potensi stenotrophomonas maltophilia la3b sebagai …

92
POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS RESIDU LIMBAH PADAT INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN FUZI MUCHLISSOH PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/ 1440 H

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI

AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS RESIDU LIMBAH PADAT

INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN

FUZI MUCHLISSOH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/ 1440 H

Page 2: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI

AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS RESIDU LIMBAH PADAT

INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

FUZI MUCHLISSOH

11140950000017

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/ 1440 H

Page 3: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …
Page 4: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …
Page 5: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …
Page 6: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

v

ABSTRAK

Fuzi Muchlissoh. Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai Agen

Pupuk Hayati Berbasis Residu Limbah Padat Industri Agar-Agar dan

Tepung Ikan. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing oleh

Dr. Ifah Munifah, M.Si. dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.

Keberadaan bakteri indigenous Stenotrophomonas maltophilia LA3B belum

dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya pemanfaatannya adalah dijadikan

sebagai agen pupuk hayati. Limbah padat hasil industri pengolahan agar-agar

(LIA) dan tepung ikan potensial dijadikan sebagai bahan pembawa pupuk hayati.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi S. maltophilia LA3B sebagai

agen pupuk hayati serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara

konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel,

aktivitas enzim selulase dan produksi hormon IAA. Penelitian ini meliputi

karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok Plant Growth Promoting

Bacteria (PGPB) pada media selektif serta pengukuran pertumbuhan sel, aktivitas

enzim selulase, dan produksi hormon IAA pada media perlakuan dengan variasi

konsentrasi LIA (1%,2%,3%), tepung ikan (0,1%,0,2%,0,3%), dan waktu inkubasi

(hari ke-1,3,5,7,9,11). Hasil karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok

PGPB menunjukkan kemampuan bakteri sebagai pelarut fosfat, kalium,

kitinolitik, dan penghasil hormon IAA. Hasil analisis variansi (ANOVA)

menunjukkan interaksi dari kombinasi ketiga faktor perlakuan (konsentrasi LIA,

tepung ikan, dan waktu inkubasi) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel,

aktivitas enzim selulase, dan produksi hormon IAA (sig.<0,05). S. maltophilia

LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati. Formulasi terbaik bagi pertumbuhan

sel adalah konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari

ke-5 inkubasi, aktivitas selulase adalah LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung

ikan pada hari ke-7 inkubasi, dan produksi hormon IAA adalah LIA 3% dengan

penambahan 0,3% tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi.

Kata kunci: Limbah padat industri agar-agar, Pupuk hayati, Stenotrophomonas

maltophilia LA3B, Tepung ikan

Page 7: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

vi

ABSTRACT

FUZI MUCHLISSOH. Potential of Stenotrophomonas maltophilia LA3B as A

Biological Fertilizer Agent Based on Solid Waste Residue in Agar-Agar

Industry and Fish Meal. Undergraduate Thesis. Department of Biology.

Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2019. Advised by Dr. Ifah Munifah, M.Si. and Dr.

Nani Radiastuti, M.Si.

The existence of indigenous bacteria Stenotrophomonas maltophilia LA3B has

not been used optimally. One of the utilization efforts is used as an agent for

biological fertilizer. Solid waste residue in agar-agar industry (LIA) and fish meal

have the potential to be used as carriers of biological fertilizer. This study aims to

determine the potential of S. maltophilia LA3B as a biological fertilizer agent and

find the best formulation resulting from a combination of substrate concentration

LIA, fish meal, and incubation time on the growth and activity of S. maltophilia

LA3B as a biological fertilizer agent. This study included the characterization of

S. maltophilia LA3B as a group of Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) on

selective media and measurement of cell growth, cellulase enzyme activity, and

IAA hormone production on treatment media with variations in LIA concentration

(1%,2%,3%), fish meal concentration (0,1%,0,2%,0,3%), and incubation times

(days 1,3,5,7,9,11). The results of characterization of S. maltophilia LA3B as a

PGPB group showed the ability of bacteria as solubilizer phosphate, potassium,

chitinolytic, and producing IAA hormone. The results of analysis of variance

(ANOVA) showed that the interactions of the three treatment factors

(concentration of LIA, fish meal, and incubation time) had a significant effect on

cell growth, cellulase enzyme activity, and IAA hormone production (sig.<0,05).

S. maltophilia LA3B has potential as an agent of biological fertilizer based on

solid waste residue in agar-agar industry and fish meal. The best formulation for

cell growth was the concentration LIA 3% with the addition of 0,1% fish meal on

the 5th days incubation, for cellulase activity was LIA 1% with the addition of

0,3% fish meal on the 7th days incubation, and IAA hormone production was LIA

3% with the addition of 0,3% fish meal on the 1st day incubation.

Keywords: Biofertilizer, Fish meal, Solid waste in agar-agar industry (LIA),

Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Page 8: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan

rahmat, kasih sayang serta ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai Agen Pupuk

Hayati Berbasis Residu Limbah Padat Industri Agar-agar dan Tepung

Ikan”. Shalawat serta salam tidak lupa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW,

seorang rasul pembawa kebenaran bagi seluruh umat manusia.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari

bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud., selaku Dekan Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Dr. Priyanti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Ifah Munifah, M.Si., selaku pembimbing I yang telah memberikan

arahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si., selaku pembimbing II yang telah membimbing

dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam pembuatan skripsi

ini.

5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. dan Dr. Dasumiati, M.Si., selaku dosen

penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah banyak memberikan

masukan dalam pembuatan skripsi ini.

6. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. dan Etyn Yunita, M.Si., selaku dosen penguji

sidang skripsi (Munaqosyah) yang telah banyak memberikan masukan

dalam pembuatan skripsi ini.

7. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) Slipi Jakarta sebagai

tempat penulis melakukan penelitian skripsi.

Page 9: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

viii

8. Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi atas

ilmu pengetahuan dan ilmu hidup yang dengan ikhlas diajarkan kepada

penulis.

9. Semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,

yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan motivasi yang

diberikan untuk penulis.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan dalam kegiatan dan penulisan

skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memiliki

kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

Page 10: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .......................................................................................................... v

ABSTRACT ........................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 3

1.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 4

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

1.6. Kerangka Berpikir .............................................................................. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Padat Industri Agar-Agar ...................................................... 6

2.2. Tepung Ikan ........................................................................................ 7

2.3. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) ........................................ 9

2.4. Karakteristik Stenotrophomonas maltophilia LA3B .......................... 11

2.5. Pupuk Hayati (Biofertilizer) ............................................................... 13

2.6. Kriteria Pupuk Hayati Berdasarkan Permentan No.70 Tahun 2011 ... 14

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 17

3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 17

3.3. Rancangan Penelitian .......................................................................... 17

3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 18

3.5. Analisis Data ...................................................................................... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Uji Pelarutan Fosfat Stenotrophomonas maltophilia LA3B ..... 28

4.2. Hasil Uji Pelarutan Kalium Stenotrophomonas maltophilia LA3B ... 29

4.3. Hasil Uji Kitinolitik Stenotrophomonas maltophilia LA3B ............... 31

4.4. Hasil Uji Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai

Penghasil Hormon IAA ...................................................................... 32

4.5. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu

Inkubasi terhadap Pertumbuhan Sel Stenotrophomonas

maltophilia LA3B ............................................................................... 34

4.6. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu

Inkubasi terhadap aktivitas enzim selulase dari Stenotrophomonas

maltophilia LA3B .............................................................................. 39

Page 11: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

x

4.7. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu

Inkubasi terhadap Produksi Hormon IAA dari Stenotrophomonas

maltophilia LA3B ............................................................................... 43

4.8. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu

Inkubasi terhadap Kondisi pH media ................................................ 47

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 51

5.2. Saran ................................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 52

LAMPIRAN ........................................................................................................ 59

Page 12: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi S. maltophilia LA3B

sebagai agen pupuk hayati berbasis residu limbah padat industri

agar-agar dan tepung ikan ............................................................. 5

Gambar 2. Residu limbah padat industri agar-agar dari PT. Agarindo

Bogatama Tangerang ..................................................................... 6

Gambar 3. Tepung ikan rucah hasil produksi BBRP2BKP ............................. 8

Gambar 4. Penampakan S. maltophilia LA3B secara mikroskopis sebagai

bakteri Gram negatif ..................................................................... 12

Gambar 5. Hasil uji pelarutan fosfat S. maltophilia LA3B pada media

padat Pikovskaya (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) ....................... 28

Gambar 6. Hasil uji pelarutan kalium S. maltophilia LA3B pada media

padat Aleksandrov (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) .................... 30

Gambar 7. Hasil uji kitinolitik S. maltophilia LA3B pada media padat

kitin 1% (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) ..................................... 31

Gambar 8. Hasil uji potensi penghasil hormon IAA pada media NB yang

ditambahkan 0,1% L-triptofan selama 5 hari inkubasi .................. 33

Gambar 9. Grafik rerata pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B hasil

interaksi antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada

berbagai kelompok konsentrasi LIA ............................................. 37

Gambar 10. Grafik rerata aktivitas selulase hasil interaksi antara

konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai

kelompok konsentrasi LIA ............................................................ 42

Gambar 11. Grafik rerata produksi hormon IAA hasil interaksi antara

konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok

konsentrasi LIA ............................................................................. 46

Gambar 12. Grafik rerata pH media hasil interaksi antara konsentrasi

substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok

konsentrasi LIA ............................................................................. 49

Page 13: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik .................. 15

Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati (menurut fungsi) .............................. 16

Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor

konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap

jumlah sel S. maltophilia LA3B (log CFU/ml) ..................................... 34

Tabel 4. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor

konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap

aktivitas selulase S. maltophilia LA3B (U/ml) ..................................... 40

Tabel 5. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor

konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap

produksi hormon IAA S. maltophilia LA3B (ppm) .............................. 44

Tabel 6. Rerata nilai pH berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi

substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi ................................... 48

Page 14: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rancangan percobaan ................................................................... 59

Lampiran 2. Diagram alir penelitian ................................................................. 60

Lampiran 3. Kurva standar glukosa .................................................................. 61

Lampiran 4. Kurva standar IAA........................................................................ 62

Lampiran 5. Data hasil uji karakterisasi isolat sebagai kelompok PGPB ......... 63

Lampiran 6. Data rerata hasil pengukuran parameter perlakuan ...................... 64

Lampiran 7. Hasil statistik uji ANOVA ............................................................ 66

Lampiran 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor

konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi ...... 68

Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan (formulasi LIA dan tepung ikan) 76

Lampiran 10. Dokumentasi hasil pengukuran parameter media perlakuan ........ 76

Page 15: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Produksi pengolahan rumput laut menghasilkan jumlah limbah yang sangat

besar, salah satunya adalah limbah padat hasil industri pengolahan agar-agar.

Berdasarkan hasil observasi di salah satu industri pengolahan agar-agar terbesar di

Indonesia, yakni PT. Agarindo Bogatama Tangerang, jumlah limbah padat

industri agar-agar cukup melimpah. Perkiraan jumlah limbah yang dihasilkan oleh

PT. Agarindo Bogatama mencapai 2.700 ton/tahun dengan perkiraan selulosa

yang dihasilkan mencapai 1.620 ton/tahun (P2HP, 2012).

Keberadaan limbah padat industri agar-agar belum termanfaatkan secara

optimal. Umumnya limbah tersebut hanya dibiarkan tertimbun di lokasi

pembuangan. Hal ini akan menjadi masalah apabila tempat pembuangan sudah

tidak mampu menampung limbah padat yang dihasilkan serta akan menimbulkan

bau yang tidak sedap di sekitar lingkungan.

Selain itu, limbah padat industri agar-agar diketahui masih mengandung

selulosa yang cukup tinggi, yakni sebesar 15-25% (Kim et al., 2008). Hal ini

menyebabkan limbah membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi secara alami.

Salah satu solusi untuk meminimalisir kelimpahan limbah padat yang dihasilkan

dari industri pengolahan agar-agar adalah dimanfaatkan oleh agen hayati, seperti

mikroorganisme selulolitik sebagai substrat bagi pertumbuhannya. Kandungan

selulosa yang terkandung pada limbah padat industri agar-agar diharapkan dapat

menjadi sumber karbon alternatif bagi pertumbuhan mikroorganisme.

Stenotrophomonas maltophilia LA3B merupakan salah satu bakteri

selulolitik yang potensial hidup pada substrat berselulosa, termasuk limbah padat

industri agar-agar. Munifah (2017) melaporkan potensi selulolitik S. maltophilia

LA3B sebesar 0,157 U/ml pada media limbah padat industri agar-agar (LIA) 1%

asal CV. Agar Sari Malang. Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan

adanya potensi pemacu tumbuh tanaman (Plant Growth Promoting Bacteria) dari

bakteri jenis Stenotrophomonas sp. Potensi PGPB yang dihasilkan, antara lain

sebagai penghasil hormon pengatur tumbuh tanaman, seperti Indole-3-Asetic-Acid

Page 16: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

2

(IAA), giberelin, dan sitokinin serta penyedia unsur hara, seperti fosfat terlarut

(Kumar & Audipudi, 2015; Verma et al., 2015; Ngoma et al., 2013). Melihat hal

tersebut, keberadaan bakteri indigenous S. maltophilia LA3B berpeluang untuk

dijadikan sebagai agen pupuk hayati.

Salah satu upaya pemanfaatan bakteri indigenous S. maltophilia LA3B dan

limbah padat industri agar-agar adalah mengombinasikan kedua bahan tersebut

untuk dijadikan sebagai pupuk hayati (biofertilizer). Keberadaan limbah padat

industri agar-agar berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dalam skala besar sebagai

bahan pembawa pupuk hayati yang bernilai ekonomis. Selain itu, kajian mengenai

potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati pada substrat limbah

padat industri agar-agar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi

S. maltophilia LA3B dan limbah padat industri agar-agar diharapkan dapat

menghasilkan formulasi pupuk hayati.

Terkait dengan formulasi pupuk hayati, ketersediaan nutrisi merupakan

salah satu faktor penting untuk menunjang pertumbuhan bakteri, seperti sumber

nitrogen. Sumber nitrogen alami yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan

tambahan pupuk adalah tepung ikan (Sundari et al., 2014; Zahroh, 2015).

Kandungan protein pada tepung ikan masih cukup tinggi, yakni sebesar 51-58%

(Assadad et al., 2015). Umumnya bahan baku tepung ikan berasal dari ikan rucah

(ikan-ikan kecil) yang kurang diminati oleh masyarakat dan harganya relatif

murah sehingga cenderung tidak diproses dan dibuang oleh pengolah atau

nelayan. Penambahan tepung ikan dalam formulasi pupuk hayati diharapkan dapat

menjadi bahan tambahan pupuk yang bernilai ekonomis untuk dijadikan sebagai

sumber nitrogen alternatif bagi pertumbuhan bakteri.

Lama inkubasi juga termasuk faktor penting dalam menentukan masa

simpan suatu bakteri dalam bahan pembawa pupuk. Lama inkubasi berkaitan

dengan masa adaptasi bakteri terhadap substrat berselulosa untuk memproduksi

enzim selulase. Hal ini disebabkan setiap mikroorganisme mempunyai masa

pertumbuhan beragam yang dapat mempengaruhi aktivitas metabolismenya

(Gandjar, 2006) sehingga perlu adanya optimasi waktu inkubasi terbaik untuk

melihat kemampuan agen hayati tumbuh dan beraktivitas selama berada pada

bahan pembawa pupuk dan ketika diaplikasikan sebagai pupuk.

Page 17: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

3

Terkait dengan aktivitas metabolisme bakteri pada bahan pembawa pupuk,

hormon IAA merupakan salah satu produk hasil metabolisme bakteri yang

berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengaplikasian

formula pupuk hayati yang tepat dapat menjaga kesuburan tanah sekaligus

memacu pertumbuhan tanaman (Sutariati et al., 2014). Oleh karena itu, penelitian

mengenai kemampuan bakteri untuk tumbuh serta memproduksi enzim selulase

dan hormon IAA pada variasi konsentrasi substrat dan lama inkubasi penting

dilakukan.

Penelitian sebelumnya terkait potensi pemanfaatan limbah padat industri

agar-agar (LIA) sebagai pupuk tanpa penambahan mikroorganisme telah

dilakukan oleh Adiguna et al. (2014) pada sampel industri pengolahan Agar-agar

di Pemengpeuk Jawa Barat. Namun nilai rasio C/N belum memenuhi kriteria

sebagai pupuk organik. Pemanfaatan lain terkait LIA sebagai media tumbuh

bakteri selulolitik juga telah diteliti oleh Munifah (2017) pada sampel industri

pengolahan agar-agar CV. Agar Sari Malang dengan variasi konsentrasi LIA,

yakni 0,5-3%. Namun penelitian mengenai potensi S. maltophilia LA3B sebagai

agen pupuk hayati pada substrat limbah padat industri agar-agar (LIA) dari PT.

Agarindo Bogatama Tangerang dengan bahan tambahan tepung ikan belum

pernah dilakukan.

Penelitian ini merupakan penelitian awal berskala laboratorium yang

berfokus pada karakteristik S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB serta

potensi pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B dalam memproduksi

enzim selulase dan hormon IAA. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi awal mengenai potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati

serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi substrat

LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi sebagai formula pupuk hayati untuk dapat

diaplikasikan ke tanaman.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati?

Page 18: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

4

2. Formulasi manakah hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan,

dan waktu inkubasi yang terbaik bagi pertumbuhan sel, aktivitas enzim

selulase dan produksi hormon IAA dari S. maltophilia LA3B?

1.3. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Stenotrophomonas maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati.

2. Formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan

waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel, aktivitas enzim selulase, dan

produksi hormon IAA adalah yang memenuhi kriteria minimum Peraturan

Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011 tentang pupuk hayati tunggal.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati.

2. Menentukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA,

tepung ikan, dan waktu inkubasi untuk pertumbuhan sel, aktivitas enzim

selulase dan produksi hormon IAA.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi peneliti: sebagai sumber informasi (data awal) mengenai karakteristik

S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB dan agen pupuk hayati.

2. Bagi industri: salah satu upaya mengurangi jumlah limbah padat industri

agar-agar, nilai tambah bagi industri karena menerapkan zero-waste

treatment, dan dapat dijadikan sebagai nilai komersial.

3. Bagi masyarakat: solusi untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetis

dan upaya penerapan sistem pertanian organik.

Page 19: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

5

1.6. Kerangka Berpikir

Adapun skema kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut

(Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi S. maltophilia LA3B sebagai

agen pupuk hayati berbasis residu limbah padat industri agar-agar

dan tepung ikan

Limbah padat industri agar-agar (LIA)

melimpah

Peneliti:

sumber

informasi

Industri:

mengurangi jumlah

limbah, nilai

komersial

Masyarakat:

mengurangi

penggunaan pupuk

kimia sintetis

selulosa masih cukup tinggi

dimanfaatkan oleh bakteri

selulolitik

Lama

inkubasi

Stenotrophomonas maltophilia

LA3B (agen hayati)

Formulasi pupuk hayati

(biofertilizer)

Sumber protein

Tepung

ikan

(Sumber C)

Page 20: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Padat Industri Agar-Agar

Salah satu industri pengolahan rumput laut (agar-agar) terbesar di Indonesia

yang cukup banyak menghasilkan jumlah limbah per tahunnya adalah PT.

Agarindo Bogatama. Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut jenis

Gracilaria sp. Perkiraan jumlah bahan baku yang digunakan oleh PT. Agarindo

Bogatama Tangerang dapat mencapai 10.800 ton/tahun, produksi agar-agar

mencapai 3.000 ton/tahun, jumlah limbah padat yang dihasilkan sebanyak 2.700

ton/tahun, dan perkiraan selulosa mencapai 1.620 ton/tahun (P2HP, 2012).

Karakteristik limbah hasil industri pengolahan rumput laut (agar-agar)

menghasilkan dua fase, yakni fase cair dan fase padat. Fase cair berasal dari

pencucian dan presipitasi ekstraksi rumput laut, sedangkan fase padat berasal dari

pemisahan ekstrak rumput laut dari padatannya (Sedayu et al., 2008). Limbah

padat yang dihasilkan dari industri pengolahan agar-agar umumnya masih

mengandung komponen utama selulosa, sedangkan komponen lainnya adalah

mineral-mineral (Sedayu et al., 2008). Basmal (2017) melaporkan kandungan

unsur-unsur yang terdapat pada limbah padat industri agar-agar asal PT. Agarindo

Bogatama Tangerang, antara lain nitrogen (0,25%), fosfor (0,042%), kalium

(0,27%), natrium (1,05%), kalsium (0,29%), magnesium (0,092%), C-organik

(12,57%), KTK (22,33%), besi (0,17 ppm), tembaga (tidak terdeteksi), mangan

(45,46 ppm), seng (6,16 ppm), dan boron (33,99 ppm). Berikut merupakan sampel

limbah padat yang dihasilkan dari industri pengolahan agar-agar asal PT.

Agarindo Bogatama Tangerang (Gambar 2).

Gambar 2. Residu limbah padat industri agar-agar dari PT. Agarindo Bogatama

Tangerang; a.) sebelum dikeringkan b.) setelah dikeringkan (sumber:

dokumen pribadi)

b. a.

Page 21: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

7

Limbah padat industri pengolahan agar-agar dari PT. Agarindo Bogatama

mengandung holoselulosa sebagai polisakarida sebesar 17,70%, selulosa alfa, dan

pentosan sebagai hemiselulosa, masing-masing sebesar 14,26% dan 1,65%, serta

lignin sebesar 1,12% (Basmal, 2018). Limbah padat agar-agar dalam skala

industri umumnya masih bercampur dengan celite. Celite merupakan mineral

yang memiliki komposisi serupa dengan tanah diatom, tersusun atas silika dan

alumina (Munifah, 2017). Umumnya celite mudah diperoleh, murah, dan

merupakan material anorganik yang memiliki polaritas rendah serta adhesi yang

luas sehingga celite banyak dimanfaatkan sebagai penyaring dan imobilisasi

beberapa senyawa aktif (Ansari & Husain, 2012). Industri pengolahan rumput laut

biasa memanfaatkan celite untuk media filtrasi karena memiliki porositas yang

tinggi berupa lubang-lubang kecil yang banyak sehingga proses pemisahan agar-

agar dari rumput laut menjadi lebih optimal (Munifah, 2017).

Beberapa penelitian terkait pemanfaatan limbah padat industri agar-agar

telah banyak dilakukan, antara lain untuk pembuatan papan partikel (Sedayu et

al., 2008), media tumbuh isolat dalam memproduksi enzim selulase (Munifah,

2017; Latifa, 2012), pupuk organik (Adiguna et al., 2014; Suptijah et al., 2011;

Sahwan, 2010), media fermentasi limbah industri agar (Gracilaria sp.) untuk

memproduksi bioetanol dengan bantuan khamir Saccharomyces cerevisiae

(Ningrum, 2016).

2.2. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah suatu produk pengawetan ikan dalam bentuk kering

yang digiling menjadi tepung yang berasal dari daging ikan atau bagian ikan yang

biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut dan lain-lain) (Assadad et al., 2015).

Bahan baku tepung ikan pada umumnya merupakan ikan-ikan yang kurang

ekonomis, hasil samping dari penangkapan selektif, ikan yang melimpah pada

musim penangkapan dan sisa-sisa pabrik pengolahan ikan (pabrik pengalengan,

pembekuan ikan dan minyak ikan) (Liliasari, 2016). Salah satu jenis ikan yang

potensial dan ekonomis untuk diolah menjadi tepung ikan adalah ikan rucah (ikan-

ikan kecil). Ikan rucah merupakan hasil samping pengolahan utama ikan maupun

dari hasil tangkapan sampingan yang dipandang tidak memiliki nilai ekonomis

Page 22: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

8

karena dianggap sudah tidak dapat dikonsumsi oleh manusia (Utomo et al., 2013)

sehingga cenderung tidak diproses dan dibuang oleh pengolah atau nelayan.

Tepung ikan dapat diolah dari berbagai jenis ikan laut. Namun, ikan rucah

memiliki protein yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk diproses

menjadi suatu produk dalam rangka pemanfaaatan hasil samping, penerapan

konsep zero waste, dan peningkatan nilai tambah (Assadad et al., 2015). Tepung

ikan yang berasal dari ikan rucah kaya asam amino, energi, asam lemak, dan

mineral serta atraktan (Utomo et al., 2013). Berikut merupakan salah satu tepung

ikan rucah hasil produksi Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi

Kelautan dan Perikanan (BBRB2BKP) (Gambar 3).

Gambar 3. Tepung ikan rucah hasil produksi BBRP2BKP (sumber: dokumen

pribadi)

Proses produksi tepung ikan menurut Mariastuti (2015) dibagi menjadi

beberapa tahapan, antara lain: (1) perebusan, bertujuan untuk mengkoagulasi

(menggumpalkan) protein dan mempermudah pemisahan air dan minyak; (2)

pressing, bertujuan untuk memisahkan sebagian besar air dan minyak ikan yang

telah dimasak; (3) pengeringan, bertujuan untuk mengeluarkan air dalam jumlah

yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas sehingga

diperoleh bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air

atmosfer normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan

mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi; (4) penggilingan, bertujuan untuk

menghancurkan gumpalan-gumpalan daging, tulang, dan sebagainya; (5)

pengayakan, untuk membersihkan tepung ikan dan memisahkan dari kontaminan.

Berdasarkan penelitan Assadad et al. (2015), tepung ikan rucah pada

berbagai perlakuan (perebusan, pengukusan, presto) mengandung berbagai

komponen, seperti protein (51-58%), air (5-6%), serat (1-3%), abu (13-17%),

lemak (12-14%), kalsium (4-5%), fosfor (4,13–4,65%), dan garam (0,36-0,65%).

Page 23: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

9

Unsur-unsur tersebut sangat bermanfaat untuk pertumbuhan mikroorganisme

sebagai kofaktor untuk berbagai aktivitas metabolik (Ramkumar et al., 2016).

Pemanfaatan tepung ikan rucah, antara lain sebagai pakan ikan (Utomo et al.,

2013) dan bahan campuran pupuk organik (Sundari et al., 2014; Zahroh, 2015).

2.3. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB)

Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup ciptaan Allah SWT. yang

berukuran sangat kecil (mikro) dan tidak kasat mata. Allah menciptakan makhluk

hidup di muka bumi melainkan agar dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup di

bumi, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hijr ayat 20 sebagai berikut.

يش ومن لستم له برازقين )الحجر: (٠٢وجعلنا لكم فيها مع

Artinya: “Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan

hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu

sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya” (QS. Al-Hijr: 20)

Allah SWT. menciptakan makhluk hidup termasuk bakteri dan

membekalinya keperluan-keperluan untuk menunjang kehidupan bakteri tersebut,

misalnya kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim atau senyawa metabolit.

Hal tersebut bertujuan agar bakteri dapat hidup dan saling berinteraksi satu sama

lain, baik dengan mikroorganisme lain ataupun dengan lingkungannya.

Keberadaan bakteri menguntungkan yang mampu membangun interaksi positif

antara mikroorganisme lain ataupun dengan lingkungannya banyak dieksplorasi,

salah satunya interaksi menguntungkan antara bakteri dengan tanaman.

Kelompok bakteri pemacu tumbuh tanaman atau yang dikenal sebagai Plant

Growth Promoting Bacteria (PGPB) merupakan bakteri yang menguntungkan

bagi tanaman dalam hal pertumbuhan dan perlindungan penyakit (Sutariati et al.,

2014). Kelompok PGPB mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

tanaman melalui beberapa tahapan mekanisme, baik secara langsung maupun

tidak langsung, antara lain melalui pelarutan fosfat, fiksasi nitrogen, penghasil

fitohormon, protein insektisida, antibiotik, siderofor, asam sianida dan sebagainya

(Vandana et al., 2017). Beberapa kelompok spesies bakteri yang telah terbukti

memfasilitasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai perilaku mekanisme, antara

Page 24: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

10

lain Rhizobia, Azospirillum, Azotobacter; Bacillus subtilis, B. megaterium,

B. licheniformis, Pseudomonas fluorescens, P. putida; Cellulomonas,

Lactobacillus plantarum, khamir Saccharomyces cerevisiae (Purnomo, 2016) .

Peran mikroorganisme PGPB berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya.

Peran mikroorganisme pemfiksasi nitrogen, yaitu membantu dalam membuat

ketersediaan dinitrogen untuk eukariotik lainnya melalui proses biologis ATP

untuk direduksi menjadi ammonia (Vandana et al., 2017). Bakteri pelarut fosfat

membantu menyediakan unsur hara fosfor bagi tanaman dengan melalui tiga

mekanisme: (1) menghasilkan senyawa pelarut fosfat berupa asam organik,

siderofor, proton, ion hidroksil, dan karbon dioksida; (2) menyekresikan enzim

pelarut fosfat (enzim fosfatase dan fitase); (3) melepas fosfat dalam proses

degradasi substrat (Sharma et al., 2013).

Bakteri pelarut kalium dapat melarutkan kalium dari ikatan kalium tidak

larut pada suatu media melalui sekresi asam-asam organik dan memanfaatkannya

untuk pembentukan sel-sel baru sehingga terjadi proses pengikatan (imobilisasi)

kalium oleh bakteri (Basak & Biswas, 2009). Bakteri pelarut kalium berperan

penting pada tanaman, salah satunya sebagai fasilitator ketersediaan unsur hara

kalium dalam tanah dengan mengubah bentuk kalium tidak tersedia menjadi

tersedia bagi tanaman (Verma et al., 2015).

Bakteri penghasil hormon Indole-3-Asetic-Acid (IAA) mampu mengonversi

triptofan menjadi IAA melalui beberapa jalur, antara lain indole-3-acetamide

(IAM), indole-3-pyruvat (IpyA), tryptamine (TAM), dan indole-3-acetonitril

(IAN) (Spaepen et al., 2007). Menurut Spaepen et al. (2017), umumnya jalur

terbaik bagi bakteri untuk menyintesis IAA adalah jalur IAM dan IpyA,

sedangkan IAA yang dibutuhkan tanaman biasanya diproduksi melalui jalur IpyA.

Adapun mekanisme biosintesis IAA melalui jalur IpyA, yakni triptofan diubah

menjadi indol-3-piruvat oleh enzim amino transferase melalui reaksi deaminasi

kemudian diubah menjadi IAAld oleh reaksi dekarboksilasi enzimatis. Perubahan

IAAld menjadi IAA terjadi secara hidrolisis oleh IAAld dehidrogenase (Spaepen

et al., 2007). Bakteri penghasil IAA akan berwarna merah saat ditetesi pereaksi

Salkowski karena adanya interaksi antara IAA dan Fe yang membentuk senyawa

kompleks berupa tris-indole-3-aceto-iron (III). Warna merah muda yang semakin

Page 25: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

11

pekat menunjukkan konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh bakteri semakin tinggi

(Kovacs, 2009).

Beberapa kelompok bakteri PGPB juga dapat menekan pertumbuhan

berbagai patogen dengan berbagai cara, seperti bersaing untuk mendapatkan

nutrisi dan tempat sehingga pasokan zat besi (unsur Fe) tersedia melalui produksi

siderofor, enzim litik, dan antibiosis (Jing et al., 2007; Sutariati et al., 2006).

Efektivitas PGPB sebagai agen antagonis ditentukan dari kemampuannya dalam

menghasilkan senyawa siderofor dan hidrogen sianida (Zhuang et al., 2007) atau

menyekresikan berbagai enzim ekstraseluler, seperti kitinase, protease, dan

selulase (Sutariati et al., 2006).

Senyawa hidrogen sianida yang diproduksi oleh PGPB bersifat toksik

terhadap sejumlah patogen tanaman. Sementara itu, senyawa siderofor berkaitan

dengan upaya bakteri untuk mengeliminasi populasi patogen dengan cara

mengikat unsur besi (Fe) sehingga unsur besi menjadi tidak tersedia bagi patogen,

akibatnya patogen akan mati karena mengalami defisensi unsur besi (Zhuang et

al., 2007).

Enzim ekstraseluler kitinase dan selulase yang disekresikan PGPB mampu

mendegradasi dinding sel patogen yang menginfeksi tanaman sehingga

perkembangan patogen tersebut terganggu. Bakteri kitinolitik dapat berperan

dalam mengontrol fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme dengan

menghidrolisis struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding

sel tabung pada spora dan miselia fungi sehingga fungi patogen tidak mampu

menginfeksi tanaman (Priyatno et al., 2000). Sekresi protease berperan dalam

menghancurkan berbagai enzim pendegradasi dinding sel tanaman yang

diproduksi oleh patogen dalam proses infeksi, seperti selulase, pektinase dan

xilanase (Sutariati et al., 2006).

2.4. Karakteristik Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Stenotrophomonas maltophilia merupakan bakteri yang termasuk ke

dalam subkelas γ-proteobakteria (Anzai et al., 2000). Bakteri ini dapat ditemukan

secara luas di lingkungan alami, seperti pada rizosfer atau di tanah sekitar akar

tanaman ataupun di lingkungan antropogenik (Pages et al., 2008). Karakteristik

Page 26: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

12

S. maltophilia LA3B secara makroskopis dan mikroskopis, antara lain merupakan

bakteri aerob non-fermentatif, berbentuk batang sangat pendek, Gram negatif,

koloni berwarna putih, tepi sedikit bergelombang dan permukaan rata. Suhu

optimum untuk tumbuh berada pada suhu 37ºC (Munifah, 2017).

Gambar 4. Penampakan S. maltophilia LA3B secara mikroskopis sebagai bakteri

Gram negatif (perbesaran 2000x menggunakan mikroskop cahaya)

(sumber: dokumen pribadi)

Beberapa penelitian terkait peranan dan potensi S. maltophilia, antara lain

dilaporkan oleh Kumar dan Audipudi (2015) tentang potensi S. maltophilia

AVP27 asal rizosfer tanaman cabai sebagi bakteri kelompok PGPB yang memliki

kemampuan melarutkan fosfat anorganik (818 ppm), aktivitas enzim fosfatase

(1,62 IU/ml), produksi hormon IAA (93 µg/ml), senyawa amonia (80 µg/ml),

siderofor, dan hidrogen sianida. Hal yang sama dilaporkan oleh Ngoma et al.

(2013) yang menemukan S. maltophilia (KC 010525 dan KC 010529) asal akar

tanaman bayam berpotensi sebagai bakteri penghasil hormon IAA (0,32 µg/ml

dan 0,49 µg/ml). Selain itu, S. maltophilia KC 010529 mampu melarutkan fosfat,

memproduksi amonia, dan memiliki aktivitas antifungi (55%).

Verma et al. (2015) juga melaporkan potensi S. maltophilia asal rizosfer

tanaman gandum yang berpotensi sama, yakni mampu melarutkan fosfat (55,7

mg/l), kalium (28 mg/ml), memproduksi IAA (66,1 µg/mg), siderofor, amonia,

hidrogen sianida, hormon giberelin, ACC deaminase dan biokontrol. Selain itu,

peranan lainnya dari S. maltophilia, yakni sebagai kontrol biologis yang

dimanfaatkan untuk pengembangan biopestisida (Suryadi et al., 2014) dan agen

bioremediasi (Pages et al., 2008). Selain itu, S. maltophilia juga berpotensi

sebagai bakteri penghasil enzim selulase (selulolitik) (Munifah, 2017).

Page 27: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

13

2.5. Pupuk Hayati (Biofertilizer)

Pupuk hayati merupakan pupuk organik yang mengandung formulasi

mikroorganisme hidup pemacu tumbuh tanaman. Pengaplikasian pupuk hayati

pada benih, permukaan tanaman atau tanah akan mengolonisasi rizosfer atau

bagian dalam tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

tanaman, baik melalui fiksasi nitrogen, pelarutan fosfat, pengomposan limbah

organik atau dengan menghasilkan hormon tumbuh melalui aktivitas biologisnya

(Vessey, 2003). Penggunaan pupuk hayati memiliki beberapa keuntungan, yakni

meningkatkan jumlah mikroorganisme dan mempercepat proses mikrobiologi,

meningkatkan ketersediaan hara, mengaktifkan serapan hara, menekan soil-borne

disease, mempercepat proses pengomposan, memperbaiki struktur tanah, dan

menghasilkan substansi aktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan serta

perkembangan tanaman (Nursanti, 2017).

Komponen utama pupuk hayati adalah mikroba, baik bakteri maupun fungi

yang berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan menyediakan

unsur-unsur mineral dan esensial bagi tanaman ataupun tanah. Komponen lainnya

adalah bahan pembawa (carrier) yang berupa cairan atau bahan padatan dan

bahan perekat (Sutariati et al., 2014). Jenis carrier yang banyak digunakan adalah

bahan-bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, seperti kompos, gambut,

arang, dan sekam. Sementara itu, bahan pembawa anorganik yang umum

digunakan, antara lain bentonit, vermikulit atau zeolite. Bahan perekat yang

umumnya digunakan antara lain sukrosa, pepton, gliserol, molase, gum, dan

karboksimetilselulase (Nursanti, 2017).

Menurut Sutariati et al. (2014), beberapa jenis pupuk hayati yang umum

dijumpai di pasaran, antara lain: (1) pupuk hayati sumber nitrogen melalui

kemampuannya mengikat nitrogen bebas untuk diubah menjadi ammonia yang

selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tanaman; (2) pupuk hayati sumber fosfat dan

mineral lainnya (kalium, sulfur) dengan cara melarutkan fosfat atau kalium yang

tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga dapat diserap oleh

tanaman; (3) pupuk hayati penyedia biohormon. Biohormon adalah hormon yang

dihasilkan oleh mikroba untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, berupa

auksin, sitokinin, dan giberelin. Hormon-hormon tersebut sangat diperlukan oleh

Page 28: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

14

tanaman untuk perkecambahan, pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan

akar, pembungaan maupun pembuahan.

2.6. Kriteria Pupuk Hayati Berdasarkan Permentan No.70 Tahun 2011

Produk pupuk hayati yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang

ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI atau yang

ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk persayaratan teknis minimal agar

dapat dikomersilkan secara luas kepada masyarakat atau pengguna.

Terdapat beberapa persyaratan uji untuk menjadi pupuk hayati yang

terdaftar resmi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), antara lain:

(1) jumlah populasi mikroorganisme hidup yang terdapat dalam pupuk; (2)

efektivitas mikroorganisme, seperti fungsi pupuk hayati sebagai penambat

nitrogen, pelarut fosfat, penghasil fitohormon, dan perombak bahan organik; (3)

bahan pembawa sebagai media tempat mikroorganisme hidup; (4) masa

kadaluarsa; (5) tidak bersifat patogen terhadap manusia maupun tumbuhan.

Adapun kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik menurut

Peraturan Menteri Pertanian No.70/permentan/SR.140/10/2011 adalah sebagai

berikut (Tabel 1).

Page 29: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

15

Tabel 1. Kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik

Parameter

Syarat Teknis Menurut Jenis Bahan

Pembawa Metode

Pengujian Tepung/Serbuk Granul/Pelet Cair

Total sel hidup

(Bakteri)

≥ 107 cfu/g

(BK)

≥ 107 cfu/g

(BK)

≥ 108

cfu/mL

TPC*)

Fungsional

a) Pelarut P Positif Pikovskaya

b) Penghasil

fitohormon

> 0,0 Spektrofotometer

atau HPLC

c) Perombak

bahan

organik

(dekomposer)

Positif Media agar

CMC/Avicel/

Guaicol/Indulin

Patogenisitas Negatif Infeksi ke daun

tembakau

Kontaminan:

E. coli/

Salmonella spp.

< 103 MPN/g atau MPN/mL

MPN-durham

dan uji lanjut

pada media

diferensial

Kadar Air (%)

**)

≤ 35 ADBB

Kadar pH 5 – 8 pH H2O, pH-

meter

Sumber: Peraturan Menteri Pertanian (2011). *)TPC (Total Plate Count) dilakukan pada media spesifik untuk mikroba tersebut, **) Kadar air atas dasar berat basah

Adapun kriteria khusus pupuk hayati menurut fungsi dari pupuk hayati yang

tercantum pada Peraturan Menteri Pertanian No.70/permentan/SR.140/10/2011

adalah sebagai berikut (Tabel 2).

Page 30: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

16

Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati (menurut fungsi)

No Fungsi Parameter Uji Kriteria Metode Pengujian

1. Penambat N2

a) simbiotik

Terbentuk

lendir

eksopolisakari

da pada

medium

karbohidrat

dan

pembentukan

bintil akar

Positif bereaksi

asam/basa

pada media

YEMA +

kongo/

Bromtimol

blue

Plating media JNFB

b) hidup bebas Pembentukan

pelikel/gelang

pada medium

JNFB

Positif

pembentukan

bintil akar

pada siratro

Inokulasi tanaman

Siratro

2. Pelarut P dan

Fasilitator P

a) Zona

pelarutan P

Positif

membentuk

zona bening

pada media

agar

Plating media

Pikovskaya

b) Pelarutan

P

Positif ( ≥

10% selisih P)

pada 0 – 48

jam

Spektrofotometer

c) % infeksi/

kolonisasi

tanaman

inang

Positif = ≥

50%

Pewarnaan

Fuchsin

3. Pemacu

tumbuh

Produksi

fitohormon

Positif Spektrofotometer

4. Penghasil anti

mikroba

Terbentuknya

zona hambat

Positif Plating

5. Perombak

bahan organik

(dekomposer)

a) Aktivitas

selulase

(kualitatif)

(+) = terbentuk

zona bening

pada media

agar CMC

Plating

b) Aktivitas

selulase

(kuantitatif)

≥ 0,3 unit Fp-

ase per mL

Spektrofotometer

Sumber: Peraturan Menteri Pertanian (2011)

Page 31: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

17

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan

(BBRP2BKP) Slipi, Jakarta Pusat dari bulan Mei 2018 hingga Februari 2019.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain laminar air flow

(ESCO Fume Hood), autoklaf (Hirayama HVA 85), hot plate, magnetic stirer,

timbangan analitik, mikroskop cahaya (Olympus), shaking incubator,

thermoblock, colony counter, drygalski, mikropipet 10-1000 µl, microsentrifuge,

microplate 96-well flat bottom, spektrofotometer UV-Vis (Spectronic®20

Genesys TM), dan kertas pH indikator.

Bahan-bahan yang digunakan, antara lain isolat Stenotrophomonas

maltophilia LA3B asal limbah padat industri agar-agar di Malang koleksi

BBRP2BKP, limbah padat industri agar-agar (LIA) dari PT. Agarindo Bogatama

Tangerang, tepung ikan rucah koleksi BBRP2BKP, Nutrient Agar (NA) (Oxoid),

Nutrient Broth (NB) (Oxoid), Carboxyl Methyl Cellulose (CMC), Pikovskaya,

Aleksandrov, kitin agar, Plate Count Agar (PCA), akuades, glukosa, pewarna

Gram, pewarna merah kongo, parafilm, natrium klorida 0,9%, pereaksi Salkowski,

pereaksi dinitrosalisilat (DNS), L-triptofan (Lift Mode), dan standar auksin

(Sigma).

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) dengan tiga faktor.

Faktor pertama adalah konsentrasi LIA, terdiri atas 3 taraf (1%, 2%, dan 3%).

Faktor kedua adalah konsentrasi tepung ikan, terdiri atas 3 taraf (0,1%; 0,2%, dan

0,3%). Faktor ketiga adalah waktu inkubasi, terdiri atas 6 taraf (hari ke-1, hari ke-

Page 32: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

18

3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-9, dan hari ke-11). Setiap perlakuan diulang

sebanyak dua kali dengan sub-ulangan sebanyak tiga kali (Lampiran 1). Adapun

parameter yang diamati, meliputi pertumbuhan sel bakteri menggunakan metode

Total Plate Count (TPC), aktivitas enzim selulase, produksi hormon IAA dan

pengukuran pH media.

3.4. Cara Kerja

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan kerja, antara lain preparasi

(pembuatan media, pereaksi, dan kurva standar), peremajaan isolat, uji

karakterisasi isolat, serta penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi optimum

isolat pada media perlakuan (Lampiran 2). Adapun rincian cara kerja dari

penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan

Pembuatan Media Kultur NB dan NA

Sebanyak 13 g media NB dilarutkan dalam 1 liter akuades. Media

dipanaskan menggunakan penangas air hingga homogen. Media disterilisasi

menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Prosedur yang sama

dilakukan untuk pembuatan media NA (28 g/ l).

Pembuatan Media Padat CMC 1%

Media padat CMC 1% merupakan media selektif yang digunakan untuk

proses peremajaan bakteri selulolitik. Komposisi media yang digunakan mengacu

dari Munifah (2017). Sebanyak 10 g/l CMC dilarutkan dalam akuades panas dan

diaduk hingga larutan menjadi homogen. Bahan-bahan pendukung (makro dan

mikro nutrien) ditambahkan ke dalam campuran, seperti glukosa (1 g/l), yeast

ekstrak (2 g/l), agar bakto (15 g/l), kalium dihidrogen fosfat (1 g/l), magnesium

sulfat heptahidrat (0,5 g/l), natrium klorida (0,5 g/l), besi sulfat heptahidrat (0,01

g/l), mangan sulfat heptahidrat (0,01 g/l), amonium nitrat (0,3 g/l), dan kalsium

klorida dihidrat (0,04 g/l). Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu

121˚C selama 15 menit.

Page 33: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

19

Pembuatan Media Padat Pikovskaya

Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk

mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan fosfat dari sumber fosfat

anorganik. Komposisi media yang digunakan mengacu dari Permentan (2011)

dengan memodifikasi sumber fosfat. Bahan–bahan yang digunakan, yaitu glukosa

(10 g/l), natrium klorida (0,2 g/l), kalium klorida (0,1 g/l), magnesium sulfat

heptahidrat (0,1 g/l), mangan sulfat heptahidrat (4 mg/l), besi sulfat heptahidrat (2

mg/l), kalsium hidrogen fosfat dihidrat (sumber fosfat) (5 g/l), amonium sulfat

(0,5 g/l), yeast ekstrak (0,5 g/l), dan agar bakto (15 g/l). Media disterilisasi

menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.

Pembuatan Media Padat Aleksandrov

Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk

mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan kalium (K). Komposisi media

yang digunakan mengacu dari Angraini (2015) dengan memodifikasi sumber K.

Bahan–bahan yang digunakan, antara lain, glukosa (5 g/l), magnesium sulfat

heptahidrat (0,5 g/l), besi klorida (6 mg/l), kalsium karbonat (0,1 g/l), kalsium

hidrogen fosfat dihidrat (2 g/l), kalium klorida (sumber K) (3 g/l), dan agar bakto

(20 g/l). Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15

menit.

Pembuatan Media Padat Kitin

Media kitin agar merupakan media selektif untuk mengetahui kemampuan

isolat dalam mendegradasi kitin. Prosedur ini diadaptasi dari Mubarik et al.

(2010). Komposisi pada media kitin agar, antara lain koloidal kitin (10 g/l);

magnesium sulfat heptahidrat (0,1 g/l), dikalium hidrogen fosfat (0,1 g/l), yeast

ekstrak (0,5 g/l), amonium sulfat (7 g/l), natrium klorida (1 g/l), dan agar bakto

(15 g/l). Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.

Pembuatan koloidal kitin dilakukan mengikuti metode Arnold dan Solomon

(Dewi, 2008). Sebanyak 30 g serbuk kitin dilarutkan dalam 600 ml asam klorida

pekat. Larutan disimpan semalaman pada suhu 4ºC. Setelah itu, larutan disaring

Page 34: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

20

menggunakan glass wool dalam ruang asam (posisi larutan ditempatkan dalam

wadah yang berisi es). Filtrat yang terbentuk dari hasil penyaringan ditambahkan

dengan 400 ml akuades dingin sambil diaduk perlahan. Filtrat dinetralkan dengan

cara ditambahkan natrium hidroksida 12 N hingga kondisi pH netral. Setelah itu,

filtrat disentrifugasi dengan kecepatan agitasi sebesar 7000 rpm selama 15 menit

pada suhu 4ºC. Endapan dicuci dengan akuades dingin sebanyak dua kali untuk

menghilangkan garam yang terbentuk selama proses pemisahan asam dan basa

lalu supernatan dibuang. Endapan yang terbentuk merupakan koloidal kitin dan

selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin sebagai stok.

Pembuatan Media Perlakuan (Kombinasi LIA dan Tepung Ikan)

Pembuatan media perlakuan bertujuan untuk mengetahui potensi

pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B, terutama dalam memproduksi

enzim selulase dan hormon IAA. Komposisi media perlakuan sebagai media

tumbuh isolat diadaptasi dari penelitian Munifah (2017) dan dimodifikasi.

Komposisi bahan-bahan yang digunakan, yaitu serbuk LIA (0,5 g atau 1 g

atau 1,5 g) (disesuaikan seperti pada perlakuan), tepung ikan (0,05 g atau 0,1 g

atau 0,15 g) (disesuaikan seperti pada perlakuan), glukosa (0,05 g), kalium

dihidrogen fosfat (0,05 g), magnesium sulfat heptahidrat (25 mg), natrium klorida

(25 mg), besi sulfat heptahidrat (0,5 mg), mangan sulfat heptahidrat (0,5 mg),

amonium nitrat (15 mg), kalsium klorida dihidrat (2 mg), dan akuades (45 ml).

Media disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Media yang telah steril

ditambahkan L-triptofan steril 0,1% (5 ml) sebagai prekursor IAA. Media

dihomogenkan dengan dikocok perlahan.

3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS)

Pereaksi DNS berperan sebagai indikator pereaksi dalam proses pengukuran

aktivitas enzim selulase. Sebanyak 1 g DNS dilarutkan dalam 20 ml NaOH 2 N

sedikit demi sedikit sambil dihomogenkan dengan stirrer hingga larutan

berwarna jingga. Selanjutnya, 30 g natrium kalium tartrat yang telah dilarutkan

dalam 50 ml pure water dicampurkan dengan larutan DNS sambil

Page 35: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

21

dihomogenkan kembali. Sebanyak 0,2 g fenol dicampur ke dalam larutan.

Apabila semua larutan telah homogen maka larutan dimasukkan ke dalam labu

ukur bervolume 100 ml lalu ditambahkan sedikit demi sedikit pure water hingga

mencapai batas tera.

3.4.3. Pembuatan Kurva Standar

Kurva Standar Glukosa

Pembuatan kurva standar glukosa diawali dengan membuat larutan stok 100

ppm (5 mg gula standar (glukosa) dalam 50 ml akuades). Serial standar glukosa

yang dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran

dari larutan stok standar glukosa 100 ppm. Setelah seluruh larutan standar siap,

sebanyak 1 ml dari tiap larutan serial standar glukosa ditambahkan dengan 1 ml

pereaksi DNS. Larutan dihomogenkan dengan vorteks lalu dipanaskan dalam air

mendidih pada suhu ±100°C selama 15 menit di dalam waterbath. Larutan

didinginkan dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Kurva

standar terbentuk dari hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-

y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan persamaan regresi

(Lampiran 3).

Kurva Standar IAA

Pembuatan kurva standar IAA diawali dengan membuat larutan stok 100

ppm (5 mg standar auksin dalam 50 ml akuades). Larutan serial standar IAA yang

dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 ppm hasil pengenceran dari larutan

stok standar IAA 100 ppm. Setelah seluruh larutan standar siap, sebanyak 1 ml

dari tiap larutan serial standar IAA ditambahkan dengan 2 ml pereaksi Salkowski

(komposisi: 2 ml besi klorin 0,5 M; 49 ml akuades; 49 ml asam perklorat).

Larutan dihomogenkan dengan vorteks lalu diinkubasi dalam ruang gelap pada

suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu, absorbansi larutan diukur pada panjang

gelombang 530 nm. Kurva standar terbentuk dari hubungan antara nilai

absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x)

sehingga dihasilkan persamaan regresi (Lampiran 4).

Page 36: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

22

3.4.4. Peremajaan Isolat Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Isolat diremajakan pada media NB, NA dan CMC padat. Isolat disegarkan

dalam 100 ml media NB secara aseptis dan diinkubasi dalam shaking incubator

selama 24 jam pada suhu 37ºC. Sebanyak 100 µl kultur cair umur 24–48 jam

dipindahkan ke dalam media NA plate secara aseptis dengan metode sebar

(spread plate) lalu diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 37ºC. Isolat diuji

kemurniannya menggunakan metode gores (streak) pada media NA untuk diamati

ciri morfologi koloni isolat yang diinginkan. Setelah itu, koloni diamati secara

mikroskopik menggunakan pewarna Gram di bawah mikroskop cahaya. Isolat

yang telah murni dipindahkan ke dalam media NA miring untuk dijadikan sebagai

isolat stok. Isolat diremajakan kembali pada media padat CMC untuk dilakukan

uji konfirmasi aktivitas selulolitik.

3.4.5. Uji Karakterisasi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai PGPB

Uji Pelarutan Fosfat

Aktivitas pelarutan fosfat diuji secara kualitatif pada media padat

Pikovskaya. Koloni tunggal dari isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu

ujung ose lalu diinokulasikan pada media padat Pikovskaya dengan metode totol.

Sampel diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37°C. Hasil positif ditandai dengan

adanya zona bening di sekitar koloni.

Kriteria zona bening berdasarkan ukuran diameter zona bening yang

dihasilkan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: zona bening kecil (<0,5 cm),

sedang (0,5-1 cm), dan luas (>1 cm) (Afzal et al., 2015). Indeks pelarutan fosfat

(IPF) untuk menggambarkan kemampuan bakteri dihitung menggunakan

persamaan rasio diameter zona bening terhadap diameter koloni (cm) (Santosa,

2007).

Uji Pelarutan Kalium

Pengujian dilakukan pada media padat Aleksandrov. Koloni tunggal dari

isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu ujung ose lalu diinokulasikan

pada media padat Aleksandrov dengan metode totol. Sampel diinkubasi selama 5

Page 37: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

23

hari pada suhu 37°C. Indikator positif ditandai dengan terbentuknya zona bening

di sekitar koloni.

Indeks pelarutan kalium (IPK) ditentukan melalui persamaan rasio diameter

zona bening terhadap diameter koloni (cm) (Setiawati & Mutmainnah, 2016).

Kriteria besar diameter zona bening yang dihasilkan diadopsi dari Afzal et al.

(2015), yaitu zona bening kecil (<0,5 cm), sedang (0,5-1 cm) dan luas (>1 cm).

Uji Kitinolitik

Koloni tunggal dari isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu ujung

ose lalu ditumbuhkan pada media kitin agar dengan metode totol. Sampel

diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 hari. Zona bening yang terbentuk

menunjukkan aktivitas kitinolitik. Skrining aktivitas produksi enzim kitinase

diukur berdasarkan besar indeks kitinolitik (IK), yakni rasio diameter zona bening

terhadap diameter koloni (cm) (Mubarik et al., 2010).

Kriteria ukuran diameter zona bening yang dihasilkan bakteri diadopsi dari

Afzal et al. (2015), yaitu zona bening kecil (<0,5 cm), sedang (0,5-1 cm) dan luas

(>1 cm). Sementara itu, kriteria kemampuan bakteri dalam menghidrolisis kitin

diketahui melalui perhitungan indeks kitinolitik dengan klasifikasi sebagai

berikut: lemah (IK= <1), sedang (IK= 1-1,5), tinggi (IK = >1,5) (Suryadi et al.,

2014).

Uji Potensi Penghasil Hormon Indole Asetic Acid (IAA)

Pengujian potensi isolat dalam menghasilkan hormon IAA dilakukan secara

kualitatif pada media NB dengan penambahan 0,1% L-triptofan steril (1000 ppm).

Prosedur diadaptasi dari penelitian Ngoma et al. (2013) dan dimodifikasi.

Sebanyak satu ose biakan murni isolat dimasukkan ke dalam 20 ml media NB

steril yang telah ditambahkan 2 ml L-triptofan steril 0,1%. Inokulum diinkubasi

dalam shaking incubator pada kecepatan medium, suhu 37°C selama 5 hari.

Biakan isolat disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit

pada suhu 4°C untuk memisahkan supernatan dan sel debris (endapan).

Selanjutnya, supernatan sampel ditambahkan pereaksi Salkowski (1:2) dan

dihomogenkan. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit pada suhu

Page 38: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

24

ruang. Indikator positif sebagai bakteri penghasil hormon IAA ditandai dengan

adanya perubahan gradasi warna merah hingga merah muda pada supernatan

sampel setelah diinkubasi.

3.4.6. Penentuan Kombinasi Substrat dan Waktu Inkubasi Optimum

terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Stenotrophomonas maltophilia

LA3B sebagai Agen Pupuk Hayati

Penelitian ini merupakan tahapan lanjutan dari pengujian sebelumnya (uji

karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB) dan merupakan

pengujian utama untuk melihat potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk

hayati pada bahan pembawa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan

tumbuh dan aktivitas S. maltophilia LA3B pada substrat LIA yang ditambahkan

tepung ikan dengan berbagai konsentrasi sehingga menghasilkan formulasi terbaik

hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi untuk

pertumbuhan serta aktivitas S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati,

terutama dalam memproduksi enzim selulase dan hormon IAA.

Tahapan awal yang dilakukan, yakni stok isolat S. maltophilia LA3B dalam

media NA miring diremajakan pada media kultur NB 50 ml lalu diinkubasi

menggunakan shaking incubator pada suhu 37°C selama 24 jam. Biakan segar

umur ±24 jam dipindahkan ke dalam tiap kelompok media perlakuan sebanyak

10% dari total volume media perlakuan (5 ml biakan per 50 ml media perlakuan).

Media dibungkus plastik hitam untuk menghindari paparan cahaya. Media

perlakuan yang telah berisi biakan isolat diinkubasi dalam shaking incubator pada

suhu 35±2°C dengan kecepatan medium. Pengambilan sampel pada tiap media

perlakuan dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, 7, 9, dan 11 waktu inkubasi secara

kontinu dan aseptis untuk dilakukan pengukuran paramater. Adapun cara kerja

dari tiap parameter adalah sebagai berikut.

Perhitungan Jumlah Sel Bakteri pada Media Perlakuan

Analisis pertumbuhan sel bakteri dilakukan untuk memperkirakan jumlah

sel bakteri yang tumbuh pada media perlakuan menggunakan metode Total Plate

Page 39: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

25

Count (TPC). Durasi pengukuran pertumbuhan sel disesuaikan dengan waktu

pengambilan sampel, yakni tiap hari ke-1, 3, 5, 7, 9 dan 11 masa inkubasi. Metode

perhitungan TPC dimodifikasi dari Purnomo (2016) menggunakan teknik sebar

(spread plate) pada media PCA. Jumlah koloni bakteri yang memenuhi

persyaratan perhitungan adalah 30-300 koloni. Nilai log [sel] yang diperoleh dari

pengukuran dengan TPC selanjutnya diplotkan untuk memperoleh grafik rerata

pertumbuhan (log [sel] vs waktu). Adapun persamaan yang digunakan untuk

menghitung jumlah sel bakteri (CFU/ml) adalah sebagai berikut.

Perhitungan jumlah sel bakteri (CFU/ml) = Jumlah koloni

F1xFP

Keterangan:

CFU/ml = Colony Forming Unit per milliliter (satuan internasional perhitungan

jumlah sel bakteri)

FP = Faktor seri pengenceran

F1 = Inokulasi biakan yang dituang (0,1 ml).

Pengukuran Aktivitas Enzim Selulase pada Media Perlakuan

Aktivitas enzim selulase diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis

pada panjang gelombang (λ) 540 nm dengan indikator pereaksi DNS. Prosedur

pengujian diadaptasi dari Munifah (2017) dan dimodifikasi. Pengukuran aktivitas

selulase disesuaikan dengan durasi waktu pengambilan sampel. Hal ini bertujuan

untuk mengetahui konsentrasi substrat dan lama waktu inkubasi yang optimum

untuk memproduksi enzim selulase.

Sebanyak 100 µl supernatan sampel dituang ke dalam microtube lalu

ditambahkan 100 µl CMC 1% dan dihomogenkan dengan vorteks. Sampel

diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Selanjutnya, sampel ditambahkan

200 µl pereaksi DNS lalu dihomogenkan kembali. Sampel dipanaskan dalam

thermoblock pada suhu ± 95°C selama 15 menit. Setelah sampel dingin, sebanyak

100 µl sampel diletakkan pada microplate 96-well untuk dilakukan pengukuran

absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540

nm. Nilai absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan berikut.

Page 40: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

26

Absorbansi = ((As-Ab) – (Ak-Ab))

Keterangan:

As = Absorbansi sampel

Ab = Absorbansi blanko

Ak = Absorbansi kontrol

Kadar glukosa (nilai-x) (mg/l) diperoleh dengan memasukkan nilai

absorbansi (nilai -y) yang telah diukur ke dalam persamaan kurva standar glukosa

yang telah dibuat (Lampiran 3). Aktivitas selulase dalam memecah selulosa untuk

menghasilkan 1 µmol glukosa dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut.

Aktivitas selulase (U/ml) = Kadar glukosa (mg/l) x 1000

V x t x BM

Keterangan:

V = volume enzim (0,1ml)

t = waktu inkubasi (30 menit)

BM = berat molekul glukosa (180 Dalton)

Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan metode

dan tahapan yang sama. Pada kontrol, enzim yang akan direaksikan dengan

substrat telah diinaktivasi terlebih dahulu dengan memansakan enzim selama 15

menit menggunakan thermoblock pada suhu ±95˚C. Sementara itu, pada perlakuan

blanko, larutan enzim diganti dengan akuades untuk direaksikan dengan substrat.

Pengulangan pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan sebanyak tiga kali

untuk tiap perlakuan.

Pengukuran Konsentrasi Hormon IAA pada Media Perlakuan

Konsentrasi hormon IAA diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis

pada panjang gelombang (λ) 530 nm dengan indikator pewarna Salkowski.

Pengukuran konsentrasi hormon IAA disesuaikan dengan waktu pengambilan

sampel. Hal ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi substrat dan lama waktu

inkubasi yang optimum untuk produksi IAA.

Sebanyak 75 µl supernatan sampel diletakkan dalam microplate 96-well.

Selanjutnya, sampel ditambahkan 150 µl pereaksi Salkowski (1:2) lalu

dihomogenkan. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 30

menit. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

Page 41: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

27

gelombang 530 nm. Konsentrasi hormon IAA pada sampel diperoleh dari

persamaan kurva standar IAA murni yang telah dibuat (Lampiran 4.). Tahapan

yang sama juga dilakukan pada larutan blanko. Pengulangan pengukuran

konsentrasi hormon IAA dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.

Pengukuran pH Media Perlakuan

Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi pH media

yang terjadi selama masa inkubasi. Pengukuran pH dilakukan menggunakan

kertas pH indikator. Waktu pengukuran disesuaikan dengan waktu pengambilan

sampel. Pengulangan pengukuran pH media dilakukan sebanyak tiga kali untuk

tiap perlakuan.

3.5 Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan statistik. Analisis

deskriptif dilakukan pada pengujian karakteristik S. maltophilia LA3B sebagai

kelompok PGPB, antara lain hasil uji potensi pelarutan fosfat dan kalium,

aktivitas kitinolitik, serta produksi hormon IAA. Data dideskripsikan sesuai hasil

pengamatan keberadaan zona bening ataupun perubahan warna supernatan.

Analisis statistik digunakan untuk mengetahui pengaruh interaksi dari ketiga

faktor perlakuan (konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi) serta untuk

menentukan formulasi terbaik bagi pertumbuhan sel dan aktivitas S.maltophilia

LA3B dalam menghasilkan enzim selulase dan hormon IAA. Data dianalisis

secara statistik menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solution

(SPSS) versi 20 dengan uji ANOVA tiga arah pada batas kepercayaan 95% (α =

0,05). Nilai signifikansi ditentukan pada taraf 5%. Nilai signifikansi (sig. <0,05)

menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, atau sebaliknya. Perlakuan yang

berpengaruh nyata kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test

(DMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari tiap

perlakuan.

Page 42: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

28

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Uji Pelarutan Fosfat Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Hasil pengujian pada media padat Pikovskaya menunjukkan hasil positif

yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 5). Hal ini

diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam melarutkan

fosfat tidak terlarut yang terdapat pada media padat Pikovskaya secara kualitatif.

Terbentuknya zona bening di sekitar koloni disebabkan adanya aktivitas pelarutan

kalsium hidrogen fosfat dihidrat sebagai sumber fosfat tidak terlarut. Santosa

(2007) menjelaskan bahwa bakteri pelarut fosfat dalam eksresinya akan

menghasilkan asam-asam organik (sitrat, malat, oksalat, dan asetat) yang akan

bereaksi dengan pengikat fosfat, seperti kalsium dan membentuk khelat organik

stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dalam media.

Gambar 5. Hasil uji pelarutan fosfat S. maltophilia LA3B pada media padat

Pikovskaya (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: a. zona

bening; b. koloni bakteri)

Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 5), keadaan zona bening yang

terbentuk di sekitar koloni terlihat jelas dan jernih. Rerata diameter zona bening

yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 5 hari inkubasi sebesar 1,08±0,12

cm dan rerata diameter koloni sebesar 0,78±0,08 cm sehingga nilai rerata indeks

pelarutan fosfat yang dihasilkan S. maltophilia LA3B sebesar 1,40±0,26 (Gambar

5; Lampiran 5). Ukuran diameter zona bening yang dihasilkan pada penelitian ini

di atas 1,0 cm (>1,0 cm) sehingga termasuk ke dalam kategori luas berdasarkan

kriteria Afzal et al. (2015).

a. b.

Page 43: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

29

Penelitian serupa terkait potensi S. maltophilia sebagai bakteri pelarut fosfat

dilaporkan oleh Fitriyanti (2017), yakni pada S. maltophilia GPA2.2 asal sampel

tanah di sekitar area penambangan batu kapur Cirebon. Isolat tersebut memiliki

indeks pelarutan fosfat sebesar 0,26. Penelitian lainnya dilaporkan oleh Ngoma et

al. (2013) yang mengisolasi S. maltophilia KC 010529 dari perakaran tanaman

bayam dan menghasilkan indeks pelarutan fosfat sebesar 1,0. Jika dibandingkan

dengan hasil penelitian Fitriyanti (2017) dan Ngoma et al. (2013), nilai indeks

pelarutan fosfat yang dihasilkan S. maltophilia LA3B lebih tinggi dibandingkan

dengan S. maltophilia GPA2.2 (Fitriyanti, 2017) ataupun S. maltophilia KC

010529 (Ngoma et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa S. maltophilia LA3B

berpotensi sebagai bakteri pelarut fosfat.

Perbedaan nilai indeks pelarutan fosfat diduga karena adanya perbedaan

strain bakteri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian John dan Tangavel (2017),

yakni dari 19 isolat dengan jenis bakteri dan sumber isolat yang sama, namun

potensi pemacu tumbuh tanaman dari tiap isolat berbeda-beda, mulai dari tidak

ada aktivitas dalam melarutkan fosfat hingga memiliki aktivitas pelarutan fosfat.

Menurut Santosa (2007) pembentukan zona bening yang semakin luas dan indeks

pelarutan fosfat yang semakin tinggi mengindikasikan tingginya kemampuan

isolat dalam melarutkan sumber fosfat pada media sehingga bakteri tersebut dapat

dipilih atau diisolasi sebagai bakteri pelarut fosfat yang mempunyai potensi untuk

dapat dikembangkan lebih lanjut.

4.2. Hasil Uji Pelarutan Kalium Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Hasil pengujian pada media padat Aleksandrov menunjukkan hasil positif

yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 6). Hal ini

diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam melarutkan

kalium tidak larut yang terdapat pada media padat Aleksandrov secara kualitatif.

Basak dan Biswas (2009) menjelaskan bahwa pembentukan zona bening terjadi

karena adanya proses penyekresian asam-asam organik sehingga ion kalium dapat

larut dan dimanfaatkan oleh bakteri untuk pembentukan sel-sel baru.

Page 44: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

30

Berdasarkan hasil pengamatan, keberadaan zona bening terlihat jelas di

sekitar koloni (Gambar 6). Rerata diameter zona bening yang dihasilkan

S. maltophilia LA3B selama 5 hari inkubasi sebesar 1,03±0,12 cm. Rerata

diameter koloni sebesar 0,68±0,03 cm dan rerata indeks pelarutan kalium sebesar

1,52±0,21 (Gambar 6; Lampiran 5.b). Nilai rerata diameter zona bening yang

dihasilkan S. maltophilia LA3B berada di atas 1,0 cm sehingga termasuk dalam

kategori luas berdasarkan kriteria Afzal et al. (2015).

Penelitian serupa terkait potensi bakteri pelarut kalium dilaporkan oleh John

dan Tangavel (2017) pada isolat S. maltophilia asal sedimen laut. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa dari 19 jenis isolat S. maltophilia dengan strain

yang berbeda-beda menghasilkan rerata aktivitas pelarutan kalium yang

didominasi oleh aktivitas pelarutan kalium yang lemah (11 dari 19 isolat memiliki

diameter zona bening kurang dari 0,5 cm, 7 dari 19 isolat tidak memiliki aktivitas,

dan 1 isolat memiliki aktivitas yang tinggi). Jika dibandingkan dengan penelitian

John dan Tangavel (2017) maka S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai bakteri

pelarut kalium. Berdasarkan hasil tersebut, salah satu faktor yang mempengaruhi

adanya perbedaan kemampuan bakteri dalam melarutkan kalium diduga karena

perbedaan strain bakteri.

Gambar 6. Hasil uji pelarutan kalium S. maltophilia LA3B pada media padat

Aleksandrov (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: a. zona

bening; b. koloni bakteri)

b.

a.

Page 45: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

31

4.3. Hasil Uji Kitinolitik Stenotrophomonas maltophilia LA3B

Hasil pengujian pada media padat kitin menunjukkan hasil positif yang

ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 7). Hal ini

diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam

menghidrolisis sumber kitin yang terdapat pada media padat kitin secara kualitatif.

Rupaedah et al. (2018) menjelaskan bahwa pembentukan zona bening di sekitar

koloni terjadi karena adanya aktivitas pemutusan ikatan -1,4 homopolimer N-

asetil glukosamin (polimer kitin) menjadi monomer kitin (N-asetil glukosamin)

yang dilakukan oleh bakteri.

Gambar 7. Hasil uji kitinolitik S. maltophilia LA3B pada media padat kitin 1%

(inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: A. zona bening)

Rerata diameter zona bening yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 5

hari inkubasi sebesar 1,30±0,10 cm dan rerata diameter koloni sebesar 0,25±0,05

cm sehingga diperoleh rerata indeks kitinolitik pada S. maltophilia LA3B sebesar

5,32±1,02 (Lampiran 5). Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 7), keberadaan

zona bening terlihat jelas namun koloni yang tumbuh sangat kecil dan tipis

sehingga keberadaan koloni tidak teramati dengan jelas. Ukuran rerata diameter

zona bening yang dihasilkan S. maltophilia LA3B berada pada kisaran di atas 1,0

cm (>1,0 cm) sehingga termasuk dalam kategori luas berdasarkan kriteria Afzal et

al. (2015).

S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai bakteri kitinolitik dan memiliki

kemampuan yang tinggi dalam menghidrolisis kitin. Hal ini disebabkan pada hasil

penelitian menunjukkan nilai indeks kitinolitik yang dihasilkan S. maltophilia

LA3B berada di atas 3,0. Berdasarkan kriteria Suryadi et al. (2014), nilai indeks

kitinolitik di atas 3,0 menggambarkan tingkat kemampuan kitinolitik yang tinggi.

A

.

1 cm

Page 46: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

32

Potensi S. maltophilia LA3B sebagai bakteri kitinolitik menunjukkan nilai

indeks kitinolitik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian

Chasanah et al. (2007) dan Puspita et al. (2017) pada isolat S. maltophilia dengan

sumber asal isolasi yang berbeda. Nilai indeks kitinolitik pada S. maltophilia KPU

2123 asal limbah udang sebesar 2,27 di media padat kitin yang mengandung 0,5%

koloidal kitin (Chasanah et al., 2007). Sementara itu, Puspita et al. (2017)

mengisolasi S. maltophilia strain Roi_3A (THK 1) asal udang rusip dan

menghasilkan indeks kitinolitik sebesar 1,22 pada media padat kitin yang

mengandung 2% koloidal kitin. Berdasarkan hasil tersebut, adanya perbedaan

kemampuan bakteri dalam menghidrolisis kitin diduga berkaitan dengan

perbedaan strain bakteri dan konsentrasi koloidal kitin yang digunakan. Menurut

Jabeen et al. (2018), beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi aktivitas

kitinolitik bakteri, antara lain kondisi pH, konsentrasi substrat terutama sumber

nitrogen, dan suhu.

Bakteri S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam menghidrolisis

kitin. Peran bakteri kitinolitik terhadap tanaman berkaitan dengan kemampuannya

dalam mendegradasi dinding sel patogen pada fungi yang menginfeksi tanaman.

Priyatno et al. (2000) menjelaskan bahwa bakteri kitinolitik dapat berperan dalam

mengontrol fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme dengan menghidrolisis

struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding sel tabung pada

spora dan miselia fungi sehingga fungi patogen tidak mampu menginfeksi

tanaman.

4.4. Hasil Uji Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai

Penghasil Hormon IAA

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal S. maltophilia

LA3B sebagai bakteri penghasil hormon IAA agar dapat memperkaya fungsi

pupuk hayati sebagai penyedia hormon tumbuh tanaman. Hasil pengujian

supernatan S. maltophilia LA3B pada hari ke-5 inkubasi menunjukkan hasil

positif yang ditandai dengan perubahan warna supernatan menjadi merah muda

transparan setelah diberi pewarna Salkowsi (Gambar 8). Hal ini mengindikasikan

bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan sebagai penghasil hormon IAA

Page 47: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

33

A

.

B

.

serta diduga mampu menyintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk proses

sintesis L-triptofan menjadi IAA.

Gambar 8. Hasil uji potensi penghasil hormon IAA pada media NB yang

ditambahkan 0,1% L-triptofan selama 5 hari inkubasi (keterangan:

a. sebelum diberi pewarna Salkowski; b. setelah diberi pewarna

Salkowski)

Rerata konsentrasi hormon IAA yang diproduksi oleh S. maltophilia LA3B

pada media NB selama 5 hari inkubasi sebesar 1,31±0,01 ppm (Lampiran 5).

Sementara itu, penelitian lain terkait potensi S. maltophilia sebagai bakteri

penghasil hormon IAA dilaporkan oleh Ngoma et al. (2013), yakni pada

S. maltophilia KC 010525 dan KC 010529 asal perakaran tanaman bayam.

Konsentrasi IAA yang dihasilkan berturut-turut sebesar 0,32 dan 0,49 ppm pada

media NB dengan penambahan 0,1% L-triptofan. Konsentrasi hormon IAA yang

dihasilkan S. maltophilia LA3B lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian

Ngoma et al. (2013).

Bakteri S. maltophilia LA3B memiliki potensi sebagai bakteri penghasil

hormon IAA. Perbedaan konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan oleh bakteri

diduga karena perbedaan strain bakteri pada S. maltophilia (John & Tangavel,

2017). Selain itu, menurut Radif et al. (2016), faktor lain yang turut

mempengaruhi optimasi produksi hormon IAA, antara lain perbedaan kondisi

kultur, ketersediaan substrat, dan waktu inkubasi.

b. a.

Page 48: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

34

4.5. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan dan Waktu

Inkubasi terhadap Pertumbuhan Sel Stenotrophomonas maltophilia

LA3B

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui masa pertumbuhan optimum

bakteri selama berada pada bahan pembawa pupuk dengan variasi konsentrasi

substrat dan lama waktu inkubasi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat

menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi LIA, tepung ikan, dan waktu

inkubasi yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70

Tahun 2011.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni

konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi

secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini

menunjukkan bahwa pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B dipengaruhi oleh

variasi kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi. Adapun

hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan adalah

sebagai berikut (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi

substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap jumlah sel

S. maltophilia LA3B (log CFU/ml)

Konsentrasi

LIA

Konsentrasi

Tepung

Ikan

Waktu inkubasi

H1 H3 H5 H7 H9 H11

1% (L1)

0,1% (T1) 8,41p-s 9,92a-e 7,45t 9,13f-p 9,76a-h 9,43b-l

0,2% (T2) 8,41p-s 10,14ab 8,90i-r 9,22e-o 8,72j-s 9,30c-m

0,3% (T3) 8,46o-s 9,98a-d 9,44b-k 9,46b-j 9,79a-g 9,02h-r

2% (L2)

0,1% (T1) 9,10f-p 8,08s 8,97i-r 8,27rs 8,92i-r 8,68k-s

0,2% (T2) 9,31c-m 8,76i-s 9,32c-m 8,33q-s 8,56m-s 8,66l-s

0,3% (T3) 10,03a-c 9,42b-l 9,31c-m 8,61m-s 8,52n-s 8,64m-s

3% (L3)

0,1% (T1) 9,83a-g 8,78i-s 10,27a 9,45b-j 8,79i-s 8,12s

0,2% (T2) 9,80a-g 9,13f-p 9,85a-f 9,50b-i 9,08g-q 8,79i-s

0,3% (T3) 9,15f-p 8,67l-s 10,00a-

d 9,25d-n 8,97i-r 8,64m-s

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Page 49: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

35

Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan

menunjukkan rerata jumlah sel tertinggi dihasilkan pada kelompok perlakuan

konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5

inkubasi (L3T1H5), yakni sebesar 10,27±0,49 log CFU/ml atau setara dengan

18,62x109 CFU/ml (Tabel 3; Lampiran 6.a). Jumlah sel terendah berada pada

perlakuan LIA 1% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi

(L1T1H5), yakni sebesar 7,45±0,04 log CFU/ml atau setara dengan 0,28x108

CFU/ml (Tabel 3; Lampiran 6.a).

Formulasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5

inkubasi (L3T1H5) tidak berbeda nyata dengan beberapa formulasi, antara lain LIA

3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi (L3T1H1), LIA

3% dengan penambahan 0,2% tepung ikan pada hari ke-1 dan ke-5 inkubasi

(L3T2H1 dan L3T2H5), LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari

ke-5 inkubasi (L3T3H5), LIA 2% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari

ke-1 inkubasi (L2T3H1), LIA 1% dengan penambahan tepung ikan 0,1% pada hari

ke-3 dan ke-9 inkubasi (L1T1H3 dan L1T1H9), LIA 1% dengan penambahan tepung

ikan 0,2% pada hari ke-3 inkubasi (L1T2H3), serta LIA 1% dengan penambahan

tepung ikan 0,3% pada hari ke-3 dan 9 inkubasi (L1T3H3 dan L1T3H9 ) (Tabel 3;

Lampiran 6.a).

Jika ditinjau dari formula yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa

formulasi terbaik hasil interaksi dari faktor konsentrasi LIA, konsentrasi tepung

ikan, dan waktu inkubasi terhadap parameter pertumbuhan sel bakteri adalah LIA

3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi (L3T1H5). Hal

ini ditandai dengan tingginya jumlah sel bakteri yang mampu tumbuh pada

formulasi tersebut selama 5 hari masa inkubasi. Tingginya jumlah sel bakteri

diharapkan dapat berperan secara optimal sebagai agen hayati saat proses

pengaplikasian pada tanah ataupun tanaman. Menurut Rohmah et al. (2016)

tingginya kepadatan sel bakteri pada media pembawa pupuk hayati menunjukkan

adanya kesesuaian antara media pembawa dengan pertumbuhan bakteri.

Jika ditinjau dari segi ekonomis, formulasi LIA 3% dengan penambahan

0,1% tepung ikan (L3T1) lebih bersifat ekonomis dan menguntungkan untuk

diproduksi dalam skala besar. Pemanfaatan LIA dalam jumlah (konsentrasi) yang

Page 50: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

36

tinggi diharapkan dapat membantu mengurangi kelimpahan jumlah limbah serta

cukup menguntungkan untuk dijadikan sebagai sumber karbon alternatif bagi

pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan menggunakan media kultur bakteri

yang banyak tersedia di pasaran. Selain itu, pemanfaatan tepung ikan dalam

konsentrasi yang kecil diharapkan mampu meminimalisir biaya produksi

pembuatan pupuk hayati. Penggunaan tepung ikan dalam jumlah sedikit dapat

menjadi sumber nitrogen alternatif bagi bakteri dan lebih murah dibandingkan

dengan sumber nitrogen organik komersil lain, seperti yeast ekstrak, pepton, dan

sebagainya.

Sementara itu, jika ditinjau dari masa penyimpanan (lama inkubasi),

formulasi kombinasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-

1 dan ke-5 inkubasi tidak berbeda nyata (Tabel 3; Lampiran 6.a). Hal ini

menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri optimal dalam masa penyimpanan

selama 1-5 hari inkubasi. Semakin lama masa penyimpanan (waktu inkubasi)

maka diperkirakan ketersediaan nutrisi semakin berkurang sehingga dapat

menurunkan viabilitas sel bakteri. Sumber karbon yang terkandung di dalam

formulasi pupuk hayati menjadi faktor utama sebagai nutrisi untuk pertumbuhan

bakteri. Yelti et al. (2014) menjelaskan bahwa penurunan populasi sel bakteri

selama masa penyimpanan disebabkan oleh adanya kompetisi antar bakteri dalam

memperoleh nutrisi untuk pertumbuhannya.

Adanya perbedaan jumlah sel bakteri yang dihasilkan dari berbagai

formulasi (Tabel 3) dapat disebabkan karena kandungan nutrisi yang berbeda-

beda pada setiap formulasi, terutama konsentrasi sumber karbon yang berasal dari

LIA dan sumber nitrogen yang berasal dari tepung ikan. Hal ini menghasilkan

pola pertumbuhan sel yang berbeda-beda. Adapun pola pertumbuhan sel

S. maltophilia LA3B hasil interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA,

tepung ikan) pada waktu inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar

9).

Page 51: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

37

Gambar 9. Grafik rerata pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B hasil interaksi

antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai

kelompok konsentrasi LIA: a. LIA 1%; b. LIA 2%; c. LIA 3%

(keterangan: L1= LIA 1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung

ikan 0,1% T2= tepung ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)

Secara keseluruhan, rerata jumlah sel S. maltophilia LA3B yang tumbuh

pada bahan pembawa pupuk hayati berupa substrat LIA dengan penambahan

tepung ikan menghasilkan pola pertumbuhan yang fluktuatif seiring lamanya masa

inkubasi (Gambar 9). Meskipun terjadi kenaikan dan penurunan jumlah sel bakteri

selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan, namun jumlah sel bakteri

b.

c.

a.

Page 52: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

38

masih berada dalam kisaran kriteria minimum formulasi pupuk hayati tunggal

menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011, yaitu 108 CFU/ml

(Tabel 1). Jumlah sel bakteri yang diinokulasikan ke dalam semua media

perlakuan pada awal inkubasi (hari ke-0) sebesar 2,0x107 CFU/ml atau setara

dengan 7,30 log CFU/ml untuk seluruh perlakuan (Gambar 9). Rerata jumlah sel

bakteri yang dihasilkan selama 11 hari inkubasi untuk semua perlakuan mencapai

108 CFU/ml atau berkisar antara 7,45-10,27 log CFU/ml (Lampiran 6.a).

Berdasarkan hasil pengamatan, fase pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B

yang cukup jelas teramati di setiap formulasi perlakuan adalah fase eksponensial.

Pada kelompok perlakuan LIA 1% (L1), fase eksponensial diduga mulai terjadi

pada hari ke-1 hingga hari ke-3 inkubasi (Gambar 9.a). Sementara itu, pada

kelompok perlakuan LIA 2% (L2) dan 3% (L3), fase eksponensial mulai terjadi

setelah hari ke-0 hingga hari ke-1 inkubasi (Gambar 9.b & 9.c).

Fase eksponensial yang terjadi pada awal inkubasi diduga karena adanya

penambahan glukosa pada komposisi media perlakuan sehingga bakteri dapat

menggunakan glukosa tersebut sebagai sumber karbon. Hal ini serupa dengan

penelitian Sari (2010) dan Septiani et al. (2017) yang menumbuhkan isolat bakteri

pada medium yang mengandung dua jenis sumber karbon (glukosa dan CMC)

cenderung menghasilkan fase eksponensial dalam waktu singkat, yakni jam ke-0

hingga jam ke-6 inkubasi (Sari, 2010) ataupun jam ke-0 hingga jam ke-12

inkubasi (Septiani et al., 2017). Lisdiyanti et al. (2012) menjelaskan bahwa

penambahan glukosa pada media berfungsi sebagai inisiasi atau permulaan untuk

mempercepat pembelahan sel pada fase eksponensial.

Sementara itu, pada penelitian ini fase lag diduga berlangsung sangat cepat.

Perkiraan fase lag terjadi dalam hitungan menit sampai per jam tepat setelah masa

inkubasi hari ke-0 dimulai sehingga pada grafik tidak terlihat adanya fase lag

bakteri. Hal ini diduga terjadi karena bakteri telah beradaptasi cukup baik pada

substrat LIA sehingga bakteri tidak membutuhkan waktu lama untuk berada pada

fase lag. Hal serupa juga terjadi pada fase stasioner yang diperkirakan terjadi

sangat singkat sehingga tidak teramati dengan jelas pada keseluruhan profil

tumbuh selama waktu inkubasi.

Page 53: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

39

Hogg (2005) menjelaskan bahwa saat mikroba ditumbuhkan dalam medium

yang mengandung dua jenis sumber karbon maka bakteri akan cenderung

menggunakan sumber karbon yang mudah dicerna terlebih dahulu, seperti glukosa

sampai sumber karbon tersebut habis, kemudian baru menggunakan sumber

karbon yang kurang dipilih sebagai sumber karbon berikutnya. Black (2008)

menjelaskan bahwa glukosa dipilih sebagai sumber karbon yang pertama

digunakan bakteri karena memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam sel.

Glukosa merupakan monosakarida yang penting untuk reaksi glikolisis dan secara

aktif digunakan oleh sel karena enzim-enzim glikolisis tersedia secara permanen

atau bersifat konstitutif (Hogg, 2005).

4.6. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan dan Waktu

Inkubasi terhadap Aktivitas Enzim Selulase dari Stenotrophomonas

maltophilia LA3B

Pengukuran aktivitas enzim selulase bertujuan untuk mengetahui kecepatan

produksi enzim selulase dari kombinasi substrat LIA dan tepung ikan pada waktu

inkubasi yang bervariasi serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi

antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim selulase

yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun

2011.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni

konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi

secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap aktivitas

selulase dari S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan

bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi

mempengaruhi aktivitas selulase yang dihasilkan S. maltophilia LA3B. Adapun

hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan adalah

sebagai berikut (Tabel 4).

Page 54: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

40

Tabel 4. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi

substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap aktivitas

selulase S. maltophilia LA3B (U/ml)

Konsentrasi

LIA

Konsentrasi

Tepung

Ikan

Waktu inkubasi

H1 H3 H5 H7 H9 H11

1% (L1)

0,1% (T1) 0,32e-l 0,35b-h 0,36b-g 0,36b-h 0,32e-l 0,31f-l

0,2% (T2) 0,33d-k 0,34d-k 0,33e-k 0,40a-c 0,33d-k 0,35c-i

0,3% (T3) 0,41ab 0,39b-d 0,33e-k 0,45a 0,35c-i 0,40a-c

2% (L2)

0,1% (T1) 0,03q 0,36b-g 0,28k-n 0,34d-k 0,32e-l 0,25mn

0,2% (T2) 0,11p 0,35b-h 0,30g-m 0,32e-l 0,34c-j 0,29i-n

0,3% (T3) 0,04q 0,37b-f 0,31f-m 0,36b-h 0,35b-h 0,35c-i

3% (L3)

0,1% (T1) 0,36b-h 0,37b-f 0,30g-m 0,28j-n 0,24no 0,41ab

0,2% (T2) 0,33d-k 0,35b-h 0,35c-i 0,26l-n 0,34d-k 0,19o

0,3% (T3) 0,30h-n 0,34c-j 0,33e-k 0,25mn 0,28j-n 0,38b-e

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan

menunjukkan rerata aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada kelompok

perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari

ke-7 inkubasi (L1T3H7), yakni sebesar 0,45±0,04 U/ml (Tabel 4; Lampiran 6.b)

dan jumlah sel terendah berada pada perlakuan LIA 2% dengan penambahan 0,1%

tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi (L2T1H1), yakni sebesar 0,03±0,00 U/ml

(Tabel 4; Lampiran 6.b). Formulasi LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung

ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T3H7) tidak berbeda nyata dengan beberapa

formulasi, antara lain LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari

ke-1 dan ke-11 inkubasi (L1T3H1 dan L1T3H11), LIA 3% dengan penambahan

0,2% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T2H7), dan LIA 3% dengan

penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-11 inkubasi (L3T1H11) (Tabel 4;

Lampiran 6.b).

Jika ditinjau dari kombinasi formula yang digunakan, dapat disimpulkan

bahwa formulasi terbaik terhadap parameter aktivitas enzim selulase adalah LIA

1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T3H7). Hal

ini ditandai dengan tingginya aktivitas enzim selulase yang dihasilkan selama 7

hari masa inkubasi. Tingginya aktivitas enzim selulase diduga terjadi karena

perbandingan antara konsentrasi substrat dan enzim berada dalam jumlah yang

Page 55: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

41

seimbang. Selain itu, pada waktu inkubasi tersebut, diduga enzim selulase telah

bekerja dengan maksimal untuk mendegradasi substrat LIA. Hal ini didukung

oleh penyataan Rahmatia et al. (2014) bahwa aktivitas enzim selulase yang

semakin naik diduga karena kuatnya interaksi antara substrat dan enzim yang

disebabkan oleh luasnya permukaan pori dari selulosa. Hal ini menyebabkan

substrat mudah terikat pada sisi aktif enzim sehingga selulosa mudah untuk

didegradasi oleh enzim selulase menjadi glukosa.

Jika ditinjau dari konsentrasi LIA sebagai sumber karbon, tingginya

konsentrasi substrat belum tentu menghasilkan aktivitas enzim selulase yang

semakin tinggi. Budiman (2009) menerangkan bahwa kondisi konsentrasi substrat

yang tidak terlalu tinggi menyebabkan difusi oksigen dan adsorbsi enzim terhadap

substrat akan berjalan optimal. Sementara itu, penambahan konsentrasi LIA dapat

menyebabkan pengaruh kompetitif inhibitor akibat substrat berlebih sehingga

cenderung tidak memberikan kenaikan aktivitas enzim. Rahmatia et al. (2014)

menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi substrat dapat menyebabkan situs

katalitik pada enzim sudah terisi oleh substrat dan situs aktifnya mengalami

kejenuhan.

Jika ditinjau dari konsentrasi tepung ikan sebagai sumber nitrogen,

penambahan konsentrasi tepung ikan diduga mampu memberikan kenaikan

aktivitas enzim selulase. Madigan et al. (2012) menyatakan bahwa sumber karbon

membantu dalam pembentukan materi sel saat pembelahan, sedangkan nitrogen

berperan penting saat sintesis protein, termasuk produksi enzim. Hal ini didukug

oleh hasil penelitian sebelumnya bahwa pada substrat LIA 1% tanpa penambahan

tepung ikan, aktivitas selulase yang dihasilkan S. maltophilia LA3B mencapai

0,157 U/ml selama 120 jam inkubasi (Munifah, 2017). Jika dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya, aktivitas selulase yang dihasilkan pada penelitian ini

cenderung lebih tinggi.

Kandungan nutrisi yang berbeda-beda pada setiap formulasi, terutama

konsentrasi sumber karbon yang berasal dari LIA dan sumber nitrogen yang

berasal dari tepung ikan diduga menyebabkan kemampuan bakteri untuk

menyintesis enzim selulase menjadi berbeda-beda sehingga mempengaruhi pola

aktivitas selulasenya. Adapun grafik pola aktivitas enzim selulase yang dihasilkan

Page 56: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

42

S. maltophilia LA3B hasil interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA,

tepung ikan) pada waktu inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar

10).

Gambar 10. Grafik rerata aktivitas selulase hasil interaksi antara konsentrasi

substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi

LIA: a.) LIA 1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA

1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung

ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)

a.

b.

c.

Page 57: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

43

Pola aktivitas selulase dari S. maltophilia LA3B pada seluruh kelompok

perlakuan cenderung fluktuatif (Gambar 10). Besar rerata aktivitas selulase yang

dihasilkan selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan berkisar antara

0,03-0,45 U/ml (Lampiran 6.b). Berdasarkan kriteria Peraturan Menteri Pertanian

No.70 Tahun 2011 (Tabel 2), kelompok perlakuan LIA 1% dengan penambahan

0,1%, 0,2% ataupun 0,3% tepung ikan (L1T1,L1T2, dan L1T3) telah memenuhi

persyaratan minimum sebagai formula bahan pembawa untuk bakteri selulolitik,

yakni aktivitas selulase minimum sebesar 0,3 U/ml (Tabel 4; Lampiran 6.b),

sedangkan aktivitas selulase yang dihasilkan pada kelompok perlakuan LIA 2%

(L2) dan 3% (L3) relatif belum stabil untuk berada dalam kisaran baku mutu

kriteria Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 (Tabel 4; Lampiran

6.b).

Rendahnya aktivitas enzim selulase pada awal inkubasi diduga karena

ketersediaan glukosa yang masih cukup tinggi sehingga cenderung bersifat represi

terhadap produksi enzim selulase. Munifah (2017) menerangkan bahwa produksi

enzim selulase dikendalikan oleh mekanisme aktivasi dan represi, yakni enzim

selulase akan diinduksi hanya ketika ada substrat dan direpresi ketika senyawa

gula sederhana tersedia. Selain itu, penurunan aktivitas enzim selulase juga dapat

terjadi karena bakteri menyekresikan enzim lain selain selulase. Martina et al.

(2002) menjelaskan bahwa pada saat awal inkubasi, sel bakteri dapat

mengeluarkan enzim lain selain selulase, seperti protease yang dapat menguraikan

atau merusak enzim selulase.

4.7. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu

Inkubasi terhadap Produksi Hormon IAA dari Stenotrophomonas

maltophilia LA3B

Pengujian produksi hormon IAA dilakukan secara kuantitatif untuk

mengetahui besar konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B

pada kombinasi konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi serta

menemukan formulasi terbaik terhadap produksi hormon IAA yang sesuai dengan

kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011.

Page 58: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

44

Hasil pengujian secara kualitatif menunjukkan hasil positif S. maltophilia

LA3B ketika ditumbuhkan pada media LIA. Hal ini ditandai dengan adanya

perubahan warna supernatan menjadi merah muda (Lampiran 10.C). Sementara

itu, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni

konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi

secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap produksi

hormon IAA dari S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini

menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu

inkubasi mempengaruhi produksi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia

LA3B. Adapun hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor

perlakuan adalah sebagai berikut (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi

substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap produksi

hormon IAA S. maltophilia LA3B (ppm)

Konsentrasi

LIA

Konsentrasi

Tepung

Ikan

Waktu inkubasi

H1 H3 H5 H7 H9 H11

1% (L1)

0,1% (T1) 1,25b-f 1,27b-e 1,25b-f 1,16c-m 1,11c-n 1,10d-n

0,2% (T2) 1,19b-j 1,31bc 1,26b-f 1,28b-d 1,26b-f 1,28b-d

0,3% (T3) 1,25b-f 1,25b-f 1,28b-d 1,38b 1,18b-k 1,18b-l

2% (L2)

0,1% (T1) 1,22b-h 1,16c-m 1,21b-i 1,15c-m 1,15c-m 1,15c-m

0,2% (T2) 1,23b-g 1,11c-n 1,17b-m 1,06e-n 1,05f-n 1,06f-n

0,3% (T3) 1,25b-f 1,11c-n 1,19b-j 1,16c-m 1,15c-m 1,17b-m

3% (L3)

0,1% (T1) 1,59a 1,09d-n 0,91n 0,98k-n 0,97l-n 0,96mn

0,2% (T2) 1,62a 1,22b-h 1,03g-n 1,19b-k 1,00i-n 0,99j-n

0,3% (T3) 1,64a 1,23b-g 1,06f-n 1,22b-h 1,01h-n 1,02g-n

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan

menunjukkan rerata produksi hormon IAA tertinggi dihasilkan pada kelompok

perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari

ke-1 inkubasi (L3T3H1), yakni sebesar 1,64±0,01 ppm (Tabel 5; Lampiran 6.c) dan

konsentrasi hormon IAA terendah, yakni perlakuan LIA 3% dengan penambahan

0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi (L3T1H5), yakni sebesar 0,91±0,01 ppm

(Tabel 5; Lampiran 6.c). Formulasi LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung

Page 59: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

45

ikan pada hari ke-1 inkubasi (L3T3H1) berbeda nyata dengan seluruh formulasi

perlakuan, kecuali LIA 3% dengan penambahan 0,1% dan 0,2% tepung ikan pada

hari ke-1 inkubasi (L3T1H1 dan L3T2H1) (Tabel 5; Lampiran 6.c).

Tingginya produksi hormon IAA pada formulasi konsentrasi LIA 3% yang

dipadukan dengan 0,3% tepung ikan (L3T3) diduga merupakan perpaduan sumber

nutrisi yang cukup ideal bagi S. maltophilia LA3B untuk memaksimalkan proses

biosintesis IAA. Penambahan konsentrasi tepung ikan sebagai sumber protein

diduga mampu meningkatkan produksi hormon IAA. Hal ini disebabkan tepung

ikan kaya asam-asam amino esensial (terutama metionin dan lysin) serta mineral-

mineral (Ca, P, vitamin B12) (Haryono et al., 2015). Selain itu, didukung dengan

penambahan asam amino L-triptofan sebagai prekursor utama IAA yang berperan

untuk merangsang jalur biosintesis IAA. Hal ini diperkuat dengan pernyataan

Radif et al. (2016) bahwa kandungan mineral, komponen protein pada media serta

penambahan L-triptofan turut mendukung produksi IAA.

Jika ditinjau dari masa inkubasi, hasil penelitian menunjukkan produksi

hormon IAA tertinggi dihasilkan pada awal inkubasi (Tabel 5; Lampiran 6.c). Hal

ini diduga karena ketersediaan sumber nutrisi pada media masih cukup tinggi.

Selain itu, jumlah L-triptofan diduga masih cukup banyak pada awal inkubasi

sehingga mampu mengefisienkan proses sintesis IAA terkait peranannya sebagai

prekursor IAA. Lestari et al. (2007) menjelaskan bahwa pada awal inkubasi,

kondisi ketersediaan sumber nutrisi masih tinggi sehingga produksi hormon IAA

tinggi dan akan terus mengalami peningkatan seiring pertambahan jumlah selnya.

Larosa et al. (2013) juga menjelaskan adanya keterkaitan antara jumlah sel bakteri

dengan kemampuan bakteri dalam mengonversi L-Triptofan, yakni semakin

banyak sel bakteri yang tumbuh, maka prekursor (L-triptofan) yang dikonversi

menjadi IAA juga semakin banyak.

Adanya variasi konsentrasi substrat, yakni LIA dan tepung ikan diduga

mempengaruhi bakteri untuk menyekresikan enzim-enzim yang berperan dalam

proses sintesis hormon IAA. Pant et al. (2014) menjelaskan bahwa salah satu

faktor yang turut mempengaruhi produksi hormon IAA oleh bakteri adalah

ketersediaan substrat. Selain itu, waktu inkubasi juga mempengaruhi produksi

hormon IAA karena berkaitan dengan ketersediaan substrat (Radif et al., 2016).

Page 60: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

46

Adapun pola produksi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B hasil

interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) pada waktu

inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar 11).

Gambar 11. Grafik rerata produksi hormon IAA hasil interaksi antara konsentrasi

substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi

LIA: a.) LIA 1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA

1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung

ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)

a.

b.

c.

Page 61: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

47

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa S. maltophilia LA3B mampu

tumbuh dan memproduksi hormon IAA pada substrat LIA dengan penambahan

tepung ikan (Gambar 11). Rerata produksi hormon IAA yang dihasilkan

S. maltophilia LA3B selama masa inkubasi cenderung fluktuatif untuk seluruh

perlakuan (Gambar 11). Meskipun mengalami penurunan, namun konsentrasi

hormon IAA pada seluruh formulasi perlakuan selama 11 hari masa inkubasi tetap

memenuhi kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011,

yakni produksi hormon IAA di atas 0 ppm (>0,0 ppm) (Tabel 1 & Tabel 2).

Rerata konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 11

hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan berkisar antara 0,91-1,64 ppm

(Lampiran 6.c).

Penurunan produksi hormon IAA diduga terjadi karena ketersediaan sumber

nutrisi pada media yang mulai berkurang sehingga konsentrasi hormon IAA yang

dihasilkan bakteri digunakan kembali untuk proses metabolisme. Arteca (1996)

menjelaskan bahwa penurunan konsentrasi hormon IAA dapat terjadi akibat

degradasi hormon IAA yang dilakukan oleh bakteri menjadi senyawa lain. Proses

degradasi hormon IAA terjadi melalui proses pelepasan enzim pendegradasi IAA,

seperti IAA oksidase dan IAA peroksidase (Sridevi & Mallaiah, 2007) akibat

ketersediaan nutrisi dalam media yang mulai berkurang sehingga hormon IAA

akan dirombak kembali dan digunakan oleh bakteri untuk melakukan sintesis

protein maupun kegiatan fisiologis lainnya (Anggara et al., 2014)

Selain itu, menurut Hidayatullah et al. (2017) penurunan produksi hormon

IAA juga dapat terjadi karena ketersediaan oksigen bebas dalam media dan

sekitarnya akibat proses aerasi. Enzim triptofan 2,3-dioksigenase yang dimiliki

bakteri akan aktif saat berinteraksi dengan oksigen bebas dan akan merusak cincin

indol penyusun IAA sehingga hormon IAA terdegradasi (Egebo et al., 1991).

4.8. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu Inkubasi

terhadap Kondisi pH Media

Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi derajat

keasaman pada media tumbuh akibat adanya aktivitas metabolisme bakteri. Hasil

analisis sidik ragam pada media perlakuan menunjukkan interaksi secara simultan

Page 62: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

48

dari ketiga faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi hormon

IAA dari S. maltophilia LA3B (sig. >0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan

bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi tidak

mempengaruhi kondisi pH media. Adapun rerata kondisi pH media hasil interaksi

dari konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi adalah sebagai

berikut (Tabel 6).

Tabel 6. Rerata nilai pH berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi substrat

(LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi

Konsentrasi

LIA

Konsentrasi

Tepung

Ikan

Waktu inkubasi

H1 H3 H5 H7 H9 H11

1% (L1)

0,1% (T1) 6,50 7,50 7,75 8,00 8,00 8,00

0,2% (T2) 6,50 7,50 7,50 7,00 8,00 7,00

0,3% (T3) 6,50 7,50 7,50 7,75 8,00 8,00

2% (L2)

0,1% (T1) 7,00 7,00 7,75 7,75 7,75 7,75

0,2% (T2) 6,75 7,00 7,75 7,75 8,25 8,00

0,3% (T3) 6,75 7,25 8,00 8,00 8,00 8,00

3% (L3)

0,1% (T1) 7,00 7,00 7,75 8,00 8,00 8,00

0,2% (T2) 7,00 7,00 8,00 8,00 8,00 8,00

0,3% (T3) 7,00 7,00 7,50 8,00 8,00 7,50

Rerata nilai pH yang dihasilkan selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh

perlakuan berkisar antara 6,5-8,25 (Tabel 6). Kondisi pH dalam kisaran tersebut

diduga mampu mendukung pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B

dalam memproduksi enzim selulase dan hormon IAA. Larosa et al. (2013)

menerangkan bahwa pH optimum untuk aktivitas enzim selulase berkisar antara

6-8. Sementara itu, menurut Radif et al. (2016), produksi hormon IAA optimum

yang dihasilkan oleh bakteri berada dalam kisaran pH 6,5-7,0.

Berdasarkan kriteria khusus pupuk hayati menurut Peraturan Menteri

Pertanian No.70 Tahun 2011 tentang persyaratan kadar nilai pH yang dihasilkan

bakteri pada bahan pembawa (Tabel 1.), kadar pH media untuk seluruh perlakuan

selama 11 hari masa inkubasi telah memenuhi persyaratan optimum yang

ditetapkan, yakni berkisar antara 5-8, kecuali pada perlakuan L2T2 pada hari ke-9

inkubasi (L2T2H9). Adapun grafik rerata kondisi pH media selama masa inkubasi

adalah sebagai berikut (Gambar 12).

Page 63: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

49

Gambar 12. Grafik rerata pH media hasil interaksi antara konsentrasi substrat dan

waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi LIA: a.) LIA

1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA 1%; L2= LIA

2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung ikan 0,2%;

T3= tepung ikan 0,3%)

Hasil pengukuran pH media menunjukkan pola kondisi pH yang

berfluktuasi selama 11 hari masa inkubasi (Gambar 12). Kondisi pH media pada

kelompok perlakuan (LIA 1%, 2%, dan 3%) cenderung meningkat menjadi basa

setelah melewati hari ke-1 inkubasi (Gambar 12; Tabel 6). Hal ini diduga terjadi

karena adanya reaksi antara bakteri yang bersifat asam dengan tepung ikan yang

bersifat basa. Sundari et al. (2014) menjelaskan bahwa perubahan pH menjadi

a.

c.

b.

.

Page 64: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

50

netral dapat disebabkan adanya reaksi asam-basa yang terbentuk antara

bioaktivator (mikroorganisme) yang bersifat asam dan tepung ikan yang bersifat

basa.

Selain itu, peningkatan pH diduga terjadi karena adanya proses pemecahan

senyawa nitrogen organik yang berasal dari tepung ikan sekaligus proses

pemecahan rantai selulosa yang berasal dari LIA menjadi senyawa karbon yang

lebih sederhana oleh aktivitas enzim selulase hasil sintesis bakteri. Hal ini

diperkuat oleh pernyataan De Bertoldi et al. (1983) bahwa peningkatan nilai pH

dapat terjadi karena adanya mineralisasi nitrogen organik menjadi nitrogen

ammonia selama dekomposisi, sedangkan penurunan pH disebabkan oleh

produksi asam-asam organik yang mulai meningkat atau proses nitrifikasi.

Perubahan kondisi pH media yang menjadi basa juga memiliki dampak yang baik

dalam dekomposisi. Menurut Van Heerden et al. (2002) perubahan suasana pH

substrat yang bersifat asidik menjadi alkalin akan memudahkan pemecahan ikatan

lignin-selulosa oleh enzim yang diproduksi oleh mikroba selulolitik.

Page 65: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

51

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai

berikut.

1. Hasil pengujian secara kualitatif menunjukkan bahwa Stenotrophomonas

maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati, antara lain sebagai

bakteri pelarut fosfat, pelarut kalium, kitinolitik, dan penghasil hormon

IAA.

2. Formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan

waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel bakteri adalah formulasi LIA 3%

dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi, untuk

produksi enzim selulase adalah formulasi LIA 1% dengan penambahan

0,3% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi, dan formulasi terbaik untuk

produksi hormon IAA adalah LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung

ikan pada hari ke-1 inkubasi.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi S. maltophilia LA3B

untuk memproduksi hormon tumbuh lainnya, seperti giberelin dan sitokinin.

Selain itu, perlu adanya pengujian hipersensitivitas isolat pada tanaman serta

pengujian keefektifan formulasi terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini

terhadap pertumbuhan tanaman.

Page 66: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

52

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, G., Pramesti, R., & Susanto, A. (2014). Kajian pemanfaatan limbah

padat industri pengolahan agar-agar kertas berbahan baku rumput laut

Gracilaria sp. sebagai pupuk pada tanaman bayam (Amaranthus sp.).

Journal of Marine Research, 3(1), 37–43.

Afzal, I., Shinwari, Z. K., & Iqrar, I. (2015). Selective isolation and

characterization of agriculturally beneficial endophytic bacteria from wild

hemp using canola. Pakistan Journal, 47(5), 1999–2008.

Anggara, B. S., Yuliani., & Lisdiana, L. (2014). Isolasi dan karakterisasi bakteri

endofit penghasil hormon indole acetic acid dari akar tanaman ubi jalar.

LenteraBio, 3(3), 160-167.

Angraini, E. (2015). Kajian potensi bakteri pelarut kalium dari lahan

penambangan batu kapur Palimanan Cirebon. Tesis. Institut Pertanian

Bogor.

Ansari, S. A., & Husain, Q. (2012). Lactose hydrolysis from milk/whey in batch

and continuous processes by concanavalin a-celite 545 immobilized

Aspergillus oryzae galactosidase. Food and Bioproducts Processing, 90,

351–359.

Anzai, Y., Kim, H., Park, J., Wakabayashi, H., & Oyaizu, H. (2000). Phylogenetic

affiliation of the Pseudomonads based on 16S rRNA sequence.

International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50,

1563–1589.

Arteca, R. N. (1996). Plant growth substances. New York: Chapman and Hall.

Assadad, L., Hakim, A. R., & Widianto, T. N. (2015). Mutu tepung ikan rucah

pada berbagai proses pengolahan. Seminar Nasional Tahunan XII Hasil

Penelitian Perikanan dan Kelautan, 1–11.

Basak, B., & Biswas, D. R. (2009). Influence of potassium solubilizing

microorganism (Bacillus mucilaginosus) and waste mica on potassium

uptake dynamics by sudan grass (Sorghum vulgare Pers.) grown under two

alfisols. Journal Plant Soil, 317, 235–255.

Basmal. (2017). Laporan hasil pengujian limbah padat rumput laut asal

PT.Agarindo Bogatama DF.5.10.1.2. Balai Besar Riset Pengolahan Produk

dan Bioteknologi Kelautan Perikanan.

Basmal. (2018). Laporan hasil analisa karakteristik kimia limbah agar. Balai

Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan.

Black, J. (2008). Microbiology: principles and exploration (7th Eds.). Arlington,

Page 67: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

53

Virginia: John Wiley & Sons Ltd.

Budiman, A. (2009). Pengaruh konsentrasi substrat, lama inkubasi, dan pH dalam

proses isolasi enzim xylanase dengan menggunakan media jerami padi.

Skripsi. Universitas Diponegoro.

Chasanah, E., Fawzya, Y. N., Putro, S., Oktavia, D. O., Krisnawang, H., & Dewi,

A. S. (2007). Riset depolimerisasi kitosan secara enzimatis untuk produksi

kitooligosakarida. Laporan Teknis. Balai Besar Riset Pengolahan Produk

dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

De Bertoldi, M., Vallini, G., & Pera, A. (1983). The biology of composting a

review. Waste Management and Research, 1, 157–176.

Dewi, I. M. (2008). Isolasi bakteri dan uji aktivitas kitinase termofilik kasar dari

sumber air panas Tinggi Raja, Simalungun Sumatera Utara. Tesis.

Universitas Sumatera Utara.

Egebo, L. A., Nielsen, S. V. S., & Jochimsen, B. U. (1991). Oxygen-dependent

catabolism of indole-3-acetic-acid in Bradyrhizobium japonicum. Journal of

Bacteriology, 173(15), 4897-4901.

Fitriyanti, D. (2017). Karakterisasi bakteri pelarut fosfat dan penambat nitrogen

dari area penambangan batuan kapur. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Gandjar, I. (2006). Mikologi dasar dan terapan. Jakarta: IKAPI.

Haryono, H. N., Pinandoyo., & Chilmawati, D. (2015). Pengaruh pakan buatan

dengan tepung ikan petek terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan

nila strain Larasati (Oreochromis niloticus). Journal of Aquaculture

Management and Technology, 4(1), 64-70.

Hidayatullah, F., Yuni, S. R., & Lisa, L. (2017). Produksi hormon IAA oleh

bakteri endofit dari akar tanaman ubi jalar (Ipomea batatas) dalam media

limbah cair tahu. Lentera Bio, 6(3), 80-85.

Hogg, S. (2005). Essential microbiology. UK: John Wiley & Sons Ltd.

Jabeen, F., Hussain, A., Manzoor, M., Younis, T., Rasul, A., & Qazi, J. I. (2018).

Potential of bacterial chitinolytic, Stenotrophomonas maltophilia, in

biological control of termites. Egyptian Journal of Biological Pest Control,

28(86), 1-10.

Jing, Y., Zhen-li, H., & Xiao-e, Y. (2007). Role of soil rhizobacteria in

phytoremediation of heavy metal contaminated soils of heavy metal

contaminated soils. Journal of Zheijang University Science, 8(3), 192–207.

John, N., & Thangavel, M. (2017). Stenotrophomonas maltophilia: a novel plant

Page 68: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

54

growth promoter and biocontrol agent from marine environment.

International Journal of Advanced Research, 5(4), 207–214.

Kim, G. S., Shin, M. K., Jin, K. Y., Keun, O. K., Seok, K. J., Jin, R. H., & Kim,

K. H. (2008). Method of producting biofuel using sea algae. Korea.

Kovacs, K. (2009). Applications of mössbauer spectroscopy in plant physiology.

ELTE Chemistry Doctoral School Head.

Kumar, N. P., & Audipudi, A. V. (2015). Exploration of a novel plant growth

promoting bacteria Stenotrophomonas maltophilia AVP27 isolated from the

chilli rhizosphere soil. International Journal of Engineering Research and

General Science, 3(1), 265–276.

Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan

isolat bakteri penghasil Indole Asetic Acid (IAA) dari tanah gambut Sampit

Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41–54.

Latifa, A. (2012). Produksi enzim selulase dari isolat bakteri SGS 1609

menggunakan medium yang mengandung limbah pengolahan rumput laut

(limbah agar). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Lestari, P., Susilowati, D.N., & Riyanti, E.I. (2007). Pengaruh hormon asam indol

asetat yang dihasilkan Azospirillum sp. terhadap perkembangan akar padi.

Jurnal AgroBiogen, 3(2), 66-72.

Liliasari, G. A. (2016). Degradasi bahan organik limbah cair tepung ikan dengan

penambahan konsentrasi bioaktivator dan variasi lama fermentasi. Skripsi.

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Lisdiyanti, P., Suyanto, E., Gusmawati, N. F., & Rahayu, W. (2012). Isolation and

characterization of cellulase produced by cellulolytic bacteria from peat soil

of Ogan Komering Ilir, South Sumatera. International Journal of

Environment and Bioenergy, 3(3), 145–153.

Madigan, M. T., Martinko, J. M., Dunlap, P. V., & Clark, D. P. (2012). Brock:

biology of microorganism. US: Pearson Benjamin Cummings.

Mariastuti, H. D. (2015). Pengaruh konsentrasi konsorsium mikroba dan lama

waktu biokonversi limbah cair pabrik tepung ikan sebagai pupuk organik

cair. Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya.

Martina, A., Yuli, N., & Sutisna, M. (2002). Optimasi beberapa faktor fisik

terhadap laju degradasi selulosa kayu albasia Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen dan karboksilmetilselulosa (CMC) secara enzimatik oleh jamur.

Jurnal Natur Indonesia, 4(2), 156-163.

McHugh, D. (2003). A guide to the seaweed industry. Canberra, Australia: FAO

Page 69: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

55

Fisherier Technical Paper.

Mubarik, N. R., Mahagiani, I., Anindyaputri, A., Santoso, S., & Rusmana, I.

(2010). Chitinolytic bacteria isolated from chili rhizosphere: chitinase

characterization and its application as biocontrol for whitefly (Bemisia

tabaci Genn.). Ammerican Journal of Agricultural and Biological Sciences,

5(4), 430–435.

Munifah, I. (2017). Bakteri penghasil selulase dan potensinya sebagai

pendegradasi limbah padat industri agar-agar. Disertasi. Institut Pertanian

Bogor.

Ngoma, L., Esau, B., & Babalola, O. O. (2013). Isolation and characterization of

beneficial indigenous endophytic bacteria for plant growth promoting

activity in Molelwane Farm, Mafikeng, South Africa. African Journal of

Biotechnology, 12(26), 4105–4114.

Ningrum, G. A. (2016). Optimasi fermentasi limbah industri agar (Gracilaria sp.)

untuk produksi bioetanol dengan khamir Saccharomyces cerevisiae. Skripsi.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Nursanti, I. (2017). Teknologi produksi dan aplikasi mikroba pelarut hara sebagai

pupuk hayati. Jurnal Media Pertanian, 2(1), 24–36.

Pages, D., Rose, J., Conrod, S., Cuine, S., Carrier, P., Heulin, T., & Achouak, W.

(2008). Heavy metal tolerance in Stenotrophomonas maltophilia. Plos One,

(2), 1–6.

Pant., & Agrawal, P. K. (2014). Isolation and characterization of indole acetic

acid producing plant growth promoting rhizobacteria from rhizospheric soil

of Withania somnifera. Journal of Biological and Scientific Opinion,

2(6),377-383.

Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011 (2011).

Priyatno, T. P., Chaerani, Suryadi, Y., & Sudjadi, M. (2000). Teknik produksi dan

formulasi bakteri kitinolitik untuk pengendalian penyakit karat kedelai.

Jurnal Natur Indonesia, 5, 229–235.

Purnomo, S. A. E. (2016). Pengaruh variasi konsentrasi biofertilizer terhadap

produktivitas tanaman Pakcoy (Brassica rapa L. var. chinensis) pada sistem

hidroponik NFT (nutrient film technique). Skripsi. Universitas Airlangga,

Surabaya.

Puspita, I. D., Wardani, A., Puspitasari, O. A., Nugraheni, P., Putra, M. P.,

Pudjiraharti, S., & Ustadi. (2017). Occurrence of chitinolytic bacteria in

shrimp rusip and measurement of their chitin-degrading enzyme activities.

Biodiversitas, 18(3), 1275-1281.

Page 70: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

56

P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan). (2012). Industri pengolahan

rumput laut nasional. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Pengolahan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Radif, H. M., Tawfeeq, S., Adnan, F. G., & Hashim, H. D. (2016). Effect of

growth media components and growth condition on indole-3-acetic acid

(IAA) production by Pseudomonas putida isolated from soil. Iraqi Journal

of Science, 57(4), 2386-2395.

Rahmatia, L., Umaroh, T., Rohmaniyah, A., Hafidzoh, N., & Herdyastuti, N.

(2014). Pengaruh konsentrasi substrat dan lama waktu inkubasi pada

pengolahan limbah padat industri kertas dengan enzim selulase dari Bacillus

sp. Journal of Chemistry, 3(1), 73-78.

Ramkumar, A., Sivakumar, N., & Victor, R. (2016). Fish waste-potential low cost

substrate for bacterial protease production: a brief review. The Open

Biotechnology Journal, 10, 335–341.

Rohmah, N., Muslihatin, W., & Nurhidayati, T. (2016). Pengaruh kombinasi

media pembawa pupuk hayati bakteri penambat nitrogen terhadap pH dan

unsur hara nitrogen dalam tanah. Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(1), 2337-

3520.

Rupaedah, B., Amanda, D.V., Indrayanti, R., Asiani, N., Sukmadi, B., Ali, A.,

Wahid, A., Firmansyah, T., & Sugiato, M. (2018). Aktivitas

Stenotrophomonas rhizophila dan Trichoderma sp. dalam menghambat

pertumbuhan Ganoderma boninense. Bioteknologi Biosains Indonesia, 5(1),

53-63.

Santosa, E. (2007). Bakteri pelarut fosfat. In R. Saraswati, E. Husen, & R. D. M.

Simanungkalit (Ed.), Metode analisis biologi tanah. Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Sari, R. F. (2010). Optimasi aktivitas selulase ekstraseluler dari isolat bakteri Rf-

10. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

Sedayu, B. B., Widianto, T. N., Basmal, J., & Utomo, B. S. B. (2008).

Pemanfaatan limbah padat rumput laut Gracilaria sp. untuk pembuatan

papan partikel. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan, 3(1), 1–10.

Septiani, A., Wijanarka, & Rukmi, I. (2017). Produksi enzim selulase dari bakteri

Serratia marcescens KE-B6 dengan penambahan sumber karbon, nitrogen,

dan kalsium pada medium produksi. Bioma, 19(2), 159-163.

Setiawati, T. C., & Mutmainnah, L. (2016). Solubilization of potassium

containing mineral by microorganisms from sugarcane rhizosphere.

Agriculture anda Agricultural Science Procedia, 9, 108–117.

Page 71: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

57

Sharma, S. B., Sayyed, R. Z., Trivedi, M. H., & Gobi, T. A. (2013). Phosphate

solubilizing microbes: sustainable approach for managing phosphorus

deficiency in agricultural soils. SpringerPlus, 2(1), 1–14.

Spaepen, S., Vanderleyden, J., & Remans, R. (2007). Indole-3-acetic acid in

microbial and microorganism-plant signaling. FEMS Microbiology Reviews,

31(4), 425–448.

Sridevi, M., & Mallaiah, K. V. (2007). Production of indole-3-acetic acid by

rhizobium isolates from Sesbania Species. African Journal of Microbiology

Research, 1(7), 125–128.

Sundari, I., Farid, M. W., & Dewi, E. N. (2014). Pengaruh penggunaan

bioaktivator EM4 dan penambahan tepung ikan terhadap spesifikasi pupuk

organik cair rumput laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil

Perikanan, 3(3), 88–94.

Suptijah, P., Wasis, B., & Mandella, A. (2011). Pemanfaatan pupuk limbah agar-

agar terhadap pertumbuhan semai mahoni (Swietenia macrophylla, King) di

media tailing tambang emas PT. Antam Ubpe Pongkor. Jurnal Sumberdaya

Perairan (Akuatik), 5(1), 9–12.

Suryadi, Y., Susilowati, D. N., Lestari, P., Priyatno, T. P., Samudra, I. M.,

Hikmawati, N., & Mubarik, N. R. (2014). Characterization of bacterial

isolates producing chitinase and glucanase for biocontrol of plant fungal

pathogens. International Journal of Agricultural Technology, 10(4), 983–

999.

Sutariati, G. A. K., Khaeruni, R. A., & Muhidin. (2014). Biofertilizer: solusi

teknologi pengembangan lahan sub optimal. (F. S. Rembon & L. O. Safuan,

Ed.). Kendari: Unhalu Press.

Sutariati, G. A. K., Widodo, Sudarsono, & Ilyas, S. (2006). Karakter fisiologis

dan keefektifan isolat rizobakteri sebagai agen antagonis Colletotrichum

capsici dan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman cabai. Jurnal Ilmiah

Pertanian Kultura, 41(1), 28–34.

Utomo, N. B. P., Susan, & Setiawati, M. (2013). Peran tepung ikan dari berbagai

bahan baku terhadap pertumbuhan lele sangkuriang Clarias sp. Jurnal

Akuakultur Indonesia, 12(2), 158–168.

Van Heerden, I., Cronjé, C., Swart, S. H., & Kotzé, J. M. (2002). Microbial,

chemical and physical aspects of citrus waste composting. Bioresource

Technology, 81(1), 71–76.

Vandana, U. K., Chopra, A., Bhattacharjee, S., & Mazumder, P. (2017). Microbial

biofertilizer: a potential tool for sustainable agriculture. In D. Panpatte (Ed.),

Microorganism for sustainability (6th Eds.), 25–52.

Page 72: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

58

Verma, P., Yadav, A. N. Y., Khannam, K. S., Panjiar, N., Kumar, S., Saxena, A.

K., & Suman, A. (2015). Assessment of genetic diversity and plant growth

promoting attributes of psychrotolerant bacteria allied with wheat (Triticum

aestivum) from the northern hills zone of India. Annals of Microbiology.

Vessey, J. K. (2003). Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizers. Plant

and Soil, 255, 571–586.

Yelti, S. N., Zul, D., & Fibriarti, B. L. (2014). Fomulasi biofertilizer cair

menggunakan bakteri pelarut fosfat indigenus asal tanah gambut Riau.

Jurnal Online Mahasiswa FMIPA, 1(2), 651-662.

Zahroh, F. (2015). Perbandingan variasi konsentrasi pupuk organik cair dari

limbah ikan terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah (Capsicum annum

L.). Skripsi. Unversitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.

Zhuang, X., Chen, J., Shim, H., & Bai, Z. (2007). New advances in plant growth-

promoting rhizobacteria for bioremediation. Environment International, 33,

406–413.

Page 73: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

59

LAMPIRAN

Lampiran 1. Rancangan percobaan

Faktor

A

Faktor

B

Faktor C

H1 H3 H5 H7 H9 H11

L1 T1 L1T1H1 L1T1H3 L1T1H5 L1T1H7 L1T1H9 L1T1H11

T2 L1T2H1 L1T2H3 L1T2H5 L1T2H7 L1T2H9 L1T2H11

T3 L1T3 H1 L1T3 H3 L1T3 H5 L1T3 H7 L1T3 H9 L1T3 H11

L2 T1 L2T1H1 L2T1H3 L2T1H5 L2T1H7 L2T1H9 L2T1H11

T2 L2T2H1 L2T2H3 L2T2H5 L2T2H7 L2T2H9 L2T2H11

T3 L2T3H1 L2T3H3 L2T3H5 L2T3H7 L2T3H9 L2T3H11

L3 T1 L3T1H1 L3T1H3 L3T1H5 L3T1H7 L3T1H9 L3T1H11

T2 L3T2H1 L3T2H3 L3T2H5 L3T2H7 L3T2H9 L3T2H11

T3 L3T3H1 L3T3H3 L3T3H5 L3T3H7 L3T3H9 L3T3H11

Desain tata letak percobaan (secara acak)

Keterangan:

L1= LIA 1% H1 = Hari ke-1 U=ulangan

L2=LIA 2% H3 = Hari ke-3 s= sub-ulangan

L3= LIA 3% H5 = Hari ke-5

T1=Tepung ikan 0,1% H7 = Hari ke-7

T2= Tepung ikan 0,2% H9 = Hari ke-9

T3= Tepung ikan 0,3% H11= Hari ke-11

L1T3-U1-s1,s2,s3 L1T1-U1-s1-s2,s3 L2T1-U1-s1-s2,s3

L2T2-U2-s1,s2,s3 L2T1-U2-s1,s2,s3 L1T3-U2-s1,s2,s3

L3T1-U1-s1-s2,s3 L3T2-U2-s1,s2,s3 L2T2-U1-s1,s2,s3

L1T2-U1-s1,s2,s3 L3T2-U1-s1,s2,s3 L1T2-U2-s1,s2,s3

L1T1-U2-s1,s2,s3 L3T3-U1-s1,s2,s3 L2T3-U1-s1,s2,s3

L3T3-U2-s1,s2,s3 L2T3-U2-s1,s2,s3 L3T1-U2-s1,s2,s3

Page 74: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

60

Lampiran 2. Diagram alir penelitian

Isolat S.maltophilia

LA3B

Preparasi Pembuatan media,

larutan pereaksi, kurva standar

Penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi optimum

S. maltophilia LA3B pada media perlakuan

Pengukuran

pH media

Produksi IAA

metode kolorimetri,

λ= 530 nm

Populasi tumbuh

sel bakteri

(metode TPC)

Aktivitas selulase

metode DNS,

λ= 540 nm

Perhitungan teoritis dan

uji statistik SPSS

Uji karakterisasi isolat sebagai

Plant Growth Promoting Bacteria

(PGPB)

Peremajaan pada media

NA, NB, CMC 1%

Page 75: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

61

Lampiran 3. Kurva standar glukosa

Konsentrasi (ppm) Blanko Respon

Instrumen Absorbansi

100 0,0426 0,1382 0,0956

200 0,0426 0,4040 0,3614

300 0,0426 0,7092 0,6666

400 0,0426 0,9535 0,9109

500 0,0426 1,2356 1,1930

600 0,0426 1,5892 1,5466

700 0,0426 1,7718 1,7292

800 0,0426 1,9641 1,9215

900 0,0426 2,1367 2,0941

1000 0,0426 2,3504 2,3078

100 ppm

200 ppm

300 ppm

400 ppm

500 ppm

600 ppm

700 ppm

800 ppm

900 ppm

1000 ppm

Ulangan

Page 76: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

62

Lampiran 4. Kurva standar IAA

Konsentrasi (ppm) Blanko Respon

Instrumen Absorbansi

0 0,0426 0,04655 0,00395

10 0,0426 0,2422 0,1996

20 0,0426 0,4888 0,4462

30 0,0426 0,64695 0,60435

40 0,0426 0,84865 0,80605

50 0,0426 1,05845 1,01585

60 0,0426 1,16595 1,12335

70 0,0426 1,3994 1,3568

80 0,0426 1,57865 1,53605

90 0,0426 1,69915 1,65655

100 0,0426 1,95135 1,90875

0 ppm

10 ppm

20 ppm

30 ppm

40 ppm

50 ppm

60 ppm

70 ppm

80 ppm

90 ppm

100 ppm

Ulangan

Page 77: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

63

Lampiran 5. Data hasil uji karakterisasi isolat sebagai kelompok PGPB

a) Perhitungan rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari)

Keterangan: Ø = diameter

b) Perhitungan rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari)

Keterangan: Ø = diameter

c.) Perhitungan indeks kitinolitik (inkubasi 5 hari)

Keterangan: Ø = diameter

d.) Pengukuran konsentrasi hormon IAA (inkubasi 5 hari)

Ulangan Absorbansi Blanko (Abs-blanko) Konsentrasi IAA

(ppm)

1 0,138 0,043 0,095 1,30

2 0,142 0,043 0,100 1,32

3 0,139 0,043 0,096 1,30

Rerata 0,14 0,04 0,10 1,31

St. Deviasi 0,00 0,00 0,00 0,01

Ulangan (Ø) total

(cm)

(Ø) koloni

(cm)

(Ø) zona

bening

(cm)

Indeks pelarutan

fosfat (IPF)

1 1,85 0,7 1,15 1,64

2 1,8 0,85 0,95 1,12

3 1,95 0,8 1,15 1,44

Rerata 1,87 0,78 1,08 1,40

St.Deviasi 0,08 0,08 0,12 0,26

Ulangan (Ø) total

(cm)

(Ø) koloni

(cm)

(Ø) zona

bening

(cm)

Indeks pelarutan

kalium (IPK)

1 1,75 0,65 1,10 1,69

2 1,80 0,70 1,10 1,57

3 1,60 0,70 0,90 1,29

Rerata 1,72 0,68 1,03 1,52

St.Deviasi 0,10 0,03 0,12 0,21

Ulangan (Ø) total

(cm)

(Ø) koloni

(cm)

(Ø) zona

bening

(cm)

Indeks kitinolitik

1 1,7 0,3 1,4 4,67

2 1,45 0,25 1,2 4,80

3 1,5 0,2 1,3 6,50

Rerata 1,55 0,25 1,30 5,32

St.Deviasi 0,13 0,05 0,10 1,02

Page 78: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

64

Lampiran 6. Data rerata hasil pengukuran parameter perlakuan

a.) Jumlah sel (log CFU/ml)

LIA Tepung

Ikan

Waktu inkubasi (Hari ke-)

1 3 5 7 9 11

L1 T1 8,41±0,01 9,92±0,62 7,45±0,04 9,13±0,05 9,76±0,26 9,43±0,13

T2 8,41±0,03 10,14±0,45 8,90±0,70 9,22±0,33 8,72±0,95 9,30±0,20

T3 8,46±0,03 9,98±0,07 9,44±0,26 9,46±0,13 9,79±0,06 9,02±0,20

L2 T1 9,10±0,08 8,08±0,85 8,97±0,19 8,27±0,05 8,92±0,43 8,68±0,21

T2 9,31±0,01 8,76±0,26 9,32±0,12 8,33±0,01 8,56±0,06 8,66±0,13

T3 10,03±0,53 9,42±0,10 9,31±0,33 8,61±0,18 8,52±0,08 8,64±0,36

L3 T1 9,83±0,08 8,78±0,20 10,27±0,49 9,45±0,07 8,79±0,27 8,12±0,08

T2 9,80±0,33 9,13±0,11 9,85±0,02 9,50±0,16 9,08±0,02 8,79±0,44

T3 9,15±0,50 8,67±0,21 10,00±0,22 9,25±0,15 8,97±0,12 8,64±0,27

Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = log CFU/ml (Mean±SD)

Jumlah sel (108 CFU/ml)

LIA Tepung

Ikan

Waktu inkubasi (Hari ke-)

1 3 5 7 9 11

L1 T1 2,56 82,80 0,28 13,33 56,88 26,60

T2 2,56 138,03 7,85 16,59 5,24 19,95

T3 2,86 95,50 27,22 28,51 61,65 10,47

L2 T1 12,50 1,20 9,22 1,84 8,22 4,78

T2 20,40 5,68 20,65 2,13 3,58 4,57

T3 105,92 26,30 20,18 4,07 3,27 4,31

L3 T1 67,60 6,02 186,20 28,18 6,16 1,31

T2 63,09 13,48 69,98 31,26 12,02 6,16

T3 13,96 4,62 98,85 17,57 9,22 4,36

Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = 108 CFU/ml (Mean±SD)

b.) Aktivitas Selulase

LIA Tepung

Ikan

Waktu inkubasi (Hari ke-)

1 3 5 7 9 11

L1 T1 0,32±0,01 0,35±0,00 0,36±0,00 0,36±0,05 0,32±0,01 0,31±0,01

T2 0,34±0,01 0,33±0,01 0,33±0,01 0,40±0,03 0,33±0,01 0,35±0,01

T3 0,41±0,03 0,39±0,03 0,33±0,01 0,45±0,04 0,35±0,01 0,40±0,01

L2 T1 0,03±0,00 0,36±0,00 0,28±0,03 0,34±0,01 0,32±0,03 0,25±0,01

T2 0,11±0,06 0,35±0,00 0,30±0,03 0,32±0,02 0,34±0,00 0,29±0,01

T3 0,36±0,01 0,37±0,02 0,30±0,03 0,28±0,01 0,24±0,01 0,41±0,03

L3 T1 0,36±0,01 0,37±0,02 0,30±0,03 0,28±0,01 0,24±0,01 0,41±0,03

T2 0,33±0,00 0,35±0,01 0,35±0,05 0,26±0,00 0,34±0,01 0,19±0,05

T3 0,30±0,04 0,34±0,03 0,33±0,01 0,25±0,02 0,28±0,06 0,38±0,08

Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = U/ml (Mean± SD)

Page 79: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

65

Lampiran 6 (lanjutan)

c.) Konsentrasi IAA

LIA Tepung

Ikan

Waktu inkubasi (Hari ke-)

1 3 5 7 9 11

L1 T1 1,25±0,20 1,27±0,06 1,25±0,04 1,16±0,13 1,11±0,14 1,10±0,15

T2 1,19±0,24 1,31±0,60 1,26±0,02 1,28±0,07 1,26±0,04 1,28±0,05

T3 1,25±0,30 1,25±0,00 1,28±0,01 1,38±0,06 1,18±0,16 1,18±0,16

L2 T1 1,22±0,02 1,16±0,08 1,21±0,04 1,15±0,01 1,15±0,03 1,15±0,02

T2 1,23±0,04 1,11±0,04 1,17±0,05 1,06±0,07 1,05±0,08 1,06±0,09

T3 1,25±0,04 1,11±0,04 1,19±0,03 1,16±0,05 1,15±0,05 1,17±0,06

L3 T1 1,59±0,01 1,09±0,13 0,91±0,01 0,98±0,01 0,97±0,01 0,96±0,00

T2 1,62±0,02 1,22±0,02 1,03±0,04 1,19±0,04 1,00±0,01 0,99±0,01

T3 1,64±0,01 1,23±0,05 1,06±0,04 1,22±0,07 1,01±0,01 1,02±0,00

Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = ppm (part per million)

(Mean ± SD)

d.) pH media

LIA Tepung

Ikan

Waktu inkubasi (Hari ke-)

1 3 5 7 9 11

L1 T1 6,50±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00

T2 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,00±1,41 8,00±0,00 7,00±1,41

T3 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00

L2 T1 7,00±0,00 7,00±0,00 7,75±0,35 7,75±0,35 7,75±0,35 7,75±0,35

T2 6,75±0,35 7,00±0,00 7,75±0,35 7,75±0,35 8,25±0,35 8,00±0,00

T3 6,75±0,35 7,25±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00

L3 T1 7,00±0,00 7,00±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00

T2 7,00±0,00 7,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00

T3 7,00±0,00 7,00±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 7,50±0,00

Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; (Mean ± SD)

Page 80: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

66

Lampiran 7. Hasil statistik uji ANOVA

Between-Subjects Factors

Value Label N

Konsentrasi LIA 1 L1 36

2 L2 36

3 L3 36

Konsentrasi Tepung Ikan 1 T1 36

2 T2 36

3 T3 36

Waktu Inkubasi 1 Hari ke-1 18

2 Hari ke-3 18

3 Hari ke-5 18

4 Hari ke-7 18

5 Hari ke-9 18

6 Hari ke-11 18

Tests of Between-Subjects Effects

Source Dependent

Variable

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected

Model

Jumlah sel 37,781a 53 ,713 7,418 ,000

Aktivitas Selulase ,657c 53 ,012 18,303 ,000

Konsentrasi IAA 2,310d 53 ,044 5,867 ,000

pH Media 25,845b 53 ,488 4,299 ,000

Intercept Jumlah sel 8906,146 1 8906,146 92676,215 ,000

Aktivitas Selulase 10,729 1 10,729 15829,530 ,000

Konsentrasi IAA 149,601 1 149,601 20133,274 ,000

pH Media 6157,780 1 6157,780 54289,000 ,000

LIA Jumlah sel 2,762 2 1,381 14,371 ,000

Aktivitas Selulase ,105 2 ,052 77,415 ,000

Konsentrasi IAA ,168 2 ,084 11,330 ,000

pH Media ,338 2 ,169 1,490 ,235

Tepung

Ikan

Jumlah sel ,894 2 ,447 4,653 ,014

Aktivitas Selulase ,012 2 ,006 8,846 ,000

Konsentrasi IAA ,062 2 ,031 4,176 ,021

pH Media ,144 2 ,072 ,633 ,535

Inkubasi Jumlah sel 2,589 5 ,518 5,387 ,000

Aktivitas Selulase ,124 5 ,025 36,602 ,000

Konsentrasi IAA ,834 5 ,167 22,435 ,000

pH Media 19,539 5 3,908 34,453 ,000

LIA * TI Jumlah sel 1,297 4 ,324 3,373 ,016

Aktivitas Selulase ,017 4 ,004 6,104 ,000

Konsentrasi IAA ,093 4 ,023 3,133 ,022

pH Media 1,134 4 ,284 2,500 ,053

LIA *

Inkubasi

Jumlah sel 21,481 10 2,148 22,352 ,000

Aktivitas Selulase ,298 10 ,030 44,009 ,000

Konsentrasi IAA 1,023 10 ,102 13,774 ,000

pH Media 2,218 10 ,222 1,955 ,057

TI *

Inkubasi

Jumlah sel 1,956 10 ,196 2,035 ,047

Aktivitas Selulase ,032 10 ,003 4,652 ,000

Konsentrasi IAA ,042 10 ,004 ,569 ,031

pH Media ,662 10 ,066 ,584 ,820

Page 81: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

67

Lampiran 7. (lanjutan) LIA * TI *

Inkubasi

Jumlah sel 6,803 20 ,340 3,539 ,000

Aktivitas Selulase ,070 20 ,004 5,176 ,000

Konsentrasi IAA ,088 20 ,004 ,589 ,000

pH Media 1,810 20 ,091 ,798 ,705

Error

Jumlah sel 5,189 54 ,096

Aktivitas Selulase ,037 54 ,001

Konsentrasi IAA ,401 54 ,007

pH Media 6,125 54 ,113

Total

Jumlah sel 8949,116 108

Aktivitas Selulase 11,423 108

Konsentrasi IAA 152,313 108

pH Media 6189,750 108

Corrected

Total

Jumlah sel 42,970 107

Aktivitas Selulase ,694 107

Konsentrasi IAA 2,712 107

pH Media 31,970 107

a. R Squared = ,879 (Adjusted R Squared = ,761)

b. R Squared = ,947 (Adjusted R Squared = ,896)

c. R Squared = ,852 (Adjusted R Squared = ,707)

d. R Squared = ,808 (Adjusted R Squared = ,620)

Page 82: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

68

Lampiran 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi

a.) Jumlah sel

LIAxTIX

Inkubasi

Subset

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

L1T1H5 7,45

L2T1H3

8,08

L3T1H11

8,12

L2T1H7

8,27 8,27

L2T2H7

8,33 8,33 8,33

L1T1H1

8,41 8,41 8,41 8,41

L1T2H1

8,41 8,41 8,41 8,41

L1T3H1

8,46 8,46 8,46 8,46 8,46

L2T3H9

8,52 8,52 8,52 8,52 8,52 8,52

L2T2H9

8,56 8,56 8,56 8,56 8,56 8,56 8,56

L2T3H7

8,61 8,61 8,61 8,61 8,61 8,61 8,61

L2T3H11

8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64

L3T3H11

8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64

L2T2H11

8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66

L3T3H3

8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67

L2T1H11

8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68

L1T2H9

8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72

L2T2H3

8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76

L3T1H3

8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78

L3T1H9

8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79

L3T2H11 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79

L1T2H5 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90

Page 83: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

69

Lampiran 8.a (lanjutan)

L2T1H9 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92

L2T1H5 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97

L3T3H9 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97

L1T3H11 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02

L3T2H9 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08

L2T1H1 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10

L1T1H7 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13

L3T2H3 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13

L3T3H1 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15

L1T2H7 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22

L3T3H7 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25

L1T2H11 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30

L2T3H5 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31

L2T2H1 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31

L2T2H5 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32

L2T3H3 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42

L1T1H11 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43

L1T3H5 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44

L3T1H7

9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45

L1T3H7 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46

L3T2H7 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50

L1T1H9 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76

L1T3H9 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79

L3T2H1 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80

L3T1H1 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83

L3T2H5 9,85 9,85 9,85 9,85 9,85 9,85

Page 84: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

70

Lampiran 8.a (lanjutan)

L1T1H3 9,92 9,92 9,92 9,92 9,92

L1T3H3 9,98 9,98 9,98 9,98

L3T3H5 10,0 10,0 10,0 10,0

L2T3H1 10,03 10,03 10,03

L1T2H3 10,14 10,14

L3T1H5

10,27

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,096.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

b. Alpha = ,05.

b.) Aktivitas selulase

Duncan

LIAxTIX

Inkubasi

Subset

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

L2T1H1 0,03

L2T3H1 0,04

L2T2H1 0,11

L3T2H11 0,19

L3T1H9 0,24 0,24

L3T3H7 0,25 0,25

L2T1H11 0,25 0,25

L3T2H7 0,26 0,26 0,26

L2T1H5 0,28 0,28 0,28 0,28

L3T1H7 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28

L3T3H9 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28

L2T2H11 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29

L3T3H1 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30

Page 85: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

71

Lampiran 8.b (lanjutan) L2T2H5 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30

L3T1H5 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30

L2T3H5 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31

L1T1H11 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31

L1T1H1 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

L2T2H7 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

L1T1H9 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

L2T1H9 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

L1T2H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L1T3H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L3T3H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L1T2H1 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L3T2H1 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L1T2H9 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33

L1T2H3 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34

L2T1H7 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34

L3T2H9 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34

L3T3H3 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34

L2T2H9 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34

L3T2H5 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L1T3H9 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L1T2H11 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L2T3H11 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L1T1H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L2T2H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L3T2H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

Page 86: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

72

Lampiran 8.b (lanjutan) L2T3H9 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35

L3T1H1 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36

L1T1H7 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36

L2T3H7 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36

L2T1H3 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36

L1T1H5 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36

L2T3H3 0,37 0,37 0,37 0,37 0,37

L3T1H3 0,37 0,37 0,37 0,37 0,37

L3T3H11 0,38 0,38 0,38 0,38

L1T3H3 0,39 0,39 0,39

L1T2H7 0,40 0,40 0,40

L1T3H11 0,40 0,40 0,40

L1T3H1 0,41 0,41

L3T1H11 0,41 0,41

L1T3H7 0,45

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

c. Alpha = ,05.

Page 87: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

73

c.) Konsentrasi IAA

Duncan

LIAxTIx

Inkubasi

Subset

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

L3T1H5 0,91

L3T1H11 0,96 0,96

L3T1H9 0,97 0,97 0,97

L3T1H7 0,98 0,98 0,98 0,98

L3T2H11 0,99 0,99 0,99 0,99 ,99

L3T2H9 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

L3T3H9 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01

L3T3H11 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02

L3T2H5 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03

L2T2H9 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05

L3T3H5 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06

L2T2H11 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06

L2T2H7 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06

L3T1H3 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09

L1T1H11 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10

L2T2H3 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11

L2T3H3 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11

L1T1H9 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11

L2T3H9 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15

L2T1H11 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15

L2T1H7 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15

L2T1H9 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15

L1T1H7 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16

Page 88: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

74

Lampiran 8.c (lanjutan) L2T3H7 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16

L2T1H3 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16

L2T2H5 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17

L2T3H11 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17

L1T3H11 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18

L1T3H9 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18

L3T2H7 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19

L1T2H1 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19

L2T3H5 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19

L2T1H5 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21

L2T1H1 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22

L3T2H3 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22

L3T3H7 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22

L2T2H1 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23

L3T3H3 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23

L1T3H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25

L1T1H5 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25

L1T1H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25

L2T3H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25

L1T3H3 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25

L1T2H5 1,26 1,26 1,26 1,26 1,26

L1T2H9 1,26 1,26 1,26 1,26 1,26

L1T1H3 1,27 1,27 1,27 1,27

L1T3H5 1,28 1,28 1,28

L1T2H11 1,28 1,28 1,28

L1T2H7 1,28 1,28 1,28

Page 89: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

75

Lampiran 8.c (lanjutan)

L1T2H3 1,31 1,31

L1T3H7 1,38

L3T1H1 1,59

L3T2H1 1,62

L3T3H1 1,64

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,007.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

c. Alpha = ,05.

Page 90: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

76

Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan (formulasi LIA dan tepung ikan)

a.) Perlakuan LIA 1% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan

(0,1%,0,2%, 0,3%)

b.) Perlakuan LIA 2% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan

(0,1%,0,2%, 0,3%)

c.) Perlakuan LIA 3% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan

(0,1%,0,2%, 0,3%)

Lampiran 10. Dokumentasi hasil pengukuran parameter media perlakuan

A.) Koloni hasil pengenceran pada media perlakuan dengan teknik spread plate

(pengenceran 10-5 (a.); 10-6 (b.); 10-7 (c.))

a

.

b

.

c

.

Page 91: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

77

Lampiran 10. (lanjutan)

B.) Hasil uji aktivitas selulase pada media perlakuan

- LIA 1% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)

- LIA 2% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)

LIA 3% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)

C.) Hasil u

D.)

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L1T1

11

L1T2 L1T3

Kontrol

L1T1 L1T2 L1T3

Sampel

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L2T1 L2T2 L2T3

Kontrol

L2T1 L2T2 L2T3

Sampel

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L3T1 L3T2 L3T3

Kontrol Sampel

L3T1 L3T2 L3T3

Page 92: POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI …

78

Lampiran 10. (lanjutan)

C.) Hasil uji aktivitas produksi IAA pada media perlakuan

- LIA 1% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)

- LIA 2% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)

- LIA 3% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L1T1 L1T2 L1T3

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L2T1 L2T2 L2T3

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

L3T1 L3T2 L3T3