propulsi - wordpress.com · anehnya, sejak berakhirnya perang tersebut pada november 1918, secara...
TRANSCRIPT
-
Ketika kedua bersaudara Wright hampir merampungkan struktur pesawat ciptaannya, Flyer,
mereka dicemaskan oleh belum tersedianya motor
untuk sumber tenaga dorongannya. Beberapa pabrik
mobil yang mengawali industri kendaraan baru dengan motor letup (reciprocating engine) ini tidak
berminat untuk melayani kebutuhan motor pesawat
yang harus kuat dan ringan pada jumlah yang sangat terbatas.
Akhir abad ke-19 masih sangat dikuasai oleh
mesin uap sebagai sumber tenaga utama bagi industri maupun kendaraan-kendaraan besar seperti
kapal dan kereta api. Motor letup atau “Otto-motor”
masih pada awal perkembangannya sebagai
penggerak mobil. Akhirnya, mekanik dari kedua bersaudara
tersebut, yaitu Charlie Taylor berhasil menciptakan
sebuah motor dengan daya 12 DK yang memutar dua buah peopeler. Inilah sebuah motor setup yang
sangat sederhana karena tak memiliki karburator
dan pengapian (ignition) namun berhasil mendorong Flyer melakukan penerbangannya
sebagai pesawat pertama di dunia (lihat gambar).
Tenaga dorong merupakan syarat mutlak untuk
pesawat dan beberapa pelopor penerbangan berusaha untuk mengembangkan sumber tenaga
dorong ini. Sir Hiram Maxim yang menggunakan
mesin uap sebagai tenaga dorong tidak berhasil karena mesin
ini terlalu berat. Kemudian, Leon Levavasseur dari Prancis
menciptakan motor dengan 8 silinder yang dipasang
dalam bentuk V, didinginkan dengan air, memiliki
fuel injection dan berdaya 50 DK. Enjin yang diberi nama Antoinette ini dikembangkan menjadi 16
silinder dan berdaya 100 DK
Namun pada November 1908, Paris yang pada waktu itu menjadi pusat penerbangan dunia,
digemparkan dengan munculnya sebuah motor jenis
baru yang bernama Gnome. Engine ini terdiri dari 7 silinder yang dipasang secara radial. Uniknya
propeler sama-sama berputar dengan rangkaian
silinder tersebut untuk menghasilkan gaya dorong,
oleh karena itu disebut “rotary engine”; alasannya adalah untuk mengefektifkan pendinginan udara
pada kecepatan terbang yang masih rendah.
Walaupun harganya cukup mahal, Gnome yang ringan dan handal ini diterima dengan hangat oleh
dunia penerbangan yang baru mulai berkembang.
Sebuah pabrik untuk memproduksi Gnome dibangun di Paris. Menjelang pecahnya Perang
Dunia (PD) I pada 1914, berbagai versi rotary
engine diproduksi, seperti misalnya Le Rhone,
Clerget dan Bantley di Inggris. Beberapa di antaranya digunakan pada pesawat-pesawat tempur
generasi pertama yang berperan dalam PD I.
19
Tanpa perkembangan yang mengagumkan dalam
teknologi propulsi, dunia penerbangan tidak akan
mengalami kemajuan sepesat ini. Karena tenaganya yang
semakin besar, kehandalannya semakin tinggi, sehingga
meningkatkan performa dan juga keamanan terbang.
PROPULSI
Motor untuk pesawat pertama terbang ”Flyer” dengan daya 12 DK yang diciptakan oleh mekanik kedua bersaudara Wright, yaitu Charlie Taylor
-
Anehnya, sejak berakhirnya perang tersebut pada November 1918, secara mendadak rotary
engine hilang dari peredaran. Hal ini mungkin
disebabkan oleh persyaratan-persyaratan baru
seperti kehandalan penggunaan bahan bakar yang lebih irit, daya yang lebih besar dan sebagainya,
yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk rotary
engine. Sebagai penggantinya muncul enjin-enjin baru
dari tipe “in-line” atau “Vee” yang bersilinder 6
atau 12 dengan pendinginan air (water cooled) dan berdaya antara 300 dan 400 DK. Karburator yang
lebih baik digunakan untuk mencapai campuran
udara dan bahan bakar yang optimal untuk terbang
di berbagai ketinggian. PascaPD I ini, yaitu tahun 1920-an, beberapa
pabrik di Eropa, Hispano-Suisa di Prancis, BMW di
Jerman, Frail di Itali mengembangkan dan memproduksi motor unggulannya masing-masing.
Bristol di Inggris mengembangkan motor “Jupiter”
dengan 9 silinder radial dan dilengkapi 4 valves setiap silindernya. Motor ini sangat sukses; sampai
tahun 1930 Bristol telah memproduksi 7.100 buah
dan dibuat secara lisensi di 17 negara. Jupiter
kemudian dikembangkan menjadi motor besar dan handal, namun dengan nama baru Pegasus.
Di Amerika Serikat, kebanyakan motor dari
jenis “air cooled” dan yang cukup signifikan pada waktu itu adalah tipe Wright Waal wind. Sesi ini
dimulai dengan 7 silinder radial dengan daya 220
DK, kemudian ada versi 5 dan 9 silinder. Tipe 7
silinder tersebut menjadi terkenal karena digunakan untuk penerbangan Atlantic oleh Charles Lindberg
dengan pesawatnya “Spirit of St. Louis” pada 1927.
Gambar kiri Bristol “Hercules” dari Inggris yang terdiri dari 14 silinder dengan daya 2.000 DK. Motor ini sangat halus dan lirih (quiet) karena menggunakan “Sleeve Valves”. Motor ini digunakan oleh beberapa tipe pembom Inggris dalam PD II
Gambar atas Rotary Engine “Gnome” yang dibuat oleh bersaudara Sequin dari Prancis
Pada 1930 Wright menciptakan R-1820 “Cyclone” dengan daya 500 DK yang ditingkatkan
menjadi 1.200 DK kemudian enjin ini
dikembangkan menjadi R-2600 Cyclone dari 1.900
DK dengan 14 silinder-2 baris, dan dengan 18 silinder-2 baris menjadi R-3350 Duplex Cyclone,
ditujukan untuk mencapai daya 3.700 DK, yang
merupakan puncak daya dari motor piston. Motor berdaya tinggi ini digunakan pada pembom raksasa
B-29 “Super Fortress” dan airliner Lockheed “Super
Constellation” sampai tahun 1950-an. Sementara itu pesaingnya, Pratt & Whitney,
memproduksi R-1340 Wasp dan R-1690 Hornet
yang dilengkapi dengan “gear drive” dan
“supercharger”. Tipe ini terus dikembangkan setelah berakhirnya PD II menjadi R-4360 Wasp
major, dengan 28 silinder dalam 4 deret yang
mencapai daya sampai 3.500 DK. Setelah berakhirnya PD I, Rolls-Royce
mengembangkan motor V-12 bernama Merlin.
20
-
Motor ini menggunakan injection carburetor, supercharger: dua buah secara bertingkat.
Pengembangannya menjadi Merlin XX mencapai
daya 1.240 DK merupakan motor jenis ini yang
paling efisien sehingga banyak digunakan pada pesawat-pesawat sekutu menjelang akhir PD II
(lihat gambar dan penjelasan lanjut di hlm 22 ).
Motor letup (piston) mengalami kejayaannya sejak diciptakannya pesawat terbang pertama, yaitu
Flyer pada tahun 1903 dengan daya 12 DK, sampai
pada 1950-an dengan daya puncak 3.700 DK setelah berperan dalam dua Perang Dunia.
Peningkatan daya ini dimungkinkan oleh inovasi
yang berkelanjutan yang disamping itu juga
menambah kehandalan (reliability) dan pengiritan bahan bakar. Hal ini antara lain berwujud
karburator, supercharger, bahan bakar dengan
oktan tinggi dan “anti knock additive”. Ini semua berpengaruh terhadap proses pembakaran dalam
silinder.
Proses pembakaran akan memutar propeler pada kecepatan putar (r.p.m.) yang sesuai untuk
menghasilkan gaya dorong tertentu. Pada kondisi
tertentu kecepatan putar propeler lebih lambat dari
putaran poros, maka untuk ini diterapkan apa yang disebut “geared propeller”. Guna memperbaiki
efisiensi propeler pada berbagai kecepatan terbang,
dikembangkan propeler dengan daun ganda (multi-blade) dan “variable pitch”.
Hal lain yang terkait dengan perkemb-
bangan piston engine adalah bentuk luarnya atau tata letak silinder-silendernya dan ini didasarkan
pada sistem pendinginannya.
Motor piston pertama yang populer, yaitu
Gnome, memiliki bentuk radial dengan 7 silinder, yang alasannya adalah pendinginan udara (air
cooled), yang kemudian masih diperkuat dengan
putarannya silinder-silinder tersebut. PascaPD I, Inggris mengembangkan motor radial (lihat gambar)
“Kestrel” kemudian menjadi Jupiter yang sangat
sukses, seperti telah disebut di atas. Menjelang PD II, Amerika Serikat mengembangkan motor-motor
radial, berderet 2 atau 3, yaitu Wright dan Pratt &
Whitney hingga mencapai puncak daya 3.700 DK,
seperti disinggung atas. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bentuk radial dan pendingin udara dapat
dicapai daya puncak.
Namun bentuk radial memiliki luas “frontal” yang besar, sehingga menimbulkan hambatan
(drag) yang tinggi. Maka motor tipe ini, dengan
daya yang tinggi digunakan sebagai pendorong dari pesawat-pesawat pembom atau transpor. Pada
kondisi ini maka ukuran enjin yang besar masih
seimbang antara daya dan ukuran badan dari
pesawat yang didorongnya Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan
dengan lahirnya motor radial Kestrel dan Jupiter, di
Eropa diciptakan motor-motor dengan pendinginan
Motor Curtis-Wright Turbo Compound dengan 18 silinder 2 baris, merupakan mo-tor piston generasi terakhir dengan daya 3.220 DK yang digunakan pada Lockheed “Super Constellation” pada tahun 1950-an
21
-
fluida yang berbentuk “inline” atau “Vee”
awal tahun 1950-an. Tetapi sejak itu, secara bertahap tetapi pasti, motor baru ini menguasai
dunia penerbangan, terutama pada pesawat-pesawat
militer dan pesawat-pesawat transport besar yang secara bertahap pula motor-motor piston berdaya
tinggi digantikan oleh motor-motor jet.
Namun sejarah menunjukkan, bahwa
perkembangan ini bukan berarti berakhirnya motor piston. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai kini
(awal abad ke-21), ratusan ribu pesawat “General
Aviation” (pesawat penumpang sampai 20 orang atau pesawat ringan untuk pertanian dan fungsi
lainnya) yang beroperasi di seluruh dunia masih
menggunakan motor piston dari tipe “flat-opposite” (berderet-berlawanan letak silindernya)
dan sebagian besar menggunakan pendinginan
udara.
22
Rolls Royce Merlin
Bertenaga 1.240 DK tipe V-12 didinginkan fluida (liquid cooled), 2-speed supercharger, bahan bakar 100 oktan, merupakan enjin yang luas digunakan Inggris pada pesawat-pesawatnya dalam PD II, antara lain Spitfire, Avro Lancaster, Hurricane, dsb.
fluida yang berbentuk “inline” atau “Vee”. Menjelang PD II Rolls Royce mengembangkan
“Merlin” yaitu enjin berbentuk V-12 (12 silinder)
dengan volume 27 liter dan mencapai 1.240 DK
pada versi terakhirnya: Merlin XX. Motor jenis ini memang tidak dapat mencapai daya setinggi motor
radial karena jumlah silindernya terbatas (sekitar
12), namun daya per silindernya dapat lebih tinggi dan penampang frontalnya lebih kecil sehingga
hambatannya lebih kecil. Maka enjin seperti Merlin
ini digunakan pada pesawat tempur dan pembom (lihat gambar bawah).
Menjelang berakhirnya PD II, dunia
penerbangan dibayang-bayangi oleh motor jenis
baru, yaitu motor pancar gas (jet) atau motor “turbin gas”. Penemunya adalah Frank Whittle di
pihak Sekutu, dan dalam waktu yang hampir
bersamaan von Ohain di pihak Jerman juga melakukan pengembangan. Kedua belah pihak juga
menciptakan pesawat tempur masing-masing
bertenaga motor baru tersebut, namun sampai berakhirnya perang, keduanya belum pernah saling
mengadu keunggulannya. Ternyata dibutuhkan
waktu kurang lebih 10 tahun untuk memersiapkan
motor turbin gas menjadi operasional, yaitu pada
Pesawat tempur Supermarine “Spitfire”
Pesawat pembom Handley Page “Halifax”
Pengguna RR Merlin XX
-
kecepatan 600 km/jam dan terbuat dari carbon fibre. Sampai masa kini, batas bawah dari daya
turboprop terletak di sekitar 400 DKE (Daya Kuda
Efektif/EHP Effective Horse Power). Artinya, motor
piston masih menguasai pasaran di bawah 400 DK.
Suharto
Referensi:
1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business
Information, Surrey, 1998, UK.
2. David Monday, The Internasional Encyclopedia
of Aviation, Octopus Book , Ltd, 1980, UK.
23
Motor Piston, Flat Opposite
Uniknya, pasar enjin sebesar itu sebagian besar dilayani oleh hanya dua manufaktur yaitu Teledyne
Continental dan AVCO Lycoming. Keduanya dari
Amerika Serikat.
Pengembangan yang terjadi adalah versi diesel dan “multi-fuel”, yaitu antara lain dapat
menggunakan AVTUR/JET A1 dan AVGAS Fuel.
Di kemudian hari akan dapat digunakan “bio-fuel” seperti yang sudah dicoba pada motor turbin gas
yang mendorong pesawat-pesawat besar.
Untuk meningkatkan daya guna propulsi (ηp), digunakan propeler dengan desain baru, yaitu daun
propeler lebih lebar dan jumlahnya 4-6 dengan
putaran lambat. Propeler digunakan sampai
Pesawat-pesawat “General Aviation”
Teledyne Continental IOL-300, 190 DK
Pesawat transpor ringan
Pesawat latih/sport
Pesawat pertanian
Teledyne Continental TS10-520, 325 DK
-
Perkembangan Motor Turbin gas
Pada 1941, motor ciptaan Whittle ini diserahkan
kepada General Electric di Amerika. Salah satu kritik terhadap rancangan motor Whittle adalah
digunakannya “kompresor radial” yang dianggap
terlalu sederhana sehingga tidak efisien. Para pakar berpendapat bahwa “kompresor aksial” yang
merupakan silinder yang di dalamnya berputar
deretan sudu pada kecepatan tinggi akan lebih
sesuai.
24
PROPULSI BARU
Sebetulnya sudah sejak 1929, Frank Whittle, seorang perwira teknik dari Angkatan Udara
Inggris (RAF) yang brilian dalam termodinamika,
telah mewujudkan suatu rancangan sistem propulsi
baru yang kemudian disebut motor turbin gas. Motor jenis baru ini prinsip kerjanya lebih
sederhana dari motor piston yang sudah diterapkan
pada pesawat-pesawat tempur dan pembom pada waktu itu.
Namun untuk pembuktiannya dengan
pembuatan sebuah prototipe, belum ada sponsor yang membantunya. Akhirnya, baru pada 1937
prototipe ini menjadi kenyataan setelah melewati
hambatan dari mereka yang menganggap motor
turbin gas ini akan menyaingi motor piston yang sedang berjaya.
Di pihak Jerman, Pabst von Ohain, seorang
enjiner dan pernah membaca paten dari Whittle, langsung menantang perancang pesawat terkenal
Ernst Heinkel, bahwa ia dapat mewujudkan enjin
jenis baru ini dengan segera. Heinkel yang mengerti akan pentingnya motor
jenis baru tersebut menyetujuinya. Dan pada 1938
sudah terwujud sebuah prototipe yang akan dicoba
pada pesawat pembom tukik (dive-bomber) He-118 dan pada pesawat “test bed” khusus He-178. Sejak
itu, pengembangan motor turbin gas memiliki
prioritas utama di negeri ini. Di Inggris, pengembangan motor turbin gas
dilakukan pada pesawat Gloster E.28/29 pada 1941.
Pelaksanaannya menjadi lebih lancar ketika proyek
ini diserahkan kepada Rolls-Royce yang kemudian (masa kini) menjadi salah satu produsen enjin
terbesar di dunia.
MOTOR TURBIN GAS
Gambar paling atas Prototipe motor turbin gas ciptaan Frank Whittle dari Inggris. Gambar di bawahnya Pesawat Gloster E.28/29 yang digunakan untuk melakukan percobaan. Gambar samping Me-262, pesawat tempur jet pertama dari Jerman.
-
sangat besar dan menjelajah jarak jauh. Untuk itu
dibutuhkan enjin dengan gaya dorong sangat besar dan irit bahan bakar.
General Electric (GE) melaksanakan proyek
enjin ini dengan GE-1/6 yang memiliki pressure
ratio 23, suhu masuk turbin 1.733 oC dan bypass ratio 8 (ketiga besaran tersebut jauh lebih tinggi
dari yang berlaku waktu itu).
Ini berarti aliran udara inti yang mendapat energi pembakaran, memutar fan (kipas) yang
mengalirkan udara dingin dengan massa delapan
kalinya dan inilah yang menghasilkan hampir
seluruh gaya dorongnya. Pada kondisi ini enjin tersebut memiliki konsumsi bahan bakar spesifik
(SFC) 0,336 lb/lb-thrust/hour, sedangkan pada enjin
lainnya yang digunakan pada pesawat-pesawat airline: 0,80. GE memproduksi enjin tersebut
(sebagai TF-39) untuk C-5 “Galaxy” yang
merupakan pesawat transpor terbesar Angkatan Udara AS sampai masa kini.
25
Kenyataannya bahwa kompresor radial selama 10 tahun berikutnya masih merupakan komponen
yang sesuai untuk motor turbin gas. Misalnya pada
1950, Pratt & Whitney J-48 dari Amerika,
menggunakan kompresor radial dan menghasilkan gaya dorong 7.000 lb (31,15 kN) pada berat 924 kg
(1.922 lb). Di lain pihak, Rolls-Royce Avon RA.1
dengan gaya dorong 5.950 lb (26,5 kN) pada berat 1.092 kg (2.405 lb) mengalami kerusakan, yaitu
patahnya sudu-sudu kompresor (aksial) pada awal
pengembangannya. Namun dengan meningkatnya gaya dorong,
penggunaan kompresor aksial akan lebih sesuai,
karena memiliki ukuran frontal yang lebih kecil
pada “compression ratio” yang lebih besar. Di samping itu, hal ini akan memungkinkan prinsip
twin spool guna pengiritan konsumsi bahan bakar,
seperti akan dibahas di bawah. Sampai saat ini, kompresor radial masih digunakan pada motor-
motor turbin gas berdaya kecil, terutama untuk
APU (Auxillary Power Unit). Perlu disebutkan di sini, bahwa sebelum
prototipe motor turbin gasnya terwujud, Whittle
telah pula memikirkan pengembangannya, yaitu
after burner dan turbofan. Yang pertama berkaitan dengan peningkatan gaya dorong dalam waktu
pendek, guna akselerasi yang diperlukan oleh
pesawat tempur. Sedangkan turbofan menerapkan prinsip twin spool yang memungkinkan
peningkatan gaya dorong dengan pengiritan bahan
bakar (menekan SFC-Specific Fuel Consumpation).
Ironisnya motor turbofan pertama yang disiapkan oleh Whittle untuk dicoba malah
dibatalkan oleh pemerintah Inggris pada 1944
karena alasan yang tidak jelas. Bahkan selama 20 tahun berikutnya, Rolls-Royce yang menangani
proyek ini pun kurang menghargai solusi
“turbofan” ini, walaupun mereka telah mengenalkan dua tipe jet-engine baru, “Conway”
dan “Spey”. Dua tipe yang lebih tepat disebut
“bypass-jet” karena aliran udara kedua (bypass-
flow) yang dingin lebih berfungsi untuk menurunkan suhu pada dinding luar ruang
pembakaran.
Gebrakan dengan turbofan justru terjadi di Amerika ketika Angkatan Udara AS (USAF)
membutuhkan pesawat transpor strategis yang
SECONDARY FLOW (DINGIN)
PRIMARY FLOW (PANAS) TWIN SPOOL SINGLE SPOOL
TURBOJET TURBOFAN
Turbojet Rolls-Royce “Derwent”, GD 3.500 lb dengan kompresor radial
Rolls-Royce “Avon”, GD 17.000 lb Dengan kompresor aksial
-
merupakan cara yang efektif untuk mewujudkan tujuan ini yaitu dengan meningkatkan BR.
Maka produsen utama seperti Rolls-Royce yang
telah sukses dengan “turbojet” (single spool)
generasi pertamanya seperti Avon (lihat atas), memelopori pelaksanaan “turbofan” (twin spool)
denga tipe “Conway” yang menggunakan BR lebih
rendah 0,42; dan karena itu disebut “bypass-jet” (1956).
Di Amerika, Pratt & Whitney pada 1963
mengembangkan JT3D dengan gaya dorong 18.000 lb pada BR 1,36. Sementara itu, GE seperti telah
disebut di atas, menerapkan yang tinggi BR 8
dengan tipe TF-39 pada pesawat transpor Angkatan
Udara AS: C-5 “Galaxy”. Perkembangan ini memicu transportasi udara komersial untuk
mengoperasikan para airliner yang semakin besar
seperti Boeing 777 dan kemudian Boeing 747. Dan untuk itu, ketiga produsen enjin tersebut
sejak 1970 mengembangkan turbofan baru. GE
dengan gaya dorong 40.000-60.000 lb pada BR 5-6. Rolls-Royce menawarkan semi turbofan RB 211-
524 dengan gaya dorong 50.000-60.000 lb pada BR
4,5. Pratt & Whitney menyajikan seri JT9D-7
dengan gaya dorong 40.000-60.000 lb pada BR 5,1. Peningkatan BR 1,3 ke BR 5 tersebut menurunkan
SFC dari sekitar 0,80 ke 0,35 lb/lb-thrust/hour.
Enjin-enjin tersebut dengan berbagai variannya digunakan oleh para airliner yang pada waktu itu
26
Tetapi generasi pertama airliner seperti “Comet 1-4” dari Inggris dan “Caravelle” dari Prancis pada
1950-an menggunakan motor turbojet (single spool)
Rolls-Royce “Avon”, sedangkan Boeing 707 dari
Amerika menggunakan turbojet Pratt & Whitney JTC3. Perbedaan yang tampak antara pesawat ini
dengan Comet, kecuali ukurannya lebih besar,
adalah dalam hal penempatan enjinnya. Pada Comet terbenam di dalam pangkal sayap sedangkan pada
Boeing 707 terpasang di bawah sayap dengan
penyangga “pod”, dan sayap memiliki serong ke belakang (swept back) 35o yang sesuai untuk
kecepatan tinggi.
Pemasangan enjin pada sayap ini didasarkan
pada pengalaman Boeing dari perancangan pesa-wat-pesawat pembom seperti B-47 dan B-36. Cara
ini memungkinkan efisiensi struktur sayap lebih
tinggi (lebih ringan) dan penggunaan enjin berbagai ukuran (diameter), terutama terkait perkembangan
bypass ratio (BR) yang hanya berdampak sedikit
pada perubahan rancangan sayap. Era baru transportasi udara dengan propulsi
turbin gas ini berkembang dengan cepat karena
diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Rute-
rute baru direncanakan dan untuk itu dibutuhkan pesawat-peswat baru dengan performa lebih besar
dan kehandalan lebih tinggi. Di samping itu pula
diusahakan penekanan SFC (irit bahan bakar). Pelaksanaan versi “turbofan” (twin-pool) ternyata
Pesawat transpor jet pertama di dunia: de Havilland “Comet 1” ditenagai oleh motor turbojet (single spool) Rolls-Royce “Avon”
-
Motor Turboprop
Di atas kita membahas perkembangan turbofan yang melayani pesawat-pesawat yang semakin besar
dan berjarak jauh. Di sini kita akan menelaah
perkembangan ke arah sebaliknya, yang diwujudkan
dengan motor turbin gas versi turboprop. Beda bentuk luarnya dari kedua versi lainnya adalah
dipasangnya propeler pada ujung depannya,
berdiameter besar dan berdaun dua atau lebih. Penerapannya pada daerah kecepatan dan jarak
yang lebih kecil bertujuan untuk meningkatkan
“daya guna propulsi-ηp” (seperti juga pada kedua versi lainnya) yang bertujuan untuk menurunkan
SFC pada daerah operasinya masing-masing.
Rolls-Royce “Dart”merupakan salah satu tipe turboprop yang sukses, terutama ketika berpasangan
dengan airliner jarak pendek Vickers “Viscount”.
Motor ini memiliki rancangan sederhana serta klasik , yaitu menggunakan kompresor radial dan
ruang bakar “can type”. Dengan daya 2.100 DKE,
Dart digunakan pada pesawat-pesawat tipe lain
termasuk pesawat pengintai militer. Selanjutnya, Rolls-Royce mengembangkan “Tyne” dengan daya
5.500 DKE yang digunakan pada Vickers
“Vanguard” dan Canadair CL-44, dengan rancangan lebih maju antara lain kompresor aksial dan
propeler dengan putaran lebih lambat.
Sementara di Amerika di kembangkan
turboprop Allison 501– D13A dengan daya 3.750 DKE untuk Lockheed “Electra” dan Allison 501–
D22A dengan daya 4500 DKE untuk Lockheed C-
130 “Hercules” yang merupakan pesawat transpor
27
praktis didominasi oleh Amerika, seperti Boeing 707, Boeing 727, Douglas DC-8, Douglas DC-9.
Pada awal 1980-an Boeing memerkenalkan
tipe baru Boeing 737 yang lebih kecil untuk
melayani jarak pendek/sedang (short/medium haul—lihat hlm. 3). Khasnya pesawat ini, guna
memberikan kesan “wide body”, menggunakan
penampang badan yang sama dengan saudara-saudara tuanya. Maka dengan kapasitas sedikit di
atas seratus penumpang, 737 tampak
“gemuk” (stubby). Namun sejarah menunjukkan bahwa B 737 menjadi pesawat transpor yang paling
sukses karena melayani sektor jarak yang paling
dibutuhkan oleh masyarakat di seluruh dunia, yaitu
“regional” atau “short/medium range”. Inilah awal sebuah persaingan sengit dalam
transportasi udara internasional, karena didominasi
Amerika yang mencapai 90 persen itu, menghadapi penantangnya. Seperti disebut dalam artikel
pembuka (lihat hlm. 1-2), persaingan yang secara
global adalah antara Amerika dengan Eropa, kemudian terfokus menjadi antara: Airbus versus
Boeing.
Dalam rubrik PROPULSI ini, kita awali dengan
membahas pengaruhnya dalam pengembangan enjin yang merupakan persaingan bayangan dari
pesawat-pesawat penggunanya. Pada artikel
berikut, masih di rubrik PROPULSI, akan dipaparkan perkembangan dari motor turbin gas
selama setengah abad dalam aspek-aspek
pengoperasiannya sehingga menjadi sumber tenaga
utama bagi transportasi udara (lihat Setengah Abad Perkembangan Motor Turbin Gas hlm. 29).
Pesawat transpor jet generasi pertama yang paling sukses Boeing 707 bertenaga 4 buah turbojet Pratt & Whitney JT3-6
-
Pengunaan turboprop tidak sebanyak turbofan, karena daerah operasinya (kecepatan dan jarak
terbang) lebih kecil. Pada batas atas dengan
turbofan, terjadi persaingan sengit antara kedua
versi turbin gas tersebut. Tetapi bagi masyarakat luas turbofan lebih favorit karena bentuk
(appearance) yang lebih modern (propeler memberi
kesan pesawat kuno) dan kecepatan lebih tinggi, mengalahkan kenaikan harga tiket yang lebih mahal
pada pesawat-pesawat turbofan.
28
militer paling sukses. General Electric menyajikan tipe CT-7 dengan daya 1.750 DKS (Daya Kuda
Spesifik/SHP Specific Horse Power) untuk
pesawat SAAB-Fairchild SF-340 dari Swedia dan
CN-235 dari Indonesia. Motor-motor turboprop Amerika ini memiliki desain yang khas yaitu
gearbox untuk propeler terletak di depan, terpisah
dari “gas generator” sehingga membentuk modul-modul yang bertujuan memermudah perawatan.
Motor turboprop GE CT-7 dengan daya 1.750 DKS (SHP), antara lain sebagai pendorong dari SAAB-Fairchild SF-340 dan CN-235
Suharto
Referensi:
1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business
Information, Surrey, 1998, U.K.
2. John W.R. Taylor & Kenneth Munson, History of
Aviation, Octopus Book , Ltd, 1973, London, UK.
3. R.G. Grant, Flight, the Complete History,
Smithsonian, National Air and Space Museum, DK
Publishing, London-New York, 2007.
Vickers “Viscount” airliner jarak dekat dengan kapasitas 80 pemumpang
Rolls-Royce “Dart” adalah turboprop paling sukses pada 1960-an antara lain sebagai pendorong “Viscount”