proposal awin
DESCRIPTION
proposalTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada dekade akhir abad ini mengalami
tingkat eskalasi pertumbuhan yang tinggi akan berlangsung terus dengan percepatan
yang tinggi, meskipun beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-
kota lainnya telah membangun sistem yang ketat dalam kaitannya dengan pertumbuhan
penduduk perkotaan di wilayahnya masing-masing.
Dengan adanya pertumbuhan yang pesat dan tingkat sosial yang berubah serta teknologi
kemajuan manusia berkembang, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan
penanganan secara seksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih
memadai ditinjau dari segala aspek, baik itu aspek sosial, aspek ekonomi maupun aspek
teknis. Dalam kondisi sekarang ini penangannya menjadi masalah yang kian mendesak
di kota-kota di Indonesia.
Sampah sebagai barang sisa yang tidak terpakai baik padat maupun cair dari manusia,
sehingga dengan demikian apabila masalah sampah ini tidak dapat dikelola dengan baik
maka otomatis akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya
akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Dimana kota-kota di Indonesia sampai
sejauh ini belum mampu menangani sampah ini dengan baik.
Sampah yang timbul dari perkotaan kebanyakan dari sampah organik dimana itu timbul
akibat hasil sampingan dari kebutuhan manusia seperti dari sektor pertanian dan
peternakan. Seiring dengan kemajuan teknologi, sampah bisa diolah menjadi beberapa
macam barang atau benda yang bisa dimanfaatkan kembali, salah satunya dengan
membuat sampah organik menjadi pupuk atau biogas.
Oleh karena itu, melalui penelitian ini saya akan membuat kompos padat dari sekam
padi yang didapat dari sektor pertanian dan campuran lumen (tahi sapi yang masih
1
didalam perut) dari sektor peternakan. Untuk mengurangi dampak sampah yang ada
akibat dari dua sektor tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah bagaimana potensi sekam padi dan
lumen dalam pembuatan kompos.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses pembuatan kompos dari campuran sekam padi dan lumen.
2. Mengetahui perbedaan pH sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah yang
sudah menjadi kompos.
3. Mengetahui perbedaan suhu sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah yang
sudah menjadi kompos.
4. Mengetahui perbedaan kelembaban sebelum sampah menjadi kompos dengan
sampah yang sudah menjadi kompos.
5. Mengetahui perbedaan tekstur sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah
yang sudah menjadi kompos.
6. Menguji hasil komposting dengan metode keranjang takakura
1.4 Batasan Masalah
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada :
1. Bahan utama yang dipakai adalah sekam padi dan lumen.
2. Penelitian ini bersifat skala laboratorium.
3. Reaktor yang digunakan adalah reaktor pembuatan kompos yang dibuat sendiri
4. Parameter yang akan diteliti adalah kandungan C, N dan rasio C/N, suhu, kadar air,
dan pH Kompos matang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak terpakai lagi oleh
manusia atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dan dibuang (Damanhuri,
2006). Sementara didalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang
berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai
atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang
kelingkungan (Slamet, 2002).
Sampah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang dianggap
tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan
melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya adalah bentuk sisa makanan
(sampah dapur), daun daunan, ranting pohon, kertas/karton, plastik, kain bekas, kaleng-
kaleng, debu sisa penyapuan, dsb (SNI 19-2454-2001). Sampah juga bisa diartikan
sebagai limbah yang berbentuk padat dan juga setengah padat, dari bahan organik atau
anorganik, baik benda logam maupun benda bukan logam, yang dapat terbakar dan
yang tidak dapat terbakar. Bentuk fisik benda-benda tersebut dapat berubah menurut
cara pengangkutannya atau cara pengolahannya (Rizaldi, 2008).
Menurut SNI 19-3964-1995 mengenai Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh
Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, timbulan sampah ditentukan berdasarkan
keadaan fisik rumah, pendapatan rata-rata kepala keluarga dan fasilitas rumah tangga
yang ada. Karakter sampah perkotaan dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan
2.2 Pengelolaan Sampah di Indonesia
3
Sampah merupakan masalah yang umum terjadi di kota-kota besar. Sampah
diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya eksternalitas negatif
terhadap kegiatan perkotaan. Pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan
paradigma lama yaitu kumpul-angkut-buang. Source reduction (reduksi mulai dari
sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah
ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas.
Berkaitan dengan sistem pengelolaan persampahan, dasar pengelolaan mesti
mengedepankan pada minimalisasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber
energi. Keberhasilan penanganan sampah tersebut juga harus didukung oleh tingkat
kesadaran masyarakat yang tinggi mengingat perilaku masyarakat merupakan variable
penting.
Kebijaksanaan pengelolaan persampahan memiliki landasan kuat agar sampah yang
dihasilkan dapat dikelola dengan baik. Kebijakan dapat dilakukan meliputi penurunan
senyawa beracun yang terkandung dalam sampah sejak pada tingkat produksi, minimasi
jumlah sampah, peningkatan daur ulang sampah, pembuangan sampah yang masih
memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan, dan pencemaran lingkungan dicegah
sedini mungkin.
Berdasarkan landasan tersebut, kebijaksanaan pengelolaan sampah antara lain meliputi
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah secara mandiri, pengelolaan sampah
dengan menggunakan sanitary landfill yang sesuai dengan ketentuan standar
lingkungan, dan pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber
energi.
Model pengolahan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan.
Model urugan merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah
atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini
bisa saja dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman dibawahnya,
tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor atau estetika. Model ini
umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.
4
Pengolahan sampah kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bisa
dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja
tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan
dan pembakaran ekses gas metan. Model yang lengkap ini telah memenuhi prasyarat
kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan di kota-kota besar. Namun,
sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi
keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan
masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang
dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengolah air buangan.
Meskipun demikian, ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif (Sudrajat,
2007).
2.3 Sumber - Sumber Sampah
Menurut Slamet (2002), Sumber-sumber timbulan sampah adalah sebagai berikut :
a. Sampah dari pemukiman penduduk.
Pada suatu pemukiman biasanya sampah dihasilkan oleh suatu kluarga yang tinggal
disuatu bangunan atau asrama. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya cendrung
organik, seperti sisa makanan atau sampah yang bersifat basah, kering, abu plastik
dan lainnya.
b. Sampah dari tempat – tempat umum dan perdagangan.
Tempat- tempat umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang
berkumpul dan melakukan kegiatan. Tempat–tempat tersebut mempunyai potensi
yang cukup besar dalam memproduksi sampah termasuk tempat perdagangan seperti
pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan umumnya berupa sisa–sisa
makanan, sampah kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng- kaleng serta sampah
lainnya.
c. Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah
Yang dimaksud disini misalnya tempat hiburan umum, pantai, masjid, rumah sakit,
bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah lainnya yang menghasilkan sampah
kering dan sampah basah.
5
d. Sampah dari industri
Dalam pengertian ini termasuk pabrik – pabrik sumber alam perusahaan kayu dan
lain – lain, kegiatan industri, baik yang termasuk distribusi ataupun proses suatu
bahan mentah. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah,
sampah kering abu, sisa – sisa makanan, sisa bahan bangunan.
e. Sampah Pertanian
Sampah dihasilkan dari tanaman atau binatang daerah pertanian, misalnya sampah
dari kebun, kandang, ladang atau sawah yang dihasilkan berupa bahan makanan
pupuk maupun bahan pembasmi serangga tanaman.
Berbagai macam sampah yang telah disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil saja dari
sumber- sumber sampah yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari - hari. Hal ini
menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari sampah.
2.4 Jenis– Jenis Sampah
Jenis sampah yang ada di sekitar kita cukup beraneka ragam, ada yang berupa sampah
rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah pertanian,
sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah institusi/kantor/sekolah, dan
sebagainya. Berdasarkan asalnya (Slamet, 2002), sampah padat dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut :
a. Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan – bahan hayati yang dapat
didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat
diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan
organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa – sisa makanan,
pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan
ranting.
b. Sampah Anorganik
Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan non- hayati, baik
berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang.
6
Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk–produk olahannya,
sampah plastik, sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian
besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan
(unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu
yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol
gelas, tas plastik, dan kaleng.
2.5 Berdasarkan Sifat Fisik
Berdasarkan keadaan fisiknya sampah dikelompokkan atas :
a. Sampah basah (garbage)
Sampah golongan ini merupakan sisa – sisa pengolahan atau sisa sisa makanan dari
rumah tangga atau merupakan timbulan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, yang
mempunyai sifat mudah membusuk, sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat
membusuk sehingga mudah menimbulkan bau (Slamet, 2002).
b. Sampah kering (rubbish)
Sampah golongan ini memang diklompokkan menjadi 2 (dua) jenis :
1. Golongan sampah tak lapuk. Sampah jenis ini benar-benar tak akan bisa lapuk secara
alami, sekalipun telah memakan waktu bertahun – tahun, contohnya kaca dan mika.
2. Golongan sampah tak mudah lapuk. Sekalipun sulit lapuk, sampah jenis ini akan bisa
lapuk perlahan – lahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa dipisahkan lagi atas
sampah yang mudah terbakar, contohnya seperti kertas dan kayu, dan sampah tak
mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat (Slamet, 2002).
2.6 Pengolahan Sampah
Menurut SNI 19-2454-2001 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah
Perkotaan, pengolahan sampah adalah suatu proses untuk mengurangi volume sampah
dan atau mengubah bentuk sampah menjadi yang bermanfaat, antara lain dengan cara
pembakaran , pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan dan pendaur
ulangan.
7
Sistem pengolahan sampah dapat berupa (SNI 19-2454-2001) :
a. Pengomposan
- Berdasarkan kapasitas (individual, komunal dan skala lingkungan)
- Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikroorganisme
tambahan).
b. Insenarasi yang berwawasan lingkungan
c. Daur ulang
- Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah
- Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak
d. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan
e. Biogasifikasi
Menurut Damanhuri (2006), beberapa pendekatan dan teknologi pengelolaan dan
pengolahan sampah yang telah dilaksanakan antara lain adalah :
a. Teknologi Komposting
Pengomposan adalah salah satu cara pengolahan sampah, merupakan proses
dekomposisi dan stabilisasi bahan secara biologis dengan produk akhir yang cukup
stabil untuk digunakan di lahan pertanian tanpa pengaruh yang merugikan.
Pengomposan dengan menggunakan metode yang lebih modern (aerasi) mampu
menghasilkan kompos yang memiliki butiran lebih halus, kandungan C, N, P, K lebih
tinggi dan pH, C/N rasio, dan kandungan Colform yang lebih rendah dibandingkan
dengan pengomposan secara konvensional.
b. Pengelolaan sampah mandiri
Pengolahan sampah mandiri adalah pengolahan sampah yang dilakukan oleh
masyarakat di lokasi sumber sampah seperti di rumah-rumah tangga. Masyarakat
perdesaan yang umumnya memiliki ruang pekarangan lebih luas memiliki peluang yang
cukup besar untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri. Model pengelolaan
sampah mandiri akan memberikan manfaat lebih baik terhadap lingkungan serta dapat
mengurangi beban TPA.
c. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
8
Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis
(terpadu) dari berbagai elemen (Desa, pemerintah, LSM, pengusaha/swasta, sekolah,
dan komponen lain yang terkait) dengan menjadikan komunitas lokal sebagai objek dan
subjek pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan
lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan lestari. Undang-Undang tentang pengelolaan
sampah telah menegaskan berbagai larangan seperti membuang sampah tidak pada
tempat yang ditentukan dan disediakan, membakar sampah yang tidak sesaui dengan
persyaratan teknis, serta melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di
TPA. Penutupan TPA dengan pembuangan terbuka harus dihentikan dalam waktu 5
tahun setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2008. Dalam upaya pengembangan model
pengelolaan sampah perkotaan harus dapat melibatkan berbagai komponen pemangku
kepentingan seperti pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Pemilihan
model sangat tergantung pada karakteristik perkotaan dan perdesaan serta karakteristik
sampah yang ada di kawasan tersebut.
Pengolahan sampah meliputi :
a. Urugan dan Tumpuk
Pengolahan sampah secara konvensional dilakukan dengan model urugan dan tumpuk.
Kedua metode ini sangat populer karena mudah diaplikasikan. Pada model urugan,
sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa diberi perlakuan apapun. Biasanya cara
ini diterapkan pada lokasi dengan kontribusi volume sampah tidak terlalu tinggi. Ada
beberapa catatan penting dalam perlakuan model urugan, yaitu sampah tidak dibuang
pada daerah padat penduduk, tidak menimbulkan beragam polusi (tanah, udara, dan air),
serta tidak mengganggu estetika lingkungan.
Pada model tumpukan, sampah yang dibuang perlu dilengkapi beberapa saran
pendukung sebagai prasyarat kesehatan. Sarana yang dimaksud ialah saluran air
buangan, pengolahan air buangan dan pembakaran gas metana. Penerapan pengolahan
sampah secara tumpukan di Indonesia sendiri terkadang tidak sesuai standar yang
berlaku sehingga sering timbul masalah. Namun, bagaimana pun prosesnya, dalam
jangka panjang kedua model tersebut dibatasi dan dicarikan alternatif lain karena
keterbatasan lahan.
9
b. Penghancuran
Biasanya penghancuran dilakukan ketika pengangkutan dengan menggunakan truk
sampah khusus beserta alat pencacah atau penghancur. Sampah yang berasal dari bak-
bak penampung langsung dihancurkan hingga menjadi potongan berukuran kecil. Jenis
sampah yang dihancurkan dapat dipilah menjadi rubbish, garbage, atau keduanya.
Selanjutnya, potongan sampah dimanfaatkan sebagai timbunan pada tanah datar atau
dibuang ke laut. Sampah yang dibuang ini pun harus diperhatikan dan diseleksi agar
tidak mencemari lingkungan.
c. Pembakaran Sampah
Cara lain dalam pengolahan sampah adalah pembakaran sampah. Pada skala rumah
tangga, pembakaran sampah secara manual memang praktis. Untuk sampah bervolume
besar, sebaiknya menggunakan incenerator. Akan tetapi, pembakaran dengan
menggunakan incenerator kurang efektif diterapkan, karena disebabkan oleh kadar air
sampah sangat tinggi sehingga biaya operasional untuk pembakaran sangat besar. Polusi
debu, asap, serta partikulat yang yang dikeluarkan pun mengganggu kesehatan dan
aktivitas masyarakat sekitar sehingga diperlukan solusi lain dalam penanganannya.
2.7 Kompos
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan
organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara)
maupun anaerob (tanpa bantuan udara). Pengolahan sampah dengan pengomposan
merupakan cara penumpukan sampah pada lubang kecil dalam jangka waktu tertentu
untukmenghasilkan pupuk yang alamiah atau proses dekomposisi yang dilakukan oleh
mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable.
Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah
akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sedangkan untuk
10
perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam
tanah (Simamora dan Salundik, 2006).
Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang
lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg,
dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na
dan B (Stoffella and Kahn, 2001). Pengomposan adalah proses penguraian bahan
organik secara alamiah dengan bantuan organisme pengurai. Berikut ini ialah organisme
pengurai yang terlibat dalam proses pengomposan:
Tabel 2.1 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan
Mikroba Jumlah populasi mikroba pada fase
Mesofilik < 40º C Termofilik 40º - 70º C
Bakteri
Mesofilik 108 106
Termofilik 104 109
Actinomycetes
Termofilik 104 108
Jamur
Mesofilik 106 103
Termofilik 103 107
Sumber : Stoffella and Kahn, 2001
11
Dalam proses ini organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau
bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida
(CO), serta panas yang menghasilkan uap air. Oleh karena itu, kinerja organisme
pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan
perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan
warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang
berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang.
2.8 Bahan yang dapat dikomposkon
Pada dasarnya semua bahan organik dapat dikomposkan, seperti sampah organik pasar,
limbah organik rumah tangga, kotoran/limbah peternakan, limbah pertanian, limbah
agroindustri, limbah pabrik gula, dll yang bersifat fibrous (berserat). Sedangkan bahan
organik yang perlu dihindari sebagai bahan baku kompos ialah bahan organik yang
memiliki kadar air tinggi (seperti : semangka, melon, mentimun, tomat, dll) karena akan
mempertinggi kadar air pada kompos.
2.9 Proses Pengomposan
Menurut Diaz (2007), fase proses pengomposan terbagi atas 4 tahapan sebagai berikut :
A. Tahap Mesofilik
Kondisi tahap awal dengan pasokan oksigen dan kelembaban yang optimal akan
memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba (bakteri, jamur dan aktinomycetes).
Aktivitas mikroba awal hingga temperature < 40 0C dikenal juga sebagai fase mesofilik.
12
Proses dekomposisi bahan organik tersebut akan melepaskan energi dalam bentuk panas
sehingga temperatur akan meningkat. Aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti pada
temperatur > 40 0C. Asam organik yang dihasilkan pada tahap akan menurunkan pH.
B. Tahap Termofilik
Meningkatkan aktivitas mikroba menyebabkan kenaikan termperatur 40 – 60 oC dan
fase termofilik akan dicapai dalam waktu 4 – 6 hari. Organisme disesuaikan dengan
suhu yang lebih tinggi dan mendapatkan keunggulan kompetitif secara bertahap, Dan
pada akhirnya, hampir seluruhnya menggantikan mikroba mesofilik. Sebelumnya
berkembang mesofilik organisme mati dan akhirnya terdegradasi oleh organisme
termofilik berhasil, bersama dengan substrat, sisanya mudah terdegradasi. Dekomposisi
terus menjadi cepat, dan mencapai suhu sekitar 60 0C.
C. Dekomposisi (Tahap Kedua mesofilik)
Dekomposisi tertinggi dicapai pada temperatur 50 – 60 oC. Meningkatkanya aktivitas
mikroba termofilik (> 40 oC) akan menghasilkan amoniak sehingga akan terjadi
kenaikan pH. Pada temperatur > 60 0C maka aktivitas jamur termofilik akan terhenti,
selanjutnya digantikan oleh kelompok bakteri dan aktinomycetes hingga temperatur 70
– 80 oC. Kenaikan suhu tersebut secara langsung akan mematikan berbagi jenis
pathogen dan bibit gulma. Apabila suhu melampaui 65 – 70 oC, aktivitas mikroba dan
proses dekomposisi senyawa organik akan terhambat karena suhu yang tinggi tersebut
akan mematikan mikroba .
D. Tahap Pematangan
Selama tahap pematangan berkurangnya substrat dan tingginya temperatur akan
menimbulkan kematian pada mikroba dan aktivitas metabolisme menurun. Dengan
13
demikian temperatur akan turun kembali ke fase awal (temperatur ruang). Tempratur
kompos sudah stabil dengan C/N berkisar 10 – 20. Pada fase ini senyawa humus (sisa
perombakan) sudah terbentuk. Jumlah bahan humus yang terbentuk sangat tergantung
pada bahan dasar kompos. Bahan baku yang kaya akan lignin akan menghasilkan
senyawa humik yang lebih besar.
Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia.
Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam,
sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan
teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan
kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan
menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan
kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses
pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan
tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang
mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian
akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat
dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan
meningkat hingga mencapai 70 C. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.
Berikut adalah fase proses pengomposan:
Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang
aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif,
mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi
NH 3+¿¿ ,CO2 ,uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen.
Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur
mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase
ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30-50% dari bobot awal tergantung kadar air awal.
Proses aerob adalah proses dimana mikroba menggunakan oksigen untuk menguraikan
bahan organik. Sedangkan proses penguraian yang terjadi tanpa menggunakan oksigen
disebut dengan proses anaerob. Pada proses anaerob bahan ditumpuk dan disungkup
14
dengan penutup (dapat menggunakan karpet atau karung goni) agar tidak ada
kontaminasi udara saat proses berlangsung. Keuntungan proses ini adalah memacu
kinerja mikroba lebih optimal sehingga dapat mempercepat peningkatan suhu pada
proses pengomposan.
Untuk wilayah yang tidak memiliki lahan luas, pengomposan yang cocok dengan
menggunakan metode pengomposan fermentasi dan aerasi. Metode ini merupakan cara
intensifikasi pengomposan dan menghasilkan kompos yang lebih terbebas dari bakteri-
bakteri yang merugikan.
2.10 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Setiap organisme pengurai bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan
yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka organisme pengurai tersebut akan
bekerja giat untuk menguraikan sampah organik. Namun apabila kondisinya kurang
sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman (tidak aktif), pindah ke
tempat lain, atau bahkan mati. Oleh karena itu, kondisi yang optimal sangat menentukan
keberhasilan proses pengomposan.
Secara umum, faktor yang paling mempengaruhi proses pengomposan adalah
karakteristik bahan yang dikomposkan, bioaktivator yang digunakan, serta metode
pengomposan yang diaplikasikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengomposan dapat dirinci sebagai berikut :
2.10.1 Rasio C/N
Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan diseluruh bagian sampah
organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi mikroba
sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi mikroba. Besarnya
rasio C/N tergantung pada jenis sampah, namun rasio C/N yang efektif untuk proses
pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1 (Paulin and O'malley, 2008).
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30-40, mikroba mendapatkan cukup C untuk
energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan
15
kekurangan N untuk sintesis protein sehingga penguraian berjalan lambat. Berikut
disajikan tabel perbandingan kandungan C dan N dalam berbagai bahan organik :
Tabel 2.2 Perbandingan Karbon dan Nitrogen Berbagai Bahan Organik
Sampah Sayuran 12-20 : 1
Jerami 70 : 1
Batang Jagung 100 : 1
Serbuk Gergaji 500 : 1
Kayu 400 : 1
Daun-daunan Pohon 40-60 : 1
Kotoran Sapi 20 : 1
Kotoran Ayam 10 : 1
Kotoran Kuda 25 : 1
Sisa Buah-buahan 35 : 1
Perdu / Semak 15-60 : 1
Rumput-rumputan 12-25 : 1
Kulit Batang Pohon 100-130 : 1
Kertas 150-200 : 1
Sisa Dapur Campur 15 : 1
Sumber : Paulin and O'malley, 2008
2.10.2 Ukuran Partikel
Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan.
Semakin kecil ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan berlangsung semakin
cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk
“diserang” mikroorganisme (Simamora, 2006). Namun, ukuran bahan tersebut jangan
terlalu kecil. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara
berkurang sehingga timbunan mendai lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam
timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme
yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal.
16
2.10.3 Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen. Aerasi secara
alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan menyebabkan udara
hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi
ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi proses anaerob yang akan
menghasilkan amonia yang berbau menyengat. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
pembalikan atau pengaliran udara ke tumpukan kompos.
2.10.4 Porositas
Porositas adalah rongga diantara partikel di dalam tumpukan kompos yang berisi air
atau udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga
memiliki kandungan air yang cukup banyak, maka pasokan oksigen akan berkurang dan
proses pengomposan akan terganggu. Porositas dipengaruhi oleh kadar air dan udara
dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi porositas yang ideal pada
saat pengomposan, perlu diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos.
2.10.5 Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme
mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Organisme
pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di
dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan. Jika
kelembaban lebih besar dari 60%, maka unsur hara akan tercuci dan volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi
anaerob. Oleh karena itu, menjaga kandungan air agar kelembaban ideal untuk
pengomposan sangatlah penting.
2.10.6 Suhu
17
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Peningkatan antara suhu dengan konsumsi
oksigen memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Semakin tinggi suhu, maka akan
semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses penguraian.
Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan menghasilkan CO2 dari hasil metabolisme
mikroba sehingga bahan organik semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi
dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30º-60ºC
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dari
60ºC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang tetap
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen
tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera
lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu, karena
akan mematikan mikroba termofilik.
2.10.7 Kadar pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5 - 9. Proses pengomposan akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh,
proses pelepasan asam secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH
(pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Kadar pH kompos
yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air
hujan juga dapat menimbulkan masalah pH tinggi.
2.10.8 Kadar Air
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan
berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air
berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen sedangkan kadar
air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.
18
2.10.9 Kotoran Ternak Sapi
Suatu usaha peternakan pasti menghasilkan limbah, disamping hasil utamanya. Limbah
ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, dan pengolahan produk ternak. Limbah ini
meliputi limbah padat dan limbah cair feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit telur,
lemak, darah, bulu, kuku, tanduk, dan isi rumen. Semakin besar usaha peternakan maka
semakin besar pula limbah yang dihasilkan.
Seekor sapi diasumsikan memiliki berat 454 kg akan menghasilkan 30 kg limbah feses
dan urin setiap hari. Jika diasumsikan memiliki 100 ekor sapi, jumlah limbah yang
dihasilkan sebesar 3 ton per hari dan merupakan jumlah yang sangat besar. Keberadaan
limbah ini bisa berdampak negatif terhadap peternak dan lingkungan sekitar peternakan.
Memanfaatkan limbah sapi yang berupa kotoran atau feses dan air seni diolah menjadi
kompos atau pupuk organik sangat berguna bagi tanaman dan ini sangat membantu
Pemerintah dalam menanggulangi pencemaran lingkungan hasil limbah kotoran sapi
tersebut. Limbah padat organik biasanya mengandung berbagai mikroorganisme yang
mampu melakukan proses pengkomposan. Ketika kotoran sapi dipaparkan di udara dan
kandungan airnya sesuai, maka mikroorganisme mulai bekerja untuk proses
dekomposisi pengomposan. Selain oksigen dari udara dan air, mikroorganisme
memerlukan pasokan makan yang mengandung karbon dan unsur hara seperti nitrogen,
fosfor dan kalium. Kebutuhan makanan tersebut disediakan oleh sampah organik
domestik.
Kotoran Sapi mempunyai banyak mikroorganisme didalamnya, mikroba–mikroba
tersebut mempunyai peran–peran tersendiri hingga mampu memperbaiki dan
mempercepat proses pengomposan. Mikroba tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mikroba lignolitik berperan dalam menguraikan ikatan lignoselulosa menjadi
selulosa dan lignin. Lignin ini kemudian diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi
derivate lignin yang lebih sederhana sehingga mampu mengikat NH4.
b. Mikroba selulotik akan mengeluarkan enzim selulose yang dapat menghidrolisis
lignoselulosa menjadi selulosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-glukosa dan akhirnya
menghasilkan asam laktat, etanol, CO2 dan amonia.
c. Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease ekstraseluler,
yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi di dalam sel kemudian dilepaskan
19
keluar dari sel. Semua bakteri mempunyai enzim protease di dalam sel, tetapi tidak
semua mempunyai enzim protease ekstraseluler. Mikroba proteolitik akan
mengeluarkan enzim protease yang dapat merombak protein
menjadi polipeptida, lalu menjadi peptida sederhana dan akhirnya menjadi asam
amino bebas, CO2 dan air.
d. Mikroba lipolitik akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam
perombakan lemak.
e. Mikroba aminolitik akan menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam
mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian
akan menjadi asam amino.
2.10.10 Effective Microorganism 4
Effective Microorganism 4 atau biasa disingkat EM 4 berupa larutan cair berwarna
kuning kecoklatan, ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas
Ryukyus Jepang. Cairan ini berbau sedap dengan rasa asam manis dan tingkat keasaman
(pH) kurang dari 3,5. Apabila tingkat keasaman 4,0 maka cairan ini tidak dapat
digunakan lagi. EM 4 merupakan kultur campuran berbagai mikroorganisme yang
bermanfaat terutama bakteri fotosintesis, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes, dan
jamur peragian yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman
mikroba tanah dan dapat memperbaiki kesehatan, serta kualitas tanah. Pada gilirannya
dapat memperbaiki pertumbuhan serta jumlah hasil tanaman (Habibi, 2009).
Menurut Habibi (2009), setiap spesies mikro organisme dalam EM 4 mempunyai
peranan masing-masing. Bakteri fotosintesis adalah pelaksana kegiatan EM 4 yang
terpenting karena mendukung kegiatan mikro organisme lain dan juga dapat
memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan mikro organisme lain. EM 4 tidak berbahaya bagi
lingkungan karena kultur EM 4 tidak mengandung mikro organisme yang secara
genetika telah dimodifikasi. EM 4 terbuat dari kultur campuran berbagai spesies
mikrobayang terdapat dalam lingkungan alami seluruh dunia. Bahkan EM 4 bisa
diminum langsung.
Berikut jenis-jenis mikro organisme yang terdapat pada larutan EM 4 dan peranannya
(Habibi, 2009) :
20
a. Bakteri Fotosintesis
Bakteri fotosintesis pada larutan EM 4 antara lain berperan sebagai pembentuk zat-zat
yang bermanfaat dari sekresi akar tumbuhan, bahan organik, dan gas-gas berbahaya
seperti hydrogen sulfide dengan menggunakan sinar matahari dan panas Bumi sebagai
sumber energi. Zat-zat bermanfaat itu antara lain asam amino, asam nukleik, zat-zat
bioaktif dan gula. Semuanya mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Bakteri fotosintesis dapat meningkatkan pertumbuhan mikro organisme yang lainnya.
b. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat dalam larutan EM 4 memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai
berikut :
- Menghasilkan asam laktat dari gula
- Menekan pertumbuhan mikro organisme merugikan, misalnya Fusarium
- Meningkatkan percepatan perombakan bahan-bahan organik
- Dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta
memfermentasikannya tanpa menimbulkan pengaruh-pengaruh merugikan yang
diakibatkan oleh bahan-bahan organik yang tidak terurai.
c. Ragi
Peranan ragi dalam larutan EM 4 antara lain sebagai berikut :
- Membentuk zat antibakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman asam amino
dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintesis.
- Meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar.
d. Actinomycetes
Peranan Actinomycetes antara lain :
- Menghasilkan zat-zat antimikroba dari asam amino yang dihasilkan oleh bakteri
fotosintesis dari bahan organik
- Menekan pertumbuhan jamur dan bakteri
e. Jamur Fermentasi
21
Peranan jamur fermentasi dalam larutan EM 4 antara lain :
- Menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-
zat anti mikroba
- Menghilangkan bau serta mencegah serbuan serangga dan ulat yang merugikan
2.11 Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi
kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr dan Pb adalah
beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat ini tidak terurai dan
akan tetap ada. Logam berat tersebut dapat berasal dari bahan organik yang tercemari
lingkungan atau sampah lain disekitarnya. Air juga dapat menjadi media untuk
mencemari bahan kompos dengan logam berat. Bahan pencemar berbahaya bisa berasal
dari limbah baterai, aki, cat, dan lain-lain. Logam-logam berat ini dapat mempengaruhi
kerja dari mikroba dalam mengurai bahan organik (Paulin and O'malley, 2008).
2.12 Reaktor Keranjang Takakura
Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang di buat khusus dapat mempercepat
proses pengomposan, salah satu contohnya, yaitu keranjang takakura. Keranjang
takakura merupakan alat pengomposan skala rumah tangga. Proses pengomposan
keranjang takakura merupakan proses pengomposan aerob dimana udara dibutuhkan
sebagai asupan penting dalam proses pertumbuhan mikroorganisme yang menguraikan
sampah menjadi kompos (Andriyana, 2012). Bahan-bahan mentah dihaluskan dan
dimasukkan selapis demi selapis sampai sampah layak kompos dan kotoran sapi habis.
22
Gambar 2.1 Keranjang Takakura
Pemberian oksigen pada semua reaktor dilakukan secara pasif, di mana udara akan
masuk ke dalam tumpukan sampah melalui lubang pada reaktor. Selama proses
pengomposan akan dihasilkan cairan lindi. Lindi ditampung dengan ditambahkan
penyangga yang kedap air dibawah reaktor. Selama proses pengomposan, dilakukan
pembalikan bahan secara berkala untuk suplay oksigen untuk mikroorganisme.
Pengadukan ini perlu dilakukan untuk meratakan kontak antara sampah dan
mikroorganisme. Pengadukan juga bertujuan agar cairan hasil proses yang tertahan di
dalam sampah dapat dialirkan ke luar reaktor. (Andriyana, 2012).
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium kampus Teknik Universsitas Mulawarman
pada bulan Oktober 2014.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Reaktor kompos takakura
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Sekam padi dan Lumen
2. Bakteri EM 4
3.3 Tahap pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data-
data yang dapat menunjang penelitian sehingga memudahkan perancangan. Adapun
data-data yang dikumpulkan meliputi :
a. Data primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian
di lapangan.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data-data pendukung dalam penelitian ini, seperti
pengumpulan data berdasarkan penelitian sebelumnya dan buku-buku terkait dengan
bahasan penelitian. Dimana data-data tersebut berupa gambar, grafik, tabel, dan data
pendukung lainnya.
3.4 Variabel Penelitian
24
Adapun variabel penelitian ini terdiri dari variable terikat dan variabel bebas.
a. Variabel terikat penelitian ini terdiri dari varibel terikat dan variabel bebas.
i. Sekam padi dan Lumen sebagai bahan utama
ii. Reaktor pembentukan kompos
iii. Parameter yang diuji berupa kandungan C,N dan rasio C/N
b. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :
i. pH yang berkisar antara 6.0 – 9.0
ii. Pengkondisian suhu
iii. Kadar air
3.5 Metode Penelitian
Bahan utama pembentukan kompos adalah lumen dengan metode takakura
3.6 Prosedur Penelitian
Dalam teknik pengumpulan data yang akan digunakan untuk memperoleh data primer
dan data sekunder, penelitian akan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
3.6.1 Tahap Persiapan
- Studi pustaka, dilakukan untuk mendapatkan literatur-literatur yang ada
hubungannya dengan penelitian baik buku-buku pustaka maupun hasil penelitian
terdahulu.
- Penyiapan bahan dan alat penelitian.
3.6.2 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sekam padi di daerah kilometer 4 jl
Soekarno Hatta dan lumen di rumah pemotongan hewan di Tanah Merah.
3.6.3 Pengoperasian Alat
Lumen terlebih dahulu dihitung kadar C, N dan rasio C/N nya kemudian dimasukan
kedalam reactor pembentukan kompos, kemudian setiap hari dilakukan pengadukan
agar bakteri merata di bahan pembuatan kompos.
25
Gambar 3.1 Reaktor Takakura
3.6.3 Analisis Data
Pengambilan sampel limbah sekam padi dan lumen sebagai bahan baku utama kompos
yang di lakukan proses composting dan kemudian hasil dari composting dihitung kadar
C, N, dan rasio C/N.
26
3.7 Bagan Alur
Gambar 3.2 Bagan Alur
(sumber : Data Primer, 2013)
27
Ide studi pembuatan kompos dengan bahan baku dari sekam padi dan lumen
Studi literatur
Perumusan masalah
Pengumpulan data Persiapan alat Persiapan bahan
Data sekunder- Jurnal- Penelitian sebelumnya- Buku yang terkait
bahasan
Data primer- Pengamatan dan
penelitian di laboratorium
- Menghitung kadar C, N dan rasio C/N
- Pengambilan bahan sekam padi dan lumen
- Pengambilan bakteri EM4
Analisis data hasil penelitian- Produksi kompos- Nilai C, N, rasio C/N
Kesimpulan dan Saran