pra-perencanaan - opac - online public access...
TRANSCRIPT
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-1
BAB VI
KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN
MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN
RAMAH LINGKUNGAN
A. Pendahuluan
Perbedaan mendasar dari suatu layanan BRT dengan layanan bus
standar adalah pelayanan terhadap kenyamanan dan kepuasan
pengguna. Layanan BRT dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi
keinginan pengguna sehingga pengguna merasa aman dan nyaman
dalam menggunakannya. Pengembangan sistem BRT dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) tahapan besar yaitu; tahapan pra-perencanaan, tahapan
perencanaan, dan tahapan pasca perencanaan seperti yang ditunjukan
dalam Gambar 6. 1.
Gambar 6. 1. Pengembangan Sistem BRT
PASCA PERENCANAAN
PERENCANAAN & PERANCANGAN
PRA-PERENCANAAN
PENYIAPAN PELAKSANAAN PROYEK SAUM
SOSIALISASI
ANALISIS PERMINTAAN & PEMILIHAN KORIDOR
PERANCANGAN OPERASIONAL
PENYIAPAN RENCANA USAHA
PERANCANGAN PRASARANA
KEBIJAKAN PENDUKUNG
EVALUASI
INISIASI PROYEK SAUM
RENCANA IMPLEMENTASI
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-2
Tahapan pra-perencanaan mencakup kegiatan insisasi dan penyiapan
proyek BRT yang ditindaklajuti dengan kegiatan sosialisasi kepada para
pemangku kepentingan seperti masyarakat, operator, dan institusi
pemerintah terkait. Tahap perencanaan mencakup kegiatan analisis
permintaan dan pemilihan koridor, perancangan operasional sistem
BRT, penyiapan rencana usaha dan perancangan prasarana baik utama
maupun pedukung. Sedangkan tahapan pasca perencanaan meliputi
kegiatan penyiapan kebijakan pendukung, proses evaluasi dan rencana
implementasi.
Walaupun tahapan kegiatan dalam pengembangan sistem BRT yang
ditunjukan dalam Gambar 6. 1nampak berurutan, namun
proses yang terjadi bersifat iteratif. Seringkali beberapa tahapan
kegiatan memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang signifikan serta
harus dilakukan secara bersamaan. Sebagai contoh, analisis finansial
akan mempengaruhi keputusan terhadap aspek prasarana dan teknologi,
sementara pemilihan rute akan berdampak pada opsi rancangan jalur
BRT. Contoh diatas seringkali harus dilakukan dengan proses iteratif
untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Dilain sisi, melakukan
proses yang benar-benar ideal juga bisa berakibat situasi yang
kontraproduktif karena akan berakibat kepada penundaan dan tidak
terealisasinya rencana. Oleh karena itu perencanaan yang baik adalah
yang mampu yang mampu mengarahkan pimpinan untuk mengambil
keputusan dan menetapkan kerangka waktu pelaksanaannya tanpa
terjebak dengan paradigma berpikir untuk menyiapkan suatu rencana
yang benar-benar ideal yang kadangkala bisa berpotensi untuk
menyurutkan niat yang kuat dari pengambil keputusan untuk
melaksanakannya.
B. Komunikasi dan Sosialisasi
Proses sosialisasi dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat
untuk mengetahui pendapat dan keinginan mereka terhadap sistem BRT
yang akan dibangun. Dengan mendengarkan keinginan dari masyarakat
yang akan menggunakan maka diharapkan sistem BRT yang akan
dioperasikan dapat diterima dengan baik.
Selain itu komunikasi dengan operator angkutan umum yang ada
mutlak perlu dilakukan untuk mengenalkan BRT secara benar, agar
operator-operator tersebut dapat memandang sistem BRT sebagai suatu
peluang bisnis ke depan yang terintegrasi dengan sistem yang sudah
beroperasi.
Hal yang tidak kalah penting adalah melakukan proses komunikasi
kepada masyarakat untuk mengenalkan sistem BRT secara
komprehensif dan tepat agar masyarakat memiliki sikap yang benar dan
terbiasa untuk menggunakan sistem yang baru ini.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-3
C. Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor
Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan seperti yang
ditunjukan dalam Gambar 6. 1akan dijelaskan dalam bagian
berikut.
1. Langkah 1: Kajian terhadap Struktur Kota
Sebagaimana lazimnya untuk setiap perencanaan, adalah
melakukan evaluasi terhadap struktur ruang kota. Langkah ini
mencakup:
a) identifikasi lapangan terhadap jaringan jalan;
b) lokasi kawasan hunian, kawasan niaga dan industri;
c) karakteristik lalu lintas;
d) lingkup (cakupan wilayah) pelayanan angkutan umum
eksisting;
e) kualitas perkerasan jalan;
f) pedestrian;
g) rancang kota; dan
h) kepadatan kota dan bangunan.
Semua informasi ini dipetakan dan lebih baik menggunakan
fasilitas peta GIS maupun foto udara.
2. Langkah 2: Penyiapan Basis Data
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data tentang sistem
angkutan umum eksisting yang mencakup:
a) Sistem tarif, rute-rute baru dan lain-lain;
b) Statistik populasi dan strata sosial;
c) Rencana induk kota, dan rencana pengembangan jaringan
jalan untuk jangka pendek dan panjang;
d) Dokumen kajian terhadap sistem angkutan massal;
e) Peta wilayah kota (foto udara/ peta digital) pada skala
1:18,000; dan
f) Jika dimungkinkan ketersediaan data asal-tujuan (O-D)
perjalanan sebagai pembanding terhadap koridor-koridor
angkutan umum.
Salah satu upaya yang lazim dilakukan untuk mengantisipasi
keterbatasan data dan perangkat analisis untuk perencanaan
jangka panjang, adalah dengan melakukan pendekatan
perancangan untuk jangka pendek namun tetap
mempertimbangkan jangka panjang. Langkah yang diperlukan
adalah dengan menggunakan data permintaan eksisting
(khususnya permintaan angkutan umum) sebagai basis
perencanaan dan kemudian menguji kompatibilitas terhadap
strategi rencana jangka panjang. Kebutuhan data untuk proses
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-4
perencanaan skala penuh (prosedur empat tahap perencanaan)
adalah sebagai berikut:
a) Data asal-tujuan perjalanan pengguna angkutan umum;
b) Data sosio-ekonomi dan demografi;
c) Data rencana tata ruang wilayah;
d) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana);
(1) Panjang trayek;
(2) Ittenerarytrayek.
e) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting:
(1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam
sibuk dan jam lengang;
(2) Frekuensi per arah pd jam sibuk dan jam lengang;
(3) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pd jam sibuk
dan jam lengang;
(4) Besaran naik turun penumpang harian dan jam
sibuk/jam lenganga per arah per trayek di tiap titik
pelayanan;
(5) Tundaan (waktu dan penyebab) per trayek per arah;
(6) Waktu berhenti per trayek per arah;
(7) Waktu tunggu rata-rata di tiap titik layanan per arah
per trayek.
f) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting;
(1) Jumlah armada beroperasi per trayek;
(2) Jenis dan kapasitas (nominal) per trayek;
(3) Usia kendaraan;
(4) Konfigurasi kursi, pintu, sirkulasi, mekanisme
pengumpulan tiket, pegangan tangan, tingkat
kebisingan (internal dan eksternal) dan tingkat
emisi;
(5) Halte, Terminal/Depo
g) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana;
h) Data jaringan jalan eksisting dan rencana;
i) Model permintaan angkutan umum (bangkitan, distribusi
dan pilihan moda);
j) Model jaringan transportasi.
Bila proses analisis untuk perencanaan menggunakan metoda
cepat, maka kebutuhan data minimum adalah sebagai berikut:
a) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana);
1) Panjang trayek;
2) Ittenerary trayek.
b) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting:
1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam
sibuk dan jam lengang;
2) Frekuensi per arah pd jam sibuk dan jam lengang;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-5
3) Besaran naik turun penumpang harian dan jam
sibuk/jam lengang per arah per trayek di tiap titik
pelayanan (optional);
4) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pada jam sibuk
dan jam lengang.
c) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting;
d) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana;
e) Data jaringan jalan eksisting dan rencana.
3. Langkah 3: Analisis Permintaan
Setelah basis data disiapkan, selanjutnya adalah melakukan
analisis dan estimasi potensi permintaan (penumpang) dari
layanan ini. Metoda yang dapat digunakan adalah:
a) Menggunakan hasil survai pada trayek eksisting (faktor
muat, frekuensi, jumlah naik turun penumpang, waktu
tempuh, kondisi geometrik dan jumlah trayek yang bisa
dikonversikan);
Untuk memprediksikan besarnya permintaan dapat
menggunakan rumus berikut ini (Alvinsyah & Halim,
2012):
𝑉𝑖 = 𝑂𝑐̅̅̅̅𝑖 × 𝑓 × 𝐶𝑏 (1)
dimana:
Vi = volume penumpang pada rentang
waktu i
Oc̅̅ ̅i = Faktor muat rata-rata pada
rentang waktu i
f = frekuensi pada rentang waktu i
Cb = kapasitas kendaraan
Bila pengukuran volume dilakukan kurang dari satu jam,
maka untuk mendapatkan arus puncak dapat menggunakan
rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
𝐹𝑚𝑎𝑥 = 4 × 𝑉15-𝑚𝑎𝑥 (2)
dimana:
Fmax = arus maksimum
V15-max = volume per 15 menit maksimum
b) Bila tidak tersedia data naik turun penumpang sepanjang
koridor rencana, maka besarnya jumlah penumpang yang
menggunakan layanan dalam satu hari dapat diestimasi
dengan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-6
𝐹𝑚𝑎𝑥 =𝑅𝑑
sto× %ph × %pd (3)
dimana:
Fmax = arus maksimum
Rd = jumlah penumpang harian
Sto = seat-turnover rate
%ph = persentase jam sibuk
%pd = persentase arah sibuk
Sedangkan prosedur ricnci untuk estimasi permintaan dengan
metoda seperti yang disampaikan berikut ini dapat dilihat pada
berbagai referensi:
(1) Menggunakan faktor pertumbuhan dan hasil survai
preferensi;
(2) Menggunakan metoda elastisitas;
(3) Menggunakan model logit;
(4) Menggunakan model perencanaan empat tahap.
4. Langkah 4: Identifikasi kendala permintaan eksisting
Langkah berikutnya adalah menguji kendala-kendala dari
permintaan eksisting untuk sistem yang akan
diimplementasikan. Caranya adalah dengan menguji besaran
permintaan yang ada terhadap persyaratan permintaan layanan
bus untuk dua arah pergerakkan, jarak antara halte 300-400
meter, headway minimum 5 menit dan maksimum 1 menit (60
detik). Koridor sebaiknya memiliki guna lahan komersial
bersifat linier untuk menjamin tingkat turun naik penumpang
yang tinggi sepanjang rute.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-7
Sumber: diadaptasi dari ADB (2008)
Gambar 6.2. Proses Penetapan Koridor Angkutan Massal
Berbasis Jalan (BRT)
5. Langkah 5: Evaluasi kendala fisik (prasarana)
Langkah ke lima adalah menguji kendala fisik dari prasarana
jalan kota yang mencakup:
a) lebar jalan;
b) kesinambungan;
c) pergerakan berbelok;
d) aksesibilitas;
e) ketersediaan lahan;
f) lokasi perpindahan moda;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-8
g) lahan parkir;
h) akses lateral; dan
i) akses untuk pedestrian dan lain-lain .
Penerapan konsep prioritas untuk bus secara konvensional
cenderung terkendala oleh sistem jaringan jalan eksisting
(contoh manajemen SSA) karena sulitnya pembebasan lahan.
Oleh karena itu perlu pemikiran terobosan dalam hal
menggunakan ruang kota seperti pemanfaatan ROW jalur kereta,
sungai, lahan pribadi, pasar dipinggir jalan dan lain-lain.
6. Langkah 6 : Evaluasi jaringan angkutan umum eksisting
Langkah ke enam adalah menguji rute angkutan bus eksisting
terhadap kemungkinan rasionalisasi menjadi jalur utama (trunk)
dan jalur pengumpan (feeder). Tergantung dari lingkup
perencanaan dan ukuran kota, langkah ini bervariasi untuk setiap
koridor dan daerah cakupan yang dikaji. Lokasi perpindahan
(transfer) harus ditempat yang memudahkan pengguna untuk
melakukan perjalanan keseluruh wilayah kota melalui
perpindahan dari rute pengumpan ke rute utama atau sebaliknya
dan alternatif perjalanan lainnya. Selain itu lokasi ini juga
sebaiknya bisa menghubungkan beberapa koridor lainnya. Bila
kebijakannya adalah menggunakan sistem layanan langsung
(Direct Service) maka perlu ditentukan trayek-trayek eksisting
yang akan dilibatkan dalam sistem karena biasanya dengan
sistem ini tidak diperlukan restrukturisasi trayek. Kriteria untuk
menentukan trayek-trayek eksisting yang masuk kedalam sistem
BRT adalah besaran persentase tumpang tindih sepanjang
koridor (50% atau lebih) dan frekuensi layanan dalam satu jam
puncak (12 atau lebih). Trayek-trayek yang tidak masuk kriteria
ini tetap beroperasi sebagaimana biasanya diluar sistem BRT
7. Langkah 7 : Perbandingan Kendala Fisik dengan
Permintaandi Koridor
Langkah ketujuh adalah untuk membandingkan kendala fisik
dengan besaran permintaan pada koridor yang dikaji. Bila kedua
parameter diatas selaras maka koridor tersebut layak untuk
dijadikan rute pelayanan. Jika permintaan “captive” merupakan
faktor penting, maka permintaan dasar di koridor dapat
diperoleh melalui survai besaran permintaan (arus) penumpang
pada interval tertentu sepanjang koridor. Arus penumpang bisa
dihitung dari sampel hasil survai dinamis (on- board) naik-turun
penumpang untuk jam sibuk dan jam lengang. Alternatif lain
bila metoda ini sulit dilaksanakan adalah dengan melakukan
survai secara statis (off-board) yang mengamati frekuensi dan
okupansi setiap rute yang meliwati suatu titik pengamatan.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-9
Lokasi pengamatan dilakukan dibeberapa tempat sepanjang
koridor terutama pada segmen-segmen yang padat. Metoda
estimasi potensi permintaan seperti yang ditunjukan dalam
Langkah 3.
8. Langkah 8 : Pengujian Kendala lain pada koridor
Langkah kedelapan melibatkan evaluasi terhadap kendala-
kendala lainnya seperti ruang terbuka hijau , kawasan cagar
budaya dan faktor lingkungan lainnya.
9. Langkah9 : Identifikasi konsiderasi perencanaan untuk
lokasi perpindahan moda
Langkah kesembilan adalah mengevaluasi interaksi fasilitas
perpindahan dengan rencana tata ruang kota dan
pertumbuhannya. Kawasan hunian yang baru dapat dilayani dari
titik perpindahan dengan memperpanjang rute (bisa) berupa rute
pengumpan (tidak membuat rute yang baru).
D. Rancangan Operasional
Prinsip dasar dari perancangan sistem BRT adalah tidak diawali dari
aspek fisik atau kendaraan, namun harus diawali dengan konsep dari
sistem yang mampu memenuhi karakteristik operasional yang
diharapkan oleh pengguna. Dengan pola pendekatan perancangan seperti
ini lazimnya diperlukan langkah-langkah kompromi yang meliputi
kepentingan layanan pelanggan, efesiensi biaya, kepentingan dan
hubungan dengan operator serta kendala fisik. Sehingga untuk
menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut diatas diperlukan
pemahaman yang penuh terhadap opsi operasional dan implikasinya.
Secara umum, sebagai panduan awal terhadap pemilihan sistem BRT
berdasarkan besaran permintaan dapat menggunakan kriteria yang
ditunjukan dalamTabel 6. 1.
Tabel 6. 1. Panduan Pemilihan Sistem BRT
Permintaan (pax/jam/arah) Sistem BRT
< 2000
Prioritas bus yang sederhana, biasanya
tanpa pemisahan fisik, kemungkinan
penerapan lajur bus untuk waktu
tertentu
2000-8000
Lajur bus khusus dengan
separator,sistem layanan langsung
(direct service)untuk mengurangi
kebutuhan berpindah moda.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-10
Permintaan (pax/jam/arah) Sistem BRT
8000-12.000
Lajur bus di median dengan
separator,sistem layanan
langsung(direct service), waktu naik
bus cepat dan kecepatan operasional
yang tinggi serta pemberian Prioritas
yang baik di persimpangan
12.000-20.000
Lajur bus di median dengan
separatordan ada lajur menyiap di
halte,kombinasi layanan ekspres dan
reguler, beberapa persimpangan yang
terpisah
20.000-40.000
Lajur bus di median dengan
separatordan ada lajur menyiap di halte,
sistem trunk-feeder, layanan ekspres
dan reguler, pemberian prioritas di
persimpangan, jumlah platform lebih
dari satu di setiap halte Sumber: diolah dari berbagai sumber
1. Pola Operasi Sistem
Pembatasan jumlah operator dan kendaraan pada sistem BRT
dapat memberikan dampak yang signifikan pada kecepatan
tempuh kendaraan, lingkungan dan kualitas estetika sistem. Pola
operasi yang membatasi jumlah operator dan armada pada
koridor BRT didefinisikan sebagai sistem tertutup. Jumlah
operator, jumlah dan spesifikasi armada ditentukan berdasarkan
proses pelelangan terbuka untuk mendapatkan kualitas
pelayanan yang prima bagi pengguna. Sebaliknya pola operasi
yang tidak menerapkan pembatasan jumlah operator, armada
dan spesifikasinya didefinisikan sebagai sistem terbuka,
sehingga semua jenis armada dan pelayanan yang ada dapat
menggunakan koridor BRT.
Terkait dengan struktur jaringan pelayanan maka opsi pola
operasi untuk sistem BRT, bila tidak ada kebijakan khusus yang
disyaratkan oleh Pemerintah, dapat mengacu kepada panduan
umum dalam Tabel 6. 2.
Sebagaimana yang ditunjukan dalamTabel 6. 2, definisi terpadu
dapat diartikan sebagai operasi sistem tertutup. Sebagai catatan,
untuk sistem yang tetap mempertahankan rute layanan
menerus/langsung (direct service) dapat juga menggunakan pola
operasi sistem tertutup. Selain itu kombinasi struktur trunk-
feeder dan layanan langsung pada suatu koridor juga dapat
menggunakan pola operasi sistem tertutup.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-11
Tabel 6. 2. Panduan Sistem Operasi Angkutan Umum Jalan Raya
Permintaan
(Pax/jam/arah)
Pola
Operasi
Struktur
Jaringan Pelayanan
Jenis Armada
< 1000 Terbuka Konvensional (direct service)
1000 – 2000 Terbuka/Terpadu Konvensional/Trunk &Feeder Bus 12m, 3 pintu
2000 – 3000 Terpadu Trunk&Feeder Bus Tempel
(articulated) 3 pintu
3000 – 5000 Terpadu Trunk (Lajur khusus/Busway)
/Feeder
Bus Tempel
(articulated) 3 pintu
5000 – 10000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder,, Pra-
bayar, Platform sejajar
Bus Tempel
(articulated) 4 pintu
10000 – 18000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder, Pra-
bayar, Platform sejajar
Bus Tempel (bi-
articulated) 5 pintu,
sistem konvoi
18000 – 34000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder, Pra-
bayar, Platform sejajar , Lajur
menyiap
Bus Tempel
(articulated) 4 pintu
Sumber: Transcraft (2005)
2. Perancangan Jejaring dan Layanan
Mengacu kepada hasil analisis besarnya permintaan, sebagai
acuan untuk merancang konsep operasi dan struktur jejaring
layanan pada suatu koridor yang telah ditetapkan untuk operasi
sistem BRT, maka Tabel 6. 2dapat digunakan sebagai acuan
awal, namun idealnya dilakukan analisis permintaan sesuai
dengan kondisi masing-masing kota. Sedangkan untuk
menentukan lokasi atau karakteristik kawasan/koridor yang
sesuai dengan pola operasi dan struktur jaringan BRT, ukuran-
ukuran dalam Tabel 6. 3, dapat juga dijadikan panduan awal
dalam proses perancangan.
Tabel 6. 3. Karakteristik lokasi untuk Penerapan BRT
Permintaan
(pax/ jam/arah)
Kecepatan operasional
(km/jam)
Aplikasi
500-5000
12-15
Koridor dengan Kepadatan rendah,
pinggir kota
500-2500+
15-35
Kota kecil, pusat keramaian kota
bersejarah, pinggir kota
5000-15000
18-23
Koridor dengan kepadatan medium,
penghubung pinggir/pusat kota
15.000-45.000
20-40
Koridor dengan Permintaan
tinggi,padat dan penggunaan campur,
pusat kota Sumber: adaptasi dari Thredbo-12 (2011)
Jika diperoleh informasi tentang proporsi karakteristik
perjalanan (O-D) jarak jauh cukup tinggi maka perlu
dipertimbangkan layanan dengan rute langsung baik bersifat
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-12
ekspres atau patas yang tentunya disertai dengan ketersediaan
lajur menyiap pada setiap halte dan idealnya disediakan halte
khusus pada titik layanan untuk sistem Patas. Bila struktur
jaringan layanannya merupakan konsep trunk-feeder, maka, rute
utama (trunk) dirancang secara diametris diawali dari terminal
(titik transfer) awal dipinggir kota ke terminal akhir (titik
transfer) yang sebaiknya berada dipinggir kota juga. Untuk
mendapatkan jumlah armada yang seimbang untuk pergerakkan
di masing-masing arah, sebaiknya besaran permintaan tertinggi
berada pada segmen yang sama. Jika situasi ini tidak terjadi,
maka opsi lain seperti memotong rute layanan dipusat kota bisa
dipertimbangan sebagai opsi yang terakhir. Dengan pendekatan
seperti diatas maka:
a) Memungkinkan aksesibilitas yang lebih tinggi bagi
penumpang tanpa harus melakukan pindah moda;
b) Mengurangi biaya operasi (jarak tempuh) karena bus tidak
perlu melalui rute melingkar dengan kecepatan rendah
dikawasan pusat kota dalam rangka mencakup zona tujuan
utama sebelum kembali ke terminal awal.
Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan trunk-feeder
didalam sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi
berikut;
a) Koridor utama memiliki permintaan yang tinggi;
b) Perbedaan kepadatan penduduk diantara kawasan yang
berbeda cukup signifikan;
c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif
cukup jauh (lebih dari 10 km).
Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan layanan langsung
pada sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi
berikut;
a) Koridor utama memiliki permintaan yang rendah;
b) Perbedaan kepadatan penduduk diataran kawasan yang
berbeda relatif tidak terlalu signifikan;
c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif
tidak terlalu jauh (kurang dari 10 km).
Sistem BRT yang mempertahankan struktur jaringan layanan
langsung tidak disarankan untuk dioperasikan dengan sistem
tertutup, kecuali diterapkan sebagai sistem transisi menuju
sistem tertutup. Untuk kota yang trayek-trayeknya cenderung
menumpuk pada suatu koridor, pola operasi layanan langsung
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-13
dengan sistem tertutup bisa dipertimbangkan secara serius
karena dapat memberikan beberapa keuntungan dalam hal
penerapannya.
Namun perlu menjadi catatan bahwa tidak ada aturan yang
menetapkan bahwa salah satu sistem berikut pola operasinya
merupakan pilihan yang terbaik. Karena kedua sistem ini akan
optimal untuk situasi dan kondisi (karakteristik demografis, dan
distribusi asal tujuan perjalanan) setempat. Oleh karenanya
untuk suatu kota sangat dimungkinkan untuk menerapkan
struktur jaringan dan pola operasi yang berbeda pada masing-
masing koridor pembentuk jaringan BRT.
3. Perancangan Rute
Sistem BRT umumnya dirancang pada koridor-koridor utama
(jalan arteri) untuk menjamin kecepatan tempuh dan keandalan
operasi yang tinggi. Untuk melayani ke kawasan-kawasan
pembangkit perjalanan melalui jalan kolektor umumnya
menggunakan layanan pengumpan, sehingga rute layanan BRT
menjadi sederhana dan mudah dipahami oleh pengguna serta
tidak perlu menempuh rute yang melingkar yang berpotensi
mengurangi kecepatan tempuh total. Rancangan sistem rute
yang baik akan mampu mengoptimalkan waktu tempuh dan
kemudahan bagi sebagian besar perjalanan serta mengurangi
biaya operasional secara signifikan. Oleh sebab itu jaringan rute
yang efektif dapat dicapai bila memenuhi prinsip dasar berikut;
a) Meminimalkan jumlah penumpang transfer;
b) Menyiapkan layanan reguler/lokal, patas dan ekspres
didalam sistem BRT;
c) Memotong beberapa rute layanan untuk berfokus pada
segmen yang memiliki permintaan yang tinggi.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan
rute layanan agar dapat memenuhi prinsip-prinsip efisiensi dan
efektifitas. Kriteria-kriteria tersebut antara lain;
a) Adanya Permintaan Minimum;
b) Rute bersifat selurus mungkin;
c) Meminimalkan tumpang tindih rute;
d) Sesuai dengan karakteristik geometrik jalan;
e) Panjang rute dibatasi (dalam konteks waktu tempuh pulang
pergi);
f) Menempuh jalur yang sama untuk perjalanan pulang pergi;
dan
g) Menghindari titik (terminal) akhir pelayanan di wilayah
pusat kota.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-14
Untuk menjamin tercapainya besaran permintaan pada rute
BRT, beberapa lokasi atau kawasan dengan potensi bangkitan
perjalanan yang signifikan perlu dihubungkan adalah sebagai
berikut:
a) Kawasan pusat bisnis;
b) Sekolah dan perguruan tinggi;
c) Pusat-pusat perbelanjaan;
d) Rumah sakit dan fasilitas pelayan kesahat utama lainnya;
e) Pusat-pusat hiburan/rekreasi dan olah raga;
f) Fasilitas transportasi antar kota (regional; bandara,
pelabuhan, setasiun ka, terminal akap dll);
g) Kawasan hunian dan komersial berkepadatan tinggi.
Tingkat kelurusan rute dapat dilihat dari nilai rasio/deviasi jarak
dan rute. Nilai rasio jarak merupakan rasio jarak rute terhadap
jarak jalan, atau bisa juga merupakan rasio waktu tempuh BRT
terhadap waktu tempuh kendaraan pribadi. Untuk nilai rasio
jarak, maksimum sebesar 1.5, sedangkan untuk nilai rasio
waktu tempuh (di dalam kendaraan), maksimum pada jam
puncak adalah sebagai berikut:
a) 1.75 untuk rute radial utama;
b) 2.00 untuk rute radial;
c) 1.25 untuk rute Patas;
d) 1.15 untuk rute Ekspres;
e) 1.5 untuk rute antar pusat kegiatan (Urban);
Sedangkan nilai rasio/deviasi rute adalah sebagai berikut:
a) Waktu deviasi maksimum 5 menit untuk perjalanan satu
arah atau;
b) Waktu deviasi tidak lebih dari 25% waktu tempuh rute
utama (lurus).
Panjang rute layanan harus dibatasi untuk menjamin keandalan
operasi yang ditentukan dari waktu tempuh pulang pergi tidak
lebih dari 2 (dua) jam dan bila terpaksa maksimum 3 (tiga) jam.
Jumlah rute layanan pada suatu koridor disesuaikan dengan
besar dan karakteristik permintaan pada koridor terkait, namun
perlu dibatasi untuk memudahkan bagi pengguna dalam
mengenali layanan yang tersedia pada koridor tersebut. Secara
prinsip jumlah rute layanan perlu dirancang seminimum
mungkin, dengan pertimbangan lebih baik menyediakan sedikit
layanan dengan frekuensi tinggi dibandingkan terhadap banyak
layanan dengan ferkuensi rendah. Bila diperlukan percabangan
rute sebaiknya tidak melebihi dari 2 (dua) rute untuk setiap rute
utamanya.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-15
4. Rancangan Layanan
Frekuensi layanan serta senjang jarak antar halte merupakan
aspek komplemen dari fitur rancangan fisik dari keseluruhan
sistem BRT. Rancangan layanan ini dapat meliputi rute tunggal,
sekelompok rute dan seluruh jaringan BRT. Penyiapannya dapat
dilakukan secara bertahap sejalan dengan pengembangan
prasarananya. Ada beberapa jenis layanan dalam jaringan
operasinal BRT yang dapat dikelompokan ke dalam kategori
sistem BRT atau non-BRT dan tarif terintegrasi dengan BRT
atau tidak.
Terkait dengan struktur rute yang dirancang, dapat
dikembangkan beberapa konsep seperti berikut:
a) BRT Jenis 1 - BRT Penuh
Rute ini merupakan sistem dengan kategori ROW-A yang
memiliki lajur khusus (terpisah) di median jalan dan berada
pada koridor utama (Trunk) saja.
b) BRT Jenis 2 –BRT modifikasi
Seperti jenis 1, namun dioperasikan pada lajur bahu bila
tidak dimungkinkan pada lajurmedian.
c) Rute Utama (bus dengan prioritas);
Rute ini terintegrasi dengan BRT trunk line dan beroperasi
di jalan utama (arteri). Rute ini juga berfungsi sebagai
pengumpan untuk BRT/MRT dan juga menyediakan
layanan cross suburb. Tarif dari layanan ini terintegrasi
sepenuhnya dengan menggunakan peralatan transaksi tiket
di dalam bus atau di halte. Memungkinkan penumpang
untuk turun secara langsung di platform BRT atau MRT,
sehingga dapat menciptakan pola pindah moda yang
sempurna.
Standar layanan rute jenis ini sama seperti sistem BRT atau
MRT yang fungsinya memperluas jaringan BRT/MRT ke
daerah pinggiran kota. Agar operasionalnya lebih efisien,
diperlukan berbagai langkah pemberian prioritas seperti
prioritas lampu lalu lintas, pemisahan jalur dengan marka
jalan dan jalur antrian di lampu lalu lintas.
Karena sistem tiketnya terintegrasi, maka lembaga
pengelola BRT/MRT bertugas mengumpulkan tarif dan
membayar operator untuk layanan ini di bawah pengaturan
kontrak yang sama seperti operator trunk line.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-16
Untuk permintaan yang tinggi pada koridor trunk line di
mana ruang platform terbatas perlu dibuat fasilitas platform
khusus untuk layanan ini agar layanan trunk line tidak
terganggu.
d) Rute Pengumpan (feeder) dan lokal;
Ruteini merupakan layanan jarak pendek (layanan
lingkungan) dengan menggunakan jenis kendaraan bus
kecil atau angkot baik sebagai feeder jalur utama
(BRT/MRT) maupun ke layanan intermediate. Rute
layanan lokal ini menembus ke kawasan hunian. Peran
utama dari rute ini adalah untuk bertindak sebagai feeder ke
jaringan bus utama. Menyediakan rute layanan ini akan
menguntungkan operator Trunk Line (operator BRT) agar
dapat meresmikan operator para-transit sebagai feeder ke
sistem trunk dengan cara kemitraan formal.
Dari aspek jenis layanan untuk masing-masing rute ada beberapa
kategori:
a) Layanan Reguler
Jenis layanan ini beroperasi persis seperti layanan angkutan
massal berbasis rel yang berhenti disetiap halte sepanjang
rute layanan. Varian dari jenis layanan ini untuk koridor
yang sama adalah layanan jarak pendek yang disesuaikan
dengan profil permintaan di rute terkait, layanan bercabang
pada halte tertentu.
b) Layanan Ekspres atau Patas
Sesuai dengan karakteristik permintaan disepanjang koridor
BRT jenis layanan ekspres dan Patas dioperasikan secara
bersamaan dengan layanan reguler. Umumnya layanan ini
untuk mengakomodasikan penumpang dengan jarak
perjalanan menengah/jauh. Umumnya jenis layanan ini
dioperasikan pada saat jam puncak dan diterapkan untuk
rute BRT dan Utama.
Secara diagramatis konsep rute dan layanan sistem BRT
ditunjukan dalam Gambar 6.3.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-17
Sumber: diadaptasi dari VTA (2007)
Gambar 6.3. Hirarki Jaringan Layanan sistem BRT
5. Rentang (Waktu operasional) Layanan
Waktu (hari dan jam) operasional sistem BRT mendefinisikan
rentang waktu layanan yang disediakan untuk satu hari dan satu
minggu. Idealnya konsep waktu operasional ini dirancang
semirip mungkin seperti yang diterapkan pada angkutan massal
perkotaan berbasis rel (mis. MRT, LRT dll).Hal ini untuk
menjamin pengguna bahwa layanan BRT akan selalu ada setiap
saat tanpa perlu melihat jadwal apakah layanan yang dibutuhkan
tersedia apa tidak. Tabel 6. 4dapat dijadikan panduan umum
untuk rancangan rentang waktu layanan BRT. Walaupun rentang
waktu layanan untuk rute BRT dimungkinkan dirancang secara
bertahap, namun sangat disarankan untuk diterapkan secara
penuh sepanjang hari dan sepanjang minggu agar citra dari
sistem BRT (yang serupa dengan layanan MRT atau LRT) tetap
terjaga.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-18
Tabel 6. 4.Rentang Layanan BRT
Jenis Jalur
Utama
Pola Layanan Rentang Waktu Layanan
Hari Kerja Sabtu Minggu
Jalan Arteri
Lalu Lintas
Campuran
Berhenti di tiap
Halte
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
Lajur Bus (Bus
lane)
Rute terkoneksi Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
Jalan Bebas Hambatan
Lalu Lintas
Campuran
Non-Stop
(fungsi
distribusi lokal)
Sepanjang hari Sepanjang hari
-
Lajur Bus
khusus/Lajur
Kendaraan
berpenumpang
banyak
Komuter
ekspres
Jam Sibuk
- -
Jalur Bus khusus (Busway)
N/A Berhenti di tiap
halte
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
N/A Pelayanan
langsung
Siang Hari atau
Jam Sibuk - -
N/A Layanan
Pengumpan
Siang Hari,
Sepanjang
Hari/Jam Sibuk
Siang Hari Siang Hari
N/A Rute
penghubung
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
Sumber TCRP Report 90 (2003)
Rentang waktu layanan dalam satu hari lazimnya berkisar antara
18 – 20 jam yang diharapkan dapat mencakup:
a) Waktu awal dan akhir “shift” jam kerja pegawai (mis.
pekerja rumah sakit, pertokoan dll), terutama bagi yang jam
kerjanya berbeda dengan jam kerja konvensional;
b) Waktu buka dan tutup pusat perbelanjaan dan kawasan
komersial lainnya;
c) Jadwal jam belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi;
d) Jam buka dan tutup fasilitas layanan publik seperti
museum, perpustakaan dll;
e) Jam operasional pusat hiburan dan rekreasi atau olah raga;
f) Layanan transportasi antar kota/wilayah seperti bandara,
pelabuhan, stasiun dan terminal bus.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-19
6. Frekuensi Layanan
Frekuensi layanan pada prinsipnya dirancang sesuai dengan
besarnya permintaan pada koridor layanan dan ukuran
kendaraan yang digunakan pada tiap jenis layanan di koridor
(rute) yang sama. Namun rancangan frekuensi layanan ini harus
tetap memenuhi standar layanan seperti untuk angkutan massal
perkotaan berbasis rel dan standar pelayanan minimum yang
ditetapkan oleh pemerintah kota setempat (atau nasional) untuk
sistem BRT.Tabel 6. 5dapat dijadikan panduan umum bagi
rancangan frekuensi layanan sistem BRT.
Tabel 6. 5.Frekuensi Pelayanan
Jenis Pelayanan
Frekuensi (menit)
Jam
Sibuk
Tengah
Hari
Malam
hari
Akhir
Pekan
Reguler (berhenti di tiaphalte) 5 – 10 8 - 12 12 - 15 12 - 15
Ekspres 8 – 12 10 - 15 - -
Pengumpan 5 – 15 10 - 20 10 - 30 10 - 30
Komuter ekspres 10 – 20 - - -
Rute bus yang terhubung 5 – 15 5 - 20 10 - 30 10 - 30 Sumber : TCRP Report 90 (2003)
Namun idealnya frekuensi layanan dihitung untuk menjamin
tercapainya kapasitas layanan sesuai dengan besarnya
permintaan berdasarkan data lapangan dengan rumus berikut
(Alvinsyah & Halim, 2012):
𝑓 =𝐹𝑚𝑎𝑥
𝐶𝑏 (4)
dimana:
f =frekuensi per jam
Fmax =arus (flow) per jam maksimum
Cb =kapasitas bus
ℎ𝑖 =60 menit
𝑓 (5)
dimana:
hi = waktu senjang waktu diawal(initial
headway)
f = frekuensi per jam
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-20
7. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada
Kapasitas dari sistem BRT harus dirancang untuk memenuhi
tujuan berikut:
a) Memenuhi besarnya permintaan (eksisting dan ramalan);
b) Mencapai kecepatan rata-rata komersial 25 km/jam atau
lebih;
c) Meminimalkan waktu tempuh pintu ke pintu dari
pengguna.
Secara umum kapasitas dan kinerja sistem BRT ditentukan oleh:
a) Kapasitas bus;
b) Kualitas rancangan jalur khusus bus;
c) Lajur menyiap pada halte;
d) Perlakuan prioritas di simpang;
e) Jumlah dan posisi platform serta lebar pintu di halte;
f) Waktu henti bus di halte yang yang merupakan fungsi
dari:
(1) Jumlah dan lebar pintu;
(2) Sistem pemantau dan kendali jadwal operasi Bus.
Untuk jalur utama sebaiknya menggunakan jenis armada dengan
kapasitas angkut yang tinggi (contoh bustemple/Articulated)
terutama untuksistem dengan jalur khusus. Armada eksisting
dapat digunakan, sejauh memenuhi standar minimumpelayanan
pengumpan (feeder) terutama untuk jalur-jalur tanpa lajur
khusus.
Jenis dari bus yang harus digunakan dapat ditetapkan dengan
mengestimasi kapasitas bus yang sesuai dengan besarnya
permintaan pada koridor yang dirancang sebagaimana berikut
(ITDP, 2007);
𝐾 =𝑃
𝑂 𝑥 𝐹 𝑥 𝑃𝑙𝑎 (6)
dimana,
K = Kapasitas Bus yang dibutuhkan (pax/bus)
P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada
koridor (pax/jam/arah)
F = Frekuensi layanan (kend/jam)
O = Faktor muat
Pla = Jumlah platform pada halte (buah)
Frekuensi layanan dapat mengacu keTabel 6. 5sedangkan faktor
muat untuk jam sibuk berkisar antara 0.8 – 0.9 dan untuk jam
tidak sibuk berkisar antara 0.65 – 0.8.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-21
Mengacu ke Tabel 6. 6maka dengan melihat korelasi antara
kapasitas dan jenis bus dapat ditetapkan ukuran/dimensi/jenis
bus yang sesuai untuk koridor yang dirancang.
Tabel 6. 6. Jenis, Dimensi dan Kapasitas Bus
Jenis Kendaraan Panjang
Kendaraan (m)
Kapasitas
(penumpang/
kendaraan)
Bus Tempel Ganda (Bi-
articulated)
24 240-270
Bus Tempel (Articulated) 18.5 120-170
Tandem 15 80-100
Bus Tingkat (Double Decker) 12-15 80-130
Tunggal (Standard) 12 60-80
Bus Sedang (Midi) 6 25-35
BusMini (Van) 3 10-16 Sumber: ITDP (2007)
Sedangkan untuk menentukan jumlah armada yang dibutuhkan
dan panjang rutenya belum diketahui, dapat diestimasikan
dengan menggunakan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012):
𝑁 =(𝑃 𝑥 𝑇𝑠𝑖𝑘)
𝐾 (7)
Dimana,
N = Jumlah armada yang dibutuhkan untuk
operasional (bus)
P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada
koridor (pax/jam/arah)
Tsik = Waktu tempuh total pulang pergi (menit)
K = Kapasitas bus (pax/bus)
Sedangkan untuk menentukan jumlah total armada yang perlu
disediakan dihitung dengan rumus berikut (TRB-a, 2007);
𝑁𝑡 = 𝑁 + (𝑁 𝑥 𝑘) (8)
Dimana,
Nt = Jumlah total armada yang harus disediakan (bus)
N = Jumlah armada yang dibutuhkan untuk
operasional (bus)
k = konstanta cadangan ( 10% dari N)
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-22
8. Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(Halte)
Karena prasarana sistem BRT dapat dibangun secara bertahap,
maka sejalan dengan pertambahan permintaan, maka kebutuhan
jumlah platform pada suatu titik layanan (Halte) dalam sistem
Trunk&Feederdapat diestimasi dengan rumus berikut (ITDP,
2007);
𝑋 = 𝑇𝑑 ∗ 𝐹 + [ (𝑃𝑏 ∗ 𝑇𝑏) + (𝑃𝑎 ∗ 𝑇𝑎)] (9)
Dimana,
X = tingkat saturasi platform pada halte
Td = Waktu henti rata-rata bus di halte (detik)
F = Frekuensi layanan (kend/jam)
Pb = Jumlah penumpang naik (pax)
Pa = Jumlah penumpang turun (pax)
Tb = waktu rata-rata tiap penumpang untuk naik (detik)
Ta = waktu rata-rata tiap penumpang untuk turun (detik)
Batas saturasi platform pada suatu halte adalah sebesar 0.4,
sedangkan waktu rata-rata yang dibutuhkan tiap penumpang
untuk menaiki bus sebesar 3 detik dan untuk turun dari bus
sebesar 2 detik (bisa menggunakan data langsung dari survey
lapangan untuk kondisi setempat). Bila dari hasil hitungan
didapati nilai saturasinya melebihi 0.4, maka situasi ini
merupakan indikasi perlunya penambahan platform pada halte
terkait.
9. Rancangan titik layanan (Halte)
a) Lokasi titik naik/turun penumpang (halte)
Secara umum, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan letak perhentian adalah:
(1) Lokasi dekat dengan konsentrasi pergerakan
penumpang, seperti pemukiman, perkantoran,
pertokoan, rumah sakit atau sekolah;
(2) Dapat dilakukan analisis dampak lalu lintas akibat
adanya perhentian;
(3) Jarak berjalan (walking distance) bagi calon
penumpang;
(4) Lokasi perhentian harus terlihat jelas/tidak terhalang;
(5) Pada malam hari, perhentian dapat diterangi lampu
dengan baik;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-23
(6) Kemiringan longitudinal jalan pada lokasi perhentian
tidak lebih dari 4%;
(7) Untuk menghindari dampak antrian, apabila bus akan
berbelok ke kanan setelah perhentian, lokasi perhentian
harus paling sedikit 50 m dari tempat berbelok dan
apabila lalu lintasnya meningkat maka jaraknya menjadi
75 m atau 100 m. Apabila bus akan berbelok ke kiri
maka jarak perhentian dengan tempat berbelok minimal
35 m;
(8) Apabila ada guna lahan yang khusus, seperti sekolah,
rumah sakit, lokasi tersebut harus diberi prioritas untuk
lokasi perhentian;
(9) Lokasi perhentian tidak boleh berdekatan dengan objek-
objek yang dapat menganggu/mempengaruhi perhentian;
(10) Cukup untuk melindungi penumpang dari panas dan
hujan pada saat mereka menunggu bus;
Selain itu, dalam penentuan lokasi perhentian, juga harus
memperhatikan satu faktor penting lainnya, yaitu pengaturan
arus lalu lintas di sekitar lokasi perhentian tersebut. Aktivitas
naik-turun penumpang yang menyebabkan bus harus berhenti
pada titik perhentian tersebut secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi arus lalu lintas di sekitarnya.
Halte/stasiun harus ditempatkan dekat dengan sistem
persinyalan lalu lintas, fasilitas persimpangan dan u-turn
untuk lalu lintas umum (yang harus dibuat sistem
persinyalannya), sehingga akselerasi menuju/dari
halte/stasiun dapat membuat bus berjalan sesuai dengan
kecepatan yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan hambatan pada waktu tempuh secara
keseluruhan.
Lokasi halte/stasiun dapat berdekatan dengan persimpangan,
dimaksudkan untuk meminimalkan akselerasi bus dan
memaksimalkan perpindahan penumpang dengan rute yang
berseberangan.
b) Rentang jarak antar titik naik/turun penumpang
Jarak antar halte idealnya dirancang pada rentang 400 - 500
m di koridor dengan karakteristik guna lahan campuran
(hunian dan komersial). Pada segmen yang kepadatannya
lebih rendah jaraknya bisa diperbesar. Dilain sisi bila
diperlukan, jarak tersebut dapat diperkecil (contoh
untukkawasan CBD). Berdasarkan kepadatan kegiatannya,
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-24
maka panduan umumu ntuk jarak halte ditunjukkan dalam
Tabel 6. 7.
Tabel 6. 7. Panduan Rentang Jarak Halte
Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat
Henti (m)
1 Pusat kegiatan sangat padat:
pasar, pertokoan
CBD, Kota 200 - 300*)
2 Padat : perkantoran,
sekolah, jasa
Kota 300 - 400
3 Permukiman Kota 300 - 400
4 Campuran padat : perumahan,
sekolah, jasa
Pinggiran 300 - 500
5 Campuran jarang : perumahan,
ladang, sawah, tanah kosong
Pinggiran 500 - 1000
(*) = jarak 200m dipakai bila sangat diperlukan, sedangkan jarak umumnya 300m
Sumber: Puslidat (2012)
c) Penentuan lokasi titik pindah moda (transfer)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
lokasi titik transfer adalah;
(1) Titik transfer harus ditempatkan pada lokasi yang
strategis untuk memfasilitasi sistem trunk-feeder;
(2) Setiap daerah pelayanan lokal dengan bus pengumpan
harus berada dalam jangkauan halte bus (trayek utama)
atau setasiun kereta;
(3) Titik transfer harus ditempatkan sedekat mungkin
dengan pusat kegiatan utama di daerah pelayanan lokal;
(4) Titik transfer harus dihubungkan dengan jaringan jalan
dengan klasifikasi fungsi yang lebih tinggi;
Fasilitas transfer/perpindahan penumpang dari jalur feeder
menuju jalur utama dan sebaliknya juga memerlukan
perencanaan, manajemen dan kesiapan infrastruktur
pendukung. Secara global, tiga hal yang mutlak direncanakan
dan disiapkan dalam pembangunan dan operasional fasilitas
transfer meliputi:
(1) Pengaturan arus penumpang;
(2) Penyediaan sistem informasi;
(3) Pengaturan integrasi sistem tiket;
(4) Penjagaan keamanan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-25
E. Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT
Pemilihan teknologi, penyediaan dan pengoperasian kendaraan
merupakan hal yang rumit dan bergantung pada faktor hukum,
operasional, kelembagaan dan strategi yang berbeda untuk setiap kasus.
Gambar 6.4menunjukkantahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan
kendaraan. Dengan mengikuti empat tahapan utama yang dijelaskan
pada Gambar 6.4, akan menjamin bahwa karakteristik kendaraan yang
dipilih akan memenuhi semua persyaratan operasional yang diperlukan
demi menjamin kelangsungan sistem finansial. Tahap awal dan
merupakan tahap yang paling penting melibatkan identifikasi kebutuhan
spesifik dari proyek dan persyaratan untuk kebutuhan armada angkutan.
Sebagian besar proses analisisuntuk hal ini ditetapkan sebelum
merampungkan spesifikasi teknis. Secara umum, hal mendasar untuk
memilih kendaraan mencakup:
1) Ukuran kendaraan;
2) Chassis dan konfigurasi badan;
3) Pilihan desain interior;
4) Bahan bakar dan teknologi pendorong;
5) Pilihan estetika;
6) Pilihan docking kendaraan.
Gambar 6.4Tahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan
kendaraan
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu
teknologi moda dan pabrik yang akan dipilih dirangkum dalam
Tabel 6. 8.
Tabel 6. 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan
Teknologi Moda
Kategori Faktor
Biaya Biaya pembelian
Biaya pemeliharaan
Nilai jual kembali
Fitur kendaraan Kapasitas penumpang
Pilihan desain interior
Estetika
Dukungan pabrik Pabrik pendukung di dalam negeri
Kompetensi teknisi
Cakupan dan kondisi jaminan layanan Pabrik
Ketahanan Rekam jejak suatu teknologi di negara maju
DEFINISIKAN
KEBUTUHAN
IDENTIFIKASI
DAN ANALISIS
TEKNOLOGI
YANG TERSEDIA
PROSES EVALUASI
DAN PEMILIHAN
DEFINISIKAN
PROSES
PENGADAAN
3 421
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-26
Kategori Faktor
Tingkatan keahlian yang diperlukan untuk
pemeliharaan dan pengoperasian
Kelayakan untuk perbaikan di jalan
Persentase yang diharapkan dari up-time in operation
Keandalan
Daya usia kendaraan
Pengisian Bahan bakar Waktu untuk pengisian bahan bakar
Jenis dan biaya yang dibutuhkan untuk stasiun
pengisian bahan bakar
Keamanan Kekuatan struktur badan kendaraan
Disain rangka (chasis)
Efektifitas sistem rem
Proteksi anti kebakaran
Perangkat keadaan darurat
Lingkungan Emisi lokal (NOX, SOX, CO, PM, gas beracun)
Emisi global (CO2, N2O4, CH4)
Tingkat kebisingan suara
Zat buangan lain (zat buang padat, zat buang minyak,
dsb)
Aturan yang terkait dengan
regulasi lokal
Berat kendaraan maksimum
Batasan Tinggi, Lebar dan Panjang Kendaraan
Sumber: ITDP (2007)
Pemilihan jenis bahan bakar dan teknologi penggerak akan memberikan
dampak pada biaya operasional, biaya pemeliharaan, prasarana
pendukung dan juga tingkat emisi. Kondisi setempatmerupakan
pertimbangan yang sangat penting dalam pemilihan jenis bahan bakar
dari moda BRT ini karena ketersediaan bahan bakar dan pengalaman
untuk merawat suatu teknologi kendaraan tertentu merupakan faktor
kunci.Secara umum, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menilai
kualitas lingkungan dari suatu moda BRT, yaitu:
1) Tingkat emisi.
Standar emisi merupakan mekanisme yang paling banyak
digunakan untuk membedakan tingkat emisi dari berbagai macam
pilihan bahan bakar. Standar emisi dari US EPA dan Komisi Eropa
(Tabel 6. 9) dapat dijadikan acuan.
2) Standar kualitas udara di sekitar.
Beberapa kota mempunyai standar kualitas udara yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mengatur perbaikan kualitas
lingkungan dari kinerja operasional kendaraan. Meskipun jarang
digunakan pada negara berkembang dan secara umum tidak
terhubung secara langsung dengan sistem transportasi, standar
kualitas udara dapat memberikan justifikasi untuk bahan bakar yang
lebih bersih dan standar emisi yang lebih ketat untuk pemilihan
moda BRT.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-27
3) Kualitas bahan bakar.
Untuk BRT, sangat disarankan untuk menggunakan kendaraan
berbahan bakar yang lebih bersih dan kompatibel dengan bahan
bakar berkualitas yang tersedia.
4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak
Secara umum, regulator hanya mengatur standar tingkat emisi yang
diperbolehkan tanpa mengatur spesifikasi teknologi yang
digunakan, sehingga hal ini memberikan fleksibilitas bagi operator
untuk mempertimbangkan bahan bakar yang akan digunakan,
kecuali ada kebijakan khusus terhadap penggunaan jenis bahan
bakar tertentu
5) Tingkat kebisingan suara di dalam dan di luar bus
Suara kendaraan yang amat keras selain membahayakan kesehatan
juga merusak citra dari pelayanan angkutan umum. Sehingga
tingkat kebisingan suara yang masih dapat ditenggang perlu
ditetapkan pada saat proses pengadaan moda BRT.
Tabel 6. 9. Standar Emisi Euro untuk Kendaraan Berat
Standar CO
(g/kWh)
HC
(g/kWh)
NOx
(g/kWh)
PM
(g/kWh)
Sertifikasi
kandungan
sulfur dalam
bhn bakar(ppm)
Kemungkinan teknologi
yang dibutuhkan
Euro I 4.5 1.1 8.0 0.612 2.000 Injeksi bahan bakar
bertekanan tinggi untuk
kendali PM, timing retard
(perlambat waktu) untuk
kendali NOx
Euro II
(1996)
4.0 1.1 6.8 0.25 500 semua mesin merupakan
turbocharged,injeksi bahan
bakar bertekanan tinggi dan
optimisasi waktu yang lebih
baik.
Euro
III
(2000)
2.1 0.66 5.0 0.1
350 Terdapat tambahan dari
teknologi sblmnya, kendali
elektronik untuk injeksi
bahan bakar,
Euro
IV
(2005)
1.5 0.46 3.5 0.02 50 Sebagai tambahan dari
teknologi sebelumnya,
terdapat EGR atau Selektif
Katalis (SCR) untuk
mengurangi NOx lebih
banyak. Beberapa mesin
menggunakan penyaring
khusus diesel (DPFs) dan
sebagian besar
menggabungkan dengan
katalis oksidasi
Euro V
(2008)
1.5
0.46 2.0 0.02 10 Serupa dengan teknologi
sebelumnya tapi
menggunakan SCR yang
lebih terpercaya.
Sumber: ITDP (2007)
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-28
Faktor-faktor yang menjadi pertimbanganpemilihan jenis bahan bakar
dan teknologi penggerak dari moda BRT adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan bahan bakar dan fluktuasi harga
Tidak semua jenis bahan bakar tersedia, terutama di negara-negara
berkembang bahan bakar yang paling banyak tersedia umumnya
solar dan listrik. Sementara terkait dengan fluktuasi harga, operator
harus mempertimbangkan resiko jika terjadi kelangkaan bahan
bakar yang digunakan di masa depan, sehingga teknologi moda
yang akan digunakan harus dipilih dengan resiko terjadinya
peningkatan harga bahan bakar yang paling kecil.
2) Keandalan
Merupakan hal yang serius jika terjadi kerusakan kendaraan pada
sistem BRT karena akan menyebabkan kemacetan di jalur BRT,
sehingga menimbulkan gangguan pelayanan. Jika tingkat kerusakan
kendaraan sangat tinggi, sementara kapasitas kemampuan untuk
merawat kendaraan rendah dan kemampuan pendanaan (modal)
dari operator lemah, maka lebih baik menggunakan moda dengan
bahan bakar dan teknologi penggerak alternatif lainnya.Selain itu
perlu diperhatikan, kinerja dari suatu teknologi kendaraan
tergantung pada:
a) Keadaan iklim dan suhu masing-masing tempat.
b) Kebijakan pemerintah
c) Dampak terhadap lingkungan
Jenis-jenis bahan bakar yang biasanya dipertimbangkan untuk
sistem BRT, diantaranya yaitu:
a) Solar standar;
b) Solarbersih;
c) Gas alam terkompresi (CNG);
d) Gas petrolium cair (LPG);
e) Bio-solar; Ethanol;
f) Hybrid-electric (diesel-electric and CNG electric);
g) Hydrogen (fuel cell technology).
Alternatif atau opsi lain yang juga dapat digunakan pada moda BRT
seperti teknologi fly-wheel, Di-Metil Eter (DME), dan bahan bakar
campuran (misalnya, emulsi air dalam minyak). Salah satu
teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi pada
bahan bakar solardengan kadar sulfur rendah (Euro), adalah dengan
menggunakan alat tertentu yang ditambahkan pada mesin
kendaraan, seperti (WestStart-CALSTART,2004):
a) Diesel Particulate Filters;
b) Diesel Oxidation Catalysts;
c) Selective Catalytic Reduction (SCR);
d) Lean NOx Catalysts;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-29
e) Exhaust Gas Recirculation;
f) Variable Valve Timing;
g) Variable Geometry Turbochargers.
Sumber: ITDP (2007)
Gambar 6.5. Pilihan Bahan Bakar dan Sistem Penggerak
Teknologi lainnya yaitu dengan mencampur bahan bakar diesel dengan
campuran tertentu sehingga diperoleh blending stock, seperti bio-diesel
(B20), diesel/water emulsion, diesel/ethanol emulsion.
Dengan teknologi pengurangan emisi tersebut ataupun menggunakan
bahan bakar alternatif, akan diperoleh pengurangan emisi yang cukup
signifikan bila dibandingkan menggunakan bahan bakar diesel standar,
yang dirangkum dalamTabel 6. 10.Sementara itu keuntungan dan
kerugian dari masing-masing jenis bahan bakar pada moda BRT
dirangkum dalamTabel 6. 11.
Tabel 6. 10. Persentase Perubahan Emisi relatif terhadap Emisi
Buangan Diesel Standar
PM NOx
Diesel particulate filter (DPF) -90 +5
Exhaust Gas Recirculation <+5 -50
Diesel Oxidation Catalyst -20 sampai -50 0
Lean Nox Catalyst 0 -25
Lean Nox Catalyst&DPF >-85 -25
Seelctive Catalytic
Reduction(SCR) -25 -70
Bio Diesel (B20) -10 +2
Diesel w/ Water emulsion -63 -14
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-30
PM NOx
(PuriNox)
Diesel w/ethanol emulsion
(puranol,O2diesel) -40 -5
CNG -90 -30
Dual Fuel(CNG/Diesel) -70 -50
Grid Connected(catenary
overhead wires) -100 -100
Diesel Hybrid Electric (with
after treatment) -99 -44
Gasoline Hybrid Electric >-90 >-95 Sumber: WestStart-CALSTART,(2004)
Tabel 6. 11. Keuntungan dan Kerugian Masing-Masing Jenis
Bahan Bakar dan Teknologi Penggerak
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian
Diesel bersih Efisien dalam penggunaan
bahan bakar
Emisi kendaraan diesel
bervariasi tergantung pada
kondisi lokal seperti
ketinggian, tekanan atmosfir,
kelembaban dan iklim.
Menghasilkan emisi yang
lebih rendah bila
dibandingkan dengan mesin
diesel standar
Kualitas perawatan
kendaraan dan integritas
rantai pasokan bahan bakar
juga akan mempengaruhi
emisi beberapa mesin diesel
tertentu.
Daya tahan kendaraan yang
sangat baik
Perawatan kendaraan yang
mudah
Teknologi mesin diesel
sudah sangat matang
Merupakan mesin kendaraan
yang paling banyak
diproduksi
Harga kendaraan yang
kompetitif
CNG Hampir tidak mengandung
sulfur dan menghasilkan
pembakaran yang cukup
bersih sehingga
menghasilkan emisi yang
sangat rendah
Untuk beberapa jenis emisi
tertentu, kinerja mesin CNG
tidak lebih baik dari mesin
diesel
Dengan densitas energi yang
rendah, maka untuk
penyimpanan di dalam
kendaraan perlu di kompres
di dalam suatu silinder yang
besar.
Menghasilkan emisi gas
rumah kaca yang berbeda
sedikit dengan mesin diesel,
akan tetapi dengan adanya
kebocoran gas metana justru
menghasilkan total emisi gas
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-31
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian
rumah kaca yang cukup
signifikan
Membutuhkan keahlian
khusus untuk perawatan yang
mungkin tidak biasa bagi
negara berkembang
Mungkin menghadapi
masalah kekuatan mesin pada
daerah perbukitan, dataran
tinggi dan beberapa suhu
tertentu
Infrastruktur stasiun
pengisian bahan bakar
membutuhkan biaya yang
cukup besar
Membutuhkan waktu untuk
pengisian bahan bakar sekitar
20-40 menit
Listrik (Trolley) Menghasilkan nol emisi
pada saat penggunaan
(sementara total emisi yang
dihasilkan bergantung pada
jenis bahan bakar yang
dipakai untuk pembangkit
listrik)
Harga kendaraan hingga 3x
lipat harga kendaraan diesel
Pada saat beroperasi, mesin
kendaraan menghasilkan
suara yang hampir tidak
terdengar
Biaya pengoperasian sangat
bergantung pada harga listrik,
dimana deregulasi listrik
dapat mengganggu kestabilan
finansial model
Mempunyai karakteristik
berkendara yang mulus
Untuk memodifikasi rute
membutuhkan biaya yang
sangat mahal
Daya usia kendaraan yang
lebih lama (hingga 2x usia
kendaraan diesel
Membutuhkan pembangunan
jaringan saluran listrik untuk
waktu implementasi yang
lebih lama
Memiliki resiko gangguan
pelayanan jika terjadi
gangguan listrik kecuali
kendaraan mempunyai
cadangan penggerak diesel
Biaya insfrastruktur bisa
mencapai 2x lipat sistem
BRT non-trolley
Keberadaan kabel, pos dan
trafo dapat menimbulkan
masalah estetika khususnya
di daerah historis.
Dapat membahayakan
pejalan kaki/pengguna jalan
yang mempunyai masalah
pendengaran, karena suara
mesin yang hampir tidak
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-32
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian
terdengar.
Hibrida-Listrik Menawarkan keunggulan
bahan bakar yang ekonomis
Harga kendaraan lebih mahal
dibandingkan kendaraan
dengan mesin diesel biasa
Menghasilkan emisi yang
rendah
Dapat membahayakan
pejalan kaki/pengguna jalan
yang mempunyai masalah
pendengaran, karena suara
mesin yang hampir tidak
terdengar.
Suara mesin kendaraan yang
rendah
Biofuel Berpotensi menghasilkan nol
emisi gas rumah kaca
total emisi gas rumah kaca
yang dihasilkan dari
memproduksi biofuel dan
faktor-faktor yang dapat
meningkatkan emisi gas
rumah kaca masih sangat
sedikit dipahami.
Untuk memproduksi biofuel
dibutuhkan bahan pangan
dengan jumlah yang sangat
besar, sehingga
mempengaruhi kebutuhan
pangan masyarakat.
Harga kendaraan lebih mahal
dibandingkan kendaraan
dengan mesin diesel biasa
Bahan bakar sel
(hidrogen)
Emisi yang sangat rendah Bahan bakar hidrogen
sebagian besar diperoleh dari
proses elektrolisis, sehingga
emisi yang dihasilkan terkait
langsung dengan jenis
teknologi yang digunakan
pembangkit listrik untuk
menghasilkan hydrogen
tersebut
2-3x lebih efisien daripada
bahan bakar bensin
Belum tersedia secara
komersil sehingga
membutuhkan subsidi yang
sangat besar
Harga kendaraan lebih mahal
dibandingkan kendaraan
dengan mesin diesel biasa Sumber: diolah dari berbagai sumber
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-33
F. Penyiapan Rencana Usaha
1. Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya
Lembaga pengelola merupakan komponen penting untuk
menjamin suatu sistem BRT dapat dioperasikan secara optimal.
Secara struktur, lembaga pengelola ini dapat berada dibawah
suatu Lembaga Otorita Transportasi atau dapat juga langsung
berada dibawah Pimpinan wilayah kota. Lembaga ini bersifat
otonom dalam hal perencanaan, pengelolaan dan pengendalian
layanan Bus dalam lingkup jejaring BRT.
Lembaga ini merupakan suatu entitas dangan karakteristik
korporasi (mis. BUMD, BUMN) yang beroperasi selayaknya
unit usaha komersial yang lepas dari pola struktur pemerintahan
yang ada, sehingga bisa menyelesaikan persoalan atau kendala
lintas batas wilayah administratif dengan asumsi berada dibawah
suatu lembaga (otorita) yang berwenang terhadap penetapan
kebijakan strategis perkotaan (lintas batas wilayah
administratif). Oleh karenanya kebijakan strategis transportasi
suatu kota harus memuat panduan bagi lembaga pengelola ini
untuk beroperasi dan menterjemahkan atau memformulasikan
strategi politik yang telah terkoordinasi kedalam bentuk target
usaha (bisnis), lingkup layanan, dan standar layanan. Hal ini
dipadukan dalam bentuk rencana operasional dan menjadi
rencana usaha (bisnis) lembaga ini.
Lembaga pengelola sistem BRT ini (termasuk jaringan layanan
pendukungnya) berfungsi sebagai unit usaha yang bertanggung
jawab untuk:
a) Perencanaan jaringan trayek dan pengembangan layanan;
b) Perolehan pendapatan;
c) Pengelolaan efisiensi sistem dan biaya;
d) Menjamin kinerja finansial;
e) Mengelola pengumpulan hasil tiket dan kebijakan tarif;
f) Mengelola dan meng enforce kontrak dengan operator bus;
g) Pemenuhan layanan bagi pelanggan, keluhan dan
kehumasan serta pemasaran dan promosi.
Tupoksi dari lembaga ini juga mencakup:
a) Pengembangan dan penerapan rencana perolehan
pedapatan dan pemasaran;
b) Pengelolaan finansial dan administrasi;
c) “Benchmarking”pemulihan biaya dari sistem;
d) Pemeliharaan sistem dan prasarana;
e) Analisis/evaluasi dan pengelolaan resiko;
f) Pengelolaan kontrak untuk para operator bus.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-34
Tugas dan administrasi dari lembaga ini dipandu melalui standar
prosedur operasi (SPO) untuk mengendalikan dan mengelola
sistem dan kontrak dengan para operator bus. Suatu SPO khusus
harus dikembangkan untuk:
a) Pemantauan dan pengendalian operasi;
b) Tindak tanggap kendaraan yang mogok;
c) Tindak tanggap keadaan darurat dan kecelakaaan;
d) Permohonan bantuan teknis dan malfungsi;
e) Tindak tanggap aspek keselamatan dan keamanan;
f) Prosedur pelaporan;
g) Prosedur pengawasan kualitas;
h) Pengawasan dan audit operasi perusahan bus (PO);
i) Pengumpulan pendapatan dan sistem tiket;
j) Penyediaan dokumen sistem manajemen kualitas (QMS)
sebagai lampiran dari dokumen kontrak operator bus yang
berisi panduan operasional dan ukuran kinerja termasuk
manual bagi pengemudi, dan manajemen serta manual
pemeliharaan kendaraan.
Konsep struktur organisasi dari lembaga pengelola ini
ditunjukan dalam Gambar 6.6.
Sumber: Adaptasi dari JICA(2012)
Gambar 6.6. Konsep Struktur Organisasi Lembaga Pengelola
Basis dari struktur organisasi ini fokus pada pola manejemen
korporasi dan manajemen operasional layanan pelanggan, yang
terdiri dari:
CEOBusiness Unit
Legal and Audit
Finance InfrastructureAdministrationMarketing &
PRPlanningOperations
Inspection Customer
Service
Human Resources
Contract Management
Control Center
Optimise Services
NetworkFare Collection
& TicketingMaintenanceIT & SystemsScheduling
Performance Evaluation
Information &
CommunicationPenjadwalan
Pusat Kendali
Manajemen Kontrak
Pengawasan
Jaringan
Optimalisasi Layanan
Evaluasi Kinerja
Layanan Pelanggan
Informasi & Komunikasi
Pengumpulan Pendapatan & Sistem Tiket
Sistem & Teknologi Informasi
SDM
Pemeliharaan
OPERASI PERENCANAANPEMASARAN
& HUMASKEUANGAN TATA USAHA PRASARANA
KEPALA LEMBAGA
Hukum & Audit
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-35
o Dewan Pengawas: Mewakili pemangku kepentingan atau
pemegang saham.
o Kepala lembaga: Bertanggung jawab terhadap aspek
kontraktual, aspek legal yang terkait operator bus,
koordinasi dengan lembaga pengelola moda angkutan
umum dan sektor terkait lainnnya (Kereta, MRT, pusat
rekreasi/perbelanjaan). Melalui divisi-divisi yang ada,
lembaga ini menangani berbagai hal yang terkait dengan
perencanaan dan pengoperasian sistem (BRT) serta hal-hal
kehumasan, keselamatan dan kemanan.
o Kepala Divisi: Bertanggung jawab untuk kegiatan harian
dan terhadap kepala lembaga
o Jenis Divisi:
(1) Divisi Operasi: Bertanggung jawab untuk
modifikasi/penyesuaian operasi jejaring bus,
memformulasikan standar dan panduan operasional,
manajemen operasional bus, dan pemantauan
operasional bus.
(2) Divisi Keuangan : Bertanggung jawab untuk
manajemen perolehan pendapatan dan distribusi hasil
pendapatan serta operasional sistem tiket
(3) Divisi Perencanaan: Bertanggung jawab untuk
pengembangan usaha (bisnis) dan perencanaan jejaring
layanan berbasiskan panduan rencana strategi jejaring
angkutan massal dan strategi perolehan pendapatan
dan pemasaran.
(4) Divisi Pemasaran dan Humas: Bertanggung jawab
terhadap penerapan strategi perolehan pendapatan dan
pemasaran (bersama sama dengan Divisi Perencanaan)
dan mengelola hubungan dengan publik dan media
untuk mempromosikan citra dari sistem (BRT) serta
menanggapi isu-isu yang berpotensi mengurangi
tingkat kepercayaan dan penerimaan publik terhadap
sistem (BRT).
(5) Divisi Tata Usaha: Bertanggung jawab terhadap
administrasi secara umum, sumber daya manusia,
kehumasan dan masalah-masalah keuangan.
(6) Divisi Prasarana: Bertanggung jawab terhadap
perencanaan dan pengembangan prasarana, serta
manajemen aset (seperti perbaikan dan perawatan)
2. Penyiapan Model Usaha (Bisnis)
Model usaha dan manajemen sangat penting untuk disiapkan,
karena akan menentukan keberlanjutan dan kinerja keseluruhan
dari sistem operasi BRT serta mempengaruhi berbagai aspek
fitur rancangan dari sistem ini. Manajemen yang berorientasi
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-36
pada aspek komersial akan mengarah kepada penerapan pola
operasi berbasiskan prinsip-prinsip usaha (bisnis) untuk
meningkatkan porsi pangsa pasar, meningkatkan perolehan
pendapatan dan mengelola pembiayaan secara efisien. Karena
keberlanjutan sistem ini akan sangat tergantung pada perolehan
pendapatan, maka manajemennya harus fokus pada aspek
pengembangan usaha, penyediaan layanan pelanggan dan
menjamin pemenuhan terhadap standar layanan dan operasi.
Oleh karenanya, paradigma dari penyiapan model usaha adalah
meminimalkan atau bahkan menghilangkan konsep subsidi
pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam
penyiapan model usaha, aspek-aspek yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut;
3. Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan Kaidah
Bisnis
Rencana operasional yang merupakan bagian dari kebijakan
strategis transportasi perkotaan lazimnya menetapkan basis dari
aspek usaha (bisnis) dan kelayakan dari sistem (BRT). Karena
rencana operasional menentukan lingkup dari sistem dan standar
tingkat layanan, maka akan sangat mempengaruhi perencanaan
dan perancangan prasarana dan sarana dari sistem seperti,
dimensi halte dan kapasitas kendaraan, kondisi fisik jalur BRT
dan kebijakan tarif.
Oleh karenanya model usaha juga harus mengestimasi cakupan
layanan yang disyaratkan dan pembiayaan untuk layanan
tersebut yang pada akhirnya menentukan besarnya tarif
komersial (total biaya aktual dibagi dengan estimasi jumlah
penumpang). Bila ada kebijakan pemerintah untuk menetapkan
tarif publik dibawah tarif komersial, maka pemerintah harus
menyiapkan pengganti selisih kekurangan tarif komersial
tesebut yang lazim didefinisikan sebagai subsidi bagi pengguna.
4. Efisiensi Operasional
Upaya efisiensi penting bagi keberlanjutan sistem yang bisa
dicapai melalui dua aspek yaitu efisiensi (pengurangan) jumlah
armada yang dioperasikan (pengurangan BOK) dan efisiensi
pada sisi penumpang (peningkatan layanan, peningkatan jumlah
penumpang dan peningkatan pendapatan). Aspek utama untuk
meningkatkan efisiensi adalah meningkatkan kecepatan tempuh
rata-rata kendaraan yang dapat dilakukan melalui rancang
bangun jalur BRT dan pengaturan prioritas bus di simpang.
5. Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran
Aspek perolehan pendapatan dan pemasaran merupakan
penjabaran dari kebijakan strategis yang ditetapkan oleh
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-37
lembaga (otoritas) yang berada diatasnya. Pemahaman terhadap
aspek ini tidak terbatas hanya pada mengelola sistem (BRT) dan
menyediakan layanan, namun secara aktif mengembangkan pola
layanan dan menumbuh kembangkan usaha (bisnis) nya.
Pemasaran bukan merupakan kegiatan terpisah namun bagian
terpadu dari tupoksi lembaga ini .Gambar 6.7 mengilustrasikan
hubungan antar divisi terkait dengan isu layanan pelanggan.
Sumber: Adaptasi dari JICA (2012)
Gambar 6.7. Relasi dan Respon terhadap Isu Layanan Pelanggan
Kebalikan dari situasi lazimnya, lembaga ini harus mengelola
sistem berbasiskan permintaan sehingga penekanannya pada
pengembangan perolehan pendapatan dan pemasaran dengan
strategi sebagai berikut;
a) Analisis pemangku kepentingan untuk tiap kelompok utama
(mis. pengguna, pengemudi mobil&motor, wanita, pelajar,
kelompok berkebutuhan khusus, angkot, PO, komunitas
usaha, sekolah dan perguruan tinggi);
b) Mengembangkan layanan yang memenuhi kebutuhan
pelanggan (kemudahan, keandalan, keselamatan,
keterjangkauan) dan utamanya untuk menjamin konektifitas
(kemudahan untuk mencapai tujuan dan opsi pindah moda);
c) Mengembangkan “merk” dari sistem (BRT) yang menarik
dan mudah dikenali;
d) Mengembangkan strategi komunikasi untuk kelompok-
kelompok tertentu;
Divisi Humas & PemasaranPengendalian Masalah
Peghubung ke masyarakatSiaran pers
Unit Perencanaan
Perencanaan tindakanperbaikan
Isu rancangan sistem
Data dan informasiAnalisa kinerja
Umpan balik pelangganEkspose media yang
negatifSurvey lapangan
Divisi Operasi
Isu operasionalTanggapan dan Ralat
Peghubung
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-38
e) Menyediakan sistem informasi yang baik dan mudah
dipahami oleh pelanggan;
f) Mendorong dan mengembangkan kegiatan khusus bagi
partisipasi publik;
g) Mengembangkan konsep untuk promosi peningkatan
layanan.
Karena strategi pemasaran bukan hanya sekedar melaksanakan
kegiatan pemasaran, namun terkait dengan pembangunan kinerja
usaha (bisnis) lembaga dan kemudian menawarkan/menjualnya
pada pelanggan, maka sebagai bagian dari strategi
pengembangan usaha, rencana perolehan pendapatan dan
pemasaran harus mencakup:
a) Pencapaian kinerja usaha melalui:
(1) Pemahaman kebutuhan pelanggan, situasi persaingan
usaha, dan harapan pemerintah dan pemangku
(2) Pelatihan kompetensi dan kemampuan untuk
memberikan layanan pelanggan yang baik
(3) Penjaminan terhadap operasional, pemeliharaan,
keselamatan dan keamanan yang baik
(4) Penyediaan layanan yang handal (sistem transaksi dan
operasional armada)
(5) Pemasaran dan dan sistem informasi yang efektif serta
pencitraan lembaga yang baik
(6) Pemantauan dan pengukuran kinerja layanan
b) Mempertahankan dan meningkatkan kinerja sistem melalui:
(1) Pemantauan kepuasan dan keluhan pelanggan;
(2) Pemantauan para pesaing;
(3) Pengukuran efektifitas upaya penjualan dan
pemasaran;
(4) Identifikasi kinerja yang buruk dan pengambilan
tindakan korektif secara dini;
(5) Pengelolaan biaya dan terus menerus mencari peluang
untuk meningkatkan efisiensi;
(6) Pengembangan dan pencarian peluang untuk
meningkatkan perolehan pedapatan;
(7) Upaya mempertahankan peningkatan layanan secara
konsisten dan menerus.
c) Strategi perolehan pendapatan dan pemasaran
harusmendefinisikan:
(1) Posisi dari pemasaran produk dan layanan serta pangsa
pasarnya;
(2) Strategi memperoleh keuntungan (meningkatkan
efisiensi/mengembangkan sumber perolehan
pendapatan);
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-39
(3) Strategi pengembangan (growth) jangka pendek dan
panjang.
d) Pembedaan “merk” melalui:
(1) Pemahaman karakteristik pelanggan dan harapannya;
(2) Pemahaman kekuatan dan kelemahan pesaing serta
pemahaman aturan main pasar;
(3) Pembedaan produk melalui “merek” (mengkaitkan
“merek” dengan kebutuhan pasar).
6. Strategi Komunikasi untuk Identitas Lembaga
Upaya kampanye yang berorientasi pada hasil untuk aspek
perolehan pendapatan dan pemasaran harus:
a) Fokus pada pelanggan dan persaingan
(1) Mentargetkan pertumbuhan secara terpola;
(2) Survey pelanggan dan pesaing - apa yang menjadi
kebutuhan dan motivator utama? Bagaimana produk
bisa dikaitkan untuk memenuhinya?
b) Menjamin konsolidasi internal yang efektif
(1) Pengukuran kinerja para staf (layanan pelanggan
merupakan paradigma dan komitmen dari seluruh
staf);
(2) Komitmen pimpinan dan sumber daya yang
dikerahkan untuk mengembangkan dan
mempertahankan kualitas layanan.
c) Membangun koalisi dengan pihak lain
(1) Sekolah, pusat perbelanjaan, instansi pariwisata dan
operator transportasi lainnya;
(2) Membangun strategi saling menguntungkan (win-win)
dengan pihak eksternal;
(3) Menyiapkan rencana komunikasi untuk membangun
hubungan;
(4) Upaya melalui mekanisme persuasif untuk penjualan
langsung.
d) Menjaring pelanggan untuk membeli layanan dengan harga
lebih tinggi
(1) Mencari peluang perolehan pendapatan yang lain dan
menggunakan metoda pemasaran langsung;
(2) Menggunakan strategi tarif yang kreatif dan
membangun nilai (value) untuk pelanggan;
(3) Memberi apresiasi dan mempertahankan kesetiaan;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-40
e) Mengunakan komunikasi melalui pencitraan
(1) Membangun citra dari sistem melalui berbagai atribut
yang jelas seperti kemudahan, keandalan,
penghematan waktu, penghematan biaya;
(2) Identitas “merk” yang jelas pada armada dan
prasarana, titik layanan pelanggan, sistem transaksi
dan pegawai (staf).
f) Mengukur efektifitas pemasaran
(1) Indikator kuantitatif dan kualitatif;
(2) Manfaat jangka pendek dan panjang;
(3) Hasil yang tidak bisa diukur (dampak samping dan
manfaat yang tidak bisa diukur).
7. Perencanaan Operasional
Rencana operasional menetapkan lingkup bisnis,
mempertimbangkan tujuan politik, memperhatikan kebutuhan
masyarakat, memprediksi besarnya permintaan, menentukan
persyaratan prasarana dan menetapkan tingkat pelayanan dan
standar kinerja. Dokumen ini juga menentukan bagaimana usaha
(bisnis) dioperasikan dan bagaimana menyiapkan layanan
angkutan umum di level strategis
Rencana strategis yang komprehensif dan efektif meliputi:
a) Tujuan yang jelas dan ditetapkan pada realitas komersial
(keberlanjutan finansial)
b) Menetapkan tarif yang terjangkau oleh masyarakat dan
mampu menutupi biaya operasional
c) Menetapkan tarif teknis (operator) yang sesuai bagi
operator untuk memenuhi standar kualitas layanan yang
disyaratkan
d) Menyediakan pendanaan yang memadai untuk lembaga
yang ditetapkan untuk mengelola usaha (bisnis) layanan
angkutan umum
e) Mengalokasikan dan mendistribusikan resiko usaha secara
proporsional sesuai kemampuan pihak terkait dalam usaha
layanan angkutan umum
Secara Khusus rencana operasional menetapkan:
a) Prediksi besarnya permintaan (penumpang):
(1) Berdasarkan model permintaan (jam sibuk dan
lengang)
(2) Mempertimbangkan hari libur nasional dan sekolah)
(3) Mengestimasi profil arus penumpang dan tingkat
pergantian penumpang
(4) Mengantisipasi pertumbuhan permintaaan (akibat
perpindahan moda)
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-41
b) Prediksi perolehan pendapatan:
(1) Rata-rata tarif yang dibayar dikalikan jumlah
penumpang;
(2) Pendapatan bukan dari tiket (iklan, penyewaan dll);
(3) Kebijakan tarif untuk meningkatkan perolehan
pendapatan dan pangsa pasar;
(4) Pendapatan tidak langsung dari kebijakan pendukung
(parkir, pajak jalan, pajak BBM dll);
(5) Kompensasi dari subsidi untuk penumpang.
Bila telah ditetapkan rentang perioda layanan jam sibuk dan jam
lengangnya, maka untuk menghitung besarnya jumlah
penumpang dapat dihitung dengan menggunakan rumus
(Alvinsyah&Halim, 2012):
𝑅𝑑 = 𝑡𝑜 × [{(�̅�𝑎𝑝
+ 𝐹𝑏𝑝
) × �̅�𝑝} + {(�̅�𝑎𝑜𝑝
+ �̅�𝑏𝑜𝑝
) × 𝑇𝑜𝑝}]
(10)
dimana,
Rd = Jumlah penumpang naik (pax/hari)
�̅� = Arus penumpang maksimum rata-rata (pax/jam)
a,b = Arah pergerakk arus penumpang
to = Turnover rate
p = Jam puncak (sibuk)
op = Jam lengang (tidak sibuk)
T = Rentang waktu layanan
Mengacu ke TRB (2007),turnover rate, berkisar antara 1.2
sampai 2.0 penumpang per bus tergantung pada struktur rute dan
kawasan yang dilayani.
Dengan diketahuinya jumlah penumpang yang naik, maka dapat
dihitung potensi perolehan pendapatan berdasarkan tarif publik
yang ditetapkan.
a) Pembiayaan sistem;
b) Pembiayaan sistem mencakup biaya investasi dan biaya
operasional yang antara lain meliputi pembiayaan:
(1) armada;
(2) Manajemen (termasuk sistem transaksi (tiket);
(3) Pemeliharaan sistem;
(4) Komunikasi dan teknologi;
(5) Promisi.
c) Operator
(1) Gaji dan biaya lain (tunjangan sosial,
pelatihandanseragam);
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-42
(2) Bahan bakar, ban dan perawatan kecil (servis);
(3) Cuci danperawatan besar;
(4) Asuransi dan kecelakaan;
(5) Cadangan.
Komponen biaya untuk menghitung biaya operasional secara
umum ditunjukan dalam Tabel 6. 12.
Tabel 6. 12. Komponen biaya operasional
KOMPONEN BIAYA KETERANGAN*
Awak Bus
Gaji Bulanan
Tunjangan harian/bulan
Tunjangan sosial/bulan
Biaya BBM Konsumsi: 1-3 km/Liter
Biaya ban
4baru and 6 rekondisi/bus
Daya tahan: 30.000 km/ban
Perawatan kecil frekuensi: setiap 5.000 km
Perawatan besar frekuensi: setiap 10.000 km
Pemeriksaan Umum frekuensi: setiap 150.000 km
STNK Tahunan
Izin trayek Tahunan
Harga Bus
- Rangka
- Karoseri
Depresiasi: 7 tahun
Nilai sisa: 20%
Mesin Pendingin(AC):
- Unit baru
- Depresiasi
- Perawatan tahunan
- Perbaikan tahunan
Depresiasi: 7 tahun
Perawatan: 5% dari harga Unit baru
Perbaikan: 15% dari harga unit baru
Penggunaan BBM 1:10
Montir 20 orang/50 bus
Gaji Bulanan&insentif
Manajemen
Pegawai Bengkel, depo, manajemen,
kantor
Biaya operasional untuk depo berikut
kantornya
Biaya perawatan peralatan kantor, depo
dan bengkel
Biaya perawatan gedung kantor, depo
&bengkel
Nilai sisa dari kantor, depo dan bengkel Sumber:Diolah dari berbagai operator bus
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-43
Salah satu komponen dasar penyusun biaya operasional adalah
jumlah kendaraan yang dioperasikan. Untuk mengestimasikan
jumlah kendaraan minimum yang beroperasi dengan panjang
rute yang telah diketahui dapat menggunakan rumus
(Alvinsyah&Halim, 2012);
𝑛𝑜𝑝 =(2𝐿
𝑉⁄ +60)+𝑅𝑡
ℎ=
2𝐿×60
𝑉×ℎ+
𝑅𝑡
ℎ (11)
dimana,
nop = Jumlah bus operasional
Rt = Waktu “lay over” (menit)
L = Panjang rute satu arah (km)
V = Kecepatan rencana (km/jam)
H = headway (menit)
Dan jumlah total bus yang diperlukan dihitung dengan
rumus(Alvinsyah&Halim, 2012);
𝑛𝑡𝑜𝑡 = 𝑛𝑜𝑝 + 𝑆𝑝 (12)
dimana,
ntot = Jumlah total bus
Sp = Jumlah bus cadangan
Jumlah bus cadangan bisanya sebesar 10 – 20% dari jumlah bus
yang dioperasikan (TRB, 2007). Dilain sisi produktifitas
masing-masing bus merupakan bagian penting dari biaya
operasional yang dapat dihitung dengan rumus
(Alvinsyah&Halim, 2012);
𝑁𝑟𝑖𝑡 =𝑇𝑜𝑝−𝑇𝑠𝑝𝑏𝑢
𝑇𝑟𝑡+𝑅𝑡 (13)
dimana,
Nrit = Jumlah ritase total (pp)
Top = Rentang waktu operasional (menit)
Tspbu = Waktu untuk mengisi BBM (menit)
Trt = Waktu tempuhpulang pergi (menit)
Dan , 𝑇𝑟𝑡, waktu tempuh satu siklus layanan (pp) dihitung
dengan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012);
𝑇𝑟𝑡 =(2𝐿×60)
𝑉+ 𝑇𝑙𝑜 (14)
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-44
Dimana Tlo adalah waktu lay over di terminal. Untuk
mengestimasi produktifitas seluruh armada yang beroperasi,
maka perlu dihitung total jarak tempuh dari armada
yangdioperasikan. Ada tiga kategori jarak tempuh untuk masing-
masing bus yaitu jarak tempuh produktif (efektif), jarak tempuh
kosong dan jarak tempuh total yang dapat dihitung dengan
rumus (BSTP, 2010);
𝑬𝒇𝒇𝒅𝒊𝒔 = 𝑵𝒓𝒊𝒕 × 2L (15)
𝑬𝒎𝒑𝒅𝒊𝒔 = 𝟑% × 𝑬𝒇𝒇𝒅𝒊𝒔 (16)
𝑻𝒕𝒐𝒕𝒅𝒊𝒔 = 𝑬𝒇𝒇𝒅𝒊𝒔 + 𝑬𝒎𝒑𝒅𝒊𝒔 (17)
dimana,
Effdist = Jarak tempuh efektif (km)
Empdist = Jarak tempuh kosong (km)
Ttotdis = Total jarak tempuh (km)
Mengacu kepada Kemenhub-DitjenDat (2002) jarak tempuh
kosong direkomendasikan sebesar 3% dari jarak tempuh total.
Untuk menyiapkan model operasional perlu dikembangkan
beberapa skenario:
a) Kecepatan tempuh
b) Jenis dan konfigurasi Bus
c) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak
d) Tingkat Layanan
e) Tarif
Keluaran dari model operasional lazimnya berupa biaya per
kilometer dan biaya per penumpang (tarif komersial) yang
menjadi dasar penetapan perolehan pendapatan dan rencana
usaha yang beroerientasi pada keuntungan.
8. Kebijakan Tarif dan Subsidi untuk Pengguna (Fare Policy
and User Subsidy)
Sistem angkutan massal yang modern harus mendasarkan
kebijakan tarifnya pada tujuan yang jelas (seperti kualitas
layanan dan keberlanjutan) tanpa mengesampingkan aspek
keterjangkauan. Basis untuk menetapkan kebijakan tarif dapat
mempertimbangkan:
a) Memaksimalkan peluang perolehan pendapatan dengan
menciptakan layanan yang mau dibeli oleh penumpang;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-45
b) Memberikan insentif berupa diskon untuk penggunaan
layanan yang intensif, mencitrakan BRT sebagai pilihan
gaya hidup, menjamin tarif yang terjangkau dan bersaing
bagi pelaku perjalanan komuter;
c) Memberikan diskon pada kelompok pengguna tertentu
yang paling membutuhkan (lansia & pelajar);
d) Menghitung tarif berdasarkan jarak tempuh perjalanan dan
menetapkan tarif yang sesuai dan mudah (pembulatan) bagi
pelanggan.
9. Penerapan Subsidi
Seringkali sistem BRT dianggap bebas dari subsidi karena
tingkat efisiensi dan kapasitas angkutnya. Hal ini benar untuk
situasi dan kondisi yang ideal dan memang ada beberapa sistem
yang operasional tidak memerlukan subsidi. Akan tetapi,
seringkali ditemukan berbagai isu yang menjadi beban
operasional, sehingga untuk dapat mempertahankan standar
layanan yang disyaratkan, Pemerintah perlu memberikan
dukungan berupa insentif untuk:
a) Layanan yang tidak layak secara komersial (malam hari,
akhir minggu). Bentuk layanan bisa dibantu dengan
menerapkan konsep kewajiban layanan publik (PSO) agar
pemerintah memiliki dasar hukum untuk menyediakan dana
bantuan.
b) Kepentingan strategi kebijakan transportasi yang lebih luas
seperti mempromosikan penggunaan angkutan umum
melalui kebijakan insentif atau tarif khusus (diskon) dengan
memberikan kompensasi untuk menutupi sebagian
kekurangan dari tarif komersial, atau memberikan subsidi
untuk beberapa komponen biaya atau
c) Memberikan subsidi pada komponen biaya tertentu seperti
subsidi untuk bahan bakar.
d) Suatu kebijakan tertentu yang berdampak pada
penambahan biaya seperti persyaratan penggunaan bahan
bakar alternaif seperti CNG.
e) Dukungan sementara waktu sampai sistem BRT mencapai
skala ukuran layanan yang memungkinkan untuk mandiri
secara finansial.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-46
G. Penyiapan Kebijakan Pendukung
1. Integrasi Moda
Untuk mengoptimalkan BRT menjadi sistem yang efisien, maka
harus terintegrasi dengan moda lainnya yang tidak boleh
dianggap sebagai pesaing, namun harus dimanfaatkan sebagai
perpanjangan layanan BRT.Akses pejalan kaki merupakan salah
satu yang mutlak untuk difasilitasi. Akses pejalan kaki harus
disediakan dengan baik setidaknya untuk radius 500meter dari
tiap–tiap halte. Akses pejalan kaki yang disediakan juga harus
aman dari kendaraan bermotor dan terlindung dari cuaca panas
ataupun hujan. Selain itu, akses pejalan kaki juga harus
mempermudah pejalan kaki untuk mengakses bangunan ataupun
toko – toko di sekitar halte. Selain dari berjalan kaki,
penggunaan sepeda ke stasiun terdekat merupakan alternatif bagi
para pengguna untuk mencapai halte. Namun penggunaan
sepeda harus dilengkapi dengan prasarana yang memadai seperti
jalur sepeda. Layaknya jalur pejalan kaki, jalur sepeda yang ada
juga harus memberikan rasa aman dan nyaman kepada para
pengguna. Tidak hanya jalur sepeda, parkir sepeda juga harus
tersedia dengan baik. Parkir yang disediakan haruslah memiliki
keamanan yang baik dan terhindar dari cuaca hujan. Moda lain
yang masih jarang diintegrasikan dengan BRT adalah taksi. Pada
banyak kota besar, peredaran taksi merupakan salah satu faktor
kemacetan yang terjadi di dalam kota. Peredaran taksi dalam
membuat kemacetan tidak hanya saat mengantarkan penumpang,
namun juga saat mencari penumpang. Untuk mengurangi
pergesekkan taksi dalam mencari penumpang, taksi dapat
dintegrasikan dengan halte BRT sehingga dapat menjadi
alternatif moda bagi para pengguna BRT dalam melanjutkan
perjalanan. Pengendara taksi juga tidak harus berputar – putar
untuk mencari penumpang mereka. Kemacetan lalu lintas pun
juga dapat berkurang dengan hilangnya aktivitas taksi dalam
mencari penumpang. Integrasi fisik, pemasaran, promosi sistem
dan struktur tarif merupakan kunci kesuksesan dalam integrasi
sistem. Integrasi fisik yang berupa bangunan dan penandaan
yang jelas dapat mempermudah pengguna untuk berganti moda.
Promosi dan pemasaran dapat dilakukan untuk memperkenalkan
sistem terintegrasi kepada publik. Sistem satu tarif merupakan
integrasi yang paling baik sehingga para pengguna tidak
bingung dengan pembayaran tarif yang berkali–kali ataupun
berbeda–beda. Selain integrasi dengan angkutan dalam kota,
integrasi yang dibangun sebaiknya juga dengan angkutan antar
kota ataupun jarak jauh, seperti bus antar kota, setasiun kereta
ataupun bandara. Integrasi dengan layanan antar kota akan
melengkapi sistem transportasi kota yang efektif.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-47
2. Manajemen permintaan perjalanan
Sistem BRT yang berkualitas dapat mengubah struktur mobilitas
kota. Penggunaan insentif yang tepat dapat memperkuat
perjalanan sistem angkutan yang baru, menyangga
restrukturisasi kota berkelanjutan, mengarahkan pada
penambahan pendapatan lingkungan dan ekonomi, dan
menciptakan rasa kebersamaan yang lebih besar melalui
peningkatan akses dan mobilitas. Mekanisme TDM dan teknik
manajemen mobilitas memperlihatkan bagaimana insentif yang
benar dapat mengarahkan orang menggunakan moda
transportasi berkelanjutan. Mekanisme tersebut,seperti yang
dilakukan di beberapa (misalnya Green Travel Plans, Travel
Blending, jalan berbayar, tarif perpakiran),telah sangat berhasil
dalam memindahkan pelaku perjalanan komuter keopsi
angkutan umum dan kendaraan tak bermotor.
3. Integrasi dengan Perencanaan GunaLahan
Sistem BRT yang benar dapat mendukung pengembangan
ekonomi berkelanjutan. Pemilihan titik stasiun yang tepat dapat
mengembangkan pembangunan komersial dan perumahan di
area tersebut. Pemilihan rute ataupun stasiun secara strategis
dapat membuat sistem BRT menjadi lebih baik sekaligus
mendorong perkembangan kota. Dengan berkembangnya area
komersial dan perumahan di sekitar koridor BRT, kemudahan
akses akan diperoleh para pengguna untuk menjangkau area –
area tersebut. Selain itu, sistem BRT akan menjadi sarana
transportasi kota yang efektif dan efisien. Hasil akhirnya adalah
bahwa kota dapat memberikan infrastruktur dasar seperti air,
pembuangan, dan listrik dengan penghematan yang signifikan
bagi kawasan pengembangan yang terkonsentrasi dan
terkoordinasi.
H. Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT
Proses implementasi ini membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari
pengambil keputusan serta kepastian untuk menjamin proses ini. Oleh
karena itu, proses ini merupakan bagian kritis untuk mewujudkan
perencanaan BRT yang telah dipersiapkan secara efisien dan ekonomis.
1. Rencana Pendanaan
Pembiayaan BRT dapat terbagi menjadi tiga kelompok aktivitas
; perencanaan, infrastruktur dan armada ( bus). Tiap aktivitas
biasanya meliputi berbagai skema pembiayaan yang berbeda
seperti yang ditunjukan dalamTabel 6. 13.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-48
Tabel 6. 13. Sumber Pendanaan BRT
Aktivitas Sumber Pembiayaan
Perencanaan Sistem
Sumber-sumber lokal dan nasional
Lembaga Bantuan Asing Bilateral
Lembaga dibawah PBB
Lembaga Internasional
Lembaga Donor Swasta
Pembangunan Infrastruktur Sumber-sumber lokal dan nasional
Lembaga Internasional
Pengadaan Bus Lembaga Bantuan Asing
Bank-bank komersial
Sumber: ITDP (2007)
2. Opsi – opsi Pembiayaan Lokal
Sebelum mencari pendanaan internasional, sebaiknya pihak kota
harus mencari opsi–opsi yang memungkinkan untuk melakukan
pembiayaan lokal. Biaya implementasi BRT yang relatif rendah
memungkinkan Pemerintah kota menggali sumber pendanaan
lokal seperti;
a) Pendapatan dari pajak daerah dan pusat;
b) Pendapatan parkir;
c) Biaya kemacetan;
d) Pendapatan dari Pengembangan komersial di Terminal dan
Halte Utama serta kawasan sekitarnya;
e) Pedapatan dari Iklan.
3. Penentuan Operator
Berbagai mekanisme penentuan operatordapat dilakukan dengan
kekurangan dan kelebihan dari tiap opsi. Pemilihan
operatordapat dilakukan melalui pemilihan langsung atau
lelang/tender. Pemilihan langsung diberikan kepada operator
yang rutenya terkena restrukturisasi, dengan catatan operator
mampu memenuhi standar layanan yang ditetapkan oleh
pemerintahserta peraturan perundangan memungkinkan untuk
proses ini. Tujuan penunjukan langsung dimaksudkan untuk
meminimalkan dampak sosial dengan adanya restrukturisasi rute
tersebut.
Penetapan operator melalui lelang dikenakan untuk rute-rute
baru. Metode lelang ini merupakan metode terbaik sebagai alat
untuk menentukan operator. Melalui lelang diharapkan akan ada
evaluasi secara berkala sehingga operator yang tidak mampu
mempertahankan kinerjanya harus rela digantikan oleh operator
lain. Sehingga diharapkan akan terjadi kompetisi sehat yang
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-49
berujung pada pengguna akan mendapatkan layanan yang
memadai sesuai dengan tarif yang dibayarkan.
Guna menunjang penetapan operator maka pemerintah harus
menetapkan terlebih dahulu standar layanan yang diharapkan,
mekanisme pembayaran tiket, kriteria pemenang lelang serta
penetapan kode trayek dan mungkin termasuk warna
armada/bus. Melalui mekanisme lelang ini diharapkan
penumpang akan mendapatkan layanan yang memadai dan dapat
melakukan pengawasan serta akan mendapatkan harga/tarif yang
semurah mungkin dengan pelayanan sebaik –
baiknya.Mekanisme pemilihan operator diilustrasikan dalam
Gambar 6.8.
Gambar 6.8. Mekanisme Pelelangan dan Perizinan
Mekanisme diawali dengan pengumuman lelang dari Lembaga
pengelola. Pada pengumuman ini disertakan persyaratan yang
harus dipenuhi dan kriteria penilaian pemenang lelang. Sebagai
kriteria penentuan pemenang lelang antara lain bahwa operator
haruslah berupa badan usaha atau koperasi, mempunyai
kesiapan untuk mengadakan armada angkutan, mempunyai
kemampuan untuk mengoperasikan angkutan, dan lain – lain
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat ditentukan pemenang
lelang yaitu operator yang akan mampu memberikan layanan
terbaik dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat (tidak
selalu harus yang memberikan tawaran paling murah).
Pemenang lelang akan membuat kontrak operasional dengan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-50
Lembaga pengelola. Isi kontrak secara umum akan meliputi
kewajiban dan hak operator serta sangsi jika operator tidak dapat
memenuhi ketentuan – ketentuan dalam kontrak. Sebaliknya
operator dapat menuntut haknya jika Lembaga Pengelola (atau
regulator/pemerintah) tidak memberikan apa yang menjadi hak
operator.
Pada saat yang sama setelah ditandatangani kontrak operasional
maka pemerintah berkewajiban untuk menerbitkan ijin
operasional kepada operator pemenang lelang. Setelah operator
pemenang lelang memegang izin operasional, maka segera
mengoperasikan armadanya tersebut sesuai dengan lingkup yang
disepakati dalam kontrak operasi. Pada jangka waktu tertentu
(misalnya setiap 2 tahun) sesuai dengan kontrak maka perlu
diadakan evaluasi kinerja operator dalam memberikan layanan
kepada penumpang pada trayek sesuai dengan hasil lelang.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut jika hasil kinerja operator
pemenang lelang dinilai baik maka kontrak dan ijin dapat
diperpanjang, tetapi jika dinilai tidak baik maka kontrak diputus
dan izin operasional dicabut. Dengan pencabutan ini maka untuk
kelancaran operasional bisa ditawarkan pada operator lain yang
beroperasi dalam sistem atau dilakukan lelang baru untuk
memberikan kesempatan kepada operator lain demikian
seterusnya.
4. Tahap persiapan aspek legal
Sama seperti rencana implementasi program pembangunan
lainnya, aspek legal menjadi aspek dasar pertama yang perlu
dipersiapkan karena kesemuanya, baik pada tahap perencanaan,
persiapan maupun implementasinya memerlukan suatu
perangkat hukum yang mengatur tugas, wewenang dan
pembagian tugas dari berbagai instansi yang terkait. Legalitas
memberikan batasan yang jelas arah dan tujuan dari pelaksanaan
sistem ini dan konsekuensi operasional yang nanti akan terjadi.
Secara global, komponen-komponen yang perlu dipersiapkan
perangkat hukumnya adalah:
a) Komponen sistem dan fisik operasional sistem, seperti jalur
pelayanan, infrastruktur pendukung dan sistem operasional;
b) Kelembagaan pengelola sistem, yang meliputi organisasi
pengelola, operator bus dan pengelola tiket;
c) Keterkaitannya dengan kebijakan penunjang lainnya,
seperti kebijakan pemerintah tentang perencanaan
transportasi.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-51
Keputusan dan peraturan yang ada tersebut harus memberikan
penjelasan dan uraian yang mendetail mengenai segala
komponen di atas agar nantinya tercipta suatu aturan dan
ketentuan yang jelas bagaimana tugas dan wewenang masing-
masing lembaga pengelola, sistem operasional dan
penyelesaiannya yang jelas.
Penyiapan perangkat hukum sepenuhnya menjadi tanggung
jawab regulator. Penyiapan perangkat hukum untuk pendukung
dokumen kontrak terutama terkait dengan hak dan kewajiban
operator, penertiban ijin trayek yang meliputi persyaratan
perijinan, dan perangkat hukum lainnya sesuai dengan Peraturan
Daerah yang ada.
5. Rencana kontrak untuk sistem
Sebagai proses pengadaan kompetitif dan terbuka, pemilihan
perangkat dan operator merupakan hal yang esensial, hal yang
sama juga berlaku untuk aktivitas kontrak, dari penggunaan
konsultan hingga pemilihan perusahaan kontraktor. Proses
lelang yang transparan didukung oleh spesifikasi yang jelas dan
tepat serta kriteria pemilihan yang terdefinisi dengan baik
merupakan hal yang esensial.
6. Pola kontrak dengan operator BRT
Lazimnya dengan dioperasikannya sistem BRT, operator yang
ada diarahkan untuk berperan serta dalam sistem sebagai
penyedia layanan. Melalui mekanisme ini, terjadi
pendistribusian resiko yang proporsional dengan kemampuan
masing-masing pihak diantara pengelola sistem dengan penyedia
layanan (operator). Secara prinsip, institusi yang membawahi
pengelola sistem (lembaga otoritas) akan menanggung resiko
politik, pengelola sistem akan menanggung resiko usaha (bisnis)
dan operator akan menanggung resiko operasional. Pengelola
sistem akan menangani dan mengelola kontrak dengan operator
untuk lingkup tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas
kemampuan operator. Melalui pola kontraktual seperti ini
pengelola sistem akan mendapatkan manfaat seperti:
a) Kontrak yang sederhana yang menggabungkan izin usaha,
aturan dan persyaratan, dan pengoperasion menjadi satu
paket yang dengan tegas membagi tanggung jawab
pengelola sistem dan operator bus.
b) Memegang kendali dan jaminan akan kualitas layanan.
c) Memegang kendali terhadap penugasan kepada operator
untuk menyediakan layanan disetiap rute dalam jaringan
sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak (jaminan total
kilometer tempuh).
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-52
d) Operator bus dan pegawainya memiliki pekerjaan yang
formal dengan jaminan pendapatan dan keuntungan.
I. Rencana Penanganan Operator Non BRT
1. Restrukturisasi Jaringan Trayek dan Sistem Perizinan
Bila SAUM Jalan dioperasikan dengan pola Trunk and Feeder
pada suatu koridor, maka struktur jaringan trayek yang
beroperasi perlu ditata ulang dengan berbagai pendekatan
sebagai berikut:
a) Koridor BRT merupakan jalur utama (Trunk) dengan
sistem prasarana yang sesuai rancang operasionalnya
b) Konversi beberapa trayek yang menghubungkan wilayah
diluar cakupan koridor BRT dan dapat berfungsi sebagai
pengumpan serta mengoperasikannya secara terpadu
melalui sistem transaksi dan penggunaan jalur & Halte baik
secara penuh maupun parsial
c) Konversi menjadi layanan lokal berbasis kawasan (bukan
rute) layanan dan berfungsi sebagai pengumpan serta tidak
harus terpadu secara penuh (sistem dan fisik)
2. Mekanisme Proses Transisi
Untuk menuju sistem BRT yang sesungguhnya dibutuhkan
konsep manajemen transisi dari kondisi eksisting ke kondisi
yang diinginkan. Proses transisi ini menjadi tanggung jawab
dari pemerintah (regulator) untuk melakukan proses dialog
melalui pengembangan dan pengenalan model usaha (bisnis) dan
insentif yang baik dan menarik. Beberapa hal prinsip yang perlu
diperhatikan untuk memandu proses transisi adalah:
a) Reaksi negatif karena ada potensi ketidak pastian yang
diciptakan bagi para operator sebagai dampak dicabutnya
izin beroperasi (trayek) dan diganti dengan kontrak
berbasis kinerja.
b) Memberikan keyakinan pada operator bahwa bahwa
keikutsertaan dalam sistem (BRT) memberikan jaminan
keuntungan yang jelas dan pasti serta resiko yang minimum
dengan mekanisme kontraktual berbasiskan model usaha
yang dikembangkan.
c) Mekanisme penawaran kontrak bisa melalui pelelangan
atau negosiasi (berbasiskan kemampuan operator sebagai
bentuk kompensasi).
d) Kontrak berbasiskan negosiasi harus bersifat transparan
untuk memuluskan proses transisi.
e) Peleburan berbagai operator kedalam bentuk korporasi
perlu mempertimbangkan prosedur pembayaran pendapatan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-53
dari layanan dalam bentuk yang memperhatikan kondisi
saat ini (misalkan pendapatan berbasis harian).
f) Proses transisi untuk operator eksisting membutuhkan
proses negosiasi yang bersifat mengikat.
g) Pengalaman dari tempat lain menunjukkan bahwa sejauh
pemerintah siap menampung kekhawatiran para operator,
maka peluang keberhasilan sistem BRT jauh lebih besar.
3. Pengembangan Layanan Lingkup Lokal
Bila sistem BRT sudah siap diterapkan, maka layanan angkutan
umum eksisting idealnya dirancang dan dikelola untuk
mendukung sistem BRT. Ada dua cara untuk mengelola sistem
eksisting; dilakukan oleh instansi terkait pada wilayah yang
bersangkutan atau oleh lembaga pengelola BRT tergantung pada
situasi setempat dan tujuan utama dari layanan angkutan umum.
Kedua cara merupakan opsi yang bisa diadopsi sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat penerimaan dari pemangku kepentingan
terkait.
Pemerintah setempat dapat mengambil peran penting untuk
menata ulang sistem bus setempat untuk melayani masyarakat
dan trayek-trayek utama (Trunk) seperti Kereta Api atau BRT.
Ada dua jenis layanan yang bisa diterapkan untuk layanan yang
bersifat lokal yaitu pertama layanan dikoridor-koridor utama dan
kedua, layanan kolektor yang meliputi suatu kawasan tertentu
sesuai dengan izin yang ditetapkan. Sistem tarif dari layanan ini
tidak perlu terpadu dengan sistem BRT dan dikutip langsung
oleh operator, sehingga tingkat & rute layanan dapat disesuaikan
dengan keinginan masyarakat setempat. Karena dengan cara ini
ada perlindungan terhadap adanya kompetisi, maka akan timbul
peningkatan terhadap jaminan usaha. Tentunya instansi
perhubungan setempat tetap harus memantau dan mengawasi
pemenuhan tingkat pelayanan yang ditetapkan.
4. Transisi dan Rasionalisasi Operator Bus
Permasalahan utama bagi upaya peningkatan layanan angkutan
umum adalah menata ulang sistem angkutan umum ke arah yang
lebih terstruktur dan akuntabel serta merekayasa peningkatan
layanan seusai dengan keinginan masyarakat.
Pertama, mengenali berbagai persoalan yang harus dihadapi
seperti:
a) Kecenderungan operator bertahan pada kondisi status quo
dan tidak ingin ada perubahan (kecuali bila kondisi usaha
sudah buruk).
b) Kecurigaan terhadap pemerintah (regulator) dan perubahan
serta resistensi akan hak dan kemerdekaannya
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-54
c) Perubahan dari sistem perolehan pendapatan (harian
menjadi bulanan).
d) Sikap skeptis dan tidak yakin terhadap kondisi kedepan
(model usaha yang formal)
e) Timbulnya tuntutan akan kompensasi
f) Kapasitas dan kemampuan yang kurang memadai dari
pemerintah setempat untuk megelola perubahan
g) Perubahan kondisi dari sistem sewa kearah sistem yang
lebih teratur.
Komunikasi intens dengan masyarakat dan operator yang
terkena dampak perubahan merupakan hal yang mutlak
dilakukan, pertama untuk memahami kebutuhan akan
transportasi lokal dan perspektif masyarakat, kedua untuk
menentukan lingkup dan tingkat layanan yang dibutuhkan, dan
ketiga untuk membangun hubungan konstruktif untuk
memuluskan proses perubahan
Progres terhadap suasana yang kondusif harus diciptakan karena
kalau tidak program peningkatan layanan bisa dipersepsikan
sebagai ancaman oleh operator yang terkena dampak.
5. Masalah Kompensasi
Lazimnya masalah kompensasi merupakan isu utama dalam
langkah rasionalisasi sistem eksisting. Namun kompensasi ini
harus merupakan opsi terakhir, karena target utamanya adalah
reformasi industri angkutan umum dan transformasi paradigma
operator kearah model usaha yang lebih terjamin.
Beberapa dampak terhadap operator yang perlu dievaluasi
adalah:
a) Apakah trayek eksisting bersinggungan seluruhnya atau
sebagain dengan koridor BRT?
b) Apakah trayek eksisting akan dihapus atau dipotong?
c) Sejauh mana trayek eksisting bisa disesuaikan untuk
mendukung jaringan Utama (BRT)?
d) Apakah operator mampu atau tertarik untuk terlibat dalam
sistem BRT?
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian
kompensasi adalah:
a) Status hukum operator, besarnya dampak, potensi
kehilangan usaha atau hanya kehilangan pekerjaan?
b) Jika operator menolak tawaran terhadap pola usaha yang
realistis untuk mengganti operasi eksisting; apakah mereka
berhak terhadap kompensasi berupa uang?
c) Apakah perlu kompensasi yang usia kendaraan atau izin
trayeknya sudah tidak aktif?
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-55
d) Nilai dari kebijakan untuk mengganti kendaraan lama dan
sebagai mekanisme kompensasi? (Biaya kompensasi untuk
uang muka kendaraan baru atau membeli saham di
perusahaan yang baru) Bagaiman implikasi besarnya biaya?
Organisasi Asosiasi operator secara resmi harus dilibatkan
dalam proses ini sebagai representasi para operator yang diakui
oleh pemerintah. Kebijakan kompensasi (uang) harus
diminimalisasi karena fokus utamanya adalah untuk menata
trayek eksisting menjadi layanan pengumpan dan lokal. Proses
penyiapan layanan pengumpan dan lokal ini merupakan tugas
dari pemerintah setempat untuk merencanakan trayek dan
layanannya.
6. Rencana Pembangunan dan Implementasi
Proyek BRT memiliki beberapa kelompok manajemen dengan
aktivitas yang berbeda – beda. Susunan rangkaian kegiatan
tersebut haruslah dikelola dan dijadwalkan dengan tepat.
Perencanaan pembangunan dan implementasi yang tepat dapat
berfungsi sebagai pengendali manajerial untuk mengarahkan
proyek sesuai dengan perencanaan.
7. Sistem Pemeliharaan
Pada tahun – tahun awal, sistem akan menunjukan kualitas
layanan yang begitu baik dengan citra yang positif. Namun,
ketika sistem telah berjalan beberapa tahun, kualitas layanan
akan menurun seiring dengan kualitas fisik dari sistem. Untuk
mencegah hal tersebut terjadi diperlukan suatu rencana
pemeliharaan yang berkelanjutan agar sistem dapat terus
berkualitas baik.
Pemeliharaan bus biasanya menjadi tanggung jawab pihak mitra
swasta. Oleh karena itu standar kualitas dari pelayanan harus
dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian kontrak. Sedangkan
untuk kualitas seperti terminal, stasiun dan jalur bus akan
menjadi tanggung jawab dari pengelola sistem BRT. Namun
biasanya sektor pemeliharaan akan diberikan kepada pihak
swasta untuk menjaga kualitas bangunan. Alokasi anggaran dan
waktu harus dilakukan dengan tepat agar kualitas layanan tidak
memburuk sehingga dapat membuat pelayanan menjadi tidak
maksimal.
8. Rencana Pengawasan dan Evaluasi
Suatu keberhasilan dan kegagalan dari sistem akan terlihat dari
reaksi masyarakat, komentar media, dan tingkat penggunaan
serta keuntungan. Namun untuk mengetahui secara objektif
diperlukan suatu pengawasan dan evaluasi dari sistem.dengan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-56
melakukan pengawasan dan evaluasi akan terlihat titik
kelemahan yang perlu dilakukan tindakan korektif.
Identifikasi masalah dan indikator meruapkan langkah awal
dalam mengembangakn rencana pengawasan dan evaluasi.
Indikator yang mudah untuk digunakan diantaranya jumlah total
pengguna, aliran pengguna, biaya operasional sebenarnya, jarak
tempuh perjalanan dalam kilometer, kecepatan, waktu tunggu
pengguna, faktor beban, dan angka statistik kejahatan. Selain itu,
pendapat para pengguna juga dapat digunakan sebagai referensi
tingkat kepuasan pengguna. Proses pengawasan dan evaluasi
harus dilakukan secra berkala untuk tetap menjaga tingkat
kepuasan pengguna.
9. Sosialisasi Operasi Sistem BRT
Keberhasilan suatu produk baru dalam memasuki pasar akan
sangat ditentukan oleh adanya promosi, sedangkan kebijakan
baru akan berhasil meraih dukungan masyarakat jika dilakukan
sosialisasi yang memadai. Jika sistem BRT dipandang sebagai
barang baru maka sosialisasi atau promosi akan sangat
menentukan keberhasilan operasinya. Melalui sosialisasi yang
baik diharapkan sistem ini akan mendapatkan dukungan yang
baik pula dari masyarakat utamanya pengguna angkutan umum.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui media cetak maupun
elektronik, sehingga diharapkan akan mengurangi atau
meminimalkan dampak sosial yang akan terjadi, utamanya yang
kurang/tidak setuju dengan adanya sistem ini.
J. Contoh Kasus Penyusunan SAUM Jalan Raya untuk Kota Surabaya
dengan Metoda Cepat
1. Kajian Struktur Kota
Gambar 6. 9. Peta Wilayah Kota Surabaya
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-57
Tahap awal yang perlu dilakukan adalah mempelajari struktur
kota Surabaya. Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur
memiliki aktivitas ekonomi yang tinggi. Aktivitas ekonomi yang
tinggi ditandai dengan banyaknya lokasi yang menjadi pusat
aktivitas kegiatan. Lokasi pusat kegiatan tersebut akan membuat
adanya kebutuhan transportasi yang dibutuhkan untuk
menjangkau lokasi tersebut. Lokasi – lokasi tersebut dapat
menjadi potensi bangkitan dan tarikan perjalanan.
Sumber : Revisi Rencana RTRW Kota Surabaya
Gambar 6. 10. Tata Guna Lahan Kota Surabaya
Dari gambar tata guna lahan pada Gambar 6. 10menunjukan
aktivitas kegiatan penduduk kota Surabaya terkonsentrasi di
daerah pusat kota. Selain di pusat kota, pusat kegiatan juga
tersebar di sepanjang jalan arteri di kota Surabaya. Untuk daerah
pemukiman umumnya berada di sekeliling pusat kegiatan.
Wilayah pemukiman tersebar dari yang terdekat dengan pusat
kota hingga jauh ke sebelah Barat ataupun Timur. Di sebelah
Utara kota Surabaya terdapat Pelabuhan Tanjung Perak,yang
memiliki aktivitas yang cukup tinggi karena merupakan pintu
masuk akses jalur laut untuk wilayah Jawa Timur. Adanya
pelabuhan ini membuat aktivitas angkutan umum cukup tinggi
terutama truk pengangkut barang.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-58
Gambar 6. 11. Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Kota
Surabaya
Dari lokasi yang menjadi pusat aktivitas, akan timbul tarikan
dan bangkitan dari lokasi tersebut seperti ditunjukandalam
Gambar 6. 11. Dari gambar tersebut terlihat lokasi bangkitan dan
tarikan tersebar di berbagai wilayah kota Surabaya. Namun,
potensi bangkitan dan tarikan paling tinggi berada di pusat kota
Surabaya hingga bagian Utara dimana daerah tersebut menjadi
pusat kegiatan ekonomi kota Surabaya. Lokasi yang
diperkirakan memiliki potensi permintaan yang tinggi
diantaranya Jalan Ahmad Yani, Jalan Banyu Urip, Jalan
Kedungdoro, Jalan Arjuna, Jalan Bubutan dan daerah sekitarnya
termasuk Kebun Binatang Surabaya.
Gambar 6. 12. Gambaran Sebaran Pusat Aktivitas Kota
Surabaya
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-59
Gambar 6. 13. Titik Potensi Penumpang Angkutan Umum Turun
( hijau) dan Naik (merah)
Banyaknya aktivitas yang dilakukan di suatu lokasi akan
membuat bangkitan dan tarikan perjalanan di lokasi tersebut.
Hal ini dapat menghasilkan suatu kebutuhan perjalanan yang
harus dipenuhi agar aktivitas masyarakat dapat berjalan dengan
baik. Titik – titik yang harus dilayani oleh angkutan umum
ditunjukkan dalam Gambar 6. 13. Pada Gambar ini terlihat
potensi naik turun penumpang terkonsentrasi di pusat kota
Surabaya tepatnya di sekitar Kebun Binatang. Selain itu, titik
potensi naik penumpang juga terlihat tinggi di Jalan Diponegoro
Raya. Adanyapelabuhan Tanjung Perak di sebelah utara kota
Surabaya juga membuat titik potensi naik turun penumpang
yang cukup tinggi di wilayah tersebut.
2. Pengumpulan Data
Untuk melakukan suatu perencanaan Angkutan umum massal
diperlukan suatu gambaran kondisi eksisting yang ada di suatu
kota. Gambaran kondisi eksisting dapat ditunjukan oleh data
data yang ada. Beberapa data yang dibutuhkan adalah
a) Trayek Angkutan Umum eksisiting
b) Frekuensi dan Okupansi dari Angkutan Umum
c) Kecepatan Perjalanan dan Waktu Tempuh Angkutan
Umum
d) Permintaan Perjalanan Angkutan Umum
e) Tata Guna Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah
3. Potensi Permintaan Kaptif dan Potensial
Titik – titik bangkitan dan tarikan perjalanan yang ada dipetakan
menjadi sebuah pola perjalanan seperti pada Gambar 6. 14.
Beban perjalanan dengan angkutan umum pada Gambar 6.
14menggambarkan beban yang diterima di setiap ruas jalan.
Terlihat bahwa perjalanan terjadi merata di seluruh wilayah kota
Surabaya.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-60
Dari Gambar 6. 14 terlihat permintaan perjalanan yang tinggi
berada di daerah pusat kota Surabaya hingga ke arah Pelabuhan
Tanjung Perak yang berada di sebelah utara. Selain di bagian
pusat kota, terdapat dua koridor yang memiliki permintaan
cukup di tinggi sebelah barat dan satu koridor di sebelah
Tenggara kota. Daerah tersebut merupakan daerah pemukiman
yang memiliki bangkitan perjalanan yang tinggi menuju pusat
kota.
Gambar 6. 14. Beban Permintaan Jaringan Angkutan Umum
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-61
Gambar 6. 15. Potensi Koridor Angkutan Umum Massal
Kota Surabaya
Dari pembebanan jaringan angkutan umum padaGambar 6. 14
dapat diambil beberapa koridor yang memiliki potensi
permintaan yang cukup tinggi sebagai angkutan umum massal.
Beberapa ruas jalan yang terpilih yang dapat digunakan sebagai
potensi koridor angkutan umum massal terlihat padaGambar 6.
15. Ada lima koridor yang memiliki potensi sebagai koridor
angkutan umum dilihat dari besarnya permintaan perjalanan
yang ada. Ke lima koridor tersebut dipilih karena memiliki
potensi permintaan yang cukup tinggi, dan memiliki cakupan
layanan yang cukup luas. Besarnya potensi permintaan pada
koridor terpilih ditunjukandalamTabel 6. 14.
Tabel 6. 14. Data Potensi Permintaan Pada Koridor Terpilih
Kota Surabaya
Koridor Arus Penumpang (pnp/jam/arah)
Koridor 1 6000–7000
Koridor 2 2000–3000
Koridor 3 4000–5000
Koridor 4 1500 - 2000
Koridor 5 3500 - 4000
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-62
4. Evaluasi Kendala Fisik
Salah satu kebutuhan dalam menyediakan layanan angkutan
umum massal adalah ketersediaan jalur khusus. Lajur khusus
bertujuan agar pelayanan angkutan yang diberikan tidak
terganggu oleh kondisi lalu lintas sekitarnya sehingga kecepatan
dan ketepatan waktu layanan dapat dipertahankan. Lajur khusus
hanya diharuskan pada koridor yang tidak dapat mencapai
kecepatan layanan rencana. Dari Tabel 6. 15terlihat koridor I
belum mencapai kecepatan rencana yang disyaratkan untuk
angkutan massal jalan raya. Sedangkan pada beberapa koridor
lainnya kecepatan rata – rata angkutan umum eksisting
masihbisa mencapai 20km/jam.
Tabel 6. 15. Kecepatan Rata – Rata Angkutan Umum Tiap
Koridor
Koridor Trayek Kecepatan Rata-rata
(km/jam)
Koridor I D 19.2
Da 12.9
Koridor II T2A 36.92
F 27.68
Koridor III
JM 12
G1 23.48
G2 20
Koridor IV
Z1 34.4
BJ 24.65
BP 15
Z1b 34.4
E1 13.57
Koridor V U1 35.17
U2 35.17
Lajur khusus perlu disediakan agar angkutan massal dapat
menjaga kecepatan layanannya. Lajur khusus cukup penting
bagi jalur yang memiliki kecepatan perjalanan rendah ataupun
kepadatan kendaraan tinggi. Untuk menyediakan lajur khusus,
koridor eksisting harus memiliki ruang jalan yang memadai
yaitu minimal 25-30 meter. Dari Gambar 6. 16 terlihat ruang
jalan di koridor eksisting masih belum memenuhi kebutuhan
minimum. Pada gambar tersebut terlihat sebagian besar jalan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-63
pada koridor terpilih memiliki lebar 10 hingga 15 meter untuk
jalan dua arah. Dengan lebar yang hanya berkisar 5 hingga 7
meter per arah, penyediaan jalur khusus akan sulit dilakukan.
Mengacu kepada kriteria ruang jalan minimum diatas, hanya
koridor 1 yang masih dianggap memenuhi lebar minimum
sehingga bisa menyediakanlajur khusus untuk layanan angkutan
massalwalau ada sebagian ruas yang masih belum memenuhi
kriteria. Sedangkan untuk koridor yang lain ruang jalan eksisting
masih jauh dari kriteria minimum untuk disediakannya lajur
khusus. Jika keberadaan lajur khusus diperlukan maka harus
dilakukan pelebaran ruang jalan ataupun kalau ruang milik jalan
rencananya tidak memungkinkan maka lajur khusus bisa dibuat
secara layang sejauh ada komitmen dari Pemerintah kota.
Gambar 6. 16. Perbandingan Lebar Koridor Eksisting Dengan
Lebar Minimum
5. Evaluasi Jaringan Angkutan Umum Eksisting
Jaringan angkutan umum eksisting di Surabaya sudah memiliki
puluhan trayek yang tersedia dan tersebar di seluruh kota.
Bedasarkan situs resmi kota Surabaya, terdapat 58 trayek
angkutan umum dan 19 trayek bis kota yang beroperasi. Gambar
6. 17 menunjukkan jaringan trayek eksisting sudah menjangkau
ke seluruh wilayah kota Surabaya. Walau masih berpusat di
tengah kota, namun sebagian trayek juga sudah melayani
perjalanan ke pinggir kota seperti di bagian barat kota Surabaya.
Dari Gambar 6. 17 juga terlihat banyak trayek yang tumpang
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-64
tindih di daerah pusat kota. Jika dibandingkan dengan rencana
koridor, jalur yang trayeknyabanyak yang tumpang tindih berada
di koridor 1 dan koridor 2.Banyaknya trayek angkutan yang
tumpang tindih merupakan salah satu indikator tingginya
permintaan angkutan umum di koridor tersebut.
Gambar 6. 17. Jaringan angkutan umum eksisting kota Surabaya
Terpusatnya pola trayek dan permintaan dapat dimanfaatkan
untuk membuat pola trunk dan feeder dari sistem BRT. Koridor
yang memiliki jumlah trayek yang bersinggungan yang tinggi
dapat dijadikan sebagai koridor utama. Untuk kota Surabaya,
koridor yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur trunk adalah
koridor 1, yaitu sekitar 40 trayek yang bersinggungan. Selain
itu, lokasinya yang berada dipusat kota juga tepat sebagai titik
transit dari koridor lain. Sedangkan koridor yang lain dapat
berfungsi sebagai koridor pendukung atau feeder. Koridor
pendukung ini akan berfungsi untuk memperluas wilayah
pelayanan serta mempermudah penumpang untuk menjangkau
koridor utama.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-65
6. Perbandingan Kendala Fisik dengan Permintaan pada
Koridor
Tabel 6. 16. Perbandingan Permintaan dengan Lebar Jalan
Koridor Arus Penumpang ROW Rata – rata
Koridor 1 6000 – 7000 25 meter
Koridor 2 2000 – 3000 25 meter
Koridor 3 4000 – 5000 8 meter
Koridor 4 1500 – 2000 10 meter
Koridor 5 3500 – 4000 15 meter
Dari 5 koridor terpilih, ada4 yang memiliki permintaan
penumpang cukup tinggi yaitu berkisar antara3500 – 7000
penumpang per jam perarah. Tingginya permintaan harus dapat
difasilitasi dengan sarana yang lebih baik, salah satunya
ketersediaan lajur khusus. Jika mengacu kepada Tabel 6.
16koridor yang ruang jalannya mendekati kriteria minimum
hanya ada di koridor 1 dan koridor 2 saja. Sedangkan pada
koridor 3, 4, dan 5, ruang jalan eksisting masih jauh di bawah 25
meter, yaitu hanya sekitar 8 hingga 15 meter. Untuk koridor 4
kondisi ini tidak terlalu masalah karena permintaan yang ada
pada koridor tersebut masih tergolong rendah sehingga
ketersediaan lajur khusus masih belum menjadi suatu keharusan.
7. Pola Operasi Sistem
Perencanaan koridor di kota Surabaya menghasilkan 5 koridor
yang saling terintegrasi. Dari kelima koridor tersebut, terdapat
koridor utama yang terhubung dengan koridor lain. Koridor
utama ini dapat berfungsi sebagai trunk jika permintaan yang
pada koridor cukup tinggi. Pada koridor 1, jumlah permintaan
mencapai 7000 penumpang per jam per arah. Dengan jumlah
permintaan sebesar itu, struktur pelayanan yang dapat digunakan
adalah pola trunk & feederdengan lajur khusus, pra-bayar dan
platform dari halte yang sejajar dengan lantai bus. Sedangkan
untuk pola operasionalnya dipastikan harus menggunakan pola
terpadu. Untuk koridor-koridor lainya ditunjukan dalam
Tabel 6. 17.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-66
Tabel 6. 17. Sistem Operasi pada Angkutan Umum Massal
Kota Surabaya
Koridor Arus
Penumpang
Pola
Operasi Jenis Layanan Jenis Armada
Koridor 1 6000 – 7000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway) &Feeder,
Pra-bayar, Platform sejajar
Bis Tempel
(articulated) 4
pintu
Koridor 2 2000 – 3000 Terpadu trunk & feeder Bis Tempel
(articulated) 3
pintu
Koridor 3 4000 – 5000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway) /Feeder
Bis Tempel
(articulated) 3
pintu
Koridor 4 1500 - 2000 Terbuka /
Terpadu
direct service / trunk &
feeder
Bis 12m, 3
pintu
Koridor 5 3500 - 4000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway) /Feeder
Bis Tempel
(articulated) 3
pintu
Seperti terlihat padaTabel 6. 17, jumlah permintaan di setiap
koridor sudah cukup tinggi terlihat dari pola operasional setiap
koridor yang harus menggunakan pola terpadu. Selain koridor 1,
di koridor 2, 3 dan 5 juga sudah harus menggunakan layanan
trunk &feeeder karena jumlah permintaan yang sudah cukup
tinggi yaitu 2000 hingga 5000 penumpang per jam. Sedangkan
pada koridor 4, jumlah permintaan berkisar antara 1500
penumpang per jam dimana jumlah tersebut merupakan kondisi
transisi dari angkutan konvensional menjadi Bus Rapid Transit,
sehingga pola operasional yang disarankan dapat dipilih antara
pola tertutup dan terbuka, begitu pula dengan jenis layanannya.
Namun, agar pelayanan lebih baik pola operasional tertutup
merupakan opsi yang lebih ideal.
Pada koridor 1,3 dan 5 sudah disarankan untuk menggunakan
lajur khusus untuk operasional bus. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kecepatan dan waktu layanan agar tidak terganggu.
Salah satu kendala memberikan lajur khusus adalah ketersediaan
ruang milik jalan eksisting. Pada koridor 3 dan 5, lebar jalan
eksisting masih jauh dari yang disarankan. Untuk mengatasi hal
tersebut perlu dibuat alternatif seperti pelebaran jalan atau jalan
layang untuk bus. Namun, jika melihat kecepatan perjalanan
pada koridor 3 dan 5, kecepatan perjalanan masih diatas 20
km/jam. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk tidak dengan
segera mengoperasikan sistem dengan lajur khusus di awal-
awal, namun harus dianggap sebagai proses transisi sampai pada
situasi kinerja lalu lintas (kecepatan tempuh) dibawah 20
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-67
km/jam dicapai. Artinya ada rentang waktu untuk melakukan
berbagai persiapan terhadap skenario rancang fisik dari jalur
angkutan massal jalan raya (BRT) di koridor-koridor ini.
8. Perancangan Jejaring dan Layanan
Menggunakan sistem layanan trunk & feeder berarti perlu
melakukan restrukturisasi trayek eksisting yang ada. Trayek
yang ada perlu dirubah rutenya sesuai dengan rute koridor
layanan angkutan umum massal. Untuk melakukan itu maka
perlu diketahui kebutuhan permintaan angkutan umum yang
sudah ada agar permintaan yang telah ada dapat dipenuhi.
Dalam tahap ini contoh yang akan diambil adalah pemilihan
trayek pada koridor 1. Pada koridor 1terdapat kurang lebih 40
trayek yang rutenya bersinggungan dengan koridor 1. Untuk itu
perlu diketahui jumlah permintaan yang dilayani oleh trayek–
trayek yang berada di koridor 1 untuk setiap segmen. Gambar
7.18 menunjukkan besarnya permintaan di koridor 1. Dari
gambar tersebut terlihat besarnya permintaan maksimum adalah
sekitar 7000 penumpang per jam per arah. Dengan asumsi hanya
50% dari potensi permintaan yang akan beralih menggunakan
angkutan umum massal, maka parmeter-parameter operasional
dihitung berdasarkan asumsi ini.
Gambar 6. 18. Jumlah Permintaan Penumpang Per Jam
2 Arah Koridor 1
Karena pada dasarnya tidak ada bentuk baku dari suatu sistem
layanan BRT, maka sebagai opsi sistem ini dapat juga
dioperasikan dengan pola layanan direct service, sehingga perlu
dilakukan analisis terhadap angkutan umum eksisting. Hal ini
perlu dilakukan untuk menentukan trayek-trayek yang akan
dilibatkan dalam pelayanan angkutan umum massal,karena
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-68
menggunakan pola operasi tertutup dalam sistem. Pemilihan
trayek ini dilakukan agar lebih mudah dalam mengontrol dan
menjaga kualitas layanan.
Trayek yang masuk ke dalam sistem harus dapat memenuhi
beberapa kriteria yang diberikan. Beberapa kriterianya antara
lain:
a) Memiliki permintaan penumpang yang cukup
tinggi;
b) Memiliki frekuensi yang tinggi;
c) Memiliki jumlah armada yang cukup;
d) Jarak singgungan yang cukup panjang dengan
koridor.
Kriteria yang digunakan dalam pemilihan trayek di koridor 1
adalah memiliki frekuensi minimal 12 per jam dan
bersinggungan dengan koridor rencana sepanjang minimal 30%
seperti pada terlihat pada Gambar 6. 19.
Dari kriteria tersebut, terlihat padaGambar 6. 19 hanya ada lima
trayek yang memenuhi kriteria. Kelima trayek inilah yang
nantinya akan menjadi bagian dari armada angkutan umum
massal di koridor 1
Gambar 6. 19. Pola Sebaran Trayek Eksisting Koridor 1
9. Perancangan Rute
Perancangan rute yang sebenarnya haruslah memperhitungkan
data asal tujuan (O-D) dari wilayah perencanaan, karena harus
dapat mengakomodasi permintaan dari data asal tujuan. Dalam
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-69
perencanaan rute di kota Surabaya, karena permintaaan
cukuptinggi, maka pemilihan rute akan didasari dari koridor
pilihan. Selain itu, dengan menggunakan layanan trunk &
feeder, maka rute eksisting akan direstrukturisasi sesuai dengan
rute dari koridor rencana. Ruteterpilih dalam koridor yang ada
pada kota Surabaya ditunjukandalamTabel 6. 18.
Tabel 6. 18. Rute Koridor terpilih di Kota Surabaya
Koridor Asal Tujuan
Koridor 1 Simpang Waru Kalimas
Koridor 2 Kebun Binatang Bulak Banteng
Koridor 3 Manganti Lidah Kulon Kebun Binatang
Koridor 4 Pakal Arjuna
Koridor 5 Medokan Ayu Kebun Binatang
10. Rancangan Layanan
Dalam perencanaan angkutan umum massal di kota Surabaya
ini, sistem layanan yang digunakan adalah trunk feeder. Hal ini
berarti rute yang ada akan disesuaikan dengan rute koridor
terpilih. Selain itu, untuk memenuhi permintaan eksisting maka
moda angkutan akan disesuaikan dengan permintaan. Dilihat
dari permintaan yang cukup tinggi maka moda yang digunakan
adalah bus besar. Selain dari kapasitas angkutan moda, beberapa
hal yang perlu ditentukan dalam rancangan layanan antara lain.
a) Panjang koridor layanan : 15,4 km;
b) Kec. Rencana non-peak :20 km/jam;
c) Kec. Rencana peak :17 km/jam.
Bila sistem layanan yang digunakan adalah sistem direct
servicemakaangkutan yang akan memberi layanan adalah trayek
eksisting yang tidak berubah trayeknya, termasuk moda
angkutan layanan akan menggunakan moda trayek eksisting.
Namun, apabila kapasitas angkutnya tidak dapat menampung
jumlah permintaan, maka moda trayek harus diganti dengan
kapasitas kendaraan yang lebih besar. Untuk kapasitas dari
trayek eksisting yang akan masuk ke dalam sistem pada koridor
1 adalah sebagai berikut (Tabel 6. 19).
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-70
Tabel 6. 19. Kapasitas Moda Trayek Eksisting Koridor 1
Trayek Jenis Moda Kapasitas
Bison Elf 14
D Mikrolet 9
IJO Bus 85
PTG Mikrolet 9
XXX Mikrolet 9
11. Waktu Operasional Layanan
Untuk waktu operasional angkutan umum massal akan
disesuaikan dengan kondisi wilayah pelayanan. Untuk wilayah
perkotaan, maka angkutan umum harus dapat melayan
perjalanan pagi hari maupun malam hari. Selain itu, pelayanan
harustersedia baik di hari kerja maupun hari libur. Selain itu,
informasi akan waktu operasional harus deritahukan secara jelas
agar tidak merugikan penumpang. Berikut beberapa asumsi yang
digunakan dalam perencanaan waktu layanan.
a) Hari operasional : 30 hari / bulan, 365 hari /
tahun;
b) Jam operasional layanan : 05.00 – 22.00 WIB;
c) Peak hour : 6 jam;
d) Non peak hour : 11 jam.
12. Frekuensi Layanan
Frekuensi layanan adalah seberapa sering kendaraan atau moda
akan tersedia. Jumlah frekuensi akan tergantung dari senjang
waktu layanan atau headway yang ditentukan. Sedangkan
persamaan untuk menghitung senjang waktu layanan adalah
sebagai berikut:
𝑆𝑒𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 =60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛𝑘𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠⁄
Permintaan adalah permintaan tertinggi di dalam koridor,
sedangkan kapasitas adalah jumlah penumpang maksimum di
dalam satu armada. Maka dengan asumsi kapasitas moda adalah
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-71
170 pnp/kendaraan, maka senjang waktu (headway) pada
koridor 1 adalah
𝑆𝑒𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 =60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
3500170⁄
= 2,90
Dari perhitungan diatas, senjang waktu yang didapat adalah 2,90
menit. Karena waktu 2,90 akan dibulatkan menjadi 3,00
sehingga didapatkan headway dan frekuensi seperti terlampir
dalam Tabel 6. 20.
Tabel 6. 20. Senjang Waktu Layanan Trayek Eksisiting
di Koridor 1
Koridor Moda Kapasitas* Permintaan Headway Frekuensi
Koridor 1 Articulated Bus 175 3500 3,0 20
*disesuaikan dengan headway
Sedangkan untuk opsi layanan langsung (direct service), senjang
waktu layanan setiap trayek ditunjukan dalam Tabel 6. 21.
Tabel 6. 21. Senjang Waktu Layanan Trayek Eksisiting
di Koridor 1
Trayek Jenis Moda Kapasitas Permintaan Headway
Bison Elf 14 715 1
D Mikrolet 9 994 1
IJO Bus 85 763 7
PTG Mikrolet 9 760 1
XXX Mikrolet 9 1220 0
DariTabel 6. 21terlihat hasil perhitunganheadway pada trayek
eksisiting sangat rapat yaitu sebesar rata-rata 1menit dan bahkan
untuk trayek XXX mendekati 0 menit. Oleh karena headway
yang terlalu kecil tidak realistis maka konsekuensinya harus
menyiapkan minimum 3 platform pada setiap titik
pemberhentian (halte) agar tidak menimbulkan antrian di halte.
Alternatif dari menggunakan moda eksisting adalah
menggantinya ke jenis yang kapasitas angkutnya lebih besar
sehingga headway yang baru ditunjukan dalam Tabel 6. 22.
Tabel 6. 22. Frekuensi Trayek Eksisiting di Koridor 1
Trayek Moda Kapasitas Permintaan Headway Frekuensi
Bison Bus Sedang 40 715 4.00 15
D Bus Sedang 40 994 3.00 20
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-72
IJO Bus Besar 85 763 7.00 9
PTG Bus Sedang 40 760 3.00 20
XXX Bus Besar 85 1220 4.00 15
Namun karena sistem trayek tidak dirubah (direct service) untuk
menjamin kelancaran dan ketepatan waktu layanan jumlah
platform sebaiknya disediakan lebih dari satu untuk
meminimalkan waktu berhenti di halte.
13. Kapasitas Bus
Setelah mengetahui waktu senjang dan frekuensi, maka perlu uji
jenis bus (kapasitas) yang sesuai untuk layanan pada koridor
yang bersangkutan. Untuk mengetahui kapasitas dapat
digunakan persamaan
𝐾 =𝑃
𝑂 𝑥 𝐹 𝑥 𝑃𝑙𝑎
dimana,
K = Kapasitas Bis yang dibutuhkan (pax/bis)
P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk
pada koridor(pax/jam/arah)
F = Frekuensi layanan (kend/jam)
O = Faktor muat
Pla = Jumlah platform pada halte (buah)
Untuk menghitung kapasitas dapat diasumsikan nilai okupansi
atau faktor muat 100% dan jumlah platform 1 untuk setiap halte.
Dengan begitu dapat didapatkan kapasitas bus yang dibutuhkan
𝐾 =3500
1 𝑥 20 𝑥 1= 175 𝑝𝑛𝑝
Kapasitas moda yang dibutuhkan adalah 175 pnp per bus. Untuk
memenuhi kebutuhan permintaan bus yang dapat digunakan
adalah Articulated Bus dengan kapasisitas 170 pnp. Namun
karena dalam perencanaan diasumsikan penumpang hanya 50 %
dari total potensi permintaan, maka sebagai langkah antisipasi
bisa disiapkan jenis bus dengan kapasitas yang lebih besar yang
idealnya didasarkan atas proses analisis permintaan yang lebih
komprehensif.
14. Waktu Siklus dan Jumlah Rit
Waktu siklus adalah waktu yang diperlukan untuk satu bus
melakukan perjalanan pulang pergi dimana nilai waktu siklus
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-73
dihitung dengan rumus (14). Untuk koridor 1, panjang rute
layanan adalah 15,4 km. sedangkan untuk kecepatan rencana
adalah 20km/jam untuk off peak hour dan 17 km/jam untuk peak
hour. Dengan begitu dapat dihitung waktu siklus kendaraan di
koridor 1 adalah sebagai berikut:
Peak Hour:
𝑇𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 =(2 × 15,4 km × 60 menit/jam)
17 km/jam+ 10 menit
= 119 menit
Off Peak Hour
𝑇𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 =(2 × 15,4 km × 60 menit/jam)
20 km/jam+ 10 menit
= 102 menit
Setelah mendapatkan waktu siklus dari kendaraan, dapat
dihitung jumlah rit pada koridor tersebut. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, waktu operasional diasumsikan 6 jam
peak-hour dan 11 jam off-peak hour. Untuk pengisian bahan
bakar dilakukan sehari 2 kali dengan asumsi waktu 15 menit
setiap kali pengisian. Dengan begitu jumlah rit untuk koridor 1
dapat dihitung.
𝑁𝑟𝑖𝑡 =(6 × 60) − 15
119+
(11 × 60) − 15
102≈ 3 + 7 ⋯ (dengan pembulatan ke atas)= 10
15. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada
Setelah mendapatkan nilai headway dan waktu siklus, maka
dapat dihitung jumlah armada yang dibutuhkan . Untuk waktu
siklus diambil pada waktu peak hour karena waktu siklus yang
lebih lama sehingga dapat terlihat kebutuhan maksimal armada.
𝑁 =(3500
𝑝𝑛𝑝
𝑗𝑎𝑚𝑥 1,983 𝑗𝑎𝑚)
170 𝑝𝑛𝑝= 41
Selain itu, perlu ditambahkan 10% dari hasil perhitungan
sebagai armada cadangan.
𝑁𝑡 = 41 + (41 𝑥 10%) = 46
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI – Konsep Panduan VI-74
Tabel 6. 23. Estimasi Kebutuhan Jumlah Armada
Koridor Moda Kapasitas Headway Peak Siklus
Time
Jumlah
Bus
Total
Bus
Koridor 1 Articulated
Bus 170 3.0 119 41 46
Sedangkan untuk opsi layanan langsung (directc service)
estimasi kebutuhan jumlah armada ditunjukan dalam
Tabel 6. 24.
Tabel 6. 24. Estimasi Kebutuhan Jumlah Armada
Trayek Moda Kapasitas Headway Peak Siklus
Time
Jumlah
Bus
Total
Bus
Bison Bus
Sedang 40 4.00 119 30 33
D Bus
Sedang 40 3.00 119 40 44
IJO Bus Besar 85 7.00 119 17 19
PTG Bus
Sedang 40 3.00 119 40 44
XXX Bus Besar 85 4.00 119 30 33