banyak rumah-rumah baru dan lapangan-lapangan dimana LSM melakukan pembangunan di tempat yang 6 bulan sebelumnya hanya ada kehancuran dan tenda-tenda yang sudah mulai rusak. Setiap pihak yang terkait akan selalu menanyakan apakah hasil-hasilnya dapat lebih cepat diwujudkan– dan refleksi semacam itu diperlukan – akan tetapi
kesimpulan yang penting adalah rekonstruksi sedang berjalan dengan langkah yang cepat dan momentum ini harus dipertahankan sampai tugas ini selesai.
Sektor perumahan menderita sekitar sepertiga dari perkiraan kerusakan akibat tsunami. Penilaian kerusakan yang dilaksanakan pada bulan Maret menunjukkan bahwa sekitar 70.000 rumah hancur dan 57.000 rumah di Aceh rusak. Pada awalnya, kemungkinan lebih dari 500.000 orang kehilangan rumahnya akibat bencana tersebut, akan tetapi sebagian besar dapat kembali ke rumah mereka, yang berarti tinggal sekitar 192.000 pengungsi yang tinggal di tenda-tenda, barak atau tinggal dengan keluarga penampung (SPAN, 29 November 2005). Mereka yang kembali ke rumah mereka, dalam jumlah yang besar, tinggal di bangunan-bangunan sementara yang dibangun dari bahan-bahan bangunan bekas. Gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005 menghancurkan 12.000 rumah di Nias dan merusak sekitar 72.000 rumah.
program tempat tinggal memiliki satu tujuan: untuk memberikan akomodasi yang semakin hari menjadi semakin lebih baik untuk masyarakat secepat mungkin. Dalam beberapa hari pertama, hal tersebut berarti menyediakan tenda-tenda yang berasal dari seluruh penjuru dunia sehingga orang-orang dapat pindah dari bangunan-bangunan umum
Hancur
69.932
12.010
81.942
Rusak Parah
26.331
32.454
58.785
Sebagian Rusak
30.806
39.437
70.243
Rusak Total
atau Hancur
127.069
83.901
210.970
Aceh
Nias
Total
Penilaian Kerusakan PerumahanTabel 1.1
Sumber: Penilaian Kerusakan Nanggroe Aceh Darrussalam (Maret 2005) dan kepulauan Nias dan Simeulue (April 2005) oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Kebutuhan untuk rumah baru tidak akan sama dengan dengan jumlah rumah yang hancur atau rusak disebabkan faktor nyawa yang hilang dan perubahan rencana dari orang-orang yang selamat.
Rumah Dibutuhan
80.000-110.000
13.500
93.500-123.500
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
yang terlalu sesak dan dari jalan-jalan. Beberapa minggu setelahnya, ada dua pendekatan untuk mendorong orang-orang di seluruh Aceh untuk menampung keluarga-keluarga pengungsi dan pada saat yang bersamaan merencanakan serangkaian “tempat tinggal sementara” yang berbentuk barak yang dapat menampung 15.000 keluarga pengungsi. Pada bulan April, pekerjaan mulai dilakukan untuk membangun rumah-rumah tembok. Program-program awal yang penting adalah skema “rumah peralihan” IOM dan organisasi lainnya yang terdiri atas bangunan-bangunan siap pasang yang dibangun di atas tanah sewaan atau yang diberikan oleh pemerintah setempat (lebih dari 6.000 bangunan tersebut telah didirikan sampai saat ini). Dalam waktu yang sama, para donor dan LSM mulai merencanakan perumahan permanen di lokasi rumah-rumah asal penduduk dan di atas bidang tanah yang ditentukan oleh masyarakat. Strategi perumahan jangka panjang mulai muncul. Bab ini menjelaskan kemajuan program secara keseluruhan dan membahas pilihan dan tantangan yang dihadapi.
MENgELUArKAN OrANg-OrANg DArI TENDA
Belakangan ini ada fokus yang baru sehubungan dengan perumahan sementara. Sementara masyarakat telah mendesak LSM dan para donor untuk membantu pembangunan rumah-rumah permanen secepat mungkin, sekitar 67.500 orang masih tinggal di tenda-tenda. Selama keadaan darurat, selalu ada pertentangan yang sulit antara membangun rumah sementara atau permanen. Akan tetapi, menjelang musim hujan, terdapat penilaian kembali yang mendesak, khususnya karena didorong oleh PBB. Pilihan sulit yang harus diambil adalah apakah harus mengganti tenda-tenda yang lama dengan yang baru – yang tentu saja akan berdampak pada moril masyarakat - atau mengalihkan sejumlah sumber daya dan perhatian dari perumahan permanen ke perumahan sementara, yang akan memperlambat pencapaian tujuan akhir untuk menempatkan orang-orang dalam rumah baru mereka. Disepakati bahwa
peta 1.1
BANDA ACEH (KOTA)
ACEH BESAR
ACEH JAYA
ACEH BARAT
SIMEULUEACEH SINGKIL
ACEH TENGGARA
ACEH UTARABIREUENPIDIE
NAGAN RAYA
ACEH BARAT DAYA
ACEH SELATAN
ACEH TENGAH
GAYO LUES
LHOKSUMAWE (KOTA)
ACEH TAMIANG
ACEH TIMURBENER MERIAH
LANGSA (KOTA)
SABANG (KOTA)
NIAS
NIAS SELATAN
Source: SPAN 2005Diatas �5,0001�,000 to �5,000�,000 to 1�,0002,000 to �,000
Dibawah 2,000No IDP
Source: SPAN 2005��,000��,500�,�00
Sumber: SPAN 2005
Status pengungsi
No pengungsi saat ini
Saat ini pengungsiDulunya pengungsi
Distribusi Atas Mereka yang Mengalokasikan diri sebagai pengungsi internal
�5Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
pengungsi yang rentan harus keluar dari tenda pada awal tahun 2006, dan semua pengungsi harus keluar dari tenda sebelum akhir bulan Juni 2006.
Sebuah konsorsium lembaga-lembaga dibentuk dan dipimpin oleh gerakan palang Merah dan Bulan Sabit Merah (rCrC) untuk menjadi ujung tombak dalam kampanye ini. RCRC telah mengidentifikasi rumah-rumah siap bangun yang sesuai dan telah memulai proses impor 20.000 unit rumah tersebut dalam 3 bulan mendatang, dengan laju yang meningkat sampai 2.000 unit per minggu. IOM dan RCRC mengangkutnya dengan cepat ke berbagai lokasi di sekitar Aceh dan Nias, dan banyak LSM telah setuju untuk mendirikannya dengan dukungan pemerintah lokal dalam mengidentifikasi tanah dan pekerja lokal. UNICEF, Oxfam, Palang Merah Amerika dan pihak lainnya mengupayakan penyediaan air bersih dan sanitasi di pemukiman-pemukiman baru, dengan maksud agar mereka yang tinggal di barak-barak awal juga akan menerima unit-unit rumah tersebut pada tahap kedua sehingga semua orang tinggal dalam lingkungan sementara yang memadai secepat mungkin setelah secara logistik tersedia. Setiap orang yang pindah ke salah satu unit rumah sementara akan memperoleh jaminan bahwa hal tersebut tidak akan menunda penyediaan rumah permanen bagi mereka.
MErENCANAKAN prOgrAM pErUMAHAN pErMANEN
Sedikitnya diperlukan US$990 juta untuk mengganti rumah-rumah permanen.Sebagaimana yang terjadi dalam semua bencana serupa, pemerintah (dengan dukungan para donor dan LSM) berkomitmen untuk menjamin agar setiap orang yang kehilangan rumahnya berhak untuk mendapatkan rumah baru yang memadai sebagai gantinya – akan tetapi hanya sampai standar tertentu. Mereka yang memiliki rumah yang mahal tidak dapat berharap mendapatkan
kompensasi sampai tingkat tersebut (kecuali mereka memiliki asuransi pribadi), sebaliknya, mereka yang miskin akan memperoleh rumah yang lebih baik. Dana sejumlah US$976 juta telah dijanjikan oleh masyarakat donor untuk perumahan – hampir mencukupi apabila tidak terjadi gempa di Nias. Dari dana yang dijanjikan, sekitar 46 persen berasal dari LSM (US$446 juta), dan sisanya dari para donor (US$254 juta) serta sumber-sumber lokal (US$275 juta).
Segera setelah terjadinya tsunami, lembaga-lembaga mulai mengkaji berapa keluarga yang rumahnya dapat mereka ganti. LSM, donor multilateral dan bilateral serta beberapa perusahaan swasta tiba dalam jumlah yang besar (termasuk banyak dari Indonesia). Pada awalnya – saat sepertinya kebutuhan akan rumah hampir tidak terbatas – LSM dan para donor memperkirakan berapa anggaran yang dapat mereka alokasikan untuk rumah-rumah dan, dengan menggunakan batas atas harga sekitar US$3000 yang ditetapkan oleh pemerintah, berapa banyak rumah yang dapat mereka tawarkan. Hasilnya adalah perkiraan pada sisi penawaran, sejumlah lebih dari 200.000 rumah baru.
Belakangan diketahui bahwa rumah baru yang dibutuhkan lebih sedikit jumlahnya. Sejak bulan Juni, telah diketahui bahwa jumlah
Komposisi Pembiayaan atas Sektor
Perumahan (US$ Juta)gambar 1.1
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
446
28
275
226
LSM Pemerintah Indonesia
Donor MultilateralDonor Bilateral
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
Hampir tidak mungkin untuk mengatakan berapa banyak rumah yang hancur di Nusa karena tidak ada orang yang
tahu berapa jumlahnya sebelum tsunami. Dalam setiap kunjungan saya ke desa tersebut dari enam kali kunjungan yang
telah saya lakukan, saya diberi statistik yang berbeda-beda – yang membuat saya menghargai betapa sulitnya bagi
lembaga-lembaga bantuan untuk mengumpulkan data yang akurat tentang segala hal. Berdasarkan semua angka yang
saya terima, saya memperkirakan ada antara 148 sampai 160 rumah di desa itu; lebih dari sepertiganya hancur, kurang
dari sepertiga rusak dengan berbagai tingkat kerusakan dan sepertiga lagi tetap utuh karena berada di tanah yang lebih
tinggi.
Sebagai akibat langsung dari bencana tersebut, para penduduk desa yang rumahnya selamat menampung orang-
orang yang rumahnya telah tersapu bersih dan atau yang tidak aman untuk dihuni. Karena topografinya, yang memberikan
keamanan psikologis, desa tersebut juga menerima lebih dari 200 orang dari desa-desa tetangga di dataran rendah yang
telah tersapu tsunami. Banyak pengungsi tersebut tinggal di sekolah-sekolah dan kemudian pindah ke tenda-tenda
sebelum ditampung di barak-barak di dekat desa mereka sendiri.
Nusa adalah salah satu dari empat desa di kecamatan Lhok Nga di mana barak-barak dibangun. Lima barak dan
sebuah bangunan pertemuan serba guna diselesaikan pada awal bulan Maret dan pengungsi terakhir dari desa lainnya
meninggalkan tempat tersebut pada pertengahan bulan April. Pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan barak
tidak mengetahui apakah kayu yang digunakan berasal dari sumber-sumber yang berkesinambungan dan sepertinya
tidak perduli. Sepanjang tahun, terkadang terdapat masalah-masalah terkait dengan pasokan air dan badai pernah
menerbangkan atap dari bagian dapur dan blok kamar mandi akan tetapi sebagian besar barak tetap berfungsi dengan
baik. Orang-orang menghias bagian tempat tinggal mereka agar merasa senyaman mungkin seperti di rumah dan
gedung perkumpulan selalu bersih dan rapi setiap kali saya berkunjung.
Pada awal bulan April, para penduduk mulai kembali ke rumah-rumah mereka yang sudah rusak, meskipun
hanya beberapa kamar yang dapat digunakan; dapat dipahami bahwa mereka lebih memilih rumah-rumah tersebut
dibandingkan barak. Di bulan Mei, lebih dari 60 keluarga telah pindah. Ruangan-ruangan mereka di barak diambil oleh
keluarga-keluarga yang sebelumnya berbagi ruangan.
Rekonstruksi rumah belum dimulai saat saya terakhir berkunjung di pertengahan bulan Oktober, kecuali satu orang
yang telah frustrasi menunggu sehingga ia meminjam uang dari keluarga dan teman-temannya untuk mulai membangun
rumahnya sendiri. CARE International menjalankan program rekonstruksi tersebut. Di bulan Agustus, mereka pikir
pembangunan akan dimulai pada akhir bulan Desember; di bulan Oktober mereka berharap rumah pelatihan telah
tersedia pada akhir bulan November. Keterlambatan terjadi karena keharusan untuk memenuhi kriteria rencana tata
ruang BRR yang dipublikasikan terlambat daripada yang diperkirakan, banyaknya pekerjaan, serta kebutuhan untuk
memastikan bahwa para pekerja telah dilatih dengan baik. CARE membangun atau memperbaiki 162 rumah di Nusa
dan beberapa bangunan pertemuan.
Karena ingin “membangun menjadi lebih baik “ dan menyadari bahwa ruang bukan masalah penghambat, CARE
memutuskan untuk membangun rumah-rumah seluas 45 meter persegi, bukannya 36 meter persegi seperti yang
dibangun di tempat-tempat lain dengan biaya Rp. 35 juta per unit. Tembok bagian luar menggunakan bata dan pembatas
ruangan sebagian besar menggunakan tripleks untuk mengurangi kemungkinan ancaman gempa di masa yang akan
datang. Kayu diperoleh dari sumber-sumber yang disetujui oleh BRR.
Para penduduk desa dapat memilih satu dari lima rancangan yang ada, gambar-gambar rancangan tersebut
dipasang pada bulan Oktober dan menimbulkan diskusi antara pada penduduk. Pembangunan masing-masing rumah
membutuhkan waktu enam minggu dan Care memperkirakan dapat selesai pada pertengahan tahun 2006.
CATATAN HARIAN NUSA: Perumahan Kotak 1.1
Sumber: John Aglionby (The Guardian)Bahasan tentang perumahan di desa Nusa, 10km di barat Banda Aceh, jalan utama ke Meulaboh di kecamatan Lhoknga, adalah kontribusi John Aglionby dari surat kabar Inggris Guardian. Ia adalah salah satu dari beberapa yang yang secara independen mengunjungi Aceh secara regular sepanjang tahun untuk melaporkan tentang rekonstruksi dan memantau pembangunan di Nusa dalam setiap kunjungan.
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
rumah yang hancur lebih sedikit dari yang diperkirakan pada awalnya dan banyak orang yang dapat merehabilitasi rumah-rumah mereka sendiri dan tidak lagi menjadi pengungsi. Dengan menggunakan proses-proses perencanaan yang digerakkan masyarakat, lembaga-lembaga sekarang memiliki pengetahuan yang lebih jelas tentang apa yang diperlukan di mana dan telah memberikan komitmen-komitmen mereka untuk bermitra dengan masyarakat-masyarakat tersebut.
Diketahui pula bahwa membangun rumah lebih mahal dan sulit dari yang diperkirakan pada awalnya. Sejak awal, masyarakat dan lembaga-lembaga perumahan menyampaikan keprihatinan bahwa batas atas yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar US$3000/rumah terlalu rendah – khususnya ketika ledakan proyek konstruksi mulai meningkatkan harga-harga bahan bangunan dan tenaga kerja, dan harga BBM meningkat tajam. BRR campur tangan untuk mengubah kebijakan tersebut, memungkinkan lembaga-lembaga untuk melampaui batas tersebut, sementara mendesak adanya batasan sehingga tidak terjadi persaingan yang tidak diinginkan antara lembaga-lembaga untuk melakukan sesuatu melampaui apa yang dilakukan lembaga lainnya (batasan sukarela
tersebut tidak berfungsi penuh). Perkiraan biaya rata-rata per rumah saat ini adalah sekitar US$5-6.000/rumah ditambah sekitar US$2.000 untuk prasarana dan biaya-biaya lainnya.
Selain itu, berbagai hambatan logistik dan praktis kemudian juga menjadi jelas. Hal tersebut mencakup perolehan kayu yang diproduksi secara berkesinambungan dan sah, semen, bata, baja, kerikil, dan bahan bangunan lain dengan kualitas baik, serta tenaga kerja yang memadai. Akses ke daerah-daerah yang jauh di luar Banda Aceh dan pusat kota lainnya sulit dan memakan biaya yang besar dalam hal pengangkutan bahan-bahan bangunan. Di banyak daerah, penyiapan lokasi – penyiapan untuk pasokan air dan sanitasi, serta merancang jalan yang lebih luas, jalan untuk menyelamatkan diri, dan sarana masyarakat lainnya – telah terbukti rumit dan memakan waktu yang lama. Dengan menggunakan proses-proses yang digerakkan oleh masyarakat, bernegosiasi dengan setiap desa mengenai apa yang sebenarnya mereka inginkan dari suatu lembaga juga membutuhkan waktu dan dapat menyebabkan penundaan (karena masyarakat sering berubah pikiran). Oleh karena itu, rekonstruksi rumah-rumah menjadi lebih lambat dan mahal dari yang pertama kali diperkirakan.
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
Oleh karena itu, lembaga-lembaga merevisi kembali janji dan target sehingga menjadi lebih realistis, yang lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat. Komitmen yang saat ini dilaporkan oleh lembaga-lembaga besar yang terlibat dalam perumahan berkisar antara 130.000 rumah baru dan 24.000 perbaikan. Angka tersebut sebagian besar berdasarkan perkiraan mereka dari sisi permintaan – dari proses-proses konsultasi. Angka tersebut melebihi jumlah keseluruhan rumah baru yang diperlukan (diperkirakan antara 80.000 dan 110.000 di Aceh dan 13.500 di Nias)1 kemungkinan karena beberapa program tidak berjalan dengan baik dan masyarakat telah berpindah ke penyedia lain dan beberapa penyedia telah mencapai kesepahaman dengan BRR atau pemerintah
kabupaten sedangkan tidak dengan masing-masing masyarakat. Meskipun terdapat penurunan dalam pembangunan, hal tersebut sebanding dengan tingkat pembangunan rata-rata sebelumnya sebanyak 100.000 rumah per tahun untuk seluruh negara. Untuk menangani kekurangan yang mungkin terjadi dalam sektor perumahan, BRR sekarang berkomitmen untuk membiayai sampai 40.000 rumah di Aceh dan Nias dari sumber dayanya sendiri.
KEMAJUAN DALAM prOgrAM pErUMAHAN
pada awalnya dimulai dengan lambat akan tetapi program tersebut sekarang mulai meningkat dengan cepat. Meskipun
Sumber: Survey geografi BRR dan SPAN 2005
Kebutuhan perumahan dan kemajuan rekonstruksipeta 1.2
ACEH BESAR
ACEH SINGKILSIMEULUE
ACEH UTARA
BANDA ACEH (KOTA)
LANGSA (KOTA)
LHOKSUMAWE (KOTA)
ACEH TIMUR
BIREUEN
ACEH JAYA
ACEH BARAT
NAGAN RAYA
ACEH BARAT DAYA
ACEH TENGAH
GAYO LUES
BENER MERIAH
ACEH TENGGARA
PIDIE
ACEH SELATAN
ACEH TAMIANG
SABANG (KOTA)
1�,000
�0 to 220�0 to �0�0 to �0
Rumah dibutuhakn per seribu populasiSumber: Survey geografi BRR & SPAN 2005
Diatas 220
Dibawah �0Tidak ada kerusakan
Status Rekonstruksi perumahanSeumber: Geografi survey BRR
DikomitmenkanSedang dikerjakan dan sudah diselesaikanSudah ditinggali
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
Donor/LSM Yang Dijanjikan Diselesaikan
rumah baru perbaikan 31 Des 2005 30 Jun 2006
Red Cross/Red Crescent (RCRC) 34.000 1.500 4.000
Dana Multi Donor 6.000 18.000 50 4.000
ADB 11.000 5.000 0 3.621
CRS 6.000 300 4.000
IOM 8-20.000 3.800 6.632
KfW/GTZ 4.500 975 30 2.500
CARE 6.500 150 Tidak diketahui
Habitat for Humanity 7.500 1.600 7.000
World Vision 4.066 200 2.000
Oxfam 2.100 700 1.900
Samaritan Purse 2.500 400 Tidak diketahui
UN Habitat 4.745 530 3.000
UNHCR 2.622 10-50 Tidak diketahui
Save the Children 4.000 423 Tidak diketahui
Lainnya 24.200 Tidak diketahui Tidak diketahui
TOTAL >130,000 23,975
Janji dan kemajuan oleh LSM/Donor Tabel 1.2
Sumber: Data Sektor Perumahan BRR yang dikumpulkan secara langsung dari LSM dan donor
program perumahan secara keseluruhan dimulai dengan lambat – sebagian besar karena alasan-alasan logistik dan kebijakan sebagaimana dijelaskan dalam bab ini – program tersebut telah meningkat cepat dan sekarang terdapat prospek yang baik bahwa langkah yang lebih cepat ini dapat dipertahankan. Pada akhir bulan September, survei yang dilakukan oleh BRR atas kemajuan perumahan, sebagaimana dilaporkan oleh para pejabat kecamatan melalui konsultasi dengan kepala-kepala desa, menunjukkan bahwa sekitar 9.500 rumah permanen dan sementara telah dibangun. Survei serupa pada bulan November menemukan bahwa lebih dari 29.000 rumah telah dibangun atau sedang dalam proses pembangunan, 6.000 di antaranya telah ditempati. Hal ini berarti bahwa target BRR untuk membangun 60.000 rumah baru sebelum akhir bulan Juni 2006
dapat tercapai, dan tujuan akhir penyelesaian perumahan kembali sebelum pertengahan tahun 2007 dapat terpenuhi. Akan tetapi, hal tersebut memerlukan upaya keras yang terus menerus. Tujuan tersebut mengharuskan pembangunan sekitar 75.000 rumah di Aceh/Nias selama tahun 2006, lebih besar dari hasil jadi perumahan formal dari seluruh negara dalam tahun yang biasa.
Meskipun lebih dari 100 lembaga terlibat dalam sektor perumahan, sepertinya 15 lembaga terbesar memiliki andil dalam lebih dari 80% rumah yang dibangun. Akan tetapi, tampak jelas pula bahwa lembaga-lembaga yang lebih kecil membangun lebih cepat pada tahap-tahap awal ini dan akan memiliki andil dalam lebih dari setengah rumah permanen yang diselesaikan dalam satu tahun setelah tsunami. Dengan banyaknya
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
�0
Terdapat beberapa pilihan yang harus dihadapi oleh BRR dan semua lembaga-lembaga perumahan. Sebagian telah dibahas – seperti pilihan antara waktu dan sumber daya untuk perumahan sementara atau mengerahkan semua sumber daya yang tersedia untuk membangun rumah-rumah permanen secepat mungkin. Pilihan lainnya mencakup:
• pilihan antara kecepatan dan kualitas. Dapat dipahami bahwa lembaga-lembaga didesak untuk mempercepat program-program mereka apabila mungkin. Hal ini dapat menyebabkan kecenderungan untuk mengambil jalan pintas atau menggunakan rancangan rumah yang telah ada dan mungkin bahan-bahan dengan kualitas lebih rendah.
• pilihan antara kecepatan dan keseimbangan. Bergerak maju secepat mungkin dapat menyebabkan daerah-daerah geografis yang sulit dan kelompok-kelompok penduduk yang sulit untuk dilayani (seperti mereka yang menyewa rumah dan janda-janda) tersisih sementara lembaga-lembaga berkonsentrasi pada objek-objek yang mudah dijangkau.
• pilihan antara kecepatan, biaya dan kesinambungan. Desakan untuk membangun dengan cepat dan berbiaya murah dapat menyebabkan beberapa lembaga tidak banyak berpikir tentang jejak lingkungan dari program-program mereka. Secara khusus, beberapa lembaga berketetapan hanya akan menggunakan kayu yang terbukti berasal dari skema kehutanan yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Karena sumber-sumber terpercaya seperti itu hanya sedikit di Indonesia, hal ini berarti harus mengimpor kayu, yang memakan waktu dan biaya.
• pilihan antara penggunaan tenaga kerja lokal dan impor. Ledakan proyek konstruksi menyebabkan peningkatan upah dengan cepat dan dengan demikian beberapa lembaga lebih memilih untuk membawa kontraktor-kontraktor beserta para krunya dari luar Aceh dan Nias. Selain itu juga tidak ada pasokan tenaga kerja lokal terampil yang mencukupi, sehingga penggunaan pekerja luar dapat menghindari pemborosan waktu dan pelatihan yang mahal. Sebaliknya, penggunaan tenaga kerja lokal menciptakan mata pencaharian untuk para pengungsi dan orang-orang lain yang telah sangat menderita dan program-program pelatihan dapat memberikan keterampilan yang dibutuhkan nanti. Penggunaan tenaga kerja luar mungkin akan menciptakan masalah-masalah budaya dan kecemburuan.
• pilihan antara rancangan seragam dan pilihan lokal. Pendekatan yang paling cepat dan efisien dari segi biaya adalah dengan penggunaan sedikit rancangan rumah yang dibangun dalam skala besar. Akan tetapi, hal ini tidak memungkinkan orang-orang untuk membuat pilihannya sendiri dan berisiko menciptakan masyarakadengan keseragaman yang menyedihkan.
Pilihan yang Sulit dalam Pembangunan Perumahan Kotak 1.2
lembaga-lembaga yang terlibat, koordinasi menjadi suatu tantangan yang besar. PBB membentuk Pokja Tempat Tinggal yang telah bermanfaat untuk mensosialisasikan informasi dan merevisi perkiraan kebutuhan dan kemajuan, akan tetapi, karena banyak donor dan LSM yang terlibat, pokja tersebut belum dapat memberikan saran kebijakan yang jelas kepada BRR dan pemerintah provinsi tentang hambatan-hambatan yang besar. Oleh karena itu, BRR telah membentuk Kelompok Penasihat Kebijakan dari lembaga-lembaga yang lebih besar untuk tujuan tersebut dan telah mendorong koordinasi yang lebih kuat pada tingkat lokal. BRR memerlukan dukungan yang besar untuk menjalankan peran koordinasi tersebut dan berbagai lembaga (termasuk UN Habitat dan Bank Dunia) telah memberikan bantuan tersebut.
Beberapa daerah mendapatkan pelayanan yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya; akan tetapi sekarang Brr sedang mengembangkan kerangka perencanaan menyeluruh untuk memastikan bahwa semua masyarakat terlayani. Terlihat jelas bahwa daerah-daerah yang dekat dengan Banda Aceh dan yang lebih mudah dicapai lewat jalan darat mendapatkan lebih banyak perhatian. Oleh karena itu, hampir tiga per empat rumah yang diselesaikan pada tahun 2005 terletak di daerah Banda Aceh dan Aceh Besar atau di pesisir timur dekat jalan Medan. Sementara itu, sangat sedikit rumah yang akan dibangun di daerah-daerah pesisir barat dan kepulauan yang lebih sulit dicapai. Program-program yang direncanakan oleh lembaga juga hanya memberikan perhatian terhadap kebutuhan daerah-daerah di
�1Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
sekitar Banda Aceh dan Meulaboh tetapi meninggalkan kesenjangan yang besar di Nias (7.000 rumah), Simeulue (4.000) dan di Aceh Barat Daya. Saat ini BRR sedang memetakan secara hati-hati di mana terjadi kesenjangan-kesenjangan dan kemajuan yang lambat dan sedang menegosiasikan pergeseran program antara lembaga-lembaga besar untuk memastikan keseimbangan geografis dan mengurangi penundaan.
MASALAH-MASALAH YANg BErKAITAN DENgAN prOgrAM pErUMAHAN pADA TAHUN MENDATANg
Ada masalah dalam rantai pasokan untuk bahan-bahan bangunan yang diperlukan dan tenaga kerja. Kayu adalah produk yang paling sulit akan tetapi di beberapa tempat juga ada kekurangan batu bata, kerikil dan bahan-bahan lainnya. Hambatan-hambatan ini juga akan menjadi lebih serius seiring dengan percepatan pembangunan. BRR telah membatalkan kebijakan sebelumnya yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan yang mengharuskan agar semua kebutuhan kayu harus dipenuhi dari sumber dalam negeri, dan sekarang UNHCR dapat mengimpor semua kayu yang dibutuhkan untuk perumahan di Nias dan Palang Merah Inggris sedang mengimpor kayu yang berkesinambungan dari Selandia Baru.
Membangun rumah tidaklah cukup; mereka memerlukan layanan dan prasarana. Beberapa lembaga membangun perumahan tanpa prasarana serta layanan dasar termasuk pasokan air bersih, saluran pembuangan, sanitasi, listrik dan penerangan, jalan dan pembuangan limbah padat. Terkadang pendekatan berbasis masyarakat tidak memperhatikan penanganan kebutuhan-kebutuhan tersebut secara memadai. BRR dan para donor sekarang sedang bekerja sama untuk memasukkan pendekatan perencanaan ruang yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
tersebut dan mengkoordinasikan kemajuan di semua bidang. Hal ini memerlukan kontrak dengan perusahaan-perusahaan teknik yang berpengalaman untuk membantu rencana pemerintah lokal dan melaksanakan program-program tersebut.
Mereka yang menyewa tidak mendapatkan bantuan yang memadai sampai saat ini dan memerlukan bantuan untuk mendapatkan tanah. Diperkirakan bahwa sekitar 30.000 keluarga pengungsi menyewa rumah mereka. Meskipun LSM dan para donor telah bersedia untuk menawarkan mereka rumah, hanya sedikit yang bersedia untuk membeli tanah untuk tujuan tersebut dan saat ini para penyewa yang harus melakukan hal tersebut. Meskipun hal ini mungkin dapat dilakukan di daerah pedesaan, sebagian besar penyewa adalah penduduk kota dan kebanyakan tidak mampu membeli tanah yang dibutuhkan. BRR belum menetapkan kebijakan terkait dengan kelompok ini, meskipun satu kebijakan sedang dalam pembahasan serius.
Banyak pengungsi mungkin tidak mau memiliki rumah baru, akan tetapi lebih memilih kompensasi tunai atau bantuan untuk mendirikan usaha. Sebagian besar keluarga pengungsi di Aceh hanya memiliki satu anggota keluarga. Banyak yang masih mengalami trauma setelah kehilangan seluruh anggota keluarga mereka, dan mungkin lebih memilih untuk membangun hidup yang baru di tempat lain. Beberapa mungkin menikah lagi atau pindah ke tempat tinggal anaknya yang sudah dewasa. Saat ini, tidak ada kebijakan atau skema yang jelas untuk menangani kelompok-kelompok ini.
program-program untuk memberikan bantuan perbaikan rumah dimulai dengan lambat dan sekarang harus dipercepat. Sekitar 95.000 rumah di Aceh memerlukan perbaikan atau rehabilitasi. Sementara
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
�2
Kerusakan terhadap Hak Milik dan Sistem Administrasi TanahTabel 1.3
perhitungan Kerusakan
Staf BpN yang hilang
• 40 staf BPN di Provinsi Aceh, 30% staf di Banda Aceh.
Kantor dan peralatan:
• 6 kantor BPN hancur atau rusak parah termasuk Kantor di Kabupaten Banda Aceh yang hancur total.
• Hancurnya kantor, perlengkapan survei dan peralatan, termasuk komputer, untuk mendukung pemulihan catatan
yang mendesak.
Kerusakan terhadap buku-buku tanah pemerintah (daftar tanah resmi):
• 10% buku tanah hilang.
• Sisanya sebesar 90% membutuhkan pemeliharaan dan pemulihan yang mendesak
Hancurnya dokumen-dokumen tanah resmi
• 80% dokumen tanah hilang, termasuk hampir semua peta kadaster.
rusak dan hilangnya bukti hak milik:
• Hancurnya banyak bukti fisik tentang batas-batas tanah dan hilang atau meninggalnya saksi hidup.
300.000 bidang tanah terkena dampak
• 170.000 bidang tanah di kota dan 130.000 bidang tanah di desa termasuk 549 bidang tanah di Nias terkena
dampak tsunami
• 60.000 (40.000 di kota dan 20.000 di desa) serta 240.000 bidang tanah yang tidak terdaftar:
• 5% bidang tanah hak milik dihipotekkan, dengan hipotek yang didaftarkan oleh BPN
sebagian besar ditangani oleh pemiliknya secara langsung, banyak yang memerlukan bantuan, khususnya apabila perbaikan yang harus dilakukan sangat banyak. Hanya sedikit program yang sudah dimulai dalam area tersebut dan beberapa donor, termasuk ADB dan Dana Multi Donor sedang mempertimbangkan untuk mengarahkan program-program mereka ke area ini.
Kepedulian terhadap kualitas dan keseimbangan menjadi lebih jelas. Terdapat perhatian yang semakin meningkat tentang perbedaan kualitas perumahan yang disediakan oleh berbagai donor. Sebuah pengkajian yang dilakukan UN Habitat mengindikasikan, misalnya, harga unit rumah saat ini bervariasi antara US$2.500 sampai US$11.000 dengan harga rata-rata per unit sekitar US$5.000. Adanya perumahan dengan kualitas yang bervariasi dalam lingkungan sekitar menciptakan kecemburuan diantara masyarakat. Hal ini menyebabkan penundaan karena penduduk desa mempertimbangkan pilihan lain daripada yang telah diberikan kepada
mereka, tanpa mempertimbangkan komitmen tertulis mereka dengan donor tertentu.
peran pemerintah lokal harus diperjelas. Sampai saat ini, keterlibatan pemerintah lokal dalam rekonstruksi hanya bersifat sekunder, di mana BRR memiliki peran besar dalam kerja sama dengan LSM dan donor. Awalnya hal tersebut dapat dipahami karena staf dan sarana milik pemerintah lokal banyak yang hilang atau hancur. Sekarang pemerintah lokal membangun kembali, dan harus dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi upaya-upaya rekonstruksi. Hal tersebut adalah tujuan yang menjadi prioritas BRR.
HAK ATAS TANAH DAN HAK MILIK
gempa bumi dan tsunami menyebabkan kerusakan atau kehancuran yang besar terhadap properti di sebagian besar
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
daerah. Sementara tanah di beberapa daerah akan direhabilitasi, di banyak daerah banyak tanah yang sekarang mengalami penurunan permukaan secara permanen, tergenang atau tersapu ke laut. Bidang-bidang tanah tersebut tidak akan dapat dihuni atau menjadi produktif lagi dan orang-orang yang sebelumnya menempati tanah tersebut harus pindah. Banyak tanah pertanian hanyut atau rusak karena puing-puing dan air asin. Bahkan di tempat di mana masyarakat dapat melakukan pembangunan kembali di lokasi awalnya, sejumlah besar rumah tangga harus pindah untuk memfasilitasi perencanaan dan persiapan lingkungan yang lebih baik – dengan jalan yang lebih lebar dan jalur untuk menyelamatkan diri – apabila terjadi bencana di masa yang akan datang.
Kerusakan terhadap sistem administrasi tanah mempengaruhi penetapan kembali hak milik maupun rekonstruksi lembaga pertanahan. Luas geografis dari daerah yang terkena bencana mencakup daerah dengan panjang 800 km dan lebar 5 km di sepanjang garis pantai Aceh, ditambah pulau Simeulue dan Nias, Sumatera Utara. Di Banda Aceh, sekitar 70 persen kabupaten terkena dampak
bencana. Tabel 1.3 merangkum penilaian kerusakan untuk wilayah Aceh.
Di Nias, batas-batas tanah di daerah yang hancur total juga rusak, seperti di pusat-pusat kota. Banyak catatan dan arsip pemilik hancur. Selain itu, tingkat pendaftaran tanah sangat rendah sebelum bencana, menghambat kemampuan banyak pemilik dalam mendapatkan jaminan untuk membangun kembali usaha dan mata pencaharian mereka. Untungnya, BPN tidak kehilangan satu pun catatan tanah di Nias. Salinan dapat diberikan, akan tetapi survei bidang tanah perlu dilakukan kembali.
perlindungan hak atas tanah dan hak milik akan menjadi dasar hukum yang kuat untuk upaya rekonstruksi jangka panjang, serta memajukan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya dari keluarga-keluarga dan orang-orang yang terkena dampak tsunami. Hal tersebut juga penting untuk pembangunan prasarana, termasuk pengaturan kembali jalan-jalan, pemulihan sektor komersial, dan upaya-upaya untuk menangani pembangunan zona pantai. Upaya yang sungguh-sungguh diperlukan untuk
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
RALAS dan Kegiatan-Kegiatan Inventaris Masyarakat peta 1.3
Map of RALAS & Community Inventory Activities The Base map is from HIC Sumatra villages map
2005 RALAS area
High community inventory activities
mengangani kepemilikan tanah, sehingga masyarakat dapat membangun kembali dengan lebih aman karena ada jaminan bahwa hak-hak mereka terlindungi. Perhatian khusus diperlukan sehubungan dengan peraturan tentang pendaftaran, kepemilikan dan pewarisan untuk perempuan, anak-anak dan golongan minoritas. rEKONSTrUKSI SISTEM ADMINISTrASI TANAH
Langkah pertama adalah untuk menentukan dengan pasti siapa yang memiliki suatu tanah sebelum terjadinya bencana, tanpa memperhatikan apakah mereka memegang hak terdaftar maupun tidak. Pendekatan yang digunakan oleh banyak donor adalah untuk menolong masyarakat untuk membuat peta komunitas mereka yang menunjukkan di mana properti-properti berada, jenis properti tersebut, siapa yang menempati, dan
berapa besar kerusakan yang dialami. Hal ini dikenal sebagai pemetaan tanah masyarakat. Prosesnya terdiri dari: (i) pembuatan daftar inventaris desa tentang pemilik tanah atau pewarisnya; (ii), penempatan tanda batas untuk mengidentifikasi sudut batas bidang tanah, dengan kesepakatan antara pemilik tanah yang berdekatan; (iii) penyiapan sketsa kasar bidang tanah; dan (iv) penandatanganan perjanjian oleh masyarakat tentang penerimaan atas setiap hasilnya. Hal ini tidak sederhana karena banyak komunitas yang kacau balau sehingga hanya sedikit atau tidak ada bukti tanda batas properti yang jelas. Di antara korban-korban yang meninggal merupakan “arsip hidup” yang memiliki ingatan tentang lokasi batas-batas tersebut. Selanjutnya, kerugian yang dialami oleh kantor-kantor BPN provinsi dan kabupaten, baik dalam arti hancurnya catatan-catatan tanah, hilangnya peta kadaster, dan meninggalnya ahli administrasi tanah, telah menyebabkan tugas rekonstruksi menjadi lebih sulit.
Upaya awal pemetaan tanah masyarakat yang dilakukan dengan tujuan baik dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan dengan kualitas yang bervariasi. Adanya kebutuhan untuk membakukan upaya-upaya tersebut segera disadari supaya pada akhirnya “bukti” dari pemetaan tanah oleh masyarakat dapat diproses secara formal oleh BPN, dan hak-hak hukum dapat dapat dikeluarkan setelah adanya penyelesaian yang diperlukan, survey tanah yang sah dan pemberitahuan kepada publik. Hanya BPN yang memiliki wewenang hukum untuk mengeluarkan hak.
proyek rekonstruksi Administrasi Tanah Aceh (rALAS) bertujuan untuk memastikan bahwa proses-proses yang dikelola oleh masyarakat dilaksanakan dengan memenuhi standar yang akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk pengurusan
�5Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
Kemajuan dalam Pemetaan Tanah dan Pemulihan Hak Milik Tabel 1.4
Jumlah Tim Penyelesaian (20 personel per tim) 10
Jumlah fasilitator LSM dan /personel BPN yang dilatih dalam CDA 400/200
Jumlah penduduk desa di mana pemetaan tanah oleh masyarakat telah
dimulai
215
Jumlah desa di mana pemetaan tanah oleh masyarakat telah selesai # 80
Jumlah bidang tanah yang menyelesaikan pemetaan tanah masyarakat# 50,000-80,000
Jumlah bidang tanah yang diberitahukan kepada publik # 30,000
Jumlah bidang tanah yang akan diberikan hak hukum pada akhir tahun 2005 5,000
# Perkiraan hasil jadi t untuk tanggal 26 Desember 2005 sebagaimana diberikan oleh BPN pada bulan Novem-ber 2005.
hak di masa yang akan datang oleh pemilik tanah. Proyek tersebut juga mendukung rehabilitasi sistem administrasi tanah dan menyediakan kerangka untuk mengklarifikasi hak milik. Proyek tersebut dilaksanakan di bawah arahan BPN, dan didanai dengan Hibah Dana Multi Donor sebesar US$28,5 juta. Melalui RALAS, BPN bertujuan untuk memastikan bahwa proses-proses yang dipimpin oleh masyarakat dilaksanakan dengan memenuhi standar yang akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk pengurusan hak di masa yang akan datang oleh pemilik tanah. Proyek tersebut menjamin kesepakatan masyarakat tentang hak-hak milik dengan mengendalikan keterlibatan para pekerja pembangunan masyarakat yang ada (dari LSM, donor, dan program-program KDP atau UPP pemerintah) dan menghubungkannya dengan BPN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan hukum untuk mengeluarkan hak atas tanah yang diakui secara formal. Proyek tersebut juga mencakup ketentuan-ketentuan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam menanggapi keprihatinan atas kemungkinan korupsi dan pengelolaan yang salah. RALAS tidak mencakup semua permasalahan yang terkait dengan tanah, seperti penempatan kembali, akusisi tanah, pengusiran, spekulasi atau kompensasi tanah. Masalah-masalah penting tersebut ditangani oleh BRR secara terpisah.
Sejumlah mitra menjalin kerjasama untuk memulihkan hak milik. Sementara RALAS
mendukung rehabilitasi sistem administrasi tanah dan menyediakan kerangka untuk mengklarifikasi hak milik, terdapat sejumlah upaya-upaya penting yang sedang berjalan dalam sektor pertanahan.
• UNDP saat ini memberikan bantuan dalam tahap-tahap kritis awal untuk keperluan pelatihan, penyediaan peralatan survei, dan dukungan website dan komunikasi internet untuk BPN. UNDP menyediakan bantuan untuk pelatihan lebih dari 750 orang fasilitator CDA dan telah mendanai publikasi brosur-brosur informasi tentang RALAS dan hak milik.
• The European Commission (Komisi Eropa) telah memberikan citra satelit sebelum terjadinya tsunami (dan dua misi penasihat teknis untuk meningkatkan kapasitas BPN dalam pengolahan citra), untuk mendukung pemetaan tanah oleh masyarakat. Citra tersebut sekarang tersedia untuk semua proyek-proyek rekonstruksi dan dapat diperoleh melalui BPN.
• Australia memberikan beberapa peralatan survei awal kepada BPN dan telah setuju untuk mendukung pemetaan tanah oleh masyarakat di 400 komunitas dan melatih 100 fasilitator.
• Oxfam telah mendukung terbentuknya kemitraan untuk RALAS, yang mencakup pelatihan, pemantauan, dan sosialisasi informasi.
• Sejumlah jaringan LSM lokal, termasuk jaringan organisasi perempuan, mengajukan usul untuk memantau proyek RALAS secara independen.
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
Oxfam juga merencanakan untuk mendukung penelitian tentang masalah-masalah gender, tanah dan properti di Aceh.
• BPN telah mendirikan sekretariat masyarakat untuk berhubungan dengan LSM dan CSO di Aceh. Sekretariat tersebut sekarang sedang dibentuk kembali sebagai sebuah forum LSM/CSO yang akan berhubungan dengan BPN secara reguler dan bersama-sama dengan BPN mensosialisasikan informasi.
• Pengadilan Syariah sedang bekerja sama dengan RALAS untuk menyediakan “pengadilan daerah” di desa-desa, yang dapat memberi nasihat dan menangani kasus-kasus yang melibatkan janda-janda dan pewaris dibawah umur.
pada bulan Juni 2005, disusun buku pedoman penyelesaian yang Digerakkan oleh Masyarakat (CDA), dengan dipimpin oleh Bank Dunia dan Dana Multi Donor serta berkolaborasi dengan pemerintah, LSM/CSO dan para donor. BPN kemudian mengeluarkan keputusan resmi yang memberikan status hukum untuk buku pedoman tersebut. BRR juga telah menetapkan buku panduan CDA tersebut sebagai pendekatan standar pemetaan tanah oleh masyarakat untuk dilaksanakan di daerah-daerah rekonstruksi. Pelatihan CDA diberikan kepada LSM dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam rekonstruksi. Apabila pemetaan tanah oleh masyarakat diselesaikan sesuai dengan standar hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dalam buku panduan CDA, masyarakat dapat mulai membangun rumah-rumah dan prasarana sebelum hak dikeluarkan secara resmi oleh BPN.
pendaftaran tanah diharapkan segera men-cakup proporsi meningkat atas penduduk yang terkena dampak bencana. Tabel 1.4 dan peta 1.3 merangkum kemajuan saat ini dan yang diperkirakan.
MASALAH-MASALAH TANAH DI TAHUN MENDATANg
Diperlukan adanya kejelasan atas pilihan dan prosedur untuk membantu masyarakat yang harus pindah ke lokasi-lokasi pemukiman baru2. Pemerintah Indonesia telah memperkirakan sedikitnya 30.000 keluarga perlu dipindahkan, dan sekitar 15.000 sampai 50.000 hektar tanah telah tenggelam atau tidak dapat ditempati. Diperkirakan bahwa sedikitnya 700 sampai 1.500 hektar tanah diperlukan untuk relokasi hanya dalam rangka mendukung kebutuhan perumahan. Sementara pihak-pihak yang berwenang tingkat kabupaten sedang dalam proses mengalokasikan tanah negara untuk dijadikan tempat relokasi, banyak lokasi-lokasi tersebut yang jauh dari lingkungan awal dan basis sumber daya, dan oleh karena itu, banyak orang yang ragu-ragu untuk pindah. Banyak tanah negara juga membutuhkan pembersihan dan perataan sebelum dapat dibangun, yang akan memerlukan banyak sumber daya dan waktu. Untuk merespon kesenjangan tersebut, kebijakan akusisi tanah sedang disusun oleh BRR. Suatu unit khusus akan dibentuk di BRR untuk mengkoordinasi, memastikan dana untuk dan memantau akusisi tanah untuk masyarakat yang memerlukan relokasi. Beberapa LSM memiliki program-program advokasi untuk membantu masyarakat mendapatkan dan menegosiasikan tanah yang mereka perlukan. Sebagai contoh, Oxfam membantu dua desa di Aceh Besar untuk mencari tanah, menegosiasikan harga yang wajar dengan pemiliknya, dan memfasilitasi proses pembayaran kompensasi oleh pemerintah kabupaten sehingga masyarakat tersebut dapat pindah.
pemberian panduan juga sangat dibutuhkan dalam hal konsolidasi dan realokasi tanah. Beberapa masyarakat perlu merancang kembali desa-desa mereka karena beberapa alasan yang disebabkan oleh masuknya air laut dan
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
Pemetaan tanah bergantung pada partisipasi para penduduk untuk memastikan proses yang lancar dan memastikan
bahwa tidak ada pihak yang dirugikan, sebagai contoh, apabila ahli waris kekurangan informasi tentang kepemilikan
atau batas-batas tanah yang mereka warisi. Di desa Lamjabat, Banda Aceh, sebagian besar hak atas tanah berada
di bawah hukum adat dan tanah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya, meskipun beberapa ahli waris
sekarang tinggal di luar Aceh.
Pemimpin masyarakat Lamjabat, Ir Asbar, menjelaskan bahwa inisiatif masyarakat untuk melaksanakan pemetaan
tanah dengan upaya mereka sendiri lahir dari keinginan untuk kembali membangun desanya. “Setelah terjadinya
tsunami, komunitas kami menjadi kacau. Beberapa orang tinggal sementara dengan orang-orang di Geuceu,
beberapa tinggal di desa lainnya. Lalu kami berkumpul bersama dan memikirkan masa depan kami, “ ujar Asbar,
seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
Dua bulan setelah terjadinya tsunami, orang-orang Lamjabat, yang selamat dan mengungsi ke desa-desa lainnya,
sepakat untuk kembali ke desa mereka untuk membersihkan rumah-rumah mereka. “Kami meminta Zamzami
A Manaf untuk melakukan pemetaan. Ia bekerja di Departemen Pekerjaan Umum dan adalah penduduk asli
Lamjabat. Ia melakukan pemetaan dengan partisipasi penuh dari anggota masyarakat yang selamat,” katanya,
sambil menambahkan bahwa dari 1.500 orang hanya 240 orang yang selamat.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat melakukan sendiri pemetaan tanah dengan tujuan untuk mendorong BRR dan
lembaga-lembaga lainnya untuk mulai membangun kembali desa mereka dengan segera. Pada bulan Oktober,
mereka menerima 55 rumah dari IOM, yang dibangun di atas tanah yang disewa dari penduduk. Camat Meuraxa,
Tarmizi Yahya, mengkonfirmasi pernyataan Asbar. Menurutnya, orang-orang di Lamjabat melakukan survei dan
pemetaan secara swadaya, dan bahkan penyelesaian sengketa di lapangan juga mereka lakukan. “Kenyataannya,
mereka bersedia memberikan sebagian dari tanah mereka untuk kepentingan umum; untuk parit, perluasan jalan.
Mereka memberikan pengorbanan,” kata Tarmizi.
Belajar dari Masyarakat Lamjabat Kotak 1.3
keinginan untuk mengatur kembali rencana tata desa untuk meningkatkan kesiapan terhadap bencana alam di waktu yang akan datang dan atau untuk meningkatkan sarana masyarakat. Proses ini mungkin memerlukan konsolidasi dan/atau realokasi tanah yang berdampak pada banyak keluarga. Beberapa komunitas bergerak menuju arah ini sebelum mereka memperoleh kembali hak milik secara sah, yang meningkatkan risiko terjadinya sengketa tanah jangka panjang dan masalah-masalah sosial akibat pemilik tanah yang kehilangan hak atau ahli warisnya. BRR telah mempersiapkan sebuah rancangan kebijakan tentang relokasi tanah, dan para pejabat perlu bekerja sama dengan LSM untuk mengutamakan program pemetaan tanah oleh masyarakat untuk daerah-daerah yang kemungkinan besar membutuhkan program-program realokasi atau konsolidasi.
Untuk mempercepat pelaksanaan, komunikasi dua arah antara lembaga-lembaga pelaksana dan BpN sangat penting untuk memastikan bahwa upaya-upaya pemetaan tanah oleh masyarakat terkoordinasi, sehingga memungkinkan BpN untuk mengelola rencana penyelesaiannya ke depan. Orang-orang sangat ingin mulai membangun kembali rumah-rumah dan komunitas mereka dan pasti akan dimulai sebelum BPN beroperasi secara penuh. Meskipun BPN tidak akan mencegah siapa pun untuk membangun di atas tanahnya sendiri, BPN dengan tegas menganjurkan agar pemetaan tanah masyarakat, sesuai dengan buku panduan CDA, diselesaikan terlebih dahulu untuk meminimalisir risiko pelaksanaan pendaftaran hak milik di masa yang akan datang. Hal ini dianggap dapat memberikan kepastian
Sumber: BRR
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
��
yang tinggi kepada masyarakat dan para pemilik bangunan bahwa mereka membangun di atas bidang tanah yang benar dan dalam batas-batas yang benar dari bidang tersebut.
perlindungan hak-hak anak yatim piatu, janda dan ahli waris lainnya. CDA membantu menjamin perlindungan hak milik kelompok-kelompok yang rentan. Pendaftaran hanya akan dilakukan apabila telah ada kesepakatan masyarakat yang jelas dan tidak ada sengketa, dengan didukung pemeriksaan terhadap catatan (termasuk pajak) dan citra satelit sebelum tsunami. BPN hanya akan bertindak dan mensurvei lokasi bidang tanah yang tidak dalam sengketa setelah CDA diselesaikan. Meskipun hal tersebut dapat menunda keputusan akhirnya, BPN berketetapan untuk menjamin keadilan. Pelatihan pengadilan Syariah sedang dalam proses untuk membentuk “pengadilan-pengadilan daerah” di desa-desa, di mana pengadilan tersebut dapat memberikan saran dan menangani kasus-kasus yang melibatkan janda-janda dan ahli waris dibawah umur.
Spekulasi tanah: Segera setelah serangan tsunami, BPN mengeluarkan keputusan yang melarang pengalihan (penjualan) tanah sebagai suatu upaya untuk melindungi para korban tsunami yang rentan dari tekanan-tekanan untuk dengan segera mengalihkan tanah mereka pada saat mereka bergumul dengan kesedihan, rasa kehilangan, cedera dan penyakit. Persyaratan untuk pembelian tanah untuk mendukung relokasi telah berakibat pada meningkatnya permintaan untuk pembelian tanah kepada BRR yang disampaikan oleh para bupati, dan penebangan hutan diduga mengakibatkan penjualan kayu tebangan secara ilegal. Terdapat bukti bahwa ada peningkatan dalam kegiatan spekulatif sebagaimana pemilik tanah dan pihak ketiga mengantisipasi kebutuhan untuk membeli atau menyewa tanah baru untuk relokasi, serta beberapa masyarakat yang menghadapi
komplikasi hukum sehubungan dengan prosedur akuisisi tanah. Penting untuk mencegah agar masalah-masalah tersebut tidak menyebabkan masyarakat yang sudah putus asa terjebak dalam lingkaran hutang dan kesulitan. BRR telah menyusun rancangan kebijakan tentang spekulasi tanah.
pengusiran dari suatu bidang tanah. Telah dilaporkan terjadinya beberapa pengusiran. Sebagai contoh, pada tanggal 15 November, seorang pemilik tanah di Aceh Besar mengusir 725 pengungsi yang berasal dari Aceh Jaya dari tanah pribadi (lokasi penggergajian) yang telah mereka tempati sejak bulan Februari 2005. Orang-orang tersebut pindah ke lokasi baru di atas tanah negara. Sebuah LSM telah memberitahu bahwa setidaknya satu masyarakat di Aceh Barat menghadapi pengusiran. Sebuah laporan oleh media lokal pada tanggal 25 Desember 2005 menginformasikan bahwa 500 pengungsi di Desa Reusak, Kecamatan Samatiga, diberikan ultimatum untuk pindah dari seorang pemilik tanah pribadi yang tanahnya ditempati oleh orang-orang tersebut sejak awal tahun 2005. Pengungsi-pengungsi tersebut, banyak dari mereka yang tidak memiliki tanah, sedang menunggu relokasi ke tempat yang baru, yang telah dialokasikan pemerintah untuk masyarakat. Proses akusisi tanah dan relokasi tersebut menghadapi banyak hambatan, misalnya dana yang tidak mencukupi, pengosongan tanah, dan koordinasi antara berbagai pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga pelaksana.
pemulihan catatan tanah yang rusak: Jepang mendanai pemulihan dokumen-dokumen yang rusak. Sekitar 15 ton dokumen diangkut ke Jakarta oleh tiga pesawat Hercules (militer) TNI di bulan Maret 2005. Sejak saat itu, dokumen-dokumen tersebut disimpan pada suhu -40o
Celsius. Pemulihan dokumen akan digunakan untuk mendukung penyelesaian setiap sengketa tanah yang mungkin timbul karena hak atas tanah sebelumnya.
��Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
MASYARAKAT MEMIMPIN PEMULIHAN MEREKA SENDIRI
fitur utama dari upaya rekonstruksi di Indonesia adalah cara bagaimana masyarakat bersama-sama menentukan kebutuhan dan prioritas mereka dan menyatakan kepemimpinan atas pemulihan mereka sendiri. Di sebagian besar daerah, masyarakat berada di depan kemudi dan hal ini dapat menjadi contoh untuk tanggapan terhadap bencana dimanapun.
Hal tersebut tidak mudah karena tsunami dan gempa bumi tidak hanya memakan korban jiwa, menghancurkan rumah dan prasarana, tetapi juga merusak struktur masyarakat; Peristiwa tragis tersebut menewaskan banyak pemuka agama dan pemuka masyarakat, pekerja sosial, guru, dan para pengelola masyarakat madani. Pemisahan mereka yang kehilangan tempat tinggal ke tenda-tenda pengungsian, masyarakat penampung dan barak-barak mengikis persatuan masyarakat. Pada saat yang paling dibutuhkan, kapasitas masyarakat untuk bersatu bersama, saling menghibur dan saling mendukung dalam membangun kembali kehidupan dan menciptakan masa depan yang lebih baik sangat menurun. Aceh memiliki tradisi yang kaya akan perkumpulan, mulai dari organisasi keagamaan sampai organisasi masyarakat (contohnya Panglima Laut – perkumpulan nelayan, kelompok-kelompok arisan, asosiasi pembangunan desa, dan masyarakat pemakaman) sampai stuktur-struktur semi pemerintah, berdasarkan perwakilan masyarakat yang dipilih. Rasa kemasyarakatan tersebut dan tingkat pendidikan yang cukup tinggi telah menjadi sumber kekuatan dalam tanggap darurat.
Lembaga-lembaga bantuan dengan cepat menemukan pemuka-pemuka dan struktur masyarakat yang dapat diajak bekerja sama, dan apabila pemuka masyarakat yang sebelumnya telah meninggal dunia, pemuka-pemuka informal baru muncul dengan cepat. Sementara banyak unit-unit pemerintah dalam keadaan kacau, pemuka-pemuka masyarakat membantu mengumpulkan informasi, menyatukan kembali keluarga-keluarga yang terpisah, dan menyebarkan informasi tentang bantuan yang tersedia. Mereka juga menyampaikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan yang diperlukan kepada banyak organisasi yang datang untuk membantu pemulihan dan rekonstruksi.
partisipasi masyarakat, bersama-sama dengan tanggap darurat yang cepat, menjamin bahwa, dalam jangka waktu yang singkat, semua orang mendapatkan paling tidak tempat tinggal dasar, bahwa hanya sedikit yang sangat kelaparan dan bahwa tidak ada epidemi yang tidak terdeteksi. Hal ini meyakinkan pemerintah Indonesia dan masyarakat donor untuk memberikan komitmen yang kuat untuk menggunakan dan meyakini pendekatan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (CDD).
KOMITMEN TErHADAp rEKONSTrUKSI YANg DIgErAKKAN OLEH MASYArAKAT
Terdapat keyakinan yang semakin berkembang bahwa cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan prasarana lokal dan rumah tangga berskala kecil adalah dengan memberdayakan dan menggali sumber daya penduduk, memungkinkan mereka untuk memprioritaskan kebutuhan dan mengurus diri mereka sendiri melalui CDD. Salah satu argumen tentang penerapan pendekatan ini adalah luasnya kehancuran akibat bencana tersebut. Lebih dari 850 desa
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
50
di 86 kecamatan di Aceh dan 22 kecamatan di Nias hancur. Secara rata-rata, 130 keluarga terkena dampaknya, atau sekitar 2/3 populasi dari setiap desa yang terkena bencana tersebut dan sekitar setengahnya masih mengungsi dari rumah mereka. Akan tetapi, keadaan tersebut masih sangat terlokalisasi dan oleh karena itu tanggapan yang paling efektif adalah dengan menggunakan pengetahuan dan kepemimpinan lokal. Di awal tahun 2005, para donor dan LSM menjalin kerjasama untuk menyusun kerangka operasional3 yang dirancang untuk mendorong semua lembaga agar berkomitmen terhadap standar konsultasi, partisipasi, transparansi dan koordinasi yang tinggi.
pILIHAN-pILIHAN DAN KEKUrANgAN-KEKUrANgAN DArI pErAN SErTA
peran serta yang efektif, bagaimanapun juga, memakan waktu dan memerlukan fasilitator-fasilitator yang bekerja bersama masyarakat untuk mendampingi mereka dalam proses-proses tersebut. Hal ini tanpa dapat dihindari mengarah kepada pilihan yang
sulit antara menginginkan rekonstruksi yang cepat dan memastikan bahwa masyarakat benar-benar memegang kendali atas upaya tersebut, di mana semua anggota masyarakat memiliki hak suara dalam upaya rekonstruksi. Terdapat pilihan paralel antara keinginan untuk membuahkan hasil dan mengembangkan kapasitas masyarakat daerah dan kelembagaan. Pilihan-pilihan ini membatasi kecepatan rekonstruksi masyarakat saat ini, tetapi diharapkan menyokong kesinambungannya. Sebagai contoh, pengambilan keputusan masyarakat di berbagai desa menekankan penggunaan tenaga pengungsi sebanyak mungkin, daripada tenaga dari luar. Beberapa LSM menurunkan kecepatan program-program perumahan mereka untuk memberikan pelatihan pekerjaan kayu dan keterampilan lain kepada penduduk lokal. Cara tercepat untuk membangun sebuah rumah mungkin adalah melibatkan perusahaan konstruksi, lengkap dengan tenaga kerja mereka sendiri, dari luar Aceh, namun demikian banyak masyarakat yang menyuarakan preferensi untuk membangun rumah mereka sendiri.
51Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
Dapat dipahami bahwa dengan banyaknya lembaga yang menganggap diri mereka sebagai praktisi CDD, pendekatan dan standar sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakkonsistenan dan duplikasi – terkadang dengan masyarakat menyatakan frustasi dengan keberadaan berbagai LSM yang masing-masing ingin mempraktikkan perencanaan partisipatif dan terkadang mendesak desa-desa untuk memberikan kepada mereka “hak-hak eksklusif” dan meminta LSM-LSM lain untuk pergi. Masyarakat seringkali menyatakan rasa frustrasinya ketika mereka diharapkan untuk mengadakan rapat dengan semua LSM.
Sebaliknya, beberapa LSM dan donor merasa frustasi karena ketidakpastian yang dapat ditimbulkan oleh CDD dan proses pengumpulan dan pengkajian data yang panjang. Mereka dapat menghabiskan waktu yang cukup lama merencanakan program untuk sebuah desa, hanya untuk menemui di kemudian waktu pada saat mereka tiba untuk bekerja ternyata desa tersebut telah berubah pikiran dan menyetujui program-program dengan organisasi-organisasi lain. Hal ini paling sering dijumpai apabila hanya para tokoh masyarakat, dan bukan seluruh masyarakat, yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
proses-proses yang bersifat inklusif dan informal juga dapat mengaburkan pengambilan keputusan. Rapat desa yang diadakan dengan baik dan dihadiri banyak peserta dapat memberikan gambaran yang jelas kepada LSM yang datang ke desa tersebut tentang apa yang diinginkan. Merupakan suatu hal yang manusiawi apabila para tokoh LSM menyampaikan kepada masyarakat bagaimana mereka terkesan dan bahwa mereka akan melakukan apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu. Niatan tersebut benar-benar tulus; LSM melakukan apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu para korban tsunami. Namun demikian, hal tersebut dapat ditafsirkan
secara literal sebagai janji untuk membantu desa yang bersangkutan. Apabila LSM tersebut pada akhirnya memutuskan bahwa mereka tidak dapat mengerahkan sumber dayanya untuk mencakup desa tersebut, masyarakat akan merasa dikhianati. Sebagai akibatnya, desa-desa semakin sering menyatakan frustasi dan bahkan kemarahan terhadap para donor. Terkadang tindakan tersebut dapat dibenarkan; tentunya ada banyak instansi yang telah menjanjikan hal yang luar biasa tetapi tidak ada tindak lanjutnya. Masalah ini mungkin sudah mulai reda pada saat ini, terutama ketika proses koordinasi kecamatan mengklarifikasikan siapa yang menjalankan program yang mana, akan tetapi demonstrasi terhadap para donor masih terjadi.
pendekatan-pendekatan CDD umumnya menghasilkan rencana-rencana pengembangan yang lebih menyeluruh dan terpadu daripada program top-down yang dirancang oleh donor. Donor mungkin memiliki kepentingan tertentu, akan tetapi proyek partisipatif mencerminkan pilihan dan kompromi antara berbagai prioritas. Hal ini dapat menghasilkan proyek-proyek dengan cakupan yang luas dan bukan yang sempit, dan yang bersifat kompleks – tetapi sisi positif dari hal ini adalah bahwa proyek-proyek tersebut benar-benar dimiliki dan dengan demikian secara tegas didukung oleh sebagian besar masyarakat. Namun demikian, ketika rasa tertekan yang besar muncul, tidak mudah bagi masyarakat untuk mempertahankan semangatnya berkaitan dengan proyek-proyek terpadu tersebut. Masyarakat haus akan tindakan cepat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengancam mata pencaharian mereka. Beberapa LSM, seperti IRC-CARDI, telah menyelesaikan masalah ini dengan menggilir bantuan mereka. Pada bulan-bulan pertama setelah tsunami terjadi mereka menawarkan bantuan untuk “proyek-proyek dampak cepat”, memenuhi berbagai kebutuhan tertentu sebagaimana ditetapkan oleh masyarakat. Setelah beberapa waktu, mereka
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
52
menawarkan proyek Pembangunan Masyarakat Terpadu yang meliputi berbagai kegiatan yang lebih luas, dan yang didasarkan atas proses pemetaan masyarakat secara cermat dan penetapan prioritas partisipatif.
Aceh dan Nias menunjukkan dilema tertentu dalam penerapan CDD pada saat tanggap darurat bencana; yaitu bagaimana dan kapan harus mengganti aset-aset umum dan aset-aset pribadi. Rapat-rapat masyarakat cenderung menghasilkan perjanjian tentang rehabilitasi atau penggantian aset-aset masyarakat – sekolah, klinik, jalan, jembatan, dll. Para pelaku pembangunan masyarakat yang telah berpengalaman cenderung membawa masyarakat ke arah ini. Pada saat-saat normal, hal ini masuk akal dan meminimalkan konflik yang timbul ketika beberapa penduduk desa memperoleh manfaat dari suatu proyek sementara yang lainnya tidak. Namun demikian, di Aceh dan Nias saat ini, penduduk sangat terfokus dengan kerugian pribadi mereka sendiri – rumah, perahu, tanah atau usaha mereka. Program-program CDD di Aceh dan Nias dengan demikian memberikan perhatian lebih kepada aset-aset pribadi daripada lazimnya program-program CDD.
BEBErApA prOYEK pEMBANgUNAN MASYArAKAT YANg MENONJOL
program CDD yang paling luas cakupannya di Aceh sebelum tsunami adalah proyek pembangunan Kecamatan (KDp), sebuah program pemerintah yang dibiayai oleh Bank Dunia di mana proses di tingkat kecamatan yang bersifat partisipatif memberikan hibah dalam jumlah besar ke desa-desa agar memenuhi kebutuhan prasarana, layanan dasar atau lapangan kerja yang mereka prioritaskan. Segera setelah terjadinya gempa bumi, KDP diperluas dari 87 kecamatan di Aceh dan 13 di Nias menjadi seluruhnya
masing-masing 220 dan 22 kecamatan di pedesaan. Jaringan pekerja profesional CDD ini (saat ini berjumlah 600 orang, bekerja bersama lebih dari 35.000 fasilitator desa di lebih dari 6.000 desa) telah terbukti sangat berguna dalam membantu masyarakat yang terkena dampak tsunami dalam merencanakan tindakan-tindakan mereka. Selain itu, fasilitator-fasilitator informasi telah ditunjuk belum lama ini di kantor-kantor kabupaten, terutama untuk membantu para camat untuk mengoordinasikan upaya-upaya rekonstruksi dan memperbaiki arus informasi dua arah tentang kebutuhan rekonstruksi, program, kesenjangan dan preferensi masyarakat.
proyek Kemiskinan perkotaan (Upp) merupakan proyek CDD paralel untuk wilayah-wilayah perkotaan dan selain itu meliputi pemilihan dewan perwakilan oleh masyarakat untuk mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan tinjauan tentang program-program yang dihasilkan. UPP saat ini dilaksanakan di Banda Aceh, mempekerjakan 50 fasilitator, dan semakin meluas sehingga mencakup 352 daerah perkotaan.
fasilitator-fasilitator KDp dan Upp telah membantu masyarakat dalam membuat peta yang menunjukkan besarnya kerusakan di setiap desa dan merencanakan program-program rehabilitasi dan perbaikan prioritas. KDP sampai dengan tahun ini telah membangun atau merehabilitasi 145 km jalan, 79 jembatan, 187 saluran irigasi atau saluran air, 14 sekolah, dan empat klinik. Dana Multi-Donor membiayai perluasan program-program KDP dan UPP dan bantuan ke desa-desa, sehingga membantu investasi dengan pengembalian tinggi yang cepat. CIDA, AUSAID, EU dan DFID juga membiayai program-program tersebut.
5�Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
Banyak organisasi lain juga telah memberikan bantuan untuk CDD. Bantuan tersebut antara lain adalah US$11 juta dari International Relief and Development untuk membantu pembentukan Kelompok-Kelompok Pemberdayaan Masyarakat yang terpilih di 22 desa. Hal ini membantu para pengungsi untuk kembali ke desa-desa mereka, menyetujui prioritas untuk memulai kembali masyarakat mereka, dan menganjurkan ini ke pemerintah daerah. Program-program CDD lain meliputi program Save the Children yang berkonsentrasi untuk memastikan bahwa tidak hanya isu anak-anak dimasukkan ke dalam perencanaan desa, tetapi kaum muda dan anak-anak juga memiliki kesempatan untuk mengambil bagian dalam diskusi desa. Pekka – perkumpulan janda tingkat nasional – telah mengembangkan program yang mengesankan yang memberikan bantuan, termasuk rumah-rumah baru, kepada para anggotanya. Oxfam memusatkan kegiatan-kegiatan CDD-nya pada kerja sama dengan dan pengembangan kapasitas LSM-LSM Aceh (sejauh ini mereka memiliki 63 rekanan). USAID menyediakan US$20 juta untuk program Demokrasi Damai dan Pemulihan Berbasis Masyarakat di lebih dari 50 desa, dan Federasi Internasional Palang Merah menyediakan US$23 juta untuk program CDD yang menggabungkan pemulihan dengan “pengurangan risiko berbasis masyarakat terpadu”.
Banyak donor juga membiayai rehabilitasi dan pembangunan kembali bangunan-bangunan umum termasuk tempat-tempat pertemuan, mesjid dan tempat ibadah lainnya. Banyak LSM dan donor telah membantu masyarakat dalam membuat peta-peta yang menunjukkan besarnya kerusakan yang mereka alami. Dana Multi-Donor, USAID dan lainnya telah membantu memperkokoh proses ini agar menjadi proses pemetaan dan pengambilan keputusan formal
atas tanah masyarakat sebagai langkah awal yang diperlukan untuk penetapan siapa memiliki tanah yang mana dan siapa berhak atas kompensasi apa. Upaya-upaya rekonstruksi saat ini juga menawarkan kesempatan lain. Aceh dan Nias yang relatif terpencil, dan konflik yang telah berlangsung lama menunjukkan bahwa masyarakat madani kurang berkembang dibandingkan dengan di propinsi-propinsi lain. Jeda konflik, berkaitan dengan hadirnya banyak tokoh LSM yang sangat berpengalaman dari berbagai negara yang berbeda, menawarkan kesempatan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat madani daerah, misalnya melalui program-program pelatihan dan bimbingan, pembangunan pusat dan jaringan sumber daya. Dana Multi-Donor berencana untuk membiayai program semacam itu melalui UNDP yang ditujukan untuk meningkatkan kontribusi masyarakat madani Aceh kepada pemulihan, termasuk dengan memperkokoh perannya dalam pengawasan, pemberantasan korupsi, dan membantu penduduk menyampaikan kekhawatiran dan keluhan mereka.
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
5�
55Bab 1 Membangun Kembali Rumah-rumah Dan Masyarakat
1 Pokja Tempat Tinggal memperkirakan 82.000 rumah baru diperlukan berdasarkan penilaian kerusakan yang dilakukan oleh IOM dengan penyesuaian jumlah yang selamat; survei yang dilakukan oleh BRR pada bulan November mengidentifikasi bahwa 111.000 rumah baru di-perlukan berdasarkan data yang diperoleh dari setiap Camat yang mengumpulkan kebutuhan perumahan dari para pengungsi di daerah kecamatannya
2 Ini mengacu pada mereka yang tanahnya tenggelam, tidak aman, dan mereka yang menyewa tanah/rumah
3 “Common Operating Principles and Guidelines for Tsunami Reconstruction”, disertakan se-bagai Lampiran dalam makalah Direksi Bank Dunia, Indonesia: Proposed Multi-Donor Trust Fund for Aceh and North Sumatra, 4 April, 2005, R2005-0074
CATATAN
5� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Bagian ISETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
PEMULIHAN MATA PENCAHARIAN Bab 2
5� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Setelah kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih dan rumah, orang-orang yang selamat dari bencana memandang pemulihan mata pencaharian mereka sebagai kebutuhan yang paling penting4. Pemulihan mata pencaharian dan ekonomi adalah unsur yang teramat penting dalam proses pemulihan. Selain membantu para korban untuk tidak lagi tergantung pada bantuan dan menjadi mandiri, pemulihan mata pencaharian memiliki unsur psikologis yang kuat dalam memberikan para korban kemampuan mengatur kegiatan mereka sehari-hari. Perikanan, pertanian, dan usaha kecil, tiga pendorong ekonomi terkuat di Aceh sebelum bencana tsunami, merupakan sektor yang paling terpengaruh setelah tsunami.
peralihan dari bantuan di masa darurat ke masa rekonstruksi memerlukan pengawasan terhadap mata pencaharian, untuk memastikan bahwa dukungan yang berkelangsungan tersedia bagi mereka yang membutuhkan. Program uang-untuk-kerja (cash-for-work), yang dibiayai oleh para donor dan NGO, berperan penting dalam mendukung pekerjaan dan pemulihan ekonomi. Walaupun demikian, sejumlah program seperti ini telah dihentikan, karena telah dimulainya konstruksi perumahan dan kegiatan mata pencaharian lainnya. Bantuan secara terus menerus dibutuhkan sampai tersedianya peluang kerja yang memadai.
Informasi mengenai dampak bencana terhadap mata pencaharian masih bermunculan, dan perkiraan kerugian di setiap sektor masih berubah-ubah terus. Kerugian dan kehilangan sektor produktif yang diperkirakan semula di bulan Januari sekitar US$1 miliar, (US$511 juta di bidang perikanan, US$225 juta di bidang pertanian, dan US$218 juta di sektor usaha). Dengan tersedianya informasi yang lebih akurat, tampaknya terdapat kemungkinan bahwa kerusakan lebih rendah
dalam beberapa sektor. Misalnya, pada awalnya diperkirakan 5.000-7.500 hektar lahan rusak total – dengan nilai sekitar US$40 juta– tetapi perkiraan FAO di bulan April menunjukan bahwa kerusakan lahan adalah sebesar 2900 hektar5. Namun, di bidang lainnya, biaya pemulihan lebih tinggi dibanding perkiraan semula. Di beberapa lokasi, garam tetap terkurung di daerah yang tidak memiliki saluran perairan yang memadai dan menjadi masalah yang kronis sampai saat lahan dipulihkan dengan pengolahan, pelepasan, dan perairan. Biaya pemulihan 17.500 Ha area sawah yang terkena dampak tinggi semula diperkirakan lebih dari US$25 juta. Untuk sebagian besar sawah, rehabilitasi tidak memungkinkan dari segi ekonomi, dan akan lebih baik jika fungsi lahan dialihkan. Sekitar 10.000 Ha lahan yang menderita kerusakan menengah juga membutuhkan investasi yang signifikan. Riset menyimpulkan bahwa biaya pemulihan dapat mencapai US$65 juta.
Agen-agen harus menyadari bahwa pemulihan mata pencaharian adalah lebih dari sekedar pemulihan aset fisik. Penggantian aset serperti kapal, danau dan tambak telah mendapatkan banyak perhatian. Memberikan dukungan mata pencaharian yang komprehensif untuk pemulihan yang berkelanjutan di setiap komunitas. Pembersihan lahan dan pembuatan kapal yang baru hanya merupakan langkah pertama. Pendekatan mata pencaharian harus merupakan pendorong utama dalam proses pemulihan, tetapi masih terdapat keterbatasan dalam kemampuan untuk memberikan dukungan yang didasari mata pencaharian yang efektif. Dengan gabungan beberapa keahlian yang dibutuhkan, terdapat peluang untuk memulihkan mata pencaharian sejalan dengan latar belakang perubahan sosial dan ekonomi di Aceh dan Nias.
Keadaan ekonomi di Aceh dan Nias sudah mulai menurun, bahkan sebelum bencana tsunami dan gempa bumi. Beberapa tahun
5�Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
sebelum tsunami, telah terjadi perubahan signifikan di bidang tenaga kerja yang kembali ke sektor pertanian dan perikanan karena industri perkotaan dan berbasiskan jasa menurun. Pemulihan mata pencaharian harus dilaksanakan dengan memahami kebutuhan dan tersedianya sumber daya pada saat ini dan di masa mendatang. Dalam tiga sampai lima tahun mendatang akan terjadi perkembangan yang signifikan, yang sebagian besar didorong oleh sektor konstruksi. Namun, jika faktor dasar yang menyebabkan penurunan di bidang ekonomi tiga tahun ke belakang belum ditangani, akan terdapat dampak yang signifikan ketika sumber daya yang dialokasikan untuk rekonstruksi mulai menurun.
PERIKANAN DAN PERTANIAN Industri perikanan (termasuk budidaya ikan) menderita kerugian paling besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya, dengan jumlah kerusakan dan kehilangan yang diperkirakan sekitar US$511 juta. Dua pertiga dari kapal-kapal yang ada menderita kerusakan, hancur, atau hilang, dan lebih dari seperempat dari pelabuhan tidak dapat beroperasi. Persediaan ikan di pasar lokal dan ekspor menurun − terutama dengan tambak udang dimana Aceh merupakan produsen utama. Sebagian besar lahan dan tambak juga mengalami erosi. Tersedianya pelabuhan yang aman adalah prioritas utama untuk sebagian besar pemilik kapal yang berukuran besar. Muara sungai menjadi dangkal, sehingga akses ke daerah daratan menjadi sulit dan berbahaya. Walau sebagian bahan yang terkikis terlepas ke laut, sejumlah erosi terdampar di muara, dengan bahan bangunan dan pepohonan yang tercabut. Sementara sebagian besar muara akan menjadi stabil, intervensi dan pemeliharaan teratur dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi pelayaran yang layak.
Bencana alam menyebabkan kerusakan berat di pantai dan kehidupan laut. Ketinggian air di daerah bakau di beberapa tempat di Nias saat ini meningkat. Kekuatan tsunami merusak daerah batu karang. Bagian Aceh Barat dan Nagan Raya yang tergenang mempengaruhi pertambakan ikan dan infrastruktur perikanan. Di daerah lainnya, muara baru dan daerah pantai yang terbentuk, membuka kesempatan untuk menanam kembali hutan bakau untuk meningkatkan kondisi alam, memperbaiki habitat perikanan, atau sebagai dasar usaha kecil perhutanan.
Lahan pertanian mengalami kerusakan air laut, timbunan, dan kerusakan lainnya. Petani di daerah yang terkena menderita kehilangan tanaman dan hewan dan kehilangan ini akan berlanjut selama jangka panjang dengan sedimen dari air laut yang meningkatkan kondisi basa. Kondisi basa ini secara alami akan menurun di beberapa melalui pengairan. Kerusakan infrastruktur irigasi dan drainase meluas, dan
�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Paya Bakong di Aceh Utara pada awalnya dikenal sebagai “ zona hitam” karena konflik.
“Dahulu, ketika bekerja di ladang, kami akan segera bertiarap apabila terdengar suara senapan. Jika kami sedang
bekerja di sawah, maka kami akan bertiarap di lumpur. Kami bersyukur bahwa itu tidak lagi terjadi. Kami berharap
kondisi ini akan berlanjut sehingga kami dapat bekerja kembali untuk kehidupan keluarga kami tanpa merasa
takut,” kata Ismail, seorang petani dari desa Cot Tufah ayah dari empat anak.
Paya Bakong dikenal sebagai pusat produksi biji cokelat, melinjo, kunyit, dan kedelai. Rambutan dan durian dari
Paya Bakong terkenal manisnya di seluruh Aceh Utara dan daerah sekitarnya.
Berdasarkan penuturan Muhammad Dahlan (36), populasi desa Cot Tufah terdiri dari 60 keluarga atau sekitar
230 orang. Hampir seluruh penduduknya tergantung pada sektor pertanian. “Rata-rata, para penduduk memiliki
ladang biji cokelat, tetapi saya tak ingat berapa. Yang jelas setiap orang memiliki paling sedikit sebidang ladang
biji cokelat,” komentarnya.
Dengan adanya kedamaian, para penduduk desa sekarang mulai bekerja kembali di ladang. Sayang, pada saat
para penduduk desa kembali merasa optimis, harga produk pertanian menurun. “Harga cokelat kering sekarang
hanya Rp.7,000 per kilogram. Sebelumnya Rp. 12,000. Cokelat basah (biji cokelat) hanya Rp. 3,500.” kata Ismail
Selain harga, kenaikan biaya hidup juga menjadi masalah lain. Biaya produksi, seperti membeli pupuk, sekarang
lebih mahal. “Transportasi produk pertanian dari desa sangat mahal. Perjalanan pulang pergi ke kota Matangkuli
dengan ojek sekitar Rp. 30,000,” menurut Dahlan.
Transportasi dari Cot Tufah dan desa-desa lainnya di Paya Bakong memang mahal. Untuk membeli kebutuhan
sehari-hari dan menjual produk pertanian di Matangkuli, mereka menempuh perjalanan 15 kilometer di jalan yang
makin rusak setiap harinya. Ismail dan Dahlan berharap bahwa pemerintah akan memperbaiki jalan secepat
mungkin untuk membantu mereka mengakses pasar.
Pertanian sebagai Mata Pencaharian di Paya BakongKotak 2.1
membutuhkan rehabilitasi dan pembersihan. Bantuan teknis dibutuhkan untur rehabilitasi sistem usaha rakyat kecil, dan tenaga kerja perlu dilatih untuk membantu proses tersebut.
Tsunami juga merusak 28.000 Ha daerah perkebunan yang merupakan perekonomian utama masyarakat Aceh, khususnya minyak kelapa sawit dan perkebunan karet. Perkebunan kopi di daerah pegunungan di Aceh telah terpengaruh karena lebih dari 250.000 Ha dari perkebunan kecil telah ditinggal. Dibutuhkan strategi untuk memulihkan sektor perkebunan
dan harus digabung dengan strategi untuk memulihkan lapangan kerja untuk keluarga di perkotaan yang terkena dampak tsunami, gempa dan konflik.
prOgrAM rEKONSTrUKSI MATA pENCAHArIAN
pemulihan pelabuhan perikanan adalah prioritas utama. Kapal yang dahulu dapat membongkar muatannya di pelabuhan kecil sekarang harus mengirim hasil tangkapan, para awak dan bahan-bahan menggunakan
Sumber: BRR
�1Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
perahu kecil kira-kira satu kilometer dari pantai. Beberapa kapal lainnya mengambangkan hasil tangkapannya ke pantai menggunakan kotak plastik. Semua tempat merapat diharapkan dapat dibangun kembali dalam satu atau dua tahun ke depan.
penggantian kapal kecil yang hilang telah diupaya kan, tetapi kualitas, dan keamanan menjadi masalah utama. Sampai saat ini, sekitar 1.800 perahu telah diganti dan diperbaiki, sementara sekitar 2.350 lainnya sedang dibuat atau telah dijanjikan. Pengadaan tersebut akan memenuhi 80 persen dari total yang dibutuhkan. Beberapa perahu tidak sesuai dalam ukuran, bentuk dan ketahanan. Sebagian besar nelayan tidak dihubungi sebelumnya, dan terkadang mereka yang dihubungi tidak diindahkan. FAO telah melatih para pembuat perahu dan telah memperkenalkan beberapa mo s perahu lokal yang diharapkan memberikan standar konstruksi yang lebih baik, dan tahan lebih lama. Sementara perahu berukuran kecil sebagian besar telah diganti, pemilik, pemimpin dan awak dari kapal yang berukuran lebih besar masih belum kembali bekerja. Beberapa agen berencana untuk membantu dengan konstruksi kapal yang lebih besar, sebagian besar akan memancing
lebih jauh dan mengurangi kebutuhan untuk memancing di daerah pantai, dengan stok ikan yang menurun. Di pantai barat kepulauan Nias, Simeulue dan Banyak, sekitar satu tahun setelah bencana tsunami, nelayan termiskin masih menantikan perahu pengganti untuk sekedar memancing untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dukungan budi daya air terbatas, dan sebagian besar terbatas hanya untuk membersihkan sungai kecil dan beberapa kolam ikan. Sekitar 5.000 Ha atau 25 persen dari kolam sekarang telah kembali beroperasi, walaupun kurang dari 10 persen beroperasi pada tahap sebelum tsunami. Investasi lebih lanjut untuk pemulihan kolam, sungai kecil, dan daerah pembibitan akan lebih penting untuk memastikan keberlanjutan kegiatan ekonomi pantai ini. Di kepulauan pantai barat, operasi budi daya air sebelum tsunami, walaupun terbatas, hampir semuanya rusak total. pemulihan daerah bakau dan sabuk hijau lindung telah dimulai di beberapa tempat, dan membutuhkan investasi lebih lanjut untuk memulihkan kerusakan ekosistem pantai, terutama di pantai selatan yang kerusakannya cukup parah. Perbaikan tambahan telah direncanakan, sehubungan dengan pemulihan
gambar 2.1
1,307
1,045
1,815
4,1674,717
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
Perahu rusak Perahu diganti/diperbaiki
Perahu dibuat
Perahu dijanjikan
Jumlah penyediaan
Source: processed from FAO-Panglima Laut and Konsorsium Aceh Nias Bangkit-Panglima Laut database
Kerusakan/Kehilangan danPenyediaan Perahu
�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
budi daya air, untuk menciptakan zona penyangga antara tambak dan laut. Investasi dalam bidang pemulihan ekosistem pantai yang rusak terganggu oleh perencanaan dan implementasi yang kurang baik. Kerjasama yang erat antara sektor perikanan dan kehutanan sangat penting. ADB mendukung perencanaan pantai, dan mengembangkan lebih banyak lagi daerah bakau dan program rehabilitasi karang dalam investasinya di bidang pemulihan sektor perikanan.
Sebelas ribu hektar (lebih dari 55 persen) dari daerah sawah telah dibersihkan, lebih dari 25 persen telah kembali berproduksi. Namun, 86 persen dari lahan yang direhabilitasi masih membutuhkan drainase, dan rekonstruksi saluran pengairan, dan juga perbaikan jalanan di daerah pertanian. Di Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya lebih dari 70 persen dari lahan sawah belum dibersihkan, dan belum memperoleh benih, peralatan dan pupuk yang dibutuhkan untuk pertanian yang produktif.
Lebih dari 40.000 orang petani telah kembali bertani di musim hujan tahun ini, tetapi
terdapat perbedaan yang signifikan dalam bantuan yang diperoleh setiap daerah. Bantuan yang diberikan untuk daerah di Pantai Timur mencapai 70 persen dari jumlah rumah tangga yang terkena bencana. Namun keadaan di Pantai Barat berbeda, dimana kurang dari 20 persen para petani yang terkena bencana yang menerima bantuan memadai untuk memperoleh pendapatan yang layak dari bertani7. Di Aceh Jaya, UNDP telah membantu produksi 325 hektar area sawah, dan 40 hektar perkebunan jagung dan kacang tanah. Bantuan lebih lanjut akan disalurkan ke 1.500 rumah tangga pertanian selama 6 bulan mendatang. Di Aceh Besar, perkebunan jahe Lampaya dengan 400 produsen sedang dalam proses pemulihan industri tersebut. Para NGO adalah donor terbesar, dan akan terus memberikan masukan yang penting di tahun mendatang. Koordinasi dibutuhkan dari BRR berhubungan dengan lokasi dan jenis bantuan untuk mencegah pengulangan dengan donor lainnya dan program pemerintah, terutama di Pantai Timur.
rekonstruksi perkebunan besar telah dimulai. Melalui ADB, sebuah perkebunan
��Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
minyak kelapa sawit telah mulai dirintis di Nagan Raya dengan 300.000 benih yang siap ditanam di lahan seluas 2000 Ha pertengahan tahun 2006. Di Aceh Besar, perkebunan lainnya telah mulai dirintis dengan benih kelapa yang berumur 3 bulan cukup untuk daerah seluas 1.500 Ha dalam waktu 5 bulan. Di Bireun dan Aceh Besar, 1.845 Ha perkebunan kelapa lama telah dipulihkan untuk meningkatkan jumlah produksi. Di Aceh Selatan, 726 Ha perkebunan pala telah ditanami benih, sementara 1.850 Ha jagung telah ditanam sebagai tanaman tumpang sari di Aceh Besar (350 Ha) dan di Bireun (1.500 Ha).
ISU MATA pENCAHArIAN UNTUK TAHUN MENDATANg
Tekanan untuk memulihkan sektor perikanan dengan cepat telah mengakibatkan tidak memadainya perahu yang digunakan dan kualitas yang rendah. Para pemasok merencanakan pengiriman perahu sebanyak mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin. Hal ini menyebabkan produksi perahu dengan biaya rendah, dan
ukuran yang lebih kecil. Terkadang, jumlah ini dicapai dengan menggunakan pekerja perahu yang tidak terampil. Kurangnya konsultasi dan koordinasi dengan para nelayan setempat, dan konstruksi yang berkualitas rendah mengakibatkan sebagian besar perahu yang dibangun ditinggal begitu saja karena tidak sesuai dangan kondisi setempat. Panglima Laut telah mengembangkan disain perahu standar yang seharusnya digunakan sebagai referensi untuk semua donor yang menyediakan perahu.
Distribusi perahu di berbagai daerah tidak merata, dan didasarkan atas pasokan. Beberapa kabupaten termasuk Aceh Jaya, Aceh Singkil dan Nagan Raya telah menerima atau akan menerima lebih banyak perahu dari yang dibutuhkan, sementara daerah lainnya seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Tamiang belum mendapatkan perhatian yang cukup. Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya dan Pidie – empat daerah terdekat dengan Banda Aceh – yang mengalami kehilangan perahu sebesar 40 persen dari kehilangan total, tetapi hanya
Sumber: Diproses dari hasil lokakarya BRR-FAO-Panglima laut atas kebutuhan dan kemajuan, September 2005
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1,000
Utara Pidie Timur Besar Selatan Jaya Barat Lhokseumawe Tamia ng Bireun Barat Daya Singkil SimeulueKotaBanda Aceh
KotaSabang
NaganRaya
Distribusi perahu vs perahu rusak/hilanggambar 2.2
Perahu rusak Jumlah perahu diganti/diperbaiki
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
memperoleh 75 persen dari jumlah perahu yang dibagikan atau yang telah diperbaiki. Daerah lainnya seperti Bireuen, Lhokseumawe dan Simeulue memiliki kebutuhan yang tinggi, tetapi belum mendapatkan perhatian yang cukup (gambar 2.2). Ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa tingkat penangkapan ikan di pantai saat ini tidak berkelanjutan. Pada saat yang sama terdapat kekayaan sumber daya di perairan yang lebih dalam. Prioritasnya adalah untuk membuat dan melengkapi perahu-perahu yang lebih besar yang dapat menangkap ikan lebih jauh di laut. Pemrosesan ikan dan pabrik es, pembangunan koperasi, pelatihan dan prasarana lain juga perlu lebih ditekankan sehingga masyarakat nelayan dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari hasil tangkapan mereka. Pengelolaan perikanan perlu diperbaiki bersamaan dengan dibentuknya kembali armada untuk mencegah eksploitasi sumber daya perikanan yang berlebihan.
fokus pada perahu menimbulkan kesenjangan-kesenjangan yang besar di tempat lain di sektor perikanan. Yang mungkin lebih buruk lagi adalah tidak diketahuinya seluruh aspek sektor perikanan dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada perikanan dan budi budaya air. Permasalahan tersebut telah mendapatkan perhatian para donor dan instansi pemerintah serupa secara tidak proporsional. Prasarana perikanan, pembentukan kembali rantai pasar, pemulihan layanan penyuluhan, rehabilitasi lingkungan pantai dan prasarana budaya air memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan dapat memberikan hasil akhir yang lebih berkelanjutan.
Layanan penyuluhan perlu diperkokoh untuk memberikan saran kepada para petani tentang cara mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan tanah. Strategi untuk menangani permasalahan keasinan tanah dalam
jangka waktu pendek sampai dengan menengah telah ditetapkan. Para petani yang telah kehilangan tanah mereka memerlukan tanah di tempat lain dan mekanisme untuk pindah lokasi. Sarana pemprosesan pertanian seperti operasi penggilingan padi yang hilang karena tsunami perlu diganti. Para pemilik yang kehilangan aset-aset tersebut menghadapi kesulitan dalam mengakses kredit modal untuk memperoleh penggantian.
Keadilan gender lemah dalam program-program sektor pertanian. Sebelum tsunami, diantara masyarakat pedesaan lebih banyak wanita dibandingkan pria yang bekerja di bidang pertanian karena konflik menyebabkan lebih banyak pria bermigrasi ke bagian-bagian lain dari negara dan lebih tingginya angka kematian pria. Wanita secara tradisi memainkan peranan yang penting dalam pertanian tanaman pangan tetapi tidak memperoleh layanan penyuluhan dan akses kredit yang memadai, dan hanya diberikan kesempatan yang terbatas untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Tingginya angka kematian perempuan akibat tsunami dapat menimbulkan hambatan yang besar untuk pemulihan kegiatan pertanian. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa penyertaan keadilan gender dalam program-program pertanian memerlukan perhatian khusus.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemasaran menghambat rehabilitasi dan pemulihan. Banyak pasar yang melemah akibat konflik yang bertahun-tahun terkena dampak tsunami yang besar. Pemulihan di sektor pemasaran lambat di berbagai bidang. Pemasaran perlu dimasukkan ke dalam keseluruhan strategi untuk rehabilitasi tanah pertanian.
Melejitnya proyek konstruksi dapat membuat tenaga kerja yang diperlukan keluar dari sektor pertanian. Sebagai akibat dari melejitnya jumlah proyek konstruksi, para
�5Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
tenaga kerja akan tergoda untuk pindah ke sektor yang lebih terjamin dan dengan upah konstruksi yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan tenaga kerja selama panen padi dan untuk merehabilitasi program-program tanah pertanian.
pertanian dan perikanan merupakan bagian penting dari perekonomian Aceh dan Nias, sehingga harus diperbarui. Bahkan sebelum bencana, kedua sektor tersebut dicirikan oleh banyaknya petani dan nelayan kecil yang memproduksi terutama untuk konsumsi mereka sendiri atau untuk pasar lokal langsung, dengan pemrosesan dan pengepakan yang dilakukan terutama di luar daerah. Kedua sektor tersebut perlu diperbaharui melalui layanan teknologi, keuangan dan pengembangan usaha yang baru, dan dengan meningkatkan skala produksi. Orang-orang di dalam koperasi mungkin sangat
perlu diorganisir. Dengan memperkokoh kedua sektor ini, mereka dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dari perluasan permintaan daerah akan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain yang harus menyertai melejitnya proyek konstruksi yang akan datang, dan menetapkan dasar untuk memperkokoh perekonomian daerah.
MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA Dampak tsunami terhadap lapangan kerja di Aceh dan Nias tidak separah yang diperkirakan sebelumnya, tetapi telah membawa perubahan-perubahan besar dalam komposisi dan struktur tenaga kerja. Walaupun angka pengangguran melejit pasca bencana, partisipasi tenaga kerja cepat pulih.
CATATAN HARIAN NUSA: Proyek-proyek untuk Memperbaiki Mata Pencaharian Kotak 2.2
Dalam beberapa minggu setelah tsunami, beberapa penduduk di Nusa mulai membuka warung-warung kecil yang
menjual sayuran, penganan dan kopi, tetapi warung-warung ini tidak memenuhi semua kebutuhan mereka dan hanya
tersedia untuk sebagian kecil penduduk. Dengan demikian, dampak skema awal uang-untuk-kerja dan proyek-proyek
lapangan kerja jangka panjang yang dikelola oleh Mercy Corps – LSM utama di tingkat kecamatan – untuk kepentingan
Nusa tidak dapat dipungkiri. Sekitar 70 persen petani yang menerima upah kehilangan segalanya dan banyak yang
lainnya yang kehilangan pekerjaan mereka saat tsunami menghancurkan pabrik perabot di daerah tersebut, sehingga
kebutuhan akan bantuan dari luar menjadi mutlak.
Melalui konsultasi panjang, Mercy Corps menjamin bahwa pada dasarnya setiap keluarga diwakili di dalam salah satu
kelompok pertanian: singkong, cabai, kacang, jahe dan peternakan. Terdapat kekosongan di sini yaitu padi, yang tidak
dapat ditanam karena pintu air utama belum diperbaiki (lihat bagian Air dan Kebersihan). LSM juga menjamin industri
keripik singkong desa – yang membuatnya terkenal di seluruh Aceh sebelum bencana menimpa daerah ini, menyediakan
mesin jahit untuk 28 orang dan membiayai kerja sama pembuatan penganan.
Beberapa penduduk memperoleh bantuan dari sektor swasta; yang paling berhasil adalah Nelly Nurila yang memperoleh
perlengkapan dan pendanaan dari perusahaan tepung pada bulan September untuk membuka toko roti. Dalam waktu
beberapa minggu ia telah mempekerjakan delapan orang yang membuat 600 roti per hari dan mempertimbangkan cara
yang terbaik untuk melakukan ekspansi. Contoh lain prakarsa swasta adalah Mohammed Yassin yang terpilih untuk “me-
mandu” salah satu televisi pertama yang diberikan ke desa ini. Ia segera membuka warung, mengenakan komisi kepada
para pembuat makanan untuk menjual produk-produk mereka, dan membantu sekurang-kurangnya enam keluarga
untuk menambah penghasilan mereka.
Meskipun demikian, penduduk yang bekerja di Banda Aceh berjuang kecuali mereka yang memiliki relasi atau teman
yang memiliki usaha yang berjalan. Banyak petani juga menemukan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sementara
menunggu tanaman tumbuh: banyak yang menanam sayuran tetapi sebagian besar desa bergantung pada pemberian
makanan untuk bertahan hidup sampai dengan akhir tahun. Sepertinya keadaan akan tetap sulit mungkin sampai dengan
tahun .
Sumber: John Aglionby (The Guardian)
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Dua puluh profesi teratas berdasarkan gender di Database Layanan Lapangan Kerja Tabel 2.2
Sumber: Database Layanan Tenaga Kerja NAD/Lapangan Kerja ILO
Status Ketenagakerjaan untuk Penduduk Berusia 10 Tahun ke AtasTabel 2.1
Kelompok usia Bekerja Mencari kerja Siap kerja Tidak termasuk
angkatan kerja
Total
10 – 14 17.255 5.337 4.437 418.209 445.238
15 – 24 243.793 78.847 52.556 452.982 828.178
25 – 34 392.458 49.099 34.281 173.139 648.977
35 – 54 579.355 36,480 32.197 190.178 838.210
55+ 204.860 12.353 12.939 105.638 335.790
Total 1.437.721 182.116 136.410 1.340.146 3.096.393
Sumber: Sensus Penduduk BPS tahun 2005
Partisipasi tenaga kerja pria dewasa telah kembali ke tingkat pra-tsunami, sementara partisipasi wanita dan kaum muda (usia 15-24) mengalami peningkatan yang cukup besar. Banyak wanita dan kaum muda tidak mempunyai pilihan kecuali untuk mencari pekerjaan jenis apa pun untuk bertahan hidup.
Meskipun sumber-sumber tenaga kerja yang belum disalurkan sebelumnya ini dapat memberikan kontribusi untuk mempercepat perkembangan dan pemulihan ekonomi di seluruh daerah, masalah-masalah baru juga akan timbul. Tanpa akses menuju kesempatan-
pria Wanita
Kategori Jumlah Kategori Jumlah
Tanpa pengalaman 3905 Tanpa pengalaman 5572
Tukang bangunan 3175 Penjahit, pembuat pakaian dan pembuat topi 1332
Pengemudi mobil, taksi dan van 2534 Tenaga profesional pengajar pendidikan nonprimer 810
Tukang cat dan tenaga kerja terkait 1746 Penjaga toko, warung dan pasar 532
Tukang kayu dan tukang mebel 1606 Sekretaris administratif dan tenaga kerja terkait 453
Manajer produksi dan operasi 1437 Tenaga profesional perawat dan bidan 331
Tukang batu 1370 Juru masak 327
Penjaga toko, warung dan pasar 1022 Juru ketik kantor lain 324
Sekretaris administratif dan tenaga kerja terkait 983 Tenaga profesional pengajar pendidikan primer 245
Buruh konstruksi bangunan 918 Tukang tenun, tukang rajut dan tenaga kerja terkait 226
Tukang las dan pemadam kebakaran 867 Word-processor dan operator terkait 175
Tukang listrik bangunan dan tukang listrik terkait 787 Tenaga profesional pengajar pendidikan praprimer 148
Juru ketik kantor lain 719 Kasir dan juri ketik tiket 137
Pengemudi truk berat dan lori 695 Sekretaris 122
Montir kendaraan bermotor 670 Tukang roti, tukang kue dan pembuat konfeksi 119
Pandai besi 612 Tenaga profesional pengajar pendidikan sekunder 97
Petugas layanan perlindungan 586 Akuntan 83
Tukang ledeng dan pipa 578 Tenaga profesional pekerja sosial 81
Petugas persediaan 557 Operator penghubung telepon 77
Tukang pelester 546 Operator perlengkapan komputer 68
��Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
kesempatan kerja yang pantas di wilayah-wilayah dengan pertumbuhan yang berkelanjutan, para tenaga kerja wanita baru ini mungkin tidak dapat mengusahakan penghasilan yang cukup untuk menanggung keluarga mereka. Terdapat bukti bahwa kaum muda mungkin meninggalkan sekolah sebelum waktunya, sehingga dapat menghapus kesempatan mereka untuk memperoleh pelatihan dan pendidikan yang penting untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih produktif di kemudian hari dengan tawaran upah lebih baik. Bukti terakhir dari sensus tahun 2005 menunjukkan bahwa lebih dari 17.000 anak berusia 10 sampai dengan 14 tahun bekerja, yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, dan 5.000 lainnya mencari pekerjaan.
Sensus terakhir menunjukkan banyak tenaga kerja yang mencari kerja atau yang siap bekerja, tetapi tidak bekerja. Saat ini, hampir 20 persen tenaga kerja (lebih dari 300.000 orang) secara aktif mencari kerja atau siap kerja. Angka tertinggi dijumpai pada kelompok usia 15-24, yang hampir 25 persennya mencari pekerjaan (tabel 2.1). Kalangan LSM sangat berperan dalam menciptakan lapangan kerja pada tahap awal (Kotak 2.3).
prOgrAM-prOgrAM UNTUK MENINgKATKAN LApANgAN KErJA
Banyak organisasi melaksanakan program-program uang-untuk-kerja di wilayah-wilayah yang terkena dampak segera setelah bencana. Mercy Corps menyediakan lapangan kerja untuk lebih dari 76.000 penduduk di empat kabupaten, dengan partisipasi rata-rata 35 hari. Skema UNDP sampai dengan saat ini telah membantu lebih dari 34.000 keluarga pengungsi di 50 persen desa yang terkena dampak. Kegiatan-kegiatan ini memberikan bantuan yang berharga kepada masyarakat dalam memulihkan lapangan kerja dan merehabilitasi aset publik dan tanah pertanian.
Lebih dari 10.000 pencari kerja dari 46,000 yang mendaftarkan secara sukarela memperoleh pekerjaan dengan jaringan layanan lapangan kerja diatur oleh kantor tenaga kerja pemerintah dan ILO. Sekitar 30 persen pendaftar adalah wanita (tabel 2.2).
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Pelatihan keterampilan kayu di LamlumpuKotak 2.3
Azhar, 17, berasal dari desa Lamlumpu di kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Ia pulang ke rumahnya untuk mem-pelajari pekerjaan konstruksi. Di sebuah bangunan yang terbengkalai ia dan sejumlah pemuda/i desa dapat terlihat membuat daun pintu dan jendela.
“Saya harus bangkit kembali. Kami tidak dapat selalu mengandalkan bantuan orang lain. Mereka tidak akan ada di sini selamanya. Kami harus mengandalkan kekuatan kami sendiri untuk perbaikan hidup,” ungkap Azhar yang telah bekerja sebagai pekerja konstruksi sejak ia berusia 15 tahun. “Saya tidak dapat terlalu bergantung kepada keluarga saya karena kami miskin. Saya harus menyokong diri saya sendiri.”
Sebelum rumah dan desanya tersapu oleh tsunami tahun yang lalu, Azhar tinggal bersama dengan orang tua dan tujuh saudaranya. “Rumah saya dulu di sini,” katanya menunjuk tanah kosong yang dulunya adalah Lamlumpu. Dari kejau-han, yang terlihat hanyalah mesjid dan sampah.
“Setelah tsunami hanya tinggal kami bertiga. Ayah, kakak dan saya sendiri. Ayah saya pindah dengan nenek saya. Kakak saya tinggal di tenda bersama teman-temannya. Saya tetap di sini untuk mengikuti kelas pelatihan untuk men-jadi pekerja konstruksi. Saya diajarkan bagaimana membuat daun pintu, daun jendela dan sejenisnya,” katanya sambil memperhatikan hasil kerjanya.
Ada hal yang lain yang menahannya di sekitar desa. “Semoga ada LSM yang datang untuk mulai membangun rumah-rumah yang dapat saya tunjukkan kepada keluarga saya dan menjadi milik saya juga. Apabila demikian, keluarga kami yang terpencar-pencar dapat berkumpul kembali,” ungkapnya penuh harapan.
HAMBATAN DALAM MENCIpTAKAN LApANgAN KErJA
Melejitnya proyek konstruksi baru saja dimulai, tetapi akan memberikan dampak yang besar terhadap pasar kerja. Pekerjaan konstruksi di Aceh dan Nias akan berada dalam kisaran US$100-150 juta per bulan selama dua tahun ke depan, dibandingkan dengan kurang dari US$10 juta per bulan pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan ini, ILO memperkirakan diperlukannya sekitar 200.000 tenaga kerja terampil (tukang kayu, tukang batu, dll.) dan banyak tenaga kerja tidak terampil. BRR dan Departemen Tenaga Kerja selama lebih dari enam sampai delapan bulan terakhir telah berusaha untuk mengatasi tantangan ini guna menjamin bahwa sebagian besar kebutuhan ini dipenuhi oleh para tenaga kerja dari Aceh dan Nias. Fokus mereka adalah untuk memperbaiki pelatihan keterampilan. Namun demikian, dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan mendesak akan tenaga kerja terampil dan kemunduran waktu yang diperlukan untuk pelatihan yang cukup, serta untuk mencegah inflasi tarif upah yang
Sumber: BRR
tinggi, banyak tenaga kerja yang sangat terampil harus dibawa dari luar daerah. Para tenaga kerja semiterampil dan tidak terampil harus berasal terutama dari wilayah-wilayah yang terkena dampak. Di samping itu, ledakan proyek konstruksi akan menciptakan
��Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
Kotak 2.4
Sebuah usaha penjualan mobil yang sukses di Banda
Aceh terpuruk karena tsunami yang terjadi pada bulan
Desember. Perusahaan yang telah beroperasi selama
tiga tahun tersebut didirikan dengan modal yang berasal
dari tabungan si pemilik dan pinjaman sebesar Rp.50 juta
yang diberikan oleh sebuah bank umum lokal. Pemilik
usaha tersebut memiliki catatan pembayaran kembali
pinjaman yang sangat baik dan menerima tanggapan
awal yang baik untuk aplikasi perpanjangan pinjaman
yang telah ada untuk mengembangkan usahanya.
Setelah terjadinya tsunami, pemilik usaha tersebut
meminta bantuan dari bank untuk membiayai kembali
pinjaman yang telah ada dan untuk ‘mempercepat’
aplikasi perpanjangan untuk merelokasi operasi
pembersihan mobil dan untuk modal kerja. Bank
tersebut menolak keduanya dan meminta agar pinjaman
yang terutang tersebut dibayar penuh. Sementara itu,
pengusaha tersebut memiliki peringkat kredit yang buruk
dan tidak mengetahui harus mendapatkan bantuan dari
siapa. Saat ini ia hanya menjadi supir tanpa prospek
untuk menjalankan kembali perusahaannya.
kebutuhan sekunder yang besar akan barang dan jasa.
Inflasi yang disebabkan oleh tingkat upah perlu dikelola meskipun itu berarti membawa tenaga kerja dari luar Aceh dan Nias. Inflasi upah yang terlalu besar akan mempersulit daerah untuk beralih dari perekonomian yang bergantung pada konstruksi menjadi perekonomian yang kompetitif dalam pasar eksternal di Indonesia dan di luar negeri setelah melejitnya proyek konstruksi. Tarif upah jauh lebih fleksibel untuk naik daripada turun – apabila tarif tersebut menjadi terlalu tinggi sehubungan dengan kebutuhan jangka menegah untuk perkonomian daerah yang kompetitif, akan sangat sulit untuk menurunkannya kembali tanpa menyebabkan pengangguran yang luas. Penting agar tarif upah minimum tidak
dinaikkan sehubungan dengan kenaikan di propinsi-propinsi lain, guna memelihara daya saing Aceh dalam jangka waktu menengah sampai jangka waktu panjang.
Kesempatan untuk pengembangan pemasokan barang yang kompetitif di Aceh dan Nias harus dimanfaatkan. Kebutuhan barang yang semakin meningkat dapat dipasok secara kompetitif dari Aceh dan Nias apabila tercipta iklim usaha yang sehat dan jenis-jenis bantuan yang tepat disediakan bagi para pemasok potensial. Adalah penting untuk memastikan bahwa apabila ledakan proyek konstruksi berhenti dan kebutuhan menurun secara drastis, perusahaan-perusahaan yang ada dan yang baru didirikan di Aceh dan Nias dapat bersaing di pasar-pasar eksternal. Strategi perlu disusun untuk mewujudkan potensi ini.
pErMASALAHAN pEKErJAAN DI TAHUN MENDATANg
Sistem pemantauan pasar tenaga kerja harus dikembangkan agar siap untuk menghadapi ledakan proyek konstruksi yang akan datang dan selama jangka waktu yang lebih panjang. Pengembangan survei tenaga kerja nasional yang ada, update tiga bulanan atas pekerjaan dan lapangan kerja untuk Aceh dan Nias diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan. Hal ini harus dapat memberikan informasi tentang pekerjaan, pendapatan, dll. Badan Pusat Statistik (BPS) dan BRR perlu mengusahakan hal ini bersama dengan mitra-mitra donor lainnya.
perantaraan pasar tenaga kerja yang efektif dan layanan administrasi yang proaktif juga harus dikembangkan untuk memfasilitasi kesesuaian antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Jaringan empat pusat layanan ketenagakerjaan yang ada yang dikelola oleh kantor tenaga kerja
Source:IFC
Tidak ada akses terhadap kredit untuk usaha penjualan mobil yang terkena dampak tsunami
�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Membuat Tukang Becak Kembali ke Jalan Kotak 2.5
Awan gelap melayang di atas kepala dan hujan turun, akan tetapi hal tersebut tidak mencegah becak untuk menunggu penumpang di tengah-tengah Banda Aceh. Mereka mengetahui bahwa mereka adalah sarana yang penting untuk berkeliling kota yang ramai tersebut. Dan di antara mereka terdapat seorang supir veteran bernama Amir yang sekarang kembali bekerja dengan bantuan Komite Penyelamat Internasional (IRC).
Amir mengetahui seluk beluk jalan belakang di Banda Aceh. Ia telah menjadi tukang becak sejak tahun 1980, akan tetapi tsunami telah merengut korban jiwa. Ia menjelaskan: “Saya kehilangan becak dan anak lelaki saya tercinta yang mengendarai becak tersebut pada hari terjadinya tsunami tahun lalu.”
Banyak tukang becak kehilangan orang-orang yang dicintainya serta mata pencahariannya pada tanggal 26 De-sember 2004. Akan tetapi, seiring dengan pembangunan kembali kota dan orang-orang mulai melihat ke depan, para tukang becak juga ingin kembali melakukan pekerjaan mereka dan mendapatkan kembali kemandirian eko-nomi mereka.
Becak adalah sarana transportasi yang populer di Banda Aceh karena minibus sering terjebak dalam kemacetan, sementara taksi terlalu mahal untuk bepergian sehari-hari. Para tukang becak menawarkan jasa yang murah dan berguna bagi masyarakat setempat, dan IRC telah mendukung mereka dengan sejumlah hibah kecil yang merupakan bagian dari Proyek Dampak Cepat mereka, yaitu dengan memberikan pembayaran di muka dan para tukang becak tersebut melunasinya selama 24 bulan. Sekarang Amir dan rekan-rekan seprofesinya dapat melaku-kan kembali pekerjaan mereka sebelumnya dan mulai menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
“Dengan becak baru tersebut, saya dapat bekerja dan memiliki penghasilan yang tetap kembali. Lebih baik dari-pada menunggu bantuan di barak-barak [tempat penampungan sementara]. Saya bersyukur kepada Tuhan karena ada orang yang bersedia menolong saya. Kami semua sangat berterima kasih,” kata Amir.
Sumber: International Rescue Committee (Komite Bantuan Internasional)
�1Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
pemerintah dan ILO dapat diperkuat dengan tambahan petugas penempatan keliling yang dapat membantu para kontraktor merekrut tenaga kerja dengan kualitas yang sesuai. Kegiatan utama dari pusat-pusat ketenagakerjaan ini adalah untuk mendaftar para pencari kerja dan menghubungkan mereka dengan para pemberi kerja yang potensial, berdasarkan database keterampilan yang komprehensif. Jaringan pusat-pusat ketenagakerjaan juga dapat digunakan untuk memulai fungsi-fungsi administrasi tenaga kerja seperti inspeksi tenaga kerja dan perbaikan hubungan ketenagakerjaan yang harmonis.
Untuk meningkatkan dipekerjakannya penduduk Aceh dan Nias, pelatihan keterampilan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan di pasar, dengan fokus khusus pada pelatihan siklus pendek bagi para pekerja yang pasti akan dipekerjakan. BRR, DISNAKERTRANS dan berbagai mitra (ILO, GTZ, MDTF, ADB, IOM, dan banyak LSM) telah melaksanakan program-program pelatihan kejuruan yang perlu diperluas dan dilanjutkan. Pusat koordinasi pelatihan kejuruan harus diatur agar menjamin setting yang standar, pengendalian kualitas, kekonsistenan dalam kurikulum, dan sertifikasi kompetensi portabel.
Kebutuhan-kebutuhan khusus harus diperhatikan. Meskipun kebanyakan pelatihan dilakukan melalui pusat-pusat pelatihan keliling, pelatihan khusus juga harus diberikan kepada mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam kelas-kelas di luar rumah, misalnya para orang tua tunggal dan penderita cacat. Kebutuhan khusus kaum muda yang meninggalkan sekolah harus dimasukkan ke dalam keseluruhan rencana pelatihan dan kesempatan bagi kaum wanita dalam bidang teknik dan kejuruan.
USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM)
Banyak UKM kehilangan aset mereka saat terjadi tsunami dan sekarang menghadapi kesulitan dalam menghidupkan kembali kegiatan usaha mereka. Sementara beberapa produk finansial dilaporkan tersedia untuk pendirian UKM baru, dukungan finansial untuk UKM yang terpuruk karena dampak tsunami sangat kurang. Meskipun telah ada beberapa contoh mekanisme pemulihan UKM yang berhasil, bank-bank lokal, meskipun meningkatkan penawaran opsi restrukturisasi utang untuk UKM yang terkena dampak tsunami, pada umumnya enggan memberikan kredit baru untuk UKM yang tidak dapat memberikan agunan. Akan tetapi, bagi sebagian besar usaha yang terkena dampak tsunami, ketersediaan pinjaman tanpa agunan atau skema substitusi agunan utang sering kali merupakan satu-satunya kesempatan bagi usaha-usaha yang terkena dampak tsunami untuk kembali pulih.
Sumber: Bank Indonesia, kalkulasi staff World Bank
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
%
Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05
gambar 2.3Kecendrungan dalam pembagian kredit mikro oleh bank komersial lokal
% kredit mikro atas jumlah volume pinjaman
volume nominal atas kredit micro, Des 2004=100
volume riil (disesuaikan inflasi) kredit micro, Des 2004=100
�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Bantuan yang cepat dibutuhkan untuk membantu UKM yang terpuruk karena tsunami untuk kembali berusaha. Saat ini banyak pengusaha pra-tsunami, dibatasi dengan tidak adanya modal kerja dan hancurnya barang modal serta risiko utang bank yang dimiliki sebelumnya, tidak dapat meminta bantuan dari siapa pun. Dalam banyak kasus, hal tersebut menurunkan semangat untuk berwirausaha (kotak 2.5).
Akses ke modal juga merupakan masalah besar untuk banyak pengusaha kecil di masyarakat pengungsi. LSM seperti Oxfam dan Mercy Corps saat ini memainkan peran yang penting dalam hal ini dengan memberikan jalur ke sumber pendanaan. LSM tersebut juga berencana untuk meluncurkan penerbitan jaminan sampai sebesar 85-100 persen dari jumlah kredit yang diberikan oleh bank-bank umum. Mercy Corps dan ILO bekerja sama dalam memberikan dana jaminan kredit kepada Bank Pembangunan Daerah (BPR, atau bank lokal) yang terpilih di NAD, yang akan mengurangi risiko BPR dalam memberikan pinjaman kepada UKM dan dengan demikian meningkatkan produktivitas pemberian pinjaman.
pemberian pembiayaan mikro perlu secara hati-hati menyeimbangkan prinsip-prinsip usaha yang sehat dan aspek kemanusiaan. Lembaga-lembaga bantuan dan LSM harus secara hati-hati merancang gabungan elemen-elemen pinjaman dan hibah yang tepat dalam memberikan bantuan keuangan pada tingkat desa agar tidak mengganggu pasar untuk jasa-jasa keuangan. Penting untuk diperhatikan bahwa pasokan dana untuk proyek dan program-program pembiayaan mikro tidak boleh melampaui persyaratan atau permintaan.
KEMAJUAN DALAM MENgHIDUpKAN KEMBALI UKM
fokus utama dalam menghidupkan kembali sektor UKM adalah untuk membantu perusahaan-perusahaan kecil kembali beroperasi dengan segera. Bantuan ini
terfokus pada penggantian aset-aset yang hilang, pemberian hibah kas kecil, dan pemberian modal awal wirausaha dan pelatihan manajemen usaha. Berbagai kegiatan sedang dilaksanakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut (kotak 2.6). Selain program-program LSM, International Finance Corporation (IFC) telah membentuk Fasilitas UKM di Aceh (PEP-Aceh) untuk mengidentifikasi dan menghilangkan hambatan-hambatan untuk pengembangan UKM. UNDP telah membantu dalam pendirian kembali lebih dari 7.000 usaha kecil dan diharapkan telah membantu sekitar 20.000 usaha kecil pada sampai bulan Juni 2006. ILO telah mendukung pembentukan jaringan kewirausahaan dan pelatih manajemen usaha, yang menyampaikan pelatihan ‘Memulai Usaha Anda’ (Start Your Business - SYB) di seluruh provinsi dengan lebih dari 600 orang menyelesaikan pelatihan tersebut. Selain itu, lebih dari 2000 orang mendapatkan pelatihan teknis dan kejuruan.
Beberapa program dengan sumber daya yang besar telah diluncurkan untuk mendukung pengembangan pembiayaan mikro untuk Aceh dan Nias. Banyak organisasi donor telah meluncurkan program-program pembiayaan mikro, termasuk ADB, GTZ, ILO, IFC, the German Savings Bank, Save the Children, Mercy Corps dan World Vision. BRR, bekerja sama dengan Dinas Koperasi, telah meluncurkan Forum Pembiayaan Mikro Aceh yang dirancang untuk mendirikan BQ (Koperasi Keuangan Syariah) di semua kecamatan di Aceh.
Kegiatan-kegiatan lain menyediakan bantuan teknis dan keterkaitan dengan pasar. Swisscontact telah memprakarsai proyek “Pemulihan Usaha” dengan sasaran menciptakan 5.000-10.000 pekerjaan, dan the Asia Foundation telah membantu pemerintah Aceh untuk memperkenalkan model satu atap untuk membantu mengurangi biaya dan waktu tunggu bagi para pemilik usaha yang kehilangan izin usaha untuk mendapatkannya kembali
��Bab 2 Pemulihan Mata Pencaharian
atau untuk mengajukan permohonan pinjaman kepada bank.
Bank umum lokal telah menilai kondisi klien-klien UKM mereka yang terkena dampak bencana. Untuk pinjaman yang masih terutang untuk usaha yang dianggap berpotensi, bank sering menawarkan jangka waktu pembayaran kembali yang diperpanjang, masa tenggang untuk pelunasan pinjaman, dan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Dalam beberapa kasus, mereka juga hanya meminta pelunasan pokoknya saja. Akan tetapi, untuk UKM yang kehilangan sebagian besar asetnya, bahkan persyaratan pelunasan yang fleksibel tersebut juga tidak mungkin dapat dipenuhi. Meskipun pemberian kredit mikro sejak bulan Januari 2005 telah meningkat dalam arti nominal, secara riil hal tersebut masih tetap stagnan (gambar 2.3).
MENDUKUNg USAHA KECIL DAN MENENgAH pADA TAHUN MENDATANg
presiden Bill Clinton, Utusan Khusus pBB untuk pemulihan Tsunami, telah menekankan pentingnya meningkatkan mata mencaharian melalui UKM pada tahun-tahun mendatang. Agar UKM dapat pulih, mereka harus meningkatkan akses mereka terhadap jasa-jasa finansial. Akan tetapi, bank-bank yang ada di daerah memiliki jangkauan yang terbatas dan cenderung mengabaikan pengajuan pinjaman dari pengusaha kecil, apalagi mereka yang tidak dapat memberikan garansi atau agunan. Ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas lembaga keuangan dan promosi produk-produk pengganti agunan seperti sewa guna usaha mikro dan pembentukan dana jaminan.
Selain itu juga perlu untuk memberikan jasa-jasa nonkeuangan kepada UKM dalam bentuk jasa pengembangan usaha
dan secara umum mengembangkan suatu pasar di mana perusahaan-perusahaan dapat memperoleh berbagai macam jasa yang akan membantu pengusaha kecil untuk memulai dan mengembangkan usaha mereka.
rehabilitasi prasarana penting berhubungan dengan pemulihan UKM. Sebagian besar bantuan berfokus pada pembukaan akses terhadap pasar kredit bagi usaha-usaha kecil. Akan tetapi, para donor dan pemerintah harus mengidentifikasi cara-cara untuk memulihkan rantai distribusi dan pemasaran, yang mencakup rehabilitasi prasarana penting.
Asuransi dan mekanisme pembiayaan risiko lainnya harus dikembangkan untuk melindungi UKM. Sebagian besar UKM tidak dapat menutup kerugian mereka karena kontrak asuransi standar tidak memiliki pasal yang mengatur kerugian akibat bencana alam. Mengingat risiko bencana di Aceh dan Nias, ketersediaan asuransi yang terjangkau terhadap kerugian atau kerusakan aset adalah sangat penting untuk menanggulangi kejutan-kejutan yang negatif. Apabila premi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi swasta dianggap terlalu mahal untuk operasional UKM, pemerintah mungkin perlu berpartisipasi dalam beberapa pengaturan pembagian risiko secara khusus yang akan mengurangi biaya asuransi untuk usaha kecil menengah tersebut.
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
�5
4 IOM, “Settlement and Livelihood Needs and Aspirations of Disaster-Affected and Local Communities in NAD”, May 2005.
5 BAPPENAS dan International Donor Community, “Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment – Technical Annex,” Januari 2004.
6 FAO, “Indonesia Post-Tsunami Consolidated Assessment”, 22 April, 2005 (URL: http://www.fao.org/ag.tsunami/assessment/indonesia-assess.html,
7 Data Dinas Pertanian dari 8 daerah yang terkena di Aceh-Sumatra Workshop 5-7 Desember 2005.
CATATAN
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Bagian ISETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
MEMULIHKAN LAYANAN MASYARAKATBab �
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Bencana yang terjadi memiliki dampak yang merusak terhadap prasarana publik dan penyediaan layanan masyarakat: • Setidaknya 40.000 siswa dan 2.500 guru
meninggal dunia; lebih dari 2.000 sekolah dilaporkan rusak atau hancur.
• Enam rumah sakit, 41 puskesmas, 59 pustu, 44 posyandu dan 240 polinder rusak berat atau hancur. Di Nias, 2 rumah sakit dan 14 puskesmas rusak.
• Instalasi pengelolaan air besar, jaringan pipa, sumur dan sarana pengelolaan lumpur satu-satunya di Banda Aceh hancur.
• Sistem irigasi tingkat daerah menjadi tidak efektif karena timbunan tanah dan sumur-sumur dangkal terkontaminasi dan tergenang air garam.
• Sebagian besar jaringan jalan hancur dan banyak jembatan pantai tersapu air, terutama di sepanjang pantai barat Aceh
• Empat belas dari 19 pelabuhan laut dan delapan dari 10 bandar udara rusak.
Tindakan segera membantu memulihkan layanan penting bagi sebagian besar penduduk.• Sekolah-sekolah dibuka kembali satu bulan
setelah tsunami, terkadang dengan sarana sekolah darurat sehingga pendidikan dapat diberikan kepada hampir semua siswa, termasuk mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian.
• Layanan kesehatan segera dipulihkan di sarana-sarana kesehatan yang masih dapat dioperasikan melalui penyediaan staf, perlengkapan dan pasokan medis. Rumah sakit-rumah sakit lapangan temporer didirikan di wilayah-wilayah yang sangat membutuhkan.
• Layanan air dan kebersihan darurat diberikan kepada lebih dari setengah juta penduduk yang mengungsi oleh karena tsunami.
• Pemerintah Indonesia mengadakan perbaikan darurat terhadap jalan-jalan dan
membangun sistem jembatan temporer yang ekstensif.
Namun demikian, layanan publik belum sepenuhnya pulih. Rekonstruksi terhambat oleh kurangnya bahan dan tenaga, dan tertahan oleh sistem transportasi yang rusak, khususnya di pantai barat. Beratnya tugas dan banyaknya instansi yang terlibat juga memberikan beban yang terlalu besar terhadap kapasitas manajemen baik pemerintah daerah juga instansi-instansi internasional.
PENDIDIKAN
gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember menyebabkan 2.500 guru dan puluhan ribu siswa meninggal dunia. Selain itu, banyak anak mengalami, dan terus mengalami, stres akibat trauma yang mempengaruhi semua aspek kehidupan sehari-hari mereka dan membuat mereka tidak mampu berkonsentrasi di sekolah. Lebih dari 2.000 sekolah dilaporkan rusak atau hancur, tetapi angka ini mencakup sekolah-sekolah yang rusak atau hancur selama konflik atau akibat umur bangunan yang sudah tua.
Keberhasilan awal dalam mengembalikan anak-anak ke sekolah menunjukkan pencapaian yang sangat baik. Program pembersihan sekolah diselenggarakan dan materi pendidikan, meliputi tenda-tenda sekolah, buku-buku pelajaran, ‘Sekolah dalam Kotak’, materi belajar/mengajar dan kotak permainan yang diadakan secara lokal, diberikan kepada hampir satu juta anak di kabupaten-kabupaten yang terkena dampak tsunami8. Upaya bersama ini membantu sehingga sekolah-sekolah dapat dibuka kembali pada tanggal 26 Januari, satu bulan setelah gempa bumi dan tsunami, sebagai
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
sekolah darurat bagi hampir semua siswa, termasuk mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian. Selain guru-guru pemerintah, sejumlah organisasi merekrut, mempekerjakan dan mengirimkan guru-guru kontrak ke kabupaten-kabupaten yang terkena dampak tsunami, termasuk 1.100 guru oleh UNICEF.
para guru juga menerima pelatihan khusus tentang bagaimana melaksanakan kegiatan psikososial yang terstruktur dengan para siswa mereka, dan beberapa organisasi menetapkan wilayah-wilayah untuk bermain yang aman, di mana anak-anak dapat mengatasi rasa takut mereka, melepaskan stres mereka, dan kembali menjadi anak-anak. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat penting tidak hanya pasca tsunami tetapi setiap saat, terutama karena sejumlah gempa bumi yang kuat terus menggoncang daerah tersebut dan secara psikologis sepanjang tahun mempengaruhi mereka yang selamat.
Namun demikian, banyak prasarana sekolah berada dalam kondisi yang buruk sebelum tsunami dan gempa bumi, dan walaupun angka partisipasi sekolah tinggi untuk anak-anak, terdapat kesenjangan yang besar antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Angka partisipasi sekolah di Nias khususnya rendah.
Konflik juga bertanggung jawab atas kerusakan sekolah yang berat, sementara tingkat investasi publik yang rendah dan pemeliharaan yang buruk juga menjadi masalah. Bahkan sebelum bencana, sektor pendidikan di Aceh dan Nias dicirikan oleh bangunan-bangunan sekolah berkualitas buruk, kurangnya guru yang cukup terlatih, kinerja siswa yang buruk dalam ujian-ujian nasional, pengelolaan yang buruk, dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Survei UNOPS menyimpulkan bahwa sebagian besar kerusakan dan keruntuhan bangunan-bangunan sekolah disebabkan oleh metoda konstruksi yang tidak tepat, teknik yang buruk dan penggunaan bahan berkualitas buruk9. Sudah terdapat bukti anekdotal bahwa konstruksi bangunan sekolah yang baru tidak memenuhi standar pemerintah yang diwajibkan.
Tantangan besar rekonstruksi adalah membangun sarana dan layanan pendidikan yang memadai bagi seluruh masyarakat Aceh dan Nias. Perencanaan yang cermat akan diperlukan untuk menjamin kemerataan dan kelangsungan sistem. Perencanaan perlu mempertimbangkan penargetan, aksesibilitas bagi yang cacat, dan pengelolaan risiko bencana. Terdapat kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik tentang standar-standar konstruksi yang diwajibkan, dan pengawasan ketat tahap konstruksi. Selain itu, sarana-sarana yang dibangun melalui program pemulihan perlu mempertimbangkan kapasitas pihak-pihak berwenang daerah untuk pemeliharaan sarana pendidikan.
gambar 3.1
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bireue n
Penyebab kerusakan sekolah diKabupaten Bireuen
Tsunami Konflik OtherBangunan
Tua Gampabumi
�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
data pack pendidikan, yang tersedia secara on-line dan dibuat oleh UNIMS dan UNICEF bekerja sama dengan kantor Departemen Pendidikan Nasional. BRR bekerja sama dengan UNIMS juga menetapkan mekanisme untuk mengembangkan data base EMIS. Data yang dikumpulkan oleh pihak-pihak lain, termasuk Departemen Pendidikan Nasional dan UNICEF juga diverifikasi oleh BRR untuk melengkapi data base mereka. Pembangunan pusat operasi BRR akan mempermudah perbaikan informasi manajemen sektoral dan koordinasi kegiatan pendidikan oleh BRR tahun 2006 sewaktu rencana pengalihan data base UNIMS ke pusat terjadi pada paruh pertama tahun 2006.
Sejak Juli sampai dengan Desember, upaya-upaya difokuskan pada rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah-sekolah. Untuk sementara, dan karena tenda-tenda sekolah tidak dapat dipakai lagi, diperkenalkan ruang belajar temporer untuk mengisi kekosongan sampai rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah-sekolah permanen selesai. IOM telah membangun 101 sekolah temporer atas nama UNICEF di berbagai lokasi di Aceh untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan sarana sekolah yang lebih layak. Selain itu, pemerintah Cina telah menyediakan 52 sekolah temporer dan membantu konstruksinya. Dua belas di antaranya terdapat di Banda Aceh, 30 di Simeuleu dan sisanya di pantai barat. Departemen Agama menangani sektor pendidikan Islam di mana sekitar 19 persen sekolah agama rusak atau hancur. Di antara sejumlah donor dan LSM, AIPRD membantu rekonstruksi delapan madrasah dan satu dayah dan berencana untuk membantu 15 lagi atau lebih. AIPRD juga membantu memperkuat pengelolaan pendidikan, bantuan dan pelatihan guru dan program-program pengelolaan sekolah.
prOgrAM-prOgrAM UNTUK MEMULIHKAN DAN MEMpErBAIKI pENDIDIKAN
prioritas Brr adalah untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan sejumlah besar instansi yang aktif di wilayah-wilayah yang terkena dampak, sementara pada saat yang sama memelihara dialog erat dengan Departemen pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Pada awal Februari 2005, kelompok kerja sektor pendidikan dibentuk di Banda Aceh, sebagai forum koordinasi bagi instansi-instansi pemerintah dan mitra mereka, untuk menghindari tumpang tindih dan untuk memberikan respon yang efektif. Sampai saat ini, pertemuan-pertemuan reguler – yang diadakan oleh kantor Departemen Pendidikan Nasional dan difasilitasi oleh UNICEF – terus menjadi forum yang efektif untuk koordinasi dan pembagian informasi kepada seluruh stakeholder, dan Departemen Agama. Forum serupa juga telah dibentuk di Nias.
pengelolaan informasi penting untuk koordinasi. Kebutuhan akan informasi yang terpercaya dipenuhi dengan mengembangkan
gambar 3.2
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
133
Bilateral, 106
53
136 Multilateral
Komposisi pembiayaan atas sektorpendidikan ( US$ Juta)
LSM Pemerintah Indonesia
�1Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
CATATAN HARIAN NUSA: Pendidikan Kotak 3.1
Nusa sangat beruntung karena baik sekolah dasar negeri (SD) dan pesantren – yang diselenggarakan oleh organ-isasi Islam ortodoks Hidayatullah dari Kalimantan – berada di dataran tinggi dan dengan demikian selamat dari gempa bumi dan tsunami.
Tiga dari sembilan staf pengajar, termasuk kepala sekolah, dan dua dari 115 siswa SD meninggal dunia. Dalam beberapa minggu, departemen pendidikan mengganti guru-guru yang meninggal dunia dengan staf dari sekolah-sekolah sekitar yang hancur tetapi diperlukan beberapa minggu sampai akhirnya datang surat penunjukan resmi kepala sekolah yang baru sehingga sekolah sedikit tidak terkendali sampai dengan bulan Maret.
Bantuan lain yang dijanjikan oleh pemerintah, seperti perbaikan perabotan yang rusak oleh ratusan pengungsi yang mencari tempat berlindung di sekolah selama beberapa minggu, tidak pernah terealisasi atau memakan waktu berbulan-bulan sampai pada akhirnya datang. Salah satu kelas terpaksa pindah ke gudang selama bebera-pa bulan pertama karena ruangan mereka digunakan sebagai tempat penyimpanan bantuan darurat. Penerimaan siswa pada awalnya membengkak dari 115 menjadi 147 setelah menerima siswa-siswa yang tidak memiliki tempat lain untuk belajar, tetapi kemudian berkurang sedikit demi sedikit dengan dibangunnya kembali sarana-sarana sekolah di tempat-tempat lain.
Secara keseluruhan, kepala sekolah yang baru mengakui kepada saya bahwa SD yang bersangkutan sekarang lebih baik daripada sebelum tsunami. Ini adalah berkat berbagai sumbangan, mulai dari UNICEF yang memberikan berkerat-kerat pasokan, juga organisasi-organisasi dalam negeri seperti Dompet Dhuafa yang memberikan bahan bangunan dan melakukan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler selama beberapa bulan, sampai kepada berbagai bingkisan seperti tas sekolah Mickey Mouse dari Amerika Serikat. Pada bulan Mei, sekolah kembali mengenakan biaya. Hal yang sama dijumpai di Hidayatullah. Guru-guru tambahan datang dari kepulauan sekitar dan menangani siswa tambahan dengan baik. Staf pengajar membuka taman kanak-kanak dan pada bulan April 2005 hadir 45 siswa.
Penduduk Nusa yang bersekolah di sekolah menengah atas di Lhoknga mengalami gangguan yang lebih besar terhadap pendidikan mereka. Sebagian besar sarana yang tidak hancur mengalami kerusakan berat dan para siswa melaporkan penjarahan perlengkapan. Mereka juga harus menghadapi kehilangan banyak teman dan guru mereka – dalam beberapa kasus, lebih dari 50 persen – yang memperparah trauma psikologis mereka yang sudah cukup serius.
rekonstruksi sedang berlangsung atau diselesaikan di 335 sekolah dan pekerjaan persiapan dilakukan di 400 lokasi lain. Di Nias, 10 sekolah telah direkonstruksi dan hampir 400 sekolah (51 persen dari total jumlah sekolah yang rusak) telah ditangani oleh berbagai donor. Sejak bulan Desember 2005, sekitar 800 lokasi sekolah (70 persen di antaranya terkena dampak tsunami dan gempa bumi paling parah di NAD dan Nias) telah ditangani untuk rekonstruksi atau rehabilitasi oleh berbagai organisasi. Sejauh ini, bantuan donor terfokus pada sekolah-
sekolah yang mengalami kerusakan paling parah tetapi tetap terdapat kesenjangan yang besar untuk sekolah-sekolah yang tidak terlalu rusak tetapi masih memerlukan perbaikan.
Sejak bulan Juli 2005, pasokan buku-buku pelajaran dan materi pembelajaran yang lain terus mengalir masuk. Data BRR menunjukkan bahwa lebih dari 1,7 juta buku pelajaran dibagikan dari target sebesar 1,16 juta. Tambahan sebanyak 557.000 buku pelajaran akan dipasok pada awal tahun 2006 dengan bantuan ADB.
Sumber: John Aglionby (The Guardian)
�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan guru dan siswa dengan variasi yang lebih luas dengan bantuan dari Save the Children, UNICEf dan lain-lain. Pelatihan meliputi: pelatihan oleh para pelatih untuk guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tentang metodologi pengajaran yang baru dan Pengelolaan Berbasis Sekolah; tutorial untuk lebih dari 18.000 siswa sekolah menengah pertama untuk mempersiapkan diri menjelang ujian nasional; pelatihan kejuruan untuk kaum muda dan pelatihan setara untuk siswa-siswa yang keluar dari sekolah; lokakarya keterampilan hidup untuk kaum muda; pelatihan kepemimpinan untuk pramuka; pelatihan psikososial untuk para guru; pelatihan kejuruan untuk kaum dewasa (pria dan wanita) meliputi pembuatan balok dan pembangunan rumah; kegiatan-kegiatan melepaskan stres untuk anak-anak dan kaum muda; dan karyawisata untuk staf pendidik dengan tema praktik-praktik yang baik dalam Pengelolaan Berbasis Sekolah di propinsi-propinsi lain. Selain itu, pusat-pusat pembelajaran masyarakat didirikan di sejumlah kecamatan yang terkena dampak tsunami, memberikan program-program nonformal untuk pendidikan usia dewasa.
Sejumlah beasiswa disediakan bagi siswa-siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu dan yang tinggal di barak agar dapat mengakses pendidikan. Beasiswa juga disediakan bagi mahasiswa/i yang akan mengambil program pendek di institusi politeknik daerah tetangga. Pada bulan Oktober pemerintah meluncurkan Dana Operasi Sekolah dengan memberikan block grant kepada semua sekolah di negara ini.
Angka partisipasi sekolah lebih rendah pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun 2004. Di Aceh 5 persen dan di Nias 11 persen anak-anak berusia 7-12 tahun saat ini tidak bersekolah. Untuk penduduk berusia 13-15 tahun, angka tidak bersekolah masing-masing
sebesar 13 persen dan 29 persen10. Terdapat kekhawatiran bahwa anak-anak dapat dipaksa bekerja untuk membantu memulihkan mata pencaharian; 4 persen anak-anak berusia 10-14 tahun bekerja dan sisanya 1,2 persen mencari pekerjaan.
pErMASALAHAN pENDIDIKAN DI TAHUN YANg AKAN DATANg
Beberapa donor memilih untuk merekonstruksi sekolah-sekolah dasar karena bantuannya lebih tampak dan tahan lama, namun demikian masalahnya adalah adanya tumpang tindih. Rekonstruksi sekolah-sekolah dasar sangat terkonsentrasi di wilayah-wilayah perkotaan seperti Banda Aceh dan Meulaboh serta sepanjang jalan utama di wilayah-wilayah pedesaan, sementara kebutuhan-kebutuhan penting tetap tidak terpenuhi di tingkat sekolah-sekolah menengah
0%
20%
40%
60%
80%
100%
7-12 th 13-15 th 16-18 th 19-24 th
gambar 3.3Partisipasi sekolah sebelum dansesudah bencana
Aceh: Sebelum
Nias : Sebelum
Aceh: Setelah
Nias : Setelah
Sumber: Susenas 2004, BRR Nias dan SPAN 2005.
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
pertama dan sekolah menengah atas, khususnya di wilayah-wilayah pedesaan yang kurang dapat diakses, termasuk Nias. Rapat-rapat pengkajian ‘Proyek cepat’ BRR semakin sering digunakan sebagai forum koordinasi. Sejauh ini, upaya-upaya tersebut telah mengarah kepada redistribusi tugas rekonstruksi sekolah oleh berbagai instansi.
Terdapat berbagai standar rekonstruksi sekolah di Aceh dan Nias. BRR, didukung oleh UNOPS, mengusulkan persyaratan minimum yang akan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia di semua proyek konstruksi sekolah. Standar ini juga akan mencakup faktor-faktor aksesibilitas. Lokakarya tentang standar pembangunan direncanakan untuk awal tahun 2006.
Sekolah-sekolah temporer perlu terus memainkan peranan penting dalam strategi peralihan. Karena keluarga masih berpindah-pindah mencari lingkungan tempat tinggal yang lebih baik, populasi anak-anak usia sekolah masih berubah-ubah. Mobilitas demografis dipantau dalam konteks sekolah-sekolah temporer sebelum sekolah-sekolah permanen direkonstruksi.
Koordinasi, walaupun mebaik, perlu lebih diperketat. Saat ini terdapat lebih dari 60 instansi yang menyatakan bergerak di sektor pendidikan Aceh. Banyak dari organisasi-organisasi ini ‘memiliki dana tunai berlimpah’ dan bersemangat untuk memulai kegiatan-kegiatan individu mereka dengan kebutuhan dan insentif
SIMEULUE
ACEH BARAT
ACEH UTARABIREUENPIDIE
ACEH BESAR
BANDA ACEH (KOTA)
ACEH JAYA
ACEH SINGKIL
ACEH TENGGARA
NAGAN RAYA
ACEH BARAT DAYA
ACEH SELATAN
ACEH TENGAH
GAYO LUES
LHOKSUMAWE (KOTA)
ACEH TAMIANG
ACEH TIMURBENER MERIAH
LANGSA (KOTA)
SABANG (KOTA)
NIAS SELATAN
NIAS
Sumber: SPAN 2005
Diatas 9694 to 9692 to 9490 to 92
370
Rekonstruksi sekolah dan pastisipasi sekolah dasarpeta 3.1
Rasio pertisipasi sekolah dasar (&)
Dibawah 90
Status rekonstruksi bangunan sekolah permananSumber: Departemen Pendidikan
Jumlah sekolah rusak dan hancurJumlah bangunan sekolah permanan yang dibangun kembalidan sedang dibangun
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
terbatas untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah atau dengan pelaku-pelaku lain. Selain itu, kurangnya arahan yang jelas dari pihak-pihak berwenang yang representatif dari berbagai instansi pemerintah menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman.
Kemacetan fisik perlu diatasi. Dalam kegiatan proyeksi, BRR menunjukkan bahwa rekonstruksi fisik berbagai sektor (termasuk rekonstruksi sekolah) akan mencapai puncaknya pada semester kedua tahun 2006. Sejumlah tantangan telah teridentifikasi: kurangnya bahan bangunan (terutama kayu), naiknya harga bahan bangunan (yang akan mempengaruhi target yang telah ditetapkan oleh berbagai donor), dan langkanya pekerja terampil. BRR, dengan bantuan subkelompok kerja atas standar konstruksi, akan berbagi informasi tentang harga satuan konstruksi untuk mengusulkan harga yang paling efisien.
penekanan yang lebih besar pada penyediaan pendidikan berkualitas akan menandai upaya-upaya rehabilitasi. Karena banyak guru hanya pernah menjalani sedikit atau tidak pernah menjalani pelatihan, pelatihan selama layanan dan pelatihan pralayanan perlu ditingkatkan. Untuk para guru di dalam sistem, pelatihan yang penting harus didasarkan atas prinsip perbaikan yang berkelanjutan dan pengawasan periodik serta penilaian untuk memastikan bahwa pengajaran mata-mata pelajaran kurikulum disertai oleh metodologi pengajaran terbaru yang tepat.
Sistem pengelolaan pendidikan perlu diperkuat. Selain memperbaiki sarana fisik dan kualitas layanan pendidikan, fokus diperlukan untuk meningkatkan kapasitas untuk mengelola sistem pendidikan, guna menjamin pemeliharaan dan kelangsungan layanan berkualitas. BRR akan mendukung revitalisasi sistem klaster sekolah bagi Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama dan integrasi sekolah-
sekolah pada klaster yang sama jika layak. Baik Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama telah memahami perlunya bekerja secara lebih terkoordinasi. Untuk itu, rencana strategis bersama akan dikembangkan lebih awal pada tahun 2006 untuk menjamin koordinasi yang lebih baik dan penggunaan sumber-sumber daya terbatas secara lebih efektif.
penandatanganan perjanjian damai baru-baru ini antara gAM dan pemerintah Indonesia akan memperluas upaya-upaya rehabilitasi sampai ke wilayah-wilayah yang terkena dampak serius konflik. Saat ini, sebagian besar organisasi memfokuskan bantuan mereka pada wilayah-wilayah yang terkena dampak tsunami. Padahal jumlah sekolah yang secara langsung atau tidak langsung rusak (misalnya karena kurangnya pemeliharaan) selama konflik di wilayah-wilayah tertentu cukup besar. Di Bireun, misalnya, 75 persen dari 239 sekolah yang tercatat rusak di kecamatan ini, adalah karena terbakar selama konflik atau rusak karena umur yang tua atau kurang pemeliharaan. Perjanjian damai memberikan keamanan yang lebih baik di wilayah tersebut, yang mungkin mengundang masyarakat untuk tinggal dan meningkatkan permintaan sarana sekolah.
KESEHATAN
gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember menyebabkan kehancuran yang luas di sektor kesehatan. gempa bumi dan tsunami merusak atau menghancurkan enam rumah sakit, 41 puskesmas, 59 pustu, 44 posyandu dan 240 polindes. Tujuh belas dokter, tiga dokter gigi, 49 bidan, 30 perawat, dua tenaga farmasi dan 104 staf pembantu meninggal dunia. Selain itu, 489 staf kesehatan masih dilaporkan hilang oleh
�5Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
kantor kesehatan propinsi pada bulan April. Di Nias, gempa bumi tanggal 28 Maret merusak rumah sakit-rumah sakit dan menghancurkan 14 puskesmas. Di Simeulue, apotek-apotek hancur dan 25 dari 47 sarana kesehatan hancur atau tidak dapat dipakai lagi.
Bencana-bencana tersebut menyebabkan cedera fisik yang luas dan ratusan ribu penduduk trauma, sehingga meningkatkan permintaan atas sistem kesehatan yang hancur. Mengungsinya hampir setengah juta penduduk dengan kondisi kualitas perumahan, air dan kebersihan yang buruk memperparah trauma kejiwaan dan meningkatkan kemungkinan mewabahnya penyakit menular. Kekurangan pasokan makanan dan lapangan pekerjaan yang luas juga meningkatkan risiko kekurangan gizi.
respon langsung lokal dan internasional terhadap kesehatan adalah cepat dan banyak. Layanan kesehatan segera dipulihkan di sarana-sarana kesehatan yang masih dapat beroperasi melalui penyediaan staf, perlengkapan dan pasokan medis. Rumah sakit-rumah sakit lapangan temporer didirikan di wilayah-wilayah yang sangat membutuhkan. Beberapa sumber daya disediakan dalam jumlah lebih dari cukup. Pada akhir bulan Januari, angka hunian tempat tidur di rumah sakit-rumah sakit lapangan hanya sebesar 40-50 persen sementara 350 dokter dan 500 perawat telah dipekerjakan oleh LSM, menunjukan adanya kelebihan masing-masing 150 dan 200 orang. Meskipun terdapat kelebihan pasokan dan kesenjangan dalam penyediaan layanan, upaya-upaya bantuan umumnya terkoordinasi dengan baik dan berhasil mencegah penyebaran penyakit menular dan kelaparan.
Sarana-sarana kesehatan masyarakat sebelum tsunami dalam kondisi terabaikan. Rekonstruksi tidak dapat hanya bertujuan
untuk menggantikan apa yang ada. Tingkat investasi publik yang rendah, pemeliharaan yang buruk dan penggunaan sumber daya yang tidak efisien menunjukkan bahwa layanan-layanan kesehatan pra tsunami tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan penduduk dan kualitas layanan-layanan tersebut umumnya buruk. Cakupan program-program kesehatan masyarakat yang penting seperti imunisasi anak adalah rendah. Penduduk pedesaan memiliki akses lebih rendah kepada layanan-layanan kesehatan ibu.
Hilangnya staf administratif dan kesehatan yang berpengalaman meningkatkan kebutuhan akan peningkatan kapasitas lebih lanjut di semua tingkat sistem kesehatan. Masalah-masalah ini diperuncing oleh konflik selama berpuluh-puluh tahun, yang menambah rasa takut dan mengecilkan hati para staf untuk bekerja di wilayah-wilayah tertentu. Sewaktu perhatian tertuju pada pembangunan kembali
gambar 3.4
Sumber: Susenas 2004
0%
20%
40%
60%
80%
100%
PelayananKesehatan
FP user
Pelayanan kesehatan di Aceh sebelum gempa bumi dan tsunami
Kota Desa
ImunisasiPolio
ImunisasiCampak
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
sistem kesehatan, tantangannya adalah untuk menyediakan layanan kesehatan dengan kualitas lebih baik secara berkelanjutan, sementara pada waktu yang bersamaan berhati-hati agar tidak melakukan pembangunan yang berlebihan dan menciptakan beban terhadap Pemerintah di masa mendatang dalam hal pemeliharaan dan staf. Rekonstruksi perlu memperhitungkan bantuan yang diperlukan oleh sektor swasta – sebelum tsunami, lebih dari seperlima layanan-layanan kuratif di wilayah-wilayah perkotaan dan sepersepuluh di wilayah-wilayah pedesaan menerima layanan dari sektor swasta.
Kondisi yang menyebabkan meningkatnya angka penularan penyakit masih berlanjut. Sekitar 67.500 individu masih tinggal di tenda-tenda dan rentan terhadap penyakit menular (dan tekanan jiwa), terutama selama musim hujan.
prOgrAM-prOgrAM UNTUK MEMULIHKAN DAN MEMpErBAIKI LAYANAN KESEHATAN
Sumber daya yang tersedia bagi sektor kesehatan melebihi apa yang diperlukan untuk membangun kembali layanan-layanan menjadi seperti semula. LSM-LSM dan proyek-proyek donor lain mungkin melebihi 50 persen dana sektor yang diperlukan untuk rekonstruksi. Pada tahun 2005, badan-badan PBB menghabiskan US$44 juta dari US$56 juta yang dijanjikan untuk sektor kesehatan, untuk membangun kembali dan melengkapi prasarana kesehatan, mengembangkan kapasitas, menyokong kampanye-kampanye kesehatan masyarakat, menyediakan layanan dan bantuan natura seperti kendaraan (22 ambulans, 46 mobil dan 450 motor) dan peralatan pendingin.
LSM telah memenuhi secara luas kebu-tuhan-kebutuhan sektor kesehatan di se-bagian besar wilayah namun tampak be-berapa kesenjangan. Lebih dari 35 LSM dan
organisasi internasional bergerak di sektor ke-sehatan. Bagan menunjukkan wilayah-wilayah kegiatan dan lokasi-lokasi mereka. Program-program yang komprehensif yang sedang dikembangkan dengan dukungan ADB ber-tujuan mengurangi ketidakmerataan dan me-letakkan kesenjangan sebagai sasaran.
rekonstruksi dan rehabilitasi sedang berlangsung di sebagian besar rumah sakit, dengan bantuan donor dan LSM. Di rumah sakit rujukan terbaik Aceh, Zainoel Abidin, proses rehabilitasi meliputi pekerjaan-pekerjaan penting seperti membangun kembali dan melengkapi unit gawat darurat dengan AIPRD yang dibuka pada tanggal 8 Desember 2005. AIPRD juga menggantikan gudang farmasi. KfW telah merombak poliklinik, ruang operasi dan menyediakan perlengkapan, sementara GTZ telah membantu pengembangan kapasitas dan sistem. Palang Merah Turki telah merehabilitasi bangsal anak-anak. Rencana induk telah dipersiapkan untuk rumah sakit tersebut.
48
244
97 Multilateral
60 Bilateral
gamabar 3.5Komposisi pembiayaan atassektor kesehatan (US$ Juta)
Pemerintah Indonesia
LSM
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
Sekitar 70 persen rumah sakit, puskesmas dan puskesmas pembantu yang rusak atau hancur sedang direnovasi sementara yang 30 persen telah selesai direnovasi. Perkembangan lebih cepat dicapai di Banda Aceh dan Aceh Besar di mana kerusakan jaringan transportasi tidak terlalu buruk. Rekonstruksi di Aceh Jaya dan Nias lebih lambat. Di beberapa wilayah, LSM-LSM yang terlibat dalam konstruksi sarana kesehatan juga terlibat dalam sektor-sektor lain dan hal ini dapat memperlambat perkembangan rekonstruksi karena prioritas tertinggi diberikan kepada perumahan. Untuk Nias, hal ini sebagian disebabkan oleh lebih sedikitnya jumlah lembaga yang terlibat.
Empat puluh dua pos kesehatan satelit telah dibangun (37 oleh IOM) untuk melayani masyarakat pengungsi dan semuanya beroperasi. Pada awalnya direncanakan 14 pos tambahan, tetapi dianggap tidak perlu mengingat jumlah penduduk atau ketersediaan
akses ke sarana-sarana alternatif memadai. Islamic Relief telah membangun empat klinik satelit lain dan MEDCO telah membangun satu klinik. Beberapa LSM juga menyediakan klinik keliling ke lokasi-lokasi pengungsian, yaitu World Vision, MSF (Perancis dan Belgia), AMI France, Yayasan Sosial KREASI, dan Union Aid Abroad. Beberapa pos satelit yang beroperasi terbukti populer bagi masyarakat non pengungsi yang terkadang melewati puskesmas dan pustu yang ada untuk memperoleh layanan. Banyak staf yang pada awalnya direkrut untuk bekerja di sarana-sarana ini meninggalkan pekerjaannya karena tidak dibayarkan gajinya; BRR saat ini melakukan pembayaran gaji.
Jumlah organisasi per kabupatengambar 3.6
0 5 10 15 20 25
Aceh JayaAceh Besar
PidieKota Banda Aceh
Aceh BaratAceh Tengah
Aceh UtaraBireuen
SimeulueAceh Barat Daya
Aceh SelatanAceh Singkil
Aceh TamiangAceh Tenggara
Aceh TimurBener Meriah
Gayo LuesKota Langsa
Kota LhoksumaweKota SabangNagan Raya
Sumber: WHO Banda Aceh, October 2005
Pelayanan jasa kesehatan
Kesehatan ibu dan anak
Penyakit menular
Kesahatan mental
Penyediaan medis
Nutrisi
Rehabilitasi dan rekonstruksi
Pelatihan
Air/sanitasi
gambar 3.7
Sumber: BRR dan UNIMS, December 2005
0 5 10 15 20
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Jaya
Nias & Nias S
Aceh Barat
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Simeulue
Nagan Raya
Aceh Timur
Lhokseumawe
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Sabang
Aceh Tamiang
Langsa
Aceh Barat Daya
DiselesaikanSedang dikerjakanBelum dimulai
Status Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Rumah Sakit, Puskesmas dan Pustu
yang rusak dan hancur
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Dinas-Dinas Kesehatan Kabupaten dan layanan-layanan pendukung lain telah dibantu dengan berbagai cara. BRR, WHO, UNICEF, AIPRD, dan SCF terus mendukung Proses Perencanaan Strategis Propinsi untuk tahun 2005-2009. Prosesnya melibatkan partisipasi Dinas-Dinas Kesehatan Kabupaten dan BAPPEDA dalam kegiatan-kegiatan lokakarya terkait. Diantisipasikan bahwa Rencana akan difinalisasi untuk pelaksanaan tahun 2006. Sistem pengamatan penyakit darurat diciptakan oleh WHO bekerja sama dengan Dinas Kesehatan untuk memberikan laporan mingguan tentang insiden 9 penyakit. Pengamatan penyakit rutin juga ditingkatkan. Pelatihan pengembangan dan pengelolaan kapasitas diberikan kepada semua kabupaten di Aceh oleh WHO, UNFPA dan Save the Children, dan donor-donor serta LSM-LSM lain. UNICEF memberikan peralatan pendingin (lemari es, lemari pembeku) kepada empat puluh dua dinas kesehatan kabupaten (21 di Aceh dan 21 di Sumatra Utara) untuk meningkatkan layanan imunisasi. Save the Children Fund, dalam kolaborasi dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan JHPIEGO, telah merevitalisasi 9 lokasi
pelatihan klinis di Banda Aceh dan tiga lokasi di Aceh Besar. WHO telah membantu empat sekolah pelatihan – kesehatan lingkungan dan gizi, gigi, perawat dan kebidanan) di Banda Aceh, sekolah perawat di Meulaboh dan juga telah memberikan dana kepada JHPIEGO sebesar US$1 juta untuk membantu Poltekkes dan sekolah kebidanan Muhamadiyah. International Aid telah mendirikan Pusat Layanan Peralatan medis, yang dibuka pada tanggal 15 November di Kota Aceh, untuk memelihara dan memberikan bantuan peralatan medis kepada propinsi Aceh dan sekitarnya.
Kampanye-kampanye khusus telah dilakukan untuk memberikan perlindungan kesehatan yang mendasar. Sekitar 225.000 kelambu yang telah disemprot insektisida didistribusikan oleh berbagai LSM, WHO dan UNICEF. Berbagai instansi terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengendalian dan pencegahan vektor seperti Mentor, World Vision, MSF Belgium dan Save the Children. Hampir 4 juta anak berumur enam bulan sampai dengan 59 bulan menerima Vitamin A. Pada bulan Maret, UNICEF dan WHO membantu para petugas kesehatan
CATATAN HARIAN NUSA: KesehatanKotak 3.2
Krisis, krisis apa? Itulah keseluruhan kesan kondisi kesehatan di Nusa sepanjang tahun. Dalam tahap darurat awal, desa menerima lebih banyak kunjungan dari tim-tim medis luar negeri daripada kebutuhan kondisi kesehatan mer-eka: dokter-dokter dari Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Cina adalah di antaranya yang memeriksa kesehatan para penduduk desa. Penyakit yang relatif ringan seperti diare, kulit gatal, infeksi saluran pernafasan dan gigitan nyamuk menjadi masalah utama. Kasusnya adalah terdapat terlalu banyak petugas medis sementara hal yang perlu ditangani sangat sedikit.
Delegasi dari Turki yang berjumlah besar mendirikan rumah sakit lapangan dengan staf dan peralatan lengkap di kecamatan pada bulan Februari. Dari sinilah tim-tim berkeliling mengunjungi desa setiap minggunya selama sekurang-kurangnya enam minggu tetapi tidak dilaporkan adanya penyakit yang serius atau mewabahnya penya-kit. Pada akhir bulan Maret, pemerintah membuka klinik di Nusa sebagai bagian dari program yang lebih besar. Dijalankan oleh dokter-dokter yang baru lulus, klinik tersebut juga mempekerjakan perawat, bidan dan petugas kesehatan lingkungan. Pada awalnya terdapat sekitar 15 pasien per hari tetapi angka ini menurun drastis seir-ing berjalannya tahun. Pada bulan Agustus, tanda Palang Merah/Bulan Sabit Merah nampak di desa menjelaskan bagaimana memelihara standar kesehatan dasar.
Alasan yang signifikan untuk pemeliharaan standar kesehatan yang baik adalah keberlanjutan distribusi bahan pangan dasar, terutama oleh Care International tetapi juga oleh kelompok-kelompok lain dan sedikit oleh pemer-intah. Banyak penduduk desa mengatakan bahwa tanpa bantuan ini, yang terus berlanjut sepanjang tahun, gam-baran kesehatan akan menjadi sangat berbeda.
Sumber: John Aglionby (The Guardian)
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
untuk memberikan imunisasi campak kepada 1.113.494 anak berumur di bawah 15 tahun. Hari imunisasi polio nasional pada tanggal 30 Agustus berhasil memberikan imunisasi kepada 4.853.297 anak berumur kurang dari lima tahun. Namun demikian, meskipun jangkauan imunisasi mencapai lebih dari 98 persen, angka di tiap kabupaten tetap di bawah 90 persen (Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Kota Lhoksemauwe), dan ancaman penyakit yang dapat diimunisasi tidak dapat diabaikan (terdeteksi tiga kasus polio – di Aceh Utara, Aceh Timur dan Lhokseumawe).
Tsunami memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan wanita dan permasalahan-permasalahan terkait. Wanita, terutama wanita mengandung, kaum muda dan anak-anak yang tinggal di tenda-tenda dan barak-barak rentan. Prioritas telah diberikan kepada wanita mengandung di puskesmas-puskesmas dan pelatihan diberikan kepada kabupaten, puskesmas dan posyandu oleh instansi-instansi termasuk UNFPA, UNICEF, MSF Belgia, dan Save the Children untuk menjamin perawatan prakelahiran dan kelahiran yang aman. UNFPA dan UNICEF khususnya terlihat aktif. Lebih dari 200.000 peralatan kesehatan pribadi untuk wanita telah dibagikan dan peralatan perawatan darurat untuk kehamilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar 500.000 selama jangka waktu enam bulan. UNICEF dan UNFPA telah membagikan masing-masing 2000 dan 500 peralatan kebidanan, dalam kolaborasi dengan Dinas Kesehatan dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Media elektronik (Radio Republik Indonesia, radio Suara Aceh, radio Suara Muhammadyah, TVRI dan harian Serambi Indonesia) responsif dalam mendukung pesan-pesan tentang kesehatan reproduksi, gender dan kesehatan kejiwaan. Kegiatan-kegiatan juga dilakukan di kamp-kamp dan barak-barak untuk menyentuh para petugas dan penduduk tentang permasalahan gender, eksploitasi dan kekerasan gender. Untuk mendukung lebih lanjut layanan-
layanan kesehatan reproduktif dan layanan-layanan terkait lainnya, UNICEF merencanakan untuk membangun 250 pusat-pusat kesehatan, gizi dan pendidikan awal terpadu di tingkat masyarakat, 100 di antaranya akan dibangun pada tahun 2006. Pusat kesehatan dan pendidikan terpadu, dengan Polindes dan bidan setempat menyediakan kombinasi yang baik dari layanan kesehatan ibu dan anak di tingkat masyarakat dan dapat berfungsi sebagai alat untuk program-program kesehatan dan program-program pengembangan masyarakat lainnya seperti program-program pengembangan masa kanak-kanak awal dan program-program peningkatan kesehatan.
Banyak korban bencana masih mengalami trauma, dan berbagai program sedang dilaksanakan untuk membantu mereka. Sensus menunjukkan bahwa 1,7 persen penduduk di Aceh dan 2,7 persen penduduk di Nias mengalami masalah kejiwaan akibat dari tsunami dan gempa bumi. WHO memfasilitasi pelaksanaan program-program bantuan psikologis bagi mereka yang selamat dan bagi masyarakat secara keseluruhan melalui koordinasi instansi-instansi yang mengusahakan kesehatan kejiwaan. WHO melakukan koordinasi ini untuk mendukung kegiatan-kegiatan pengembangan dan kegiatan-kegiatan terkait lainnya dari Dinas Kesehatan untuk program Layanan Kesehatan Kejiwaan Berbasis Masyarakat yang baru dikembangkan dan sedang difinalisasi oleh Departemen Kesehatan. Banyak LSM telah menyediakan program-program psikososial termasuk WHO, IRC-Cardi, LDS, MSF, IOM, IMC, Palang Merah Bulan Sabit Merah, CARE, UNFPA, UNICEF dan LSM-LSM lokal serta organisasi-organisasi keagamaan. Bantuan awal diberikan di tenda-tenda dan kamp-kamp bagi mereka yang selamat dan kemudian dilanjutkan ke tingkat masyarakat yang lebih luas. Program-program memiliki kualitas yang beragam dan menimbulkan beberapa permasalahan budaya pada beberapa kasus.
�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
pErMASALAHAN KESEHATAN DI TAHUN MENDATANg
Tingkat sumber daya yang tersedia untuk rekonstruksi sektor kesehatan dapat melampaui kapasitas manajemen dan pelaksanaan Dinas-dinas kesehatan tingkat propinsi dan kabupaten. Sementara merupakan hal positif bahwa begitu banyak sumber daya (terutama LSM) tersedia untuk pemulihan, situasi menuntut perencanaan dan koordinasi yang cermat. Koordinasi berbagai pelaku merupakan tantangan bagi BRR tetapi instansi-instansi harus bekerja bersama untuk memperlancar pemberian prasarana dan layanan kesehatan, mengidentifikasi kesenjangan dan mencari donor dan LSM untuk merespon kebutuhan-kebutuhan yang teridentifikasi. Terdapat kebutuhan untuk menindaklanjuti LSM-LSM yang tidak dikenal oleh pihak berwenang terkait dan memastikan dibentuknya jaringan-jaringan dan dibagikannya informasi terkait.
rekonstruksi sektor kesehatan memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Pemisahan antara layanan-layanan berbasis masyarakat dan layanan-layanan rumah sakit saat ini tidak mendukung pengembangan yang rasional dari sistem kesehatan Aceh, dan tidak memperhitungkan peran sektor swasta dalam menyediakan layanan-layanan kesehatan dan reintegrasi wilayah-wilayah GAM. Struktur, peran dan fungsi sistem pengelolaan kesehatan secara keseluruhan saat ini memerlukan penguatan apabila menginginkan rekonstruksi sektor kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka waktu panjang. Visi semacam itu sulit untuk dicapai karena struktur pemerintah daerah tidak memungkinkan peran koordinasi yang kuat dari Dinas kesehatan propinsi. Pemisahan antara perencanaan dan pelayanan rumah sakit dan kapasitas manajerial kantor-kantor kesehatan kabupaten yang baru mulai berkembang setelah desentralisasi ke tingkat Kabupaten, menjadi kewalahan oleh karena tingkat bantuan internasional.
Menyembuhkan Luka Kotak 3.3
Tim dari IMC telah membantu Yusuf yang berumur 12 tahun, yang kedua saudaranya dan beberapa sepupunya meninggal dunia dalam peristiwa tsunami. Sejak bencana tersebut, Yusuf mengalami stres pasca trauma. Selama beberapa bulan setelah tsunami dia hampir tidak pernah berbicara, dan mengalami jantung berdebar dan ter-kadang kehilangan kesadaran.
Dengan menyediakan waktu bersama psikolog klinis dan obat penenang dan anti depresi dosis kecil membantu mengendalikan gejala penyakit dan sekarang ia berbicara jauh lebih banyak dan telah kembali ke sekolah dekat rumahnya di Lamno.
“Lamno mengalami dampak tsunami yang sangat buruk,” kata Dr. Asare. “Sebagian besar penduduk mengalami beragam masalah kejiwaan, terutama masalah stres pasca trauma, depresi dan reaksi duka yang terlambat. Ban-yak dari mereka belum menerima bantuan apa pun. “Melalui sesi-sesi pendidikan masyarakat yang teratur, kami membantu mereka mendiagnosa dan menangani penyakit-penyakit ini sehingga mereka mengetahui gejala yang perlu diperhatikan dan bagaimana mencari pertolongan.”
Bantuan psikologis datang dalam berbagai bentuk, tergantung pada apa yang masyarakat rasakan perlu. Bantuan tersebut dapat berupa pembukaan usaha seperti di Gle Jong, konsultasi dan layanan-layanan bantuan masyarakat seperti di Lamno atau penyelenggaraan perlombaan olah raga dan perencanaan upacara-upacara berkabung. “Pendekatan kami adalah untuk bertanya kepada masyarakat apa yang mereka inginkan untuk membantu mereka terus maju, dan kemudian bekerja bersama mereka untuk melaksanakannya. Dengan demikian, kami mengikuti etos Aceh ‘gotong-royong’ [bekerja bersama],” kata Dr. Mohanraj, seorang psikiater IMC.
Sumber: International Medical Corps
�1Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
Sementara banyak instansi terlibat dalam rekonstruksi sarana dan pemberian layanan, secara komparatif hanya sedikit yang berkonsentrasi mengembangkan kapasitas kabupaten, dinas kesehatan propinsi dan pengelolaan rumah sakit. Pembentukan kembali tenaga kerja kesehatan, pengembangan kapasitasnya baik dalam hal pengelolaan dan pemberian layanan dengan kualitas lebih baik, dan pengembangan rencana yang efektif untuk pengalihan layanan dari LSM-LSM ke lembaga-lembaga daerah merupakan masalah-masalah yang berlangsung terus-menerus. Pengembangan rencana strategis untuk Dinas Kesehatan merupakan langkah pertama yang diperlukan, tetapi hal tersebut tidak cukup. Layanan-layanan kesehatan berbasis masyarakat dan layanan-layanan rumah sakit harus dikoordinasikan lebih cermat di tingkat propinsi dan beberapa permasalahan struktural yang lebih sulit perlu diatasi (misalnya rincian tugas, jenjang karir, dan penggunaan kontrak untuk layanan-layanan tertentu). Sementara hasil jangka pendek telah dicapai melalui kampanye-kampanye khusus, termasuk peningkatan lingkup imunisasi, terdapat kebutuhan untuk memastikan bahwa layanan-layanan rutin ditingkatkan. Hal ini memerlukan dukungan dari pemerintahan propinsi.
Tidak terdapat perencanaan yang memadai untuk pemeliharaan dan kelangsungan dari apa yang dibangun. Banyak anggaran LSM tidak memperhitungkan biaya-biaya yang berulang, namun kebanyakan upaya rekonstruksi menuntut lebih banyak staf, perlengkapan dan biaya pelaksanaan. Kerangka pengeluaran jangka menengah yang memperhitungkan biaya investasi modal yang berulang dan mengeksplorasi berbagai pilihan untuk membiayai sektor kesehatan perlu dikembangkan.
Kurang berfungsinya sistem-sistem informasi menghalangi penilaian yang jelas tentang instansi apa yang menyediakan
layanan apa ke berbagai masyarakat berbeda. Sektor kesehatan perlu menciptakan basis informasi yang konsisten, yang digunakan untuk merencanakan dan memantau layanan, termasuk sistem informasi rutin, survei berkala, sistem pengamatan berkala (termasuk sistem pengamatan gizi). Penting bagi BRR untuk menggunakan sumber daya yang ada untuk pemnatauan dan evaluasi daripada membangun duplikasi sistem, dan memastikan bahwa informasi juga tersedia bagi yang memberikan data.
Layanan-layanan kesehatan perlu diperluas sampai di luar wilayah-wilayah yang terkena dampak tsunami. Sektor kesehatan harus tanggap terhadap kebutuhan penduduk yang terkena dampak tsunami sementara juga memberikan panduan yang jelas dan benar tentang lingkup layanan yang dapat ditawarkan kepada seluruh warga Aceh dan Nias. Proses damai seharusnya membantu perluasan lebih banyak layanan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terhalang karena konflik. Intervensi gizi saat ini dapat diperluas agar mencapai penduduk non pengungsi. Layanan-layanan lain mungkin juga perlu dibuat lebih mudah diakses bagi masyarakat yang tidak secara langsung terkena dampak tsunami, terutama apabila penduduk memiliki indikator kesehatan yang lebih rendah.
risiko tetap adanya wabah penyakit menular. Pergerakan penduduk yang besar, termasuk keluarga-keluarga pengungsi, pegawai militer, pasukan GAM yang kembali dan para pekerja bantuan internasional berpotensi meningkatkan risiko MDR-TB, penularan HIV dan AIDS, Terdapat kebutuhan akan sistem-sistem pengamatan yang efektif dan program-program yang aktif terhadap penyakit-penyakit menular. Sehubungan dengan penularan HIV, terdapat kebutuhan untuk meningkatkan praktik-praktik aman, seperti misalnya semprotan dan transfusi darah. Tantangan yang lain adalah
�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
adanya influenza avian dan kebutuhan akan pendekatan multi sektor untuk mengatasinya.
AIR DAN SANITASI gempa bumi dan tsunami menyebabkan kerusakan yang parah terhadap jaringan air dan sanitasi yang terbatas. Kerusakan meliputi instalasi pengolahan, tanker air dan truk hampa udara, jaringan pipa, dan sumur. Sarana pengolahan lumpur satu-satunya di Banda Aceh hancur. Saluran air daerah menjadi tidak dapat digunakan, rusak karena timbunan tanah yang disebabkan oleh tsunami. Banyak sumur dan lapisan tanah yang dapat menahan atau menyalurkan air di wilayah-wilayah pantai menjadi terkontaminasi dan asin; tidak diketahui kapan mereka akan stabil atau tidak terkontaminasi lagi. Kerusakan terbesar dialami oleh keluarga-keluarga individu dengan lebih dari 150.000 rumah hancur atau rusak parah sehingga mereka kehilangan pasokan air dan sarana kebersihan.
Sumber daya manusia dan kemampuan untuk merespon yang terkena dampak kerusakan. Dua puluh delapan staf Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) meninggal dunia, banyak di antaranya adalah kepala bidang. Hilangnya kapasitas pemerintah daerah dan PDAM menghambat pemulihan jaringan-jaringan yang lebih besar secara cepat. Namun demikian, pemerintah, LSM, donor dan masyarakat daerah bereaksi cepat untuk memberikan layanan-layanan dasar. Respon mereka terfokus pada penyediaan layanan air dan kebersihan darurat bagi lebih dari setengah juta orang yang pada awalnya mengungsi oleh karena tsunami. Kebutuhan air dan kebersihan dasar saat ini ditangani secara besar-besaran di semua wilayah yang terkena dampak, termasuk kebutuhan mereka yang tinggal di tenda-tenda dan barak-barak. Tidak adanya penyakit yang dibawa oleh
air dan feses menunjukkan keberhasilan upaya-upaya ini. Namun demikian, beberapa pekerjaan awal, terutama untuk tempat tinggal sementara (TLC), dirancang untuk sementara, dan saat ini perlu diperbarui.
prasarana air dan kebersihan di seluruh propinsi berada dalam kondisi buruk sebelum tsunami. Konflik selama bertahun-tahun membatasi investasi di jaringan-jaringan perkotaan, dan mengurangi akses ke layanan-layanan di wilayah-wilayah pedesaan di Aceh. PDAM untuk Banda Aceh diperkirakan memiliki kurang dari 30 persen jangkauan layanan. Dari keseluruhan propinsi, hanya 9 persen penduduk yang memiliki saluran air pipa. Sebagian besar perlengkapan terbengkalai. Perusahan Utilitas tersebut terbebani utang, dan kapasitas kelembagaan rendah. Para penduduk kota di dalam jangkauan PDAM masih mengandalkan para penjual swasta dan sumur-sumur dangkal untuk air minum. Pemeliharaan sanitasi di Aceh dilakukan di lokasi, terutama dengan menggunakan septic tank atau lubang buangan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Tantangan utama rekonstruksi tidak hanya untuk membangun kembali seperti sebelumnya, tetapi untuk membangun kembali sarana-sarana yang cukup memenuhi kebutuhan penduduk dan untuk mengembangkan sistem-sistem yang mendukung operasi berkelanjutan yang efisien.
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
Badan-badan pemberi bantuan dan LSM-LSM masih menyediakan layanan-layanan air dan kebersihan dasar kepada para pengungsi yang tinggal di tenda-tenda dan barak-barak atau perumahan temporer lainnya. Fokus saat ini adalah untuk memindahkan para pengungsi ini ke tempat tinggal sementara (TLC). Ada juga kebutuhan untuk membangun lebih banyak TLC dan meningkatkan layanan. Pendekatan “payung” penyediaan layanan saat ini sedang dikoordinasikan. Dimana, satu instansi bertanggung jawab atas semua layanan (air, sanitasi, saluran air, limbah padat, dll.) di TLC yang ditunjuk.
prOgrAM-prOgrAM UNTUK MEMULIHKAN DAN MEMpErBAIKI LAYANAN AIr DAN KEBErSIHAN
Tidak semua kebutuhan akan terpenuhi dengan pendanaan yang tersedia. Pendanaan yang tersedia dari LSM-LSM dan donor-donor untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan air dan kebersihan di Aceh
dan Nias diperkirakan mencapai US$213 juta. Sebagian besar dana berasal dari LSM-LSM dan instansi-instansi internal. Perkiraan penilaian kerusakan dan kerugian adalah sebesar US$64 juta, atau US$77 juta apabila disesuaikan dengan inflasi. Hal tersebut menunjukkan saldo sektor sebesar US$137 juta, dan US$131 juta untuk kebutuhan-kebutuhan dasar. Namun demikian, ‘kelebihan’ ini dikalkulasikan berdasarkan biaya pembangunan kembali sistem air pipa terdahulu yang secara keseluruhan tidak memadai, dan layanan air dan sanitasi rumah tangga di lokasi yang tidak dirancang dengan baik dan yang tidak berkelanjutan. Mengembangkan distribusi air dan saluran pembuangan dan prasarana tingkat rumah tangga yang memadai untuk kebutuhan saat ini dan masa mendatang akan memerlukan lebih banyak dana daripada biaya penggantian aset-aset sebelumnya. Kebutuhan bahkan mungkin lebih besar apabila layanan program yang bersifat ad hoc dan terdesentralisasi seperti sekarang ini tetap ada dan permasalahan kurangnya koordinasi, perencanaan strategis, dan kapasitas teknis tidak ditangani.
Beberapa program untuk mengembalikan dan meningkatkan pelayanan yang direncanakan atau sudah beroperasi:
• rehabilitasi perawatan instalasi air minum. Pemerintah Swiss membiayai rehabilitasi instalasi utama perawatan air Lambaro sementara UNICEF dan GTZ membiayai pekerjaan di Siron 1 dan Siron 2, keduanya menyediakan air ke Banda Aceh dan Aceh Besar. UNICEF berencana untuk memperbaiki 20 instalasi perawatan air lain di Aceh. Palang Merah Spanyol telah memperbaiki dan meningkatkan kapasitas masukan dari instalasi perawatan di Meulaboh.
• rancangan dan rekonstruksi jaringan pipa air Banda Aceh. Jaringan penyediaan air primer dan sekunder untuk Banda Aceh
18
108
52 Multilateral
31 Bilateral
gambar 3.8
Pemerintah Indonesia
LSM
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
Komposisi Pembiayaan atas Sektor air dan sanitasi (US$ Juta)
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
sedang dalam rehabilitasi dalam 10 bulan mendatang dengan dukungan dari JICS sebesar US$5 juta. Jaringan 177 km akan mengikuti jalur yang telah ada, serta akan meliputi pipa-pipa, katup, meter air dan pipa penegak (standpipes). Jaringan baru sedang dirancang untuk menyediakan 90 persen dari perkiraan 279,000 jumlah penduduk Banda Aceh (2009) melalui saluran ke rumah-rumah.
• persediaan Air di pedesaan. ADB telah mengalokasikan US$27 juta untuk merehabilitasi sarana penyediaan dan sanitasi air masyarakat, dan pembangunan sarana baru berdasarkan permintaan masyarakat, ditambah dengan peningkatan kapasitas serta pelatihan staf kebersihan air, sanitasi, hygiene dan kesehatan di tingkat propinsi, kabupaten dan desa. Mereka juga menyediakan program kebersihan dan sanitasi bagi masyarakat.
• rehabilitasi instalasi perawatan tangki tinja Banda Aceh. Perbaikan dan peningkatan dari instalasi perawatan tinja yang telah ada
direncanakan akan selesai pada pertengahan bulan Desember (dibiayai oleh JICS/JICA), meningkatkan kapasitas awal dari 30 sampai 50 meter kubik per hari. UNICEF sedang membiayai sebuah instalasi perawatan tinja baru (dengan kapasitas 60 meter kubik per hari) untuk dibangun di sebelah instalasi yang telah ada di tahun 2006.
• peningkatan Kapasitas pDAM. Pelatihan bagi PDAMs telah diusulkan oleh UNICEF, USAID-ESP, IRD, Swiss (kantor WaliKota Jenewa), dan Belanda/SAD-SAS, dengan fokus awal pada pengoperasian peralatan baru dan selanjutnya untuk program jangka panjang.
Unit program infrastruktur Brr telah sepenuhnya terbentuk. Unit ini bergerak dalam pencarian dan koordinasi dukungan donor, serta peninjauan dan pengutamaan program-program yang telah diusulkan. Hal ini bertujuan untuk (i) mendorong kerja kemitraan dengan
CATATAN HARIAN NUSA : Air dan SanitasiKotak 3.4
LSM telah memberikan reaksi yang sangat positif terhadap para pengungsi yang kembali ke tempat tinggal mereka
yang telah rusak. Hanya dalam waktu beberapa minggu Mercy Corps, Oxfam dan Islamic Relief hampir menyele-
saikan pembangunan delapan blok kamar mandi umum dan tempat mandi umum.
Yang lebih menjadi masalah utama adalah air bersih. PDAM mulai melakukan penyambungan kembali penyediaan
air pada awal February namun usaha yang dilakukan kurang konsisten dan baru pada bulan kesembilan pipa
sepanjang 4km yang menghubungkan Nusa serta beberapa desa lainnya dengan lokasi yang telah direnovasi
selesai. Sebelumnya, desa-desa mengalami kesulitan air bersih karena tergenangnya lebih dari 20 tempat sumber
air yang menyebabkan kandungan kadar garam terlalu tinggi untuk diminum, bahkan setelah dimasak, sehingga
masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan dan terpaksa berjalan kaki beberapa ratus meter ke tempat perse-
diaan air yang terdekat lainnya untuk mencuci pakaian. Hal ini disebabkan tempat penyimpanan air – biasanya
disediakan oleh Islamic Relief setiap hari – hanya cukup untuk minum dan memasak.
Masalah ini sebagian besar disebabkan oleh tidak diperbaikinya pintu air utama sehingga area tersebut sering ter-
genang air laut pada bulan Oktober. Pintu air ini berfungsi untuk mengatur aliran air di sekitar Nusa dan beberapa
desa lainnya, keterlambatan perbaikan pintu air tersebut tidak hanya menyebabkan peningkatan kadar garam air
tanah tetapi juga berarti ratusan petani telah kehilangan musim panen padi di tahun 2005. Sampai bulan Oktober
pun, Departemen Pekerjaan Umum belum dapat memberikan titik terang kapan hal tersebut dapat diatasi. Hal
ini menyebabkan Care International dan Mercy Corps termasuk diantara mereka yang mempertimbangkan untuk
mengambil alih tanggung jawab atas proyek tersebut.
Sumber: John Aglionby (The Guardian)
�5Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
dinas propinsi, (ii) bekerja dengan pemerintah setempat yang bergerak dengan kemampuan yang cukup terbatas, (iii) mendorong perpaduan yang baik antara bantuan teknis dan sumber daya manusia untuk menjalankan proyek-proyek (iv) membentuk dan mendorong standar desain serta panduan termasuk lembaga-lembaga yang bergerak di proyek-proyek perumahan (v) membentuk rencana tata ruang dan dokumen strategi untuk memandu program infrastruktur serta untuk mengkoordinir bantuan donor.
program pengelolaan Limbah padat (Solid Waste Management (SWM)) telah dibentuk untuk mendukung rekonstruksi. Setelah
Menyalurkan air ke desa-desaKotak 3.5
Trocaire beserta partnernya Catholic Relief Services (CRS) bekerja sama dengan LSM-LSM yang lain melakukan
peningkatan kondisi masyarakat yang tinggal di perbukitan Aceh Besar. Yang terjadi hari ini adalah benar-benar
merupakan mobilisasi masyarakat dan semangat komunitas.
Setiap desa harus menyumbangkan 20 laki-laki untuk memasang pipa, menyambungkan pipa-pipa, bahkan
seringkali harus menggali tanah untuk membawa peralatan pada saat melakukan pembangunan jembatan. Sumber
air berasal dari ketinggian yang terletak di bukit dan pengerjaan pipa meliputi wilayah sepanjang 33 km, jarak yang
sangat luas di daerah yang berbatu. Masyarakat saling bahu-membahu dan tidak mendapatkan imbalan apapun.
Pak Din dan teman-temannya telah bekerja disana sejak bulan April. ”Sebelum terjadinya Tsunami kami adalah
nelayan tetapi sekarang kami berlatih memasang pipa-pipa untuk kemudian kembali ke desa asal kami dan
melatih masyarakat yang lain,” kata Pak Din. ”Desa kami sebelumnya terdiri dari 351 orang dan sekarang hanya
tinggal 130 orang sehingga kami harus membantu menyediakan kualitas hidup yang lebih baik bagi mereka yang
selamat.
Air akan disalurkan ke 22 desa yang terdapat dalam rencana dimana tempat pengisian umum akan dibangun. Setiap
rumah tangga akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan persediaan air dari pipa dan mengalirkan air
ke rumah mereka masing-masing. ”Sebelum terjadinya Tsunami, setiap rumah memiliki sumber air sendiri namun
sekarang semua sumber air tersebut mengandung garam dan tidak dapat dipergunakan,” kata Pak Din.
Banyak penduduk desa yang masih tinggal di tempat tinggal sementara dan memperoleh air dari truk yang
membawa persediaan air ke tempat penampungan, namun hal ini tidak ekonomis dan tidak mungkin dilakukan
untuk jangka waktu yang panjang. Kepala Proyek CRS, Dipi Uti menyebutkan,”Ini adalah proyek yang sangat
besar, CRS bertanggung jawab atas pemasangan pipa sepanjang 17km. Kami berharap untuk menjalankan
sistem tersebut dan membawanya ke desa-desa yang lain termasuk Gurah, sebuah desa yang hancur total karena
tsunami.
Sumber: Trócaire dan CRS
pembersihan awal besar-besaran pasca-tsunami oleh aparat setempat, UNDP melaksanakan program sukses pembersihan sampah akibat tsunami, yang menitikberatkan pada daur ulang limbah padat. Semua penyedia tempat tinggal telah diinstruksikan melalui panduan BRR untuk menyediakan dan membiayai sistem SWM, termasuk titik-titik tempat pengambilan, serta perencanaan pengambilan dan pembuangan. Rencana tata ruang dan program rekonstruksi pemerintah setempat adalah agar tiap pemukiman memiliki sistem pengumpulan utama SWM dan tempat pembuangan gali timbul (sanitary landfill) yang dituju.
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
percepatan kemajuan konstruksi perumahan sering lebih cepat dari perencanaan pembangunan daerah dan penyediaan air dan sanitasi. Di wilayah kota dan semi-perkotaan, perumahan yang tidak dirancang secara matang bisa menciptakan resiko, termasuk infrastruktur air dan sanitasi yang tidak memadai, kesulitan menghubungkan dengan jaringan, serta kebutuhan penyesuaian pembangunan infrastruktur.
Tidak semua pekerjaan yang telah diselesaikan memenuhi standar yang telah dibuat. Penelitian di lapangan menunjukkan adanya pekerjaan sanitasi yang tidak bermutu tinggi, dengan tangki wc yang dibangun terlalu dekat dengan septic tank, atau mengalir ke saluran air terbuka. Kesempatan untuk menggunakan septic tank bersama telah terlewati. Kesulitan relatif dalam membangun sanitasi yang baik (versus penyediaan air) telah menciptakan ketidakseimbangan – dengan adanya beberapa penyedia tempat tinggal yang mengabaikan masalah sanitasi. Desain standar air dan sanitasi (dari Departemen Pekerjaan Umum) ada, tetapi tidak banyak diketahui atau tidak digunakan oleh badan-badan yang terlibat dalam pekerjaan pembuatan rumah. Septic Tank akan menjadi pilihan sanitasi di wilayah perkotaan – desain yang tepat, rancangan dan konstruksi merupakan prioritas utama, karena hal ini akan menjadi landasan bagi kesehatan masyarakat hingga tahun 2030.
MASALAH AIr DAN SANITASI
Kurangnya rencana tata ruang menyeluruh di tingkat kabupaten untuk memandu pembangunan air, sanitasi dan tempat tinggal. Sebelum hal ini ditangani, rumah-rumah akan dibangun tanpa hubungan jaringan, infrastruktur kelak harus diperbaiki ulang, dan beberapa pekerjaan besar akan menjadi tertunda. BRR sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan
atau membantu para peserta dalam tugas berat ini, tetapi hal ini merupakan sumbat-hilir(bottleneck) untuk semua infrastruktur dan perumahan. ADB akan menyediakan dukungan untuk rencana rekonstruksi tingkat desa dan kecamatan di wilayah-wilayah yang terkena dampak paling parah. Pekerjaan dalam bentuk ini sedang berlangsung di satu kecamatan.
peta-peta dasar yang tepat masih belum tersedia. Terdapat kebutuhan untuk adanya peta berskala 1:1.000, dengan jarak tinggi permukaan laut (contour interval) 0.25-meter untuk pekerjaan infrastruktur di perkotaan. Wilayah daratan dilaporkan telah mengalami perubahan di berbagai wilayah, terendam sampat 0.4 sampai 0.6 meter di Banda Aceh. Akibatnya perubahan tingkat kondisi air dan penyediaan saluran pembuangan serta drainase di wilayah setempat amat besar.
Sebuah rencana strategis diperlukan untuk menjalankan pekerjaan air dan sanitasi yang penting. Besarnya volume proyek donor serta kepentingan untuk menitikberatkan operasi tanggap darurat pada awalnya, menyulitkan pembagian tanggung jawab secara efektif, koordinasi pekerjaan donor, penyeragaman panduan desain minimum serta terpenuhinya kebutuhan air bersih dan sanitasi.
Database yang telah ada belum merupakan
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
alat efektif untuk penganggaran, pemrograman, pemantauan dan koordinasi. UNICEF tengah mendanai penilaian cepat tingkat kabupaten yang akan diselesaikan sebelum akhir 2005 dan berfungsi sebagai pusat bagi pemantauan di masa depan. Memperbaiki pengumpulan dan pemantauan data akan meningkatkan koordinasi sektor, pemilihan proyek, manajemen aset, dan mutu pekerjaan.
Bantuan teknis diperlukan untuk mendukung rancangan proyek, penilaian dan persiapan pekerjaan. Persiapan proyek di luar ruang lingkup mandat BRR dan banyaknya proposal yang diajukan untuk penilaian sudah cukup memberatkan. Pemerintah dan aparat setempat, perusahaan daerah utilitas, serta badan teknis propinsi kekurangan sumber daya manusia untuk menangani beban pekerjaan. Dukungan donor sangat diperlukan di bidang-bidang ini untuk memastikan agar anggaran BRR untuk tahun 2006 (US$600 juta) terencana dengan baik, memiliki tujuan jelas, dan dikelola serta disalurkan secara efektif.
Kemampuan pemerintah setempat dan pDAM tidak dapat memenuhi tuntutan rekonstruksi. Semua kegiatan rekonstruksi perlu diikuti oleh peningkatan kapasitas untuk memastikan pemerintah setempat bisa mengelola sarana-sarana di masa mendatang. Tugas utama BRR adalah menyeimbangkan keterpaduan yang tepat antara keterlibatan pemerintah setempat dan perusahaan utilitas prasarana air, dengan mengakui kebutuhan pendekatan siap pakai (turn key) pada penyediaan layanan. Usul awal BRR dalam strategi sektor tersebut adalah untuk menciptakan sarana penyediaan utilitas air perkotaan yang baru sebagai bagian dari rekonstruksi, daripada hanya menganggap bahwa PDAM yang dulu akan dibangunkembali dan mengangkat pegawai kembali, serta melanjutkan kegiatannya seperti semula sebelum terjadinya tsunami.
Sektor ini masih sulit untuk dikoordinasikan. UNICEF ditugaskan untuk mengkoordinasikan kegiatan air dan sanitasi darurat, dan telah melanjutkan memainkan peran yang penting di sektor koordinasi pasca tahap darurat. Koordinasi lintas-sektoral, terutama dengan badan yang berhubungan dengan proyek perumahan telah mulai dijalankan sejak didirikannya BRR. Namun demikian, banyak program dibentuk sebelum adanya keterlibatan BRR, sehingga sektor ini masih sangat terdesentralisasi.
Terdapat kebutuhan untuk mengembangkan institusi bukan hanya infrastruktur. Usaha-usaha di masa mendatang harus difokuskan pada operasional, pengelolaan, efisiensi dan kesinambungan keuangan PDAM. Strategi ini harus mengambil pelajaran dari reformasi PDAM di tempat-tempat lain: perilaku komersial, otonomi manajemen, orientasi konsumen, peningkatan kapasitas dan regionalisasi dari PDAM-PDAM yang kurang berfungsi. PDAM di wilayah Medan di Sumatera Utara bisa menjadi contoh yang bisa diikuti. Usaha-usaha baru untuk menekankan tata kelola dan keterbukaan kepada umum atas indikator-indikator efisiensi diperlukan untuk dapat membuat PDAM lebih akuntabel. Penjadwalan ulang atau penghapusan hutang-hutang PDAM harus dilaksanakan, dan pengurangan bertahap subsidi operasional dalam jangka waktu tertentu perlu dipertimbangkan. Di daerah pedesaan model berbasis masyarakat, dengan masyarakat yang sepenuhnya bertanggungjawab memilih dan mengelola sarana yang layak harus didukung (bab 1).
penekanan lebih besar perlu diberikan pada sektor sanitasi. Kurangnya permintaan dan kemauan politis untuk perbaikan sanitasi, keinginan yang rendah untuk membayar, dan kurangnya prioritas diberikan ke sektor sanitasi telah berakibat dalam rendahnya cakupan
�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
dan keberhasilan yang hanya berskala kecil. Kesadaran masyarakat atas sanitasi dan lingkungan hidup, serta pelatihan kesehatan masyarakat dan kebersihan harus dilaksanakan tanpa penundaan, dengan perhatian utama pada tanggung jawab pemerintah setempat untuk memperbaiki pelayanan sanitasi, perawatan dan pembuangan, serta untuk mempermudah pembangunan pelayanan yang berkesinambungan. Tahap rekonstruksi akan memungkinkan badan-pendukung untuk bekerja sama dengan pihak terkait setempat untuk dapat mencari adanya serangkaian model baru menjalankan pemasaran sanitasi, kebersihan dan solusi untuk memenuhi persyaratan dari perumahan bersama di wilayah perkotaan dan semi-perkotaan. Sistem sanitasi berbasis masyarakat yang terbentuk dalam beberapa tahun memberikan model lokal untuk sanitasi perkotaan yang dapat dicapai dalam beberapa tahun serta dapat dibangun bersama pendekatan yang lebih konvensional dan sanitasi di lokasi setempat. Unsur penting dari strategi sanitasi yang berhasil, yang seringkali terlewati, adalah pembangunan sistem pembuangan tinja dan perawatannya yang berkesinambungan.
Drainase air (basin storm drainage) di tingkat lokal dan daerah yang lebih luas merupakan tantangan besar, diperburuk oleh perubahan pada lapisan tanah. Sementara saluran air agaknya masih bisa diatasi tanpa adanya pemetaan dan perencanaan – sistem drainase tergantung dari lapisan dan rancangan. Sampai terjadi kemajuan (termasuk dalam hal rancangan jalan-jalan besar untuk menentukan tingkat drainase di jalan-jalan sekitarnya), banjir akan menjadi masalah besar yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan kemajuan dari program rekonstruksi tempat tinggal.
TRANSPORTASI
gempa bumi dan tsunami merusak sebagian besar infrastruktur transportasi, dengan kerusakan terparah pada jalan-jalan di pantai barat Aceh. Sekitar 454 km dari jalan-jalan nasional, propinsi dan lokal terkena kerusakan atau tersapu air dan perlu dibangun kembali. Di Banda Aceh sendiri dilaporkan 380 km dari jalanan sekunder kota mengalami kerusakan berat. Sepanjang Aceh dan Nias jembatan-jembatan pantai seluruhnya tersapu air atau rusak parah sehingga perlu diganti. Dari 19 pelabuhan laut di Aceh dan Nias, 14 digolongkan sebagai rusak berat. Hal ini, ditambah dengan kerusakan pada terminal feri serta stasiun kapal antar-pulau, memiliki akses terbatas untuk pendaratan kapal-kapal atau pesawat-pesawat kecil type (LCTs) di berbagai tempat. Dari 10 bandar udara di Aceh dan Nias, delapan mengalami kerusakan. Di pulau Simeulue, empat mengalami kerusakan parah, hingga yang tersisa dua yang masih bisa dioperasikan.
respon secara dini memastikan operasi bantuan bisa dilaksanakan. Departemen Pekerjaan Umum dan Tentara Nasional Indonesia menjalankan pekerjaan darurat strategis untuk kembali memulihkan jalur transportasi di sepanjang pantai barat, termasuk penempatan jembatan sementara dan sistem terpadu konstruksi atas 40-50 km badan jalan tembus baru sementara. Jembatan sementara Bailey didirikan di jalur Tapaktuan-Bakongan, akses jalan dibangun kembali dari Lhok Nga ke Meulaboh, dan pekerjaan darurat dilaksanakan di jalur Banda Aceh menuju Meulaboh.
perbaikan darurat telah mulai rusak dan memperlambat bantuan serta pekerjaan rekonstruksi untuk masyarakat di pantai barat. TNI telah melakukan pekerjaan baik
��Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
dalam mengembalikan akses melalui perbaikan darurat jalan. Perbaikan darurat sebagian besar bersifat sementara, dan bagian-bagian penting dari jalan di pantai barat sudah mulai hancur, dengan pohon-pohon kelapa dan jembatan Bailey tidak sesuai dengan volume dan beban sekarang. Beberapa bagian dari jalanan di pantai barat tidak dapat dilewati akibat luapan dari
air pasang, kerusakan perlindungan laut, dan hujan deras. Banyak masyarakat di sepanjang pantai barat kini hanya dapat dilewati dengan kapal, dengan terputusnya jalur-jalur darat. Daerah ini memerlukan perbaikan segera untuk memastikan persediaan barang dapat disalurkan untuk mendukung pekerjaan rekonstruksi pada saat ini dan masa mendatang. Multi Donor Fund tengah membiayai Rencana Aksi segera dalam
Membangun kembali perhubungan di Aceh-pekerjaan yang sedangdilakukan, isu-isu, dan solusipeta 3.2
Pelabuhan & Logistik Masalah: Untuk mendukung logistik dan memastikan pengiriman bahan-bahan untuk rekonstruksi, pelabuhan adalah sarana penting yang harus dibuka kembali (melalui perbaikan sementara dan fasilitas permanent)Solusi: UNDP & WFP bersama MDTF untuk memperbaiki pelabuhan strategis & menyediakan jasa pelayanan/logistik sedang dalam proses review. Pekerjaan pendahuluan telah dimulai
Meulaboh ke perbatasan Sumatra UtaraMasalah: Resiko kerusakan jalan yang parahSolusi: Memerlukan pemeliharaan yang mendesak untuk mencegah kerusakan parah
Ruas jalan Geumpang ke Meulaboh (16 Km)Masalah: Sulit dilewati tapi rekonstruksi sedang berjalanSolusi: Rehabilitasi dilakukan oleh BRR untuk menjaga jalur pasokan ke Meulaboh
Ruas jalan Lamno ke Calang (73 Km)Masalah: Sepanjang 85 Km tidak dapat dilalui ketika & setelah hujan jembatan darurat dan memiliki kemampuan yang terbatastransportasi darat sangat terbatas, menghalangi pengiriman barang-barang untuk rekonstruksiSolusi: Pekerjaan, Darurat CRS sedang berjalan, rehabilitasi MDTF CRS, peningkatan Jembatan, dan program pekerjaan darurat sudah diajukan Perkiraan akan dimulai awal Januari
Tahap I Perbaikan dan peningkatan USAID
Perbaikan dan Peningkatan CRS
Perbaikan JICS
Tahap II Rekonstruksi (Lamno ke Meulaboh sedang berjalan)
ADB
100 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
usahanya untuk mencegah terjadinya kendala terhambatnya logistik, yang berdampak pada baik rekonstruksi maupun berlangsungnya operasi bantuan.
perawatan jalan darurat melebihi kemampuan pemerintah setempat dan propinsi saat ini. Sampai sekarang, pelaksanaan program transportasi yang dikoordinasikan melalui BRR mengalami keterlambatan. Sehingga, untuk memastikan arus penyediaan barang-barang bagi proyek mereka, kebanyakan kegiatan rehabilitasi jalan dijalankan secara terpisah melalui lembaga donor dan LSM, banyak di antaranya yang bukan ahli di bidang infrastruktur.
Hanya sebagian kecil dari jalanan di pantai timur yang terkena dampak tsunami, namun volume truk-truk yang memuat barang berat telah mempercepat kerusakan pada jalur tersebut. Perawatan sangatlah penting, dan penguatan jalan diperlukan untuk menangani perkiraan volume lalu-lintas kendaraan.
Kebanyakan jalan akses yang menghubungkan masyarakat ke jalanan di pantai barat tersapu bersih. Dengan adanya rencana jalur jalan besar baru dari Lamno ke Meulaboh yang dibiayai USAID, kebutuhan akan jalan akses baru akan menjadi penting. Pada saat ini, hanya terdapat sedikit program rekonstruksi dari jumlah jalan akses yang diperlukan.
MEMULIHKAN pELAYANAN TrANSpOrTASI
Brr sedang memperbaharui rencana induk pemerintah rI untuk transportasi di Aceh dan Nias. Proyek-proyek transportasi saat ini dibangun tanpa adanya rencana koordinasi transportasi daerah. Pemerintah setempat dan BRR secara umum telah menyepakati visi masa depan rencana transportasi, dan BRR telah mempersiapkan daftar proyek-proyek jalan
sebagai landasan untuk anggaran 2006. Namun, dokumen resmi perencanaan dengan justifikasi proyek, prioritas dan informasi dukungan belum selesai disusun. Penilaian awal kerusakan pada jalur jalan-jalan kabupaten sudah direncanakan untuk dijalankan secepatnya pada bulan Desember 2005. Hal ini akan diperluas sampai Nias, Apabila terdapat kesenjangan dalam jaringan jalan propinsi harus pula dipenuhi. Hal ini merupakan langkah awal yang baik dan informasi ini akan digunakan untuk menilai kebutuhan bagi program di Tahun Anggaran 2006.
Brr memiliki anggaran US$61.972 juta untuk transportasi di Aceh dan Nias untuk Tahun Anggaran 2005. Tender-tender telah dikeluarkan dan pelaksanaan proyek akan dijalankan oleh dinas propinsi. Menteri Pekerjaan Umum telah menunjuk pimpinan proyek untuk proyek-proyek jalan dan jembatan, sementara Menteri Perhubungan akan menunjuk pimpinan proyek untuk proyek-proyek darat, laut dan udara. Di Tahun Anggaran 2006, BRR memiliki anggaran sebesar US$61.972 juta. Anggaran tersebut mencakup jalur penting ke dan dari daerah pusat Aceh. Investasi ini penting untuk alasan transportasi dan alasan pemerataan untuk menyeimbangkan investasi-investasi besar di wilayah-wilayah pantai.
KEMAJUAN DALAM TrANSpOrTASI
rekonstruksi jalan dari Banda Aceh ke Meulaboh telah dimulai. USAID telah menandatangani MOU (Nota Kesepahaman) dengan Departemen Pekerjaan Umum untuk merekonstruksi jalan-jalan dari Banda Aceh ke Meulaboh. Jalur jalan dari Lamno-Meulaboh akan menjadi jalur yang baru, yang sedang dalam proses penentuan. Jalan yang baru tersebut akan menjadi Standar Jalan Raya Asia (badan jalan selebar tujuh meter dengan bahu jalan selebar dua meter) dengan panjang 240 km. Jangka waktu pembangunan diusulkan selama empat tahun. Proyek tersebut akan
101Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap 1 (80 km) akan merehabilitasi bagian jalan dari Banda Aceh ke Lamno, dengan pembangunan yang berlangsung selama satu tahun. Selama jangka waktu pembangunan, kontraktor akan memperbaiki dan memelihara jalan sementara yang sudah ada, meskipun penguatan jembatan juga diperlukan untuk memastikan agar dapat dilalui oleh truk seberat 20 ton. Program ini berjalan sesuai jadwal dan jalan dari Banda Aceh sampai Lamno akan selesai pada bulan Agustus 2006. Tahap 2 (160 km) akan merentangkan dari Lamno ke Meulaboh di sepanjang jalur yang baru – proses pemilihan jalur sedang berlangsung dan diperkirakan akan segera selesai. Akan tetapi, persiapan rancangannya kemungkinan akan memakan waktu selama 6 sampai 12 bulan sebelum lelang untuk pekerjaan konstruksi dapat dilaksanakan.
rehabilitasi jalan yang ada (115 km) dari Calang ke Meulaboh merupakan kegiatan yang diprioritaskan. Japan International Cooperation System (JICS) telah menjanjikan US$45 juta untuk merehabilitasi jalan yang ada (115 km) dari Calang ke Meulaboh. JICS sedang mengupayakan penunjukkan kontraktor
pekerjaan sipil, dan tim perancang serta pengawas sudah dibentuk. Penguatan dan penggantian jembatan harus menjadi prioritas berdasarkan kontrak ini untuk sesegera mungkin memastikan bahwa jembatan dapat dilalui oleh truk seberat 20 ton di sepanjang jalur tersebut.
perbaikan jalan pesisir timur antara Banda Aceh dan Sumatera Utara juga sedang ditangani. Bank Pembangunan Asia berencana untuk membelanjakan sedikitnya US$17,8 juta untuk merehabilitasi dan memperbaiki jalan pesisir timur sepanjang 490 km antara Banda Aceh dan perbatasan Sumatera Utara. Rute tersebut sangat macet dan banyak truk yang melewati rute tersebut sangat kelebihan muatan. Karena hambatan pendanaan, rehabilitasi terutama dilakukan untuk bagian-bagian tertentu dari jalan antara Banda Aceh dan Sigli; perbaikan yang penting akan dilakukan terhadap bagian-bagian lainnya. Setelah rehabilitasi dan perbaikan selesai dan arus lalu lintas menjadi normal kembali, rute tersebut kemungkinan besar akan memerlukan rekonstuksi penuh. Selain jalan pesisir timur, ADB juga akan membiayai program rehabilitasi menyeluruh untuk jalan-jalan akses untuk pelabuhan Krueung Raya dan Ulee-Lheue.
Jembatan-jembatan kecil, jalan-jalan sekunder dan investasi transportasi lainnya merupakan penghambat utama terhadap pelaksanaan program rekonstruksi. Saat ini, pergerakan pasokan ke dalam dan ke seluruh Aceh merupakan tantangan yang besar. Hal tersebut menghambat upaya-upaya kemanusiaan dan rekonstruksi, khususnya dalam penyediaan makanan, air bersih dan perumahan. Oleh karena itu, beberapa LSM, terutama Catholic Relief Services dan Federasi Internasional Palang Merah, menjalin kerja sama dengan BRR untuk mendukung operasi tersebut.
pendanaan untuk bandar udara telah dijanjikan tetapi rekonstruksi belum dimulai. Penilaian awal telah menentukan bahwa karena
gambar 3.9
18
310
136
65
Komposisi pembiayaan atassektor perhubungan (US$ Juta)
Multilateral Bilateral
Pemerintah IndonesiaLSM
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
102 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
keadaan jalan akses yang yang sulit, ada kebutuhan mendesak untuk memperbaiki bandar udara yang sudah ada, dan untuk membangun sarana pendaratan dasar sementara untuk mencapai daerah-daerah yang terkena dampak tsunami. Hal tersebut akan memungkinkan penggunaan pesawat terbang sayap tetap yang lebih ekonomis pengoperasiannya dibandingkan helikopter yang saat ini dioperasikan oleh UNHAS dan operator-operator swasta. Ada komitmen pendanaan bagi bandar udara berikut untuk tahun anggaran 2005 melalui BRR: Meulaboh, Sabang dan Rembele, akan tetapi tidak ada tanda-tanda dimulainya pekerjaan. Pekerjaan Konstruksi di Bandar Udara Singkil sementara tertunda selama tiga bulan terakhir karena alasan-alasan anggaran, akan tetapi diperkirakan akan dilanjutkan selama tahun anggaran 2006. Pendanaan dari BRR bagi Sinabang dijanjikan untuk tahun anggaran 2006. Selain itu, pada tahun anggaran 2006 juga diprogramkan bandara-bandara di Tapak Tuan dan Pulau Tuanku. Meskipun demikian, tidak ada komitmen pembiayaan untuk bandara-bandara tersebut.
Kapasitas penanganan pada pelabuhan-pelabuhan yang terkena dampak tsunami perlahan sedang dipulihkan. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah:• Perbaikan terminal feri dan pelabuhan kargo
umum di Ulee Lheue: akan beroperasi sebagian pada akhir tahun 2005;
• Perbaikan terminal feri di Balohan; • Pembangunan dermaga di Malayahati oleh
pemerintah Belanda, akan beroperasi dalam beberapa bulan ini
• Pembangunan dermaga di Meulaboh oleh Palang Merah Singapura
• Perbaikan fasilitas di Sabang; akan beroperasi beberapa bulan ini
• Fasilitas baru untuk pendaratan kargo dan ikan di Lamno.
• Fasilitas baru di Calang, Sinabang, Nias, Meulaboh,
pembangunan fasilitas baru akan membutuhkan waktu untuk diselesaikan dan, untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan fasilitas pendaratan (khususnya dengan memperhatian volume bantuan dan bahan-bahan rekonstruksi), rencana sudah ada untuk segera membangun ramp tepi pantai untuk pendaratan kapal di Calang, Meulaboh, Malayahati dan Sinabang.
Transportasi laut memiliki peran yang penting dalam upaya bantuan yang sedang berlangsung, akan tetapi upaya pemulihan juga penting. Banyak upaya bantuan diangkut dengan Landing Craft Transport (LCT) berkapasitas 400 ton. Kapal-kapal tersebut, yang diperasikan oleh WFP, dimanfaatkan secara penuh dan merupakan modal transportasi utama untuk memindahkan kargo di daerah Banda Aceh dan sekitarnya. Kapal-kapal tersebut saat ini membawa makanan dan akan terus melakukan fungsi tersebut tetapi ruang-ruang yang berlebih akan digunakan untuk kargo lainnya. Tidak ada proyeksi yang akurat berapa besar kargo yang harus dibawa ke Aceh melalui laut, akan tetapi hal ini sedang diteliti secara final oleh BRR. Melihat besarnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, sepertinya jumlah kapal pendarat yang saat ini tersedia tidak mencukupi.
10�Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
MASALAH-MASALAH TrANSpOrTASI pADA TAHUN 2006
Lebih banyak koordinasi diperlukan untuk mencapai standar yang memadai dan tujuan-tujuan bersama. Koordinasi atas pekerjaan donor dan proyek-proyek yang diusulkan telah meningkat. Ada jangka waktu peralihan yang sulit karena BRR mengambil tanggung jawab atas koordinasi, perencanaan, dan pemrograman proyek-proyek transportasi – melaksanakan banyak fungsi-fungsi yang sebelumnya ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum (jalan-jalan nasional) dan dinas binamarga provinsi (jalan-jalan provinsi). Visi BRR adalah untuk menjalin kerja sama erat dengan LSM, donor dan para pejabat provinsi untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang diperlukan.
Tidak ada rencana pembangunan transportasi daerah yang telah dimutakhirkan. BRR, para donor, dan LSM sedang melaksanakan proyek-proyek, akan tetapi tidak sesuai dengan rencana yang mengutamakan proyek-proyek, mengkoordinasikan bantuan dan mengalokasikan anggaran-anggaran, atau yang memperhatikan jalan-jalan akses lokal. Dinas binamarga kehilangan 39 persen dari stafnya akibat tsunami, dan kehilangan tersebut, ditambah dengan masalah-masalah anggaran dan tuntutan rekonstruksi yang besar, telah mengurangi secara signifikan kapasitasnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan perancangan dan pengawasan. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk menyediakan tim ahli manajemen proyek bagi BRR, serta keahlian pengawasan rancangan dan konstruksi teknik untuk mendukung proses-proses yang telah dilaksanakan di provinsi.
pemeliharaan dan perbaikan sangat penting untuk menghindari hambatan logistik dan menjaga agar jalan-jalan darurat dan
jembatan yang dibangun pada tahap awal tetap berfungsi. Yang menjadi prioritas adalah keseluruhan pesisir barat, bagian yang paling membutuhkan di pesisir timur, dan daerah penghubung provinsi pusat yang lebih strategis seperti di luar Meulaboh. Penekanan juga harus diberikan pada peningkatan kapasitas beban dari jambatan-jembatan yang ada karena banyak yang hanya dapat dilalui oleh truk dengan bobot lima sampai enam ton. Bagian-bagian yang penting harus tingkatkan agar dapat mengakomodasi beban seberat 20 ton. Penyerahan jembatan-jembatan Bailey sepanjang lebih dari 1.000 meter dari NATO pada bulan Maret 2005 belum sepenuhnya dimanfaatkan dan dapat digunakan untuk membantu dalam upaya-upaya tersebut, serta upaya-upaya pemeliharaan yang sedang dilaksanakan oleh JICS dan USAID. Jaringan provinsi juga tidak dapat dilupakan, khususnya dua penghubung dalam dari Meulaboh ke Geumpang/Keumala dan ke Takengon.
pasokan BBM di luar daerah Banda Aceh dan sekitarnya tidak mencukupi: BBM langka sehingga membatasi jangkauan efektif dari operasi transportasi darat, air, dan laut. Kekurangan BBM untuk pekerjaan sipil di luar daerah Banda Aceh juga membatasi kegiatan-kegiatan konstruksi dan ketersediaan pengiriman yang memadai dan fasilitas penyimpanan juga perlu dipastikan. Saat ini, LSM dan lembaga-lembaga bantuan internasional sering kali harus bernegosiasi dengan Pertamina (pemasok BBM nasional) untuk pengiriman khusus secara ad hoc.
Jaringan jalan perlu diperpanjang ke daerah-daerah yang tidak terkena dampak tsunami: Pekerjaan-pekerjaan di masa yang akan datang juga harus mendukung proses perdamaian yang baru terlaksana, dengan meningkatkan penghubung transportasi ke daerah-daerah jauh yang terabaikan selama konflik.
10� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
perbaikan cepat dan perbaikan akses ke pelabuhan sangat penting: Pasokan harus terus mengalir untuk pekerjaan rekonstruksi. Strategi jangka panjang juga perlu dikembangkan untuk mendefinisikan peran sektor swasta dalam pembangunan dan manajemen pelabuhan.
105Bab � Memulihkan Layanan Masyarakat
8 UNICEF: 830,000 siswa, Save the Children: 150,000 siswa, 5,000 guru9 “Survei Struktural Sekolah-Sekolah yang Rusak karena Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh.”
Maret-Agustus 2005.10 Anak-anak yang tidak pernah bersekolah dan anak-anak yang keluar dari sekolah, SPAN 2005
NOTES
10� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Bagian ISETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
PERTUMBUHAN BERKESINAMBUNGAN Bab �
10� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
prospek jangka panjang untuk masyarakat Aceh dan Nias bergantung pada pencapaian pertumbuhan berkesinambungan dengan menciptakan kesempatan kerja dan mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Tidak dapat dihindari, hilangnya nyawa, hancurnya rumah, pengungsian masyarakat, kerusakan prasarana, dan gangguan terhadap pelayanan publik yang melanda Aceh dan Nias setelah bencana tersebut sangat mempengaruhi ekonomi dan lingkungan. Dampak ekonomi menjadi nyata dalam hilangnya aset-aset produktif, penurunan pendapatan per kapita, meningkatnya harga barang dan jasa, meningkatnya kredit macet, dan peningkatan biaya rekonstruksi. Dampak lingkungan langsung menjadi nyata dalam banyaknya krisis limbah yang ditinggalkan oleh tsunami (lebih dari enam juta meter kubik limbah padat dan puing-puing) serta kerusakan terhadap ekosistem laut, pertanian dan tanah budidaya laut. pertumbuhan berkesinambungan di Aceh dan Nias akan sangat bergantung pada upaya untuk menghilangkan halangan-halangan yang mempengaruhi pembangunan jangka panjang daerah tersebut. Banyak hambatan-hambatan tersebut telah ada bahkan sebelum bencana terjadi. Tindakan-tindakan kebijakan perlu difokuskan pada modernisasi ekonomi, diversifikasi ekspor, kapitalisasi perjanjian perdamaian, perbaikan iklim investasi, dan memaksimalkan kesempatan kerja. pertumbuhan berkesinambungan dan peningkatan peluang kerja hanya mungkin apabila pemulihan ekonomi berjalan cepat dan pembangunan jangka panjang berkesinambungan turut memperhatikan lingkungan. Tahapan rekonstruksi itu sendiri akan dihadapi berbagai tantangan yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati – pertama-tama dan yang terpenting, kemungkinan dampak merugikan akibat meningkatnya permintaan
kayu dan bahan bangunan. Rekonstruksi dan pembangunan yang berkesinambungan dengan memperhatikan lingkungan akan memerlukan perencanaan dan koordinasi yang baik di antara para pelaku yang terlibat, agar masalah-masalah ekonomi dan lingkungan berjalan selaras dengan kemakmuran daerah.
EKONOMI
Dampak dari gempa dan tsunami di Aceh lebih besar dari dampak yang diderita provinsi atau negara-negara lain yang juga terkena tsunami. Rasio dampak (kerusakan dan kerugian) terhadap PDB di provinsi Aceh hampir mencapai 100 persen. Hal tersebut diikuti dengan provinsi Phang Nga di Thailand (90 persen), seluruh Maladewa (84 persen), dan Krabi dan Phuket di Thailand (masing-masing 68 persen), sebagaimana diindikasikan pada Gambar 4.1. Dampak dari gempa pada tanggal 28 Maret 2005 di Nias dan Nias Selatan lebih kecil 10 persen dari total perekonomian provinsi Sumatera Utara. Dampak keseluruhan, relatif terhadap ukuran umum perekonomian Indonesia, adalah sekitar 2 persen. Jumlah tersebut lebih tinggi dari India (0,2 persen) dan Thailand (1,4
Sumber: Kalkulasi staf World Bank
01020304050
60708090
100
Aceh Phang Nga(Thailand)
Maldives Krabi(Thailand)
Phuket(Thailand)
gambar 4.1Propinsi - tingkat pengaruh - terhadap GDP rasio %
Pengaru
h-t
erh
ad
ap
-GD
P r
asi
o %
10�Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
persen), akan tetapi jauh lebih rendah dari Sri-Lanka (7,6 persen) dan Maladewa (83,6 persen).
pErTUMBUHAN
perkiraan saat ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2005 pDB Aceh akan menurun sekitar 5 persen, dan pDB Nias akan menurun sekitar 20 persen. Meskipun demikian, angka agregat tersebut menyembunyikan variasi dampak yang besar antara kabupaten-kabupatan (Peta 4.1)11.
Di Aceh, perkiraan dampak terhadap PDB bervariasi dari sekitar penurunan sebesar 0,5 persen di Aceh Utara dan Aceh Tamiang sampai 56 persen dan penurunan sebesar 86 persen di masing-masing Simeuleu dan Aceh
Jaya. Di Pulau Nias, dampak terhadap PDB diperkirakan sama antara kedua kabupaten, dengan penurunan sebesar 21 persen di Kabupaten Nias, dan penurunan 19 persen di Nias Selatan.
KEMISKINAN
Sekitar 325.000 orang di Aceh, dan 149.000 di Nias dan Nias Selatan akan jatuh ke bawah garis kemiskinan karena tidak adanya mekanisme penanggulangan12. Perhitungan aktual jumlah orang miskin sebelum bencana vs. perkiraan perhitungan jumlah orang miskin setelah bencana berdasarkan kabupaten disajikan dalam peta 4.2.13 Penting untuk diingat bahwa perkiraan kenaikan kemiskinan tidak memperhatikan dampak bantuan makanan, program-program kas untuk kerja,
PDB 2005 diproyeksikan menurun, per kabupaten
Sumber: Estimasi staf WB
SABANG (KOTA)
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOTA)
56.0
18.2
0.2
0.6
0.7
36.0
23.9
27.9
32.4
4.2
ACEH SINGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT DAYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN RAYA
ACEH JAYA
1.9
1.6
33.2
14.4
5.5 3.4
2.4
0.534.1
86.4
NIAS SELATAN
NIAS20.6
19.2
50 to 9020 to 5010 to 205 to 10
peta 4.1
Penurunan GDP (%)
DibawahTidak menurunTidak ada data
110 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Proporsi penduduk miskin sebelum dan sesudah bencana %peta 4.2
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
SIMEULUE
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOTA)
SABANG (KOTA)
29.9
35.2
35.9
35.7
34.3
31.6
27.9
27.6
28.9
8.9
34.2
15.0
15.330.0
28.0
25.232.4
23.9
29.3
31.5
ACEH SINGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT DAYA
GAYO LUESACEH TAMIANGNAGAN RAYA
ACEH JAYA
NIAS SELATAN
NIAS
19.2
20.6
Above 4535 to 4525 to 3515 to 25Below 15No data
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOTA)
SABANG (KOTA)
72.7
36.0
23.9
27.9
32.4
14.2
15.1
34.9
15.7
35.8
ACEH SINGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT DAYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN RAYA
ACEH JAYA
30.6
31.6
74.7
44.1
41.6 32.5
30.2
25.776.4
86.2
NIAS SELATAN
NIAS
52.5
53.1
Above 4535 to 4525 to 3515 to 25Below 15No data
Panel A. Proporsi penduduk miskin sebelum bencana
Proporsi penduduk miskinsebelum bencana (%)
Panel B. Proporsi penduduk miskin setelah bencana
Proporsi penduduk miskinsetelah bencana (%)
Sumber: Estimasi staf WB
111Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
dan mekanisme lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perkiraan kenaikan tingkat kemiskinan kemungkinan besar juga bersifat sementara, tidak permanen. Akan tetapi, perkiraan-perkiraan tersebut juga dapat berfungsi sebagai perkiraan kenaikan jumlah orang yang rentan terhadap kemiskinan.
INfLASI
Sejak tsunami, kenaikan harga-harga di daerah yang terkena dampak naik lebih tajam daripada rata-rata nasional. Peningkatan yang paling dramatis terjadi di Banda Aceh, yang menjadi daerah pusat kegiatan rekonstruksi. Inflasi tahunan pada bulan Oktober 2005 mencapai 37,5 persen di Banda Aceh, 23,4 persen di Medan, dan 18,3 persen di Lhokseumawe, dibandingkan dengan 17,9 persen secara nasional (lihat tren CPI pada Gambar 4.2). Kenaikan harga yang tinggi terjadi sesaat setelah tsunami. Selama empat bulan pertama, tercatat kenaikan CPI di sebesar 14,7 persen. Peningkatan harga selama periode tersebut sebagian besar didorong oleh jalan-jalan yang rusak atau hancur dan hambatan pasokan. Sebagai contoh, biaya transportasi
satu arah antara Banda Aceh dan Meulaboh meningkat dari Rp 30.000 pada bulan Desember 2004 sampai Rp 350.000 di bulan Januari 2005, sebelum menurun kembali menjadi Rp 150.000 pada bulan April.
Harga-harga kemudian menjadi stabil tetapi meningkat drastis ketika harga BBM meningkat tajam. Setelah peningkatan harga yang tinggi setelah tsunami, harga kembali stabil karena transportasi sudah lebih baik dan pasokan pasar untuk sebagian besar barang meningkat14. Antara bulan April dan Oktober 2005, harga-harga di Banda Aceh meningkat hanya sebesar 3,5 persen, menjadikan total peningkatan harga sejak bulan Desember 2004 diperkirakan sebesar
18,7 persen. Kenaikan tajam harga BBM nasional pada bulan Oktober menyebabkan peningkatan harga secara dramatis di daerah-daerah yang terkena dampak bencana. Pada bulan Oktober saja, indeks CPI di Banda Aceh meningkat 12,4 persen, suatu angka yang lebih tinggi dari tingkat kenaikan nasional (Gambar 4.3). Peningkatan inflasi tersebut menyebabkan peningkatan harga secara keseluruhan di Banda Aceh sampai 33,6 persen sejak bulan Desember 200415.
Kecenderungan IHK (di berbagai kota)
Sumber: BPS, kalkulasi staf World Bank
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
Jun-0� Aug-0� Oct-0� Dec-0� Feb-05 Apr-05 Jun-05 Aug-05 Oct-05
Banda Aceh Lokseumawe Medan Jakarta
% yoy
Banda Aceh
gambar 4.2
Sumber: BPS, kalkulasi staf World Bank
12.�11.�
�.��.� �.�
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
%
Banda Aceh Lokseumawe Medan Jakarta Indonesia
Kenaikan IHK pada bulan Oktober 2005
gambar 4.3
112 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
peralihan dari tahap bantuan ke tahap rekonstruksi mendorong kenaikan harga bahan-bahan bangunan dan upah pekerja bangunan. Sejak bulan Desember 2004, harga-harga bahan rata-rata meningkat sebesar 50 persen (lihat Gambar 4.4) sementara upah pekerja bangunan meningkat di seluruh perdagangan setidaknya sebesar 30-40 persen (gambar 4.5).
KrEDIT
Sistem perbankan merespon dengan cepat meskipun ada kerugian yang besar dan kesulitan-kesulitan internal. Tindakan-tindakan yang diambil oleh Bank indonesia (bank sentral) setelah terjadinya tsunami menghasilkan pemulihan dengan
45.8 37.9 33.3 55.2 72.4 81.8 105.5
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
Oct-04 Oct-05
% perubahan
Upah pekerja konstruksi, Oktober 2005 vs Oktober 2004gambar 4.5
Sumber: BPS, kalkulasi staf World Bank
Upah harian, Rp .
tidak terlatih tukang cat mekanik tukang batu tukang pipa supervisor pengawas lapangan
Sumber: BPS, kalkulasi staf World Bank
12�.0��.� �1.�100.0��.�
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
kayu(5/10X400cm)
kayu lapis(120x240 cm.)
Dec-04 Oct-05
% perubahan
gambar 4.4
Harga, Rp
semen (50 kg) batu bata (x100) pasir (m3)
Harga bahan-bahan konstruksi tertentu, Oktober 2005 vs Desember 2004
11�Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
cepat operasi pembayaran mendasar, akses nasabah ke rekening mereka dengan proses verifikasi identitas yang mudah, dan penerbitan rekening baru sebagai ganti rekening yang rusak. Tidak ada bank umum di Aceh dan Nias yang meminta dukungan likuiditas dari Bank Indonesia. Apabila likuiditas dibutuhkan, bank lokal mendapatkannya dari kantor pusat masing-masing.
Total aset sistem perbankan mengalami penurunan 10 persen sesaat setelah terjadinya tsunami tetapi telah pulih
sebagian. Sampai akhir bulan September 2005, aset telah melebihi tingkat yang dicapai sebelum tsunami sebesar 14,1 persen dari segi nominal, akan tetapi masih 4 persen lebih rendah dari tingkat sebelum tsunami dari segi riil (Tabel 4.1). Komposisi kerugian mengindikasikan bahwa kerugian terbesar terjadi akibat pinjaman yang tidak dilunasi dan kerugian inventaris yang besar. Hal ini diilustrasikan berdasarkan keadaan Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat (Gambar 4.6) yang mengalami kerugian sebesar 33,5 miliar Rupiah. 66 persen dari kerugian tersebut terkait dengan pinjaman komersial dan modal kerja. Akan tetapi angka tersebut hanya mengilustrasikan kerugian materi. Gempa dan tsunami juga menyebabkan kerugian sumber daya manusia, misalnya 45 pegawai, atau 7,2 persen dari tenaga kerja BPD yang meninggal akibat tsunami.
Tsunami telah menyebabkan banyak debitor tidak dapat melunasi pinjaman sehingga mengurangi pendapatan bank dan meningkatkan jumlah kredit macet (NpL). Persentase kredit macet dalam sistem perbankan Aceh meningkat dari 2,8 persen pada bulan Desember 2004 sampai 11,3 persen di bulan Mei 2005, tetapi menurun sampai 7,8 persen pada bulan September 2005, sebagian disebabkan karena banyak NPL direstrukturisasi atau dihapuskan (Tabel 4.1). Di daerah yang terkena dampak terburuk, NPL mencapai 40-50 persen. Sebagian besar kerugian bank disebabkan oleh pinjaman
Indikator-Indikator Perbankan Utama Tabel 4.1
Des-03 Des-04 Mar-05 Jun-05 Sep-05 Total Aset, miliar Rp. (harga saat ini) 9880 10783 10061 11092 12301 Total Aset, miliar Rp. (harga Des. 2004) 10226 10783 9160 9754 10357 Kredit yang belum dilunasi, miliar Rp. (harga saat ini) 2123 3201 3327 3514 3605 Kredit yang belum dilunasi, miliar Rp. (harga Des. 2004 )
2197 3201 3029 3090 3035 Simpanan, miliar Rp. (harga saat ini) 7656 7952 8298 9465 10236 Simpanan, miliar Rp. (harga Des. 2004) 7924 7952 7554 8323 8618 Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR), (%) 28 40 40 37 35 Kredit macet (NPL), (%) 2,7 2,8 6,7 10,0 7,8
10.0% Inventori lainnya
68.2% Modal kerjadan pinjaman komersial
estimasi jumlah kerugian = 33.5 miliar .
Bangunan kantor 2.3%
Kendaraan 1.0%Inventori kantor 10.0%
Aset lainnya 9.2%
gambar 4.6
Sumber: BPS, kalkulasi staf World Bank
Komposisi kerugian akibat bencana oleh Bank BPD
11� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
komersial, karena aset tidak diasuransikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam. Kerugian atas pinjaman konsumen telah tertutup dengan pembayaran asuransi jiwa dari perusahaan-perusahaan asuransi.
Untuk pinjaman-pinjaman yang kemungkinan masih dapat diperoleh kembali, bank-bank menawarkan berbagai jenis restrukturisasi. Hal tersebut mencakup: (i) memperpanjang jangka waktu pelunasan, (ii) mengurangi suku bunga, (iii) hanya menagih pembayaran pokok, dan (iv) menawarkan masa tenggang. Untuk penghapusan utang, bank berusaha untuk menutup sebagian kerugian dengan menjual jaminan yang ada melalui badan lelang khusus.
Salah satu keprihatinan utama adalah tidak adanya strategi pemerintah yang terkoordinasi terkait dengan NpL, dan bagaimana para debitur yang sekarang tidak memiliki aset dapat melunasi utangnya. Sebuah inisiatif16 baru-baru ini telah diadakan untuk menyediakan prosedur penghapusan untuk utang-utang yang dimiliki BUMN. Akan tetapi, perusahaan swasta, termasuk bank-bank umum, harus mengatasi masalah tersebut sendiri.
peraturan Bank Indonesia yang baru dikeluarkan17 memberikan lebih banyak kebebasan bagi bank-bank dalam memperlakukan debitur yang terkena dampak gempa bumi/tsunami, akan tetapi hal tersebut tidak menyelesaikan secara fundamental masalah kredit macet yang terakumulasi oleh bank-bank umum. Peraturan tersebut memungkinkan restrukturisasi utang dan/atau kredit baru untuk korban bencana. Akan tetapi, keputusan terakhir ditentukan oleh bank umum – tergantung pada kebijakan kredit bank dan prospek usaha debitor. Pada manajer bank umum telah mengindikasikan bahwa
kerugian yang dialami oleh cabang-cabang yang terkena dampak bencana akan ditanggung oleh sistem cabang nasional.
Meskipun mengakibatkan kerugian yang besar terhadap bank-bank lokal, kredit macet yang tidak terakumulasi oleh bank-bank di daerah yang terkena dampak tsunami tidak akan mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Hal ini karena sistem perbankan di Aceh/Nias hanyalah sebagian kecil dari sistem perbankan nasional. Sebagai contoh, Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Aceh hanya memiliki 1,5 persen dari total portofolio pinjaman nasionalnya, dan dari 1,5 persen tersebut hanya sebagian kecil yang terpengaruh karena tidak semua aktivitas kredit berada di daerah yang terkena dampak tsunami.
Bank-bank melaporkan volume operasi dengan nasabah baru yang semakin meningkat. Nasabah-nasabah tersebut sebagian besar terdiri atas: (i) orang-orang yang membeli barang-barang konsumsi yang tahan lama, termasuk mobil yang seringkali digunakan untuk keperluan usaha kecil atau disewakan kepada LSM (ii) pedagang skala kecil yang membeli persediaan barang (kategori ini berjumlah lebih dari 50 persen total seluruhnya) dan (iii) kontraktor konstruksi yang memerlukan modal kerja.
Dalam praktik pemberian pinjaman, beberapa bank sepertinya menjadi lebih fleksibel dalam persyaratan jaminan mereka. Sebagai contoh, BPD menerima surat dari kepala desa yang menyatakan bahwa suatu bidang tanah adalah milik pemohon pinjaman. Fleksibilitas tersebut penting karena sertifikat atau hak atas tanah tersebut bisa saja hancur saat bencana atau sudah tidak ada sejak awalnya. Bank Mandiri menerima jaminan di bawah 100 persen, akan tetapi mensyaratkan agar bagian pinjaman yang tidak terjamin diasuransikan, yang meningkatkan 1,5 - 2 persen biaya keseluruhan
115Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
volume pinjaman yang diasuransikan. Akan tetapi, untuk sebagian besar pinjaman, jaminan 100 persen masih menjadi persyaratan standar.
peningkatan simpanan belakangan ini belum memicu kegiatan pemberian pinjaman yang signifikan. Jumlah simpanan dari segi riil meningkat sebesar 10,2 persen di triwulan kedua tahun 2005, dan meningkat kembali sebesar 3,5 persen pada triwulan ketiga tahun 2005 sebagaimana sumber dana keuangan dari para donor mulai mengalir masuk. Akan tetapi, meskipun jumlah kredit yang diberikan oleh bank selama bulan Maret sampai September 2005 meningkat sebesar 8,3 persen dari segi nominal, hal tersebut praktis tidak berubah dari sisi riil. Sampai akhir bulan September 2005, volume kredit yang belum lunas, dari sisi riil, masih lebih rendah 5,2 persen daripada volume sebelum tsunami (tabel 4.1).
Bank-bank di Aceh dan Nias yakin bahwa tahap rekonstruksi akan mendorong kebangkitan sektor perbankan18. Sebagian
besar manajer bank memperkirakan keuntungan pada tahun 2006 akan berkembang penuh karena kegiatan-kegiatan rekonstruksi. Bank-bank di Aceh juga memiliki harapan yang besar dengan perjanjian perdamaian, karena konflik telah menekan kegiatan-kegiatan ekonomi dan juga perkembangan sektor perbankan di daerah tersebut untuk waktu yang lama.
LINGKUNGAN HIDUP
Tsunami dan gempa bumi menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius di Aceh dan Nias, tetapi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi di seluruh penjuru daerah yang terkena dampak bencana tersebut. Dampak tsunami sangat beragam di tiap wilayah, tergantung pada jarak dari jalur retakan dan arah utama gelombang tsunami. Wilayah-wilayah di pantai barat mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan wilayah-wilayah di pantai timur laut dan pantai timur. Wilayah perairan dan
gambar 4.7 Kerusakan permukaan berdasarkan fungsinya, di Banda Aceh dan Aceh Besar 19
11� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
daratan di sepanjang pantai barat yang berada di jalur yang dilalui oleh tsunami hampir hancur total. Dari aspek infrastruktur dan permukiman, kerusakan yang paling parah terjadi di wilayah perkotaan dan pinggiran Banda Aceh, Meulaboh dan Calang di mana 70.000 hektar lahan rusak dan infrastruktur yang dibangun di atas tanah tersapu habis (Gambar 4.7 : contoh kerusakan di Banda Aceh dan Aceh Besar). Informasi tentang dampak lingkungan di seluruh penjuru Aceh dan Nias dirangkum di Tabel 4.2.
Akibat bencana tersebut, terdapat limbah padat dalam jumlah yang besar dan diperkirakan di Banda Aceh saja ada hampir enam juta meter kubik puing.
Material limbah padat tersebut (yang umumnya terdiri dari air asin, pasir dan partikel tanah liat yang tercemar oleh campuran bahan kimia, minyak, air kotor, puing bangunan dan mayat-mayat yang membusuk) merupakan masalah besar berkaitan dengan kesehatan lingkungan, menyumbat aliran sungai dan dan jalur drainase lainnya. Masalah-masalah lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh tsunami menjadi semakin parah selama pembersihan awal. Sebagian dari limbah tsunami dibuang di tempat-tempat yang tidak tepat. Sawah, tambak ikan/udang dan wilayah-wilayah lain yang kadang-kadang tidak terkena dampak
tsunami menjadi tempat pembuangan limbah tersebut.
Sumur-sumur air minum dan sungai-sungai tercemar parah. Campuran berbagai residu yang terkandung dalam lumpur meresap ke dalam sumber-sumber air, baik yang alami maupun buatan manusia. Tanah lempung pekat, yang merupakan jenis tanah yang lazim ditemui di wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana, digenangi oleh air asin. Selain itu, partikel-partikel padat dari puing dan lumpur kering menurunkan kualitas udara.
Kerusakan parah juga terjadi pada ekosistem laut. Di berbagai tempat, garis pantai telah berubah secara fisik, dengan hilangnya pantai, perubahan pada dasar sungai dan runtuhnya tanah di kawasan pesisir. Di Nias misalnya, beberapa dermaga yang biasa digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan sekarang berada di tempat yang tinggi dan kering di atas permukaan air, yang menunjukkan betapa dahsyatnya perubahan yang terjadi. Meskipun telah diketahui bahwa kondisi karang di wilayah ini berbeda-beda sebelum terjadinya tsunami, penelitian EIA cepat yang dilakukan pada bulan Januari melaporkan bahwa terumbu karang di tempat-tempat yang dangkal tertutup oleh limbah padat seperti ekosistem laut lainnya.
Kerusakan lingkungan yang paling parah bagi perekonomian setempat adalah hilangnya tambak ikan/udang, sawah dan tanah yang diklasifikasikan sebagai perkebunan holtikultura. Infrastruktur budidaya kelautan termasuk tepian sungai, tanggul dan pintu air hancur total. Walaupun sebagian besar lahan pertanian yang terkena dampak bencana dapat dipulihkan untuk ditanami kembali dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, kesuburan tanah merupakan salah satu dari masalah-masalah utama dalam
Indikator-indikator Kerusakan LingkunganTabel 4.2
Sumber: BRR, UNHIC, FAO, UNDP
Indikator Besarnya Kerusakan
Bakau 2,711 ha
Hutan pantai 50,000 ha
Terumbu karang 19,000 ha
Garis pantai 800 km
Aquakultur 20,400 ha
Lahan pertanian 64,000 ha
Pencemaran air/tanah 167,324 ha
Limbah Tsunami 5,765,000 m3
11�Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
jangka waktu pendek sampai menengah. Untuk menghidupkan kembali pertanian dan mata pencaharian banyak orang, diperlukan pendekatan yang terpadu untuk memperbaiki kerusakan fisik dan revitalisasi sistem-sistem pertanian. Masalah-masalah yang terpenting antara lain adalah tanah yang turun permukaannya dan digenangi oleh air, dampak dari endapan lumpur di atas permukaan tanah, erosi yang parah, kondisi salinitas dan tidak adanya drainase yang efisien karena tersumbatnya saluran-saluran air. Reklamasi cepat dapat dilakukan di wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana yang berada di dataran rendah atau tidak terlalu tinggi tetapi hal tersebut akan memerlukan waktu untuk melunturkan garam dengan gabungan curah hujan, irigasi dan drainase.
Kapasitas lembaga lingkungan hidup setempat banyak yang hilang karena bencana. Banyak staf BAPEDALDA, instansi setempat yang bertanggung jawab atas penilaian dan pengelolaan lingkungan, yang menjadi korban bencana (30 persen dari pegawainya tewas karena tsunami). Bangunan-bangunan, catatan-catatan, peralatan kantor dan laboratorium bergerak juga hancur atau rusak, termasuk yang terdapat di Pusat Lingkungan Hidup di Universitas Syiah Kuala. BAPEDALDA
harus segera meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat dengan sukses bekerja sama dan pada akhirnya mengambil alih pekerjaan rehabilitasi lingkungan yang sangat penting yang sedang diprogramkan20.
Kerusakan lingkungan di Nias telah ditandai. Kerusakan di Nias memiliki persamaan dan perbedaan dengan kerusakan yang dilaporkan terjadi di Aceh. Pada satu sisi, sama seperti Aceh, masalah utama adalah rendahnya kualitas air dan sanitasi yang tidak memadai karena infrastruktur yang rusak. Di sisi lain, cukup luas tanah pesisir yang terangkat, sehingga mengubah garis pantai. Perkiraan kasar menunjukkan bahwa lebih dari 250 hektar terumbu karang di dekat Nias telah hancur, tetapi laporan-laporan yang cukup diragukan menyatakan bahwa ikan telah bermigrasi menjauh dari garis pantai dan banyak masyarakat nelayan yang telah kehilangan mata pencahariannya (lihat informasi lebih lanjut tentang Nias di bab 6). Akan tetapi, dengan mempertimbangkan pekerjaan lapangan terumbu karang yang dilakukan baru-baru ini, tidak ada kejelasan apakah kerusakan tersebut disebabkan semata-mata oleh bencana tersebut atau oleh kegiatan manusia sebelumnya.
prOgrAM pEMULIHAN DAN SUMBErDAYA YANg DIJANJIKAN
Biaya minimum untuk memulihkan infrastruktur lingkungan telah diperkirakan sebesar US$175 juta. Kegiatan ini mencakup rehabilitasi ekosistem-ekosistem yang rusak dan membangun kembali kapasitas untuk pengelolaan lingkungan. Pemulihan lingkungan merupakan bagian yang sangat besar dari upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dan akan memerlukan komitmen jangka panjang. Upaya tersebut diperkirakan tidak akan mudah, bukan hanya karena dahsyatnya bencana yang terjadi tetapi juga karena kurangnya sumberdaya dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk rehabilitasi ekologi. Keberhasilan upaya
24
Bilateral 10
6.0 Pemerintah Indonesia
45 Multilateral
gambar 4.8Komposisi pembiayaan atassektor lingkungan (US$ Juta)
LSM
Sumber: BRR, Estimasi staff World Bank, lihat juga anex 6
11� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
pemulihan tergantung pada pemulihan kembali mata pencaharian dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak bagi mereka.
Saat ini terdapat kekurangan dana yang diperlukan untuk rehabilitasi dan restorasi lingkungan kembali ke kondisi seperti sebelum terjadinya tsunami. Sampai saat ini, hanya sekitar US$85 juta yang telah dijanjikan untuk rehabilitasi dan perlindungan lingkungan. US$45 juta telah dijanjikan oleh sumber-sumber multilateral (termasuk US$28,6 juta dari Dana Multi-Donor), US$24 juta dari LSM, US$10 juta dari donor bilateral dan US$6 juta dari sumber-sumber dalam negeri.
KEMAJUAN DALAM rEHABILITASI DAN rEKONSTrUKSI LINgKUNgAN
pengkajian terperinci tentang kerusakan dilakukan oleh berbagai aktivis lingkungan nasional maupun internasional. Sejumlah upaya oleh para donor melengkapi pengkajian lokasi awal, pengumpulan data, pengambilan sampel dan analisis yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk keperluan perencanaan darurat dan proses koordinasi, serta perencanaan pemulihan dan rehabilitasi berikutnya.
• UNEP melakukan pengkajian dampak lingkungan cepat (REA) awal dan membuat proposal bersama untuk penguatan pengkajian dampak bencana terhadap lingkungan dan kapasitas pemberian tanggapan dalam lingkungan KLH.
• FAO melakukan survei udara awal atas dampak terhadap pertanian dan perikanan serta pengambilan sampel di daratan.
• UNESCO membangun Jaringan Koordinasi Pengkajian Lingkungan sukarela yang terdiri dari LSM-LSM lokal dan internasional serta lembaga-lembaga akademis untuk melakukan
pengkajian atas terumbu karang, pohon bakau dan rumput laut.
• UNDP melakukan survei atas lingkungan dan kesehatan manusia.
• USAID melakukan pengkajian wilayan pesisir. Hal ini merupakan pendekatan yang terpadu untuk pelestarian aset-aset lingkungan, pengembangan sumberdaya pesisir yang terpadu dan penanggulangan dampak-dampak lingkungan dari pembangunan wilayah pesisir di sepanjang koridor jalan Banda Aceh ke Meulaboh.
pembersihan limbah padat yang amat sangat banyak saat ini sudah hampir selesai. Tahap pertama dalam pemulihan lingkungan dikelola oleh pemerintah setempat dengan menggunakan kontraktor lokal, kendaraan militer dan peralatan berat. Kegiatan daur ulang oleh masyarakat dan prakarsa uang-untuk-kerja (cash-for-work) mendukung proses tersebut. Dengan dukungan dari pihak internasional, usaha keras tersebut telah berhasil membersihkan Banda Aceh dan Meulaboh dari sampah pada akhir bulan Maret 2005. Selama enam bulan terakhir, sebagian besar limbah padat telah dipindahkan ke lokasi-lokasi yang dikelola, khususnya di Banda Aceh. Akan tetapi, di beberapa tempat di pantai barat (di mana terdapat banyak sekali sampah termasuk tanaman, tanah dan puing-puing bangunan terseret ke laut) operasi pembersihan masih terus berlanjut.
Beberapa prakarsa untuk meningkatkan pengkajian dampak lingkungan dari program pemulihan telah dilaksanakan. Jerman (GTZ) memiliki sebuah proyek untuk meningkatkan kemampuan perencanaan dan pengkajian dampak yang dimiliki BAPEDALDA guna memfasilitasi proses pemulihan yang berkesinambungan dan tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan lingkungan dalam Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Dengan bantuan dari CIDA,
11�Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
ADB dan pihak-pihak lain, BAPPENAS telah menjalin kerjasama untuk pelaksanaan Strategic Natural Resource and Environmental Assessment (SNREA) guna melengkapi rencana Induk dan membantu BRR dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. BAPEDALDA bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala, Panglima Laot dan LSM-LSM lokal untuk mengkoordinasikan upaya-upaya lingkungan. WWF juga melakukan kegiatan untuk memperkuat keterwakilan Aceh dalam proses perencanaan yang sedang berlangsung saat ini melalui pelibatan perwakilan masyarakat madani dari daerah ini. Mereka juga menyoroti masalah-masalah lingkungan yang mungkin berkaitan dengan proses pemulihan dan rehabilitasi, khususnya kemungkinan terjadinya penebangan hutan yang disebabkan oleh tingginya permintaan akan kayu untuk rekonstruksi.
pemerintah telah melakukan penyesuaian atas prosedur-prosedur pengkajian dampak lingkungan untuk mendukung rekonstruksi
yang ramah lingkungan. Menteri Negara Lingkungan Hidup telah mengeluarkan keputusan untuk mengatasi laju kegiatan rekonstruksi di Aceh dan Nias. BAPEDALDA melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga donor untuk menyelenggarakan forum informal untuk membahas perlunya untuk mendukung jasa-jasa lingkungan selama jangka waktu pemberian bantuan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
MASALAH-MASALAH LINgKUNgAN UNTUK TAHUN 2006 DAN SESUDAHNYA
Tantangan-tantangan lingkungan utama dalam upaya pemulihan antara lain adalah pengelolaan sampah, restorasi ekosistem-ekosistem yang rusak dan penanggulangan dampak lingkungan dari rekonstuksi. Pengelolaan lingkungan tetap menjadi prioritas dalam jangka panjang. Tanpa adanya prakarsa daur ulang limbah puing yang layak secara ekonomis, sampah akan terus menjadi hambatan
120 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
fisik untuk pembangunan kembali perumahan dan pertanian dan tetap menjadi kenang-kenangan psikologis tentang bencana yang telah terjadi. UNDP telah mengambil langkah terdepan dalam bidang ini melalui Tsunami Recovery Waste Management Program yang bertujuan untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang efektif dan praktis, termasuk pemilihan tempat-tempat pembuangan atau daur ulang yang sesuai21.
Tantangan infrastruktur lingkungan yang paling utama adalah pembuangan air limbah yang aman. Hampir tidak ada pengolahan air limbah di Aceh dan Nias sebelum terjadinya tsunami; septic tank merupakan bentuk sanitasi yang paling umum, yang biasanya mengalami kebocoran dan kemudian mencemari air sumur. Kemungkinan adanya risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh pencemaran air limbah dan tekanan lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah rumah tangga ke dalam sungai merupakan masalah utama dalam program rekonstruksi manajemen limbah. USAID, melalui International Relief and Development (IRD), mengatasi masalah kebutuhan pengolahan air limbah jangka pendek dengan perbaikan unit pengolahan air limbah Banda Aceh dan pengadaan mobil tinja
rehabilitasi ekosistem yang rusak akan tercapai dengan memfasilitasi replikasi secara alami dan melakukan investasi dalam restorasi. Apabia mungkin, semua program yang kemungkinan memiliki dampak lingkungan diwajibkan untuk melalui prosedur AMDAL serta persyaratan Analisa Dampak Lingkungan lainnya dari setiap donor. Hal ini mencakup kemungkinan dampak dari proyek-proyek rekonstruksi jalan raya seperti yang terdapat tidak jauh dari Hutan Leuser, tetapi juga kemungkinan kontribusi ruang publik untuk daerah sekelilingnya. Pendekatan tersebut dapat dikaitkan dengan rekayasa biologis (bioengineering) atas fitur-fitur perlindungan pantai seperti tambak ikan/udang yang berkesinambungan (yang berkaitan erat
dengan sistem-sistem hutan bakau yang telah ditanami kembali) dan sistem-sistem kehutanan pantai.
perbaikan hutan bakau merupakan prioritas khusus dalam jangka panjang dan akan membutuhkan komitmen yang langgeng dan pengawasan dari semua stakeholder. Perbaikan telah dimulai di Banda Aceh dan Aceh Besar dengan bantuan dari LSM-LSM nasional dan internasional22. BRR baru-baru ini bertindak sebagai tuan rumah dalam peluncuran program bantuan berskala besar untuk penanaman kembali hutan bakau, dengan fokus khusus pada mata pencaharian yang berkelanjutan dan peran serta masyarakat.
Kementerian Lingkungan Hidup sedang mempromosikan prakarsa restorasi lokal dengan menggunakan konsep eco-village dan eco-town. Program Perencanaan Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan ADB pada saat ini berjalan di tingkat propinsi dan kecamatan untuk meningkatkan prakarsa perencanaan untuk program rekonstruksi dan rehabilitasi. Program Perencanaan Tata Ruang Desa AIPRD memberikan bantuan dalam masalah validasi tanah dan kepemilikan di beberapa desa. Sejumlah prakarsa LSM turut dilibatkan dengan pola perencanaan lokasi yang bersifat ramah lingkungan dan partisipatif di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya. Mendorong adanya perlindungan sehubungan dengan permukiman manusia mengurangi tekanan pada tanah dan membantu dalam melestarikan kawasan hutan resapan air di dataran tinggi yang sangat penting untuk pengendalian banjir dan peningkatan kualitas air di kawasan resapan air. UNEP telah menyiapkan sebuah proyek penghijauan kembali kawasan pantai di tiga lokasi yang rusak dilanda tsunami di Simeulue, Pulau Sabang dan Aceh Besar. Di setiap lokasi, masyarakat setempat akan diberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk merancang dan melaksanakan program-program rehabilitasi.
121Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
Kekhawatiran besar yang ada dalam program rekonstruksi dan rehabilitasi adalah dampak lingkungan dari rekonstruksi. Semua instansi merasa sangat khawatir tentang kemungkinan terjadinya kerusakan parah pada lingkungan yang berkaitan dengan permintaan bahan bangunan, khususnya kayu dan batu. • BRR telah memperkirakan adanya
permintaan kayu sebesar kurang lebih 1,5 juta m3. FAO memperkirakan bahwa 70 persen kayu tersebut akan diperlukan sebagai bahan bakar tungku-tungku pembakaran batu bata yang masih tradisional dan sangat tidak efisien di daerah ini. Apabila kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari sumber-sumber lokal, hal tersebut akan mengakibatkan penebangan antara 125.000 dan 250.000 hektar hutan.
• Terdapat banyak perkiraan yang berbeda-beda tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa hanya satu dari sepuluh batang kayu yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia dapat dianggap legal. Oleh karena itu, akan sulit untuk menghindari penggunaan kayu dalam upaya pemulihan saat ini yang berasal dari sumber-sumber yang illegal dan, akibatnya, menimbulkan peningkatan penggundulan hutan. Penebangan liar dan kekurangan pasokan produksi kayu yang terus menerus dapat mengakibatkan daerah-daerah dekat wilayah terkena tsunami23 menjadi rentan terhadap eksploitasi.
• BRR telah bertekad untuk menggunakan kayu legal untuk proses rekonstruksi, yang memprioritaskan sumber dari produksi nasional. Untuk menanggapi masalah penebangan liar, BRR berrencana untuk mendesain sebuah Gugus Tugas Pasokan Kayu, Kehutanan dan Lingkungan yang melibatkan Pemerintah, LSM-LSM lokal dan internasional, dan instansi-instansi lain yang terkait. Donor-donor dapat menyediakan sejumlah kayu dari sumber-sumber yang berkesinambungan sebagai bagian dari program-program
bantuan mereka. Sumberdaya-sumberdaya alternative juga akan dipertimbangkan seperti pohon kelapa, bambu dan kayu bekas.
• Terdapat pula bukti tentang penambangan batu yang berlangsung cepat dan tidak terkendali dan material sungai yang tidak dicuci di wilayah proyek rekonstruksi seperti Sistem Pertahanan Laut Banda Aceh. Dinding laut ini saja dapat menggunakan sampai dengan 330.000 m3 batu. Kegiatan penambangan tersebut dapat semakin menurunkan kualitas ekosistem hutan dan tidak mempromosikan kegiatan daur ulang puing-puing bangunan (termasuk bongkahan-bongkahan lantai beton).
rekonstruksi yang ramah lingkungan membutuhkan perencanaan dan melibatkan berbagai pihak yang memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup. FFI dan Yayasan Internasional Leuser (Leuser International Foundation) sedang mengerjakan prakarsa terbesar untuk melindungi dan mengelola Leuser dan ekosistem Ulu Masen yang lokasinya berdampingan, dengan dana sebesar US $17,5 juta yang akan disediakan oleh Dana Multi Donor. Taman Nasional Leuser ikut serta dalam upaya ini dengan bantuan dari UNESCO untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pemantauan dan pengelolaan. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dapat mengembangkan sistem Chain of Custody yang sederhana, transparan dan inklusif dan memiliki dukungan yang diperlukan. CIDA juga membantu memfasilitasi pengiriman kayu dari Kanada. USAID mendukung Prakarsa Kayu untuk Aceh dari WWF untuk mengirimkan sumbangan kayu ke Aceh. Proyek perumahan Dana Multi Donor memperkenalkan sistem pemantauan pengadaan kayu untuk melacak dan melaporkan skema pengadaan kayu selama tahap permulaan, sedangkan program SPEM dari ADB membuat panduan untuk membantu pengadaan bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan.
122 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Upaya-upaya sedang dilakukan untuk menekankan pentingnya lingkungan hidup dan menciptakan tanggapan yang terkoordinasi. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, UNEP, LSM nasional dan internasional mengadakan konferensi Aceh Hijau (Green Aceh conference) pada bulan Juni 2005 di Banda Aceh. Konferensi ini dirancang sebagai tempat berkumpulnya gagasan-gagasan tentang cara mengintegrasikan praktek-praktek yang ramah lingkungan ke dalam rencana rekonstruksi di daerah-daerah yang terkena dampak tsunami. Konferensi ini memusatkan perhatian pada langkah-langkah praktis untuk rekonstruksi yang ramah lingkungan, pentingnya rekonstruksi hijau, pengelolaan daerah pantai dan perikanan yang berkesinambungan; pengelolaan limbah, air dan sanitasi serta partisipasi masyarakat, pemantauan dan peraturan daerah24. Untuk mendukung konferensi ini, Program Layanan Lingkungan Hidup USAID (Environmental Services Program)
dan BAPEDALDA mengadakan latihan bagi para manajer konstruksi dari berbagai organisasi untuk mengembangkan ketrampilan yang praktis dalam rancangan yang ramah lingkungan.
goodwill politik dan sumber dana finansial timbul sehubungan dengan tsunami harus dipergunakan untuk membangun perekonomian dan masyarakat yang ulet secara social dan ekologis. Kerusakan pada sumber daya laut dan darat harus ditanggulangi, akan tetapi tidak boleh membuat kita lengah terhadap masalah-masalah pengelolaan sumber daya daerah. Terjadinya tsunami tidak mengubah prioritas konservasi serta masalah-masalah pengelolaan dan pemanfaatan tanah jangka pendek dan jangka panjang, akan tetapi rekonstruksi ini memberikan kesempatan untuk membangun kembali Aceh secara lebih baik dan lebih ramah lingkungan.
12�Bab � Pertumbuhan Berkesinambungan
11 Metodologi untuk memperkirakan dampak terhadap PDB di tingkat kabupaten disajikan dalam Lampiran. 12 Garis kemiskinan didasarkan pada konsep konsumsi. Hal tersebut mewakili nilai moneter dari kebutuhan makanan
(food basket) yang mengandung 2100 kalori per kapita per hari ditambah pengeluaran selain untuk makanan yang
diperlukan. Garis kemiskinan setara dengan Rp 129.615 (US$13) dan Rp 108.535 (US$11) per kapita per bulan
untuk Aceh dan Nias, masing-masing.13 Untuk memperkirakan perubahan tingkat kemiskinan di tingkat kabupaten, kami menggunakan elastisitas kemiskinan
terkait dengan pertumbuhan di mana penurunan 1 persen terhadap PDB per kapita merupakan kenaikan sebesar
1 poin persentase dalam rasio perhitungan jumlah orang miskin.14 Food aid – via Dolog’s market operations and
food-aid program of agencies such as WFP – also helped to stabilize food prices. 14 Bantuan makanan – melalui operasi pasar Dolog dan program bantuan makanan dari lembaga-lembaga seperti
WFP – juga membantu menstabilkan harga makanan. 15 Perkembangan harga di Nias setelah gempa yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dibahas pada bab terpisah
tentang Nias.16 Menteri Keuangan, peraturan no. 31/PMK.07/2005.17 No. 7/45/PBI/2005 (dikeluarkan pada tanggal 11 November 2005). Peraturan ini menggantikan peraturan BI
sebelumnya No.7/5/PBI/2005 tertanggal 20 Januari 2005.18 Pembahasan lebih lanjut tentang sektor perbankan di Nias terdapat dalam bab terpisah.19 Peta daerah lain tidak ditampilkan di sini karena keterbatasan tempat.20 Sejak bulan Oktober, BAPEDALDA telah menyelenggarakan pertemuan koordinasi regular negara-negara donor dan
organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan.21 Proyek tersebut sedang dilaksanakan di bawah program Emergency Response and Transitional Recovery (ERTR)
milik UNDP bekerja sama dengan BRR. Anggaran proyek diperkirakan sebesar US$60 juta. Komitmen ERTR dan
Dana Multi Donor adalah masing-masing sebesar US$14,5 juta dan US$15,2 juta. Pihak-pihak lain yang memiliki
kegiatan dalam bidang pengelolaan limbah adalah UNEP, GTZ/ProLH dan Danida via dukungan untuk BAPEDALDA
tingkat propinsi dan kabupaten. ADB telah menyumbangkan $15 juta untuk Program Perencanaan Tata Ruang &
Pengelolaan Lingkungan sementara CIDA melakukan kegiatan bersama dengan konsultan-konsultan dari Kanada
tentang pedoman dan strategi pengeloaan limbah. Selain itu, ada pula LSM-LSM luar negeri (Oxfam, IRD, Mercy
Corp, AusCare, ACTED) dan LSM-LSM lokal (Yehdua, YBI, IDEP).22 LSM-LSM internasional antara lain adalah Pugar, Yagashu, Japan Surf, Islamic Relief dan Oxfam. FAO mendapatkan
pendanaan dari Masyarakat Eropa untuk penanaman kembali pohon bakau. Bantuan mungkin juga akan diberikan
oleh Koica (Korea), Oisca (Japan) dan lain-lain kepada Wetlands International Indonesia untuk pengembangan mata
pencaharian yang berkesinambungan. Dana Multi Donor telah diidentifikasi sebagai mekanisme yang potensial
untuk mendukung penghijauan hutan bakau melalui skema-skema berbasis masyrakat. 23 Ekosistem Leuser—habitat utama bagi orang utan, harimau, gajah dan badak Sumatra—sudah menghadapi
masalah akibat pembalakan liar, dan dapat menjadi sasaran proses pembalakan yang dipercepat dalam konteks
skenario untuk kejadian terburuk (worst case scenario).24 Gubernur Aceh bapak Azwar Abubakar baru-baru ini mencanangkan Aceh sebagai “propinsi hijau,” di mana 40
% dari wilayahnya akan dilindungi sebagai wilayah dengan penggunaan terbatas sehingga kebutuhan kayu untuk
rekonstruksi tidak menggunduli hutan-hutan yang masih tersisa.
CATATAN
12� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
PROSES PERDAMAIAN DAN PEMULIHANBab 5
Bagian ISETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
12� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 melanda propinsi yang tengah mengalami bencana berskala besar, meskipun bencana tersebut adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Konflik yang sudah berlangsung selama hampir 30 tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengakibatkan 15.000 orang tewas dan banyak penduduk kehilangan tempat tinggal. Banyak prasarana yang hancur selama berlangsungnya konflik. Bangunan sekolah menjadi sasaran khusus25. Masyarakat yang terjebak di tengah dua pihak yang berseteru merasa tidak aman dan sulitnya bergerak menimbulkan dampak negatif bagi para petani dan nelayan.
pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan gAM menandatangani perjanjian perdamaian (“Nota Kesepahaman atau MoU Helsinki”). perjanjian tersebut
merupakan hasil dari perubahan dalam lingkungan politik, fluktuasi nasib baik kedua belah pihak dan sebagian juga disebabkan oleh dampak tsunami. Perjanjian ini memberikan harapan yang terbaik bagi terwujudnya perdamaian di Aceh setelah bertahun-tahun. Para perunding di Helsinki serta Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission-AMM) di bawah pimpinan Uni Eropa dan ASEAN telah banyak belajar dari kegagalan Perjanjian Penghentian Kekerasan (Cessation of Hostilities Agreement–CoHA) tahun 2002-2003. Banyak faktor sosial, politik dan ekonomi yang membuat Aceh senantiasa dalam keadaan perang yang dipertimbangkan dalam MoU. Beberapa bulan kemudian, kemajuan yang penting telah berhasil dicapai dan masyarakat semakin merasa yakin bahwa perdamaian akan terwujud.
CATATAN HARIAN NUSA: Dampak Konflik dan Proses PerdamaianKotak 5.1
Menurut penduduk setempat, Nusa tidak pernah menjadi medan pertempuran selama pemberontakan GAM, namun demikian berhubung para pemberontak secara rutin melewati daerah tersebut, patroli TNI telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Masalah kemudian timbul pada bulan Maret, ketika seorang pria mengaku bahwa dirinya didekati oleh sekelompok tentara ketika ia sedang mendaki bukit dalam perjalanan menuju ladangnya. Pria tersebut berkata bahwa ia diinterogasi selama 90 menit dan selama interogasi tersebut berlangsung ia berkali-kali diancam, meskipun ia membawa KTP. “Kata-kata mereka yang terakhir sebelum meninggalkan saya adalah apabila saya memberitahu orang lain tentang apa yang terjadi, mereka akan menyembelih saya,” ujar pria tersebut kepada saya. Sebagai akibatnya, setiap orang yang memiliki ladang di bukit tersebut tidak berani pergi berladang, sehingga kemudian terjadi krisis pangan berskala kecil yang pada akhirnya menambah tingginya tingkat stres.
Beberapa orang tentara ditempatkan di desa tersebut segera setelah terjadinya tsunami akan tetapi mereka tidak berusaha untuk membantu sama sekali, sehingga penduduk setempat semakin tidak menyukai TNI. Keadaan ini kemudian sedikit membaik pada bulan Agustus ketika 14 pasukan tentara tiba di desa tersebut dengan “alasan keamanan” yang tidak dijelaskan – dan kemudian membantu melakukan kegiatan desa. Simpati untuk GAM sulit diperkirakan akan tetapi saya cenderung mengatakan bahwa jumlahnya cukup minimal. Dua orang mantan anggota GAM yang kembali ke desa tersebut setelah dibebaskan sebagai bagian dari proses perdamaian disambut dengan baik tanpa ribut-ribut dan nampaknya telah kembali menjalani kehidupan desa dengan baik. Reintegrasi mereka jelas-jelas didukung oleh kenyataan bahwa mereka berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Namun demikian, kehadiran mereka di sana tidak memiliki dasar yang kuat dan apabila konflik timbul kembali, masalah dapat dengan cepat berubah menjadi rumit. “Saya hanya mengikuti perintah, itulah sebabnya saya kembali ke sini,” demikian ungkap seorang agen intelijen GAM kepada saya. “Apabila saya diperintah untuk kembali berjuang, saya akan segera melakukannya.”
John Aglionby (The Guardian)
12�Bab 5 Proses Perdamaian Dan Pemulihan
Nota Kesepahaman (MoU)Kotak 5.2
MoU terdiri dari enam bagian yang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
- Pemerintahan Aceh
- Hak Asasi Manusia
- Amnesti dan Reintegrasi ke dalam Masyarakat
- Pengaturan Keamanan
- Pendirian Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitor-
ing Mission-AMM)
- Penyelesaian Sengketa
Tsunami memberikan kesempatan untuk mewujudkan perdamaian dan pemulihan keadaan di Aceh, namun demikian masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Berbeda dari masa lalu, sekarang terdapat banyak sumber daya – manusia dan finansial – di Aceh yang dapat menjadi fondasi bagi konsolidasi perdamaian. Namun demikian, kesempatan tersebut hanya dapat dimanfaatkan apabila kita terus memberikan perhatian terhadap berbagai masalah yang akan timbul dalam melaksanakan perjanjian. Meskipun perjanjian perdamaian kali ini lebih bersifat holistik dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian terdahulu, MoU hanya memberikan garis besarnya saja (kotak 5.2)
rincian pelaksanaan seringkali tidak jelas, dan banyak masalah yang belum terpecahkan. Tahun depan akan ditetapkan undang-undang baru yang akan mempengaruhi hubungan antara Banda Aceh dan Jakarta. Undang-undang tersebut, yang akan berfungsi sebagai peraturan pelaksanaan MoU, sudah hampir pasti akan ditentang. Pemilihan gubernur, serta pemilihan bupati di beberapa daerah, yang juga akan berlangsung tahun depan, akan menjadi forum pertama bagi persaingan politik terbuka yang melibatkan personel GAM.
Masa setelah AMM meninggalkan Aceh – saat ini dijadwalkan pada tanggal 15 Maret – akan menjadi masa yang kritis. Setelah berlalunya waktu, bantuan pembangunan, baik nasional dan internasional, perlu mentargetkan kebutuhan-kebutuhan spesifik masyarakat di daerah yang dilanda konflik di Aceh dan bukan hanya daerah-daerah yang terkena dampak tsunami. Dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak komunitas yang telah menderita baik akibat konflik maupun tsunami, proses pemulihan jelas-jelas harus diintegrasikan lebih dalam.
Memastikan bahwa perdamaian akan terus berlangsung di Aceh adalah kunci terciptanya keamanan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Bahkan sebelum terjadinya tsunami, GDP di Aceh terus menurun karena konflik. Tanpa adanya proses perdamaian yang sukses dan berkelanjutan, akan sulit untuk menciptakan iklim investasi yang stabil serta memperkuat kembali pertumbuhan ekonomi. Program pasca konflik yang ditujukan untuk menangani gejala-gejala konflik dan mengatasi penyebabnya berperan penting bagi keberhasilan peralihan dari proses pemulihan jangka pendek saat ini yang menjanjikan tetapi masih rapuh menuju rekonstruksi dan pembangunan jangka panjang.
DINAMIKA KONfLIK pASCA TSUNAMI DAN MoU
Konflik mengalami peningkatan setelah terjadinya tsunami sampai dengan penandatanganan perjanjian perdamaian. Segera setelah terjadinya tsunami, jumlah insiden antara Pemerintah Indonesia dan GAM berkurang menjadi hampir nol karena kedua belah pihak kehilangan pasukan, mengalihkan perhatian mereka untuk menolong para korban, dan membutuhkan waktu untuk menyusun kembali strategi mereka. Namun demikian, seiring
Lihat Lampiran 7 untuk naskah MoU selengkapnya.
12� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
dengan dimulainya rekonstruksi keadaan darurat dan kemudian dimasukinya tahap rehabilitasi dan pembangunan kembali, insiden kembali sering terjadi (gambar 5.1). Meskipun konflik kembali meningkat, hanya sedikit lembaga internasional yang memusatkan perhatian pada konteks konflik di mana mereka bekerja, dan dengan demikian masalah bagaimana aliran bantuan mempengaruhi ketegangan yang sudah terjadi di lapangan kurang mendapat perhatian26.
Setelah dapat dipastikan bahwa perjanjian perdamaian akan segera ditandatangani di Helsinki, jumlah insiden yang berkaitan dengan konflik menurun drastic dan jumlahnya tetap rendah sampai saat ini. Sejak penandatanganan MoU sampai akhir Oktober, hanya 13 kali terjadi insiden yang melibatkan GAM dan tentara Pemerintah, yang menewaskan empat orang. Insiden ini tersebar di 11 kelurahan. Terdapat sedikit peningkatan jumlah insiden pada bulan Oktober, namun demikian saat ini situasi terlihat positif. Diserahkannya senjata GAM dan ditariknya pasukan dan polisi non-organik (pasukan dan polisi yang tidak berbasis jangka panjang di Aceh) telah mengalami kemajuan sebagaimana yang direncanakan, di mana penyerahan senjata dan
penarikan pasukan tersebut akan diselesaikan pada akhir bulan Desember. Meskipun konflik yang terjadi sempat membuat beberapa daerah di Aceh sulit diakses, saat ini semua daerah dapat diakses dengan aman. Penduduk setempat cukup merasa yakin bahwa konflik benar-benar telah berakhir dan kedua belah pihak nampaknya memiliki komitmen yang kuat untuk mematuhi perjanjian perdamaian.
pErSEBArAN KONfLIK DAN KEBUTUHAN SECArA gEOgrAfIS
Lokasi konflik mencerminkan sejauh apa respons terhadap tsunami dan konflik harus dikoordinasikan secara ketat dan, dalam
Perdamaian di Cot Tufah Kotak 5.3
Para penduduk di Cot Tufah kelurahan Paya Bakong,
Aceh Utara, kini memiliki harapan baru dalam hidup.
Desa terpencil ini dikenal sebagai salah satu lokasi
yang sering mengalami kontak senjata.
“Kontak senjata yang terakhir terjadi dua bulan yang
lalu. Sejak perjanjian perdamaian antara Pemerin-
tah Indonesia dan GAM, tidak terdengar lagi letusan
senjata. Kami kini dapat tidur dengan tenang. Dan
kami tidak lagi takut untuk keluar malam,” ujar Mu-
hammad Dahlan (36).
Sejumlah penduduk mengatakan bahwa telah terjadi
perubahan yang penting sejak ditandatanganinya
MoU. Tidak lagi terjadi tembak-menembak. Pasukan
TNI tidak lagi berpatroli di sana. Para anggota GAM
tidak lagi terlihat membawa-bawa senjata.
“Kami dapat bekerja tanpa merasa takut. Tidak ada
lagi pemeriksaan kartu identitas dan penjagaan pada
malam hari. Sejak perjanjian perdamaian ditandatan-
gani, kami dapat bekerja tanpa merasa takut akan
terjadi tembak-menembak “ Suwaibah, ibu empat
orang anak, menerangkan.
Sumber: BRR
Sumber: Newspaper monitoring dataset
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct
gambar 5.1 Frekwensi Konflik GAM - RIPerbulan 2005
12�Bab 5 Proses Perdamaian Dan Pemulihan
beberapa kasus, diintegrasikan. Pada waktu yang bersamaan, daerah yang terkena dampak konflik yang paling parah belum tersentuh oleh bantuan tsunami. Penentuan tingkat kerusakan akibat konflik secara persis dan distribusi kebutuhan secara geografis harus menjadi prioritas.
Konflik tersebar di seluruh wilayah Aceh dan tidak terpusat di kabupaten-kabupaten tertentu yang dianggap rawan konflik. Sementara insiden-insiden yang terkait dengan konflik cukup terkonsentrasi selama tahun ini, dampak konflik pada keamanan masyarakat dianggap cukup nyata, dan dirasakan di seluruh provinsi. Sebagaimana diperlihatkan dalam Peta 5.1, kecamatan-kecamatan di Aceh Jaya, Bireuen, dan Aceh Barat (kesemuanya daerah yang paling parah dampak tsunaminya), memperlihatkan tingkat ketidakamanan yang
tinggi. Ada dua implikasi mendasar. Pertama, pengiriman bantuan untuk pemulihan dan rekonstruksi harus mempertimbangkan dampak dari, dan dampak pada, konflik di daerah yang terkena dampak tsunami. Intervensi tsunami harus peka terhadap konflik. Hal ini termasuk memastikan bahwa berbagai kelompok berbeda memandang diri mereka diperlakukan secara adil, dengan memanfaatkan intervensi yang membantu membangun pranata setempat, dan juga memfokuskan pada proses sebagaimana pada keluaran. Kedua, di banyak daerah, masalah rekonstruksi tsunami dan konflik tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di banyak daerah, dimungkinkan untuk memperluas proyek yang sudah ada ke desa-desa di pedalaman yang memiliki sejarah konflik.
Sebaliknya, banyak daerah konflik yang tidak terkena tsunami. Secara khusus, wilayah
Kecamatan yang terkena Tsunami dan konflik di Acehpeta 5.1
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
tengah Aceh, dimana ketegangan tetap tinggi, hampir tidak pernah mendapatkan bantuan pembangunan. Namun, di banyak daerah seperti ini, kebutuhannya besar. Di Aceh Tengah, diperkirakan 4.000 bangunan dihancurkan selama konflik. Di salah satu kecamatan di Bener Meriah yang berdekatan, 75 persen penduduk bersuku Aceh telah mengungsi akibat konflik, meskipun kini banyak di antara mereka yang telah kembali. Peta 5.1 memperlihatkan sejauh mana daerah-daerah yang terkena dampak
sangat parah dan sangat berat oleh konflik tumpang tindih dengan daerah yang mengalami kerusakan akibat tsunami27.
Koordinasi kelembagaan yang kuat – lintas instansi dan tingkat pemerintahan– akan diperlukan jika program-program rekonstruksi dan pascakonflik hendak dipadukan secara efektif. Kecenderungan saat ini adalah memisahkan bantuan rekonstruksi dari reintegrasi pascakonflik.
Hari-Hari Tanpa KerjaKotak 5.4
Hari-hari kian panjang bagi Fauzi (26) setelah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus. Dia tidak melakukan kegiatan penting apa pun kecuali
nongkrong dengan teman-teman yang sudah lama tidak ketemu. “Setelah kesepakatan perdamaian, kami
menyerahkan senjata-senjata kami kepada para pimpinan. Kami lantas pulang kampung, berkumpul kembali
dengan keluarga dan masyarakat kami. Namun, tak ada sesuatu pun yang dapat kami kerjakan,” kata Fauzi yang
bergabung dengan GAM pada tahun 1998.
“Saya tak tahu pekerjaan jenis apa yang dapat saya lakukan. Jelasnya, saya tidak mungkin menjadi pegawai
negeri, terutama jika mereka menanyakan KTP merah putih saya, saya tidak memilikinya,” kata Fauzi. Ketika
ditanyakan apa yang dapat ia lakukan, ia tertawa dan menjawab “berperang”.
Seorang pasukan GAM yang juga kembali, Maulana Nurding (18) dari Desa Sama Gadeng, Kecamatan Jeunieb,
telah menghabiskan sebagian besar waktunya di Lhokseumawe karena tidak ada yang dapat dilakukannya
di kampungnya. “Saya punya banyak sanak saudara dan kawan di Lhokseumawe. Saya lebih memilih untuk
mengunjungi mereka daripada merasa tertekan di kampung saya,” katanya. Menurutnya, banyak rekannya yang
anggota GAM di Bireuen juga memerlukan pekerjaan.
Meskipun paket reintegrasi pertama telah dibagi-bagikan sebelum Idul Fitri (perayaan di akhir bulan puasa), Fauzi
belum menerima bagiannya. Ia hanya dapat menunggu secara pasif karena uangnya mengalir melalui komandannya.
Di sisi lain, Maulana hanya menerima Rp 160.000 sebelum awal bulan puasa.
Masyarakat berharap pemerintah dapat menanggapi kebutuhan para mantan pasukan GAM tersebut dengan
segera. “Pemerintah daerah seharusnya tidak mengabaikan masalah ini. Jika pemerintah menanggapi terlalu
terlambat, kami khawatir para anggota GAM akan mencari jalan lain untuk menghasilkan uang,” kata Zulfikri Yavon
(50) dari Lhokseumawe.
Putra mantan pemimpin DI/TII (Darul Islam/Tendara Islam Indonesia) Aceh, Yacob Ali berkata bahwa pemerintah
harus bertindak cepat menyangkut masalah pemalakan yang akhir-akhir ini mengemuka. Ia menyarankan kebijakan-
kebijakan perlu dibuat untuk menyediakan lapangan kerja bagi para mantan anggota GAM dan agar janji dipenuhi
tepat waktu sehingga masyarakat akan dapat mempercayai pemerintah. “Masalah mata pencaharian merupakan
ancaman besar terhadap persetujuan perdamaian. Pemimpin-pemimpin daerah seperti para bupati semestinya
tidak mengabaikan hal ini,” kata Zulfikri.
Sumber: diadaptasi dari Ceureumen Edisi 7
1�1Bab 5 Proses Perdamaian Dan Pemulihan
BRR belum memiliki mandat untuk bekerja dengan masalah-masalah pascakonflik, karena program-program pascakonflik saat ini diawasi oleh kantor gubernur dan kementerian-kementerian nasional. Hingga sekarang, tanggung jawab atas perdamaian dan proses reintegrasi tetap kabur. Akan bermanfaat jika mendirikan kelompok-kelompok kerja bersama di tingkat kabupaten yang terdiri atas para perwakilan kantor-kantor wilayah BRR, pemerintah daerah, dan dengan masukan dari GAM, untuk membantu mengoordinasikan penyusunan program-program tsunami dan pascakonflik.
MELESTArIKAN pErDAMAIAN DAN pEMULIHAN DI ACEH: MASALAH-MASALAH KEBIJAKAN UNTUK TAHUN 2006 Komponen utama dalam proses perdamaian adalah pengembangan strategi komprehensif untuk mendukung reintegrasi para mantan pasukan dan tahanan politik gAM ke dalam masyarakat Aceh dan mengaitkan hal ini dengan suatu strategi pembangunan jangka panjang. Peta 5.2 memperlihatkan lokasi kabupaten dari ‘mereka yang pulang’, misalnya para mantan pasukan dan tahanan sebagaimana dirinci dalam Nota Kesepahaman.
peta 5.2 Lokasi Mereka yang Pulang
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Menargetkan berbagai kelompok yang berbeda (pasukan, tahanan, dan penduduk yang terkena dampak) sebagaimana dirinci dalam Nota Kesepahaman adalah sulit. Pertama, tidak ada konsensus tentang jumlah dari masing-masing kelompok yang berbeda dalam kesepakatan. Kedua, pada saat menulis laporan ini, daftar dari orang-orang yang berhak menerima tunjangan masih belum tersedia sehingga menghalangi pemerintah dan IOM –yang menjalankan program ‘reintegrasi’ awal dengan pendanaan EU– dalam memberikan tunjangan kepada para mantan pasukan GAM. Ketiga, Nota Kesepahaman memberikan manfaat kepada ‘mereka yang terkena dampak konflik’ meskipun penjelasan tentang kelompok ini sangat kabur. Pada kenyataannya, hampir setiap orang Aceh telah menjadi korban konflik, baik karena kehilangan anggota keluarga atau teman, karena pelanggaran HAM (oleh kedua belah pihak), atau kehilangan hak kepemilikan atau mata pencaharian. Menggali data akurat tentang beragam kelompok ini akan menjadi krusial, untuk memastikan bahwa korupsi dapat diminimalkan.
pengembangan mekanisme yang efektif untuk penanganan keluhan adalah krusial untuk program reintegrasi. Nota Kesepahamanan (pasal 3.2.6) mensyaratkan pendirian suatu Komisi Penanganan Klaim bersama untuk menangani klaim-klaim yang belum dipenuhi, tetapi belum ada tindakan apa pun untuk pendirian badan tersebut.Seiring dengan penentuan sasaran perseorangan, dan untuk menghindari penolakan yang terus berkembang di antara penduduk desa, masyarakat-masyarakat yang terkena dampak konflik juga memerlukan bantuan. Pengalaman pascakonflik internasional jelas memperlihatkan kebutuhan untuk menunjang bantuan yang diarahkan
untuk kelompok-kelompok tertentu dengan bantuan kemasyarakatan yang lebih luas untuk menghindari terpicunya ketegangan dan konflik lokal. IOM, yang bertanggung jawab untuk menyampaikan paket reintegrasi awal, telah mengembangkan matriks dasar untuk pengembangan program reintegrasi. Matriks tersebut memadukan pengembangan program dengan sasaran perseorangan dan sasaran masyarakat, baik untuk jangka waktu menengah maupun panjang.
Meskipun ada kesepakatan yang luas tentang unsur-unsur program yang dibutuhkan, sebagian besar pekerjaan tetap mencakup perincian strategi besar dan melaksanakan unsur-unsurnya yang berbeda. Pekerjaan ini akan segera dimulai melalui suatu forum bersama baru yang didukung oleh USAID untuk reintegrasi yang mencakup pihak-pihak tersebut di atas, ditambah empat koalisi masyarakat madani Aceh.
Terdapat pendanaan yang terbatas untuk program pascakonflik. Donor (pemberi sumbangan) terbesar adalah Uni Eropa, yang telah memberikan sumbangan sekitar 20 juta Euro, termasuk sumbangan yang cukup besar untuk program reintegrasi IOM. Donor terbesar kedua adalah USAID yang, pada saat menulis laporan ini, telah menjanjikan hampir US$10 juta. Donor-donor lainnya yang telah atau akan memberikan uang, termasuk UNDP, Bank Dunia, dan DfID. Pemerintah telah menyetujui Rp.200 miliar dari anggaran tahun 2005 dan, sebagaimana dimintakan, Rp.600 miliar untuk tahun depan. Sementara jumlah-jumlah tersebut bukannya tidak banyak, pelaksanaan suatu program pemulihan jangka panjang yang komprehensif akan memerlukan sumberdaya tambahan.
1��Bab 5 Proses Perdamaian Dan Pemulihan
25 Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, GAM berpendapat bahwa sistem pendidikan menyebarkan
pandangan yang terdistorsi mengenai sejarah Aceh dan mereka memandang sekolah sebagai simbol negara
Indonesia. Kedua, kedua belah pihak dianggap memanfaatkan sekolah sebagai markas; ini berarti kedua belah
pihak merasa bahwa bangunan sekolah patut dijadikan sasaran. Ketiga, terdapat bukti-bukti bahwa tentara
Pemerintah sengaja membakar bangunan sekolah dan kemudian menimpakan kesalahan pada GAM dengan tujuan
untuk mendelegitimasi organisasi tersebut.
26 Burke, Adam dan Afnan (2005). “Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment.” Indonesian Social Development
Paper No. 9. Jakarta: Bank Dunia/DfID/DSF.
27 Data konflik berdasarkan indeks yang memadukan pandangan terhadap ketidakamanan dan insiden-insiden konflik
pada tahun 2005. Lihat Barron, Patrick, Samuel Clark, dan Muslahuddin Daud (2005). Conflict and Recovery in Aceh:
An Assessment of Conflict Dynamics and Options for Supporting the Peace Process. Jakarta: Bank Dunia/DSF.
NOTES
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
DAMPAK GEMPA BUMI PADA TANGGAL 28 MARET – FOKUS KHUSUS PADA NIAS
Bab �
Bagian ISETELAH SATU TAHUN–DI MANA POSISI KITA?
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Di tengah malam pada tanggal 28 Maret, gempa bumi terkuat kedua28 dalam beberapa dasawarsa, menimpa Nias, Simeulue, dan Singkil. Di Nias, bencana alam tersebut meratakan kabupaten perdagangan ibukota Gunung Sitoli. Hampir 1.000 penduduk kehilangan nyawa. Di Simeulue, pantai selatan dan barat paling parah terkena. Pulau Simeulue diduga telah tenggelam satu meter sebagai akibat gempa bumi pada tanggal 26 Desember dan kemudian naik two meter akibat gempa bumi pada tanggal 28 Maret. Kerusakan di Nias lebih parah dibandingkan dengan kerusakan di Simeulue. Kabupaten Singkil di pantai baratdaya Aceh juga terkena. Di kedua pulau tersebut, bangunan pemerintah dan rumah ibadah, sekolah, puskesmas, dan prasarana transportasi utama rusak, menyebabkan kedua populasi dalam keadaan rentan tanpa layanan kesehatan (peta 6.1).
Kerusakan pada prasarana pulau sangat
menghambat upaya-upaya bantuan darurat. Hal ini telah menunda pembagian bantuan penting secara tepat waktu kepada para korban gempa bumi. Desa-desa secara keseluruhan pindah ke perkemahan atau mendirikan gubuk-gubuk kecil yang terbuat dari dedaunan palem di depan rumah-rumah mereka. Sembilan-puluh persen dari penduduk Simeulue yang berjumlah 78.000 orang pindah ke dataran tinggi, kembali ke rumah-rumah mereka hanya di siang hari. Di salah satu pulau di Kepulauan Bayak, Pulau Balai, terendam pada saat pasang naik. Sebelumnya, pulau ini merupakan pusat administrasi yang kemudian terpaksa dipindahkan ke Pulau Tuangku. Di Singkil, separuh kota terendam air selama pasang naik. Nias paling menderita dan rencana-rencana rekonstruksi sedang dijalankan. Di Nias, para donor dan lembaga internasional kini mengoordininasikan upaya-upaya mereka lebih banyak melakukan rekonstruksi dan
Daerah-daerah yang Terkena Dampak Gempa Bumi tanggal 28 Maret 29peta 6.1
1��Bab � Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 2� Maret – Fokus Khusus Pada Nias
rehabilitasi secepat mungkin. Pulau tersebut akan membutuhkan partisipasi lebih besar dari lembaga-lembaga dan LSM-LSM internasional dalam bulan-bulan mendatang karena alokasi pada saat sekarang tidak memadai untuk menutupi kerusakan yang diderita.
NIAS: BENCANA ALAM MENIMpA pULAU YANg MENDErITA AKIBAT KEMISKINAN pArAH
Kerusakan dan destruksi sangat berat. Sekitar 13.500 keluarga –10 persen dari jumlah rumah tangga– kehilangan rumah mereka. Gempa bumi melumpuhkan ekonomi yang sebelum ditimpa bencana alam pun sudah lemah. Total kerugian diperkirakan senilai US$392 juta (Tabel 6.1), atau hampir 150 persen dari keseluruhan perekonomian Nias.
Kerusakan tersebar luas di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Tidak seperti Aceh, dimana kerusakan akibat tsunami dan gempa bumi sebagian besar terpusat di daerah pantai perkotaan, kerusakan di Nias yang diakibatkan
Estimasi Kerusakan dan Penilaian Kerugian Nias30 Tabel 6.1
oleh gempa bumi kedua mencapai bagian pedalaman pulau dan terjadi di malam hari. Hampir 9.300 rumah, atau 70 persen dari 13.500 rumah yang dibutuhkan, perlu dibangun kembali di daerah-daerah pedesaan. Meskipun demikian, kehilangan nyawa utamanya membekas di kota-kota dimana perumahan permanen yang dibangun secara buruk dan sarana-sarana publik di daerah-daerah yang padat penduduk rusak parah.
Sekitar sembilan bulan kemudian, Nias masih dalam keadaan darurat. Sekalipun tahap darurat secara resmi berakhir pada tanggal 1 Juni, kegiatan-kegiatan masih lebih dipusatkan pada bantuan darurat jangka pendek daripada upaya rekonstruksi jangka panjang. Sejumlah instansi terus memberikan bantuan darurat seperti penyaluran makanan, tempat berteduh sementara, bantuan kesehatan, serta air dan sanitasi, sementara pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam upaya darurat awal telah menghentikan atau memperkecil program-program mereka. Ini termasuk donor-donor besar seperti USAID, IMC, WFP, dan WHO.
Nias merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Lebih dari sepertiga penduduknya –dua kali rata-rata nasional – hidup di bawah garis kemiskinan ketika tsunami menimpa. Hasil keluaran pengembangan SDM rendah dan tidak memperlihatkan tanda-tanda kemajuan lainnya.
Sektor Estimasi
Kerusakan
(juta US$)
Sektor Sosial 56
Pendidikan 23
Kesehatan 23
Kemasyarakatan, kebudayaan, dan
keagamaan
10
Prasarana 306
Perumahan 160
Transportasi 70
Listrik, air & sanitasi, dan komunikasi 76
Sektor Produktif 1
Lintas sektoral (pemerintahan dan
lingkungan)
29
TOTAL 392
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
Diperkirakan 7 persen anak-anak berusia antara 7 dan 12 tahun, serta 1 8 persen dari yang berusia 13 hingga 15 tahun tidak bersekolah31. Banyak desa tidak memiliki akses pada layanan kesehatan dasar, walaupun puskesmas terdapat di seluruh pulau tersebut. Akses dibatasi oleh prasarana yang buruk, dan puskesmas tidak memberikan layanan yang memadai.
• perumahan dan tempat berteduh yang tidak memadai. Seperti Aceh, masalah ketiadaan perumahan yang memadai dan aman sangat serius di Nias. Dari hampir 13.500 keluarga, diperkirakan 8.000 hidup menumpang pada sanak saudara, 4.000 telah membangun kembali rumah mereka atau menempati tempat berteduh yang dibangun sendiri (yang tidak mungkin dapat bertahan di musim hujan), dan 1.500 tinggal di 41 buah tenda pengungsi. Saat ini, sekitar 14 instansi menyediakan bantuan, tetapi kebutuhan masyarakat Nias tidak sepenuhnya terpenuhi.
• Mata pencaharian yang serabutan. Meskipun aset-aset pedesaan hanya sebagian yang rusak akibat gempa bumi, bencana alam tersebut telah menimbulkan dampak yang mendalam pada mata pencaharian penduduk karena banyak di antara mereka kehilangan rumah. Gempa bumi juga memakan banyak korban di antara pedagang lokal, terutama di ibukota Gunung Sitoli. Bencana ini juga memaksa ikan-ikan berpindah ke perairan yang lebih dalam yang lebih jauh dari pantai sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari para nelayan (Kotak 6.1).
• Kemiskinan yang meningkat. Kecenderungan saat ini menyiratkan bahwa kemiskinan cenderung meningkat di atas 50 persen untuk jangka pendek. Bantuan makanan, program modal uang untuk bekerja, dan program transfer akan mengurangi dampak penuh dari kemunduran ekonomi, tetapi sebagian besar penduduk masih dalam keadaan rentan. Dalam sektor pendidikan, hampir 87persen sekolah sedikit banyak rusak −banyak siswa masih belum kembali ke sekolah yang berjalan sebagaimana mestinya dan banyak yang belajar di sekolah-sekolah sementara.
Ekonomi Nias banyak bergantung pada pertanian. Dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 11 persen, pertanian mencakup hampir sekitar 50 persen, dan manufaktur mencakup hanya sedikit di atas satu persen dari total ekonomi lokal (gambar 6.1)32. Selain didominasi oleh daerah pedesaan, ketiadaan prasarana dan layanan di pulau ini menciptakan masalah-masalah penting menyangkut akses dan mobilitas, memisahkan desa-desa dari pasar-pasar dan menyebabkan tingkat perkembangan ekonomi yang rendah.
Tsunami dan gempa bumi telah memperdalam masalah-masalah sosial ekonomi dari daerah yang tertinggal. Keadaan pada saat ini dicirikan oleh:
Jasa 11.4
Sewa bank danjasa usaha5.6
Transportasikomunikasi4.5
Perdagangan, hoteldan restoran20.95
Pertanian 46.7
Industri danmanufacture1.2
Air 1.1
Konstruksi 10.25
Sumber: BPS
Struktur Ekonomi Nias (% )gambar 6.1
Ketersediaan
1��Bab � Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 2� Maret – Fokus Khusus Pada Nias
Lelah Mengejar IkanKotak 6.1
Walaupun tidak separah di Aceh, gempa bumi di Nias, Sumatera Utara, menyebabkan kerusakan yang parah
pada bangunan-bangunan dan memakan banyak korban jiwa. Namun, rekonstruksi di pulau ini, yang juga dikenal
sebagai pulau menari, tetap tak terlihat. Ini terutama terjadi di Alora —sebuah desa nelayan di pulau tersebut—
dimana gempa bumi bukan saja menghancurkan bangunan-bangunan tetapi juga memunculkan masalah baru.
“Setelah gempa bumi, ikan-ikan di sini pindah jauh ke tengah samudera, kami tak sanggup mengejar mereka,”
keluh Darni, 35, seorang nelayan dari Alora. Mereka masih mengikuti cara menangkap ikan secara tradisional yang
memakai perahu-perahu dayung. Perahu-perahu ini bukan hanya tak bermesin, mereka juga tak memiliki layar
untuk menahan angin yang kencang. Semua perahu dayung itu bergantung pada tenaga manusia.
“Kami tak mampu membeli mesin,” kata Darni. Apa yang dianggap kapal besar di Alora sangat berbeda dibandingkan
dengan apa yang terdapat di Aceh. Menurut Darni, kapal-kapal besar hanya dapat mengangkut 10 orang, padahal
di Aceh kapal berukuran sedang dapat memuat sekitar 20 orang. Sebelum gempa bumi, para nelayan Alora
biasanya berangkat melaut jam 4 dini hari dan kembali tengah hari. Kini, banyak nelayan yang tidak bekerja. Kalau
pun mereka pergi melaut, banyak yang kembali dengan tangan hampa.
“Selama tiga minggu terakhir ini saya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun, ini benar-benar buruk,” kata
seorang nelayan yang menjadi ayah dari delapan anak tersebut. Pada waktu sebelum tsunami dan gempa bumi,
masyarakat Alora dapat memperoleh sekurang-kurangnya Rp.25.000 hingga Rp.30.000 per hari. Sulit untuk
memperoleh sebanyak itu saat ini dan sejumlah orang tidak mendapatkan pemasukan apa pun selama sebulan
penuh. Pada saat ini, sebagian besar pengungsi lokal Alora mencari perlindungan di kompleks Islamic Center.
Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa tidak ada komitmen apa-apa dari LSM atau instansi pemerintah
mana pun untuk membantu para nelayan. Mereka juga menyampaikan bahwa mereka belum pernah menerima
bantuan untuk membangun kembali rumah mereka. “Sebelumnya, ada seseorang yang datang mencatat data
tentang kami, tetapi sejauh ini kami belum menerima bantuan,” kata seorang
pErEKONOMIAN NIAS
Dengan mempertimbangkan besarnya kerusakan dan kerugian, perekonomian Nias diperkirakan menurun hingga 20persen pada tahun 2005. Gempa bumi pada tanggal 28 Maret juga menyebabkan peningkatan harga makanan yang pesat tetapi berjangka pendek. Harga bahan makanan pokok, seperti beras, naik lebih dari 50persen di awal bulan April tetapi kembali ke tingkat sebelum gempa bumi pada bulan Mei (lihat gambar 6.2). Intervensi pasar pangan oleh pemerintah dan bantuan pangan dari LSM-LSM dan WFP membantu menjaga
kenaikan harga hingga bulan September, tetapi dengan kenaikan harga BBM secara nasional pada tangal 1 Oktober, harga-harga makanan meloncat kembali sebesar 15 hingga 20 persen.
gempa bumi pada tanggal 28 Maret juga menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap sistem perbankan. Keempat bank umum yang beroperasi di pulau itu (BNI, BRI, Bank Danamon, dan Bank Sumut33 ) melaporkan peningkatan kredit macet yang dramatis, dari satu persen menjadi 40-50persen. Sebagian besar kredit macet merupakan pinjaman komersial (digunakan untuk membeli modal
Sumber: Diadaptasi dari Ceureumen, Edisi 6
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
kerja dan modal tetap) dan sebagian besar tidak diasuransikan. Bank-bank berencana merestrukturisasi kredit macet yang viabel tetapi masih diperkirakan akan melaporkan kerugian besar untuk tahun anggaran 2005 – sebesar minimal lima persen dari total portofolio kredit mereka. Dengan ekonomi yang akan kembali kepada keadaan semula pada tahun 2006, diperkirakan bank-bank akan pulih, tetapi sangat mungkin diperlukan sekurang-kurangnya tiga tahun untuk mengembalikan sektor ini ke tingkat keuntungan sebelum gempa bumi.
prOgrAM DAN KEMAJUAN rEKONSTrUKSI DI NIAS
Tantangan Membangun Kembali Nias sama Besarnya dengan Membangun Kembali Aceh Di banyak daerah di Aceh kehancuran akibat bencana bersifat total sementara di Nias kerusakan yang meluas menyebabkan sangat parahnya pelayanan masyarakat.
Prasarana dan asset yang ada keadaannya hancur berantakan: 11 pelabuhan rusak, 403 jembatan tidak dapat digunakan dan lebih dari 1.000 km jalan daerah dan jalan propinsi tidak dapat dilewati. Kerusakan terjadi di seluruh bagian pulau tersebut dan kurangnya akses dan pelayanan dasar membuat program rekonstruksi yang membuahkan hasil yang cepat benar-benar sulit dilakukan.
Nias belum mendapatkan perhatian dan sumber daya yang cukup. Dari program-program dan proyek-proyek yang bernilai total US$4,7 miliar dolar untuk Aceh dan Nias hanya sekitar US$205 juta yang dialokasikan untuk Nias (Tabel 6.2). Terdapat lebih dari 40 donor dan LSM yang aktif di pulau tersebut, akan tetapi secara komparatif nilai proyeknya kecil (lihat lampiran 6.3). Para donor dan LSM mengalokasikan dana sekitar US$53 juta untuk Nias yang setara dengan 2 persen dari total pengeluaran untuk rekonstruksi akibat tsunami dan gempa bumi.
3000
01/01 01/31 03/02 04/01 05/01 05/31 06/30 07/30 08/29 09/28 01/28
3500
4000
4500
5000
5500
6000
6500
7000
7500
price per kg, rp.
2005
Perilaku Harga Beras setelah tanggal 28 Maret di Niasgambar 6.2
Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia
Beras lokal Beras Bulog
1�1Bab � Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 2� Maret – Fokus Khusus Pada Nias
pemerintah Donor Swasta dan
LSM
TOTAL
Bidang sosial 28 9 16 53
Pendidikan 14 0 8 22
Kesehatan 8 0 9 17
Kemasyarakatan,
budaya, keagamaan
6 9 0 15
Infrastruktur 98 1 24 123
Perumahan 51 1 21 73
Transportasi 30 0 0 30
Kelistrikan, air dan sanitasi, irigasi 17 0 2 19
Sector produktif 7 2 1 11
Lintas sector (tata pemerintahan
dan lingkungan)
19 0 0 19
TOTAL 152 12 41 205
Rangkuman Proyek (dalam juta US$)Tabel 6.2
Dibandingkan degan Aceh, komposisi keuangan juga berbeda secara mendasar. Dana rekonstruksi pemerintah pusat yang disalurkan melalui BRR mencakup lebih dari dua pertiga dari program rekonstruksi saat ini. Bantuan pemerintah tersebut tidak termasuk tambahan US$17 juta dari dana dekonsentrasi yang akan dialokasikan untuk Nias. Akan tetapi, sebagian besar dari dana tersebut hanya akan disediakan dalam anggaran pemerintah tahun 2060. LSM menyediakan sekitar 20 persen sementara donor kurang dari 10 persen dari program rekonstruksi (Gambar 6.3)
Sebagian besar dana yang ada dialokasikan untuk beberapa sektor kunci seperti perumahan, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi di tiap-tiap sektor tersebut dana yang tersedia rendah, demikian juga dana menurut sektor rendah: dalam sektor perumahan, hanya US$73 juta yang telah
dijanjikan untuk Nias dan jumlah tersebut jauh di bawah kebutuhan, dan jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan dana sebesar US$702 juta yang dikerahkan di Aceh yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Sektor prasarana fisik, pendidikan, dan kesehatan masih membutuhkan dana yang besar. BRR akan mengalokasikan 65 persen dari anggaran tahun 2005 dan 2006 untuk perumahan dan prasarana. Peningkatan tersebut akan dapat mengisi beberapa kesenjangan, namun total anggaran yang ada yaitu US$205 juta masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk Nias dan dibutuhkan dana yang besar dari donor dan lembaga-lembaga lain.
• Kemajuan dalam perumahan merupakan tes lakmus bagi upaya rekonstruksi. Pada akhir bulan November, hanya sekitar 200 rumah yang telah dibangun kembali. Kurangnya kemajuan dalam hal penempatan kembali
Sumber: Catatan Konsep BRR; Perkiraan BRR-Bank Dunia; Wawancara dengan beberapa pihak
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
penduduk ke rumah-rumah yang permanen sama seperti di Aceh: setengah dari cadangan rumah rusak atau hancur dan diperkirakan sekitar 10 persen penduduk masih menempati tempat-tempat tinggal yang tidak memiliki atap permanen. BRR dan Palang Merah menitik-beratkan pada upaya-upaya untuk merehabilitasi rumah-rumah yang rusak sebagian, yang merupakan hanya sebagian kecil dari total kebutuhan tempat tinggal. Berkaitan dengan dana, sektor perumahan saja membutuhkan lebih dari US$190 juta untuk membangun paling sedikit 13.500 rumah baru dan merehabilitasi 58,000 rumah. Komitmen-komitmen yang ada hanya cukup untuk membangun sekitar 8.062 rumah baru (Tabel 6.3). Sektor ini membutuhkan lebih banyak pelaku untuk mengisi kesenjangan pembangunan rumah-rumah yang tersisa. Masih terdapat kekurangan sekitar 4.938 rumah lagi.
• Sektor kesehatan: hampir 200.000 anak-anak telah mendapatkan vaksinasi campak pada program utama bulan Juli 2005 yang hampir mencakup seluruh
pulau. Akan tetapi, pelaksanaan harian program kesehatan lainnya terhambat oleh kondisi jalan dan komunikasi yang buruk. Konsorsium yang baru dibentuk (WHO, Mercy Malaysia, UNICEF, IFRC) saat ini sedang memperbaiki Rumah Sakit Umum utama di Gunung Sitoli. Mercy Malaysia, International Aid dan Palang Merah hanya menyediakan 4 puskesmas (satu telah berfungsi, yang lainnya akan mulai tahun 2006).
• Walaupun terdapat kemajuan, setengah dari kebutuhan dana untuk rehabilitasi sektor pendidikan belum tersedia. Sektor pendidikan: Saat ini 214 sekolah melakukan kegiatan di tenda dengan bantuan UNICEF; 43 sekolah sementara dengan 3 kelas akan dibangun antara bulan Januari dan Mei 2006 yang diperkirakan berlangsung 5 sampai 10 tahun (kemitraan IOM/UNICEF). Pembangunan kembali 160 sekolah diharapkan mulai pada bulan Mei dan selesai dalam jangka waktu 2-3 tahun.
Lembaga Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat
Konsorsium Palang Merah 2500
BRR (Rekonstruksi) 1.100
BRR (Rehabilitasi) 850
HELP 785
ACTED 520
Samaritan Purse 461
Zero-to-One/Dela Siga 389
CARITAS Sibolga 250
World Relief dan Holiana’a 249
UNHCR 240
YTB 239
Lain-lain 479
TOTAL 8,062
Komitmen Perumahan Untuk NiasTabel 6.3
151
1541392
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Damage
Million US$
NGOs Donors GOI
gambar 6.3
Funds Allocated
to Projects
Nias-Perbandingan antara Kerusakan dan
Dana yang Dijanjikan
1��Bab � Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 2� Maret – Fokus Khusus Pada Nias
• Masalah kurangnya sarana jalan dan transportasi tetap menghambat upaya-upaya rekonstruksi. Jalan antara Gunung Sitoli dan Teluk Dalam telah diperbaiki (yang dapat mengurangai waktu tempuh sebesar 50 persen) namun terdapat satu jembatan utama yang hampir rubuh yang membahayakan para pengguna rute
untuk pekerjaan rutin, berulang dan darurat untuk memastikan agar akses jalan diperbaiki dan dirawat sepanjang tahun.
• Air dan sanitasi: LSM-LSM besar serta badan-badan internasional seperti UNDP dan UNICEF masih berupaya memulihkan pasokan air bersih dan sanitasi untuk mencegah timbulnya penyakit. LSM-LSM seperti Oxfam, World Vision dan Palang Merah menyediakan tempat-tempat mandi sementara, membangun toilet-toilet baru dan merehabilitasi sumber pasokan air yang rusak seperti sumur-sumur umum. Sektor ini tidak mendapatkan dukungan dana bilateral dan multilateral, dan tingkat cakupannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan cakupan umum yang diperkirakan di Aceh.
HASIL-HASIL TAHUN 2006 DAN SETELAH ITU: TANTANgAN DAN pELUANg UNTUK NIAS
Seperti Aceh, diharapkan tahap rekonstruksi di Nias dapat dipercepat pada tahun 2006. Walaupun keadaan darurat telah resmi dicabut pada tanggal 1 Juni, pulau ini masih dalam tahap peralihan dan belum memulai rekonstruksi utama yang dibutuhkan. Diakui secara luas bahwa kemajuan yang dicapai tahun ini lambat sehingga menambah rasa frustasi dan ketidakpuasan penduduk yang menjadi korban kedua bencana tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi di Nias serupa dengan di Aceh, akan tetapi terdapat beberapa hambatan utama yang mempengaruhi rekonstruksi.
• prasarana buruk merupakan hambatan yang serius terhadap pelaksanaan proyek. Jalan-jalan satu jalur yang sebagian rusak memperlambat pergerakan truk-truk yang membawa bahan-bahan bangunan dan barang-barang berat lainnya. Jaringan jalan yang ada diperkirakan hanya dapat dilewati 20
penting ini. Sebagian besar jaringan jalan ke arah selatan dan utara pulau tidak dapat dilalui, dan kondisi jalan-jalan desa dan jembatan-jembatan lokal - yang kondisinya sangat parah karena kurangnya perawatan dan konstruksi yang buruk - menyulitkan LSM untuk mencapai warga yang terkena bencana. Kurangnya perhatian terhadap saluran air jalan diperkirakan dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut dan cepat pada semua jalan sampai dilakukannya pekerjaan perbaikan dan program-program perawatan berkelanjutan. Prioritas BRR untuk tahun 2006 adalah rekonstruksi jalan, namun program tersebut hanya mencakup sebagian dari perkiraan kebutuhan dan sebagian harus digunakan
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian I SETELAH SATU TAHUN– DI MANA POSISI KITA?
truk per hari dengan beban maksimal, setengah dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan perumahan; ini setara dengan waktu 2.000 hari atau 6 tahun untuk mencapai target pembangunan 13.500 rumah baru. Panjang lajur pacu bandar udara terbatas dan tidak dapat menampung pesawat-pesawat terbang besar yang membawa bahan-bahan dan hanya 4 pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal berukuran sedang. Jaringan telekomunikasi sangat bergantung pada layanan telekomunikasi selular yang sinyalnya sering bermasalah untuk mencakup seluruh pulau (kepadatan telepon jalur tetap saat ini kurang dari 4 persen)
• Masalah tanah belum terselesaikan. Sama dengan masalah-masalah tanah yang rumit yang ditangani di Aceh, batas demarkasi tanah telah hilang di daerah-daerah yang mengalami kehancuran parah. Di pusat-pusat kota, hal tersebut menambah ketegangan sosial antara pemilik sah dan pemerintah daerah. Bukti-bukti kepemilikan sulit ditemukan, banyak dokumen-dokumen yang hancur atau hilang karena gempa bumi. Tingkat pendaftaran tanah sangat rendah dan konsep RALAS belum diterapkan di Nias.
• Lemahnya koordinasi antara Brr dan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam pembentukan unit-unit pelaksanaan kerja memperlambat dimulainya proyek-proyek yang telah direncanakan. Proses pemberian persetujuan lambat karena persetujuan BRR-Nias untuk suatu proyek harus melewati BRR di Banda Aceh, dan kemudian harus melewati departemen-departemen di Medan dan Aceh. Dalam beberapa kasus proses ini memakan waktu sampai 4 bulan.
• Kurangnya pelaku rekonstruksi. Terdapat hanya sekitar 40 LSM di Nias dibandingkan dengan hampir 300 di Aceh. Dari segi
jumlah mungkin cukup tetapi anggarannya kecil. Dibutuhkan lebih banyak pelaku untuk beberapa sektor seperti sektor kesehatan di mana saat ini hanya terdapat 4 pemain utama (YEU, IMC, IFRC dan WHO). Kapasitas LSM juga terbatas dalam hal personil dan persoalan tersebut diperburuk oleh tidak adanya kontraktor dan tenaga kerja yang berkualitas yang tidak mudah didapatkan di pulau tersebut. Terdapat beberapa sekolah tinggi teknik tetapi tidak mungkin bagi sekolah-sekolah tersebut untuk mengembangkan kapasitas yang tinggi untuk upaya-upaya pemulihan.
Akan tetapi rekonstruksi menimbulkan potensi perubahan besar di Nias. Peluang-peluang yang timbul dari tragedi belum muncul di Nias, namun kemungkinannya ada. Dengan adanya upaya-upaya rekonstruksi keadaan ekonomi diharapkan dapat pulih kembali. Pemerintah-pemerintah setempat akan diperkuat dan akan lebih terlibat dalam perencanaan dan pendanaan untuk daerah tersebut di masa mendatang. Dengan adanya dukungan dari donor-donor dan lembaga-lembaga besar, pemerintah di Nias dapat memprioritaskan pembangunan kembali prasarana di pulau tersebut sehingga dengan demikian untuk kali pertama sejajar dengan daerah-daerah lain. Fokus jangka pendek adalah pada sektor-sektor yang diperlukan untuk mempertahakankan keberlangsungan program rekonstruksi.
Jalan yang panjang dan berliku membutuhkan tindakan segera, perencanaan yang hati-hati dan lebih banyak dana. Rekonstruksi dan rehabilitasi membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun dan untuk jangka waktu menengah diperlukan perencanaan yang hati-hati dan perhatian untuk “membangun kembali dengan lebih baik” daerah-daerah yang sudah tertinggal –miskin dan terpinggirkan sebelum gempa bumi dan tsunami melanda daerah tersebut. LSM-LSM yang ada saat ini memiliki masalah dana dan sumber daya
1�5Bab � Dampak Gempa Bumi Pada Tanggal 2� Maret – Fokus Khusus Pada Nias
28 8,7 pada skala Richter; episentrum terletak 150 km dari pantai Sumatera. 29 Sumber: @ Indonesia-Relief-Org30 Untuk gempa bumi pada tanggal 28 Maret, estimasi kerusakan yang paling komprehensif dilakukan oleh IOM (IOM,
Juni 2005). Dengan bantuan data kerusakan IOM, dampak sektoral dan keuangan sekaligus telah diperhitungkan
dengan menerapkan standar data internasional, metodologi ECLAC, yang juga digunakan untuk memperkirakan
tingkat kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tsunami.31 Sumber: Rancangan Laporan Interim Unicef —Economic and Social Trends of Nias, Nov. 200532 Sumber: “Produk Domestik Regional Bruto”, BPS Kabupaten Nias, 2004. Angka-angka perbandingan berlaku
untuk Kabupaten Nias Selatan yang lebih kecil.33 Bank Sumut dimiliki oleh pemerintah provinsi.
CATATAN
manusia untuk mencapai sasaran rekonstruksi dan para donor dan LSM jelas perlu memberikan komitmen yang lebih banyak untuk Nias di masa mendatang. Agar dana dapat dicairkan secara cepat maka dibentuk suatu program sebagai salah satu dari sedikit proyek yang didukung dana aktif − yaitu Program Pembangunan Kecamatan (KDP). KDP beroperasi di 22 kecamatan dan menghabiskan dana sebesar US$8.2 juta.
Stakeholders sadar bahwa diperlukan perubahan yang mendasar untuk meningkatkan tahap rekonstruksi di Nias. Reorganisasi BRR yang terencana akan memberikan otonomi yang lebih besar kepada lembaga ini untuk memberikan persetujuan dan melaksanakan proyek secara tepat waktu dan efisien. Pemerintah pusat juga telah memerintahkan agar para manajer proyek pindah ke Nias untuk mempercepat rekonstruksi. Prioritas diberikan pada sektor-sektor perumahan dan transportasi untuk memindahkan warga dari tenda-tenda ke rumah sementara dan permanen dan untuk tujuan tersebut jalan, pelabuhan jembatan perlu diperbaiki dan dibangun.
Diperlukan perencanaan yang hati-hati dengan melibatkan masyarakat dan stakeholders dan pengembangan kerangka Rencana Rekonstruksi Kecamatan oleh BRR dan donor serta pemerintah-pemerintah lokal. Forum industri konstruksi juga perlu dibentuk secara cepat untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan kembali rumah dan prasarana-prasarana lain. Masalah utama yang perlu dikoordinasikan dan difasilitasi oleh BRR, donor dan LSM adalah jaminan mutu, ketersediaan bahan, penguatan kapasitas tenaga kerja, perawatan dan hubungan antara perusahaan lokal dan perusahaan nasional.
rekonstruksi meletakkan dasar untuk pembangunan ekonomi tahap pertama. Sumber bahan lokal, pembuatan dan transportasi, makanan dan jasa untuk pekerjaan konstruksi semuanya merupakan hal yang penting untuk meningkatkan ekonomi daerah. Dengan adanya pekerjaan konstruksi, maka akan membuka lebih banyak peluang kerja, membangkitkan pariwisata dan perikanan, pemerintahan yang lebih baik, perdagangan yang teratur dan tumbuhnya industri penginapan (cottage).
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian IIKUANGAN DAN KOORDINASI
PEMBIAYAAN REKONSTRUKSIBab �
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Upaya rekonstruksi telah menciptakan paradigma pembiayaan yang baru, dimana pemerintah setempat, donor dan LSM ikut terlibat dalam kedudukan yang setara. Dengan dana sedikitnya US$2.5 miliar, dan proyek-proyek senilai US$1.5 miliar yang telah teridentifikasi, sumbangan LSM-LSM sama pentingnya dengan sumbangan dari lembaga-lembaga keuangan rekonstruksi lainnya34. Pada sebagian besar bencana alam LSM memainkan peranan penting dalam bantuan tahap pertama, tetapi pada peristiwa ini mereka juga memainkan peranan dalam rekonstruksi.
pErKIrAAN BIAYA
Selain gempa bumi yang terjadi pada bulan Maret dan konflik, biaya pembangunan kembali akan meningkat karena meningkatnya angka inflasi. Perkiraan kerusakan dan kerugian pada bulan Januari 2005 sebesar US$4.5 miliar secara mengejutkan masih tetap akurat . Gempa bumi 28 Maret yang menimpa Nias menambah kerugian sebesar US$400 juta. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan biaya pelaksanaan program rekonstruksi sekitar 20 persen atau sekitar US$1 miliar.
rakyat Aceh dan Nias membutuhkan paling sedikit US$5.8 miliar untuk membangun kembali kehidupan mereka (Tabel 7.1). Dana tersebut mencakup kerusakan dan kerugian karena bencana dengan mempertimbangkan laju inflasi yang tinggi, khususnya untuk barang-barang yang berkaitan dengan rekonstruksi. Akan tetapi, karena sektor swasta dan rumah tangga akan mengganti beberapa biaya rekonstruksi secara langsung (sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk Pemerintah) maka kebutuhan dana dari Pemerintah, donor atau LSM akan lebih rendah.
Diperlukan tambahan dana untuk mencapai tujuan jangka panjang membangun kembali seluruh Aceh dan Nias yang lebih baik (building back better). Meskipun sulit untuk menghitung biaya konsep building back better , Aceh dan Nias dapat menggunakan kesempatan untuk memperbaiki sarana-sarana di seluruh daerah yang terkena musibah tsunami, gempa bumi dan konflik. Rencana Induk menekankan secara khusus pada penyediaan layanan publik, dan menambahkan dana US$3 miliar untuk sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan,
Table 7.1
Sumber: Penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian kerusakan BRR/IOM, Penilaian ekonomi (lihat bab 4)
perkiraan biaya
(dalam US$juta)
Keterangan dan asumsi
Tsunami 4.450 Penilaian awal yang secara umum masih akurat;
perkembangan yang ditegaskan oleh penilaian
kerusakan IOM; beberapa sektor kemungkinan
perkiraannya terlalu tinggi (mata pencaharian,
perumahan)
Gempa bumi 28 Maret 392 Penerapan metodologi ECLAC untuk data kerusakan
IOM dan BRR (Lampiran 6)
Penyesuaian terhadap tingkat inflasi 964 Asumsi utama: paling sedikit perlu ditambahkan 20%
untuk mencerminkan biaya sebenarnya36.
TOTAL (Tsunami dan gempa bumi) 5.810
Kebutuhan Rekonstruksi: Membangun Kembali Aceh dan Nias
1��Bab � Pembiayaan Rekonstruksi
transportasi dan kelistrikan. Selain itu, PBB dan LSM akan menghabiskan beberapa ratus juta US$untuk bantuan kemanusiaan di tahun 2006 khususnya untuk penampungan sementara (temporary shelter).
KESELUrUHAN prOgrAM rEKONSTrUKSI DAN pEMBANgUNAN
Total program rekonstruksi dan pembangunan untuk Aceh dan Nias berkisar antara US$8-10 miliar (2005-2009) – merupakan program rekonstruksi yang terbesar di negara sedang berkembang. Dana berasal dari tiga sumber utama, dengan jumlah yang hampir sama:• pemerintah Indonesia diperkirakan
menyumbangkan dana sampai dengan US$3 miliar38. Donor-donor resmi mendukung Indonesia dalam menjadwalkan kembali dana sebesar US$2.7 miliar selama sampai 2 tahun, yang sama dengan US$350 juta perolehan bersih (atau: Nilai Sekarang Bersih – Net Present Value) untuk Indonesia. US$2.1 miliar dari US$3 miliar tersebut
telah dialokasikan untuk BRR. Selain itu, pemerintah pusat diharapkan menyalurkan proyek-proyek investasi sedikitnya senilai US$300 juta untuk proyek-proyek yang sedang berjalan (dana dekonsentrasi). Pemerintah propinsi dan daerah diperkirakan menghabiskan sedikitnya US$350 juta. Akan tetapi, potensi pemerintah daerah untuk memberikan sumbangan terhadap upaya rekonstruksi jauh lebih besar (sedikitnya US$200 juta per tahun) dan posisi fiskal mereka tetap kuat karena adanya bagi hasil dari minyak dan gas bumi39.
• Donor diharapkan menyumbangkan sedikitnya US$3 miliar. Ini termasuk sumbangan donor bilateral dan multilateral yaitu masing-masing lebih dari US$1.5 miliar, yang sebagiannya disalurkan melalui Multi-Donor Fund (US$525 juta, kotak 7.1). Selain dari penjadwalan ulang Paris Club, para donor juga telah menyalurkan dana sekitar US$200 juta kepada LSM-LSM untuk proyek-proyek rekonstruksi40.
Dana Multi-DonorKotak 7.1
Dana Multi-Donor mengumpulkan dana lebih dari US$520 juta dari 15 donor dan merupakan mitra dari pemerin-
tah Indonesia, masyarakat internasional dan masyarakat madani untuk mendukung pemulihan di Aceh and Nias.
Atas permintaan Pemerintah Indonesia para donor tersebut berkumpul bersama untuk menghindari duplikasi dan
mengurangi biaya transaksi untuk pemerintah pusat, BRR dan masyarakat yang terkena bencana. Multi-Donor
Fund diketuai secara bersama oleh BRR, Komisi Eropa dan Bank Dunia. Bank Dunia mengelola dana tersebut
dan bertindak sebagai Wali Amanat (Trustee).
Negara/Badan US$juta
Komisi Eropa 250
Belanda 100
Inggris 44.5
Bank Dunia 25
Norwegia 17.9
Denmark 17.5
Kanada 11
Swedia 10.4
Bank Pembangunan Asia 10
Jerman 10
Amerika Serikat 10
Finlandia 9.5
Belgia 9.5
Selandia Baru 8.8
Ireland 1.2
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
150 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
gambar 7.1
Program Rekonstruksi
Dikomitmenkanbelumdialokasikan
DONORS (1.�)
Penilaian kerusakandan kerugian
(�.5)NGOs (1.5)
NIAS (0.�)
GOI (1.1)
Pemerintah Indonesiadonor LSM
Meningkatkan kualitasfasilitas-fasilitas di daerah yang
terkena tsunami dan gempa bumiPengitegrasian kembali pasca
konfik dan pembangunan
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
i
Membangunkembali
US$ miliar
Membangunkembali lebih baik
Sumber: Sekertariat Dana Multi-Donor
Sudah dialokasikan ke proyek-proyektertentu
Infalasi (1.0)
Kebutuhan Rekonstruksi dan Komitment (US$ miliar)
Kebutuhan
Dana US$4.4 miliar telah digunakan untuk program-program yang kongkrit41. Besar dana tersebut adalah sekitar separuh dari seluruh program yang diharapkan dan proyek-proyek tersebut merupakan program utama dari program rekonstruksi tahun 2006. Alokasi-alokasi tersebut cukup untuk mengganti kerusakan awal dan perkiraan kerugian, tetapi tidak cukup untuk membangun kembali dengan
lebih baik, memenuhi kebutuhan pasca konflik atau mengganti kenaikan biaya.
peluang membangun kembali dengan lebih baik. Pemerintah Indonesia, donor dan LSM telah menjanjikan tambahan dana lebih dari US$4 miliar. Apabila seluruh mitra memenuhi komitmen mereka dan dana tersebut dipergunakan dengan baik maka akan tersedia sampai dengan US$3
Sumber: BRR, anggota CGI, proyeksi Bank Dunia, OECD/DAC, Kantor Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Penilaian Pemerintah Daerah oleh Bank Dunia. Lihat juga Lampiran 1-3. (1) Tidak termasuk US$200 juta melalui LSM, sumbangan Paris Club
Dana rekonstruksi Aceh dan Nias (data dan proyeksi akhir November 2005, dalam US$juta)Tabel 7.2
Total komitmen untuk
program rekonstruksi
(2005-2009)
Telah dialokasikan
ke proyek-proyek
tertentu
Telah
disalurkan
Dana pemerintah
dalam Negeri
BRR 2,100 980 19
Decon 300 83 31
Local 350+ 72 60
Donor(1) Multilateral (incl. MDTF) 2,000 1,074 168
Bilateral 1,600 695 127
Swasta NGO 2,500 1,532 370
TOTAL 8,850+ 4,436 775
151Bab � Pembiayaan Rekonstruksi
miliar untuk menjadikan Aceh dan Nias tempat yang lebih baik dari pada sebelumnya (Gambar. 7.1).
Hampir setengah dari program rekonstruski yang ada, yaitu US$2.2 miliar, dialokasikan untuk perumahan dan infrastruktur. Perumahan adalah sektor yang paling penting dengan alokasi dana lebih dari US$1 miliar, diikuti oleh sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan dukungan masyarakat, semuanya dengan alokasi US$400-600 juta. Alokasi untuk sektor-sektor produktif, pengendalian banjir dan lingkungan semuanya dalam cakupan US$100-200 juta (Gambar 7.2).
Alokasi ini secara garis besar sejalan dengan kebutuhan sektoral dengan sedikit bias pada sektor sosial. Alokasi yang ada saat ini telah melebihi kebutuhan dasar minimum di beberapa sektor. Dana tambahan tersebut dapat membantu meningkatkan mutu perawatan kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa lain dibandingkan dengan keadaan sebelum tsunami. Akan tetapi, walaupun adanya alokasi dana
2006 BRR, sektor transportasi tetap mengalami kekurangan dana; dan bahkan hampir 50 persen dari alokasi transportasi yang ada hanya ditujukan untuk jalan antara Aceh dan Meulaboh. Komunikasi, energi, pengendalian banjir serta lingkungan hidup juga membutuhkan dukungan yang lebih besar. Dana rekonstruksi sesuai dengan kerusakan daerah (spatial damage) namun terdapat bias yang jelas di daerah-daerah yang dekat dengan Banda Aceh. Daerah Aceh Jaya dan Aceh Barat mengalami kerusakan yang paling besar, diikuti oleh Nias, Aceh Besar dan Banda Aceh. Kecuali Nias, semua kabupaten tersebut juga menerima alokasi dana yang terbesar, dan untuk Banda Aceh dan Aceh Besar jumlah dana tampaknya melebihi nilai kerusakan dan kerugian. Sebaliknya, untuk daerah-daerah Aceh lainnya khususnya di Selatan dan Utara-Timur Aceh serta Nias dana yang tersedia masih sangat kurang (Peta 7.1).
pELAKSANAAN
pelaksanaan dari program-program ini dianggap sangat lamban oleh banyak
0 200 400 600 800 1000
Perumahan
Transport
Kesehatan
Pendidikan
Kemasyarakatan, budaya, agama
Tata pemerintahan dan administrasi (termasuk tanah)
Industri, perdagangan, dan usaha kecil
Air dan sanitasi
Perikanan
Infrastruktur lainnya
Pertanian dan perikanan
Pengandalian banjir dan irigasi
Lingkungan hidup
Alokasi sektoral dan program rekonstruksi saat in igambar 7.2
Juta US$
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
152 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Pembiayaan dan kebutuhanpeta 7.1
ACEH UTARA
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOTA)
SABANG (KOTA)
55
68 ACEH S INGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT DAYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN RAYA
ACEH JAYA
82
43
38
72
117
67 69
42
4253
62
190
74
86
67
NIAS SELATAN
NIAS45
40
Above 125100to12575to10050to 75
Below 50Not affected
Rasio pembiayaan atas kebutuhan (%)
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
US$ Juta
Defisit
Surplus
Alokasi dana vs kebutuhan inti minimumgambar 7.3
Kes
ehat
an
Kem
asya
raka
tan,
bud
aya
dan
agam
a
Pem
erin
taha
n da
n ad
min
istra
si
Per
usah
aan
Pen
didi
kan
Air
dan
sani
tasi
Per
tani
an d
an p
eter
naka
n
Per
ikan
an
Infra
stru
ktur
lain
nya
Per
umah
an
Kom
unik
asi
Ener
gi
Ling
kung
an
Pen
gend
alia
n ba
njir
dan
mig
as
Per
hubu
ngan
15�Bab � Pembiayaan Rekonstruksi
pihak. Pada akhir tahun 2005, perbedaan antara dana yang disediakan dan dana yang benar-benar tersalurkan dalam program rekonstruksi masih sangatlah besar. Dari jumlah US$4.4 miliar yang telah dijanjikan untuk proyek-proyek rekonstruksi tertentu oleh Pemerintah, donor-donor resmi dan LSM, baru sekitar US$775 juta yang telah tersalurkan hingga akhir Nopember 2005. Masyarakat di desa Nusa merasa frustrasi sebagai akibat proses menunggu ini (kotak 7.2).
Namun demikian, dalam beberapa bulan ini percepatan konstruksi telah meningkat. Hal ini juga telah dibuktikan dengan kemajuan dalam sektor-sektor utama seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan (Bab 1 dan Bab 3).
Hingga akhir September, penyaluran mungkin tidak lebih dari US$450 juta. Hingga akhir Nopember, total penyaluran dari dana yang terkumpul dari donor, LSM dan Pemerintah RI mencapai US$775 juta, yang yang mana sebesar US$665 juta berasal dari donor dan LSM42. Penyaluran tampaknya telah mencapai US$150 juta per bulan dan total pembelanjaan untuk rekonstruksi diharapkan mencapai angka mendekati US$1 miliar pada akhir Desember 2005, yang benar-benar merupakan tanda bahwa pembelanjaan untuk rekonstruksi tidak dimulai sampai Juli 2005. Jumlah tersebut ditambah lagi dengan lebih dari US$1 miliar yang kemungkinan digunakan selama tahap pemberian bantuan darurat.
Lambatnya Pelaksanaan Proyek di Nusa in Nusa
Kotak 7.2
Kemarahan rakyat desa kepada Pemerintah yang tampak mengabaikan mereka semakin parah sampai-sampai
pada bulan Agustus beberapa orang secara terbuka berpendapat bahwa Aceh seharusnya berpisah dari Indonesia.
“Bukannya kami mendukung Gerakan Aceh Merdeka tetapi kenyataannya kami tidak mendapatkan keuntungan
apapun dengan berada di Indonesia,” kata seseorang kepada saya. “Saya yakin kami akan menjadi lebih baik
andaikan kami menjadi bagian dari Malaysia.” Tetangganya menambahkan: “Kalau bukan karena LSM-LSM,
mungkin tidak akan ada yang berbuat apa-apa di sini”.
Pada dasarnya kemarahan dan kekecewaan mereka dapat dipahami. Satu-satunya proyek pemerintah yang
tampak sedang berjalan adalah klinik (puskesmas) yang didirikan oleh dinas kesehatan tingkat propinsi (lihat bagian
kesehatan). Sementara itu, kebutuhan yang paling dibutuhkan rakyat desa – perbaikan oleh Departemen Pekerjaan
Umum-membangun pintu penahan banjir untuk mencegah agar sawah-sawah tidak tergenang banjir (lihat bagian
Sanitasi Air) – bahkan belum mencapai tahap perencanaan. Namun anehnya, Departemen Pekerjaan Umum entah
bagaimana telah mendapatkan dana untuk memperbaiki jalan dari jalan utama Banda Aceh-jalan raya Meulaboh;
sesuatu yang sebenarnya tidak masuk dalam daftar prioritas rakyat desa, apalagi menjadi yang teratas.
Namun banyak warga desa yang lupa bahwa Nusa merupakan salah satu desa pertama yang memiliki barak,
penyediaan air PDAM dipulihkan dalam beberapa minggu, perusahaan listrik PLN telah bekerja secara baik di desa
ketika dibutuhkan dan guru-guru yang tewas dalam bencana tsunami dengan cepat digantikan. Penyaluran “beras
miskin”, sebagaimana biasa disebut, juga tersedia secara berkala. Camat, Rasidi, yang jarang berkunjung ke Nusa
kecuali apabila jelas-jelas perlu diadakan pertemuan untuk menyelesaikan suatu masalah, seperti pembayaran
Jadup yang tertunda., mengatakan bahwa bukan karena dia atau stafnya mengabaikan Nusa, tetapi karena desa
tersebut menerima lebih banyak bantuan dari LSM dibandingkan daerah lain. “Kami yang menkoordinasikan
bantuan, jadi kami menitikberatkan sumber daya kami ke tempat yang tidak dijangkau LSM. Apa yang diucapkannya
memang ada benarnya, tetapi semestinya dia dapat menangani keadaan tersebut secara lebih peka. Banyak desa
yang juga tidak mengerti bahwa untuk melaksanakan sebagian besar proyek, LSM-LSM seharusnya berkoordinasi
dengan beberapa lembaga pemerintahan.
Sumber: John Aglionby (The Guardian)
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
15� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Tahun yang akan datang akan menjadi masa kritis bagi proses jangka panjang pemulihan Aceh dan Nias. Apabila tahun 2005 merupakan tahun pemberian bantuan darurat, penilaian kerusakan, memahami kebutuhan masyarakat setempat, investasi dalam perencanaan dan masalah-masalah kebijakan, dan pembangunan kemampuan untuk rekonstruksi skala besar, maka tahun 2006 merupakan tahun pelaksanaan yang sesungguhnya. Dengan tambahan US$3,6 miliar yang sudah siap untuk dimanfaatkan, kondisi untuk memperbaiki kehidupan warga Aceh dan Nias cukup baik, apabila hal-hal yang dipelajari dari kendala-kendala yang dihadapi di tahun 2005 dapat diterapkan. Dengan semakin meningkatnya laju program rekonstruksi, mendekati separuh dari keseluruhan program dapat direalisasikan pada akhir tahun 2006. Untuk mencapai target yang sedemikian ambisius berarti penyaluran dana yang perlu dicapai rata-rata di atas US$200 juta per bulan. Dalam skenario ini, dana sebesar US$2,5-3 miliar harus dimanfaatkan di tahun 2006, serta hampir US$1 miliar di tahun 2005, keseluruhan rekonstruksi berjumlah US$3,5 miliar atau lebih. Penyaluran dengan kecepatan seperti ini membutuhkan usaha yang luar biasa keras dan tidak bisa dianggap enteng.
155Bab � Pembiayaan Rekonstruksi
34 Untuk pengkajian lebih jauh tentang sumbangan swasta terhadap upaya rekonstruksi lihat BRR/Bank Dunia,
Rebuilding a better Aceh and Nias, Oktober 2005, bagian 3.1.35 Tim yang beranggotakan lebih dari 100 ahli dari Indonesia dan luar negeri membuat penilaian tentang kerusakan
dan kerugian pada bulan Januari 2005 akibat bencana tsunami dan gempa bumi di Indonesia. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan metodologi standar internasional yang pertama kali dikembangkan oleh Komisi Ekonomi PBB
untuk Amerika Latin dan Karibia (ECLAC atau the UN Economic Commision for Latin America and the Caribbean).
Penilaian lanjutan untuk sektor-sektor tertentu memperbarui angka-angka awal tersebut. 36 Berikut ini adalah parameter yang mendasari asumsi inflasi riil sebesar 20%: (i) inflasi nominal sebesar 30% (termasuk
Nias, di bawah rata-rata Aceh); (ii) Depresiasi Rupiah terhadap US$sebesar 10% sejak bulan Januari 2005; (iii)
asumsi bahwa sebagian besar rekonstruksi dilakukan pada tahun 2006; (iv) turunnya inflasi pada tahun 2007.37 Untuk lebih rinci tentang Rencana Induk dan program investasi yang diusulkan lihat Rebuilding a Better Aceh and
Nias, BRR dan Bank Dunia, Oktober 2005, bagian 3.1.38 Penjadwalan hutang Paris Club sebagian membantu terhadap sumbangan Pemerintah. Pada bulan Mei 2005, Paris
Club sepakat untuk menjadwalkan kembali hutang Indonesia sebesar US$2.7 miliar yang jatuh tempo tahun 2005
sampai dengan Desember 2006 dan akan dibayar kembali setelah 5 tahun. Nilai sekarang bersih penjadwalan hutang
yang sebesar US$2.7 miliar, yaitu perolehan suku bunga untuk Indonesia, tergantung kepada suku bunga rata-rata
selama jangka waktu ini. Sebagai ilustrasi, suku bunga rata-rata 3,5% akan menghasilkan perolehan bersih sebesar
kira-kira US$330 juta. 39 Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengeluaran pemerintah daerah di kabupaten-kabupaten yang terkena bencana
tsunami lihat Rebuilding a Better Aceh and Nias, BRR/World Bank, Oktober 2005, bagian 2.4.40 Ini adalah transfer langsung dari donor ke LSM yang berbeda dengan proyek-proyek yang dirancang donor, yang
menggunakan LSM untuk melaksanakan proyek tersebut dan kemudian dihitung berdasarkan proyek-proyek LSM
(lihat Lampiran 3).41 Analisis keuangan ini berupaya untuk memperhitungkan semua sumber keuangan rekonstruksi yang tersedia:
Pemerintah Indonesia (termasuk pemerintah daerah), donor dan LSM. Untuk menghindari penghitungan ganda
dan mengeluarkan janji-janji yang tidak dapat diwujudkan, maka yang dihitung hanya proyek-proyek yang sedang
CATATAN
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
15� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian IIKUANGAN DAN KOORDINASI
ALIRAN DANA DAN KENDALANYA Bab �
15� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KEUANGAN DAN KOORDINASI
Segera setelah terjadinya tsunami, dana darurat dari berbagai sumber dikerahkan dan dialirkan secara cepat. Sementara bagian terbesar dari dana tersebut mengalir langsung ke penerima dari lembaga-lembaga donor, dukungan operasi militer asing, perusahaan swasta, serta LSM nasional dan internasional, Pemerintah serta militer Indonesia juga memanfaatkan dana darurat dari anggaran mereka untuk memulai operasi bantuan secara cepat.
pENYEBAB KELAMBANAN DALAM prOSES rEKONSTrUKSI Walau bagaimanapun, aliran dana untuk kegiatan rekonstruksi berjalan lamban, terutama dalam 9 bulan pertama sesudah terjadinya bencana. Tentunya, pekerjaan rekonstruksi serius memerlukan waktu yang lebih lama untuk pembangunan proyek, perencanaan, peninjauan dan perhitungan dampak, penyediaan peralatan, dan mobilisasi. Memang, merupakan hal wajar apabila dalam keadaan “normal” proyek-proyek pembangunan di Indonesia membutuhkan waktu sampai 1-2 tahun dari pembuatan konsep awal sampai penyaluran pertama. Namun mengingat tingkat penderitaan orang-orang yang telah kehilangan rumah, mata pencaharian dan lingkungan tempat tinggal, tidak ada yang bisa puas dengan tingkat kecepatan “normal” dalam pelaksanaan proyek. Pada tahun pertama setelah tsunami, pelaksanaan proyek yang lamban membuat para stakeholder menjadi semakin frustasi, terutama warga sekitar, yang merasa semua pelaksana utama dalam proses rekonstruksi, telah kehilangan “sense of urgency” yang diperlukan untuk mempercepat jalannya proyek.
Donor yang menyalurkan dana mereka melalui anggaran pemerintah menghadapi kelambanan khusus namun donor-donor yang “di luar anggaran pemerintah (off-budget)” pun telah menyalurkan dana
lebih lambat dari yang diharapkan. Hingga akhir Nopember 2005, bahkan LSM-LSM baru menyalurkan 25 persen dari anggaran rekonstruksi mereka (lihat bab 3). Walaupun sebagian besar lembaga donor telah memberikan janji mereka untuk proses pemulihan dan rekonstruksi dalam pertemuan CGI di bulan Januari 2005, banyak di antara mereka yang baru secara formal merealisasikan bantuan mereka pada pertengahan tahun 2005. Pemberian persetujuan Pemerintah atas perjanjian-perjanjian induk dengan donor dan atas proyek-proyek donor perorangan kerap memperparah kelambanan ini. Tetapi walaupun proyek-proyek telah disetujui, pelaksanaan proyek dan penyaluran dana tetap lambat. Sementara kelambanan pelaksanan kerap disebabkan oleh kerumitan dan besarnya lingkup tantangan rekonstruksi, terdapat sejumlah kendala administratif yang membuat kelambatan ini menjadi semakin parah. Terutama untuk donor-donor yang menyalurkan dana melalui ”anggaran pemerintah (on-budget)” (Kotak 8.1). Memang, bukan hanya donor-donor asing, BRR sendiri pun harus menghadapi kelambanan yang menjengkelkan dalam penyaluran dana untuk proyek-proyek rekonstruksi.
KENDALA-KENDALA DALAM SISTEM ANggArAN INDONESIA
pada tangal 1 Januari 2005, hanya beberapa hari sesudah terjadinya tsunami, pemerintah melaksanakan reformasi besar-besaran dan jangka panjang terhadap proses anggaran. Reformasi tersebut, diciptakan untuk memperketat pengawasan pengeluaran atas sistem anggaran yang sarat dengan korupsi, dengan membentuk sistem check and balance atas semua tahap penting pembangunan dan pelaksanaan sektoral dan anggaran proyek. Pada saat bersamaan, sistem tersebut mendesentralisasikan keputusan-keputusan pengeluaran kepada departemen terkait dan pemerintah daerah. Sebagaimana semua
15�Bab � Aliran Dana Dan Kendalanya
Penyebab kelambanan dalam proses rekonstruksiKotak 8.1
persiapan proyek dan proses pesetujuan. Sebelum sebuah proyek bisa mulai dilaksanakan, perlu diadakan
persiapan, penilaian dan persetujuan. Hal ini merupakan bagian dari proses koordinasi biasa dan jaminan mutu un-
tuk memastikan bahwa uang dapat mengalir dan digunakan secara efektif begitu proyek pelaksanaan dimulai. Di
Aceh and Nias, setiap proyek mendapatkan persetujuan dari BRR, tetapi selain itu, perlu adanya koordinasi dengan
pemerintah pusat dan daerah serta dengan lembaga-lembaga rekanan lainnya.
proses anggaran pemerintah pusat. Anggaran rekonstruksi, termasuk alokasi untuk BRR, baru mendapat per-
setujuan pada bulan Juni setelah diajukan ke DPR pada bulan Mei.
Anggaran pemerintah Daerah. Tsunami mengganggu proses persetujuan anggaran pemerintah daerah, yang
direncanakan pada bulan Desember 2004. Persetujuan anggaran daerah membutuhkan waktu beberapa bulan un-
tuk diselesaikan. Banyak pemerintah daerah yang menunjukkan sedikit sense of urgency untuk mendukung proses
rekonstruksi dengan harapan bahwa pemerintah pusat, donor dan LSM yang akan mengambil alih pembiayaan.
proses anggaran Donor. Banyak lembaga donor yang melalui proses persetujuan yang tidak kalah lambannya,
termasuk persetujuan oleh parlemen negara donor. Hal ini menjelaskan bahwa banyak donor yang hanya mampu
mengalokasikan dananya pada pertengahan tahun.
pengadaan. Pengadaan terdiri dari sejumlah tahap, dimulai dengan identifikasi spesifikasi dan proses tender dan
diakhiri dengan penyaluran barang-barang dan jasa serta pembayaran. Hali ini membutuhkan kegiatan yang telah
ditentukan dan disetujui, anggaran yang perlu disiapkan dan tersedia, serta sumber daya manusia yang handal
untuk menjalankan proses tersebut.
reformasi yang diadakan secara besar-besaran, proses dan prosedur yang baru tersebut menyebabkan gangguan awal dalam pola standar pelayanan yang mengakibatkan terjadinya kelambanan dalam pelaksanaan anggaran dan pada akhirnya pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dan donor-donor di seluruh Indonesia. Pemerintah daerah di Aceh dan Nias, yang masih menderita akibat dampak bencana, sangat tertekan dengan perkembangan ini.
Kelambanan di tahun 2005 terjadi dalam tahap persiapan proyek dan anggaran dan juga pada proses pelaksanaan anggaran. Proses anggaran, dan kelambatan yang terkait, dapat digolongkan dalam empat tahap (Gambar 8.1):
(i) persetujuan atas anggaran pemerintah: Walaupun dana bantuan yang dialirkan melalui anggaran khusus darurat di bawah pengawasan Badan Koordinasi Darurat Nasional (BAKORNAS), pengeluaran
Pemerintah (termasuk semua donor on-budget) untuk proyek-proyek rekonstruksi harus dimasukkan dalam revisi anggaran 2005 untuk diajukan ke DPR. Anggaran yang telah direvisi akhirnya disetujui pada akhir Juni 2005.
(ii) persiapan proyek (proses rKA-KL): Proses persiapan proyek bagi Pemerintah dimulai dengan pengembangan rencana kerja dan anggaran tahunan kementerian (RKA-KL), yang diinformasikan melalui rencana kerja pemerintah (RKP) dan pagu anggaran. Badan-badan pelaksana menyerahkan rancangan anggaran kepada Departemen Keuangan untuk ditinjau ulang dan disetujui, tetapi anggaran yang disiapkan secara tergesa-gesa sering melalui beberapa tahapan perbaikan dan, ditambah dengan prosedur administratif yang lamban, biasanya merupakan sumber utama yang menyebabkan kelambatan. mempersiapkan Daftar Isian Pengeluaran Anggaran (DIPA) berdasarkan semua penyaluran harus mendapat
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KEUANGAN DAN KOORDINASI
pengesahan dan diproses melalui Kantor Perbendaharaan Negara (KPPN). DIPA BRR diterbitkan pada bulan Juni. Proyek-proyek yang dibiayai donor yang dilaksanakan oleh departemen-departemen di Jakarta cenderung menghadapi kelambanan yang lebih besar dalam penerbitan DIPA mereka.
(iv) pelaksanaan proyek. Setelah dikeluarkannya DIPA dan penunjukan penandatangan yang berwenang, unit-unit kerja proyek dapat mulai menjalankan komitmen untuk penyediaan berbagai barang dan jasa. Namun demikian, standar prosedur penyediaan peralatan, yang tidak didesain untuk keadaan darurat, telah menyebabkan kelambanan lebih lanjut. Harus dicatat bahwa donor-donor bilateral yang berada di luar anggaran pun dan bahkan LSM-LSM juga mengalami kelambanan yang disebabkan oleh prosedur pengadaan mereka sendiri, yang seringkali memerlukan transparansi dalam persaingan penawaran sehingga membutuhkan waktu lama.
Meskipun revisi anggaran 2005 mengalokasikan dana yang cukup besar kepada Brr pada bulan Juni 2005, sebagian besar dari dana tersebut telah disalurkan secara langsung melalui departemen-departemen terkait dan pemerintah daerah. Pendekatan “jalan pintas” ini telah juga mengakibatkan kelambanan penyaluran yang berasal dari dana BRR sendiri. Proses pengidentifikasian badan-badan pelaksana serta penunjukan Satuan Kerja yang bersedia untuk bekerja di bawah naungan BRR yang meningkatkan pengawasan pengeluaran dana ternyata lebih lambat dari yang diperkirakan. Selain itu, proyek-proyek yang disiapkan secara terburu-buru untuk diperiksa Parlemen pada bulan Mei-Juni 2005 seringkali memerlukan revisi anggaran yang menyita waktu lama sebagai jawaban dari keadaan yang cepat berubah di lapangan.
Proses anggaran pemerintahgambar 8.1
- Procurement
Project donorProject pemerintah
- Otorisasi penandatanganan
- Pencairan (beberapa jalur)Persiapan proyek
Persiapan anggaran
RKA - KL
DIPA
Perjanjian hibah/pinjaman
Implemetasi proyek
1�1Bab � Aliran Dana Dan Kendalanya
Dana Perwalian untuk Pemulihan Aceh dan Nias Kotak 8.2
Dana Perwalian untuk Pemulihan Aceh dan Nias (RAN-TF) dibentuk pada bulan Oktober oleh BRR, dengan
menggunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan Keputusan Presiden untuk membantu para donor
menyalurkan dana sebagai alternatif dari aliran dana dari anggaran.
Tujuan dibentuknya dana ini adalah untuk mempermudah dan mempercepat setiap langkah dalam menjawab
kebutuhan program, dan mempertemukannya dengan donor-donor yang mencari jalur pembiayaan yang paling
efisien. Dana Perwalian tersebut meliputi dana ‘terbuka’ untuk disalurkan BRR untuk program-program yang
paling membutuhkan, atau dana-dana ‘tertutup’ bagi pemberi donor yang ingin menyalurkan pada proyek-proyek
khusus tertentu. Sejak dimulainya program dana ini, donor-donor sudah bergabung meliputi pemerintah Yunani
dan Cina, serta perusahaan Alcatel, BP, JSE dan BNI.
RAN-TF memiliki lima rekanan dari bank-bank komersial – HSBC, Deutsche Bank, Bank Niaga, BNI 46, dan Standard
Chartered. Bank-bank tersebut menyediakan semua pengelolaan keuangan untuk program ini, termasuk setiap
tata buku dan administrasi dana. BRR bertanggung jawab atas pengawasan terhadap program dan alokasi dana,
serta agen penyediaan peralatan akan dilibatkan untuk mengelola penyediaan jasa-jasa. Pengaturan ini ditujukan
untuk memastikan profesionalitas dan standar tinggi sebagai pertanggungjawaban atas program rekonstruksi.
pErKEMBANgAN TErAKHIr DAN pErKIrAAN DI TAHUN 2006
Setelah adanya intervensi langsung oleh presiden Yudhoyono untuk mempercepat perkembangan rekonstruksi, daftar panjang proyek-proyek dari donor on-budget yang masih tersisa mulai ditangani segera. Proyek-proyek yang disetujui dari Dana Multi-Donor (yang diawasi oleh Bank Dunia) serta Proyek Pendukung Darurat Bencana Tsunami dan Gempa Bumi (yang ditangani oleh ADB) telah mulai diproses melalui sistem anggaran dan mulai secara aktif disalurkan. Setelah permulaan yang lambat, lebih dari US$75 juta akan disalurkan oleh Dana Multi-Donor sampai akhir tahun. BRR belum lama ini juga baru membentuk Dana Perwalian untuk Pemulihan Aceh dan Nias (Recovery Aceh Nias Trust Fund) yang dapat membantu menyalurkan dana-dana yang berasal dari para donor, termasuk sektor swasta, dengan lebih mudah (kotak 8.2).
Untuk mengatasi kelambanan dalam sistem anggaran, pemerintah telah menyetujui pengalihan atas dana-dana yang belum terpakai dari revisi anggaran 2005 ke proyek-proyek rekonstruksi di tahun 2006. Sementara prosedur normal mensyaratkan agar dana-dana yang belum terpakai dikembalikan ke Departemen Keuangan, persetujuan atas pengalihan tersebut sampai bulan April 2006 – dengan pilihan untuk melanjutkan sampai September 2006 – akan memberikan cukup ruang untuk melaksanakan proyek-proyek yang dianggarkan pada tahun 2005. Namun demikian, merupakan hal yang krusial bahwa prosedur untuk mengurus pengalihan dana ini tidak menyebabkan kelambanan lebih lanjut dalam pelaksanaan proyek.
penyusunan anggaran tahun 2006 tampaknya sesuai dengan rencana. Anggaran ini disetujui oleh DPR pada tanggal 27 Oktober 2005, termasuk alokasi sebesar US$583 juta untuk BRR dan tambahan sebesar US$369 juta dari proyek-proyek donor yang
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KEUANGAN DAN KOORDINASI
disalurkan melalui anggaran pemerintah (on-budget). Departemen Keuangan berniat untuk menerbitkan dokumen anggaran BRR pada tanggal 2 Januari 2006, yang memungkinkan BRR untuk menyalurkannya dengan segera ke proyek-proyek rekonstruksi. Peraturan Presiden yang baru-baru ini diterbitkan memungkinkan BRR untuk secara langsung menjalankan proyek dan mengikuti panduan pengadaan peralataan darurat bagi sektor-sektor tertentu sampai bulan Juni 2006 sehingga mempermudah lagi percepatan penyaluran dana.
Walaupun telah terjadi perkembangan dalam beberapa waktu terakhir, masih diperlukan serangkaian prosedur yang dapat mempermudah dan mempercepat penggunaan dana untuk proyek-proyek
rekonstruksi di Aceh dan Nias dengan pengawasan keuangan untuk memastikan terjadinya percepatan pelaksanaan proyek di tahun 2006. Kecepatan “normal” pelaksanaan proyek sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendesak bagi mereka yang hidupnya terkena dampak tsunami dan gempa bumi. Meskipun kepemimpinan yang tegas oleh Presiden telah menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tahun 2005, hal ini bukan merupakan penyelesaian kelembagaan yang efektif atas kendala-kendala yang terjadi. Meski kendala administratif yang memerlukan intervensi presiden telah terselesaikan, hal ini telah menyebabkan kelambanan yang tidak diinginkan. Untuk ke depannya, sangatlah penting untuk mencari penyelesaian yang dapat mengatasi masalah, baik itu yang berasal dari anggaran (on-budget) maupun di luar anggaran (off-budget).
1��Bab � Aliran Dana Dan Kendalanya
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KEUANGAN DAN KOORDINASI
Bagian IIKEUANGAN DAN KOORDINASI
TANTANGAN KOORDINASIBab �
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KEUANGAN DAN KOORDINASI
Banyaknya lembaga-lembaga donor dapat menyebabkan kebingungan dalam menjalankan kegiatan. Dengan hampir 500 organisasi yang terlibat dalam program pemulihan, termasuk lembaga-lembaga multilateral dan bilateral, LSM-LSM nasional dan internasional, perusahaan-perusahaan swasta dan asosiasi-asosiasi, serta kelompok masyarakat madani, tidak dapat dihindari terdapat pendekatan, standar, dan gaya yang berbeda-beda. Telah banyak contoh akan adanya persaingan antar-lembaga, terjadinya “pelanggaran” wilayah operasional dan keengganan untuk berbagai rencana serta hasil penelitian. Kebanyakan donor memiliki jiwa kebersamaan, namun sangat sibuk dengan pekerjaan langsungnya sehingga mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk memberitahukan yang lain tentang program mereka, apalagi waktu untuk berbagi pelajaran yang telah diperoleh.
Masalah-masalah koordinasi telah menyebabkan terjadinya kesenjangan, duplikasi, ketidakefisienan dan berbagai ketidakjelasan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakselarasan hubungan antara kebutuhan dan program pemulihan. Banda Aceh dan Aceh Besar memiliki cakupan LSM terbesar, masing-masing lebih dari 50. Konsentrasi pengungsi juga amat tinggi di kedua pemerintahan daerah ini, akan tetapi kabupaten-kabupaten sekitarnya (Aceh Jaya dan Pidie) juga memiliki pengungsi namun mendapatkan bantuan yang lebih sedikit. Kita melihat kesenjangan yang serupa dalam pembiayaan proyek-proyek antar-sektor dalam bab 7. Logistik merupakan bagian dari masalah ini – kegiatan-kegiatan donor/LSM sangat terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang mudah dicapai melalui jalan darat maupun pesawat dan helikopter PBB – namun terdapat
Distribusi Kegiatan LSM berdasarkan kebupaten dibandingkan dengan kebutuhanpeta 9.1 (Dinyatakan dalam Jumlah Pengungsi)
1��Bab � Tantangan Koordinasi
lebih banyak kelemahan mendasar lagi dalam hal pola koordinasi.
Walaupun koordinasi merupakan mandat utama dari Brr, usaha pemulihan merupakan tanggung jawab bersama bagi semua stakeholder. Hal ini merupakan kesimpulan utama dari Forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias (CFAN) pada bulan Oktober 2005. Forum tersebut adalah kesempatan pertama semua pemimpin dari semua kelompok stakeholder berkumpul untuk menentukan cara-cara yang lebih efektif untuk memenuhi tantangan pemulihan. Temanya adalah koordinasi dan tanggung jawab bersama yang lebih baik untuk memastikan standar tinggi serta akuntabilitas yang tinggi bagi rakyat Aceh dan Nias.
gAMBArAN TENTANg KOOrDINASI SEJAUH INI
Koordinasi selama tahap bantuan kemanusiaan menghadapi kendala utama dalam hal logistik. Berdasarkan penilaian kebutuhan dan keadaan secara real-time, hal utama yang harus diketahui: siapa yang menyediakan apa, di mana dan kapan. Koordinasi semacam ini telah secara efektif dijalankan oleh BAKORNAS, militer Indonesia, UN OCHA, dan Palang Merah/Bulan Sabit Merah. Tetapi begitu pemulihan darurat beralih ke rekonstruksi, tugas koordinasi menjadi lebih kompleks. PBB mulai mengadakan berbagai pertemuan koordinasi bagi lembaga-lembaga bilateral dan multilateral, terkadang melibatkan LSM-LSM terbesar.
Brr mengambilalih kepemimpinan. BRR menyadari bahwa prioritas utamanya adalah untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang penanggulangan bencana tsunami di setiap wilayah di Aceh dan Nias, dan di semua sektor. Hal ini telah memungkinkan BRR untuk menetapkan pada bagian mana saja terdapat kebutuhan yang belum terpenuhi atau adanya
duplikasi, dan tempat-tempat di mana terdapat pekerjaan yang memiliki mutu yang rendah. Alat koordinasi utama BRR adalah proses persetujuan proyek jalur cepat di mana setiap lembaga diharuskan untuk mengajukan Nota Konsep Proyek (Project Concept Note) yang merinci rencana-rencana proyek, lokasi serta kegiatan-kegiatannya, anggaran serta target, yang kemudian dimasukkan dalam database proyek. Untuk memantapkan koordinasi dan transparansi, proses ini dijalankan secara terbuka.
TANTANgAN KOOrDINASI DAN STrATEgI UNTUK MENgHADApINYA
Meski terdapat banyak kelompok kerja yang mencakup hampir seluruh aspek pemulihan, sebagian besar staf lembaga yang berpenglaman akan mengatakan bahwa koordinasi sesungguhnya masih agak lemah. Sebagian besar pertemuan yang
Pertemuan Berkala Kelompok Kerja Untuk
Sektor Khusus Di Banda Aceh Kotak 9.1
Konstruksi/pembangunan Sektor Sosial/Lainnya
Tempat Penampungan Kesehatan
Penampungan Sementara Kebersihan
Sanitasi-Air Bersih Makanan dan Nutrisi
Logistik Kesehatan Reproduksi
Pembangunan berbasis
masyarakat
Psiko-sosial &
Kesehatan Mental
Ketersediaan Obat-
obatan
Pemerintahan Malaria
Mata Pencaharian Pendidikan
Perikanan & Ternak Perairan Perlindungan Anak
Pertanian Jender
Informasi Publik Kemanusiaan
Manajemen Informasi dan
Pemantauan
Keamanan
Task force Pihak Swasta
(dipimpin BRR)
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
sebenarnya dimaksudkan untuk koordinasi hanya berhasil menjadi ajang pembagian informasi ketimbang pembuatan rencana strategis. Terdapat spiral yang berliku; para pemimpin lembaga sibuk dengan program-program mereka sehingga mereka menjadi frustrasi ketika harus menghadiri pertemuan yang, berlingkup internasional, namun tidak bermanfaat; mereka pada akhirnya menyerahkan hal ini kepada staf yang lebih junior, yang membuat pertemuan mereka berisi informasi ketimbang berisi strategi-strategi.
Pada pertemuan pertama CFAN, BRR dan para peserta mencapai kesepakatan tentang strategi untuk membuat keseluruhan lebih besar dari kumpulan bagian-bagian kecil melalui koordinasi yang lebih proaktif, yang dirangkum dalam enam tujuan:
1) penguatan pembuatan kebijakan: BRR kini mengusulkan kelompok penasehat kebijakan untuk mencapai kesepakatan tentang cara terbaik menghadapi permasalahan penting tertentu (seperti dalam sektor perumahan). Dalam hal ini, BRR membentuk kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari tenaga-tenaga ahli yang paling berpengalaman dalam topik yang bersangkutan dari dinas-dinas di tingkat propinsi, donor, LSM internasional serta masyarakat madani. Keputusan-keputusan tentang kebijakan dicapai melalui proses seperti demikian akan lebih mudah dihormati dan dipahami.
2) Tanggung jawab bersama untuk menyelesaikan masalah: Usaha-usaha koordinasi awal BRR dimaksudkan untuk mencapai model “hub and spoke” (roda dan jari-jari) di mana semua lembaga berhubungan secara langsung dengan BRR, dengan mengandalkan hal tersebut untuk menjalin komunikasi dan mendapatkan informasi secara internal yang mencakup semua donor. Tetapi begitu kecepatan pemulihan bertambah cepat, BRR mustahil dapat menangani setiap proyek atau masalah; sehingga perlu meringkas fungsi dan bekerja secara kemitraan dengan lembaga-lembaga lain. Kunci utama untuk maju dalam hal penyelesaian masalah adalah dengan menciptakan struktur untuk
1��Bab � Tantangan Koordinasi
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pada tingkat yang serendah mungkin, sambil memastikan bahwa terdapat kejelasan atas panduan untuk mengajukan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat tersebut.
3) perencanaan Menyeluruh: Banyak lembaga dapat bekerja di desa yang sama. Namun pada tingkat tersebut, kedekatan jarak biasanya memungkinkan berbagai pihak untuk menghindari tumpang-tindih – tetapi biasanya sulit untuk membuat rencana menyeluruh dalam jangka menengah, yang bisa disetujui oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Karena itu, sangat perlu untuk mengubah koordinasi pada tingkat kecamatan. Pengalaman di sejumlah tempat di mana hal ini berkembang dengan baik (terutama Aceh Besar dan Pidie) menunjukkan bahwa perencanaan yang baik, rapat koordinasi berkala yang melibatkan semua pihak terkait memungkinkan untuk memberikan gambaran tentang kebutuhan dan program yang berjalan di berbagai desa untuk mengidentifikasi masalah mutu atau
konsistensi, untuk mendeteksi adanya kesenjangan atau tumpang-tindih, dan untuk menentukan cara-cara yang lebih baik untuk bekerja sama. Kini BRR menjalankan koordinasi tersebut di semua daerah yang terkena dampak kerusakan dan akan memastikan bahwa hasil dari rapat-rapat tersebut dimasukkan ke forum koordinasi tingkat wilayah – lagi-lagi melibatkan banyak pihak terkait dan dipimpin oleh para bupati.
4) Kerjasama dalam mempertahankan standar: BRR ditugaskan dengan manajemen mutu keseluruhan tetapi tidak dapat mencapai hal ini tanpa dukungan aktif dari rekan-rekan operasionalnya. Saat ini menjadi penting untuk membangun mekanisme yang efektif dengan dukungan yang luas untuk memantau pelaksanaan. Berbagai mekanisme untuk mengkontribusi hal ini sedang dipertimbangkan, termasuk menugaskan lembaga-lembaga independen untuk meneliti program atau untuk mengadakan pemeriksaan tertentu, mempromosikan mekanisme peninjauan, mengusulkan skema “mitra yang terakreditasi” yang diciptakan untuk membantu LSM-LSM yang lebih kecil dalam pemantauan mutu dan kepatuhan, serta penguatan pemantauan kegiatan-kegiatan rekonstruksi yang dibiayai pemerintah. Untuk hal yang terakhir, BRR telah menempatkan sebuah program untuk pemantauan dan pemenuhan mutu dari $397 juta atas program-program yang dikelola di bawah anggarannya sendiri di tahun 2005.
5) pengumpulan data yang lebih baik: Sampai sekarang, hampir satu tahun sesudah terjadinya tsunami, diperlukan usaha yang sangat besar untuk mendapatkan gambaran yang pasti dan konsisten tentang kebutuhan-kebutuhan
Database Pemulihan Aceh NiasKotak 9.2
Database RAN adalah sistem manajemen informasi milik BRR untuk proyek-proyek rekonstruksi, menggunakan database yang serupa dengan Negara-negara yang terkena tsunami.
Database ini diluncurkan pada akhir bulan Oktober 2005, berisi informasi tentang persetujuan dan kemajuan semua proyek berdasarkan sistem persetujuan ‘Nota Konsep’ BRR, ditambah pemantauan data berdasarkan pada ‘kinerja indikator utama’ pelaksanaan pada tiap sektor.
Semua isi database dapat diakses oleh umum melalui website www.e-aceh-nias.org dan organisasi-organisasi dapat memperbaiki informasi proyek mereka secara on-line.
Sumber: BRR
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian II KUANGAN DAN KOORDINASI
dan perkembangan-perkembangan, walaupun terdapat banyak studi dan penelitian. Profesionalisme yang lebih besar dibutuhkan di masa mendatang dalam pengumpulan data dan lebih banyak disiplin untuk operasional informasi. BRR, Sistem Manajemen Informasi PBB dan Bank Dunia kini telah membentuk Advisory Group on Information Management and Monitoring (Kelompok Penasihat Manajemen Informasi dan Pengawasan) untuk mengawasi mutu survei dan penelitian di masa yang akan datang. Dan BRR menjadi lebih tegas dalam mengharuskan semua donor serta LSM Internasional untuk menyediakan informasi secara berkala tentang perkembangan
dari proyek mereka dalam sebuah sistem yang tersentralisasi (Database Pemulihan di Aceh dan Nias – RAN-Database) yang tersedia dan terbuka untuk dilihat oleh umum. (Kotak 9.2)
6) Transparansi dan pembagian bersama: Pada saat ini, terdapat kecenderungan bagi lembaga-lembaga untuk mengumpulkan dan menyimpan informasi untuk kepentingan program mereka dan enggan untuk membaginya. Persaingan dan kurangnya kebersamaan ini merugikan bagi pihak-pihak terkait. Selain itu, banyak lembaga yang hanya memberikan sedikit perhatian ntuk memberi informasi tentang program mereka kepada mereka
Gambaran skematis dari strategi koordinasi stakeholder yang diperluasgambar 9.1
sd e
en g
ni te e
m &
s elc
atsb
o gn
im o
c rev
o tuo
ba .
p se
– o f
nIron o d tuo ba of ni &(
R &
R rof tr opp us dn a $
Donor/NGO/BRR Roundtable (monthly)
Masyarakat dan orang yang terkena
Shelter Working group
Example
Kecamatan Coordination
Aceh Jaya Kabupaten Coordination
Sector WGs/policy groups
Kecamatan co-ordination
Kabupaten level coord. for quality-control, problem solving and filtering policy needs/info
MDTF PemdaNAD GoI
BRRAceh/Nias Recovery Forum
Donor lainLSM
1�1Bab � Tantangan Koordinasi
yang terkena dampak tsunami – yang mengakibatkan kebanyakan korban tsunami merasa sangat kurang informasi tentang program-program tersebut. Di masa mendatang, mereka harus diberitahukan terlebih dahulu.
Kerangka baru untuk koordinasi ini dibahas secara mendalam di CfAN dan dalam pertemuan lanjutan dengan para pihak terkait. Beberapa proposal CFAN telah diterima; sementara yang lainnya hanya sebagian yang ditindaklanjuti– namun BRR beranggapan bahwa bertindak berdasarkan kerangka kerja keseluruhan sebagai prioritas di bulan-bulan akan datang. Diagram berikut menjelaskan elemen-elemen kunci. Pertemuan CFAN berikutnya akan menjadi pertemuan tingkat tertinggi dari semua pihak yang terkait untuk mengatasi berbagai
kendala, meninjau perkembangan proyek dan menyetujui prioritas-prioritas mendatang. Pertemuan tersebut meliputi Duta-duta besar, Country Director dari lembaga-lembaga donor dan LSM, pimpinan BRR, pejabat-pejabat senior Pemerintah RI, perwakilan dari pemerintahan daerah dan lembaga-lembaga utamanya serta pimpinan masyarakat madani. Prioritas pertemuan CFAN adalah untuk mengindentifikasi kesenjangan – baik secara geografis maupun sektoral – dan mencari cara terbaik untuk mengatasinya. Hal ini mencakup mempertemukan (matchmaking) antara lembaga-lembaga yang telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan program-program yang sangat baik namun memiliki kendala dana dengan pada donor yang telah memiliki sumber-sumber pasti untuk pemulihan.
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian IIIMELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI
UNTUK TAHUN 2006 DAN SELANJUTNYA
PRIORITAS PEMULIHAN UNTUK TAHUN 2006-2007 Bab10
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Sementara banyak organisasi yang memainkan peran penting dalam pemulihan, Brr telah dibentuk untuk berdiri di atas menaungi semua pihak. Pemimpin BRR telah membuat pengalaman Indonesia unik dibandingkan dengan tindak tanggap darurat dari lembaga lain. Bagian laporan ini menceritakan tantangan yang melingkupinya serta prioritas dalam usaha pemulihan. Laporan ini akan membahas sumbangan yang dapat diberikan oleh semua pihak terhadap tantangan-tantangan ini, tapi lebih menitikberatkan pada peran BRR serta visi badan ini untuk bulan-bulan mendatang dan jangka yang lebih panjang.
Selama enam bulan pertamanya, Brr mengembangkan diri sebagai sebuah badan pemerintahan baru, menciptakan sistem untuk mengintervensi hal-hal penting, dan mengkoordinasikan badan-badan pemulihan lain, terutama dengan menjalankan mekanisme persetujuan proyek bersama. Hal ini membuat BRR mengetahui tentang badan yang melakukan tugas apa, di mana dan dengan sumber daya apa saja– sisi penyediaan dari pemulihan. Pada saat bersamaan, penekanan pada BRR dan banyak badan dalam memastikan pendekatan berbasis masyarakat – menggapai masyarakat yang terkena tsunami untuk memahami kebutuhan dan prioritas mereka untuk pemulihan – memungkinkan BRR untuk membantu menghubungkan sisi kemampuan penyediaan donor dengan sisi kebutuhan masyarakat sekitar. Hal ini telah membantu mengidentifikasi kesenjangan, sehingga menjadi sumber daya prioritas bagi pemerintah Indonesia, yang mulai mengalir ke Aceh hanya pada akhir Agustus. Dalam waktu pembentukan ini, BRR juga telah membentuk unit-unit kunci, seperti unit anti-korupsi, dan menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya (di tingkat nasional dan lokal). Kini BRR memimpin usaha pemulihan dengan menentukan standar, memantau
penyaluran, mengenali dan menyelesaikan masalah dari kebijakan atau bottleneck, dan mencocokkan kebutuhan dengan ketersediaan dana– termasuk dengan memasukkan proposal kepada donor-donor besar.
Di tahun 2006, Brr berencana untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab sebagai badan pelaksana, langsung menaungi proyek-proyek konstruksi berskala besar melalui kontrak langsung. Hal ini memberikan kemampuan yang lebih besar untuk menanggapi jurang atau pun program-program dengan pelaksanaan yang lemah. Untuk selanjutnya, mendapat tanggung jawab untuk menjalankan program dengan sendirinya, atau menunjuk kembali ke badan lain. Selain itu memiliki kemampuan untuk menyediakan dukungan, pelatihan, dorongan dan memberikan gambaran kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program rekonstrusi dan pembangunan.
Brr telah mengidentifikasi empat tantangan utama untuk bulan-bulan ke depan: 1) membangun rumah-rumah untuk dapat digunakan masyarakat; 2) menanggapi kebutuhan jangka pendek infrastruktur dan logistik yang dibutuhkan oleh kegiatan rekonstruksi skala besar; 3) membantu memperkuat kemampuan institusional dan kemampuan manusia; serta, 4) memulihkan mata pencaharian. MEMBANgUN KEMBALI pErUMAHAN
Akan ada dua prioritas utama perumahan di tahun 2006:
• Memastikan bahwa semua pengungsi keluar dari tenda-tenda di awal tahun 2006 melalui penyediaan perumahan peralihan yang memadai. Sementara PBB yang mengurusi Koordinasi Pemullihan (UN Office of Recovery Coordination),
1�5Bab 10 Prioritas Pemulihan Untuk Tahun 200�-200�
bersama BRR, telah memberikan banyak dorongan untuk usaha ini, Palang Merah/Sabit Merah (RCRC) menjalankan bagian terbesar tanggung jawab dengan dukungan pemerintah daerah untuk mengenali tanah dan tenaga kerja setempat. RCRC telah mengidentifikasi perumahan peralihan dengan mutu tinggi yang dapat dibangun secara cepat. Pengimporan 20,000 unit telah dimulai dan diharapkan diselesaikan dalam jangka 3 bulan ke depan, dengan membangun sampai 2000 per minggu. IOM dan RCRC memindahkan unit-unit tersebut ke wilayah-wilayah sekitar Aceh dan Nias, serta beberapa LSM telah setuju untuk membangunnya. UNICEF, Oxfam, RCRC dan LSM lain yang menyediakan air bersih dan sanitasi di pemukiman-pemukiman baru. Mereka yang dipindahkan ke perumahan
peralihan tidak akan dimasukkan ke “antrian terakhir” untuk mendapatkan rumah tetap.
• Mempercepat pembangunan rumah-rumah permanen. Tujuannya adalah untuk mempertahankan tingkat pembangunan rumah sekitar 5.000 rumah per bulan pada paruh pertama tahun 2006 dan mempercepatnya menjadi 8000 per bulan pada paruh kedua tahun 2006, sementara tetap mempertahankan mutu pembangunan dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Target total produksi untuk tahun 2006 adalah 78,000 perumahan tetap. Sisanya 12,000 akan diselesaikan pada tahun 2007. BRR akan memberi dukungan serta memantau secara ketat program perumahan terbesar (yang diharapkan untuk membangun lebih dari 80 persen dari rumah-rumah yang direncanakan). BRR sendiri akan memiliki kemampuan, dalam hal anggaran dan daftar perusahaan konstruksi, untuk membangun sampai 40,000 rumah pada tahun 2006 apabila terdapat kebutuhan untuk itu.
Tahun Total
2005 30.000
2006 78.000
2007 12.000
Total 120.000
Target Perumahan Aceh dan Nias (termasuk rumah sewa)
Tabel 10.1
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Enam pertanyaan penting harus dijawab di awal tahun 2006, dan kemungkinan akan mendominasi dalam proses pengambilan keputusan di sektor ini:
1. Hak apa yang harus dimiliki para penyewa atas kompensasi? Konsensus yang ada di kalangan lembaga-lembaga yang bekerja di sektor ini dan BRR adalah bahwa penyewa harus diberi hak untuk mendapatkan rumah, walaupun dengan kewajiban untuk membayar tanah dan sebagian dari biaya (pinjaman juga akan tersedia untuk ini).
2. Apakah program terbaik untuk membantu mereka yang perlu memperbaiki rumah mereka? Pada saat ini, persyaratan ketat untuk menyediakan bukti gambar dari kerusakan akibat tsunami membuat masalah ini menjadi lambat; pendekatan yang lebih mudah berdasarkan persetujuan masyarakat setempat atas kerusakan hak milik dapat memberikan hasil yang lebih cepat, sehingga mempercepat kembalinya warga ke rumah mereka.
3. Haruskah keluarga yang memberikan tumpangan diberikan insentif untuk menampung pengungsi dalam jangka panjang? Banyak pengungsi telah ikut tinggal dalam rumah-rumah kerabatnya, teman atau lainnya yang ingin membantu korban tsunami. Beberapa di antara mereka sangat berharap bisa kembali ke rumah mereka, tetapi sebagian dari mereka senang dengan keadaan yang sekarang. Apabila insentif diberikan kepada keluarga yang memberikan tumpangan berikut paket kompensasi dasar untuk bagi semua pengungsi sementara, pengaturan ini dapat berjalan baik bagi semua.
4. Apakah pilihan perlu diberikan kepada mereka yang tidak ingin kembali ke desa mereka? Selain hal di atas, banyak yang memilih untuk tidak memiliki rumah, sesuai
dengan hak mereka. Hal ini termasuk pria-pria muda yang telah kehilangan seluruh anggota keluarga mereka dan mungkin memilih untuk pindah ke tempat yang jauh; wanita yang mungkin menikah lagi atau memilih untuk tinggal dengan anak-anak yang sudah dewasa; dan anak yatim yang diadopsi (kemungkinan oleh kerabat mereka) dan mereka yang tidak memerlukan rumah sendiri sampai waktu yang lama. Untuk orang-orang seperti mereka, paket uang mungkin akan lebih layak, namun hal ini tidak ditawarkan saat ini .
5. Sebagaimana aktifnya masalah kepemilikan dikelola? Beberapa warga masyarakat mengeluh bahwa desa-desa yang bertetangga (atau bahkan lainnya yang tinggal di desa yang sama) menerima rumah yang lebih baik. Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat banyaknya penyedia perumahan, masing-masing menggunakan rancangan mereka sendiri, dan penekanan pada keterlibatan di mana warga setempat sendiri menentukan rumah mana yang mereka inginkan serta LSM mana yang merka ingin untuk membantu mereka. Mereka mungkin akan menyesalkan pilihan mereka begitu muncul alternatif lain.
6. Seberapa jauhkah Brr dapat terlibat dalam mengelola mutu program? Jelas sekali bahwa beberapa LSM serta donor membangun perumahan dengan standar menengah, bekerja secara lamban, atau bahkan gagal memenuhi komitmen mereka. BRR kini bertekad untuk mengambil tanggung jawab untuk mengalihkan tanggung jawab dalam keadaan seperti itu atau menjalankan komitmen itu sendiri – tetapi seberapa jauh BRR harus merundingkan hal itu dan memberitahukan kepada lembaga yang melakukan pelanggaran sebelum mengambil alih program mereka?
1��Bab 10 Prioritas Pemulihan Untuk Tahun 200�-200�
Prioritas Infrastruktur untuk tahun 2006-2007 – Rencana dan KemajuanKotak 10.1
rencana infrastruktur utama
• 871 km jalan nasional diperbaiki atau dibangun kembali (setara dengan 3 kali jarak Singapura ke Kuala
Lumpur)
• 336 km jalanan propinsi/lokal di Aceh, 366 km di Nias
• 150m jembatan di Aceh, 125m di Nias
• Pembangunan kembali pelabuhan di Ulee Lheue, Calang, Meulaboh, Malahayati, Tapaktuan, Sibigo, Balohan
dan Sinabang; melebarkan pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan penghubung; perbaikan feri dan pelabuhan-
pelabuhan kecil lain, dan Gunung Sitoli di Nias dan 4 pelabuhan kecil; pelabuhan Calang adalah prioritas
utama, (pelabuhan yang lain diperlukan namun belum tersedia dana di Blang Pidie, Singkil, Lamno Langsa dan
pelabuhan penumpang di Nias)
• Pembangunan kembali lapangan-lapangan terbang di Gunung Sitoli, Lasondre, Blang Pidie dan Tapak Lum.
• perlindungan pantai sepanjang 37.8 km sampai tahun 2009
• Kemungkinan rencana untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan yang perhubungan
dengan pembangunan pertambangan batubara di daerah Meulaboh; program micro-hydroelectricity di dataran-
dataran tinggi (wilayah Leuser); pembangkit listrik tenaga panas bumi di Aceh Barat
rencana yang segera dilaksanakan (akhir-2005):
• 5 proyek konstruksi besar (sejumlah US$259 juta) sedang dilaksanakan termasuk:
• 244km jalan pantai barat menuju Meulaboh (USAID)
• 491 km perbaikan jalan dari Banda Aceh menuju perbatasan Sumatra Utara (ADB)
• Perancangan pelabuhan, penyediaan air dan perlindungan pantara (bantuan teknis dari Prancis, Belanda,
Swedia, Norwegia, Jepang dan ADB)
• Dukungan ke pemerintahan kabupaten/kota untuk persiapan proyek, pengelolaan proyek konstruksi serta
pembangunan institusional
• 11 proyek (sejumlah US$52.1 juta) yang sedang dalam proses tender termasuk:
• Perlindungan banjir Banda Aceh
• Program besar-besaran irigasi dan drainase
• Pembangunan kembali pelabuhan di Nias dan Aceh
• 3 proyek (US$13 juta) Nota Kesepakatan atau perjanjian hibah sedang dalam proses persiapan .
pErBAIKAN INfrASTrUKTUr
Berkaitan dengan perumahan, prioritas yang sama pentingnya adalah memperbaiki infrastruktur vital. Tentunya bila hal ini tidak dilakukan, rumah-rumah tidak akan dapat dibangun. Mustahil untuk membangun rumah sepanjang pantai barat apabila sarana jalan dan pelabuhan tidak diperbaiki (paling tidak untuk sementara). Kecuali lahan perumahan tersebut dapat dikeringkan dan terlindung dari deburan ombak, banyak dari perumahan yang dibangun tidak akan dapat dihuni.
Sebuah rencana Aksi Segera (Immediate Action plan - IAp) untuk Infrastruktur, yang dibiayai oleh Dana Multi-Donor, akan dilaksanakan pada paruh pertama tahun 2006. Tujuan utama IAP adalah untuk memastikan bahwa laju pemulihan di daerah yang paling banyak mengalami kerusakan sepanjang pantai barat bisa dipercepat dengan mengadakan perbaikan cepat serta memperbaiki jalan-jalan dan jembatan dari Banda Aceh ke Meulaboh, meningkatkan kapasitas jembatan dari 5 ton sampai menjadi 20 ton; Pemerintah Jepang juga memperbaiki ruas jalan Calang ke
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Meulaboh. Pada saat yang bersamaan, kapal-kapal khusus sedang diantar ke Aceh yang dapat mengangkut beban berat namun bisa berlabuh di pantai – agar dapat membawa barang-barang konstruksi dan peralatan lainnya ke daerah-daerah yang pelabuhannya telah rusak.
Elemen IAp selanjutnya berkaitan dengan perbaikan sistem drainase, terutama di kota Banda Aceh, sehingga rumah-rumah baru yang dibangun tidak rawan banjir. Dan pekerjaan akan dimulai untuk membuat perbaikan singkat pada bagian pelabuhan dan merencanakan pembangunan ulang pelabuhan secara menyeluruh serta rehabilitasi di tempat lain. Terakhir, IAP mencakup pengadaan pasokan air dan sanitasi ke tempat-tempat penampungan sementara yang baru, yang sedang dibangun oleh program IFRC/PBB.
Berikutnya, Brr sedang menyusun sebuah rencana Aksi Jangka Menengah untuk tahun 2006-8 termasuk sebuah rencana Dukungan pembangunan Infrastruktur Kabupaten,
di mana pemetaan, survei dan penelitian telah dikerahkan. Sepanjang tahun 2006 program ini akan dimulai di wilayah yang terkena dampak paling parah (Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nias) dan akan berubah menjadi sebuah program perencanaan tata ruang serta rancangan teknik terperinci yang intensif, dilanjutkan dengan prosedur tender untuk tugas-tugas konstruksi. Rencana ini juga meliputi pembangunan kemampuan pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengelola proyek-proyek pembangunan daerah. Total biaya program akan berkisar US$200-400 juta dan akan menjangkau, di tahun kedua, ke 14 kabupaten/kota dan pada akhirnya ke seluruh wilayah Aceh dan Nias yang terkena kerusakan.
pENgUATAN KApASITAS KELEMBAgAAN DAN MANUSIA
Dengan berakhirnya mandat Brr di tahun 2009, bekerja berdampingan dengan pemerintah daerah merupakan hal penting untuk meningkatkan kemampuan
1��Bab 10 Prioritas Pemulihan Untuk Tahun 200�-200�
mereka. Pemerintah daerah harus dilibatkan sepenuhnya dalam infrastruktur tingkat kabupaten dan program-program lain agar kemampuan mereka untuk mengelola program dan menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar bisa ditingkatkan. Dengan peningkatan kemampuan BRR untuk pelaksanaan dan penyelesaian program, terdapat resiko bahwa pemerintah daerah akan menarik diri lebih jauh dari proses. Kemampuan daerah perlu dibangun saat ini – paling tidak agar begitu BRR dibubarkan mereka tetap memiliki kemampuan besar untuk melayani masyarakat, dan akan terdapat kepemilikan pemerintahan daerah, sehingga terdapat keinginan untuk memperbaiki dan merawat jalan-jalan serta fasilitas lain yang telah disediakan BRR serta program donor.
Dalam sektor pendidikan maupun kesehatan, keberhasilan awal tercapai dengan pemulihan pelayanan melalui fasilitas sementara. Tantangannya pada saat ini adalah memastikan bahwa fasilitas sementara ini bisa digantikan dengan yang bermutu tinggi, dan bahwa mutu pendidikan serta kesehatan meningkat.
Dengan beralihnya perhatian ke pembangunan sistem kesehatan dan pendidikan, diperlukan perhatian pada koordinasi, penetapan target, dan perencanaan jangka panjang. Adanya tumpang tindih lokasi proyek merupakan suatu masalah. Selain itu, kedua sektor tersebut sebelum terjadinya tsunami memiliki mutu yang rendah, dan khususnya pendidikan yang paling terkena dampak akibat konflik. Perencanaan harus menjadi prioritas di tahun 2006-7, untuk memastikan bahwa sarana-sarana disediakan secara merata di seluruh wilayah (yang terkena tsunami, gempa bumi, dan konflik), dan bahwa sarana tersebut dapat dilanjutkan oleh pemerintah daerah.
MEMULIHKAN MATA pENCAHArIAN
KetenagakerjaanAkan terdapat banyak lapangan kerja di sektor konstruksi di Aceh dan Nias dalam 3 tahun mendatang (kemungkinan mencapai 1,15 juta). Tantangannya adalah untuk memastikan bahwa pekerjaan ini dapat membantu para pengungsi untuk memulihkan kehidupan dan martabat mereka tanpa menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak berkelanjutan serta lonjakan upah secara mendadak. Rekonstruksi yang paling cepat mungkin bisa dicapai dengan membawa perusahaan konstruksi, lengkap dengan tenaga kerjanya, dari seluruh pelosok Indonesia. Namun demikian, hal ini berarti tenaga kerja lokal akan menjadi sedikit, yang berpotensi menciptakan kemarahan terhadap kedatangan pendatang dan hilangnya kesempatan untuk pengembangan kemampuan. Sebaliknya, apabila pekerjaan disediakan khusus bagi warga setempat, akan terjadi kenaikan upah secara mendadak dan inflasi harga yang mengkhawatirkan dan juga kesenjangan kemampuan yang bisa mengakibatkan tertundanya pekerjaan konstruksi.
perlu adanya panduan yang jelas – yang dibahas secara hati-hati dengan pimpinan masyarakat setempat, kelompok buruh dan lainnya yang terdapat di masyarakat madani – dalam mencari jalan terbaik. Buruh setempat harus menggunakan tingkat upah yang tidak melebihi peraturan nasional dan tidak terdapat keterlambatan waktu, tetapi juga harus ada penyesuaian dengan tawaran pekerjaan serta kontrak bagi pekerja serta perusahaan di luar Aceh dan Nias. Para Donor dan LSM harus didorong untuk menyediakan pelatihan kerja bagi para pekerja agar mereka mendapatkan ketrampilan dalam bidang konstruksi, perkayuan dan perdagangan lain – walaupun hal ini membutuhkan pengelolaan
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
dan pertimbangan atas keadaan pasar pekerja begitu lonjakan rekonstruksi pasca-bencana menyurut.
pada saat yang sama, akan terdapat keperluan mendesak untuk pelatihan di bidang-bidang lain – terutama bagi mereka yang tidak dapat kembali melakukan pekerjaan mereka semula. Selain itu, akan terdapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan wanita melalui pelatihan-pelatihan dalam ketrampilan non-tradisional. BRR akan mengkoordinasikan program-program dengan menyediakan pelatihan kepada lebih dari 4000 orang per tahun melalui ketrampilan-ketrampilan baru serta memulai membangun 24 pusat tenaga kerja di Aceh sendiri untuk menyediakan informasi mengenai kesempatan kerja.
Pertanian Menyelesaikan rehabilitasi atas 28,000 hektar lahan sawah, 30,000 hektar lahan pertanian, serta memberikan kompensasi bagi tanah yang rusak selamanya melalui penciptaan 20,000 hektar lahan persawahan baru selama tahun 2006-7 merupakan prioritas utama. Hal ini ditujukan agar keluarga-keluarga dapat kembali ke lahan pertanian mereka. Agar dapat mengambil keuntungan atas kesempatan yang oleh perjanjian perdamaian, BRR tengah mengusulkan sebuah program pengelolaan 50,000 hektar perkebunan baru untuk kopi, pohon-pohon yang cepat tumbuh, produk agri-bisnis lain, serta tanaman lain untuk memproses produk-produk ini. Terdapat pula banyak kesempatan untuk mengembangkan peternakan hewan, sehingga Aceh bisa beranjak dari ketergantungannya yang tinggi pada daging impor (tanpa mengesampingkan perlunya mengontrol penyebaran flu burung). Perikanan prioritas untuk tahun 2006-7 adalah mengembangkan strategi yang lebih terpadu dan menyeluruh bagi pemulihan pekerjaan
yang berkaitan dengan perikanan. Dengan adanya bukti yang makin jelas bahwa usaha perikanan di sepanjang pantai seperti yang ada sekarang ini tidak bisa berkelanjutan, dan bahwa pasokan ikan terdapat di perairan yang lebih dalam, prioritas utama adalah untuk membangun kapal-kapal yang lebih besar dan melengkapinya dengan peralatan yang memungkinkan untuk melaut lebih jauh. Terdapat juga kebutuhan untuk menitikberatkan pada pengolahan ikan dan pabrik es, pasar, pengembangan koperasi, pelatihan dan prasarana lainnya agar masyarakat perikanan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hasil tangkapannya. BRR juga telah memasang target untuk merehabilitasi 11,000 hektar kolam ikan pada akhir tahun 2006 dan 15,000 pada tahun 2007, yang memungkinkan 30,000 keluarga untuk memulihkan mata pencaharian mereka.
Usaha Kecil Menengahpembiayaan skala kecil (microfinance) untuk mendukung pemulihan secara cepat dan perluasan UKM akan menjadi prioritas utama. Hingga tahun 2007, BRR mengantisipasi bahwa akan ada 650 lembaga pembiayaan skala kecil yang akan menyalurkan pinjaman kepada 20.000 orang; pada tahun 2009 program mata pencaharian dapat membantu pembukaan 167.000 industri perumahan dan membantu 56.000 bisnis kecil melalui program pelatihan, pembiayaan skala kecil, dan konsultasi manajemen dan pemasaran.
prIOrITAS DONOr DAN Brr UNTUK MEMENUHI TANTANgAN DI TAHUN 2006
Untuk mencapai tujuan tersebut, Brr dan donor lainnya perlu memberi perhatian pada masalah-masalah berikut ini di tahun 2006:
• Memastikan bahwa janji-janji pemerintah, donor dan LSM akan diwujudkan sebagai program secara nyata, atau bahwa – apabila janji tidak dapat dipenuhi – dicarikan pihak
1�1Bab 10 Prioritas Pemulihan Untuk Tahun 200�-200�
lain untuk menjalankan pekerjaan tersebut;• Mempertahankan mutu dan kecepatan dalam
proses pemulihan, dan juga mengalihkan program-program ke lembaga lain bila terjadi adanya penurunan kemampuan;
• Menanggapi masalah kepemilikan hak tanah, tahapan-tahapan upaya rekonstruksi, dan merancang ulang sistem kemasyarakatan bersama-sama, agar kesempatan untuk mencegah bencana di masa yang akan datang tidak hilang;
• Menciptakan kapasitas BRR untuk pelaksanaan secara langsung, dengan mekanisme penyediaan peralatan yang memungkinkan BRR memiliki kemampuan untuk secara langsung menunjuk perusahaan konstruksi dalam keadaan darurat sebagaimana mandat yang diberikan kepadanya berasarkan keputusan Presiden;
• Memulai proses pengembangan kapasitas bagi pemerintah daerah;
• Mengelola rangkaian penyediaan barang-barang konstruksi untuk memastikan ketersediaan barang yang stabil;
• Menguatkan pemantauan dan sistem data untuk mengakhiri ketidakjelasan jumlah pengungsi internal, jumlah rumah baru yang diperlukan, dan perkembangan program LSM serta donor;
• Membentuk sistem yang bisa menjalankan fungsi agar para pengungsi dan masyarakat setempat memiliki tempat untuk menyalurkan kekhawatiran serta keluhan mereka sehingga dapat didengar;
• Membentuk sistem terpadu untuk membantu menyediakan visa, izin kerja, dan izin impor yang diperlukan lembaga-lembaga internasional yang menjalankan usaha pemulihan.
Brr DI MASA MENDATANg: MELUASKAN KEgIATAN OpErASINYA DAN MENINgKATKAN pErAN pEMErINTAH SETEMpAT
Brr sedang meluaskan fungsinya menjadi lebih dari sekedar melakukan koordinasi umum, pemantauan dan persetujuan proyek. Ini diciptakan untuk memungkinkan BRR untuk menilai secara lebih strategis kepemimpinan dan koordinasi, agar menjadi lebih efektif dalam mengelola mutu dan kecepatan dari keseluruhan usaha pemulihan, untuk menekan dan memberi dukungan kepada pemerintah setempat dalam memainkan peran yang semakin besar dalam proses pemulihan, dan untuk mempercepat pemulihan dengan menjadikan dirinya pelaksana utama proyek-proyek konstruksi. Perubahan ini berdampak besar bagi hubungan BRR dengan pemerintahan di tingkat propinsi, kabupaten dan pihak-pihak terkait lainnya.
Untuk mempersiapkan diri agar dapat mencapai fungsinya yang diperluas ini, Brr baru saja menjalankan restrukturisasi besar. Inti operasinya terdiri atas empat bagian, masing-masing dipimpin oleh seorang Wakil Kepala BRR (untuk Infrastruktur, Perumahan/Pemukiman, Pembangunan Ekonomi dan Bisnis; dan Pembangunan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia). Fungsi-fungsi lain diatur sebagaimana gambar di bawah. BRR juga berencana membantu mempercepat program perumahan dan infrastruktur dan agar mampu bekerja sama erat dengan, mendorong kegiatan, dan secara hati-hati mengawasi kegiatan pemerintahan daerah. Sementara di tahun 2005 sebanyak 90 persen dari staf BRR berada di kantor Banda Aceh dan Jakarta office, mulai tahun 2008 diperkirakan bahwa 50 persen staf akan ditempatkan di 7 atau lebih kantor daerah. Hal ini akan dimulai pada tahun 2006 melalui penunjukan staf perantara BRR untuk membuka kantir-kantor ini. Selang beberapa waktu, BRR
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
staf yang masih tersisa akan dipindahkan ke kantor-kantor ini untuk membangun hubungan dekat dengan para pejabat dan pihak-pihak terkait di tingkat kabupaten dan kecamatan.
Tujuan yang paling utama adalah peralihan pengambilan keputusan dan tanggung jawab pengelolaan dari Brr ke pejabat kabupaten dan kota secara bertahap. Tugas BRR akan berkurang menjadi pengawas, penanggulangan korupsi, penyelesaian masalah, penanganan kesenjangan dan hubungan dengan donor (termasuk menggalakkan lebih banyak dana yang mungkin diperlukan dari lingkungan donor) agar, di tahun 2009, sudah bisa membubarkan diri dengan meninggalkan mesin pemulihan dan pembangunan yang berfungsi dengan baik.
Kepala Divisioperasional
Pusat PelayananManajemen: Keuangan,Administrasi, Komunikasi, Unit Anti Korupsi
Proyek KhususKebijakan dan strategiPenasehat
Kantor Perwakilanwilayah
Nias, Calang, Meulaboh,Simeulue,Lhokseumawe,Pidie, Banda Aceh
Deputi bidangKelembagaanPengembanganSumber Daya Manusia
Deputi bidangPemberdayaanEkonomi danUsaha
Auditor Internal
Struktur organisasi BRRgambar 10.1
Deputi bidang Perumahan
Deputi bidang Infrastruktur
Kepala
1��Bab 10 Prioritas Pemulihan Untuk Tahun 200�-200�
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
VISI DAN RENCANA JANGKA PANJANG DAN UNTUK ACEH DAN NIAS
Bab 11
Bagian IIIMELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI
UNTUK TAHUN 2006 DAN SELANJUTNYA
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
pemulihan dari suatu bencana besar terdiri dari berbagai faktor – terutama bencana kompleks seperti yang dialami Aceh dan Nias. Mustahil untuk dapat memenuhinya semuanya sekaligus tanpa terjerumus ke dalam perencanaan simpang-siur dan membingungkan. Kemajuan yang efektif berarti pilihan-pilihan yang berat, memisahkan apa yang penting dari yang tidak terlalu penting. Bab yang sebelumnya menitikberatkan pada prioritas jangka pendek untuk dua tahun ke depan. Dengan bertambahnya kemajuan, akan mungkin untuk memperluas operasi dengan melibatkan kebutuhan vital yang tidak terlalu penting dan pada akhirnya, membangun melebihi dari usaha pemulihan menuju pembangunan.
pENTAHApAN pEMULIHAN
Secara geografis, penahapan ini menyangkut mengapa prioritas di tahun 2005 sebagian besar diberikan ke kawasan pesisir dari
Banda Aceh menuju Bireuen di timur laut dan selatan menuju Meulaboh. Di tahun 2006, BRR dan para donor akan memastikan perluasan usaha untuk memberikan perhatian pada bagian lain dari pantai barat, Nias dan Simeulue. Di tahun 2007, mereka akan memastikan bahwa bagian dalam dan wilayah lain di pantai timur juga akan mendapat bantuan dan pada tahun 2008 program-program diperluas ke semua daerah rawan, terutama di dataran tinggi, di mana konflik dan tsunami memberikan dampak buruk yang mengenaskan.
Brr juga mengharapkan adanya pentahapan serupa berdasarkan sektor. Setelah bantuan darurat, fokus selanjutnya setelah pemulihan adalah pada program perumahan dan kerja untuk mendukung mata pencaharian serta memulihkan perekonomian. Di tahun 2006-2007 prioritas akan diperluas mencakup pembangunan fisik dan sosial infrastruktur. Program infrastruktur akan membutuhkan kerja sama dengan pemerintah setempat, yang memerlukan peningkatan
Tahapan tanggap darurat dan upaya pemulihan (skematis)11.1
Level of Activity
mIm
idetae
oLgner
et mr
Emergency
Housing
Physical and SocialInfrastructure
Livelihood andBusiness
2005 2006 2007 2008 2009
mIm
idetae
oLgner
et mr
Emergency
Housing
Physical and SocialInfrastructure
Livelihood andBusiness
2005 2006 2007 2008 2009
Emergency
Housing
Physical and SocialInfrastructure
Livelihood andBusiness
2005 2006 2007 2008 2009
gambar
1��Bab 11 Visi Dan Rencana Jangka Panjang Dan Untuk Aceh Dan Nias
kemampuan untuk manajemen proyek dan pengawasan, perencanaan, dan pemantauan korupsi, yang memungkinkan mereka untuk memegang tanggung jawab penuh, sehingga di tahun 2009, BRR sudah dapat dibubarkan. Pentahapan prioritas digambarkan di bawah ini.
pEMANTAUAN KEMAJUAN
pemantauan dan penilaian atas upaya rekonstruksi memberikan tantangan yang unik. Skala bencana, banyaknya sektor yang tercakup, serta banyaknya mitra yang terlibat membuat pemantauan kemajuan menjadi sulit. Beberapa penelitian diadakan segera sesudah bencana untuk menilai tingkat kerusakan dan kebutuhan dari penduduk oleh para LSM, donor dan badan pemerintah serta berbagai sistem dibangun untuk memantau individu yang terkena dampak. Selain itu Badan Pusat Statistik mengadakan sensus penduduk di bulan Agustus dan BRR telah membangun database untuk membuat database tentang pemberian janji dan kemajuan dari tiap proyek serta telah mengadakan penelitian secara berkala untuk menetapkan kemajuan di tingkat pedesaan pada tiap sektor kunci seperti perumahan serta mata pencaharian hidup. Namun sumber-sumber data ini seringkali memberikan hasil yang berbeda-beda. Akibatnya, sulit untuk mengetahui secara pasti tingkat kebutuhan dan kemajuan.
Koordinasi atas berbagai kegiatan pemantauan merupakan hal yang penting untuk menghindari duplikasi permohonan informasi dan untuk memperbaiki mutu data. Karena itu, BRR telah membentuk kelompok kerja antar-lembaga untuk memberikan petunjuk yang lebih strategis dalam usaha pemantauan. BRR mendapat dukungan dari masyarakat internasional dalam mengoperasikan sistem pemantauan tersebut. Banyak sistem pelaporan milik pemerintah tidak berjalan dengan baik sebelum terjadinya
bencana dan sepertinya tidak mungkin bisa diperbaiki dengan cepat. Namun demikian, BRR perlu berhati-hati agar tidak menduplikasi kegiatan departemen pemerintah yang telah ada, serta mengupayakan untuk mengembangkan kapasitas pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten. Terakhir, penekanan harus diberikan pada analisis dan penyebarluasan informasi dengan menyelaraskannya dengan prioritas yang ada, pembentukan kebijakan dan program manajemen, dan memungkinkan para pihak terkait untuk memantau kemajuan.
TUJUAN pEMBANgUNAN JANgKA pANJANg
Terdapat potensi yang besar untuk membangun “Aceh dan Nias baru”. Aceh memiliki tanah yang subur dan prospek perikanan yang baik; kaya akan sumber daya alam dan mineral; penduduk yang berpendidikan dan pekerja keras; sumber daya minyak, batu bara berlimpah dan sumber energi yang bisa diperbaharui serta keindahan pemandangan dan pantai dengan potensi wisata. Lokasinya – dengan rute laut yang mudah menuju India, Malaysia, Singapura, dan Thailand –menghubungkan Aceh dan Nias dengan salah satu wilayah di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diperlukan strategi pembangunan yang menyeluruh. Dan struktur konsultatif untuk penanggulangan bencana tsunami dan gempa bumi bersama dengan dialog perdamaian antara pihak-pihak yang berselisih, menjadi kesempatan emas untuk adanya perdebatan umum yang intensif mengenai masa depan pembangunan wilayah ini.
Mengubah haluan sebuah propinsi merupakan tindakan yang berani, keterlibatan masyarakat serta pemerintah propinsi dan setempat dibutuhkan agar dapat berkelanjutan. Oleh karena
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
itu keterlibatan masyarakat luas dalam menentukan visi jangka panjang pertumbuhan Aceh dan Nias yang intensif sangat penting. Untuk memastikan bahwa semua pihak terkait memiliki kesempatan untuk didengar memerlukan konsultasi yang panjang serta menghabiskan banyak waktu. Namun, apabila usaha tersebut memakan waktu lama, kesempatan menarik ini bisa hilang. Sehingga, tantangan untuk merencanakan strategi jangka panjang adalah “bertindak cepat secara berhati-hati”.
BEBErApA prIOrITAS JANgKA pANJANg MENCAKUp:
Merealisasi potensi ekonomi jangka panjang daerah yang bersangkutan. Prospek ekonomi daerah bergantung pada penghapusan rintangan utama untuk pertumbuhan yang telah menahan Aceh dan Nias selama bertahun-tahun sebelum terjadinya tsunami dan gempa bumi. Untuk sepenuhnya mewujudkan potensi ekonomi daerah, hal-hal penting berikut perlu ditekankan: (i) modernisasi perekonomian; (ii) diversifikasi ekspor; (iii) memaksimalkan kesempatan kerja; (iv) membangun unit pengolahan di tingkat kabupaten; (v) memastikan bahwa pemulihan ekonomi berdasarkan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan; (vi) melihat peluang investasi; (vii) mengambil keuntungan dari hasil perdamaian. Keterpaduan, keterhubungan dan pemerataan. Visi jangka panjang adalah untuk program pembangunan sarana umum yang mempromosikan skema jaringan infrastruktur di seluruh Aceh dan Nias untuk memperbaiki perhubungan dengan wilayah Sumatera lainnya serta ke pasar luar. Dengan jalan-jalan yang mencapai wilayah kabupaten yang terpencil dan wilayah dataran tinggi yang lebih miskin, pembangunan di masa mendatang
bisa menjadi lebih merata, mengurangi resiko kemarahan yang dapat memicu konflik.
penggunaan sumber daya alam dengan baik. Aceh dan Nias memiliki potensi amat besar akibat isolasi dan sejarah konflik yang belum sempat diwujudkan. Sebagai contoh, terdapat potensi untuk energi panas bumi di pegunungan dekat Banda Aceh; pembangkit listrik tenaga air mini di sepanjang wilayah pegunungan; produksi energi angin, laut, dan matahari terutama di kepulauan; pasokan batu bara yang belum digali di dekat Meulaboh; dan kesempatan untuk diversifikasi pertanian, kehutanan dan perkebunan. Baik Aceh maupun Nias menawarkan keindahan alam yang kaya untuk pengembangan wisata.
Mengerahkan potensi semua orang. Strategi jangka panjang harus meliputi strategi yang berani untuk memperbaiki kesempatan pendidikan dan pelatihan. Usaha-usaha khusus diperlukan untuk memastikan kesetaraan gender di sekolah dan usaha – termasuk melalui bantuan untuk koperasi wanita, menyediakan pembiayaan mikro dan pelatihan manajemen, serta pelayanan pembinaan usaha. Strategi gender harus meliputi program hukum untuk melindungi wanita dalam lingkungan kerja dan usaha, perlindungan dari kekerasan rumah tangga, pelayanan penyuluhan serta akses mendapatkan pengacara dan paralegal yang terlatih untuk membela kasus-kasus kesetaraan jender. Wanita juga harus menerima pendidikan kewarganegaraan, dorongan untuk mencalonkan diri dan melibatkan diri dalam pengambilan keputusan dalam semua tingkat. Dalam memenuhi Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) di Aceh dan Nias, perhatian khusus juga harus diberikan untuk memastikan strategi pembangunan yang difokuskan pada anak – termasuk memperjelas dan melindungi semua hak dasar anak, yang dimulai dengan pengadaan akte kelahiran, bantuan hukum,
1��Bab 11 Visi Dan Rencana Jangka Panjang Dan Untuk Aceh Dan Nias
dan pelayanan penyuluhan bagi anak-anak. Para pemuda dapat pula dibantu dengan program pelatihan usaha untuk menanggulangi masalah pengangguran angkatan muda dan program pertukaran pemuda internasional.
Mengamankan perdamaian. Program demobilisasi dan reintegrasi yang segera perlu diikuti oleh program rekonstruksi yang lebih luas untuk semua wilayah yang terkena konflik yang sebanding dengan program di wilayah yang terkena dampak tsunami. Hal-hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah:
• Bantuan untuk mantan anggota GAM yang kembali ke masyarakat dan penyediaan rumah-rumah;
• Ishlah (rekonsiliasi) secara tradisional melalui pendekatan berbasis masyarakat;
• Sosialisasi pembangunan perdamaian di antara kelompok-kelompok utama -- TNI, pemuda, wanita, guru, pedagang dan profesional;
• Pelatihan untuk pemuka agama dan masyarakat dalam bidang pelatihan pembangunan perdamaian dan ketrampilan penyelesaian konflik serta program untuk mendorong kegiatan mereka di bidang tersebut;
• Penggunaan media, terutama radio dan TV untuk menciptakan kesadaran publik dan dialog; serta,
• Ketrampilan khusus bagi para mantan anggota GAM.
Membentuk pemerintah yang tanggap, bertanggung jawab dan jujur. Dengan nilai proyek yang lebih dari US$4 miliar dan hampir 1.000 proyek di lapangan, sangat penting untuk mengambil langkah-langkah untuk menghindari terjadinya korupsi dalam upaya pemulihan. Propinsi Aceh telah memiliki reputasi yang rendah, bahkan dalam standar Indonesia, dalam hal korupsi. Di dalam BRR sendiri terdapat unit anti-korupsi
yang telah aktif dan mulai mengembangkan tugasnya dalam pemantauan, informasi dan sistem penilaian agar bisa mengawasi secara seksama penggunaan dana pemerintah yang disalurkan melalui pemerintah daerah. Dengan meningkatnya kemampuan BRR dalam pelaksanaan langsung, adalah sangat penting bagi Dewan Pengawas untuk memainkan peran yang lebih kuat dalam pengawasan kegiatan BRR. Sistem peradilan yang kuat juga penting untuk memastikan bahwa para pengungsi mendapatkan hak penuh dan bahwa pengaduan mereka ditangani secara benar.
Memastikan kesiapan menghadapi bencana di masa mendatang. Butuh waktu untuk menanamkan dan membiasakan budaya pencegahan bencana, tetapi keberadaan manajemen resiko menghadapi bencana yang amat berbahaya (multi-hazard disaster risk management) dalam pemulihan jangka panjang di Aceh dan Nias adalah sangat penting. Meningkatkan kemampuan untuk mengurangi resiko bahaya tidak dapat tercapai dalam jangka program pemulihan selama 2-3 tahun. Perlu adanya perhatian besar yang diberikan untuk memasang sistem peringatan dini tsunami untuk wilayah Samudera Hindia. Selain itu, terdapat bahaya lain yang lebih sering terjadi di daerah ini, termasuk gempa bumi, badai, banjir dan tanah longsor. Sistem manajemen resiko yang menyeluruh harus mencakup langkah-langkah struktural dan non-struktural untuk menangani berbagai bahaya tersebut. Kegiatan rekonstruksi dan pembangunan dalam setiap dan semua sektor harus memasukkan unsur langkah pengurangan resiko. Misalnya, sekolah-sekolah dan balai masyarakat bisa digunakan serta dibangun sebagai pusat pengungsian; kurikulum pendidikan bisa meliputi bahan mengenai persiapan bencana; rumah sakit dan sarana kesehatan harus dibangun agar berfungsi sebagai tempat
1�0 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
pelayanan yang cedera dalam kejadian pasca-bencana; investasi dalam pertanian harus mempertimbangkan praktek pertanian yang berkelanjutan; dan prasarana harus dibangun untuk menyediakan perlindungan dari resiko bahaya. Sangatlah penting bagi masyarakat untuk meletakkan dasar untuk mengurangi resiko bencana saat ini juga, dengan mempertimbangkan perencanaan desa berdasarkan lingkungan mereka di mana struktur didirikan, menggunakan standar pembangunan, serta bagaimana mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alam mereka.
Kita belajar dari pengalaman dari negara-negara lain bahwa tantangan seperti demikian tidak dapat dianggap ringan. Sangatlah penting untuk mengetahui bahwa meskipun bencana menawarkan kesempatan untuk melakukan perubahan, bencana juga membuka dan memperparah kelemahan-kelemahan yang telah ada. Setelah badai Mitch memporak-porandakan wilayah Amerika Tengah di tahun 1998 – menjatuhkan hampir 3 kaki hujan dan menelan korban jiwa sekitar 18.000 jiwa serta kerusakan dan kehilangan hampir mencapai US$5 miliar– presiden dari empat Negara yang paling terkena dampak (El Salvador, Guatemala, Honduras, dan Nikaragua), bersama dengan donor dan masyarakat menyerukan “perubahan total” di wilayah tersebut ketimbang sekedar rekonstruksi. Hal ini berdasarkan transparansi, tata pemerintahan baik, desentralisasi, penanganan kerawanan sosial, manajemen lingkungan hidup, pembangunan daerah, perdagangan, dan migrasi.
1�1Bab 11 Visi Dan Rencana Jangka Panjang Dan Untuk Aceh Dan Nias
1�2 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
KESIMPULAN – IMPLIKASI BAGI SEMUA PIHAK
Bab 12
Bagian IIIMELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI
UNTUK TAHUN 2006 DAN SELANJUTNYA
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
Mereka yang terlibat dalam upaya untuk membawa Aceh dan Nias kembali dari keterpurukan tahu seberapa besar tantangan yang ada dalam merehabilitasi dan memperbaiki lingkungan, insfrastruktur dan mata pencaharian bagi mereka yang terkena dampak bencana. Namun dengan besarnya tantangan, terdapat juga semangat orang-orang yang telah bertahan dan mereka yang telah bergabung dalam upaya untuk memulihkan kehidupan mereka. Tragedi tersebut telah menyentuh hati seluruh dunia dan mereka bergerak secara bersama untuk membantu mengatasinya.
Semua berharap bahwa kemajuan yang lebih besar dapat dicapai setahun sejak terjadinya tsunami, tetapi itu tidak boleh mengecilkan kemajuan yang sedang berjalan. Rumah-rumah baru sedang dibangun dalam jumlah ribuan, walaupun duapuluh sampai tigapuluh ribu mungkin terlihat sedikit mengingat masih lebih banyak lagi yang diperlukan. Yang tidak terlalu tampak tetapi cukup penting adalah bagian-bagian kecil dari kemajuan yang dicapai: pelatihan ketrampilan kerja, perkembangan yang lambat namun stabil dari program lapangan kerja, pengembangan kapasitas pemerintah setempat dan perjanjian perdamaian antara Pemerintah dan GAM. Kemajuan-kemajuan tersebut mungkin tidak akan semudah melihat pembangunan sarana-sarana, namun hal ini tidak kalah pentingnya. Apabila digabungkan semua, dapat terlihat gambaran program pemulihan yang sedang digalakkan dari berbagai sisi dengan keberhasilan yang perlahan namun mengalami peningkatan.
pemerintah Indonesia memilih untuk membangun sebuah landasan lembaga baru untuk menaungi proses rekonstruksi mengingat besarnya bencana, tantangan dari lingkungan tempat terjadinya bencana, dan kebutuhan untuk memastikan pendekatan
terkoordinasi, di antara begitu banyaknya jumlah pelaku yang terlibat dalam proses pemulihan. Penyusunan rancangan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan pembentukan BRR membutuhkan konsultasi berbulan-bulan, perundingan dan persiapan. Tetapi harapannya adalah, begitu terbentuk, landasan demikian akan memastikan sebuah pemulihan yang lebih efektif dan berkelanjutan serta mempertahankan sense of urgency dan visi yang dibutuhkan atas sebuah proses pemulihan rekonstruksi yang panjang. Pemerintah tidak hanya menugaskan BRR untuk memimpin rekonstruksi, tetapi juga menerapkan standar baru untuk efisiensi dan keterpaduan untuk mendapatkan kepercayaan dari jutaan orang di seluruh dunia yang telah bermurah hati untuk memberikan sumbangan. Tahun 2006 akan menjadi ajang untuk membuktikan kebenaran itu. Laporan ini memberikan kerangka waktu yang jelas bagi proses rekonstruksi dan indikator yang pasti untuk menilai keberhasilan kinerja.
Untuk mencapai hasil ini diperlukan upaya oleh ratusan organisasi yang bekerja bersama dalam operasi, analisis, penyelesaian masalah, pengendalian mutu, dan pengumpulan informasi. Hal ini bisa dicapai. Dengan belajar dari pengalaman di bulan-bulan lalu, dan secara bersama-sama, kecepatan pemulihan dapat lebih meningkat.
Namun, untuk mencapai hal ini, sudah saatnya meninggalkan masalah ‘proyek saya’ atau ‘proyek mu’, dan menyadari bahwa hanya ada satu usaha pemulihan, di mana semua pelaku harus memiliki peran yang bisa dimainkan dan menanggung beban tanggung jawab. Kemitraan yang efektif membutuhkan penyilangan pembagian kelembagaan untuk memastikan bahwa keseluruhan upaya pemulihan menjadi lebih dari sebuah kumpulan dari beberapa komponen proyek. Bagian seterusnya dalam
1�5Bab 12 Kesimpulan – Implikasi Bagi Semua Pihak
bab ini menjabarkan tantangan-tantangan utama yang diperlukan untuk lompatan besar dalam usaha pemulihan, dan selanjutnya memberikan saran mengenai tanggung jawab dari semua pihak terkait untuk menjadikan ini kenyataan.
TANTANgAN UTAMA UNTUK SEMUA pIHAK
forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias di bulan Oktober dan Desember telah menyatukan semua pihak terkait untuk pertama kalinya dalam pembahasan prioritas pemulihan. Hal ini, dan pembahasan-pembahasan yang terjadi, dapat dirangkum menjadi delapan tantangan utama bersama.
1) Kami harus bekerjasama dalam mengidentifikasi masalah, kesenjangan dan kendala-kendala serta mencari jalan penyelesaian di tingkat yang paling rendah. Hal ini berarti mekanisme bersama untuk memastikan mutu tinggi serta kecepatan rekonstruksi, selain keinginan untuk mengubah tanggung jawab program dari satu lembaga ke lembaga lainnya apabila ini dapat mempercepat kemajuan. Hal ini juga berarti kerja sama untuk memastikan kepemilikan – antara daerah dan jender, antara pemilik rumah dan penyewa, dan di antara semua kelompok masyarakat.
2) Kami harus berkoordinasi secara efektif dalam pengambilan kebijakan dan analisis, tidak hanya dalam operasi, untuk memastikan bahwa masalah sistematik dituntaskan dengan perubahan kebijakan serta panduan yang tepat, dan bahwa kebijakan baru bisa diketahui di lapangan. Hal ini berdampak terhadap kelompok penasehat kebijakan di sekitar Aceh dan Nias dan juga untuk memastikan
bahwa badan BRR (Dewan Penasehat dan Pengawas) menjadi lembaga yang efektif.
3) Kami harus sistematis dalam mengatasi masalah logistik infrastruktur yang menghalangi pemulihan di daerah yang menghadapi tantangan paling besar. Hal ini mencakup kerja sama dalam menghubungkan kembali transportasi laut dan darat di wilayah yang terputus, dalam perbaikan pelabuhan- pelabuhan, jalan-jalan, jembatan-jembatan dan sistem drainase, serta dengan mengembalikan sarana serta perlindungan pantai.
4) Kami harus memotong birokrasi apabila hal itu memperparah kerterlambatan. Semua lembaga harus kembali sejauh mungkin kepada rasa sense of urgency yang terjadi di bulan-bulan awal, bukan ketika orang-orang di lapangan merasa mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Kini, terlalu banyak keputusan masih terhalang proses pengambilan keputusan yang birokratis. Memastikan lebih banyak jalur langsung kekuasaan, kejelasan tentang siapa yang memiliki kekuasaan keuangan dan kebijakan, dan secara aktif menciptakan proses yang cepat untuk dana yang berasal dari anggaran dan luar anggaran adalah sangat penting.
5) Kami harus kerja keras untuk menghidupkan kembali perekonomian dengan memulihkan mata pencaharian dan lapangan perkerjaan. Rekonstruksi yang pada saat ini dipusatkan pada perumahan dan infrastruktur; kini perlu memasuki tahap yang lebih menyeluruh, jika tidak kita hanya akan menciptakan tempat penampungan bagi orang-orang tetapi tidak memiliki kehidupan yang layak. Hal ini menuntut dukungan imajinatif bagi para wiraswastawan untuk memulai kembali
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
bisnisnya, untuk menggalakkan kehidupan jangka panjang,dan untuk mempertahankan pekerjaan yang berkelanjutan – sementara mempertahankan pekerjaan darurat dan skema kesejahteraan penting sebagai usaha penghentian jurang pemisah.
6) Kami semua, yang bekerja di berbagai lembaga, harus tetap mengingatkan diri bahwa jalan menuju pemulihan bukan kami yang menentukan, tetapi ditentukan oleh mereka yang menderita. Masyarakat harus secara mantap berada di kursi pengemudi – yang berarti dengan kuat berdasarkan prinsip konsultasi, partisipasi dan transparansi. Hal ini juga berarti membantu masyarakat menempatkan mekanisme untuk memastikan keluhan mereka didengarkan. Titak awal untuk hal ini adalah forum koordinasi yang terencana secara baik di tingkat desa dan kecamatan untuk menghubungkan sisi penawaran dan sisi permintaan: wakil masyarakat dan pejabat setempat ditambah dengan donor serta LSM yang memberikan dukungan.
7) Kami perlu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang tersiksa akibat konflik dan juga bencana alam untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan dengan bersatu membangun kembali dan membangun perdamaian. Membawa kedua pihak bersama dapat menyatukan warga, dan menunjukkan kemungkinan nyata dari hasil perdamaian.
8) Kami perlu memperkuat pengumpulan kemampuan intelektual dan system informasi agar mendapatkan jawaban yang jelas tentang kebutuhan dan kemajuan, dan kepercayaan diri yang besar dalam data dan analisis yang mendasari program-program kami.
Hal ini merupakan tantangan, dan semua pihak terkait memiliki peran yang dapat dimainkan untuk mewujudkannya.
SUMBANgSIH DArI SEMUA pIHAK
Brr – badan rekonstruksi: Brr memiliki komitmen untuk menyediakan koordinasi strategis yang lebih kuat di semua tingkat untuk menilai semua prioritas secara jelas, menyelesaikan masalah, menutup jurang pemisah , dan menyediakan panduan kebijakan yang jelas. Dalam upaya mendukung hal ini BRR akan melanjutkan bantuan kepada masyarakat, donor dan LSM untuk memotong birokrasi yang tidak diinginkan. BRR akan melanjutkan pembangunan basis informasi dan data yang kuat di mana keputusan mengenai program yang tepat bisa ditetapkan. Selain itu, BRR akan mengambil langkah baru untuk menciptakan jaringan perkantoran daerah yang kuat untuk mempromosikan usaha koordinasi yang lebih baik di tingkat kabupaten dan kecamatan. Badan ini bersikeras untuk membentuk kemampuan melaksanakan proyek konstruksi secara langsung sebagai suatu pilihan untuk memenuhi jurang pemisah yang timbul, walau sebagai “konstruktor pilihan terakhir”. BRR akan menjadi lebih terarah dalam menugaskan pertanggungjawaban proyek apabila suatu lembaga terbukti tidak dapat menjalankan tugasnya dengan benar atau, sebaliknya, apabila suatu lembaga memiliki kemampuan lebih dan track record yang baik. BRR memberikan perhatian lebih pada pengarahan dalam pemulihan kehidupan bisnis dan ekonomi– sehingga memastikan usaha pemulihan yang lebih menyeluruh – antara lain dengan mendorong datangnya investasi dari luar negeri dan wilayah Indonesia lainnya dan dengan memulihkan kembali sistem perbankan. BRR akan terus menggalakkan dan mendorong standar etis, penanggulangan
1��Bab 12 Kesimpulan – Implikasi Bagi Semua Pihak
korupsi, menuntut transparansi penuh dan mengajak menghormati masyarakat melalui keterlibatan dan praktek penyuluhan sementara juga membangun mekasisme institusional untuk mendukung usul-usul tersebut.
pemerintah pusat Indonesia: Tugas utama pemerintah pusat adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mempercepat pengambilan keputusan dan memastikan departemen-departemen terkait serta proses anggaran tetap memiliki rasa keterdesakan (sense of urgency) yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan. Presiden telah memberikan pesan yang jelas bahwa beliau tidak akan mentolerir kekacauan dalam proses rekonstruksi. Beliau berharap menteri-menteri senior mendukungnya untuk secara aktif menghilangkan segala kendala. Mereka akan selanjutnya akan menunjuk staf senior yang kompeten untuk menjalankan tiap inisiatif penting, memastikan bahwa bisa berjalan dengan mulus. Pemerintah juga perlu memfasilitasi kelancaran perputaran dana antar-tahun anggaran untuk menghindari terganggunya program, dan menghadapi usaha memfasilitasi mekanisme kelancaran dan kecepatan aliran dana dari anggaran dan luar anggaran demi tercapainya penyaluran dengan baik. Masalah-masalah besar seputar pemulihan akan semakin sering dibahas di tingkat Kabinet, dan Dewan Penasehat BRR akan perlu melancarkan kebuntuan dan kompleksnya pengaturan antar-institusi pemerintahan. Adalah penting juga untuk memperkuat Dewan Pengawas BRR dalam usahanya mendukung fungsi pengawasan, penanganan keluhan, pengawasan terhadap praktek korupsi, penggalakan transparensi dan mempertahankan dialog terbuka dengan masyarakat yang terkena dampak tsunami serta masyarakat madani.
pejabat Setempat: Bupati dan camat diminta memainkan peran koordinatif yang lebih besar. Kantor Gubernur, bupati, dan camat semakin banyak terlibat dalam peran ini. Sumbangsih mereka akan menjadi sangat penting, terutama dalam mengenali serta melancarkan kendala bottlenecks di daerahnya, bekerja untuk memastikan bahwa semua korban tsunami mendapatkan semua bantuan yang berhak mereka dapatkan (termasuk pembayaran uang berkala), berunding dengan para LSM dan donor yang beroperasi di sekitar untuk memastikan bahwa masyarakat (terutama yang paling lemah) mendapatkan dukungan yang paling baik, mengadakan pertemuan koordinasi berkala dengan pimpinan masyarakat dan semua lembaga yang bekerja di daerah untuk memastikan bahwa masyarakat tergerak untuk memulihkan keadaan mereka sendiri, dan memastikan masyarakat mendapat akses terhadap semua informasi mengenai program setempat. Diharapkan mereka dapat mendorong pemuka desa untuk menyelesaikan masalah di daerahnya sementara memastikan bahwa terdapat jalur yang jelas untuk merujuk ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan propinsi bila diperlukan. Mereka harus menghapus korupsi dan malpraktek lainnya. Sudah pasti, mereka sendiri akan mendapatkan sorotan lebih besar dan harus memberikan contoh yang baik sebagai suri teladan bagi masyarakat.
Donor: Donor perlu mempertahankan “budaya darurat’ dalam usaha memastikan kecepatan pengambilan keputusan dan penyelesaian pekerjaan. Usaha ini meliputi keterlibatan aktif dalam koordinasi antar-lembaga. Mereka tentunya, perlu melaporkan secara berkala dan secara obyektif kemajuan program mereka, terutama dalam database
1�� Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
RAN yang dikelola BRR serta menjalankan praktek sehat dalam pengawan audit (audit independen) dan pemantauan. Sumbangsih dalam proses reintegrasi pasca-konflik juga perlu dipertimbangkan dan dirundingkan. Donor juga diperbolehkan memberikan kontribusi di bidang penghidupan kembali usaha dan bisnis. Keberlanjutan kontribusi program perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, termasuk dampak lingkungan. Yang tidak terlalu tampak namun tidak kalah pentingnya adalah perlunya donor untuk memastikan keberlanjutan keuangan dari fasilitas yang mereka bangun. Analisis terinci dari keuntungan biaya dan aliran dana akan menjadi semakin penting dalam menilai dampak proyek donor, terutama di bidang kesehatan. Sumbangsih para donor akan menjadi titik penting dalam pembangunan kekuatan di lingkungan masyarakat madani dan pemerintah setempat sehingga Aceh dan Nias dapat menerima keuntungan pembangunan positif setelah perginya para donor.
LSM Internasional: Semua yang berlaku bagi para donor juga berlaku bagi LSM. Selain itu, adalah penting bahwa LSM berupaya bekerja sama untuk mencapai disiplin didalam sektor mereka. Walaupun banyak program yang sangat baik, banyak juga terdapat penyimpangan. Masyarakat semakin banyak yang mengeluh mengenai LSM yang menjanjikan untuk membantu namun menghilang, mengenai program yang tidak juga terlaksana, atau mengenai program dengan mutu rendah (terutama bila dibandingkan dengan program-program yang lebih baik di desa-desa tetangga). LSM harus berupaya untuk menguatkan kinerja dalam sektor mereka, bukan hanya dalam program mereka. Hal ini membutuhkan keberanian untuk melaporkan apabila terdapat LSM yang berkinerja buruk, menawarkan nasehat bagi LSM yang bersemangat namun kurang pengalaman,
untuk membantu pimpinan masyarakat dan camat untuk merencanakan mekanisme koordinasi di daerah setempat, rajin melaporkan kemajuan dan permasalahan ke BRR dalam forum koordinasi, serta tanggap apabila timbul permasalahan dan keterlambatan, termasuk siap untuk menyerahkan tanggung jawab program kepada pihak lain yang memiliki kemampuan bekerja lebih cepat. Adalah penting untuk menghindari janji yang berlebihan dan ketidakmampuan menyelesaikan tugas.
Masyarakat Madani: Sejarah masa lalu Aceh yang sarat konflik dan pengasingan internasional berarti bahwa masyarakat madani telah mengalami perubahan yang berbeda dibandingkan propinsi-propinsi lain. Hanya terdapat sedikit LSM lokal dengan kemampuan operasional berskala-besar, tetapi di sisi lain terdapat banyak kelompok yang kuat dalam bidang advokasi dan perlindungan hak asasi manusia, dan terdapat banyak perkumpulan, misalnya kelompok nelayan. Sementara banyak LSM dan donor Internasional memiliki program untuk membantu memperkuat kemampuan masyarakat madani, peran terpenting masyarakat madani yang bisa langsung dimainkan adalah memastikan bahwa masyarakat mengetahui dan menuntut hak mereka serta menyadari program-program pemulihan yang diciptakan untuk membantu mereka, membantu masyarakat menyuarakan keluhan mereka, dan menganggulangi masalah korupsi dan perlakuan buruk. Mereka juga dapat mengadakan pemantauan sendiri atas proyek pemulihan, dengan memastikan kebutuhan kelompok yang paling lemah terpenuhi dan berlaku sebagai penengah antara warga dan semua lembaga uang terlibat dalam usaha pemulihan lingkungan mereka. Masyarakat madani juga dapat memainkan peran yang penting dalam membantu masyarakat yang terkena dampak tsunami untuk memahami banyaknya tantangan
1��Bab 12 Kesimpulan – Implikasi Bagi Semua Pihak
yang terlibat dalam menjalankan program pemulihan yang begitu besar dan kompleks. Mengendalikan harapan masyarakat tidaklah mudah. Sudah pasti ada banyak kekecewaan. Tentu tidak pantas untuk membeberkannya secara tidak tepat. Masyarakat madani dapat dan harus terus memperkuat landasan masyarakat yang sudah kuat karena penting untuk kestabilan lingkungan pekerjaan, sehingga memungkinkan kontributor nasional dan internasional untuk menyalurkan barang dan jasa mereka dengan penuh kepercayaan diri.
AKHIrNYA…
pada awalnya, pemerintah membuat dua keputusan penting untuk program pemulihan, yang terlihat sebagai keputusan yang kuat, namun ini baru berada pada tahap awal. Pemerintah pertama-tama memutuskan bahwa pemulihan akan dipimpin oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus dan kemudian diikuti oleh pendekatan berbasis masyarakat. Terdapat bukti bahwa koordinasi semakin kuat dan kendala-kendala semakin dapat diselesaikan. Terdapat pula bukti bahwa masyarakat akan membuat pilihan-pilihan yang baik apabila mereka diberikan kesempatan dan memiliki akses informasi yang baik. Asalkan hal ini terus dipertahankan dan dengan syarat bahwa badan-badan yang bekerja sama dalam pemulihan makin menguatkan diri satu sama lain, akan ada prospek berlanjutnya pemulihan yang semakin cepat tanpa kehilangan mutunya. Apabila hal ini terjadi, kita bisa membangun tempat hidup, bukan hanya tempat tinggal. Kita tidak hanya akan mendirikan pemukiman di seputar wilayah yang mengalami kerusakan di Aceh dan Nias, tetapi kita akan menciptakan kembali masyarakat yang hidup. Inilah tujuan yang harus kita capai bersama.
200 Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Bagian III MELANGKAH KE DEPAN– TANTANGAN DAN STRATEGI UNTUK TAHUN 200� DAN SELANJUTNYA
LAMpIrAN
ANNEXES
202
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
NEEDS PROJECTS BALANCE
(Projects - Needs)”
Damage and Loss Assessment (Including
Nias)
Damage and Loss with Inflation
Adjusted
Minimum to Build Back 1
Already Allocated to Specific Projects
Projects Compared to Damage and Loss
Projects Compared to Core Needs
A B C D D-B D-C
Social Sector 359 431 482 1,299 867 817
Education 151 181 204 428 247 224
Health 115 138 152 449 311 297
Community, culture and
religion
94 112 127 422 309 295
Infrastructure and
Housing
2,620 3,144 2,415 2,000 -1,144 -415
Housing 1,597 1,916 991 976 -941 -15
Transport 606 728 824 529 -198 -295
Communications 43 52 56 35 -17 -21
Energy 88 106 118 43 -63 -76
Water & Sanitation 64 77 82 210 133 127
Flood control, irrigation
works
221 265 284 135 -130 -149
Other Infrastructure 0 0 59 73 73 13
Productive Sectors 1,183 1,420 223 581 -838 358
Agriculture & Livestock 225 270 73 138 -132 64
Fisheries 511 613 130 176 -437 46
Enterprise 448 537 20 268 -269 248
Cross Sectoral 681 817 349 482 -335 133
Environment 554 665 201 85 -580 -116
Governance &
Administration (incl. Land)
113 135 129 392 257 263
Bank & Finance 14 17 19 5 -12 -14
TOTAL 4,843 5,812 3,470 4,362 -1,450 892
1 Including Nias and inflation adjusted; see also methodological notes (Annex A.6)
ANNEX A.1: SUMMArY Of NEEDS, prOJECTS, AND gApS (MILLION US$)
20�
Domestic
funds
Donors private TOTAL
Brr Decon Multilateral 1 Bilateral NgOs
Social Sector 156 14 396 187 547 1,299
Education 45 8 136 106 133 428
Health 48 0.1 97 60 244 449
Community, culture and religion 62 6 163 20 171 422
Infrastructure 495 55 420 406 624 2,000
Housing 227 48 226 28 446 976
Transport 134 2 65 310 18 529
Communications 7 0 17 10 1 35
Energy 27 5 10 0 1 43
Water and Sanitation 18 0 52 31 108 210
Flood control, irrigation works 81 0 36 10 9 135
Other Infrastructure 0 0 15 17 41 73
productive Sectors 101 6 152 21 302 581
Agriculture and Livestock 29 2 34 0 72 138
Fisheries 33 3 52 16 73 176
Enterprise 39 1 66 6 157 268
Cross Sectoral 228 8 106 81 59 482
Environment 6 0 45 10 24 85
Governance and Administration
(incl. land)
222 7 61 71 31 392
Bank and Finance 0 1 0 0 4 5
Total 980 83 1,074 695 1,532 4,362
1 Multilateral includes Multi Donor Funds
ANNEX A.2: THE rECONSTrUCTION AND DEVELOpMENT prOgrAM fOr ACEH AND NIAS (MILLION US$)
ANNEXES
20�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
ANNEX A.3: fINANCINg ACEH AND NIAS rECONSTrUCTION (STATUS AS Of END-NOVEMBEr 2005, US$million)
Domestic government funds Donors private TOTAL
Brr(1) Decon (1) Local(2) Multilateral
(incl. MDTf)
Bilateral NgO
Total commitments to the
reconstruction program
(2005-2009)
2,100 300 350+ 2,000(3) 1,600(4) 2,500(5) 8,850+
Already allocated to
specific projects
980 83 72(6) 1,074 695 1,532 4436(7)
Already disbursed 19 31 60 168 127 370 775
(1) Government budgets and BRR-data
(2) Based on research of 2004 budgets in 10 Tsunami-affected local governments
(3) Assumes continuation of deconcentrated funding 25% below 2005 levels.
(4) Based on the latest commitments including grants and loans.
(5) The total NGO-envelope for reconstruction in all tsunami-affected countries has been estimated at US$5
billion. In Indonesia the current NGO-envelope is already US$1.8 billion, if the full amount of the Red Cross/Red
Crescent allocation, including not yet specifically allocated funds, were considered.
(6) Actual allocation for capital spending in affected local governments.
(7) This is higher than US$4,362 million (see Annexes 1 and 2) because of the inclusion of the US$72 million funding
from the local (kabupaten) governments which cannot be disaggregated by sector.
205
ANNEX A4: DAMAgE AND LOSS VS. rECONSTrUCTION prOgrAM, BY KABUpATEN pANEL (A). DAMAgE AND LOSS
pANEL (B). rECONSTrUCTION prOgrAM
ANNEXES
20�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
ANNEX A5: THE DEMOgrApHIC AND ECONOMIC IMpACT IN THE DISASTEr-AffECTED rEgION: CrOSS COUNTrY COMpArISONS
India Indonesia Maldives Sri Lanka ThailandDemographic impactPopulation, million 1,064.4 214.7 0.293 19.2 62.0 Population loss (incl. missing) 16,389 167,000 108 35,386 8,221 Population loss (incl. missing), % of total population 0.002 0.078 0.037 0.184 0.013 Population loss in the most affected province, % of total province population n/a 4.0 n/a 2.7 1.5 Economic impactGDP per capita, US$ 564 970 2,440 950 2,306 Total damages and losses (D & L) from tsunami, US$ million 1,224 4,451 603 1,454 2,198 Total D & L from tsunami, % of GDP 0.2 2.0 83.6 7.6 1.4 Pre-disaster forecasted GDP growth rate for 2005, % 7.2 5.4 7.5 6.0 6.0 Estimated change in the 2005 GDP growth rate due to the disater n/a -0.2 -9.2 -0.6 -0.3Private vs. public sector D & LPrivate sector, US$ million 891.0 3,168.0 374.0 1,060.0 2,137.0 Private sector, % of total 72.9 71.2 62.1 72.9 97.2 Public sector, US$ million 332 1,283.0 228.0 394.0 61.0 Public sector, % of total 27.1 28.8 37.9 27.1 2.8 Damage vs. lossesDamage, US$ million 575 2,920 450 1,144 508 Damage, % of total D & L 47.0 65.6 74.6 78.7 23.1 Damage, % of annual gross capital formation (GCF) 0.5 7.1 217.0 28.1 1.5 Losses, US$ million 649 1,531 153 310 1,690 Losses, % of total D & L 53.0 34.4 25.4 21.3 76.9 Losses, % of GDP 0.1 0.7 21.3 1.5 1.0 Sectoral composition of damage, % of total damageHousing 33.6 47.9 20.9 36.0 4.3 Physical infrastructure 13.6 21.8 27.3 23.9 5.3 Transport 6.1 14.0 16.2 19.7 1.4 Water supply - 0.9 10.0 2.7 0.2 Electricity - 2.3 1.1 1.5 0.8 Other infrastructure 7.5 4.5 0.0 0.0 3.0 Social sectors 1.9 9.5 7.3 7.2 1.8 health 1.9 3.8 2.7 5.0 1.8 education 0.0 5.7 4.7 2.2 0.0Productive sectors 46.1 12.1 28.4 31.8 88.6 Fisheries 40.0 3.5 3.1 9.1 13.2 Tourism 0.0 0.0 22.2 21.9 73.8Agriculture 2.6 2.9 2.4 0.3 1.6Industry and Commerce 3.5 5.7 0.7 0.5 0.0other 4.9 8.8 16.0 1.1 0.0Provincial level impact* Total impact (D & L), % of provincial GDP 4.0 97.0 84.0 90.0 8.0 Damage, % of provincial GDP 1.9 63.6 62.7 70.8 1.8Losses, % of provincial GDP 2.1 33.4 21.3 19.2 6.2Source: compiled based on the data from the Asian Disaster Preparedness Center. Note: * - most affected province in each country; for Maldives the data refers to total country.
20�
ANNEX A6: METHODOLOgICAL NOTESA6.1. general Methodology and DefinitionsA6.1.1. Definitions used in this report
A significant amount of data has been categorized and analyzed for this report. The key objective of the analysis was
to get reliable estimates of the: (i) reconstruction and development needs for Aceh and Nias (by sector); (ii) funding
commitments and disbursements (by sector). The definitions of the key concepts used in the analysis are provided
below.
DEfINITION Of NEEDS
There is no uniform definition of needs. This report has reflected the concepts of the damage and loss assessment as
well as of the Master Plan, and in addition estimated core minimum needs:
• The Damage and Loss Assessment estimated total costs to replace damage and losses caused by the disaster
(replacement value). Total damage and losses (Aceh and Nias) have been estimated at US$4.8 billion and after
being adjusted for inflation the total is US$5.8 billion.43
• The Master plan used the Damage and Loss Assessment as the baseline figures but made two important
distinctions: (i) Build back better in certain sectors (particularly social sectors and infrastructure), (ii) Compensate
private sector damage only up to a limit, which affected particularly the allocations for housing and the productive
sectors.
• Core minimum needs are a sub-set of the Damage and Loss Assessment and of the Master Plan. Core needs
are defined as (i) full replacement of all public sector damage (per damage and loss assessment); (ii) financing of
private sector needs such as housing, agriculture, fishing, up to the limit set by the Master Plan; (iii) partial financing
of environmental damage, which can only be addressed to a very limited degree by external interventions, and (iv)
inflation adjustment given the recent price trends.
For the March 28, 2005 earthquake in Nias the IOM and BRR carried out a separate damage assessment. The
estimation methodology used to compute damage and loss in Nias is described in the following sub-section (A6.2).
This estimation builds on the IOM and BRR data to compute estimates of damage value at the aggregate level as well
as by sector.
KEY pArAMETErS
Timeframe. Many projects will take more than one year to complete. The database of funds from donors and NGOs
contains single and multi-year projects.
Area. Financing figures could include both tsunami-affected areas and non-affected areas. Reconstruction activities
include the tsunami-affected areas only, while development activities include both tsunami affected and non-affected
areas in Aceh and Nias.
43 For the Earthquake in Nias on March 28, the government carried out a needs assessment which estimated total damage at US$392 million. Comparisons with the January assessment for Aceh and North Sumatra confirm the magnitude of the damage if the IOM damage numbers are used as a basis.
ANNEXES
20�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Ongoing activities and agreed projects. Figures in tables include both ongoing activities (i.e. being disbursed and
executed) as well as agreed projects that are currently prepared.
On and Off-budget. The tables in this report include both on-budget and off-budget spending. Donor funds which
are channelled through the government are defined as on-Budget. If funds are channelled directly to projects they are
defined as off-budget.
Donor Disbursement: Donor disbursement data is directly gathered from each major donor. The financial allocation
made by donor is classified as disbursement if the fund had been spent on a project. The fund transferred to the
Government or NGO accounts but not ready to be spent on a project would not be defined as disbursement. Data are
as of November 30, 2005.
NgO Disbursement. Disbursement refers to the funds that have been spent on the projects directly or has been
transferred to implementing agencies. NGO disbursement data is obtained mainly from the BRR Project Monitoring
Database that was received in November 2005, and to some extent additional information from NGOs’ websites and
financial reports.
gOI Disbursement. Central government disbursements consist of two categories: BRR budget and deconcentrated
(line ministries) expenditures. The term disbursement refers to actual spending against project’s activities, i.e. based
upon disbursement orders (SP2D) from the treasury service offices (KPPN) to the central treasury account (BUN).
Data has been provided by the Directorate General of Treasury in the Ministry of Finance. Data are as of December 6,
2005.
Double Counting. Occasionally financing figures are susceptible to double counting, since an institution provides
financial resources through other institutions. For example, a donor country provides project fund, but the project is
implemented by other donor country or NGO. Both institutions report the same project concept note to the BRR. In
order to avoid double counting, distinction between execution and contribution is made. The financing numbers in this
report are based on an execution basis. In other words, they take into account the institutions implementing projects
rather than institutions contributing to funds.
Exchange rate. The financing numbers are expressed in US Dollars. Data in non-US Dollar donor country currency
was converted to US Dollar using exchange rate at the time of a project being entered into the BRR concept note
database. The exchange rate between Indonesian Rupiah and US Dollar is: US$1=10,000 Rupiah.
Sectoral Analysis. In this report, financing is categorized functionally into the following 4 sectors: social sector,
infrastructure, productive sectors, and cross sector, each of which is composed of several sub-sectors (see next
section for sectoral definitions).
20�
A6.1.2. Sector definitionsEducation • Revitalizing delivery service and
management system of education
• Designing, rehabilitating, and
reconstructing school and other
educational buildings
• Supplying education material and
equipment
• Teacher training, advocacy,
research and support on
education.
• Australia: Education Rehabilitation
Assistance (ERA)
• Save The Children: Revitalization
of Community and District
Educational Systems
Health • Revitalizing health service and
health management system
• Designing, rehabilitating, and
reconstructing health facilities
• Supplying medical and health
equipments
• Training, advocacy, research and
support on health
• UNICEF: Provision of primary
health care services and supplies
• The Mentor Initiative: Rebuild
capacity of Communicable
Disease Control of the Provincial
Health Office and District Health
Offices throughout the Province
of Aceh and Nias
Community, culture, and religion • Housing design
• Rehabilitating and reconstructing
permanent housing
• UNDP: NAD Housing
Rehabilitation Project
(implementing partnership with
UN-HABITAT)
• World Vision International:
Meulaboh Permanent Housing
Transport • Revitalizing transport
infrastructure such as road,
bridge, port, air port and bus
station
• Transport logistics.
• USAID : Reconstruction of Banda
Aceh - Meulaboh road
• IACO (International Aid and
Cooperation Organization):
Reconstruction of Batee Bridge,
Pasir Gentang, Pidie
Communication • Generating early warning
communication system
• Distributing publication and
information on the progress in
tsunami-affected area
• Radio broadcasting to support
the social activities
• Other revitalizing activities on the
infrastructure for communication
system
• JAPAN: Support for Radio/TV
Broadcasting Activities
• Red Cross and Red Crescent
(RCRC): Early Warning
Communication System
ANNEXES
210
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Energy • Rehabilitating and reconstructing
energy system and infrastructure
such as on the electricity system
• Research, study and workshops
on energy issues
• ADB: Power Sector Project
• Soluziana S.A: Feasibility study
for the development of wind
energy in Nias regency, Nias
Island, North Sumatra
Water and sanitation • Rehabilitating water and
sanitation facilities including the
water supply network such as
piped water, well and spring
• Improving the access to safe
drinking water and the hygiene
condition
• Study, research and training
on water system, water
infrastructure, and environmental
sanitation
• UNICEF: Provision of Clean Water
Supply and basic sanitation
facilities
• THW: Rehabilitation of springs
and water intakes for the tsunami
and earthquake victims of
Simeulue island, Nanggroe Aceh
Darussalam, Indonesia
Flood control & irrigation works • Cleaning, rehabilitating and
reconstructing river, drainage and
irrigation system
• Study and research on
aquaculture project and system
• Japan: Selected Emergency
Repair Work of Flood Way Dyke
in Aceh
• Muslim Aid Indonesia: Banda
Aceh Flood Relief Flow Valves &
Pump Stations
Other infrastructure • Rehabilitating and reconstructing
infrastructure facilities other than
the ones mentioned above, such
as on the warehouse and repair
shops
• UNDP: Restoration of minor
infrastructure
• Red Cross and Red Crescent
(RCRC): Regional ware house
preparedness Jakarta, Surabaya,
Medan, Banda Aceh
Agriculture & livestock • Cleaning, rehabilitating and
revitalizing agricultural sector
• Supplying agricultural
equipments/tools and inputs such
as seeds, fertilizers, crops, plant
protections, etc
• Providing workshops, trainings,
and technical assistance on
agricultural planning, land
mapping, and production
management system for
sustainable livelihood
• ADB: Restore support services,
community empowerment, and
restoration of farming
• Food for the Hungry International:
Aceh Jaya Agriculture Recovery
Program
211
Fisheries • Rehabilitating and reconstructing
fishery piers, market, cold
storage, and ponds
• Reconstructing and supplying
boats, nets, and other fishing
materials and tools
• Providing workshops, training,
and technical assistance on
fishing techniques, navigation,
system, and distribution
management
• World Bank: Support for
Fisheries Sector Post-Tsunami
Rehabilitation
• World Relief: Kreung Raya
livelihoods, fishing and small
grant project
Enterprise • Revitalizing trade and industries,
SMEs and cooperatives, as well
as on manpower issues
• Community regeneration through
small industry development and
financial access or loan for micro
enterprises
• Reconstructing and rehabilitating
markets, factories, and other
business activities
• Workshops and training on
economic capacity, skill training,
production management,
entrepreneur skills, etc.
• Canada: Private Enterprise
Participation (PEP)
Implementation Project
• Save The Children: Economic
Recovery Assistance & Micro
enterprise Development
Environment • Rehabilitating degraded areas
and regenerating nature and
forest through enrich planting
and increase the environment
awareness in community
• Redeveloping and protecting
coastal area and coastal
ecosystem by planting mangrove
and such
• Providing workshops, training
and technical assistance in
environment planning, public
education on environment
• Assisting in developing natural
hazard law, policy and regulations
• MDTF: Aceh Forest and
Environtment Project
• Leuser International Foundation
(LIF): Integrating Environment
& Forest Protection in to
the Recovery and Future
Development of Aceh
ANNEXES
212
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
Governance and Administration (inc.
land)
• Rehabilitating, renovating and
reconstructing government
building
• Government administration
activities such on population
census, registration of birth,
registration of beneficiaries to
receive relief aid
• Land use rehabilitation program
including land clearing, land
mapping, land administration,
land record
• Capacity building including
workshop and training for
supporting local government
• Australia: Restoring Local
Governance and Communities in
Aceh (RLGCA)
• LGSP: Local Governance Support
Program / LGSP
Bank & Finance • Rehabilitating and reconstructing
banking and other financial
buildings
• Monitoring, evaluating and
appraising on micro and small
loan portfolio
• Capacity training and workshop
on bank and finance issues
• Savings Banks Foundation
for International Cooperation
(SBFIC): Savings Banks
Reconstruction Fund for South
Asia
A6.2. Measuring the Spatial Dimension of reconstructionA6.2.1. Nias: Technical Notes on the Computations of the Damage & Loss
Input data used for the calculation of Nias’ damage is drawn from a report by the International Organization for Migration
(IOM) entitled: “Post Disaster Damage Assessment on Nias and Simeulue Islands”, the survey of BRR Nias and Satuan
Koordinasi dan Pelaksanaan (SATKORLAK) and the technical report prepared by BAPPENAS and the International Donor
Community entitled: “Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment Report: The December 26, 2004 Natural
Disaster”, henceforth referenced as IPDLAR. This assessment was based on the international standard methodology
first developed by the UN Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC).
The IOM report and the survey of BRR Nias/SATKORLAK provide information on damage of physical infrastructure, such
as buildings and roads and the percentage of infrastructure that is still functioning. The IPDLAR provides information on
the total monetary value of damage in Aceh by every affected sector. These data are used as the reference to estimate
the monetary value of damage in Nias.
21�
The calculation of the total value of physical damage in Nias is based on the estimation of unit values. To calculate the
unit value of a damaged building, the total value of all damaged buildings reported by the IPDLAR is divided by the
total number of damaged buildings. This unit value is then multiplied by a factor corresponding to the level of damage
incurred - 1 is used for total damage, 0.5 for medium damage, 0.25 for minor damage, and 0.1 for very minor damage.
These values are then multiplied by the total number of damaged buildings for each related level and sector in Nias.
A similar method is also used to compute the estimated value of damage for roads, settlement areas, and infrastructure
for communication, energy, and water. That is, for “damage per meter of road” the total value of damaged road reported
by IPDLAR is divided by the length of damaged road in meters. For the energy, water and communication sectors
the financial value of total damage reported by the IPDLAR is divided by the reported overall percentage of damage
sustained in each sector to compute the monetary value of the unit percentage of the damage. The damage cost
per unit percent of each of these sectors (energy, water, and communication) is then multiplied by the corresponding
percentage of damage per sector. For other sectors such as education and health, the unit cost for each damaged
building of school and health facilities is directly available from the IPDLAR; hence no calculations of unit cost are
required.
The exchange rate used in all computations is Rp 10,000/ US$1.
Table A6.2.1. Impact Simulation Damage per Sector in Nias
Sector/Sub Sector Total Impact Total
(in million USD)
Social Sector
Education (unit building) 723 23
Health (unit building) 414 23
Religious and Cultural Affairs (unit
building)
1,787 10
Infrastructure and Housing
Housing (unit building) 70,900 160
Road (in km) 1,066 45
Telecommunication (% disfunctional) 52.11 21
Energy
Electricity (% disfunctional) 32.3 20
Drinking Water and Sanitation
Water Resources Infrastructure
Piped water (% disfunctional) 90.62 28
Well (% disfunctional) 31.3 3
Spring (% disfuntional) 28.42 3
Other Infrastructure
Bridge (unit) 403 21
Piers (unit) 11 4
Production Sector
ANNEXES
21�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
A6.2.2. Technical Notes on the geographical Analysis
A6.2.2.(A). geographical project Allocation
The data source for project allocations to districts comes from the government budget 2005 and 2006, and the BRR
project concept notes (Batches 1-11) database for NGOs and donors. The data in most cases provides information
on the targeted districts for the projects. Nevertheless, as the information in the data source on the geographical
allocation is sometimes limited, and as the projects are sometimes targeted to more than one district, the allocation
by district (kabupaten) is estimated using the weights. The weights are obtained by dividing the value of damage and
loss assessment for each of the impacted district by the total damage and loss. The estimation is based on the IOM
assessment of damage, and the methodology is similar to the one applied for Nias (see Annex A6.2.1.).
A6.2.2.(B). Estimating the impact of disaster on gDp at the kabupaten level
Estimating the impact on GDP at the kabupaten level involves the following steps:
• Estimate the value of damage at kabupaten level (as described above);
• Since the estimates of damage only cover damage to non-productive sectors, we first use the aggregate D&L
assessment to estimate the ratio of the damage in productive sectors (incl. 50% of damage to infrastructure) to the
damage in non-productive sectors, and then use this estimated ratio (25%) to obtain monetary value of damage to
productive sectors by kabupaten;
• The aggregate D&L assessment for the productive sectors indicates that damage (incl. 50% of the infrastructure
damage) is US$670 million (352 + 318), and losses (over 4 years) are US$952 million (incl. 50% of infrastructure
losses); assuming that 40% of the losses will be borne during the first year, these number indicates that every 1$
of damage (stock concept) will transform into $0.57 of losses (flow concept) during the first year after the impact;
• Applying this ratio to the previously obtained estimates of the productive sector damage by kabupaten, we obtain
the estimates of productive sector losses by kabupaten, which are then compared to the 2004 levels of GDP by
kabupaten.
Agriculture and Food
Fishery
Industry and Trade (unit) 181 1
Manpower
SME and Cooperatives
Cross Sector
Environment (in hectars) 1948 5
Administration and Government (unit
building)
539 24
Banking
Total value in million rupiah 3,916,730
Total value in million USD 392
215
A6.2.3. Technical Notes on the Computations of the financial Commitments (projects) in Nias
The data used for the calculation of the financial commitments for Nias (table 6.2 Chapter 6) was primarily taken
from the BRR Concept Notes – Batches 1 to 11. The approach was to use data for the donors and NGOs which
have dedicated projects and budgets only for Nias. In cases where the donor or NGO has a combined total amount
allocated for both Aceh and Nias, this budget is not included since it is not possible to ascertain the percentage of
funds dedicated only to Nias. As a result the total amount allocated to Nias is possibly slightly above the current
estimates which present the minimum allocation. The government figures were provided directly by the BRR office in
Nias. The domestic funding from the central government (de-concentrated) sources is not included in this table. All
numbers are for the two kabupatens: Nias and Nias Selatan.
NGOs Sectors
Help e.V. Housing, land, & markets
IMC Restoring of health facilities
ACTED Housing and shelters
World Vision Rehabilitate education, water, and sanitation, food distribution
Croix Rouge Francais Reconstruct 3 schools, rehabilitate markets
Tomorrow’s Hope Build orphanage, build schooling facilities
CWS Build houses, provide water and sanitation facilities
LEAP Restore livelihood by developing coconut oil industry
Red Cross & Red Crescent Rehabilitate and reconstruct schools and health centers, build houses, water and
sanitation facilities, and rebuild markets and shopping centers
TEARFund Restore government health services structure
Soluziana Study of wind as alternate energy source
United in Diversity Housing and provision of boats to villages
Samaritan’s Purse Permanent housing program
LPAM Nias Reconstruct schools and houses
Caritas Reconstruct houses and community development
Food for the Hungry Intl. Repair water piping and build treatment system
LDSC Hospital medical equipment
TEARS Intl. Renovation of public hospital
AMDA Community based emergency shelter rehabilitation
IOM Community development, livelihood, and logistics
Catholic Relief Services Housing and shelters
GTZ Water and sanitation facilities
Johannitar Schools and education
Lazarus Schools and education
Surfaid Community water and sanitation facilities
ANNEXES
21�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
A.7 Nota Kesepahaman antara pemerintah republik Indonesia dan gerakan Aceh Merdeka
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut: 1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh 1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan
akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait
dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh
akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh
akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
21�
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.
1.2. Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan
calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan
perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. 1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada
bulan April 2006. 1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai
dengan Konstitusi Republik Indonesia. 1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa
diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar. 1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan
tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar
Aceh. 1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam
lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara
dalam wilayah Aceh. 1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa
hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.
ANNEXES
21�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut
dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan
dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR). 1.4. Peraturan Perundang-undangan 1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui. 1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi,
dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia. 1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan
persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan
sipil di Aceh. 2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat
3.1. Amnesti 3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua
orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat
mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini. 3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan
nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.
21�
3.1.4 Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti.
3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat 3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau
dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia
berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka. 3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan
yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh. 3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah
Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut: a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas,
pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian
yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan
menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk
menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan. 3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik
di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan
memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh
para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.
ANNEXES
220
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan
dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh. 4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan
akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah
kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman
ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang
dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh. 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu
damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. 4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri
dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.
5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya. b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik. c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat. d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini. e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan. f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan. g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota
Kesepahaman ini. h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah
Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam
kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
221
5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan
menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM. 5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang
tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil
AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim
pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para
pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil
senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM,
termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi. 5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan
medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM. 5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan
media nasional dan internasional ke Aceh. 6. Penyelesaian perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan
cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara
sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung
ANNEXES
222
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini. Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005. A.n. Pemerintah Republik Indonesia, A.n. Gerakan Aceh Merdeka, Hamid Awaluddin Malik Mahmud Menteri Hukum dan HAM Pimpinan Disaksikan oleh, Martti Ahtisaari Mantan Presiden Finlandia Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Fasilitator proses negosiasi
22�
A.8 INSTrUKSI prESIDEN DAN pErATUrAN prESIDEN rEpUBLIK INDONESIA TENTANg ACEH DAN NIAS
A.8.1 Instruksi presiden republik Indonesia Nomor 15 tahun 2005 Tentang pelaksanaan Nota Kesepahaman antara pemerintah republik Indonesia dan gAM
ANNEXES
22�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
225
ANNEXES
22�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
22�
ANNEXES
22�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
22�
ANNEXES
2�0
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2�1
ANNEXES
2�2
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2�5
A.8.2 peraturan presiden republik Indonesia Nomor 70 tahun 2005 Tentang peran Serta Lembaga/perorangan Asing Dalam rangka hibah untk rehabiitasi dan rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias provinsi Sumatera Utara
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
ANNEXES
2�0
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2�1
ANNEXES
2�2
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
A.8.3 peraturan presiden republik Indonesia nomor 70 tahun 2005 Tentang perubahan Ketiga atas Keputsan presiden Nomor 80 tahun 2003 Tentang pedoman pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa pemerintah
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2�5
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
ANNEXES
2��
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2��
ANNEXES
250
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
251
ANNEXES
252
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
25�
ANNEXES
25�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
255
ANNEXES
25�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
25�
ANNEXES
25�
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
25�
ANNEXES
2�0
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI
2�1
A.9 DATA SOUrCES
Several types of institutions contributed to recovery financing, namely, bilateral donors, multi-lateral donors, NGOs and
government own sources (central government and regional governments). This report collates data from the following
institutions:
• CGI and non-CGI bilateral donors: Data mostly from BRR concept note project database and confirmation from
donor countries. Data reported for UN programs is drawn from UN flash appeal for Indonesia. MDTF data is
obtained from the MDTF representative, and cover approved projects and concepts.
• NGOs (Indonesian and non-Indonesia NGOs and/or private contributions): Data from BRR concept note project
database. On disbursement, data is obtained from BRR monitoring database, which represents the disbursement
around late September and October, 2005.
• Indonesian governments (central, province, local): Data from DG Treasury provided by the MoF. BRR funds for
reconstruction and rehabilitation are from the 2005 and 2006 budget. The BRR disbursement data is obtained from
KPPN Khusus as per December 6, 2005. It represents the actual spending on the projects, including project and
administrative spending. APBN-deconcentration disbursement for reconstruction is estimated from total disbursement
of deconcentration budget. Local government disbursements are obtained through a local government assessment
supported by the World Bank. For details on the local government assessment see the BRR/World Bank Report
“Rebuilding a Better Aceh and Nias – Stocktaking of the Reconstruction Effort”, October 2005, chapter 2.4.
Other documents and data sources include:
Aceh-Reconstruction website: http://e-aceh.bappenas.go.id
APBN (2005) Deconcentrated fund and BRR, from Regional DG Treasury, MOF and BRR.
BAPPENAS, Rencana Aksi Rehab-Rekons TA 2005 Hasil Konsultasi Teknis Renaksi R2WANS di Provinsi NAD, May 2005
BAPPENAS. (2004). Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment, December 26, 2004 Natural Disaster. A
Technical Report prepared by Bappenas and the International Donor Community.
BRR, Geographical survey, September 2005 and November 2005.
BRR. (2005). Meletakkan Fondasi Membangun Harapan: Laporan Kegiatan Enam Bulan Badan Pelaksana Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias.
BRR/World Bank. (2005). Rebuilding a Better Aceh and Nias: Stocktaking of the Reconstruction Effort.
BRR Project Database of Donor Country and NGO/Private Sector Projects on Aceh Reconstruction and Development.
Budget data from DG Treasury, Ministry of Finance as well as regional Treasury offices Credits and banking data from
Bank Indonesia Office in Banda Aceh.
Education Management Information System Website EMIS
Indonesia: Notes on Reconstruction, December 26, 2004 Natural Disaster. A Technical Report Prepared by Bappenas
and the International Donor Community.
IOM Damage Assessment for Nias and Simeulue Islands; June 2005.
Input financing data from Germany, Ausaid, UN, ADB, MDTF, Red Cross Movement. National Labor Survey (Sakernas)
– various editions, Central Bureau of Statistics (BPS).
Kerangka Peta Aceh dan Nias v. 2.2 (mapframe), bappenas, BRR,, BPS, ADB, IHS, 2005
OCHA’s fund tracking website. (http://ocha.unog.ch/fts/index.aspx)
Price data from BPS Office in Banda Aceh.
Provincial Health Office data
Settlement and Livelihood needs and Aspiration Assessment Survey 2005, IOM
SPAN: Population Census of Nanggroe Aceh Darussalam, BPS, November 2005.
ANNEXES
2�2
LAMpIrAN
Laporan Desember 2005 ACEH DAN NIAS SATU TAHUN SETELAH TSUNAMI