proposal penelitian kulit kambing_revisi2

Upload: rubi-anto

Post on 01-Mar-2016

157 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

peternakan

TRANSCRIPT

  • PROPOSAL PENELITIAN

    PENYAMAKAN KULIT KAMBING MENGGUNAKAN KOMBINASI

    BAHAN PENYAMAK NABATI MIMOSA DENGAN VARIASI ASAM

    TERHADAP KUALITAS KULIT SAMAK

    Oleh :

    RUBIANTO

    11022028

    PROGAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS AGROINDUSTRI

    UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

    YOGYAKARTA

    2015

  • ii

    USULAN PENELITIAN

    PENYAMAKAN KULIT KAMBING MENGGUNAKAN KOMBINASI

    BAHAN PENYAMAK NABATI MIMOSA DENGAN VARIASI ASAM

    TERHADAP KUALITAS KULIT SAMAK

    Yang diajukan oleh:

    RUBIANTO

    11022028

    Telah disetui oleh:

    Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

    Dr. Ir. Sri Hartati Candra Dewi, M.Si. Ir. Lukman Amin, M.P.

    Yogyakarta, April 2015

    Dekan Fakultas Agroindustri

    Universitas Mercu Buana Yogyakarta

    Ir. Wafit Dinarto, M.Si.

  • iii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

    DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv

    BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

    1.1. Latar Belakang Penelitian ............................................................ 1

    1.2. Tujuan Penelitian ......................................................................... 2

    1.3. Manfaat Penelitian ....................................................................... 3

    BAB II. TINJAUN PUSTAKA ....................................................................... 4

    2.1. Histologi Kulit .............................................................................. 4

    2.2. Kulit Kambing ............................................................................. 8

    2.3. Penyamakan Nabati ...................................................................... 10

    2.4. Bahan Samak Nabati .................................................................... 17

    2.5. Asam ............................................................................................. 18

    2.6. Tingkat Kematangan .................................................................... 20

    2.7. Kekuatan Tarik dan Mulur ........................................................... 21

    2.8. Kekuatan Sobek ............................................................................ 21

    2.9. Hipotesis ....................................................................................... 22

    BAB III. MATERI DAN METODE ............................................................. 23

    3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 23

    3.2. Materi Penelitian ........................................................................ 23

    3.3. Metode Penelitian ....................................................................... 23

    3.4. Analisis Data .............................................................................. 29

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 31

  • iv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Potongan melintang kulit segar ..................................................... 5

    Gambar 2. Sketsa bagian-bagian kulit ............................................................ 8

    Gambar 3. Bagan proses penyamakan nabati ................................................. 12

    Gambar 4. Betuk sampel uji kekuatan tarik dan mulur ................................... 28

    Gambar 5. Bentuk sampel uji kekuatan sobek model lidah ............................ 29

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Kulit akan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dan

    mutu yang baik apabila dilakukan pengolahan; salah satunya adalah dengan

    penyamakan. Perkembangan penyamakan kulit dapat dikatakan sangat

    signifikan. Penyamakan adalah suatu proses memodifikasi protein dalam kulit,

    sehingga ketahanan terhadap panas, pendegradasian enzimatis, dan kekuatan

    termomekanikalnya lebih stabil. Dalam industri penyamakan kulit terdapat

    tiga tahapan proses, yaitu proses basah (beam house operations), proses

    penyamakan (tanning), pasca penyamakan, dan penyelesaian akhir (finishing)

    (Said, 2012).

    Kulit sebagai salah satu hasil sampingan dari pemotongan ternak

    mempunyai nilai ekonomis tinggi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan

    dan teknologi, kulit telah dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan

    manusia, antara lain untuk membuat tas, dompet, jaket dan produk-produk

    kerajinan kulit yang lain. Kulit sapi, kerbau, domba dan kulit kambing yang

    selama ini digunakan dalam industri penyamakan kulit jumlahnya terbatas

    (Mustakim et al., 2010).

    Produk kulit yang baik, dipengaruhi oleh perlakuan pada saat sebelum

    penyamakan, saat proses penyamakan dan pada saat pengujian. Perlakuan

    penyamakan kulit akan memperbaiki sifat-sifat kulit, antara lain kulit lebih

  • 2

    tahan terhadap panas, pengaruh kimia dan aktivitas mikroorganisme serta

    meningkatkan kekuatan dan kelenturan kulit samak (Mustakim et al., 2010).

    Penyamakan bertujuan untuk merubah kulit mentah yang mudah rusak

    oleh aktivitas mikroorganisme, reaksi kimia dan atau kerusakan fisik menjadi

    kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut.

    Penyamakan kulit secara umum dapat dibagi menjadi empat, yaitu

    penyamakan nabati, penyamakan sintetis, penyamakan mineral, dan

    penyamakan minyak (Said, 2012).

    Penyamak nabati (condensed vegetable tannages) seperti mimosa,

    quebracho, dan gambier merupakan bahan penyamak non mineral yang

    dihasilkan dari sumber daya alam terbarukan dan bersifat ramah lingkungan.

    Mimosa dihasilkan dari kayu dan kulit kayu Acacia mearnsii dan A. mangium;

    quebracho dari kayu Schinopsis lorentzii dan S. balansae; dan gambier dari

    daun dan ranting pohon Uncaria gambier (Suparno et al., 2010).

    1.2. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan penyamak

    nabati mimosa yang dikombinasikan dengan variasi beberapa asam (asam

    formiat (HCOOH), asam cuka (CH3COOH), dan asam salisilat (C7H6O3))

    terhadap tingkat kematangan, kekuatan tarik dan mulur, dan kekuatan sobek.

  • 3

    1.3. Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tentang salah

    satu bahan penyamak yang digunakan dalam teknologi penyamakan kulit,

    khususnya bagi mereka yang tertarik dan mendalami teknologi penyamakan

    kulit serta bagi mahasiswa pada umumnya dan diharapkan dapat dijadikan

    sebagai acuan untuk dilaksanakannya penelitian lebih lanjut

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Histologi Kulit

    Kulit merupakan organ tunggal dengan berat sekitar 10% dari berat badan.

    Kulit pada kambing beratnya sekitar 8 12% dari berat badannya. Kulit pada

    ternak mempunyai fungsi antara lain melindungi hewan dari pengaruh luar,

    melindungi jaringan yang ada di bawahnya, memberi bentuk, menerima

    rangsang dari lingkungan, dan mengatur suhu tubuh. Kulit ternak pada

    dasarnya sama yaitu tersusun dari jaringan yang secara histologi terdiri dari

    epidermis, korium atau dermis, dan jaringan-jaringan lain yang terdapat di

    dalamnya. Sifat fisik kulit mentah dipengaruhi oleh keadaan ternak waktu

    masih hidup, sifat-sifat tersebut dibawa pula setelah kulit mengalami

    pengawetan dan penyamakan. Setiap jenis kulit ternak mempunyai

    karakteristik sendiri-sendiri. Karakteristik kulit dipengaruhi oleh jenis ternak,

    bangsa, iklim, dan pakan (Soeparno et al., 2011).

    Struktur alami kulit ternak sangat penting bagi kulit samak yang

    dihasilkan. Kulit dari berbagai jenis ternak mempunyai struktur yang berbeda

    sehingga kulit samak masing-masing jenis ternak mempunyai keunikan

    sendiri-sendiri. Histologi kulit segar sangat penting bagi penyamak dan ahli

    kimia kulit samak, dan yang lebih penting lagi adalah perubahan-perubahan

    struktur yang terjadi ketika kulit diubah menjadi kulit samak (Soeparno et al.,

    2011).

  • 5

    Gambar 1. Potongan melintang kulit segar (Soeparno et al., 2011)

    Keterangan:

    A. Epidermis

    B. Akar rambut

    C. Kelenjar sebasea

    D. Kelenjar keringat

    E. Pembuluh darah arteri

    Gambar potongan melintang kulit saat tiba di pabrik penyamakan kulit

    pada umumnya telah berubah banyak dengan kulit segar yang baru dilepas

    dari tubuh ternak. Pada gambar 1 menampilkan semua struktur kulit yang

    diperoleh dengan berbagai pengecatan untuk menunjukkan masing-masing

    jaringan yang ada. Potongan melintang tertentu memperlihatkan sejumlah

    jaringan yang selanjutnya dapat dibagi-bagi lagi (Soeparno et al., 2011).

    Secara histologi kulit hewan mamalia mempunyai struktur yang sama, yang

    terdiri dari tiga lapisan. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, korium dan

    hipodermis/subkutis (Purnomo, 1985).

    Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tersusun dari beberapa lapisan

    lagi dan merupakan lapisan sel-sel epitel. Susunan lapisan dari permukaan ke

    dalam lapisan tersebut adalah stratum korneum, stratum insidum, stratum

    granulosum dan stratum germinativum. Pada lapisan epidermis ini tidak

    terdapat pembuluh darah, jadi zat makanannya diperoleh dari pembuluh darah

  • 6

    limpa yang terdapat di korium. Sel-sel epitel ini tidak hanya tumbuh menjadi

    epidermis, tetapi juga dapat menjadi rambut, kelenjar sudoriferous dan

    kelenjar sebaseus. Menurut (Purnomo, 1985) epidermis merupakan lapisan

    yang paling atas yang memiliki ketebalan 1%, keras (merupakan sel-sel

    tua/mati), dan akan hilang bersama-sama bulunya pada proses pengapuran dan

    pembuangan bulu.

    Korium atau derma adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan diubah

    menjadi kulit samak. Korium terdiri atas jaringan kolagen, elastin dan

    retikulin (Judoamidjojo, 1981). Kolagen adalah protein utama pada jaringan

    ikat. Jaringan ikat terdapat hampir di semua komponen tubuh ternak

    (Soeparno et al., 2011). Korium bukan merupakan sel-sel, akan tetapi

    merupakan serabut-serabut yang tersusun sebagai anyaman halus yang

    dipersatukan menjadi berkas-berkas korium. Serabut-serabut tersebut

    merupakan serabut kolagen yang di dalam air akan membengkak serta pada

    pemanasan menghasilkan gelatin (terutama bila dipanaskan dengan asam dan

    basa kuat). Lapisan korium akan semakin padat dan kuat bila binatangnya

    semakin tua (Purnomo, 1985).

    Kolagen merupakan bagian terbesar atau penyusun utama serta bagian

    pokok pembentuk kulit samak (Judoamidjojo, 1981). Jaringan serat kolagen

    ini tersusun secara tidak beraturan. Sarafnya menuju ke segala arah dan tidak

    terdapat ujung pangkalnya serta bercabang-cabang. Sepotong serat kolagen

    sebenarnya terdiri dari serabut-serabut yang lebih kecil yang disebut fibril-

    fibril. Diantara fibril-fibril tersebut terdapat substansi interfibril yang

  • 7

    merupakan semacam protein cair yang larut dalam alkali. Dalam proses

    persiapan penyamakan substansi ini dibuang dengan maksud melonggarkan

    tenunan untuk memudahkan proses penyamakan. Lapisan korium terdiri dari

    dua lapisan yaitu pars papilaris dan pars retikularis. Pars papilaris sangat

    penting karena lapisan ini menentukan rupa dari kulit. Pada lapisan ini

    terdapat rajah (grain layer) yang tipis tetapi kuat yang merupakan batas antara

    lapisan epidermis dan lapisan korium. Pars retikularis sebagian besar

    merupakan tenunan kolagen, tenunan lemak, elastin, dan retikulin

    (Nurwantoro, 2003).

    Subkutis (hipodermis) berfungsi sebagai penghubung antara bagian kulit

    dengan bagian daging binatang. Serat-seratnya horizontal dan sedikit, maka

    mudah dilepas dari kulitnya. Ruang-ruang subkutis biasanya terisi dengan

    jaringan lemak. Seperti halnya lapisan epidermis, lapisan subkutis ini juga

    akan dihilangkan pada proses pengapuran (buang daging) (Purnomo, 1985).

    Lapisan subkutis biasanya dimanfaatkan sebagai hasil ikutan untuk membuat

    lem atau rambak (Nurwantoro, 2003).

  • 8

    Gambar 2. Sketsa bagian-bagian kulit (Suardana, 2008)

    Keterangan:

    A. Daerah Pipi

    B. Daerah Pundak

    C. Daerah Krupon

    D. Daerah Badan

    E. Daerah Pinggul

    F. Daerah Perut

    Menurut luasnya, bagian yang paling luas adalah bagian krupon bagian

    perut dan kaki, kemudian bagian leher dan pundak, dan yang terkecil adalah

    bagian ekor. Menurut kekuatannya, bagian yang paling kuat adalah bagian

    krupon, perit, pundak, leher, kaki, dan ekor (Purnomo, 1985).

    2.2. Kulit Kambing

    Kambing dengan sifat alaminya sangat cocok dibudidayakan di daerah

    pedesaan yang sebagian besar penduduknya adalah petani berpenghasilan

    rendah. Sebab ternak kambing memiliki sifat dapat beranak kembar dan

    fasilitas serta pengolahnnya lebih sederhana dibandingkan dengan ternak

    ruminansia besar. Berdasarkan data Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan

  • 9

    Tahun 2013, populasi kambing untuk Daerah Istimewa Yogyakarta tahun

    2009 tercatat 308.353 ekor, tahun 2010 tercatat 331.147 ekor, tahun 2011

    tercatat 343.647 ekor, tahun 2012 tercatat 352.223 ekor, dan tahun 2013

    mencapai 381.341 ekor. Disamping daging, ternak kambing masih dapat

    memberikan hasil sampingan berupa susu, pupuk kandang, dan hasil ikutan

    yang berupa kulit.

    Hasil ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah kulit. Kulit

    kambimg merupakan bahan baku yang tidak hanya dibutuhkan oleh industri

    besar, tetapi juga dibutuhkan oleh industri kecil yang memproduksi hasil

    kerajinan kulit. Cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan potensi kulit

    kambing sebagai komoditas, yaitu pengawetan kulit dan penyamakan kulit

    (Murtijo, 1993).

    Kulit mentah yang telah mengalami proses produksi lebih lanjut menjadi

    kulit hasil olahan memiliki sifat lebih tahan terhadap perubahan kimia maupun

    fisik. Secara kimia susunan, susunan kimia kulit telah mengalami perubahan

    dimana zat-zat kimia yang mudah mengalami hidrolisis seperti lemak pada

    kulit menjadi lebih stabil, begitu juga protein yang asalnya mudah dijadikan

    media hidup oleh mikroorganisme telah berubah menjadi senyawa-senyawa

    yang tidak disukai oleh mikroorganisme, selain itu kulit hasil olahan juga

    memiliki daya tahan terhadap perubahan fisik seperti perubahan suhu,

    kelembaban, gesekan, dan lain-lain (Gumilar et al., 2010).

    Berdasarkan SNI 06-2738-1992 tentang kulit kambing mentah basah, yang

    dimaksud kulit kambing mentah basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil

  • 10

    pemotongan ternak kambing, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari

    seluruh bagian dagingnya, baik yang segar maupun yang digarami.

    Persyaratan kulit kambing menurut SNI tersebut adalah berbau khas kulit

    kambing, warna merata, segar/cerah, bersih dan tidaak ada warna yang

    mencurigakan, bulu tidak rontok, dalam penentuan ukuran kulit dipergunakan

    lebar kulit atau panjang kulit dalam cm/feet square.

    2.3. Penyamakan Nabati

    Secara umum penyamakan kulit memiliki tiga tahapan yaitu, (1) tahap

    pendahuluan (beam house operation) yang meluputi perendaman,

    pembuangan lemak, pengapuran, buang bulu, buang daging, pengapuran

    ulang, buang kapur, pengikisan protein, dan pengasaman, (2) tahap

    penyamakan, dan (3) tahap finishing yang meliputi pemeraman, pemerahan,

    pengetaman, penetralan, pengecatan dasar, peminyakan, fiksasi, pengurangan

    kadar air, perataan rajah, pengeringan, pembasahan kembali, pelemasan,

    pementangan, pengamplasan, pengecatan tutup, dan pengkilapan (Said, 2012).

    Penyamakan bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak

    oleh aktivitas mikroorganisme, khemis atau phisis, menjadi kulit tersamak

    yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme

    penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu yang

    disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga

    terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit.

  • 11

    Seperti kita ketahui bahwa kulit mentah baik yang berasal dari hewan

    seperti sapi, kerbau, kambing, maupun reptil merupakan jaringan kolagen.

    Kolagen merupakan protein yang mudah rusak apabila terlalu asam atau

    terlalu basa, serta mudah rusak oleh mikroorganisme. Akan tetapi apabila

    kolagen tersebut bereaksi dengan zat penyamak, baik zat penyamak yang

    berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati), zat penyamak mineral (misalnya

    krom), zat penyamak minyak atau zat penyamak sintetis, kulit akan lebih

    tahan terhadap pengaruh asam, basa, dan mikroorganisme (walaupun tidak

    mutlak), serta sifat phisik kulit akan berubah menjadi lebih baik bila

    dibandingkan dengan kulit mentahnya (seperti sifat kelemasannya, ketahanan

    terhadap panas/dingin, gesekan, dan lain-lainnya) (Purnomo, 1991).

    Penyamakan nabati dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak

    yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sistem penyamakan ini sebenarnya

    sudah lama dilakukan oleh nenek moyang kita, walaupun dengan cara yang

    sangat sederhana yang kemudian berkembang hingga saat ini (Purnomo, 1992)

    Kulit yang disamak nabati umumnya berwarna coklat muda atau

    kemerahan sesuai dengan warna bahan penyamak. Ketahanan fisiknya

    terhadap panas kurang baik dibandingkan dengan kulit yang disamak krom

    walaupun lebih baik bila dibandingkan dengan kulit yang disamak dengan

    minyak atau formaldehyde. Kulitnya agak kaku, tetapi empuk, cocok untuk

    digunakan sebagai bahan dasar ikat pinggang, tas terutama yang

    pengerjaannya dengan tangan (Purnomo, 1992).

  • 12

    Proses penyamakan nabati harus diusahakan tidak terkena benda-benda

    yang terbuat dari besi, karena akan menyebabkan timbulnya noda-noda hitam

    pada kulit jadi. Penyimpanan zat penyamak nabati sebaiknya dilakukan

    ditempat yang tertutup, sebab jika terkena udara terbuka, zat penyamak akan

    berubah menjadi coklat gelap (Purnomo, 1992).

    Kulit awet kering

    Perendaman

    (Soaking)

    Pengapuran

    (Liming)

    Pengapuran Ulang

    (Reliming)

    Buang Kapur

    (Deliming)

    Pengikisan Protein

    (Bating)

    Penghilangan Lemak

    (Degreasing)

    Pengasaman

    (Pikel)

    Penyamakan

    (Tanning Process)

    Kulit Lapis

    (Sol)

    Gambar 3. Bagan Proses Penyamakan Nabati (BBKKP, 2014)

  • 13

    Perendaman (soaking)

    Tujuan dari proses perendaman adalah untuk mengembalikan kadar air

    yang hilang selama proses pengawetan sedang berlangsung, khususnya untuk

    kulit yang diawetkan dengan cara dikeringkan, sehingga kadar airnya

    mendekati atau sama dengan kadar air kulit hewan segar yang baru dipotong,

    membersihkan kulit yang diawetkan dari bahan-bahan pengawet, dan

    membersihkan kotoran-kotoran lain yang melekat (Said, 2012).

    Hal yang harus diperhatikan bahwa untuk daerah tropis seperti di

    Indonesia, proses perendaman harus dilakukan sesingkat mungkin dalam

    upaya mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Penggunaan air dingin akan

    meminimalisir perkembangan mikroorganisme. Penggunaan air yang bersuhu

    tinggi menyebabkan kulit menjadi kendor dan serabut akan tampak sangat

    besar (Said, 2012).

    Menurut (Yusuf, 2011) perendaman dianggap cukup apabila kulit menjadi

    lemas, lunak, tidak memberikan perlawanan dalam pegangan atau bila berat

    kulit telah menjadi 220% - 250% dari berat kulit mentah kering, yang berarti

    kadar airnya mendekati kulit segar (60% - 65%).

    Pengapuran (liming)

    Tujuannya adalah untuk menghilangkan epidermis dan bulu,

    menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak, menghilangkan zat-zat

    yang bukan kolagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak (Yusuf, 2011).

  • 14

    Dalam proses pengapuran ini akan mengakibatkan penemaran yaitu sisa-

    sisa Ca(OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang terlarut, dan bulu yang terlepas.

    Pengapuran Ulang (reliming)

    Proses ini bertujuan untuk menyempurnakan tujuan proses pengapuran

    awal. Prinsip kerjanya bahwa kapur akan mencerna sisa-sisa rambut,

    epidermis, protein globuler maupun lemak. Komponen lemak dapat

    dihilangkan dengan menggunakan pisau (Said, 2012).

    Untuk kulit yang akan disamak nabati, kapur akan bereaksi dengan tannin

    menjadi kalsium tannat yang warnanya gelap dan keras serta kulit mudah

    pecah (Yusuf, 2011).

    Buang Kapur (deliming)

    Proses buang kapur bertujuan (1) menghilangkan kapur yang terikat oleh

    kolagen dan kapur tidak terikat yang berada di antara serat kolagen, (2)

    menurunkan pembengkakan yang terjadi pada saat proses pengapuran. Prinsip

    dilakukannya proses buang kapur adalah kapur yang tertinggal di dalam kulit

    harus dihilangkan oleh karena penyamakan harus dilakukan pada suasana

    asam (Said, 2012).

    Pengikisan Protein (bating)

    Tujuan dilakukannya proses bating adalah (1) membuat agar permukaan

    (grain) pada kulit samak terlihat lebih bersih, halus dan lembut, (2) agar

  • 15

    dihasilkan kulit samak yang bertekstur lunak, lembut dan elastis serta (3)

    untuk mendegradasi lemak dan protein-protein globular. Proses bating dapat

    dilakukan di dalam drum, dimana kulit-kulit dimasukkan ke dalam drum

    kemudian ditambah dengan air sebanyak 300-400%. Kulit yang berkategori

    berat cukup ditambah air sebanyak 200-300%. Prosedur bating disesuaikan

    dengan tipe kulit dan sifat kulit samak yang diharapkan (Said, 2012).

    Penghilangan Lemak (degreasing)

    Proses ini bertujuan untuk menghilangkan lemak alami yang ada pada

    kulit (Said, 2012).

    Pengasaman (pickling)

    Tujuan dilakukannya proses pengasaman antara lain (1) menyiapkan

    kondisi kulit agar sesuai dengan kondisi larutan penyamak sehingga bahan

    penyamak mudah masuk, terdistribusi dan bereaksi dengan kolagen kulit, (2)

    menetralkan sisa-sisa kapur dan menghilangkan flek-flek besi yang berasal

    dari Na2S saat dilakukan proses pengapuran. Proses dihentikan bila pH telah

    mencapai 3-3,5. Produk kulit yang telah mengalami proses pengasaman

    (pickling) disebut kulit pikel (Said, 2012).

    Pikel adalah suatu cairan yang terdiri dari campuran antara asam dengan

    garam dapur yang berfungsi untuk mengawetkan kulit (Gumilar et al., 2010),

    dan meningkatkan kecepatan meresapnya zat penyamak sehingga dapat

  • 16

    menghindari kerusakan rajah, juga merupakan proses awal yang penting pada

    tahapan pengolahan kulit (Judoamidjojo, 1981).

    Pada prinsipnya proses pengasaman (pickle) membuat kondisi kulit

    menjadi asam, yaitu dengan menurunkan pH kulit yang semula pHnya 7

    menjadi pH 3 (Fahidin dan Muslich, 1999).

    Penyamakan (tanning)

    Tujuan dilakukannya proses penyamakan adalah untuk mengubah kulit

    mentah yang mudah busuk menjadi kulit samak yang awet, lembut dan tidak

    membengkak bila dibasahkan lagi. Kulit yang sudah diproses (soaking-

    pickling) masih dapat mengalami proses pembusukan, sehingga untuk

    mencegah hal tersebut maka kulit harus segera disamak. Kulit yang kaku

    dapat terjadi karena adanya proses yang kurang sempurna. Pada tahap

    penyamakan (tanning), proses harus dilakukan selama semalaman (overnight)

    (Said, 2012).

    Selama proses penyamakan berlangsung, terjadi reaksi antara gugus-gugus

    karboksil yang terdapat di dalam zat penyamak nabati dengan struktur

    kolagen yang diikuti oleh reaksi ikatan dari molekul zat penyamak dengan

    molekul zat penyamak lainnya sampai seluruh ruang kosong yang terdapat di

    antara rantai kolagen terisi seluruhnya sehingga kulit menjadi lebih kaku dan

    tebal (Purnomo,1992).

  • 17

    2.4. Bahan Samak Nabati

    Bahan penyamak nabati berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada beberapa

    jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat penyamak nabati seperti:

    akasia, bakau, trengguli, mahoni, pisang, manggis, mirobalan, teh dan lain-

    lainnya. Bahan penyamak nabati dalam istilah perkulitan disebut tannin.

    Bagian-bagian tanaman yang mengandung zat penyamak antara lain kulit kayu

    (babakan), kayu, buah, daun, dan akar (Purnomo dan Wazah, 1984).

    Pada tumbuhan akasia, produksi zat penyamakan terbaik jika umur

    tanaman sudah mencapai 8 tahun. Bagian tumbuhan yang banyak

    mengandung zat penyamak adalah dari kulit kayunya terutama pada bagian

    batang pohon (Purnomo dan Wazah, 1984).

    Sifat zat penyamak akasia yaitu: (1) mudah larut dalam air, (2) memiliki

    daya menyamak yang cepat, (3) tidak membentuk asam (kadar zat gula hanya

    sedikit), (4) baik untuk menyamak segala jenis kulit, (5) dapat dicampur

    dengan bahan penyamak nabati lainnya, (6) umumnya diperdagangkan sebagai

    ekstrak, (7) sifat kulit yang dihasilkannya baik, kuat, berisi, dan cukup lemas,

    (8) tidak tahan cahaya (Purnomo dan Wazah, 1984).

    Kandungan dari ekstrak akasia (mimosa) yaitu: (1) zat penyamak 70%;

    (2) zat bukan penyamak 22,5%; (3) air 5,5%; dan (4) ampas 1,50%; warna

    pada pH 1,2 merah; dan warna pada pH 2,2 kuning (Purnomo dan Wazah,

    1984).

  • 18

    2.5. Asam

    Senyawa asam dan basa banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

    Secara umum zat-zat yang berasa masam mengandung asam, misalnya asam

    sitrat pada jeruk, asam cuka, asam tartrat pada anggur, asam laktat

    ditimbulkan dari air susu yang rusak (Permana, 2009).

    Asam adalah suatu zat yang bila dilarutkan ke dalam air akan

    menghasilkan ion hidrogen (H+). Yang menyebabkan sifat asam adalah ion

    H+. Oleh karena itu, senyawa seperti etanol (C2H5OH), gula pasir (C12H22O11),

    meskipun mengandung atom hidrogen tetapi tidak bersifat asam, sebab tidak

    dapat melepaskan ion H+ ketika dilarutkan ke dalam air (Permana, 2009).

    Berdasarkan kemampuan senyawa asam untuk bereaksi dengan air

    membentuk ion H+, senyawa dibedakan menjadi asam biner, asam oksi, dan

    asam organik (Pertana, 2007). Beberapa asam organik yang digunakan dalam

    penyamakan kulit ini antara lain sebagai berikut.

    2.5.1. Asam Formiat atau Asam Format (HCOOH)

    Asam formiat (nama sistematis: asam metanoat) adalah asam karboksilat

    yang paling sederhana. Asam formiat secara alami terdapat pada semut merah,

    lebah, jelatang dan sebagainya (Riawan, 1990).

    Asam formiat termasuk ke dalam golongan asam organik. Jenis asam

    organik ini apabila dipakai dalam proses pikel, selain membantu menurunkan

    nilai pH kulit, juga gugus asam akan masuk ke dalam krom kompleks dan

  • 19

    berfungsi sebagai masker pada proses penyamakan (tanning). Penggunaan

    asam formiat menghasilkan kulit lebih halus (Gumilar et al., 2010).

    Sifat-sifat fisik dari asam formiat yaitu berbentuk cairan, tak berwarna,

    merusak kulit, berbau tajam, larut dalam H2O dengan sempurna. Sedangkan

    sifat kimianya yaitu asam formiat merupakan asam paling kuat dari asam-

    asam karboksilat, mempunyai gugus asam dan gugus aldehida (Riawan,

    1990).

    Penggunaan asam formiat antara lain untuk koagolasi lateks, bahan

    penyamakan kulit, bahan pada industri tekstil, dan sebagai fungisida. Pada

    industri kulit, asam formiat digunakan dalam proses penyamakan kulit yaitu

    sebagai bahan pembersih zat kapur dan pengatur pH saat pencelupan. Asam

    formiat digunakan untuk menetralkan kapur (deliming) agar kulit menjadi

    lebih besar dan padat. Asam formiat merupakan bahan yang mudah menguap

    sehingga tidak akan tertinggal pada serat kulit (Riawan, 1990).

    2.5.2. Asam Cuka (CH3COOH)

    Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam

    organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.

    Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis

    dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni

    (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan

    memiliki titik leleh 16,6 C dan titik didih 118 oC (Fessenden, 1986).

  • 20

    Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,

    setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam

    lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO

    -.

    Asam asetat digunakan untuk sintetis, misalnya zat warna, zat wangi, bahan

    farmasi, plastik (misal polivinil asetat), serat buatan, selulosa asetat, dalam

    makanan dan sebagainya (Riawan, 1990)

    2.5.3. Asam Salisilat (C7H6O3)

    Bentuk padat, serbuk kristal tidak berwarna atau berwarna putih tetapi jika

    dibuat dari metil salisilat alami, berwarna kuning atau merah muda, tidak

    berbau atau sedikit berbau mint, berasa manis. Penggunaan secara umum yaitu

    untuk pengawet makanan, pembuatan metil salisilat, asetil salisilat atau

    salisilat yang lain (BPOM RI, 2011).

    2.6. Tingkat Kematangan

    Tujuan dari proses penyamakan kulit adalah untuk mengubah fibril-fibril

    pada kolagen kulit menjadi masak dan berikatan dengan bahan penyamak

    sehingga kulit menjadi stabil dan tahan terhadap pengaruh fisik, kimia, dan

    mikrobiologis. Untuk menguji tingkat kematangan penyamakan kulit

    dilakukan dengan boiling test (uji suhu kerut). Suhu pengkerutan kulit

    merupakan suhu yang dicapai pada saat kulit mengkerut maksimum 0,3% dari

    panjang awal, jika kulit dipanaskan secara perlahan-lahan dalam media

    pemanas (SNI 06-7127-2005).

  • 21

    Apabila setelah dilakukan pengujian terjadi pembengkakan dan biasanya

    pada penampang lintang ada bagian yang berwarna putih transparan

    menunjukkan bahwa kulit belum masak. Ketika setelah diuji dan dinyatakan

    kulit masak, maka dapat dilakukan proses penyelesaian (finishing). Namun

    apabila kulit belum masak, maka kulit tersebut masih harus diaduk-aduk lagi

    hingga tercapai kemasakan yang sempurna, kalau perlu harus direndam satu

    malam lagi (Purnomo, 1992)

    2.7. Kekuatan Tarik dan Mulur

    Kulit mentah ataupun yang disamak diukur dan dinyatakan kekuatannya

    dengan kekuatan tarik dan kemuluran. Kekuatan tarik (kg/cm2) ialah besarnya

    beban (kg) yang dibutuhkan untuk menarik contoh kulit berukuran panjang 5

    cm, lebar 1 cm serta kecepatan penarikan 25 m/menit hingga contoh kulit

    tersebut putus. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kekuatan tarik dan

    mulur suatu kulit antara lain kadar protein, air dan lemak, kepadatan berkas

    serabut kolagen, dan keutuhan serabut kolagen. Kulit yang kuat tariknya tinggi

    pada umumnya kemuluran rendah, kuat tarik yang rendah persen

    kemulurannya selalu tinggi (Soeparno et al., 2011).

    2.8. Kekuatan Sobek

    Kekuatan sobek (tearing strength) dengan mesin uji kekuatan tarik adalah

    besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk menyobek cuplikan sampai

    sobek, dinyatakan dalam newton per cm tebal (SNI 06-1794-1990).

  • 22

    Kekuatan sobek lapisan kulit (peeling strength) dengan mesin uji kekuatan

    tarik adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk menyobek sejajar

    dengan permukaanya, dinyatakan dalam newton per cm lebar (SNI 06-1794-

    1990).

    2.9. Hipotesis

    Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh penggunaan

    kombinasi bahan penyamak mimosa dan variasi asam terhadap kualitas kulit

    samak.

  • 23

    BAB III

    MATERI DAN METODE

    3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik

    (BBKKP) Yogyakarta yang berlokasi di Jl. Sukonandi No. 9, Yogyakarta.

    Penelitian dilaksanakan selama 30 hari dimulai dari tanggal 04 Mei sampai

    dengan 06 Juni 2015.

    3.2. Materi Penelitian

    Materi yang digunakan adalah kulit kambing awetan sebanyak 4 lembar

    yang diperoleh dari penjual di daerah Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Bahan-

    bahan kimia untuk proses penyamakan dibeli dari Balai Besar Kulit, Karet

    dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta.

    3.3. Metode Penelitian

    Penelitian ini dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan

    Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan (P1, P2, P3, dan P4),

    masing-masing perlakuan diulang empat kali. Proses penyamakan pada

    penelitian ini menggunakan 25% bahan penyamak mimosa mengacu pada

    penelitian pada kulit domba yang dilakukan oleh Nasr et al., (2013) dengan

    konsentrasi terbaik menggunakan 25% mimosa dengan hasil penelitian

    kekuatan tarik sebesar 129,90 kg/cm2, kekuatan sobek 34,78 kg/cm

    2, dan

  • 24

    kemuluran 55,32 %. Hasil penelitian pada kulit kelinci samak berbulu yang

    dilakukan oleh (Mustakim et al., 2007) juga menunjukkan bahwa penggunaan

    25% mimosa memberikan hasil yang terbaik terhadap kekuatan jahit (39,511

    kg/cm) dan kekuatan sobek (6,770 kg/cm).

    Untuk variasi asam ditentukan sebesar 0,5% berdasarkan hasil penelitian

    (Mustakim et al., 2007) yang menyatakan pada proses pengasaman

    ditambahkan asam formiat (HCOOH) sebanyak 0,5%.

    Adapun perlakuannya sebagai berikut :

    P1 : Mimosa 25%

    P2 : Mimosa 25% + Asam Formiat (HCOOH) 0,5%

    P3 : Mimosa 25% + Asam Cuka (CH3COOH) 0,5%

    P4 : Mimosa 25% + Asam Salisilat (C7H6O3) 0,5%

    3.3.1. Proses Penyamakan

    a. Perendaman (Soaking)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses soaking menurut (Said, 2012)

    adalah: antibakteri 0,5%, teepol 0,3%, deterjen 1 kg, air 200% (dihitung

    dari berat kulit awal). Air yang digunakan diupayakan memiliki kesadahan

    yang rendah. Soaking dilakukan dalam drum berputar selama 1 jam. Proses

    perendaman dilakukan sampai kulit cukup lemas, penampang irisan kulit

    yang tebal berwarna putih, dan kadar air kulit mendekati kulit segar (60-

    65%).

  • 25

    b. Pengapuran (Liming)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses liming menurut (Said, 2012)

    adalah: air pelarut 400%, Ca(OH)2 5%, Na2S 4%, dispersing agent 0,25%.

    Liming dilakukan di dalam drum berputar dengan rpm yang rendah.

    c. Pengapuran Ulang (Reliming)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses reliming menurut (Said, 2012)

    adalah: air 400% dan Ca(OH)2 1-2%. Reliming dilakukan pada drum

    berputar selama 15 menit dan sesudahnya dilakukan penyimpanan selama

    semalam.

    d. Buang kapur (Deliming)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses deliming menurut (Said, 2012)

    adalah: air 200%, amonium sulfat 1%, asam formiat 0,5%. Deliming

    dilakukan dalam drum berputar.

    e. Pengikisan protein (Bating)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses bating menurut (Said, 2012)

    adalah: HCl, H2SO4 yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10

    sebanyak 0,2%, asam boraks, NH4Cl 0,7%. Proses bating dilakukan di

    dalam drum, dimana kulit-kulit dimasukkan ke dalam drum kemudian

    ditambah dengan air sebanyak 300-400%.

  • 26

    f. Penghilangan lemak (Degreasing)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses degreasing menurut (Said, 2012)

    adalah: air 100%, palcobate 0,5%, teepol 0,5%, kerosin. Proses yang

    dilakukan adalah bahan penghilang lemak ditambah 10-20% air ditambah

    0,5-1,5% emulsifier, diputar dalam drum selama 30-45 menit pada

    kecepatan 17-18 rpm dan kemucian kulit dicuci dalam larutan garam.

    g. Pengasaman (Pikel)

    Bahan yang dibutuhkan dalam proses pikel menurut (Said, 2012)

    adalah: air 125-150%, NaCl 10-12%, asam formiat yang telah diencerkan

    1:10 sebanyak 0,5%, H2SO4 yang telah diencerkan dengan perbandingan

    1:10 sebanyak 1-1,2%, dan anti bakteri 0,5%. Proses dilakukan di dalam

    drum berputar sampai dengan mencapai pH 3 - 3,5.

    h. Penyamakan (Tanning)

    Sebelum penyamakan dengan mimosa dipastikan dahulu pH mencapai

    5-6. Apabila pH belum mencapai nilai tersebut maka perlu penambahan

    soda kue untuk menaikkan pH. Pada proses penyamakan dilakukan dengan

    mimosa 25% dengan cara mimosa dibagi menjadi empat tahap dengan

    setiap tahap dengan memberikan mimosa 6,25%. Setelah proses dengan

    mimosa selesai kemudian dilanjutkan dengan pemberian asam sesuai

    dengan variasinya masing-masing.

  • 27

    3.3.2. Uji Tingkat Kematangan

    Untuk menguji tingkat kematangan dilakukan dengan uji kerut (boiling

    test), yaitu dengan cara mengambil sampel kulit ukuran 2 x 2 cm untuk

    direbus dan bila bentuknya tidak mengalami perubahan berarti kulit yang

    disamak telah matang.

    Untuk mengetahui presentase kematangan kulit samak dapat dihitung

    dengan rumus kematangan penyamakan sebagai berikut:

    Tingkat kematangan=

    x 100%

    3.3.3. Uji Kekuatan Tarik dan Mulur

    Menurut SNI 06-1795-1990, prosedur pengujian kekuatan tarik dan

    kemuluran adalah sebagai berikut.

    a) Cuplikan dikondisikan pada suhu 25oC dan RH 63% - 67% selama 24

    jam.

    b) Tebal cuplikan diukur pada tiga tempat dengan alat ukur tebal kulit,

    diambil ukuran tebal yang paling kecil dari ketiga ukuran tersebut

    yang dinyatakan sebagai tebal cuplikan.

    c) Lebar cuplikan diukur pada tiga tempat dengan jangka sorong, diambil

    ukuran lebar yang terkecil dari ketiga ukuran tersebut dinyatakan

    sebagai lebar cuplikan.

    d) Mesin penguji (Tensile Strength Tester) disiapkan, cuplikan dipasang

    pada penjepit dan menguatkannya dengan kunci pengeras yang

  • 28

    tersedia. Jarum pada skala penunjuk beban dan skala kemuluran diatur

    pada angaka nol.

    e) Menjalankan mesin sampai cuplikan tertarik putus.

    f) Mengamati dan mencatat besarnya beban maksimum dan

    pertambahan panjang pada skala penunjuk.

    Gambar 4. Bentuk sampel uji kekuatan tarik dan mulur

    Berdasarkan SNI 06-1795-1989 kekuatan tarik dan kemuluran kulit

    diperoleh dengan rumus.

    Kekuatan Tarik (kg/cm2) =

    Keterangan :

    G : beban maksimal tarikan

    A : luas penampang cuplikan

    Li : panjang waktu putus

    Lo : panjang semula Kemuluran kulit (%) =

    x100%

    3.3.4. Uji Kekuatan Sobek

    Menurut SNI 06-1794-1990, prosedur pengujian kekuatan sobek (bentuk

    cuplikan model lidah) adalah sebagai berikut.

    a) Kondisi cuplikan pada kelembaban relatif 65 2% dan suhu 25 5

    0C selama 24 2 jam.

    b) Ukur tebal cuplikan.

  • 29

    c) Siapkan mesin. Pasang kedua ujung lidah cuplikan pada penjepit

    dan kuatkan dengan kunci pengeras yang tersedia.

    d) Jalankan mesin sehingga cuplikan tersobek sempurna.

    e) Catat beban tarikan pada skala penunjuk mesin uji kekuatan tarik.

    Gambar 5. Bentuk sampel uji kekuatan sobek model lidah

    Berdasarkan SNI 06-1794-1989 kekuatan sobek (bentuk cuplikan model

    lidah) kulit diperoleh dengan rumus.

    Kekuatan Sobek (kg/cm2) =

    3.4. Analisis Data

    Data yang diperoleh akan diuji dengan analisis ragam (anova) berdasarkan

    Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan empat kali

    ulangan untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap perubahan

    yang diamati. Model linear (Sastrosupadi, 1995) yang digunakan adalah

    sebagai berikut :

    Yij = + i + j + ij

    Keterangan :

    Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

  • 30

    = nilai tengah umum

    i = pengaruh perlakuan ke-i

    j = pengaruh blok ke-j

    ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

    Dari hasil yang diperoleh apabila menunjukan adanya pengaruh yang

    nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncans (UJD) yang

    bertujuan untuk mengetahui perbedaan pada perlakuan yang digunakan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Kewan 2013. Direktorat

    Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementrian Pertanian

    Republik Indonesia, Jakarta

    ______. 2011. Asam Salisilat. Sentra Informasi Keracunan nasional (SiKerNas)

    Bidang Informasi Keracunan, Badan Informasi Obat dan Makanan,

    BPOM RI, Jakarta

    ______. 2014. Sekilas Info BBKKP (Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik).

    BBKKP, Yogyakarta

    Badan Standardisasi Nasional. 2005. SNI 06-7127-2005. Cara Uji Suhu

    Pengkerutan Kulit Tersamak. Departemen Perindustrian. Jakarta

    ______. 1990. SNI 06-1794-1990. Cara Uji Kekuatan Sobek dan Kekuatan Sobek

    Lapisan Kulit. Departemen Perindustrian. Jakarta

    ______. 2012. SNI ISO 3376:2012. Kulit-Metode Uji Fisis dan Mekanis

    Penentuan Kuat Tarik dan Kemuluran. Departemen Perindustrian. Jakarta

    Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi

    Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

    Fessenden, R.J dan Fessenden, J.S, 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid 2.

    Erlangga.

    Gumilar J., W. S. Putranto. dan E. Wulandari. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam

    Sulfat (H2SO4) dan Asam Formiat (HCOOH) pada Proses Pikel Terhadap

    Kualitas Kulit Jadi (Leather) Domba Garut. Jurnal Ilmu Ternak Vol. 10

    No. 1, Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Bandung

    Judoamidjojo, R.M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Penerbit

    Angkasa, Bandung

    Murtijo, B.A. 1993. Memelihara kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah.

    Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

    Mustakim, A.S. Widati dan L. Purnaningtyas. 2007. Tingkat Persentase Tannin

    Pada Kulit Kelinci Samak Berbulu Terhadap Kekuatan Jahit, Kekuatan

    Sobek dan Kelemasan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya,

    Malang

  • Mustakim, A.S.Widati dan A.P. Kurniawan. 2010. Perbedaan Kualitas Kulit

    Kambing Peranakan Etawa (Pe) Dan Peranakan Boor (Pb) Yang

    Disamak Krom. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang

    Nasr A.I., M.M. Abdelsalam dan A.H. Azzam. 2013. Effect of Tanning Method

    and Region on Physical and Chemichal Properties of Bakri Sheep

    Leather. Egyptian Journal of Sheep and Goat Sciences, Vol. 8 (1) : 123-

    130

    Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas

    Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang

    Permana, I. 2009. Memahami Kimia 2: SMA/MA Untuk Kelas XI Semester 1 dan

    2. Departemen Pendidikan nasional. Jakarta

    Pertana, C.F. dan A. Wiyarsi. 2007. Mari Belajat Kimia: Untuk SMA-MA Kelas

    XI IPA, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

    Purnomo, E. dan Wazah. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit jilid 2. Akademi

    Teknologi Kulit. Yogyakarta.

    Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi

    Teknologi Kulit, Yogyakarta

    ________, 1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

    ________, 1991. Penyamakan Kulit Reptil. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

    Riawan, S. 1990. Kimia Organik Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta

    Said, M.I. 2012. Ilmu dan Teknologi Pengolahan Kulit. Fakultas Peternakan

    Universitas Hasanuddin, Makasar

    Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis Untuk Bidang Pertanian.

    Penerbit Kanisius. Yogyakarta

    Soeparno., R.A. Rihastuti, Indratiningsih, dan S. Triatmojo. 2011. Dasar

    Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

    Suparno, O., Covington, A.D., dan Evans, C.S., 2010. Teknologi Baru

    Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan: Penyamakan Kombinasi

    Menggunakan Penyamak Nabati, Naftol, dan Oksazolidin. Jurnal

    Teknologi Industri Peternakan, Volume 18 (2): 79-84

    Suardana, I.W. 2008. Kriya Kulit Jilid 1, Direktorat Jenderal Manajemen

    Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional,

    Jakarta

  • Yusuf, Y. 2011. Industri Penyamakan Kulit dan Dampaknya Terhadap Kesehatan

    Lingkungan. Prodi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

    Alam. UHAMKA. Jakarta