prilaku dalam beberapa masyarakat sumatera jawa dan balintropologi

25
PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT DI SUMATERA JAWA DAN BALI MAKALAH Oleh : MUHAMAD SAMSUDIN NIM : 2012141019

Upload: sam-jeef

Post on 30-Jun-2015

381 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Fakultas Hukum Universitas Kuningan

TRANSCRIPT

Page 1: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT

DI SUMATERA JAWA DAN BALI

MAKALAH

Oleh :

MUHAMAD SAMSUDINNIM : 2012141019

UNIVERSITAS KUNINGANFAKULTAS HUKUM

2013

Page 2: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,

karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang

diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “prilaku dalam bebarapa masyarakat disumatera

jawa dan bali”, suatu perbedaan antar suku yang mempunyai cirri khas tersendiri yang

menyimpan sejuta keindahan untuk kita simak.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman perbedaan antar suku serta

kebudayaan dalam memahami berbagai unsur prilaku serta budaya dan sekaligus melakukan

apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Antropologi Budaya

Hukum”

Dalam proses pendalaman prilaku dalam berbagai masyarakat ini, tentunya kami

mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-

dalamnya kami sampaikan” : ANTHON FATHANUDIEN., SH.MH selaku dosen mata

kuliah “Antropologi Budaya Hukum” .

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,

Kuningan , 01 Januari 2014

Penyusun

Page 3: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Maksud dan Tujuan

Bab II Pembahasan

II.1. Prilaku orang Aceh

  II.2. Prilaku Orang Batak

II.3. Esensi dan eksistensi Toleransi Orang Jawa

II.4. Historis Membentuk Identitas Kebudayaan Bali

Bab III Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

  

Daftar Pustaka

Page 4: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dan kehidupannya selalu menarik untuk kita kaji. Hal itu disebabkan objek

kajiannya adalah diri kita sendiri maupun orang-orang disekitar kita. Ilmu yang

mengkaji masalah kehidupan manusia salah satunya antropologi/sosiologi.

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya

masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari

ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang

berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada

penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan

masyarakat yang tinggal daerah yang sama.

Sosiologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan-

hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, memfokuskan kajiannya pada peran dan

kedudukan individu dalam masyarakat serta hubungan diantara keduanya.

Antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada

masyarakat dan kehidupan sosialnya.

B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dari Latar Belakang diatas adalah untuk mengetahui

manfaat-manfaat apa saja yang terkandung di dalam antropologi hukum.

C. Maksud dan Tujuan

Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Hukum

2. Memberikan gambaran teori mengenai Peran, Status, Nilai, Norma, dan juga

Budaya/kebudayaan dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai sasaran ilmu

Sosiologi.

3. Sebagai arahan agar mahasiswa dapat mengkorelasikan prilaku dalam beberapa

masyarakat serta hubungan antara teori Peran, Status, Nilai, Norma dan

Budaya/kebudayaan dengan kehidupan masyarakat di kehidupan yang nyata.

Page 5: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

BAB II

PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT DI SUMATERA, JAWA DAN

BALI

Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada garis prilaku manusia yangterus-

menerus terjadi, pola ulang prilaku manusia yang selalu ama dan sering berlaku, itulahyang

merupakan norma, dan apabila norma itu mempunyai akibat hukum, yang menimbulkanhak dan

kewajiban, yang mempunyai sanksi, maka norma itu merupakan norma hukum. Olehkarena

hukum itu dapat terjadi karena danya hubungan kepentingan seseorang, sebagaimanadianut

perundangan bahwa semua persetujuan yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).Berbagai prilaku manusia dalam

beberapa lingkungan masyarakat adat di sumatera :

1. Prilaku Orang Aceh

Semua orang yang berasal dari daerah istimewa aceh adalah orang aceh. Kecualiorang-

orang Gayo dan Alas yang sistem kemasyarakatannya berdasarkan kekerabatan, makaseluruh

masyarakat aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Walaupun masihnampak

adanya pengaruh keturunan bangsawan dengan gelat teuku bagi keturunan pria dangelar cut

bagi keturunan wanita yang demikian banyaknya, orang-orang aceh tidak mengenalsistem

klen. Kehidupan yang bersifat parental atau bilateral mendiami tempat kediaman yang

disebut “mukim”, “gampong” atau “meunasah”, yang dipakai oleh kepala mukim,

keucik (kepala kampung) dan teuku kepala meunasah (pusat pengajian kampung), disamping

orang-orang tua selaku pemuka masyarakat setempat, merekalah yang berprilaku sebagai

kepalaadat dan berperan menjadi penengah atau jurudamai dalam menyelesaikan perselisihan

adat setempat. Orang aceh tidak biasa dalam pertemuan warga masyarakat menanyakan

hubungankekerabatan, mengusut-usut pertalian daerah atau pertalian perkawinan seperti orang

batak meminta cerai dikarenakan dimadu, suami mempunyai isteri lain. Sedangkan mengapa

suamimenceraikan isterinya karena alasan biologis, kebanyakan karena isteri melakukan

perbuatanserong atau tidak punya keturunan. Alasan-alasan yang menjadi sebab perceraian

karena adapihak lain yang campur tangan, dari pihak isteri mengapa meminta cerai karena

campurtangan orang tua, sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena isteri

dibujuk rayuorang lain.Menurut adat jika isteri dicerai suami maka sebaliknya sebelum suami

meninggalkanrumah isteri, ia memperbaiki kerusakan-kerusakan rumah, misalnya

memperbaiki atapdinding lantai tangga rumah, pagar pekarangan, dinding (keupalang) sumur

Page 6: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

dan diberinyapula pakaian untuk istrinya. Selama masa idah suami mengirimkan nafkah pada

isterinya, jikaada anak-anak, maka semua anak tinggal pada isterinya, dan kewajiban suami

memberinafkah untuk anaknya dan sewaktu-waktu suami datang menjenguk anak-anaknya.

Apabilaistri tidak mengurus anak-anaknya dengan baik maka suami dapat mengambil anak-

anaknyaitu, jika terjadi perselisihan mengenai anak-anak, maka penelesaiannya dilakukan

dihadapanKeuchiq dan Teungku Meunasah dengan rukun dan damai, biasanya anak yang masihmenyusu

tetap dipelihara ibunya dengan bantuan biaya suaminya sedangakan yang sudahagak besar

dapat ikut suami, dan apabila sudah besar boleh memilih ikut ayah atau ibunya.Jika terjadi

perceraian maka areuta peunulang tetap tinggal pada isteri menjadi areutatuha untuk

diberikan dan dibagikan kepada anak-anaknya dikemudian hari. Sedangkanmengenai areuta

sihareukat dapat dibagi berimbang banyaknya antara suami dan istri atausepertiga bagian

bagi istri dan dua pertiga bagian bagi suami sebaliknya menurut keadaansetempat dan sejauh

mana istri ikut berperan dalam pengumpulan harta pencarian itu. Dengandemikian dalam

keluarga Aceh yang hidup rukun sampai umur tua, ada kemungkinanmempunyai tiga macam

harta yang akan menjadi harta warisan bagi para waris dari pewarisyang wafat, yaitu areuta

tuha, areuta peunulang dan areuta sihareukat. Areuta Tuha adalahharta yang menjadi milik

suami istri (ayah-ibu) masing-masing yang berasal dari hibah,wasiat atau warisan orang tua

masing-masing. Areta Peunulang adalah harta yang dimilikiistri (ibu) berasal dari pemberian

orang tua atau mertua ketika berpisah hidup berumah tanggasendiri (dipeungkleh).Menurut

hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UniversitasSyiah Kuala tahun

1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar, apabila pewaris wafat, makayang berhak menjadi

waris adalah semua anak pria dan wanita, semua cucu dari anak laki-laki, ayah dan ibu kakek

dan nenek, sudara laki-laki, paman, anak-anak paman, janda dan ataududa yang mamsih

hidup. Jika pewaris tersebut semuanya ada maka yang diutamakan mendapat bagian warisan

adalah ayah dan ibu mendapat 1/6 bagian, janda 1/8 bagian, duda ¼bagian, kemudian anak

laki-laki dan perempuan dengan perbandingan anak laki-lakimendapat satu bagian,

sedangkan anak perempuan setengah bagian.Pelaksanaan pembagian warisan (peurae atau

weuk-pusaka) dilakukan denganberpedoman pada hukum islam dan memperhatikan hukum

adat, artinya tidak mutlak berpegang pada hukum Islam melainkan juga diperhatikan adat

yang tradisional yaitukepentingan anak-anak wanita yang diutamakan dari anak-anak laki-

laki. Dalam praktek pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dalam tenggang waktu paling

cepat tujuh hari, atau44 hari atau 100 hari sejak wafatnya pewaris, maksud tenggang waktu

tersebut adalah untuk memberi kesempatan bagi para penagih utang atau pembayar yang

menyelesaikan utangpiutang pada waris. Tenggang waktu tersebut juga tidak mutlak, masih

Page 7: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

diperhatikan jika parawaris masih ada yang masih anak-anak. Jika demikian pembagian

warisan ditangguhkanpelaksanaannya sampai anak-anak dewasa, dan warisan dikuasai dalam

keadaan tidak terbagi-bagi di tangan ayah atau ibu yang masih hidup.Menurut hasil penelitian

Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UniversitasSyiah Kuala tahun 1980/1981 di

daerah tingkat II Aceh Besar pelaksanaan hibah dapatberlaku tidak saja terhadap bangunan

rumah atau tanah kepada anak-anak wanita, tetapi jugamungkin perhiasan dan ternak yang

bukan saja diberikan bagi keperluan anak melainkan jugakeperluan orang lain. Biasanya

penghibahan itu dilakukan orang tua dihadapan keuchiq,Teungku Meunasah dan orang-orang

tua (Tuha Peuet) serta para ahli waris. Apabila ketikahidupnya orang tua belum

menghibahkan harta kepada anak-anaknya, maka sebelum iameninggal ia dapa berwasiat

(wasiet), meninggalkan pesan tentang harta kekayaan yang akanditinggakannya, baik dengan

lisan maupun dalam bentuk tulisan, wasiat itu dikemukakannyadengan diketahui oleh

Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet serta ahli waris. Jumlahharta yang diwasiatkan

itu juga tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta kekayaannya, baik wasiat untuk para ahli

waris maupun kepada orang-orang yang berjasa kepada pewaris atauuntuk maksud tertentu.

Jika wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta peninggalan maka para ahliwaris berhak menuntut

pembatalannya.Anak-anak sebagai ahli waris dibedakan yang pria dan yang wanita, yang pria

akanmendapat dua bagian sedangkan anak wanita sebagian, sedangkan anak yang lahir di

luarperkawinan yang sah hanya mewaris dari ibu biologisnya, dan anak tiri hanya mewaris

dariorang tua yang melahirkannya. Pewarisan itu tidak menimbulkan masalah jika

warisnyatunggal, jika ahli waris anak laki-laki tunggal maka semua harta peninggalan orang

tuanyadiwarisinya sendiri, ialah yang berkuasa mengaturnya, tetapi jika waris tunggal anak

wanita maka ia hanyamendapat seperduanya dan jika anak wanita ada dua orang, maka

merekaberhak atas 2/3 bagian dari harta warisan.

2. Prilaku Orang Batak

Orang-orang batak terdiri beberapa kesatuan masyarakat yang disebut Batak Toba,Batak

Karo, Batak Simalungun, Pardembanan (Asahan), Batak Pak-Pak (Dairi), Batak Angkola,

Batak Mandaling. Daerah kediaman asal mereka ialah di daerah pegunungan sampaipantai barat dalam

Provinsi Sumatra Utara. Budaya hukum orang Batak dipengaruhi ajaran kepercayaan asli

“perbegu”, pemujaan roh kerabat yang telah meninggal (Masri Singarimbun -

Koentjaraningrat, 1964-42), atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Tinggi yang

disebutOmpu Tuan Mula Djadi na Bolon atau singkatnya Debata, selanjutnya ia mempunyai

namalain sebagaimana dikemukakan PH.O.L.Tobing. “As the god of the upperworld he is not

Page 8: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

only called Mula Djadi na Bolon, but alsoTuan Budi na Bolon; as the God of the

middleworld he has the same names, but alsothe name of Ompu Silaon na Bolon (=Radja

Pinangkabo); as the God of theunderworld, of the sea and the lightning he is not only called

Mula Djadi na Bolon, but also Tuan Pane na Bolon” (PH.O.L.Tobing, 1963 : 35)

 Jadi menurut kepercayaan asli Batak (Toba) ada Dewata penguasa dunia atas,

Dewatapenguasa dunia tengah dan Dewata penguasa dunia bawah, selain itu orang batak jugadipengaruhi

ajaran Hindu Jawa (Budha Tantrik) dalam abad ke-13. Namun kemudianorangBatak

dipengaruhi ajaran Islam, terutama didaerah Angkola dan Mandailing dan ajaranKristen di

daerah Toba dan lainnya. Hal mana tidak berarti tidak ada orang batak Toba, Karoyang

beragama Islam atau sebaliknya beragama Kristen. Bahkan adakalanya dalam satukeluarga

Batak suami beragama Islam istri beragama Kristen atau orang tua beragama Islamanak

beragama Kristen. Apalagi orang-orang Batak sudah banyak yang merantau dan

terjadiperkawinan antar suku dan atau perkawinan dengan orang asing.Hubungan

kekerabatan orang Batak didasarkan pada adanya pertalian darah yangditarik menurut garis

keturunan ayah (genea-logis patrilineal) dan pertalian perkawinan antarapihak pemberi dara

(Toba: Hula-Hula, Karo: Kalimbubu) dengan pihak penerima dara (Toba: Boru, Karo: Anak

Beru). Jadi setiap anak pria atau wanita Batak akan menarik garisketurunannya melalui garis

ayah, dengan memakai nama marga ayah.

3. Esensi dan eksistensi Toleransi Orang Jawa

Dalam dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme

Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional

Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai

watak mereka yang paling utama. Terlepas orang Jawa sendiri secara tradisional menganggap

toleransi sebagai salah satu wataknya yang menonjol atau tidak, namun yang jelas akhir-akhir

ini tampaknya mereka juga merasa bangga karena reputasi mereka akan keterbukaannya dan

sikap lapangdadanya.

Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan

dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal

ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh  faktor psikologis,

politis dan historis. Bahkan  lebih naïf lagi bahwa kesatuan pendapat ini lebih cenderung

menutupi gagasan “toleransi Jawa”.

Menurut Anderson bahwa pengertian “relativisme Jawa” seharusnya tidak dipahami sebagai

Page 9: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

toleransi terhadap perbedaan-perbedaan umum dengan mengabaikan masalah ras, warna dan

kepercayaan. Dalam kenyataannya, relativisme Jawa tidak berlaku bagi kelompok-kelompok

dan etnis lainnya yang ada di Indonesia. Dengan kata lain terhadap siapa orang Jawa merasa

sedikit lebih unggul? Selain itu, sikap toleransi Jawa juga tidak berlaku bagi orang-orang

Cina dan Eropa.

Kedua komunitas ini mempunyai prestise ambigu yang diwarisi dari penjajahan dulu. Atas

dasar pengalaman ini pula orang jawa menyarankan agar anak mereka tidak kawin dengan

orang Cina dengan alasan abu mereka lebih tua. Dengan pengertian lain anak-anak mereka

akan menjadi lebih Cina dari pada Jawa. Meskipun orang-orang Cina dalam beberapa hal

lebih bisa diterima oleh orang Jawa di banding dengan Sunda. Hal ini secara historis orang-

orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur  sudah berinteraksi sejak dahulu kala. Sementara

itu orang-orang Cina setempat telah menyatu dengan kebudayaan Jawa. Dari sini munculah

suatu pertanyaan, dalam hal apa toleransi Jawa itu tampak nyata?

Hampir tidak ada keraguan bahwa gagasan toleransi di atas pasti ada hubungannya dengan

sifat khas dari agama itu sendiri utamanya yang terdapat di Jawa. Suatu formulasi Jawa yang

tipikal mungkin akan berbunyi “sudah tentu saya orang Islam, tetapi bukan orang muslim

yang panatik seperti orang Aceh. Kami orang-orang Islam Jawa bisa bergaul dengan Kristen

dan Budha. Kami melihat kebenaran dalam semua agama dan tidak hanya ada di kepercayaan

kami.

Pandangan di atas terkesan sangat inklusif, toleran dan relatif. Namun dalam faktanya,

meskipun orang-orang Jawa secara kuantitatif mayoritas adalah bergama Islam, tetapi ikatan

spiritual yang nyata dari  sebagian besar orang Jawa terhadap agama ini lebih sedikit dari

jumlah nominalnya (h.4).

Kekuatan dalam memilih partai-partai Islam di Jawa misalnya, mayoritas adalah orang-orang

Sunda di Jawa Barat dan Madura di Madura dan ujung Timur pulau Jawa. Di antara orang-

orang Jawa, Islam paling kuat adalah berada di daerah pesisir pantai Utara. Hal itu karena

secara historis banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing—Cina, Arab dan

Eropa-, sementara itu secara politis dan sosial Islam jauh dari pusat kebudayaan Jawa yang

terletak di Jawa Tengah bagian Selatan.

Oleh karena mayoritas orang Jawa tidak merasa dirinya Islam dalam pengertian

sesungguhnya, maka toleransi mereka terhadap kepercayaan atau agama yang bukan Islam

kurang dianggap sebagai persoalan yang prinsip. Tetapi hal tersebut justru dianggap hanya

merupakan suatu pertahanan yang berguna melawan tuntutan politik dan moral dari minoritas

Islam yang ortodoks dan agresif. Atau dalam contoh klasik pertentangan antara kelompok

Page 10: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

santri (orang-orang islam yang taat) dengan abangan (orang-orang islam biasa). Dengan

demikian makna toleransi dalam konteks itu lebih merupakan senjata untuk menyangkal

keunggulan santri dan menjamin terus adanya dominasi abangan yang tradisional itu.

Pandangan di atas akan semakin jelas lagi ketika orang melihat pada sikap orang-orang Jawa

abangan terhadap umat Kristen. Di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur umat

Protestan dan Katolik telah memainkan peranan sejarah yang pentimg (h.5). Dengan masuk

Kristen orang akan terbebas dari herarki masyarakat Jawa yang ada, dimana kedudukan dan

agama saling berjalin berkelindan, karena kekuasaan spiritual tertinggi diberikan kepada

penguasa-penguasa duniawi Jawa, seperti Susuhunan Surakarta dan SultanYogyakarta. Dari

pihak umat Kristen kaum Katolik telah membuat kemajuan yang mengagumkan di Jawa

karena pastur-pastur mereka kebanyakan orang Jawa dan biasanya mereka menunjukkan

kemauan yang sungguh-sungguh  untuk menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasan

tradisional Jawa beserta prasangka-prasangkanya.

Namun demikian selalu ada posisi sosial  yang hilang, yang tak terhindarkan lagi yang terjadi

karena orang Jawa  yang menjadi Kristen. Tetapi yang pasti, di masa penjajahan  orang-orang

Kristen Jawa mendapatkan kedudukan tertentu  di dalam msyarakat, karena menganut agama

yang sama dengan penguasa kolonial. Namun demikian semenjak revolusi,  prestise yang

ambigu ini sudah jelas menghilang. Tetapi bukan semata-mata ikatan kolonial masa lalu yang

mendasari perasaan-perasaan yang luas bahwa orang-orang Kristen Jawa, bahkan juga orang-

orang Katolik Jawa  tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari keluarga Jawa dalam

pengertian yang paling luas. Seperti halnya santri-santri Islam yang kuat, orang-orang Kristen

pun juga dirasakan sebagai ancaman terhadap stabilitas tatanan tradisional. Perasaan-perasaan

demikian itu tampak sekali kuat pada saat sekarang ini, utamanya ketika persoalan-persoalan

yang menyedihkan tentang idenitas Jawa mulai menampak.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa dalam  semua agama  orang Jawa melihat adanya hal

yang benar, tetapi tidak melihat adanya kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain dia mencari

dan menyetujui gagasan Kristen yang dirasa cocok dengan jawa. Selebihnya diabaikan sama

sekali. Agama Kristen berlaku sejauh sesuai dengan kepercayaan Jawa (h.6). Demikian juga

gambaran toleransi beragama orang-orang Jawa ketika dihadapkan pada agama Budha. Di

Jawa orang-orang Budha hanyalah kelompok kecil, tetapi mereka memiliki prestise yang baik

karena beberapa sebab. Para pemeluk agama tersebut mayoritas adalah kalangan elite baik di

pusat maupun di daerah. 

Dengan demikian faktor penentu yang harus diperhatikan, ketika orang menilai sampai

seberapa jauh toleransi religius orang Jawa yang sesungguhnya, adalah terletak pada

Page 11: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

hubungan-hubungan kelas dan etnis dari kelompok religius yang ada di dalamnya. Dari sana

orang tidak dengan mudah bisa mengatakan bahwa orang-orang Jawa memiliki sikap toleran

terhadap agama kristen dan Budha, kecuali apabila sistem-sistem religius tersebut telah

berasimilasi dengan “Jawa-isme”. Selain itu, jika penganut-penganut agama tersebut adalah

orang-orang Jawa yang dihormati.

Dari pola pemikiran di atas setidaknya ada hal yang bisa kita petik bahwa apa yang selama ini

secara umum dianggap sebagai suatu keterbukaan dan toleransi yang dikagumi dari kalangan

orang Jawa, pada kenyataannya hanyalah istilah lain dari Chauvinisme cultural. Dalam

kenyataannya justru sama sekali lain dari hal-hal di atas.  Hanya saja ketika kesalahpahaman

umum tertentu telah disingkirkan, orang akan merasakan dengan sebenarnya dimensi yang

menurut Anderson sangat luas dari penghargaan orang Jawa terhadap bermacam ragamnya

manusia.

Inilah sebabnya menurut Anderson watak sesungguhnya dari “toleransi” orang Jawa harus

dicari secara universal, dan bukan hanya terjebak pada setiap bentuk simbolik dari

penerimaan humanis orang-orang Jawa yang sangat abstrak terhadap sistem religius dan

kepercayaan maupun etika yang saling bertentangan (h. 8-9). 

Sisi misterius dari keragaman kebudayaan Jawa selain dari makna  “toleransi” yang melekat

pada masyarakatnya, di Jawa juga senantiasa dianggap memiliki mitologi religius yang

hampir diakui secara universal menyebabkan adanya ketundukan emosional dan intelektual

yang mendalam. Inilah yang ingin disebut oleh Anderson untuk lebih mudahnya dengan

tradisi wayang dan pemancar utama tradsisi tersebut.

Bagi Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang

dirasakan oleh orang Jawa. Meskipun demikian keanekaragaman ini diatur dengan jelas oleh

dikotomi-dikotomi yang nyata. Misalnya, ada pemisah yang fundamental antara kiri dan

kanan, sepuh dan nem (tua dan muda), Kurawa dan Pendawa, yang pada dasarnya timbul dari

adanya dualitas yang nyata dalam alam semesta: pria dan wanita, matahari dan bumi, gunung

dan laut, siang dan malam, tua dan muda.

Semua itu perlu, dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Siang bukanlah siang kalau

tidak ada malam, dan muda bukanlah  muda   kalau tidak ada ketuaan yang mengintip dari

balik pundaknya. Ketegangan yang harmonis dan stabilitas yang penuh dari pandangan hidup

(weltan-scbauung) ini pada dasarnya bertentangan dengan kosmologi Kristen dan Islam, di

mana Tuhan tidak bersifat ambigu, melainkan hanya merepresentasikan satu pihak saja

(kejantanan, kebaikan, terang dan akal). Harus diakui bahwa dewasa  ini, di bawah pengaruh

Kristen, Eropa, mungkin sejak akhir abad yang lalu, tradisi orang Jawa terlihat adanya

Page 12: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

kecenderungan menyederhanakan antara hubungan yang sulit  itu.

Toleransi terhadap sikap-ambigu telah mulai menurun, dan wayang telah mulai kehilangan

nilainya yang asli sehingga hanya merupakan sandiwara biasa tentang tingkah laku yang

baik. Berkembangnya penafsiran seperti ini telah mengindikasikan adanya suatu usaha untuk

mengasimilasikan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Barat. Tetapi perlu kita pahami

bersama bahwa hal tersebut bukanlah tradisi Jawa kuno yang asli dan halus itu, bukan pula

konsepsi religius yang relativistik yang telah berhasil mempengaruhi kehidupan, agama dan

kesenian Jawa bertahun-tahun lamanya.

Pembagian kelir pada wayang antara kurawa dan pendawa dewasa ini sering diartikan

sebagai adanya gambaran konflik  antara baik dan buruk. Namun demikian adanya sifat

saling melengkapi dan saling hubungan yang bersifat ambigu  dari eksistensi manusia,

digambarkan dengan baik oleh ironi bahwa kiri dan kanan tidaklah mutlak. Pada

pertunjukkan wayang misalnya, hal tersebut tergantung dari tempat mana orang

menyaksikan. Wayangnya yang asli atau bayangannya. Dengan demikian bisa jadi yang

kanan bisa menjadi kiri dan yang kiri bisa menjadi kanan.

Dalam pandangan Anderson pembagian prinsipal dari pembagian wayang itu berasal  dari

adanya hubungan yang erat antara alam pikiran religius dan suatu tatanan sosial yang

ditentukan oleh sejarah. Jawa-isme adalah suatu pandangan dunia yang tidak bisa dimengerti

dalam suatu masyarakat egaliter. Konsepsi Asia Tenggara zaman dulu tentang Raja-Tuhan

telah meresap ke dalam dunia wayang. Dalam konsepsi ini penguasa duniawi merupakan

pernyataan dari penguasa ilahi. Sementara hamba raja mengambil kekuasaan sesuai dengan

jauhnya mereka dari singgasana, baik secara simbolik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Hirarki sosial tersebut menggambarkan suatu perspektif kosmologi yang langsung

bertentangan dengan kosmologi Islam dan Kristen. Karena agama-agama ini telah

memberikan suatu kontras yang kuat antara Tuhan dan manusia.

Bagi orang Jawa kosmos tidak hanya penuh bagi kehidupan dan kekuatan hidup, melainkan

juga secara cermat di bagi dalam lapisan-lapisan. Jawa dalam hal ini tidak pernah memiliki

suatu sistem kasta, melainkan sesuatu yang berasal dari gagasan kasta murni. Setiap lapisan

atau tingkat mempunyai fungsinya sendiri yang khusus dalam lingkungan struktur sosial.

Setiap tatanan tergantung pada seluruh tatanan lainnya. Apabila yang satu telah gagal

fungsinga, maka yang lain akan berakibat menderita.  Dengan demikian Raja dalam konteks

masyarakat Jawa berhubungan sekali dengan kekuasaan-kekuasaan Ilahi dan menerima

karunia mereka. Para Brahmana bertugas menyelenggarakan upacara-upacara kenegaraan dan

meneruskan kebudayaan masyarakatnya kepada generasi selanjutnya. Para satriya

Page 13: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

mempunyai tugas untuk mengelola pemerintahan dan melindungi negara terhadap serangan-

serangan dari luar. Para pedagang mengusahakan kemakmuran ekonomi. Sedangkan para

tukang lebih mementingkan menciptakan sarana materiil  katimbang sarana kebudayaan. Dari

konsep mengenai fungsi ini munculah gagasan mengenai moralitas.

Karena fungsi itu saling berkaitan dan oleh karena setiap tatanan adalah penting bagi seluruh

tatanan lainnya, penerimaan tatanan seseorang terhadap setiap tatanan tergantung dari cukup

tidaknya mereka memenuhi fungsi  dalam tatanan mereka.

Dengan demikian seorang satriya yang bersikap baik dalam perannya sebagai seorang tukang

hal demikian merupakan perilaku satriya yang buruk, terlepas dari baiknya pekerjaan yang

mereka laksanakan. Seorang pedagang yang hidup sebagai orang pedagang merupakan

anggota masyarakat yang lebih baik dari pada pedagang yang hidup sebagai seorang

brahmana yang terikat. Atas dasar fakta inilah terbentuk suatu kasta dan kelas dalam

masyarakat Jawa, yang masing-masing kelas dan kasta tersebut saling bertentangan dengan

kelas dan kasta lainnya.

Rigidnya konsepsi moralitas ini secara perlahan telah mengalami perubahan yang cukup

signifikan sejak hadirnya pengaruh Budha, yang melarang ditambahkannya nilai absolut pada

masing-masing kelas atau moralitas. Ajaran Budha tersebut mengatakan bahwa tujuan

akhirnya dari moralitas itu bukanlah bersifat keduniawian, melainkan penyerapan ke dalam

yang tak terbatas. Dari ajaran budha tersebut mengidealkan bahwa sikap yang baik adalah

bertindak secara pantas sesuai dengan tingkatan, tanpa menambahkan suatu kepentingan

permanen kepadanya.

4. Historis Membentuk Identitas Kebudayaan Bali

Kebudayaan Bali sekarang ini merupakan buah dari proses historis yang cukup panjang.

Pelacakan terhadap sejarah kebudayaan Bali dari data arkeologis menunjukkan bahwa

manusia Bali telah mengembangkan kebudayaannya sejak zaman prasejarah, yakni masa

meramu, berburu, bercocok tanam, dan puncaknya terjadi pada masa perundagian. Masa

perundagian ditandai dengan mulai munculnya sistem hidup berkelompok, serta munculnya

kepercayaan dan konsep-konsep keagamaan yang sifatnya religius-magis. Keyakinan

terhadap adanya hidup setelah kematian, adanya roh leluhur, dan gunung sebagai alam arwah

merupakan bentuk-bentuk religi asli Bali di masa itu. Kepercayaan masyarakat primitif yang

berkarakter religius-magis menjadi medan yang memungkinkan terjadinya dialog dengan

agama Hindu yang datang dari India (Ardhana dalam Ayatrohaedi, 1986).

Page 14: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

Namun demikian, perubahan besar dalam kebudayaan Bali boleh dikatakan terjadi

setelah adanya kontak antara kebudayaan lokal dengan agama Hindu yang sekaligus

membawa Bali ke zaman sejarah. Dalam hubungan antara dua kebudayaan ini, tampaknya

masyarakat Bali cukup selektif dan kritis sehingga memungkinkan terjadinya sebuah dialog.

Proses dialogis yang terjadi melahirkan bentuk agama Hindu Bali yang unik dan khas dengan

karakter-karakter lokal, serta membedakannya dengan agama Hindu di tanah kelahirannya,

India. Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang

kemudian dikenal dengan istilah local genious. Istilah ini untuk pertama kalinya

diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk menjelaskan kemampuan kebudayaan setempat

dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu

berhubungan (Magetsari, 1986:56). Uraian ini menegaskan bahwa manusia Bali

sesungguhnya memiliki karakter yang kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan asing

sehingga eksistensi budaya lokal tetap dapat dipertahankan.

Dalam perkembangan selanjutnya kebudayaan Bali terus-menerus berproses secara

dialektis dan transformatif sehingga menampilkan bentuk kebudayaan Bali seperti sekarang

ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Swellengrebel (1960) bahwa kebudayaan Bali dibentuk

oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi

yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi

sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat

sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam

rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan

kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain

kekuasaan yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh

pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya

sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu,

tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman

penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya,

antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan

terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya

orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria,

2000). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil dan tradisi

besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan

dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya, pertemuan kebudayaan

Page 15: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

Bali tradisional dengan tradisi modern ditandai dengan terintegrasinya nilai-nilai modern

dalam kebudayaan Bali, seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya.

Sejarah juga menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka

dalam menerima kehadiran etnik lain. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar, baik

melalui hubungan politik maupun ekonomi atau perdagangan di masa lampau telah

menjadikan masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnik. Ini menyebabkan masyarakat

Bali saat ini bukan lagi masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen.

Malahan, heterogenitas tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat meliputi

bidang ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya.

Meskipun etnik Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnik dominan, tetapi

dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan kepada etnik lain sebagai etnik

minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan

yang terjadi antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali. Walaupun

diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya kelompok etnik minoritas

tampaknya juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan (Bali). Hal ini tampak dalam

membuat bangunan tempat suci, seperti mesjid dengan mengadopsi unsur budaya Hindu

arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid bertumpang satu (Stutterheim, 1927:114; Pijper,

1947:275-276). Di berbagai wilayah di Bali etnik pendatang menjadi anggota sekaa subak,

bahkan ada yang menjadi pengurus. Hubungan antaretnis yang menunjukkan adanya saling

menghargai di antara kelompok-kelompok etnik bahkan sudah terjadi jauh sebelumnya. Hal

ini dapat dibuktikan di Pura Batur Kintamani, Bangli. Di pura ini disamping menjadi tempat

pemujaan dari etnik Bali yang beragama Hindu, di lingkungan pura juga terdapat tempat

pemujaan bagi kelompok etnik keturunan Cina. Istilah Ciwa-Budha yang dikenal dalam

masyarakat Bali juga menjadi bukti adanya perpaduan antara agama-agama yang pernah

berpengaruh di Bali di masa yang lampau.

Kedatangan etnis lain di Bali, baik yang tetap mempertahankan identitas

kelompoknya maupun yang mengadopsi kebudayaan Bali dapat beradaptasi dan berintegrasi

dalam kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas. Dengan demikian, hubungan antaretnis

menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas manusia Bali, baik secara individu maupun

kolektif, yakni manusia Bali yang mempunyai sifat permisif dan toleran terhadap agama dan

kebudayaan lain serta mampu hidup bersama dalam keberagaman.

Melihat perjalan sejarah tersebut, kebudayaan Bali sekarang ini merupakan hasil dari

pertemuan antarbudaya yang terjadi secara dialogis-transformatif, yakni antara kebudayaan

lokal dan kebudayaan asing yang datang belakangan. Dominannya nilai-nilai religius, estetis,

Page 16: PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT SUMATERA JAWA DAN BALIntropologi

dan solidaritas dalam kebudayaan Bali tradisional selama berabad-abad telah membentuk

karakter manusia Bali. Nilai tersebut diekspresikan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu

yang didasari oleh tattwa-susila-acara, dalam aktivitas berkesenian, dan tingginya rasa

persaudaraan dalam konteks panyama-brayan. Ketiganya hidup subur dalam aktivitas di desa

pakraman.

BAB IIIPENUTUP

A. KESIMPULAN

Kebudayaan merupakan hasil kreasi manusia yang tidak dibentuk hanya dalam waktu hitungan

jari, baik itu jari tangan maupun kaki. Kebudayaan dibentuk dari awal kehidupan manusia, sampai

akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, kebudayaan memang seharusnya dan selayaknya kita

pertahankan dan lestarikan keberadaannya. Disamping untuk menghormati segala yang telah

diwariskan oleh nenek moyang kita, kebudayaan merupakan hal yang amat berharga dan tidak

tergantikan.

B. SARAN

Antropologi dan Sosiologi sangat besar peranannya dalam perkembangan kehidupan

manusia sehingga diharapkan kepada kita semua untuk selalu mengembangkan wawasan dan

memperdalam pemahaman tentang kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan

antropologi/sosiologi.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.azamku.com/

https://www.academia.edu/4900995/Makalah_Antropologi_Budaya