presus dermatitis venenata rifqi
DESCRIPTION
dermatitis venenataTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
DERMATITIS VENENATA
Oleh :Rifqi Maziyansyah
G1A212139
Pembimbing:dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANSMF ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANRSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
PRESENTASI KASUS
DERMATITIS VENENATA
Oleh :Rifqi Maziyansyah G1A212139
Presentasi kasus diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin RSUD Margono Soekarjo
Purwokerto
Disetujui dan disahkan,Pada tanggal.....Juni 2014
Pembimbing
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
BAB I
KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Nn. A
Usia : 19 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kembaran 03/09, Purwokerto
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status Marital : Belum menikah
Anamnesis : Autoanamnesis tanggal 21 Juni 2014, pukul 08.18
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Rasa gatal di bawah lengan sebelah kiri.
Keluhan Tambahan: Timbul bercak kemerahan disertai timbul seperti
gelembung-gelembung berisi cairan di bawah lengan sebelah kiri
Riwayat Penyakit :
Pasien datang ke Poliklinik Kulit & Kelamin RSUD Margono Soekarjo
dengan keluhan gatal dan timbul bercak kemerahan serta gelembung-
gelembung berisi cairan jernih pada lengan kiri sejak 2 hari SMRS.
2 hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat ada bercak kemerahan
disertai rasa gatal . Beberapa jam kemudian pasien merasakan adanya
gelembung kecil berisi cairan yang kemudian bertambah banyak sampai
membentuk suatu “kissing fenomena”. Pasien juga mengeluh terasa panas dan
nyeri. Pasien juga mengaku menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang
dirasakan . Pasien menyangkal adanya riwayat alergi..
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat menderita penyakit yang sama sebelumnya disangkal.
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
- Riwayat penyakit sistemik disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Penyakit serupa pada anggota keluarga lain disangkal
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit sistemik disangkal.
C. STATUS GENERALIS DAN DERMATOVENEREOLOGIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Denyut Nadi : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), wajah
simetris
Dada : Paru: SD Vesikuler +/+, Rh (-/-), Wh (-/-)
: Jantung: BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : Supel, BU (+) normal
Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), kelemahan (-)
2. Status Dermatologis
Regio / letak lesi : Antebrachii sinistraEfloresensi Primer : vesikel berdasar eritem Sekunder : krustaSifat UKK Ukuran : numular Susunan / bentuk : herpetiformis Penyebaran dan lokalisasi: unilateral
D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji temple
E. RESUME
Perempuan 19 tahun datang ke Poliklinik Kulit & Kelamin RSUD
Margono Soekarjo dengan dengan keluhan gatal dan timbul bercak kemerahan
serta gelembung-gelembung berisi cairan jernih pada lengan kiri sejak 2 hari
SMRS.
2 hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat ada bercak kemerahan
disertai rasa gatal. Beberapa jam kemudian pasien merasakan adanya
gelembung kecil berisi cairan yang kemudian bertambah banyak sampai
membentuk suatu “kissing fenomena”. Pasien juga mengeluh terasa panas dan
nyeri. Pasien juga mengaku menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang
dirasakan. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi.
dermatologikus ditemuka sebuah vesikel dengan dasar eritematosa,
berbatas tidak tegas dengan diameter ± 0,5cm pada regio antebrachii sinistra.
Bentuk herpetiform dan penyebaran unilateral
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Venenata
2. Herpes Zoster
G. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Venenata
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
1. Pencucian sesegera mungkin area yang terpapar.
2. Edukasi pada pasien cara mengurangi risiko terpapar, seperti menghindari
agen iritan.
Penatalaksanaan Khusus
1. Topikal
Kortikosteroid topical: hidrokortison asetat, oleskan tipis pada tempat
yang sakit 2-4 kali/hari.
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanastionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dermatitis venenata adalah dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh
terpaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga, kopi,
mangga serta sayuran seperti tomat, wortel dan bawang. Bahan aktif dari
serangga juga dapat menjadi penyebab (Abdullah, 2009) Istilah lama
"dermatitis venenata, "menandakan" sebuah iritasi kulit akibat racun", secara
bertahap diganti dengan penunjukan lebih akurat, dermatitis kontak, atau erupsi
akibat kontak dengan beberapa substansi, yang belum tentu racun. Serangga
(Insecta) merupakan kelas dari filum Arthropoda. Ordo yang paling sering
mengakibatkan masalah kulit adalah klas Lepidoptera (kupu-kupu), hemiptera
(bed bug), Anoplura (Pediculus sp.), Diptera (nyamuk), Coleoptera (blister
beetle), Hymenoptera (lebah, tawon, semut), Shiponaptera (flea). Kelas
arthropoda lain yang bermakna secara dermatologis adalah myriapoda
(kelabang) dan arachnida (laba-laba, tick, mite, kalajengking) (James, 2006).
B. ETIOLOGI
Ratusan zat kimia, hewan, atau sayuran alam mampu menghasilkan
erupsi tipe ini. Paparan yang terjadi menyebabkan erupsi apabila mengenai
individu yang rentan terhadap iritasi tertentu. Bahan yang menyebabkan iritasi
selain dari racun antara lain, adalah pewarna rambut, pewarna yang digunakan
dalam bulu dan pakaian, dan bahan kimia seperti formaldehida, bichloride
merkuri, lysol antiseptik dan lainnya, dan sabun yang kuat (James, 2006).
C. PATOGENESIS
Seperti yang telah disebutkan, kerentanan individu merupakan faktor
penting dalam menghasilkan suatu erupsi.seorang individu dapat menggunakan
bahan-bahan itu tanpa menimbulkan erupsi, sedangkan pada individu lain
menyebabkan erupsi walaupun hanya dengan sedikit paparan (Abdullah, 2009).
Karena secara definisi, dermatitis venenata merupakan dermatitis
kontak alergi, maka patofisiologi juga mengikuti dermatitis kontak alergi.
1. Fase primer (induktiflafferen), yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat
molekul kecil (hapten) ke kulit, yang kemudian berikatan dengan karier
protein di epidermis. Komponen tersebut akan disajikan oleh sel langerhans
(LCs) pada sel T. pada kelenjar limfe regional, komplek yang terbentuk
akan merangsang sel limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak
diri dan berdiferensiasi menjadi sel T efektor dan sel memori. Terbentuklah
sel T memori yang akan bermigrasi ke kulit, peredaran perifer, dll (Djuanda,
2010).
2. Fase sekunder (eksitasileferen), yaitu perjalanan hapten pada individu yang
telah tersensitisasi, sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel
T memori di kulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang
menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T,
karena lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini
maksimum 24-48 jam. Setelah pemajanan allergen pada kulit, antigen
tersebut secara imunologi ditangkap oleh sel langerhans (sel penyaji
antigen), kemudian diproses dan disajikan kepada limfosit T dengan
bantuan molekul MHC kelas 2. Sel langerhans dan keratinosit akan
menghasilkan interleukin 1 (lymphocyte activating factor) dan sel
langerhansakan mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans
yang aktif sebagai penyaji sel (APCs). Sel ini akan bergerak ke kulit di
dermis parakortikal, kelenjar limfe. Sel langerhans menyajikan dalam
bentuk yang sesuai dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR yang
dimiliki oleh sel limfosit T APCs lain seperti sel monosit dan makrofag
hanya dapat merangsang sel T memori, tidka dapat mengaktifkan sel T yang
belum disensitisasi. Pada fase eferen ini sel TH1 terletakn di sekitar
pembuluh darah kapiler di dermis. Selain itu sel limfosit T itu harus
diaktifkan oelh interleukin I yang dihasilkan oleh sel langerhans dan sel
keratinosit das el T ini akan menghasilkan interleukin II (lymphocyte
proliferating cell) (Djuanda, 2010).
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dari dermatitis sering muncul dalam beberapa jam setelah paparan.
Erupsi dapat berupa kemerahan, scaling, dan sedikit bengkak, disertai gatal dan
sensasi terbakar. Juga dapat ditemukan vesikel, krusta, serta tersusun linear.
Lokasi erupsi dipengaruhi bagian yang paling langsung terkena iritasi tersebut.
Erupsi yang paling sering terjadi, diantaranya pada tangan, lengan, wajah, dan
leher.1 Hal ini dimungkinkan karena daerah tersebut sering terpapar iritan
eksternal.2 Seorang individu yang terkena tidak bisa menularkan penyakit
melalui kontak langsung kepada orang lain. Dalam kasus poison ivy, atau
sayuran seperti iritasi yang kuat, yang mungkin terjadi pada individu yang
terkena yaitu dalam beberapa jam pertama, erupsi menyebar pada dirinya
(James, 2006).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Tempel
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya dipunggung. Untuk
melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan
pabrik, misalnya finn chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan
Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan
negara lain. Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar,
dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang
berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun
jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu bila
menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus
berhati-hati sekali, jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak
diketahui (Djuanda, 2010).
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan
apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan
air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih
dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam
vaselin atau minyak mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
detergen hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air
garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan ditempelkan dikulit
dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu
diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol ( 5-10
orang) (Djuanda, 2010).
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji temple
(Djuanda, 2010):
1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan akut
atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu,
dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin
memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel
dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau
dosis ekivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurang-
kurangnya 1 minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari
(sunburn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat
memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacan kedua
dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karena memberi hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48
jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya
sampai pembacaan terakhir selesai.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuka terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria type
karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis.
Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan
bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai
berikut (Djuanda, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrate, papul (+)
2 = reaksi kuat: edema dan vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan: hanya macula eritematosa (?)
5 = iritasi:seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=not tested)
Reaksi excited skin atau “angry back” merupakan reaski positif palsu,
suatu fenomena regional disebabkan oleh 1 atau beberapa reaksi positif kuat,
yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi
reaktif. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke
20, kemudian diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975 (Djuanda, 2010).
Pembacaan kedua perlu dilakukn sampai 1 minggu setelah aplikasi,
biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada pasien
untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi (Djuanda,
2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan
ke +++ ( reaksi tipe crescendo ), sedangkan respon iritan cenderung menurun
( reaksi tipe descrecendo ). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu
alergen, perlu ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit
dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut
berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang
pernah dialami, atau mungkin tidak ada hubungannya ( tidak diketahui ).
Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang
letaknya berdekatan (Djuanda, 2010).
Reaski positif palsu dapat terjadi antara lain apabila konsentrasi terlalu
tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ( oklusi ),
efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan
reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali
tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di
bagian pinggir. Sebab lain karena efek tekan, terjadi bial menggunakan bahan
padat (Djuanda, 2010).
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu rendah,
vehikulum tidak tepat, bahn uji tempel tidak melekat dengan baik atau longgar
akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid
sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada uji tempel dilakukan
(Djuanda, 2010).
F. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ini harus dibandingkan dengan herpes zoster
G. PENATALAKSANAAN
1. Berbagai jenis dermatitis memang memerlukan upaya terapetik masing-
masing, sesuai dengan jenis dermatitisnya. Tetapi, secara umum prinsip
terapinya adalah serupa dan pengobatan utamanya adalah dengan preparat
kortikosteroid.
2. Penanganan dimulai dengan pemastian adanya dermatitis.
3. Upayakan mencari, untuk kemudian sedapat mungkin menghindari faktor
pencetus dan atau faktor pemberat kelainan.
4. Perhatikan kemungkinan diagnosis banding dermatofitosis atau dermatosis
lain yang steroid nonresponsive. Dermatitis umumnya responsif terhadap
steroid dan terapi pada dasarnya bersifat simptomatis.
5. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi klinis lesi. Hal ini penting karena
kita masih tetap memegang prinsip dasar dermatoterapi yang telah dikenal
sejak lama, yakni lesi yang ‘basah’ harus diterapi secara ‘basah’ dan
sebaliknya lesi ‘kering’ diterapi secara ‘kering’.
6. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah vehikulum selain bahan utama -
suatu obat yang pemilihan jenisnya juga ditentukan oleh kondisi klinis
kelainan.
7. Upaya pertama adalah penggunaan emolien dan menghindari bahan-bahan
yang bersifat iritan (misalnya deterjen dan sabun tertentu), karena
cenderung mengakibatkan kulit menjadi lebih kering, yang menambah
keluhan rasa gatal.
8. Upaya berikutnya adalah penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi.
9. Kadang-kadang diperlukan preparat kombinasi antara kortikosteroid dengan
antibiotika ataupun kortikosteroid dengan antimikotik.
10. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan pengobatan sistemik
(steroid, antihistamin maupun antibiotika) sesuai dengan kebutuhan.
Kortikosteroid Topikal
Kegunaan dan khasiat pengobatan topical didapat dari pengaruh fisik dan
kimiawi obat-obat yang diaplikasikan di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik
antara lain ialah mengeringkan, membasahi, melembutkan, lubrikasi,
mendinginkan, memanaskan dan melindungi dari pengaruh buruk dari luar.
Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan homeostasis, yaitu
mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke keadaan
fisiologik stabil secepatnya. Di samping itu untuk menghilangkan gejala-gejala
yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas (Djuanda, 2010).
Prinsip obat topical secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu bahan dasar
(vehikulum) dan bahan aktif.
1. Bahan dasar (vehikulum)
Memilih bahan dasar obat topical merupakan langkah awal dan
terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada
umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan dermatosis yang membasah
dipakai bahan dasar yang cair/basah, misalnya kompres; dan pada keadaan
kering dipakai bahan dasar padat/kering, misalnya salep (Djuanda, 2010).
2. Bahan aktif
Memilih obat topical selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif
yang dimasukkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu
yang sesuai untuk pengobatan topical. Khasiat bahan aktif topical
dipengaruhi oleh keadaan fisika-kimiawi permukaan kulit, di samping
komposisi formulasi zat yang dipakai (Djuanda, 2010).
H. PROGNOSIS
Prognosis dari DKI akut baik jika penyebab iritasi dapat dikenali dan
dihilangkan. Prognosis untuk DKI kumulatif atau kronis tidak pasti dan bahkan
lebih buruk dari Dermatitis Kontak Alergi. Latar belakang pasien atopi,
kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, dan atau diagnosis dan
penatalaksanaan adalah faktor-faktor yang membawa ke perburukan dari
prognosis (Wolff, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah B.,Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah
Sakit,Indonesia: Pusat Penerbitan Universitas Airlangga., 2009, hal 94-96.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke enam.
Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2010.
James WD., Berger TG., Elston DM., Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology,10th ed, Canada: Elsevier Inc., 2006, pg 421-427.
Wolff K., Goldsmith LA., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffell DJ.,
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed, USA: McGraw-Hill
Companies., 2008, pg 395-401.