pronas02-83_2

4
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 NEOSPOROSIS SALAH SATU PENYEBAB KEGUGURAN PADA TERNAK BARU DIKENALI DI INDONESIA (Neosporosis a New Causal Abortion Problem in Ruminants in Indonesia) SUHARDONO, TOLIBIN ISKANDAR, dan ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT Neosporosis caused by Neospora caninum is newly known disease in veterinary science and widely spread all over the world. The disease is very important due to abortion of the diseased animals. However, up to date there is no scientific report on the presence of neosporosis in dairy cattle in Indonesia. Therefore, to confirm the presence of the disease, the amount of 193 sera of dairy cows were collected from the district of Malang. The sera were further analyzed serologically by an ELISA technique, using Biogal ImmunoComb kit. Result showed that 4.7% of sera sample reacted positively contained antibody and 3.1% of samples dubious to N. caninum. It was concluded that neosporosis does occur among dairy cattle in Indonesia. Key words: Neosporosis, prevalence rate, abortion, dairy cow PENDAHULUAN Neospora caninum merupakan salah satu sporozoa kelompok apikompleksa yang relatif baru diketahui keberadaanya di bidang veteriner (BJERKAS et al., 1984) Parasit ini sangat mirip dengan Toxoplasma, sehingga sering dikelirukan dengan parasit tersebut (SPEER et al., 1999), pada anjing dilaporkan telah ditemukan sejak 1971 di Australia (MUNDAY et al., 1990), sedang pada ternak sapi baru diketahui sekitar tahun 1989 oleh THILSTED dan DUBEY di Amerika Serikat. Pada ternak sapi gejala keguguran merupakan tanda klinis yang sering ditemukan, namun yang lebih umum pedet dilahirkan dalam keadaan ‘normal’ tetapi mengidap penyakit ini. Pada anjing penyakit ini disamping mengakibatkan keguguran, juga berupa kelumpuhan anak pada saat dilahirkan, atau gejala klinis penyakitnya baru mulai terlihat pada anak anjing umur 56 minggu berupa kelemahan otot motorik (paresis) yang dapat berlanjut ke kelumpuhan total (paralisis) pada kaki belakangnya. Dari penelitian laboratorium terbukti bahwa perkembangan seksual dari parasit ini terjadi pada anjing (MCALLISTER et al., 1998; LINDSAY, et al., 1999). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada anjing ookista N.caninum yang dikeluarkan bersama feses jumlahnya sangat rendah sehingga sulit untuk mengkaitkan antara penularan secara horizontal ini dengan kejadian abortus pada ternak sapi misalnya. Penularan pada hewan sejenis terjadi secara vertikal (kongenital, transplasental). Wabah keguguran berkaitan dengan neosporosis pada sapi telah dilaporkan di beberapa negara seperti Australia (1982-1994), Belanda (1992-1995), Amerika Serikat (1991-1995), Irlandia, Inggris, Meksiko, dan Selandia Baru (DUBEY dan LINDSAY, 1996). Namun ada laporan (FRENCH et al., 1999; DAVISON et al., 1999) bahwa penularan secara vertikal tidak dapat melestarikan eksistensi penyakit ini pada hewan. Oleh karena itu harus ada penularan secara horizontal dimana peran anjing sangat penting (WOUDA et al., 2000). Keguguran merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada sapi (BOULTON et al., 1995; JENSEN et al., 2000), namun pedet yang dilahirkan normal dari induk penderita dapat mengidap penyakit ini sebagai karier (FIORETTI et al., 2000). Keguguran ini dapat terjadi mulai kebuntingan 3 bulan hingga kelahiran dan secara umum keguguran tidak berkaitan dengan musim. Tingkat kejadian keguguran hampir merata pada semua umur induk sapi. Sejak awal pencangan pembangunan jangka pendek lima tahunan (PELITA) Pemerintah Indonesia memprogramkan meningkatkan penyediaan protein hewani yang berupa daging, telur dan susu. Untuk menambah ketersediaan susu nasional, Pemerintah melalui Ditjen Peternakan disamping mengimpor pejantan unggul sebagai donor semen, juga memasukkan sapi perah dara/induk yang bermutu tinggi yang secara langsung akan manambah populasi yang sudah ada. Sapi perah yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari negara-negara maju di daratan Eropa, Amerika, Australia dan Selandia Baru. Impor sapi perah ini terus berlangsung hingga Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997 lalu. Hasil penelitian Tim Kelompok Kerja Universitas Airlangga pada tahun 2000 (ANON, 2000) melaporkan bahwa dari uji serologik yang dilakukannya satu dari sepuluh sera sapi perah asal kabupaten Malang positif mengandung antibodi Neospora caninum. Banyak literatur luar negeri melaporkan bahwa pada dekade tahun 1990-an

Upload: satria-arceus-dewantara

Post on 23-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dweqw etwf sgrdgt efsef

TRANSCRIPT

Page 1: pronas02-83_2

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002

NEOSPOROSIS SALAH SATU PENYEBAB KEGUGURAN PADA TERNAK BARU DIKENALI DI INDONESIA

(Neosporosis a New Causal Abortion Problem in Ruminants in Indonesia)

SUHARDONO, TOLIBIN ISKANDAR, dan ZAENAL KOSASIH

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRACT

Neosporosis caused by Neospora caninum is newly known disease in veterinary science and widely spread all over the world. The disease is very important due to abortion of the diseased animals. However, up to date there is no scientific report on the presence of neosporosis in dairy cattle in Indonesia. Therefore, to confirm the presence of the disease, the amount of 193 sera of dairy cows were collected from the district of Malang. The sera were further analyzed serologically by an ELISA technique, using Biogal ImmunoComb kit. Result showed that 4.7% of sera sample reacted positively contained antibody and 3.1% of samples dubious to N. caninum. It was concluded that neosporosis does occur among dairy cattle in Indonesia.

Key words: Neosporosis, prevalence rate, abortion, dairy cow

PENDAHULUAN

Neospora caninum merupakan salah satu sporozoa kelompok apikompleksa yang relatif baru diketahui keberadaanya di bidang veteriner (BJERKAS et al., 1984) Parasit ini sangat mirip dengan Toxoplasma, sehingga sering dikelirukan dengan parasit tersebut (SPEER et al., 1999), pada anjing dilaporkan telah ditemukan sejak 1971 di Australia (MUNDAY et al., 1990), sedang pada ternak sapi baru diketahui sekitar tahun 1989 oleh THILSTED dan DUBEY di Amerika Serikat. Pada ternak sapi gejala keguguran merupakan tanda klinis yang sering ditemukan, namun yang lebih umum pedet dilahirkan dalam keadaan ‘normal’ tetapi mengidap penyakit ini. Pada anjing penyakit ini disamping mengakibatkan keguguran, juga berupa kelumpuhan anak pada saat dilahirkan, atau gejala klinis penyakitnya baru mulai terlihat pada anak anjing umur 5−6 minggu berupa kelemahan otot motorik (paresis) yang dapat berlanjut ke kelumpuhan total (paralisis) pada kaki belakangnya. Dari penelitian laboratorium terbukti bahwa perkembangan seksual dari parasit ini terjadi pada anjing (MCALLISTER et al., 1998; LINDSAY, et al., 1999). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada anjing ookista N.caninum yang dikeluarkan bersama feses jumlahnya sangat rendah sehingga sulit untuk mengkaitkan antara penularan secara horizontal ini dengan kejadian abortus pada ternak sapi misalnya.

Penularan pada hewan sejenis terjadi secara vertikal (kongenital, transplasental). Wabah keguguran berkaitan dengan neosporosis pada sapi telah dilaporkan di beberapa negara seperti Australia (1982-1994), Belanda (1992-1995), Amerika Serikat (1991-1995), Irlandia, Inggris, Meksiko, dan Selandia Baru (DUBEY dan

LINDSAY, 1996). Namun ada laporan (FRENCH et al., 1999; DAVISON et al., 1999) bahwa penularan secara vertikal tidak dapat melestarikan eksistensi penyakit ini pada hewan. Oleh karena itu harus ada penularan secara horizontal dimana peran anjing sangat penting (WOUDA et al., 2000). Keguguran merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada sapi (BOULTON et al., 1995; JENSEN et al., 2000), namun pedet yang dilahirkan normal dari induk penderita dapat mengidap penyakit ini sebagai karier (FIORETTI et al., 2000). Keguguran ini dapat terjadi mulai kebuntingan 3 bulan hingga kelahiran dan secara umum keguguran tidak berkaitan dengan musim. Tingkat kejadian keguguran hampir merata pada semua umur induk sapi.

Sejak awal pencangan pembangunan jangka pendek lima tahunan (PELITA) Pemerintah Indonesia memprogramkan meningkatkan penyediaan protein hewani yang berupa daging, telur dan susu. Untuk menambah ketersediaan susu nasional, Pemerintah melalui Ditjen Peternakan disamping mengimpor pejantan unggul sebagai donor semen, juga memasukkan sapi perah dara/induk yang bermutu tinggi yang secara langsung akan manambah populasi yang sudah ada. Sapi perah yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari negara-negara maju di daratan Eropa, Amerika, Australia dan Selandia Baru. Impor sapi perah ini terus berlangsung hingga Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997 lalu. Hasil penelitian Tim Kelompok Kerja Universitas Airlangga pada tahun 2000 (ANON, 2000) melaporkan bahwa dari uji serologik yang dilakukannya satu dari sepuluh sera sapi perah asal kabupaten Malang positif mengandung antibodi Neospora caninum. Banyak literatur luar negeri melaporkan bahwa pada dekade tahun 1990-an

Page 2: pronas02-83_2

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002

di banyak negara di dunia mewabah penyakit neosporosis (DUBEY dan LINDSAY, 1996). Bukan tidak mungkin penyakit ini juga ikut masuk ke Indonesia terbawa bersama ternak sapi yang diimpor. Dugaan ini diperkuat oleh karena persyaratan ‘bebas neosporosis’ tidak termasuk di dalam salah satu kriteria dalam prosedur importasi hewan di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan suatu skrining lapangan untuk meyakinkan keberadaan neosporosis pada ternak sapi perah. Uji serologi IFAT dan ELISA merupakan uji serologik yang paling umum digunakan untuk mendiagnosa neosporosis (DUBEY, et al., 1988; DUBEY et al., 1996; ROMAND et al., 1998) dan polymerase chain reaction - PCR (YAMAGE et al., 1996).

METODOLOGI

Rancangan penelitian lapangan

Pengumpulan data keguguran dan pengambilan sampel serum dilakukan di salah satu sentra peternakan sapi perah di Malang (di wilayah kerja KUD Batu, lokasi dimana kasus pertama dilaporkan). Sampel diambil paling sedikit sepertiga dari populasi induk dan dara bunting pada setiap kandangnya, sehingga sampel yang diambil akan lebih tersebar dan lebih mewakili populasi induk dan dara bunting yang ada di daerah itu. Data vaksinasi dan status keguguran dari setiap ternak sapi yang diambil sampel darahnya diperoleh melalui Dinas setempat, KUD Batu, dan/atau pemilik ternak.

Dari masing-masing sapi perah yang dijadikan sampel diambil darahnya dari vena Jugularis sebanyak 5−10 mL tanpa koagulan. Sampel darah yang terkumpul, kemudian dilakukan pemisahan antara butiran sel darah (darah merah dan putih) dengan cairannya (serum) dan selanjutnya serum disimpan di freezer −70o C sampai siap dianalisis.

Penelitian laboratorium

Uji serologi

Uji serologi terhadap serum lapang dilakukan dengan teknik enzyme-linked immunosorbent assay - ELISA (BJORKMAN dan UGLA, 1999), dengan menggunakan kit pabrikan (Biogal ImmunoComb Neospora caninum). Uji ini menggunakan crude antigen dari lysate tachyzoit (WOUDA et al., 1998; PARE et al., 1995; OSSAWA et al., 1998; MOEN et al., 1998). Uji ini bersifat kualitatif, hanya dapat menunjukkan reaksi positif atau negatif saja tetapi tidak sampai mengetahui titer antibodinya. Uji serologik dilakukan di laboratorium Parasitologi Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

Prosedur pengujian sera sampel (uji dilakukan pada suhu antara 20-25 C) menggunakan kit ELISA Biogal ImmunoComb mengikuti petunjuk pabrik pembuatnya dengan prinsip prosedur kerja sebagai berikut:

1. Antigen N. caninum ditempelkan pada kartu plastik bergigi seperti sisir (Comb), (prinsip uji immunoassay fase padat).

2. Masukkan serum ke dalam sumur plate dan masukkan Comb ke dalam sumur sampel agar antibodi berikatan dengan antigen.

3. Cuci Comb untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat antigen.

4. Masukkan Comb ke dalam plate yang berisi konjugate yang sudah dilabel dengan enzyme, sehingga akan terjadi perubahan warna apabila ada antibodi yang terikat.

5. Dengan menggunakan ‘CombScale’, konversikan warna yang terbentuk ke level anti-Neospora IgG.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini telah diambil sebanyak 193 sampel sera berasal dari peternakan rakyat yang tersebar di 6 desa dalam dua kecamatan di kabupaten Malang. Hasil wawancara dengan pemilik ternak diketahui bahwa 8,4% ternak sapi perah yang diambil serumnya ini pernah mengalami keguguran dengan sebab yang tidak jelas pada umur kebuntingan yang bervariasi. Dari Kepala Cabang Dinas Peternakan di Batu diinformasikan bahwa di daerah itu belum pernah dilakukan vaksinasi terhadap beberapa penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi, seperti: brucellosis, leptospirosis ataupun IBR. Sebelum dilakukan uji ELISA, semua sampel sera disimpan pada suhu −70 C antara 1−4 minggu. Sebelum dilakukan analisis, semua sera dicairkan (thawing) pada suhu antara 20−25o C dan selanjutnya dianalisis dengan teknik ELISA dan hasilnya ditampilkan dalam Tabel 1. Angka prevalensi secara serologik kasus Neosporosis (reaktor positif) pada ternak sapi perah di Kabupaten Malang sebesar 4,7% dan sebanyak 3,1% dinyatakan dubius serta sisanya negatif (92,2%).

Menurut pabrik pembuat kit ELISA Biogal ImmunoComb, reaksi dikatakan negatif apabila bernilai skor satu atau lebih rendah, sedang nilai skor dua dianggap dubius, dan nilai skor tiga atau lebih besar dinyatakan positif. Dari komunikasi pribadi dengan LANDMANN (2001) uji ELISA dengan kit Biogal Immuno Comb (yang juga dipakai pada pengujian sera dalam penelitian ini) memiliki sensitivitas 95,16% dan spesifisitas 98,31% terhadap ELISA dengan kit IDEXX. Lebih lanjut dikatakan oleh LANDMANN bahwa terhadap uji FAT, sera yang diuji ELISA dan bereaksi ‘dubius’ (titer = angka 2 dalam CombScale) masih dinyatakan positif pada uji FAT. Kemungkinan adanya

Page 3: pronas02-83_2

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002

reaksi silang dengan sporozoa lain yang masih dekat kekerabatannya (misal Toxoplasma gondii) yang relatif banyak ditemukan di Indonesia, teknik uji ini sudah dibuktikan oleh DUBEY, et al. (1996) tidak terjadi reaksi silang.

Terlihat suatu kecenderungan bahwa proporsi sapi-sapi yang pernah mengalami keguguran yang bereaksi baik positif maupun dubius pada uji ini lebih tinggi (>2 kali) dibandingkan dengan sapi yang tidak pernah keguguran, namun secara statistik perbedaan tidak nyata (P>0.10). Secara kumulatif pada reaktor positif dan dubius ternyata secara statistik memiliki tingkat kepercayaan >90% (P<0.10) antara kelompok yang pernah dan tidak pernah mengalami keguguran. Perbedaan jumlah sampel antara dua kelompok sapi ini berpengaruh pada hasil uji statistiknya. Sehingga dapat diyakini, apabila jumlah sampel dari kedua kelompok ini sama satu sama lain, maka hasil analisis statistik akan menunjukkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi lagi. Hal ini menunjukkan adanya suatu indikasi bahwa ada kaitan antara kejadian neosporosis dengan

kasus keguguran pada ternak sapi perah di daerah tersebut.

Dengan terdeteksinya antibodi pada ternak sapi perah rakyat di daerah ini membuktikan bahwa ternak ini pernah terinfeksi oleh N. caninum sebelumnya, mengingat bahwa penyakit ini relatif baru dikenali bidang veteriner dan sampai sekarang belum diproduksi vaksin untuk pencegahan penyakitnya (DUBEY, 1999). Lebih lanjut DUBEY (1999) melaporkan bahwa tidak ada obat yang mampu membunuh parasit yang berada di jaringan tubuh hewan. Bahwa penularan secara vertikal dari induk ke anak pada saat masih di dalam kandungan (prenatal) merupakan cara yang paling efektif untuk penyebaran penyakit ini (PARE et al., 1997; SCHARES et al., 1998; FRENCH et al., 1999; DAVISON et al., 1999; ATKINSON et al., 2000). Secara teoritis salah satu upaya pencegahan penyebaran neosporosis pada ternak sapi yang dapat dilakukan adalah membatasi mutasi induk-induk reaktor beserta keturunannya atau membunuh sapi-sapi reaktor.

Tabel 1. Jumlah sampel dan reaktor pada uji ELISA terhadap Neosporosis pada ternak sapi perah yang diambil dari Kabupaten Malang

Jumlah (persentase) Asal Sejarah Keguguran Positif Dubius Negatif

Jumlah

Malang Pernah 2(11,8) 1(5,9) 14(82,3) 17 Tidak pernah 7(4) 5(2,8) 164(93,2) 176 Jumlah 9(4,7) 6(3,1) 178(92,2) 193

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Neosporosis pada sapi perah berdasarkan uji serologi ELISA ditemukan di Indonesia.

2. Kejadian Neosporosis pada ternak sapi perah di Malang sebesar 4,7%.

3. Perlu diteliti lebih lanjut adanya kaitan antara kejadian neosporosis dengan kasus keguguran pada ternak sapi perah di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Staf Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur dan Kabupaten Malang atas atas ijin pelaksanaan penelitian ini. Kami sangat berhutang budi kepada staf di KUD Batu, atas segala bantuan baik administratif maupun pengambilan sampel selama penelitian ini dilaksanakan. Kepada semua teknisi dan laboran di Kelti Parasitologi tidak lupa diucapkan terima kasih atas bantuannya baik selama persiapan, pengambilan sampel dan menganalisis spesimen. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Juergen Landmann, DPI Brisbane, Australia yang

telah memberikan data laboratorium yang sangat berharga.

DAFTAR PUSTAKA

ATKINSON, R.A., R.W. COOK, L.A. REDDACLIFF, K.W. BROADY, P.A.W. HARPER, and J.T. ELLIS. 2000. Seroprevalence of Neospora caninum infection following an abortion outbreak in dairy cattle herd. Aus.Vet.J. 78(4):262-6.

BJERKAS, I., S.F. MOHN, and J. PRESTHUS. 1984. Unidentified cyct-forming sporozoon causing encephalomyelitis and myiositis in dogs. Z.Parasitenkd 20: 271-274.

BJORKMAN, C. dan A. UGGLA, 1999. Serological diagnosis of Neospora caninum infection. Int.J.Parasitol. 29: 1947-1507

BOULTON, J.G., R.W. COOK, G.C. FRASER, P.A.W. HARPER, dan J.P. DUBEY. 1995. Bovine Neospora abortion in north-east New South Wales. Aus.Vet.J. 72: 119-120

DAVISON, H.C, A. OTTER, and A.J. TREES. 1999. Estimation of vertical transmission parameters of Neospora caninum infections in dairy cattle. Int.J.Parasitol., 29: 1683-1689.

Page 4: pronas02-83_2

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002

DUBEY, J.P. 1999. Neosporosis-the first decade of research. Int.J.Parasitol, 29: 1485-1488

DUBEY J.P., A.L. HETTEL, D.S. LINDSAY, and M.J. TOPPER. 1988. Neonatal Neospora caninum infection in dogs: Isolation of the causative agent and experimental transmission. J.Ame.Vet.Med.Assoc. 193(10): 1259-63.

DUBEY, J.P. and D.S. LINDSAY. 1996. A review of Neospora caninum and neosporosis. Vet.Parasitol. 67: 1-59

DUBEY, J.P, D.S. LINDSAY, D.S. ADAMS, J.M. GAY, T.V. BASZLER, B.L. BLAGBURN, dan THULLIEZ. 1996. Serologic responses of cattle and other animals infected with Neospora caninum. Ame.J.Vet.Res, 57: 329-336

FIORETTI, D.P., L.R ROSIGNOLI, G. RICCI, A. MORETTI, P. PASQUALI, dan G.A. POLIDORI. 2000. Neospora caninum infection in clinically healthy calf. Parasitological study and serological follow-up. J.Vet.Med. Series B. Dis.Vet.Publ.Hlth. 47: 47-53

FRENCH, N.P., D. CLANCY, H.C. DAVISON, and A.J. TREES. 1999. Mathematical models of Neospora caninum infection in dairy cattle: transmission and options for control. Int. J. Parasitol. 29: 1691-1704.

JENSEN, A.M., C. BJORKMAN, A.M. KJELDSEN, A. WEDDERKOP, C. WILLADSEN, A. UGGLA, dan P. LIND. 2000 Association of Neospora caninum seropositivity with gestation number and pregnancy outcome in Danish dairy herds. Prev.Vet.Med. 43: 139-140

LINDSAY, D.S. and J.P. DUBEY. 1989. Immunohistochemical diagnosis of Neospora caninum in tissue sections. Ame.J.Vet.Res., 50: 1981-1983

LINDSAY, D.S., J.P. DUBEY, and R.B. DUNCAN. 1999. Rapid Communication. Confirmation that the dog is a definitive host for Neospora caninum. Vet.Parasitol., 82: 327-33.

MCALLISTER, M.M., J.P. DUBEY, D.S. LINDSAY, W.R. JOLLEY, R.A. WILLS, and A.M. MCGUIRE. 1998. Rapid Communication. Dogs are definitive hosts of Neospora caninum. Int.J.Parasitol, 28(): 1473-78.

MOEN, A.R., W. WOUDA, M.F. MUL, E.A.M. GRAAT, dan T. VAN WERVEN. 1998 Increased risk of abortion following Neospora caninum abortion outbreaks, a retrospective and prospective cohort study in four dairy herds. Theriogenology 49: 1301-9

MUNDAY, B.L., J.P. DUBEY, and R.W. MASON. 1990. Neospora caninum in dogs. Aus.Vet.J., 67: 76-77

OSSAWA, T., J. WASTLING, S. MALEY, D. BUXTON, dan E.A. INNES. (1998) A multiple antigen ELISA to detect Neospora-specific antibodies in bovine foetal fluids, ovine and caprine sera. Vet.Parasitol. 79: 19-34

PARE, J., S.K. HIETALA, dan M.C. THURMOND. 1995 An enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for serological diagnosis of Neospora sp. infection in cattle. J.Vet.Diag. Invest. 7: 352-9

PARE, J., M.C. THURMOND, and S.K. HIETALA. 1997. Neospora caninum antibodies in cows during pregnancy as a predictor of congenital infection and abortion. J.Parasitol. 83(1): 82-7.

ROMAND, S., P. THULLIEZ, and J.P. DUBEY. 1998. Direct agglutination test for serologic diagnosis of Neospora caninum infection. Parasitol.Res., 60: 50-3.

SCHARES, G., M. PETERS, R. WURM, A. BARWALD, and F.J. CONRATHS. 1998. The efficiency of vertical transmission of Neospora caninum in dairy cattle analysed by serological techniques. Vet.Parasitol., 80: 87-98.

SPEER, C.A., J.P. DUBEY, M.M. MCALLISTER, and J.A. BLIXT. 1999. Comparative ultrastructure of tachyzoites, bradyzoites, and tissue cycts of Neospora caninum and Toxoplasma gondii. Int.J.Parasitol. 29: 1509-19.

THILSTED, J.P and J.P. DUBEY. 1989. Neosporosis-like abortions in a herd of dairy cattle. J.vet.Diag.Invest., 1: 205-209

WOUDA, W., J. BRINKHOF, C. VAN MAANEN, A.L.W. DE GEE, dan A.R. MOEN. 1998. Serodiagnosis of neosporosis in individual cows and dairy herds, a comparative study of three enzyme-linked immunosorbent assays. Clin.Diagn.Lab.Immunol. 5(55) : 711-716

WOUDA, W., T. DIJKSTRA, A.M.H. KRAMER, dan C.J.M. BARTELS. 2000. The role of the dog in the epidemiology of neosporosis in cattle. Tijdschrifft Voor Diergenskunde. 125: 614-618

YAMAGE, M., O. FLECHTNER, and B. GOTTSTEIN. 1996. Neospora caninum: specific oligonucleotide primers for detection of brain ‘cyst’ DNA experimentally infected nude mice by the polymerase chain reaction (PCR). J Parasitol., 82: 272-279