produksi nanoemulsi ekstrak temulawak...

52
PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK DENGAN METODE HOMOGENISASI NINA JUSNITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: vandieu

Post on 19-May-2018

247 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK DENGAN

METODE HOMOGENISASI

NINA JUSNITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 2: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8
Page 3: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul “Produksi Nanoemulsi

Ekstrak Temulawak dengan Metode Homogenisasi” adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Nina Jusnita

NIM F351110031

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus

didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

Page 4: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

RINGKASAN

NINA JUSNITA. Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode

Homogenisasi. Dibimbing oleh LIESBETINI HADITJAROKO dan ERLIZA

NOOR.

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) telah digunakan secara luas

untuk mengatasi kurang nafsu makan, gangguan saluran cerna, eksema dan

jerawat. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) mengandung pigmen berwarna

kuning yang dikenal dengan kurkuminoid (kurkumin dan desmetoksikurkumin),

protein, fosfor, kalium, zat besi dan vitamin C. Diantara kedua fase kurkuminoid

tersebut, kurkumin merupakan kandungan tertinggi dan utama dalam temulawak

(50-60 %). Penyajian temulawak saat ini dalam bentuk rendaman rajangan atau

serbuk bahan dengan air panas. Hal ini membuat senyawa aktif yang tersari

kurang efektif, karena sifat kurkumin yang tidak dapat larut dalam air serta

memiliki bioavailabilitas yang rendah. Karena kelemahan tersebut, maka perlu

dicari alternatif proses produksi yaitu dengan pembuatan nanoemulsi.

Kombinasi bahan pengemulsi dan penstabil akan menghasilkan ukuran

butiran emulsi lebih kecil. Pada penelitian ini digunakan Tween 80 sebagai

emulsifier karena mudah didapat, larut dalam air dan cocok digunakan untuk

emulsi minyak dalam air. Maltodekstrin juga ditambahkan sebagai bahan

pengental yang bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat

proses pengendapan, sehingga nanoemulsi yang dihasilkan akan stabil.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi terbaik pembuatan

nanoemulsi ekstrak temulawak dengan metode homogenisasi, dengan melihat

pengaruh konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan dan waktu pengadukan.

Dalam penelitian ini, temulawak diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan

pelarut etanol dengan nisbah serbuk temulawak terhadap etanol 1:5 selama 3 jam

menggunakan pengadukan putaran 220 rpm. Setelah itu, dipekatkan dengan

rotavapour dan didapat ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak sebagai fase

minyak dengan konsentrasi 20 dan 30 %, kemudian dicampurkan dengan fase air

yang terdiri dari buffer fosfat pH 7, Tween 80 (10 % v/v) dan maltodekstrin (1:1

b/v) dalam pembuatan nanoemulsi. Kecepatan putaran yang digunakan yaitu 20

000, 22 000 dan 24 000 rpm dengan waktu pengadukan selama 20, 30 dan 40

menit.

Nanoemulsi ekstrak temulawak menghasilkan karakteristik yang lebih

baik. Hal ini dapat dilihat dari warna, ukuran butiran, viskositas, pH, kelarutan

dan bioavailabilitasnya. Nanoemulsi yang dihasilkan berwarna transparan.

Nanoemulsi ekstrak temulawak dengan ukuran butiran kurang dari 100 nm

diperoleh dengan konsentrasi ekstrak temulawak 30 % dengan kecepatan

pengadukan 22 000 rpm selama 20 menit yaitu sebesar 95 nm. Nanoemulsi

tersebut memiliki nilai viskositas 3,23 cP dan pH yang sesuai dengan kondisi kulit

dan usus manusia yaitu 6,79. Nanoemulsi ekstrak temulawak dapat larut dalam

pelarut non polar yaitu heksan dan aseton, pelarut semi polar yaitu etanol dan

metanol serta pelarut polar yaitu air. Nanoemulsi memiliki bioavailabilitas yang

lebih tinggi (21,75 %) dibandingkan dengan emulsi ekstrak temulawak (0,32 %).

Kata kunci: nanoemulsi, temulawak, nanoemulsi ekstrak temulawak

Page 5: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

SUMMARY

NINA JUSNITA. Production of Nanoemulsion of Curcuma xanthorriza Roxb.’s

Extract by Homogenization Method. Supervised by LIESBETINI

HADITJAROKO dan ERLIZA NOOR.

Curcuma xanthorriza Roxb. has been used widely for treatment of lack of

appetite, stomach ulcers, eczema, and acne. Curcuma xanthorriza Roxb. contain

yellow pigments known as curcuminoids (curcumin and desmetoxicurcumin),

protein, phosphorus, potassium, iron and vitamin C, with curcumin as the highest

component (50-60 %). Curcuma xanthorriza Roxb. is served by soaking the

rhizome or powder in hot water. Curcumin has a low bioavailability and poor-

water solubility, to enhance its properties, the curcumin convert to nanoemulsion.

The combination of emulsifiers and stabilizers will result a smaller droplets.

In this study, Tween 80 was used as emulsifier because can easily to get, soluble

in water and suitable for oil in water emulsions. In making nanoemulsion of

curcuma extract, maltodextrin is added as a thickening agent which can increase

the viscosity and slow down the deposition process, thus resulting nanoemulsion

more stable.

Nanoemulsions stabilized by Tween 80 and maltodextrin were prepared by

homogenization. The purposes of this study were to produce nanocurcumin by

homogenization methode and to see the effect of curcumin extract, the speed and

time of homogenization. In this research, the curcuma extract was produced by

maceration in ethanol with ratio of simplicia powder to ethanol 1:5 for 3 hours

with stirring at 220 rpm. To produced nanoemulsion, 20 and 30 % of curcumin

extract as the oil phase was mixed by continue phase that consist of buffer

phosphat pH 7, Tween 80 (10 % v/v) and maltodextrin (1:1 v/w). The oil and

continue phase were mixed by homogenizer at 20 000, 22 000 and 24 000 rpm for

20, 30 and 40 minutes.

Nanoemulsion of curcuma extract produces better characteristics. It can be

seen from the color, droplet size, viscosity, pH, solubility and bioavailability.

Nanoemulsion of curcuma extract have transparent color. The research was able

to produce nanocurcumin with the droplet size 95 nm (less than 100 nm) by using

a variation of the stirring speed 22 000 for 20 minute and curcumin concentration

30 %. The viscosity of nanoemulsion was 3,23 cP and has pH that suitable to

human’s skin (6,79). Nanoemulsion of curcuma extract soluble in non-polar

solvents (hexane and acetone), semi-polar solvent (ethanol and methanol) as well

as the polar solvent (water). Nanoemulsion also have a higher bioavailability

(21,75 %) compared with extracts of curcumin emulsion (0,32 %).

Keywords: nanoemulsion, Curcuma xanthorriza Roxb., nanoemulsion of

Curcuma xanthorriza Roxb.’s Extract

Page 6: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK

DENGAN METODE HOMOGENISASI

NINA JUSNITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 8: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Dwi Setyaningsih S.TP, M.Si

Page 9: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

Judul Tesis : Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode

Homogenisasi

Nama : Nina Jusnita

NIM : F351110031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS

Ketua

Prof Dr Ir Erliza Noor

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Juli 2014

Tanggal Lulus:

Page 10: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu

wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis dengan judul

“Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode Homogenisasi”

berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan

gelar magister di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan

dukungannya kepada :

1. Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS dan Prof Dr Ir Erliza Noor selaku

pembimbing yang selalu memberi arahan, masukan, dan bimbingannya

kepada penulis selama menyelesaikan tesis.

2. Dr Dwi Setyaningsih S.TP, M.Si selaku penguji ujian tesis yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penulisan dan penyusunan naskah

tesis.

3. Prof Dr Ir Machfud, MS selaku ketua Program Studi Teknologi Industri

Pertanian.

4. Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

5. Laboran laboratorium Teknologi Industri Pertanian.

6. Mama, Papa, kak Rini dan Titi yang selalu memberi dukungan, kasih sayang

dan doa yang tiada henti sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

7. Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia

8. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri

Pertanian angkatan 2011 atas bantuan dan kebersamaan yang diberikan.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu, tiada balasan

yang dapat disampaikan melainkan doa yang tulus semoga Allah SWT membalas

amal baik yang telah diberikan agar senantiasa selalu dalam lindungan-Nya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk

melakukan pengembangan penelitian selanjutnya. Semoga ilmu yang penulis

peroleh dapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan tesis ini dapat

dikembangkan, diaplikasikan dan bermanfaat menuju bangsa dan negara yang

mandiri. Aamiin.

Bogor, September 2014

Nina Jusnita

Page 11: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 3

1.4 Ruang Lingkup 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

1.1 Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) 3

2.2 Kurkumin 4

2.3 Ekstraksi 5

2.4 Emulsi 6

2.5 Nanoemulsi 7

3 METODOLOGI 10

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 10

3.2 Bahan dan Alat 10

3.3 Metode Penelitian 10

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

4.1 Ekstrak temulawak 13

4.2 Karakterisasi Nanoemulsi ekstrak temulawak 14

5 SIMPULAN DAN SARAN 26

UCAPAN TERIMA KASIH 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 32

Page 12: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia kurkumin 5

2 Jenis-jenis kerusakan emulsi 6

3 Diagram alir pembuatan ekstrak temulawak 12

4 Diagram alir pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak 12

5 Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak

dengan konsentrasi ekstrak temulawak 20% 16

6 Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak

dengan konsentrasi ekstrak temulawak 30% 16

7 Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan konsentrasi

ekstrak temulawak 20% 19

8 Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan konsentrasi

ekstrak temulawak 30% 19

9 Distribusi ukuran partikel nanoemulsi ekstrak temulawak 22

10 Kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak terhadap pelarut heksan (a),

aseton (b), etanol (c), metanol (d) dan air (e) 24

DAFTAR TABEL

1 Komposisi utama temulawak 4

2 Metode-metode pembuatan nano beserta ukuran yang dihasilkan 8

3 Komposisi bahan dalam nanoemulsi 11

4 Karakteristik serbuk temulawak 14

5 Rata-rata ukuran partikel dengan metode Zaenal 17

6 Kestabilan nanoemulsi ekstrak temulawak 21

7 Nilai kelarutan kurkumin pada tingkat kepolaran pelarut 24

8 Karakteristik ekstrak temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak 26

Page 13: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakterisasi Sifat Nano ekstrak temulawak dan nanoemulsi

ekstrak temulawak 32

2 Analisis Rendemen Ekstrak Temulawak 35

3 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rata-rata Ukuran Butiran 35

Nanoemulsi

3a Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak temulawak, 35

Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap Rata-rata Ukuran butiran

Nanoemulsi

4 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Viskositas Nanoemulsi 36

4a Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak temulawak, 36

Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap Viskositas Nanoemulsi

5 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap pH Nanoemulsi 36

6 Gambar Nanoemulsi dengan konsentrasi ekstrak temulawak 37

20% dan 30%

7 Gambar Alat Sel Difusi Franz 37

Page 14: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8
Page 15: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya gerakan kembali ke alam (back to nature) menyebabkan

penggunaan bahan obat alami di dunia meningkat. Bagi Indonesia, gerakan ini

dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan obat

konvensional yang berasal dari impor. Penggunaan bahan alami dapat

meminimalkan efek negatif dari penggunaan obat kimia serta harga yang lebih

murah. Meningkatnya kebutuhan akan herbal tersebut merupakan peluang besar

bagi Indonesia untuk mengembangkan budidaya dan agribisnis tanaman obat-

obatan.

Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman khas Indonesia. Senyawa

kimia pada rimpang temulawak banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, obat,

tekstil dan farmasi. Senyawa pada temulawak terdiri atas pati, kurkuminoid, dan

fraksi minyak atsiri. Secara spesifik, kandungan kurkuminoid temulawak terdiri

atas kurkumin dan desmetoksikurkumin (Sidik et al. 1995). Warna kuning, yang

menjadi ciri khas temulawak, dihasilkan dari senyawa kurkuminoid dan banyak

dimanfaatkan sebagai zat warna pada industri pangan, obat, tekstil dan kosmetik

(Sembiring 2006).

Aplikasi nanoteknologi untuk pangan menunjukkan kecenderungan yang

terus meningkat. Teknologi ini menawarkan keunggulan dalam meningkatkan

bioavailabilitas bahan aktif, pengendalian pelepasan bahan aktif serta

memperbaiki sifat sensoris. Dalam ukuran nano (50-500 nm), partikel bahan aktif

lebih mudah diserap oleh dinding usus halus, sehingga meningkatkan

bioavailabilitasnya (Prasetyorini 2011 dan Kammona et al. 2012). Penyerapan

bahan aktif meningkat karena kelarutan partikel meningkat dan luas permukaan

partikel yang besar (Huang et al. 2009). Tingkat penyerapan nanoherbal pada

tubuh manusia hampir dapat mencapai 100 %, sedangkan pada ukuran mikron

hanya 50 %. Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan ekstrak mudah larut

dan memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi di usus (Poulain et al. 1998).

Dalam ukuran nano, partikel juga memiliki waktu tinggal yang lebih panjang

karena terjerap dalam lapisan mukosa usus (Kammona et al. 2012). Penggunaan

nanopartikel senyawa antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, karotenoid dan

fenol dengan penyalut asal lemak seperti nanoliposom dan arkeosom mampu

memberikan perlindungan yang signifikan terhadap senyawa antioksidan

(Mozafari et al. 2006). Nanopropolis juga memiliki karakter yang lebih baik

dibanding propolis biasa terhadap peningkatan zona hambat terhadap Escherichia

coli (Prasetyorini 2011). Hal ini membuktikan bahwa kemampuan nanopropolis

sebagai antimikroba lebih kuat dibandingkan dengan propolis biasa.

Nanoemulsi memiliki luas permukaan dan energi bebas yang lebih besar,

kelebihan ini antara lain dapat mencegah terjadinya creaming, flokulasi, koalesen

dan sedimentasi. Selain itu, nanoemulsi juga dapat dibentuk dalam berbagai

formulasi, seperti busa, krim, cairan dan semprotan (Gupta et al. 2010). Oleh

sebab itu, pada penelitian ini dikembangkan inovasi teknologi sediaan temulawak

Page 16: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

2

dalam bentuk nanoemulsi yang diharapkan mampu diserap tubuh lebih baik (100

%) dan kelarutan yang lebih baik. Hal ini diharapkan akan mengefisienkan

penggunaannya. Nanoemulsi yang dihasilkan dapat digunakan pada industri obat-

obatan, parfum, kosmetika, makanan-minuman, aromaterapi dan lain-lain. Pada

penelitian ini, pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan menggunakan

metode homogenisasi. Proses homogenisasi untuk mengecilkan ukuran partikel

perlu dilakukan untuk mendapatkan emulsi yang stabil (Chiewchan et al. 2006).

Prinsip kerja homogenizer yaitu mengurangi ukuran butiran dengan cara

menggerus partikel besar, sehingga menghasilkan partikel berukuran lebih kecil

dari ukuran sebelumnya. Pada umumnya proses emulsifikasi secara mekanis dapat

meningkatkan stabilitas emulsi, namun kombinasi dengan bahan pengemulsi atau

penstabil akan menghasilkan ukuran butiran emulsi lebih kecil, sehingga lebih

stabil (Marie et al. 2002). Emulsi santan yang dihomogenisasi menggunakan

homogenizer mampu bertahan selama 24 jam pada suhu ruang (30o

C) (Tanta dan

Pongsawatmanit 2004). Penambahan emulsifier dapat mencegah koalesen, yaitu

penggabungan irreversible dua atau lebih butiran menjadi unit yang lebih besar

dan mudah mengendap (Tangsuphoom at al. 2005). Pada penelitian ini digunakan

Tween 80 sebagai emulsifier karena mudah didapat, larut dalam air dan cocok

digunakan untuk emulsi minyak dalam air.

Peningkatan kestabilan emulsi dapat diperoleh dengan meningkatkan

viskositas karena semakin meningkatnya viskositas akan mengurangi kecepatan

pemisahan emulsi. Viskositas dapat meningkat dengan adanya penambahan bahan

pengental. Emulsi akan stabil apabila tidak cepat mengalami pengendapan (Ansel

1989). Penggunaan maltodekstrin sebagai bahan pengental dan penstabil

bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat proses pengendapan,

sehingga emulsi akan stabil. Maltodekstrin dipilih karena dapat meningkatkan

viskositas produk dan dapat larut dalam air (Deman 1993).

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan ukuran senyawa aktif menjadi ukuran nano diketahui dapat

mengurangi jumlah zat yang dibutuhkan. Ukuran nano juga dapat meningkatkan

bioavailabilitas dan kelarutan (Huang dan Chang 2011). Pada proses pembuatan

nanoemulsi, senyawa aktif dalam jumlah dan ukuran yang berbeda dapat

direkayasa melalui pemilihan kondisi proses. Untuk itu perlu dilakukan pencarian

kondisi proses terbaik meliputi konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan dan

waktu pengadukan yang dapat mempertahankan kandungan kurkumin. Agar

emulsi dapat stabil, maka ditambahkan Tween 80 dan maltodekstrin sebagai

emulsifier dan penstabil.

Proses pembuatan nanoemulsi dilakukan dengan metode homogenisasi.

Menurut McClements (2004) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran butiran

yang dihasilkan oleh homogenisasi antara lain tipe emulsi yang digunakan, suhu,

karakter komponen fasa-fasanya, waktu homogenisasi dan kecepatan putaran

(McClements 2004).

Page 17: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

3

Permasalahan dari proses yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana kombinasi kecepatan dan lama pengadukan serta konsentrasi

ekstrak temulawak yang terbaik untuk menghasilkan nanoemulsi ekstrak

temulawak yang berkualitas tinggi

2. Bagaimana sifat fisikokimia nanoemulsi yang dihasilkan menggunakan metode

homogenisasi.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Memperoleh kondisi terbaik pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dengan

metode homogenisasi, meliputi :

- perlakuan secara fisik yaitu kecepatan dan waktu pengadukan, serta

- perlakuan secara kimia yaitu variasi konsentrasi ekstrak temulawak.

2. Mengkarakterisasikan nanoemulsi ekstrak temulawak yang dihasilkan meliputi

penentuan ukuran, viskositas, pH, kandungan kurkumin, kelarutan pada

beberapa macam pelarut dan bioavailibilitas.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:

1. Proses ekstraksi temulawak dengan metode maserasi dalam pelarut etanol.

2. Produksi nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan dengan metode

homogenisasi dengan perlakuan kecepatan dan waktu pengadukan, serta variasi

konsentrasi ekstrak temulawak.

3. Karakterisasi nanoemulsi meliputi ukuran butiran, viskositas, pH, kandungan

kurkumin, kelarutan pada beberapa macam pelarut dan bioavailabilitas secara

in vitro.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb)

Temulawak, sebagai obat tradisional berkhasiat untuk mengatasi gangguan

hati dan penyakit kuning, baik berupa air perasan ataupun rebusan. Ekstrak

temulawak berkhasiat sebagai antibakteri dan antijamur (Rukayadi dan Hwang

2007) serta sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Lim et al. 2005). Penggunaan

temulawak dalam ramuan obat tradisional sebagai bahan utama (remedium

cardinale), bahan penunjang (remedium adjuvans), pemberi warna (corrigentia

Page 18: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

4

coloris) dan pemberi aroma (corrigentia odoris) (Sidik et al. 1992). Kandungan

kimia rimpang temulawak dibedakan menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati,

kurkuminoid dan minyak atsiri (Sidik et al. 1992). Kadar masing-masing

kandungan bergantung pada umur rimpang yang dipanen, letak dan ketinggian

tempat tumbuh temulawak (Sidik 1985). Kandungan senyawa rimpang temulawak

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi utama temulawak

Komponen senyawa Kadar (% bk)

Air

Pati

75,18

27,62

Lemak 5,38

Minyak Atsiri 10,96

Kurkumin 1,93

Protein 6,44

Abu 3,96

Sumber: Suwiah (1991).

2.2 Kurkumin

Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberi warna kuning

dan digunakan sebagai zat warna dalam industri pangan dan kosmetik. Fraksi

kurkuminoid dalam rimpang temulawak terdiri atas kurkumin dan

desmetoksikurkumin (Basalmah 2006). Rimpang temulawak mengandung

kurkumin 1,4–4 % (Rismunandar 1988) dan 1,93% (Suwiah 1991).

Kurkumin memiliki rumus kimia C21H20O6 dan struktur kimia yang dapat

dilihat pada Gambar 1 serta bobot molekul 368,37 g/mol (Sidik et al. 1995).

Kurkumin berwarna kuning atau kuning jingga, dan mempunyai rasa pahit.

Kurkumin larut dalam pelarut aseton, etanol, asam asetat glasial, dan alkali

hidroksida, namun sangat rendah kelarutannya dalam air dan dietil eter. Aroma

kurkumin sangat khas dan tidak bersifat toksik (Sidik et al. 1995).

Kurkumin stabil pada pH 1-7, pada pH diatas 7 kurkumin mengalami

proses disosiasi dan mudah terdegradasi (Sidik et al 1995). Proses degradasi

kurkumin akan membentuk asam ferulat dan feruloilmetan. Degradasi ini terjadi

pada saat pH lingkungan 8.8-10. Senyawa feruloilmetan hasil degradasi akan

menyebabkan warna rimpang temulawak berubah dari kuning jingga menjadi

kuning coklat. Perubahan warna akibat degradasi ini menyebabkan warna

simplisia temulawak tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan Materia

Medika Indonesia, yaitu berwarna kuning cerah (Sidik et al., 1995).

Page 19: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

5

Gambar 1. Struktur kimia kurkumin

(Ravindran et al. 2007)

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat

menjadi komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Mutu dan rendemen

ekstrak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya metode ekstraksi, kehalusan

bahan, jenis pelarut, lama ekstraksi, konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan

pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian dan pengeringan (Bombaderlli

1991; Vijesekera 1991). Pemilihan metode ekstraksi yang tepat tergantung pada

tekstur dan kandungan air dalam bahan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang

diisolasi (Harborne 1996). Metode yang umum digunakan untuk ekstraksi yaitu

soksletasi, refluks, maserasi dan perkolasi. Ekstraksi temulawak dengan metode

refluks dinilai kurang praktis dan efisien karena membutuhkan peralatan khusus,

waktu yang relatif lama serta energi dan bahan kimia yang cukup banyak

(Farmakope Herbal Indonesia 2008). Oleh karena itu, diperlukan alternatif

ekstraksi yang lebih sederhana, cepat, efisien dan murah. Maserasi merupakan

cara yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus, sehingga

dapat diterapkan di laboratorium. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang

dilakukan dengan merendam serbuk sampel dalam pelarut dan dalam jangka

waktu tertentu pada suhu kamar. Prinsip maserasi adalah pelarutan zat aktif

berdasarkan sifat kelarutannya dalam pelarut (like dissolved like) (Pasto 1992).

Maserasi memberi hasil yang lebih baik karena dapat mengurangi terjadinya

dekomposisi atau degradasi komponen karena pengaruh suhu (Sidik 1992).

Pelarut yang digunakan selama maserasi harus dapat mengekstrak

substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Pemilihan jenis

pelarut dilakukan dengan melihat derajat kepolarannya. Untuk mendapatkan

ekstrak yang maksimal, pelarut harus memiliki polaritas yang sama dengan

senyawa yang akan diekstrak karena senyawa polar hanya dapat larut dengan baik

dalam pelarut yang polar, begitu juga dengan senyawa non polar (Pasto 1992 dan

Kurnia 2000).

Untuk memperoleh ekstrak temulawak, filtrat hasil maserasi dipekatkan

dengan menggunakan vacum rotary evaporator. Rotary evaporator ini

dihubungkan dengan pompa vakum mengakibatkan pelarut etanol mampu

menguap di bawah titik didih 60˚ C, sehingga senyawa yang akan dipisahkan dari

pelarutnya tidak rusak oleh suhu yang tinggi.

Page 20: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

6

Phase

inversion

2.4 Emulsi

Berdasarkan fase terdispersinya, emulsi dibagi atas dua tipe yaitu tipe

minyak dalam air (O/W) dan tipe air dalam minyak (W/O) (Lissant 1974). Tipe

emulsi W/O adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar ke dalam

minyak, air berfungsi sebagai fase internal & minyak sebagai fase eksternal. Tipe

emulsi O/W adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar ke

dalam air (Ansel, 1989). Sistem emulsi pada dasarnya adalah suatu sistem yang

tidak stabil, karena masing-masing butiran mempunyai kecenderungan untuk

bergabung dengan butiran lainnya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat

mengakibatkan emulsi tersebut pecah (Suryani et al. 2000, Bergenstahl et al.

1990).

Kestabilan emulsi dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah

rasio antar fase minyak dan air, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tepat, suhu,

waktu dan kecepatan pencampuran yang tepat, ukuran butiran, perbedaan densitas

antara kedua fase partikel serta viskositas fase eksternal (Bennet 1996 dan Griffin

1954). McClements (2004) menjelaskan bahwa kerusakan atau destabilisasi

emulsi terjadi diantaranya melalui tiga mekanisme utama, yaitu creaming,

flokulasi dan koalesen. Creaming merupakan proses pemisahan yang terjadi

akibat gerakan-gerakan ke atas atau ke bawah. Apabila gerakan yang terjadi ke

atas maka akan terjadi creaming, sebaliknya, apabila gerakan yang terjadi ke

bawah, maka akan terjadi sedimentasi. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi

terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi

butiran, namun tidak terjadi pemusatan film antar permukaan, sehingga jumlah

dan ukuran butiran tetap. Flokulasi akan mempercepat terjadinya creaming.

Koalesen adalah penggabungan butiran-butiran menjadi butiran yang berukuran

lebih besar karena terjadi pemusatan film antar permukaan, sehingga ukuran

butiran berubah. Jenis-jenis kerusakan emulsi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jenis-jenis kerusakan emulsi (McClements 2004)

Kinetically

Stable

Emulsion

Creaming Sedimentation Flocculation Coalescence

Page 21: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

7

2.5 Nanoemulsi

Nanoteknologi merupakan teknologi yang sedang marak dikembangkan

dalam dunia ilmu pengetahuan. Nanoteknologi adalah teknologi yang mampu

menyiapkan bahan aktif obat dalam partikel dengan ukuran nano (seperjuta meter)

dengan ketepatan lebih kecil dari satu nano mikrometer. Di Indonesia, teknologi

nanopartikel terutama untuk menghasilkan nanoherbal masih belum banyak

dikembangkan. Ukuran butiran sangat berpengaruh terhadap kelarutan,

penyerapan dan distribusi obat yang merupakan salah satu faktor menentukan

efektifitas obat. Efektifitas suatu obat akan tercapai setelah melalui proses

LADME (liberasi, absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi).

Nanoemulsi adalah sistem emulsi transparan atau bening dengan ukuran

butiran seragam dan sangat kecil (biasanya dalam kisaran 2-500 nm). Nanoemulsi

stabil secara kinetik membuat nanoemulsi menjadi unik (Tadros 2005; Solans

2003; Fast & Mecozzi 2009). Menurut Tadros (2005), nanoemulsi memiliki

keuntungan sebagai berikut :

1. Butiran berukuran sangat kecil, sehingga dapat mencegah terjadinya creaming

atau sedimentasi selama penyimpanan.

2. Cocok untuk penghantaran bahan aktif melalui kulit. Sistem nanoemulsi

memiliki luas permukaan yang besar, sehingga penetrasi zat aktif lebih cepat.

3. Ukuran butiran yang kecil memudahkan penyebaran dan penetrasi dapat

ditingkatkan karena tegangan permukaan dan tegangan antarmuka yang

rendah.

4. Berwarna transparan yang dapat memberikan estetika yang menarik dan

menyenangkan saat digunakan.

Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat nanoemulsi (Tabel

2). Metode tersebut dapat diklasifikasikan dengan penggunaan energi tinggi dan

energi rendah (Acosta 2009; Leong et al. 2009; Tadros et al. 2004). Pendekatan

energi tinggi memanfaatkan perangkat mekanik yang mampu menghasilkan

energi yang dapat mengecilkan ukuran butiran, misalnya, homogenizer tekanan

tinggi, microfluidizer dan metode sonikasi (Gutierrez et al. 2008; Leong et al.

2009; Velikov et al. 2008; Wooster et al. 2008). Di sisi lain, pendekatan energi

rendah bergantung pada pembentukan spontan butiran dalam campuran sistem

emulsi O/W ketika larutan atau kondisi lingkungan diubah (Anton et al. 2008;

Bouchemal et al. 2004; Chu et al. 2007; Freitas et al. 2005; Tadros et al. 2004;

Yin et al. 2008). Ukuran minimum butiran yang dapat diproduksi menggunakan

pendekatan masing-masing tergantung pada beberapa faktor yang berbeda.

Pengecilan ukuran partikel menggunakan pendekatan berenergi tinggi tergantung

pada jenis dan kondisi operasi homogenizer (misalnya intensitas energi, waktu

dan suhu), komposisi sampel (misalnya jenis dan konsentrasi minyak serta

emulsifier) dan sifat fisikokimia fase komponen (misalnya tegangan antarmuka

dan viskositas) (McClements 2011).

Page 22: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

8

Tabel 2. Metode-metode pembuatan nano beserta ukuran yang dihasilkan

Metode Pelarut Emulsifier/

surfaktan

Bahan Ukuran

Rata-

rata

(nm)

Referensi

Rotor/stator

(Ultra Turax)

Heksan Tween 20 β-karoten 150 Silva et al.

2011

Rotor/stator

(Ultra Turax)

Kloroform Pektin Fraconazole 200-400 Burapapadh

et al 2010

Homogenisasi

Tekanan Tinggi

Heksan Tween 20,

40, 60 & 80

β-karoten 132-178 Yuan et al.

2008

Homogenisasi

Tekanan Tinggi

Trigliserida

rantai

sedang

Lemak susu

dengan

kandungan

stearin

tinggi

Sodium

kaseinat

α-tocoferol 391 Belkin 2008

Ultrasonikasi Larutan

Etanol

dengan

Trigliserida

rantai

sedang 10%

(b/b)

Poloksomer,

Tween 80,

Span 80,

lesitin

2-(butilamino)-

1-Fenil-1-Asam

Etanetiosulfur

(BphEA)

200-251 De arauju et

al. 2009

Teknik

Penghilangan

Pelarut

Trigliserida

rantai

sedang &

lipid E-80

Pluoric F8 Lipid E-80 185-208 Chaiz et al.

2003

Emulsifikasi

Spontan

Minyak

castrol /

Trigliserida

rantai

sedang

Minyak

kedelai,

lesitin &

Tween 80

Karbarnazepin 150-212 Kelmann et

al. 2007

Emulsifikasi

Spontan

Etanol Telur Kuersetin/

metilkuersetin

300 Fasolo et al.

2007

Penggunaan alat mekanis (homogenizer) dan penambahan emulsifier dapat

mempertahankan sistem agar tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson, 1990).

Penggunaan emulsifier dapat menurunkan tegangan antarmuka dari kedua fase

cairan yang tidak saling bercampur, mengurangi gaya tolak antara cairan-cairan

tersebut dan mengurangi gaya tarik-menarik antar molekul dari masing-masing

cairan, sehingga mencegah terjadinya koalesen (Ansel 1989 dan Tangsuphoom et

al. 2005). Ukuran butiran menjadi lebih kecil jika pada saat proses emulsifikasi

dikombinasikan dengan penggunaan emulsifier (Marie et al. 2002). Emulsifier

bekerja dengan membentuk film di sekeliling butir-butir butiran yang terdispersi

sehingga mencegah koalesen dan terpisahnya fase terdispersi (Anief 1999).

Page 23: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

9

sedangkan penstabil ditambahkan untuk menambah viskositas fase kontinyu

emulsi sehingga meningkatkan stabilitas emulsi dengan mencegah pergerakan

butiran emulsi (McClements 2004). Peningkatan viskositas dapat mengurangi

kecepatan pemisahan emulsi. Dengan demikian, penambahan bahan pengental

diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi. Penelitian yang dilakukan

oleh Tangsuphoom et al. (2007) menunjukkan bahwa penambahan

polyoxyethylene sorbitan monolaurate (Tween 20) sebagai emulsifier pada santan

yang dihomogenisasi dapat membantu mempercepat emulsifikasi. Pemberian

CMC sebagai penstabil pada santan membuat santan terlihat mengental dan

emulsi tetap stabil walaupun dipanaskan (Peamprasart et al. 2006).

Emulsifier yang digunakan pada pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak

adalah Tween 80 yang memiliki jumlah gugus hidrofilik 20 % dan gugus lipofilik

80 % dengan nilai keseimbangan gugus hidrofilik dan lipofilik (HLB) 8-16 dan

berfungsi menstabilkan sistem emulsi minyak dalam air (Jiang 2009). Daya kerja

emulsifier disebabkan oleh sifat molekul yang dapat terikat pada minyak dan air.

Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis emulsifier adalah

berdasarkan HLB (Hidrophilic Lipophilic Balance). Menurut Belitz and Grosch

(1987), nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak

dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang lebih kecil

mampu menurunkan tegangan muka antara air dan minyak pada emulsi air dalam

minyak.

Selain Tween 80, maltodekstrin juga ditambahkan dalam pembuatan

nanoemulsi ekstrak temulawak. Maltodekstrin berfungsi sebagai penstabil dan

pengental yang dapat meningkatkan viskositas nanoemulsi, sehingga dapat

menghambat penggabungan butiran. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis

pati yang mengandung unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui

ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Maltodekstrin merupakan

campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan dekstrin. Maltodekstrin

biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan

DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE

tinggi cenderung menyerap air. Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi

dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau

enzim. Kelebihan maltodekstrin adalah mudah larut dalam air dingin. Sifat-sifat

yang dimiliki maltodekstrin antara lain memiliki daya larut pada air yang tinggi

dan membentuk film, sifat higroskopis yang rendah, kemampuan browning yang

rendah, mampu menghambat kristaslisasi dan memiliki daya ikat yang kuat

(Srihari et al. 2010).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan dalam

ukuran nanometer mampu meningkatkan kelarutan dan penyerapan oleh tubuh.

Selain itu, penggunaan obat-obatan dalam skala nano dapat mengurangi dosis obat

yang dapat mengakibatkan efek samping pada beberapa pasien. Penggunaan

nanopartikel dalam mendeteksi dan mengobati sel yang terkena kanker lebih

efektif dibanding obat kanker biasa (Sunderland et al. 2006).

Page 24: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

10

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-November 2013. Pembuatan

ekstrak temulawak dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia, Departemen

Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dan uji bioavailabilitas

dilakukan di Laboratorium Fisik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Farmasetika

non Steril, Universitas Indonesia. Pengukuran ukuran dengan PSA dilakukan di

Laboratorium Analisa Bahan, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb) berusia 9 bulan yang diperoleh dari Pusat Studi

Biofarmaka IPB, etanol 98%, maltodekstrin, NaOH, akuades, natrium hidrogen

fosfat dan Tween 80.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disc mill (FFC 15),

rotary vacuum evaporator, homogenizer (Virtis 23), spektrofotometer U-2010,

alat uji PSA (Particle Size Analyzer) (VASCO), viscometer, refraktometer, pH-

meter, pompa vakum, ayakan 40 mesh, kertas saring, spatula, magnetic stirrer,

pipet, labu erlenmeyer (pyrex), pisau, talenan, gelas piala, timbangan digital dan

gelas ukur (pyrex).

3.3 Metode Penelitian

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dimulai dengan

pembuatan ekstrak temulawak dan dilanjutkan dengan pembuatan nanoemulsi

ekstrak temulawak menggunakan homogenizer. Diagram alir pembuatan ekstrak

temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Pembuatan Ekstrak Temulawak

Rimpang temulawak dicuci dan ditiriskan lalu diiris-iris setebal 6-7 mm.

Hasil irisan rimpang kemudian dikeringkan dengan dijemur selama 24 jam sampai

kadar airnya kurang dari 10 %. Setelah kering, simplisia kemudian digiling dan

Page 25: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

11

diayak, sehingga diperoleh serbuk temulawak dengan ukuran 40 mesh.

Selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi (Basalmah 2006).

Serbuk temulawak dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi etanol 98 %

dengan perbandingan 1:5 (b/v) dengan pengadukan 220 rpm pada suhu kamar

selama 4 jam. Setelah ekstraksi selesai, hasil ekstraksi disaring lalu dipekatkan

untuk mendapatkan ekstrak dengan rotary vacuum evaporator (rotavorator) pada

suhu 40o

C sampai tidak ada distilat yang menetes. Analisis ekstrak temulawak

meliputi kadar air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi) dan abu (SNI 01-3187-

1992 yang dimodifikasi). Ekstrak temulawak yang dihasilkan dikarakterisasi

meliputi warna, aroma, bobot jenis (SNI 06-4085-1996), indeks bias (SNI 01-

4472-1998), pH (SNI 06-2413-1991), viskositas dan kandungan kurkumin.

Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan Nanoemulsi Ekstrak Temulawak

Formula nanoemulsi terdiri dari ekstrak temulawak, maltodekstrin dan

Tween 80 dalam beberapa konsentrasi. Komposisi masing-masing nanoemulsi

dapat dilihat pada Tabel 3. Homogenisasi dilakukan dengan kecepatan

pengadukan 20 000, 22 000 dan 24 000 rpm selama 20, 30 dan 40 menit. Analisis

nanoemulsi meliputi analisis kimia dengan menganalisis kandungan kurkumin

(AOAC 2005), viskositas dan pH (AOAC 1995). Analisis fisika yaitu analisis

ukuran butiran, uji kelarutan (Hermawati 2004) dan uji bioavailabilitas (Martin et

al. 1993). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 3. Komposisi bahan dalam nanoemulsi

Bahan Komposisi I Komposisi II

Ekstrak temulawak (ml) 20 30

Maltodekstrin (g) 20 30

Tween 80 (ml) 2 3

Buffer Fosfat (ml) 78 67

Page 26: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

12

Temulawak

segar

Pencucian

Penirisan

Pengirisan setebal

6-7 mm

Pengeringan dengan

penjemuran sampai

kadar air < 10%

Penggilingan

Pengayakan dengan

ukuran 40 mesh

Serbuk

temulawak

Ekstraksi dengan maserasi

dalam etanol selama 4 jam

pada suhu 30oC

Penyaringan

Pemekatan dengan rotavapor

40oC sampai tidak ada distilat

yang menetes

Ekstrak

temulawak

Karakterisasi : warna,

aroma, bobot jenis,

indeks bias, pH,

viskositas dan

kandungan kurkumin

Gambar 3. Diagram alir pembuatan ekstrak temulawak

Pencampuran dengan

Tween 80 10% (v/v)

dan maltodekstrin 1:1

(b/v) dengan minyak

Pencampuran fasa minyak

20% dan 30% (v/v) dalam fasa

air

Karakterisasi ukuran

partikel, viskositas,

kandungan kurkumin,

kelarutan dan uji

bioavailabilitas

Pembuatan nanokurkumin dengan

homogenizer :

1. Kecepatan 20.000, 22.000 dan 24.000 rpm

2. Waktu pengadukan 20, 30 dan 40 menit

Fase Minyak:

100 ml Ektrak

temulawak dalam 1000

ml etanol 98%

Nanoemulsi

Ekstrak

Temulawak

Fase Air :

Larutan Buffer Fosfat

(pH 7)

Gambar 4. Diagram alir pembentukan nanoemulsi ekstrak temulawak

Page 27: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

13

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Analisis statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah

rancangan percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap. Faktor I adalah

kecepatan pengadukan pada homogenisasi dengan tiga taraf yaitu 20 000, 22

000 dan 24 000 rpm. Faktor II adalah waktu pada homogenisasi dengan tiga taraf

yaitu 20, 30 dan 40 menit. Berikut ini merupakan model rancangannya

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan kecepatan pengadukan taraf ke-i

dan perlakuan waktu pengadukan taraf ke-j

µ = Nilai tengah polulasi (rata-rata yang sesungguhnya)

Ai = Pengaruh perlakuan kecepatan pengadukan taraf ke-i

Bj = Pengaruh perlakuan waktu pengadukan taraf ke-j

(AB)ij = Interaksi dari kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan

Ɛij = Galat (sisa) dari perlakuan

j = Kecepatan pengadukan

j = Waktu pengadukan

Data hasil pengamatan diolah menggunakan analisis sidik ragam

(ANOVA). Jika perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap peubah yang

diukur maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT, Duncan’s Multiple

Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstrak Temulawak

Kadar air serbuk temulawak yang dihasilkan sebesar 7,12 % dan telah

memenuhi mutu yang ditetapkan oleh Materia Medika Indonesia (MMI), yaitu

kurang dari 12 %. Penentuan kadar air ini penting untuk mengetahui masa simpan

serbuk kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal, dengan

kadar air 10 % maka sampel dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama

(Depkes RI 1995). Suatu sampel dikatakan baik dan dapat disimpan dalam jangka

waktu yang lama apabila memiliki kadar air 10 %. Hal ini disebabkan karena pada

tingkat air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan kapang yang cepat

(Harjadi 1986).

Kadar abu simplisia sebesar 3,24 %, nilai ini memenuhi standar mutu

kadar abu serbuk yaitu sebesar 3-7 %. Kadar kurkumin pada serbuk temulawak

yaitu 2,83 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dari beberapa hasil penelitian lain yang

Page 28: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

14

telah dilakukan Afif (2006) yang mendapatkan kadar kurkumin di dalam

temulawak sebesar 2,98 %, sementara hasil penelitian Aan (2004) sebesar 2,43 %.

Perbedaan hasil kadar kurkumin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

umur rimpang, tempat tumbuh, jenis tanah dan metode analisisnya. Penelitian

yang dilakukan oleh Afif (2006) menggunakan rimpang temulawak usia 9 bulan,

metode yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair dan dianalisis menggunakan

sprektrofotometer 420 nm, sedangkan Aan (2004) menggunakan rimpang

temulawak usia yang sama 8 bulan, metode yang digunakan maserasi dan

dianalisis menggunakan HPLC.

Pelarut yang digunakan dalam proses maserasi adalah etanol. Etanol

memiliki keunggulan lain yaitu memiliki titik didih yang relatif rendah (78o

C)

dan mudah menguap, sehingga memperkecil jumlah etanol yang terbawa dalam

ekstrak. Karakteristik ekstrak kurkumin hasil ekstraksi diberikan Tabel 4.

Rendemen ekstrak temulawak yang dihasilkan lebih tinggi (23,19 %) (Lampiran

2) dari hasil penelitian Ria (1989) dan Aan (2004) sebesar 10,01 %. Perbedaan

rendemen dengan Ria (1989) disebabkan karena perbedaan umur temulawak segar

yang digunakan sebagai bahan baku. Perbedaan umur rimpang mempengaruhi

kandungan kurkumin, minyak atsiri dan kadar air ekstrak yang dihasilkan.

Pemilihan pelarut juga mempengaruhi hasil ekstrak yang dihasilkan. Pelarut

etanol yang digunakan menghasilkan ekstrak lebih tinggi dibandingkan yang

digunakan oleh Aan (2004) yang menggunakan pelarut aseton.

Tabel 4. Karakteristik ekstrak temulawak

Karakteristik Nilai Standar

Warna Coklat Kuning Kuning-jingga sampai coklat kuning-

jingga

Bentuk Cairan kental Cairan kental

Aroma Khas

temulawak

Khas temulawak

Bobot jenis 0,97 0,91

Indeks bias 1,65 1,50

Rendemen (%) 23,19 -

pH

Viskositas (cP)

5,22

84,10

-

-

Kurkumin (mg/L)

Desmetoksikurkumin (mg/L)

10 790

4 954

-

-

4.2 Karakterisasi Nanoemulsi ekstrak temulawak

Nanoemulsi ekstrak temulawak termasuk kategori emulsi O/W atau fase

minyak di dalam air, dimana fase minyak (organik) sebagai fase terdipersi dan

fase air sebagai fase pendispersi. Pada pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak

digunakan bahan tambahan yaitu Tween 80 dan maltodekstrin agar hasil yang

diperoleh lebih baik. Tween 80 merupakan molekul yang mengabsorbsi pada

permukaan butiran yang terbentuk selama homogenisasi dan membentuk

Page 29: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

15

membran protektif yang menjaga butiran agar tidak terjadi agregasi sedangkan

penstabil ditambahkan untuk menambah viskositas fase kontinyu (air) sehingga

mencegah pergerakan butiran nanoemulsi dan akan meningkatkan stabilitas

emulsi. Tween 80 termasuk emulsifier nonionik yang bersifat tidak toksik,

hidrofilik dan mempunyai HLB 8-18 sehingga sangat cocok digunakan sebagai

emulsifier dalam pembuatan emulsi minyak dalam air mampu menstabilkan

sistem emulsi minyak dalam air. Di bidang farmasi, Tween 80 dapat membantu

dalam pelepasan obat atau agen dalam kemoterapi. Tween 80 dinyatakan aman

digunakan dalam produk makanan dan telah digunakan pada pembuatan es krim,

pengolahan vitamin/mineral serta produk makanan lainnya. Penambahan

maltodekstrin sebagai pengental dapat meningkatkan viskositas yang akan

mempengaruhi penurunan ukuran butiran. Maltodekstrin dipilih karena

merupakan gula yang tidak manis dan mudah larut dalam air. Maltodekstrin yang

digunakan memiliki nilai DE 15 yang tergolong DE tinggi. Maltodekstrin dengan

DE yang tinggi bersifat higroskopis sehingga dapat larut dalam air dan sesuai

digunakan sebagai pengental dalam emulsi W/O. Keunggulan lainnya yaitu dapat

melindungi zat aktif dari oksidasi, dapat meningkatkan kelarutan dan murah

(Sansone et al. 2011). Nanoemulsi ekstrak temulawak yang dihasilkan dapat

dilihat pada Lampiran 7.

Ukuran Butiran Nanoemulsi

Pembuatan nanoemulsi temulawak diawali dengan menggunakan metode

yang dilakukan oleh Zaenal (2011), dimana fase minyak (konsentrasi 30, 40 dan

50 %) dan fase air masing-masing dihomogenisasi dengan kecepatan 20 000, 22

000 dan 24 000 rpm. Fase minyak kemudian dicampur dengan fase air dan

dilanjutkan kembali dengan dihomogenisasi dengan kecepatan 20 000, 22 000 dan

24 000 rpm. Nanoemulsi yang dihasilkan tidak stabil, fase minyak dan air cepat

terpisah dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga metode ini tidak dilanjutkan.

Hal ini kemungkinan karena kurangnya kecepatan putar, sehingga emulsi yang

dihasilkan masih dalam ukuran besar dan tidak homogen. Hasil pengukuran

ukuran partikel dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata ukuran partikel menggunakan metode Zaenal (2011)

Konsentrasi Ekstrak

Temulawak (%)

Kecepatan

Putaran (rpm)

Waktu Putaran

(menit)

Rata-Rata Ukuran

Partikel (nm)

30 24 000 20 273

30 24 000 30 244

30 24 000 40 109

30 20 000 20 169

30 20 000 30 140

30 20 000 40 135

40 20 000 20 268

40 24 000 40 185

50 20 000 20 176

50 24 000 40 162

Page 30: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

16

Hasil sidik ragam dengan metode yang dilakukan (Lampiran 3)

menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan homogenizer berpengaruh terhadap

rata-rata ukuran butiran nanoemulsi yang dihasilkan. Untuk melihat pengaruh

kecepatan pengadukan homogenizer terhadap rata-rata ukuran butiran nanoemulsi

yang dihasilkan, dilakukan uji lanjutan DNMRT (Duncan’s Multiple Range Test)

pada taraf nyata 5 %. Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa kecepatan

pengadukan 20 000 rpm menghasilkan rata-rata ukuran butiran yang berbeda

nyata dengan kecepatan pengadukan 22 000 dan 24 000 rpm (Lampiran 3a).

Kecepatan dan lama pengadukan berpengaruh terhadap ukuran butiran

nanoemulsi yang dihasilkan. Semakin tinggi kecepatan dan semakin lama

pengadukan, maka ukuran butiran yang dihasilkan semakin kecil (Gambar 5 dan

6). Ukuran butiran terkecil didapat pada nanoemulsi dengan konsentrasi 30 %,

kecepatan pengadukan 24 000 rpm dengan waktu pengadukan 40 menit (Gambar

6). Intensitas dan lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan

untuk melarutkan dan mendistribusikannya secara merata. Hal ini disebabkan

karena adanya tumbukan antar molekul, semakin cepat dan lama putaran akan

memperbesar intensitas bersentuhan antar molekul, sehingga menghasilkan

ukuran nanoemulsi yang kecil.

Ukuran butiran akan semakin kecil dengan peningkatan gaya yang diberikan

(Hanselmann 1996). Semakin tinggi kecepatan putar akan meningkatkan gaya

geser yang diterima oleh fluida, sehingga menyebabkan minyak terpecah menjadi

butiran yang semakin kecil. Menurut Lachman et al. (1994), jika pengadukan

terlalu lambat, maka bahan-bahan akan sulit untuk homogen karena kurangnya

intensitas tumbukan antar butiran. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada

konsentrasi 30 % dengan kecepatan 22 000 rpm selama 20 menit telah

menghasilkan rata-rata ukuran butiran kurang dari 100 nm, sehingga kecepatan

dan waktu putaran tidak perlu ditingkatkan lagi.

Gambar 5. Rata-rata ukuran (nm) butiran nanoemulsi ekstrak temulawak dengan

konsentrasi ekstrak temulawak 20 %

Page 31: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

17

Gambar 6. Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan

konsentrasi ekstrak temulawak 30 %

Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran butiran yang dihasilkan pada

homogenisasi yaitu tipe emulsi yang digunakan, suhu dan energi (McClements

2004). Meningkatnya putaran akan sebanding dengan energi tumbukan yang

dikeluarkan. Peningkatan energi tumbukan ini berpengaruh secara langsung

terdapat ukuran butiran yang terbentuk (Muller-Fischer et al. 2006). Kecepatan

tinggi dalam pembuatan nanoemulsi dapat dikurangi dengan meningkatkan

konsentrasi emulsifier dan/atau menambah jenis emulsifier yang digunakan.

Nanoemulsi ekstrak temulawak dengan jumlah Tween 80 sebanyak 3 ml

menghasilkan ukuran butiran yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan

Tween 80 sebanyak 2 ml. Pembuatan nanoemulsi glukosamin yang dilakukan

oleh Anggraeni (2012) menunjukkan bahwa kecepatan 1800 rpm selama 3 menit

dapat membentuk ukuran nano. Kecepatan yang tidak terlalu tinggi ini didukung

oleh penggunaan Tween 80 yang besar yaitu sebanyak 40 %. Hal ini juga

ditunjukkan oleh Utami (2012) yang membuat nanoemulsi gel kurkumin dengan

menggunakan kecepatan 500 rpm selama 5 menit. Nanoemulsi gel yang

dihasilkan 147 nm dengan menggunakan 3 jenis surfaktan dengan konsentrasi

tinggi yaitu Tween 80 sebanyak 36 %, asam oleat sebanyak 5 % dan karbopol

sebanyak 4 %.

Ukuran butiran dapat diperkecil dengan meningkatkan energi tumbukan,

selama masih tersedia emulsifier yang cukup untuk menyelimuti permukaan

butiran. Selain itu, semakin tingginya konsentrasi emulsifier juga dapat

menurunkan ukuran butiran. Hasil penelitian Mc Clements (2011) pada

pembuatan nanoemulsi minyak jagung dengan metode homogenisasi tekanan

tinggi menunjukkan ukuran diameter butiran menurun dari 131 nm menjadi 110

nm dengan peningkatan konsentrasi Tween 20 dari 1 % menjadi 10 %. Hal ini

disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi emulsifier, maka permukaan

butiran yang terbentuk akan semakin dilindungi selama proses homogenisasi dan

permukaan butiran akan lebih cepat diselimuti oleh lapisan molekul emulsifier

selama proses homogenisasi.

Page 32: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

18

Ukuran butiran yang kecil yang dihasilkan oleh proses homogenisasi dapat

meningkatkan fase terdispersi sehingga viskositas semakin meningkat dan

penyerapan emulsifier dapat meningkat. Ketidakcukupan emulsifier dalam

menyelubungi permukaan butiran-butiran akan menyebabkan koalesen.

Pengemulsian juga membutuhkan waktu homogenisasi yang tepat. Intensitas dan

lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan

dan mendistribusikannya secara merata.

Viskositas Nanoemulsi

Nanoemulsi dengan konsentrasi fase minyak 30 % yang mempunyai ukuran

partikel lebih kecil dan nilai viskositas lebih besar dibandingkan dengan

konsentrasi 20 %. Semakin besar konsentrasi ekstrak temulawak, maka viskositas

nanoemulsipun semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin banyak

partikel yang terlarut maka gesekan antar partikel akan semakin tinggi dan

meningkatkan viskositas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nguyen (2010) dan

Kartika (1990) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas suatu emulsi

antara lain viskositas medium dispersi, persentase volume terdispersi, ukuran

partikel fase terdispersi dan jenis serta konsentrasi emulsifier yang digunakan

Nguyen 2010 dan Kartika 1990). Viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi

fase terdispersi, peningkatan konsentrasi fase terdispersi ditingkatkan akan diikuti

oleh peningkatan viskositas yang dihasilkan (Kim et al. 2003). Semakin tinggi

persentase medium dispersi, maka makin tinggi konsentrasi emulsifier/stabilizer

yang digunakan dan makin tinggi viskositas yang dihasilkan (Nguyen, 2010).

Peningkatan viskositas disebabkan karena semakin besar konsentrasi Tween 80

akan menurunkan ukuran diameter globul, sehingga akan meningkatkan luas

permukaan dan meningkatkan tahanan emulsi untuk mengalir dan meningkatkan

viskositas (Koocheki et al. 2011).

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa pengaruh kecepatan

putaran homogenizer berpengaruh terhadap viskositas nanoemulsi yang

dihasilkan. Hasil uji lanjutan DNMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Lampiran

3b) pada taraf nyata 5 % dan menunjukkan bahwa kecepatan putaran 20 000 dan

22 000 rpm menghasilkan viskositas nanoemulsi yang berbeda nyata dengan

kecepatan putaran 24 000 rpm (Lampiran 4a).

Lama pengadukan mempengaruhi nilai viskositas yang dihasilkan. Gambar

7 dan 8 menunjukkan bahwa semakin lama pengadukan maka viskositas

nanoemulsi yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena

semakin lama pengadukan, maka ukuran akan semakin kecil sehingga dispersi

makin baik dan diikuti dengan viskositas yang semakin tinggi. Hasil sidik ragam

(Lampiran 4) menunjukkan bahwa lama pengadukan homogenizer berpengaruh

terhadap viskositas nanoemulsi yang dihasilkan. Hasil uji lanjutan DNMRT

(Duncan’s Multiple Range Test) (Lampiran 4a) pada taraf nyata 5 % dan

menunjukkan bahwa lama pengadukan 20 menit, 30 menit dan 40 menit

menghasilkan viskositas nanoemulsi yang berbeda nyata.

Page 33: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

19

Gambar 7. Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan

konsentrasi ekstrak temulawak 20 %

Gambar 8. Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan

konsentrasi ekstrak temulawak 30 %

Semakin lama waktu homogenisasi, Tween 80 dan maltodekstrin akan

terdistribusi merata melindungi butiran. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya

interaksi yang kuat antara butiran dengan fase kontinyu, sehingga meningkatkan

viskositas. Semakin tinggi persentase fase terdispersi, maka makin tinggi

konsentrasi emulsifier yang digunakan dan makin tinggi viskositas yang

dihasilkan karena akan semakin meningkatkan luas permukaan dan meningkatkan

tahanan emulsi untuk mengalir (Nguyen 2010; Koocheki et al. 2011). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwisari (2012) dalam pembuatan

emulsi minyak biji jinten hitam menggunakan Tween 80 dengan konsentrasi 1 %

dan 2 %. Viskositas emulsi minyak biji jinten hitam dengan penambahan Tween

Page 34: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

20

80 sebanyak 1 % (3.9 cP) lebih rendah dibandingkan dengan emulsi dengan

Tween 80 sebanyak 2 % (4 cP).

Kramer (1996) menyatakan bahwa viskositas diartikan sebagai resistensi

atau ketidakmauan suatu bahan untuk mengalir yang disebabkan karena adanya

gesekan atau perlawanan suatu bahan terhadap deformasi atau perubahan bentuk

apabila bahan tersebut dikenai gaya tertentu. Semakin tinggi kecepatan putar dan

semakin lama putaran akan memperkecil ukuran butiran. Kondisi tersebut

menyebabkan terjadinya interaksi yang kuat antara butiran fase terdispersi dengan

fase pendispersi, sehingga meningkatkan viskositas. Diameter butiran yang kecil

akan meningkatkan luas permukaan dan meningkatkan tahanan emulsi untuk

mengalir sehingga meningkatkan viskositas (Koocheki et al. 2011; Martin et al.

1993).

Interaksi antar variasi perlakuan (konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan

dan waktu pengadukan) tidak memberikan pengaruh terhadap viskositas

nanoemulsi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak temulawak,

kecepatan dan waktu pengadukan memberikan pengaruh masing-masing dan tidak

saling bergantung sehingga hanya dengan menerapkan salah satu perlakuan akan

memberikan pengaruh terhadap viskositas nanoemulsi.

Nanoemulsi yang terbentuk menunjukkan sifat aliran dilatan yang termasuk

ke dalam cairan non Newtonian. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya

viskositas pada setiap kenaikan kecepatan putaran homogenizer. Sifat aliran

dilatan disebabkan karena adanya kandungan zat padat dalam emulsi, dalam hal

ini adanya maltodekstrin menyebabkan nanoemulsi bersifat dilatan. Sifat dilatan

membuat nanoemulsi ekstrak temulawak dapat diubah dalam bentuk salep. Dalam

bidang farmasi dan sejenisnya, pengukuran sifat aliran digunakan untuk

mengetahui kemudahan penuangan dari botol, penanganan produk sesudah

dikeluarkan dari wadah, aplikasi produk di atas atau ke dalam kulit dan

kemudahan memasukkan produk ke dalam wadah serta kemudahan dikeluarkan

dari jarum suntik.

Kestabilan Nanoemulsi ekstrak temulawak

Semakin kecil ukuran butiran, maka nanoemulsi yang terbentuk pun akan

lebih stabil. Kecepatan dan lama putaran sangat berpengaruh terhadap ukuran

butiran yang terbentuk. Kecepatan putar yang semakin tinggi akan menyebabkan

ukuran butiran yang semakin kecil. Setelah emulsi W/O terbentuk, butiran-butiran

akan bergabung satu sama lain melalui proses flokulasi yang diikuti oleh

koalensens. Ukuran butiran yang kecil akan relatif lebih stabil daripada butiran

yang berukuran lebih besar. Hal ini disebabkan karena butiran yang besar

memiliki tegangan muka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan butiran yang

berukuran lebih kecil (Sullivan et al. 2002). Butiran berukuran besar ini akan

menarik butiran-butiran yang lebih kecil sehingga membentuk butiran yang lebih

besar. Pada sistem nanoemulsi tipe O/W, penambahan maltodekstrin akan

meningkatkan viskositas, sehingga dapat membentuk nanoemulsi yang lebih stabil

(Tabel 5).

Page 35: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

21

Tabel 5. Kestabilan nanoemulsi ekstrak temulawak

Konsentrasi

ekstrak

temulawak (%)

Kecepatan

pengadukan

(rpm)

Lama

Pengadukan

(menit)

Masa Simpan

2 Minggu 4 Minggu

20

20 000

20 + +

30 + +

40 + +

22 000

20 + +

30 + +

40 + +

24 000

20 + +

30 + +

40 + +

30

20 000

20 - +

30 - +

40 - +

22 000

20 - -

30 - -

40 - -

24 000

20 - -

30 - -

40 - -

Keterangan : + Terbentuk endapan

- Tidak terbentuk endapan

Nilai indeks polidispersitas (PDI) juga memberikan informasi mengenai

kestabilan emulsi. Menurut Ahmed et al., 2012, nanoemulsi dikatakan terbentuk

jika ukuran diameter partikel < 200 nm dengan nilai indeks polidispersitas

0,2<PDI<0,6 yang akan stabil dari kemungkinan terjadinya pertumbuhan partikel

dan pemisahan gravitasi. Nanoemulsi ekstrak temulawak mempunyai ukuran yang

relatif homogen serta dapat dikatakan stabil karena memiliki nilai 0,005<PDI<0,4

(Gambar 9). Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harimurti

(2012) yang menghasilkan nanoemulsi kurkumin menggunakan homogenisasi

tekanan tinggi dengan 0,22<PDI<0,32.

Konsentrasi ekstrak temulawak juga berpengaruh terhadap kestabilan

emulsi. Semakin besar konsentrasi ekstrak temulawak maka emulsi akan lebih

stabil sehingga jumlah air dan minyak yang terpisah semakin akan menghalangi

koalesens (Susanti 2011). Kenaikan konsentrasi ekstrak temulawak juga akan

menurunkan ukuran butiran emulsi yang berpengaruh terhadap kestabilan.

Page 36: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

22

Gambar 9. Distribusi ukuran partikel nanoemulsi ekstrak temulawak

Kadar Kurkumin

Kadar kurkumin diukur secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer

pada gelombang 530 nm. Kandungan kurkumin pada nanoemulsi dengan

konsentrasi fase minyak 20 % berkisar antara 140 – 216 ppm. Kandungan

kurkumin pada nanoemulsi dengan konsentrasi fase minyak 30 % berkisar antara

109 – 244 ppm. Ini menunjukkan bahwa proses homogenisasi tidak merusak

kurkumin.

Perubahan pH

Nilai pH nanoemulsi mengalami kenaikan dari pH awal ekstrak temulawak

sebesar 5,22 menjadi berkisar antara 6,81 – 7,05 (Lampiran 5).. Hasil analisa sidik

ragam (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak temulawak,

kecepatan pengadukan dan lama putaran homogenizer tidak memberikan

pengaruh terhadap pH nanoemulsi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa

ukuran partikel dan viskositas nanoemulsi tidak mempengaruhi pH nanoemulsi

yang dihasilkan. Buffer fosfat dengan pH 7 yang digunakan dapat menjaga

kestabilan pH nanoemulsi yang dihasilkan.

Nanoemulsi ekstrak temulawak aman digunakan sebagai bahan dasar lotion,

krim atau salep. Hal ini disebabkan karena pH nanoemulsi sesuai dengan pH kulit

manusia yaitu sekitar 6,5-6,9 (Levin et al. 2007). Berdasarkan syarat SNI 16-

4954-1998, rentang pH krim yang aman untuk kulit adalah 3,5-8. Nilai pH yang

tidak sesuai akan menyebabkan perubahan pH dan kerusakan pada mantel kulit.

Rusaknya lapisan mantel kulit dapat menyebabkan kulit kehilangan keasamannya,

lebih mudah teriritasi dan rusak (Levin et al. 2007). Nilai pH nanoemulsi ekstrak

temulawak yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan dasar obat karena

Page 37: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

23

sesuai dengan pH usus halus (7-7,4), dimana usus halus merupakan organ utama

penyerapan obat (Utami 2010).

Kelarutan Nanoemulsi Ekstrak Temulawak

Nanoemulsi yang digunakan dalam uji penetrasi kurkumin ini adalah

nanoemulsi dengan fase minyak 30 %, kecepatan putar 24 000 rpm dan waktu

pengadukan 30 menit dengan rata-rata ukuran butiran sebesar 84 nm. Nanoemulsi

ekstrak temulawak yang dihasilkan dapat larut dalam pelarut non polar yaitu

heksan dan aseton. Nanoemulsi ekstrak temulawak juga larut sempurna dalam

pelarut semi polar yaitu etanol dan metanol. Pelarut polar yaitu air dapat

melarutkan nanoemulsi ekstrak temulawak. Hasil kelarutan nanoemulsi ekstrak

temulawak menghasilkan warna yang berbeda-beda. Ekstrak temulawak hanya

larut dalam aseton dan etanol (Tabel 7). Kedua pelarut ini adalah jenis pelarut

yang dapat melarutkan kurkumin (Parthasarathy et al. 2008). Menurut Shargel et

al. (1999) ukuran butiran adalah salah satu sifat fisika zat yang mempengaruhi

kelarutan. Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan

semakin meningkat, sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.

Meningkatnya luas permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan pelarut

lebih besar. Ukuran yg kurang dari 100 nm membuat nanoemulsi lebih mudah

dilarutkan dibandingkan dengan emulsi dengan ukuran > 6 μm. Kelarutan

nanoemulsi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Gambar 10.

Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu

zat. Nanoemulsi mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak

temulawak sehingga nanoemulsi lebih mudah terpenetrasi. Pada uji kelarutan ini

dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi dapat mengubah sifat kelarutan kurkumin.

Kemampuan air melarutkan nanoemulsi ekstrak temulawak membuat nanoemulsi

aman digunakan sebagai bahan obat karena dapat larut dalam air yang aman bagi

tubuh.

Tabel 7. Nilai kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak pada tingkat kepolaran

pelarut

Jenis pelarut Kepolaran* Kelarutan emulsi Kelarutan nanoemulsi

Heksan (C6H14) 0 - +

Aseton (CH3COCH3) 47 ++ ++

Etanol (C2H6O) 68 ++ ++

Metanol (CH3OH) 73 - ++

Air (H2O) 90 - +

*sumber: Hermawati, 2004 Keterangan : - Tidak larut

+ Larut

++ Larut sempurna

Page 38: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

24

Gambar 10. Kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak terhadap pelarut heksan (a),

aseton (b), etanol (c), metanol (d) dan air (e)

Bioavailabilitas

Nanoemulsi yang digunakan dalam uji penetrasi kurkumin ini adalah

nanoemulsi dengan fase minyak 30 %, kecepatan putar 24 000 rpm dan lama

putaran 30 menit dengan rata-rata ukuran butiran sebesar 84 nm. Studi penetrasi

secara in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah senyawa yang

melewati sel yang bergantung pada jenis obat/zat aktif, bentuk sediaan, bahan

peningkat penetrasi dan variabel formulasi lainnya (Utami 2012).

Penetrasi emulsi ekstrak temulawak selama 120 menit sebesar 0,32 %,

sedangkan penetrasi nanoemulsi ekstrak temulawak jauh lebih tinggi yaitu sebesar

21,75 %. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi sediaan

nanoemulsi ekstrak temulawak lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan

penetrasi emulsi ekstrak temulawak. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel

nanoemulsi yang kecil memudahkan terpenetrasi dalam larutan. Ukuran butiran

nanoemulsi yang kecil membuat kurkumin lebih banyak dan cepat terpenetrasi.

Syukri (2002) menjelaskan bahwa ukuran partikel bentuk sediaan mempengaruhi

absorpsi obat. Makin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan yang

bersinggungan dengan pelarut makin besar, sehingga kecepatan melarut obat

makin besar. Teori ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baboota

et al. (2007) yang membandingkan penetrasi dari sediaan nanoemulsi dan

nanoemulsi gel. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi nanoemulsi

lebih besar karena memiliki ukuran butiran lebih kecil dibandingkan dengan

nanoemulsi gel.

Emulsi dengan ukuran nano (nanoemulsi) dapat meningkatkan absorbsi,

meningkatkan bioavailabilitas obat, membantu solubilisasi zat aktif yang bersifat

hidrofobik, serta memiliki efisiensi dan penetrasi yang cepat pada sebagian obat

(Devarajan dan Raichandran, 2011). Selain itu, nanoemulsi juga dapat menghemat

penggunaan temulawak. Selain ukurannya yang kecil, viskositas sediaan juga

berpengaruh terhadap pelepasan bahan aktif dari basis menuju permukaan

membran. Rendahnya viskositas nanoemulsi dibandingkan dengan emulsi akan

meningkatkan kecepatan penetrasi, sehingga meningkatkan mobilitas bahan aktif

Page 39: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

25

menuju permukaan membran. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas, emulsi

memiliki viskositas lebih tinggi (12,10 cP) dibandingkan nanoemulsi (3,90 cP),

sehingga kurkumin akan lebih sulit berdifusi ke dalam membran usus.

4.3 Perubahan Karakteristik Temulawak

Tabel 8 menunjukkan bahwa pengecilan ukuran butiran dapat merubah

karakteristik temulawak menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari perubahan

warna, bentuk, ukuran, pH, viskositas, kelarutan dan bioavailabilitas yang lebih

baik dibandingkan dengan ekstrak temulawak.

Tabel 8. Karakteristik ekstrak temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak

Karakteristik Emulsi ekstrak

temulawak

Nanoemulsi

ekstrak temulawak

Warna Coklat-Kuning Coklat-kuning

Bentuk Kental Encer dan transparan

Aroma Khas temulawak Khas temulawak

Indeks bias

Ukuran butiran

1,65

> 6 µm

1,64

86 nm

pH

Viskositas (cP)

5,22

12,10

6,79

3,90

Kelarutan

Heksan

Aseton

Etanol

Metanol

Air

Bioavailabilitas (%)

-

++

++

-

-

0,32

+

++

++

++

+

21,75

5 Simpulan dan Saran

Simpulan

Kondisi terbaik pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak diperoleh pada

homogenisasi dengan kecepatan 22 000 rpm selama 20 menit dengan fase minyak

30 %. Kondisi tersebut menghasilkan nanoemulsi dengan rata-rata ukuran butiran

95 nm dengan viskositas 3,23 cP, pH 6,79 dan kandungan kurkumin 244 ppm.

Kondisi ini dikatakan terbaik karena sudah menghasilkan nanoemulsi dengan

ukuran butiran < 100 nm.

Ukuran butiran yang kecil dapat mengubah karakteristik nanoemulsi

menjadi lebih baik. Ini dapat dilihat dari warna nanoemulsi yang transparan

Page 40: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

26

sehingga memberikan estetika yang menarik. Nanoemulsi ekstrak temulawak

memiliki penetrasi yang lebih besar (21,75 %) dibandingkan ekstrak temulawak

(0,32 %) karena memiliki tegangan permukaan yang rendah. Nanoemulsi

memiliki kelarutan yang lebih baik pada pelarut heksan, metanol dan air serta

memiliki pH sesuai dengan kondisi tubuh manusia.

Saran

Perlu dicari pelarut lain pengganti etanol sebagai pelarut dalam pembuatan

nanoemulsi agar produk yang dihasilkan halal di konsumsi secara oral. Perlu

dilakukan uji konsentrasi kurkumin terlarut pada masing-masing nanoemulsi yang

telah dilarutkan ke berbagai pelarut. Selain itu juga perlu dicari jenis dan

komposisi emulsifier lain yang dapat menstabilkan nanoemulsi dengan

konsentrasi yang lebih kecil.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh Kerjasama Kemitraan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Nasional 2013 (KKP3N 2013) dan LPPM IPB, oleh

karena itu kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan dana yang

diberikan untuk melakukan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Acosta E. (2009). Bioavailability of nanoparticles in nutrient and nutraceutical

delivery. Current Opinion in Colloid & Interface Science. 14(1): 3-15.

Afif KH. 2006. Peningkatan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol Temulawak dengan

Metode Cair-Cair [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Anief M. 1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Hal: 56, 65-66, 71-79.

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ibrahim F, penerjemah.

Jakarta (ID): UI-Pr. Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical

Dosage Forms.

Anton N, Benoit JP, Saulnier P. (2008). Design and production of nanoparticles

formulated from nano-emulsion templates - a review. J Contr Rel. 128(3),

185199.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official

Analytical Chemist. Virginia: AOAC.

Page 41: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

27

Baboota S, Shakeel F, Ahuja A, Ali J, Shafiq S. 2007. Design, Development and

Evaluation of Novel Nanoemulsion Formulations For Transdermal Potential

of Celecoxib. Acta Pharm, 327-329.

Basalmah RS. 2006. Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak:

waktu, suhu dan nisbah [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Beard PCW, Moran A, Ryan L. 2011. Stability of the total antioxidant capacity

and total polyphenol content of 23 commercially available vegetable juices

before and after in vitro digestion measured by FRAP, DPPH, ABTS and

Folin– Ciocalteu methods. Food Res Intern. 44: 217 –224.

Belitz HD, Grosch. 1987. Food Chemistry. Germany: Library of Congres

Cataloging in Publication Data.

Bennet H. 1996. Practical Emulsion. New York: Chemical Publishing Inc.

Bergenstahl BA, Claesson PM. 1990. Surface forces in emulsions. Di dalam:

Larsson K. dan Friberg SE, editor. Food Emulsions. New York: Marcell-

Dekker Inc.

Bombardelli E. 1991. Technologies for Processing of Medical Plants, in the

Medical Plant industry. CRC Press. Florida. USA. hlm 85-89.

Bouchemal K, Briancon S, Perrier E, Fessi H. 2004. Nano-emulsion formulation

using spontaneous emulsification: solvent, oil and surfactant optimisation.

Internat J Pharmac. 280(1-2): 241-251.

Chiewchan N, C. Phungamngeoen, Sriwattana Y. 2006. Effect of homogenizing

pressure and sterilizing condition on quality of canned high fat-coconut

milk. J. Food Eng. 73: 38-44.

Chu BS, Ichikawa S, Kanafusa S, Nakajima M. 2007. Preparation and

characterization of beta-carotene nanodispersions prepared by solvent

displacement technique. J Agricul and Food Chem. 55(16): 6754-6760.

Deman MJ. Kimia Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. hlm 190-195.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Farmakope Indonesia Edisi I. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

Dwisari SH. 2012. Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Emulsi Ganda Tipe

W/O/W Minyak Biji Jinten Hitam (Nigella sativa Linn.) Sebagai Sediaan

Nutrasetika [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Fast J P, Mecozzi S. 2009. Nanoemulsions for Intravenous Drug Delivery. Di

dalam: Villiers MM, Aramwit P, Kwon GS, editor. Nanotechnology in Drug

Delivery. New York: American Association of Pharmaceutical Scientist.

461, 463-465. December 20, 2010. Tersedia pada http://books.google.co.id.

Freitas S, Merkle HP, Gander B. 2005. Microencapsulation by solvent

extraction/evaporation: reviewing the state of the art of microsphere

preparation process technology. J Contr Release. 102(2): 313-332.

Griffin WC. 1954. Calculation of HLB values of non-ionic surfactants. J the Soc

Cosm Chem. 5: 249.

Gupta PK, Pandit, Kumar, Swaroop, Gupta S. 2010. Pharmaceutical

nanotechnology novel nanoemulsion-high energy emulsification

preparation, evaluation and application. The Pharm Res.

Page 42: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

28

Gutierrez JM, Gonzalez C, Maestro A, Sole I, Pey CM, Nolla J. 2008.

Nanoemulsions: new applications and optimization of their preparation.

Current Opinion in Colloid & Interface Science. 13(4): 245-251.

Hanselmann W. 1996. Influence of Continuous Whipping Process Parameters on

Foam Structure and Stability. Ph.D [thesis]. ETH Zurich.

Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia edisi kedua. Bandung (ID): Institut

Teknologi Bandung.

Harjadi. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta (ID): Erlangga

Hembing. 2007. Tanaman obat asli milik masyarakat bangsa dan negara RI

[Internet]. Jakarta [diunduh 1 Oktober 2011]. Tersedia pada:

www.health.okezone.com.

Huang S, Chang WH. Advantages of Nanotechnology-based chinese herb drugs

on biological activities. Curr Drug Metabol. 10(8):905-913.

Jiang. 2009. Enhancing anti-inflammation activity of curcumin through Oil in

Water Nanoemulsions. Elsivier.

Kammona O, Costas K. 2012. Recent advances in nanocarrier-based mucosal

delivery of biomolecules. Journal of Controlled Release. 161: 781-794.

Kartika. 1990. Viskositas. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.

Kim, Park. 1999. Preparation and evaluation of flurbiprofren-loaded

microemulsion for parenteral delivery. Intern J Pharm. 181: 173-179.

Kim YH, Koczo K, Wasan DT. 2003. Dynamic film and interfacial tensions in

emulsion and foam systems. J. Coll Interf Sci. 187: 29.

Koocheki, A, Kadkhodaee R. (2011). Effect of Alyssum homolocarpum seed gum,

Tween 80 and NaCl on butirans characteristics, flow properties and physical

stability of ultrasonically prepared corn Oil-in-Water emulsions. Food

Hydrocoll. 25: 1149-1157.

Kramer D. 1996. The Viscosity determination of waste-glass for characterization

of vitrification process. New York.

Kurnia R. 2000. Ekstraksi dengan Pelarut [Internet]. Tersedia pada:

http://lordbroken.wordpress.com. [20 Juni 2011].

Lachman L, Lieberman, Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. S.

Suyatmi, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Pr.

Lawrence, M. Jayne, Rees, Gareth D. 2000. Microemulsion-based media as novel

drug delivery dystems. Advan Drug Deliv Rev. 45:1:89-121.

Leong TSH. 2009. Minimising oil butiran size using ultrasonic emulsification.

Ultrason Sonochem. 16(6): 721-727.

Levin J, Maibach. 2007. Human skin buffering capacity. J Skin Res and Techn.

14: 121-126.

Lim CS, Jin DQ, Mok H. 2005. Antioxidant and antiinflammatory activities of

xhantorrizol in hippocampal neurons and primary cultured microglia. J

Neurosci Res. 82:831-838.

Lissant KJ. 1974. Emulsions and Emulsion Technology. Edisi ke-6. New York:

Marcel Dekker, Inc.

Marie PJM, Cornet P, P. Gervais. 2002. Influence of major parameters in

emulsification mechanisms using a high-pressure jet. J Food Engin. 53(1):

43-51.

Martin A, Swarbick J, Cammarata A. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar Farmasi

Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Yoshita, Penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press.

Page 43: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

29

MMI (Materia Medika Indonesia). 1979. Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

McClements DJ. 2004. Food Emulsion Principles, Practices, and Techniques.

New York: CRC Pr.

McClements DJ. 2011. Formation of nanoemulsions stabilized by model food-

grade emulsifiers using high-pressure homogenization: Factors affecting

particle size. Food Hydrocoll. 25: 1000-1008.

Mozafari. 2006. Recent trends in the lipid-based nanoencapsulation of

antioxidants and their role in foods. J Sci Food Agric. 86: 2038–2045.

Muller-Fischer N, Suppiger D, Windhab EJ. 2006. Impact of static pressure and

volumetric energy input on the microstructure of food foam whipped in a

rotor-stator device. J. Food Engin. 80: 306-316

Nguyen T. 2010. Emulsi [Internet]. [3 Juni 2011]. Tersedia padaa:

http://crimoet.wordpress.com/2010/09/04/emulsi/.

Parthasarathy VA, Chempakam B, Zachariah TJ. 2008. Chemistry of Spices.

Oxford: CABI.

Pasto D, Johnson C, Miller M. 1992. Experiments and Techniquest in Organic

Chemistry. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Peamprasart T, N. Chiewchan. 2006. Effect of fat content and prehat treatment on

the apparent viscosity of coconut milk after homogenization. J Food Eng.

77: 653-658.

Poulain N, Nakache E. 1998. Nanoparticles from vesicles polymerization II.

Evaluation of their encapsulation capacity. J Polym Sci. 36: 3035–3043.

Pramono S, (1995). Kontrol Efektifitas Berbagai Cara Pembuatan Ekstrak

temulawak Dilihat Dari Kandungan Kurkumin Dan Minyak Atsirinya

[skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Prasetyorini. 2011. Penerapan Teknologi nanopartikel propolis trigona Spp asal

Bogor sebagai antibakteri Escherichia coli secara In vitro. Ekologia, 11(1):

36-43.

Ria EB. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan

Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak [skripsi]. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung: Sinar

Baru.

Rukayadi Y, Hwang JK. 2007. In vitro antimycotic activity of xanthorrizhol

isolated from curcuma xanthorriza Roxb. againts opportunities filamentous

fungi. Phytother Res. 21:434-438.

Sansone F, Mencherini T, Picerno P, d’Amore, Aquino RP, Lauro MR. 2011.

Maltodextrin/pectin microparticles by spray drying as carrier for

nutraceutical extracts. J Food Eng. 105: 468–476.

Sembiring BB, Ma’mun, Ginting EI. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan lama

ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (curcuma xanthorriza Roxb).

Bul. Balitro. 17(2): 53-58.

Shargel L, Yu ABC. 1999. Applied Biopharmaceutics. Edisi ke-4. Stamford. hlm

325-352.

Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).

Jakarta : Phytomedika.

Page 44: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

30

Sidik, Moelyono MW, Ahmad Muhtadi, 1995. Temulawak (Curcuma

xanthoriza). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica. 200

hlm.

Solans, Conxita. 2003. Nanoemulsions Formation, Properties and Application. Di

dalam Mittal KL dan Shah DO, editor. Adsorption and Aggregation of

Surfactants in Solution. New York: Marcel Dekker. 472 hlm.

Srihari E, Lingganingrum FS, Hervita R, Wijaya H. 2010. Pengaruh penambahan

maltodekstrin pada pembuatan santan kelapa bubuk. Seminar Rekayasa

Kimia dan Proses. ISSN : 1411-4216. Universitas Diponegoro Semarang.

Sullivan AP, Kilpatrick PK. 2002. The effect of inorganic solid particles on water

and crude oil emulsion stability. Eng Che Res. 41: 3389-3404.

Suptijah P. 2009. Sumber Nano Kalsium Hewan Perairan. Di Dalam 101 Inovasi

Indonesia. Jakarta: Kementrian Negara, Risat dan Teknologi.

Suryani A, Sailah I, Hambali E. 2000. Teknologi Emulsi. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Susanti NL, Rahardian YA. 2011. Studi Karakteristik dan Kestabilan Emulsi

Minyak Mentah Indonesia [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Suwiah A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan

pada Pembuatan Temulawak Instant Terhadap Rendemen dan Mutunya

[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Syukri Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Pr. hlm 12-15.

Tadros T, Izquierdo R, Esquena J, Solans C. 2004. Formation and stability of

nano-emulsions. Advances in Colloid and Interface Science. 108-109, 303-

318.

Tadros, Tharwat F. (Ed.). (2005). Applied Surfactants: Surfactans in

Nanoemulsions. Weinheim: Wiley-VCH. hlm 285-286.

Tamilvanan, S, Gursay RN, Benita S. 2002. Emulsion-based Delivery Systems for

Enhanced Drug Absorption. Business Briefing, Pharmatech. hlm 156-161.

Tangsuphoom N, JN Coupland. 2005. Effect of heating and homogenization on

the stability of coconut milk emulsions. J Food Sci. 70 (8): 466-470.

Tangsuphoom N, JN Coupland. 2007. Effect of surface-active penstabils on the

microstructure and stability of coconut milk emulsion. J Food Hydr. 22 (7):

1233-1242.

Tanta T, R Pungsawatmanit. 2004. Effect of homogenizer types and sodium

Chloride Concentrations on The physical properties of coconut Oil-in-Water

emulsion. J Natur Sci. 38(5): 1-7.

Utami SS. 2012. Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro Nanoemulsi, Nanoemulsi

Gel dan Gel Kurkumin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Velikov KP, Pelan E. 2008. Colloidal delivery systems for micronutrients and

nutraceuticals. Soft Matter. 4(10): 1964-1980.

Versantvoort HM, Esther FA, Agnes GO. 2005. Consumer Product In Vitro

Digestion Model: Bioaccessibility of Contaminants and Its Application in

Risk Assessment. Regul Toxic and Pharm. 44(2): 161-171.

Vijesekera ROB. 1991. Plant Derived Medicines and Their Role In Global

Health, In the Medical Industry. CRC Press. Florida. USA. hlm 1-8.

Winarno FG, D. Fardiaz, S. Fardiaz. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan

Elektroforesis. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Page 45: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

31

Wirakartakusumah MA, Subarna, Arpah M, Syah D, dan Budiwati SI. 1992.

Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Wooster TJ, Golding M, Sanguansri P. 2008. Impact of oil type on nanoemulsion

formation and Ostwald ripening stability. Langmuir. 24(22): 12758-12765.

Yin, Chu, Kobayashi, Nakajima (2008). Performance of selected emulsifiers and

their combinations in the preparation of beta-carotene nanodispersions. In

9th International hydrocolloids conference. Singapore.

Page 46: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

32

Lampiran 1. Karakterisasi Sifat Ekstrak Temulawak dan Nanoemulsi

Ekstrak Temulawak

a. Kadar Kurkuminoid Temulawak (AOAC 2005)

Pada tahap analisis kuantitatif kurkumin digunakan spektrofotometer

dengan panjang gelombang 530 nm. Analisis kuantitatif kurkumin dimulai dengan

pembuatan kurva standar kurkumin. Standar kurkumin dibuat dengan cara

melarutkan kurkumin ke dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm dan

kemudian dilakukan pengenceran sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4

ppm. Analisis kurkumin dilakukan dengan cara memasukkan sampel sebanyak 5 –

10 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah itu ditambahkan asam asetat sepertiga

volume labu takar kemudian dipanaskan selama 60 menit dan didinginkan.

Selanjutnya ditambahkan asam oksalat serbuk dipanaskan selama 30 menit dan

didinginkan kemudian ditambahkan asam borat dan diukur serapannya

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.

b. Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.

Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam sampel.

Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan

semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum

dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan. Prosedur

analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dikeringkan

terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105°C, kemudian didinginkan

dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel

ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian

dioven pada suhu 100-105°C selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator

selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang

konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

% Kadar Air = x 100%

c. Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya

adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi

air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat

anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan

yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-

105°C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan

ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah

dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap

dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-600°C sampai

pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang (C). Tahap pembakaran dalam tanur diulangi sampai

didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus:

% Kadar Abu = x 100%

Page 47: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

33

d. Perhitungan Rendemen

Rendemen nanoemulsi dihitung berdasarkan perbandingan antara

nanoemulsi yang diperoleh dengan bobot kering bahan dikalikan 100 persen.

Rendemen (%) = x 100%

e. Bobot Jenis

Piknometer kosong dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang. Lalu

piknometer diisi dengan akuades pada suhu 20oC kemudian disimpan dalam water

bath pada suhu 25oC selama 30 menit. Diusahakan tidak ada gelembung-

gelembung udara di dalam piknometer yang berisi akuades maupun ekstrak

temulawak. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan dan ditimbang. Berat

akuades diperoleh dari selisih berat piknometer berisi akuades dan berat

piknometer kosong. Pada tahap selanjutnya sampel minyak didinginkan sampai

suhu 20oC. Kemudian minyak dimasukkan ke dalam piknometer yang sebelumnya

telah dibersihkan dan dikeringkan hingga meluap dan tidak terbentuk gelembung

udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dan piknometer ditempatkan di dalam

water bath pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer diangkat dari

water bath lalu dikeringkan dan ditimbang. Berat sampel diperoleh dengan

menghitung selisih berat piknometer berisi sampel dan berat piknometer kosong.

Bobot jenis dihitung dengan rumus :

d =

f. Indek Bias (SNI 01-4472-1998)

Kaca penutup refraktometer dibuka, kemudian permukaan prisma kaca

penutup dibersihkan dengan tissue sampai betul-betul kering. Ekstrak temulawak

diteteskan satu atau dua tetes diatas permukaan prisma. Kaca penutup

refraktometer ditutup secara hati-hati agar contoh merata keseluruh permukaan

prisma (tidak boleh ada rongga udara pada bidang pemandangan). Nilai brix yang

terukur kemudian dilihat. Bila pembacaan kabur, pengatur diputar sampai

pembacaan jelas. Setelah pengukuran selesai, kaca penutup dibuka dan

dibersihkan.

g. Analisis Ukuran Butiran dengan PSA (Particle Size Analyzer)

Analisis dispersi dan ukuran butiran nanoemulsi dilakukan dengan

menggunakan mikroskop digital Particulate Sisteme – Particle Size Analyzer

yang dapat mengukur distribusi ukuran dengan kisaran 2 nm hingga 7000 nm

menggunakan dynamic light scattering dan gerak Brown. Ukuran butiran dihitung

berdasarkan fungsi korelasi Stokes-Einstein dan gerak Brown yang ditetapkan

sebagai fungsi translasi. Keluaran yang dihasilkan merupakan sistem dari metode

statistik, commulant dan Laplace dimana masing-masing sistem menghasilkan

distribusi ukuran dalam intensitas, jumlah dan volume.

h. Viskositas

Sampel diukur dengan viscometer rotary pada suhu ruang (27± 0.2oC).

Page 48: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

34

i. Kestabilan Nanoemulsi (Yunus 2013)

Uji stabilitas emulsi dilakukan dengan menyimpan nanoemulsi ekstrak

temulawak pada suhu ruang (28oC), kemudian nanemulsi diamati secara visual

atau kualitatif apakah terdapat endapan atau tidak. Adanya endapan diberi tanda

(+) dan tidak adanya endapan diberi tanda (-).

j. Pengukuran pH (SNI 06-2413-1991)

pH-meter dikalibrasi dengan larutan penyangga sesuai instruksi kerja alat

setiap kali akan melakukan pengukuran. Elektroda dikeringkan dengan kertas tisu

dan dibilas dengan air suling. Elektroda dicelupkan ke dalam ekstrak temulawak

sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap.

k. Uji Kelarutan (Hermawati, 2004)

Uji kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan dengan

mencampur nanoemulsi dengan pelarut (1:1) dari berbagai tingkat polaritas yaitu

heksan, etil asetat, aseton, etanol, metanol dan air dengan nilai polaritas berturut-

turut : 0, 38, 47, 68, 73 dan 90 dalam gelas ukur 10 ml. Masing-masing campuran

diaduk kemudian diamati kelarutannnya setelah 6 jam.

l. Uji Bioavailabilitas secara in vitro (Martin et al. 1993)

Membran yang digunakan adalah usus kambing. Usus kambing disayat

dengan ketebalan 0.6 ± 0.1 mm. Kemudian usus kambing direndam dalam buffer

fosfat pH 7.4 selama 30 menit dan disimpan dalam suhu 4oC. Usus dapat

digunakan pada rentang waktu 24 jam. Uji penetrasi dilakukan menggunakan sel

difusi Franz dengan luas area difusi 1.389 cm2 dan volume kompartemen reseptor

13 ml. Kompartemen reseptor diisi dengan buffer fosfat pH 7.4 dan dijaga

suhunya sekitar 37 ± 0.5oC serta diaduk dengan stirrer kecepatan 300 rpm. Usus

kemudian diletakkan di antara kompartemen donor dengan kompartemen reseptor

dengan posisi menghadap ke atas.Sampel sebanyak 1 gram diaplikasikan pada

permukaan membran. Sampel diambil pada menit ke-120 sebanyak 3 ml dari

kompartemen reseptor menggunakan syringe. Sampel diukur serapannya pada

panjang gelombang 530 nm. Gambar alat sel difusi franz dilihat pada Lampiran 8.

Jumlah kurkumin yang terpenetrasi per luas area difusi (μg/cm2) dihitung

dengan rumus:

Keterangan:

Q = kurkumin yang terpenetrasi per luas area difusi (μg/cm2)

Cn = konsentrasi kurkumin (μg/ml) pada menit ke-120 = 1,592 μg/ml

V = volume sel difusi Franz = 13.0 ml

= jumlah konsentrasi kurkumin (μg/ml) pada sampling pertama = 0

S = volume sampling = 3 ml

A = luas area membran = 1.389 cm2

Q = {Cn.V + . S} /A

Page 49: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

35

Lampiran 2. Analisa Rendemen Ekstrak Temulawak

Rendemen (%) = x 100%

Rendemen (%) = x 100% = 23%

Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rata-rata Ukuran Butiran

Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F hitung P

Konsentrasi 37355.556 1 37355.556 114.947 .000

Kecepatan 4980.333 2 2490.167 7.662 .007

Waktu 3332.333 2 1666.167 5.127 .025

Error 3899.778 12 324.981

Total 428018.000 18

Lampiran 3a. Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak

temulawak, Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap

Rata-rata Ukuran Butiran Nanoemulsi

Kecepatan (rpm) N Subset

1 2

20 000 6 1.6683E2

22 000 6 1.4167E2

24 000 6 1.2650E2

Waktu (menit) N Subset

1 2

20 6 1.5883E2

30 6 1.4967E2

40 6 1.2650E2

Page 50: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

36

Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap Viskositas Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F hitung P

Konsentrasi 8.107 1 8.107 328.293 .000

Kecepatan 1.440 2 .720 29.165 .000

Waktu .581 2 .291 11.765 .001

Error .296 12 .025

Total 132.521 18

Lampiran 4a. Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak

temulawak, Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap

Viskositas Nanoemulsi

Kecepatan (rpm) N Subset

1 2

20 000 6 2.3150

22 000 6 2.5100

24 000 6 2.9883

Waktu

(menit) N

Subset

1 2 3

20 6 2.3817

30 6 2.6100

40 6 2.8217

Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap pH Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F hitung P

Konsentrasi .053 1 .053 2.620 .132

Kecepatan .014 2 .007 .341 .718

Waktu .052 2 .026 1.282 .313

Error .244 12 .020

Total 868.419 18

Page 51: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

37

Lampiran 6. Gambar Nanoemulsi dengan Konsentrasi Ekstrak Temulawak

20% (a) dan 30% (b)

a. b.

Lampiran 7. Gambar Alat Sel Difusi Franz

Page 52: PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/71104/2014nju.pdf · Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia 8

38

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 19 Mei 1984 sebagai anak kedua dari

pasangan Nasrul dan Sumiarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, lulus pada Tahun 2007.

Pada Tahun 2011, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada

Program Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Unggulan diperoleh dari Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).

Selama mengikuti program S-2, penulis juga mengikuti presentasi hasil

penelitian dan masuk pada prosiding internasional yaitu :

1. September 2012, Karya ilmiah dengan judul “Study of The Use of Chitosan with

The Quality of Product Processed Fish Products During The Storage Room

Temperature” telah disajikan pada The 2nd International Seminar On Food &

Agricultural Sciences in Malaysia (ISFAS 2012).

2. September 2013, presentasi dengan judul “Utilization of Cacao (Theobroma

cacao L.) Pod’s Waste as a Natural Food Colorants” pada Summer Course

Program on “Sustainable Agriculture for Food Security”. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

3. Juli 2014, Sebuah artikel berjudul “Production of Nanocurcumin by

Homogenization” diterbitkan pada Jurnal Chemical and Process Engineering

Research International Instiute for Science, Technology and Education (IISTE)

ISSN 2224-7467 (Paper), ISSN 2225-0913 (Online).