proposal

Upload: jacob-breemer

Post on 15-Jul-2015

159 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dari guru yang terpencil menjadi orang yang terpercaya

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakan Pendidikan nasional bangsa Indonesia dapat menjadi gambaran kecerdasan bangsa yang lahir dari tekat kebersamaan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia. Penddikan nasional membuat masyarajat menjadi sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang 1945 sebagai dasar dari tujuan negara. Tanggung jawab kita semua dalam pendidikan nasional tanpa kecuali adalah meningkatkan dan melaksanakan pemerataan pendidikan nasional hingga ke daerah-daerah pelosok di Tanah Air. Dorongan untuk meningkatkan pemertaan pendidikan nasional dikembalikan kepada jenis pendidikan yang ada yakni pendidikan formal dan non formal. Jenis pendidikan ini diterapkan secara terpisah namun dengan tujuan yang sama yakni meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia, selain itu terdapat pendidikan informal yang diberikan sejak dini oleh keluarga kepada anaknya. Paradigma dari pendidikan informal berkembang luas menjadi pendidikan ekstra kurikuler. Bagi sebagian orang, jenis pendidikan ini tidak ada gunanya, bahkan mereka tidak memberi waktu dan perhatian kepada pendidikan ekstra kurikuler ini sehingga anak tidak dapat berkreasi, bergaul, berinteraksi, berkomunikasi maupun berkoordinasi dengan sesama. Pendidikan ekstra kurikuler bagi sebagai pakar pendidikan dikembangkan dengan bentuk penyajian yang mereka anggap tepat kepada orang lain tanpa ada ukuran keberhasilan yang jelas, bagi mereka adalah keberlangsungan pendidikan

2

ekstra kurikuler tersebut. Dalam manajemen pendidikan, menurut Mulyono (2008) penyelenggaraan ekstra kurikuler dilaksanakan dengan bimbingan guru kelas atau guru yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan ekstra. Dalam kegiatan ekstra kurikuler ini tujuan dan manfaat dijelaskan oleh guru pembina sehingga kegiatan ekstra kurikuler dapat dikendalikan dengan baik. Dukungan guru terhadap kegiatan ekstra kurikuler menggambarkan adanya partisipasi sekolah dalam membentuk karakter anak didik dengan sikap yang penuh perhatian dan bertanggung jawab terhadap tugas belajar yang diberikan kepada mereka. Kegiatan ekstra kurikuler di sekolah berlaku untuk semua mata pelajaran. Salah satu mata pelajaran yang dikembangkan dengan model ekstra kurikuler adalah mata pelajaran agama Islam. Pembinaan yang dilakukan terhadap mata pelajaran keagamaan ini dapat

dilakukan juga oleh orang tua siswa. Pelaksanaan pembinaan ekstra kurikuler keagamaan dengan dukungan orang tua merupakan suatu metode untuk menyertakan psikologis orang tua dalam membangun karakter anak yang sekaligus adalah siswa. Orang tua dan siswa/anak usia sekolah adalah warga belajar yang senantiasa berinterkasi bahkan lebih kental dalam hubungan sosial sehingga hal ini dipandang sebagai sebuah harapan untuk mewujudkan pembinaan keagamaan dari kegiatan akstra kurikuler. Harapan untuk mencapai keserasian dan peningkatkan pendidikan informal tersebut tidaklah mudah karena faktor ekonomi, sosia, budaya dan politik dalam setiap rumah tangga berbeda. Permasalahan yang terjadi pada faktor-faktor tersebut dapat berdampak pada gagalnya kegiatan pembinaan

keagamaan.Pembinaan orang tua kepada anaknya sering dilakukan jika ada himbauan dari pihak sekolah atau kegiatan-kegiatan keagamaan tetapi jika tidak

3

adalah himbauan ataupun kegiatan keagamaan, pembinaan orang tua tidak terimplementasikan. Orang tua sebagai guru yang berperan dalam pendidikan ekstra kurikuler harus mampu memprediksi kemampuan anak/siswa dalam memahami pengetahuan yang diajarkan sehingga upaya untuk mewujudkan kecerdasan anak, dapat dicapai dengan baik. Hal ini tidak lepas dari kerja sama antara orang tua, anak/siswa dan pihak sekolah. Kepemimpinan orang tua dalam pembinaan keagamaan mengharuskan orang tua untuk lebih tegas dan berwibawa dalam menentukan jadwal kegiatan keagamaan anak, jadwal sekolah dan jadwal lainnya sebagai bukti pengawasan (control) orang tua terhadap anak/siswa di rumah dan pada kegiatan ekstra. Tsanawiyah Lasolo merupakan salah satu lembaga pendidikan dasar keagamaan yang dibangun oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar keagamaan kepada warga belajar. Madrsah ini memiliki 125 orang siswa yang terbagi pada 6 (enam) ruang kelas dengan tenaga pengajar sebanyak 10 (sepuluh) orang yang menjalankan tugas mengajar sebagaimana tanggung jawabnya. Keinginan madrasah untuk meningkatkan kegiatan ekstra kurikuler, diaplikasikan melakukan kegiatan keagamaan dan kegiatan lainnya. Dukungan orang tua terhadap siswa Tsanawiah Lasolo selama ini terkesan masih rendah yang didasari oleh pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang masyoritasnya adalah petani dan buruh tani. Namun demikian kondisi masyarakat dan warga belajar Tsanawiyah. Bentuk dukungan selama ini dari orang tua hanyalah berupa penjadwalan sekolah anak dan melengkapi asesoris sekolah seperti seragam, dan buku serta alat tulis menulis. Namun demikian dukungan yang sangat diharapkan adalah peran dan partisipasi orang tua sebagai bagian dari

4

madrasah untuk membina anak secara psikologis untuk dapat meningkatkan syariat agama sejak dini. Konsepsi ini akan memberikan ruang gerak kepada anak untuk nantinya menentukan mana hal yang dilarang agama dan mana yang dibenarkan agama. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan topik Dukungan Orang Tua Dalam Pembinaan Keagamaan Ekstra Kurikuler Pada Siswa Madrasah Tsanawiah Lasolo Kabupaten Konawe Utara B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini difokuskan pada : 1. Bagaimana tanggung jawab orang tua dalam pembinaan ekstra kurikuler pada Siswa Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tanggung jawab orang tua dalam pembinaan ekstra kurikuler pada Siswa Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui : a. Tanggung jawab orang tua dalam pembinaan ekstra kurikuler pada Siswa Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara b. Faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab orang tua dalam pembinaan ekstra kurikuler pada Siswa Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara

5

2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan untuk dapat bermanfaat sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan masukan bagi sekolah dalam melaksanakan kegiatan untuk meningkat prestasi belajar siswa melalui pendidikan ekstra kurikuler. b. Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan pendidikan agama di sekolah 2) Manfaat Praktisi

a. Sebagai bahan masukkan bagi guru untuk meningkatkan kegiatan keagaman di sekolah b. Sebagai bahan masukan bagi orang tua dalam meningkatkan psikologis anak sejak dini dengan pendidikan agama c. Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini. D. Definisi Operasional Penelitin mengkaji lebih fokus pada dukungan orang tua dalam pendidikan keagamaan ekstra kurikuler, dan oleh karena luasnya pemahaman ini, maka penulis berikan batasan operasional terhadap variabel sebagai berikut : 1. Pendidikan ekstra adalah kegiatan pembelajaran dari sekolah yang dilaksanakan secara ekstra atau tambahan atau juga sampingan untuk menambah khasanah pengetahuan siswa Madrasah Sanawia Kecamatan Lasolo.

6

2. Kurikuler adalah kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara terjadwa dan berencana di Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. 3. Pendidikan ekstra kurikuler adalah konsep pembelajaraan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan anak/siswa Madrasah Tsanawiah diluar jadwal pembelajaran di sekolah. 4. Orang tua adalah ibu dan ayah yang turut memberikan dukung terhadap pendidikan ekstra kurikuler kepada siswa Madrasah Tsanawiah Lasolo. 5. Faktor ekonomi adalah faktor yang memberikan pengaruh kepada keluarga melalui tingkat pendapatan dan lapangan kerja dari orang tua siswa 6. Faktor sosial adalah faktor yang memberikan pengaruh kepada keluarga melalui kelas sosial masyarakat seperti keluarga mampu, dan tidak mampu 7. Faktor budaya adalah faktor yang memberikan pengaruh kepada keluarga melalui keberadaan dan kebiasaan masyarakat dan lingkungan tempat tinggal siswa Madrasah Tsanawiah Lasolo.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

7

A.

Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pembinaan Anak Agama Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara beribadah dan berbakti kepada Allah, tetapi juga mengatur bagaimana cara mengasuh dan mendidik anak, hidup bersama dalam keluarga atau rumah tangga, masyarakat dan bangsa. Ibu bapak adalah guru yang membimbing dalam setiap rumah tangga dan mereka bertanggung jawab atas keluarganya. Keluarga atau orang tualah yang pertama dan utama memberikan dasar-dasar pendidikan seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, mematuhi peraturan serta menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan benar. Hendaknya diberikan oleh keluarga atau orang tua dengan contoh perbuatan, bukan hanya dengan nasehat-nasehat, sebab salah satu sikap kekanakkanakan adalah suka meniru. (Zahara, 1987 : 36-37). Bagi keluarga muslim, mendidik anak bukanlah semata-mata dorongan alami dan kodrati melainkan suatu kewajiban orang tua terhadap anak dan merupakan sarana untuk mewujudkan generasi yang tangguh dan kuat. Selain itu, dalam Islam anak merupakan titipan dari Allah SWT yang nantinya orang tua akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah SWT di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT surat An- Nisa ayat 9 : yang artinya hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anaknya yang lemah, yang merasa khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Anonim, 1996 : 62)

8

Dari ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan orang tua wajib mendidik anak-anak mereka agar mereka nantinya meninggalkan anak yang tangguh dan kuat serta berakhlak mulia. Pendidikan dan bimbingan yang diberikan oleh orang tua merupakan upaya yang sangat luhur, serta berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memberantas kebodohan dan keterbelakangan, memupuk jiwa mandiri sehingga si anak tidak selalu menggantungkan diri pada orang lain. Oleh sebab itu, pendidikan dan bimbingan diberikan kepada anak sejak dini, serta peran dari orang tua sangat menentukan bentuk, karakter dan perkembangan anak.

Menurut Ngalim Purwanto, (1995 : 79). Bahwa berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga sangat menentukan pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat. Keluarga yang kurang kondusif dalam interaksinya akan sangat berpengaruh terhadap setiap anggota keluarganya. Pada saat membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu, justru frekuensi kegiatan orang tua di luar rumah lebih banyak dari pada fungsi sebagai ibu rumah tangga. Ayah yang diharapkan bisa memberikan rasa aman untuk keluarga, justru lebih banyak tinggal di luar rumah dan sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga yang demikian akan sangat memicu pada terjadinya disharmoni dan keretakan dalam komunikasinya, pada akhirnya yang terpengaruh terbesar adalah anak. Akibat kesibukan dari orang tua dalam mencari tambahan nafkah, waktunya untuk keluarga akan berkurang, serta perhatiannya pada anak-anaknya akan terabaikan. Hal ini akan menjadikan anak-anak mereka kurang perhatian dan

9

kasih sayang dari orang tua, selalu merasa tidak aman, dan merasa kehilangan tempat berpijak atau tempat berlindung, yang akhirnya nanti mereka lebih suka bergentayangan di luar lingkungan keluarganya sendiri, lebih suka berkumpul dengan orang-orang yang kehidupannya bebas, sehingga pola kehidupan si anak menjadi tidak hygienis. Anak merupakan dambaan setiap orang tua, kehadirannya sangat dinantikan setiap keluarga sebagai penerus keturunannya. Banyak proses yang harus diperhatikan oleh orang tua terhadap anaknya, sejak lahir sampai ia dewasa. Satu langkah saja keliru dalam melalui proses tersebut, maka akan berakibat fatal bagi kebahagiaan dan keberhasilan anak baik di dunia maupun di akhirat. Anak adalah amanah yang harus dijaga. Dengan kata lain, anak dititipkan di tengah keluarganya selama beberapa waktu, baik lama maupun sebentar agar mereka merawat hak (kepunyaan) Allah SWT dan menjaganya, serta menyarankan kepada syariat dan hukum-hukum-Nya. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, serta pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan kepribadian anak. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik maupun psikis dipengaruhi oleh perilaku orang tua dalam mendidik anak. Di dalam mendidik anak ditemui bermacam-macam perilaku orang tua, secara teorits perilaku tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu : otoriter, demokrasi dan permisif. (Zahara, 1987 : 37). Dengan demikian, apapun bentuk perilaku yang akan diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya, akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk kepribadian yang akan dimiliki anak. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya memperhatikan, mempelajari dan mencoba memahami keinginan dan pandangan-pandangan anaknya. Dengan kata

10

lain, anak harus diberi kebebasan mengembangkan dirinya, kalaupun orang tua bersifat otoriter misalnya, maka hal ini tidak mematikan inisiatifnya, melainkan justru untuk membantu pembentukan kepercayaan diri anak. Dusun Fajar Jaya Desa Sungai Gebar Kecamatan Betara kondisinya sekarang sudah cukup maju jika dibandingkan dengan lima tahunan yang lalu, dimana pembanguan inprastruktur jalan setapak yang menghubungkan dengan daerah lain sudah terbangun sampai ke Pusat Pemeintahan Desa. Ini merupakan ekses baru dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Dusun Fajar Jaya Desa Sungai Gebar untuk memasarkan produksi pertanian mereka.

Di bidang pendidikan di Dusun Fajar Jaya Desa Sungai Gebar boleh dikatakan maju, daimana lembaga pendidikan sudah tersedia mulai SD/MI sampai dengan SMP Negeri /MTs dan anak-anak yang bersekolah pun terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dari hasil observasi dengan tidak ada ditemukan anak-anak yang usia sekolah (usia sekolah dasar) tidak bersekolah meskipun masyarakat Dusun Fajar Jaya Desa Sungai Gebar berlatar belakang petani, yang kegiatan sehari-harinya sebagai petani kebun dan sawah serta ada juga berprofesi sebagai penyadap nyiur dan sedikit sekali sebagai pedagang atau pegawai. Kesibukan orang tua dalam bekerja seringkali terkadang membuat mereka lupa akan pendidikan anak-anaknya, sehingga anak luput dari perhatian orang tua dan berkembang dengan sendirinya. Kondisi seperti ini bisa berakibat buruk terhadap perkembangan pendidikan anak. Padahal kita tahun bahwa anak adalah merupakan titipan Allah yang dianugerahkan kepada sebuah keluarga untuk dipelihara, di didik dan dibina. Keluarga merupakan buaian tempat anak melihat cahaya kehidupan pertama, sehingga apapun yang dicurahkan dalam sebuah keluarga akan

11

meninggalkan kesan yang mendalam terhadap watak, pikiran serta sikap dan perilaku anak. Sebab tujuan dalam membina kehidupan keluarga adalah agar dapat melahirkan generasi baru sebagai penerus perjuangan hidup orang tua. Untuk itulah orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam pendidikan anak-anaknya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT. dalam surat At-Tahrim ayat 6 :

Setiap orang tua pasti menginginkan keberhasilan dalam pendidikan anakanaknya. Keberhasilan tersebut tentunya tidak akan dapat terwujud tanpa adanya usaha dan peran dari orang tua itu sendiri. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi

Hadis tersebut mengandung pengertian bahwa orang tua mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pembentukan kepribadian anak serta memberikan pengaruh yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikannya. Salah satu dari peranan orang tua terhadap keberhasilan pendidikan anaknya adalah dengan memberikan perhatian, terutama perhatian pada kegiatan belajar mereka di rumah. Perhatian orang tua memiliki pengaruh psikologis yang besar terhadap kegiatan belajar anak. Dengan adanya perhatian dari orang tua, anak akan lebih giat dan lebih bersemangat dalam belajar karena ia tahu bahwa

12

bukan dirinya sendiri saja yang berkeinginan untuk maju, akan tetapi orang tuanya pun demikian. Sebab baik buruknya prestasi yang dicapai anak akan memberikan pengaruh kepadanya dalam perkembangan pendidikan selanjutnya. Totalitas sikap orang tua dalam memperhatikan segala aktivitas anak selama menjalani rutinitasnya sebagai pelajar sangat diperlukan agar si anak mudah dalam mentransfer ilmu selama menjalani proses belajar, di samping itu juga agar ia dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal. Perhatian orang tua dapat berupa pemberian bimbingan dan nasihat, pengawasan terhadap belajar, pemberian motivasi dan penghargaan, serta pemenuhan fasilitas belajar. Pemberian bimbingan dan nasihat menjadikan anak memiliki idealisme, pemberian pengawasan terhadap belajarnya adalah untuk melatih anak memiliki kedisiplinan, pemberian motivasi dan penghargaan agar anak terdorong untuk belajar dan berprestasi, sedangkan pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan dalam belajar adalah agar anak semakin teguh pendiriannya pada suatu idealisme yang ingin dicapai dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.Jalaludin Rachmad dan Muhtar Ganda Atmaja (1994: 20) menyatakan bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi religius. Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan

melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya, mengenai kaidahkaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua sebagai tokoh inti dan panutan dalam keluarga untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya. Keluarga adalah suatu institusi yang terbentuk karena suatu ikatan perkawinan antara sepasang suami istri untuk hidup

13

bersama seia sekata, seiring dan setujuan, dalam membina mahligai rumah tangga untuk mencapai keluarga sakinah dalam lindungan dan ridha Allah SWT. "Keluarga merupakan lembaga pemdidikan yang bersifat informal yaitu pendidikan yang tidak mempunyai program yang jelas dan resmi, selain itu keluarga juga merupakan lembaga yang bersifat kodrati, karena terdapatnya hubungan darah antara pendidik dan anak didiknya" (Soewarno, 1992: 66-67). Di dalamnya selain ada ayah dan ibu juga ada anak yang menjadi tanggung jawab orang tua. Menurut M. Arifin (1995: 74) bahwa keluarga adalah persekutuan hidup terkecil dari

masyarakat yang luas. Keluarga merupakan ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama. Pendidikan dan penanaman nilainilai agama harus diberikan kepada anak sedini mungkin salah satunya melalui keluarga sebagai tempat pendidikan pertama yang dikenal oleh anak. Menurut Zuhairini dkk (1995: 182) bahwa pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan

bimbingan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda, karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidikan (orang tua dan anggota lain). Manusia dalam menuju kedewasaannya memerlukan

bermacam-macam proses yamg diperankan oleh bapak dan ibu

14

dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan wadah yang pertama dan dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Pengalaman empiris membuktikan bahwa institusi lain diluar keluarga tidak dapat menggantikan seluruhnya peran lembaga bahkan pada institusi non keluarga, seperti play group sangat mungkin adanya beberapa nilai yang negatif yang berpengaruh jelek bagi pembentukan dan pendidkan anak terutama pendidikan akhlak (Faiz, 2001: 70). Kesadaran orang tua akan peran dan tanggung jawabnya selaku pendidik pertama dan utama dalam keluarga sangat diperlukan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tampil dalam bentuk yang bermacam-macam. Konteknya dengan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan, maka orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model seharusnya orang tua memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia. Oleh karena itu Islam

mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan sesuatu yang baik-baik saja kepada anak mereka. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq Said bin Mansur yang terdapat dalam buku Abdullah Nasikh Ulwani (1999: 186) Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik ".(HR. Abdur

15

Razzaq bin Manshur) Menurut Syamsu Yusuf, L.N, (2002: 205) mengatakan bahwa "Apabila remaja kurang mendapatkan

bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua kurang memberikan kasih sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilainilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu

berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik atau asusila seperti pergaulan bebas (free sex), minum-minuman keras, menghisap ganja dan menjadi trouble maker (penggangu ketertiban atau pembuat keonaran) dalam masyarakat". Pembentukan budi pekerti yang baik adalah tujuan utama dalam pendidikan Islam. Karena dengan budi pekerti itulah tercermin pribadi yang mulia, sedangkan pribadi yang mulia itu adalah pribadi yang utama yang ingin dicapai dalam mendidik anak dalam keluarga.

B.

Kegiatan Ektra Kurikuler Istilah kurikulum pada awalnya bukan dipakai dalam dunia pendidikan, yaitu dipakai sebagai istilah dalam dunia olah raga. Dalam buku Asas-asas Kurikulum, Nasution (1997) menyebutkan bahwa dalam kamus Webster kata kurikulum timbul untuk pertama kalinya pada tahun 1856. Artinya pada waktu itu ialah: a) a race course; a place for running; a chariot. Yang memiliki arti suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan dari awal sampai akhir. Kurikulum juga berarti chariot semacam kereta pacu zaman dulu, yakni suatu alat yang membewa seseorang dari start sampai finish. Disamping itu, penggunaan kurikulum yang semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai dalam bidang

16

pendidikan, yang dalam kamus webster disebut applied particulary to the course of study in a university Nasution (1997) menambahkan bahwa kurikulum diberi arti sejumlah mata pelajaran disekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijasah atau tingkat. Juga berarti keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Dengan mengacu pada definisi klasik di atas, yang mengemukakan bahwa kurikulum hanya terbatas pada mata pelajaran saja, berarti ada beberapa kegiatan dan pengalaman murid yang tidak cocok dengan batasan kurikulum ini. Kegiatan-kegiatan yang disebut ekstrakurikuler (extra curiculer activities) berada di luar kurikulum, jadi pengalaman-pengalaman di sekolah tidak termasuk di dalamnya. Pengalaman-pengalaman seperti bermain di halaman sekolah, jalan, istirahat dan lain-lain sejenisnya tidak termasuk kurikulum, dianggap bukan pengalaman belajar. Namun, dewasa ini para pemuka pendidikan menonjolkan kenyataan bahwa belajar pada tiap anak merupakan proses yang berlangsung selama 24 jam tiap hari. Mereka berpendapat pengalaman-pengalaman dalam perkumpulan kesenian dan olah raga disekolah dalam darmawisata dan lain-lain, kesemuanya merupakan situasi-situasi belajar yang kaya akan pendidikan. Karena kurikulum meliputi segala pengalaman yang sengaja diberikan sekolah untuk memupuk perkembangan anak-anak dengan jalan menciptakan situasi belajar-mengajar (Dharma, 2000). Sugiator (1999) mengemukakan bahwa konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.

17

a. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi: Suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.

b. Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem: Yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis. c. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi: Yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan

18

percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum. Arifin (2002) menyatakan bahwa teori kurikulum dituntut untuk: (1) Mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilahistilah teknis, (2) Mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) Melakukan penelitian inferensial dan prediktif, (4) Mengembangkan subsubteori kurikulum, mengembangkan dan

melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan dikembangkan. Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya. Menurut (Bambang, 2000) menyatakan bahwa perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918. Bobbit Bering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, is perintis pengembangan praktik kurikulum. Menurut Bambang (2000), Bobbit adalah orang pertama yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum.

19

Menurut Bambang (2000), inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumah kecakapan pekerjaan. pendidikan berupaya mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam, bergantung pada tingkatannya maupun jenis

lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada serentetan pengalaman yang harus dikuasai anak. Seluruh tujuan beserta pengalamanpengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian teori kurikulum. Werrett W. Charlters dalam Nurmansyah (2002) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis kecakapan/pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Charters lebih menekankan pada pendidikan vokasional. Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters. 1) Keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan

masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain. 2) Keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Bertolak pada hal-hal

20

tersebut mereka menyusun kurikulum secara lengkap dalam bentuk yang sistematis. Bhrata (2006) mengemukakan bahwa pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered). Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charters) kepada kehidupan psikologis anak pada saat ini. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan. Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan siswa. pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar melalui pengalaman. Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa. Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell dalam Bhrata (2006). Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Florida, Virginia), mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan (society centered) maka Caswell dalam Bhrata (2006) mengembangkan kurikulum yang bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-guru, berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil, dan sebagainya. Simanjuntak (2004) mengemukakan bahwa tugas utama kegiatan ekstra kurikuler :

21

(1) mengidentifikasi

masalah-masalah

penting

yang

muncul

dalam

pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasari pendidikan tambahan di luar sekolah. (2) Menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukung tujuan pendidikan tambahan di luar sekolah, (3) Mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan di luar kegiatan sekolah tersebut. Ralph W. Tylor (1998) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian ekstra kurikuler yaitu : 1. Tujuan pendidikan di luar sekolah yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah? 2. Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut? 3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif? 4. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai? Empat pertanyaan pokok tentang ektra kurikuler dari Tylor ini banyak dipakai oleh para pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum. Menurut Beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitian-

22

penelitian preckktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidahkaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum. Menurut Smith (1997) ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan mempertimbangan tujuan pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan (3) perluasan bahasa khusus pendidikan tambahan (curiller extra). James B. Mac Donald (1994) melihat teori kurikulum dari model sistem pembelajaran tambahan di luar kegiatan sekolah. Ada empat sistem dalam persekolahan yaitu kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar. Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep kurikulum.

Penggunaan model sistem juga dapat membantu para ahli teori kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum. Dari kajian sejarah ekstra kurikuler, kita mengetahui beberapa hal yang menjadi sumber atau landasan inti pelaksanaan pendidikan ekstra kurikulum. Pengembangan ekstra kurikuler pertama bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah mempersiapkan anak bagi kehidupan orang dewasa, kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa. Para pengembang kurikulum mendasarkan kurikulumnya atas hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa (Nugroho, 2006). Asmani (2002) menejelaskan bahwa pengembangan kurikuler meliputi semua unsur kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam

23

lingkungan budaya, dan turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam lingkungan budaya, ia harus mempelajari budaya, maka budaya menjadi sumber utama isi kurikulum. Budaya ini mencakup semua disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan para pakar, nilai-nilai adat-istiadat, perilaku, bendabenda, dan lain-lain. Mulyasa (2008) Sumber lain penyusunan kurikuler adalah anak. Dalam pendidikan atau pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran bukan memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensipotensi yang telah ada pada anak. Anak menjadi sumber kegiatan pengajaran, ia menjadi sumber kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu kebutuhan siswa, perkembangan siswa, serta minat siswa. Jadi, ada pengembangan kurikulum bertolak dari kebutuhan-kebutuhan siswa, tingkattingkat perkembangan siswa, serta hal-hal yang diminati siswa. Beberapa pengembangan kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum kepada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum kemudian. Sagala Syaiful (2009) menyatakan bahwa sumber penyusunan kurikulum adalah nilai-nilai. Nilai dapat merupakan sumber penentuan keputusan yang dinamis. Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang berdasarkan nilai adalah: Apakah yang harus diajarkan di sekolah? In! merupakan pertanyaan tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang harus diberikan dalam pelaksanaan kurikulum? Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria penentuan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosialpolitik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-politik yang menentukan

24

kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang mewakill negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosialpolitik dalam penentuan kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam

pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikbud. pada pendidikan dasar dan menengah, kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya ada pada pusat, sedangkan pada perguruan tinggi rektor diberi kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.

C. Desain dan Rekayasa Kurikulum Mastuhu (2007) mengemukakan bahwa ada dua subteori dari teori kurikulum, yaitu desain kurikulum (curriculum design) dan rekayasa kurikulum (curriculum engineering). Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dari kurikulum, hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya, prinsip-prinsip pengorganisasian, serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Komariah, Aan dan Cepi Triatna (2008) mendesain kurikulum, dengan dua dimensi penting, yaitu: (5) substansi, unsur-unsur serta organisasi dari dokumen tertulis kurikulum, (6) model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum terutama organisasi dan proses pengajaran.

25

Menurut Hamalik Oemar (2009), kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1) kurikulum merupakan dokumen tertulis, (2) berisi garis-garis besar rumusan tujuan, berdasarkan garis-garis besar tujuan tersebut desain kurikulum disusun, (3) isi atau materi ajar, dengan materi tersebut tujuantujuan kurikulum dapat dicapai. Menurut Hamalik Oemar (2009) ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum: 1. ketentuan-ketentuan tentang bagaimana penggunaan kurikulum, serta bagaimana mengadakan penyemprunaan-penyempurnaan berdasarkan

masukan dari pengalaman. 2. kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun sistem pelaksanaannya. Mastuhu (2007) menyatakan bahwa rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsikan kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikulum agar kurikulum dapat berfungsi sebaikbaiknya. pengelola kurikulum di sekolah terdiri atas para pengawas/penilik dan kepala sekolah, sedangkan pada tingkat pusat adalah Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Balitbang Dikbud dan para Kasubdit/Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat. Dengan menerima pelimpahan wewenang dari Menteri atau Dirjen, para pejabat pusat tersebut merancang, mengembangkan, dan mengadakan penyempurnaan kurikulum. Juga mereka memberi tugas dan tanggung jawab menyusun dan mengembangkan berbagai bentuk pedoman dan petunjuk pelaksanaan kurikulum.

26

Para pengelola di daerah dan sekolah berperan melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kurikulum. Seluruh sistem rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal, yaitu: (1) arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa kurikulum, (2) keterlibatan orang-orang dalam proses kurikulum, (3) tugas-tugas dan prosedur perencanaan kurikulum, (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi kurikulum, dan (5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum. Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori kurikulum, Mastuhu (2007) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori kurikulum, yaitu: 1. Setiap teori kurikulum harus dimulai dengan perumusan (definisi) tentang rangkaian kejadian yang dicakupnya. 2. Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai-nilai dan sumber-sumber pangkal tolaknya. 3. Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik dari desain kurikulumnya. 4. Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan kurikulumnya serta interaksi di antara proses tersebut. 5. Setiap teori kurikulum hendaknya menyiapkan diri bagi proses

penyempurnaannya. D. Pendidikan Agama Islam

27

M. Tafsir (2007) mengemukakan bahwa untuk melaksanakan pendidikan agama Islam yang berhasil perlu dilakukan pendidikan agama yang terpadu. Keterpaduan yang dimaksud adalah: keterpaduan tujuan, keterpaduan materi, keterpaduan proses. a. Keterpaduan tujuan berarti pencapaian tujuan pendidikan merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, yaitu pemerintah, kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan masyarakat. b. Keterpaduan materi ialah keterpaduan isi kurikulum yang digunakan atau materi pelajaran. Semua materi pelajaran yang dipelajari siswa handaknya saling memiliki keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya. Pengikat keterpaduan tersebut adalah tujuan pendidikan keimanan dan ketakwaan. Jadi selain tujuan mata pelajaran itu sendiri, hendaknya semua bahan ajar mengarah kepada terbentuknya manusia beriman dan bertaqwa. c. Keterpaduan proses, berarti para pendidik hendaknya menyadari bahwa semua kegiatan pendidikan sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan tujuan pendidikan keimanan dan ketakwaan, bahkan dikehendaki semua kegiatan pendidikan membantu tercapainya siswa yang beriman dan bertakwa. Adyianto (2004) memberikan konsep pemahaman yang dapat diterapkan untuk menjadikan pendidikan agama (termasuk agama Islam) berhasil memberagamakan murid. Konseo-konsep itu diuraikan berikut ini. a. Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam (knowing), terampil melakukan ajaran Islam (doing), dan melakukan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (being).

28

b. Tujuan Pendidikan Agama Islam. Adapun tujuan pendidikan agama Islam di sekolah umum adalah untuk meningkatkan pemahaman, keterampilan melakukan, dan pengamalan ajaran. Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utama pendidikan agama Islam disekolah ialah keberagamaan, yaitu menjadi muslim yang sebenarnya. Keberagamaan inilah yang selama ini kurang di perhatikan. Cara Mencapai Tujuan pendidikan agama Islam, secara sederhana, dapat dicapai dengan pengajaran kognitif (untuk pemahaman), latihan melakukan (untuk keterampilan melakukan) dan usaha internaslisasi (untuk keberagamaan). Upaya memberagamakan akan lebih mudah dilakukan di sekolah bila pendidikan agama itu dijadikan core sistem pendidikan. Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being) agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan Agama Islam di sekolah (bukan di madrasah) ialah murid memahami, terampil melaksanakan, dan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT berakhalak mulia dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Optimalisasi Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak berarti penambahan jumlah jam pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya pendidikan agama Islam. Itu berupa optimalisasi mutu guru agama Islam dan optimalisasi sarana. Karakteristik utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping sedikit komponen knowing dan doing. Hal ini menuntut perlakuan pendidikan yang banyak berbeda dari pendidikan bidang studi umum. Pembelajaran untuk mencapai being yang tinggi lebih mengarahkan pada usaha

29

pendidikan agar murid melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam kehidupan sehari-hari. Bagian paling penting dalam PAI ialah mendidik murid agar beragama; memahami agama (knowing) dan terampil melaksanakan ajaran agama (doing) hanya mengambil porsi sedikit saja. Dua yang terakhir ini memang mudah. Pendidikan agama Islam memerlukan pendekatan-pendekatan naql, akal dan qalbu. Selain itu juga diperlukan sarana yang memadai sehingga mendukung terwujudnya situasi pembelajaran yang sesuai dengan karakter pendidikan agama Islam. Sarana ibadah, seperti masjid/mushallah, mushaf al-Quran, tempat bersuci/tempat wudlu merupakan salah satu contoh sarana pendidikan agama Islam yang dapat dipergunakan secara langsung oleh siswa untuk belajar agama Islam. Peningkatan mutu guru agama Islam diarahkan agar ia mampu mendidik muridnya untuk menguasai tiga tujuan tadi. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuannya dalam penguasaan materi pelajaran agama, penguasaan

metodologi pengajaran, dan peningkatan keberagamaannya sehingga ia pantas menjadi teladan muridnya. Penilaian terhadap keberhasilan Guru Agama Islam (GAI). Pada umumnya, mereka menyatakan bahwa GAI banyak gagal dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. Penelitian menunjukkan bahwa pada aspek knowing dan doing guru agama tidak gagal; mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan (being). Murid-muridnya memahami ajaran agama Islam, terampil melaksanakan ajaran itu, tetapi mereka sebagiannya tidak melaksanakan ajaran Islam tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka memahami hukum dan cara shalat lima, terampil melaksanakan shalat lima, tetapi sebagian dari murid itu tidak melaksanakan shalat lima. Mereka tahu konsep jujur, mereka tahu cara melaksanakan jujur, tetapi sebagian dari mereka tetap sering tidak jujur dalam

30

kehidupannya sehari-hari. Jadi, aspek keberagamaan itulah yang sangat penting untuk ditingkatkan. Uraian singkat tentang metode internalisasi yang bertujuan untuk meningkatkan keberagamaan siswa sekolah. Sesuatu yang telah diketahui dapat saja sekedar diketahui, tempatnya di otak. Menurut Oemar (2004) tiga tujuan pembelajaran shalat sebagai berikut:

1. Tahu konsep shalat (knowing). Dalam hal ini murid mengetahui definisi shalat, syarat dan rukun shalat, serta hukum shalat dalam ajaran Islam. Untuk mencapai tujuan ini guru dan murid dapat memilih metode yang telah banyak tersedia. Metode ceramah boleh digunakan, diskusi juga mungkin, tanya jawab baik juga, dan seterusnya. Untuk mengetahui apakah murid memang telah paham konsep, syarat dan rukun shalat, guru dapat menyelenggarakan ujian berupa ujian harian yang sering disebut ulangan harian, atau dengan cara lain. Yang diuji hanyalah aspek pengetahuannya tentang konsep, syarat, dan rukun shalat. Jika hasil ujian semuanya bagus, berarti tujuan pembelajaran asepek knowing telah tercapai. 2. Terampil melaksanakan shalat (doing). Untuk mencapai tujuan ini metode yang baik kita gunakan ialah metode demonstrasi. Guru mendemonstrasikan shalat untuk memperlihatkan cara shalat. Lantas murid satu demi satu (imgat: satu demi satu)

mendemonstrasikan shalat. Guru dapat memutarkan video rekaman shalat (lengkap filiyah dan qauliyahnya) dan murid menontonnya. Tatkala murid diminta mendemonstrasikan, guru telah dapat sekaligus memberikan

31

penilaian. Jadi, di sini dilakukan pengajaran sekaligus penilaian. Bila guru telah yakin seluruh (sekali lagi seluruh) murid telah mampu melaksanakan (artinya terampil dalam cara shalat), maka tujuan aspek doing telah tercapai. Murid melaksanakan shalat dalam kehidupannya sehari-hari (being). Sebenarnya, kekurangan pendidikan agama di sekolah selama ini hanya terletak di sini, tidak pada aspek knowing dan doing. Bagian knowing dan doing telah beres dan telah mencapai hasil yang sangat bagus karena bagian ini memang mudah. Jadi, jika berbicara metode pembelajaran agama Islam, sebenarnya untuk tujuan pertama (knowing) dan kedua (doing) itu sudah tidak ada lagi persoalan, anggap saja telah selesai, tidak lagi perlu diberikan pelatihan tentang itu. Itu sudah beres, katakanlah baik secara keilmuan maupun dalam pelaksanaan. Bagaimana metode untuk meningkatkan keberagamaan siswa. Ini aspek being. Inilahpersoalan kita. Pengetahuan masih berada di otak, di kepala, katakanlah masih berada di pikiran, itu masih berada di daerah luar (extern); keterampilan melaksanakan juga masih berada di daerah extern. Upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam pribadi, itulah yang kita sebut sebagai upaya internalisasi atau personalisasi. Internalisasi karena memasukkan dari daerah extern ke intern, personalisasi karena upaya itu berupa usaha menjadikan pengetahuan dan ketermpilan itu menyatu dengan pribadi (person) E. Kerangka Pikir Orang tua dalam proses pembelajaran memiliki peran yang besar dari aspek pengawasan dan pendidikan informal. Peran ini menjadi sumber dukungan

32

bagi mental seorang anak/siswa untuk tekun dan cerdas dalam belajar termasuk belajar pendidikan agama Islam yang dilakukan pada Madrasah Tsanawiah Lasolo. Pengembangan pendidikan agama islam dilakukan melalui pendidikan ekstra kurikuler dan peran pengawasan pendidikan ini melibatkan orang tua sebagai unsur motorik atau penggerak dari kebijakan pengawasan terhadap belajar anak yang kemudian akan meningkatkan prestasi belajar anak. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1. Kerangka Pikir Siswa Madrasah Tsanawiah LasoloPendidikan Ekstra Kurikuler

Tanggung jawab Orang Tua

Tujuan Pembelajaran Ektra Kurikuler

Dukungan Orang Tua Dalam Pembinaan Ekstra Kurikuler

33

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan pada Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara merupakan jenis penelitian survei dengan menggunakan data kualitatif untuk memberikan penjelaskan tentang tanggung jawab orang tua dalam pembinaan ekstra kurikuler pada Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan ditempat yang telah ditetapkan, yakni Sekolah Madrasah Tsanawiah Lasolo untuk melihat dukungan orang tua dalam pembelajaran ekstra kurikuler keagamaan yang akan dilakukan pada bulan JanuariMaret 2012. C. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah keseluruhan orang tua siswa Madrasah Tsanawiah Lasolo sebanyak 125 orang yang ditetapkan untuk mendukung pembinaan ekstrak kurikuler di Madrasah Tsanawiah Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. D. Teknis Pengumpulan Data

34

Data dalam penelitian ini dikumpul dengan menggunakan teknik sebagai berikut : 1. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data melalui tanya jawab langung dengan orang tua siswa sehubungan dengan tujuan penelitian. 2. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaa terhadap dokumentasi kegiatan ekstra kurikuler yang telah dilakukan sebelumnya. E. Teknis Pengolahan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan teknik : 1. Sorting yaitu teknik pengolahan data yang dilakukan untuk memisahkan data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini 2. Koding yaitu teknik pengolahan data yang dilakukan untuk memberikan data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini. 3. Tabulasi yaitu teknik pengolahan data yang dilakukan untuk memasukkan data ke dalam tabel. 4. Interprestasi yaitu teknik yang dilakukan untuk memberikan penjelasan

yang berhubungan dengan fokus dan tujuan penelitian