proses kebijakan publik
TRANSCRIPT
Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Epidemiologi dan Biostatistik Lanjut
Dosen : Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Kes., M.Sc.PH
KELOMPOK 4
A. ST. NURHAFIFA YUSUF P1802212006
NUR ASDA MUSTARING P1802212007
MASLAMAH P1802212010
RYRYN SURYAMAN PRANA PUTRA P1802212407
KONSENTRASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara.
Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons –
menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan.
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit
perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang tekhnologi bio‐medis atau
produksi dan penjualan obat‐obatan, atau dengan menjamin adanya populasi yang
sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi
fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit,
klinik atau apotik; atau sebagai profesi kesehatan – perawat, dokter, tenaga
pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena pengambilan keputusan
kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan, kesehatan diletakkan
dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya
dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama
halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan ekonomi, seperti
pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat.
Penyebab mutakhir meningkatnya obesitas ditengah masyarakat mencakup kesediaan
makanan cepat saji yang murah namun tinggi kalori, penjualan soft drinks disekolah,
juga menurunnya kebiasaan berolah raga.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri
menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan
masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini – meningkatnya obesitas, wabah
HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana
perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada kesehatan. Kebijakan kesehatan
memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangkan dan
digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat
dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud
dengan kebijakan kesehatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian kebijakan dan kebijakan publik?
2. Apa urgensi kebijakan publik?
3. Bagaimana ciri dan jenis kebijakan publik?
4. Bagaimana proses dan tahapan kebijakan publik?
5. Bagaimana hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan publik?
6. Bagimana analisis kebijakan publik?
7. Bagaimana dampak kebijakan publik?
8. Bagaimana contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian kebijakan dan kebijakan publik
2. Mengetahui urgensi kebijakan publik
3. Mengetahui siapa yang membuat kebijakan
4. Mengetahui ciri dan jenis kebijakan publik
5. Mengetahui proses tahapan kebijakan publik di bidang kesehatan
6. Mengetahui bagaimana hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan
publik
7. Mengetahui analisis kebijakan publik
8. Mengetahui dampak kebijakan publik
9. Mengetahui contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN
Pengertian Kebijakan
Kebijakan atau policy adalah seperangkat panduan pengambilan keputusan.
Penyediaan kebijakan merupakan kerangka kerja yang diusulkan yang dapat diuji
dan diukur kemajuannya. Idealnya kebijakan itu berisi definisi yang jelas terhadap
masalah yang akan diselesaikan, pernyataan tujuan (pendekatan dan kegiatannya)
terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai (Pal, 1992).
Pengertian Kebijakan Publik
Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan
umum/publik adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah
tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala kebijakan
disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Kebijakan publik memiliki beberapa definisi. Salah seorang pakar
kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus
dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan
yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya
dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan,
walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah
letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas
Dye, 1992; 2-4).
Sedangkan Perpustakaan Nasional USA Medicine Science Heading
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “a course of method of action selected,
usually by government, from among alternatives to guide and determine present and
future decisions”.
Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan
(dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan
dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor
publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi
oleh banyak faktor penentu diluar system kesehatan, para pengkaji kebijakan
kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari
organisasi diluar system
B. URGENSI KEBIJAKAN PUBLIK
Ada tiga alasan mengapa kebijakan publik penting dan perlu dipelajari. Sholichin
Abdul Wahab dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978)
menjelaskan ketiga alasan itu diantaranya:
1. Alasan ilmiah (scientific reason),
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses-proses perkembangannya
dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan
menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum.
2. Alasan profesional (professional reason)
Studi kebijakan dimaksudkan untuk menghimpun pengetahuan ilmiah di
bidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari- hari.
James E. Anderson termasuk yang mendukung profesionalitas (bukan hanya
saintifik). Menurutnya, jika kita mengetahui sesuatu tentang fakta-fakta yang
membantu dalam membentuk kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi
dari kebijakan-kebijakan yang mungkin timbul, jika kita tahu bagaimana individu,
kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan
kebijakan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak untuk
berdiam diri. Oleh karenanya menurut Anderson adalah sesuatu yang sah bagi
seorang ilmuwan politik memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun
pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkannya mampu
memecahkan persoalan-persoalan dengan baik. Tentunya pengetahuan yang
didasarkan pada fakta adalah prasyarat untuk menentukan dan menghadapi
masalah-masalah masyarakat.
3. Alasan politis (political reason).
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang
tepat pula. Sebagaimana telah diuraikan di atas beberapa ilmuwan politik
cenderung pada pilihan bahwa studi kebijakan publik seharusnya diarahkan untuk
memastikan apakah pemerintah mengambil kebijakan yang pantas untuk
mencapai tujuan-tujuan yang tepat. Mereka menolak pendapat bahwa analis
kebijakan harus bebas nilai. Bagi mereka ilmuwan politik tidak dapat berdiam diri
atau tidak berbuat apa-apa mengenai masalah-masalah politik. Mereka ingin
memperbaiki kualitas kebijakan politik dalam cara-cara menurut yang mereka
sangat diperlukan, meskipun dalam masyarakat seringkali terdapat perbedaan
substansial mengenai kebijakan apa yang disebut ‘benar’ dan ‘tepat’ itu.
C. SIAPA YANG MEMBUAT KEBIJAKAN
Sistem kebijakan secara keseluruhan merupakan pola institusional dimana
kebijakan di buat, terdiri dari kebijakan kebijakan, stakeholders, dan lingkungan
(Dunn, 1981). Terdapat tiga pola yang telah ditetapkan, meskipun hal ini jarang
dalam bentuk yang sebenarnya (van der Grinten, 1996). Walaupun dikembangkan
untuk diaplikasikan dalam jurisdiksi politik, prinsip prinsip yang ada dapat
diterapkan untuk organisasi seperti perusahaan dan assosiasi professional.
Pada sistem yang ekstrim, sistem kebijakan unicentric dimana kebijakan
ditentukan oleh satu otoritas, pemerintahan secara umum, semuanya powerful,
menjadi penting dengan hanya mengambil satu keputusan yang meliputi
keseluruhan sistem. Hasilnya adalah sistem regulasi dimana pemerintah
mengalokasikan dan mengkoordinasikan tugas tugas. Contohnya adalah
pemerintahan totalitarian di Asia selatan.
Pada ekstrim yang lain adalah sistem kebijakan multicentric, secara
esensial merupakan marketplace, dimana banyak pihak yang terlibat. Pemerintah
bertugas sebagai wasit, pengawas standar minimal mutu, fasilitator dari kehendak
para pelaku pasar yang hanya ikut bila memberi keuntungan. Keadaan ini banyak
ditemukan di negara-negara yang menganut sistem demokrasi.
Ketiga, sistem kebijakan tipe intermediate adalah sistem plucentric
dimana model ini merupakan sebuah jaringan (network). Power dibagi kedalam
sejumlah aktor yang interdependent meliputi pemerintah, pekerja, dan buruh yang
harus bekerja sama dalam mencapai berbagai tujuan tujuan mereka. Keberhasilan
kebijakan hanya dapat dicapai bila di dukung sepenuhnya oleh para pelaku. Ini
adalah ”system policy neocorporatist’ yang telah diterapkan di Jepan dan Jerman
pada dekade ini.
Sistem kebijakan negara dipengaruhi bagaimana partisipasi dalam
interaksi pengambilan kebijakan. Hal tersebut juga ditentukan pentingnya
hubungan mereka, dan yang menjadi penting untuk ahli epidemiologi untuk
menjalin komunikasi. Tetapi hal pertama keterlibatan partisipants harus dpat
diidentifikasi. Pelaku yang paling penting adalah para politisi, pegawai negeri,
staf ahli, dan yang berminat.
D. CIRI DAN JENIS KEBIJAKAN PUBLIK
Ciri-ciri Kebijakan Publik :
1. Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, bukan
tindakan yang acak dan kebetulan. Kebijakan publik dalam sisem politik modern
merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan
berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang beridiri sendiri. Kebijakan
tidak hanya berupa keputusan untuk membuat undang-undang, melainkan diikuti
pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan implementasi dan
pemaksaan pemberlakuannya.
3. Kebijakan bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah
dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam mengatur kebijakan kesehatan, dan
bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tersebut.
4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam
bentuknya yang positif, mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan
pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara
dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan
pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun
ketika campur tangan pemerintah sebenarnya diharapkan. Sudah barang tentu
tiadanya bentuk campur tangan/ keterlibatan pemerintah dapat membawa dampak
tertentu bagi seluruh atau sebagian warga.
Jenis Kebijakan Publik
Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya
masing- masing. James Anderson. Misalnya, menyampaikan kategori tentang
kebijakan publik tersebut sebagai berikut:
1. Kebijakan substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni
kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut
dapat dijalankan.
2. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan re-
distributif. Kebijakan distributif. Kebijakan distributis menyangkut distribusi
pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori
adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak
di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
3. Kebijakan material versus kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok
sasaran. Sedangkan kebijkan simbolis adalah kebijakan yang memberikan
manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan
barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang
bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan
kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau
pelayanan untuk pasar bebas.
E. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau
disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang
paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan
apa yang disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan Jenkins‐Smith 1993). Yang dimaksud
disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat
teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia
nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan
kebijakan dalam tahapan‐tahapan yang berbeda:
Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat
masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu – isu yang lain justru tidak pernah
dibicarakan.
Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan
kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. Peran
penyusunan kebijakan dalam pemerintahan dibicarakan
Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap
sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang
diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan
sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan,
sesuatu yang salah mungkin terjadi dan hasil kebijakan tidak seperti yang
diharapkan.
Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan –
bagaimana pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat
yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah
atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan..
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana
ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti proses yang linier – dengan kata lain, proses
ini berjalan dengan mulus dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah
hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Namun, sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai
suatu proses. Mungkin pada saat tahap pelaksanaan masalah baru ditemukan atau
kebijakan mungkin diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan.
Dengan kata lain, penyusunan kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional –
iterative dan dipengaruhi oleh kepentingan sepihak – i.e. pelaku. Banyak yang sependapat
dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah sesuatu yang dicampur aduk
oleh para penyusun kebijakan. Namun, tahap heuristics telah berlangsung sekian lama
dan tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak hanya kebijakan
tingkat nasional tetapi juga internasional
Guna memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia. Dimensi paling
inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat
sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu
bagian ke bagian lain secara berkesinambungan, saling menentukan dan saling
membentuk. Beberapa ahli menjabarkan proses kebijakan publik diantaranya :
1. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton
Model proses kebijakan yang paling klasik dikembangkan oleh David
Easton (1984). Easton melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya
sistem biologi merupakan proses interaksi antar mahluk hidup dengan
lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang
relatif stabil. Dalam terminologi ini, Easton menganalogikannya dengan
kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan sistem mengandaikan bahwa
kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari
dalam ilmu politik, sistem politik terdiri atas input, throughput dan output, seperti
digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan
publik berada dalam sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input)
yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang
dikembangkan oleh para akademis di bidang kebijakan publik, seperti: Anderson,
Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy.
2. Tahap- Tahap Kebijakan Publik Menurut William Dunn
James E. Anderson, David W. Brady, dan Charles Bullock III (1978) membagi
proses kebijakan menjadi:
1. Agenda kebijakan (policy agenda)
2. Perumusan kebijakan (policy formulation)
3. Penetapan kebijakan (policy adoption)
4. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang
dikembangkan oleh William N. Dunn sebagai berikut:
William Dunn menjabarkan tahapan kebijakan terdiri dari 4 proses:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk
memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam
agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status
sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik,
maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu
publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan
(policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat
di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh,
atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi
dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk
menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik
(Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986),
diantaranya:
1. Telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi
ancaman yang serius;
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis;
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. Menjangkau dampak yang amat luas ;
5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya)
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat
urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan
tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing- masing alternatif
bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun
warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah mendukung.
Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan
niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-
simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-
masalah kebijakan, program- program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
3. Proses Kebijakan Publik oleh Patton dan Savicky
Proses kebijakan model ini dikembangkan melalui siklus proses kebijakan sebagai
berikut:
1. Mendefinisikan masalah (define the problem)
2. Menentukan kriteria evaluasi (detrmine evaluation criteria)
3. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif (identify alternative policies)
4. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif (evaluate alternative policies)
5. Menyeleksi kebijakan-kebijakan pilihan (select preferred policy)
6. Menerapkan kebijakan-kebijakan pilihan (implement the preferred policy)
4. Model proses kebijakan oleh Thomas R. Dye
Model proses kebijakan ini terdiri dari :
1. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
2. Pengaturan agenda (agenda setting)
3. Perumusan kebijakan (policy formulation)
4. Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
6. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Dalam bidangn kesehatan, proses kebijakan publik sama halnya dengan proses
kebijaka publik lainnya, hanya saja kerangka konsep yag digunakan mengacu pada
determinan kesehatan yang mempengaruhi proses kebijakan lainnya.
Model konseptual untuk penyusunan kebijakan kesehatan (Sumber: Ruward
et.al.1994 in Spasoff, 1999 ).
Sedangkan model proses kebijakan publik di bidang kesehatan berkaitan dengan
epidemiologi adalah : (sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan
Kesehatan, Ridwan, 2011)
Assesment of population health
Policy Implementation
Policy choices
Assesment of potential intervention
Policy Evaluation
Autonomous developments
Health policy
determinants
Health status
Siklus seperti pada gambar diatas akan memberi framework pada organisasi.
Siklus telah dibatasi kedalam langkah langkah yang lebih sederhana. Beberapa siklus
kebijakan meliputi langkah agenda-setting, dengan melihat issu-issu yang
dipertimbangkan menjadi kebijakan. Langkah ini ditempati oleh identifikasi masalah dan
kebutuhan, dimana banyak arah dalam agenda kebijakan, hal hal ini dapat menjadi
kontribusi epidemiologi. Penyusunan alternatif tindakan, estimasi konsekuensi, dan
pemilihan satu atau lebih kegiatan untuk implememntasi yang telah dikombinasikan ke
dalam langkah tunggal dari pemilihan pengambilan kebijakan.
Spesifikasi tujuan menjadi hal yang mendasar dalam pengambilan kebijakan,
spesifikasi tujuan dalam perspektif epidemiologi menjadi tool dalam implementasi dan
evaluasi. Dalam setiap siklus diharapkan epidemiologi dapat memberi kontribusi.
F. EPIDEMIOLOGI TERHADAP PROSES KEBIJAKAN KESEHATAN
Epidemiologi memberikan kontribusi terhadap siklis kebijakan diantaranya sbb:
(Sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan, Ridwan Amiruddin,
2011)
1. Assessment of population health.
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi terhadap konseptual dan pengukuran
Kesehatan, menggunakan keahliannya dalam megolah data kesehatan populasi. Lebih
khusus lagi, mereka dapat menilai kebutuhan Kesehatan dan risiko-risikonya,
menentukan dampak masalah Kesehatan terhadap Masyarakat, dan menilai inequalitas
dalam Kesehatan. Hampir semua riset epidemiologi terikat dengan determinan penyebab
sehat dan masalah Kesehatan.
2. Assessment of potential interventions
Ahli epidemiologi dapat mengavaluasi dan menyusun fakta berdasarkan efikasi
intervensi yang potensial dan menilai efektifitasnya.
3. Policy choices
Ahli apidemiologi dapat memberi saran terhadap penceghaan penyakit, model dampak
dari variasi intervensi terhadap Kesehatan populasi secatra keseluruhan, dan memberikan
dasar tujuan untuk memilih prioritas diantara banyak pilihan.
4. Policy implementation
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi untuk menyusun tujuan dan objective yang
berarti, menyediakan dasar-dasar rasional untuk alokasi resoursis, dan memberi saran
terhadap data yang dibutuhkan untuk mendukung evaluasi kebijakan.
5. Policy evaluation
Ahli epidemiologi dapat membantu mengembangkan desain riset yang valid dan
reliable, dan dapat melaksanakan surveilens masalah Kesehatan dan pelayanan
Kesehatan, mendeteksi kejadian yang tidak biasa dan mengevaluasi variasi wilayah
dalam pelayanan Kesehatan.
G. ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah
suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode
penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan
dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product
of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy
decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan
pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi,
tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut,
dan juga berbagai alternative kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai
penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah
publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif
kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat
kebijakan.
Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih dan
digunakan. Pilihan bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman masalah
secara mendalam, sebab kondisi masalah yang cenderung menentukan bentuk analisis
yang digunakan. Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn, 1988; Moekijat, 1995;
Wahab, 1991) dapat diuraikan beberapa bentuk analisis kebijakan yang lazim
digunakan sbb:
1. Analisis Kebijakan Prospektif
Bentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan informasi sebelum
tindakan kebijakan ditentukan dan dilaksanakan. Menurut Wiliam (1971), ciri analisis
ini adalah:
mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang tersedia, yang dapat
dipilih dan dibandingkan.
Diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk pedoman pembuatan
keputusan kebijakan.
Secara konseptual tidak termasuk pengumpulan informasi.
2. Analisis Kebijakan Restrospektif (AKR)
Bentuk analisis ini selaras dengan deskripsi penelitian, dengan tujuannya adalah
penciptaan dan pemindahan informasi setelah tindakan kebijakan diambil. Beberapa
analisis kebijakan restropektif, adalah:
1. Analisis berorientasi Disiplin, lebih terfokus pada pengembangan dan pengujian
teori dasar dalam disiplin keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan.
Contoh: Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan serta kepuasan tenaga
kesehatan di Indonesia, dapat memberi kontribusi pada pengembangan
manajemen SDM original berciri Indonesia (kultural). Orientasi pada tujuan dan
sasaran kebijakan tidak terlalu dominan. Dengan demikian, jika ditetapkan untuk
dasar kebijakan memerlukan kajian tambahan agar lebih operasional.
2. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada aspek hubungan sebab akibat
dari kebijakan, bersifat terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan
dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan. Orientasi tujuan bersifat umum,
namun dapat memberi variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan
untuk mencapai tujuan dan sasaran khusus, seperti meningkatnya kualitas
kesehatan gigi anak sekolah melalui peningkatan program UKS oleh puskesmas.
3. Analisis beriorientasi penerapan, menjelaskan hubungan kausalitas, lebih tajam
untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari kebijakan dan para pelakunya.
Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kebijakan
khusus, merumuskan masalah kebijakan, membangun alternatif kebijakan yang
baru, dan mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh: analis dapat
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan pelayanan KIA di Puskesmas. Informasi yang diperoleh dapat
digunakan sebagai dasar pemecahan masalah kebijakan KIA di puskesmas.
3. Analisis Kebijakan Terpadu
Bentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu, menghasilkan dan
memindahkan informasi gabungan baik sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan
dilakukan. Menggabungkan bentuk prospektif dan restropektif, serta secara ajeg
menghasilkan informasi dari waktu ke waktu dan bersifat multidispliner.
Bentuk analisis kebijakan di atas, menghasilkan jenis keputusan yang relatif
berbeda yang, bila ditinjau dari pendekatan teori keputusan (teori keputusan deksriptif
dan normatif), yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Keputusan Deskriptif, bagian dari analisis retrospektif, mendeskripsikan
tindakan dengan fokus menjelaskan hubungan kausal tindakan kebijakan, setelah
kebijakan terjadi. Tujuan utama keputusan adalah memahami problem kebijakan,
diarahkan pada pemecahan masalah, namun kurang pada usaha pemecahan
masalah.
2. Teori Keputusan Normatif, memberi dasar untuk memperbaiki akibat tindakan,
menjadi bagian dari metode prospektif (peramalan atau rekomendasi), lebih
ditujukan pada usaha pemecahan masalah yang bersifat praktis dan langsung
H. DAMPAK KEBIJAKAN PUBLIK
Beberapa dampak kebijakan publik:
1. Dampak pada masalah publik (pada kelompok sasaran) yang diharapakan atau
tidak.
2. Dampak pada kelompok diluar sasaran sering disebut eksternalitas / dampak
melimpah (spillover effects)
3. Dampak sekarang dan yang akan datang
4. Dampak biaya langsung dikeluarkan untuk membiayai program dan tak
langsung (yang dikeluarkan publik akibat suatu kebijakan.
Faktor Penyebab Kebijakan Tak Memperoleh Dampak yang Diinginkan
(Anderson, 1996) :
1. Sumber daya tak memadai
2. Cara implementasi tak tepat
3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi kebijakan yang dibuat
hanya mengatasi satu faktor saja.
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat emngurangi dampak yang
diinginkan
5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain.
6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya.
7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat diselesaikan.
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong pengalihan perhatian dan
tindakan
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan
I. CONTOH PENERAPAN KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG
KESEHATAN
1. Proses Perumusan Kebijakan Global TB/HIV oleh WHO
Kelompok Kerja Global TB/HIV menyumbang dalam perumusan kebijakan
sementara kegiatan kerjasama TB/HIV, dengan komisi penulis yang menyiapkan versi
awal dan berikutnya. Kelompok Kerja mengkoordinasikan tanggapan global terhadap
epidemi TB dan HIV yang saling bersilangan, menempa kerja sama antara komunitas
HIV/AIDS dan TB. Keanggotaannya meliputi manajer program, lembaga donor, LSM,
lembaga pendidikan, aktivis dan kelompok pendukung pasien yang bekerja dengan WHO
dan UNAIDS baik untuk program TB maupun HIV. Komisi penulis meliputi pakar teknis
tuberkulosis dan HIV, pembuat kebijakan dalam manajemen kesehatan, orang yang hidup
dengan HIV dan penasehatnya, manajer program TB dan HIV nasional maupun
internasional, dan lembaga donor. Naskah kebijakan telah dibicarakan pada konperensi
internasional oleh stakeholder nasional dan internasional dalam program HIV dan TB
serta telah disahkan oleh Kelompok Kerja Global TB/HIV dan Strategic and Technical
Advisory Group untuk TB (STAG), yang memberikan kepada WHO strategi eksternal
dan nasehat teknis dalam penanggulangan TB.
Tujuan umum kebijakan ialah mengurangi beban TB dan HIV pada populasi yang
terkena kedua penyakit tersebut.
Tujuan khusus kegiatan kerja sama TB/HIV adalah:
(1) membangun mekanisme kerja sama antara program TB dan HIV/AIDS;
(2) mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS; dan
(3) mengurangi beban HIV pada pasien TB
(Kebjakan sementara kegiatan Kerjasama TB/HIV Stop TB Department and Department
of HIV/AIDS World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2004)
2. Kebijakan Mengenai DBD di Indonesia
Banyak langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah
penderita DBD di Indonesia, mulai dari program pencegahan sampai program case
management untuk masyarakat yang telah terjangkit oleh virus dengue ini, tahapan-
tahapan program tersebut, antara lain :
Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas jentik nyamuk di
tempat berkembangbiaknya baik dengan cara kimia, yaitu dengan larvasida, biologi
dengan cara memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri ataupun dengan cara
fisik yang kita kenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yakni
menguras bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah tangga (tempayan, drum dll) serta
mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll).
Pencegahan penyakit DBD melalui metode lingkungan atau fisik untuk
mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil
samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh :
Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.
Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan
lain sebagainya.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya, untuk memberantas jentik atau
mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. Pemberantasannya perlu peran
aktif masyarakat khususnya memberantas jentik Aedes.aegypti di rumah dan
lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu cara yang paling efektif
dilaksanakan karena :
tidak memerlukan biaya yang besar
bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih
menjadikan lingkungan bersih
budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong
dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang diakibatkan
oleh lingkungan yang kotor akan berkurang.
Program 3M Plus
Sebenarnya pelaksanaan 3M Plus merupakan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk
yang sederhana dan efektif. Melalui program ini, masyarakat dapat memutus rantai
perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti. Sebagai gambaran, beberapa hal
pembersihan yang dilakukan dalam 3M Plus merupakan upaya untuk mempersempit
penyediaan sarang reproduksi bagi hewan vektor penyakit ini dan hal ini merupakan
bagian yang sangat penting sebagai langkah awal untuk menghindari peningkatan
prevalensi penderita PBD serta menghindari terjadinya KLB pada penyakit ini.
Sedangkan untuk membasmi jumlah nyamuk dewasa yang telah dapat berkembang biak,
dapat dilakukan dengan pengasapan (fogging) digunakan untuk mengurangi jumlah
nyamuk dewasa yang dapat bertelur sebanyak 200 – 400 per hari. Jika dibandingkan dari
kedua langkah diatas, tentu saja program 3M Plus memiliki peranan yang sangat penting
untuk membatasi penyebaran virus penyakit ini asalkan masyarakat melakukannya secara
kontinyu dan teratur.
Permasalahan mengenai efektifitas pelaksanaan program Pemberantasan Sarang
Nyamuk melalui 3M Plus adalah kurangnya minat masyarakat untuk melakukan semua
hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat untuk terbiasa memiliki
pola hidup bersih dan sehat sehingga merasa bahwa bukan hal yang kondusif untuk hidup
berdampingan dengan nyamuk Aedes Aygepti.
Efektifitas pelaksanaan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk ini melalui 3M Plus
ini dapat terlaksana dengan baik jika semua jajaran masyarakat memiliki kesadaran untuk
melakukannya secara serempak dan kontinyu di seluruh bagian negara Indonesia in.
Atupun dapat ditambah dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat ataupun daerah
mengenai pentingnya melakukan 3M Plus yang disertai dengan pemberlakuan
punishment bagi tiap masyarakat yang tidak melakukan ataupn terlibat di dalam program
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ini. Sebagai contoh, mungkin kita dapat mengikuti
pemberlakuan kebijakan di negara Singapura dan Malaysia yang memberikan denda bagi
warganya yang kedapatan terdapat jentik nyamuk Aedes Aegypti di rumahnya. Atupun
seperti Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama
yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan
kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aeds Aegypti dan menempelkan stiker
hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik
rumah dengan stiker hitam akan dberikan peringatan sebanyak 3 kali dan jka tidak
dilakukan akan dikenai denda. Sedangkan untuk para pejabat pemerintahan Indonesia,
mungkin dapat meniru semangat Jendral Grogas dalam membasmi penyakit ini dari Kuba
pada 100 tahun yang lalu yaitu dengan menggunakan metode pelaksanaan progam –
program PSN secara serentak dan besar – besaran di seluruh negeri.
Semua contoh diatas seharusnya dapat dijadikan contoh oleh tiap daerah yang
berpotensi menjadi daerah endemi DBD ketika musim penghujan datang apalagi saat ini
telah adanya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada tiap derah untuk
menyusun program ataupun kegiatan yang bertujuan untuk membasmi sarang nyamuk
secara benar tanpa terlupakan adanya pengawasan dari pihak pemerintahan pusat.
Peraturan mengenai PSN dan 3M
Pelaksanaan PSN sebenarnya merupakan sebuah program pencegahan penyebaran
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang bersifat wajib. Hal tersebut dikarenakan
adanya peraturan tertulis yang dibuat oleh pejabat pemerintahan provinsi. Sebagai
gambaran, wajib PSN dengan 3-M di wilayah Provinsi DKI, lanjut Salimar, dasarnya
adalah Surat Edaran (SE) Gubernur DKI No 46/SE/2004 tentang PSN digelar tidak hanya
di luar, tapi juga dalam rumah dan ruangan.
Adapun dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun
2007 tentang pencegahan demam berdarah melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN), dijelaskan pada:
Pasal 4
1. PSN 3M Plus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan untuk
memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus melalui
kegiatan 3M Plus.
2. Pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh orang perorang,
pengelola, penanggung jawab atau pimpinan pada semua Tatanan Masyarakat.
3. Kegiatan pemutusan siklus hidup nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan membasmi
jentik nyamuk di semua tempat penampungan / genangan air yang memungkinkan
menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
4. Kegiatan PSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali
SANKSI
Pasal 21
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan pada tempat
tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti dan jentik nyamuk Aedes
albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut :
a) Teguran tertulis;
b) Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui
penempelan stiker di pintu rumah;
c) Denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan.
2. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertingkat.
Pasal 22
1. Setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan,
tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap urusan kerumahtanggaan
dan/atau kebersihan Tatanan Masyarakat yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti dan jentik nyamuk Aedes
albopictus pada pada Tatanan Masyarakat yang menjadi lingkup tanggung
jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut :
a) teguran tertulis;
b) teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui
penempelan stiker di lobby atau 11 pintu masuk kantor;
c) denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) atau paling banyak
Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan.
2. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertingkat.
Adapun peraturan lain yang mengatur mengenai program 3M sebenarnya dimulai
tahun 1990 s/d sekarang dikembangkan program pemberantasan intensif Demam
Berdarah Dengue di desa/Kelurahan endemis Demam Berdarah Dengue dengan kegiatan
penanggulangan fokus, foging massal sebelum musim penularan, abatisasi selektif serta
penyuluhan don penggerakkan PSN melalui kerjasama lintas program dan sektor.
Kemudian stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu: endemis, sporadis dan
bebas/potensial.
Pada periode ini tepat pada tahun 1992 terbit KepMenkes Nomor : 581 tahun 1992
tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue berdasarkan Kepmenkes
Nomor 581 tahun 1992, tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, surat
Edaran Mendagri, No. 443/115/Bandes, perihal operasionalisasi Kep. Menkes No. 581
tahun 1992, Surat Edaran Tim Pembina UKS tingkat pusat No. 80/fPUKS oo/X/93,
tentang Pembinaan UKS dalam upaya pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue,
Surat Edaran Tim Penggerak PKK Pusat No. 500/ SKR/PKK.PST/94, tentang
penyuluhan dan motivasi gerakan PSN Demam Berdarah Dengue, SK Mendagri No. 31-
VI tahun 1994., tentang pembentukan kelompok operasional pemberantasan penyakit
Demam Berdarah Dengue dan surat Edaran Mendagri No. 912/351/Bangda tahun 1994
tentang penyediaan dana dalam rangka menanggulangi penyakit Demam Berdarah
Dengue.
Berdasarkan Kepmenkes tersebut, tugas dan fungsi Subdit Arbovirosis ditetapkan
bahwa: Upaya pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dilakukan melalui
pelaksanaan kegiatan: pencegah, penemuan dan pelaporan penderita, pengamatan,
penyakit, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya serta
penanggulangannya lain dan penyuluhan kepada masyarakat.
Abatisasi (Larvasiding)
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan menaburkan
bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan bahan kimia terbatas untuk
wadah (peralatan) rumah tangga yang tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi
atau diatur. Dalam jangka panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan
mahal. Kegiatan ini tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector menunjukkan
adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan
waktu dan tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk
memaksimalkan efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk
menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators
(pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 %
SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat
penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik
selama 2-3 bulan. Kegiatan larvasiding meliputi:
a. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik
didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan
endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan
jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih
oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan
sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
b. Abatisasi massal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak
diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada
jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi
terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya
untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di
beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan.
Peraturan Daerah mengenai Abatisasi atau Pemberantasan Jentik Nyamuk
Pemeriksaan Jentik Berkala yang selanjutnya disingkat PJB adalah pemeriksaan
tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk dan jentik nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus oleh Petugas Kesehatan untuk mengetahui ada atau
tidaknya jentik nyamuk pada tatanan masyarakat.
Dalam Pasal 5 :
1) PJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib dilakukan oleh Petugas
Kesehatan setiap 3 (tiga) bulan sekali.
2) Selain Petugas Kesehatan, pemeriksaan dan pemantauan jentik juga wajib
dilaksanakan secara rutin oleh Jumantik.
3) Dalam hal pemeriksaan dan pemantauan oleh Jumantik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali, dengan
kegiatan sebagai berikut :
a) Memeriksa setiap tempat, media, atau wadah yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus pada
Tatanan Masyarakat dan mencatat di kartu jentik;
b) Memberikan penyuluhan dan memotivasi Masyarakat;
c) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemantauan kepada Lurah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan pemantauan jentik nyamuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Fogging
Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta
penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2
siklus dengan interval 7 hari oleh petugas. Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu
tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion
96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat
dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan
dan mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan
memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang
terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar. Penanggulangan
fogging fokus ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan
penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk
dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan
(colg Fogging = Ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan
menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying) karena nyamuk
Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang
tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Untuk pemakaian di rumah
tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan
kedalan kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic.
[30]
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu:
1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.
2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.
3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya
jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah, maka pihak
rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan langsung
diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.
Peraturan mengenai Fogging
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun 2007
tentang pengendalian demam berdarah, dijelaskan pada:
Pasal 11
1) Penanggulangan Fokus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan
kegiatan pemberantasan nyamuk DBD dengan cara pengasapan atau fogging.
2) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 2
(dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu dalam radius 100 (seratus)
meter.
Pasal 12
1) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib
dilaksanakan oleh Puskesmas pada setiap Penyelidikan Epidemiologi positif
paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam.
2) Selain Puskesmas, pengasapan atau fogging dapat dilakukan oleh Masyarakat
dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan Puskesmas.
3) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan pengasapan dirumah dan
lingkungan masing-masing.
Pasal 13
1) Fogging massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c merupakan
kegiatan pengasapan fokus secara serentak dan menyeluruh pada saat KLB.
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh
Puskesmas dibawah koordinasi Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung
jawab dibidang kesehatan sebanyak 2 (dua) putaran dengan interval waktu 1
(satu) minggu.
3) Selain Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengasapan atau fogging massal dapat
dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan
Puskesmas.
4) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan Fogging massal dirumah
dan lingkungan masing-masing.
Surveilans Epidemiologi
Surveilans Epidemiologi DBD adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit DBD dan kondisi yang memperbesar resiko terjadinya,
dengan maksud agar peningkatan dan penularannya dapat dilakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan
dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Proses surveilans dibagi menjadi dua kegiatan,yaitu :
1. Kegiatan inti; mencakup (1) surveilans: deteksi, pencatatan, pelaporan, analisis,
konfirmasi dan umpan balik (2) tindakan: respon segera (epidemic type response)
dan respon terencana (management type response)
2. Kegiatan pendukung; mencakup, pelatihan, supervisi, penyediaan dan manajemen
sumber daya.
Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang dilakukan
dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan serta
surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah
yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi
dini biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman
dan lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain.
Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim
pemberantasan nyamuk di sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan
program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).
Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam upaya
memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan dengan
baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas tidak
menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik
Berkala (PJB).
Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan
penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa hal berikut:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru telah mengembangkan suatu sistem
surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang disebut dengan
Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ).
EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang
bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di
seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.) secara cepat.
Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat,
sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam
masalah DBD pada tahun 2004, EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan
data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu
kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia.[35]
Peraturan Daerah
Pasal 6
1) Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri dari :
a. Surveilans Aktif Rumah Sakit;
b. Surveilans Berbasis Masyarakat.
2) Surveilans Aktif Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan kewajiban Rumah Sakit melaporkan setiap kasus baru DBD yang
dirawat ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam.
3) Surveilans Berbasis Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan kewajiban Masyarakat melaporkan setiap penderita DBD ke
Puskesmas.
Case Management
Berbagai macam aksi telah dicanangkan untuk mencegah munculnya dan meluasnya
kasus DBD (preventif primer). Namun, disamping aksi pencegahan, diperlukan juga
penanganan kasus yang baik demi mencegah meningkatnya angka kematian dan Case
Fatality Rate (CFR). Hal yang penting dalam penanganan kasus adalah penegakan
diagnosis dan pengobatan segera (preventif sekunder). Sebagaimana yang diketahui,
penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau typhoid/
tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa
bersifat asimptomatik atau tidak jelas gejalanya. Data dari berbagai rumah sakit
menunjukkan bahwa pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, demam, mual,
muntah maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk
bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu perlu
kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit virus dengue, patofisiologi, dan
ketajaman pengamatan klinis. Untuk memperoleh kepastian tentang diagnosis, perlu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang di laboratorium.
Penegakan diagnosis dengan cepat sangat penting karena memberikan efek yang
besar terhadap prognosis penyakit. Jika terjadi keterlambatan sedikit saja, keadaan pasien
bisa jauh lebih parah karena fase klinis penyakit DBD cukup pendek. Keputusan
perawatan yang diberikan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, apakah rawat inap
biasa sudah cukup atau harus mendapatkan perawatan intensif di ICU.
3. Aplikasi Program dalam Masyarakat
PSN dan 3M
Kurangnya sosialisasi[36] adalah salah satu penyebab PSN belum optimal
sebagaimana fakta di daerah Tangerang dan Banten masih banyak warga yang tidak
mengetahui 3M plus itu apa. Dapat dilihat juga beberapa komentar warga mengenai PSN,
diantaranya adalah Bakir, seorang ketua RT di Larangan Utara, Kecamatan Ciledug, juga
belum pernah mendapat penjelasan mengenai DBD dan cara penanggulangannya. Ia tak
paham mengenai PSN dengan 3M + 1M. “Kalau ada sosialisasi soal itu, pasti saya tahu
karena kebetulan rumah saya dekat dengan ketua RW. Kalau ada apa-apa, Pak Lurah
Larangan biasanya segera memberi tahu. Tetapi, tahun ini saya belum dengar apa-apa
mengenai pemberantasan DBD,” jelasnya. Namun, beberapa waktu lalu di kawasan padat
permukiman rumah petak tersebut pernah ditarik iuran untuk bayar orang bersih-bersih
selokan, tetapi itu sudah lama sekali. Seorang warga Perumahan Kehakiman di belakang
Puskesmas Sukasari, Tangerang, juga tidak pernah tahu apa itu 3M + 1M. Sepanjang
tahun 2004 dan tahun 2005, di kompleksnya belum pernah ada penjelasan tentang DBD
dari aparat kesehatan setempat.
Tidak hanya didaerah pemukiman, tetapi adapula sekolah yang belum pernah
mendengar penjelasan PSN dengan 3M + 1M dari aparat kesehatan. “Saya mah dengar
soal PSN dan harus ikut pencanangan PSN oleh Pak Wali dari Kepala Dinas Pendidikan
minggu lalu. Setelah itu langsung saya minta siswa SD sini kerja bakti membersihkan
sekolah dan lingkungan kami,” kata Kepala Sekolah SDN Pondok Bahar IV Kecamatan
Karangtengah AM Bhakty NTR.
Kemudian adapula komentar masyarakat yang skeptis mengenai PSN diantaranya
adalah di Kecamatan Cipondoh, Yanti, ibu rumah tangga warga RT 01 RW 01,
Kelurahan Cipondoh, mengaku tidak tahu-menahu mengenai PSN dan 3M + 1M. Ia tidak
terlalu peduli mengenai bahaya DBD karena rumahnya hanya beberapa meter dari
Puskesmas Cipondoh.
Penuturan komentar-komentar di atas mengenai ketidaktahuan masyarakat mengenai
pemberantasan DBD melalui 3M sangat ironis sekali karena gubernur daerah setempat
telah mencanangkan program PSN tersebut bahkan telah dilakukan aksi pengasapan di
daerah pemukiman dan tempat-tempat umum seperti sekolah.
Keadaan di atas mengindikasikan bahwa pencegahan DBD tidak hanya cukup dengan
acara pencanangan dan pemasangan spanduk berisi peringatan, karena pada kenyatannya
masyarakat sangat mengharapkan dokter atau aparat kesehatan lain bersedia menjelaskan
soal DBD langsung ke masyarakat agar mereka benar-benar paham penyakit yang sulit
didiagnosa itu sekaligus mendapat dorongan untuk memberantasnya.
Kegiatan PSN DBD harus dijadikan prioritas oleh setiap daerah yang memiliki
laporan kasus DBD.Walaupun pelaksanaan PSN memang membutuhkan waktu yang
agak lama, sehingga memerlukan peran aktif masyarakat akan tetapi keberhasilan dari
upaya ini cukup besar dalam rangka penurunan angka penyakit DBD.
Abatisasi
Temephos berupa “sand granules” ditaburkan dengan pasir sebagai “carrier” ke dalam
bejana tempat penampungan air. Penaburan larvasida di tempat penampungan air seperti
bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan.
Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per 10 liter air. Namun cara
ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, karena
masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida
selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya.
Penelitian peningkataan kualitas lingkungan dalam rangka pemberantasan demam
berdarah di Kodya Sukabumi, propinsi Jawa Barat tahun 1988/89 dilakukan oleh
Sumengen dkk yang diawali dengan intruksi PSN oleh Walikota Sukabumi. Intervensi
dilakukan dengan cara fogging, abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis tinggi,
abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis sedang, PSN di 5 kelurahan endemis rendah.
fogging menggunakan malathion 96% “technical grade” dosis 438 per ba dilakukan 2
“cycle”. abatisasi menggunakan 1 % abate “sand granules” abate dengan dosis 1 gr per
10 liter. Setelah 6 bulan intervensi diadakan survei penilaian didapat hasil pengawasan
kualitas lingkungan secara konsisten lebih efektif dari pada intervensi lain. Penurunan,
“house index” mencapai 13,3 “container index” 1,0 dan “breteau index” 13,4.
Hasil studi lain yang dilakukan oleh Kasnodiharjo di Kotamadya Pontianak,
Kalimantan Barat tahun 1990 menunjukkan pengetahuan sikap dan prilaku masyarakat
menunjukkan bahwa, sebagian besar warga masyarakat (83 %) pernah mendengar
tentang dengan demam berdarah, 81% diantaranya bahwa demam berdarah adalah suatu
penyakit yang berbahaya. Sedangkan mereka yang mengetahui tentang pencegahan
demam berdarah dengan cara menutup rapat TPA 17 % dengan cara mengganti air 27 %
dan menaburkan abate pada TPA 29 %[37].
Fogging
Sebagai tindaklanjut dari penetapan kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah pada
tiga pekan lalu, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan pengasapan fokus serentak di
3.291 titik pada 258 kelurahan yang ada di Jakarta dengan total luas titik 13.164 hektar
atau 60 persen wilayah DKI.[38] Dari 258 kelurahan tersebut, 135 diantaranya
berkategori kelurahan status merah untuk demam berdarah dan 123 untuk berkategori
kuning.Setiap titik fokus akan diasap oleh dua tim yang terdiri atas masing-masing satu
kepala regu dan enam petugas penyemprotan. Kepala regu berasal dari petugas
puskesmas sedangkan petugas yang menyemprot berasal dari anggota masyarakat dan
petugas Linmas yang sudah dilatih. Obat-obatan yang digunakan berasal dari yang telah
ada di puskesmas dan sudin masing-masing untuk jenis Fendona sebanyak 3.843 liter dan
cynoff sebanyak 7.545 liter.
Bantuan Dinkes sebanyak 14.000 liter yang digunakan untuk cadangan bila kurang.
Terdapat empat mesin untuk satu titik, setiap titik mempunyai cakupan empat hektar.
Mesin yang disiapkan berjumlah 2.000 unit dari kelurahan dan 429 unit mesin dari
puskesmas, sehingga total mencapai sekitar 2.429 unit. Dana yang dibutuhkan untuk
pengasapan fokus serentak bagi dua siklus berjumlah Rp1.928.000 untuk setiap titik
sehingga diperkirakan membutuhkan biaya Rp6,3 miliar.
Di Jakarta Utara sendiri, Pihak Sudin Kesehatan Mayarakat (Kesmas) Jakarta Utara
gencar melakukan fogging fokus serentak di 32 titik fokus penyemprotan, namun jumlah
kasus DBD di Jakarta Utara setiap hari mengalami peningkatan yang signifikan.
Data Sudin Kesmas, pada 15 Januari 2008 jumlah kasus tercatat 91 orang. Dalam
seminggu jumlah kasus meningkat 100 % menjadi 197 orang pada 21 Januari 2008.
Sedangkan jumlah RW rawan DBD periode Desember 2007 – Januari 2008 tercatat 118
RW. Kecamatan yang paling banyak RW nya masuk dalam kategori RW rawan yakni
Kecamatan Kelapa Gading dengan 38 RW. Dan jumlah RW terbanyak dalam satu
kelurahan di kuasai oleh Kelurahan Kelapa Gading Timur sebanyak 16 RW. Selain itu
hampir setiap kecamatan terdapat RW rawan seperti di Kecamatan Penjaringan ada 5
RW, di Kecamatan Pademangan 9 RW, Kecamatan Tanjung Priok 35 RW, Kecamatan
Koja 5 RW dan Kecamatan Cilincing terdapat 26 RW. Fogging fokus serempak yang
dilaksanakan pada Jumat (18/01/2007)-Minggu (20/01/2007) belum semua titik fokus
tersemprot karena banyaknya jumlah area fokus penyemprotan dengan jumlah petugas
sebanyak 100 orang yang dibagi dalam 20 tim. Untuk itu akan diadakan lagi
penyemprotan siklus II di wilayah yang belum dilakukan fogging.
Di Jakarta Utara terdapat 16 kelurahan zona merah sesuai ketetapan Gubernur DKI
Jakarta. Ke 16 kelurahan tersebut antara lain Penjaringan, Pademangan Barat,
Pademangan Timur, Tanjung Priok, Kebun Bawang, Warakas, Sunter Agung, Koja,
Lagoa, Rawa Badak Utara, Tugu Utara, Tugu Selatan, Kelapa Gading Timur, Pegangsaan
Dua, Semper Barat dan Semper Timur.
Masih di Puskesmas Kecamatan Tg. Priok data yang berhasil dihimpun
perkembangan kasus DBD, dari Januari hingga 10 April 2007, jumlah kasus DBD
tercatat 116 kasus. Dengan perincian di Kelurahan Sunter Agung 67 Kasus, Sunter Jaya
25 Kasus, Papanggo 25 kasus, Warakas 59 kasus, Tg.Priok 42 kasus, dan Sungai Bambu
26 kasus. Sedangkan pelaksanaan foging khusus ( Fokus ) yang telah dilakukan, di
Kelurahan Sunter Jaya 26 fokus, Sunter Agung 16 Fokus, Papanggo 1 fokus,Warakas 13
Fokus, Tg.Priok 5 Fokus, Sungai Bambu 16 fokus dan Kebon Bawang 12 fokus. Total
pelaksanan focus 89 kali se-Kecamatan Tg. Priok.
Sasaran fogging massal akan dilaksanakan di 118 RW di kelurahan zona merah
Jakarta Utara, terdiri dari 12 RW di Kelurahan Penjaringan, 4 RW Pademangan Barat, 4
Pademangan Timur, 8 Tanjung Priok, 9 Kebon Bawang, 8 Sunter Agung, 8 Warakas, 5
Koja, 5 Lagoa, 5 Rawa Badak Utara, 5 Tugu Selatan, 5 Tugu Utara. Kemudian 17 RW di
Kelurahan Kelapa Gading Timur, 15 Pegangsaan Dua, 4 Semper Timur dan 4 RW di
Semper Barat.
Sedangkan untuk kelurahan lainnya yang masuk dalam zona kuning, juga akan
dilaksanakan kegiatan fogging dan kegiatan kesehatan lingkungan berupa laporan
kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
oleh para jumantik dan kader.
Case Management
Jumlah pasien rawat inap penderita demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit
Pasar Rebo semakin meningkat dan melebihi kapasitas kamar yang dimiliki rumah sakit
tersebut. Pada tanggal 21 April 2007 jumlah pasien penderita DBD yang masuk ke RS
Pasar Rebo mencapai 85 pasien, terdiri atas 54 pasien dewasa dan 31 pasien anak-anak.
[41] “Kapasitas ruang ruang inap yang kami miliki sudah full, sampai-sampai pasien
DBD terpaksa kami rawat di selasar luar,” ujar Edi Customer Service Rumah Sakit Pasar
Rebo ketika ditemui wartawan.
Pasien rawat inap yang tidak tertampung di kamar, terpaksa dirawat di selasar-selasar
rumah sakit. Sampai saat ini pasien penderita DBD yang dirawat di selasar luar untuk
Ruang Melati sebanyak 10 orang, sedangkan di Ruang Mawar sebanyak delapan orang,
dan salah satunya adalah Sofyan. S (15 thn) yang kini dalam kondisi kritis dan terpaksa
dirawat di ruang ICU. Terhitung sejak awal April hingga 21 April 2007, pasien penderita
DBD yang dirawat inap di Rumah Sakit Pasar Rebo sudah mencapai angka 1.463 pasien,
yang terdiri atas 938 pasien dewasa dan 525 pasien anak-anak.
Perda Vs Aplikasi Program di Masyarakat
Dalam kenyatannya, serapi apapun peraturan daerah yang dibuat, tetap saja jumlah
penderita demam berdarah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah pun dibuat
pusing karenanya, dari data-data yang kita temukan di internet, dapat diketahui bahwa
kegiatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah tidak semulus apa yang terjadi di
lapangan. Seperti program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), berupa Jum’at bersih
ataupun kerja bakti di lingkungan sekitar yang mencakup 3M (Mengubur, Menguras, dan
Menutup) yang kemudian disempurnakan lagi menjadi 3M plus[42]. Walaupun sudah
gencar begitu, hingga dibuat iklan layanan masyarakatnya, tetap saja masyarakat belum
terlalu mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Siapakah kemudian yang akan
disalahkan? Pemerintahkah? Masyarakatkah? Jikalau pemerintah yang disalahkan, namun
nyatanya mereka para pejabat telah berusaha sedemikian rupa, mengeluarkan berbagai
peraturan untuk menertibkan program-program tersebut, namun tetap saja sesempurna
apapun peraturannya, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang cukup, hasil di
lapangan akan berbeda, seperti fogging, dalam perda telah disebutkan bahwa fogging
dilakukan oleh orang yang terlatih dari puskesmas setempat, namun kenyataannya bahwa
efektivitas program penyemprotan (fogging) massal dalam rangka memberantas nyamuk
aedes aegypty penyebab wabah demam berdarah dengue (DBD) di DKI Jakarta
dipertanyakan kalangan warga. Dalam suarakarya.com disebutkan bahwa sejumlah warga
menyatakan kecewa karena fogging putaran pertama, Jumat pekan lalu, terkesan
dilakukan asal-asalan. Karena itu tak heran jika nyamuk atau kecoa tidak lantas mati
setelah penyemprotan dilakukan. Pada malam hari setelah penyemprotan, banyak
nyamuk dewasa tetap bergentayangan. Padahal menurut Asisten Kesehatan Masyarakat
(Askesmas) Pemprov DKI Jakarta Rohana Manggala, jenis obat yang digunakan dalam
penyemprotan — veridona dan cynoff — paling efektif membunuh nyamuk dewasa.
Menurut Tony Bramantoro, warga RT 014/RW 03, Kelurahan Kemayoran, Jakarta
Pusat, asap fogging lebih pekat berbau minyak solar. “Petugas penyemprot pun bukan
tenaga yang mengerti ukuran campuran obat, mereka hansip dan tramtib,” kata Tony.
Pengakuan senada disampaikan Sudarto Legowo, warga RT 001/RW 06, Kelurahan
Kebon Baru, Tebet, Jaksel. “Beda dengan dulu, dalam fogging putaran pertama ini kecoa
dan nyamuk dewasa tidak mati. Saya curiga, obat yang digunakan palsu,” ujarnya.
Masih dalam fogging, bila penanganan pengasapan dilakukan dengan cara yang tidak
benar maka hal ini akan membahayakan kesehatan masyarakat, disamping itu pula cara
ini memerlukan dana yang sangat mahal dalam pelaksanaannya. Penaburan larvasida di
tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya
jentik selama 2-3 bulan.Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per
10 liter air. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk
secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau
yang ditimbulkan larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan
pelaksanaannya.[44] Sehingga pelaksanaan ini masih terasa memberatkan bagi warga
yang hanya memiliki pendapatan pas-pasan untuk hidup.
Oleh karena itu, mengapa pemerintah lebih menganjurkan masyarakat untuk bekerja
bakti dalam artian melaksanakan program 3M yang meliputi PSN dan Jum’at Bersih,
kedua program ini lebih efektif karena tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu
banyak, keuntungan lain yang dapat diperoleh yaitu lingkungan mereka menjadi terjaga
kebersihannya, sehingga mereka tidak hanya mencegah demam berdarah ini berkembang
namun juga penyakit-penyakit lain.
Diharapkan agar program yang telah disusun oleh pemerintah ini nantinya akan dapat
dilaksanakan secara efektif di masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya masyarakat
DKI Jakarta saja, namun masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga angka
penderita demam berdarah dapat menurun seiring dengan peningkatan kesadaran
masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan mereka.
Namun, masyarakat juga perlu pengawasan dan bimbingan penuh dari pemerintah.
Pemerintah jangan hanya membuat peraturannya saja, namun kemudian lepas tangan dan
berharap peraturan itu bisa terlaksana dengan baik di lapangan. Harapannya, pemerintah
bisa memperketat pengawasan terhadap setiap peraturan yang mereka buat, entah itu
dengan turun langsung ke lapangan atau melalui pembentukan kader-kader kesehatan
sebagai perpanjangan tangan mereka. Penyebab tidak langsung DBD yang juga harus
menjadi agenda pemerintah untuk diselesaikan adalah masalah pendidikan,
bagaimanapun usaha pemerintah untuk menjalankan program DBD, jika pendidikan tidak
mulai diperbaiki dari saat ini, maka angka penderitanya tidak akan pernah dapat
diturunkan, dengan peningkatan pendidikan, masyarakat akan dapat mengubah persepsi
mereka bahwa bagaimanapun juga mencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga
secara tidak langsung pula mereka akan lebih sadar untuk menjaga dan memperhatikan
kebersihan lingkungan sekitar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah
tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan,
organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan.
2. Model proses kebijakan yang dikembangkan oleh para para ilmuwan kebijakan
publik di atas mempunyai satu kesamaan yaitu bahwa proses kebijakan berjalan
dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Pola
kesamaan tersebut menjelaskan bahwa proses kebijakan adalah dari gagasan
kebijakan, formalisasi dan legalisasi kebijakan, implementasi, baru kemudian
menuju kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan sebagai hasil dari
evaluasi kinerja kebijakan.
3. Dalam proses kebijakan, Epidemiologi memberikan kontribusi berupa penilaian
terhadap kesehatan populasi dan intervensi yang mungkin ditegakkan, pemilihan
dan pelaksanaan kebijakan serta evaluasi kebijakan.
B. SARAN
1. Pemerintah mempunyai tempat utama dalam pendanaan pelayanan kesehatan di
sebagian besar negara. Negara memegang peranan utama dalam mengalokasikan
sumber daya‐sumber daya untuk prioritas‐prioritas kesehatan yang berkompetisi
dan dalam mengatur cakupan kegiatan kesehatan. Olehnya itu, pemerintah
sebaiknya memberikan perhatian besar terhadap kebijakan public terutama di
bidang kesehatan agar setiap individu dapat merasakan dampak positif dari
kebijakan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Ridwan. 2011. Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan. Cetakan 1.Makassar: Masagena Press.
Buse,Kent dkk. Making Health Policy, Understanding Public Health (online). Diakses pada tanggal 26 September 2012 pada www.google.com.
Langgo, Irfan. 2009. Membuat Analisa Kebijakan Publik . (0nline) Diakses dari http://irfanlanggo.blogspot.com/2009/11/membuat-analisa-kebijakan-publik.html pada tanggal 24 September 2012
Projo,Abdi. 2010. Kebijakan Publik. (online). Diakses pada http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html pada tanggal 26 September 2012.
Projo,Abdi. 2010. Kebijakan Publik sebagai Proses. Diakses pada http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/kebijakan-publik-sebagai-proses.html pada tanggal 26 September 2012
Subargus, Amin. 2007. Analisis terhadap kebijakan pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) dalam upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
WHO.2004. Kebjakan sementara kegiatan Kerjasama TB/HIV Stop TB Department and Department of HIV/AIDS World Health Organization. Switzerland: Geneva diakses pada tanggal 26 September 2012
Wikipedia. 2012. Kebijakan Publik (online). http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik diakses Tanggal 24 September 2012
http://khafidsociality.blogspot.com/2011/04/contoh-dan-analisis-kebijakan-publik.html 25
http://koage.multiply.com/journal/item/7?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
%2Fitem