ppti jurnal maret 2012

40
ISSN 1829 - 5118 Vol. 8 - Maret 2012 JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis DAFTAR ISI : EVALUASI METODEFASTPlaqueTB TM UNTUKMENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNITPELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA-INDONESIA HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIALDENGAN KUALITASHIDUPPADA PENDERITA TUBERKULOSISPARU (TBPARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKITPARU (BP4) YOGYAKARTA UNITMINGGIRAN RAPIDTB TEST MEROKOKDAN TUBERKULOSIS TUBERKULOSISDAN HIV-AIDS TUBERKULOSISNOSOKOMIAL

Upload: dhian-agustin-widha-utami

Post on 11-Aug-2015

206 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: PPTI Jurnal Maret 2012

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

JURNALTUBERKULOSIS

INDONESIA

Diterbitkan OlehPerkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)The Indonesian Association Againts Tuberculosis

DAFTAR ISI :

• EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacteriumtuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DIJAKARTA-INDONESIA

• HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITATUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

• (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

• RAPID TB TEST

• MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

• TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS

• TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL

Page 2: PPTI Jurnal Maret 2012

Vol. 8- Maret 2012 ISSN 1829 - 5118

JURNALTUBERKULOSIS

INDONESIADiterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin UmumKetua Umum PP PPTI

Penanggung JawabDr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP

Pemimpin RedaksiDr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat RedaksiDrs. Sumardi

Alamat Sekretariat Redaksi & IklanJl. Sultan Iskandar Muda No. 66A

Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240Telp. 021 - 7397494Fax. 021 - 7397494

http://www.ppti.info, email: [email protected]

Terbit pertama kali Agustus 2004

Page 3: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 i

Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untukJurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasaIndonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pedoman Umum Naskah adalah karangan asli Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam

bentuk dan media/jurnal apapun Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan

seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untukpublikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi

Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingannaskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dankejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah

Redaksi berhak untuk meminta penulis untukmemperbaiki isi dan bentuk tulisan

Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepadapenulis apabila ada permintaan sebelumnya

Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yangefektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu,naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris denganejaan yang standar

Naskah Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak

tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukurankertas A4 (21x 30 cm)

Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disketberupa copy file dari naskah tersebut

Kelengkapan Naskah Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal

Tuberkulosis Indonesia:Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran LamaUtara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atauvia email: [email protected]

Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print-out)yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2)abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasukkey words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6)daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasidan foto berikut keterangannya

Naskah disampaikan dalam bentuk disket denganprogram MS-Word

Halaman Judul dan Penulis Judul makalah ditulis lengkap, dan t idak

menggunakan singkatan Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis Nama departemen dan institusi Alamat korespondensi penulis

Petunjuk Untuk Penulis

AbstrakDibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secaraterstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjekdan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstraktidak lebih dari 250 kata.

Tabel dan Gambar Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,

dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai

urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabelataugambar.

Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secarainformative sehingga mudah untuk dimengerti

Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakanbiaya reproduksi

Daftar Pustaka Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan

Vancouver. Daftar rujukan t idak lebih dari 25 buah, dan

merupakan rujukan terbaru dalam satu dekadeterakhir.

Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalamnarasi naskah.

Nama jurnal disingkat sepert i tercantum dalamIndex Medicus.

Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namunbelum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuaiaturan dan ditambahkan: In Press

Contoh Penulisan Daftar Rujukan1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS,

Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab.Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO CollaboratingCenter for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.

2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tu-berculosis Control. Clinical policies and protocols.3rd ed. New York, NY: New York City Department ofHealth, 1999

3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in SouthAfrica (editorial). A Kalvin 1993; 74:5

4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primarypulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California:Aicon Publishers; 1985

5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condi-tion of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Opera-tive Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;1995. p. 911-938

Page 4: PPTI Jurnal Maret 2012

ii Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

EDITORIAL

Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?

“Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti inipenderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!”

Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengankuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehinggapasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulandan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelahkonversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB-MDR, obat harus diminumdihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkansudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkantulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiriyang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.

Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB-MDR, yaitu (1). Pengobatan tidakadekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadisumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akanmeneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yangtidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensiprimer maupun sekunder.

Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaiankemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resistenobat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagalpengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengankemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutolseharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Palingtidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TBharus dilakukan.

Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidakdiragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehinggaangka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TBterbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumahswasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakatyang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksibahwa ‘kesalahan’ yang dapat berakibat timbulnya ‘wabah TB-MDR’ ada pada dokter praktek swasta dan unitkesehatan tersebut.

Page 5: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 iii

Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambilkebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studiyang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudulRole of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia.

Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yangberhubungan dengan MDR-TB secara tidak langsung. Diagnosis TB-Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauanpustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agardiagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mkdkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkandalam tulisan Nita Yuniarti R.

Achmad Hudoyo Sp P(K)

Page 6: PPTI Jurnal Maret 2012

1 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yangtelah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebabutama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dansebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usiaproduktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TBberjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagisemua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini.Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB dimasyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yangdefinitif.

Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaandiagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walaudemikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikanhasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kulturmemiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karenamempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripadapewarnaan tahan asam.5 Kultur Lowenstein-Jensen (LJ)merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacteriumtuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untukmemperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7

Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yangbermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5

Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyakdigunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukanteknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebihcepat dan akurat.8

Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasicepat Mycobacterium tuberculosis yang telah banyak digunakandi negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya,secara teknis metoda ini t idak mudah dikerjakan danmemerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepatyang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage.Mycobacteriophage akan menginfeksi Mycobacteriumtuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium

tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda,yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) danmenggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM (BiotecLaboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metodecepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologiamplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13penelit ian phage based assay menunjukan bahwa nilaisensitivitas uji FASTPlaqueTBTM masih memiliki rentang nilaisensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 21–94% danrentang nilai spesifisitasnya 83– 100%.10 Hingga saat ini belumada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahuiefektivitas metode FASTPlaqueTBTM.

Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat danakurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupanTB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untukmenguji metode FASTPlaqueTBTM dalam mendeteksiMycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metodeini dapat membantu penegakan diagnosis TB yang cepat, akurat,mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin dinegara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

METODEA

Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit UmumPusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta,satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta,3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan24 pasien yang berobat di Perkumpulan PemberantasanTuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yangmemenuhi kriteria inklusi dan telah menandatanganiinformed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalahpasien usia e”15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TBparu ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu ataulebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas(batuk e” 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam,anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputumdilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum darimasing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3

EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI

JAKARTA-INDONESIA

Leli Saptawati,dr.,Sp.MK,Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K),

Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K),Cleopas Martin Rumende,dr.,DR.,Sp.PD KP.,FINASIM.,FCCP

Page 7: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 2

kali, yaitu sputum sewaktu-pagi-sewaktu. Perhitungan besarsampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukan selama 2 periodeyaitu bulan April–Juli 2009 dan Oktober–Desember 2010.

Pewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dansesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukandengan metode NALC-NAOH (Mycoprep®) dan disentrifusdengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit.Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatandibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FASTPlaqueTB(FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatanminimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkanbeberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar0,5–1 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM

Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukanpembuatan preparat untuk pemeriksaan mikroskopis.Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial sterilyang sudah tersedia dalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasiselama 18–24 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukanbiakan pada media LJ dan Lowenstein Jensen–P-nitrobenzoicacid (LJ-PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan kedalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam dimedia LJ-PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabungLJ dan LJ-PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalaminkubator dengan posisi miring 30° selama 24 jam. Setelahitu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi padaposisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16

Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjukpada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK .Pada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif.Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudahdiinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37ºC, kontrol negatifdan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan fagadan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 35–37ºC. Setelahinkubasi, masing-masing tabung ditambah 0,1 ml larutanvirusid. Tabung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang,kemudian masing-masing tabung ditambah 5 ml larutan FPTBMediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnyaditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah ituditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dandituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras(sekitar 30 menit pada suhu 20–25ºC). Petri kemudiandiinkubasi semalam pada suhu 35–37ºC. Keesokan harinyapetri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yangterbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d” 10plak, kontrol positif harus terbentuk e” 20 plak. Pada petrispesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 0–19plak dan dikatakan positif apabila terdapat e” 20 plak.17

HASIL

Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampeltidak dapat digunakan karena :

a.Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yangdiperiksa disertai perubahan warna pada media LJdari hijau menjadi biru atau coklat.

b.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14sampel sputum.

c.Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil ujiFASTPlaqueTBTM

d.Dua responden (6 sampel) t idak ada keteranganmengenai gejala klinik.

Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampeltidak dapat digunakan karena :

a.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8sampel sputum.

b.Lima sampel mengalami kontaminasi pada ujiFASTPlaqueTBTM

c.Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kulturLJ maupun uji FASTPlaqueTBTM

d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada mediakultur LJ dan kontaminasi pada hasi l uj iFASTPlaqueTBTM.

Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakandalam penelitian sebanyak 97 sampel.

Karakteristik umur dari 46 responden yang masukdalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangkaTB paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi respondenberdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46)berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjeniskelamin perempuan.

Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM,52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yangditemukan, 2 di antaranya terdeteksi posi t i f olehFASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisishanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosisdan kultur negatif.

Hasil pemeriksaan mikroskopis

Pada 90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahanasam dengan metode Ziehl Neelsen. Hasil pewarnaansetelahproses dekontaminasi menunjukkan bahwa sebanyak52 sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.

Page 8: PPTI Jurnal Maret 2012

3 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Hasil pemeriksaan kultur

Setelah di lakukan pemeriksaan mikroskopis,selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ-PNB.Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalamanalisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%)menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%)menunjukkan hasil kultur negatif.

Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM

Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semuaspesimen juga diperiksa dengan menggunakan metodeFASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel(58,9%) menunjukkan hasi l posi t if dan 37 (41,1%)memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan ZehlNeelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJ sebagai bakuemas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.

Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsenlangsung dan uji FASTPlaqueTBTM

Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan untukpelayanan sehari-hari laboratorium di Indonesia adalahpewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai denganpanduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut,maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaanlangsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil pada pewarnaanlangsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun2006.18

Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel),8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung,2 sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, 18sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkanhasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4).Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasilsebesar e”90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM

dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1.

Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaanlangsung, satu sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapangpandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampelmenunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkanhasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwakesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung,FASTplaqueTBTM dan kultur LJ negatif diperoleh pada pewarnaanlangsung yang menunjukkan hasil negatif.

Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasidan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ.

Ziehl Neelsen Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RKPositif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 7 5 90,4 86,8 90,4 86,8 6,9 0,1Negatif 5 3 3

5 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duganegatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan denganKultur LJ.

FASTPlaqueTB Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RKPositif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 5 8 86,5 78,9 84,9 81,1 4,1 0,2

Negatif 7 3 05 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duganegatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsensetelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM

dibandingkan dengan Kultur LJ.

Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RKPositif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 9 1 1 94,0 71,0 81,0 90,0 3 0,1Negatif 3 2 7

5 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duganegatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

ZN setelahdekontaminasidan/atauFASTPlaqueTB

Penawaranlangsung

UjiFASTPlaqueTBTM

Positif n(%)

UjiFASTPlaqueTBTM

Negatif n(%)

Kultur LJpositif

Negatif1-9 BTA/100lapang pandang

+1+2+3

17 (94,4)18 (100)15 (93,7)

1 (5,6)0 (0,0)1 (6,3)

1 81 81 6

4 (50,0)

1 (50,0)

4 (50,0)

1 (50,0)

8

2

Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, ujiFASTPlaqueTBTM dan kultur LJ positif

Penawaranlangsung

UjiFASTPlaqueTBTM

Positif n(%)

UjiFASTPlaqueTBTM

Negatif n(%)

Kultur LJnegatif

Negatif1-9 BTA/100lapang pandang

+1+2+3

1 (50,0)1 (50,0)0 (0,0)

1 (50,0)1 (50,0)0 (0,0)

220

5

0 (0,0)

27 (81,8)

1 (100)

3 3

1

Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, ujiFASTPlaqueTBTM dan kultur LJ negatif

Page 9: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 4

PEMBAHASAN

Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalamterapi OAT (obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yangdilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol,Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapatmenurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.Semua penelit ian tersebut menunjukkan sensit ivitas dibawah 60%.10

Data yang diperoleh pada penel i t ian inimemperlihatkan bahwa responden terbanyak adalahkelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebutsesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RItahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagianbesar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usiaproduktif (15–55 tahun ).3 Data yang dikeluarkan olehDepkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderitaTB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun)dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisit ersebut t entu saja akan sangat berdampak padaperekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selainmerugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampakburuk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan olehmasyarakat .20 Berdasarkan jenis kelamin, respondenterbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelaminperempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih seringdiderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antaralain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaanmerokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak2,2 kali.21

Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasidan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90)sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengankenyataan bahwa diperkirakan setengah hinggatigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dansisanya BTA (-). Hasil kultur juga menunjukkan data yangsama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJ positifdan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4

FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostikyang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalamwaktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ,metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas78,9%, Ni lai duga posit i f dan negat if metodeFASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasiokemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian inisesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian metaanalisis terhadap 13 penelit ian. Penelit ian tersebut

menyimpulkan bahwa phage-based assays memilikisensitivitas antara 21–94%. Luasnya rentang nilai sensitivitaspada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi olehbeberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan,riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlahsampel BTA positif dan BTA negatif pada seluruh sampelyang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen. Pada metaanalisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakanspesimen sputum namun juga menggunakan jenis spesimenlain. Selain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan respondenyang sedang dalam terapi OAT.10

Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopissetelah homogenisasi dekontaminasi dan/atauFASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar94,0%, spesifisitas 71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duganegatif 90,0%, rasio kemungkinan posit if 3 dan rasiokemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwakombinasi hasil pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM

mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapatmeningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan olehMuzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasipemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM

memperlihatkan nilai sensit ivitasnya mencapai 90% danspesifisitasnya 93%.4

Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkandengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkanhasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatifdan 2 sampel menunjukkan hasil BTA positif). Dengan datatersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BTA negatif terdeteksipositif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yangmenyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanyafaga yang berada di luar sel, karena proses destruksi fagaoleh virusid t idak terjadi secara sempurna akibat adanyafaktor dalam sputum yang mampu melindungi faga. Fagayang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akanmenginfeksi Mycobacterium smegmatis dan akan membentukplak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positifpalsu.5 Interpretasi hasil uji FASTPlaqueTBTM sangat bersifatsubyektif dan memerlukan kehati-hatian, terutama dalammembedakan hasil negatif dan hasil posit if lengkap. Hal initerkadang cukup menyulitkan, sehingga t idak menutupkemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapatmenyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu.

Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsupada uji FASTPlaqueTBTM sebanyak 7 sampel. Empat sampelmerupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA posit if. Hasilnegatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM

dalam mendeteksi keberadaan Mycobacterium sp padasputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kemampuaninfeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Proses infeksi

Page 10: PPTI Jurnal Maret 2012

5 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antaralain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuanreplikasi pejamu.22

Salah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitianini adalah t ingginya angka kontaminasi pada hasil ujiFASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periodeke-2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi padamedia FASTPlaqueTBTM. Dua puluh lima sampel di antaranyamengalami kontaminasi berupa generalized growth sehinggamedia menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasiberupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruhpermukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil.Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilandan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasikurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi,pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulangpada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukanuji FASTPlaqueTBTM ulang.

Setelah dilakukan pengujian, diketahui bahwasebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positifGram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram.Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram,di antaranya Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp.Dominasi Bacillus sp sebagai bakteri kontaminan memperkuatdugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan danpemrosesan spesimen. Penundaan pengiriman spesimen jugadapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.

Pengulangan proses dekontaminasi dapat menurunkankontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) jugamenunjukkan adanya kontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM

sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positifGram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untukmenekan kontaminasi, mereka melakukan penambahanpenisilin pada medium pertumbuhan FASTPlaqueTBTM.Penambahan penisilin tersebut mampu menurunkankontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhisensitivitas dan spesifisitasnya. Supaya FASTPlaqueTBTM dapatdiaplikasikan secara efektif, hal penting yang harus dilakukanadalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutamaperlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkaitdengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidakselalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini,dapat dilihat bahwa uji FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitasyang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendahapabila dibandingkan dengan metode pewarnaan ZiehlNeelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi.FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup

sedang metode Ziehl Neelsen t idak dapat membedakanantara bakteri hidup dan mat i.24 Hal tersebut dapatmembantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasiendengan kondisi klinis membaik namun hasil pewarnaan ZiehlNeelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis danFASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas.FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudahdikerjakan. Selain itu metode ini memberikan keamanan yanglebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakanMycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen.Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehinggabakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperolehdalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihantersebut, uji FASTPlaqueTBTM memiliki beberapa kelemahanantara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis,memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasildipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalammembedakan hasil negatif dan posit if lengkap.

Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lainadalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruhstrain Mycobacterium tuberculosis di Indonesia, karena hanyadiambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta.Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hinggaspesies bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes MenyambutHari TBC Sedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.

2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children WhoHave Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http://puspasca.ugm.ac.id. 2003.

3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan WorldHealth Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar FaktaTuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.

4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation ofthe FASTPLAQUETB Assay for Direct Detect ion ofMycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int JTuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40.

5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B,Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test,FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis fromSputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis.2002; 6(6): 529 – 37.

6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J,Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonarytuberculosis treatment: a study with a simple colorimetricassay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.

Page 11: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 6

7. Levinson W. Review of Medical Microbiology andImmunology. United States,The McGraw-Hill Companies,Inc. 2008. p.164.

8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.www.fk.ui.ac.id 2008.

9. Pai M, Kalantri SP. Bacteriophage-based tests fortuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149-50.

10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL.Bacteriophage- based tests for the detect ion ofMycobacterium tuberculosis in clinical specimens: asystematic review and meta analysis. BMC Infect Dis, 2005;5(59).

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PedomanDiagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. PemeriksaanMikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen PengendalianPenyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13-14,17,21.

13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I,Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro:Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.

14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. TheResearch Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18.

15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an OgawaMycobacterium culture method modified for highersensitivity employing concentrated samples. TropicalMedicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.

16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simplemethod to dif ferent iate between Mycobacteriumtuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directlyon clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med PublicHealth. 2007; 38(1): 111-4.

17. Biotec Laboratories Ltd. FASTPlaqueTBTM a rapidbacteriophaga assay for the detection Mycobacteriumtuberculosis complex in clinical samples. 2004. Availablefrom: www.biotec.com.

18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yangberhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa(Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakitparu pat i). Undip website. 2006. Hal. 2. ht tp://eprints.undip.ac.id/5283/.

19. Suharjana BS, Krist iani, Trisnantoro L. PelaksanaanPenemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas KabupatenSleman. KMPK Universitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http://www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf2009.

21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TBparu – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.

22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and sevenother mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis- application for identification and susceptibility testing.Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42.

23. Stella EJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophagesas versatile tools for genetic manipulation of mycobacteriaand development of simple methods for diagnosis ofmycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología.2009; 41: 45-55.

24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguishalive and dead mycobacteria by fluorescent staining— atrial for solving the biohazard problem in TB laboratories.Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.

Page 12: PPTI Jurnal Maret 2012

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakitkronis yang masih menjadi masalah kesehatan di duniatermasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat initelah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyarmanusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakitini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baruTbdengan kemat ian sebesar 3 juta orang. Di negaraberkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhankasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengantelah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebutpada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasusdan kegagalan pengobatan.Data Program PemberantasanTuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatankasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupunpencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasilmenyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angkakesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalahkesul i t an penemuan penderi t a TB paru BTA(+),ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. KasusTB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumberpenularan.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidupsendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuandan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman,perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuanorang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapimasalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorangakan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.

Demikian halnya dengan penderita penyakit kronisseperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karenadengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidaklangsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungandengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akanmeningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITATUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

Nita Yunianti RatnasariAKPER Giri Satria Husada Wonogiri

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderitapenyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhitingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidakberdaya dan putus asa, yang pada akhirnya dapatmeningkatkan status kesehatan. Meningkatnya statuskesehatan berarti akan meningkatkan kualitas hiduppenderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyaiandil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan,dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadappenderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebutdapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat ataukeluarga penderita.

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utamauntuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan sepertimorbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negaraberkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensipenyakit kronis mulai menggantikan dominasi penyakit infeksidi masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama,namun dengan membawa beban penyakit menahun ataukecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatianpelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang iniadalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagiberdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TBparu, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan,misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajakberbicara, kalau dekat dengan penderita akan segeramenutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangatmenyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekandan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak padakondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhikeberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosialyang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal.

Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosialdapat meningkatkan status kesehatan penderita sertapentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderitapenyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkajikedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karenaselain merupakan tempat berobat yang potensial bagi

7 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 13: PPTI Jurnal Maret 2012

penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepatuntuk mengembangkan berbagai penel i t ian yangberhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angkapenemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebutpaling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Padaperiode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%,penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.

Tujuan penelit ian ini adalah untuk mengetahuihubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hiduppenderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnyadukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TBparu yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran sertabesarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitashidup penderita TB paru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimentalyang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif denganrancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiranyang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosismedis menderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensifprogram pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT KategoriI, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapatmembaca dan menulis. Data diambil dengan pengisiankuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahuihubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hiduppada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisiskorelasi Product Moment Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Penderita TB paru yang menjadi responden dalampenelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahundan usia 41–50 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuanberimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang(46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%)tamat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkanresponden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidaktamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%).Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), t idakbekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayatpengobatan sebanyak 33 orang (66%) respondenmenyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakanpernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.

2. Dukungan Sosial

Total skor dukungan sosial adalah jumlah orangpemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungansosial tersebut . Sebanyak 18 orang (36%) mendapatdukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategorisedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%)dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima parapenderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanaksaudara dan tetangga.

3. Kualitas Hidup

Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspekyaitu : t ingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan,dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%)dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitasperlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakantidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapatmelakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang(18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkanbantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidakmampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali.Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besarwaktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasasakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungankuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderitayang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarangmendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak40 orang (80%) mempunyai harapan posit if dan dapatmenyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya.Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%)betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garisbesar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidupbaik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanyaada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.

4. Hubungan Antara Dukungan Sosial denganKualitas Hidup

Dari hasil analisis dengan uji korelasiProductMomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosialdengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan rsebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubunganyang sangat bermakna antara dukungan sosial dengankualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosialyang diterima, maka kualitas hidup juga semakin meningkat.Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 8

Page 14: PPTI Jurnal Maret 2012

Hubungan Antara Karakteristik Responden denganKualitas Hidup

Hasil analisis dengan korelasi Pearson antarakarakterist ik responden (umur, jenis kelamin, t ingkatpendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengankualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis :variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077;p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141;p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Darianalisis tersebut diketahui bahwa variabel umur danpendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang,masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengantingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan adahubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengankualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin,pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkanhubungan bermakna dengan kualitas hidup.

Hasil analisis multipel regresi antara karakteristikresponden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapatvariabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378;p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitashidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin (â=0,260; p=0,753),pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=–6,25; p=0,417) t idak memberikan kontribusi terhadapkualitas hidup penderita TB paru.

PEMBAHASAN

Frekuensi penderita TB paru yang menjalani programpengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiranterbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usiadewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderitaTB paru berada di negara berkembang, dimana 75%diantaranya adalah usia produktif.

Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan,yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelit iantentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasayang menyatakan bahwa laki- laki mempunyaikecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru.Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyakmelakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan olehpenyebab penyakit ini.

Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTAsebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikanlebih t inggi akan sadar tentang perilaku sehat danpengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelit ianini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baiktentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikanlebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelit ian StudiKasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKIJakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnyat ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnyapengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatanlingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besarpenderita yang masih membuang dahak serta meludahsembarang tempat.

Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswasebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwaresponden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasaldari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal dilingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadappenularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataanmengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungandengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yangterlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatanhunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padatpenghuninya akan kekurangan O

2 sehingga menyebabkan

menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinyapenularan penyakit.

Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66%penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnyakecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernahmenjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebihmemilih untuk berobat di instansi tersebut denganpertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Halini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalammenuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan.Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhioleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatanyang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkankebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehinggadiharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderitaagar teratur berobat sesuai dengan jadwal sampaitercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannyabanyak penderit a yang t idak tekun menyelesaikanpengobatannya.

Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelit ianini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkandukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderitaTB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukupmendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitarpenderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakitkronis, sebab dengan dukungan tersebut akanmempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa

9 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 15: PPTI Jurnal Maret 2012

cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga padaakhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalandi BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhirtergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderitamenyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengannormal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampubekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TBparu bersifat radang yang kronis. Gejala malaise seringditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunanberat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringatmalam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalandi BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satuminggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% respondenmenyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaiansendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain.Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, sepertimengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakansalah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitasfungsional.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalandi BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu mingguterakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) respondenmerasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yangmerasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkanoleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadipenurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnyanafsu makan, napas pendek serta sering flu.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalandi BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga danteman- teman diperoleh sebanyak 43 orang (86%)menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang laindan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga ataudari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan darikeluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakityang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB parumudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baikmengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimanaorang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontakdengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya,dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihakkeluarga akan sangat membantu proses penyembuhanpenyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minumobat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluargadan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkankepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalamminum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.

Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalandi BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderitamempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikandengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besarresponden yang mempunyai harapan positif tersebut telahyakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB parudapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatanyang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorangyang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun olehpetugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minumseluruh obatnya diharapkan akan sangat membantupenderita untuk berperilaku posit if sehingga mendukungproses penyembuhannya.

Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubunganyang sangat bermakna antara dukungan sosial dengankualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi posit ifmenunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial makakualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuaidengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salahsatunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungansosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu,dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi selfesteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatanjiwa seseorang.

Hasil analisis multipel regresi antara umur dengankualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05).Hal ini berart i umur memberikan kontribusi bermaknaterhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnyakualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnyaumur.

Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidakmemberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai(â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelit ianmengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal TerminalYang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. SardjitoYogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyatatidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagalginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik.Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hiduplebih jelek dibandingkan perempuan.

Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermaknaterhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuaipernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhisikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkatpendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan,sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruhterhadap perawatan kesehatannya.

Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengankualitas hidup penderita diperoleh (â=–0,155; p=0,260).

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 10

Page 16: PPTI Jurnal Maret 2012

Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusiterhadap kualit as hidup penderi ta TB paru. Hal inidimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalampenelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagilagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehinggajenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidakmewakili profesi.

Pada penelit ian ini diketahui bahwa t idak adahubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitas hiduppenderita TB paru, didapatkan nilai (â=–6,25, p=0,417).Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait denganketaatan berobat penderita, sehubungan dengan programpengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untukmenekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

KESIMPULAN

Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosialdengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggidukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabelumur dan pendidikan memberikan kontribusi bermaknaterhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin,pekerjaan dan riwayat pengobatan t idak memberikankontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI.Jakarta : Hal : 715–719. 1990.

Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset :Houghton Mifflin. Princetor. 1990.

BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 UnitMinggiran. Yogyakarta. 2003.

Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London: Academic Press Inc. 1985.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2ndEd. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.

Depkes RI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakanke-5. Jakarta. 2000.

Depkes RI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”.Jakarta. 1994

Depkes RI., “Pedoman Penyaj i t Tuberkulosis danPenanggulangannya”. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta.1999.

Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada KochPulmonum Orang Dewasa”. Majalah Radiologi Indonesia Tahunke-2, No 2 : 31–35. 1991.

Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil PengobatanTB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. CerminDunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002.

Hamdani, F., “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi KetaatanBerobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FKUGM. Yogyakarta. 1994.

Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TBParu”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002.

Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/lain-lain/zainuddin.htm.2002

Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita SelektaKedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. RinekaCipta : Jakarta. 1996.

Sugiyono., “Statist ik untuk Penelit ian”. Bandung : CV.Alfabeta. 1999.

Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal –Bedah, Brunner & Suddarth / editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta :EGC. 2001.

Siswanto, A., “Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal TerminalYang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. SardjitoYogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FKUGM Yogyakarta. 1992.

Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak diRSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM.Yogyakarta. 2001.

Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat PenderitaTuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru ObstruksiMenahun (PPOM) di RSUP Dr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”.KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.

Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien GagalGinjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah SakitSardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.

WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHO Regional ForSouth East Asia. 1993.

Woerjandari, A., “Manajemen Pengobatan PenderitaTuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas danBP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM.Yogyakarta. 2001.

11 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 17: PPTI Jurnal Maret 2012

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan pasientuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India danCina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruhpasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakanpenyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskulerdan saluran pernapasan pada semua kelompok usia danpenyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil surveiprevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TBBTAposit i f secara nasional 110/100.000 penduduk.Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utamakesehatan masyarakat Indonesia.1

Diagnosis TB paru yang digunakansaat ini secara rutindilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalahdiagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteritahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kulturuntuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitasdan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukanwaktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperolehhasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untukkultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya.Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatifcepat tetapi sensitivitas dan spesifitas teknik ini lebih rendahdibanding dengan teknik kultur.2

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaranklinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaanlaboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan mikrobiologisyaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringanpasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB,meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyaiketerbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskopmemerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkanuntuk mendapatkan kuman posit if pada biakan yangmerupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sputum mempunyaisensit ifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yangmemberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaranklinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa

RAPID TB TEST

Apri Lyanda

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran RespirasiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasilkultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggudengan angka sensit ivitas 18– 30%. Foto polos toraksmemberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% padanegara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat dilobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, makakemungkinan TB paru 80–85%.4 Oleh karena terdapatbeberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lamadalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkanalat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas danspesifitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostikyang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB

Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala.Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulangbelakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa daritahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciripenyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TBadalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawiberpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abadkedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TBadalah penyakit menular tetapi penyebabnya belumdiketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalahpenyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukanstetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal pentingdalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelumpenemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosisTB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosislain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet inidisempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkankemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan namaMantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosisTB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehinggasekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebihditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapatdilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 12

Page 18: PPTI Jurnal Maret 2012

DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS

Diagnosis cepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosiscepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTBsecara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kulturdan ident if ikasi fenot ipe. Meskipunmetoda tercepat ,termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaantahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (45–80%kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama didaerah dengan insidensTB rendah dan pada bentukekst rapulmoner TB serta pada pasien terinfeksiHIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baiktetapinilai prediktif positif yang rendah (5–80%) didaerah denganinsidens tinggi M. non-TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggapsebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitaslebih baik dibanding pemeriksaan BTA.

Pertumbuhan lambat bakteri M.tb merupakanhambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit. Dua dekadeterakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melaluipenggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, SparksAmerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux,Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh BectonDickinson Diagnostics dan VersaTREK produksi Trek DiagnosticSystem, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebutmasih membutuhkan waktu beberapa minggu untukmendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkanwaktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipekuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saatiniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaiksepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosiscepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini.Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Metoda kromatografi

Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakandeteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupundalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding selmycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitiftelah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalahfast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.Dikutip dari (2)

Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tbdan deteksinya memerlukan diagnosis banding antara spesiesMycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang jugamemiliki asam dan jenis lipid yang sama. Diantara komponen-komponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi denganTBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11

Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untukidentifikasi mikobakterium dari kultur posit if, berdasarkanantigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatifbermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik

Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag denganafinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculanuntuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 t ipebakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alatpenting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaatklinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkanbakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase ReporterPhage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB).Perbedaan terpent ing antara ke-2 metoda ini adalahmengenai deteksi sel mikobakterium yang terinfeksibakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkanpada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux)yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. SedangkanPhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentansetelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 padaM. smegmatis.13-15

Luciferase Reporter Phage Assay telah terbuktibermanfaat untuk membedakan M. tbdari kultur danterutama dalam uji sensit ifitas terhadap isoniazid danrifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkandengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntukmendiagnosis TB pada sediaaan saluran pernapasan juga telahditeliti untuk uji sensitifitas terhadap antimikrobaM. tb. Teknikini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikitlatihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitasyang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutinmetoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasimengenai manfaat dalam diagnosis TB atau deteksi resistensiobat antituberkulosis (OAT).14-16

Metoda Genotipe

Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersediauntuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakterium.16

Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosismolekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinisM. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensiyang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam

13 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 19: PPTI Jurnal Maret 2012

amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapakeuntungan sepert i waktu kembali yang cepat dankemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian muculsaat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaanklinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitas pada sampelapus negatif dan ekstraksi DNA.17,18

Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luasdan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Halini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dankurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnyamenggunakan kultur sebagai baku emas yang secara teoritismemiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasiNAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis padakebanyakan penelit ian telah mengakibatkan beberapakebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapanmenggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuanterbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosatuberkulosis menyatakan bahwa:

a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaanM.tb pada 50–85% sediaaan BTA apus negatif dankultur positif

b) nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positiflebih tinggi (>95%)

c) secara umum, metoda molekuler ini dapatmendiagnosisTB beberapa minggu lebih awaldibandingkan kultur pada 80–90% pasien dengankecurigaan TB yang tinggi.19,20

Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda nonkomersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat danamplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagaitarget genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atauMBP64. Meskipun uji amplif ikasi non-komersial telahberkembang pada beberapa tahun terakhir yangdirekomendasikan adalah menggunakan uji komersial yangmemiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebihbaik.20Semua metoda NAA membutuhkan anal isispostamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesisfragmen teramplifikasi atau hibridisasi, rest riksi atausekuensing.18,20Untuk diagnosis TBmetoda yang palingberkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada ujihibridisasi(Tabel 1).

Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase ChainReaction (PCR)

Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic SystemInc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepattertua berdasarkan PCR standar. Uji ini adalah uji DNA yangmengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16S dilanjutkandengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat

diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh US Foodand Drug Administration (FDA) untuk digunakan padasediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA(+).21

Berbagai studi telah melaporkan sensitifitas yang tinggi padaspesimenapussaluran pernapasan posit if (87–100%), lebihrendah pada kasus apus negatif (40–73%) dan sampelekstrapulmoner (27–98%). Spesifisitas metoda ini berkisarantara 91–100%.20,21

Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA)

AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen-ProbeInc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakanmetoda isothermal cepat dengan suhu 420Cdenganamplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasartranskriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNAmenjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscentuntuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNAspesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertamayang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluranpernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasiFDA diperluas hingga sampel apus negatif.21 Saat ini terdapatbukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95–100%) dan sensitifitas tinggi (91–100%) untuk sampel apussaluran napas positif, meskipun sensit ifitas ini lebih rendahuntuk sampel apus negatif (65–93%) dan ekstrapulmoner(63–100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnyakontrol amplif ikasi internal (AIC) dan t idak terdapatkemungkinan otomatisasi.20,21

Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR)

Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasiDNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampelklinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M.tb. Meskipun spesifisitas (90–100%) dan sensitifitas (65–90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampelpernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karenaongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan

Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi

Uji

Cobas amplicor

AMTD

LCX

BD Probe Tec

Innolipa

Genotype MD

RT –PCR

GeneExpert

GeneQuick

Metodaamplikasi

PCR

TMA

LCR

SDA

Neste-PCR

NA-SBA

Real time PCR

Real time PCR

PCR

Target

16sRNA

16sRNA

PAB

IS6110- 16sRNA

rpoBgene

23sRNA

16sRNA

rpoBgene

IS6110

Deteksi

Kolorimetrik

Semiluscent

Fluorimetrik

Flourimetrik

Kalouimetrik

Kalorimetrik

Fluorimetrik

Fluorimetrik

Kalorimetrik

Volsampel

(ul)

100

450

500

500

500

500

10- 100

1.000

50

Waktuparuh(jam)

6- 7

2- 5

6

3,5- 4

12

5,5

2- 3

2

2,5

Automatis

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

IAC

Ya

Tidak

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Dikutip dari (20)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 14

Page 20: PPTI Jurnal Maret 2012

harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini diproduksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.

Strand Displacement Amplification (SDA)

Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu tekniksemiotomatis dalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas.Metoda ini merupakan proses amplifikasi enzimatik isotermalmenggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapasalinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16S yang produkamplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasipada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90–100% pada sampel apus positif dan 30–85% pada sampelapus negatif dengan spesifisitas tinggi (90–100%).20 Alatuji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.

Uji Hibridisasi Fase Padat / solid-phase hybridizationassay

Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat ujihibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan HainLifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi danmengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untukmendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selaindapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksiMycobacterium Others Than Tuberculosis (MOTT) antara lainM avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense. 21

Real Time PolymeraseChain Reaction(RT-PCR)

Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutanberbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memilikisejumlah manfaat penting terutama kecepatannya danmasalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal inidikarenakan proses setelah ekstraksi DNA terjadi pada tabungtunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCRsudah banyak memproduksi seperti Cobas TaqMan MTB testbuatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas danspesifisitas umum yang tinggi, terutama pada sampel salurannapas. Diantara berbagai alat yang telah diprodusimenggunakan teknik ini, GeneXpertbuatan Cepheid,Sunnyvale Amerika dan FIND Diagnostics, Jenewa Swiss barusaja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semikuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasipengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridgesekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untukmenggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakansensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluranpernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh,WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai ujidiagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasiendengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorangdengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21

Gambar 2.Alat diagnosiscepat genexpert

Metoda baru lainnya

Loop mediated isothermal amplification (LAMP)buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics,Genewa, Swiss adalah teknik amplifikasi isotermal yang relatifbaru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar targetDNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produkamplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas ataukolorimetrik dan f luorimetrik. Meskipun memilikiketerbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikanhasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepathanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapatbermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21

Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaansaluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan HainLifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasilanjutan.21

Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB

Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkandengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihatlebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tbjika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyaibanyak keuntungan dan hasil akhirnya lebih murah.Penelit ian yang dilakukan WHO di beberapa negaraberkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebihbanyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasipembiayaan yang lebih murah ini terus dilakukan oleh WHOuntuk memcepat diagnosis M.tb maupun MDR-TB.Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harusdikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert denganmetoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21

Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metodadapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Dikutip dari (21

15 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 21: PPTI Jurnal Maret 2012

MODS

MGIT

BACTEC

L J

Microagar

MABA

PCR-RT

BTA sputum

0,77

7,00

2,55

0,14

0,29

1,23-2,43

0,90

0,10

1,72

35,02

12,75

1,60

1,60

5,62

1,80

63,03

23,00

1,57

2,92

6,87

Metoda Uji Biaya(US$)

Uji resisten2 obat

Uji resisten4 obat

Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB

Dikutip dari (18

Kesimpulan

1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kumanM.tb kurang dari 1 jam

2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat denganbermacam metoda

3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biayadan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secaraautomatisasi

4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikanWHO adalah PCR-RT

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedomannasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14.

2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CE Barry. Confrontingthe scientific obstacles to global control of tuberculosis.J Clin Invest. 2008;118:1255-65.

3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Poncede León A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacteriumtuberculosis from patients smear-negative for acid-fastbacilli. Lancet. 1999;353:444-9.

4. American Thoracic Society; Centers for Disease Controland Prevention; Council of the Infectious Disease Societyof America. Diagnostic standards and classification oftuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit CareMed. 2000;161:1376-95.

5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characterist ics,laboratory detection, and staining procedures. In: MurrayPR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.

Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. WashingtonDC: ASM Press; 2007. p. 543-72.

6. Vincent V, Gutiérrez MC. Mycobacterium: Laboratorycharacterist ics of slowly growing mycobacteria. In:Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, PfallerMA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed.Washington DC: American Society for Microbiology;2007. p. 573-88.

7. Salf inger M, Pfyf fer GE. The new diagnost icmycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol InfectDis. 1994;13:961-79.

8. Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB.Identification of Mycobacterium tuberculosis and M.aviumcomplex directly from smear-posit ive sputumspecimens and BACTEC 12B cultures by high-performanceliquid chromatography with fluorescence detection andcomputer- driven pat tern recognit ion models. JClinMicrobiol. 1995;33:1270-7.

9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysisof fatty acids in sputum from patients with pulmonarytuberculosis using gas chromatography- massspectrometry preceded by solid-phase microextractionand postderivatization on the fiber. J Chromatogr A.2009;1216:1450-7.

10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast methodfor the identification of Mycobacterium tuberculosis insputum and cultures based on thermally assistedhydrolysis and methylat ion fol lowed by gaschromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A.2009;1216:6319-25.

11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH,et al. Evaluation of an immunochromatographic assaykit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosiscomplex in clinical isolates. J ClinMicrobiol. 2009;47:481-4.

12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G,Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilitiesof Mycobacterium tuberculosis by means of luciferasereporter phages. Science. 1993;260:819-22.

13.Alcaide F, Galí N, Domínguez J, Berlanga P, Blanco S,Orus P, et al. Usefulness of a new mycobacteriophage-based technique for rapid diagnosis of pulmonarytuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71.

14.Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A.Bacteriophage- based tests for the detect ion ofMycobacterium tuberculosis in clinical specimens: asystematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis.2005;5:59.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 16

Page 22: PPTI Jurnal Maret 2012

15.Galí N, Domínguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F, Coll P,et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapidassessment of suscept ibilit ies of Mycobacteriumtuberculosis isolates to isoniazid and influence ofresistance level on assay performance. J ClinMicrobiol.2006;44:201-5.

16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R,Godfrey-Faussett P. Development of a bacteriophagephage replication assay for diagnosis of pulmonarytuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20.

17.Alcaide F. New methods for mycobacteria identification.EnfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7.

18.Domínguez J, Blanco S, Lacota A, García-Sierra N, PratC, Ausina V. Ut il ity of molecular biology in themicrobiological diagnosis of mycobacterial infections.EnfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41.

19.Palomino JC. Nonconventional and new methods in thediagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability inthe field. EurRespir. 2005;26:339-50.

20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, WaughN, et al. A systematic review of rapid diagnostic testsfor the detection of tuberculosis infection. Health TechnolAssess. 2007;11:1-96.

21.Polomino JC. Molecular detection, identification and drugresistance detection in Mycobacterium tuberculosis. JMed Microbiol. 2009;56:103-11.

17 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 23: PPTI Jurnal Maret 2012

MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

Agung Ari Wijaya

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran RespirasiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Merokok dan tuberkulosis(TB) merupakan duamasalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyakditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDSmeluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka diseluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih darisatujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakaukhususnya merokok, secara luas telah diakui sebagai masalahkesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebabkematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta padatahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikanmeningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok didunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakansebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7milyar perokok pada tahun 2025. Sebanyak 65–85%tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentukrokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2

Data World Health Organization (WHO) menunjukanIndonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesarke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika.Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisike-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlahperokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokokIndonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir.Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000–2008adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkandengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler,diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artrit is,impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan lain-lain.2,3 Parumerupakan organ yang menderita kerusakan paling parahakibat merokok. Hubungan antara merokok dan TB pertamakali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanismeyang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyakpenelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4

MEROKOK

Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsaBelanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannyapertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokalIndonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang

kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hinggamenggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaanmasyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasabelanda roken. Merokok adalah t indakan seseorangmenghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok telahdibicarakan dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukanpara ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokokdan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok danorang diseki tarnya. World Health Organizat ionmemperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibatmerokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwadi dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal daribenua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi padanegara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7

Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimiayang memiliki berbagai efek racun, mutagenik dankarsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasidalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkanberbagai komponen baik di kompartemen seluler danekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dangas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalahnikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida,formaldehid, akrolein, aseton, benzopyrenes,hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zatyang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namuntar dan nikot in telah terbukti imunosupresif denganmempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari pejamudan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahanfarmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksiadalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangatmudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringanparu. Kriteria utama untuk menentukan ketergantunganobat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untukmenggunakan, terdapat efek psikoakt if dan terbiasamenggunakan obat tersebut. Semakin t inggi kadar tar dannikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8

Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematiansecara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang diseluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktorrisiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 18

Page 24: PPTI Jurnal Maret 2012

19 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaituserebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dankanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebabutama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhentimerokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkatindividu dan sosial. Mengingat prevalens merokok upaya besartelah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untukmembantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensiuntuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam.Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditasdan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitanmenghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secarapsikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuktujuan tersebut.10

Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan caramerokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain danperokok akt if lebih menimbulkan beragam penyakitdibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasifsecara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacampenyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia,lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah danmenengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakauterbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan8% perempuan diatas usia 15 tahun merokok, berbeda dengan37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negaraberpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal dihanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, AmerikaSerikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsiper orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perharidibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telahmenurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika,Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan tinggi lain.Sebaliknya, prevalens merokok pada laki-laki meningkat tajamdi negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengahseperti Cina dan Indonesia. Peningkatan yang nyata terjadi padalaki-laki usia muda. Perbedaan antara perempuan dan laki-lakiberhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalamhal prevalens penggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkatatau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan.Penelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yangnyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.11-

13 Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebabkematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakanbahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematianpada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besarpeningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakauakan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Studiyang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringandengan 1–4 batang perhari ternyata tetap meningkatkan angkakematian.9,14,15

Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telahmenurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orangAmerika adalah perokok. Pada tahun 2004 sekitar 21% orangdewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokokmenjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahunsebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggalakibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yangberhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dankehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerikaper tahun.8

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan olehinfeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakanmasalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia.M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ danlebar 3µ, tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob.Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnyamisalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberiwarna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidakdapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, makamycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Padadinding sel mycobacteria, lemak berhubungan denganarabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Strukturini menurunkan permeabilitas dinding sel sehinggamengurangi efekt ivi t as terhadap ant ibiot ik.Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding selmycobacteria berperan dalam interaksi antara inang danpatogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidupdi dalam makrofag.16

Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TBsebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyakmenyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematianterutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkaninsidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,5–9,2 juta), 1,1 juta(0,9–1,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatifditambah 0,35 juta (0,32–0,39 juta) penderita TB denganHIV posit if. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasusbaru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasidengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibatinfeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan),termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutanketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluhpersen kasus TB akt if yang ditemukan di 22 negaraberkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55%kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari bebankasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat,di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbanglebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008.Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup dengan

Page 25: PPTI Jurnal Maret 2012

HIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudahterinfeksi cenderung resisten terhadap obat danmeningkatkan angka kematian. India menempati urutanpertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbangsekitar seperlima dari seluruh jumlah kasus di dunia denganangka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematiandi India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta),Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) danIndonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadipenurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasidan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. DiNigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dandiperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus TB baruset iap tahun jauh lebih besar dari standar yangdirekomendasikan WHO yaitu sebesar 3%.3,16-18

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejalaklinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yangmempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkandiagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapatberasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasanbronkus, bi lasan lambung, kurasan bronkoalveolar(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologidengan pemeriksaan standar foto toraks PA (posteroanterior),pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic,oblik atau CT-Scan. Pemeriksaan penunjang lainnyadiantaranya analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologijaringan dan pemeriksaan darah. Gejala klinis TB dapat dibagimenjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialahgejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batukdarah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangatbervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yangcukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasienterdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belumterlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidakada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasibronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuangdahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksiTB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia danberat badan menurun. Pada TB paru, kelainan yang didapattergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletakdi daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmenposterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suaranapas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung daribanyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukanpekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampait idak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Padalimfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasistumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjartersebut dapat menjadi “cold abscess”.1

PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI

Rokok telah menunjukkan dampak yang luas terhadapmekanisme kekebalan inangnya. Terdapat banyak penelitiankontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok,kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi,kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasipenyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertamamelawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungidengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus,memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secaralangsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkanpermeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihanmukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresiepitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkaninflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahanbentuk sel epitel.1,19

Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasidan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofagmempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofagalveolar mempunyai peran kunci dalam merusak danmengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi.Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga selepitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediatorproinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species(ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikanmekanisme seluler yang menghubungkan rokok denganinflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokokberpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untukmemfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yangsama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahananalamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik(DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkanrisiko, keparahan dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalamhubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá menjadilebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofaguntuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuanuntuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasisecara kimiawi dari matriks ekstraseluler, peningkatan retensisel T CD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektorsekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 20

Page 26: PPTI Jurnal Maret 2012

agregasi limfosit dengan sel T dan sel B bisa terbentuk padasisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen danmenyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahananmukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yangterjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19

Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokokDikutip dari (19)

Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki perandalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobialdan proteksi ant i t umor. Hal ini di lakukan dengansitotoksisitas langsung yang mencetuskan apoptosis, sitokinpro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studimenunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah danaktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukanperokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitas sitotoksikdanproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengandemikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatanrisiko infeksi dan kanker. Pada paru sel dendritik (DCs)merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukanuntuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang tinggiterhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan beradalangsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkanbahwa jumlah DCs berkurang pada sebagian besar jalan napaspasien ppok yang merokok. Setelah berhenti merokok jumlahDCs makin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehatyang t idak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkanterdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipesistem pajanan rokok. Proses otoimun berperan padatimbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok.Merokok juga dapat menurunkan level semua kelasimunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan cobadidapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigenberkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS

Hubungan antara merokok dan TB pertama kalidilaporkan pada tahun 1918.Mekanisme past i yangmenghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya

dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanansaluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksiTB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yangmembentuk saluran udara yang memasok udara ke parumemberikan garis pertahanan pertama dengan mencegahkuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapatmengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paruyang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsifagositosis dan membunuh kuman pada individu yangmerokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telahditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokinproinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangatpenting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksikuman termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkanbahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruhterhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasifberhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anakdan usia muda.4,20,21

Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160kasus antara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkanbahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadappemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yangsedang mendapat terapi obat antiTB. Penelit ian lainmenunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderitaTB yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasienBTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di Indiapada bulan September 2004 hingga Agustus 2005didapatkan peningkatan terjadinya infeksi TB pada perokoksebesar 3,8 kali dibandingkan yang t idak merokok danberhubungan dengan jumlah rokok, indeks massa tubuh danstatus sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlahrokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24

Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilaimerokok sebagai faktor risiko untuk infeksi TB. Di antarayang paling penting adalah prevalens rendah infeksi TB padapopulasi umum dan tingkat merokok telah menurun. DiAmerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi padapopulasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah padafaktor risiko lain untuk TB seperti HIV, tunawisma, peminumalkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko TB. Saatini lebih dari 50% pasien TB di Amerika berasal dari beragamnegara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktor-faktor risiko untuk TB berbeda antara penduduk pendatangdan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukanterhadap penduduk asli dan pendatang di Australiamenunjukkan bahwa angka kejadian TB cenderung lebihtinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengansosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaanmerokok yang tinggi.9,25

21 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 27: PPTI Jurnal Maret 2012

Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkanhubungan antara merokok dan TB, banyak dari merekadidasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitian-penelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan sepertidesain kasus control atau potong lintang ukuran sampelkecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol,infeksi HIV dan faktor yang berpengaruh lainnya. DiHongKong merokok dan TB merupakan dua kondisi yangumum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi padalaki- laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-lakidewasa adalah perokok aktif dan kejadian TB sebesar 100per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi padalaki-laki dengan usia diatas 65 tahun. Merokok berhubungandengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan TB.Studi dengan hewan coba t ikus yang mendapatkanpajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksiinterferon ³(IFN ³)oleh sel T akan menurun denganpenurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN ³pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. Studi inimemberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokoksecara langsung menghambatr esponsselT untuk M. TB danvirus influenza pada fisiologi hewan coba sehinggameningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27

Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangattinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkandengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitumereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan miripdengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokokmemiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangirisiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapatmempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi bebankesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisamengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. RisikoTB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorangberhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran pentingdari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokokbertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematianakibat TB di Taiwan (37,7%). Pengendalian penggunaantembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapatmempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi hampirsepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yangtelah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampakkesehatan yang besar pada peningkatan kesehatanmasyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara sepertiCina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angkakejadian TB lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkanuntuk mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatanpengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhentimerokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan duapertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta

kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penangananyang baik terus dilakukan. Merokok secara substansialmemperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayatinfeksi TB, kematian pada penderita yang merokok dilaporkansebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.21,28 Sebuahpenelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadappenderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemenvitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalamkejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupanvitamin E. Vitamin A dan E tidak meningkatkan respon imunpada penderita TB yang merokok. Penelitian ini menemukanbahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapatmeningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-lakiperokok. Sebaliknya vitamin E tampaknya cenderungmeningkatkan kejadian TB pada peserta yang merokok beratdan telah mendapatkan diet asupan vitamin C sebesar 90mg/hari atau lebih .29

KESIMPULAN

1. Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yangpenting dinegara maju dan negara berkembang.

2. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi danimunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan.

3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacteriumtuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematianpada penderita TB.

4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosiscontrol dan mengurangi kematian pada penderita TB.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F,Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure totobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42.

2. Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk oftobacco smoking on human health besides the oralhealth ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84.

3. World Health Organization. WHO report on the Globaltuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011November 17). Avai lable f rom: URL: ht tp//www.whql i bdoc.who.int /publ icat i ons/2011/9789241564380_eng.pdf.

4. Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, ChanWM, et al. Passive smoking and tuberculosis. ArchIntern Med. 2010;170:287-92.

5. Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience,Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation.2009.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 22

Page 28: PPTI Jurnal Maret 2012

6. Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ.Excess lung function decline in gold miners followingpulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5.

7. PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaanuntuk dokter Indonesia. Perhimpunan Dokter ParuIndonesia. Jakarta 2011.p 4-12

8. Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking andinnate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497–503.

9. Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P,Davison P, Moore L, Thompson S. Smoking cessationin indigenous populations of Australia, New Zealand,Canada, andthe United States: Elements of effectiveinterventions. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2011;8: 388-410.

10. Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacyof pharmacotherapies forshort - t erm smokingabstinance: A systematic review and meta-analysis.Harm Reduction Journal. 2009; 6:25.

11. WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/2008.393. Geneva: World Health Organization;2008.Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/globalreport/2008/en/index.html(Accessed September9, 2011).

12. Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality fromsmoking in developed countries, 1950–2005. Universityof Oxford Clinical Trial Service Unit [online], http://www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009).

13. Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, FanningA, Gupta P, et al. Tobacco and tuberculosis: a qualitativesystematic review and meta-analysis. InternationalJournal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 1049-61.

14. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking andtuberculosis in China: intervention is needed forsmoking cessation among tuberculosis patients. BMCPublic Health. 2009; 9:292.

15. Bjartveit K, Tverdal A. Health consequences of smoking1–4 cigarettes per day. Tobacco Control. 2005;14:315–20.

16. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis danpenatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter ParuIndonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19

17. Udwadia F, Finto L. Why stop Tb is uncomplete withoutquit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10.

18. Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default amongtuberculosis patients on directly observed therapy in

rural primary health care centres in Ogun State, Nigeria.Journal of Infectious Diseases and Immunity.2011; 3(5):90-5.

19. Stämpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skewsimmune responses topromote infection, lung diseaseand cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9

20. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoorair pollution and tuberculosis: A systematic reviewand meta-analysis. PLoS Medicine.2007:173-89.

21. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, TsaiSP. Ther reduction of Tuberculosis risks by smokingcessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156.

22. Siddiqui UA, O’Toole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N,Kane M, et al. Smoking prolongs the infectivity of patientswith tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80.

23. Batista J, Pessoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smokingincreases the risk of relapse after successful tuberculosistreatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51.

24. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A case-control study of tobacco smoking and tuberculosis inIndia Ann Thorac Med. 2009;4(4): 208–10.

25. Davies P, Yew W W, Ganguly D, Davidow AL, ReichmanL, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: theepidemiological association and immuno pathogenesis.Transactions of the royal society of tropical medicineand hygiene . 2006; 291-8.

26. Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, etal. Smoking and tuberculosis among the elderly in HongKong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 1027–33.

27. Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X,et al. Exposure to cigaret te smoke inhibits thepulmonary T-Cell response to influenza virus andMycobacterium tuberculosis infection and immunity.2011;79(1): 229-37.

28. Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effectsof smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer,and tuberculosis in China: a time-based, mult iple riskfactor, modelling study.Lancet . 2008; 372(9648):1473–83.

29. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation maytransiently increase tuberculosis risk in males whosmoke heavily and have high dietary vitamin intake.British Journal of Nutrition. 2008;100:896–902.

23 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 29: PPTI Jurnal Maret 2012

TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS

Arief RiadiDepartemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

The World Health Organization (WHO) memprediksibahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) parusebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yangdiduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteriMycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imunmembatasi multiplikasi basil tuberkel 2–12 minggu setelahinfeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahun-tahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI).Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidakmenularkan. Tuberkulosis paru dapat berkembang segerasetalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dariLTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan TB-HIV (HumanImmunodeficency Virus).1

Kasus TB paru di Amerika rata-rata menurun menjadi46 kasus baru TB paru per 100.000 populasi (total 13767kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksiprevalensi kasus LTBI 4.0% pada seluruh populasi. Persentasekasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003)menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB parudengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7%(2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikankesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasilpemeriksaan HIV.2

Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TBparu aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasilobservasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif padaorang dengan infeksi HIV berkisar antara 35–162/1000 orang/tahun observasi.2 Pada daerah endemik TB terdapathubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation)dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang denganHIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitaskesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawismadapat meningkatkan risiko terkena TB paru.3 TB paru menjadipenyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksiHIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negarameningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelahdiagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan

diagnosis TB paru mungkin menjadi kontributor yang pentingdalam menyebabkan tingginya angka kematian.16

Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TBparu per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIVdiantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional(berdasarkan laporan WHO 2007). Survei yang dilaksanakanoleh Badan Penelit ian dan Pengembangan DepartemenKesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasiendengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS(Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas(Lembaga Pemasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukanTB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDSdi RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkangambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertamatentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakartamenunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapuramenunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI (PerkumpulanPemberantasan Tuberkulosis Indonesia) di Jakarta sejak 2004–2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan TBparu dengan faktor risiko antara 3–5% dan prevalens padapasien Tb paru antara 5–10% dengan kecenderunganmeningkat setiap tahunnya.18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Human Immunodeficiency Virus adalah virussitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnyaHIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases(kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainerdi Inst itut Pasteur Paris tahun 1983 disebut HIV-1.Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallodi Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984.Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di AfrikaBarat.4

Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIVmemiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 disebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran.Glikoprotein 120 memiliki afinit itas t inggi terutama regonV3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 24

Page 30: PPTI Jurnal Maret 2012

awal interaksi dengan sel target , sedangkan gp 41bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi

(Gambar 1).4

Gambar 1. Struktur HIVDikutip dari (4)

CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk

terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadapHIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuhyang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sellimfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus padareseptor CD4 limfosit-T setelah penempelan terjadi fusi keduamembran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virusmasuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4

PATOGENESIS TB-HIV

Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawaliinteraksi gp 120 pada selubung HIV berikatan denganreseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yangmampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit,mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dandendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV denganCD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptorkedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinyasebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Ko-reseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) danchemokine reseptor 4 (CXCR4).4

Proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadiperubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIV jugamembangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shockprotein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkanlimfosit T terpacu sehingga mengalami stres dengan berbagaiperubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43(sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yangterekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfositT-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitaslimfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV akan menginduksi T-helper1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1â, IL-2, Tumor necrosisfactor (TNF)-á dan Interferon (IFN)-ã sehingga kadar didalamdarah meningkat.4

Human immunodefisiency virus yang berada di dalamlimfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43dan akan menginduksi pembentukan kompleks T-cell reseptor

(TCR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhiHIV menjadi lebih aktif. Produksi HIV selama infeksi mencapai109-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upayapengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terusmeningkat akan berusaha menyerang limfosit T-CD4berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatis kadarCD4 sampai kurang dari 1000/mm3 dan naik kembali saatserokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/ìlsetiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampauibatas kritis d” 200 sel/mm3 berarti telah memasuki stadiumAIDS dengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinikdapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4e” 500 sel/mm3) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d”200 sel/mm3). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dariwaktu ke waktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendahmembuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasiklinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4

Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDSDikutip dari (4)

Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tbyang akan mengekspresikan TNF-á bersamaan denganMonocyte Chemotact ic Protein 1 (MCP- 1) yangmengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat(LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á menginduksireplikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kBdi sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkaninfeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M.tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 Tlimfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalamsel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 Tlimfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapatmenyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1(Gambar 3).8

25 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 31: PPTI Jurnal Maret 2012

Gambar 3. Patofisiologi TB-HIVDikutip dari (8)

GEJALA KLINIK HIV

Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksivirus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hingggamanifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagimenjadi 4 tahap yaitu :4

1. Tahap pertama

Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini munculgejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggupertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih,nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesarankelenjar getah bening.

2. Tahap kedua

Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejaladan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelahinfeksi tetapi penderita masih normal.

3. Tahap ketiga

Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebihspesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badanmenurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulutterjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada salurannapas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitasmeskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempattidur.

4. Tahap keempat

Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yangmuncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnyaberlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairyleukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempattidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir.Dapat terjadi berbagai macam infeksi berupa

pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis otak, penyakitsitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis padaesofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur sepertihistoplasmosis. Dapat juga ditemukan keganasantermasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkomakaposi.

Derajat dan berat penyakit ditentukan sesuaiketentuan WHO melalui stadium klinik pada orang dewasa.Diagnosis AIDS di Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positifdan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satugejala minor (Tabel 1).4,5

Berat badan menurun lebih 70% dalam satubulan.Diare kronik lebih dari satu bulanDemam lebih 1 bulanPenurunan kesadaran dan gangguan sarafEnselopati HIV

Batuk menetap lebih satu bulanDermatitis generalisataHerpes zoster berulangKandidiasis orofaringealHerpes simpleksLimfadenopati generalisataInfeksi jamur berulang pada alat kelaminperempuanRetinitis karena virus sitomegalo

Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV

Gejala Karakteristik

Mayor

Minor

Dikutip dari (8)

DIAGNOSIS

Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TBparu termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi darigejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanyamenanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi denganobat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniaziddapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16

a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)

Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknyadiperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBImenunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/µL) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBIseharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 26

Page 32: PPTI Jurnal Maret 2012

ART dan kadar CD4+ e� 200 cell/µL. Pada umumnya uji rutinuntuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIVyang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atauterpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup denganfaktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktorrisiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIVdan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks danevaluasi klinik untuk TB aktif.8

Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau duapendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux,dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV denganindurasi e” 5 mm yang timbul setelah 48–72 jam setelahpenyunt ikan secara intradermal 0,1 mL. Sekarang inipenggunaan metoda in vit ro dengan mendeteksi IFN-”dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptidestelah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9

Gambar 4. Diagram alur diagnosis LTBI-HIVDikutip dari (10)

Penelitian saat ini menyarankan bahwa InterferronGamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggispesifitasnya (92–97%) dibandingkan dengan TuberculinSensitiviti Ujit (TST) sebesar 56–95%, hubungan korelasi yangbaik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dankurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin BacillusCalmette-Guerin (BCG) atau terpajan nontuberculousmycobacteria lainnya dibandingkan dengan TST.11,15

Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TSTdan IGRAs dapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensiterjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasilIGRA meningkat secara paralel dengan berlanjutnyaimunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadangsecara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks.Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan ujidiagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Padakeadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapatterapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kulturseharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkangejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/µL denganlesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran fototoraks dan t idak ada riwayat t erapi sebaiknyadipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dariuji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapiempirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14

b) Diagnosis TB Paru Aktif

Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TBseharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yangmerujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit.Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan daripasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks.Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkankemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakitini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan.Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi haridapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebihdari ¼ dari pasien HIV dengan penyakit TB paru menunjukkanhasil negatif palsu.12

Serostatus HIV t idak mempengaruhi hasil daripemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebihsering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasildari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasaldari spesimen ekstraparu lebih t inggi diantara pasienimunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidakterinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebutDirect Amplification Test dapat langsung diterapkan padaspesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalamproses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak posit if.Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikanTB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negat if ataupenyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harus digunakandan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9

Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasijarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairanpleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah darimikobakterium dapat membantu pasien dengan tandapenyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil

27 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Test for LTBI (e.g., tuberculintest or interferon- releaseassay) in HIV-infected person

Contact to a case ofactive tuberculosis

Negative Positive

Chest radiographyClinical evaluationNo Yes

CD4+ T-lymphocyte count > 200

No Yes

Retest for LTBIonce ART started

and CD4+ T-lymphocytecount > 200

Treatment for LTBI notindicated

Retest annually if ongoing high risk of

tuberculosis exposure(endemic area,

congregate setting, etc.)

No symptomsand normal chest

radiograph

Symptoms (e.g.,fever, cough,

weight loss) ORabnormal chest

radiograph

Evaluate for active tuberculosis(obtain samples for AFB smear

and culture)

Alternative causeidentified for symptoms

and abnormal chestradiograph

Active tuberculosisexcluded with negativesmears and cultures in

the setting of lowsuspicion

Moderate to highsuspicion or

evidence for activetuberculosis

Initiate four-drugregimen for active

tuberculosis

Initiate treatment for LTBI

Page 33: PPTI Jurnal Maret 2012

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 28

positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarumhalus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakitmikobakterium namun tidak selalu TB.16

Tujuan utama algoritma diagnosis adalah membantukeputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi danmengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.Algoritma akan memberikan efek yang signifikan padadiagnosis TB paru dengan HIV/AIDS dan akan membantupenanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakanpada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 2–3minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasienrawat jalan

Dikutip dari (19)

Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujukke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap.Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera makapemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan danpemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasilpemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata danapabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensiHIV yang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosis sesuaidengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik danpasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggimaka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengankondisi jelek

Dikutip dari (19)

GEJALA KLINIK TB-HIV

Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangatdipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksiHIV dengan CD4+ > 350 cell/µL gejala klinik TB sesuai denganpasien TB tanpa HIV.7 Gejala mayor terbatas pada paru danbiasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaraninfiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8 Gejalaekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkanpada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasiklinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIVtidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjutgambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkandengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebihrendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltratmilier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopatimediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengangambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB parudapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8

Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu(limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atautanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor denganjumlah CD4+ < 200 cell/µL. Pada beberapa pasien TB dapatmenjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi,progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi jugadipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsirelatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yangdiasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien denganimunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi,penyakit TB dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8

Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIV tergantungdari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien

Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa

CXRg

Sputum AFB and cultureg

Clinical assessmentg

TB likely

1st visit

2nd visit

3rd visit

4th visit

AFBHIV testb

HIV+ or status unknownc

Treat for TBCPTd

HIV assessmentf

AFB-positived AFB-negatived

TB unlikely

Treat for bacterial infectionh

HIV assessmentfCTPe

Treat for PCPi

HIV assessmentf

Response j Response j

Reassess for TB

No or partial response

Start TB treatmentComplete antibiotics

Refer for HIV andtuberculosis care

Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa

Referral to higher levelfacility

Immediate referralnot possible

Parenteral antibiotic treatment forbacterial infection b,d

Sputum AFB and culture bHIV test b,c

CXR b

Parenteral antibiotic treatment forbacterial infection b,d

Consider treatment for PCP eSputum AFB and culture b

HIV test b,c

HIV+ or unknow f

AFB-positive g AFB-negative gNotuberculosis

Treattuberculosis

Improvementafter 3-5 days

No Improvementafter 3-5 days

Reassess for otherHIV-related disease

Reassess fortuberculosis h

TB unlikely

Page 34: PPTI Jurnal Maret 2012

dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikanmanifestasi TB paru dibandingkan dengan ekstraparu. Padapasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orangdengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih seringmemberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yangsemakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakinmenjadi lebih sering (Tabel 2).8

Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB-HIV

TB paru : TB ekstraparuGejala klinik

Foto toraks· Intratoraks

limfadenopati· Lobus bawahKavitasAlergi tuberculinPemeriksaan dahakReaksi obatKambuh setelahpengobatan

50:50Sering sepertiTB primer

Sering

SeringJarangSeringJarangSeringSering

80:20Sering sepertiTB post primer

Jarang

JarangSeringJarangSeringJarangJarang

karakteristikLate

HIV InfectionEarly

HIV Infection

Dikutip dari (8)

KESIMPULAN

1. Penyebab kematian terbesar pada AIDS adalah TB paru.

2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak

memberikan gejala asimptomatis.

3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus

ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja.

4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering

menunjukkan negatif palsu.

5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV

menunjukkan hasil ¼-nya adalah negatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), AmericanThoracic Society and Infectious Diseases Society of America,Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003;52(RR-11):p.1-77

2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends intuberculosis incidence— United Stauji, 2006. MMWR MorbMortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.

3. Horsburgh, CR. Priorit ies for the treatment of latenttuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med2004; 350(20): p.2060-7.

29 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

4. Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinikdan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309.

5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutationsof Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associatedwith failure of prophylaxis. Antimicrobial agents andchemotherapy 2004; 48:4301-5.

6. Batungwanayo J, Taelman H, Hote R. Pulmonarytuberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of humanimmunodef iciency virus infect ion on clinical andradiographic presentation. Am Rev Respir Dis,

7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution inHIV-infected patients. Clin Infect Dis 2004; 38(8):p.1159-66.

8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:Epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res2005; 121, pp 550-567

9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis andtreatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1):p.103-10.

10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latenttuberculosis infection. N Engl J Med 2002; 347(23): p.1860-6.

11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits forthe diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas ofuncertainty and recommendations for research. Ann InternMed 2007; 146(5): p. 340-54.

12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using theQuantiFERON-TB Gold ujit for detecting Mycobacteriumtuberculosis infection, United Stauji. MMWR Recomm Rep2005; 54(RR-15):p.49-55.

13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIVposit ive, diagnosed by the M. tuberculosis specificinterferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56.

14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays fortuberculosis: is anergy the Achilles’ heel? Am J Respir CritCare Med 2005; 172(5):p.519-21.

15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of aninterferon-gamma release assay with tuberculin skin ujitingin HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007;175(7): p.737-42.

16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheraltuberculous lymphadenitis in adults: current clinical anddiagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82.

17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. AnAlgorithm for Tuberculosis Screening and Diagnosis in Peoplewith HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16.

18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama,Departemen Kesehatan RI, 2007.

19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negativepulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adultand adolecent. WHO recomendation 2006.

Page 35: PPTI Jurnal Maret 2012

TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL

Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran RespirasiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalahkesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalahkesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negaraberkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakanmasalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang olehbeberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara denganpasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkanbahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napaspada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golonganpenyakit infeksi.1

Risiko penularan TB diantara petugas kesehatancukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengancepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidenspenyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif.Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksidi rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutamadi rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik.Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugaskebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TBmerupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugas kesehatansaat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasipengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukansebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsunganpekerjaan.1,15

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacteriumtuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasanwalaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnyapenyakit human immunodeficiency virus (HIV) danpertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TByang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehinggapengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadibertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahasmengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapatdicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yangefektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC)merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa

pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindungpernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukandengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan dibeberapa negara maju.4

PENULARAN TUBERKULOSIS

Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yanghidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak didalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita keorang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1–5¼m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik dikeluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saatbicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadikontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jambahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksiterjadi apabila orang menghirup percik renik yangmengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saatsetelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentukdalam 2–12 minggu setelah infeksi.4,5

Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lamapajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kumanmempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TByang dapat menimbulkan risiko penularan antara lainterdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahanasam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saatbatuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapiantiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani proseduryang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopidan suction.1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yangsering t idak menimbulkan gejala dan kemudian dapatsembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatifmenjadi positif.7

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT

Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengankejadian luar biasa di daerah tersebut.8 Terapi TB dapatdiberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinanpenderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibatberatnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 30

Page 36: PPTI Jurnal Maret 2012

dan indikasi lainnya.9 Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasatuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturanaliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udarat idak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udaramerupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadiantersebut.10

Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yangtermasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat,petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis.Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi,intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasiabses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnyayang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadipenularan nosokomial. Beberapa faktor lainnya yang dapatmeningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensikontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontakdengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6

Bidang kesehatan

- Dokter

- Petugas register

- Perawat inhalasi

- Petugas laboratorium

- Perawat

- Pekarya, pembantuperawat

Pekerjaan yangberhubungan denganbinatang

Pelayanan makanan

Pekerjaan yangberhubungan dengandebu

Pekerjaan yangberhubungan dengananak-anak, sekolah

Pelayananan masyarakat

321

20

68

7

15

26

150

565

455

52

92

113

336,1

50,9

56,2

2,4

16,8

24,1

115,7

253,5

368,0

51,8

254,7

154,4

1,0

0,4

1,2

2,9

0,9

1,1

1,3

2,2

1,2

1,0

0,4

0,7

(0,9-1,1)

(0,2-0,6)

(0,9-1,5)

(1,2-6,0)

(0,5-1,5)

(0,7-1,6)

(1,1-1,5)

(2,0-2,4)

(1,1-1,4)

(0,8-1,3)

(0,3-0,4)

(0,6-0,9)

Kelompok pekerjaanKasus

TeramatiKasus

Diharapkan SMR (IK 95%)

Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan

Dikutip dari (11)

Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risikopenularan infeksi M. tb cukup t inggi walaupun tidakberhubungan langsung dengan pasien karena seringkalipetugas t idak mengetahui bahan yang diperiksamengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratoriummengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelahbekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan

sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulinberhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagaipetugas patologi dan ini merupakan indikator keterlambatandiagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturanudara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularaninfeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama denganklinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TByang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yangmeninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukanotopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidaktepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugaskesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyaifasilitas pengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularanuntuk petugas dan penderita itu sendiri.4

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA

Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang palingpent ing.7 Risiko penularan dapat dikurangi denganpencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasanperalatan yang berpotensi sebagai media penularan,walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12

Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yangakan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerjameliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG,gejala-gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan fototoraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejaladan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin posit if harusdijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dandisarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9

Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasidan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenagamedis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan dayatahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi laten.Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hinggaberbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebutdengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidakmenunjukkan gejala apapun dan t idak menjadi sumberpenularan. Diagnosis TB yang tepat dan cepat sangatdiperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atauterjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akanterjadi penularan.13

Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dinipenderita TB, memberi pengobatan dan mencegah oranglain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakanlangkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularanM.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4

1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangipajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M.tb.

31 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 37: PPTI Jurnal Maret 2012

2. Pengaturan l ingkungan bertujuan mengurangikonsentrasi percik renik yang infeksius.

3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan padadaerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapatdiatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.

Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harusdilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung,fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8

Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegahpenyebaran lebih luas. Petugas kesehatan yang baru diangkatharus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaansecara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenagalama atau saat timbul gejala penularan TB.4 Petugas kesehatandengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG.Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebihtinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkanpada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. VaksinasiBCG dapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidakterjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurangdisetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8

Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja.Dikutip dari (13)

Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktifdan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antriandengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu.Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yangbenar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulutdan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan diruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlujuga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untukmenampung dahak yang dibatukkan pasien. Masker dapatmenghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tbyang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempatsampah harus tersedia untuk membuang masker dan t isubekas pasien.4

Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawatpenderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawatpenderita risiko t inggi seperti anak kecil atau keadaanimunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini beradapada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik.Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatansecepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksinosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehinggakontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela danpintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udaradapat mengalir serta penggunaan kipas angin untukmengatur aliran udara merupakan cara sederhana untukpengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangandapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara.Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaandan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik(Gambar 1-3).4,6,15

Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayananrawat jalan

Dikutip dari (4)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 32

Anamnesis sebelumpenerimaan pekerja

Curiga

Pem. Fisis

Normal

Bekerja dgn pasienatau spesimen

Parut BCG

Uji tuberkulin

Derajat 0/1

Curiga

Pem. Fisis

Normal

KlinikPenyuluhanKlinik Tanpa BCG

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

ya

ya

ya

ya

ya

ya

ya

RuangPeriksa

RuangTunggu

KantorPintu

Pintu Pintu

Rencana Tampilan

Apotik

AreaTerbuka

Dinding dengandaerah atas terbuka

Sisi A

Sisi B

Sisi C

Page 38: PPTI Jurnal Maret 2012

Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap,A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif

Dikutip dari (4)

Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidakadekuat , vent ilasi mekanis dapat digunakan untukmengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitaskesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yangkuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalamruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebutke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitudari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masukdan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yangdibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3). Arah aliranudara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewatipetugas kesehatan kemudian melewat i pasien sampaiakhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harusterhindar dari daerah pembuangan agar udara yangterkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).

Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harusdipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan,pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularanTB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahakdilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyakorang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruangtertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilandahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risikopajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksisputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakant imdakan yang dapat menimbulkan batuk sehinggameningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknyadilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi danpetugas kesehatan menggunakan perlindungan maskeryang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6

Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah danrespirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertasatau kain yang t idak dapat mencegah penyebaranmikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkappartikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulutdan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percikrenik di udara, namun pemakaian masker bedah dapatmengurangi percik renik atau aerosol yang berasal daripenderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan padapenderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ketempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedahtidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dariresiko terhirupnya M.tb karena masker mempunyaiketerbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celahdisekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosolM. Tb tetap masuk. Respirator dapat memberikanperlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15

Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan)Dikutip dari (16)

Jendela terbukaAliran udara

Tempat Tidur

Jendela Terbuka

Aliran udara daribawah pintu

Pintu

Aliran udaramasuk

Aliran udaramasuk

Pintu

Aliran udara

Tempat Tidur

Ruang Pendingin

AC

Aliran udara dari bawahpintu: tekanan negatif yangberhubungan dengan koridor

arah ventilasi alami atauruang kerja yang benar

arah ventilasi alami atauruang kerja yang benar

Pintu Jendela Angin

Angin

arah ventilasi alami atauruang kerja yang tidak benar

arah ventilasi alami atauruang kerja yang benar

Angin

Baik

Angin

Angin

Angin

Pengaturan yang baik

Angin

AnginAngin

Buruk

33 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Page 39: PPTI Jurnal Maret 2012

Respirator adalah alat perlindungan dari percik renikM. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1ì.Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagianpinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percikrenik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas.Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengankemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3ì.Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pasdi wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15

Petugas kesehatan dengan keadaanimunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDR-TB harus mendapat pengawasan khusus agar tidak terpajan,terutama petugas yang mempunyai keluhan respirasi. Petugasini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajananM. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segeraditerapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbuktitidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif.Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderitadan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromaisakibat kontak dengan penderita MDR-TB yang infeksius.6,14

Gambar 6. Masker N-95Dikutip dari (16)

Tenaga medis yang terkena TB di rumah sakitdiberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderitaTB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukuptinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangatditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitifberdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenagamedis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidakakan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapaminggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkapakan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan ditempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnyaepidemi HIV dan MDR TB menyebabkan kasus ini munculkembali.

2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja it u sendirimempengaruhi penularan tuberkulosis nosokomial.

3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksidini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosisdan mencegah penularan.

4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosis dapat dikurangidan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini,pemberian terapi secepatnya pada penderita TB,perlindungan dan prosedur kerja yang baik.

5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda denganpengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan jugapenyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedomannasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14

2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.

3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC.Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.

4. World Health Organization. Guidelines for prevention oftuberculosis in health care facilities in resource-limitedsett ings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf

5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA,Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edit ion.Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2001.p.475-86.

6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.Guidel ines for prevent ing the t ransmission ofMycobacterium tuberculosis in health-care setting, 2005.MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.

7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS,Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders ofthe lung. Recognition, management and prevention.London: WB Saunders;2002.p.257-63.

8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Questionthat need answer. Am J Respir Cri t CareMed.1996;154:553-4.

9. Joint Tuberculosis Committee of the British ThoracicSociety. Control and prevention of tuberculosis in theUnited Kingdom: Code of pract ice 2000.Thorax.2000;55:887-901.

10.Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospitalventilation and risk for tuberculosis infection in Canadianhealth care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 34

Page 40: PPTI Jurnal Maret 2012

11. McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. Theassociation between occupation and tuberculosis. Am JRespir Crit Care Med.1996;154:587-93.

12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factorsassociated with tuberculin conversion in Canadianmicrobiology and pathology workers. Am J Respir CritCare Med.2003;167:599-602.

13.Raitio M, Tala E. Tuberculosis among health care workersduring three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:304-7.

14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosisinfection control in resources- limited sett ing in the eraof expanding HIV care and treatment. The Journal ofInfectious Diseases.2007;196:S108–13

15.Departemnt of Health and Human Services. Center forDisease Control and Prevention. TB facts for healthcare workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011September 8); Available from: URL:http://www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf.

16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering FacepieceRespirators.(cited 2011 September 5);Available from:URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/respirators/disp_part.html

35 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8