proposal_penelitian_(perilaku pasien post op fraktur dalam melakukan rom)-revisi@07012015
DESCRIPTION
draft proposal penelitianTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan
(Saryono, 2008). Secara umum fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti
kecelakaan lalu lintas, trauma jatuh, tumor (patologis), osteoporosis (degeneratif),
olahraga maupun karena beban yang tidak mampu ditahan oleh tulang. Namun kasus
yang paling banyak menyebabkan fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (Saryono,
2008).
Meningkatnya kasus fraktur terjadi di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia
(WHO, 2005) menyatakan bahwa pada tahun 2005 saja terdapat lebih dari 7 juta
orang meninggal dikarenakan kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 65% hingga 20
tahun mendatang. Salah satu insiden kecelakaan tertinggi adalah fraktur ekstremitas
bawah yakni sebesar 46,2% dari keseluruhan insiden yang terjadi. Hasil survey
Depertemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa
25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% penderita fraktur mengalami
kecacatan fisik, 15% mengalami gangguan psikologis terutama depresi dan hanya
10% penderita fraktur yang mengalami kesembuhan dengan baik. Ini berarti angka
kecacatan fisik akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penderita fraktur.
-
2
Menurut data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014,
dari tahun ke tahun kasus fraktur terutama pada bagian ekstremitas bawah cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 pasien yang menjalani rawat inap sebanyak
920 orang dan pada tahun 2014 pasien yang menjalani rawat inap sebanyak 1.173
orang. Data yang diperoleh dari Rekam Medis (RM) Rumah Sakit Umum Wangaya
Denpasar menunjukkan bahwa pada tahun 2013 pasien fraktur ekstremitas bawah
yang menjalani rawat inap sebanyak 348 orang. Pada tahun 2014 pasien fraktur
ekstremitas bawah yang menjalani rawat inap sebanyak 413 orang. Berdasarkan data
yang didapat maka dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien fraktur ektremitas bawah
pada tahun 2013-2014 cenderung mengalami peningkatan yaitu 15,7%.
Data yang menunjukkan jumlah pasien yang selalu meningkat per tahunnya
maka timbul kemungkinan peningkatan angka kecacatan yang dapat dialami oleh
pasien pasca fraktur. Untuk menekan sekaligus menghindari hal tersebut perlu
dilaksanakan perawatan yang holistik dan komprehensif pada pasien.
Penatalaksanaan fraktur dilakukan melalui proses pembedahan atau operasi untuk
memperbaiki posisi tulang yang mengalami kerusakan. Setelah operasi, pasien harus
mampu mempertahankan fungsi tubuh atau ekstremitas dengan melatih
pergerakannya secara baik, benar dan kontinyu. Aktivitas yang harus dilaksanakan
pasien pasca operasi fraktur adalah Range of Motion (ROM) baik secara aktif maupun
pasif. ROM merupakan latihan gerak sendi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh
pasien maupun dengan bantuan perawat. Hal ini berguna untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian (Aziz dan
Musrifatul, 2012). Semakin dini dilakukannya latihan ROM pada pasien fraktur
-
3
ekstremitas maka semakin cepat mengalami pemulihan terhadap peningkatan
kekuatan otot (Sugeng, 2007). Beberapa gerakan ROM yaitu fleksi, ekstensi, abduksi,
adduksi, dan lain sebagainya. Namun banyak ditemukan di lapangan bahwa kegiatan
ROM belum menjadi rutinitas pasien yang dirawat dengan post operasi fraktur.
Rendahnya kesadaran pasien dalam melaksanakan latihan rentang gerak sendi
seringkali dikarenakan oleh tingginya rasa takut serta rendahnya pengetahuan tentang
latihan tersebut. Rasa takut untuk bergerak dan pengetahuan yang kurang tentang
latihan ROM akan menghambat proses penyembuhan pasien. Padahal latihan ROM
sangatlah berguna untuk mencegah hilangnya kekuatan otot. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Masnun (2013) menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang
signifikan pada kekuatan otot pasien yang dilakukan ROM aktif daripada pasien yang
melakukan ROM pasif. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan di Rumah
Sakit Umum Wangaya Denpasar pada tanggal 8 Januari 2014, dari lima orang pasien
yang diwawancarai tentang ROM tiga orang mengaku tidak mengetahui ROM, dua
orang mengatakan takut melakukan ROM karena nyeri, serta satu orang mengatakan
jarang latihan ROM meski sudah mengetahui apa itu ROM atau latihan rentang gerak
sendi. Hal ini mendasari pemikiran peneliti untuk mengadakan studi tentang perilaku
pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam menjalankan latihan ROM.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil tersebut diatas, dapat dirumuskan masalah Bagaimana
Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah dalam Melaksanakan
Latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun 2015?
-
4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perilaku pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam
melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengetahuan pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah
dalam melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya
Tahun 2015.
b. Mengidentifikasi sikap pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam
melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun
2015.
c. Mengidentifikasi tindakan pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah
dalam melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya
Tahun 2015.
d. Menggambarkan perilaku pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam
melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun
2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
-
5
a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data untuk melaksanakan penelitian
selanjutnya.
b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di
bidang keperawatan khususnya pada masalah perilaku pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah dalam melaksanakan latihan Range of Motion
(ROM).
2. Praktis
Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan
kepada pasien terutama dalam hal promosi dan edukasi tentang latihan Range of
Motion pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah.
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Fraktur
1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan
(Saryono,2008).
Fraktur adalah terputusnya diskoniutas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, jika kulit luar tidak mengalami
perlukaan itu disebut fraktur tertutup. Namun jika kulit disekitar tulang yang patah
mengalami perlukaan atau terhububg dengan dunia luar maka itu disebut fraktur
terbuka (Nayagam, 2010).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
fraktur yang biasa terjadi karena trauma langsung eksternal tetapi dapat juga terjadi
karena deformitas (Perry & Potter,2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan pada umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
-
7
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luas trauma.
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa.
2. Etiologi Fraktur
Menurut Nayagam (2010), tulang merupakan substansi yang rapuh namun
juga memiliki kekuatan dan ketahanan yang cukup untuk menahan suatu beban atau
tekanan dari luar tubuh. Fraktur dapat disebabkan oleh cidera, stress berulang, serta
dapat terjadi karena terdapat abnormalitas tulang (fraktur patologis).
Menurut Sachdeva (1996) dalam Sugeng (2012), penyebab fraktur dapat
dibagi menjadi dua yaitu:
a. Cidera traumatik
Cidera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
1) Cidera langsung: pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cidera tidak langsung: pukulan berada jauh dari lokasi benturan, misalnya
jatuh dengan tangan menjulur namun yang mengalami fraktur adalah bagian
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi kuat yang mendadak dari otot.
-
8
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomyelitis: terjadi akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri.
3) Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D
yang mempengaruhi semu jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh kegagalan absorbs
vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
4) Secara spontan: stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di bidang kemiliteran.
3. Klasifikasi Fraktur
Jenis-jenis fraktur adalah sebagai berikut (Smeltzer & Bare 2002):
a. Fraktur komplit, patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergerak dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang
c. Fraktur tertutup (Fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
-
9
d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan
luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur
terbuka dibagi menjadi :
1) Grade I dengan luka bersih kurang dari satu sentimeter panjangnya.
2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif.
3) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak yang ekstensif, merupakan yang paling berat.
e. Greenstick merupakan fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan
sisi lainnya membengkok.
f. Transversal merupakan fraktur sepanjang garis tulang.
g. Oblik merupakan fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
stabil disbanding transversal).
h. Spiral merupakan fraktur memeutar seputar batang tulang.
i. Komunitif merupakan fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
j. Depresi merupakan fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
k. Kompresi merupakan fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi
pada tulang belakang).
l. Patalogik merupakan fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit
(kista tulang, metatastasis tulang, tumor).
m. Avulasi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada
perlekatannya.
-
10
n. Epifiseal merupakan fraktur melalui epifisis.
o. Implaksi, fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
4. Gambaran Klinis Fraktur
Berikut ini merupakan gambaran klinis yang terjadi pada pasien fraktur
(Corwin, 2001):
a. Patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah patah tulang dapat timbul spasme otot yang menambah rasa nyeri.
Pada fraktur stress, nyeri biasanya timbul pada aktivitas dan menghilang saat
istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.
b. Mungkin tampak jelas posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami.
c. Pembengkakan di sekitar fraktur akan menyertai proses peradangan.
d. Dapat terjadi gangguan sensasi atau rasa kesemutan, yang mengisyaratkan
kerusakan saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan setara
dengan bagian nonfraktur. Hilangnya denyut nadi sebelah distal mungkin
mengisyaratkan syok kompartemen.
e. Krepitus (suara gemertak) dapat terdengar sewaktu tulang digerakkan akibat
pergeseran ujung-ujung patahan tulang satu sama lain.
5. Komplikasi Fraktur
Menurut Corwin (2001), pada pasien fraktur dapat terjadi komplikasi.
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain:
-
11
a. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau kematian saraf dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan interstitium yang intens
tersebut, timbul tekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan
mereka kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian saraf-saraf yang mempersarafi daerah tersebut. Biasanya hal ini
menyebabkan nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan
atau kaki. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki
retriksi volume yang ketat. Risiko terjadinya sindrom kompartemen akan semakin
besar apabila telah terjadi trauma otot, karena pembengkakan yang terjadi akan hebat.
Pemakaian gips terlalu dini pada ekstremitas yang patah atau gips yang terlalu ketat
dapat menyebabkan peningkatan tekanan di kompartemen ekstremitas. Dapat terjadi
kerusakan permanen fungsi atau bahkan kehilangan ekstremitas itu sendiri. Oleh
senan itu, gips harus segera dibuka dan perlu pemeriksaan terhadap kulit ekstremitas.
b. Embolus lemak
Selain sindrom kompartemen, komplikasi pada pasien fraktur yang dapat
timbul adalah embolus lemak setelah tulang patah terutama pada tulang panjang.
Embolus lemak dapat timbul akibat terpajannya sumsum tulang, atau akibat
pengktifan sistem saraf simpatis setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelah
fraktur tulang panjang sering tersangkut di sirkulasi paru dan menimbulkan distress
atau kegagalan pernapasan.
6. Penatalaksanaan Fraktur
-
12
Fraktur harus segera diimobolisasi agar hematom fraktur dapat terbentuk dan
untuk memperkecil kerusakan tulang. Penyambungan kembali tulang (reduksi)
penting dilakukan agar posisi dan rentang gerak normal pulih. Sebagian besar reduksi
dapat dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Apabila diperlukan
tindakan bedah untuk fiksasi (reduksi terbuka), dapat dipasang pen atau sekrup untuk
mempertahankan reduksi dan merangsang penyembuhan (Corwin, 2001).
Perlu dilakukan imobilisasi jangka panjang setelah reduksi agar kalus dan
tulang baru dapat terbentuk. Imobilisasi jangka panjang biasanya dilakukan dengan
gips atau penggunaan belat (Corwin, 2001).
7. Tahap-tahap Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi
pada setiap patah tulang (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur merangsang tubuh
untuk meneyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima tahap penyembuhan tulang (Smeltzer & Bare,2002).
a. Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon, Terjadi perdarahan
dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah
tulang, tempat patahan kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar),
yang akan membersihkan darah tersebut. Terjadi inflamasi, Pembengkakan dan nyeri.
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
-
13
b. Poliferasi sel
Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin dalam jandalan darah., memebentuk jaringan untuk
revaskularesasi, dan invasi fibroblast dan osteoblas. Fibroblast dan oestoblast akan
mengahasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan
tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
c. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkar tulang rawan tumbuh mencapai
sisi lain tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat
imatur. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agara fragmen tulang tergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus.
d. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3 minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.
e. Remodeling
Tahapan akhir perbaikan tulang baru ke susunan struktural sebelumnya
remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan samapai bertahun-tahun tergantung
beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan.
8. Jenis-jenis Fraktur Ekstremitas Bawah
a. Fraktur femur
-
14
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat. Bila bagian kaput, kolum,
atau trokhanterik femur yang terkena, terjadilah fraktur pinggul. Fraktur juga dapat
terjadi pada batang femur dan daerah lutut (Fraktur suprakondiler dan kondiler)
(Smeltzer & Bare, 2002).
b. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insidens yang cukup tinggi di antara jenis-
jenis patah tulang umumnya. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3
tengah. Fraktur di daerah kaput, kolom, trokanter, subtrokanter, suprakondilus
biasanya memerlukan tindakan operatif (Potter and Perry,2013).
c. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring
dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada
trauma tidak langsung fraktur kolum femur terjadi karena eksorotasi yang mendadak
dari tungkai bawah (Potter and Perry, 2013)
d. Fraktur pinggul
Ada insiden tinggi fraktur pinggul pada lansia, yang tulangnya biasanya sudah
rapuh karena osteoporosis (terutama wanita) dan cenderung sering jatuh. Kelemahan
otot kwardisep, kerapuhan umum akibat usila, dan keadaan yang mengakibatkan
penurunan perfusi arteri ke otak (serangan iskemik transien, anemia, emboli, dan
penyakit kardiovaskuler, efek obat) berperan dalam insidensi terjadinya jatuh (Potter
and Perry, 2008).
e. Fraktur tbia dan fibula
-
15
Fraktur bawah lutut paling sering adalah fraktur tibia dan fibula yang terjadi
akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki fleksi atau gerakan memutar yang keras.
Fraktur tibia dan fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain (Smeltzer & Bare,
2002).
f. Fraktur tibia proksimal
Fraktur tibia proksimal biasanya terjadi akibat trauma langsung dari arah
samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah. Contohnya pada orang
yang sedang berjalan ditabrak mobil disamping, yang disebut bumper fracture (Potter
& Perry,2013)
g. Fraktur kruris
Fraktur kruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas (Potter
& Perry,2013).
B. Konsep Range Of Motion (ROM)
1. Pengertian Range of Motion (ROM)
Range of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat
dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun,2008). Latihan Range of Motion
(ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).
Latihan Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan
batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan
-
16
adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif,
M, 2008).
ROM merupakan latihan gerak sendi yang dapat dilakukan secara mandiri
oleh pasien maupun dengan bantuan perawat. Hal ini berguna untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian (Aziz dan
Musrifatul, 2012).
2. Tujuan ROM
Tujuan pelaksanaan ROM menurut Suratun, dkk. (2008):
a. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
b. Memelihara mobilitas persendian.
c. Merangsang sirkulasi darah.
d. Mencegah kelainan bentuk.
3. Prinsip Dasar Latihan ROM
ROM atau range of motion memiliki prinsip dasar dalam melakukan
pelatihan. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain:
a. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari.
b. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.
c. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien,
diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
d. ROM sering diprogram oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli fisioterapi.
-
17
e. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan sebagai obyek latihan ROM adalah
leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
f. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian
yang dicurigai mengalami proses penyakit.
g. Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin yang telah dilakukan.
4. Klasifikasi ROM
Suratun, dkk. (2008) menjabarkan klasifikasi ROM kedalam 2 (dua) jenis,
yaitu ROM pasif dan ROM aktif. Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di
lakukan pasien dengan bantuan perawat pada setiap gerakan. Indikasi latihan pasif
adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total.
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif
adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan
klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. Urutan tata cara melakukan
latihan pasif antara lain:
a. Mengkaji pasien dan merencanakan program latihan yang sesuai untuk pasien.
b. Menginformasikan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan, area yang
akan digerakkan, dan perannya dalam latihan.
-
18
c. Menjaga privasi pasien.
d. Mengatur pakaian yang dapat menyebabkan hambatan dalam pergerakan
pasien.
e. Mengangkat selimut jika diperlukan.
f. Menganjurkan pasien untuk berbaring dalam posisi yang nyaman.
g. Melakukan latihan ROM sesuai dengan uraian yang telah diberikan.
Latihan ROM aktif adalah perawat memberikan motivasi dan membimbing
klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang
gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada
ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien
sendiri secara aktif. Urutan tata cara melakukan latihan ROM aktif antara lain:
a. Jelaskan apa yang akan dilakukan dan tujuan kegiatan tersebut.
b. Menganjurkan pasien untuk bernafas normal selama latihan berlangsung.
5. Manfaat Latihan ROM
Menurut Suratun, dkk. (2008), terdapat manfaat yang sangat baik pada pasien
fraktur jika melaksanakan latihan ROM. Manfaat tersebut diantaranya:
a. Memperbaiki tonus otot.
b. Meningkatkan mobilisasi sendi.
c. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.
d. Meningkatkan massa otot.
e. Mengurangi kehilangan kekuatan tulang.
-
19
6. Indikasi dan Kontraindikasi ROM
a. Indikasi
1) Stroke atau penurunan tingkat kesadaran.
2) Kelemahan otot.
3) Fase rehabilitasi fisik.
4) Klien dengan tirah baring lama.
b. Kontraindikasi.
1) Trombus/emboli dan keradangan pada pembuluh darah.
2) Kelainan sendi atau tulang.
3) Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung).
4) Trauma baru dengan kemunginan ada fraktur yang tersembunyi atau luka
dalam.
5) Nyeri berat.
6) Sendi kaku atau tidak dapat bergerak.
7. Gerakan ROM
Menurut Potter dan Perry (2005), gerakan ROM terdiri dari beberapa gerakan
persendian antara lain:
a. Leher, spina, servikal
Tabel 1
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Leher, Spina, Servikal
-
20
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 40-45
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh
mungkin kearah setiap bahu,
rentang 40-45
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan
sirkuler,
rentang 180
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan
ke posisi di atas kepala,
rentang 180
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala
dengan telapak tangan jauh dari kepala,
rentang 180
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh
sejauh mungkin,
rentang 320
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan
menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke
dalam dan ke belakang,
rentang 90
Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari
ke atas dan samping kepala,
rentang 90
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh, rentang 360
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
b. Bahu
Tabel 2
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Bahu
-
21
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan bahu
bergerak ke depan sendi bahu dan tangan
sejajar bahu,
rentang 150
Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 150
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan
ke posisi di atas kepala,
rentang 180
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala
dengan telapak tangan jauh dari kepala,
rentang 180
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh
sejauh mungkin,
rentang 320
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan
menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke
dalam dan ke belakang,
rentang 90
Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari
ke atas dan samping kepala,
rentang 90
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh, rentang 360
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
c. Siku
Tabel 3
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Siku
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
d. Lengan Bawah
Tabel 4
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Lengan Bawah
Gerakan Penjelasan Rentang
Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan sehingga
telapak tangan menghadap ke atas,
rentang 70-90
Pronasi Memutar lengan bawah sehingga telapak
tangan menghadap ke bawah,
rentang 70-90
-
22
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
e. Pergelangan Tangan
Tabel 5
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Pergelangan Tangan
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
f. Jari-jari Tangan
Tabel 6
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Jari-jari Tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Membuat genggaman, rentang 90
Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang
sejauh mungkin,
rentang 30-60
Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu
dengan yang lain,
rentang 30
Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian
dalam lengan bawah,
rentang 80-90
Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari,
tangan, lengan bawah berada dalam arah yang
sama,
rentang 80-90
Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang
sejauh mungkin,
rentang 89-90
Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, rentang 30
Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke arah
lima jari,
rentang 30-50
-
23
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
g. Ibu Jari
Tabel 7
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Ibu Jari
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
h. Pinggul
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang permukaan
telapak tangan,
rentang 90
Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh dari
tangan,
rentang 90
Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30
Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30
Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari
tangan pada tangan yang sama.
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Membuat genggaman, rentang 90
Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang
sejauh mungkin,
rentang 30-60
Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu
dengan yang lain,
rentang 30
Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30
-
24
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang paha, rentang 120-130
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130
Gerakan Penjelasan Rentang
Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki
menekuk ke atas,
rentang 20-30
Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki
menekuk ke bawah,
rentang 45-50
Tabel 8
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Pinggul
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
i. Lutut
Tabel 9
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Lutut
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
j. Mata kaki
Tabel 10
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Mata Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping tungkai
yang lain,
rentang 90-120
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping menjauhi
tubuh,
rentang 30-50
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke posisi media
dan melebihi jika mungkin,rentang 30-50
Rotasi dalam Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai
lain,rentang 90
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai
lain,rentang 90
Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -
-
25
Gerakan Penjelasan Rentang
Inversi Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10
Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60
Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang
lain,
rentang 15
Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
k. Kaki
Tabel 11
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Kaki
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
l. Jari-jari Kaki
Tabel 12
Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Jari-jari Kaki
Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.
C. Konsep Perilaku
1. Pengertian Perilaku
-
26
Perilaku merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau
makhluk hidup. Perilaku manusia adalah segala aktivitas atau kegiatan manusia baik
yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati dari pihak luar
(Notoatmodjo,2007). Perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya dorongan
dalam rangka memenuhi kebutuhan (Purwanto, 2012).
Perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan
tanggapan (respon) (Mubarak, 2007). Perilaku atau respon masing-masing individu
tentu saja berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh factor internal yaitu
karakteristik individu seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin,
dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh yaitu lingkungan baik
fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
2. Jenis-jenis Perilaku
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Notoatmodjo,2007):
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab
itu, disebut covert behavior atau unobservable behavior, misalnya: seorang ibu hamil
-
27
tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat
meular melalui hubungan seksual, dan sebagainya.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik (practice) misal,
seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas
untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.
3. Domain Perilaku
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi respon seseorang terhadap
stimulus. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a. Determinan atau factor internal, yakni karaktertistik orang yang bersangkutan,
yang besifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, usia, dan sebagainya.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Factor lingkungan ini
merupakan factor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
-
28
Seorang ahli psikologi Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku manusia
kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: pengetahuan (kognitif), sikap
(afektif) dan tindakan (psikomotor) (Notoatmodjo, 2007).
c. Pengetahuan (Knowledge)
1) Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil mengingat suatu hal baik sengaja maupun tidak
sengaja dan ini terjadi setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap objek
tertentu (Mubarak dkk, 2006). Pengetahuan adalah hasil tahu dari diri manusia yang
sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa itu air, apa itu manusia dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Dengan adanya pengetahuan makan seseorang akan
mampu mengambil keputusan atas apa yang ada di kehidupannya.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan menjadi sesuatu yang diketahui
atau hasil tahu dari diri manusia dengan mengingat suatu hal yang pernah dialami
baik sengaja maupun tidak serta mampu menjawab pertanyaan sehingga mampu
mengambil keputusan disebut dengan pengetahuan.
2) Tingkat Pengetahuan
Cara mengidentifikasi tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007):
a) Mengenal (Recognition) dan mengingat kembali (Recall) merupakan
kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui sehingga
seseorang dapat memutuskan sesuatu.
b) Pemahaman (Comprehension) adalah kemampuan untuk memahami atau
mengerti tentang suatu objek.
-
29
c) Penerapan (Application) adalah kemampuan untuk menerapkan secara benar
pengetahuannya dalam situasi yang tepat.
d) Analisis (Analysis) adalah kemampuan untuk menyebarkan materi atau objek
ke dalam suatu struktur dan masih memiliki keterkaitan satu sama lain.
e) Sintesis (Synthesis) adalah kemampuan untukmenyusun formulasi atau
menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru.
f) Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk menilai suatu materi atau
objek.
Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden. Tingkat pengetahuan dapat dinilai dari
tingkat penguasaan individu atau seseorang terhadap suatu objek dan dapat
digolongkan menjadi:
a) Sangat Baik : 85-100%
b) Baik : 70-84%
c) Cukup : 55-69%
d) Kurang : 40-54%
e) Jelek : 0-39%
d. Sikap (Afektif)
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari sesorang terhadap stimulus
atau objek. Sikap belum merupakan tindakan, tetapi predisposisi dari suatu tindakan
-
30
(Nona, 2013). Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
Sikap mempunyai tiga komponen pokok:
1) Kepercayaan/keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Seperti pengetahuan, sikap juga memiliki beberapa tingkatan yaitu menerima,
merespon, menghargai, mengorganisir dan bertanggungjawab (Nona, 2013).
1) Menerima: apabila seseorang memiliki kemauan untuk memperhatikan
stimulus yang diberikan objek. Misalnya penerimaan masyarakat terhadap
wabah demam berdarah yang dilihat dari adanya kemauan untuk
memperhatikan ceramah atau penyuluhan tentang wabah demam berdarah.
2) Merespon: secara umum merespon mempunyai arti memberi tanggapan
terhadap suatu stimulus/rangsangan. Merespon dapat berarti menjawab
pertanyaan apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan. Terlepasa dari tugas tersebut benar atau salah. Misalnya menguras
tempat penampungan air setelah mendengar penyuluhan tentang demam
berdarah.
3) Menghargai: ikut membicarakan/mendiskusikan sesuatu tentang
objek/masalah, yang merupakan suatu indikasi bahwa seseorang telah
memperhatikan objek atau ide yang disampaikan. Contoh dari menghargai
adalah memotivasi warga untuk melakukan upaya-upaya pencegahan demam
berdarah.
-
31
4) Mengorganisir: menghimpun/mengajak orang lain untuk memperoleh
informasi tentang objek/ide yang telah disampaikan kepadanya atau
melakukan sesuatu sehubungan dengan informasi yang telah diterima.
Misalnya setelah mendapat penyuluhan tentang demam berdarah, seseorang
mengajak masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan demam
berdarah.
5) Bertanggungjawab: bersedia menerima risiko/konsekuensi atas segala sesuatu
yang telah diperbuat. Misalnya seorang warga yang tidak melakukan upaya
pencegahan demam berdarah harus dirawat di rumah sakit karena menderita
demam berdarah.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu objek.
e. Tindakan (Psikomotor)
Tindakan/praktik merupakan bentuk perilaku yang dapat diamati secara
langsung. Pengetahuan dan sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan
karena masih dipengaruhi oleh ada atau tidaknya factor pendukung antara lain kondisi
dan fasilitas yang tersedia (Nona, 2013).
Seperti halnya pengetahuan dan sikap, tindakan mempunyai beberapa
tingkatan (Notoatmodjo, 2007):
1) Persepsi (Perception)
-
32
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih
makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
2) Respons terpimpin (guided response)
Seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan
sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. Misalnya,
seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar mulai dari mencuci dan memotong-
motongnya, lamanya memasak, dan sebagainya.
3) Mekanisme (mechanism)
Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu telah menjadi sebuah kebiasaan. Misalnya seorang siswa yang belajar
pada jam tertentu tanpa menunggu perintah atau suruhan orang lain.
4) Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikanya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut. Misalnya seorang mahasiswa dapat belajar melalui buku elektronik
secara gratis tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli buku.
-
33
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah uraian tentang hubungan antar variabel-variabel yang
terkait dengan masalah penelitian dan dibangun berdasarkan kerangka teori sebagai
pedoman penelitian. Kerangka konsep digunakan untuk mendiskripsikan secara jelas
variabel yang dipengaruhi (dependent variable) dan variabel pengaruh (Independent
variable) (Sudibyo dan Rustika, 2013).
Berikut adalah kerangka konsep dari penelitian ini:
Karakteristik pasien fraktur: Penyebab Fraktur:
1. Usia 1. Cedera
2. Jenis kelamin 2. Stress berulang
3. Pekerjaan 3. Abnormalitas/patologis
4. Pendidikan
Penatalaksanaan Fraktur: Pelaksanaan Range of Motion
1. Imobilisasi (ROM)
Faktor Eksternal : Perilaku pasien dalam melaksanakan
Lingkungan, Motivasi. ROM (Pengetahuan, Sikap, Praktik)
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti
: menunjukkan adanya hubungan
-
34
Gambar 1
Kerangka Konsep Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ektremitas Bawah
dalam Melaksanakan ROM di Ruang Flamingo RSUD Wangaya Tahun 2014.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
Variabel adalah karakteristik dari subjek penelitian, atau fenomena yang dapat
memiliki beberapa nilai (variasi nilai). Variabel yang dikumpulkan harus mengacu
pada tujuan dan kerangka konsep (Sudibyo dan Rustika, 2013). Dalam penelitian ini
menggunakan satu variabel yaitu Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur
Ektremitas Bawah dalam Melaksanakan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya
Tahun 2015.
2. Definisi operasional
Definisi operasional adalah batasan dan cara pengukuran variabel yang akan
diteliti. Definisi operasional (DO) variabel disusun dalam bentuk matrik, yang berisi:
nama semua variabel yang diteliti pada kerangka konsep penelitian, deskripsi variabel
(DO), alat ukur, hasil ukur dan skala ukur yang digunakan. Definisi operasional
dibuat untu memudahkan dan menjaga konsistensi pengumpulan data,
menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel
(Sudibyo dan Rustika, 2013).
-
35
Tabel 13
Definisi Operasional Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah Dalam Melaksanakan Range Of Motion (ROM)
di RSUD Wangaya Denpasar
Tahun 2015
No Variabel Sub Variabel Definisi
operasional
Alat
ukur
Cara
pengumpu
lan data
Skala
ukur
1 2 3 4 5 6 7
1 Gambara
n
Perilaku
Gambaran
perilaku
pasien post
op fraktur
ekstremitas
bawah dalam
melaksanaka
n ROM.
Perilaku
adalah semua
kegiatan atau
aktivitas
pasien post
op fraktur
dalam
melaksanaka
n ROM yang
terdiri dari
tiga domain :
kuesio
ner
Dengan
pengisian
lembar
kuesioner
Ordinal.
1. Sangat
baik:
jika
respon
den
mamp
u
menja
wab
denga
n
benar
85%-
100%
pertan
yaan
yang
diberi
kan.
2. Baik:
-
36
jika
respon
den
mamp
u
menja
wab
denga
n
benar
70%-
84%
pertan
yaan
yang
diberi
kan.
3. Cukup
: jika
respon
den
mamp
u
menja
wab
denga
n
benar
55%-
-
37
69%
pertan
yaan
yang
diberi
kan.
4. Kuran
g: jika
respon
den
mamp
u
menja
wab
denga
n
benar
40-
54%
pertan
yaan
yang
diberi
kan.
5. Sangat
kuran
g: jika
respon
den
-
38
mamp
u
menja
wab
denga
n
benar
-
39
ROM
c. Fungsi
ROM
d. Gerakan
ROM
mampu
menjawab
dengan
benar
70%-84%
pertanyaa
n yang
diberikan.
3.Cukup:
jika
responden
mampu
menjawab
dengan
benar
55%-69%
pertanyaa
n yang
diberikan.
4.Kurang:
jika
responden
mampu
menjawab
dengan
benar 40-
54%
pertanyaa
n yang
-
40
diberikan.
5.Sangat
kurang:
jika
responden
mampu
menjawab
dengan
benar
-
41