pragmatisme ekonomi indonesia
DESCRIPTION
PRAGMATISME EKONOMI INDONESIASejarah mencampur aduk ekonomiTRANSCRIPT
PRAGMATISME EKONOMI INDONESIA
Sejarah mencampur aduk ekonomi
Oleh Drs. Rum Rosyid, MM
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
2010
Daftar Isi
Kata Pengantar 3
Pendahuluan 4
Tarikan politik dan respon pragmatis 5
Perekonomian tanpa prioritas 6
Pertumbuhan sebagai prioritas 7
Pasar Bebas Mengabdi Kaum Kaya 9
Peran pemerintah 10
Epistemologi Pragmatisme 11
Positiv vs Normatif 12
Model Berfikir relativisme 12
Menolak Nilai 13
Pragmatisme sebagai Ruh Kapitalisme 15
Kapitalisme dan Trickle up effect 16
Kritik Terhadap Pragmatisme 19
a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi 20
b. Kritik dari Segi Metode Berpikir 23
c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri 24
Kepustakaan 25
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, kami telah menyelesaikan karya
tulis ilmiah yang sederhana. Kehidupan perekonomian hingga dewasa ini memonopoli
perhatian peradaban manusia. Hingga segala aspek kehidupan merupakan variable
independent dengan ekonomi sebagai koordinatnya. Dari sinilah keberangkatan penulis
dalam memahami fenomena kehidupan perekonomian. Tesis bahwa kekayaan akan
menentukan peradaaban telah merasuk kedalam ruang-ruang bawah sadar kehidupan kita.
Dengan kata lain tiada satupun perikehidupan yang tidak memerlukan kekayaan.
Peradaban yang dikuasai dengan paradigma Kapitalistis pada dasarnya bukanlah tujuan
kehidupan itu sendiri. Bangsa Indonesia yang memiliki rumusan ideologinya sendiri pada
dasarnya mampu untuk mengabaikan model kapitalisme tersebut. Dengan demikian juga
akan mampu menjadi model alternative ditengah arus kapitalisme yang masih bergairah
diikuti oleh Negara-negara dunia ketiga.
Meski disana-sini kita melihat kekurangan model Kapitalisme Pragmatis namun sekali
lagi kita tidak mampu menemukan jalan dan terjebak didalam kotak Pandora. Yang
mampu kita lakukan hanyalah menebak-nebak jalan keluar tersebut. Dan tidak jarang kita
masuk kelubang kubangan berupa krisis social, politik.
Semangat untuk menemukan jalan keluar tersebut kiranya yang menjadi pemicu untuk
terus menerus melakukan penelitian. Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada
kemudahan, dan sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian.
Akhirul kalam
Pontianak, 25 Mei 2010
Penulis
Pendahuluan
Sejarah ekonomi Indonesia selalu ditandai tarikan kepentingan politik dan respons
pragmatis terhadap berbagai masalah dan kemungkinan ekonomi, baik domestik maupun
global. Tepat kiranya untuk mengatakan bahwa para ekonom dan teknokrat Indonesia,
baik pada masa awal kemerdekaan maupun pada masa Orde Baru dan Reformasi, hanya
bertindak sebagai franchise pemikiran Barat. Dengan kata lain mereka tidak menciptakan
teori sendiri yang orisinal (Dawam Rahardjo, 1992).Globalisasi informasi dan teknologi
mengarahkan ideologi menjadi satu ke arah pasar, yang dianggap sebagai motor untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Dalam sistem ekonomi politik dan implementasinya hampir tidak ada peranan pasar
seratus persen. Bahkan, dalam keadaan krisis ini, peranan negara justru sangat kuat
mengambil alih lembaga-lembaga swasta, yang bangkrut. Negara tidak hanya berperan
pada kebijakan publik, tetapi mengambil alih perusahaan dan menjalankannya pada saat
krisis. Iklim ekonomi yang kondusif akan membawa pengambil kebijakan terbuai mimpi
besar Indonesia incorporate, yang dalam praktiknya lebih banyak disalahgunakan dan
diselewengkan. Saat mimpi-mimpi ini terkubur, pragmatisme kebijakan ekonomi
dijadikan solusi pintas keluar dari aneka masalah, yang kerap disebabkan salah urus dan
pencampuradukan ekonomi dan politik yang berlebihan.
Pragmatisme ekonomi disini berarti suatu pendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran
masyarakat tindakan-tindakan ekonomi lebih relevan dibandingkan memperbincangkan
prinsip realitasnya (ontology). Dalam pendekatan filsafat, pragmatisme adalah cara
berpikir yang menempatkan kebenaran pendapat diukur dari hasil praktisnya (outcome).
Dengan bahasa berbeda, pragmatisme sering dimaknai sebagai paham yang lebih
menekankan hasil daripada teori yang melandasi cara berpikir itu.
Dialektika kebijakan ekonomi lebih 40 tahun terakhir membuktikan pergolakan ini.
Tumpukan masalah yang nyaris membekukan perekonomian pada era Orde Lama bisa
kemudian dicairkan dengan kebijakan pragmatisme liberalisasi keuangan dan
perdagangan pada akhir 1960-an. Namun, kebijakan ini tidak bertahan lama. Iklim
ekonomi global yang kondusif berupa membumbungnya harga minyak pada era 1970-an
dan awal 1980-an menyebabkan kuatnya kembali tarikan politik dalam perekonomian,
yang ditandai dengan proteksi dan subsidi besar-besaran negara. Ketika harga minyak
kembali turun drastis pada awal 1980-an, sekali lagi dibutuhkan respons pragmatis
melalui deregulasi besar-besaran dan pemberangusan berbagai subsidi yang bersifat
distorsif pada perekonomian.
Manifestasi dari dualisme tarikan itu adalah satu bentuk kabinet bifurkasi (Rock 1995,
1999). Kabinet bifurkasi adalah satu kabinet dua kaki. Di satu sisi ada teknorat ekonomi
yang bertanggung jawab mengelola kebijakan makroekonomi berupa pengendalian
inflasi, suku bunga, nilai tukar, berbagai kebijakan fiskal lainnya. Di sisi mikroekonomi
ditempatkan para kroni dan kaki tangan politik dari mereka yang dekat dengan
kekuasaan, sebagai balas jasa politik atau untuk berbagai tujuan lain yang pada intinya
demi melanggengkan dan menambah kekuasaan.
Konsekuensi kabinet bifurkasi, para teknorat ekonomi adalah sebatas montir yang
digunakan sewaktu-waktu bila mesin perekonomian memanas atau memerlukan terapi
tertentu. Sementara pengendali sebenarnya dari roda perekonomian adalah mereka yang
dekat tampuk kekuasaan berikut para kroninya. Pelaku pasar, dan investor justru
memiliki kesempatan untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa harus terganggu
oleh perbenturan ideologi yang keras.
Jadi, proses politik dan perilaku elite tampak membingungkan. Tetapi, hal tersebut juga
harus dianggap sebagai proses belajar demokrasi dan bisa juga cuma sebuah refleksi
kedangkalan politik substantif. Kegaduhan tersebut seperti kegaduhan pasar pada
umumnya.
Perekonomian tanpa prioritas
Dewasa ini, pada Orde Reformasi, pola yang sama terus berlanjut dengan pengungkapan
dan tekanan implikasi yang nyaris serupa. Perekonomian dibiarkan berjalan tanpa
prioritas dan alur yang jelas pada bidang mikro, seperti kebijakan penguatan sektor riil di
bidang pertanian, industri, dan ketenagakerjaan. Sementara saat terjadi masalah, seperti
krisis global, berbagai jurus dan manuver kebijakan yang bersifat makro dikeluarkan,
untuk menjaga perekonomian terjerembab lebih dalam dan mempercepatnya keluar dari
krisis.
Pola ini terus berlanjut pada pemilihan kabinet 2009-2014. Pada portofolio di bidang
makro, para teknorat akan ditempatkan dengan misi mempercepat transisi krisis dan
memperkuat fondasi makroekonomi. Sementara pada bidang mikro akan diisi oleh
mereka yang dipilih atas dasar balas jasa politik atau kepentingan kekuasaan yang ada.
Berlanjutnya pola bifurkasi disebabkan masih adanya kebutuhan jaminan stabilitas politik
dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Hal ini terlepas dari dominannya koalisi
pemerintahan yang akan terbentuk. Dukungan parlemen mayoritas saat ini amat rentan
terhadap ketidakpuasan. Dengan demikian, bila elemen-elemen pendukungnya tidak
diakomodasi dalam kabinet, akan menyebabkan guncangan dari dalam, yang bisa
mengganggu jalannya pemerintahan.
Pembentukan kabinet bifurkasi berlanjut ini dalam jangka pendek bisa jadi dapat
mempercepat proses transisi dari dampak krisis global yang dirasakan saat ini, melalui
manipulasi berbagai instrumen makro kebijakan fiskal dan moneter. Namun, untuk
mengatasi persoalan kronis, seperti kemiskinan dan pengangguran, deindustrialiasi serta
kekakuan pasar kerja, dibutuhkan figur yang juga profesional di bidang mikro, untuk
melakukan aneka terobosan guna menghentikan pelemahan sektor riil yang merupakan
akar berbagai masalah ini.
Pertumbuhan sebagai prioritas
Dalam hal menghadapi persoalan ekonomi sekarang ini, pribadi yang pragmatis
akan cenderung berpandangan bahwa hanya dengan menghidupkan kegiatan ekonomi
melalui pertumbuhan ekonomi masalah pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi.
Dan bisa jadi kurang memperhatikan dari sisi "siapa" yang harus terlibat dan
dilibatkan untuk mencapai output tersebut, serta "siapa" pula yang harus
terpaksa berkorban.
Kebijakan kabinet dua kaki ini memungkinkan adanya tingkat stabilitas dalam waktu
cukup lama. Namun, kebijakan ini juga bisa mengakibatkan terabaikannya sektor riil
yang menyebabkan berkurangnya tingkat kompetitif bangsa. Demikian juga, prioritas
pada sekadar stabilitas makro yang menghasilkan pertumbuhan tidak berkualitas akan
menyebabkan berlanjutnya masalah kemiskinan dan ketimpangan.
Dengan kabinet bifurkasi, intervensi pemerintah yang sesungguhnya dibutuhkan untuk
memberikan arah dan tekanan prioritas pembangunan, dalam bentuk kebijakan investasi,
industri dan kebijakan industri hanya terbatas dilakukan. Dan, kalaupun ada, selalu
dilakukan secara inkonsisten, inkoheren, serta sarat akan praktik perburuan rente.
Padahal, intervensi selektif kerap dibutuhkan untuk mengatasi kegagalan pasar dan
memfasilitasi learning-process untuk perusahaan domestik meningkatkan kapasitas
teknikal untuk sukses sebagai produsen dan eksportir di tingkat global.
Untuk meminimalkan ekses negatif pola pembentukan kabinet bifurkasi, ada dua langkah
yang dapat diambil. Pertama, penggunaan satu instrumen kontrak politik berupa visi dan
misi serta teknik implementasi rencana kerja dari berbagai kementerian/lembaga negara.
Kontrak politik ini harus diumumkan kepada publik dan menjadi semacam alat untuk
menjaga komitmen (precommitment device) mereka dan pendukung di belakangnya yang
terpilih di kabinet. Kedua, sejauh mungkin pemangku jabatan kabinet yang berasal dari
partai pendukung atau kelompok kepentingan yang profesional, dalam arti memiliki
kapasitas keilmuan dan pengalaman, visi serta jujur dan terbukti dapat bersikap adil.
Pasar Bebas Mengabdi Kaum Kaya
Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan
Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori
pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori
kritik lainnya (Mansour Fakih; 2002). Menurutnya, diskursus pembangunan merupakan
alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga.
Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan
dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang
dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan
masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan
dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan
dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut
justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara
Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Alfred Gusenbaur, Kanselir Austria, menulis artikel yang bagus di New Strait Times (9
October 2008), yang mengkritik neo-liberalisme secara tajam. Dalam artikel yang
berjudul Lessons learn from the US financial crisis itu, Gusenbaur mengatakan, dalam
sistem ekonomi pasar bebas yang akan diuntungkan adalah orang-orang kaya, sehingga
bukan mustahil bahwa susu yang dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhan dirinya tak
bisa dimilikinya. Sebaliknya, yang bisa memiliki susu itu adalah anjing peliharaan
Rockefeller yang kaya raya itu. Pendapat yang dikutip dari tulisan Paul Samuelson ini
disimpulkannya dengan mengatakan bahwa dalam sistem ekonomi pasar there is no room
for a social conscience.
Buat Gusenbaur, sistem ekonomi pasar jika dibiarkan bebas, cepat atau lambat akan
merusak dirinya. Ketimbang mengatur (regulate) dirinya, sistem ekonomi pasar malah
akan merusak (destroy) dirinya. Inilah juga yang dikatakan oleh Alan Greenspan, mantan
penguasa keuangan dan proponen pasar bebas Amerika terkemuka, yang selama ini tidak
mencampuri pasar.
Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar
mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori
pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu
normalisasi mekanisme (Muhadi Sugiono; 1999). Strategi pertama disebut “inkorporasi
progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai
problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut
didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka
selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu
kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik
negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu
problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain
pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga
dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian
problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi
ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori
pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal,
nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan
baru kekuasaan pengetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat.
Peran pemerintah
Krisis keuangan, sekarang, yang berawal dari pailitnya banyak lembaga keuangan karena
sub-prime loan dan berbagai transaksi keuangan lainnya, tak lain dan tak bukan adalah
karena pasar yang seharusnya melakukan koreksi terhadap disfungsi dan kelemahannya
justru gagal. Dan bukan hanya gagal, malah melakukan perusakan yang luar biasa.
Greenspan mengatakan, dirinya gagal memahami kekuatan destruktif dari sistem
ekonomi pasar. Hal ini dikatakannya ketika memberikan keterangan kepada Parlemen
Amerika (Kongres) yang meminta pertanggungjawabannya.
Atas dasar itu, Gusenbaur mengatakan, ada dua hal yang mutlak dilakukan yaitu,
pertama, pasar memerlukan pengaturan yang jelas. Usulan ini berarti akan ada regulasi,
yang artinya campur tangan negara. Kalau tak ada pengaturan, maka penyalahgunaan
kekuasaan dan sumber daya akan terjadi dan merugikan rakyat. Lihatlah para CEO
perusahaan multinasional yang menerima gaji dan bonus ratusan juta dolar per tahun. Ini
kan suatu abuse of power, suatu pelanggaran terhadap rasa keadilan.
Kedua, menurut Gusenbaur, perlunya institusi welfare state mendapat penguatan. Krisis
keuangan ini menunjukkan kepada kita bahwa kebutuhan elementer rakyat tak boleh
digantungkan pada spekulasi dan volatilitas pasar modal. Di sini perluasan pembelanjaan
untuk pensiun hari tua, kesehatan, pendidikan, misalnya, menjadi sangat krusial. Kita tak
boleh menomorduakan kewajiban negara ini. Di sini Gusenbaur bukannya menolak
sistem ekonomi pasar, tetapi mengingatkan bahwa dia menghendaki sistem ekonomi
pasar yang dianut haruslah memberikan porsi lebih besar kepada kesejahteraan rakyat,
meski untuk itu negara harus berperan banyak. Di Eropa, sistem ini disebut sebagai
sistem ekonomi pasar sosial (social market economy).
Indonesia harus juga bersikap lebih tegas dan berani. Indonesia tak boleh menjadi anak
manis yang terus menerus didikte. Di Amerika, sekalipun kita mulai melihat perdebatan
ini, karena kelihatannya intervensi negara yang selama ini diharamkan, akan
dikembangkan oleh pemerintahan Obama. Kita tak usah malu untuk berpikir ulang,
dengan demokrasi yang sudah mulai berjalan ini pemerintah dan partai politik punya
kewajiban lebih besar pertama-tama dan terutama kepada rakyat. Sudah waktunya energi
kita tak dihabiskan semata-mata untuk kepentingan pragmatisme ekonomi dan
pragmatisme politik. Negara ini tak boleh menjadi Negara Pragmatis.
Epistemologi Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan,
dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini
merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya,
yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada awal abad ini.
Istilah pragmatisme datang dari Immanuel Kant yang menurutnya adalah "keyakinan-
keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan
suatu kemungkinan riil untuk mencapai tujuan tertentu". Pragmatisme adalah aliran
filsafat yang berkembang di Amerika Serikat. Filsafat ini berkembang di Amerika pada
abad ke-19 sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti
Charles Sander Peirce, William James, dan John Dewey. Aliran ini menjadi sebuah aliran
pemikiran yang sangat mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika. Pragmatisme
mencerminkan pandangan hidup bangsa Amerika secara keseluruhan.
Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang
kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide
sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas
baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James
mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan nama baru bagi sejumlah
cara berpikir lama. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan
dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang
kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-
1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai
bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Positiv vs Normatif
Banyak pakar ekonomi Indonesia penganut paham arus utama Neoklasik menyatakan
keberatan memasukkan ideologi Pancasila dalam hal ini asas kekeluargaan yang termuat
dalam pasal 33 UUD 1945 ke dalam sistem ekonomi Indonesa. Menurut mereka ekonomi
harus bersifat ilmu positif (positive science) yang membahas das sein bukan ilmu
ekonomi normatif yang membahas das sollen(Masuk Pangabean, 1981).
Pendapat Mubyarto-Hidayat memang bertentangan dengan pendapat yang dewasa ini
secara umum dianut oleh para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial.
Menurut pendapat umum ini tugas utama ilmu pengetahuan sosial adalah menyusun
teori-teori yang bersifat nomologis; artinya mencari hukum-hukum empiris yang dapat
digunakan untuk membuat ramalan-ramalan (prognosa). Hukum-hukum empiris tidak
bersifat normatif, sebab hukum-hukum ini hanya menyatakan sesuatu keadaan dalam
kenyataan seperti adanya. Bukan sebagai seharusnya ditinjau dari prinsip-prinsip moral
dan etika. Dalam semua debat para ekonom sejak 1981 sampai 1998 tersebut, yang
menjadi fokus adalah strategi pembagunan ekonomi bukan teori ekonomi atau ilmu
ekonomi. Kini (2001-2002) karena krisis multidimensi yang berkepanjangan mulai
dipersoalkan teori ekonomi atau ilmu ekonomi yang mendasarinya.
Model Berfikir relativisme
Dalam tulisan ini kita akan memperlakukan pragmatisme sebagai model cara berpikir dan
melepaskannya dari latar belakang ke-Amerikaan. Sebagai cara berpikir, pragmatisme
telah merambah ke seluruh dunia. Dalam epistemologi pragmatisme individualisme dan
materialisme ekonomi tumbuh subur. Unsur kesadaran tak terdapat di dalamnya.
Sekalipun William James menulis Varieties of Religious Experiences, tidak berarti
bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna
bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah
relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah
“kebenaran” itu berguna atau tidak.
Menolak Nilai
Dalam dunia politik di Indonesia, Orde Baru menganut pragmatisme. Rezim itu tidak
peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah
power politics. Dalam politik, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam
(Hispran akhir 1970-an), Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyaingi
agama-agama (1978), pembunuhan (Tanjung Priok 1984), dan kampanye anti-Pancasila
(1985). Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak
peduli dengan Indonesia. Mereka mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar.
Mencari makan di sini, membawa keluar. Orde Baru membelanya dengan menyebut
mereka justru penganut “nasionalisme baru”.
Pragmatisme sebagai aliran pemikiran, sesungguhnya merupakan program Negara-negara
maju bagi dunia ketiga. Dalam laporan tahunan tahun 1947-1948, Bank Dunia
membentuk filsafat pembangunan pragmatis yang akan membentuk karakter pada
pemberian pinjamannya selama dua decade mendatang(Bruce Rich, 1999 : 95). Laporan
itu mengungkapkan kesenjangan produktivitas dan standar hidup antara Negara-negara
miskin dan Negara-negra maju di Amerika Utara dan Eropa, dan menyimpulkan bahwa
peningkatan produksi dan pendapatan di Negara-negara terbelakang hanya bisa dilakukan
dengan pembangunan teknologi dan penambahan modal, serta peningkatan perdagangan.
Strategi Bank Dunia kemudian mengarah pada investasi proyek-proyek yang disiapkan
secara hati-hati di wilayah –wilayah yang kritis yang kurang menarik bagi penanam
modal swasta. Strategi ini memicu arus modal tambahan ke dalam sektor ekonomi yang
lain. Secara khusus itu berarti memfokuskan pada pembangunan jaringan transportasi,
komunikasi, dan fasilitas pembangkit listrik, yang membentuk landasan bagi
pembangunan sektor ekonomi yang lain.
Selain itu, laporan tersebut menyatakan proyek irigasi dan reklamasi tanah berskala
besar, pembangunan fasilitas umum, program kesehatan dan pelatihan, serta program-
program pemindahan penduduk kurang menarik investasi swasta. Karena itu, proyek-
proyek yang demikian pantas menerima bantuan bank dunia. Bank dunia menyatakan
bantuan teknis dan adanya kepemimpinan intelektual sama-sama penting dalam
kaitannya dengan Negara-negara terbelakang. Bantuan teknisnya akan memberikan
bentuk program pembangunan yang menyeluruh dan kuat.
Teori pembangunan pada tahun 1950-an dan 1960-an menekankan pada pendekatan pada
modal tersebut (meskipun focus eksklusif Bank Dunia diletakkan pada proyek-proyek
khusus yang menjadi bahan perdebatan-perdebatan ). Walt Rostow membicarakan tinggal
landas yang akan terjadi bila pengaruh penanaman modal telah mendorong peningkatan
produktivitas dan pertumbuhan.
Pragmatisme sebagai Ruh Kapitalisme
Pragmatisme, menjadi ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme,
yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama
maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena
telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran
pemikiran dan standar perbuatan manusia sebagaimana akan diterangkan nanti.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat
mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya
Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk
melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk
mengkonstruk ideologi dan peradaban sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah
mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.
Apapun teorinya, dalam praktiknya pemberian pinjamaan Bank Dunia mula-mula tidak
diarahkan pada kebutuhan-kebutuhan Negara yang meminjam, tetapi pada apa yang
paling mudah dicapai dengan uang pinjaman tersebut (Bruce Rich, 1999:96).
Proyek-proyek pembangkit tenaga listrik dan transportasi dinilai mudah, karena hanya
merupakan pemindahan teknologi dan perencanaan yang tampaknya sama diseluruh
dunia, dan sekurang-kurangnya mengisi kekurangan proyek-proyek yang layak dibiayai.
Hal itu akan menjadi tema tetap dalam perkembangan Bank Dunia. Apa yang enak
dipraktikkan untuk lembaga itu dan para stafnya dalam mempersiapkan proyek-proyek
dan memindahkan uang sering kali membebankan (dari sudut pandang Washington) dan
meruwetkan kebutuhan-kebutuhan pembangunan Dunia Ketiga.
Namun satu sisi pendekatan Bank Dunia itu terus berlanjut. Pendekatan tersebut
mencampuradukkan paternalisme yang bersifat tertutup dan kenaifan yang mendebarkan,
yang berakar pada sebuah asumsi ekonomi makro dan mikro usang, bukan pemahaman
empiris mengenai keadaan social, politik dan ekonomi setempat. Pragmatisme
memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori
atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan
kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian
Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran
(theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James,
terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Kebenaran menurut James
adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang
menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu,
kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan
berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan
perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang
mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga
aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu
sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap
diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan
fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan
kesimpulan yang telah digeneralisasikan dari pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir
induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki
sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha
mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir
Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang
menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta
partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan
empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta.
Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-
pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Budaya Kapitalisme
Budaya kapitalisme adalah perhitungan untung-rugi, melalui proses pertukaran komoditi
di pasar. Dalam pasar, kaum kapitalis bersaing dan berkolaborasi untuk menguasai
sumber-sumber daya dan untuk memperoleh laba. Dalam hal saling berkolaborasi di
tingkat internasional, kaum kapitalis mampu menjajah bangsa lain (kolonialisme dan
imperalisme). Milton Friedman, Neo-Liberalisme (Kompas 12/12/2001) menjelaskan
bahwa: (1) hanya satu tanggung jawab perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya, (2) untuk mencapainya harus dengan aturan main tertentu (rule of
game). Yang membuat aturan main adalah kaum penguasa politik bekerja sama dengan
kaum kapitalis. Maka sebagian besar aturan main (kebijakan) yang dibuat penguasa
politik di negara-negara yang menganut paham kapitalisme cenderung menguntungkan
kaum kapitalis.
Polanyi (1957) menjelaskan bahwa: (1) dalam peradaban modern, institusi bisnis
memainkan peranan amat penting. Karena kemunculannya persis terjadi ketika institusi-
institusi yang lain, seperti negara, politik agama, bahkan keluarga mengalami
pembusukan, (2) melalui sebuah proses transformasi besar, bisnis lalu menjadi institusi
sah yang keberadaannya mempengaruhi cara masyrarakat menata dirinya. Konsekwensi
budaya kapitalisme adalah melahirkan “terorisme” seperti yang terjadi pada tanggal 11
September 2001, World Trade Center AS. WTC AS hancur akibat serangan teroris
“Osama bin Laden”, karena pelaku bisnis semata-mata mengutamakan aspek keuntungan.
Aspek sosialnya diabaikan. Di masa depan, ketidakpastian bisnis ditentukan oleh variabel
ekonomi dan bisnis dan konflik peradaban.
Bagi kaum Neo-Liberalisme menjelaskan bahwa: (1) globalisme merupakan paham
pasar bebas yang multi dimensi (deregulasi, privatitasi, liberalisasi) yang didukung oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kemakmuran bagi semua
pihak, (2) kekuatan pasar adalah hasil seleksi alamiah yang adil dalam membagi sumber-
sumber daya ekonomi. Paradigma tersebut sekarang diadopsi oleh sebagian para
penguasa politik dan sebagian kaum akademisi di NSB. Oleh sebab itu sebagian besar
kebijakan ekonominya cenderung menguntungkan kaum pemilik modal.
Pragmatisme sebagai Practicalisme
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya
merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja,
Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk
menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya
dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol
(bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran
menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada
benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan.
Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan
pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu
keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan
ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh Pragmatisme James. Jika James
mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka
Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual
untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan
pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan
pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan
Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merasakan adanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan
eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme
menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan
pengalaman. Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang
benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik
dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Sejak tahun-tahun pertama hingga sekarang, ada dua factor utama di balik tekanan untuk
menaikkan angka pemberian pinjaman Bank Dunia. Pertama, kurangnya proyek-proyek
yang bermutu dan layak dibiayai. Kedua, adalah tekanan yang lebih serius, yang mulai
muncul pada akhir tahun 1950-an yaitu net negative transfer. Net negative transfer
terjadi ketika bebrapa Negara peminjam mulai membayar lebih banyak kepada Bank
Dunia, sementara “Bank Dunia tidak memberikan lagi pinjaman-pinjaman baru. Bagi
sebagian bank, itu bukanlah masalah, melainkan hanyalah hal sepele: kucuran pinjaman
dari pemberi pinjaman kpada pihak yang berutang berlangsung lebih banyak pada tahun-
tahun awal suatu pinjaman. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, arahnya berbalik,
karena pihak yang berutang telah melunasi pinjamannya. Jika volume pinjaman kepada
pihak yang berutang terus ditingkatkan, supaya net negative transfer jangka pendek dari
bank ke pihak yang berutang tetaplah positif, maka yang terjadi adalah serupa menyusun
rumah-rumahan dari kartu. Tindakan itu membuat situasi yang sangat berisiko di masa
mendatang, karena cicilan utang semakin memakan jumlah pendapatan pihak yang
berutang. Namun sebuah bank komersial yang berjalan baik, tidak akan menghadapi
persoalan ini bila dapat terus menerus merekrut nasabah baru baik perusahaan maupun
individu untuk diberi pinjaman.
Akan tetapi, Bank dunia punya masalah unik. Nasabahnya terbatas pada beberapa Negara
berkembang. Pada saat-saat tertentu, sebagian besar Negara berkembang itu mulai
membayar lebih banyak kepada Bank Dunia dibandingkan dengan pinjaman yang
diterimanya. Dengan demikian, Bank Dunia pada akhirnya melikuidasi dirinya sendiri
seperti diharapkan John McCloy. Kemungkinan itu hanya dapat dihindari bila Bank
Dunia menjaga peningkatan volume pinjamannya kepada Negara-negara yang sama,
menumpukkan utang baru, atau yang lebih baik, dapat memperooleh sumbangan dana
untuk dikucurkan sebagai hibah atau pinjaman berbunga rendah.
Kapitalisme dan Trickle up effect
Pada tahun 1961, Negara-negara maju telah membayar lebih banyak kepada Bank Dunia
daripada utang yang mereka pinjam. Namun fenomena yang sama juga akan terjadi pada
Negara-negara miskin di masa datang, yang utangnya telah membuat kondisi
keterbelakangan dan ketergantungan. Laporan tahunan Bank Dunia pada tahun 1963 -
1964 telah memperingatkan : “Beban utang yang besar kini ditanggung oleh Negara-
negara anggota yang jumlahnya kian banyak saja. Hal itu senantiasa menjadi keprihatinan
Grup Bank Dunia”.
Pada tahun 1960-an krisis utang Dunia Ketiga terjadi, dan hal ini membuat Bank Dunia,
pada hari jadinya ke-25, melakukan praokupasi terhadap dirinya sendiri. Peningkatan
arus bantuan pembangunan multilateral dan bilateral mulai berlangsung pada tahun 1960-
an. Dan pada tahun 1970-an kondisi tersebut mengakibatkan munculnya tuntutan arus
balik yang begitu besar. Demikian bunyi laporan itu.
Pada tahun 1963, 1964, dan 1969, India mentransfer uang kepada Bank Dunia dalam
jumlah yang lebih besar daripada pinjaman yang diterimanya, kecuali untuk pinjaman
yang berasal dari IDA. Pada tahun 1968, India diwajibkan untuk menjadwal ulang utang
jangka panjangnya, demikian pula Indonesia pada tahun 1970. pada tahun 1970 itu, debt
service payment (neraca cicilan utang) untuk Negara-negara berkembang sudah mencapai
40 persen daritotal dana yang ditransfer oleh Negara-negara maju. Pada tahun yang sama
pula Bank Dunia untuk pertama kalinya, mengalami net negative transfer Negara-negara
yang berutang mentransfer uang lebih banyak daripada total jumlah pinjaman yang
dikucurkan Bank Dunia.(Mason dan Asher dalam Bruce Rich, 1999:104).
Kritik Terhadap Pragmatisme
Pada praktiknya, pragmatisme menuntut dua syarat; Pertama, ide atau keyakinan yang
mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang
kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak bisa dipisahkan.Bagi kalangan
pragmatis, sesuatu dianggap benar jika berguna bagi manusia, bermanfaat dalam praktek
dan dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Keberatan dipakainya ideologi atau nilai-
nilai dalam ilmu ekonomi sering didasarkan pada pengertian yang keliru tentang ideologi.
Ideologi sebenarnya berarti ilmu tentang ide, ilmu tentang gagasan, yang tentu saja harus
berperan dalam proses pengembangan setiap ilmu termasuk dan terutama menyangkut
ilmu-ilmu sosial.
Dari pengertian ideologi yang demikian jelas bahwa ideologi yang telah dimiliki suatu
bangsa seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak saja tidak boleh tetapi bahkan harus
dipakai dalam menyusun sistem ekonomi nasional. Dan untuk itu diingatkan definisi
sistem ekonomi Joan Robinson (1962). The pre-requisites for an economic system is a set
of rules, an ideology to justify them, and a conscience in individual which makes them
strife to carry them out.(Robinson, Joan, 1962).
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis
yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah
hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau
dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui
kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat
manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran
ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran
ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang
penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi
instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam
pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka,
Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan
akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif.
Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide "baik individu, kelompok, dan masyarakat" dan perubahan
konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan "menurut Pragmatisme itu sendiri" setelah melalui pengujian kepada seluruh
manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.
Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya
dan menafikan dirinya sendiri.
Kelemahan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi
Dari segi bahasa “ideologi” dari kata-kata Latin “Idea” atau Yunani “Idein” yang berarti
“Pemikiran, Konsepsi, Keyakinan, Pendapat, Gambaran Mental atau Rencana”, dan logos
berarti : “Pengetahuan, alasan, Ilmu atau Pengetahuan”, sehingga dapat diartikan bahwa
Ideologi adalah (menurut Lexicon Webster Dictionary) : (1) Sebuah sistem tertentu
tentang pemikiran terutama mengenai masalah sosial dan politik. (2) Ilmu pengetahuan
tentang pemikiran dan cara pemahamannya, “Science of Ideas”.
Dibidang filsafat dan politik kemudian ideologi memiliki arti lebih luas namun tertentu
sifatnya dan sangat normatif. Dalam “The Oxford Companion to Philosophy” diberikan
definisi sebagai berikut : “A collection of beliefs and values held by an individual or
group for other than firely epistemistic reasons” (sebuah untaian kekayaan dan nilai yang
diyakini seseorang atau kelompok untuk dijadikan lebih dari sekedar alasan-alasan
pengetahuan murni). Ini berarti bahwa ideologi bisa beranekaragam isinya tergantung
para pemiliknya, sedang terbentuknya jelas akan dipengeruhi oleh situasi atau kondisi
setempat ketika ideologi itu terbentuk serta kepentingan para pembentuknya sendiri.
Ideologi karenanya bisa bersifat sangat sempit dan personal dan ditempat lain bisa sangat
luas cakupan materi maupun tempo waktunya. Ideologi bisa hanya sebagai pegangan
pribadi seseorang maupun jadi pedoman kelompok masyarakat, bahkan sebuah “Negara-
Bangsa”.
Selanjutnya ideologi setelah mantap dalam pembentukannya akan berfungsi normatif
yang bisa mengikat masyarakat luas. Penggunaan ideologi secara normatif akan
melibatkan dua elemen pokok : (1) Unsur penyebar-luasan keyakinan dan nilai ideologi
untuk mengarah pada stabilisasi dan legitimasi. (2) Unsur yang mengandung keyakinan
dan nilai ideologis sebagai symbol kritisisme menghadapi masalah yang berkembang.
Untuk itu maka pakar politik Jurgen Habermas menekankan perlunya sebuah ideologi
untuk tetap membuka diri dan bisa selalu terbuka bagi diskusi. Sedang sosiolog Karl
Mannheim mengemukakan adanya fungsi sosial ideologi, yakni selalu siap menghadapi
perubahan yang terjadi terus-menerus dalam masyarakat atau akan bisa mengurangi
kemungkinan munculnya nilai-nilai yang mulai menampakkan konflik kemasyarakatan
(Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interests, Boston 1971; dan Karl Mannheim,
Ideology and Utopian, London 1946).
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan
Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan
demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi
Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat
dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak
lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap
moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif.
Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh
gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V - XV M), yakni keharusan
menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama.
Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari
keberadaan Allah.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua
sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di
antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun
penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif.
Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui
keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan
dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu
manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Allah akan
menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq
ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Allah. Dan dari sinilah dapat dicapai
suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan
harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Allah SWT tidaklah lebih penting
daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak
menenteramkan jiwa. Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan
tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan
jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah
ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan
Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath'i (yang
bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan
manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Allah
telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya
Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan
tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang
eksistensi Allah atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk
manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu
sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup
dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan
tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun
atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk
merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang
yang dibangun di atas landasan yang batil termasuk dalam hal ini Pragmatisme pada
hakekatnya adalah batil juga.
b. Kritik dari Segi Metode Berpikir
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiah
yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan
dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian
untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui
serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat
materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiah
sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab
yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath
Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya
hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman
sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera
ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya
yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau
dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen
untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-
33, ada dua point :
a). Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti
dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh
melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi
dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b). Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material
yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran
yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode
Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu,
Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas
daripada Metode Ilmiah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah.
Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan
Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis
yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah
hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau
dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui
kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari
keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka,
kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya
menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan
peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual
dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia
dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang
identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya,
tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah
menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau
dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan
yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas
dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide "baik individu,
kelompok, dan masyarakat" dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain,
kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan 'menurut Pragmatisme itu sendiri'
setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan
ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan
inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Kepustakaan
Anspach, Ralph, 1969, Underdevelopment and Economic Nationalism in Southeast Asia,
Cornell University Press, Ithacha, USA
Arief, Sritua , 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, Jakarta.
Arndt, H.W, 1971, Banking and Hyperinflation and Stabilization dalam Bruce Glasburner
(ed) The Economy of Indonesia, Selected Reading, Cornell university
Press, Ithacha, USA
Arief Budiman, Sebuah Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila Mubyarto, Kompas,
10 Juni 1981
Arief Budiman, 1996, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Cetakan Ketiga, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas
Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Arief Budiman, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
1996.
Arnold C. Brackman, “Cornell Paper, Di Balik Kolapsnya PKI”, Elstreba, Yogyakarta
2000.
Azed, Abdul Bari. "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia," dalam Sistem-Sistem
Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran. Jakarta: Badan Penerbit
FHUI, 2000.
Baski, Ribut (2003). “Issues of Power in the Discourse of Panakawan: The Clowns in
Javanese Wayang Kulit (Shadow Puppet).” Collection of Unedited
Conference Papers. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI. dan Fakultas
Sastra, UK Petra. Grand
Trawas, Mojokerto – Jawa Timur. Volume 1.
Beltratti, Andrea, 1989, Empirical Estimates of the Capacity to Repay a Foreign Debt: A
Vector Autogresive Methodology, The European Journal of Development
Research No 2
Darity, William and Bobby Horn, 1988, The Loan Pusher: The Role of Commercial
Banks in the International Debt Crisis, Ballinger, New Yersey.
Bogdanowich C & Bindert, 1993, Solving The Global Debt Crisis, Ballinger Publishing
Company Eschborn,
Boediono (1989) Ekonomi Moneter, BPFE, Yogyakarta.
Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan Korea
Selatan. Indonesia: Yayasan Padi dan Kapas.
Budhi Suprapto, 2006, “Memahami Keberadaan Komunikasi Massa dalam Masyarakat”,
Mata Kuliah Sosiologi Komunikasi, Tanggal 15 Desember 2006,
Universitas Muhammadiyah Malang.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Budiardjo, Miriam. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2000.
Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project,
1982.
Bruce Glassburner, “Economic Policy Makin in Indonesia, 1950-1957”, dalam Bruce
Glassburner (ed.), “The Economy of Indonesia : Selected Writing”, N.Y,
Cornell University Press 1971.
Cahyono (2009), Keajaiban Ekonomi Cina: Pemerintah Menguasai Perbankan , Selasa,
01 September 2009
CyberNews Pemerintah Gagal Membangun Dasar Ekonomi Kerakyatan, Jakarta, Senin,
1 Februari 2010
Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press,
1978. Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan
Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979),
Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Doty Damayanti( 2009), Rekonstruksi Sistem Ekonomi, Senin, 3 Agustus 2009
03:00 WIB
Dhenov, Analisa Kebijakan Ekonomi : Post Orde Lama vs Post Orde Baru , Sabtu, 07
Maret 2009.
Effendi Siregar, Amir. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: PT. TIARA
WACANA YOGYA.
Edy M. Ya`kub, Warisan Gus Dur, Kamis, 31 Desember 2009.
Emil Salim, “Seribu Hari Pertama Orde Baru 1965-1968”, dalam St. Sularto (ed.),
“Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia”,
Kompas, Jakarta 2000.
Faith, Herbert. The Indonesian Elections of 1955. Jakarta: KPG, 1999.
Notosusanto, Nugroho. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai
Pustaka, 1985.
Farid Wadjdi , Peran AS Membangun Rezim Soeharto, google 2010.
FX Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi Undip, Platform Ekonomi Tiga Capresn
Sumber : http://www.suaramerdeka.com
Fidel Castro Ruz(2000), Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, Sumber: Jurnal Kiri,
Volume 3, Oktober 2000, Penerbit: Neuron, Versi Online: Situs Indo-
Marxist , (http://come.to/indomarxist), Januari 2002
Goldfeld. Stephen M and Lester V.chandler(1990), Ekonomi Uang dan bank, Erlangga,
jakarta.
Ganjar Yuri Rahman. Nilai Azasi Kesejahteraan dalam Khazanah Ekonomi Islam: Suatu
Tinjauan berwujud Pengayaan Teori. Skripsi Sarjana Strata Satu. Jurusan
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan – Fakultas Ekonomi – Universitas
Padjadjaran. Bandung. 2007.
Gregory, Paul R. & Robert C. Stuart. Comparative Economic System. Houghton Mifflin,
Co. Boston, Toronto. 1992.
George, Susan, 2000, A Short History of Neo-liberalism, dalam Walden Bello, Nicola
Bullard, and Kamal Malhotra (ed.), Global Finance: New Thinking on
Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books