potensi pseudomonas fluorescens sebagai agen pupuk hayati

97
POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS LIMBAH PADAT INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN KHOIRUNNISA LISTIANI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1441 H

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI

AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS LIMBAH PADAT

INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN

KHOIRUNNISA LISTIANI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1441 H

Page 2: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI

AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS LIMBAH PADAT

INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

KHOIRUNNISA LISTIANI

11140950000038

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1441 H

Page 3: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
Page 4: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
Page 5: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
Page 6: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

iv

ABSTRAK

Khoirunnisa Listiani. Potensi Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk

Hayati Berbasis Limbah Padat Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan.

Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Jamal

Basmal dan Nani Radiastuti.

Pseudomonas fluorescens merupakan agen potensial pada pupuk hayati.

Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar dalam skala industri menghasilkan

limbah padat yang melimpah. Tepung ikan dihasilkan dari berbagai ikan yang

kurang ekonomis. Keduanya dapat dimanfatkan sebagai substrat bagi P.

fluorescens. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi P. fluorescens

sebagai agen pupuk hayati berbasis limbah industri agar (LIA) dan tepung ikan

(TI). Analisis potensi P. fluorescens dilakukan dengan pengamatan zona bening

dan perubahan warna. Analisis konsentrasi LIA, TI dan waktu inkubasi optimum

bagi P. fluorescens dilakukan secara eksperimental. Analisis potensi P.

fluorescens menunjukkan hasil positif memiliki kemampuan mendegradasi

selulosa, pelarut P dan K, serta penghasil auksin. Analisis konsentrasi LIA, TI dan

waktu inkubasi optimum bagi P. fluorescens menunjukkan bahwa bakteri ini

mampu tumbuh dengan baik pada pH 5. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi

optimum bagi pertumbuhan P.fluorescens adalah 3% dan 0.3% pada hari ke-3

(media L3T3), dengan kepadatan populasi [10,820 log10] CFU /mL dan aktivitas

selulase 1,45 U /mL. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum produksi

auksin oleh P.fluorescens adalah 2% dan 0.1% (media L2T1) pada hari ke-3,

dengan konsentrasi auksin 4,60 ppm. Hasil analisis menunjukkan bahwa P.

fluorescens berpotensi sebagai agen pupuk hayati berbasis LIA dan TI dengan

konsentrasi optimum pada L3T3 hari ke-3.

Kata kunci: LIA; Pseudomonas fluorescens; pupuk hayati; tepung ikan

Page 7: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

v

ABSTRACT

Khoirunnisa Listiani. Potency of Pseudomonas fluorescens as Biofertilizer

Agent Based of Solid Waste of Agar Processing Industry and Fish Powder.

Undergraduete Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and

Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020.

Advised by Jamal Basmal and Nani Radiastuti.

Pseudomonas fluorescens is potencial agent for biofertilizer. Seaweed processing

into agar on industrial scale produced abundant amount of solid waste. Fish

powder is produced by fish that has less economic value. Both of them could

beneficial as substrate for P. fluorescens. The aim of this research was to analyze

potency of P. fluorescens as biofertilizer agent based on solid waste of agar (LIA)

and fish powder (TI). Potention analysis of P. fluorescens was done by halozone

and colour changes observation. Optimum concentration of LIA, TI, and

incubation time was analyzed experimentally. Potention analysis of P. fluorescens

showed positive result at cellulose degradation, P and K solubilization, and auxin

production. Optimum concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of

P. fluorescens growth showed that this microorganism could grow well at pH 5.

Optimum concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of P.

fluorescens growth is 3% and 0.3% at day 3 (L3T3 medium), with population

density [10,820 log10] CFU /mL and cellulase activity 1,45 U /mL. Optimum

concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of auxin production by P.

fluorescens is 2% and 0.1% at day 3 (L2T1 media), with auxin concentration 4,60

ppm. Analysis result showed that P. fluorescens is potencial as biofertilizer agent

based on LIA and TI as optimum concentration L3T3 day 3.

Keywords: biofertilizer; fish powder; LIA; Pseudomonas fluorescens

Page 8: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat,

hidayah dan karunia-Nya yang dicurahkan tiada hentinya dalam setiap doa dan

harapan yang dipanjatkan. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada

Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

―Potensi Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati Berbasis

Limbah Padat Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan‖.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak atas segala

bimbingan dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini, antara

lain kepada:

1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains

dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Dr. Priyanti, M.Si selaku ketua program studi Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

3. Ir. Jamal Basmal, M.Sc, dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku pembimbing I

dan pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam bekerja di

laboratorium dan penyusunan skripsi.

4. Dr. Dasumiati, M.Si dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku penguji I

dan penguji II seminar yang telah memberikan kritik dan saran dalam proses

penyusunan skripsi.

5. Dr. Priyanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku penguji I dan penguji II

sidang munaqosyah yang telah memberikan kritik dan saran dalam proses

penyempurnaan skripsi.

6. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan

(BBRP2BKP), yang telah memberikan kesempatan dan dukungan materi

selama pelaksanaan penelitian.

7. Seluruh dosen Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi atas

ilmu dan bimbingan yang diberikan dengan baik selama proses perkuliahan

kepada penulis.

8. Nurrahmi Dewi Fajarningsih, S.Si, M. Biotech, Yusma Yennie, S.Pi, M.Si,

dan Rinta Kusumawati, S.Si, MT, selaku kepala Laboratorium Bioteknologi,

Page 9: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

vii

Laboratorium Mikrobiologi, dan Laboratorium Kimia BBRP2BKP yang

telah memberikan izin dan bantuan untuk penulis selama pelaksanaan

penelitian.

9. Dr. Ifah Munifah, M.Si, Gintung Patantis, S. Kel, Rizki, Benget, Tomi,

Maya, Wahyu, Anggi, Helena Malik, A.Md, Ukis Shofahudin, A,Md,

Sujarwo dan Hana selaku pembimbing lapangan serta staff laboratorium

BBRP2BKP yang telah membimbing dan membantu penulis selama

pelaksanaan penelitian.

10. Seluruh pihak yang berperan secara langsung maupun tidak langsung, atas

dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis, yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat memiliki

kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Jakarta, Januari 2020

Penulis

Page 10: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

viii

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... ii 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... ii 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... iv 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... iv 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... iv 1.5 Kerangka Berpikir Penelitian .................................................................... v

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 2.1 Pseudomonas fluorescens ......................................................................... 5 2.2 Limbah Padat Industri Pengolahan Agar-Agar ......................................... 8 2.3 Tepung Ikan .............................................................................................. 9 2.4 Pupuk Hayati (Biofertilizer) .................................................................... 10 2.5 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati ............................................ 14

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 15 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 15 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 15 3.3 Rancangan Penelitian .............................................................................. 15 3.4 Cara Kerja ............................................................................................... 16 3.5 Analisis Data ........................................................................................... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 26 4.1 Kemampuan Selulolitik Pseudomonas fluorescens ................................ 26 4.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P) Pseudomonas fluorescens .................... 27 4.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K) Pseudomonas fluorescens .................. 28 4.4 Kemampuan Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens ...................... 29 4.5 Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai

Agen Pupuk Hayati .................................................................................. 30

BAB V PENUTUP .................................................................................................. 47 5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 47 5.2 Saran ....................................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 48 LAMPIRAN ............................................................................................................ 58

Page 11: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Berpikir ................................................................................... v Gambar 2. Isolat Pseudomonas fluorescens dengan perbesaran 1000 X .................. 5 Gambar 3. Hasil uji kemampuan selulolitik isolat Pseudomonas fluorescens pada

media CMC 1% ..................................................................................... 26

Gambar 4. Hasil uji aktivitas pelarutan P isolat Pseudomonas fluorescens pada media Pikovskaya .................................................................................. 27

Gambar 5. Hasil uji aktivitas pelarutan kalium isolat Pseudomonas fluorescens

pada media Aleksandrov ....................................................................... 28 Gambar 6. Hasil uji kualitatif produksi auksin isolat Pseudomonas fluorescens .... 29 Gambar 7. Nilai pH ................................................................................................. 33 Gambar 8. Kepadatan populasi ................................................................................ 36 Gambar 9. Aktivitas selulase ................................................................................... 40 Gambar 10. Produksi auksin .................................................................................... 44

Page 12: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati Tunggal .................................14 Tabel 2. Hasil analisis varian (ANOVA) derajat keasaman (pH) ...........................31 Tabel 3. Hasil analisis varians (ANOVA) kepadatan populasi .............................. 35 Tabel 4. Hasil analisis varians (ANOVA) aktivitas selulase .................................. 38 Tabel 5. Hasil analisis varians (ANOVA) produksi auksin .................................... 42

Page 13: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rancangan Percobaan ........................................................................ 58 Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian .................................................................... 59 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 60 Lampiran 4. Metode Pembuatan Media Uji ........................................................... 62 Lampiran 5. Metode Pembuatan Reagen Uji .......................................................... 63 Lampiran 6. Kurva Standar Glukosa ...................................................................... 64 Lampiran 7. Kurva Standar Auksin ........................................................................ 64 Lampiran 8. Analisis Kemampuan Isolat Pseudomonas fluorescens ..................... 65 Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Derajat Keasaman (pH) kultur Pseudomonas

fluorescens .......................................................................................... 66 Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Kepadatan Populasi Pseudomonas

fluorescens .......................................................................................... 71 Lampiran 11. Hasil Analisis Statistik Aktivitas Selulase Pseudomonas

fluorescens .......................................................................................... 74 Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Produksi Auksin Pseudomonas

fluorescens .......................................................................................... 79

Page 14: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pupuk hayati adalah produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba yang

dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah.

Formula pupuk hayati adalah komposisi mikroba/mikrofauna dan bahan pembawa

penyusun pupuk hayati (Permentan, 2011). Pupuk hayati sering disebut sebagai

pupuk mikroba. Mikroba memiliki peran yang penting dalam meningkatkan

produktivitas tanaman dan menyuburkan tanah, yaitu dengan menstimulasi

pertumbuhan dan melindungi tanaman dari patogen (Jumadi et al., 2015).

Salah satu mikroba potensial untuk pembuatan pupuk hayati adalah

Pseudomonas fluorescens. Mikroba ini termasuk ke dalam bakteri endofitik.

Mikroba ini menunjukkan kemampuan yang baik dalam membentuk koloni pada

tanaman dan kapabilitas dalam menstimulasi pertumbuhannya (Oteino et al.,

2015). Kapabilitas yang dapat mesntimulasi pertumbuhan tanaman diantaranya

adalah pelarut fosfat (Vandana et al, 2017), aktivitas selulolitik, penghasil auksin

(Soesanto et al., 2011) dan sebagai agen biokontrol (Panpatte, Jhala, Shelat &

Vyas, 2016).

Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang

dimanfaatkan untuk pengolahan agar dalam skala industri. Pengolahan tersebut

menghasilkan jumlah limbah padat yang melimpah dan masih mengandung

selulosa sebanyak 20,17% (Sari & Assadad, 2013). Perusahaan pengolahan

rumput laut membutuhkan area yang luas untuk membuang limbahnya. Limbah

padat membutuhkan waktu yang lama untuk terdegradasi secara alami, sehingga

dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan bau yang tidak sedap (Afif, 2011).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengawetan ikan dalam bentuk

ikan yang digiling menjadi tepung. Tepung ikan berasal dari berbagai ikan yang

kurang ekonomis (Liliasari, 2016). Hasil ikan tersebut hampir mencapai ± 50%

dari total ikan secara keseluruhan dan masih memiliki kandungan protein yang

tinggi (Abbey, Glover-Amengor, Atikpo, Atter, & Toppe, 2016). Tepung ikan

1

Page 15: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

2

mengandung pula berbagai asam amino esensial yang berperan penting dalam

proses metabolik mikroba (Ghaly, Ramakhrisnan, Brooks, Budge & Dave, 2013).

Penggunaan P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati pada penelitian ini

didasarkan pada studi yang dilakukan Singh, Saini & Kahlon (2016) yang

menyatakan bahwa mikroba ini memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi,

sehingga mampu memanfaatkan selulosa sebagai sumber karbonnya. Penggunaan

limbah padat industri agar-agar pada penelitian ini didasarkan pada ketersediaan

limbah padat yang melimpah dan masih mengandung selulosa. Penggunaan

tepung ikan pada penelitian ini didasarkan pada banyaknya ikan yang bernilai

kurang ekonomis yang tertangkap ketika penangkapan selektif oleh nelayan dan

masih mengandung protein.Oleh karena itu, limbah padat industri agar dan tepung

ikan tersebut masih dapat dimanfaatkan. Salah satunya untuk pembuatan pupuk

hayati. Limbah padat industri agar berperan sebagai penyedia karbon, sedangkan

tepung ikan berperan sebagai penyedia nitrogen bagi P. fluorescens.

Studi sebelumnya terkait pemanfaatan limbah industri agar dan tepung

ikan sebagai pupuk telah dilakukan oleh beberapa peneliti. López-Mosquera et al.

(2011) memanfaatkan limbah ikan dan rumput laut untuk dijadikan pupuk

kompos. Sundari, Maruf & Dewi (2014) menambahkan tepung ikan dan EM4

pada pupuk organik cair rumput laut Gracilaria sp. Pemanfaatan limbah padat

industri agar dan tepung ikan sebagai substrat bagi P. fluorescens untuk dijadikan

pupuk hayati belum pernah dilakukan. Studi sebelumnya telah dilakukan dengan

menggunakan sumber selulosa lain sebagai substrat. Serbuk gergaji digunakan

Agarwal, Saxena & Chandrawat (2014) sebagai substrat bagi P. aeruginosa. Serat

pepaya dan bonggol jagung sebagai substrat bagi P. aeruginosa digunakan oleh

Ire & Berebon (2016). Aranganathan & Rajasree (2016), memanfaatkan limbah

ikan untuk dijadikan pupuk cair dengan penambahan Bacillus subtilis.

Berdasarkan berbagai data tersebut, penelitian ini dilakukan sebagai

penelitian pendahuluan terhadap analisis kemampuan P. fluorescens sebagai agen

pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan. Penelitian

akan berfokus pada potensi P. fluorescens dalam merombak selulosa, melarutkan

fosfat dan kalium, dan menghasilkan auksin. Penelitian diharapkan dapat

menyediakan informasi awal terkait potensi P. fluorescens yang mengacu pada

Page 16: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

3

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 serta formulasi konsentrasi

limbah padat industri agar-agar, tepung ikan dan waktu inkubasi yang optimum

untuk pembuatan pupuk hayati.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini dilaksanakan dengan rumusan masalah sebagai berikut.

1) Apakah P. fluorescens memiliki potensi sebagai agen pupuk hayati berbasis

limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan?

2) Manakah formulasi konsentrasi limbah padat industri agar-agar dan tepung

ikan serta waktu inkubasi optimum bagi aktivitas P. fluorescens sebagai agen

pupuk hayati?

1.3 Hipotesis

Penelitian ini dilaksanakan dengan hipotesis sebagai berikut.

1) Pseudomonas fluorescens memiliki potensi sebagai agen pupuk hayati

berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan sesuai dengan

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011.

2) Formulasi konsentrasi limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan serta

tepung ikan optimum bagi aktivitas P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati

dapat memenuhi standar Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut.

1) Menganalisis potensi P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati berbasis

limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan.

2) Menganalisis formulasi konsentrasi limbah padat industri agar agar dan

tepung ikan serta waktu inkubasi optimum bagi aktivitas P. fluorescens

sebagai agen pupuk hayati.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut.

1) Bagi peneliti: sebagai sumber informasi awal mengenai potensi P. fluorescens

yang merupakan agen pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar

dan tepung ikan.

Page 17: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

4

2) Bagi industri: sebagai upaya alternatif dalam mengurangi penumpukan

limbah padat industri pengolahan agar-agar dan perikanan.

3) Bagi masyarakat: sebagai upaya dalam mengurangi pencemaran lingkungan

dan solusi dalam mengurangi penggunaan pupuk kimia.

1.6 Kerangka Berpikir Penelitian

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi Pseudomonas fluorescens sebagai

agen pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung

ikan

Pupuk Hayati

(Biofertilizer)

Terdiri dari

Agen pupuk hayati

(mikroba)

Bahan Pembawa

(Substrat)

Limbah padat industri

pengolaan agar-agar yang

melimpah dan masih

mengandung selulosa

Pseudomonas fluorescens

Limbah padat

perikanan yang masih

mengandung protein

Peraturan Menteri

Pertanian Nomor 70

Tahun 2011 Sumber

Karbon (C) Sumber

Nitrogen (N)

Formulasi optimum pupuk hayati

Analisis potensi

berdasarkan

Industri:

Mengurangi

penumpukan limbah

Masyarakat:

Mengurangi pencemaran

lingkungan dan

penggunaan pupuk kimia.

Peneliti:

Informasi

awal

Page 18: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas fluorescens merupakan mikroba yang termasuk ke dalam

genus Pseudomonas. Karakteristik fisik mikroba ini diantaranya berbentuk basil

koloni kecil, berwarna putih, dan konveks (Scales, Dickson, Lipuma & Huffnagle,

2014). Mikroba ini juga termasuk gram negatif, yaitu mikroba dengan membran

bilayer yang dibatasi oleh periplasma. Dinding sel merupakan membran terluar

(Outer Membrane) yang terdiri dari selapis polimer peptidoglikan. Polimer ini

berfungsi melindungi sel dari lisis (Miller & Salama, 2018).

Gambar 2. Isolat Pseudomonas fluorescens dengan perbesaran 1000 X. Isolat

berbentuk basil dan berwarna merah, menunjukkan isolat termasuk

bakteri gram negatif

Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba mesofilik, dengan temperatur

tumbuh optimalnya berkisar antara 25-32°C. Mikroba ini termasuk pula dalam

mikroba neutrofil, karena mampu tumbuh pada pH sekitar 4-8. Mikroba ini dapat

ditumbuhkan menggunakan media sederhana dengan satu sumber karbon dan

inkubasi aerobik selama 24-48 jam pada suhu 27-32°C. Ketika dalam kondisi

yang tidak menguntungkan, mikroba mampu memasuki fase viable-but-not-

culturable (VBNC). Pada fase tersebut, mikroba kehilangan kemampuannya

untuk melakukan metabolisme akibat berkurangnya ketersedian nutrien pada

kultur. Selanjutnya, mikroba akan mempertahankan integritas membran selnya

Page 19: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

6

dan memproduksi protein hingga nutrien atau kondisi kultur sesuai dengan

kebutuhan mikroba. Selanjutnya, mikroba akan memulihkan proses

metabolismenya kembali, ketika kondisi kultur sesuai dengan kebutuhannya

(Scales et al., 2010).

Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba yang mudah membentuk

biofilm. Kemudahan tersebut melibatkan quorum sensing, yang merupakan

bentuk komunikasi sel-sel mikroba melalui persinyalan. Fenomena ini terjadi

ketika setiap sel dalam populasi mikroba melepaskan feromon atau autoinduser

sebagai sinyal yang dapat ditangkap oleh sel-sel sekitarnya. Autoinduser akan

menjadi regulator dalam mengendalikan kepadatan populasi ketika konsentrasinya

meningkat, sejalan dengan banyaknya jumlah sel dalam suatu populasi mikroba

(Moat et al., 2002).

Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba kemoorganotrof. Mikroba ini

mampu memperoleh energi dengan melakukan oksidasi bahan kimia dan

menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi utamanya.

mikroba ini memiliki fleksibilitas metabolisme tinggi, yaitu mampu menggunakan

beragam bahan kimia sebagai sumber energinya, seperti beragam gula dan

senyawa xenobiotik kompleks (toluena, benzena). Mikroba ini mampu memproleh

fleksibilitas tambahan melalui plasmid (Singh et al., 2016).

Jenis gula yang dapat digunakan P. fluorescens sebagai sumber karbon

diantaranya glukosa, glukonat, gliserol, gliserat, fruktosa dan manitol. Gula

tersebut digunakan dalam metabolisme karbohidrat. Proses ini dapat merubah

glukosa menjadi gliseraldehid-3-fosfat dan dioksidasi lebih lanjut menjadi piruvat.

Jalur perifer intermediet mampu memasuki jalur metabolik ini untuk memperoleh

energi dan sintesis blok pembangun untuk sel. Kemampuan tersebut membantu

bakteri ini beradaptasi ketika dalam kondisi miskin nutrisi (Singh et al., 2016).

Pseudomonas fluorescens akan melakukan metabolisme melalui jalur

perifer intermediet ketika berada dalam kondisi miskin nutrien. Pada kondisi ini,

mikroba cenderung akan memanfaatkan apapun yang tersedia di lingkungan

tertentu, seperi asam amino, asam lemak, bahkan senyawa xenobiotik. Proses ini

berkontribusi dalam produksi metabolit seperti antibiotik, biosurfaktan dan

Page 20: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

7

siderofor. Metabolit ini menjadi salah satu strategi pertahanan mikroba,

khususnya dalam pengambilan sumber energi yang tidak tersedia secara biologis

(Singh et al., 2016).

Pseudomonas fluorescens tergolong mikroba aerob obligat, namun mampu

menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron terakhir (selain O2), ketika respirasi

seluler. Hal tersebut terbukti dengan tergolongnya mikroba ini dalam kelompok

oksidase positif. Mikroba tersebut mampu menghasilkan enzim sitokrom C

oksidase yang berperan dalam transpor elektron. Mikroba ini tergolong pula

katalase positif, yaitu mikroba yang mampu menghasilkan enzim katalase sebagai

bentuk pertahanan dengan detoksifikasi H2O2 (Scales et al., 2010).

Pseudomonas fluorescens termasuk ke dalam kelompok endofitik, yaitu

bakteri yang dapat berkoloni di bagian interior tanaman, seperti akar, batang, atau

biji. Mikroba ini dapat memasuki sel melalui celah interseluler atau sistem

vaskular tanpa menimbulkan bahaya bagi tanaman. Mikroba ini memiliki prospek

yang menjanjikan sebagai agen biokontrol dan Plant Growth-Promoting

Rhizobacteria (PGPR) karena kelimpahan populasinya pada tanah secara alami

dan sistem perakaran tanaman, serta menggunakan eksudat tanaman sebagai

nutriennya (Panpatte et al., 2016).

Pseudomonas fluorescens diketahui berperan penting dalam motilitas dan

fototropi akar, sintesis antibiotik, dan produksi enzim hidrolitik. Mikroba ini

berperan pula dalam menghasilkan beragam metabolit sekunder, seperti 2,4-

diacetylphloroglucinol (DAPG, Phl), lipopeptida, phenazines, pyrrolnitrine,

pyochelin, dan hidrogen sianida. Selain itu, mikroba ini berperan dalam pelarut

fosfat dan produksi fitohormon (Panpatte et al., 2016).

Pseudomonas fluorescens mampu memanfaatkan selulosa yang

terkandung dalam limbah sampah dedaunan di sekitar tanah, yang dikenal dengan

proses dekomposisi. Mikroba ini dapat berperan pula sebagai agen biokontrol

dengan mendegradasi selulosa yang terkandung dalam dinding sel mikroba

patogen. Selulase yang dihasilkan mikroba ini mampu memutus rantai glikosidik

selulosa dinding sel menjadi glukosa (Wilson, 2011). Mikroba ini dapat pula

mendegradasi kitin yang terkandung dalam dinding sel fungi patogen. Kitinase

Page 21: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

8

yang dihasikan mikroba ini dapat memutus ikatan glikosidik kitin secara langsung

dan menyebabkan sel fungi menjadi lisis (Mubarik et al., 2010).

2.2 Limbah Padat Industri Pengolahan Agar-Agar

Rumput laut Indonesia dikenal dengan kualitasnya yang baik dan banyak

diminati oleh industri karena mengandung sumber karagenan, agar-agar, dan

alginat yang cukup tinggi (Lestari, Sudarmin & Harjono, 2017). Rumput laut

mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, selulosa (fraksi 2-23%),

hemiselulosa, lignin, vitamin, bromin dan iodin (Nabti et al., 2016). Jenis rumput

laut yang paling umum diproduksi dalam skala industri adalah rumput laut merah.

Beberapa jenis tersebut berasal dari genus Kappapychus alvarezii, Euchema spp.,

Laminaria japonica, Gracilaria spp, Undaria pinnatifida, Porphyra spp,

Sargassum fusiforme, dan Spirulina spp. (FAO, 2016).

Agar merupakan produk utama yang dihasilkan dari rumput laut terutama

dari kelas Rhodopycea, seperti Gracilaria, Sargassum dan Gellidium (Suparmi &

Sahri, 2009). Agar-agar merupakan polisakarida galaktan yang terbentuk dari

subunit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-L-galaktopiranosa. Agar dapat didegradasi

menjadi asam levulinat, asam format, dan 5-hidroksimetilfurfural (Jeong et al,

2015). Agar-agar terdiri dari beberapa komponen, diantaranya agarosa dan

agaropektin (Stiger-Povreau et al., 2016).

Industri agar dilaporkan menghasilkan limbah sebesar 65–75%, yang masih

memiliki selulosa sebesar 19,7% (Kim et al., 2008). Selulosa merupakan polimer

utama yang merupakan senyawa dominan dalam pengolahan bahan berserat

(Lestari et al., 2017). Limbah pengolahan rumput laut terdiri dari dua fase, yaitu

fase cair dan fase padat. Fase cair berasal dari pencucian dan presipitasi ekstraksi

rumput laut, sedangkan fase padat berasal dari pemisahan ekstrak rumput laut dari

padatannya. Komposisi utama fase padat adalah selulosa, sedangkan komponen

lainnya adalah mineral-mineral.

Studi yang dilakukan oleh Basmal et al. (2020) menjelaskan bahwa limbah

padat industri pengolahan agar-agar mengandung berbagai nutrien dan hormon

yang bermanfaat bagi tumbuhan. Mikronutrien yang terkandung pada limbah

diantaranya Cu (4.80 ppm), Fe (0.24 ppm), Zn (8.42 ppm), Mn (57.58 ppm), dan

Page 22: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

9

B (32.32 ppm). Makronutrien yang terkandung pada limbah diantaranya N

(0.20%), P (0.12%), K (0.17%), C-organik (10.96%), Na (0.66%), Ca (0.61%),

Mg (0.09%),dan rasio C/N sebesar 54:7. Hormon pertumbuhan yang terkandung

pada limbah diantaranya auksin (191 ppm), giberelin (509.5 ppm), sitokinin-

kinetin (244.5 ppm) dan sitokinin-zeatin (70.5 ppm).

Selain nutrien dan hormon, pada limbah ini ditemukan pula celite, yang

merupakan mineral yang berperan dalam proses penyaringan pada industri

pengolahan agar-agar. Celite dapat berperan pula sebagai penyaring pada bahan

pemutih, bahan isolasi panas dan bunyi, bahan pengisi, bahan gosok untuk logam,

bahan bangunan ringan, dan adsorben. Celite juga memiliki kemampuan daya

serap yang tinggi dan digunakan sebagai pembawa larutan sulfida untuk pupuk

buatan (Genisa et al., 2015). Celite yang sudah menjadi limbah industri dikenal

dengan istilah post-filtered diatomaceous earth (Anders & Alwaeli, 2015).

Celite dapat berperan pula sebagai insektisida, dengan melakukan

peyerapan lipid epikutikular dan asam lemak, sehingga menyebabkan kekeringan

pada arthropoda. Celite dapat menjadi alternatif yang baik untuk dijadikan kontrol

alami pada hama yang menyerang biji-bijian, khususnya gandum (Shah & Khan,

2014). Menurut studi yang dilakukan Kavallieratos et al. (2010) dan Yang et al.

(2010), celite memiliki efektivitas yang tinggi untuk melawan hama jenis

Rhyzopertha dominica, Sitophilus oryzae, Tribolium confusum dan T. castaneum.

2.3 Tepung Ikan

Perkembangan industri perikanan dan meningkatnya pemanfaatan ikan

oleh rumah tangga yang pesat di Indonesia menghasilkan limbah yang berlimpah.

Limbah tersebut berupa bagian ikan seperti kepala, ekor sirip, tulang dan jeroan.

Limbah tersebut masih dapat dimanfaatkan karena masih mengandung protein 36-

57%; serat kasar 0,05- 2,38%; kadar air 24-63%; kadar abu 5-17%; kadar Ca 0,9-

5%, serta kadar P 1-1,9% (Zahroh et al., 2018).

Tepung ikan dapat pula diperoleh dari penggilingan bagian ikan yang tidak

dimanfaatkan. Tepung ikan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan

suplemen, sumber pakan bagi hewan ternak, sebagai umpan untuk menangkap

kepiting dan lobster (Tacon & Metian, 2009). Menurut Abbey et al., 2006),

Page 23: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

10

limbah ikan tersebut masih mengandung total protein dan zat besi yang tinggi,

masing-masing sebesar 218,06 g dan 61,86 g. Selain itu, limbah ikan juga

mengandung kalsium, seng (Zn), dan mangan (Mn).

Tepung ikan juga mengandung asam amino esensial yang berperan

penting dalam proses metabolik, salah satunya adalah L-triptofan. L-triptofan

merupakan asam amino esensial yang menjadi prekursor utama dalam biosintesis

auksin. Konsentrasi L-triptofan yang terkandung dalam tepung ikan berada pada

kisaran 0,2-6,5 g (Ghaly et al., 2013; Mohanty et al., 2014). Asam amino lain

yang dapat menjadi alternatif lain dalam produksi auksin adalah fenialanin, tirosin

dan histidin yang merupakan golongan asam amino aromatik (Ljung, 2013;

Spaepen & Vanderleyden, 2011).

Beberapa jenis ikan yang umumnya dijadikan tepung ikan diantaranya

Upeneus moluccensis (Basmal & Hermana, 2016). Selain itu, Rastrelliger

brachisoma, Terapon jarbua, Liza macrolepis, dan Siganus javus (FAO, 2016;

Ramalingam et al., 2014;). Jenis ikan tersebut merupakan hasil sampingan dari

penangkapan selektif yang dinilai tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jenis

ikan ini termasuk beberapa jenis Crustacea dan ikan bersirip (Carnivorous

Finfish) (Tacon & Metian, 2009).

2.4 Pupuk Hayati (Biofertilizer)

Pupuk merupakan gabungan unsur hara makro dan mikro yang diberikan

kepada tanaman untuk memperbaiki kualitas tanah. Berdasarkan bahan bakunya,

pupuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni pupuk kimia dan pupuk organik.

Pupuk kimia merupakan pupuk yang dibuat secara kimia dan menggunakan bahan

kimia. Pupuk organik merupakan pupuk yang dibuat dari limbah organik yang

telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat maupun cair, dan diperkaya

oleh mineral maupun mikroba (Basmal, 2010).

Pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pupuk kompos dan

pupuk hayati. Perbedaan keduanya terletak pada formulasi yang terkandung pada

pupuk. Pupuk kompos dibuat dengan formulasi yang terdiri dari bahan-bahan

organik dan mineral. Pupuk hayati dibuat dengan formulasi yang terdiri dari

mikroba dan bahan pembawa (Permentan, 2011).

Page 24: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

11

Pupuk hayati merupakan inokulan dengan bahan aktif mikroba hidup yang

berfungsi untuk menambat hara tertentu dan memfasilitasi ketersediaan unsur hara

bagi tanaman melalui simbiosis maupun non simbiosis. Simbiosis berlangsung

dengan tanaman tertentu. Non simbiosis berlangsung melalui penyerapan hara dan

hasil perombakan bahan organik (Rahmawati, 2016). Karakteristik pupuk hayati

diketahui dari kemampuan inokulan mikroba dalam menyediakan nutrien bagi

akar tanaman, diantaranya sebagai berikut.

1. Perombak Selulosa

Selulosa adalah senyawa organik dengan rumus molekul (C6H10O5)n dan

homopolisakarida yang terdiri dari ˃10.000 rantai linier unit β (14) D-glukosa

(Siddhanta et al., 2009). Selulosa bersifat tidak memiliki rasa, tidak berbau,

hidrofobik, dan tidak larut dalam air. Selulosa memiliki potensi sebagai bahan

dasar dalam pembuatan pupuk organik. Limbah industri pengolahan rumput laut

merupakan salah satu biomassa selulosik telah dikembangkan sebagai sumber

gula yang difermentasi menjadi etanol (Munifah, 2013).

Selulosa dapat didegradasi oleh beberapa jenis mikroba, yang dikenal

dengan istilah mikroba selulolitik. Mikroba tersebut diantaranya Acidothermus

cellulolyticus, Bacillus pumilis, P. fluorescens, Aspergillus, Fusarium,

Penicillium, dan Trichoderma (Kuhad, 2011). Mikroba tersebut berpotensi untuk

konversi biomasa tumbuhan dan alga menjadi fuel dan komponen kimia lainnya.

Proses konversi tersebut memerlukan enzim, yang dikenal dengan enzim selulase.

Enzim tersebut dapat dihasilkan oleh berbagai mikroba selulolitik (Munifah,

2013).

Selulase mendegradasi selulosa menjadi gula yang dapat larut atau enzim

yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi oligosakarida dengan memutus ikatan

glikosidik β -1,4 pada selulosa, selodekstrin, selobiosa. Enzim ini berfungsi pula

dalam proses penguraian serat sayuran, pemecahan pentosa dan hemiselulosa

menjadi pentosa dan fraksi hemiselulosa yang mudah larut dalam air. Selain itu,

untuk menghidrolisis kertas bekas dan limbah sampah. Aktivitas enzim ini

diinduksi oleh beberapa sumber karbon, diantaranya selulosa, soporosa, selobiosa

dan laktosa (Munifah, 2013).

Page 25: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

12

2. Pelarut Fosfat (P)

Fosfat (P) merupakan salah satu unsur makro esensial yang secara alami

terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. Jumlah P di dalam tanah umumnya

tinggi, yaitu sekitar 400-1200 mg/kg tanah. Hampir 95% P yang tersedia di alam

merupakan P inorganik yang tidak dapat langsung digunakan tanaman. Stabilitas

P di alam disebabkan karena P memiliki reaktivitas tinggi terhadap Al3+

, Ca2+

, dan

Fe3+

, sehingga keduanya dapat membentuk senyawa yang sulit terlarut (Pande,

Pandey, Mehra, Singh & Kaushik, 2017).

Adanya P organik dan P inorganik di tanah berhubungan dengan siklus P

yang terlibat dalam sistem tanaman-tanah. Siklus ini terjadi ketika hujan dan

perubahan cuaca memicu batuan melepaskan ion P dan mineral yang dapat

membentuk senyawa. Kemudian senyawa tersebut terdistribusi di tanah dan

perairan. Tanaman memanfaatkan P inorganik dari tanah, kemudian dikonsumsi

hewan. P akan membentuk molekul organik di dalam tanaman dan hewan, seperti

DNA. Ketika tanaman atau hewan mati, P organik akan kembali ke tanah. P yang

berada di tanah dapat mengalir melalui perairan maupun tergabung menjadi

sedimen atau batuan (Smith et al., 2015).

Mikroba memainkan peran penting dalam siklus P dan ketersediaan P bagi

tanaman. Mikroba dapat mencegah kehilangan ion P yang berikatan dengan

mineral dengan cara melarutkan ion P yang penting bagi tanaman. Kehilangan

tersebut terjadi karena proses pelapukan, erosi, dan limpasan permukaan tanah

yang terjadi selama siklus P berlangsung. Proses kehilangan tersebut terjadi

melalui aliran permukaan dan bawah tanah selama siklus P berlangsung

(Fernandez et al., 2012). Beberapa jenis mikroba yang dapat melarutkan fosfat

adalah Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, Penicillium, dan Streptomyces

(Husen, Simanungkalit & Saraswati, 2007).

Tanaman dapat memanfaatkan P ketika P dalam bentuk anion ortofosfat,

seperti bentuk HPO42-

dan HPO41-

dari larutan tanah. P dibutuhkan tanaman dalam

pembentukan bunga dan buah, pertumbuhan akar, pemasakan biji dan

pembentukan klorofil. P juga berasosiasi dengan regulasi biosintesis

Page 26: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

13

makromolekul, transformasi energi, dan respirasi (Babu et al., 2017; Pande et al.,

2017).

3. Pelarut Kalium (K)

Kalium (K) merupakan salah satu makronutrien esensial untuk pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. K tersedia di tanah dalam bentuk mineral, larutan, K

yang dapat ditukar dan K yang tidak dapat ditukar. Sebanyak 90-98% kalium

tersebut tidak dapat langsung diserap tumbuhan (Etesami et al., 2017).

Konsentrasi K terlarut umumnya sangat rendah, dengan proporsi K terbesar pada

tanah terkandung pada batuan dan mineral (Mursyida et al., 2015).

Konsentrasi K terlarut dapat ditingkatkan dengan bantuan mikroorganisme

pelarut K. Mikroorganisme tersebut dapat merubah K sulit terlarut menjadi K

yang mudah dilarutkan tanaman. Mekanisme yang umumnya dilakukan seperti

asidolisis, pengkelatan, pergantian reaksi, kompleksolisis, dan produksi asam

organik. Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat melarutkan K diantaranya

Bacillus circulans, Acidithiobacillus ferrooxidans, Pseudomonas sp, Aspergillus

spp. dan Aspergillus terreus (Jabin & Ismail, 2016).

4. Produksi Auksin

Auksin merupakan senyawa berupa asam dengan turunannya. Auksin alami

yang umumnya ditemui adalah indole acetic acid (IAA) (Husen et al., 2007).

Auksin mampu menginduksi pemanjangan batang pada wilayah sub-apikal dan

menginduksi pertumbuhan bagian tanaman. Produksi auksin diinisiasi oleh L-

triptofan. L-triptofan merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan tumbuhan

dan mikroorganisme untuk biosintesis IAA (Aziz, Nawaz, Nazir, Anjum, Yaqub,

Ahmad & Khan, 2015; Friedman, 2018).

Mikroorganisme tanah mampu memproduksi auksin untuk meningkatkan

produktivitas tanaman. Mikroorganisme tanah yang telah dilaporkan dapat

menghasilkan auksin dalam jumlah rendah diantaranya Azospirillum,

Pseudomonas, dan Xantomonas (Duca et al., 2018). Ada 5 jalur bakteri dalam

memproduksi IAA dengan prekursor L-triptofan. Jalur tersebut diantaranya jalur

IAM (Indole-3-Acetamide), IPA (Indole-3-Pyruvate), TAM/TRM (Indole-3-

Page 27: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

14

Tryptamine), TSO (Tryptophan Side-Chain Oxidation) dan IAN (Indole-3-

Acetonitrile) (Spaepen & Vanderleyden, 2011).

Pada P. fluorescens, biosintesis dilakukan melalui jalur indol-3-asetaldehid,

atau dikenal pula dengan istilah jalur reaksi oksidase sampingan L-triptofan.

Sebelum memasuki jalur indol-3-asetaldehid, L-triptofan ditransaminasi menjadi

IPyA (inorganik pirofosfatase) oleh amino transferase. Kemudian IPyA

mengalami dekarboksilasi menjadi IAAld (indol-3-asetaldehid) yang dikatalis

oleh IPDC (indol-3-piruvat dekarboksilase). Selanjutnya IAAld mengalami

dehidrogenasi yang dikatalis oleh IAAld dehidrogenase dan menghasilkan IAA

(Spaepen & Vanderleyden, 2011).

2.5 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati

Menurut Peraturan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 tahun 2011,

pupuk hayati yang menggunakan bakteri tunggal harus memenuhi persyaratan

teknis sebagai berikut.

Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Hidup

Bebas dan Bakteri Endofitik (Permentan, 2011)

Parameter

Standar Mutu Menurut Jenis

Bahan Pembawa Metode

Tepung/ Granul/ Cair Pengujian

Serbuk Pelet

1. Jumlah Bakteri ≥ 107 cfu/g ≥ 10

7 cfu/g ≥ 10

7 cfu/ml TPC**)

2. Fungsional :

a. Pelarut P & K Positif Positif Positif Media Pikovskaya

b. Penghasil >0,0 >0,0 >0,0 Spektrofotometri

Fitohormon atau HPLC

c. Perombak bahan Positif Positif Positif Media agar CMC/

organik (dekomposer) Avicel/Guaicol/

Indulin

3. Patogenisitas Negatif Infeksi ke daun

Tembakau

4. Kontaminan:

E. coli

Salmonella sp < 10

3 MPN/g atau MPN/ml

MPN-durham dan

uji lanjut pada

media diferensial

5. Kadar Air (%)**) ≤ 35 ADBB

6. pH 5,0 – 8,0 pH H2O, pH meter *) TPC dilakukan pada media spesifik untuk mikroba tersebut, TPC = Total Plate Count

**) Kadar air atas dasar berat basah

MPN = Most Probable Number

Page 28: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

15

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 hingga September 2019 di

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan

(BBRP2BKP), Slipi, Jakarta Pusat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan diantaranya kertas pH indikator, vorteks, timbangan

analitik, laminar air flow (ESCO Fume Hood), shaking incubator, autoklaf

(Hirayama HVA 85), colony counter, thermoblock, mikropipet 1-1000 µL,

mikroskop cahaya (Olympus), microsentrifuge, microplate 96-well flat bottom,

dan spektrofotometer UV-Vis (Spectronic® 20 Genesys TM).

Bahan yang diperlukan diantaranya biakan isolat P. fluorescens murni yang

diperoleh dari koleksi kultur Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, limbah padat

industri agar-agar (LIA) dari PT Agarindo Bogatama Tangerang, tepung ikan

rucah koleksi BBRP2BKP, akuades, media Nutrien Agar (NA) (Oxoid), Nutrien

Broth (NB) (Oxoid), Mandels & Reese, Pikovskaya, Aleksandrov, Plate Count

Agar (PCA), parafilm, pewarna Gram, kongo merah, natrium klorida 0,9%,

pereaksi dinitrosalisilat (DNS), pereaksi Salkowski, L-triptofan (Lift Mode),

auksin (Sigma) dan glukosa.

3.3 Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan 3 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi LIA yang terdiri

atas 3 taraf, yaitu 1%, 2% dan 3%. Faktor kedua adalah konsentrasi tepung ikan

yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 0,1%, 0,2% dan 0,3%. Faktor ketiga adalah waktu

inkubasi yang terdiri dari 6 taraf, yaitu hari ke-1, hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7,

hari ke-9 dan hari ke-11. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali

dan sub ulangan sebanyak 3 kali. Rancangan penelitian dapat dilihat pada

lampiran 1.

Page 29: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

16

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Peremajaan Isolat Pseudomonas fluorescens

Peremajaan isolat P. fluorescens dilakukan dengan menumbuhkan isolat

pada media NB 100 mL yang diinkubasi pada shaker selama 24 jam, kemudian 1

µL isolat diinokulasikan pada media NA dan diinkubasi selama 24 jam pada

inkubator suhu ruang. Setelah itu, isolat dari media NA yang telah diinkubasi

diambil 1 ose dan diinokulasikan pada media NA untuk mendapatkan koloni

tunggal P. fluorescens. Metode pembuatan media NB dan NA dapat dilihat pada

lampiran 4.

3.4.2 Analisis Kemampuan Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati

3.4.2.1 Kemampuan Selulolitik

Analisis aktivitas selulolitik dilakukan dengan metode pewarnaan dengan

kongo merah 0,1% yang berperan sebagai indikator degradasi selulosa. Media

yang digunakan adalah media Mandels & Reese. Metode pembuatan media

tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal dari isolat murni diambil

sebanyak satu ujung ose, kemudian ditotol pada permukaan media padat 1% CMC

pada cawan. Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 6 hari. Selanjutnya, kultur

ditambahkan kongo merah 0,1% selama 15-30 menit kemudian dibilas dengan 1

M NaCl sebanyak 2-3 kali selama 10 menit. Adanya aktivitas selulolitik

ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening pada media. Zona bening yang

terbentuk menunjukkan daerah yang selulosanya sudah terdegradasi. Daerah yang

terwarnai pada media agar menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi oleh

isolat. (Mandels & Reese, 1957; Teather & Wood, 1982).

3.4.2.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P)

Analisis kemampuan pelarutan P dilakukan menggunakan media padat

Pikovskaya dengan sumber P CaHPO4. 2H2O, untuk mengetahui kemampuan

isolat dalam melarutkan fosfat. Metode pembuatan media tersebut dapat dilihat

pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose ditotol pada

permukaan media Pikovsykaya. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari. Zona bening

yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan P (Gupta et al.,

1994).

Page 30: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

17

3.4.2.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K)

Analisis kemampuan pelarutan K dilakukan menggunakan media padat

Aleksandrov dengan sumber K yang digunakan adalah KCl, untuk mengetahui

kemampuan isolat dalam melarutkan K. Metode pembuatan media tersebut dapat

dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose

ditotol pada permukaan media Aleksandrov. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari.

Zona bening yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan K

(Shanware et al., 2014).

3.4.2.4 Kemampuan Produksi Auksin

Kemampuan mikroba dalam menghasilkan IAA dianalisis secara kualitatif

menggunakan media NB dengan penambahan L-triptofan 0,1%. Media

diinokulasikan dengan 1 µL isolat murni yang diperoleh dari kultur cair isolat

yang berumur 24 jam. Kemudian, kultur diinkubasi selama 72 jam pada suhu

30°C di tempat gelap. Inokulan diambil sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi

dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Supernatan masing-

masing 75 µL dihomogenkan dengan 150 µL pereaksi Salkowski, lalu diinkubasi

di ruang gelap selama 25-30 menit. Perubahan warna suspensi menjadi merah

mawar menunjukkan adanya produksi auksin (Gordon & Weber, 1951). Metode

pembuatan pereaksi Salkowski dapat dilihat pada lampiran 5.

3.4.3 Analisis Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai

Agen Pupuk Hayati

Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menganalisis kemampuan

tumbuh dan aktivitas P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati. Analisis ini

dilakukan dengan melakukan modifikasi media Mandels & Reese (1957) terhadap

jenis sumber karbon dan sumber nitrogen. Sumber karbon yang digunakan pada

penelitian ini adalah LIA, dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3%. Sumber

nitrogen yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung ikan, dengan variasi

konsentrasi 0,1%, 0,2% dan 0,3%. L-triptofan ditambahkan pula pada media,

berperan sebagai prekursor dalam produksi auksin.

Media Mandels dan Reese yang telah dimodifikasi dibuat dengan

penambahan berbagai bahan berikut; 45 mL akuades, LIA 1%, tepung ikan 0,1%,

Page 31: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

18

KH2PO4 0,03 g, MgSO4 0,015 g, NaCl 0,03 g, FeSO4 0,3 mg, MnSO4 0,3 mg,

NH4NO3 9 mg, glukosa 0,03 g, CaCl2 1,2 mg ke dalam erlenmeyer. Kemudian

dilakukan sterilisasi. Selanjutnya, media yang sudah steril ditambahkan dengan 5

mL L-triptofan 0,1% dan 5 mL isolat murni P. fluorescens. Terakhir, media

dikocok perlahan agar homogen. Pembuatan media untuk konsentrasi LIA 2% dan

3% serta tepung ikan 0,2% dan 0,3% dilakukan dengan tahapan yang sama.

Analisis diawali dengan menyegarkan isolat murni P. fluorescens pada

media NB 50 mL selama ±24 jam menggunakan shaking incubator. Kemudian

isolat dengan umur ±24 jam diinokulasi ke dalam setiap media perlakuan

sebanyak 10% dari total volume media, yaitu 5 mL isolat dalam 50 mL setiap

media perlakuan. Setelah itu, media dibungkus dengan plastik hitam untuk

menghindari media dari kontak langsung terhadap cahaya. Selanjutnya, media

diinkubasi dalam shaking incubator pada suhu 35⁰ C dengan kecepatan medium.

Analisis sampel pada setiap media perlakuan dilakukan pada hari ke

1,3,5,7,9 dan 11 terhadap beberapa parameter, diantaranya derajat keasaman (pH),

kepadatan populasi P. fluorescens, aktivitas enzim selulase dan kadar glukosa,

serta produksi IAA. Analisis dilakukan secara aseptis dengan pengambilan 3 mL

dari setiap media perlakuan dan ±50 µL untuk pengukuran pH. Sebanyak 1 mL

digunakan untuk analisis kepadatan populasi P. fluorescens dengan pengenceran

ber-seri. Kemudian dihitung dengan metode Total Plate Count (TPC) pada media

PCA. Sebanyak 2 mL sisanya disentrifugasi pada suhu 4⁰ C selama 10 menit

dengan kecepatan 10.000 rpm. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk

analisis aktivitas selulase dan produksi auksin. Cara kerja yang dilakukan untuk

analisis setiap parameter sebagai berikut.

3.4.3.1 Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH indikator. Sampel

diambil dari setiap media ±50 µL, kemudian diteteskan pada pH indikator, lalu

dilihat perubahan warna pada pH indikator.

3.4.3.2 Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi isolat P. fluorescens diukur dengan metode Total

Plate Count (TPC) untuk memperkirakan jumlah sel bakteri setiap 48 jam selama

Page 32: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

19

12 hari masa inkubasi. Perhitungan dengan metode TPC dilakukan dengan

pengambilan 1 ml inokulum mikroba untuk diencerkan dalam 9 mL NaCl

fisiologis (0,9%) steril, yang disebut dengan pengenceran ke 10-1

. Kemudian hasil

pengenceran tersebut dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis (0,9%) steril,

yang disebut dengan pengenceran ke 10-2

. Pengenceran dilakukan hingga 10-7

dengan cara yang sama. Setelah itu, dilakukan pencawanan 3 pengenceran

terakhir (10-5

, 10

-6, 10

-7) dengan tujuan untuk menghitung jumlah koloni bakteri

dengan menggunakan metode sebar pada media PCA dan diinkubasi selama 24

jam pada suhu 37°C. selanjutnya, koloni yang tumbuh diamati dan dihitung

menggunakan colony counter. Jumlah koloni yang memenuhi persyaratan

perhitungan mikroorganisme adalah 30-300 koloni. Persamaan yang digunakan

untuk menghitung kepadatan populasi isolat P.fluorescens adalah sebagai berikut

(Chasanah et al., 2013).

epadatan Sel ( m umlah koloni

1

Keterangan:

CFU /mL: Colony Forming Unit per millilitre (satuan internasional penghitungan

kepadatan sel bakteri

F1: Faktor seri pengenceran

FP: Faktor pengenceran pertama

3.4.3.3 Aktivitas Enzim Selulase dan Kadar Glukosa

Sebelum melakukan pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan

pembuatan kurva standar glukosa dengan interval konsentrasi 100, 200, 300, 400,

500, 600, 700, 800, 900, dan 1000 mM. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL

dan ditambahkan dalam 1 mL pereaksi DNS (Lampiran 5), kemudian

dihomogenkan, lalu dipanaskan menggunakan thermoblock dengan suhu 95ºC

selama 15 menit, selanjutnya didinginkan dan diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar yang

terbentuk dapat dilihat pada lampiran 6.

Pengamatan aktivitas enzim selulase dilakukan dengan metode Miller

(1959) yang telah dimodifikasi. Inokulan diambil sebanyak sebanyak 1 mL untuk

disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit.

Kemudian, supernatan yang diperoleh diambil sebanyak 100 µL dan dilarutkan

Page 33: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

20

dalam 100 µL CMC 1%, dikocok kuat dengan vorteks, dan diinkubasi selama 30

menit pada suhu 30°C dan ditambahkan dengan 200 µL DNS. Penghentian reaksi

enzim dilakukan dengan pemanasan pada thermoblock pada suhu 100°C selama

15 menit, kemudian didinginkan. Selanjutnya, larutan diukur absorbansinya

dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.

Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan

prosedur yang sama. Enzim pada kontrol yang akan direaksikan dengan sampel

telah diinaktivasi dengan pemanasan pada thermoblock selama 15 menit. Enzim

pada blanko, dilakukan penggantian antara larutan enzim dengan akuades untuk

direaksikan dengan sampel. Aktivitas enzim diukur pada setiap pengambilan

sampel yang dilakukan, sehingga dapat diketahui waktu yang tepat untuk

memproduksi enzim selulase.

Aktivitas selulase dinyatakan dalam satuan U/mL. Satu unit diasumsikan

sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1 µmoL selulosa menjadi

gula pereduksi per menit pada kondisi pengujian. Kadar glukosa yang dihasilkan

diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm.

Absorbansi= ((As-Ab)-(Ak-Ab))

Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan yang

diperoleh dari kurva standar glukosa. Selanjutnya, aktivitas selulase dihitung

berdasarkan rumus berikut.

Aktivitas selulase(U ⁄mL)=

Keterangan:

As: Absorbansi sampel

Ab: Absorbansi blanko

Ak: Absorbansi kontrol

V: volume enzim (0,1 mL)

t: waktu inkubasi (30 menit)

BM: Bobot Molekul glukosa (180 Dalton).

3.4.3.4 Produksi Auksin

Sebelum melakukan pengukuran produksi auksin dilakukan pembuatan

kurva standar auksin dengan interval konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90,

dan 100 ppm. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL dan ditambahkan dalam 1

kadar glukosa (mg/L) x1000Vxtx BM glukosa

Page 34: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

21

mL reagen Salkowski, kemudian dihomogenkan, lalu diinkubasi dalam ruang

gelap selama 25-30 menit, selanjutnya diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm. Kurva standar yang

terbentuk dapat dilihat pada lampiran 7.

Pengukuran produksi auksin dilakukan dengan mengambil inokulan

sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC

selama 10 menit. Supernatan masing-masing 75 µL dihomogenkan dengan 150

µL reagen Salkowski, lalu diinkubasi di ruang gelap selama 25-30 menit.

Suspensi kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer

UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm (Gordon &Weber, 1951).

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif

dilakukan dengan pengamatan pembentukan zona bening pada kemampuan

selulolitik, pelarut P, dan pelarut K. Analisis kemampuan isolat dalam

menghasilkan auksin dilakukan dengan mengamati perubahan warna yang terjadi

pada supernatan setelah diberi pereaksi dan diinkubasi selama ±30 menit.

Analisis statistik dilakukan pada parameter nilai pH, kepadatan populasi,

aktivitas selulase dan produksi auksin. Tujuan dilakukannya analisis adalah

mengetahui konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi optimum bagi

bakteri terhadap keempat parameter tersebut. Analisis statistik dilakukan

menggunakan SPSS 20 (Statistical Package for the Social Science). Analisis yang

digunakan adalah Two-Way ANOVA (Analisis Variat Dua Arah) dengan tingkat

kepercayaan 95% (α 0,05).

Nilai signifikansi ditentukan dengan taraf 5%. Signifikansi dengan nilai

<0,05 menunjukkan bahwa H0 diterima. Signifikansi dengan nilai >0,05

menunjukkan bahwa H0 ditolak. Nilai signifikansi ditentukan untuk mengetahui

pengaruh nyata dari ketiga faktor perlakuan (variabel bebas) terhadap variabel

terikatnya. Apabila terdapat perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan, akan

dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% untuk

mengetahui perbedaan pengaruh setiap perlakuan.

Page 35: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

22

Pengambilan keputusan apakah terdapat pengaruh variasi perlakuan dan

waktu inkubasi terhadap nilai pH, jumlah koloni bakteri, aktivitas selulase, dan

konsentrasi auksin dilakukan dengan menguji H0 dan H1 sebagai berikut.

Derajat Keasaman (pH)

Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH

Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH

H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH

Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang

mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan

yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi

yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak erdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

Page 36: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

23

Kepadatan Populasi Pseudomonas fluorescens

Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi

P. fluorescens

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi

P. fluorescens

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan populasi

P. fluorescens

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan

populasi P. fluorescens

Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi

P.fluorescens

Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang

mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan

yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi

yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Page 37: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

24

Aktivitas Selulase

Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase

Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase

H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase

Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang

mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan

yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi

yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Produksi Auksin (IAA)

Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin

Page 38: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

25

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin

Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin

H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin

Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang

mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan

yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi

yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu

inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan

waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

Page 39: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kemampuan Selulolitik Pseudomonas fluorescens

Selulosa adalah kandungan terbanyak dari limbah industri agar-agar yang

akan dimanfaatkan sebagai substrat untuk pupuk hayati, yaitu mencapai 19,7-

20,17%. Aktivitas selulolitik P. fluorescens perlu dianalisis untuk mengetahui

apakah isolat tersebut mampu menghidrolisis selulosa yang terkandung pada

limbah industri agar, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi

isolat dalam produk pupuk hayati untuk menghasilkan zat pemacu tumbuh dan

sebagai agen biokontrol.

Gambar 3. Hasil uji kemampuan selulolitik isolat Pseudomonas fluorescens pada

media CMC 1% yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali

dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Bagian yang tidak terwarnai

yang menunjukkan selulosa telah terdergradasi ; a) Pengulangan 1;

b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3; C) Bagian yang terwarnai

menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi

Hasil pengujian kemampuan selulolitik dinyatakan positif. Hasil ini

memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif

sebagai perombak bahan organik. Hasil ini ditandai dengan bagian yang tidak

terwarnai kongo merah (zona bening) di sekitar koloni yang dapat diamati pada

gambar 3. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P. fluorescens memiliki

kemampuan dalam mendegradasi CMC dengan cara menghasilkan enzim

A B

a

b

c

C

Page 40: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

27

selulase. Enzim ini akan berikatan dengan molekul CMC dan memutus rantainya

dan menjadi glukosa.

Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Wilson (2011), yang

menjelaskan bahwa enzim selulase memiliki sisi aktif yang terbuka. Bagian

tersebut dapat berikatan dengan molekul selulosa secara acak pada titik yang

dapat diakses pada sepanjang rantai selulosa. Ikatan ini akan membentuk beberapa

potongan, kemudian terpisah dengan rantai. Hal tersebut menyebabkan penurunan

viskositas CMC dan terhidrolisisnya CMC menjadi glukosa.

4.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P) Pseudomonas fluorescens

Hasil pengujian kemampuan pelarutan P dinyatakan positif. Hasil ini

memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif

sebagai pelarut P. Hasil ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar

koloni yang dapat diamati pada gambar 4. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P.

fluorescens memiliki kemampuan dalam melarutkan CaHPO4 sebagai sumber P

tidak terlarut pada media. Aktivitas tersebut dilakukan isolat dengan melarutkan

kompleks Ca-P dan melepaskan PO43+

(fosfat) yang dapat dimanfaatkan oleh

tumbuhan.

Gambar 4. Hasil uji aktivitas pelarutan P isolat Pseudomonas fluorescens pada

media Pikovskaya yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3

kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Zona bening yang

terbentuk; a) Pengulangan 1; b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3

A

B

a

b

c

Page 41: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

28

Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Singh et al. (2016),

bakteri pelarut P mampu melarutkan P dengan memproduksi beberapa asam

organik dan melakukan asidifikasi. Asam organik yang banyak diproduksi P.

fluorescens selama proses pelarutan adalah asam glukonat dan sedikit asam

ketoglukonat, oksalat, malat, laktat, suksinat, format dan sitrat (Vyas & Gulati,

2009). Asam-asam tersebut merupakan hasil dari metabolisme bakteri melalui

jalur oksidasi langsung yang terjadi pada bagian terluar membran sitoplasma

(Pande et al., 2017).

4.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K) Pseudomonas fluorescens

Hasil pengujian kemampuan pelarutan K dinyatakan positif. Hasil ini

memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif

sebagai pelarut K. Hasil ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar

koloni yang dapat diamati pada gambar 5. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P.

fluorescens memiliki kemampuan dalam melarutkan KCl sebagai sumber K tidak

terlarut pada media. Aktivitas tersebut dapat dilakukan isolat dengan

memproduksi asam organik yang kemudian akan dilepaskan secara langsung pada

sumber K, sehingga terjadi pemisahan kompleks KCl menjadi K+

dan Cl-.

Gambar 5. Hasil uji aktivitas pelarutan kalium isolat Pseudomonas fluorescens

pada media Aleksandrov yang dilakukan dengan pengulangan

sebanyak 3 kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Zona

bening yang terbentuk; a) Pengulangan 1; b) Pengulangan 2;

c) Pengulangan 3

A

B a

b c

Page 42: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

29

Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Masood & Bano (2016),

yang menjelaskan bahwa K dapat dilarutkan dengan menggunakan asam organik.

Proses pelarutan tersebut dinamakan asidolisis. Proses ini terjadi ketika mineral

yang tersedia di tanah membentuk kompleks dengan bakteri menggunakan

polisakarida ekstraselular. Akibatnya terjadi pemutusan rantai mineral dan

pelarutan K yang dipicu oleh penurunan pH yang disebabkan oleh asam organik

yang dieskresikan oleh bakteri. Menurut Meena et al. (2014), asam organik yang

dominan diproduksi bakteri dengan genus Pseudomonas adalah asam tartat,

oksalat, sitrat, asetat, laktat dan malat.

4.4 Kemampuan Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens

Hasil pengujian kemampuan produksi IAA dinyatakan positif. Hasil ini

ditunjukkan dengan berubahnya warna suspensi menjadi merah muda atau merah

setelah diberi reagen Salkowski yang dapat diamati pada gambar 6. Perubahan

warna tersebut disebabkan karena adanya reaksi yang terjadi antara IAA yang

dihasilkan P. fluorescens dengan pereaksi Salkowski. Rahman, Sitepu, Tang &

Hashidoko. (2010) menjelaskan bahwa IAA akan berikatan dengan FeCl3 dan

HClO4 membentuk kompleks Fe3+

(tris-indol-3-aceto iron (III)). Kompleks

tersebut akan menimbulkan merah mawar setelah suspensi ditetesi pereaksi

Salkowski.

Gambar 6. Hasil uji kualitatif produksi auksin isolat Pseudomonas fluorescens

yang menunjukkan perubahan warna setelah pemberian pereaksi

Salkowski pada microplate; A) Merah muda; B) Merah

Menurut Rahman et al. (2014), reaksi tersebut merupakan indikator

kapabilitas P. fluorescens dalam melakukan metabolisme L-triptofan menjadi

IAA maupun IAA agonis. IAA tersebut dapat merangsang percabangan akar dan

A B

Page 43: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

30

perkembangan akar lateral. P. fluorescens dapat menginisiasi proses tersebut

dengan membentuk koloni di sekitar rizosfer dan akar. Selanjutnya, bakteri ini

menghasilkan TRP transaminase yang mengkatalis deaminasi oksidatif pada TRP

menjadi IPyA.

4.5 Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai Agen

Pupuk Hayati

LIA yang mengandung selulosa pada media perlakuan berperan sebagai

sumber karbon, sedangkan tepung ikan berperan sebagai sumber nitrogen bagi P.

fluorescens. Sumber karbon dan nitrogen merupakan sumber nutrisi esensial bagi

pertumbuhan bakteri. Sumber karbon dan nitrogen berkontribusi dalam

keseluruhan efisiensi proses biosintesis yang terjadi selama waktu inkubasi

tertentu (Bharuca et al., 2013).

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi LIA,

tepung ikan dan waktu inkubasi terhadap aktivitas P. fluorescens. Aktivitas

tersebut meliputi perubahan pH, kepadatan populasi, aktivitas selulase dan

produksi auksin. Selanjutnya, dilakukan penentuan komposisi optimum yang

memiliki potensi untuk digunakan dalam memproduksi pupuk hayati. Acuan yang

digunakan dalam penentuan komposisi terbaik adalah Peraturan Menteri Pertanian

No.70 Tahun 2011.

4.5.1 Derajat Keasaman (pH) kultur Pseudomonas fluorescens

Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi nilai

pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang

menunjukkan signifikansi dari konsentrasi LIA terhadap nilai pH dapat dilihat

pada lampiran 9. Banyaknya konsentrasi LIA menunjukkan banyaknya energi

yang tersedia bagi bakteri untuk melaksanakan proses metaboliknya. Proses ini

akan menghasilkan berbagai metabolit sekunder, asam-asam organik, serta gas

CO2 dan H2CO3. Selama proses metabolik terjadi, maka pH media akan

mengalami perubahan akibat dari adanya perombakan bahan organik dan

dihasilkannya berbagai metabolit sekunder, asam-asam organik dan gas.

Page 44: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

31

Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi nilai

pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,003 (Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang

menunjukkan signifikansi dari waktu inkubasi terhadap nilai pH dapat dilihat pada

lampiran 9. Nilai pH cenderung asam pada awal waktu inkubasi karena bakteri

masih aktif melaksanakan proses metabolik. Namun, pH akan cenderung basa

seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Hal ini disebabkan karena semakin

berkurangnya aktivitas metabolik yang dilakukan oleh bakteri. Ketika bakteri

memasuki fase stationer, enzim cenderung terdenaturasi karena sudah tidak

banyak nutrien yang dapat dirombak.

Tabel 2. Hasil analisis varian (ANOVA) derajat keasaman (pH) kultur

Pseudomonas fluorescens

Sumber Varians Jumlah

Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.

Model Terkoreksi 100.630a

53 1.899 3.038 .000

Intercept 3757.120 1 3757.120 6011.393 .000

LIA 47.907 2 23.954 38.326 .000

TI 1.199 2 .600 .959 .390

Inkubasi 12.630 5 2.526 4.041 .003

LIA * TI 10.440 4 2.610 4.176 .005

LIA * Inkubasi 18.676 10 1.868 2.988 .005

TI * Inkubasi 2.218 10 .222 .355 .960

LIA * TI *

Inkubasi 7.560 20 .378 .605 .892

Error 33.750 54 .625

Total 3891.500 108

Total Terkoreksi 134.380 107

a; R Kuadrat=0,749 (R-Kuadrat yang disesuaikan=0, 502)

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan

tepung ikan mempengaruhi nilai pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,005

(Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi dari interaksi

antara konsentrasi LIA dan tepung ikan terhadap nilai pH dapat dilihat pada

lampiran 9. Kombinasi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan

menunjukkan banyaknya nutrien yang tersedia pada media. Bakteri cenderung

lebih cepat memanfaatkan nutrien dengan kombinasi variasi konsentrasi yang

lebih tinggi. Hal tersebut terjadi karena kelimpahan nutrien akan membuat bakteri

mampu meningkatkan kepadatannya dengan baik. Peningkatan kepadatan

Page 45: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

32

populasi bakteri membuat proses perombakan nutrien lebih cepat dan lebih

banyak. Oleh karena itu, pH media cenderung lebih asam daripada media dengan

konsentrasi awal yang lebih sedikit.

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan

waktu inkubasi mempengaruhi nilai pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,005

(Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi dari interaksi

konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap nilai pH dapat dilihat pada lampiran

9. Konsentrasi LIA yang tersedia pada awal waktu inkubasi akan dimanfaatkan

secara optimal, karena viabilitas bakteri yang masih baik. Hal tersebut akan

membuat pH cenderung asam. Konsentrasi LIA akan semakin berkurang seiring

dengan lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut akan membuat nilai pH cenderung

basa ketika berbagai metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri, khususnya enzim

dinyatakan tidak dibutuhkan dalam jumlah yang banyak karena sudah

berkurangnya nutrien yang dapat dirombak bakteri.

Analisis statistik menyatakan bahwa tepung ikan, interaksi antara

konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi, dan interaksi antara konsentrasi LIA,

tepung ikan dan waktu inkubasi tidak mempengaruhi nilai pH. Nilai signifikansi

interaksi tersebut >0,05 (Tabel 2). Secara keseluruhan, kisaran pH yang terukur

pada kombinasi konsentrasi tepung ikan dengan konsentrasi LIA yang sama tidak

menunjukkan perbedaan secara signifikan seiring dengan lamanya waktu inkubasi

(Gambar 7). Berdasarkan analisis sebelumnya, LIA dan waktu inkubasi yang

memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai pH.

Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

bakteri dalam memproduksi berbagai metabolit, seperti enzim dan berbagai

senyawa asam organik (Munifah, 2017; Pande et al., 2017). pH merupakan faktor

kritis pada proses metabolisme, karena fungsi biologis protein bergantung pada

pH. Termodinamika dan kinetika reaksi kimia yang melibatkan proton sebagai

metabolit dipengaruhi pula oleh pH. Perubahan pH mampu mempengaruhi

kekuatan motif proton yang merupakan sumber utama potensial elektrokimia

untuk sintesis ATP (Sánchez-Clemente et al., 2018).

Page 46: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

33

Nilai pH pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi, berkisar antara

4,5-7,75 (Gambar 7). Nilai pH tertinggi adalah 7,75, yaitu pada media L2T2 hari

ke- 9 dan 11, L2T3 hari ke- 11, dan L2T3 hari ke- 11. Nilai terendah adalah 4,5,

yaitu pada media L1T2 pada hari ke- 7 dan 9, serta pada media L1T3 hari ke- 7.

Berdasarkan hal tersebut, konsentrasi LIA 1%, tepung ikan 0,2%, waktu inkubasi

hari ke- 7 dan 9 hari menjadi puncak aktivitas metabolisme isolat, sedangkan pada

konsentrasi LIA 2% dan tepung ikan 0,3% pada hari ke- 9 dan 11 menjadi

aktivitas metabolisme terendah. Secara keseluruhan, pH media perlakuan dari hari

ke- 1 hingga hari ke- 11 waktu inkubasi cenderung meningkat.

Gambar 7. Nilai pH Pseudomonas fluorescens pada setiap media perlakuan yang

diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12 hari waktu inkubasi.

Kisaran nilai pH yang terukur adalah 4,5-7,75

Perubahan pH yang terjadi pada media perlakuan disebabkan oleh adanya

proses metabolisme yang dilaksanakan oleh bakteri. Apabila bakteri sedang

melaksanakan metabolisme, pH media akan berubah menjadi asam, sehingga

media mengalami penurunan pH hingga 3,5. Studi yang dilakukan Jumirah et al.

(2018) menjelaskan bahwa penurunan tersebut disebabkan oleh aktivitas

perombakan karbohidrat, protein dan lemak menjadi asam-asam organik serta

dihasilkannya gas CO2 dan asam H2CO3 yang melepaskan banyak ion H+.

Peningkatan pH disebabkan oleh adanya peningkatan ion amonium (NH4+

)

yang dilepaskan akibat proses perombakan, khususnya saat metabolisme protein

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

7,5

8

1 3 5 7 9 11

pH

Waktu Inkubasi (Hari)

L1T1

L1T2

L1T3

L2T1

L2T2

L2T3

L3T1

L3T2

L3T3

Page 47: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

34

dan asam amino. Studi yang dilakukan Singh et al. (2013) menjelaskan bahwa ion

amonium yang dilepaskan dapat menyebabkan denaturasi enzim dan hilangnya

aktivitas enzim. Proses tersebut melepaskan ion yang bersifat negatif. Hal inilah

yang membuat pH cenderung basa.

Studi yang dilakukan Robinson (2015) menjelaskan bahwa perubahan pH

melibatkan proses pelepasan ion H+

dan OH-.

Proses ini terjadi di bagian situs

aktif enzim dan permukaan substrat yang bekerja terhadap enzim secara spesifik.

Proses ionisasi ini dapat menurunkan dan meningkatkan pH dengan adanya

pengikatan antara enzim dan substrat. Semakin banyak konsentrasi substrat yang

tersedia, maka akan semakin banyak pula substrat yang terikat dengan enzim pada

proses metabolisme bakteri.

4.5.2 Kepadatan Populasi Pseudomonas fluorescens

Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA, tepung ikan, dan

waktu inkubasi serta interaksinya tidak mempengaruhi nilai kepadatan populasi,

dengan signifikansi >0,05 (Tabel 3). Hal tersebut dapat terjadi karena P.

fluorescens memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi, yaitu mampu

memanfaatkan beragam bahan sebagai sumber energinya. Faktor inilah yang

menyebabkan P. fluorescens memiliki sedikit kriteria dalam proses

pertumbuhannya. Selain itu, bakteri ini juga menyenangi kondisi lingkungan

aerobik dengan aerasi yang baik.

Novik et al. (2015) menjelaskan bahwa bakteri dengan genus

Pseudomonas dapat menggunakan berbagai macam bahan organik sebagai media

tumbuhnya. P. fluorescens dapat tumbuh dengan baik pada media yang terdiri dari

jerami, sekam padi, dan kulit gandum. Ketiganya mengandung selulosa dan

nitrogen. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis bahan organik yaitu LIA dan

tepung ikan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa P.

fluorescens mampu memanfaatkan kedua limbah tersebut menjadi sumber

nutriennya, khususnya sebagai sumber karbon dan sumber nitrogen.

Page 48: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

35

Tabel 3. Hasil analisis varians (ANOVA) kepadatan populasi Pseudomonas

fluorescens

Sumber Varians Jumlah

Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.

Model

Terkoreksi 522.537

a 53 9.859 .529 .989

Intercept 4875.266 1 4875.266 261.362 .000

LIA 33.606 2 16.803 .901 .412

TI 29.810 2 14.905 .799 .455

Inkubasi 36.108 5 7.222 .387 .855

LIA * TI 34.966 4 8.741 .469 .758

LIA * Inkubasi 148.142 10 14.814 .794 .634

TI * Inkubasi 94.625 10 9.463 .507 .878

LIA * TI *

Inkubasi 145.280 20 7.264 .389 .989

Error 1007.278 54 18.653

Total 6405.081 108

Total Terkoreksi 1529.815 107

a; R Kuadrat=0,342 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0, 305)

Studi yang dilakukan Goncalves et al. (2017) menyatakan bahwa P.

fluorescens menyenangi kondisi yang aerobik untuk tumbuh. Kepadatan populasi

P. fluorescens dapat terukur hingga lebih besar dari 107

CFU/ml dalam kondisi

tersebut. Kondisi aerobik dapat dipertahankan dengan melakukan penggoyangan

kultur selama inkubasi. Penggoyangan kultur juga dapat menjamin ketersediaan

nutrien dan proses aerasi, sehingga bakteri dapat menambah atau cenderung

mempertahankan jumlah kepadatannya selama waktu inkubasi tertentu.

Faktor lain yang menyebabkan P. fluorescens dapat mempertahankan

jumlahnya selama 12 hari masa inkubasi adalah ketersedian garam inorganik pada

media perlakuan. Anion dan kation yang terkandung dalam garam inorganik

digunakan P. fluorescens untuk menghasilkan enzim-enzim tertentu. Nacsa-

Farkas et al. (2016) menjelaskan bahwa garam inorganik dapat memperbaiki

viabilitas dan tingkat pemulihan bakteri. Viabilitas P. fluorescens dapat mencapai

3 bulan dengan adanya garam inorganik tersebut.

Page 49: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

36

Gambar 8. Kepadatan populasi Pseudomonas fluorescens (Log sel) pada setiap

media perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama

waktu inkubasi. Kisaran kepadatan populasi yang terukur adalah [7-

10,820 log10] CFU/mL

Kepadatan populasi koloni isolat pada setiap media perlakuan mengalami

fluktuasi, dengan kisaran [7-10,820 log10] CFU/mL (Gambar 8). Kepadatan

populasi tertinggi adalah [10,820 log10] CFU/mL, yaitu pada media L3T3 hari ke-

3. Nilai terendah adalah [7 log10] CFU/mL, yaitu pada media L1T2 hari ke- 5.

Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 3% dan tepung ikan 0,3% pada

waktu inkubasi hari ke- 3 isolat berada pada jumlah populasi paling banyak,

sedangkan pada konsentrasi LIA 1% dan tepung ikan 0,2% hari ke- 5, isolat P.

fluorescens berada pada jumlah populasi paling sedikit.

Kepadatan populasi isolat bakteri yang terukur pada jangka waktu tertentu

dapat menggambarkan tahapan atau fase pertumbuhan isolat bakteri sejak awal

hingga tidak menunjukkan adanya aktivitas pada suatu media (Jannah, 2016).

Fase pertumbuhan tersebut diantaranya fase lag (fase adaptasi), fase

eksponensial/logaritmik (fase perbanyakan jumlah bakteri), fase stationer (fase

jumlah sel hidup seimbang dengan sel mati), dan fase kematian (Sugiarti et al.,

2013; Rolfe et al., 2012).

6,500

7,500

8,500

9,500

10,500

11,500

1 3 5 7 9 11

Lo

g

Sel

Waktu Inkubasi (Hari)

L1T1

L1T2

L1T3

L2T1

L2T2

L2T3

L3T1

L3T2

L3T3

Page 50: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

37

Fase pertumbuhan yang terbentuk pada penelitian ini dapat diamati pada

Gambar 8. Secara keseluruhan, P. fluorescens mengalami fase lag pada hari ke 1

untuk setiap media. Fase eksponensial (puncak pertumbuhan) dicapai pada hari ke

3 (L1T1, L3T2, dan L3T3), hari ke 5 (L1T2, L2T1, L2T2, L2T3, dan L3T1), dan

hari ke-7 (L1T3). Selanjutnya, untuk hari ke 9-11 bakteri pada setiap media

cenderung berada pada jumlah konstan atau mengalami penurunan, dapat

dikatakan pula memasuki fase kematian.

Berdasarkan pada gambar 8, media terbaik untuk pertumbuhan isolat adalah

media dengan jumlah populasi bakteri terbanyak, yaitu media L3T3, dengan

konsentrasi LIA 3% dan konsentrasi tepung ikan 3%. Fase lag terjadi pada hari

ke- 1, kemudian pada hari ke- 3 isolat mengalami puncak fase eksponensial.

Kepadatan populasi bakteri mengalami penurunan pada hari ke- 5, yang

merupakan awal dari fase stationer. Selanjutnya, pada hari ke-7 hingga 9

kepadatan populasi bakteri mengalami penurunan dan cenderung konstan dengan

jumlah penurunan yang sangat sedikit pada hari ke- 11.

4.5.3 Aktivitas Selulase Pseudomonas fluorescens

Pengukuran aktivitas enzim selulase pada dilakukan untuk menganalisis

aktivitas enzim selulase P. fluorescens pada inokulan selama waktu inkubasi.

Enzim ini digunakan isolat untuk mendegradasi selulosa yang terkandung pada

inokulan. Selulosa perlu didegradasi oleh bakteri untuk dapat dimanfaatkan

sebagai sumber karbon bagi bakteri tersebut. LIA merupakan sumber selulosa

yang digunakan pada penelitian ini.

Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi

aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 4). Hal ini

menunjukkan bahwa ketersediaan LIA dalam jumlah tertentu mampu

mempengaruhi aktivitas bakteri dalam memproduksi enzim selulase. Aktivitas

enzim ini berkaitan dengan banyaknya enzim yang dapat berikatan dengan

selulosa sebagai substratnya. Proses tersebut akan menyebabkan selulosa

terdegradasi menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat dimanfaatkan

bakteri sebagai sumber nutrisinya untuk melakukan pertumbuhan. Hasil analisis

Page 51: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

38

DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi LIA terhadap aktivitas

selulase dapat dilihat pada lampiran 11.

Tabel 4. Hasil analisis varians (ANOVA) aktivitas selulase Pseudomonas

fluorescens

Sumber Varians Jumlah

Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.

Model

Terkoreksi 6.449

a 53 .122 12.253 .000

Intercept 12.504 1 12.504 1259.042 .000

LIA .946 2 .473 47.649 .000

TI .014 2 .007 .686 .508

Inkubasi 2.593 5 .519 52.224 .000

LIA * TI .012 4 .003 .311 .869

LIA * Inkubasi 2.506 10 .251 25.233 .000

TI * Inkubasi .078 10 .008 .783 .645

LIA * TI *

Inkubasi .300 20 .015 1.511 .116

Error .536 54 .010

Total 19.490 108

Total Terkoreksi 6.986 107

a; R Kuadrat=0,923 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0,848)

Studi yang dilakukan Munifah (2017) menjelaskan bahwa aktivitas

selulase dipengaruhi oleh konsentrasi substrat. Semakin banyak substrat yang

tersedia, maka semakin banyak pula substrat yang dapat didegradasi oleh selulase

yang dihasilkan oleh bakteri. Sebaliknya, ketika substrat mulai berkurang

ketersediaannya, maka akan berkurang pula selulase yang dihasilkan oleh bakteri.

Berkurangnya aktivitas enzim berkaitan pula dengan berkurangnya viabilitas

bakteri.

Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi

aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 4). Hasil analisis

DMRT yang menunjukkan signifikansi waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase

dapat dilihat pada lampiran 11. Waktu inkubasi berkaitan dengan viabilitas bakteri

pada media. Ketika viabilitas bakteri dalam kondisi optimal, maka bakteri dapat

menghasilkan enzim selulase dengan baik. Viabilitas bakteri optimal dicapai pada

waktu inkubasi 48-72 jam. Namun, semakin lama waktu inkubasi, viabilitas

bakteri akan berkurang seiring dengan berkurangnya nutrien yang tersedia pada

Page 52: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

39

media. Hal tersebut menyebabkan ketidakmampuan bakteri dalam menghasilkan

enzim selulase dengan baik.

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan

waktu inkubasi mempengaruhi aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar

0,000 (Tabel 4). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi interaksi

konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase dapat dilihat pada

lampiran 11. Enzim selulase akan lebih banyak dihasilkan di awal waktu inkubasi

ketika konsentrasi LIA masih berlimpah. Namun, enzim selulase akan dihasilkan

sedikit ketika konsentrasi LIA semakin berkurang. Ketersediaan LIA yang

berkurang seiring lamanya waktu inkubasi disebabkan karena di awal waktu

inkubasi, selulosa pada LIA sudah didegradasi oleh selulase dan dimanfaatkan

mikroba sebagai sumber karbonnya.

Analisis statistik menyatakan bahwa tepung ikan, interaksi antara LIA dan

tepung ikan, interaksi antara tepung ikan dan waktu inkubasi serta interaksi antara

konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi tidak mempengaruhi aktivitas

selulase. Keempatnya memiliki nilai signifikansi >0,05 (Tabel 4). Hal tersebut

terjadi karena tepung ikan bukan merupakan faktor utama yang dapat

meningkatkan maupun menurunkan aktivitas selulase bakteri. Enzim bekerja pada

substrat yang spesifik, sehingga konsentrasi tepung ikan tidak mempengaruhi

aktivitas selulase bakteri.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Astriani (2017)

dan Avellaneda-Torres et al. (2013) yang menyatakan bahwa aktivitas enzim

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis bakteri, waktu inkubasi,

interaksi bakteri dengan jenis substrat dan interaksi substrat dengan waktu. Begitu

pula penelitian yang dilakukan oleh Munifah (2017) yang menyatakan bahwa

enzim dapat bekerja dengan baik ketika perbandingan antara konsentrasi substrat

dan enzim dalam kondisi seimbang.

Page 53: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

40

Gambar 9. Aktivitas selulase Pseudomonas fluorescens (U/mL) pada setiap media

perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12 hari

waktu inkubasi. Kisaran aktivitas selulase yang terukur adalah 0-1,45

U /mL

Aktivitas selulase isolat pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi,

dengan kisaran 0-1,45 U /mL (Gambar 9). Aktivitas tertinggi terjadi pada media

L3T3 hari ke- 3. Aktivitas terendah terjadi pada media L2T1 hari ke- 1.

Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 3% dan tepung ikan 0,3% hari ke

3 menjadi puncak aktivitas selulase isolat, sedangkan pada konsentrasi LIA 2%

dan tepung ikan 0,1% hari ke- 1 isolat mengalami aktivitas terendah. Berdasarkan

hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas selulase terbaik terjadi pada

media L3T3 pada waktu inkubasi hari ke-3 dan keseluruhan hasil pengukurannya

memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati, yaitu mampu menghasilkan

enzim selulase dengan konsentrasi yang terukur pada spektrofotometer >0,0

U/mL.

Secara keseluruhan, hampir seluruh media perlakuan memilliki puncak

aktivitas selulase pada hari ke- 3. Setelah hari ke- 3, aktivitas enzim selulase

cenderung konstan. Hasil tersebut sesuai dengan jumlah kepadatan populasi P.

fluorescens yang cenderung banyak ketika mencapai hari ke-3, yaitu fase puncak

eksponensial mikroba. Berdasarkan studi yang dilakukan Lema (2008), fase

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1 3 5 7 9 11

Ak

tiv

ita

s S

elu

lase

(U

/mL

)

Waktu Inkubasi (Hari)

L1T1

L1T2

L1T3

L2T1

L2T2

L2T3

L3T1

L3T2

L3T3

Page 54: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

41

eksponensial hingga fase stationer menjadi fase optimum bagi bakteri untuk

memproduksi enzim selulase.

Peningkatan dan penurunan aktivitas selulase dipengaruhi oleh konsentrasi

substrat. Peningkatan aktivitas enzim disebabkan oleh banyaknya jumlah sel

bakteri yang tumbuh dan menghasilkan enzim selulase akibat melimpahnya

selulosa yang tersedia pada media. Selulosa yang berikatan dengan enzim akan

lebih banyak dan lebih cepat terjadi pada konsentrasi substrat tertinggi.

Berdasarkan studi yang dilakukan Robinson (2015), banyaknya enzim yang

dihasilkan mampu mengaktifkan efek alosterik positif enzim, yaitu bagian enzim

yang memiliki aktivitas katalitik tinggi.

Penurunan aktivitas enzim disebabkan oleh berkurangnya selulosa bagi

bakteri untuk menginduksi biosintesis selulase, sehingga terjadi efek feed back

inhibition. Studi yang dilakukan Lema (2008) menjelaskan bahwa efek tersebut

terjadi karena produk akhir dari kerja enzim akan memberikan efek alosterik

negatif pada lintasan metabolisme. Penyebab efek ini terjadi adalah adanya area

atau bagian enzim yang memiliki aktivitas katalitik rendah.

Berdasarkan pada gambar 13, periode fermentasi meningkat saat inkubasi

mencapai hari ke- 3. Selanjutnya, periode fermentasi mengalami penurunan ketika

mencapai hari ke- 5, untuk hari ke- 7, 9, dan 11 aktivitas cenderung konstan untuk

setiap media. Studi yang dilakukan El-Nahrawy et al. (2017) menjelaskan bahwa

aktivitas enzim akan meningkat pula seiring dengan meningkatnya periode

fermentasi media. Namun akan mengalami penurunan ketika periode fermentasi

media mengalami penurunan.

4.5.4 Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens

Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi

produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,017 (Tabel 5). Hasil analisis

DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin

dapat dilihat pada lampiran 12. LIA sebagai sumber karbon berperan dalam

penyediaan energi untuk bakteri. Energi dibutuhkan bakteri, khususnya untuk

proses metabolik yang menghasilkan produk metabolik. Salah satu produk

tersebut adalah auksin yang merupakan zat pemacu tumbuh bagi tanaman.

Page 55: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

42

Banyaknya konsentrasi LIA yang terkandung pada media menunjukkan

banyaknya sumber energi yang dapat dimanfaatkan bakteri untuk menghasilkan

auksin.

Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi tepung ikan

mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 5).

Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi tepung ikan

terhadap produksi auksin dapat dilihat pada lampiran 12. Salah satu hal yang

dibutuhkan bakteri untuk memproduksi auksin adalah asam amino. Hal itu dapat

diperoleh dengan adanya sumber nitrogen, dalam penelitian ini adalah tepung

ikan. Banyaknya konsentrasi tepung ikan yang terkandung pada media

menunjukkan banyaknya asam amino yang dapat dimanfaatkan bakteri untuk

memproduksi auksin.

Tabel 5. Hasil analisis varians (ANOVA) produksi auksin Pseudomonas

fluorescens

Sumber Varians Jumlah

Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.

Model

Terkoreksi 64.190

a 53 1.211 7.260 .000

Intercept 565.894 1 565.894 3392.372 .000

LIA 1.477 2 .739 4.428 .017

TI 5.658 2 2.829 16.959 .000

Inkubasi 15.886 5 3.177 19.046 .000

LIA * TI 7.211 4 1.803 10.806 .000

LIA * Inkubasi 29.922 10 2.992 17.937 .000

TI * Inkubasi 1.178 10 .118 .706 .714

LIA * TI

*Inkubasi 2.859 20 .143 .857 .638

Error 9.008 54 .167

Total 639.092 108

Total Terkoreksi 73.198 107

a; R Kuadrat=0,877 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0, 756)

Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi

produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 5). Hasil analisis

DMRT yang menunjukkan signifikansi waktu inkubasi terhadap produksi auksin

Page 56: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

43

dapat dilihat pada lampiran 12. Waktu inkubasi berkaitan dengan viabilitas bakteri

pada media dalam menghasilkan auksin. Bakteri dapat menghasilkan auksin

dalam jumlah besar pada awal waktu inkubasi, ketika nutrien yang tersedia masih

banyak. Produksi auksin yang optimal juga dapat diperoleh pada pertengahan

waktu inkubasi, ketika pertumbuhan bakteri memasuki fase stationer dengan

kondisi media asam. Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Jumadi et

al. (2015), Sukmadewi et al. (2015), dan Larosa et al. (2013) yang menyatakan

bahwa fase eksponensial akhir hingga fase stationer awal merupakan fase

optimum bagi bakteri untuk memproduksi auksin.

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan

tepung ikan mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000

(Tabel 5). Kedua bahan bekerja secara sinergis dalam memproduksi auksin,

Bakteri membutuhkan LIA sebagai sumber karbon untuk mempertahankan

maupun meningkatkan viabilitasnya dengan menambah kepadatan populasinya.

Ketika viabilitasnya optimal, bakteri dapat mengubah tepung ikan menjadi asam

amino untuk produksi auksin. Hasil analisis DMRT yang menunjukkan

signifikansi interaksi konsentrasi LIA dan tepung ikan terhadap produksi auksin

dapat dilihat pada lampiran 12.

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan

waktu inkubasi mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar

0,000 (Tabel 5). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi interaksi

konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap produksi auksin dapat dilihat pada

lampiran 12. Konsentrasi LIA sebagai sumber karbon akan berkurang seiring

lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut dapat menstimulasi produksi auksin ketika

bakteri mencapai fase stationernya. Konsentrasi awal LIA yang tinggi dapat pula

menyebabkan lonjakan produksi auksin pada waktu inkubasi hari pertama. Kedua

hal tesebut dapat terjadi dengan syarat kondisi media asam.

Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara tepung ikan dan

waktu inkubasi serta interaksi antara konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu

inkubasi tidak mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi >0,05 (Tabel

5). Hal tersebut dapat terjadi karena karakteristik P. fluorescens yang memiliki

Page 57: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

44

fleksibilitas metabolisme. Tepung ikan merupakan sumber nitrogen utama pada

media ini, namun ada sumber nitrogen lain yang ditambahkan pada media, yaitu

NH4NO3. Bahan tersebut dapat digunakan ketika jumlah tepung ikan berkurang

seiring waktu. Selanjutnya, keberadaan L-triptofan pada media yang merupakan

asam amino dan berperan sebagai prekursor dalam produksi auksin.

Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Lasmini & Soetarto

(2014), produksi auksin distimulasi dengan penambahan L-triptofan pada media.

L-triptofan menstimulasi produksi auksin dengan cara melakukan aktivasi

terhadap gen yang dapat menghasilkan beberapa enzim yang terlibat dalam proses

sintesis auksin. Enzim tersebut diantaranya amino transferase, indol-3-piruvat

dekarboksilase, dan indol-3-asetaldehid dehidrogenase. Enzim-enzim ini dapat

dihasilkan apabila media mengandung sumber karbon dan nitrogen yang cukup

untuk bakteri melakukan pertumbuhan.

Gambar 10. Produksi auksin Pseudomonas fluorescens (ppm) pada setiap media

perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12

hari waktu inkubasi. Kisaran konsentrasi auksin yang terukur adalah

1,27-4,60 ppm

Produksi auksin isolat pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi,

dengan kisaran 1,27-4,6 ppm (Gambar 10). Produksi tertinggi terjadi pada media

L2T1 hari ke- 3. Produksi terendah terjadi pada media L3T2 hari ke- 9.

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

1 3 5 7 9 11

Pro

du

ksi

Au

ksi

n (

pp

m)

Waktu Inkubasi (Hari)

L1T1

L1T2

L1T3

L2T1

L2T2

L2T3

L3T1

L3T2

L3T3

Page 58: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

45

Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 2% dan tepung ikan 1% hari ke- 3

menjadi puncak produksi auksin isolat, sedangkan pada konsentrasi LIA 3% dan

tepung ikan 2% hari ke- 9 menjadi produksi auksin terendah isolat. Secara

keseluruhan, produksi auksin dari hari ke- 1 hingga hari ke- 11 waktu inkubasi

cenderung menurun.

Konsentrasi auksin yang dihasilkan bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi

substrat pada media. Proses yang terjadi sama dengan yang terjadi pada aktivitas

selulase, yaitu terjadinya efek alosterik positif saat enzim mengkatalis substrat

dalam jumlah yang banyak dan terjadinya efek alosterik negatif ketika substrat

yang tersedia sudah berkurang. Pada kasus ini, substrat yang berperan penting

dalam produksi auksin adalah jumlah asam amino pada tepung ikan yang dapat

dikatalis amino transferase untuk menghasilkan auksin.

Faktor lain yang mempengaruhi produksi auksin adalah keasaman pH dan

ketersediaan karbon. Produksi auksin cenderung meningkat ketika ketersediaan

karbon sedikit, ketika pertumbuhan mikroorganisme mulai menurun dan kondisi

pH asam, yaitu pada fase eksponensial akhir dan fase stationer awal. Produksi

auksin dapat meningkat drastis saat fase eksponensial karena penambahan L-

triptofan eksogen. Bedasarkan studi yang dilakukan Spaepen & Vanderleyden

(2011), ketersediaan L-triptofan yang melimpah akan menginisiasi efek alosterik

positif, dengan padatnya populasi yang tumbuh maka auksin yang diproduksi

akan lebih banyak.

Waktu inkubasi terbaik untuk produksi auksin berdasarkan pada hasil

penelitian adalah hari ke- 3, yaitu pada media L2T1, dengan auksin sebesar 4,6

ppm. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Aziz et al. (2015), Dasri et

al. (2014), dan Sukmadewi et al. (2015) bahwa waktu terbaik bagi bakteri untuk

menghasilkan auksin dalam jumlah maksimum adalah 72 jam, yaitu 3 hari. Pada

periode waktu tersebut, bakteri dapat dikatakan mampu mengkatalis asam amino

menjadi auksin dalam jumlah yang banyak.

Page 59: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

46

Produksi auksin yang tinggi juga terjadi pada waktu inkubasi hari ke- 1,

yaitu pada media L3T1, L3T2, dan L3T3. Tingginya produksi disebabkan oleh

ketersediaan L-triptofan dan sumber karbon yang banyak, sehingga bakteri

tumbuh lebih banyak dan dapat mengkatalis asam amino lebih cepat pula. Secara

keseluruhan, auksin yang dihasilkan oleh isolat selama 11 hari waktu inkubasi

memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati (Tabel 1), yaitu mampu

memproduksi auksin dengan konsentrasi yang terukur pada spektrofotometer >0,0

ppm.

Page 60: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

47

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Isolat Pseudomonas fluorescens berpotensi sebagai agen pupuk hayati

berbasis LIA dan tepung ikan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70

Tahun 2011. Isolat P. fluorescens memiliki kemampuan mendegradasi selulosa,

pelarut P dan K, serta penghasil auksin. Isolat P. fluorescens mampu tumbuh

dengan baik pada pH 5. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum bagi

pertumbuhan dan aktivitas selulase P.fluorescens adalah 3% dan 0,3% (media

L3T3) pada hari ke-3. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum produksi

auksin oleh P.fluorescens adalah 2% dan 0,1% (media L2T1) pada hari ke-3.

Konsentrasi LIA, TI, dan waktu inkubasi optimum bagi P. fluorescens untuk

pupuk hayati adalah 3% dan 0,3%. Penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi

optimum berdasarkan jumlah kepadatan populasi P. fluorescens tertinggi.

5.2 Saran

Penelitian terkait potensi isolat P. fluorescens dengan substrat LIA dan

tepung ikan perlu dilakukan uji lebih lanjut, mengenai pengaruh konsentrasi

substrat terhadap pertumbuhan tanaman ketika diaplikasikan terhadap tanaman

tertentu, untuk penentuan konsentrasi LIA dan tepung ikan yang optimum pada

skala lapangan.

Page 61: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

48

DAFTAR PUSTAKA

Abbey, L., Glover-Amengor, M., Atikpo, M. O., Atter, A., & Toppe, J. (2017).

Nutrient content of fish powder from low value fish and fish byproducts.

Food Science & Nutrition, 5(3), 374–379.

Afif, A.K. 2011. Pemanfaatan limbah padat proses pengolahan agar PT Agarindo

Bogatama sebagai media tanam hortikultura. (Skripsi). Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Agarwal, T., Saxena, M. K., & Chandrawat, M. P. S. (2014). Production and

optimization of cellulase enzyme by Pseudomonas aeruginosa MTCC 4643

using sawdust as a substrate. International Journal of Scientific and

Research Publications, 4(1), 4–6.

Anand AAP, Vennison SJ, Sankar SG, Prabhu DIG, Vasan PT, Raghuraman T,

Geoffrey CJ & Vendan SE. (2010). Isolation and characterization of bacteria

from the gut of Bombyx mori that degrade cellulose, xylan, pectin and starch

and their impact on digestion. Journal of Insect Science, 10 (107), 1-20.

Anders, D., & Alwaeli, M. (2015). Application of post-filtered diatomaceous

earth. Environment Protection Engineering, 41(3), 159–172.

Aranganathan, & Rajasree, R. (2016). Bioconversion of marine trash fish (MTF)

to organic liquid fertilizer for effective solid waste management and it

efficacy on tomato growth. Management of Environmental Quality: An

International Journal, 27(1), 93–103.

Astriani, M. (2017). Skrining bakteri selulolitik asal tanah kebun pisang (Musa

paradisiaca). Jurnal Biota, 3(1), 6–10.

Avellaneda-Torrez, Pulido, C. P. G., & Rojas, E. T. (2014). Assessment of cellu-

lolytic microorganisms in soils of Nevados Park, Colombia. Brazilian

Journal of Microbiology, 45(4), 1211–1220.

Aziz, K., Nawaz, M., Nazir, J., Anjum, A. A., Yaqub, T., Ahmad, M. U. D., &

Khan, M. (2015). Isolation, characterization and effect of auxin producing

bacteria on growth of Triticum aestivum. Journal of Animal and Plant

Sciences, 25(4), 1003–1007.

Babu, S. V., Triveni, S., Reddy, R. S., & Sathyanarayana, J. (2017). Influence of

application of different formulations of phosphate solubilizing biofertilizers

on soil enzymes in maize crop. International Journal of Current

Microbiology and Applied Sciences, 6(12), 3771–3778.

Basak BB, & Biswas DR (2016) Potentiality of Indian rock phosphate as liming

material in acid soil. Geoderma, 263, 104–109.

Page 62: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

49

Basmal, J., Hermana, I., & Sardino. (2016). Utilization of solid waste powder

from agar extraction for plant fertilizer material. Jurnal Pascapanen dan

Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 11(2), 195–211.

Basmal, J., Munifah, I., Rimmer, M., & Paul, N. (2020). Identification and

characterization of solid waste from Gracilaria sp. extraction. IOP

Conference Series: Earth and Environmental Science, 1(404), 1–10.

Bhardwaj, D., Ansari, M. W., Sahoo, R. K., & Tuteja, N. (2014). Biofertilizers

function as key player in sustainable agriculture by improving soil fertility,

plant tolerance and crop productivity. Microbial Cell Factories, 13(1), 1–10.

Bharucha, U., Patel, K., & Trivedi, U. B. (2013). Optimization of indole acetic

acid production by Pseudomonas putida UB1 and its effect as plant growth-

promoting rhizobacteria on mustard (Brassica nigra). Agricultural Research,

2(3), 215–221.

Chandra, S., Askari, K., & Kumari, M. (2018). Optimization of indole acetic acid

production by isolated bacteria from Stevia rebaudiana rhizosphere and its

effects on plant growth. Journal of Genetic Engineering and Biotechnology,

16(2), 581–586.

Chasanah, E., Dini, I. R., & Mubarik, N. R. (2013). Karakterisasi enzim selulase

PMP 0126Y dari limbah pengolahan agar. Jurnal Pascapanen dan

Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, 8(2), 103–113.

Dasri, K., Kaewharn, J., Kanso, S., & Sangchanjiradet, S. (2014). Optimization of

indole-3-acetic acid (IAA) production by rhizobacteria isolated from

epiphytic orchids. KKU Research Journal, 19(6), 268–275.

Duca, D. R., Rose, D. R., & Glick, B. R. (2018). Indole acetic acid overproduction

transformants of the rhizobacterium Pseudomonas sp. UW4. Antonie van

Leeuwenhoek, International Journal of General and Molecular

Microbiology.

El-Nahrawy, S., Metwally, M., El-Kodoos, Ri. Y. A., Belai, E.-S. B., Shabana, S.

A., & El-Refai, I. M. (2018). Optimization of culture conditions for

production of cellulase by Aspergillus tubingensis KY615746. BioResources,

1(14), 177–189.

Etesami, H., Emami, S., & Alikhani, H. A. (2017). Potassium solubilizing bacteria

(KSB): Mechanisms, promotion of plant growth, and future prospects – a

review. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 17(4), 897–911.

Page 63: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

50

FAO. (2016). The State of World Fisheries and Aquaculture: Contributing to

Food Securitiy and Nutritional for All. Rome: Food and Agriculture

Organization of The United Nations.

Fernández, L., Agaras, B., Zalba, P., Wall, L. G., & Valverde, C. (2012).

Pseudomonas spp. isolates with high phosphate-mobilizing potential and root

colonization properties from agricultural bulk soils under no-till

management. Biology and Fertility of Soils, 48(7), 763–773.

Friedman, M. (2018). Analysis, nutrition, and health benefits of tryptophan.

International Journal of Tryptophan Research, 11, 1–12.

Genisa, R. M. U., Agus, R., & Hatta, M. (2015). Pengaruh konsentrasi celite

(diatom) terhadap hasil isolasi DNA bakteri Escherichia coli. Maspari

Journal, 7(2), 85–90.

Ghaly, A., Ramakrishnan, V., Brooks, M., Budge, S., & Dave, D. (2013). Fish

processing wastes as a potential source of proteins, amino acids and oils: A

critical review. Journal of Microbial & Biochemical Technology, 5(4), 107–

129.

Glick, B. R. (2013). Bacteria with ACC deaminase can promote plant growth and

help to feed the world. Microbiological Research, 169(1), 30–39.

Goncalves, L. D. dos A., Piccoli, R. H., Peres, A. de P., & Saude, A. V. (2017).

Predictive modeling of Pseudomonas fluorescens growth under different

temperature and pH values. Brazilian Journal of Microbiology, 8(48), 352–

358.

Gordon, S. A., & Weber, R. P. (1951). Colorimetric estimation of indoleacetic

acid. Plant Physiology, 26(1), 192–195.

Gupta, R., Singal, R., Shankar, A., Kuhad, R. C., & Saxena, R. K. (1994). A

modified plate assay for screening phosphate solubilizing microorganism.

Journal of General and Applied Microbiology, 40(3), 255–260.

Gupta, P., Samant, K., & Sahu, A. (2012). Isolation of cellulose-degrading

bacteria and determination of their cellulolytic potential. International

Journal of Microbiology, 2012, 1–5.

Hartanti. (2010). Isolasi dan seleksi bakteri selulolitik termofilik dari kawah air

panas Gunung Pancar, Bogor, (Skripsi), Institut Pertanian Bogor.

Husen, E., Simanungkalit, R. D. M., & Saraswati, R. (2007). Buku Biologi Tanah.

Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Page 64: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

51

Ire, F. S., & Berebon, D. P. (2016). Production and characterization of crude 1,4

β-endoglucanase by Pseudomonas aeruginosa using corn (Zea mays)

cobs and pawpaw (Carica papaya) fibres as substrates. Journal of

Advances in Biology & Biotechnology, 8(4), 1–16.

Jabin, P. P. N., & Ismail, S. (2017). Solubilization of insoluble potassium by

different microbial isolates in vitro condition. International Journal of

Current Microbiology and Applied Sciences, 6(10), 3600–3607.

Jannah, R. (2016). Pengaruh aplikasi bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas

aeruginosa terhadap produktivitas tanaman padi yang terinfeksi penyakit

blas sebagai referensi mata kuliah mikrobiologi. (Skripsi). Universitas Islam

Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh.

Jeong, G. T., Ra, C. H., Hong, Y. K., Kim, J. K., Kong, I. S., Kim, S. K., & Park,

D. H. (2015). Conversion of red-algae Gracilaria verrucosa to sugars,

levulinic acid and 5-hydroxymethylfurfural. Bioprocess and Biosystems

Engineering, 38(2), 207–217.

Jumadi, O., Liawati, & Hartono. (2015). Produksi zat pengatur tumbuh IAA

(Indole Acetic Acid) dan kemampuan pelarutan fosfat pada isolat bakteri

penambat nitrogen asal Kabupaten Takalar. Jurnal Bionature, 16(1), 43 49.

Jumirah, Jati, A. W. N., & Yulianti, L. I. M. (2018). Kualitas pupuk cair organik

dengan kombinasi limbah ampas jamu dan limbah ikan. Biota, 3(2), 53–61.

Kavallieratos, N. G., Athanassiou, C. G., Vayias, B. J., Kotzamanidis, S., &

Synodis, S. D. (2010). Efficacy and adherence ratio of diatomaceous earth

and spinosad in three wheat varieties against three stored-product insect

pests. Journal of Stored Products Research, 46(2), 73–80.

Kholida, F. T., & Zulaika, E. (2015). Potensi Azotobacter sebagai penghasil

hormon IAA (Indole-3-Acetic Acid). Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(1), 2009–

2011.

Kim GS, Myung KS, Kim YJ, Oh KK, Kim JS, Ryu HJ, & Kim KH. (2008).

Method of Producing Biofuel Using Sea Algae. Seoul (KR): World

Intelectual Property Organization.

Kuhad RC, Gupta R, Singh A. (2011). Microbial cellulases and their industrial

applications. Enzyme Research, 1-10.

Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan

isolat bakteri penghasil Indole Acetic Acid (IAA) dari tanah gambut

Sampit Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41–54.

Page 65: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

52

Lasmini, T., & Soetarto, E. S. (2014). Khamir penghasil Indole-3-Acetic Acid dari

rhizosfer anggrek tanah Pecteilis susannae (L.) Rafin. Biogenesis, 2(1), 56–

62.

Lema, A. T. H. (2008). Viabilitas isolat-isolat bakteri selulolitik pada bahan

pembawa gambut. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor

Lestari, M. D., Sudarmin, & Harjono. (2017). Optimasi ekstraksi selulosa dari

limbah pengolahan agar (Gracilaria verrucosa) sebagai prekursor bioetanol.

Indonesian Journal of Chemical Science, 6(3), 209–214.

Liliasari, G. A. A. (2016). Degradasi bahan organik limbah cair tepung ikan

dengan penambahan variasi konsentrasi bioaktivator dan variasi lama

fermentasi. (Skripsi), Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahin,

Malang.

Ljung, K. (2013). Auxin metabolism and homeostasis during plant development.

Development (Cambridge), 140(5), 943–950.

López-Mosquera, M. E., Fernández-Lema, E., Villares, R., Corral, R., Alonso, B.,

& Blanco, C. (2011). Composting fish waste and seaweed to produce a

fertilizer for use in organic agriculture. Procedia Environmental Sciences, 9,

113–117.

Mandels, M., & Reese, E. T. (1957). Induction of cellulase in Trichoderma viride

as influenced by carbon sources and metals. Journal of Bacteriology, 73(2),

269–278.

Masood, S., & Bano, A. (2016). Mechanism of potassium solubilization in the

agricultural soils by the help of soil microorganism. Potassium Solubilizing

Microorganisms for Sustainable Agriculture, 1(10), 137–146.

Meena, V. S., Maurya, B. R., & Verma, J. P. (2014). Does a rhizospheric

microorganism enhance K+ availability in agricultural soils?.

Microbiological Research, 169(5–6), 337–347.

Miller, G. L. (1959). Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of

reducing sugar. Analytical Chemistry, 31(3), 426–428.

Miller, S. I., & Salama, N. R. (2018). The gram-negative bacterial periplasm: Size

matters. PLoS Biology, 16(1), 1–7.

Moat, A. G., Foster, J. W., & Spector, M. P. (2002). Microbial Physiology. 4th

edition. 664–665. New York: Wiley-Liss Inc.

Page 66: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

53

Mohanty, B., Mahanty, A., Ganguly, S., Sankar, T. V., Chakraborty, K.,

Rangasamy, A., & Sharma, A. P. (2014). Amino acid composition of 27 food

fishes and their importance in clinical nutrition. Journal of Amino Acids, 1–7.

Mubarik, N. R., Mahagiani, I., Anindyaputri, A., Santoso, S., & Rusmana, I.

(2010). Chitinolytic bacteria isolated from chili rhizosphere: Chitinase

characterization and its application as biocontrol for whitefly (Bemisia tabaci

genn.). American Journal of Agricultural and Biological Science, 5(4), 430–

435.

Munifah, I. (2013). Produksi dan karakterisasi enzim selulase dari limbah

pengolahan rumput laut. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 16, 221-227.

Munifah, I. (2017). Bakteri penghasil selulase dan potensinya sebagai

pendegradasi limbah padat industri agar-agar. (Disertasi). Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Mursyida E, Mubarik NR, Tjahjoleksono A. (2015). Selection and identification

of phosphate-potasium solubilizing bacteria from the area around the

limestone mining in Cirebon quarry. Research Journal of Microbiology.

10(6):270-279.

Nabti, Elhafid, Anton Hartmann, B. Jha. (2016). Impact of seaweeds on

agricultural crop production as biofertilizer. International Journal of

Environmental Sciences and Technology.

Nacsa-Farkas, E., Kerekes, E. B., Hargitai, F., Vágvölgyi, C., & Szegedi, E.

(2016). Culture media supplemented with inorganic salts improve the growth

and viability of several bacterial strains. Acta Biologica Szegediensis, 60(2),

151–156.

Nandimath, A. P., Kharat, K. R., Gupta, S. G., & Kharat, A. S. (2016).

Optimization of cellulase production for Bacillus sp. and Pseudomonas sp.

soil isolates. African Journal of Microbiology Research, 10(13), 410–419.

Novik, Galina., Savich, Victoria., & Kiseleva, Elena. (2015). An insight into

beneficial Pseudomonas bacteria. Microbiology in Agriculture and Human

Health, 1(5). 73-105.

Oteino, N., Lally, R. D., Kiwanuka, S., Lloyd, A., Ryan, D., Germaine, K. J., &

Dowling, D. N. (2015). Plant growth promotion induced by phosphate

solubilizing endophytic Pseudomonas isolates. Frontiers in Microbiology,

6(745), 1–9.

Page 67: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

54

Pande, A., Pandey, P., Mehra, S., Singh, M., & Kaushik, S. (2017). Phenotypic

and genotypic characterization of phosphate solubilizing bacteria and their

efficiency on the growth of maize. Journal of Genetic Engineering and

Biotechnology, 15(2), 379–391.

Panpatte, Deepak G., Yogeshvari K. Jhala, Harsha N. Shelat &Rajababu V. Vyas.

(2016). Pseudomonas fluorescens:A promising biocontrol agents and

PGPR for sustainable agriculture. Microbial Inoculants in Sustainable

Agricultural Productivity, 257-270.

Papenfus, H. B., Kulkarni, M. G., Stirk, W. A., Finnie, J. F., & Van Staden, J.

(2013). Effect of a commercial seaweed extract (Kelpak®) and polyamines

on nutrient-deprived (N, P and K) okra seedlings. Scientia Horticulturae,

151, 142–146.

Permentan. (2011). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Peraturan Menteri

Pertanian Republik Indonesia/SR.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik,

Pupuk Hayati Dan Pembenah Tanah. Permentan, 16.

Rahmadani, A. H., & Susanti, E. (2013). Kajian potensi limbah pertanian sebagai

sumber karbon pada produksi avicelase dan CMCase dari Bacillus circulans.

Valensi, 3(2), 82–87.

Rahman, A., Sitepu, I.R., Tang, S.Y., & Hashidoko, Y. (2010). Salkowski’s

reagent test as a primary screening index for functionalities of rhizobacteria

isolated from wild dipterocarp saplings growing naturally on medium-

strongly acidic tropical peat soil. Bioscience, Biotechnology, Biochemical,

74(11), 1-7

Ramalingam, V., Thirunavukkarasu, N., Chandy, N., & Rajaram, R. (2014).

Proximate composition of trash fishes and their utilization as organic

amendment for plant growth. Journal Marine Biological Association of

India, 56(2), 10–15.

Rahmawati, Lisa Maulida. (2016). Pengaruh produk biofertilizer rumput laut

(Ascophyllum nodosum) komersial terhadap perubahan kualitas air pada

sistem akuaponik. (Skripsi). Universitas Airlangga, Surabaya.

Robinson, P. K. (2015). Enzymes: principles and biotechnological applications.

Essays in Biochemistry, 59, 1–41.

Rolfe, M. D., Rice, C. J., Lucchini, S., Pin, C., Thompson, A., Cameron, A. D. S.,

& Hinton, J. C. D. (2012). Lag phase is a distinct growth phase that prepares

bacteria for exponential growth and involves transient metal accumulation.

Journal of Bacteriology, 194(3), 686–701.

Page 68: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

55

Sari, R. N., & Assadad, L. (2013). Optimasi waktu proses hidrolisis dan

fermentasi dalam produksi bioetanol dari limbah pengolahan agar

(Gracilaria sp.) industri. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Perikanan,

8(2), 133–141.

Sánchez-clemente, R., Igeño, M. I., Población, A. G., Guijo, M. I., Merchán, F., &

Blasco, R. (2018). Study of pH changes in media during bacterial growth of

several environmental strains. Proceedings, 2(1297), 1–5.

Scales, B. S., Dickson, R. P., Lipuma, J. J., & Huffnagle, G. B. (2014).

Microbiology, genomics, and clinical significance of the Pseudomonas

fluorescens species complex, an unappreciated colonizer of humans. Clinical

Microbiology Reviews, 27(4), 927–948.

Shah, M. A., & Khan, A. A. (2014). Use of diatomaceous earth for the

management of stored-product pests. International Journal of Pest

Management, 60(2), 100–113.

Shanware, A. S., Kalkar, S. A., & Trivedi, M. M. (2014). Potassium solublisers:

occurrence, mechanism and their role as competent biofertilizers.

International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, 3(9),

622–629.

Siddhanta AK, Prasad K, Meena R, Presad G, Mehta GK, Chhtabar MU. (2009).

Profiling of cellulose content in Indian seaweed species. Bioresearch of

Technology, 100(24), 669-673.

Singh, P. B., Saini, H. S., & Kahlon, R. S. (2016). Pseudomonas: The versatile

and adaptive metabolic network. Pseudomonas: Molecular and Applied

Biology, 1(3), 81-126.

Singh, M., Dotaniya, M. L., Mishra, A., Dotaniya, C. K., Regar, K. L., & Lata, M.

(2016). Role of biofertilizers in conservation agriculture. Conservation

Agriculture, 1(4), 113–134.

Singh, A. K., Masih, H., Nidhi, P., Kumar, Y., Peter, J. K., & Mishra, S. K.

(2013). Production of biofertilizer from agrowaste by using thermotolerant

phosphate solubilising bacteria. International Journal of Bioinformatics and

Biological Science, 1(2), 129–133.

Smith, P., Cotrufo, M. F., Rumpel, C., Paustian, K., Kuikman, P. J., Elliott, J. A.,

Scholes, M. C. (2015). Biogeochemical cycles and biodiversity as key

drivers of ecosystem services provided by soils. Soil, 1(2), 665–685.

Soesanto, L., Mugiastuti, E., & Rahayuniati, R. F. (2011). Morphological and

Physiological features of Pseudomonas fluorescens P60, 1–11.

Page 69: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

56

Spaepen, S., & Vanderleyden, J. (2011). Auxin and plant-microbe interactions.

Cold Spring Harbor Perspectives in Biology, 3(4), 1–13.

Stiger-Pouvreau VS, Bourgougnon N, & Deslandes E. (2016). Carbohydrates

from seaweeds. Book: Seaweed in Health and Disease Prevention. Elsevier

Inc.

Sugiarti, S., Sakti, S. P., & Juswono, U. P. (2013). Pemanfaatan Pseudomonas

putida dan Pseudomonas fluorescens sebagai biosensor untuk mengukur

kadar BOD 5 dalam air. Natural B, 2(2), 134–139.

Sukmadewi, D. K. T., Suharjono, & Antonius, S. (2015). Uji potensi bakteri

penghasil hormon IAA (Indole Acetic Acid) dari tanah rhizosfer cengkeh

(Syzigium aromaticum L .). Jurnal Biotropika, 3(2), 1–5.

Sundari, I., Maruf, W. F., & Dewi, E. N. (2014). Pengaruh penggunaan

bioakivator EM4 dan penambahan tepung ikan terhadap spesifikasi pupuk

organik cair rumput laut Gracilaria sp. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi

Hasil Perikanan, 3(3), 88–94.

Suparmi, & Sahri, A. (2009). Mengenal potensi rumput laut : Kajian pemanfaatan

sumber daya rumput laut dari aspek industri dan kesehatan. Sultan Agung,

XLIV(118), 95–116.

Tacon, A. G. J., & Metian, M. (2009). Fishing for Aquaculture : Non-food use of

small pelagic forage fish — A global perspective. Review in Fisheries

Science, 17(3), 37–41.

Teather, R. M., & Wood, P. J. (1982). Use of Congo red-polysaccharide

interactions in enumeration and characterization of cellulolytic bacteria

from the bovine rumen. Applied and Environmental Microbiology, 43(4),

777–780.

Vandana, U. K., Chopra, A., Bhattacharjee, S., & Mazumder, P.B. (2017).

Microbial biofertilizer: A potential tool for sustainable agriculture.

Microorganism for Green Revolution, Microorganism for Sustainabiity,

6(2), 25–52.

Vyas, P., & Gulati, A. (2009). Organic acid production in vitro and plant growth

promotion in maize under controlled environment by phosphate solubilizing

fluorescent Pseudomonas. BMC Microbiology, 9(174), 1–15.

Wilson, D. B. (2011). Microbial diversity of cellulose hydrolysis. Current

Opinion in Microbiology, 14(3), 259–263.

Page 70: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

57

Yang, F. L., Liang, G. W., Xu, Y. J., Lu, Y. Y., & Zeng, L. (2010). Diatomaceous

earth enhances the toxicity of garlic, Allium sativum, essential oil against

stored-product pests. Journal of Stored Products Research, 46(2), 118-123.

Zahroh, F., Setyawati, S. M., & Kusrinah. (2018). Perbandingan variasi

konsentrasi pupuk organik cair dari limbah ikan terhadap pertumbuhan

tanaman cabai merah (Capsicum annum L.). Al-Hayat: Journal of Biology

and Applied Biology, 1(1), 50–57.

Page 71: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

58

LAMPIRAN

Lampiran 1. Rancangan Percobaan

Faktor A Faktor B Faktor C

H1 H3 H5 H7 H9 H11

T1 L1T1H1 L1T1H3 L1T1H5 L1T1H7 L1T1H9 L1T1H11

L1 T2 L1T2H1 L1T2H3 L1T2H5 L1T2H7 L1T2H9 L1T2H11

T3 L1T3H1 L1T3H3 L1T3H5 L1T3H7 L1T3H9 L1T3H11

T1 L2T1H1 L2T1H3 L2T1H5 L2T1H7 L2T1H9 L2T1H11

L2 T2 L2T2H1 L2T2H3 L2T2H5 L2T2H7 L2T2H9 L2T2H11

T3 L2T3H1 L2T3H3 L2T3H5 L2T3H7 L2T3H9 L2T3H11

T1 L3T1H1 L3T1H3 L3T1H5 L3T1H7 L3T1H9 L3T1H11

L3 T2 L3T2H1 L3T2H3 L3T2H5 L3T2H7 L3T2H9 L3T2H11

T3 L3T3H1 L3T3H3 L3T3H5 L3T3H7 L3T3H9 L3T3H11

Desain tata letak percobaan (secara acak)

L1T1-U1-s1, s2 ,s3 L1T3-U2-s1, s2 ,s3 L1T2-U1-s1, s2 ,s3

L1T3-U1-s1, s2 ,s3 L1T2-U2-s1, s2 ,s3 L1T1-U2-s1, s2 ,s3

L2T2-U2-s1, s2 ,s3 L2T1-U1-s1, s2 ,s3 L2T3-U1-s1, s2 ,s3

L2T1-U2-s1, s2 ,s3 L2T3-U2-s1, s2 ,s3 L2T2-U1-s1, s2 ,s3

L3T3-U1-s1, s2 ,s3 L3T2-U2-s1, s2 ,s3 L3T1-U2-s1, s2 ,s3

L3T2-U1-s1, s2 ,s3 L3T1-U1-s1, s2 ,s3 L3T3-U2-s1, s2 ,s3

Keterangan:

L1 : LIA (Limbah Industri Agar) 1%

L2 : LIA 2%

L3 : LIA 3%

T1 : Tepung Ikan 0,1%

T2 : Tepung Ikan 0,2%

T3 : Tepung Ikan 0,3%

H1 : Hari ke-1

H3 : Hari ke-3

H5 : Hari ke-5

H7 : Hari ke-7

H9 : Hari ke-9

H11 : Hari ke-11

U : Ulangan

s : Sub ulangan

Page 72: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

59

Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian

Derajat

keasaman

(pH)

Kepadatan

populasi;

TPC (30-300 sel)

Analisis konsentrasi media perlakuan dan

waktu inkubasi optimum P.fluorescens

terhadap

Analisis kemampuan

P. fluorescens sebagai agen

pupuk hayati

Isolat P. fluorescens

Preparasi;

Peremajaan isolat, pewarnaan Gram, pembuatan

media, larutan pereaksi, dan kurva standar

Pengamatan zona bening;

Perombak selulosa,

pelarutan P dan K

Pengamatan perubahan

warna sampel;

Produksi auksin

Aktivitas selulase;

Spektrofotometri

(540 nm)

Produksi auksin;

Spektrofotometri

(530 nm)

Analisis statistik;

Two-Way Anova

(SPSS)

Page 73: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

60

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Stok Gliserol Isolat. Biakan Agar Miring Isolat PF

(Pseudomonas fluorescens).

Biakan Cair Isolat PF Pengukuran pH

Limbah Industri Agar. Tepung Ikan.

Page 74: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

61

Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 1%.

Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 2%. Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 3%

Pembuatan Kurva Standar Auksin. Pembuatan Kurva Standar Glukosa.

Pengukuran Aktivitas Selulase. Pengukuran Produksi Auksin

Page 75: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

62

Lampiran 4. Metode Pembuatan Media Uji

Media NA dan NB

Media yang digunakan untuk peremajaan dan pemurnian isolat bakteri

adalah media NA (Nutrient Agar). Media dibuat dengan melarutkan 28 g NA ke

dalam 1000 mL akuades, kemudian dilarutkan dan disterilisasi dengan autoklaf

dengan suhu 121°C.

Media NB (Nutrient Broth) dibuat dengan melarutkan 13 g NB ke dalam

1000 mL akuades, kemudian dilarutkan dan disterilisasi dengan autoklaf dengan

suhu 121°C.

Media Mandels & Reese

Media Mandels & Reese digunakan untuk konfirmasi potensi selulolitik

isolat bakteri. Pembuatan media ini dilakukan dengan melarutkan 1% CMC dalam

air panas hingga homogen. Kemudian dilarutkan dengan bahan lainnya yaitu 1

g/L KH2PO4; 0,5 g/L MgSO4.7H2O; 0,5 g/L NaCl; 0,01 g/L FeSO4.7H2O; 0,01

g/L MnSO4.7H2O; 0,3 g/L NH4NO3; 1 g/L Glukosa; 2 g/L Yeast Ekstrak; 0,04 g/L

CaCl2.2H2O, dan 15 g/L Agar. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf

dengan suhu 121°C.

Media Pikovskaya

Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk

mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan fosfat. Pembuatan media

dilakukan dengan melarutkan 5 g CaHPO4, 10 g glukosa, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,1 g

MgSO4.2H2O, MnSO4, FeSO4, 0,5 g Yeast ekstrak, dan 15 g Agar ke dalam 1000

mL akuades. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121°C.

Media Aleksandrov

Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk

mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan potassium (kalium).

Pembuatan media dilakukan dengan melarutkan 5 g glukosa, 0,5 g MgSO4,

0,0006 g FeCl3, 0,1 g CaCO3, 2 g CaHPO4, 3 g KCl, 20 g agar ke dalam 1000 mL

air. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121°C.

Page 76: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

63

Lampiran 5. Metode Pembuatan Reagen Uji

Larutan Garam Rochelle

Sebanyak 400 g garam Rochelle (kalium natrium tartrat tetrahidrat,

C4H4KNaO6) dilarutkan dalam 1000 mL akuades.

Pereaksi DNS

NaOH sebanyak 10 g dilarutkan dalam 200 mL akuades pada Erlenmeyer

1000 mL, kemudian ditambahkan 182 g Rochelle, 2 g Fenol, 0,5 g Na2S3O3, lalu

ditambahkan akuades hingga mencapai volume 1000 mL dan ditambahkan 10 g

DNS, diaduk perlahan hingga seluruh bahan homogen dan disimpan dalam botol

gelap pada suhu 4°C.

Larutan Bufer sodium sitrat (50 mM, pH 4.8)

Asam sitrat monohidrat sebanyak 21 g dilarutkan dalam 75 mL akuades,

kemudian ditambahkan dengan 5 g NaOH hingga mencapai pH 4.5. Larutan ini

merupakan larutan stok buffer sodium sitrat 1 M. Selanjutnya dilakukan

pengenceran sebanyak 19 kali untuk mendapatkan konsentrasi akhir 50 mM.

Larutan 1% CMC

Sebanyak 1 g CMC dilarutkan dalam 100 mL buffer sodium sitrat (50

mM, pH 4,8).

Pereaksi Salkowski

Sebanyak 8,12 g FeCl3 dilarutkan dengan akuades dalam erlenmeyer 100

mL dan cukupkan volume sampai 100 mL. Campurkan 1mL larutan FeCl3 dengan

50 mL HClO4 35% dalam botol gelap.

Larutan Stok IAA

Sebanyak 0,01 g IAA dilarutkan dengan 50 mL akuades dalam beaker

glass menggunakan magnetic stirer lalu cukupkan volume menjadi 100 mL.

Page 77: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

64

Lampiran 6. Kurva Standar Glukosa

Lampiran 7. Kurva Standar Auksin

y = 0,2492x - 0,0455 R² = 0,9911

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

Ab

sorb

ansi

pad

a 5

40

nm

Glukosa (mM)

y = 0,1859x - 0,1036 R² = 0,9972

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Ab

sorb

ansi

pad

a 5

35

nm

Konsentrasi Auksin (ppm)

Page 78: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

65

Lampiran 8. Analisis Kemampuan Isolat Pseudomonas fluorescens

Kemampuan Selulolitik

No

Diameter (mm)

IS*

(B/A) Keterangan Koloni

(A)

Total

(B)

Zona

Bening

(C=B-A)

a. 6 14 8 1,33 +

b. 9 16 7 0,77 +

c. 8 14 6 0,75 +

Rata-Rata 0,95 mm Positif

*IS adalah indeks selulolitik

Kemampuan Pelarut Fosfat

No

Diameter (mm)

IPF*

(B/A) Keterangan Koloni

(A)

Total

(B)

Zona

Bening

(C=B-A)

a. 6 10 4 0,67 +

b. 5 8 3 0,60 +

c. 6 10 4 0,67 +

Rata-Rata 0,65 mm Positif

*IPF adalah indeks pelarutan fosfat

Kemampuan Pelarut Kalium

No

Diameter (mm)

IPK*

(B/A) Keterangan Koloni

(A)

Total

(B)

Zona

Bening

(C=B-A)

a. 8 10 2 0,25 +

b. 4 6 2 0,5 +

c. 8 10 2 0,25 +

Rata-Rata 0,33 mm Positif

*IPK adalah indeks pelarutan kalium

Page 79: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Lam

pir

an 9

. H

asil

Anal

isis

Sta

tist

ik D

eraj

at K

easa

man

(pH

) kult

ur

Pse

udo

monas

fluore

scen

s

Ko

nse

ntr

asi

LIA

K

onse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan

W

aktu

In

kub

asi

Rer

ata

Sta

nd

ar D

evia

si

N

L1

T1

Har

i ke-

1

6.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

5.2

500

1.0

606

6

2

Har

i ke-

9

5.2

500

1.0

606

6

2

Har

i ke-

11

6

.00

00

1.4

142

1

2

To

tal

5.4

167

.76

376

12

T2

Har

i ke-

1

6.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

4.5

000

.00

000

2

Har

i ke-

9

4.5

000

.00

000

2

Har

i ke-

11

5

.00

00

.00

000

2

To

tal

5.0

000

.52

223

12

T3

Har

i ke-

1

6.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

4.5

000

.00

000

2

Har

i ke-

9

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

11

5

.00

00

.00

000

2

To

tal

5.0

833

.46

872

12

To

tal

Har

i ke-

1

6.0

000

.00

000

6

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

6

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

6

Har

i ke-

7

4.7

500

.61

237

6

Har

i ke-

9

4.9

167

.58

452

6

Har

i ke-

11

5

.33

33

.81

650

6

To

tal

5.1

667

.60

945

36

L2

T1

Har

i ke-

1

6.7

500

.35

355

2

Har

i ke-

3

5.5

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

6.2

500

1.0

606

6

2

Har

i ke-

7

6.0

000

1.4

142

1

2

66

Page 80: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

9

6.0

000

1.4

142

1

2

Har

i ke-

11

6

.25

00

1.0

606

6

2

To

tal

6.1

250

.85

613

12

T2

Har

i ke-

1

6.2

500

.35

355

2

Har

i ke-

3

6.5

000

.70

711

2

Har

i ke-

5

7.0

000

.70

711

2

Har

i ke-

7

7.2

500

.35

355

2

Har

i ke-

9

7.7

500

.35

355

2

Har

i ke-

11

7

.75

00

.35

355

2

To

tal

7.0

833

.70

173

12

T3

Har

i ke-

1

5.7

500

.35

355

2

Har

i ke-

3

7.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

7.5

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

7.2

500

.35

355

2

Har

i ke-

9

7.5

000

.70

711

2

Har

i ke-

11

7

.75

00

.35

355

2

To

tal

7.1

250

.74

239

12

To

tal

Har

i ke-

1

6.2

500

.52

440

6

Har

i ke-

3

6.3

333

.75

277

6

Har

i ke-

5

6.9

167

.80

104

6

Har

i ke-

7

6.8

333

.93

095

6

Har

i ke-

9

7.0

833

1.1

143

0

6

Har

i ke-

11

7

.25

00

.93

541

6

To

tal

6.7

778

.88

192

36

T1

Har

i ke-

1

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

6.5

000

2.1

213

2

2

Har

i ke-

9

6.2

500

1.7

677

7

2

Har

i ke-

11

7

.25

00

.35

355

2

To

tal

5.8

333

1.2

492

4

12

T2

Har

i ke-

1

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.7

500

1.0

606

6

2

67

Page 81: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

L3

Har

i ke-

7

6.5

000

2.1

213

2

2

Har

i ke-

9

6.2

500

1.7

677

7

2

Har

i ke-

11

7

.75

00

.35

355

2

To

tal

6.0

417

1.3

392

4

12

T3

Har

i ke-

1

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

5

5.0

000

.00

000

2

Har

i ke-

7

5.5

000

.70

711

2

Har

i ke-

9

5.5

000

.70

711

2

Har

i ke-

11

6

.25

00

1.7

677

7

2

To

tal

5.3

750

.77

239

12

To

tal

Har

i ke-

1

5.0

000

.00

000

6

Har

i ke-

3

5.0

000

.00

000

6

Har

i ke-

5

5.2

500

.61

237

6

Har

i ke-

7

6.1

667

1.4

719

6

6

Har

i ke-

9

6.0

000

1.2

247

4

6

Har

i ke-

11

7

.08

33

1.0

684

9

6

To

tal

5.7

500

1.1

495

3

36

To

tal

T1

Har

i ke-

1

5.9

167

.80

104

6

Har

i ke-

3

5.1

667

.25

820

6

Har

i ke-

5

5.4

167

.80

104

6

Har

i ke-

7

5.9

167

1.3

570

8

6

Har

i ke-

9

5.8

333

1.2

110

6

6

Har

i ke-

11

6

.50

00

1.0

000

0

6

To

tal

5.7

917

.99

553

36

T2

Har

i ke-

1

5.7

500

.61

237

6

Har

i ke-

3

5.5

000

.83

666

6

Har

i ke-

5

5.9

167

1.0

684

9

6

Har

i ke-

7

6.0

833

1.5

942

6

6

Har

i ke-

9

6.1

667

1.6

633

3

6

Har

i ke-

11

6

.83

33

1.4

375

9

6

To

tal

6.0

417

1.2

442

7

36

T3

Har

i ke-

1

5.5

833

.49

160

6

Har

i ke-

3

5.6

667

1.0

328

0

6

Har

i ke-

5

5.8

333

1.2

909

9

6

68

Page 82: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

7

5.7

500

1.2

942

2

6

Har

i ke-

9

6.0

000

1.2

649

1

6

Har

i ke-

11

6

.33

33

1.4

719

6

6

To

tal

5.8

611

1.1

251

1

36

To

tal

Har

i ke-

1

5.7

500

.62

426

18

Har

i ke-

3

5.4

444

.76

483

18

Har

i ke-

5

5.7

222

1.0

321

6

18

Har

i ke-

7

5.9

167

1.3

421

9

18

Har

i ke-

9

6.0

000

1.3

173

1

18

Har

i ke-

11

6

.55

56

1.2

589

5

18

To

tal

5.8

981

1.1

206

6

10

8

Ha

sil

DM

RT

1.

LIA

Ko

nse

ntr

asi

LIA

N

S

ub

set

1

2

3

L1

3

6

5.1

667

L3

3

6

5.7

500

L2

3

6

6.7

778

Sig

. 1

.00

0

1.0

00

1.0

00

2.

Wak

tu I

nk

ub

asi

Wak

tu I

nk

ub

asi

N

Sub

set

1

2

Har

i ke-

3

18

5.4

444

Har

i ke-

5

18

5.7

222

Har

i ke-

1

18

5.7

500

Har

i ke-

7

18

5.9

167

Har

i ke-

9

18

6.0

000

Ha

ri k

e-1

1

18

6.5

556

Sig

. .0

64

1

.00

0

69

Page 83: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

3.

Inte

raksi

LIA

dan

Tep

ung I

kan

(T

I)

Inte

raksi

LIA

X T

epun

g I

kan

N

S

ub

set

1

2

3

4

L1

T2

12

5.0

000

L1

T3

12

5.0

833

L3

T3

12

5.3

750

5.3

750

L1

T1

12

5.4

167

5.4

167

L3

T1

12

5.8

333

5

.83

33

L3

T2

12

6.0

417

6

.04

17

L2

T1

1

2

6.1

250

L2

T2

12

7.0

833

L2

T3

12

7.1

250

Sig

. .2

47

.06

3

.40

0

.89

8

4.

Inte

raksi

LIA

dan

Wak

tu I

nkub

asi

Inte

raksi

LIA

X I

nku

bas

i N

S

ub

set

1

2

3

4

5

6

7

L1

H7

6

4

.750

0

L1

H9

6

4

.916

7

L3

H1

6

5

.000

0

5.0

00

0

L1

H3

6

5

.000

0

5.0

00

0

L3

H3

6

5

.000

0

5.0

00

0

L1

H5

6

5

.000

0

5.0

00

0

L3

H5

6

5

.250

0

5.2

50

0

5.2

50

0

L1

H1

1

6

5.3

33

3

5.3

33

3

5.3

33

3

5.3

33

3

L1

H1

6

6

.000

0

6.0

00

0

6.0

00

0

6.0

00

0

L3

H9

6

6

.000

0

6.0

00

0

6.0

00

0

6.0

00

0

L3

H7

6

6

.166

7

6.1

66

7

6.1

66

7

6.1

66

7

L2

H1

6

6

.250

0

6.2

50

0

6.2

50

0

6.2

50

0

6.2

50

0

L2

H3

6

6

.333

3

6.3

33

3

6.3

33

3

6.3

33

3

L2

H7

6

6

.833

3

6.8

33

3

6.8

33

3

L2

H5

6

6

.916

7

6.9

16

7

6.9

16

7

L2

H9

6

7

.083

3

7.0

83

3

L3

H1

1

6

7.0

83

3

7.0

83

3

L2

H1

1

6

7.2

50

0

Sig

. .2

83

.06

5

.05

8

.05

8

.08

7

.08

7

.06

2

70

Page 84: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Lam

pir

an 1

0. H

asil

Anal

isis

Sta

tist

ik K

epad

atan

Popula

si P

seudom

onas

fluore

scen

s

Ko

nse

ntr

asi

LIA

K

onse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan

W

aktu

In

kub

asi

Rer

ata

Sta

nd

ar D

evia

si

N

L1

T1

Har

i ke-

1

9.4

494

.0

39

26

2

Har

i ke-

3

5.0

000

7

.07

10

7

2

Har

i ke-

5

4.4

225

6

.25

44

3

2

Har

i ke-

7

3.7

157

5

.25

47

7

2

Har

i ke-

9

4.4

098

6

.23

63

6

2

Har

i ke-

11

9

.73

56

.1

88

92

2

To

tal

6.1

222

4

.56

92

4

12

T2

Har

i ke-

1

8.8

869

.6

79

40

2

Har

i ke-

3

4.7

841

6

.76

57

4

2

Har

i ke-

5

3.5

000

4

.94

97

5

2

Har

i ke-

7

4.8

779

6

.89

84

5

2

Har

i ke-

9

4.8

167

6

.81

18

9

2

Har

i ke-

11

9

.12

63

.7

11

46

2

To

tal

5.9

987

4

.49

47

0

12

T3

Har

i ke-

1

3.8

660

5

.46

73

5

2

Har

i ke-

3

4.1

505

5

.86

97

1

2

Har

i ke-

5

8.2

282

.6

89

88

2

Har

i ke-

7

8.8

883

.7

03

34

2

Har

i ke-

9

4.4

098

6

.23

63

6

2

Har

i ke-

11

4

.57

46

6

.46

94

7

2

To

tal

5.6

862

4

.22

72

4

12

To

tal

Har

i ke-

1

7.4

008

3

.69

20

2

6

Har

i ke-

3

4.6

449

5

.11

87

6

6

Har

i ke-

5

5.3

836

4

.22

42

2

6

Har

i ke-

7

5.8

273

4

.58

59

6

6

Har

i ke-

9

4.5

454

4

.98

81

3

6

Har

i ke-

11

7

.81

22

3

.85

26

1

6

To

tal

5.9

357

4

.30

83

3

36

L2

T

1

Har

i ke-

1

7.7

386

.3

69

73

2

Har

i ke-

3

8.0

971

.7

00

12

2

Har

i ke-

5

9.1

995

1

.15

61

3

2

71

Page 85: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

7

3.7

157

5

.25

47

7

2

Har

i ke-

9

7.3

406

.0

55

99

2

Har

i ke-

11

8

.55

50

1

.14

09

4

2

To

tal

7.4

411

2

.49

29

3

12

T2

Har

i ke-

1

7.5

880

.1

56

87

2

Har

i ke-

3

8.5

611

.7

57

74

2

Har

i ke-

5

9.8

037

.2

12

86

2

Har

i ke-

7

4.3

314

6

.12

54

9

2

Har

i ke-

9

4.3

064

6

.09

01

6

2

Har

i ke-

11

8

.16

54

.7

24

36

2

To

tal

7.1

260

3

.41

58

4

12

T3

Har

i ke-

1

4.2

455

6

.00

40

4

2

Har

i ke-

3

8.5

313

.0

18

07

2

Har

i ke-

5

4.7

720

6

.74

86

8

2

Har

i ke-

7

8.3

188

1

.27

82

7

2

Har

i ke-

9

7.3

993

.2

38

83

2

Har

i ke-

11

8

.80

85

.1

56

27

2

To

tal

7.0

126

3

.34

98

7

12

To

tal

Har

i ke-

1

6.5

240

3

.21

89

3

6

Har

i ke-

3

8.3

965

.5

16

61

6

Har

i ke-

5

7.9

251

3

.92

72

6

6

Har

i ke-

7

5.4

553

4

.28

36

2

6

Har

i ke-

9

6.3

488

3

.15

17

5

6

Har

i ke-

11

8

.50

96

.6

73

88

6

To

tal

7.1

932

3

.03

00

0

36

L3

T1

Har

i ke-

1

4.2

386

5

.99

42

3

2

Har

i ke-

3

8.6

901

.3

01

21

2

Har

i ke-

5

5.2

526

7

.42

82

6

2

Har

i ke-

7

8.8

330

1

.37

14

0

2

Har

i ke-

9

9.3

375

.8

78

96

2

Har

i ke-

11

8

.30

74

.4

16

64

2

To

tal

7.4

432

3

.56

50

9

12

T2

Har

i ke-

1

4.7

955

6

.78

19

1

2

Har

i ke-

3

9.6

146

.2

30

26

2

72

Page 86: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

5

8.1

712

.1

83

59

2

Har

i ke-

7

9.7

664

.3

88

93

2

Har

i ke-

9

9.1

353

.1

27

27

2

Har

i ke-

11

8

.86

16

1

.23

71

7

2

To

tal

8.3

908

2

.73

12

9

12

T3

Har

i ke-

1

4.5

800

6

.47

71

0

2

Har

i ke-

3

5.4

098

7

.65

05

7

2

Har

i ke-

5

4.0

485

5

.72

53

8

2

Har

i ke-

7

8.7

941

.5

60

31

2

Har

i ke-

9

4.4

515

6

.29

54

4

2

Har

i ke-

11

4

.20

33

5

.94

43

2

2

To

tal

5.2

479

4

.68

04

2

12

To

tal

Har

i ke-

1

4.5

380

4

.98

38

4

6

Har

i ke-

3

7.9

048

3

.95

48

9

6

Har

i ke-

5

5.8

241

4

.60

36

9

6

Har

i ke-

7

9.1

312

.8

43

55

6

Har

i ke-

9

7.6

415

3

.76

79

9

6

Har

i ke-

11

7

.12

41

3

.54

79

6

6

To

tal

7.0

273

3

.87

37

9

36

To

tal

T1

Har

i ke-

1

7.1

422

3

.58

57

7

6

Har

i ke-

3

7.2

624

3

.64

11

0

6

Har

i ke-

5

6.2

915

4

.93

33

9

6

Har

i ke-

7

5.4

215

4

.29

00

5

6

Har

i ke-

9

7.0

293

3

.58

44

5

6

Har

i ke-

11

8

.86

60

.8

76

48

6

To

tal

7.0

022

3

.59

27

2

36

T2

Har

i ke-

1

7.0

902

3

.57

67

0

6

Har

i ke-

3

7.6

533

3

.80

02

3

6

Har

i ke-

5

7.1

583

3

.67

13

5

6

Har

i ke-

7

6.3

252

4

.92

10

7

6

Har

i ke-

9

6.0

861

4

.72

56

9

6

Har

i ke-

11

8

.71

78

.8

42

24

6

To

tal

7.1

718

3

.65

28

0

36

T3

Har

i ke-

1

4.2

305

4

.65

62

6

6

Har

i ke-

3

6.0

305

4

.76

09

3

6

73

Page 87: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

5

5.6

829

4

.44

43

1

6

Har

i ke-

7

8.6

671

.7

50

37

6

Har

i ke-

9

5.4

202

4

.25

05

1

6

Har

i ke-

11

5

.86

21

4

.54

74

1

6

To

tal

5.9

822

4

.07

51

3

36

To

tal

Har

i ke-

1

6.1

543

3

.98

50

6

18

Har

i ke-

3

6.9

821

3

.91

40

5

18

Har

i ke-

5

6.3

776

4

.16

17

5

18

Har

i ke-

7

6.8

046

3

.83

17

0

18

Har

i ke-

9

6.1

786

4

.01

52

7

18

Har

i ke-

11

7

.81

53

2

.92

23

6

18

To

tal

6.7

187

3

.78

11

8

10

8

Lam

pir

an 1

1. H

asil

Anal

isis

Sta

tist

ik A

kti

vit

as S

elula

se P

seudom

onas

fluore

scen

s

Ko

nse

ntr

asi

LIA

K

onse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan

W

aktu

In

kub

asi

Rer

ata

Sta

nd

ar D

evia

si

N

L1

T1

Har

i ke-

1

.11

40

.0

42

43

2

Har

i ke-

3

.36

80

.2

54

56

2

Har

i ke-

5

.30

80

.0

26

87

2

Har

i ke-

7

.37

70

.1

15

97

2

Har

i ke-

9

.35

70

.0

11

31

2

Har

i ke-

11

.2

93

0

.00

283

2

To

tal

.30

28

.1

27

15

12

T2

Har

i ke-

1

.08

20

.0

48

08

2

Har

i ke-

3

.45

20

.2

68

70

2

Har

i ke-

5

.28

10

.0

25

46

2

Har

i ke-

7

.31

25

.1

90

21

2

Har

i ke-

9

.33

40

.0

89

10

2

Har

i ke-

11

.3

84

5

.12

092

2

To

tal

.30

77

.1

62

95

12

T3

Har

i ke-

1

.15

75

.0

24

75

2

Har

i ke-

3

.31

40

.0

80

61

2

Har

i ke-

5

.36

15

.0

21

92

2

Har

i ke-

7

.25

15

.0

53

03

2

74

Page 88: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

9

.23

80

.0

02

83

2

Har

i ke-

11

.4

25

5

.06

435

2

To

tal

.29

13

.0

98

22

12

To

tal

Har

i ke-

1

.11

78

.0

45

76

6

Har

i ke-

3

.37

80

.1

80

47

6

Har

i ke-

5

.31

68

.0

41

39

6

Har

i ke-

7

.31

37

.1

16

79

6

Har

i ke-

9

.30

97

.0

69

30

6

Har

i ke-

11

.3

67

7

.08

623

6

To

tal

.30

06

.1

28

48

36

L2

T1

Har

i ke-

1

.00

00

.0

00

00

2

Har

i ke-

3

.35

50

.0

24

04

2

Har

i ke-

5

.26

65

.0

57

28

2

Har

i ke-

7

.27

60

.0

35

36

2

Har

i ke-

9

.27

85

.0

28

99

2

Har

i ke-

11

.2

57

5

.02

192

2

To

tal

.23

89

.1

18

95

12

T2

Har

i ke-

1

.00

00

.0

00

00

2

Har

i ke-

3

.31

65

.0

40

31

2

Har

i ke-

5

.31

05

.0

14

85

2

Har

i ke-

7

.38

85

.0

02

12

2

Har

i ke-

9

.31

30

.0

08

49

2

Har

i ke-

11

.2

36

0

.12

445

2

To

tal

.26

08

.1

36

14

12

T3

Har

i ke-

1

.03

90

.0

39

60

2

Har

i ke-

3

.28

55

.0

36

06

2

Har

i ke-

5

.31

00

.0

04

24

2

Har

i ke-

7

.33

65

.0

09

19

2

Har

i ke-

9

.32

65

.0

16

26

2

Har

i ke-

11

.2

17

0

.00

990

2

To

tal

.25

24

.1

09

08

12

To

tal

Har

i ke-

1

.01

30

.0

26

82

6

Har

i ke-

3

.31

90

.0

40

87

6

Har

i ke-

5

.29

57

.0

34

85

6

Har

i ke-

7

.33

37

.0

52

95

6

75

Page 89: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

9

.30

60

.0

26

94

6

Har

i ke-

11

.2

36

8

.05

951

6

To

tal

.25

07

.1

18

72

36

L3

T1

Har

i ke-

1

.32

05

.0

02

12

2

Har

i ke-

3

.96

20

.0

18

38

2

Har

i ke-

5

.31

95

.0

27

58

2

Har

i ke-

7

.30

70

.0

45

25

2

Har

i ke-

9

.33

90

.0

16

97

2

Har

i ke-

11

.3

64

0

.03

960

2

To

tal

.43

53

.2

47

65

12

T2

Har

i ke-

1

.21

05

.0

28

99

2

Har

i ke-

3

1.3

305

.0

38

89

2

Har

i ke-

5

.38

65

.1

27

99

2

Har

i ke-

7

.37

35

.0

37

48

2

Har

i ke-

9

.33

00

.0

28

28

2

Har

i ke-

11

.3

13

0

.10

182

2

To

tal

.49

07

.4

00

32

12

T3

Har

i ke-

1

.18

20

.0

74

95

2

Har

i ke-

3

1.4

475

.4

81

54

2

Har

i ke-

5

.29

05

.0

47

38

2

Har

i ke-

7

.32

35

.0

33

23

2

Har

i ke-

9

.32

15

.0

24

75

2

Har

i ke-

11

.3

29

5

.04

455

2

To

tal

.48

24

.4

77

63

12

To

tal

Har

i ke-

1

.23

77

.0

74

64

6

Har

i ke-

3

1.2

467

.3

13

22

6

Har

i ke-

5

.33

22

.0

76

27

6

Har

i ke-

7

.33

47

.0

43

25

6

Har

i ke-

9

.33

02

.0

20

03

6

Har

i ke-

11

.3

35

5

.05

767

6

To

tal

.46

95

.3

76

77

36

T1

Har

i ke-

1

.14

48

.1

46

54

6

Har

i ke-

3

.56

17

.3

30

66

6

Har

i ke-

5

.29

80

.0

39

68

6

Har

i ke-

7

.32

00

.0

74

10

6

76

Page 90: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

To

tal

Har

i ke-

9

.32

48

.0

40

05

6

Har

i ke-

11

.3

04

8

.05

257

6

To

tal

.32

57

.1

88

91

36

T2

Har

i ke-

1

.09

75

.0

98

17

6

Har

i ke-

3

.69

97

.5

07

45

6

Har

i ke-

5

.32

60

.0

76

29

6

Har

i ke-

7

.35

82

.0

93

88

6

Har

i ke-

9

.32

57

.0

43

14

6

Har

i ke-

11

.3

11

2

.11

184

6

To

tal

.35

30

.2

73

24

36

T3

Har

i ke-

1

.12

62

.0

78

98

6

Har

i ke-

3

.68

23

.6

31

97

6

Har

i ke-

5

.32

07

.0

40

31

6

Har

i ke-

7

.30

38

.0

49

77

6

Har

i ke-

9

.29

53

.0

46

41

6

Har

i ke-

11

.3

24

0

.09

979

6

To

tal

.34

21

.2

98

10

36

To

tal

Har

i ke-

1

.12

28

.1

06

71

18

Har

i ke-

3

.64

79

.4

78

91

18

Har

i ke-

5

.31

49

.0

53

00

18

Har

i ke-

7

.32

73

.0

74

06

18

Har

i ke-

9

.31

53

.0

43

17

18

Har

i ke-

11

.3

13

3

.08

653

18

To

tal

.34

03

.2

55

51

10

8

Ha

sil

DM

RT

1.

Ko

nse

ntr

asi

LIA K

onse

ntr

asi

LIA

N

S

ub

set

1

2

3

L2

3

6

.25

07

L1

3

6

.30

06

L3

3

6

.46

95

Sig

. 1

.00

0

1.0

00

1.0

00

77

Page 91: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

2.

Wak

tu I

nk

ub

asi

Wak

tu I

nk

ub

asi

N

Sub

set

1

2

3

Ha

ri k

e-1

1

8

.12

28

Har

i ke-

11

1

8

.31

33

Har

i ke-

5

18

.31

49

Har

i ke-

9

18

.31

53

Har

i ke-

7

18

.32

73

Ha

ri k

e-3

1

8

.64

79

Sig

. 1

.00

0

.70

6

1.0

00

3.

Inte

raksi

LIA

dan

Wak

tu I

nkub

asi

Inte

raksi

LIA

X I

nk

ub

asi

N

Sub

set

1

2

3

4

5

L2

H1

6

.0

13

0

L1

H1

6

.1

17

8

.11

78

L2

H1

1

6

.23

68

.23

68

L3

H1

6

.2

37

7

.23

77

L2

H5

6

.2

95

7

.29

57

L2

H9

6

.3

06

0

.30

60

L1

H9

6

.3

09

7

.30

97

L1

H7

6

.3

13

7

.31

37

L1

H5

6

.3

16

8

.31

68

L2

H3

6

.3

19

0

.31

90

L3

H9

6

.3

30

2

.33

02

L3

H5

6

.3

32

2

.33

22

L2

H7

6

.3

33

7

.33

37

L3

H7

6

.3

34

7

.33

47

L3

H1

1

6

.33

55

.33

55

L1

H1

1

6

.36

77

.36

77

L1

H3

6

.3

78

0

L3

H3

6

1

.24

67

Sig

. .0

74

.05

3

.06

5

.24

3

1.0

00

78

Page 92: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Lam

pir

an 1

2. H

asil

Anal

isis

Sta

tist

ik P

roduksi

Auksi

n P

seudom

onas

fluore

scen

s

Ko

nse

ntr

asi

LIA

K

onse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan

W

aktu

In

kub

asi

Rer

ata

Sta

nd

ar D

evia

si

N

L1

T1

Har

i ke-

1

2.3

381

.2

03

50

2

Har

i ke-

3

1.8

926

.1

57

98

2

Har

i ke-

5

2.2

682

.1

57

60

2

Har

i ke-

7

2.2

006

.0

36

77

2

Har

i ke-

9

3.2

611

.1

08

79

2

Har

i ke-

11

2

.34

30

.1

37

69

2

To

tal

2.3

839

.4

51

91

12

T2

Har

i ke-

1

2.2

948

.1

53

16

2

Har

i ke-

3

1.8

691

.1

64

32

2

Har

i ke-

5

2.2

829

.1

87

01

2

Har

i ke-

7

2.1

155

.2

49

02

2

Har

i ke-

9

3.3

580

.4

63

16

2

Har

i ke-

11

2

.44

83

.3

64

14

2

To

tal

2.3

947

.5

31

68

12

T3

Har

i ke-

1

2.0

472

.3

16

85

2

Har

i ke-

3

1.6

671

.2

89

46

2

Har

i ke-

5

2.0

575

.5

78

29

2

Har

i ke-

7

1.7

747

.3

42

97

2

Har

i ke-

9

2.8

457

.4

80

15

2

Har

i ke-

11

2

.00

20

.3

23

31

2

To

tal

2.0

657

.4

93

98

12

To

tal

Har

i ke-

1

2.2

267

.2

29

67

6

Har

i ke-

3

1.8

096

.1

98

60

6

Har

i ke-

5

2.2

028

.3

02

60

6

Har

i ke-

7

2.0

303

.2

77

20

6

Har

i ke-

9

3.1

549

.3

88

11

6

Har

i ke-

11

2

.26

44

.3

07

83

6

To

tal

2.2

815

.5

03

67

36

L2

T

1

Har

i ke-

1

3.0

044

.1

56

84

2

Har

i ke-

3

4.5

966

.0

53

25

2

Har

i ke-

5

2.6

563

.3

21

29

2

79

Page 93: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

7

2.6

831

.6

43

97

2

Har

i ke-

9

2.4

951

.9

34

19

2

Har

i ke-

11

2

.32

88

.9

85

54

2

To

tal

2.9

607

.9

20

33

12

T2

Har

i ke-

1

2.3

535

.0

54

90

2

Har

i ke-

3

2.8

419

1

.36

51

5

2

Har

i ke-

5

1.4

622

.0

27

26

2

Har

i ke-

7

1.3

930

.0

42

35

2

Har

i ke-

9

1.3

293

.1

25

90

2

Har

i ke-

11

1

.33

79

.0

92

68

2

To

tal

1.7

863

.7

44

99

12

T3

Har

i ke-

1

2.3

130

.2

31

39

2

Har

i ke-

3

1.8

800

.3

96

22

2

Har

i ke-

5

1.3

315

.1

10

94

2

Har

i ke-

7

1.6

500

.4

72

17

2

Har

i ke-

9

1.5

307

.3

42

21

2

Har

i ke-

11

1

.50

86

.3

23

69

2

To

tal

1.7

023

.4

14

63

12

To

tal

Har

i ke-

1

2.5

570

.3

69

70

6

Har

i ke-

3

3.1

062

1

.38

65

6

6

Har

i ke-

5

1.8

166

.6

70

57

6

Har

i ke-

7

1.9

087

.7

07

73

6

Har

i ke-

9

1.7

850

.7

15

37

6

Har

i ke-

11

1

.72

51

.6

64

39

6

To

tal

2.1

498

.9

13

28

36

L3

T

1

Har

i ke-

1

4.4

253

.0

10

90

2

Har

i ke-

3

2.5

289

.0

00

13

2

Har

i ke-

5

2.3

826

.0

14

83

2

Har

i ke-

7

2.0

514

1

.01

09

0

2

Har

i ke-

9

2.0

038

.5

61

17

2

Har

i ke-

11

1

.49

17

.1

18

93

2

To

tal

2.4

806

1

.03

21

3

12

T2

Har

i ke-

1

4.3

002

.0

15

21

2

80

Page 94: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

3

2.4

550

.0

12

30

2

Har

i ke-

5

2.4

106

.0

04

06

2

Har

i ke-

7

2.3

538

.5

13

50

2

Har

i ke-

9

1.2

684

.2

21

12

2

Har

i ke-

11

1

.27

86

.3

22

55

2

To

tal

2.3

444

1

.07

39

7

12

T3

Har

i ke-

1

4.1

548

.0

49

07

2

Har

i ke-

3

2.4

140

.0

30

18

2

Har

i ke-

5

2.3

557

.0

48

43

2

Har

i ke-

7

2.5

727

.1

88

92

2

Har

i ke-

9

1.9

694

.2

31

14

2

Har

i ke-

11

1

.43

00

.7

77

82

2

To

tal

2.4

828

.9

09

19

12

To

tal

Har

i ke-

1

4.2

934

.1

23

33

6

Har

i ke-

3

2.4

660

.0

54

06

6

Har

i ke-

5

2.3

830

.0

33

45

6

Har

i ke-

7

2.3

260

.5

64

87

6

Har

i ke-

9

1.7

472

.4

70

34

6

Har

i ke-

11

1

.40

01

.3

92

74

6

To

tal

2.4

359

.9

80

52

36

To

tal

T1

Har

i ke-

1

3.2

559

.9

60

47

6

Har

i ke-

3

3.0

060

1

.26

66

6

6

Har

i ke-

5

2.4

357

.2

39

74

6

Har

i ke-

7

2.3

117

.6

12

21

6

Har

i ke-

9

2.5

866

.7

49

06

6

Har

i ke-

11

2

.05

45

.6

25

28

6

To

tal

2.6

084

.8

54

76

36

T2

Har

i ke-

1

2.9

828

1

.02

33

6

6

Har

i ke-

3

2.3

887

.7

55

03

6

Har

i ke-

5

2.0

519

.4

68

05

6

Har

i ke-

7

1.9

541

.5

15

48

6

Har

i ke-

9

1.9

852

1

.08

96

2

6

Har

i ke-

11

1

.68

83

.6

29

53

6

To

tal

2.1

752

.8

39

03

36

T3

Har

i ke-

1

2.8

384

1

.04

17

6

6

81

Page 95: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

Har

i ke-

3

1.9

870

.4

08

40

6

Har

i ke-

5

1.9

149

.5

40

23

6

Har

i ke-

7

1.9

991

.5

25

12

6

Har

i ke-

9

2.1

153

.6

62

45

6

Har

i ke-

11

1

.64

69

.4

89

65

6

To

tal

2.0

836

.7

03

65

36

To

tal

Har

i ke-

1

3.0

257

.9

64

51

18

Har

i ke-

3

2.4

606

.9

35

19

18

Har

i ke-

5

2.1

341

.4

67

56

18

Har

i ke-

7

2.0

883

.5

44

31

18

Har

i ke-

9

2.2

290

.8

44

97

18

Har

i ke-

11

1

.79

65

.5

81

03

18

To

tal

2.2

891

.8

27

10

10

8

Ha

sil

DM

RT

1.

Ko

nse

ntr

asi

LIA

Ko

nse

ntr

asi

LIA

N

S

ub

set

1

2

L2

3

6

2.1

498

L1

3

6

2.2

815

2

.28

15

L3

3

6

2.4

359

Sig

. .1

77

.1

14

2.

Ko

nse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan Ko

nse

ntr

asi

Tep

un

g I

kan

N

S

ub

set

1

2

T3

36

2.0

836

T2

36

2.1

752

T1

3

6

2.6

084

Sig

. .3

46

1.0

00

82

Page 96: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

3.

Wak

tu I

nk

ub

asi

Wak

tu I

nk

ub

asi

N

Sub

set

1

2

3

4

Ha

ri k

e-1

1

18

1.7

965

Har

i ke-

7

18

2.0

883

Har

i ke-

5

18

2.1

341

Ha

ri k

e-9

1

8

2.2

290

2.2

290

Ha

ri k

e-3

1

8

2.4

606

Ha

ri k

e-1

1

8

3.0

257

Sig

. 1

.00

0

.33

6

.09

5

1.0

00

4.

Inte

raksi

LIA

dan

Tep

ung I

kan

Inte

raksi

LIA

X T

epun

g I

kan

N

S

ub

set

1

2

3

4

5

L2

T3

1

2

1.7

023

L2

T2

1

2

1.7

863

1.7

863

L1

T3

1

2

2.0

657

2.0

657

L3

T2

12

2.3

444

2.3

444

L1

T1

12

2.3

839

2.3

839

L1

T2

12

2.3

947

2.3

947

L3

T1

12

2.4

806

L3

T3

12

2.4

828

L2

T1

1

2

2.9

607

Sig

. .6

16

.10

0

.07

6

.46

9

1.0

00

83

Page 97: POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI

5.

Inte

raksi

LIA

dan

Wak

tu I

nkub

asi

Inte

raksi

LIA

X I

nk

ub

asi

N

Sub

set

1

2

3

4

5

6

7

L3

H1

1

6

1.4

001

L2

H1

1

6

1.7

251

1.7

251

L3

H9

6

1

.74

72

1.7

472

L2

H9

6

1

.78

50

1.7

850

1

.78

50

L1

H3

6

1

.80

96

1.8

096

1

.80

96

L2

H5

6

1

.81

66

1.8

166

1

.81

66

L2

H7

6

1

.90

87

1.9

087

1

.90

87

1.9

087

L1

H7

6

2

.03

03

2

.03

03

2.0

303

2

.03

03

L1

H5

6

2

.20

28

2

.20

28

2.2

028

2

.20

28

L1

H1

6

2

.22

67

2

.22

67

2.2

267

2

.22

67

L1

H1

1

6

2.2

644

2

.26

44

2.2

644

2

.26

44

L3

H7

6

2

.32

60

2.3

260

2

.32

60

L3

H5

6

2

.38

30

2

.38

30

L3

H3

6

2

.46

60

L2

H1

6

2

.55

70

L2

H3

6

3

.10

62

L1

H9

6

3

.15

49

L3

H1

6

4

.29

34

Sig

. .0

66

.05

8

.05

5

.08

7

.05

9

.83

7

1.0

00

84