proposal skripsi awal
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SDM DARI SUDUT PANDANG KARYAWAN
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KOMITMEN UNTUK BERUBAH DAN
PERSEPSI TENTANG KESUKSESAN IMPLEMENTASI PERUBAHAN: Study
pada karyawan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk, Sragen
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini diikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin pesat, hal ini
mengakibatkan semakin meningkat dan beragam pula tuntutan terhadap pemuas
kebutuhan manusia. Kondisi ini melahirkan persaingan yang semakin tinggi dalam
dunia bisnis, menyebabkan dunia usaha menjadi sangat kompetitif, iklim bisnis yang
selalu berubah dan tidak pasti. Maka mau tidak mau perusahaan harus menghadapi
kenyataan ini bahwa persaingan semakin hari akan semakin ketat. Ketika pangsa
pasar yang dikuasai terus tergerogoti, timbul pertanyaan apa yang yang harus
diperbaharui, diperbaiki, diganti, atau dikembangkan; yang semuanya bermuara
kepada satu kata : perubahan. Demikian pula perubahan iklim bisnis dan perubahan
teknologi sering memaksa organisasi untuk beradaptasi.
Perusahaan memang harus menghadapi persaingan itu dengan melakukan
perubahan organisasi. Menghindari perubahan dapat berdampak kepada
membesarnya resiko, merosotnya pemasukan, dan dapat berujung kepada
kebangkrutan. Beberapa manfaat yang seringkali melandasi tindakan perubahan
adalah agar tetap survive dan tumbuh, memperbesar daya saing, serta
meningkatkan citra dan reputasi perusahaan.
Terdapat sederet alasan mengapa perusahaan harus melakukan perubahan
tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat beberapa alasan utama yang menjadi
pendorong mengapa perusahaan harus melakukan perubahan yaitu berkaitan
dengan adanya driving force faktor eksternal. Faktor tersebut bisa berupa faktor
ekonomi (contohnya adalah mempertahankan pangsa pasar, tekanan persaingan,
dan iklim bisnis yang berubah), politik, sosial budaya. dan perkembangan teknologi.
Driving force tersebut dapat berimplikasi positif ataupun negatif bagi
organisasi. Supporting driving force terjadi manakala perubahan eksternal
memberikan dampak yang menguntungkan organisasi, dan resisting driving force,
manakala perubahan eksternal berdampak kurang menguntungkan organisasi.
Adapun perubahan organisasi itu sendiri akan ditentukan oleh tingkat
ketidakpuasan, tingkat kematangan dari rencana untuk perubahan, biaya perubahan
dan tingkat keinginan untuk berubah. Apabila biaya untuk perubahan dari
institusi melebihi dari ketiga hal tersebut, maka perubahan organisasi sulit untuk
dilakukan.
Kesiapan berubah (change readiness) mempunyai fokus terhadap dua hal,
yaitu kompetensi yang mendukung perubahan dan komitmen untuk berubah.
Tujuannya adalah mengidentifikasi kesiapan anggota organisasi dalam melakukan
perubahan, serta mengklarifikasi konsekuensi-konsekuensi perubahan. Lantas dari
mana kita akan memulai perubahan dan hal apa saja yang perlu dirubah? Apakah di
level pimpinan, level menengah ataupun level bawah? Aspek manakah yang perlu
dirubah? Apakah strategi, struktur, atau budaya, atau perilakunya yang perlu
dirubah? Mengembangkan kesiapan untuk berubah terkait erat dengan kesiapan
manusianya (people readiness) yang bertumpu pada membangun kompetensi dan
komitmen. Untuk itu perlu dukungan dari sisi budaya perusahaan, dan
kepemimpinan yang dapat mendukung perubahan ini. Sementara itu para pakar
berpendapat bahwa perubahan perlu dilakukan dimulai dari level pimpinan, karena
merekalah penentu kebijakan. Ibarat kapal, maka nahkoda kapal yang membawa
kemana kapal akan berlabuh. Namun demikian level manajemen menengahlah yang
berdampak pada sukses tidaknya perubahan. Karena merekalah yang menjadi
penghubung antara level atas dan bawah dari suatu organisasi. Ketika suatu
perubahan dilakukan, maka perlu dipastikan bahwa level menengah suatu
organisasi mempunyai pondasi yang cukup kuat untuk mendukungnya. Sehingga
secara umum bisa dikatakan harus ada komitmen perubahan yang kuat dari semua
level organisasi.
Di dalam sebuah organisasi perusahaan, komitmen perubahan di semua level
organisasi sebagai syarat adanya perubahan organisasi dipengaruhi oleh aktivitas-
aktivitas manajemen SDM baik di level pimpinan maupun di level karyawan. Di level
pimpinan, kualitas hubungan dengan atasan sangat mempengaruhi bagaimana
hubungan pimpinan dan karyawan terjalin, yang pada gilirannya juga akan
berpengaruh bagaimana komitmen perubahaan bisa dibangun (Purcell et al dalam
Conway & Monks, 2008). Selama perencanaan untuk melakukan perubahan,
kualitas hubungan karyawan dengan atasan mempunyai peranan penting untuk
mengembangkan penerimaan dan keterlibatan karyawan.
Di level karyawan, kebijakan-kebijakan manajemen SDM berpengaruh pada
tingkat komitmen karyawan untuk berubah. Penelitian yang dilakukan oleh
Herscovitch & Meyer (dalam Conway & Monks, 2008) merekomendasikan beberapa
kebijakan-kebijakan MSDM seperti training, partisipasi dan empowerment yang
mendukung dan diidentifikasikan dengan sikap terhadap perubahan yang kemudian
meningkatkan komitmen afektif untuk berubah. Komitmen normatif untuk berubah
karyawan akan semakin meningkat juga karena persepsi karyawan bahwa
organisasi akan memenuhi kewajibannya kepada mereka, barangkali melalui
persyaratan keikutsertaan dalam kebijakan-kebijakan MSDM seperti keamanan
kerja, pelatihan dan kesempatan pengembangan karir. Sebagai tambahan bahwa
proses komunikasi yang efektif adalah elemen vital untuk suksesnya inisiatif
terhadap perubahan (Armenakis & Haris, dalam Conway dan Monks, 2008). Secara
umum, banyak literatur menunjukkan bahwa tingkat kepuasan karyawan di tentukan
oleh aspek-aspek: pengembangan karir dan ketrampilan, manajemen kinerja,
otonomi, komunikasi, training, staffing, sistem reward, job security dan team work.
Persepsi kepuasan karyawan tentang kebijakan-kebijakan manajemen SDM dan
kualitas hubungan atasan dan bawahan pada gilirannya akan berpengaruh pada
komitmen mereka terhadap perubahan (Boselie, Kinnie et al, Kiffen-Peterson &
Cordery dalam Conway & Monks, 2008).
Banyak studi empiris yang menghubungkan antara komitmen terhadap
perubahan dengan organizational outcomes. Diantaranya adalah dampak dari
komitmen perubahan pada individual learning (Teare & Rayner dalam Parish et al,
2008) dan perceived implementation success (Patton and Mc. Callman dalam Parish
et al, 2008). Learning didefinisikan sebagai proses creation-knowledge yang mana
interpretasi informasi tersebut berperan penting dalam merubah perilaku. Learning
merupakan bagian dari proses perubahan. Pekerja yang punya komitmen untuk
berubah yang tinggi lebih dimungkinkan berusaha belajar dari proses. Pekerja yang
loyal berusaha untuk berkontribusi dan melihat hasil usaha mereka, dan mereka
melakukan itu melalui pembelajaran (Teare & Rayner dalam Parish et al, 2008).
Noble dan Mokwa (dalam Parish et al, 2008) mengidentifikasikan
implementation succes sebagai outcome utama dari komitmen untuk suatu strategi
dan mendefinisikannya sebagai tingkat dimana pengimplementasian usaha-usaha
dipertimbangkan akan berhasil oleh organisasi. Pekerja dengan tingkat komitmen
perubahan yang tinggi dihubungkan secara positif dengan implementation success
yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya kinerja organisasi secara
keseluruhan.
Salah satu praktek perubahan organisasi yang lazim terjadi di perusahaan-
perusahaan berskala lokal adalah perubahan dari organisasi perusahaan dengan
manajemen tradisional berbasis keluarga menjadi organisasi perusahaan dengan
manajemen profesional. Jarang sekali perusahaan dengan manajemen keluarga
bisa bertransformasi menjadi organisasi yang dikelola secara profesional.
Perubahan yang lebih besar lagi seperti perluasan usaha, konglomerasi, perubahan
kompetensi yang harus dimiliki oleh seluruh anggota organisasi, perubahan budaya,
struktur atau perilaku terkadang mempunyai kendala yang cukup besar. Kendala
terbesar dari kegagalan perubahan itu antara lain resistensi yang kuat dari pekerja
yang sudah terbiasa dengan pola rutinitas yang telah ada sebelumnya. Dari pihak
organisasi perlu untuk mengetahui kebijakan-kebijakan SDM apa yang berdampak
pada komitmen karyawan untuk berubah karena itu akan berpengaruh pada
kesuksesan implementasi perubahan yang berdampak pada peningkatan kinerja
organisasi secara keseluruhan.
Pentingnya mengetahui persepsi kepuasan karyawan terhadap kebijakan-
kebijakan SDM, bisa menjadi masukan berharga bagi organisasi karena hasil
penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa pada kenyataannya, hanya beberapa
aspek saja yang dominan dalam menentukan tingkat kepuasan karyawan pada
kebijakan-kebijakan SDM (Conway & Monks, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa
untuk mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi, tidak harus selalu dilakukan
dengan memperhatikan seluruh aspek tersebut di atas, tetapi bisa dilakukan dengan
skala prioritas, sesuai dengan harapan para karyawan di perusahaan tersebut.
Dari uraian tersebut di ataslah penelitian ini diarahkan. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat dari dekat perspektif karyawan terhadap kebijakan-kebijakan
manajemen SDM mana yang menjadi prioritas mereka yang berpengaruh kuat
terhadap komitmen perubahan para karyawan yang pada gilirannya akan
berpengaruh pada persepsi mereka tentang kesuksesan implementasi perubahan
tersebut.
Perusahaan yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah PT Tiga Pilar, Tbk di
Sragen. PT Tiga Pilar, Tbk ini merupakan salah satu perusahaan bidang manufaktur,
yang sudah mengalami transformasi dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan
profesional, dan sedang memperluas usahanya dalam berbagai bidang bisnis yang
berkaitan maupun tidak dengan core bisnis sebelumnya, yang mana menuntut
karyawan untuk berubah dalam hal kompetensinya dari yang semula sebagai
spesialis menjadi lebih generalis dan dari yang semula hanya singletasking menjadi
multitasking. Kebijakan-kebijakan manajemen SDM didesain dan diarahkan untuk
mendukung perubahan tersebut.
Dari penelitian ini diharapkan bisa didapatkan hasil skala prioritas kebijakan-
kebijakan manajemen SDM yang dipersepsikan karyawan bisa meningkatkan
komitmen perubahan para karyawan di PT Tiga Pilar Sejahtera, Tbk. Dari hasil
tersebut perusahaan diharapkan bisa berkonsentrasi pada prioritas tersebut,
sehingga cost untuk kebijakan manajemen SDM yang harus dikeluarkan bisa lebih
efisien dengan hasil yang optimal. Selain itu dari penelitian ini juga akan didapatkan
bagaimana pengaruh komitmen perubahan tersebut berdampak pada perceived
implementation success dari program-program dan strategi yang dilakukan
perusahaan.
Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini bisa pula diadopsi atau diadaptasi oleh
perusahaan-perusahaan berskala lokal lain yang mirip dengan PT Tiga Pilar
Sejahtera, Tbk. Dengan demikian semakin banyak perusahaan dengan menajemen
keluarga yang sukses menjalani transformasi menjadi perusahaan profesional dan
siap untuk survive dan bahkan menjadi perusahaan yang lebih kompetitif di era
persaingan bebas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana persepsi karyawan terhadap penerapan kebijakan manajemen
SDM pada perusahaan PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.?
2. Bagaimanakah tingkat komitmen karyawan untuk berubah dan perceived
implementation success karyawan di PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.?
3. Apakah kebijakan manajemen SDM di PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.
berpengaruh pada komitmen karyawan untuk berubah?
4. Kebijakan manajemen SDM mana yang mempunyai pengaruh paling besar
terhadap komitmen untuk berubah pada karyawan di PT TIGA PILAR
SEJAHTERA, Tbk.?
5. Apakah komitmen untuk berubah karyawan di PT TIGA PILAR SEJAHTERA,
Tbk. mempengaruhi perceived implementation success mereka?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui persepsi karyawan tentang penerapan kebijakan
manajemen SDM pada perusahaan PT TIGA PILAR SEJAHTERA,Tbk.
2. Untuk mengetahui gambaran tentang seberapa besar tingkat komitmen
karyawan untuk berubah, pada PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.
3. Untuk mengetahui gambaran tentang seberapa besar perceived
implementation success karyawan PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.
4. Untuk mengetahui kebijakan manajemen SDM mana yang mempunyai
pengaruh paling signifikan terhadap komitmen untuk berubah pada karyawan
PT TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk.
5. Untuk mengetahui apakah komitmen untuk berubah pada karyawan PT TIGA
PILAR SEJAHTERA, Tbk. berpengaruh pada perceived implementation
success mereka.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur tambahan bagi
penelitian tentang manajemen SDM khususnya topik pengaruh kebijakan
manajemen SDM pada komitmen terhadap perubahan dan organization
outcomesnya seperti perceived implementation success yang masih belum
banyak diteliti.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi organisasi khususnya PT Tiga Pilar
Sejahtera, Tbk. untuk melihat dari dekat perspektif karyawan terhadap
kebijakan manajemen SDM mana yang menjadi prioritas mereka yang
berpengaruh kuat terhadap komitmen perubahan para karyawan yang pada
gilirannya akan berpengaruh pada persepsi mereka tentang kesuksesan
implementasi perubahan tersebut.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kebijakan Manajemen SDM
Kebijakan Manajemen SDM mempunyai peran sentral dalam
hubungan pertukaran antara manajemen organisasi dan karyawannya.
Melalui kebijakan-kebijakan manajemen SDM ini karyawan memperoleh
informasi penting tentang organisasi dan secara umum organisasi bisa
melihat mereka. Penelitian mengenai hubungan antara kebijakan SDM dan
kinerja telah banyak dipelajari lebih dari 10 tahun terakhir. Tetapi penelitian
tentang peran kebijakan-kebijakan SDM terhadap komitmen karyawan untuk
berubah masih relatif sedikit ( Conway & Monks, 2008). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Conway & Monks (2008), kebijakan-kebijakan
manajemen SDM yang punya pengaruh terhadap komitmen karyawan untuk
berubah mempunyai beberapa dimensi yaitu kebijakan manajemen karir dan
kinerja, otonomi, komunikasi, pelatihan, staffing, kompensasi, keamanan kerja
dan juga teamwork. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat pengaruh
kualitas hubungan dengan atasan pada komitmen perubahan. Penelitian ini
akan menggunakan seluruh dimensi dari kebijakan-kebijakan manajemen
SDM yang dikemukakan oleh Conway & Monks tersebut.
2. Manajemen kinerja/karir
Manajemen kinerja adalah proses mengkonsolidasikan penetapan
tujuan, penilaian dan pengembangan kinerja kedalam sistem tunggal
bersama yang bertujuan memastikan kinerja karyawan mendukung tujuan
strategis perusahaan (Dessler, 2003). Pengelolaan kinerja merupakan
aktivitas sumberdaya manusia strategis yang mempunyai arti penting bagi
karyawan dan organisasi. Dari sudut pandang organisasi pengelolaan kinerja
digunakan untuk memastikan kesesuaian antara apa yang diharapkan oleh
organisasi dan hasil kerja karyawan sesuai dengan deskripsi dan spesifikasi
jabatan yang ada. Dari sudut pandang karyawan, program ini merupakan hak
yang selayaknya diterima sebagai konsekuensi tanggungjawab yang diterima,
sehingga dapat mengukur kemampuan, kontribusi dan pengembangan yang
harus dilakukan.
Pemanfaatan manajemen kinerja oleh organisasi disebabkan
beberapa hal:
a. Makin populernya konsep Total Quality Management yang beragumen
bahwa kinerja karyawan lebih merupakan fungsi dari pelatihan,
komunikasi, alat dan pengawasan daripada motivasi pribadi.
b. Penilaian kinerja tradisional sering tidak berguna tetapi juga kontra
produktif.
c. Dapat mengenali lingkungan industri yang kompetitif. Dengan pendekatan
manajemen kinerja yang terintegrasi untuk memberikan pedoman,
pengembangan, dan penilaian karyawan membantu usaha peningkatan
secara terus menerus oleh pengusaha.
Inti dari manajemen kinerja adalah pemikiran bahwa upaya karyawan
harus memiliki tujuan yang jelas. Dua hal yang terkait adalah 1) manajer
harus menilai karyawan berdasar bagaimana orang tersebut melakukan
tugas-tugasnya sesuai dengan pencapaian standar tertentu yang diinginkan
oleh karyawan. 2) Tujuan dan standar kinerja harus sesuai dengan tujuan
strategis perusahaan.
Beberapa pedoman agar tujuan manajemen kinerja tercapai adalah:
a. Menugaskan tujuan yang spesifik.
b. Menugaskan tujuan yang terukur.
c. Menugaskan tujuan yang menantang tapi realistis untuk dilakukan.
d. Mendorong partisipasi.
Penilaian kinerja salah satunya digunakan sebagai dasar untuk
pengelolaan karir karyawan. Manajemen karir adalah proses untuk membuat
karyawan dapat memahami dan mengembangkan dengan lebih baik keahlian
dan minat karir mereka dan untuk memanfaatkan keahlian dan minat tersebut
dengan cara yang paling efektif (Dessler, 2003). Menurut Greenhause &
Callanan (dalam Anakwe et al., 2000) manajemen karir fokus pada empat
indikator yaitu pembelajaran diri, pengaturan tujuan, strategi karir dan
pembuatan keputusan berkarir.
a. Pembelajaran diri
Merupakan pembelajaran pada diri seseorang yang meliputi memahami
seseorang, menilai dan fungsi mereka dalam organisasi.
b. Pengaturan tujuan
Memberikan pandangan tentang masa depan, merangsang untuk
bergerak demi mencapai kepuasan.
c. Strategi berkarir
Aktivitas untuk mengimplementasikan perencanaan karir.
d. Pembuatan keputusan berkarir
Menimbulkan pilihan untuk membuat keputusan kompleks yang
berpengaruh pada karakteristik individu dan kondisi luar organisasi.
Kebanyakan seorang karyawan mendapatkan pekerjaannya/karirnya yang
sekarang ini secara kebetulan. Mitchell et al (dalam Conger, 2002)
menyebutkan lima keahlian yang harus dimiliki seorang karyawan agar
mengenali, membuat, dan menggunakan kesempatan sebagai peluang karir
mereka, yaitu:
a. Keingintahuan
Menyelidiki dan menggali kesempatan untuk belajar hal yang baru.
b. Ketekunan
Tetap terus berusaha walaupun mengalami kemunduran.
c. Fleksibilitas
Merubah sikap dan keadaan sekitar.
d. Optimis
Melihat peluang baru sebagai hal yang mungkin dan dapat dicapai.
e. Berani mengambil risiko
Tetap melakukan aksi walaupun dihadapkan dengan suatu keadaan yang
belum tentu dapat diperkirakan hasilnya.
Peningkatan karir menjadi salah satu yang memotivasi pekerja untuk
bisa berkinerja dengan baik dan tetap tinggal di organisasi. Keberhasilan
peningkatan karir sangat tergantung pada sikap atasan, pengalaman,
pendidikan dan tanggung jawab individu. Adanya budaya pengembangan
karir yang positif di suatu organisasi dapat membantu organisasi dalam
menghadapi beberapa permasalahan yang ada, misalnya dalam hal
produktivitas dan daya saing, kesempatan yang sama dan tindakan afirmatif,
rencana suksesi dan peramalan tenaga kerja, seleksi manajemen dan
pengembangan teknologi. Manfaat perencanaan karir adalah sebagai berikut:
a. Semua karyawan mendapat kesempatan yang sama untuk
mengembangkan ketrampilannya.
b. Semua karyawan dapat dikembangkan menurut jalur yang tepat sesuai
minat dan karakteristiknya sehingga dapat ditempatkan pada posisi yang
sesuai.
c. Pengembangan karyawan dapat berjalan secara baik, komprehensif dan
lancar.
3. Otonomi
Otonomi didefinisikan sebagai suatu ukuran dari kebebasan dan
pertimbangan oleh seorang individu dalam menentukan cara menyelesaikan
tugas yang dibebankan (Langfred, 2004). Menurut Metaal (dalam Gelderen &
Jansen, 2006) otonomi berarti bahwa individu membuat pilihan mereka
sendiri yang terpisah/independen dengan orang lain. Manajer yang memberi
otonomi kerja dipersepsikan sebagai sharing pengawasan dan dalam kondisi
pemberian otonomi yang lebih besar, pekerja cenderung untuk mempunyai
komitmen yang lebih tinggi (Dood & Ganster dalam Parish et al, 2008).
4. Komunikasi
Ketidakpastian tentang masa depan menjadi ciri dari adanya
perubahan. Keadaan ini bertambah buruk ketika sumber informasi utama
berasal dari rumor atau media daripada perubahan manajemen organisasi itu
sendiri. Karena itu peran komunikasi dalam organisasi terutama menghadapi
adanya perubahan menjadi sesuatu yang vital. Wanberg & Bannas (dalam
Chawla dan Kelloway, 2006) mengatakan bahwa meningkatnya diseminasi
informasi tentang perubahan yang diusulkan berhubungan dengan
penerimaan perubahan yang lebih besar. Oleh karena itu komunikasi yang
terbuka membantu sikap penerimaan perubahan yang lebih baik, dengan
menghilangkan ketakutan, mendidik pekerja, dan menyampaikan bagian
kompetensi pekerja yang harus disiapkan menghadapi perubahan yang
terjadi (Daly & Meyer dalam Chawla & Kelloway, 2006). Beberapa kesulitan
yang sering berhubungan dengan perubahan yang signifikan dapat dihadapi
dengan lebih mudah jika terdapat strategi tentang apa dan bagaimana
mengkomunikasikan perubahan tersebut. Proses ini seharusnya berdasarkan
pada pemahaman yang baik mengenai beberapa prinsip komunikasi
bersamaan dengan pemahaman dari proses perubahan itu sendiri (Klein,
1996). Menurut Stroh & Jaatinen (2001), manajemen komunikasi dapat
digunakan untuk mengatur hubungan antara organisasi dengan publik,
dimana kesuksesan atau kegagalan organisasi bergantung pada hal
bagaimana mengatur hubungan tersebut, terutama dalam hal negosiasi,
manajemen konflik, dan membangun suasana yang menyenangkan, dan dari
kesemuanya tersebut terdapat hubungan yang bermanfaat satu sama lain.
Menurut Klein (1996), terdapat beberapa penelitian empiris mengenai
prinsip-prinsip komunikasi yang jika digunakan secara bersama-sama dapat
menjadi suatu strategi komunikasi yang efektif, yaitu:
a. Message redundancy berhubungan dengan message retention.
b. Penggunaan beberapa media lebih efektif daripada hanya menggunakan
satu jenis media saja dalam berkomunikasi.
c. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) adalah jenis
komunikasi yang lebih disukai.
d. Garis hierarkhi organisasi adalah channel komunikasi yang paling efektif
yang dibolehkan secara organisasional.
e. Pengawasan secara langsung adalah yang diharapkan dan sumber
informasi yang paling efektif secara organisasional.
f. Pendapat dari pimpinan adalah alat perubahan yang efektif untuk
mengubah sikap dan pendapat bawahan.
g. Informasi yang sesuai secara pribadi tersimpan lebih baik daripada
informasi yang abstrak, yang tidak familiar, ataupun informasi yang umum.
5. Training
Penekanan dan penerapan program-program pelatihan dan
pengembangan karyawan kini menjadi hal yang kritis dalam rangka
pemenuhan sasaran dan tujuan perusahaan secara efektif dan efisien. Noe
(dalam Al-Emadi & J. Marquardt, 2007) mendefinisikan pelatihan sebagai
serangkaian kegiatan yang terencana sebagai bagian dari sasaran organisasi
terhadap peningkatan pengetahuan pekerjaan dan ketrampilan, atau merubah
sikap dan perilaku karyawan menggunakan cara-cara yang konsisten untuk
mencapai tujuan organisasi. Pelatihan merupakan suatu unsur yang penting
dalam proses perubahan karena pelatihan membantu sebuah organisasi
untuk berpindah dari satu hal ke hal yang lain (Lawes, 1996). Pelatihan
menyediakan kesempatan untuk melakukan empowering terhadap karyawan
dan memberikan motivasi kepada karyawan untuk lebih bekerja keras
(Kappelman & Richards, 1996).
Menurut Lawes (1996), training merupakan hal yang penting karena
beberapa alasan, diantaranya:
a. Karena tidak mempunyai semua keahlian yang dibutuhkan dalam
menjalankan suatu pekerjaan yang sedang dipegang atau karena
pekerjaan itu sendiri yang berubah.
b. Karena adanya perubahan teknologi.
c. Karena adanya perubahan struktural.
d. Untuk mempersiapkan SDM terhadap perubahan yang akan terjadi di
organisasi dengan mentransfer keahlian supaya para karyawan dapat
dipekerjakan di tempat lain.
Masih menurut Lawes (1996), terdapat dua area kunci dimana
training merupakan hal yang vital:
a. Kebutuhan terhadap adanya efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi
untuk menanggulangi beban kerja yang meningkat. Hal ini meliputi
penerapan teknologi, perubahan dalam praktek kerja, personal time
management, dll.
b. Tambahan kemampuan karyawan dengan adanya transferable skill
sehingga membuat karyawan menjadi lebih fleksibel dan marketable.
Noe dan Wilk (dalam Al-Emadi & J. Marquardt, 2007)
mengelompokkan manfaat pelatihan kedalam tiga katagori yaitu:
h. Personal benefit
i. Career benefits
j. Job-related benefit
Menurut Malthis & Jackson (2002), keuntungan yang diperoleh karyawan
setelah melakukan training adalah:
c. Peningkatan produktivitas.
d. Menurunnya kesalahan.
e. Menurunnya tingkat turnover karyawan.
f. Semakin berkurangnya keperluan untuk pengawasan kerja.
g. Kemampuan untuk meningkatkan diri.
h. Kemampuan-kemampuan baru.
i. Perubahan-perubahan sikap.
6. Staffing
Adalah proses yang dilalui organisasi untuk memastikan bahwa
organisasi telah menempatkan sejumlah pekerja dengan ketrampilan yang
tepat, di pekerjaan yang tepat dan di waktu yang tepat untuk mencapai tujuan
organisasi (Mondy & Noe, 2005). Staffing fokus pada mencocokan kapabilitas
dan kesudian calon kandidat terhadap permintaan dan reward yang melekat
dalam suatu pekerjaan (Zhu & Dowling dalam Wickramasinghe, 2006).
Staffing merupakan faktor kunci yang mempengaruhi kesuksesan sebuah
organisasi (Tanova & Williamson dalam Wickramasinghe, 2006). Kegiatan
staffing terdiri dari job analysis, perencanaan sumberdaya manusia,
rekrutmen, dan seleksi. Job analysis memiliki peran utama dalam staffing
untuk menyediakan petunjuk yang jelas mengenai keterangan-keterangan
yang berhubungan dengan suatu pekerjaan, dimana bahwa suatu pekerjaan
cocok dengan struktur organisasi secara keseluruhan dan sebuah deskripsi
mengenai jenis karyawan yang harus mengisi pekerjaan tersebut
(Wickramasinghe, 2006). Seleksi dapat menggunakan berbagai cara seperti
wawancara, presentasi, rekomendasi dan juga test khusus untuk mendukung
wawancara tersebut (Stewart & Knowles dalam Wickramasinghe, 2006).
7. Reward
Tujuan pemberian imbalan oleh organisasi adalah memotivasi
anggota organisasi, membuat kerasan pekerja yang sudah ada serta untuk
menarik orang-orang yang berkualitas (Gitosudarmo & Sudita, 1997). Reward
merupakan konsep dari strategi kompensasi yang didefinisikan sebagai
penggunaan sistem pembayaran yang disengaja sebagai suatu mekanisme
terintegrasi melalui usaha berbagai macam sub unit dan juga individu-individu
yang secara langsung berhubungan dengan pencapaian tujuan strategi
perusahaan (Gomez-Mejia & Balkin dalam Milne, 2007). Reward adalah alat
manajemen yang diharapkan akan memberikan kontribusi kepada terciptanya
efektivitas perusahaan dengan cara mempengaruhi perilaku individu atau tim
(Lawler & Cohen dalam Milne, 2007). Menurut Cacioppe (1999) reward
merupakan salah satu cara yang paling menyolok dan paling jelas yang
dilakukan oleh seorang pemimpin organisasi yang dapat digunakan untuk
mengirim sebuah pesan tentang seberapa pentingnya karyawan tersebut bagi
organisasi. Jika manajer mengingini bawahannya bekerja secara tim, manajer
harus membuat performance goal dan reward diperlakukan untuk suatu
kelompok.
Pemberian insentif, reward, dan penghargaan diberlakukan sebagai
suatu kesatuan untuk kelompok. Reward juga dapat diberikan secara
individual berdasarkan kinerja dan perilaku bawahan atau reward tersebut
tetap diberikan untuk suatu tim, tetapi kemudian dibagi kepada anggota tim
tersebut. Menurut Malthis & Jackson (2002) imbalan dapat berbentuk intrinsik
atau ekstrinsik. Imbalan intrinsik antara lain termasuk pujian yang didapatkan
atau efek psikologis dan sosial lain dari kompensasi. Sedangkan imbalan
ekstrinsik bersifat terukur, memiliki imbalan moneter maupun non moneter.
Huseman, Hatfield dan Miles (dalam Kustanti & Harsono, 2002) membagi
imbalan dalam empat kelompok yaitu:
a. System rewards
Adalah imbalan-imbalan yang muncul dari keanggotaan karyawan dalam
sebuah organisasi. Imbalan-imbalan ini berupa gaji/upah, tunjangan sosial,
promosi, kenaikan pangkat, keamanan kerja dan kondisi-kondisi kerja
umum.
b. Job rewards
Adalah imbalan-imbalan yang merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri
yang muncul dari kinerja yang nyata. Imbalan ini meliputi kepemilikan
tanggungjawab, pembuatan keputusan yang penting, penggunaan
kemampuan seseorang, pelaksanaan pekerjaan yang bermanfaat dan
pelaksanaan pekerjaan yang menantang.
c. Performance rewards
Adalah imbalan-imbalan yang merupakan hasil dari kesuksesan pekerjaan.
Imbalan-imbalan tersebut meliputi persepsi manajer tentang kecakapan,
kemampuan, prestasi, kepercayaan dan penilaian perseorangan karyawan.
d. Interpersonal rewards
Adalah imbalan-imbalan yang berupa pengakuan kerja yang baik,
hubungan kerja, status, penghargaan dan perasaan memiliki.
Menurut Cameron and Pierce (dalam Milne, 2007) reward
meningkatkan kinerja dan minat bawahan ketika reward tersebut:
a. Membuat ketergantungan pada kualitas atau kinerja atau memberikan
standar kinerja yang jelas.
b. Membuat ketergantungan terhadap kegiatan yang menantang.
c. Menjadikan bawahan memiliki penguasaan terhadap setiap komponen
dengan keahlian yang komplek.
d. Mengantarkan bawahan kepada usaha yang keras dan aktivitas yang
tinggi.
Menurut Barnard (dalam Milne, 2007) terdapat beberapa hal yang
penting untuk memastikan bahwa mekanisme reward dapat berjalan dengan
sukses, yaitu:
a. Reward dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan minat dan
kinerja karyawan.
b. Reward tidak mengurangi minat dan kinerja karyawan.
c. Verbal reward mendorong ke arah minat dan kinerja terhadap tugas yang
lebih besar.
d. Tangible reward meningkatkan motivasi ketika memberikan tawaran
kepada karyawan untuk menyempurnakan pekerjaan atau untuk mencapai
atau melampaui spesifikasi standar kinerja.
e. Reward mendorong terwujudnya kreativitas dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lainnya.
f. Sistem reward harus mendukung dinamika baru yaitu team-based
organisations dan reward merupakan jenis kompensasi yang tepat untuk
perilaku dan kinerja tim.
g. Sistem reward harus mengakui perbedaan antara kepentingan co-operation
dengan perbedaan pada kinerja individual.
h. Masalah dapat terjadi ketika sistem reward menekankan hasil secara
individual sekalipun mereka bekerja secara tim.
i. Ketika mendesain sistem reward organisasi seharusnya:
Memasukkan gain karyawan ke dalam desain reward.
Mengukur kepuasan karyawan terhadap sistem reward.
Menjamin bahwa hal ini merupakan metode untuk mencatat atau
mendokumentasikan kinerja individual maupun kinerja sebuah tim.
8. Job security
Job security didefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk memelihara
keinginan secara terus menerus dari ancaman terhadap situasi kerja
(Ashford et al dalam Chawla & Kelloway, 2004). Menurut Meltz (dalam
Yousef, 1997) job security adalah individu tetap bekerja di organisasi yang
sama tanpa penyusutan senioritas, mendapat gaji dan uang pensiun, dll. Job
security adalah sebuah determinan yang penting terhadap kesehatan
karyawan, terhadap kesejahteraan dan kesehatan secara fisik dan psikologis
karyawan, terhadap turnover karyawan, terhadap retention karyawan,
terhadap kepuasan kerja, dan terhadap komitmen terhadap organisasi
(Yousef, 1997). Isu mengenai keamanan kerja relevan dengan apakah tujuan
itu mengancam atau tidak pada pekerjaan yang ada sekarang. Bahkan ketika
layyoff bukan menjadi salah satu faktor, perubahan struktur didalam
perusahaan mengancam prestise, kekuasaan, otonomi dan karir seseorang.
Ketidakamanan kerja akan berakibat pada peran kerja, struktur organisasi,
hubungan kekuasaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
withdrawal behavior seperti absenteism, komitmen yang rendah dan turnover
intention dan mengancam kestabilan organisasi dan menimbulkan
ketidakpercayaan serta menjadi faktor penghambat komunikasi (Fiorelli &
Margolis dalam Chawla & Kelloway, 2004). Menurut Iverson (dalam Yousef,
1997) peningkatan job security akan menghasilkan tingkat komitmen
terhadap organisasi yang lebih besar. Dan sebaliknya adanya job insecurity
akan menurunkan tingkat komitmen organisasi dan kinerja karyawan
(Rosenblatt and Ruvio, 1996).
9. Teamwork
Teamwork didefinisikan sebagai sebuah kelompok yang anggota-
anggotanya memiliki ketrampilan yang saling melengkapi dan berkomitmen
untuk sebuah tujuan tertentu atau kumpulan tujuan-tujuan kinerja yang mana
mereka memegang diri mereka sendiri secara bertanggungjawab dan saling
menguntungkan untuk mencapai tujuan dan berbagi leadership didalam
mencapainya (Greenberg & Baron, 2000). Katzenbach & Smith (dalam Chen
Kuo, 2004) mendefinisikan team sebagai kumpulan sekelompok orang yang
mempunyai cita rasa yang sama yang bertujuan untuk mencapai tujuan dan
tanggungjawab yang sama. Teamwork merupakan point kunci terhadap high
performance works (HPW) system (Jirjahn & Kraft, 2008).
10. Kualitas hubungan dengan atasan
Tujuan organisasi mempekerjakan seorang karyawan adalah agar
tujuan-tujuan organisasi itu dapat dicapai melalui hasil kerja karyawan-
karyawan yang ada di dalam organisasi itu. Untuk memastikan bahwa
pekerjaan dilakukan sesuai dengan standar, aturan, atau pedoman yang telah
ditetapkan, organisasi mempekerjakan atasan karyawan yang akan
mengarahkan, membimbing dan mengawasi agar pekerjaan berjalan sesuai
dengan tujuan-tujuan organisasi. Karena sifat pekerjaan atasan seperti itu,
maka interaksi antara atasan dan bawahan menjadi sangat intens. Jika terjadi
ketidakharmonisan dalam hubungan itu, maka hubungan itu akan dapat
mengganggu aktivitas kerja sehari-hari.
Hubungan pekerja dalam organisasi menentukan persepsi mereka
terhadap kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi. Selama perencanaan
perubahan, kualitas hubungan karyawan dengan atasan mempunyai peranan
penting untuk mengembangkan penerimaan dan keterlibatan karyawan.
Thurou (dalam Parish et al, 2008) mengemukakan ada tiga komponen
kualitas hubungan dengan atasan yaitu kepuasan dengan atasan,
kepercayaan dengan atasan dan komitmen hubungan dengan atasan.
Kepuasan adalah penilaian bawahan bahwa hubungan organisasional
adalah menguntungkan dan saling mengisi. Kepercayaan digambarkan
sebagai kepercayaan tentang integritas dan reliabilitas seseorang.
Sedangkan komitmen didefinisikan sebagai keyakinan bahwa hubungan
tersebut menjamin hal tersebut tetap terpelihara (Morgan & Hunt, Churchil
dalam Parish et al, 2008).
11. Komitmen terhadap perubahan
Untuk dapat memahami tentang konsep komitmen pada perubahan
perlu didefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komitmen
organisasi. Komitmen organisasi adalah suatu identifikasi yang kuat dengan
keterlibatannya dalam organisasi (Janice & Barbara, 2005). Komitmen
menurut Meyer dan Allen (dalam Parish et al, 2008) komponennya dapat
dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Komitmen afektif
Menunjukkan wujud kasih sayang terhadap organisasi yang menunjukkan
keinginan kuat untuk diidentifikasikan dengan organisasi dan keterlibatan
karyawan dalam organisasi
b. Komitmen berkelanjutan
Merupakan kesadaran akan biaya yang ditanggung bila karyawan keluar
dari perusahaan (pekerja tetap tinggal dalam organisasi karena mereka
memerlukan beberapa personal investment seperti keuntungan pensiun,
senioritas, dsb)
c. Komitmen Normatif
Merefleksikan nilai kesetiaan individu secara umum pada organisasi
dimana pada komitmen ini karyawan merasa berkewajiban untuk tetap
tinggal dalam organisasi meskipun kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan yang lebih baik tersedia dimana-mana.
Hersovict dan Meyer (dalam Parish et al 2008) mengembangkan tiga
komponen komitmen tadi kedalam model komitmen organisasi untuk
perubahan. Komitmen afektif untuk perubahan merupakan keinginan untuk
mendukung perubahan. Komitmen berkelanjutan untuk perubahan didasarkan
pada pengakuan bahwa akan banyak biaya yang keluar jika seseorang
resistance terhadap perubahan. Sedangkan komitmen normatif untuk
berubah merefleksikan perasaan kewajiban untuk mendukung adanya
perubahan.
12. Perceived implementation success
Sukses merupakan suatu hal yang multidimensional dan beberapa
aspeknya tidak dapat digeneralisasi terhadap inovasi secara keseluruhan
(Linton dalam Ungan, 2006). Pada kenyataannya, tidak terdapat konsensus
ataupun pengukuran dari implementation success. Sebagai contoh, dapat
digunakannya persepsi mengenai sukses dari seorang manajer (Taylor &
Wright dalam Ungan, 2006). Szulanski (dalam Ungan, 2006)
mengimplikasikan bahwa proses pengadopsian yang bebas masalah adalah
sebuah kesuksesan. Goodman and Griffith (1991) mengembangkan perilaku
sebagai alat ukut kesuksesan. Sebagai contohnya, jika pengguna yang
menggunakan teknologi yang baru menunjukkan sikap yang positif, maka
implementasi terhadap teknologi tersebut adalah sukses. Noble dan Mokwa
(dalam Parish et al, 2008) mengidentifikasikan implementation succes
sebagai outcome utama dari komitmen untuk suatu strategi dan
mendefinisikannya sebagai tingkat dimana pengimplementasian usaha-
usaha dipertimbangkan akan berhasil oleh organisasi. Pekerja dengan
tingkat komitmen perubahan yang tinggi dihubungkan secara positif dengan
implementation success yang pada akhirnya akan berdampak pada
meningkatnya kinerja organisasi secara keseluruhan.
KERANGKA PEMIKIRAN:
Sumber: Conway & Monks ( 2008) dan Parish et al (2008)
Commitment to Change
Perceived implementation
success
Otonomi
Komunikasi
Training
Staffing
Reward
Job Security
Team Work
Manajemen Karir & Kinerja
Kualitas Hubungan dengan Atasan
F. HIPOTESIS
1. Pengaruh kebijakan-kebijakan MSDM pada komitmen untuk perubahan
Penelitian yang dilakukan oleh Kinny (dalam Conway dan Monks, 2008)
menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan Manajemen SDM berpengaruh pada
komitmen untuk perubahan pada tiga level karyawan yaitu manajer, profesional
maupun karyawan.
H1: Kebijakan MSDM yang terdiri dari manajemen kinerja, training, otonomi,
komunikasi, staffing, reward, teamwork, job security dan kualitas hubungan
dengan atasan berpengaruh secara signifikan pada komitmen untuk
perubahan
2. Kebijakan-kebijakan MSDM yang paling berpengaruh terhadap komitmen
untuk berubah
Penelitian yang dilakukan oleh Conway dan Monks (2008) menghasilkan temuan
bahwa hanya tiga kebijakan MSDM yang berpengaruh pada komitmen untuk
perubahan yaitu komunikasi, staffing dan reward.
H2: Komunikasi, staffing dan reward adalah dimensi-dimensi dari aktivitas-
aktivitas Manajemen SDM yang punya pengaruh paling signifikan pada
komitmen untuk berubah.
3. Pengaruh komitmen untuk berubah pada perceived implementation
success
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Noble dan mobkwa (dalam Parish et al,
2008) menyebutkan bahwa pekerja dengan tingkat komitmen perubahan yang
tinggi dihubungkan secara positif dengan perceived implementation succes .
H4: Komitmen untuk perubahan berpengaruh positif pada perceived
implementation success
G. METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain survei yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data pokok.
2. Populasi, Sampel dan teknik pengambilan sampel
Populasi adalah keseluruhan kelompok orang, kejadian, minat yang
ingin diinvestgasi oleh peneliti (Sekaran, 2000). Populasi dalam penelitian ini
adalah karyawan perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera, Tbk .
Sampel adalah sebagian populasi yang terdiri dari anggota yang dipilih
dari populasi (Sekaran, 2000). Tujuan penggunaan sampel adalah agar
mampu menarik kesimpulan dari penggeneralisasian populasi yang dijadikan
obyek penelitian. Ukuran sampel minimal dalam penelitian ini adalah 100
responden.
Teknik pengambilan sampel menggunakan proporsional random
sampling. Yaitu teknik pengambilan sampel dengan membagi populasi
kedalam beberapa sub populasi secara proporsional dan dilakukan secara
acak
3. Definisi operasional
a. Variabel Independen
1) Kepuasan terhadap penerapan kebijakan-kebijakan MSDM
dikembangkan dari kuesioner penelitian Irish (dalam Conwaw & Monks).
Respon didasarkan pada lima skala Likert dengan rentang sangat tidak
setuju (1) sampai dengan sangat setuju (5). Terdiri dari 7 item
pertanyaan tentang manajemen karir dan kinerja, 4 item pertanyaan
tentang otonomi, 5 pertanyaan tentang komunikasi, 5 item pertanyaan
tentang pelatihan, 4 item pertanyaan tentang staffing, 2 item pertanyaan
tentang kompensasi dan 1 item pertanyaan tentang keamanan kerja.
Definisi operasional masing-masing dimensi adalah sebagai berikut:
a) Manajemen karir dan kinerja
Mengukur kepuasan pekerja terhadap manajemen karir dan kinerja
diperusahaan seperti bagaimana kinerja mereka dikelola, informasi
tentang karir dan kesempatan-kesempatan karir yang ada,
kesempatan untuk menggunakan skill dan kemampuan yang dimiliki.
b) Otonomi
Adalah suatu ukuran dari kebebasan dan pertimbangan seorang
individu dalam menentukan cara menyelesaikan tugas yang
dibebankan.
c) Komunikasi
Mengukur tentang kepuasan terhadap sistem dan proses
komunikasi dalam perusahaan seperti ketersediaan informasi,
sistem penanganan komplain, penanganan peristiwa-peristiwa
seperti bullying/harassment.
d) Training
Mengukur kepuasan pekerja terhadap program-program pelatihan
yang diselenggarakan oleh organisasi seperti training yang diterima,
kesempatan untuk memperoleh pelatihan dan pendidikan yang
dibutuhkan untuk pekerjaan mereka, dukungan finansial,
kesempatan untuk bisa mengambil keputusan tentang pelatihan
yang diperlukan dan tingkat pelatihan yang disediakan untuk staff
baru.
e) Staffing
Mengukur persepsi karyawan terhadap pekerjaannya sekarang
seperti beban kerja, perlengkapan dan material yang dibutuhkan
untuk melakukan kerja, usaha yang diberikan oleh organisasi, serta
kesempatan untuk bisa bekerja lebih fleksibel.
f) Employee reward
Mengukur persepsi karyawan tentang keluasan kompensasi yang
diterima yang merefleksikan apa yang telah mereka kontribusikan
dan paket-paket tunjangan yang diterima
g) Job security
Perasaan ada tidaknya ancaman kepada salah satu fitur pekerjaan
dan persepsi ketidakmampuan atau tidak adanya kontrol terhadap
seluruh kejadian yang mengancam salah satu total pekerjaan, fitur
pekerjaan atau situasi kerja
h) Teamwork
Mengukur tentang kesempatan pekerja untuk bekerja dan merupakan
bagian dari suatu tim.
i) Kualitas hubungan dengan atasan
Diukur dengan tiga komponen kualitas hubungan dengan atasan
yaitu kepuasan dengan atasan, kepercayaan dengan atasan dan
komitmen hubungan dengan atasan. Kepuasan adalah penilaian
bawahan bahwa hubungan organisasional adalah menguntungkan
dan saling mengisi. Kepercayaan digambarkan sebagai kepercayaan
tentang integritas dan reliabilitas seseorang. Sedangkan Komitmen
didefinisikan sebagai keyakinan bahwa hubungan tersebut menjamin
hal tersebut tetap terpelihara. Item-item pertanyaan dikembangkan
dari kuesioner Morgant & Hunt (dalam Parish et al, 2008) untuk
dimensi komitmen dan kepercayaan pada atasan, dan untuk dimensi
kepuasan pada atasan menggunakan kuesioner dari Anadelb, dan Li
& dan (dalam Parish, et al 2008).
b. Variabel Dependen
1) Komitmen untuk Perubahan
Ada tiga komponen komitmen tadi kedalam model komitmen organisasi
untuk berubah. Komitmen afektif untuk berubah merupakan keinginan
untuk mendukung perubahan. Komitmen berkelanjutan untuk berubah
didasarkan pada pengakuan bahwa akan banyak biaya yang keluar jika
seseorang resistance terhadap perubahan. Sedangkan komitmen
normatif untuk berubah merefleksikan perasaan kewajiban untuk
mendukung adanya perubahan. Komitmen untuk berubah menggunakan
kuesioner dari herscovitch dan Meyer (2002) yang terdiri dari 11 item
pertanyaan.
2) Perceived implementation success
Diukur dengan menggunakan kuesioner dari Noble & Mokwa (dalam
Parish et al, 2008). Yang terdiri dari tiga item pertanyaan yang mengukur
persepsi mereka tentang kesuksesan implementasi dari perubahan yang
diterapkan dalam organisasi.
4. Sumber data dan teknik pengambilan data
a. Data primer
Adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung ditempat penelitian
yang menjadi obyek. Data primer diperoleh dari jawaban kuesioner yang
diberikan langsung pada responden
b. Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber-sumber
lain yang digunakan untuk melengkapi data primer.
5. Metode Analisis data
a. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah analisis data dengan cara mengubah data
mentah menjadi bentuk yang lebih mudah dipahami dan diintrepretasikan.
Analisis ini menggambarkan profil dan tanggapan responden terhadap
kuesioner yang diberikan.
b. Uji Validitas
Validitas menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari operasi-
operasi mengukur apa yang seharusnya diukur (Jogiyanto, 2007).
Penelitian ini menggunakan Confirmatory Factor analysis (CFA).
c. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana
suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua
kali atau lebih. Reliabilitas suatu pengukuran mencerminkan apakah suatu
pengukuran dapat terbebas dari kesalahan (error), sehingga memberikan
hasil pengukuran yang konsisten pada kondisi yang berbeda dan pada
masing-masing butir dalam instrumen (Sekaran, 2000). Untuk mengukur
reliabilitas dari instrumen penelitian ini dilakukan dengan item-to-total
correlation dan Cronbach’s Alpha dengan bantuan program komputer
SPSS 13.0. Nilai Cronbach Alpha antara 0,80 – 1,0 dikategorikan
reliabilitas baik., nilai 0,60 – 0,79 dikategorikan reliabilitasnya dapat
diterima., nilai ≤ 0,60 dikategorikan reliabilitasnya buruk (Sekaran, 2000).
Menurut Hair et al. (1998) suatu instrumen dinyatakan reliabel jika hasil
koefisien Cronbach’s Alpha menunjukkan nilai ≥ 0,70.
d. Uji kesesuaian model
1) Normalitas data
Asumsi yang paling fundamental dalam analisis multivariate
adalah normalitas, yang merupakan bentuk suatu distribusi data pada
suatu variabel metrik tunggal dalam menghasilkan distribusi normal
(Hair et al. dalam Ghozali dan Fuad, 2005). Apabila asumsi normalitas
tidak dipenuhi dan penyimpangan normalitas tersebut besar, maka
akan mengakibatkan hasil uji statistik yang bias.
Untuk menguji asumsi normalitas, maka dapat digunakan
nilai statistik z untuk skewness dan kurtosisnya. Jika nilai z, baik z
kurtosis dan/atau z skewness adalah signifikan (kurang dari 0,05 pada
tingkat signifikansi 5%), maka dapat dikatakan bahwa distribusi data
tidak normal. Sebaliknya, jika nilai z, baik z kurtosis dan/atau z
skewness tidak signifikan (lebih dari 0,05 pada tingkat signifikansi 5%),
maka dapat dikatakan bahwa distribusi data normal. Dalam penelitian
ini uji normalitas dihitung dengan bantuan program komputer AMOS
4.01.
2) Evaluasi outlier
Outliers adalah observasi atau data yang memiliki karakteristik
unik yang terlihat sangat berbeda jauh dari observasi-observasi lainnya
dan muncul dalam bentuk nilai ekstrim, baik untuk sebuah variabel
tunggal atau variabel kombinasi (Hair et al. dalam Ferdinand, 2002). Uji
terhadap multivariate outliers dilakukan dengan menggunakan kriteria
Jarak Mahalanobis pada tingkat p<0,001. Jarak Mahalanobis itu
dievaluasi dengan menggunakan 2 pada derajat bebas sebesar
jumlah variabel yang digunakan dalam penelitian (Ferdinand, 2002).
Evaluasi outliers ini dilakukan dengan bantuan program komputer
AMOS 4.01.
3) Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah ditemukan
adanya korelasi antar variabel independen dalam model. Ada tidaknya
multikolinearitas dapat dilihat melalui matrik korelasi antar variabel
independen. Jika antar variabel independen ada korelasi yang cukup
tinggi (di atas 0,9), maka hal ini merupakan indikasi adanya
multikolinearitas (Ghozali, 2005). Pengujian multikolinearitas dilakukan
dengan bantuan program komputer AMOS 4.01.
e. Uji Hipotesis
Pembuktian hipotesis yang dikemukakan menggunakan Structural
Equation Modelling (SEM). Analisis Structural Equation Modelling (SEM)
merupakan gabungan dari dua metode statistik yang terpisah yaitu
analisis faktor (factor analysis) yang dikembangkan dalam Ilmu Psikologi
dan Psikometri dan model persamaan simultan (Simultaneous Equation
Modelling) yang dikembangkan di Ekonometrika. Pengujian yang
dilakukan meliputi:
1. Analisis kesesuaian model (Goodness-of-fit)
Model struktural dikategorikan sebagai “good fit”, bila memenuhi
beberapa persyaratan berikut ini:
a) Memiliki degree of freedom (df) positif
b) Nilai level probabilitas minimum yang disyaratkan adalah 0,1 atau
0,2, tetapi untuk level probabilitas sebesar 0,05 masih
diperbolehkan (Hair et al, 1998)
c) Mengukur chi-square ( ) statistic untuk memastikan bahwa tidak
ada perbedaan antara matriks kovarian data sampel dan matriks
kovarian populasi yang diestimasi. Nilai chi-square ( ) sangat
sensitif terhadap besarnya sampel dan hanya sesuai untuk ukuran
sampel antara 100 – 200. Jika lebih dari 200, maka chi-square ( )
statistic ini harus didampingi alat uji lainnya (Hair et al; Tabachnick
dan Fidell dalam Ferdinand, 2002). Model yang diuji akan
dipandang baik bila nilai -nya rendah dan diterima berdasarkan
probabilitas dengan cut-off value sebesar p > 0,05 atau p > 0,01,
sehingga perbedaan matriks aktual dan yang diperkirakan adalah
tidak signifikan (Hair et al; Hulland et al dalam Ferdinand, 2002).
d) CMIN/DF, adalah statistik chi-square dibagi DF-nya, yang umumnya
dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu indikator untuk
mengukur tingkat fitnya sebuah model. Nilai yang diterima adalah
kurang dari 2 atau bahkan kurang dari 3 (Arbuckle dalam
Ferdinand, 2002).
e) Menguji kesesuaian model dengan beberapa indeks tambahan,
seperti: Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted Goodness of Fit
Index (AGFI), Tucker-Lewis Index (TLI), Comparative Fit Index
(CFI), dan Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA).
Indeks-indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan sebuah
model dapat diringkas dalam tabel berikut ini:
Goodness-of-fit Indices
Goodness-of-fit Indices Cut-off Value
Chi-square ( ) Diharapkan kecil
Significance Probability (p)
CMIN/DF
GFI
AGFI
TLI
CFI
RMSEA
Sumber: Ferdinand (2002), Ghozali (2004)
2. Analisis koefisien jalur
Analisis ini dilihat dari signifikansi besaran regression weight model.
Kriteria bahwa jalur yang dianalisis signifikan adalah apabila memiliki
nilai C.R nilai t tabel. Pedoman umum nilai t tabel untuk sampel lebih
besar dari 100 dengan level signifikasi 5% adalah + 1,96 (Ghozali dan
Fuad, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Emadi Mohammed Asad Shareef & J. Marquardt Michael, (2007) Relationship between employees beliefs regarding training benefits and employee’s organizational commitment in a Petroleum company in State of Qatar, International Journal of Training and Development, 11-1: 49-70
Anakwe Uzoamaka. P, Hall James. C & Schor Susan M. (2000). Knowledge-Related Skills and Effective Career Management, International Journal of Manpower, (21)7: 566-579
Chawla Anuradha & Kellowey, E. Kevin (2004). Predicting Openness and Commitment To Change, The Leadership Organization Development journal, 25 -6: 485-498
Chen Kuo, Chia (2004). Research on Impact of Leadership on team effectiveness. Journal of Academy American Business Cambridge
Conway Edel & Monks Kathy (2008). HR Practices and Commitment To Change: an Employee-Level analysis, Human Resources Management Journal (18)1:72-89
Dessler, Gary, (2005), Human Resources Management, Pearson Prentice Hall
Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen: Aplikasi Model-Model Rumit dalam Penelitian untuk Tesis Magister & Disertasi Doktor. Semarang: BP Undip.
Gitosudarmo, Indriyo & I Nyoman Sudita, (1997). Perilaku Organisasi. Yogjakarta: BPFE-UGM
Ghozali, Imam., 2004, Model Persamaan Struktural, Konsep dan Aplikasi dengan
Program AMOS Ver. 4.0, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, I dan Fuad. 2005. Structural Equation Modelling: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.5. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Greenberg J., & Baron R.A.,2000 Behavior in Organization: Understanding and Managing The Human Side of Work, 7th Edition. New Jersey: Prentice hall, Inc
Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham. R.L & Black. W.C. 1998. Multivariate Data Analysis. Upper Saddle River: Prentice Hall International Inc.
Janice, Anna Knights & Barbara. 2005. Psychological Contract Violation: Impacts on Job Satisfaction and Organizational Commitment Among Australian Senior Publict Servants. Aplied H.R.M Research, (10) 2: 57-72
Jogiyanto H.M, 2007, Metodologi Penelitian Bisnis : Salah kaprah dan pengalaman-pengalaman, BPFE Yogjakarta
Kustanti Ratri Veronika & Harsono Mugi. 2002. Hubungan antara Strategi-Strategi Manajemen Konflik yang Digunakan Oleh Atasan Dan Imbalan-Imbalan (Rewards) Yang Diterima Oleh Bawahan (Studi Replikasi Dan Ekstensi), Journal Bisnis dan Manajemen, (2) 2:96-106
Langfred, W. Claus. 2004. Too Much of A Good Thing? Negative Effects of High Trust and Individual Autonomy in Self-Managing Teams. Academy of Management Journal, 47, 385-399
Malthis Robert. L & Jackson John H. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia., Penerbit Salemba
Mondy, R Wayne & Noe Robert M. 2005. Human Resource Management , Pearson Prentice hall
Parish, Janet Turner., Cadwallader Susan., & Busch Paul .2008. Want to, Need to, Ought to Employee Commitment to Organizational Change. Journal of Organizational Change Management 21 (1): 32-52
Sekaran, Uma. 2000. Research Methods For Business: A Skill Building Approach (3rd Ed). USA: John Willey and Sons.