program studi ahwal al -syakhshiyah sekolah tinggi...
TRANSCRIPT
TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS
TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI
(Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)
SKRIPSI
Oleh :
AMINANTO21105001
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2010
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Aminanto
NIM : 21105001
Jurusan : Syari’ah
Program studi : Ahwal al-Syakhshiyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 21 September 2011Yang menyatakan,
Aminanto
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
KESULITAN SEBESAR APA PUN AKAN TERASA WAJARbagi jiwa yang tetap melebihkan syukur daripada mengeluh.
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku,anak istriku, para dosenku,
sahabat-sahabatku, terutama kang Mutamassikinyang telah memberikan dorongan dan membantu
dalam penyelesaian skripsiku.
KATA PENGANTAR
Tiada sepatah kata pun yang pantas terucap selain alhamdulillahi rabbil
‘alamin, karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
yang berjudul “Telaah Terhadap Hadis-hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa
Wali (Takhrij Hadits tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)” ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan
Syariah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan
pengertian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si., selaku Kaprodi Ahwal Al-Syakhshiyyah yang
dengan dukungan dan dorongan serta motivasi yang diberikannya kepada
penulis untuk menyelesaikan studi S1, sehingga penulis mampu menyalakan
api semangatnya kembali setelah redup beberapa waktu yang cukup lama
karena sesuatu hal yang menghambat dalam penyelesaian studi penulis.
3. Ahmad Mutamassikin, S.Pd.I., seorang sahabat yang baik yang dengan
keikhlasan hatinya telah banyak membantu dalam pengetikan naskah skripsi
ini.
Semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih baik atas kebaikan
yang telah diberikannya kepada penulis (jazahumullahu ahsanal jaza’).
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri, baik keterbatasan
dalam hal ilmu pengetahuan, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan sarana
prasarana. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Cukilan, 24 November 2011
Penulis,
Aminanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah segala ketentuan dan kepastian mengenai segala
yang terjadi di sekitar kita berdasarkan petunjuk Allah SWT yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Petunjuk inilah yang menjadi
pedoman setiap mukmin yang muslim dalam upaya pengabdiannya kepada
Allah SWT.
Petunjuk yang menjadi pedoman itu tidak memuat ketentuan-ketentuan
segala aspek kehidupan. Ketentuan itu sebagian besar hanya memuat petunjuk
global. Ketentuan-ketentuan yang tidak termuat dalam petunjuk Allah itu
selanjutnya dijelaskan di dalam as-Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan
maupun penetapan yang pada hakekatnya merupakan petunjuk Allah juga.
Selanjutnya sebagai bukti sifat hukum Islam yang dinamis (selalu bergerak
dan berkembang) hukum Islam dikembangkan dalam bentuk Ijtihad, Ijma’,
dan Qiyas dan lain-lain yang semuanya menuntut para para ulama mujtahid
senantiasa memanfaatkan akal pikirannya hingga pendapat yang dihasilkannya
menjadi sumber hukum pelengkap.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa as-Sunnah merupakan
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Para ulama sepakat bahwa as-Sunnah
dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan yang berasal dari
as-Sunnah sama dengan kekuatan hukum yang berasal dari al-Qur’an dan
menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu, as-Sunnah berfungsi
sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an yang tidak atau
kurang jelas serta penentu dari beberapa hukum yang tidak terdapat hukumnya
di dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, apapun yang diberikan, dicontohkan,
ataupun yang diucapkan oleh Rasulullah SAW harus diakui sebagai hukum
Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-
Najm ayat 3 dan 4:
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apayang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yangdiwahyukan (kepadanya).
Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah terkandung dalam al-
Qur’an. Sunnah ada kalanya menjelaskan hal-hal yang belum jelas dalam al-
Qur’an, membatasi hukum yang datang secara muthlaq, serta memberikan
ketentuan khusus terhadap hukum yang datang secara umum. Demikian pula
as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al-
Qur’an. Oleh karena itu kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus
didahulukan daripada yang menjelaskan.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW
ketika mengutusnya ke Yaman bersabda: “Bagaimana kamu memutuskan jika
dihadapanmu suatu persoalan? Mu’adz menjawab; aku akan memutuskan
dengan Al-Qur’an. Rasulullah SAW berkata; jika engkau tidak dapatkan
dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah. Nabi
berkata; jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz
menjawab; saya berijtihad dengan pikiran saya. Kemudian Rasulullah
memukul dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan sikap yang disetujui Rasul-Nya”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Begitulah kedudukan as-Sunnah dalam sistematika sumber hukum
Islam. Namun demikian yang menjadi persoalan yang tidak asing lagi bagi
umat Islam pada umumnya adalah mengenai shahih atau tidaknya suatu hadis.
Dari sekian banyak hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tidak
semuanya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum karena
hanyalah hadis-hadis yang shahih saja yang boleh dijadikan pedoman atau
dasar hukum suatu perkara.
Kadang kala ada dua atau bahkan beberapa hadits yang berbicara
mengenai suatu perkara yang sama, namun dalam penetapan hukumnya
hadits-hadits tersebut saling bertentangan. Misalnya mengenai masalah wali
nikah ada beberapa hadits yang mewajibkan keberadaannya, namun ada pula
beberapa hadits yang membolehkan akad nikah tanpa wali.
Selama ini yang penulis ketahui wali nikah merupakan salah satu
rukun nikah yang lima yakni : mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali
nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Kelima rukun nikah tersebut harus
terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan
dianggap tidak sah. Itulah hukum yang berlaku dalam masyarakat kita bahkan
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini
terbukti dengan adanya beberapa putusan Pengadilan Agama tentang Fasid
Nikah karena tidak adanya wali (Ramulyo,2000:10).
Berawal dari membaca bukunya A.Hassan yang berjudul Soal-Jawab
tentang Berbagai Masalah Agama, penulis merasa terkejut sekali ketika
mengetahui ada hadis-hadis yang menjadi dalil tentang kebolehan nikah tanpa
wali. Menurut beliau, seorang wanita meskipun masih gadis berhak untuk
menikahkan dirinya sendiri, dalam artian boleh melakukan ijab qabul sendiri,
maupun ia dalam posisi menjadi wakil untuk orang lain.
Di samping hadis-hadis sebagai dalil naqli tentang kebolehan nikah
tanpa wali meskipun bagi wanita yang masih gadis, beliau juga menggunakan
dalil ‘aqli atau argument secara akal sehat. Argument tersebut ialah bahwa
pokok atau asal masalah dalam wali nikah adalah kemerdekaan orang yang
diurus oleh wali. Selama orang yang diurusnya telah baligh atau dewasa, maka
hilanglah kekuasaan wali atas orang yang diurusnya, sehingga ia menjadi
orang yang merdeka. Dengan demikian, orang tersebut bebas mengurus
dirinya sendiri termasuk bebas memilih dan menentukan calon pasangan
hidupnya serta berhak menikahkan dirinya sendiri. Padahal jika kita
menengok fakta dan fenomena masyarakat yang terjadi adalah mereka
menerapkan hukum wali nikah sebagai salah satu rukun nikah, sehingga tidak
sah nikah tanpa wali.
Sebuah hadits yang sangat familier di kalangan masyarakat Muslim
yang menjadi landasan bahwa nikah tidak sah tanpa wali salah satunya adalah
hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda :
رواه (ال نكاح اال بولى وشاھدى عدل فان تشاجروا فالسلطان ولى من ال ولى لھ
) ارقطنى والبیھقىالد
Artinya: ”Tidak (sah) nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yangadil. Jika (wali-wali itu) berbantah, maka Sulthonlah yang menjadiwali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Daruquthni danBaihaqi)
Redaksi hadits tersebut di atas tidak menjelaskan bagi siapakah hukum
itu diberlakukan, untuk perempuan janda ataukah perempuan yang masih
gadis (bikr)? Dengan tidak adanya penjelasan, maka hadits tersebut sering
digunakan sebagai landasan pendapat yang mewajibkan keberadaan wali baik
bagi perempuan yang masih perawan (bikr) ataupun perempuan janda.
Pendapat tersebut dibantah oleh kelompok yang mengatakan bahwa
wali itu wajib hukumnya dan menjadi syarat sah nikah hanya berlaku untuk
perempuan yang masih perawan bukan perempuan janda. Hal itu berlandaskan
pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 232:
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagidengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antaramereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan harikemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,sedang kamu tidak Mengetahui.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Nabi yang menjelaskan
bahwa wanita janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Hak
tersebut berupa hak untuk menentukan suami pilihannya dan juga hak untuk
mengawinkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya tersebut. Adapun bunyi
redaksi hadits yang digunakan sebagai dalilnya adalah sebagai berikut :
الثیب احق بتفسھا من ولیھا والبكر تستأذن في نفسھا واذنھا صماتھا )مسلم. ر.ص.ح(
Artinya: Perempuan yang janda itu lebih berhak (mengawinkan) dirinyadaripada walinya: dan anak perawan itu dimintai idzinnya pada(mengawinkan) dirinya: dan idzinnya itu ialah diamnya. (H.S.RMuslim)Ketika kita mendengar sebuah pendapat yang mengatakan bahwa
seorang wanita sekalipun ia masih gadis atau perawan lebih berhak atas
dirinya daripada walinya, sehingga ia pun berhak menikahkan dirinya sendiri
dengan lelaki pilihannya, apa reaksi yang muncul pada diri kita. Sudah barang
tentu hal itu menjadi sesuatu yang aneh dan tentunya kita menolak pendapat
tersebut sekuat tenaga dengan berdalil pada hadits Nabi SAW yang
mengatakan bahwa seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah
wanita zina. Adapun bunyi redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut :
التزوج المرأة المرأة وال تزوج : هللا علیھ وسلم قال رسول ا: قال ابو ھریرة
رواه ابن ماجھ والدارقطنى. المرأة نفسھا فإ ن الزانیة ھي التى تزوج نفسھاArtinya: “Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda tidak boleh
seorang wanita mengawinkan wanita lain dan tidak boleh seorangwanita mengawinkan dirinya sendiri karena hanyalah wanita zinayang mengawinkan dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu Majah danDaruquthni)
Namun bantahan kita pun ditentang oleh mereka yang mengatakan
bahwa seorang perempuan meskipun perawan berhak mengawinkan dirinya
dengan lelaki pilihannya sendiri tanpa perantaraan wali dengan berdalil pada
hadits Nabi yang berbunyi :
ان ابى : جأت فتاة الى رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم فقالت : قال ابو بریدة
زوجنى ابن اخیھ لیرفع بى خسیستھ فجعل رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم
قد اجزت ماصنع ابى ولكن اردت ان تعلم النساء ان لیس : االمر الیھا فقالت
الى االباء من االمر شیئArtinya: “Abu Buraidah berkata:” Telah datang seorang gadis kepada
Rasulullah SAW maka dia berkata: “Sesungguhnya ayahku telahmengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya agar supayahilang kehinaannya sebab saya”. Maka Rasulullah SAWmenyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis tadi. Diaberkata: “Aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapiaku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasaapapun bagi para bapak dari perkara ini.”
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, yang masing-masing
mempunyai dasar atau dalil, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar di
benak kita mengenai pendapat manakah yang sesungguhnya benar dan
pendapat manakah yang harus kita gunakan.
Perbedaan pendapat tersebut tidak seharusnya menjadikan umat Islam
terpecah belah. Umat Islam harus tetap bersatu meskipun berbeda pendapat
satu sama lainnya dalam masalah furu’iyah, selama aqidah tetap satu. Hal ini
sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron: 103
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, danjanganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allahkepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karenanikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telahberada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,agar kamu mendapat petunjuk.
Kita jadikan perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah tersebut
sebagai rahmat karena hal itu berarti memberikan kebebasan kepada umat
Islam untuk menganut salah satu darinya sesuai dengan keyakinan dan
kemantapan hati. Masing-masing mempunyai dasar/landasan yang digali dari
sumber hukum Islam itu sendiri. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita
mau dan mampu menggali hukum (istinbath hukum) langsung dari sumbernya,
tidak hanya taqlid belaka.
Beranjak dari latar belakang masalah tersebut, penulis merasa sangat
tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi hadits-hadits yang digunakan sebagai
landasan atau dasar pendapat yang membolehkan akad nikah tanpa wali
meskipun bagi wanita yang masih perawan (bikr). Oleh sebab itu, penulis
dalam penelitian ini mengangkat judul: “Telaah Terhadap Hadits-Hadits
Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali” (Takhrij Hadits Tentang
Keabsahan Nikah Tanpa Wali).
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, maka selanjutnya
akan dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan?
2. Kitab-kitab hadits apa saja yang membicarakan tentang keabsahan nikah
tanpa wali?
3. Bagaimana telaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?
4. Bagaimana telaah matan hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian hadits tentang keabsahan nikah tanpa
wali adalah sebagai berikut :
1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep wali nikah dalam fiqh dan
perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yakni UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Mengetahui serta mengkaji kitab-kitab hadits yang memuat hadits tentang
keabsahan nikah tanpa wali.
3. Mempelajari serta memahami sebab munculnya hadits tentang keabsahan
nikah tanpa wali, kapan dan di manakah hadits tersebut muncul,
bagaimanakah situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu sehingga
berlaku hukum perkawinan yang sah tanpa wali.
4. Menelaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali untuk
menentukan otentisitas matan hadits tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya dapat atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pedoman
hukum.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Pengayaan pemahaman tentang studi sanad hadits
2. Wawasan yang lebih luas kepada umat Islam mengenai matan hadits.
3. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum
munakahat.
E. Metode Penelitian
Ibrahim (2005:25-26) menjelaskan bahwa penggunaan metode
merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah.
Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan
ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan
yang berlaku agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan
terkait karena memiliki nilai ilmiah di bidangnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan
menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan
diteliti. Menurut Zed (2004:1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk
memperoleh data penelitiannya”.
2. Pendekatan
Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini,
yaitu :
a. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum,
dan sejarah munculnya hukum (Soekanto&Mamudji,1995:13-14).
Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis
menelaah kitab-kitab hadits sebagai sumber hukum Islam yang
berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan keabsahan nikah tanpa
wali, juga mengenai sejarah munculnya hadits tersebut.
b. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta
masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis
untuk mencari kebenaran (Nazir,1988:55). Dalam hal ini penulis
melacak akar sejarah munculnya pendapat tentang keabsahan nikah
tanpa wali dengan cara mengumpulkan dan mengakses hadits-hadits
terkait dari kitab-kitab hadits yang telah diakui dalam dunia islam dan
juga dari CD Maktabah Syamilah.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitan ini terdapat dua macam jenis
data, yaitu:
a. Data Primer, ialah data yang diperoleh dari kitab-kitab hadits yang
memuat masalah keabsahan nikah tanpa wali.
b. Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer tesebut
(Soemitro,1990:53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder
adalah buku-buku dan informasi-informasi dari berbagai media
mengenai wali nikah, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, dan KHI.
4. Langkah-Langkah Penelitian
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian
takhrij hadits ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan hadits yang digunakan sebagai landasan/dalil tentang
keabsahan nikah tanpa wali.
2. Menelusuri hadits tersebut dengan CD Maktabah Syamilah
3. Mengecek kembali hadits dalam kitab aslinya, jika keterangan yang
ada pada CD Maktabah Syamilah tidak cocok, maka dicari potongan
hadits tersebut di dalam kamus hadits Mu’jam Mufahrus li alfadh al-
hadits an-Nabawi karya Wensic dan Muhammad Fuad Abdul Baqi.
4. Petunjuk dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di dalam kitab
aslinya.
5. Setelah ditemukan hadits yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan
sanad.
6. Meneliti atau menelaah otentitas hadits di dalam kitab Tahdzib al-
Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttashil (bersambung)
ataukah munqa thi’ (terputus).
7. Menentukan kualitas para perawi hadits berdasarkan telaah sanad.
8. Menelaah matan hadits dari semua jalur periwayatan yang ada untuk
mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam
penulisan matan hadits.
9. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadits untuk
menentukan bisa atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pegangan
hukum.
10. Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadits
tersebut, agar terdapat kepastian hukum mengenai masalah
keabsahan nikah tanpa wali.
5. Analisa Data.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui otentitas atau shahih
tidaknya hadits yang digunakan sebagai landasan pendapat yang
mengatakan bahwa nikah tanpa wali hukumnya sah baik bagi perempuan
janda maupun perempuan yang masih perawan (bikr) dengan cara
menelaah sanadnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Peneliti juga
menelaah matan hadits dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta
mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan hadits antara jalur
periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya. Selain itu
penulis juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya
hadits tersebut, untuk mendapatkan kepastian hukum apakah boleh atau
tidak pelaksanaan nikah tanpa wali. Adapun prosedur penelitian yang
penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian
tersebut di atas.
Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan
dengan menggunakan metode analisa takhrij hadits. Sehingga penulis
harus menelaah hadits terkait di dalam kitab-kitab hadits yang telah diakui
oleh dunia Islam (mu’tabaroh). Penulis juga memaparkan pokok
permasalahan dalam penelitian ini yaitu wali nikah menurut fiqh dan
perundang-undangan seperti UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai landasan dasar
hukum Islam di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
jauh dan seberapa besar perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam
khususnya mengenai penerapan hukum perwalian dalam pernikahan
hingga menimbulkan masalah yang kontroversial.
F. Penegasan Istilah
Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya
terhindar dari kerancuan atau kesalahan penafsiran istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan
dan penegasan istilah sebagai berikut :
1. Takhrij hadits
Kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata kerja kharraja-
yukharriju-takhrij yang berarti mengeluarkan. Dengan demikian, istilah
takhrij hadits berarti mengeluarkan hadits dalam arti menelusuri hadits-
hadits dalam kitab-kitab hadits yang membicarakan masalah terkait.
2. Wali
Dalam Kamus Arab-Indonesia kata wali merupakan bentuk mufrad
(kata tunggal) dari kata jama’ auliya’ yang berarti: yang kasih, kawan,
sahabat, yang menolong, yang berbuat kebaikan (Yunus,1990:507).
Dengan demikian istilah wali nikah diberikan pada orang yang berbuat
kebaikan karena mau mengasihi dan menolong seseorang, yakni
menikahkannya. Selain itu, istilah wali nikah lazimnya diartikan sebagai
orang yang berhak menikahkan. Pengartian semacam itu tidak sesuai
dengan arti kata sebenarnya.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika dimaksud
adalah sebagai berikut :
Bab I pendahuluan, meliputi uraian latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian,manfaat atau kegunaan penelitian, metode
penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan.
Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis
yang meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas masalah wali
nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.
Bab III pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari penelitian
hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Bab ini berisi tentang rangkaian
sanad dan tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, serta
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga ini.
Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai
kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al-wurud, kandungan
hukum, dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab keempat.
Bab V penutup, merupakan bagian terakhir penulisan skripsi ini. Pada
bab ini akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian
takhrij hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali, serta berisi rekomendasi
penilis terhadap seluruh civitas dan akademika lembaga kampus STAIN
Salatiga, khususnya rekomendasi terhadap program studi Al-Ahwal Al-
Syakhshiyyah (AS).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian kajian pustaka ini, penulis akan membahas tentang penelitian
takhrij hadits dan ilmu-ilmu pendukungnya, serta membahas pula mengenai
masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.
A. Studi Takhrij Hadits
Jumhur ulama’ ahli hadis mengklasifikasikan hadis menjadi tiga
kategori, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian hadis menjadi tiga
macam ini dikarenakan pada dasarnya hadis itu adakalanya maqbul (diterima)
dan adakalanya mardud (ditolak). Hadis yang maqbul ada kalanya diterima
karena memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna, dan ada
kalanya diterima karena memenuhi syarat tetapi kurang sempurna. Hadis
maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima secara sempurna disebut hadis
shahih, hadis maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima tetapi kurang
sempurna disebut hadis hasan, sedangkan hadis mardud (ditolak) adalah hadis
dha’if (Al-Maliki, 2006:50).
Untuk dapat menilai dan menentukan sebuah hadis kategori shahih,
hasan, atau dha’if, seseorang harus memiliki kemampuan di dalam ilmu hadis
(ulum al-hadits). Dengan demikian, seseorang yang akan meneliti sebuah
hadis hendaknya mengerti, memahami, dan menguasai ilmu yang berkaitan
dengan penelitian hadis tersebut, untuk menilai dan menentukan kualitas hadis
yang akan diteliti.
Ulama’ mutaakhirin membagi ilmu hadis menjadi dua bagian, yaitu
ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu
pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun
tingkah lakunya (Suparta, 2002:24). Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah
bagaimana cara menerima hadis, menyampaikannya kepada orang lain, dan
memindahkan atau membukukannya. Adapun fungsi atau menfaat
mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan
yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi SAW.
Sedangkan yang dimaksud ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-
macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi.
Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut ilmu ushul al-hadits. Obyek
pembahasan ilmu hadis dirayah adalah keadaan para perawi dan keadaan
marwinya (yang diriwayatkan).
Adapun manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu Hadis
Dirayah di antaranya; (a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis
dan ilmu hadis dari masa ke masa; (b) dapat mengetahui tokoh-tokoh serta
usaha-usaha mereka dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan
hadis; (c) mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama’ dalam
mengklasifikasikan hadis lebih lanjut,dan; (d) mengetahui istilah-istilah, nilai-
nilai, dan kriteria-kriteria hadis (Suparta,2002:27).
Dengan melihat uraian ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah
tersebut, tergambarlah adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan
yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadis tentu ada kaidah-
kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya
kepada pihak lain. Sejalan dengan perkembangan ilmu Hadis Riwayah, ilmu
Hadis Dirayah juga berkembang menuju kesempurnaanya. Oleh karena itu,
sangat tidak mungkin ilmu Hadis Riwayah berdiri sendiri tanpa ilmu Hadis
Dirayah, begitu pula sebaliknya.
Dari ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, pada
perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadis lainnya,
seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh ar-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits,
ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud al hadits, dan ilmu
mukhtalif al-hadits.
Selanjutnya penulis akan membahas cabang-cabang ilmu hadis
tersebut dalam kajian sanad dan matan hadis yang keduanya merupakan unsur
pokok dari hadis itu sendiri.
1. Studi Sanad
Kata Sanad berasal dari bahasa arab yang berarti sandaran atau
sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian karena hadits
bersandar kepada sanad. Secara istilah sanad berarti silsilah orang-orang
yang meriwayatkan hadits yang menyampaikannya kepada matan hadits
Mempelajari sanad sangat penting utuk menentukan kualitas hadits
yang diteliti. Sebuah hadits dikatakan shahih bila dalam sanadnya
memenuhi kriteria hadits shahih, yaitu bersambung sanadnya, dan
diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad.
Jika sanadnya tidak bersambung atau ada salah satu perawi yang tidak adil
dan dhabit maka suatu hadis tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Dalam studi sanad ini, ilmu yang dibutuhkan adalah Ilmu Rijal Al
Hadits. Ilmu Rijal Al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi
hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis. Dalam perkembangannya,
ilmu ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, ilmu al-jarh wa al-ta’dil dan
ilmu tarikh ar- ruwat.
a. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu untuk mengetahui
kapasitas para perawi adil atau tidakkah, dhabit atau tidakkah, dan
cacat atau tidakkah dalam penilaian para ulama ahli hadis.
As-Shiddiqy (1993:358) mendefinisikan al-jarh wa al-ta’dil
sebagai berikut:
الجرح ھو ذكر ما یعاب بھ الراوى
Artinya : “Al-jarh ialah menyebutkan sesuatu yang dengan karenanya
perawi tercatat (menampakkan keaiban yang dengan
keaiban itu tertolaklah riwayat)”.
التعدیل ھو وصف الراوى بصفات توحب عدالتھ التى ھى مدار
القبول لروایتھ
Artinya : “At-ta’dil ialah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang
dengan karenanya orang memandangnya adil, yang
menjadi sumbu penerimaan riwayatnya”.
Menurut definisi para ulama’ ahli hadis ilmu Ilmu al-jarh wa
al-ta’dil dapat dirumuskan sebagai berikut:
لم یبحث عن الرواة من حیث ما ورد فى شأنھم مما یثنیھم او یزكیھم ع
بألفاظ مخصوصة
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi
yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat
mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan
atau lafadz tertentu”.
Menurut Zuhri (1997:124), ungkapan atau lafadz yang biasa
digunakan untu menilai adil (ta’dil) terhadap perawi sesuai
tingkatannya adalah sebagai berikut :
1. فالن اوثق الناس ( polan orang paling terpercaya )
2. فالن ثقة ثقة ( polan bisa dipercaya, bisa dipercaya )
3. فالن ثقة أو حجة ( polan bisa dipercaya atau polan hujjah )
4. فالن صدوق أو ال بأس بھ ( poaln jujur, polan tidak
mengapa )
5. فالن صدوق إن شاء اهللا ( polan insya Allah jujur )
Sedangkan kata yang biasa digunakan untuk mencela,
mencacat, atau men-jarh perawi, menurut Zuhri (1997:125) adalah
sebagai berikut :
1. فالن أكذب الناس ( polan orang paling dusta )
2. فالن متھم بالكذب ( polan tertuduh dusta )
3. فالن ضعیف جدا ( polan sangat lemah periwayatannya )
4. فالن ضعیف ( poaln lemah periwayatannya)
5. فالن لیس بحجة ( polan bukan hujjah )
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini sangat penting untuk menetapkan
atau memutuskan suatu hadis diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).
Apabila seorang perawi dipuji, maka hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima dan jika seorang perawi dicela atau dicacat maka hadis
yang diriwayatkannya harus ditolak.
Kita bisa menelusuri kecacatan perawi dengan mengetahui
perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya. Biasanya kecacatan itu
dikategorikan dalam lingkup perbuatan semisal: bid’ah yakni
melakukan tindakan di luar ketentuan syari’ah, mukhalafah, yakni
berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath,
yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis,
jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan
lengkap; dan da’wat al inqitha’ yakni diduga penyandaran atau
sanadnya terputus (Suparta, 2002:32).
b. Ilmu Tarikh Al-Ruwat
Ilmu tarikh al-ruwat adalah ilmu untuk mengetahui biodata
atau identitas para perawi yang berkaitan dengan usaha periwayatan
mereka terhadap hadis. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui identitas
diri para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa
atau waktu mereka menerima hadits dari gurunya, siapa orang yang
meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, dan lain
sebagainya. Ilmu ini memfokuskan pembahasan dari sudut sejarah
orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Para ulama’ muhadditsin menggabungkan ilmu thabaqot al-
ruwat ke dalam bagian dari ilmu tarikh al-ruwat. Thabaqah adalah
suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan
dalam umur dan isnadnya, yakni penerimaan hadis dari para gurunya.
Para perawi hadis berdasarkan thabaqahnya dibagi menjadi
lima tingkatan, yaitu para sahabat Nabi merupakan thabaqah rawi yang
pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al- tabi’in thabaqah
ketiga, atba’ atba’ al tabi’in thabaqah keempat, atba’ atba’ atba’ al
tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini merupakan thabaqah
para rawi sampai akhir masa periwayatan (Nuruddin, 1994:130)
Ilmu tarikh al-ruwat merupakan senjata yang ampuh untuk
mengetahui identitas para perawi yang sebenarnya, terutama untuk
membongkar kebohongan perawi yang ingin memalsukan hadis.
Suparta (2002:34) mencontohkan hal ini sebagai berikut:
Ufair ibn Ma’dan Al-Killa’iy bercerita: “Umar ibnMusa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid danseraya ia berkata: ‘telah bercerita kepada kami guru kamu yangsalih’ ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya,‘siapa yang kamu maksud guru kami yang salih iu? Sebutlahnamanya agar kami mengetahuinya!’ jawabnya: ‘yaitu Khalidibn Ma’dan’, kemudian bertanya lagi ‘tahun berapa kamubertemu dia?’ jawabnya ‘aku bertemu tahun 108 H’ ‘dimanakamu bertemu?’ tanyaku lagi. ‘aku bertemu dia pada waktuperang Armenia’ jawabnya. Aku membentak : takutlah kepadaallah hai saudara, jangan engaku berdusta! Bukankah Khalidibn Ma’dan itu wafat tahun 104 H? sedangkan kamumengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahunsetelah ia wafat dan dia juga tidak pernah mengikuti perangArmenia sama sekali, dia hanya ikut perang Romawi saja”Dengan demikian mengetahui tanggal lahir dan wafat para
perawi adalah hal yang sangat penting untuk menolak pengakuan
seorang perawi yang mengaku pernah bertemu dengannya.
2. Studi Matan
Matan hadis ialah materi atau lafadz hadis itu sendiri. Menurut
Suparta (2002:47) yang dikutip dari bukunya Ajjaj Al-Khathib, definisi
matan adalah:
الفاظ الحدیث التى تتقوم بھا معانیھ
Artinya: “Lafadz-lafadz hadis yang di dalamnya mengandung makna-
makna tertentu”.
Adapun tolak ukur dalam penelitian atau studi matan yang telah
dikemukakan oleh ulama’ muhadditsin tidak seragam. Menurut Al-
Khathib Al-Baghdadi bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai
hujjah) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) tidak bertentangan
dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan nash al quran yang telah
muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa
lalu (ulama’ salaf). Sedangkan menurut Shalah Al-Din Al-Dlabi bahwa
kriteria matan hadis yang shahih adalah (1) tidak bertentangan dengan
petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis yang berkualitas
lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat; (4) susunan
pernyataannya menunjukkan sabda Nabi (Ismail, 1995:79).
Dalam studi matan, ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang
peneliti adalah ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu asbab al-wurud, ilmu gharib al-
hadits, ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu at-tashif wa at-tahrif dan ilmu
mukhtalif al-hadits. Dari beberapa ilmu di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Suparta (2002:36) mendeviniskan ilmu ‘ilal al-hadits sebagai
berikut:
Ilmu ‘ilal al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihanhadits, seperti mengatakan muttasil pada hadits yang muqoti’,menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkansebuah hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang serupadengan itu.Dasar penetapan ‘illat pada sebuah hadits adalah hafalan yang
sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup
dari para perawinya.
b. Ilmu Asbab Al-Wurud
Ilmu asbab al-wurud adalah ilmu pengetahuan yang membahas
tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu beliau
menuturkan itu (Suparta, 2002:39).
Urgensi asbab al-wurud terhadap hadis adalah sebagai salah
satu jalan untuk memahami kandungan hadis itu sendiri. Dengan
demikian, kandungan hukum suatu hadis dalam penetapan hukumnya
haruslah tepat dan sesuai dengan ‘illat atau sebab hukum tersebut.
Dengan memahami asbab al-wurud, dapat dengan mudah memahami
isi kandungan sebuah hadis. Namun demikian, tidak semua hadis
memiliki asbab al-wurud seperti halnya ayat-ayat al-Qur’an tidak
semuanya mempunyai asbab nuzulnya.
c. Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharib al-hadits ialah ilmu yang mempelajari ungkapan
lafadz-lafadz yang sulit dan rumit yang terdapat dalam matan hadis
karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan.
Memahami makna kosa kata (mufrodat) matan hadis
merupakan hal yang penting karena matan hadis itu sendiri merupakan
materi atau isi yang terkandung dalam sebuah hadis. Kita tidak akan
bisa mengerti isi kandungan sebuah hadis tanpa mengerti arti kosa kata
yang terdapat dalam matan hadis tersebut, terlebih lagi mengenai kosa
kata yang gharib (jarang digunakan). Oleh sebab itu, ilmu ini sangat
penting untuk menolong kita menuju pemahaman tersebut.
d. Ilmu An-Nasikh Wa Al-Mansukh
Adapun yang dimaksud ilmu nasikh wa al-mansukh dalam
hadis ialah ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang
tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang
berlawanan tersebut pada akhirnya saling menghapuskan, dengan
ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dan
datang kemudian disebut nasikh.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini, bisa melalui
beberapa cara:
1. Dengan mempelajari sejarah munculnya hadis atau asbab al-
wurudnya
2. Dengan penjelasan nash atau syari’ sendiri, dalam hal ini
Rasulullah S.A.W
3. Dengan penjelasan dari para sahabat.
e. Ilmu Al-Tashhif Wa Al-Tahrif
Ialah ilmu yang berusaha menerangkan tentang hadis-hadis
yang sudah diubah titik ataupun syakalnya (mushahhaf) dan bentuk-
bentuknya (muharraf). Ilmu ini dimunculkan karena dalam hafalan
para ulama’ terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang
diterimanya dari para gurunya.
f. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ialah ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang menurut
lahirnya ada pertentangan karena adanya kemungkinan dapat
dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid dengan kemutlakannya,
mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada
beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut.
Dengan melihat definisi di atas, ruang gerak ilmu muktalif al-
hadits adalah berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadis
yang bertentangan. Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk
mempertemukan hadis-hadis yang bertentangan maknanya tersebut
adakalanya mentaqyid kemuthalakan hadis, mentakhsis keumuman
hadis, dan ada kalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau
lebih banyak datangnya.
B. Wali nikah dalam Fiqh dan Perundang-Undangan
1. Konsep Wali Nikah Dalam Fiqh
Fiqh merupakan kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang
pembahasannya yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam
dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan kehidupan umat
manusia.
Fiqh yang dijadikan rujukan umat muslim di Indonesia adalah
fiqh yang telah terkodifikasi dalam fiqh madzhab. Dalam hal ini, fiqh
madzhab Syafi’iyah menjadi yang paling dominan dalam tata hukum
Islam di Indonesia. Majelis Ulama’ Indinesia (MUI) dan organisasi-
organisasi besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah dalam menetapkan hukum tidak dapat terlepas dari
pemkiran madzhab, meskipun ada sebagian dari mereka yang mengaku
tidak bermadzhab, seperti Muhammadiyah (Wahid dan Rumadi,
2001:129).
Secara garis besar, fiqh terbagi menjadi tiga bagian, yaitu fiqh
ibadat, fiqh mu’amalat, dan fiqh ‘uqubat. Fiqh ibadat mengatur masalah
ibadah seperti thaharah (bersuci), shalat, puasa, haji. Fiqh mu’amalat berisi
tentang masalah interaksi atau hubungan antar sesama manusia, seperti
jual beli, gadai, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perkawinan,
perceraian, dan lain sebagainya. Fiqh uqubat mengatur masalah tindak
pidana dalam Islam, seperti pencurian, perampokan, perzinaan,
pembunuhan, dan lain sebagainnya. Dalam hal ini, wali nikah merupakan
bagian dari fiqh mu’amalah yang dibahas dalam masalah perkawinan
(munakahat).
Mughniyah (1991:53) menjelaskan bahwa perwalian adalah
suatu kekuasaan atau wewenang syar’i yang diberikan kepada seseorang
yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang ada dalam
kewenangan atau kekuasaannya, demi kemaslahatannya sendiri. Dalam hal
perkawinan, wali adalah orang yang berwenang atau berhak untuk
menikahkan.
Wali nikah menurut ulama’ Syafi’iyah merupakan salah satu
rukun nikah. Dengan demikian, hukum wali nikah adalah wajib
keberadaannya. Tidak ada suatu ikatan perkawinan yang terjadi tanpa wali.
Jikapun ada suatu perkawinan yang akad nikahnya terjadi tanpa wali,
maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan akad nikah tersebut
dianggap tidak pernah terjadi. Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi ketika
kita menelaah kitab-kitab fiqh Syafi’iyah baik kitab-kitab klasik maupun
yang kontemporer sekalipun. Dalam kitab-kitab Syafi’iyah tersebut ketika
kita membaca masalah perkawinan (bab an-nikah) maka sudah pasti akan
menemukan keterangan sebagai berikut:
زوج وزوجة وولى وشا ھدان وصیغة : واما اركان النكا ح خمسة
Artinya : “adapun rukun nikah itu ada lima: mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali, dua orang saksi, sighat (ijab qobul)”.
Akan tetapi ketika kita menelaah dan mengkaji fiqh madzhab
yang lainya, seperti fiqh madzhab Maliki, fiqh madzhab Hanafi, fiqh
madzhab Hambali, fiqh madzab Syi’ah Imamiyah, maka kita akan
menemukan perbedaan pendapat mengenai masalah wali nikah.
Ulama’ Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat jika wanita
yang sudah baligh, berakal sehat dan masih gadis, maka hak mengawinkan
dirinya ada pada wali. Namun jika ia janda, maka hak mengawinkannya
ada pada keduanya. Wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa
persetujuan darinya, sebaliknya wanita janda tidak boleh mengawinkan
dirinya tanpa restu dari walinya. Namun demikian, pelaksanaan atau
pengucapan akad nikah adalah hak wali. Akad nikah yang dilakukan oleh
wali itu sendiri tanpa persetujuan dari wanita janda tersebut, dianggap
tidak sah dan tidak berlaku sama sekali, meskipun akad nikah itu sendiri
membutuhkan persetujuan darinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sayid
Sabiq (1981:11) menyatakan sebagai berikut.
Para Ulama’ berpendapat: perkawinan itu mempunyaibeberapa tujuan sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi olehperasaannya, karena itu, ia tidak pandai memilih, sehingga tidakdapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam perkawinan ini.Maka dari itu, ia tidak boleh mengurus langsung akad nikahnya,tetapi hendaknya diserahkan kepada walinya agar tujuanperkawinan ini dapat tercapai dengan sempurna.Sedangkan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa wanita yang
sudah baligh dan berakal sehat mempunyai hak mutlak atas dirinya. Dia
berhak memilih dan menentukan calon suaminya serta boleh melakukan
akad nikah sendiri atau menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki
pilihannya, baik dia masih gadis ataupun janda. Tidak ada seorangpun
yang berhak menentang dirinya dan menghalangi keinginannya, dengan
syarat lelaki yang dipilihnya itu sepadan (kafaah) dengannya, dan
maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang
serupa, sebanding atau senilai dengan mahar yang diterima, oleh saudara
perempuan dan sanak kerabat si wanita yang sudah pernah menikah Jika ia
memilih pasangan yang tidak sepadan, atau pasangannya tersebut tidak
mampu memberikan mahar mitsil maka wali berhak menentangnya dan
mengajukan permohonan kepada hakim untuk membatalkan
perkawinannya tersebut.
Sementara itu, Ulama’ Syiah Imamiyah mempunyai pendapat lebih
luas dari pada Ulama’ Hanafiyah. Seorang wanita yang sudah baligh dan
berakal sehat, ia berhak melakukan segala bentuk transaksi, bebas
menentukan nasib hidupnya sendiri, dan bebas mengurus hartanya. Ia
bebas melakukan segala tindakan hukum termasuk melakukan ijab qabul
dalam pernikahan, baik ia masih perawan maupun ia janda. Dia berhak
menentukan pasangan hidupnya (suami) tanpa ada syarat harus sepadan
dan maharnya tidak harus mahar mitsil. Dia juga boleh melakukan akad
nikah sendiri meskipun tanpa persetujuan walinya (Mughniyah, 1991:54).
Pendapat ulama’ Imamiyah tersebut menurut akal sangat logis
karena Islam sendiri mengajarkan persamaan derajat atau kedudukan
antara kaum laki-laki dan perempuan. Semua manusia baik laki-laki atau
perempuan berkedudukan sama dalam hukum dan bebas mengurus semua
urusan kehidupannya. Tidak ada yang membedakannya kecuali kadar
ketaqwaan mereka pada Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam
al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikankamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamusaling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagiMaha Mengena”.
Dalam tiap-tiap urusan, kalau kita tinggalkan pokok atau asal dari
masalah atau urusan tersebut, niscaya masalah tidak akan terselesaikan dan
akan menimbulkan kekacauan. Tiap perkara ada pokok atau asalnya.
Pokok atau asal dalam masalah wali nikah ini ialah kemerdekaan
seseorang yang diurus oleh wali. Seorang anak selama ia belum baligh
menjadi tanggung jawab orang tua atau walinya. Setelah ia baligh,
hilanglah kewajiban dan kekuasaan wali terhadapnya. Ia telah dibebani
oleh hukum yang berlaku (mukallaf) dan ia berhak menentukan
kehidupannya sendiri. Kalau ia ada pusaka atau harta dari orang tua, wajib
diserahkan kepadanya. Harta tersebut boleh ia urus menurut kemauannya
dengan tidak ada teguran dari siapapun kecuali kalau ia boros atau
menyalah gunakan hartanya. Jadi setiap orang yang sudah aqil baligh
mempunyai kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri. Hal ini telah
diakui dan dapat diterima oleh akal, agama dan adat (A.Hassan,
1998:252).
2. Konsep Wali Nikah dalam Perundang-Undangan
a. Konsep Wali Nikah dalam UUP
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau lazimnya disebut
dengan undang-undang perkawinan (UUP) secara substansinya tidak
mengatur masalah wali nikah baik secara garis besarnya saja maupun
secara rincinya. Hal ini disebabkan karena UUP berlaku untuk semua
kalangan masyarakat Indonesia yang terkenal dengan beragam suku,
ras, agama, dan budaya. Sehingga dapat dikatakan UUP hanya
mengatur masalah perkawinan dalam segi administratifnya. Oleh
karena itu, bagi warga yang melanggarnya dikenakan sanksi
administratif. Salah satu contoh sanksi administratif ialah denda bagi
warga yang tidak bisa melengkapi berkas-berkas terkait sebagai syarat
yang harus dipenuhi sebelum melakukan perkawinan. Misalnya,
ketidak adaan buku nikah mempelai wanita akan semakin mempersulit
dan memperlambat pelaksanaan perkawinan karena orang yang
bersangkutan harus bersusah payah mencari surat-surat keterangan
mengenai masalah tersebut dan tentunya dikenai biaya administrasi
atau denda. Hal ini berdasarkan pasal 2 (2) UUP: “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.
UUP hanya menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
sesuai dengan bunyi pasal 2 (1) UUP: “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan-
nya itu”. Dengan kata lain, tidak ada ikatan perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa apabila perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama,
maka perkawinan tersebut adalah sah menurut agama dan perundang-
undangan.
Adapun tujuan UUP sebagai hukum positif atau perundang-
undangan yang berlaku, salah satunya adalah penertiban perkawinan
untuk menjamin tercapainya cita-cita luhur dari perkawinan, yaitu
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dalam undang-undang ini terdapat prinsip-prinsip demi
tercapainya tujuan dan cita-cita luhur dari perkawinan. Prinsip-prinsip
tersebut menurut Arso Sastro Atmodjo dan Wasit Aulawi (1975:31)
adalah; (1) asas sukarela, (2) partisipasi keluarga, (3) perceraian
dipersulit, (4) poligami dibatasi secara ketat, (5) kematangan calon
mempelai, (6) memperbaiki derajat kaum wanita.
Dengan demikian, masalah wali nikah bukan masalah yang
menjadi pembahasan dalam perundang-undangan, dalam hal ini UUP
dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
b. Wali Nikah dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kumpulan hukum Islam
yang bersifat legal-formal yang telah disesuaikan dengan kondisi
sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, belum ada
seorang pun yang meragukan ataupun yang menyangkal mengenai
substansi KHI, kecuali kritik polemis khilafiyah. Semua orang sepakat
bahwa substansi KHI adalah Hukum Islam (Fiqh) karena KHI dikemas
dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, wajar
bila KHI disebut sebagai fiqh dalam bahasa undang-undang ataupun
KHI sebagai fiqh Islam berwawasan pancasila (Wahid dan Rumadi,
2001:196).
Mayoritas masyarakat muslim Indonesia dalam menerapkan
hukum Islam (fiqh) menganut madzhab Syafi’i, sehingga tak heran jika
KHI pun substansi hukumnya bernuansa Syafi’iyah. Hal ini
disebabkan karena menurut sejarah, pembentukan KHI mayoritas
buku-buku referensinya adalah Syafi’iyah (Wahid dan Rumadi,
2001:134).
Mengenai masalah wali nikah, secara terperinci diatur dalam
bab IV bagian ketiga KHI. Sebelumnya pada bab IV bagian kesatu
KHI tentang rukun nikah, pasal 14 menyebutkan secara jelas bahwa
untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. calon suami, b. calon
istri, c. wali nikah, d. dua orang saksi, e. ijab qabul. Selanjutnya pasal
19 menyebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya.
Dengan demikian, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa wali
nikah menurut KHI merupakan salah satu rukun nikah yang wajib
dipenuhi. Sebuah akad pernikahan yang tanpa mengunakan wali,
tidaklah sah akad tersebut dan pernikahan tersebut harus dibatalkan.
Inilah hukum wali nikah yang berlaku di dalam negara kita, khususnya
bagi umat Islam di Indonesia.
Adapun pasal 20, 21, 22, dan 23 KHI berisi tentang siapa yang
berhak menjadi wali, syarat sah menjadi wali, urutan-urutan wali, dan
mengatur pula mengenai masalah wali hakim. Jadi mengenai wali
nikah, KHI mengatur dan menetapkannya secara terperinci dalam bab
tersendiri, yakni bab IV KHI.
BAB III
PELAKSANAN TAKHRIJ HADITS
A. Rangkaian Sanad dan Tabaqat
Setelah penulis melacak hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali
dengan menggunakan CD Maktabah Syamilah dan mencari dalam kitab-kitab
aslinya, hadis tersebut terdapat dalam empat jalur periwayatan, yaitu :
1. Sunan An-Nasa’i juz 6 halaman 86
أخبرنا زیاد بن أیوب قال حدثنا علي بن غراب قال حدثنا كھمس بن
أن فتاة دخلت علیھا فقالت إن عائشة عن عبد اهللا بن بریدة عن الحسن
أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ وأنا كارھة قالت اجلسي حتى
لى اهللا علیھ وسلم صفجاء رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم یأتي النبي
فجعل األمر إلیھا فقالت یا رسول اهللا قد فأخبرتھ فأرسل إلى أبیھا فدعاه
أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم أللنساء من األمر شيء
2. Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 602
بن اعن كھمس بن الحسن عن وكیع حدثنا ھناد بن السري حدثنا
فقالت صلى اهللا علیھ وسلم جاءت فتاة إلى النبي قال أبیھ عن بریدة
إن أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ قال فجعل األمر إلیھا فقالت قد
أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء من
األمر شيء
3. Musnad Ahmad juz 6 halaman 136
عبد عن كھمس بن الحسن وكیع حدثنا حدثنا عبد اهللا حدثني أبي حدثنا
جاءت فتاة إلى رسول اهللا ص فقالت یا عائشة قالت عن اهللا بن بریدة
رسول اهللا إن أبي زوجني ابن أخیھ یرفع بي خسیستھ فجعل األمر إلیھا
ن تعلم النساء أن قالت یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أ
لیس لألباء من األمر شيء
4. Sunan Kubro Li Al-Baihaqi (CD Maktabah Syamilah).
أحمد ابن الحسن و : وفي مثل ذلك ما أخبرنا أبو عبداهللا الحافظ و أبو بكر
محمد بن : عبید بن محمد بن محمد بن مھّدي قاال حدثنا أبو العباس
نا عبد الوھاب بن عطاء أخبرنا یعقوب حدثنا یحي بن أبي طالب أخبر
جاءت فتاة إلى عائشة رضي اهللا : كھمس القیسي عن عبداهللا بن بریدة قال
عنھا فقالت إن أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بھا خسیستھ وأني كرھت ذلك
فقالت عائشة رضي اهللا عنھا اقعدي حتى یأتي رسول اهللا ص فاذكري
فأرسل صلى اهللا علیھ وسلم الى فذكرت ذلك لھ. ذلك لھ فجاء نبي اهللا ص
أبیھا فلما جاء أبوھا جعل أمرھا إلیھا فلما رأت أن الألمر قد ُجعل إلیھا
إني قد أجزت ما صنع والدي إنما أردت أن أعلم ھل للنساء من : قالت
الألمر شيء أم ال
B. Kajian Kuantitas Sanad
Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali setelah diteliti dalam CD
Maktabah Syamilah dan dicari dalam kitab aslinya ditemukan dalam berbagai
jalur periwayatan, diantaranya jalur An-Nasa’i dalam bab seorang gadis yang
dinikahkan ayahnya, sedangan gadis tersebut tidak menyukainya (al-bikr
yuzawwijuha abuha wa hiya karihah), jalur Ibnu Majah dalam bab seseorang
yang menikahkan putrinya, sedangan putrinya tersebut tidak menyukainya
(man zawwaja ibnatahu wa hiya karihah), dan jalur Ahmad Ibnu Hanbal pada
hadis Sayyidah ‘Aisyah r.a,.sedangkan pada jalur Al-Baihaqi, penulis tidak
mendapatkan kitab aslinya, hanya mendapatannya dalam CD Maktabah
Syamilah. Untuk selengakapnya, kajian kuantitas sanad ini dapat dilihat pada
bagan sanad berikut :
Kahmas bin Hasan(w.149 H )
Rasulullah SAW
‘Aisyah(w.58 H ) Buraidah
( w.63 H )
Abdillah bin Buraidah(w.115 H )
Abdul Wahab bin Atha’(w.204 H )
Yahya bin Abi Thalib(jahalat al-hal)
Muhammad bin Ya’qub( jahalat al-hal )
Ahmad bin Hasan( 183 H-243 H )
+Ubaid bin Muhammad
(jahalat al-hal )
Al Baihaqi( 384 H-458 H )
Hannad bin As-Syariy( 152 H-243 H )
Ibnu Majah( 209 H-273 H )
Ali bin Ghurab(w.184 H )
Ziyad bin Ayyub( 166 H-252 H )
Nasa’i( 215 H-303 H )
Waki’( 128 H-196 H )
Ahmad bin Hanbal( 164 H-241 H )
Namir(jahalat al-hal )
Abdullah bin Namir( 155 H-199 H )
C. Kajian Kualitas Sanad
Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang biografi singkat para
perawi hadis tersebut di atas, mengenai nama lengkap, guru dan murid, dan
komentar ulama’ muhadditsin mengenai pribadi para perawi tersebut. Adapun
tolok ukur atau patokan yang digunakan untuk menilai kualitas para perawi
adalah kitab rijal al-hadits, salah satunya ialah kitab Tahdzib at-Tahdzib.
Biografi dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sayyidah ‘Aisyah r.a
Beliau adalah istri Nabi SAW, putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq
At-Taimiyah. Nama kunyah-nya adalah Ummu Abdillah Al-Faqihah.
Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, Abu Bakar
(ayahnya), Umar, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Sa’d bin Abi Waqas, dan
Fatimah Az-Zahra’.
Adapun orang-orang yang mengambil hadis darinya bukan hanya
dari golongan tabi’in, tetapi juga dari golongan sahabat, diantaranya
Ummu Kultsum binti Abu Bakar (saudara perempuannya), ‘Auf bin Harits
bin Thufail (saudara satu susuan), Qasim dan Abdillah bin Muhammad bin
Abu Bakar Ash-Shiddiq (keponakannya), Hafshah dan Asma’ binti Yazid,
Rabi’ah bin ‘Amr, dan Ibnu Abbas (Al-Asqalany, 1984:462).
Dari golongan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah :
Sa’id bin Musayyab, Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, Shafiyah binti
Syaibah, ‘Alqamah bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Ubaidah bin
Abdillah bin Mas’ud, Masruq bin Ajda’, Abu Salamah bin Abdurrahman
bin Syaqiq, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, ‘Alqamah
bin Waqas, Ali bin Husain bin Ali, Imran bin Haththan, Abu Bardah bin
Abi Musa, Abu Al-Jauza’, Abu Zubair Al-Makki, dll.
Asy-syi’bi berkata, “ketika Masruq meriwayatkan hadis dari
‘Aisyah, dia berkata, hadatsani ash-shiddiqah binti ash-shiddiq habibah
habibillah…”. Masruq menilai bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang paling
cerdas, paling menguasai masalah faraidl. Hisyam bin Urwah berpendapat
bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang sangat cerdas dan ahli syair. Tidak ada
sahabat yang sepandai dan secerdas ‘Aisyah dalam hal mengetahui
diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an, hal-hal yang diwajibkan dan
disunnahkan, peristiwa-peristiwa penting, silsilah keturunan, dan masih
banyak hal lainnya. Selanjutnya Az-Zuhri berkata, “seandainya ilmu
‘Aisyah dibandingkan dengan ilmu semua istri Nabi SAW dan semua
wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih unggul dari ilmu mereka semuanya”.
Ketika Rasulullah SAW wafat, ‘Aisyah berusia 18 tahun. Beliau wafat
pada bulan Ramadlan tahun 58 H (Al-Asqalany, 1984:463).
2. Buraidah
Nama lengkapnya : Buraidah bin Hushaib bin Abdillah bin Harits
Al-Aslami. Nama kunyahnya adalah Abu Abdillah.
Beliau masuk Islam sebelum terjadinya perang Badar, akan tetapi
menurut Al-Hakim bahwa beliau masuk Islam setelah Nabi SAW pulang
dari perang Badar. Beliau tidak ikut dalam perang Badar. Setelah masuk
Islam,beliau ikut dalam perang Khaibar dan dalam peristiwa penakhlukan
kota Makkah (fathu Makkah). Beliau tinggal di Madinah, kemudian
pindah ke Bashrah, dan pada akhirnya pindah ke Marwa.
Beliau meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW.
Adapun murid-muridnya, diantaranya ialah kedua putranya sendiri, yaitu
Abdullah dan Sulaiman, Abdullah bin Aus, Malikh bin Usamah, dan Asy-
Syi’bi. Beliau wafat ketika Khalifah Yazid bin Muawiyah berkuasa, yaitu
pada tahun 63 H (Al-Asqalany, 1984:379).
3. Abdullah bin Buraidah
Nama lengkapnya : Abdullah bin Buraidah bin Hushaib Al-Aslami.
Nama kunyah-nya ialah Abu Sahl al-Marwazi.Beliau adalah saudara
kembar dengan Sulaiman bin Buraidah. Beliau wafat pada tahun 115 H.
Guru-gurunya : Buraidah (ayahnya), Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Abullah bin Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah,
‘Aisyah r.a, Mughirah bin Syu’bah, Handlalah bin Ali Al-Aslami, Ibnu
Musayyab, dll.
Murid-muridnya : Basyir bin Muhajir, Sahl bin Basyir, Tsawab bin
Abi Furat, Hujair bin Abdillah, Husain bin Dzakwan, Dawud bin Abi
Furat, Abdullah bin Atha’, Abdullah bin Muslim Al-Marwazi, Utsman bin
Ghiyas, Qatadah, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany,1984:138).
Ad-Daruquthni berkata bahwa Abdulah bin Buraidah tidak pernah
meriwayatkan hadis dari Aisyah. Ibnu Khurasy berpendapat bahwa beliau
shaduq.Abu Al-Jauzajani berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah,
yakni Ahmad bin Hanbal : “apakah Abdullah bin Buraidah pernah
meriwayatkan hadis dari ayahnya?”, dia menjawab : “saya tidak pernah
tahu bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Buraidah
(ayahnya)”.Oleh karena itu, Ahmad bin Hanbal menilai dla’if terhadap
hadisnya Abdullah bin Buraidah. Menurut pendapat Ibrahim Al-Harbiy
bahwa Abdullah bin Buraidah lebih sempurna dari pada saudara
kembarnya, yakni Sulaiman bin Buraidah. Keduanya tidak pernah
meriwayatkan hadis dari ayahnya. Adapun hadis Abdullah yang
diriwayatkan dari ayahnya, yakni Buraidah, adalah hadis munkar (Al-
Asqalany, 1984:138).
4. Kahmas bin Hasan
Nama lengkapnya ialah Kahmas bin Hasan At-Tamimiy Abu
Hasan Al-Bashriy. Beliau wafat pada tahun 149 H.
Guru-guru beliau diantaranya ialah Abu Thufail, Abdullah bin
Buraidah, Abdullah bin Syaqiq, Abu Salil Dlarib bin Nufair, Yazid bin
Abdillah bin Syukhair, Sayyar bin Mandhur, dan Abu Nadlrah.
Murid-muridnya antara lain : kedua putranya, yakni ‘Aun dan Al-
Qaththan, Ibnu Mubarak, Waki’, Mu’tamar bin Sulaiman, Sufyan bin
Hubaib, Yusuf bin Ya’qub, Ja’far bin Sulaiman, Utsman bin Umar, Ali bin
Ghurab, Abu Usamah, Yazid bin Harun, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy
(Al-Asqalany, 1984:404).
Abu Thalib dari Ahmad, Abu Khaitsamah dari Ibnu Ma’in, dan
Abu Dawud menilai bahwa Kahmas adalah tsiqah. Abu Hatim
berpendapat bahwa beliau la ba’sa bihi. Abdullah bin Ahmad dari ayahnya
berkata bahwa beliau adalah tsiqah tsiqah. As-Sajiy menilainya shaduq.
Ibnu Hibban menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah. Ibnu
Sa’d juga menilainya tsiqah. Dalam penilaian selanjutnya, Ibnu Ma’in
menilai bahwa Kahmas bin Hasan dla’if, begitu pula pendapat Al-Azdiy
mengikuti pendapat Ibnu Ma’in (Al-Asqalany, 1984:404).
5. Waki’
Nama lengkapya adalah Waki’ bin Jarrah bin Malikh Ar-Ru’asi.
Nama kunyah-nya ialah Abu Sufyan Al-Kufi. Beliau lahir pada tahun 128
H, wafat pada tahun 196 H.
Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya, Isma’il bin Abi Khalid,
Aiman bin Nabil, Ikrimah bin Ammar, Hisyam bin Urwah, Al-A’masy,
Jarir bin Hazim, Abdullah bin Sa’id, Abdurrahman bin Ghusail, Kholid
bin Dinar, Abdul Majid bin Wahab, Ibnu Juraih, Al-Auza’i, Usamah bin
Zaid, Ja’far bin Barqan, Hajib bin Umar, Handhalah bin Abi Sufyan,
Yazid bin Ibrahim, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany, 1984:109).
Adapun murid-murid Waki’ diantaranya ialah Sufyan dan Malikh
(kedua putranya), Muhammad bin Aban Al-Balkhy, Sufyan Al-Tsaury,
Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Salam, Ibnu Abi Umar, Nashr
bin Ali, Yahya bin Yahya An-Naisabury, Ahmad, Ali, Yahya, Ishaq, Abu
Khaitsamah, Al-Humaidy, Al-Qa’naby, Al-Asyaj, Aly bin Khasyram,
Muhammad bin Shabah Ad-Daulaby, Ibrahim bin Sa’d Al-Jauhary,
Muhammad bin Rafi’, dan Ibrahim bin Abdillah Al-Abasy.
Abdullah bin Ahmad berkata, “aku tidak pernah melihat orang
yang lebih menjaga terhadap ilmunya dan lebih kuat hafalannya daripada
Waki’”. Beliau berkata, “aku mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal)
berkata bahwasanya Waki’ adalah orang yang kuat hafalannya (hafidhan-
hafidhan)”.
Shalih bin Ahmad bertanya kepada ayahnya mengenai perihal
Waki’, “manakah yang lebih diakui hadisnya, Waki’ atau Yazid?”.
Ayahnya menjawab,” keduanya sama-sama diakui hadisnya”. Dia bertanya
lagi, “manakah yang lebih shalih dari keduanya?”. Ayahnya
menjawab,”keduanya sama-sama shalih, hanya saja Waki’ menjauhkan
dirinya dari urusan pemerintahan”(Al-Asqalany,1984:110).
Bisyr bin Musa, Ibrahim Al-Harby, dan Ahmad bin Hasan At-
Tirmidzi menilai bahwasanya Waki’ orang yang kuat hafalannya, khusyu’,
wira’i, dan ahli fiqh. Ahmad bin Sahl bin Bashr berkata bahwasanya
Waki’ adalah Imamnya kaum muslimin di masa hidupnya. Ahmd bin
Hanbal berkata,”orang-orang yang diakui periwayatannya di Iraq ialah
Waki’ dan Yahya bin Abdurrahman”. Husain bin Hibban berkata dari Ibnu
Ma’in bahwasanya tidak ada yang lebih afdhal daripada Waki’ (Al-
Asqalany,1984:111).
Muhammad bin Nu’aim Al-Balkhy berkata,”aku mendengar Ibnu
Ma’in berkata bahwasanya tidak ada yang lebih kuat hafalannya daripada
Waki’, beliau meriwayatkan hadis semata-mata karena Allah”. Ibnu Sa’d
menilai bahwa Waki’ adalah tsiqah, ahli ibadah, shalih, dan ahli hadis
yang menjadi mufti pada zamannya (Al-Asqalany,1984:114).
6. Hannad bin Sariy
Nama lengkapnya adalah Hannad bin as-Syariy bin Mash’ab bin
Abi bakr bin Syibr bin Sya’fuq bin Amr bin Zurarah bin ‘Ads bin Zaid bin
Abdillah bin Daram At-Tamimy Ad-Daramy Abu As-Sariy Al-Kufy.
Lahir tahun 152 H, wafat tahun 243 H.
Adapun guru-urunya diantaranya ialah Abdurrahman bin Abi
Zanad, Abi Bakr bin ‘Iyasy, Abdillah bin Idris, Abi Al-Ahwash, Hafsh bin
Ghiyas, ismail bin Iyasy, Syuraik, Hasyim, Abdussalam bin Harb, Ali bin
Mashar, Fudlail bin ‘Iyadl, Ibnu ‘Uyainah, dan Waki’ (Al-Asqalany,
1984:62).
Murid-Murudnya diantaranya ialah Al-Bukhary, Muhammad bin
As-Sary, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad bin Mansur Ar-Ramadi,
Muhammad bin Abdul Mulk, Ad-Daqiqy, Mathin, ‘Abdan Al-Ahwazy,
Baqy bin Makhlad, Ibnu Abi Ad-Dunya, Muhammad bin Shalih bin
Duraij, Muhammad bin Ishaq As-Siraj.
Mengenai pribadi beliau, Ahmad bin Hanbal berkata, “hendaknya
kalian menerima (periwayatan) Hannad”. Abu Hatim berpendapat bahwa
Hannad orang yang jujur (shaduq). Qutaibah berkata, “saya tidak pernah
melihat Waki’ menghormati seseorang seperti hormatnya kepada
Hannad”. Imam Nasa’i dan Ibnu Hibban berpendapat bahwa Hannad
termasuk orang yang bisa dipercaya (tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:63).
7. Ibnu Majah
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i Abu
Abdillah bin Majah Al-Quzwaini Al-Hafidh. Beliau lahir pada tahun 209
H dan wafat pada tahun 273 H.
Mengenai guru-gurunya, tidak disebutkan dalam kitab Tahdzib at-
Tahdzib, hanya saja tertulis bahwa beliau mendengar hadis di Khurasan,
Iraq, Hijaz, Mesir, Syam, dan berbagai daerah lainnya.
Murid-muridnya antara lain Ai bin Sa’id bin Abdillah Al-Ghadani,
Ibrahim bin Dinar Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwaini, Abu
Thayib Ahmad bin Rauh al-Masy’arani, Ishaq bin Muhammad Al-
Qazwaini, Ja’far bin Idris, Husai bin Ali, Sulaiman bin Yazid Al-
Qazwaini, Muhammad bin Isa, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwaini,
Ahmad bin Muhammad bin Hakim Al-Madani Al-Ashbihani (Al-
Asqalany, 1984:468).
Abu Ya’la Al-Khalili berkata, bahwa Ibnu Majah tsiqah, kabir,
muttafaq ‘alaih dan Muhtaj bih. Beliau menguasai tentang hadis,
mempunyai beberapa karya tentang hadis, tafsir, dan tarikh. Resensi
karyanya yang bertajuk sunan Ibnu Majah oleh Al-Khalili, bahwa buku
tersebut di dalamnya terdapat banyak hadis yang sangat dla’if, sehingga
As-Sariy dan Abu Hajjaj Al-Muzziy berkata bahwa apabila Ibnu Majah
meriwayatkan hadis secara infirad (sendirian), kebanyakan adalah hadis
yang lemah (dla’if). Karena itulah para ulama’ mutaqaddimin seperti Ibnu
Katsir, Mughlatha’i, Ibnu Hajar dan Qasthalani menolak memasukkan
Sunan Ibnu Majah ke dalam Al-Ushul As-Sittah atau Al-Kutub As-Sittah,
yakni shahih Bukhari, Shahih Muslim, Suna Abu Dawud, Sunan At-
Tirmidzi, Sunan Nasa’i dan yang keenam dalam perdebatan. Abu Fadli bin
Thahir Al-Maqdisi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, Al-Mizzi, Ibnu Hajar dan
Al-Khazra’i memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang
keenam (Al-Asqalany, 1984:469).
8. Namir
Nama beliau adalah Namir bin ‘Uraib Al-Hamdaniy. Mengenai
tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui dalam kitab rijal al-hadits.
Dengan demikian, sesuai ilmu tarikh al-ruwat, perawi ini gugur lantaran
tidak diketahuinya tahun kelahiran maupun wafatnya.
Beliau meriwayatkan hadis dari Amir bin Mas’ud, hadis tentang
puasa pada musim dingin (hadits al-shaum fi al-syita’), yang kemudian
diriwayatkan lagi oleh Abu Ishaq Al-Hamdani. Abu Hatim berkata, “ saya
tidak mengetahui Namir meriwayatkan Hadis kecuali inilah Hadis (hadis
tentang puasa di musim dingin)”. Ibnu Hibban menilai bahwa beliau
termasuk dalam kategori tsiqah (Al-Asqalany, 1984:425).
9. Abdullah bin Namir
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Namir Al-Hamdani Al-
Kharifi. Abu Hisyam Al-Kufi adalah nama kunyahnya. Beliau lahir pada
tahun 115 H, dan wafat pada tahun 199 H.
Adapun guru-gurunya antara lain Isma’il bin Abi Khalid, Al-
A’masy, Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah, Ubaidillah bin Umar, Musa
Al-Juhniy, Zakariya bin Abi Zaidah, Sa’d bi Sa;id Al-Anshari, Handhalah
bin Abi Sufyan, Saif bin Sulaiman, Al-Auza’iy, Utsman bin Hakim Al-
Audiy, Mujalid bin Sa’id, dan Fudlail bin Ghazwan.
Murid-muridnya, antara lain Muhammad bin Abdillah bin Namir
(anaknya), Ahmad bin Hanbal, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ali
bin Al-Madiniy, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah,
Abu Qudamah As-Sarkhisiy, Abu Kuraib, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Asyaj,
Hannad bin Sariy, Abu Mas’ud Ar-Razid, Ali bin Harb Ath-Thai, dan
Hasan bin Ali bin Affan.
Mengenai komentar para ulama’ tentang pribadi beliau, Ibnu Ma’in
menilai tsiqah, Abu Hatim manilai beliau mustaqimul amr (lurus
perlakanya), Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam kategori orang-orang
yang tsiqah, Al-‘Ajliy berpendapat bahwa beliau tsiqah, katsirul hadits,
dan shaduq. Dengan demikian tidak ada seorang ulama’ pun yang men-
jarh atau mencacat Abdullah bin Namir (Al-Asqalany, 1984:52).
10. Ahmad bin Hanbal
Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad Asy-Syaibani. Nama kunyah-nya ialah Abu Abdillah Al-
Marwazi Al-Baghdadi. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan
wafat pada tahun 241 H.
Guru-gurunya antara lain : Bisyr bin Mufaddlal, Ismail bin Ulyah,
Sufyan bin Uyainah, Jarir bin Abdul Hamid, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,
Abu Dawud Ath-Thayalisi, Abdullah bin Namir, Abdur Razaq, Ali bin
Iyasy Al-Himsi, Syafi’i, Ghandar, dan Mu’tamar bin Sulaiman.
Adapun murid-muridnya antara lain Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, kedua putranya, yaitu Abdullah dan Shalih, Yahya bin Adam,
Yazid bin Harun, Qutaibah, Dawud bin ‘Amr, Ahmad bin Abi Hawari,
Yahya bin Mu’in, Husain bin Mansur, Ziyad bin Ayyub, Muhammad bin
Rafi’, Muhammad bin Yahya bin Abi Saminah, Abu Bakr Al-Atsram,
Harb al-Karmani, dan Abu Qasim Al-Baghawi (Al-Asqalany, 1984:63).
Al-Qaththan berkata, “ belum pernah ada orang yang sepandai
Ahmad, beliau orang besar, tokoh terkemuka umat”. Ahmad bi Sanan
berkata, “ saya belum pernah melihat Yazid bin Harun menghormati
seseorang melebihi daripada hormatnya terhadap Ahmad bin Hanbal”.
Abdul Razaq berkata, “ saya belum pernah melihat orang yang lebih
pandai dan lebih Wara’ dari Ahmad”. Yahya bin Adam berkata, “ Ahmad
adalah pemuka kita”. Asy-Syafi’i pun berkata, “ saya belum pernah tahu
orang di Baghdad yang lebih wara’, lebih zuhud, lebih ‘alim dan lebih ahli
dalam fiqh daripada Ahmad bin Hanbal.
Mengenai pribadi beliau tidak ada seorangpun yang mencacat atau
mencelanya, baik para pendahulunya, orang yang semasa dengannya,
maupun orang yang setelah beliau. Abbas Al-Anbari menilai bahwa
periwayatan beliau bisa dijadikan hujjah. Qutaibah berkata bahwa Ahmad
bin Hanbal merupakan pemimpin dunia (Imam ad-Dunya). Al-‘Ajli, Ibnu
Hibban, Ibnu Sa’d, dan Nasa’i menilai bahwa beliau dapat dipercaya
(tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:65). Beliau seorang ulama’ besar yang
disegani banyak orang dari berbagai kalangan. Beliau lebih terkenal
dengan fiqhnya yang dinisbatkan pada namanya, yakni fiqh madzhab
Hanbali.
11. Ali bin Ghurab
Nama lengkapnya ialah Ali bin Ghurab al-Fazari. Nama kunyah-
nya ialah Abu Walid al-Kufiy. Beliau wafat di Kufah pada tahun 184 H.
Guru-gurunya : Kahmas bin Hasan, Shalih bin Abi Akhdlar,
Ubaidillah bin Umar, Al-A’masy, Baihas bin Fahdan, Zuhair bin Marzuq,
Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Sauqah, Ats-Tsauri, Bahz bin Hakim,
dll.
Murid-muridnya : Marwan bin Muawiyah, Ammar bin Khalid Al-
Wasithi, Abu Sya’tsa’, Ibrahim bin Musa Ar-Razi, Muhammad bin
Abdillah bin Syabur, Ahmad bin Hanbal, Ziyad bin Ayyub, Ath-Thusi,
Husain bin Hasan Al-Marwazi,dan Yahya bin Ayyub Al-Maqabiri (Al-
Asqalany, 1984:325).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “saya menanyakan
perihal tentang Ali bin Ghurab kepada ayahku, maka beliau menjawab;
“saya tidak pernah meriwayatkan hadis darinya, karena dia tercacat
riwayatnya”. Ibnu Namir berkata bahwa Ali bin Ghurab memang seorang
perawi, akan tetapi banyak hadis yang diriwayatkan olehnya berupa hadis
munkar. Abu Dawud menilai dla’if terhadap periwayatan Ali bin Ghurab.
Sedangkan Ibnu Hibban juga menilai bahwa hadisnya Ali bin Ghurab
tidak boleh dijadikan hujjah.
Sementara itu, Utsman Ad-Darami berkata dari Ibnu Ma’in bahwa
Ali bin Ghurab seorang miskin yang sangat jujur (miskin, shaduq). Ibnu
Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in pula bahwa beliau dinilai tidak ada
bahaya terhadap periwayatannya (la ba’sa bihi). Utsman bin Abi Syaibah,
Ibnu Qani’, dan Ibnu Sa’d menilai bahwa beliau kategori tsiqah dan
shaduq. Menurut An-Nasa’i, meskipun Ali bin Ghurab tercacat, tetapi
tidak ada bahayanya tentang periwayatannya (Al-Asqalany, 1984:325).
12. Ziyad bin Ayyub
Nama lengkapnya : Ziyad bin Ayyub bin Ziyad al-Baghdady.
Nama kunyah-nya adalah Abu Hasyim. Beliau lahir pada tahun 166 H,
Meninggal pada tahun 252 H.
Guru-gurunya ialah Abdillah bin Idris, Ibnu Ulyah, Abu Ubaid al-
Hadad, Abu Bakr bin ‘Iyasy, Marwan bin Mua’wiyah, Hasyim, Waki’,
Ziyad Al-Buka’iy, Muhammad bin Yazid Al-Wasithy, Ali bin Ghurab,
Mu’tamar bin Sulaiman, Yazid bin Harun, Umar bin Ubaid, dan Yahya bin
Abi Uyainah (Al-Asqalany, 1984:306).
Murid-muridnya antara lain Al-Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’i, Abdullah bin Ahmad, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah,
Muhammad Al-Baghawi, Ahmad bin Abi Qasim, Abu Hamid Al-
Hadlrami, Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Ayyub, dan Husain bin
Isma’il Al-Mahamili.
Abu Ishaq Al-Ashbihani berkata, “tidak ada seorangpun di muka
bumi yang lebih tsiqah daripada Ziyad bin Ayyub”. Abu Hatim
berpendapat bahwa Ziyad bin Ayyub shaduq. An-Nasa’i menilai bahwa
beliau termasuk perawi yang tiada bahaya mengenai periwayatannya (laisa
bihi ba’sun). Pada lain tempat Nasa’i menilai tsiqah terhadap beliau. Ibnu
Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah (Al-
Asqalany, 1984:307).
13. Nasa’i
Nama lengkapnya ialah Abu Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib
bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar An-Nasa’i. Nama beliau dinisbatkan
pada tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota
Nasa’ yang masih termasuk wilayah kota Khurasan, wafat di Palestina
pada hari senin tanggal 13 shafar 303 H (Al-Asqalany, 1984:34).
Guru-guru beliau antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim,
Ahmad bin Nasher An-Naisaburiy, Abu Syuaib As-Susiy, dan imam-imam
hadis dari Khurasan, Hijaz, Iraq, dan Mesir.
Murid-murid belaiu antara lain putranya, Abdul Karim, Abu Bakar
Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin As-Suny, Abu Ali Hasan bin Khidlir
Al-Syuthiy, Abu Qasim bin Hamzah bin Muhammad bin Ali Al-Kinaniy,
Abu Hasan Muhammad bin Abdillah bin Zakariya bin Habawiyah,
Muhammad bin Mu’awiyah bin Al-Ahmar, Muhammad bi Qasim Al-
Andalusiy, Ali bin Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali bin Harun, Abu Ali
An-Naisaburiy, Al-Hafidh, Abu Bisyer Ad-Daulabiy, Abu Hasan bin Al-
Haddad Al-Faqih, Abu Ja’far Al-‘Aqiliy, dll (Al-Asqalany, 1984:32).
Karya An-Nasa’i yang paling utama dan terkenal ialah kitab Sunan
An-Nasa’I. Beliau adalah imam hadis yang sangat terkenal di seluruh
dunia Islam. Banyak para ulama’ yang mengakui pribadi An-Nasa’i
merupakan seorang imam hadis yang besar, antara lain Manshur Al-Faqih,
Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawiy, Sa’d Al-Barudiy, Qasim Al-
Muthraz, dan Abu Ali An-Naisaburiy.
Abu Husain bin Mudhaffar berkata, “ saya mendengar para
masyayikhku di Mesir bahwa mereka mengakui Abu Abdirrahman An-
Nasa’i sebagai seorang tokoh yang unggul, seorang imam, ahli ibadah,
selalu menunaikan ibadah haji pada musim haji, ahli menjalankan sunnah
ma’tsurah, dan beliau mengasingkan dirinya dari para penguasa sampai
beliau meninggal dunia. Al-Hakim berkata bahwa An-Nasa’i seorang
imam hadis yang lebih mengetahui shahih dan tidaknya hadis, lebih paham
mengenai para perawi (rijal al_hadits). Ad-Daruquthni berkata bahwa Abu
Bakar bin Haddad Al-Faqih merupakan orang yang banyak meriwayatkan
hadis, akan tetapi beliau hanya mau mengambil hadis dari An-Nasa’I (Al-
Asqalany, 1984:33).
14. Abdul Wahab bin Atha’
Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab bin Atha’ Al-Khaffaf.
Beliau berkunyah Abu Nashr Al-‘Ajliy. Beliau tinggal di Baghdad dan
wafat pada tahun 204 H.
Guru-gurunya diantaranya : Sulaiman At-Taimi, Humaid Ath-
Thawil, Khalid Al-Hadza’, Ibnu ‘Aun, Ibnu Juraij, Malik, Hisyam, Hisan,
Israil, Isma’il bin Muslim, Abdullah bin Umar, dan Sa’id bin Abi ‘Arubah.
Murid-muridnya antara lain : Ahmad, Ishaq, Ibnu Ma’in, ‘Amr bin
Zurarah An-Naisaburi, Muhammad bin Abdillah Ar-Razzi, Hasan bin
Muhammad bin Shabah Az-Za’farani, Abdullah bin Muhammad bin Ishaq
Al-Adzrami, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Ibrahim bin Sa’id Al-Jauhari,
Ishaq bin Manshur, Muhammad bin Sulaiman Al-Anbari, Harits bin Abi
Usamah, Muhammad bin Ahmad bin ‘Awam, dan Yahya bin Abi Thalib
(Al-Asqalany, 1984:398).
Al-Bukhari dan An-Nasa’i menilai bahwa periwayatan Abdul
Wahab bin Atha’ tidak kuat atau dengan kata lain dla’if. Berkata Shalih
bin Muhammad Al-Asadi bahwa para ahli hadis mengingkari Al-Khaffaf
terhadap sebuah hadis yang diriwayatkan dari Tsaur, dari Makhul, dari
Kuraib, dari Ibnu Abbas pada bab keutamaan perang (bab fadl al-qatla).
Sedangkan selain hadis tersebut, ulama’ muhadditsin tidak
mengingkarinya. Sementara itu, Ibnu Abi Khaitsamah dan Utsman Ad-
Darami berkata dari Ibnu Mu’in bahwa Al-Khaffaf dinilai la ba’sa bihi.
Ibnu Ala’ dari Ibnu Ma’in pula, menilai bahwa periwayatan Al-Khaffaf
boleh dicatat (yuktabu haditsuhu), dalam arti bisa dijadikan hujjah. Ad-
Dauri dari Ibnu Ma’in pula berpendapat bahwa al-Khaffaf dapat dipercaya
(tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:399).
15. Yahya bin Abu Thalib
Mengenai jati diri beliau, penulis tidak menemukannya di dalam
kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib at-Tahdzib. Akan tetapi
dalam biografinya Abdul Wahab bin Atha’, Yahya bin Abu Thalib
termasuk murid beliau. Sehingga rangkaian sanadnya tetap bersambung
(muttashil) sampai pada beliau.
16. Muhammad bin Ya’qub
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Ya’qub bin Abdul Wahab
bin Yahya bin Ubbad bin Abdillah bin Zubair bin Awam Al-Asadi Az-
Zubairi. Beliau ber-kunyah Abu Umar Al-Madani.
Beliau meriwayatkan hadis dari Umar bin Abdillah bin Nafi’ Az-
Zubairi, Ibnu Wahib, Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Uyainah,
Abu Dlamrah, dll. Mengenai siapakah murid-muridnya, penulis tidak
menemukannya didalam kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib
At-Tahdzib.
Abu Hatim dan Nasa’i menilai bahwa beliau termasuk dalam
kategori la ba’sa bihi. Ibnu Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk
dalam kategori tsiqah, mustaqimul hadits ( tegak hadisnya) (Al-Asqalany,
1984:469).
17. Ahmad bin Hasan
Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Hasan bin Kharrasy Al-
Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 183 H, dan wafat pada tahun 243 H.
Beliau meriwayatkan hadis dari Syababah, Abi ‘Amir Al-Aqdiy,
Ibnu Mahdi, dan Abdul Shamad bin Abdul Warits.
Murid-muridnya antara lain Muslim, Tirmidzi, Ubaid Al-Ajliy, dan
Abdullah bin Ahmad.
Mengenai komentar para ulama’ ahli hadis, hanya Al-Khathib dan
Ibnu Hibban yang berkomentar. Keduanya menilai bahwa Ahmad bin
Hasan termasuk dalam kategori tsiqah (Al-Asqalany, 1984:21).
18. Ubaid bin Muhammad
Nama lengkapnya ialah Ubaid bin Muhammad Al-Maharibiy Al-
Kufiy. Tahun kelahiran dan wafat beliau tidak diketahui. Beliau
meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Dzi’bi, Abdussalam bin Hafsh, dan
Muhammad bin Muhajir Al-Kufiy.
Adapun orang yang mengambil hadis darinya antara lain
Muhammad bin Ubaid (anaknya), Abu Syaibah bin Abi Bakar bin Abi
Syaibah, Qasim bin Zakariya bin Dinar, dan Abu Kuraib.
Abu Ahmad bin ‘Adiy berkata bahwa Ubaid bin Muhammad
banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar yang diriwayatkan dari Abi
Dzi’bi dan lainnya.kemudian hadis-hadis tersebut diriwayatkan lagi oleh
anaknya, yakni Muhammad bin Ubaid (Al-Asqalany, 1984:68).
19. Baihaqi
Nama lengkapnya ialahAbu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin
Abdullah Al-Baihaqi, sorang ulama’ ahli fiqh, ushul fiqh, dan hadis, serta
salah seorang tokoh ulama dalam madzhab Syafi’i. Lahir di khasrajard
tahun 384 H, wafat di Naisabur tahun 458 H.
Guru-guru beliau, antara lain Abu Hasan bin Husain Al-Alawi,
Abu Thahir Az-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, Abu Abdurrahman As-
Sulami, Abu Bakar bin Furik, Abu Ali Ar-Ruthabari, dan Ibnu Busran.
As-Subki berkata bahwa Imam Baihaqi merupakan seorang ulama
terkemuka yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fiqh,
serta penghafal hadis.Beliau hidup ketika kekacauan sedang marak di
berbagai Negara Islam. Saat itu umat muslim terpecah belah karena
perbedaan paham mengenai masalah politik, fiqh, dan pemikiran atau
paham lainnya. Mereka saling menjatuhkan dan saling menyalahkan antara
kelompok satu dengan kelompok lainnya, sehingga hal ini mempermudah
musuh dari luar, yakni bangsa Romawi untuk memporak-porandakan umat
muslim. Dalam masa seperti ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang
berkomitmen terhadap ajaran Islam. Beliau memberikan teladan
bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku
keseharian. Beliau hidup zuhud, banyak beribadah, wara’, danmencontoh
para salafus shalih. Beliau terkenal sebagai figur yang memiliki kecintaan
besar terhadap hadis dan fiqh (www.kotasantri.com).
Meski dipandang sebagai ahli hadis, namun banyak kalangan
menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadis dari Tirmidzi,
Nasa’i, dan Ibnu Majah. Beliau juga tidak pernah berjumpa dengan buku
Musnad Ahmad bin Hanbal. Menurut Adz-Dzahabi, kajian Baihaqi dalam
hadis tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadis karena
benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadis dan para tokohnya yang
telah muncul dalam isnad-isnad.
Beliau merupakan pemikir Islam yang sangat produktif karena
beliau banyak berkarya. Diperkirakan karya-karya beliau mencapai seribu
jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari aqidah, hadis, fiqh,
sampai pada tarikh. Diantara sekian banyak karya Baihaqi, kitab as-sunan
al-kubra menjadi karya yang paling terkenal dan pernah mendapatkan
penghargaan tertinggi. Kitab ini terbit di Hyderabad, India, pada tahun
1344 M (www.kotasantri.com).
D. Kesimpulan
Setelah penulis melacak identitas atau biografi para perawi hadis
tentang keabsahan nikah tanpa wali di dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib yang
merupakan kitab Ushul fi ma’rifah ar-Rijal (kitab pokok untuk mengetahui
biografi para perawi), selanjutnya penulis akan memberi kesimpulan mengenai
hasil penelitian sanad hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali.
Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali diriwayatkan melalui 4
(empat) jalur periwayatan, yaitu jalur An-Nasa’i, jalur Ibnu Majah, jalur
Ahmad Ibnu Hanbal, dan jalur Al-Baihaqi. Dari keempat jalur tersebut, hanya
jalur Ibnu Majah yang perawi teratasnya Buraidah. Sedangkan ketiga jalur
lainnya, perawi teratasnya sama, yaitu ‘Aisyah r.a. Akan tetapi, keempat
perawi tersebut, semuanya bertemu pada Abdullah bin Buraidah.
Sesuai dengan bagan sanad, Abdullah bin Buraidah meriwayatkan
hadis dari ‘Aisyah dan juga Buraidah (ayahnya). Hal ini bisa dimaklumi
karena keduanya, yakni ‘Aisyah dan Buraidah hidup dalam satu masa dan
meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, Abdullah
bin Buraidah mendapat penilaian yang menjatuhkan reputasinya sebagai
perawi hadis. Menurut Ad-Daruquthni bahwa beliau tidak pernah
meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah r.a. Ibrahim Al-Harby menambahkan
pendapat bahwa Abdullah bin Buraidah tidak pernah meriwayatkan hadis dari
ayahnya. Adapun hadis hadis yang diriwayatkannya dari ayahnya (Buraidah)
adalah hadis-hadis munkar. Hanya Ibnu Khurasy yang menilai bahwa beliau
kategori shaduq (Al-Asqalany, 1984:138).
Sesuai dengan ilmu tarikh ar-ruwat, jalur periwayatan Ibnu Majah dan
An-Nasa’i sanadnya bersambung (muttashil) dari awal sanad hingga akhir
sanad. Akan tetapi, dalam jalur An-Nasa’i, terdapat dua orang perawi yang
tercacat, yaitu Abdullah bin Buraidah dan Ali bin Ghurab. Abdullah bin
Buraidah tercacat sebagaimana telah diuraikan diatas, sedangkan Ali bin
Ghurab dinilai dla’if dan periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun
ulama’ yang men-jarh Ali bin Ghurab ialah Ibnu Hibban, Ibnu Namir, Abu
Dawud, dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (Al-Asqalany, 1984:325).
Adapun jalur Ahmad bin Hanbal, sanadnya terputus pada perawi yang
bernama Namir. Dalam biografinya tidak diketahui tahun kelahiran maupun
wafatnya. Selain itu, beliau tidak pernah meriwayatkan hadis kecuali hadis
tentang puasa pada musim dingin (al-shaum fi al-syita’)
Sesuai dengan ilmu tarikh al-ruwat, rangkaian sanad dalam jalur
periwayatan Al-Baihaqi, sanadnya terputus pada perawi yang bernama Ahmad
bin Hasan dan Ubaid bin Muhammad. Dalam biografi Ubaid bin Muhammad,
beiau tidak diketahui tahun wafatnya. Akan tetapi, kemungkina beliau hidup
satu masa dengan Ahmad bin Hasan. Karena dalam rangkaian sanadnya, Al-
Baihaqi menerima hadis dari beliau berdua. Ahmad bin Hasan wafat pada
tahun 243 H, sedangkan Al-Baihaqi lahir pada tahun 384 H. Dengan demikian
Ahmad binHasan wafat jauh sebelum Al-Baihaqi lahir. Bagaimana mungkin
Al-Baihaqi menerima hadis dari Ahmad bin Hasan?
Para ulama’ men-jarh Ubaid bin Muhammad lantaran beliau tertuduh
sebagai munkar al hadits, yakni banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar.
Pada jalur ini Yahya bin Abi Thalib tidak diketahui identitasnya (jahalat al-
hal) dalam kitab rijal al-hadist.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa hadis tentang
keabsahan nikah tanpa wali dari jalur Ibnu Majah dan jalur Nasa’i merupakan
hadis hasan, karena memenuhi syarat sebagai hadis yang maqbul, tetapi
kurang sempurna, yakni muttashil sanadnya, tetapi ada perawi yang kontrovesi
di dalamnya. Perawi yang kontroversi tersebut ialah Abdullah bin Buraidah
dan Ali bin Ghurab.Ad-Daruquthni, Ibrahim Al-Harby, dan Ahmad bin
Hanbal menilai dla’if terhadap periwayatan Abdullah bin Buraidah.
Sedangkan Ibnu Khurasy menilai shaduq terhadap beliau.
Ali bin Ghurab dalam jalur periwayatan An-Nasa’i merupakan perawi
yang kontroversi pula. Menurut Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnu Namir,
dan Ibnu Hibban bahwa Ali bin Ghurab dinilai dla’if dan periwayatannya
tidak bisa dijadikan hujjah ( ,Sementara Utsman bin Abi Syaibah .(ال حجة لھ
Ibnu Qami’, dan Ibnu Sa’d menilainya tsiqah. Ibnu Ma’in dan An-Nasa’i
sendiri menilai bahwa Ali bin Ghurab shaduq dan tidak mengapa terhadap
periwayatannya ( ال بأس بھ ).
Ketika ada periwayat yang kontroversi, maka sikap kita sebagai
peneliti hadis adalah mengambil keputusan sesuai dengan adab al-jarh wa al-
ta’dil. Adab dimaksud ialah mendahulukan pujian ( al-ta’dil ) daripada celaan
( al-jarh ). Hal ini desebabkan karena untuk memuji seorang perawi tidak
diperlukan rincian, sedangkan untuk mencelanya, rincian itu diperlukan
(Zuhri, 1997:128).
Sementara itu, hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali dari jalur
periwayatan Ahmad dan Al-Baihaqi sesuai dengan keterangan yang telah
penulis kemukakan sebelumnya, maka telah jelas bahwa hadis dari kedua jalur
tersebut merupakan hadis dla’if. Akan tetapi, dengan adanya periwayatan lain
yang berkualitas sebagai hadis hasan, yakni periwayatan An-Nasa’i dan Ibnu
Majah, maka hadis dari jalur periwayatan Ahmad dan Al-Baihaqi pun bias
naik status kualitasnya dari dla’if menjadi hasan, yaitu hasan li ghairihi.
Mengenai kehujjahan hadis hasan, para ulama’ berbeda pendapat.
Sebagian pendapat menerima hadis hasan sebagai hujjah, sebagian yang lain
menolaknya. Yahya bin Ma’in dan Al-Bukhari termasuk golongan ulama’
yang menolak kehujjahan hadis hasan (Isma’il, 1995:88).
BAB IV
TELAAH MATAN HADIS
A. Identifikasi Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali
Untuk kepentingan penelitian, maka penulis mengidentifikasi matan
hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali dari semua jalur periwayatannya
untuk mengetahui persamaan dan perbedaan redaksi matan hadis antara jalur
periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya.
1. Jalur An-Nasa’i
‘Aisyah berkata bahwasanya telah datang seorang gadis
kepadanya, kemudian gadis terebut berkata: “sesungguhnya ayahku telah
mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya (anak pamanku)
supaya hilang kehinaannya sebab aku, sedangkan aku benci terhadap hal
yang demikian itu”. ‘Aisyah menjawab: “duduklah hingga Nabi SAW
datang!” Kemudian datanglah Rasulullah SAW, maka gadis tersebut
menceritakan (perkara tersebut) kepada beliau. Rasulullah mengutus
seorang utusan untuk membawa ayah gadis tersebut kepada beliau. Di
hadapan mereka (gadis dan ayahnya serta semua orang yang menyaksikan
kejadian tersebut), Rasulullah menyerahkan perkara tersebut kepada
kemauan si gadis. Maka si gadis berkata : “wahai Rasulullah, sungguh aku
telah membenarkan apa yang diperbuat ayahku, tetapi aku ingin tahu
apakah ada suatu kekuasaan bagi kaum wanita dalam perkara ini”.
2. Jalur Ibnu majah.
Buraidah berkata : ”telah datang seorang gadis kepada Nabi SAW,
lalu gadis berkata : “sesungguhnya ayahku telah mengawinkan aku dengan
anak laki-laki saudaranya agar hilang kehinaannya sebab aku”. Maka
Rasulullah SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis.
Gadis berkata : “aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapi aku
ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tiada kuasa apapun bagi para
bapak dalam perkara ini”.
3. Jalur Ahmad bin Hanbal.
‘Aisyah r.a berkata : “telah datang seorang gadis kepada Rasulullah
SAW, lalu gadis berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah
mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya supaya hilang
kehinaannya sebab aku”. Maka Rasulullah SAW menyerahkan perkara itu
kepada kemauan gadis tersebut. Lalu gadis itu berkata : “wahai Rasulullah,
sungguh aku telah membenarkan apa yang telah diperbuat ayahku, akan
tetapi aku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa
apapun bagi para bapak dalam perkara ini”.
4. .Jalur Baihaqi.
Abdullah bin Buraidah berkata : “telah datang seorang gadis
kepada ‘Aisyah r.a seraya berkata : “sesungguhnya ayahku telah
mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya, supaya hilang
kehinaannya lantaran perkawinan itu, sedangkan aku membenci hal yang
demikian itu”. Maka ‘Aisyah r.a menjawab : “duduklah sampai Rasulullah
SAW datang, lalu jelaskanlah perkara itu kepada beliau!”. Kemudian
datanglah Nabiyullah SAW, maka gadis itu pun menceritakan perkara
tersebut kepada beliau. Rasulullah SAW lalu mengutus seseorang untuk
mendatangkan ayah gadis tersebut. Ketika ayahnya telah tiba, Rasulullah
SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis. Ketika dia
mengetahui bahwasanya perkara itu diserahkan kepada kemauannya, maka
ia berkata : “sesungguhnya aku telah membenarkan apa yang telah
diperbuat ayahku, akan tetapi aku hanya ingin tahu apakah ada kekuasaan
bagi kaum wanita dalam perkara ini atau tidak”.
B. Penjelasan Matan Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali
Kata zawwaja زّوج ) ) merupakan kata kerja madly ( الفعل الماضي ),
yakni pekerjaan yang telah dilaksanakan. Ungkapan إن أبي زوجني ابن أخیھ
bermakna bahawasanya ayahku telah mengawinkan aku dengan kemenakan
laki-lakinya (anak laki-laki saudaranya), Dengan demikian, jelaslah bahwa
ayah gadis tersebut bertindak sebagai wali nikah yang telah menikahkannya.
Kemudian kata لیرفع بي خسیستھ وأنا كارھة yang bermakna bahwa
tujuan dari perkawinan tersebut adalah agar kehinaan (derajat atau status
sosial yang rendah) menjadi hilang lantaran menikah dengan orang yang
terhormat tanpa memperhatikan hati dan perasaan anak gadisnya yang tidak
mencintai atau membenci pasangan yang dipilih oleh ayahnya.
Alasan atau illat seperti itu yang akhirnya memunculkan keputusan
Nabi SAW untuk menyerahkan perkara tersebut kepada si gadis sesuai dengan
bunyi redaksinya فجعل األمر إلیھا .
Kata al-amr ( األمر ) dalam redaksi yang berbunyi :
- فجعل األمر إلیھا (maka Nabi menyerahkan perkara itu kepada
kemauan gadis) dan
- أن لیس إلى األباء من األمر شيء (bahwasanya tidak ada kekuasaan
apapun bagi para bapak dalam perkara ini)
adalah kata yang tunggal maknanya karena sama-sama berupa isim ma’rifat
(kata benda khusus). Dengan demikian, kata al-amr mempunyai makna yang
tersirat didalamnya yaitu berupa perkawinan terpaksa tersebut.
Jadi, apabila kita jelaskan (dlahirkan) makna dari ungkapan yang
berbunyi فجعل األمر إلیھا dan أن لیس إلى األباء من األمر شيء , maka
ungkapan tersebut akan bermakna sebagai berikut:
1. “Maka Nabi SAW menjadikan (menyerahkan) perkara perkawinan
terpaksa itu kepada kemauan si gadis”.
2. “Bahwasanya tidak ada kekuasaan atau kewenangan apapun bagi para
bapak dalam perkara perkawinan secara terpaksa”, yakni seorang ayah
tidak boleh memaksakan kehendak anak gadisnya untuk menikah dengan
laki-laki pilihan ayahnya.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa matan hadis tersebut satu kata
pun tidak ada yang menyiratkan kebolehan seorang gadis untuk menikahkan
dirinya sendiri tanpa wali. Adapun yang dimaksud “tidak ada kuasa apapun
bagi para bapak dalam perkara ini” ialah bahwa para bapak tidak mempunyai
kewenangan atau kekuasaan atas anak gadisnya untuk memaksakan
kehendaknya menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya tanpa menghiraukan
hati dan perasaan anak gadisnya yang tersakiti.
C. Asbab Wurud Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali
Asbab al-wurud merupakan segala sesuatu yang melatar belakangi
munculnya sebuah hadis. Asbab al-wurud dapat berupa peristiwa, sifat,
tabi’at, situasi dan kondisi seseorang yang melatar belakanginya untuk
melontarkan pertanyaan ataupun pengaduan kepada Nabi SAW yang
kemudian menjadi sebab munculnya sebuah hadis (Helmy,2007:14).
Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali merupakan jenis hadis
taqriry (penetapan), yakni sebuah hadis yang isinya berupa penetapan suatu
hukum yang diputuskan oleh Rasulullah SAW ketika datang suatu persoalan
yang dialami oleh umat muslim yang diadukan kepada beliau.
Pada masa itu, terjadi suatu perkawinan yang dilakukan secara
terpaksa. Seorang bapak mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang
dipilihkannya, sedangkan anak gadisnya tidak menyukai laki-laki tersebut. Hal
ini dilakukannya demi kepentingan dirinya dan keluarganya. Yakni
mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang lebih kaya, lebih
terhormat, dan lebih tinggi status sosialnya agar keluarga si bapak itu pun ikut
naik status sosialnya lantaran berbesanan dengan keluarga yang terhormat.
Seorang bapak pada saat itu berkuasa penuh dalam menentukan masa depan
dan nasib hidup anaknya tanpa menghiraukan hati dan perasaan anaknya.
Kemudian gadis itu pun mengadukan perkara tersebut kepada
Rasulullah SAW, karena masalah tersebut dia rasa tidak adil bagi dirinya,
tidak berperi kemanusiaan, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkat
cerita, setelah Rasulullah SAW mendengarkan pengaduan dari gadis tersebut,
maka beliau menyuruh seseorang untuk membawa ayah gadis tersebut kepada
beliau. Setelah ayah gadis itu datang, Rasulullah SAW memberikan putusan
bahwasanya perkara tersebut, yakni perkawinan secara terpaksa itu diserahkan
kepada kemauan gadis tersebut. Akan dilanjutkan ataukah dibatalkan
perkawinan itu, terserah kehendaknya sendiri.
Setelah si gadis mengetahui bahwa perkara tersebut ada pada
kemauannya, dia membenarkan apa yang telah diperbuat ayahnya, yakni
mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Dia hanya ingin
kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak
untuk memaksa anak gadisnya kawin dengan laki-laki yang tidak disukainya.
D. Kandungan Hukum dari Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali
Setelah penulis melakukan identifikasi matan hadis, menjelaskan
matan hadis, dan memahami asbab al-wurud hadis tentang keabsahan nikah
tanpa wali, maka langkah selanjutnya ialah mengungkap kandungan hukum
yang tersirat dalam hadis tesebut.
Tidaklah tepat orang yang menjadikan hadis tentang keabsahan nikah
tanpa wali sebagai argumen atau dalil bahwa seorang gadis boleh menikahkan
dirinya sendiri tanpa harus menggunakan wali. Hal ini disebabkan karena
setelah dilakukan penelitian sanad, hadis tersebut berkualitas sebagai hadis
hasan. Sedangkan mengenai kehujjahan hadis hasan, para ulama’ berselisih
pendapat. Ibnu Ma’in dan Bukhari menolak kehujjahan hadis hasan (Ismail,
1995:88). Dengan demikian, sejak dilakukan penelitian sanad saja sudah bisa
diketahui bahwa hadis tersebut tidak bisa dijadikan pegangan untuk
menetapkan sebuah hukum, meski pun hal ini merupakan masalah khilafiyah.
Bukankah keluar dari masalah khilafiyah itu merupakan sesuatu yang disukai
oleh syara’? Keluar dari masalah khilafiyah berarti tidak menggunakan atau
tidak mengamalkan dalil yang diperselisihkan kehujjahannya.
Keluar dari kajian sanadnya, setelah mengkaji matan atau materi hadis
tersebut, sesuai dengan arti yang tersirat di dalamnya, tidak benar jika
seseorang menggunakan hadis tersebut sebagai landasan pendapatnya tentang
kebolehan seorang gadis menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Sesuai
dengan asbab al-wurud hadis tersebut, bahwa telah terjadi seorang ayah
menikahkan anak gadisnya dengan lelaki pilihan ayah tersebut, sedangkan
gadis tersebut tidak menyukainya. Kata zawwajani ( زّوجني ) dalam matan
hadis tersebut merupakan kata kerja masa lampau (fi’il madhi) yang berarti
pekerjaan atau kejadian itu telah terjadi. Dengan demikian, kata إن أبي
زوجني ابن أخیھ berarti sesungguhnya bapakku telah mengawinkan aku
dengan kemenakan laki-lakinya. Kemudian kata فجعل األمر إلیھا berarti
maka Nabi SAW menyerahkan perkara itu pada kemauannya (gadis tersebut).
Keputusan Rasulullah menyerahkan perkara itu kepada kemauan si gadis
dikarenakan ada ‘illat atau sebab yaitu perkawinan terpaksa, yakni ayah si
gadis menikahkan dengan tujuan meningkatkan kewibawaannya, sedang anak
gadisnya tidak menyukai laki-laki pilihan ayahnya ( لیرفع بي خسیستھ وأنا
كارھة ). Keputusan Nabi SAW tersebut, yakni menyerahkan perkara tersebut
pada kemauan si gadis, bukan berarti si gadis boleh menikahkan dirinya
sendiri atau melakukan akad nikah sendiri tanpa wali. Keputusan Nabi
dimaksud ialah pernikahan yang dilakukan dengan terpaksa oleh seorang
wanita karena ada unsur-unsur tertentu yang memaksakan kehendaknya,
tidaklah dibenarkan oleh Islam. Sehingga wanita tersebut berhak membatalkan
pernikahan secara terpaksa tersebut.
Islam mengajarkan untuk memuliakan kaum perempuan, sehingga
menolak budaya-budaya umat yang memenjarakan kaum perempuan,
mencekik kebebasanya, dan tidak memberikan hak-hak yang seharusnya
mereka terima. Sebaliknya, Islam juga menolak budaya-budaya erotisme yang
memandang kaum perempuan tidak lebih dari pemuas nafsu birahi. Sehingga
kaum perempuan pun hidup bebas tanpa ikatan hukum Agama yang mengatur
mereka, seperti rerumputan yang tak bertuan ( Al-Ghazali, 1997:43).
Kebebasan kaum perempuan tidak berarti bebas yang tanpa batas.
Kebebasan yang dimaksud adalah bebas yang sesuai dengan kodrat dan
syari’at yang telah diwahyukan. Pendapat yang menyatakan bahwa seorang
wanita meskipun masih gadis berhak untuk menentukan pasangannya dan
bebas melakukan akad nikah sendiri atau menikahkan dirinya sendiri tanpa
wali, merupakan pendapat yang hanya berargumentasikan pada rasio belaka.
Tidak ada satupun dalil dari al-Qur’an maupun hadis yang menguatkan
pendapat mereka. Jika pun mereka menggunakan hadis sebagai landasan
pendapatnya, hadis-hadis tersebut tidaklah layak untuk dijadikan sebagai
landasan hukum.
Adapun redaksi hadis yang berbunyi أن لیس إلى األباء من األمر شيء
(bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam perkara ini),
yang dimaksud ialah seorang ayah tidak mempunyai hak atau kekuasaan untuk
memaksakan kehendak anaknya, mencekik kebebasannya untuk memilih dan
menentukan pasangan hidupnya, dan tidak berwenang menikahkan secara
paksa kepada anak gadisnya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Hadis
tersebut sama sekali tidak mempunyai makna yang menyiratkan kebolehan
seorang gadis menikahkan dirinya sendiri. Jika redaksi hadis tersebut
bermakna seorang bapak tidak berkuasa untuk menikahkan anak gadisnya,
alias tidak berhak menjadi wali, maka hal ini bertabrakan dengan banyak hadis
yang megatakan tentang eksistensi seorang ayah sebagai wali nikah bagi anak
gadisnya.
Adapun hadis-hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. ال نكاح إال بولّي وشاھدي عدل فان تشاحروا فالسلطان ولّي من ال ولي لھ
( رواه الدرقطني والبیھقي )
Artinya : “ Tidak (sah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan duaorang saksi yang adil. Jika (wali-wali itu) berbantah, makapenguasa lah yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidakmempunyai wali" (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
2. : قال رسول اهللا ص : ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج قال ابو ھریرة
үǛ رواه ابن م(المرأة نفسھا فإن الزانیة ھي التي تزوج نفسھا
ǚӨǚ(
Artinya : “tidak (sah) seorang wanita menikahkan wanita lainnya, dantidak (sah) seorang wanita menikahkan dirinya sendiri, karenahanyalah wanita pezina yang menikahkan dirinyasendiri”(HRIbnu Majah dan Ad-Daruquthni).
3. تستأمر وال تنكح البكر حتى تستأذن قالوا یا رسول اهللا ال تنكح االّیم حتى
Қ (أن تسكت : وكیف إذنھا؟ قال
) علیھ
Artinya : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum diajakbermusyawarah, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkansebelum dimintai izinnya. Para sahabat bertanya : “YaRosulallah, bagaimana diketahui izinnya?”. Nabi SAWmwnjawab: “diamnya menunjukkan persetujuannya”(Muttafaq ‘alaih).
4. الثیب أحق بنفسھا من ولیھا والبكر تستأذن في نفسھا وإذنھا
.صماتھا
) ǚ(
Artinya : “Wanita janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya,dan seorang gadis itu dimintai izinnya dalam (mengawinkan)dirinya. Dan izinnya berupa diamnya” (HR. Muslim).
Meski demikian, para penganut Madzhab Hanafiyah dan Madzhab
Syi’ah Imamiyah lebih mengutamakan rasio mereka dalam beristinbat hukum,
sehingga mereka terkenal dengan sebutan ahl al-ra’yi. Sampai sekarang
komunitas terbesar penganut Madzhab Hanafiyah berada di negara Irak,
sedangkan komunitas penganut Madzhab Syi’ah ialah negara Iran. Akan
tetapi, pemikiran-pemikiran kedua madzhab tersebut telah tersebar dan dianut
oleh negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia meski hanya sebagian
kecil saja dari jumlah umat muslim di Indonesia. Sebenarnya mereka hanya
ingain menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa wali nikah wajib
hukumnya. Wali nikah menurut mereka boleh-boleh saja (mubah) bukan
sesuatu yang wajib keberadaanya.
Menurut mereka, jika seorang gadis telah baligh dan berakal sehat,
maka ia bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki, termasuk melakukan
akad nikah atas dirinya sendiri. Dia telah bebas (merdeka) lantaran
kedewasaannya, sehingga ia dibebani beberapa hak dan kewajiban, serta
hukum yang berlaku. Jika ia melakukan maksiat atau tidak melakukan
kewajibannya, maka dosanya ia tanggung sendiri. Sebaliknya, jika ia
mengerjakan perbuatan baik atau meninggalkan kemaksiatan, maka pahalanya
ia rengkuh sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapatnya A.Hassan
dkk (1998:251-252) yang menyatakan sebagai berikut.
Di dalam tiap-tiap urusan, kalau kita tinggalkan atau kelupaanpokok atau asal, niscaya urusan itu tidak beres. Tiap-tiap perkara adapokok atau asalnya. Pokok atau asal dimaksud dalam masalah walinikah ialah kemerdekaan orang yang diurus oleh wali. Seorang anaksemasa ia belum baligh memang di dalam tanggungan orang tua atau
walinya. Di hari ia baligh, hilanglah hukum kewajiban orang tua dankekuasaan wali. Mulai hari itu ia terhitung sebagai satu orang, bukansebagai anak-anak lagi. Kalau ia ada pusaka dari orang tuanya, wajibdiserahkan kepadanya. Harta benda itu boleh ia urus menurutkemauannya tanpa terhalang oleh seorang pun, kecuali kalau ia borosatau ia gunakan di dalam kemaksiatan. Jadi, seseorang yang sudahbaligh boleh mengurus dirinya sendiri itu dinamakan pokok atau asal.
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang dinilai baik oleh akal sehat, belum
tentu baik menurut penilaian syara’. Sebaliknya, sesuatu yang mungkin
menurut akal tidak baik, tetapi bisa jadi baik menurut syara’. Hal ini dimaksud
bahwa kebenaran tidaklah diukur menurut panilaian akal semata, akan tetapi
kebenaran yang haqiqi adalah kebenaran yang diwahyukan ( Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW).
E. Kritik Matan Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali
Kata kritik berarti upaya untuk memisahkan antara apa yang benar dan
apa yang salah, yang terdapat dalam materi (matan) hadis. Kritik matan
sebenarnya telah dilaksanakan pada masa hidup Nabi SAW. Akan tetapi kritik
matan pada masa itu hanya sebatas pergi menemui Nabi SAW untuk
membuktikan apakah sesuatu yang dilaporkan benar-benar telah disabdakan,
ditetapkan, atau dilakukan oleh beliau (Azami, 196:82).
Upaya kritik matan hadis merupakan upaya yang harus dilakukan oleh
seorang peneliti hadis. Kritik matan akan menghasilkan pemahaman yang
lebih mendalam mengenai materi hadis, bahkan akan menghasilkan
pemahaman yang bertolak belakang dengan pemahaman sebelumnya.
Sehingga hal ini berakibat hukum yang berbeda dengan hukum sebelum
dilakukan kritik matan.
Sebelum melakukan pengkritikan, terlebih dahulu penulis akan
mencantumkan matan hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Matan hadis
dimaksud adalah sebagai berikut:
إن أبي زوجني فقالت صلى اهللا علیھ وسلم جاءت فتاة إلى النبي
ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ قال فجعل األمر إلیھا فقالت قد أجزت ما صنع
األمر شيءأبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء من
Artinya: ”telah datang seorang gadis kepada Nabi SAW, lalu gadisberkata : “sesungguhnya ayahku telah mengawinkan aku dengan anaklaki-laki saudaranya agar hilang kehinaannya sebab aku”. MakaRasulullah SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis.Gadis berkata : “aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapiaku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tiada kuasa apapun bagipara bapak dalam perkara ini”.
Pada ungkapan si gadis yang mengatakan : ” sesungguhnya ayahku
telah mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya” sebenarnya
merupakan ungkapan yang telah jelas makna dan maksudnya tanpa
membutuhkan pemahaman secara mendalam. Ungkapan tersebut jelas-jelas
menyiratkan sebuah perkawinan yang memakai wali, yaitu seorang bapak
bertindak sebagai wali nikah bagi anak gadisnya sendiri.
Materi hadis yang dijadikan dasar hukum oleh orang yang berpendapat
bahwa nikah tanpa wali itu adalah sah secara mutlak, baik bagi wanita yang
masih gadis maupun sudah janda merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh
pemahaman mereka sendiri. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Rasulullah
SAW menyerahkan urusan kepada kemauan si gadis disebabkan adanya illat
yang berupa perkawinan secara terpaksa, sesuai dengan bunyi redaksinya, “
agar supaya hilang kehinaannya sebab saya, sedangkan saya tidak
menyukainya “. Seharusnya sebuah perkawinan itu didasari atas rasa saling
cinta dan saling sayang dari kedua belah pihak tanpa ada unsur keterpaksaan.
Dengan demikian, redaksi hadis yang berbunyi, “ bahwasanya tidak
ada kuasa apapun bagi para bapak dalam perkara ini “ bukanlah menyiratkan
seorang bapak tidak mempunyai kekuasaan terhadap urusan perkawinan
anaknya, termasuk berwenang menjadi wali nikah. Adapun yang dimaksud
“tidak mempunyai kekuasaan”, adalah seorang bapak tidak mempunyai
kewenangan untuk mengawinkan dengan pasangan yang tidak disukai oleh
anak gadisnya. Seorang bapak tidak boleh memaksakan kehendak anaknya
dalam urusan apapun, apa lagi dalam masalah perkawinan. Bukankah
perkawinan ibarat bahtera yang akan mengarungi samudera kehidupan untuk
menggapai kebahagiaan hidup yang kekal. Bagaimana mungkin sepasang
suami istri akan bersama-sama menjalani kehidupan rumah tangga yang
bahagia jika mereka tidak saling mencintai.
Merupakan kekeliruan yang berakibat sangat fatal jika ungkapan
tersebut diartikan bahwa para bapak tidak memiliki kekuasaan apapun dalam
perkawinan anaknya. Karena hal ini berarti seorang ayah tidak boleh campur
tangan dalam urusan perkawinan anak gadisnya, tidak berhak menjadi wali
nikah, dan tidak berhak sedikit pun untuk menentukan calon pasangan hidup
anak gadisnya.
Fenomena masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat muslim
mewajibkan adanya wali nikah dalam setiap perkawinan. Masyarakat muslim
di Indonesia memandang wali nikah merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi ketika melangsungkan akad nikah. Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia, dalam hal ini kompilasi hukum Islam (KHI) mengatur masalah wali
nikah secara jelas dan tegas pada bab IV bagian ke tiga, pasal 19 sampai
dengan pasal 23. Pasal 19 KHI menyebutkan bahwa wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh calon mempelai
wanita. Adapun pasal 20, 21, 22 dan 23 KHI mengatur tentang orang yang
berhak menjadi wali, sayarat sah wali, dan urutan wali dalam perkawinan.
Seandainya hukum keabsahan nikah tanpa wali diterapkan di dalam
masyarakat Indonesia, tentu hal ini akan menimbulkan bencana di dalam
masalah hukum. Hukum keabsahan nikah tanpa wali sudah pasti ditolak
bahkan mendapat perlawanan dari umat muslim di Indonesia karena hal ini
bertentangan dengan dasar hukum yang mereka gunakan, yakni KHI.
Andaipun hokum keabsahan nikah tanpa wali diperbolehkan di negara kita,
tentu akan menimbulkan perseteruan antara anak dan orang tua. Para bapak
akan merasa tertindas, terhina, dan kehilangan martabatnya sebagai orang tua
karena mereka tidak diperkenankan campur tangan dalam masalah perkawinan
anak gadisnya. Kaum wanita akan semakin brutal karena mereka punya
kebebasan tanpa batas untuk mengurus dirinya sendiri. Mereka bebas kawin-
cerai dengan lelaki yang mereka suka, karena hukum keabsahan nikah tanpa
wali memberi kesempatan dan kebebasan dalam masalah perkawinan tanpa
campur tangan dan pengarahan dari pihak keluarga dan orang tua.
Hukum keabsahan nikah tanpa wali akan memberi manfaat dan
keuntungan yang besar kepada kaum lelaki. Seorang suami bisa melakukan
kawin cerai sesuka hati. Jika suami telah bosan terhadap istrinya, atau
sebaliknya seorang istri telah bosan terhadap suaminya, dengan mudah ia
melakukan cerai dan kawin lagi dengan pasangan yang baru. Tidak akan ada
istilah perselingkuhan jika seorang laki-laki yang sudah beristri kemudian
menikahi wanita lainnya, dengan mudah ia bisa menikahinya. Sungguh
manusia tidak berbeda dengan binatang jika hanya menuruti kemauan hawa
nafsunya, yang bisa kawin kapan saja dan dengan siapa saja yang ia inginkan.
Fenomena seperti ini akan banyak merugikan kaum wanita, karena mereka
akan dicerai oleh suaminya sedang ia harus menanggung hidup anak-anaknya.
Mana mungkin seorang lelaki mampu mengurus anak-anaknya sedang ia sibuk
mengurusi istri mudanya. Jikapun ia mampu, ia tak mungkin mau
melakukannya karena hal itu akan mengganggu kenyamanan dan
kebahagiaannya bersama istri barunya. Begitulah kiranya gambaran yang akan
terjadi jika hukum keabsahan nikah tanpa wali diterapkan.
F. Refleksi Penulis
Redaksi hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali secara takstual ada
sedikit perbedaan antara jalur periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan
yang lainnya. Namun, secara kontekstual semua jalur periwayatan hadis
tersebut adalah serupa, sama, dan semakna. Artinya, tidak ada perbedaan
makna yang tersirat dalam matan hadis dari semua jalur periwayatan. Adapun
perbedaan tekstualnya adalah sebagai berikut :
1. Jalur An-Nasa’i dan Al-Baihaqi teks hadis yang menunjukkan tidak
adanya kewenangan atau kekuasaan bagi para bapak dalam masalah
perkawinan anak gadisnya didahului oleh kata tanya ( حرف اإلستفھام ),
dan ungkapan hadis tersebut tertuju pada kaum wanita. Teks dimaksud
adalah :
- Jalur An-Nasa’i berbunyi :
یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم أللنساء من
األمر شيء
- Jalur Al-Baihaqi berbunyi :
إني قد أجزت ما صنع والدي إنما أردت أن أعلم ھل للنساء من
الألمر شيء أم ال
2. Sedangkan jalur Ahmad dan jalur Ibnu Majah, teks hadis dimaksud tidak
menggunakan kata tanya, dan ungkapan hadis dimaksud, ditujukan
kepada para bapak. Teks dimaksud adalah :
- Jalur Ahmad
یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن
لیس لألباء من األمر شيء
- Jalur Ibnu Majah
أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت
من األمر شيء
Telah terjadi perselisihan dalam pemahaman dan pemaknaan kata al-
amr Bagi golongan orang yang menggunakan hadis tersebut sebagai .(األمر)
landasan pendapatnya mengenai keabsahan nikah tanpa wali, mereka
memahami kata al-amr yang berarti perkara itu sebagai kata ganti dari (األمر)
makna yang tersirat di dalamnya, yakni perkawinan.
Dengan demikian, teks hadis yang berbunyi أن لیس لألباء من األمر
شيء bermakna bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam
masalah perkawinan anak gadisnya. Pemahaman tersebut mengacu pada
kebebasan seorang gadis untuk memilih dan menentukan pasangan, serta
bebas menikahkan dirinya sendiri dengan pasangannya tanpa campur tangan
ayahnya yang berwenang sebagai walinya. Hal ini jelas bertabrakan dengan
teks kebanyakan hadis yang menjelaskan eksistensi seorang wali nikah dalam
sebuah perkawinan.
Sedangkan menurut golongan lain yang kontra terhadap golongan yang
pertama diatas, memahami kata al-amr menyiratkan makna yang (األمر)
berupa perkawinan tepaksa. Hal ini disebabkan ada ‘illat atau sebab yang
mendahuluinya yang tertera pada bunyi teks sebelumnya, yakni لیرفع بي
خسیستھ وأنا كارھة (agar hilang kehinaannya sebab saya, sedang saya tidak
menyukainya).
Dengan demikian teks hadis yang berbunyi أن لیس لألباء من األمر
شيء bermakna bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi seorang bapak
dalam masalah mengawinkan anak gadisnya secara paksa tanpa menghiraukan
perasaan anak gadis tersebut. Pemahaman seperti inilah yang menurut penulis
merupakan pemahaman yang mendekati kebenaran.
Menurut Helmy (2007:116), bahwasanya memahami kata-kata yang
terdapat dalam teks hadis maupun al-Qur’an membutuhkan pemikiran yang
mendalam. Pemahaman yang dilakukan oleh sekelompok orang yang bukan
ahlinya akan menimbulkan kerancuan dan kekeliruan dalam memahami
maksud yang terkandung didalam teks hadis maupun al-Qur’an yang akan
berakibat sangat fatal.
Menurut penulis sendiri, pendapat tentang keabsahan nikah tanpa wali
merupakan pendapat yang tidak benar, bahkan pendapat yang sesat. Hal ini
disebabkan karena setelah dilakukan kritik matan terhadap hadis tentang
keabsahan nikah tanpa wali, hasilnya adalah tidak ada satu kata pun dalam
redaksi hadisnya yang menyiratkan kebolehan nikah tanpa wali. Apakah
mereka tidak menganalisa materi hadis yang mereka gunakan sebagai
landasan pendapatnya itu. Jikapun ada keterangan-keterangan dari hadis lain
yang menunjukkan keabsahan nikah tanpa wali, maka penulis tetap pada
pendiriannya, yakni tidak sah nikah tanpa wali. Hal ini disebabkan adanya
keterangan dari al-Qur’an yang memerintahkan para wali untuk menikahkan
orang-orang yang masih sendirian yang berada dalam tanggungannya. Ayat
dimaksud ialah surat an-Nur ayat 32 :
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambasahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yangperempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukanmereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S an-Nur : 32).
Ayat tersebut di atas jelas-jelas menyiratkan perkawinan harus
memakai wali, karena walilah yang berhak mengijabkan (mengawinkan)
mempelai wanita kepada mempelai laki-laki. Seandainya nikah tanpa wali itu
sah, maka sudah tentu Allah SWT tidak memerintahkan para wali untuk
menikahkan orang-orang yang masih sendirian.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan adalah kumpulan dari kesimpulan keseluruhan pembahasan
dalam penelitian ini yang minimal akan menjawab semua pertanyaan yang ada
pada rumusan masalah. Adapun simpulan dimaksun adalah sebagai berikut :
1. Menurut fiqh Syafi’iyah, fiqh Malikiyah, dan fiqh Hanabilah, wali nikah
merupakan salah satu rukun nikah. Hukum wali nikah adalah wajib
keberadaannya. Tidak sah nikah tanpa wali, jikapun terjadi pernikahan
tanpa wali, maka pernikahan tersebut batal dan dianggap tidak pernah
terjadi.
2. Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa nikah tanpa wali adalah sah. Hal ini
disebabkan karena seorang wanita yang telah baligh (dewasa) dan berakal
sehat mempunyai hak untuk mengurus dirinya sendiri termasuk berhak
untuk memilih pasangan dan menikahkan dirinya sendiri dengan pasangan
pilihannya. Tidak ada seorang pun yang berhak menentangnya dan
menghalangi keinginannya dengan syarat lelaki yang dipilihnya itu
sepadan dengannya dan maharnya harus mahar mitsil. Jika pasangan yang
ia pilih tidak sepadan atau maharnya kurang dari mahar mitsil, maka
walinya boleh menentangnya dan mengajukan permohonan kepada hakim
untuk membatalkan perkawinannya.
3. Ulama’ Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa wanita yang sudah baligh
dan berakal sehat bebas melakukan segala tindakan hukum termasuk
melakukan ijab qabul dalam pernikahan. Dia boleh menikahkan dirinya
sendiri dengan pasangan pilihannya tanpa ada syarat harus sepadan dan
maharnya tidak harus mahar mitsil.
4. Undang-undang perkawinan di Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 tahun
1974 tidak membahas masalah wali nikah. Undang-undang ini hanya
mengatur masalah perkawinan dalam segi administratifnya. UUP hanya
menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan keercayaannya
(pasal 2 ayat 1 UUP). Dengan demikian, tidak ada ikatan perkawinan di
luar hukum agama.
5. KHI mengatur masalah wali nikah dalam bab IV, antara lain pada bagian
kesatu pasal 14 menegaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus
ada : a. calon suami, b. calon istri, c. wali nikah, d. dua orang saksi, e. ijab
qabul. Pasal 19 KHI menegaskan bahwa wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita.
6. Hadis yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum keabsahan
nikah tanpa wali, terdapat dalam empat jalur periwayatan, yaitu jalur An-
Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Baihaqi.
7. Jalur periwatan An-Nasa’i, sanadnya bersambung dari perawi pertama
(‘Aisyah r.a) hingga perawi terakhirnya. Akan tetapi ada dua orang perawi
di dalamnya yang cacat, yaitu Abdullah bin Buraidah (dari golongan
tabi’in) dan Ali bin Ghurab (dari golongan atba’ atba’ al-tabi’in). Dengan
demikian, hadis dari jalur periwayatan An-Nasa’i ini tidak bisa
dikategorikan ke dalam kelompok hadis shahih, akan tetapi termasuk
kategori hadis hasan.
8. Jalur periwayatan Ibnu Majah, sesuai dengan ilmu tarikh al-ruwat,
sanadnya bersambung dari perawi pertama (Buraidah) hingga perawi
terakhir. Hanya saja, perawi yang kedua (Abdullah bin Buraidah) sesuai
dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil, dinilai cacat oleh para ulama’. Dengan
demikian, hadis ini juga dikategorikan sebagai hadis hasan.
9. Jalur periwayatan Ahmad bin Hanbal dan Al-Baihaqi, sanadnya terputus
dan para perawi dari kedua jalur ini banyak yang dinilai cacat. Dengan
demikian, hadis dari kedua jalur ini disebut sebagai hadis hasan lighairihi,
karena ada periwayatan lain yang mengangkat status keduanya dari dla’if
menjadi hasan.
10. Penafsiran matan hadis yang berbunyi أن لیس إلى األباء من األمر شيء ,
artinya : “bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam
perkara ini”, menurut penulis adalah sebagai berikut :
Kata األمر (perkara ini) yang dimaksud adalah perkawinan secara
terpaksa, sehingga dengan demikian matan hadis tersebut bermakna
bahwasanya seorang ayah tidak berwenang atau berkuasa memaksakan
kehendak anak gadisnya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang tidak
disukainya. Jika pun hal itu terjadi, maka pernikahan itu boleh dibatalkan
jika anak gadis tersebut menghendaki. Hal ini disebabkan karena salah
satu tujuan perkawinan ialah untuk membentuk sebuah keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah yang kekal selamanya. Bagaimana
mungkin sebuah keluarga dapat terwujud bila sang istri tidak mencitai
suaminya. Sebuah keluarga dapat terwujud bila didasari dengan rasa saling
kasih, saling sayang, dan saling cinta antar anggotanya.
11. Penafsiran yang kurang tepat apabila matan hadis berikut :
أن لیس إلى األباء من األمر شيء dipahami bahwa seorang ayah tidak
mempunyai kekuasaan apapun dalam perkawinan anaknya. Pemahaman
seperti ini akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan akal
sehat maupun dengan hadis-hadis lainnya. Karena pemahaman seperti itu
berarti seorang ayah tidak boleh ikut campur dalam masalah perkawinan
anak gadisnya, baik memberikan masukan dalam memilih pasangan
maupun bertindak sebagai wali yang menikahkannya. Secara akal sehat,
bagaimana mungkin seorang ayah yang telah menafkahi anak-anak dan
istrinya, membanting tulang, memeras keringat demi kelangsungan hidup
dan masa depan anak-anaknya, tidak boleh campur tangan dalam
perkawinan anaknya, hanyalah anak durhaka yang berani melarang
ayahnya untuk memberikan masukan pendapat dalam memilih pasangan
hidupnya, hanyalah anak celaka yang tidak memohon restu orang tuanya
dalam pernikahannya, hanyalah wanita pezina yang mau menikahkan
dirinya sendiri, dan hanyalah orang yang mendukung perzinaan yang
menggembor-gemborkan pendapatnya tentang keabsahan nikah tanpa
wali.
B. Rekomendasi
1. Penelitian hadis (Takhrij hadis) merupakan penelitian yang tidak mudah
dan tidak semua orang bisa melakukannya. Karena dalam hal ini
dibutuhkan kemampuan khusus yang berkaitan dengan penelitian ini.
Kemampuan dimaksud ialah kemampuan dalam bidang ulum al-hadis,
ilmu ushul hadis, dan ilmu-ilmu pendukungnya, seperti ilmu nahwu-sharaf
(tata bahasa Arab), ilmu sastra Arab (balaghah), dan ilmu kosa kata Arab
(mufradat). Tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, mustahil seseorang bisa
melakukan penelitian terhadap sebuah hadis. Oleh sebab itu, penelitian
hadis termasuk sebuah upaya ijtihad, karena penelitian hadis tersebut
menghasilkan sebuah kepastian hukum di dalamnya. Dengan demikian,
seharusnya penelitian hadis mendapatkan perhatian yang maksimal dari
orang-orang yang peduli terhadap hukum Islam, demi mendapatkan
kepastian hukum yang jelas, agar dalam menetapkan hukum suatu perkara
benar-benar berlandaskan pada sumber hukum yang kuat.
2. Penelitian hadis merupakan penelitian yang sangat penting bagi seluruh
umat muslim, khususnya para pemuka dan tokoh agama yang banyak
menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakatnya baik melalui
lisan maupun tulisannya. Hendaknya mereka menjelaskan kepada
masyarakat tentang status keotentikan hadis-hadis yang menjadi landasan
hukum yang berlaku di dalam masyarakat muslim melalui penelitian
terlebih dahulu. Mereka, para tokoh Islam dan cendekiawan muslim, harus
benar-benar mampu memilah dan memilih antara hadis yang bisa
dijadikan dasar hukum dan hadis yang tidak bisa dijadikan landasan
hukum.
3. Al-hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Dalam
beristinbat hukum dari sebuah hadis, hendaknya dilakukan penelitian
terlebih dahulu untuk mengetahui otentisitas hadis terkait serta memahami
isi yang terkandung dalam redaksi matan hadis agar sebuah penetapan
hukum tidak menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh
karenanya, disamping meneliti sanadnya, seorang peneliti hadis juga harus
meneliti matan hadis dengan cara mengadakan kritik matan secara
mendalam. Dalam upaya kritik matan, dibutuhkan kemampuan dalam ilmu
balaghah, nahwu, sharaf, dan kosa kata bahasa Arab guna menghasilkan
pemaknaan matan hadis yang sesuai dengan penafsiran yang tepat dan
benar.
4. Peguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) termasuk di dalamnya STAIN
Salatiga merupakan lembaga yang sangat besar peranannya dalam
memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
pengetahuan agama Islam. Oleh sebab itu, STAIN Salatiga harus benar-
benar memiliki kompetensi di bidangnya, mulai dari administrasi,
penyediaan sarana prasarana yang memadai, hingga pelayanan
akademiknya, agar mampu mencetak sarjana-sarjana yang memiliki
intelektualitas yang tinggi dan berakhlaqul karimah.
5. Penulis berharap agar jurusan Syari’ah, khususnya program studi Al-
Ahwal Al-Syakhshiyyah membuka peluang seluas-luasnya bagi para
mahasiswa maupun para dosen untuk melakukan penelitian serupa
selanjutnya, mengingat begitu banyaknya hadis yang seolah-olah
kontroversi dengan al-Qur’an, dengan hadis lainnya, maupun dengan
pemikiran kita.
6. Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca yang budiman agar pada penelitian serupa seanjutnya dapat lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hassan dkk. 1998. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. cet. X.Bandung : cv. Diponeoro.
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akademika Pressindo..
Ahmad. tt. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut : Daar Al-Fikri.
Al-Asqalany. 1984. Tahdzib Al-Tahdzib. Cet. 1. Beirut : Daar Al-Fikri
Al-Ghazali, Syekh Muhammad. 1997. Analisis Polemik Hadis. Cet. 1. Terj.Surabaya : Dunia Ilmu Offset.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. tt. Sunan An-Nasa’i. Beirut, Libanon : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawy. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia.cet. 1. Jakarta : Bulan Bintang.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. cet.11. Jakarta : Bulan Bintang.
Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadis. Cet. 2. Terj.Bandung : Pustaka Hidayah.
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : CV.Thoha Putra.
Fuad, Muhammad. tt. Sunan Ibnu Majah. Beirut, Libanon : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Helmy, Muhammad Irfan. 2007. Kontekstualisasi Hadis (Telaah atas Asbab Al-Wurud dan Kontribusinya terhadap Pemahaman Hadis). Cet. 1.Yogyakarta : STAIN Salatiga Press dan Mitra Cendekia.
Ibrahim, Johnny. 1988. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet.I.Malang : Bayumedia Publishing.
Ismail, M.Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar,Pemalsunya. cet. 1. Jakarta : Gema Insani Press.
Maliki, Al-, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis,. cet. 1. terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1991. Fiqh Lima Madzhab, cet. 1. terj. Jakarta :Basrie Press.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penlitian. cet. 3. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nuruddin. 1994.Ulum Al Hadits. cet. 1. terj. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, HukumAcara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam. cet. 4. Jakarta :Sinar Grafika.
Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih Sunnah. cet. 1. Bandung : PT Al-Ma’arif.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.cet. 4. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat. cet.IV. Jakarta : PT. Raja Pers.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Wahid, Marzuki, dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara. cet. 1. Yogyakarta :LKiS.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. cet. 8. Jakarta : PT. HidakaryaAgung.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan OborIndonesia.
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi ( Telaah Historis dan Metodologis). Cet. 1.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
http : // www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=Detail Artikel & Artid=162
Al Baihaqi, Sunan Kubra (CD Room, Maktabah Syamilah, tt).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Aminanto
Tempat/tanggal lahir : Kab. Semarang, 09 Agustus 1985
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjaran gunung, Rt/Rw 30/06, Desa Cukilan,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang 50776
Riwayat pendidikan :
1. SDN Cukilan 03 lulus tahun, 1999.
2. MTs Darul Ulum Reksosari, Suruh, lulus tahun 2002.
3. MAN Suruh, lulus tahun 2005
4. STAIN Salatiga, Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah
Demikian riwayat hidup saya, yang saya buat dengan sebenar-benarnya.
Cukilan, 24 November 2011
Penulis,
Aminanto