posisi dan masa depan pembangunan perkebunan...

21
23 POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN INDONESIA CURRENT POSITION AND OUTLOOK OF INDONESIA’S ESTATE CROP PLANTATION Prajogo U. Hadi, Supriyati, Amar K. Zakaria, Tjetjep Nurasa, Frans B.M. Dabukke dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Estate crop subsector shares significant contributions to the Indonesian economy; thus, it needs further development in the future. In this sense, the government always constructs annual development plans for each commodities. For 2007, there are three prioritized programs, namely: (a) Revitalization of three export commodities including oil palm, rubber and cocoa; (b) Acceleration of production and yield growth for import substitution commodity of sugar cane; and (c) Development of bio-energy source commodity of jatropha curcas. In this connection, the present paper aims to describe achievements of the past development of the four commodities by 2005-2006 and analyzing the future prospect of the commodities by 2007. The results show that, (a) the government policies are directed to promote growth of the commodities; (b) better development achievements indicated by increase in production of the four commodities, increase in the export of the three export commodities, decrease in the import and production deficit of the one import substitution commodity; and (c) by 2007, the four commodities would have better prospect due to increase in output price, and especially for oil palm, there will be new generated demand for biodiesel feedstuf. It is suggested therefore, that, first, promotion and protection policies to develop estate crop subsector need to be continued; second, the revitalizaiotn programs for oil palm, rubber and cocoa as well as the accerelation program for sugar cane by 2007 need to be facilitated with sufficient financial supports; and, third, the needs for development of farm diversification on estate crop lands. Key words : estate crops, past performance, future prospect ABSTRAK Subsektor Perkebunan mempunyai peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia, sehingga perlu terus dikembangkan di masa datang. Setiap tahun pemerintah membuat rencana pembangunan untuk masing-masing komoditas. Untuk tahun 2007, ada tiga program utama, yaitu (a) revitalisasi pembangunan tiga komoditas ekspor, yaitu kelapa sawit, karet, dan kakao; (b) akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas substitusi impor yaitu tebu/gula; dan (c) pengembangan komoditas sumber bio-energi yaitu jarak pagar. Berkaitan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja pembangunan keempat komoditas tersebut pada tahun 2005-2006 dan melakukan analisis prospek tahun 2007. Hasil-hasil analisis adalah: pertama, kebijakan pemerintah sudah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan subsektor perkebunan; kedua, kinerja pembangunan perkebunan makin baik, yang ditandai dengan meningkatnya produksi keempat komoditas, meningkatnya ekspor tiga komoditas ekspor, serta turunnya impor dan defisit produksi komoditas substitusi impor. Prospek keempat komoditas pada tahun 2007 akan lebih baik lagi karena terjadi peningkatan harga output, dan khususnya kelapa sawit ada permintaan untuk bahan baku biodisel. Disarankan agar (a) kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan subseksor perkebunan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan; (b) program revitalisasi kelapa sawit, karet, dan kakao serta program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu tahun 2007 perlu mendapatkan dukungan pendanaan yang memadai; dan (c) pengembangan diversifikasi usahatani pada lahan perkebunan. Kata kunci : komoditas perkebunan, kinerja, prospek PENDAHULUAN Subsektor Perkebunan mempunyai kon- tribusi sangat penting dalam perekonomian na- sional. Pertama, sebagai salah satu sumber pen- dapatan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004), pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor ini mencapai rata-rata

Upload: hoangkhuong

Post on 02-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

23

POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN INDONESIA CURRENT POSITION AND OUTLOOK OF INDONESIA’S ESTATE CROP PLANTATION

Prajogo U. Hadi, Supriyati, Amar K. Zakaria, Tjetjep Nurasa, Frans B.M. Dabukke dan Ening Ariningsih

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Estate crop subsector shares significant contributions to the Indonesian economy; thus, it needs further development in the future. In this sense, the government always constructs annual development plans for each commodities. For 2007, there are three prioritized programs, namely: (a) Revitalization of three export commodities including oil palm, rubber and cocoa; (b) Acceleration of production and yield growth for import substitution commodity of sugar cane; and (c) Development of bio-energy source commodity of jatropha curcas. In this connection, the present paper aims to describe achievements of the past development of the four commodities by 2005-2006 and analyzing the future prospect of the commodities by 2007. The results show that, (a) the government policies are directed to promote growth of the commodities; (b) better development achievements indicated by increase in production of the four commodities, increase in the export of the three export commodities, decrease in the import and production deficit of the one import substitution commodity; and (c) by 2007, the four commodities would have better prospect due to increase in output price, and especially for oil palm, there will be new generated demand for biodiesel feedstuf. It is suggested therefore, that, first, promotion and protection policies to develop estate crop subsector need to be continued; second, the revitalizaiotn programs for oil palm, rubber and cocoa as well as the accerelation program for sugar cane by 2007 need to be facilitated with sufficient financial supports; and, third, the needs for development of farm diversification on estate crop lands. Key words : estate crops, past performance, future prospect

ABSTRAK

Subsektor Perkebunan mempunyai peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia,

sehingga perlu terus dikembangkan di masa datang. Setiap tahun pemerintah membuat rencana pembangunan untuk masing-masing komoditas. Untuk tahun 2007, ada tiga program utama, yaitu (a) revitalisasi pembangunan tiga komoditas ekspor, yaitu kelapa sawit, karet, dan kakao; (b) akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas substitusi impor yaitu tebu/gula; dan (c) pengembangan komoditas sumber bio-energi yaitu jarak pagar. Berkaitan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja pembangunan keempat komoditas tersebut pada tahun 2005-2006 dan melakukan analisis prospek tahun 2007. Hasil-hasil analisis adalah: pertama, kebijakan pemerintah sudah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan subsektor perkebunan; kedua, kinerja pembangunan perkebunan makin baik, yang ditandai dengan meningkatnya produksi keempat komoditas, meningkatnya ekspor tiga komoditas ekspor, serta turunnya impor dan defisit produksi komoditas substitusi impor. Prospek keempat komoditas pada tahun 2007 akan lebih baik lagi karena terjadi peningkatan harga output, dan khususnya kelapa sawit ada permintaan untuk bahan baku biodisel. Disarankan agar (a) kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan subseksor perkebunan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan; (b) program revitalisasi kelapa sawit, karet, dan kakao serta program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu tahun 2007 perlu mendapatkan dukungan pendanaan yang memadai; dan (c) pengembangan diversifikasi usahatani pada lahan perkebunan. Kata kunci : komoditas perkebunan, kinerja, prospek

PENDAHULUAN

Subsektor Perkebunan mempunyai kon-tribusi sangat penting dalam perekonomian na-

sional. Pertama, sebagai salah satu sumber pen-dapatan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004), pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor ini mencapai rata-rata

Page 2: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

24

15,63% dari PDB sektor pertanian atau 2,46% dari PDB nasional1. Kedua, sebagai salah satu sumber devisa nonmigas, dimana sebagian be-sar komoditas perkebunan merupakan komoditas andalan ekspor. Ketiga, sebagai sumber penda-patan dan kesempatan kerja bagi jutaan pen-duduk pedesaan, baik pada kegiatan on-farm maupun off-farm. Keempat, memberikan kesem-patan investasi bagi pengusaha domestik dan asing di semua lini vertikal agribisnis komoditas perkebunan. Kelima, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lain melalui kaitan ke depan dan ke belakang. Keenam, agroindustri perkebunan merupakan pionir dalam proses industrialisasi pedesaan. Ketujuh, secara umum berdampak positif pada lingkungan hidup, dimana sebagian besar tanaman perkebunan adalah tanaman keras yang mempunyai sifat konservasi. Ke delapan, akhir-akhir ini beberapa komoditas perkebunan dijadikan sumber energi terbarukan, utamanya kelapa sawit dan jarak pagar untuk biodiesel sebagai pengganti solar dan tebu untuk bioethanol sebagai pengganti premium (Hadi et al., 2006). Oleh karena itu, Subsektor perkebunan perlu terus didorong un-tuk terus tumbuh dan berkembang di masa yang akan datang.

Dalam upaya membangun subsektor perkebunan, setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan tahun berjalan dan kemudian membuat rencana untuk tahun berikutnya. Dalam kaitan itu, pada T.A. 2006 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebi-jakan Pertanian mencoba mendeskripsikan kiner-ja pembangunan tahun 2005-2006 dan meng-analisis prospek tahun 2007 untuk empat komo-ditas yang termasuk ke dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Perkebunan Tahun 2007 dari Direktorat Jenderal Perkebunan, yaitu (a) tebu melalui program Akselerasi Peningkatan Pro-duksi dan Produktivitas; (b) kelapa sawit, karet, dan kakao melalui program Revitalisasi Perke-bunan; dan (c) jarak pagar melalui program Pe-ngembangan Bahan Baku Bio-Energi (Ditjenbun, 2006a). Aspek-aspek yang dianalisis adalah produksi (termasuk luas areal dan produktivitas), perdagangan dan konsumsi dengan mengguna-kan kombinasi metode ekonometrik (antara lain Nerlove, 1958), dan deskriptif. Hasil analisis di-harapkan akan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan/masukan bagi pemerintah dalam

1 Statistik Indonesia 2003 dan 2004 (BPS), diolah.

menyusun rencana pembangunan komoditas-ko-moditas terpilih tersebut.

TUJUAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

PERKEBUNAN 2005-2009

Tujuan dan Sasaran

Tujuan pembangunan perkebunan ada-lah (a) meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing perkebunan; (b) me-ningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan; (c) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan; (d) me-ningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan; (e) meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapa-ngan kerja; (f) memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku in-dustri dalam negeri; (g) mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan; dan (h) meng-optimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong pengemba-ngan wilayah (Ditjenbun, 2006c).

Sasaran pembangunan perkebunan an-tara lain adalah (a) meningkatnya produktivitas perkebunan hingga mencapai 75% dari potensi produksi di lapangan; (b) meningkatnya pene-rimaan devisa ekspor komoditas perkebunan menjadi sebesar US$ 9 milyar; (c) meningkatnya pendapatan petani yang mempunyai usaha pokok perkebunan hingga mencapai rata-rata US$ 2.000/KK (luas lahan 2 ha/KK), yang diikuti dengan peningkatan kualitas hidup petani dan masyarakat perkebunan; (d) meningkatnya ke-mampuan untuk menyerap tenaga kerja per-kebunan dengan penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 670 ribu orang; dan (e) pertumbuhan PDB perkebunan diproyeksikan sebesar 6,2%/th sebagai hasil upaya peningkatan produktivitas dan pengembangan baru (Ditjenbun, 2006c).

Kebijakan Umum dan Teknis

Kebijakan pembangunan perkebunan terdiri dari kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah memberdayakan agri-bisnis perkebunan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan dengan pemberian insentif, penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan peningkatan partisipasi masyarakat perke-

Page 3: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

25

bunan, serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kebijakan teknis merupakan penjabaran dari kebijakan umum, antara lain kebijakan pe-ngembangan komoditas, kebijakan investasi usa-ha perkebunan, serta kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha. Kebijakan pengembangan komoditas antara lain mencakup: (a) penerapan paket teknologi budidaya yang baik (good agricultural practices/GAP) melalui intensifikasi, rehabilitasi, ekstensifikasi, dan di-versifikasi; (b) mendorong pengembangan komo-ditas unggulan nasional dan lokal sesuai dengan peluang pasar, karakteristik, dan potensi wilayah dengan penerapan teknologi budidaya yang baik; (c) optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan, seperti lahan pekarangan, lahan pangan, lahan cadangan, dan lahan lainnya dengan pengemba-ngan cabang usahatani lain yang sesuai; (d) mendorong pengembangan aneka produk (pro-duct development) dan upaya peningkatan mutu untuk peningkatan nilai tambah; (e) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan perkebunan; dan (f) meningkat-kan upaya pengembangan sistem informasi me-ngenai teknologi, peluang pasar, manajemen, dan permodalan.

Kebijakan investasi usaha mencakup: (a) fasilitasi, advokasi, dan bimbingan dalam mem-peroleh kemudahan akses untuk pelaksanaan investasi usaha; (b) mengembangkan sistem informasi, yang mencakup kemampuan memper-oleh dan menyebarluaskan informasi yang leng-kap mengenai peluang usaha tanaman perke-bunan, untuk mendorong dan menumbuhkan minat petani dan masyarakat; (c) menciptakan iklim investasi yang kondusif, yang mencakup pengembangan sistem pelayanan prima serta jaminan kepastian dan keamanan berusaha; dan (d) mendorong penggalian sumber dana dari komoditas untuk pengembangan komoditas.

Kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha mencakup: (a) mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian ke-lembagaan petani untuk menjalin kerja sama usaha dengan mitra terkait, serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia; (b) mendorong terbentuknya kelemba-gaan komoditas yang tumbuh dari bawah; (c) mendorong penumbuhan kelembagaan keuang-an pedesaan; (d) mendorong lebih berfungsinya

lembaga penyuluhan; dan (e) mendorong kemit-raan saling menguntungkan dan saling memper-kuat antara petani, pengusaha, karyawan, dan masyarakat di sekitar perkebunan.

Disamping kebijakan yang menjadi tang-gung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan se-perti tersebut di atas, juga ada kebijakan lintas sektor yang berkaitan dengan pengembangan perkebunan. Kebijakan yang dimaksud antara lain adalah (a) penyediaan kredit untuk kegiatan bongkar ratoon tebu rakyat sejak tahun 2003 dalam upaya akselerasi produksi gula nasional (Ditjenbun, 2006b); (b) penyediaan kredit dengan subsidi bunga untuk revitaliasi perkebunan (kela-pa sawit, karet, dan kakao), sehingga petani hanya membayar bunga 10%/th sejak 2006 (sisa bunganya ditanggung pemerintah) (Ditjenbun, 2006a); (c) penetapan harga patokan gula di tingkat produsen yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun; (d) pengenaan tarif impor untuk gula mentah dan gula putih, serta pengendalian impor guna memberikan perlindungan bagi petani dan industri gula nasional (Hadi dan Nuryanti, 2005); (e) penurunan pajak ekspor untuk CPO (pada tahun misalnya, dari 3% menjadi 1,5%) guna meningkatkan kegairahan produksi dan ekspor (Dradjad, 2006b); dan (f) pengembangan sistem pasar lelang untuk me-ningkatkan harga, mutu dan efisiensi pasar pro-duk petani (Hadi et al., 2004).

Secara khusus dalam rangka pengemba-ngan tanaman untuk bahan baku bio-energi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pre-siden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Peman-faatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, Instruksi Predisen RI Nomor 10 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasio-nal Pengembangan Bahan Bakar Nabati, dan RPP 148 Tahun 2006 tentang Pemberian Insentif Pajak untuk Bidang Usaha Bahan Bakar Nabati. Disamping itu juga, ada dukungan lain, seperti subsidi bunga, pembangunan infrastruktur, pengembangan bibit, dan lain-lain yang akan dibiayai dari APBN. Ada juga Peraturan Menteri ESDM tentang Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai peraturan pendukung.

Dalam Inpres Nomor 1 tahun 2006, ada 13 Menteri serta semua gubernur dan bupati/ Walikota yang mendapat instruksi untuk melak-sanakan tugas sesuai dengan mandatnya ma-

Page 4: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

26

sing-masing. Dalam hal ini, Menteri Pertanian diberi tanggungjawab sebagaimana tertuang pada pasal 3, yaitu (a) mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya, (b) mela-kukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati, (c) memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati, dan (d) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca- panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati.

Kebijakan Spesifik Komoditas

Komoditas Kelapa Sawit

Peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup besar, terutama kare-na tersedianya sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi, dan tenaga ahli. Peluang itu perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, se-hingga posisi Indonesia yang semula menjadi negara produsen terbesar kedua setelah Malaysia meningkat menjadi produsen terbesar pertama (leading country) di masa yang akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ber-samaan dengan itu, upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani tetap dilakukan.

Berkaitan dengan itu, visi pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah “Pembangunan sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”. Untuk melaksanakan visi ini, strategi yang tepat adalah memberdayakan bagian hulu dan memperkuat bagian hilir, yang didukung oleh organisasi semacam Sawit Board.

Pendekatan pengembangan kelapa sawit yang ditempuh adalah mekanisme pasar, dimana alokasi sumberdaya diarahkan oleh mekanisme insentif/disinsentif. Pendekatan ini diperlukan ka-rena kelapa sawit merupakan komoditas per-dagangan dunia, dimana keberhasilan untuk menembus pasar dunia sangat tergantung pada daya saingnya terhadap komoditas sejenis yang berasal dari negara lain. Dalam kaitan ini, peran pemerintah lebih bersifat sebagai pendorong terjadinya integrasi kegiatan dari hulu sampai dengan hilir, serta mengembangkan sistem dan mekanisme untuk memperkecil risiko dan keti-dakpastian. Melalui integrasi ini juga diharapkan bahwa nilai tambah dari komoditas lebih banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kese-

jahteraan petani, karena selama 30 tahun ter-akhir harga produk primer cenderung menurun, harga produk-produk hilir cenderung meningkat.

Di masa datang, pengembangan agri-bisnis kelapa sawit akan lebih diarahkan ke Ka-wasan Timur Indonesia, khususnya di pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, serta daerah-daerah lain yang potensinya memungkinkan untuk pengembangan. Dari berbagai kajian teoritis dan empiris, pengembangan agribisnis kelapa sawit lebih efektif bila menggunakan pen-dekatan Kawasan Industri Masyarakat Perke-bunan (Kimbun) dengan melibatkan petani da-lam wadah koperasi/badan usaha yang secara bersama-sama dengan perusahaan mitra me-ngembangkan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan prinsip saling mengun-tungkan (win-win solution).

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkat-kan produktivitas tanaman dan mutu hasil kelapa sawit secara bertahap, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan ini ditem-puh dengan (a) mendorong pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar dengan peran serta swasta dan masyarakat; (b) pengembangan teknologi benih yang disesuai-kan dengan kondisi wilayah, budidaya, dan sosial ekonomi masyarakat, serta keamanan lingkung-an di wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit; (c) perlindungan plasma nutfah kelapa sawit; (d) peremajaan tanaman kelapa sawit secara bertahap yang didukung dengan perenca-naan komprehensif; (e) pengembangan kemitra-an kelapa sawit antara petani dan pengusaha; (f) mengupayakan dukungan sarana-prasarana pen-dukung untuk pengembangan kelapa sawit, antara lain permodalan, jalan/jembatan, tanki timbun dan pelabuhan yang memadai melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait; (g) pe-ningkatan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan melalui berbagai kegiatan pendi-dikan, pelatihan, dan pendampingan; (h) revisi SNI dan olein; (i) mendorong peningkatan mutu produksi antara lain melalui panen tepat waktu, pengolahan tandan buah segar (TBS) yang lebih efisien, dan perbaikan jaringan transportasi TBS.

Page 5: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

27

b. Kebijakan Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar ekspor kela-pa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tetapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui: (a) fasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) terpadu dengan refinery skala 5–10 ton TBS/jam, dan pendirian pabrik minyak goreng sawit (MGS) berskala kecil di lokasi produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; (b) pengembangan industri hilir di berbagai sentra produksi; (c) peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian, dan pengem-bangan serta pengembangan sumberdaya ma-nusia dengan negara lain penghasil CPO; (d) fasilitasi pengembangan biodiesel asal CPO; dan (e) pengembangan market research dan market inteligence untuk memperkuat daya saing.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyedia-kan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan mau-pun nonbank (antara lain memanfaatkan penyer-taan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain). Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan agribisnis kela-pa sawit yang efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmur-an petani secara berkelanjutan akan dapat di-wujudkan.

Komoditas Karet

Strategi pengembangan agribisnis karet yang dipilih adalah meningkatkan manfaat secara optimal agribisnis karet melalui perolehan nilai tambah dan peningkatan daya saing secara adil dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan aset-aset perkebunan yang sudah ada, maka strategi tersebut perlu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang inovatif, kreatif, proporsional, dan profe-sional sehingga efektif dalam implementasinya. Untuk menciptakan manfaat optimal dari pem-bangunan agribisnis karet, maka arah kebijakan pengembangan agribisnis komoditas ini adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk mening-katkan produktivitas tanaman dan mutu karet secara bertahap, baik perkebunan rakyat mau-pun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) peremajaan dan rehabi-litasi tanaman karet tua/rusak secara bertahap (5%/th), dengan menggunakan klon unggul ge-nerasi ke-4 penghasil lateks dan kayu dengan penerapan teknologi secara tepat, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun tanaman karet di Indonesia sudah dapat mencapai tingkat produk-tivitas optimal; (b) pengembangan industri benih karet berbasis teknologi dan pasar, dengan pe-ran serta swasta dan masyarakat, melalui model waralaba benih; (c) perbaikan mutu bahan olahan karet (bokar) melalui sistem reward and punishment; (d) optimasi pelaksanaan pengura-ngan produksi karet, dengan cara sadap ber-lebihan (over tapping), melalui koordinasi dengan pemerintah daerah sentra produksi karet; (e) diversifikasi usaha melalui optimasi pemanfaatan lahan secara optimal sampai tahun ke-3, di-lakukan dengan mengusahakan tanaman sela berupa tanaman semusim, dengan mengatur pola tanam dapat diusahakan ternak dan tanaman hijauan, dan pada batas kebun juga dapat diusahakan tanaman jati; (f) pelaksanaan peremajaan karet rakyat baik melalui proyek maupun swadaya, dilakukan secara berkelompok dalam satu hamparan, sehingga pengelolaan kayu karet menjadi lebih muda dan efisien, terutama dalam penjadwalan pembukaan lahan oleh perusahaan mitra yang akan membeli kayu; dan (g) pengembangan dan pemantapan kelem-bagaan petani, serta usaha melalui berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan.

b. Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar nilai tambah hasil karet dapat dinikmati oleh petani dan pro-dusen karet di dalam negeri. Seiring dengan pengembangan industri hilir berbahan baku ka-ret, diharapkan ekspor Indonesia yang selama ini sebesar 90% terdiri atas produk primer/setengah jadi, seperti SIR, sheet dan lateks, dapat ber-geser menjadi barang jadi. Diharapkan, ekspor karet Indonesia berupa barang jadi sudah men-capai 25% pada tahun 2010 dan menjadi 50%

Page 6: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

28

pada tahun 2020. Kebijakan ini ditempuh, antara lain melalui (a) pengembangan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah produk dengan melibatkan petani guna meningkatkan penda-patan mereka; (b) pengembangan industri pe-ngolahan hasil sampingan berupa kayu karet (industri furniture berupa papan partikel, meja, dll, yang divacum) di sentra produksi karet yang dikaitkan dengan peremajaan tanaman karet dan kayu tanaman jati; (c) pembatasan pemanfaatan kayu karet tua melalui pengenaan pajak, dana reboisasi dan SAKO, sehingga pengembangan usaha pengolahan kayu karet di berbagai sentra peremajaan karet rakyat merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan; (d) identi-fikasi potensi kayu karet tua di daerah-daerah sentra pengembangan karet dikaitkan dengan skala ekonomi industri pengolahan kayu karet yang akan dikembangkan, untuk mencegah terjadinya idle capacity dari industri yang ada; dan (e) agar program peremajaan karet rakyat dapat dilakukan secara berkesinambungan, ma-ka diperlukan dukungan pemerintah sebagai fasi-litator, seperti kemudahan perizinan untuk indus-tri kayu karet.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyedia-kan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan dan perema-jaan karet, baik yang berasal dari lembaga per-bankan maupun nonbank (antara lain meman-faatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain).

Komoditas Kakao

Mengacu kepada potensi yang ada, tantangan, peluang dan permasalahan yang ada, serta dikaitkan dengan perkembangan pena-waran dan permintaan dunia di masa yang akan datang, maka diperlukan upaya penanganan kakao Indonesia untuk meningkatkan kesejahte-raan petani. Di masa datang, pengembangan kakao secara global diarahkan untuk mewu-judkan agribisnis kakao yang efisien dan efektif, guna meningkatkan pendapatan petani kakao dan hasil kakao yang berdaya saing tinggi, mela-lui peningkatan produktivitas dan mutu hasil kakao secara terintegrasi dan berkelanjutan,

yang didukung dengan penguatan kelembagaan usaha dan pemberdayaan petani. Kebijakan pe-ngembangan agribisnis kakao adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan

Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkat-kan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao secara bertahap, baik perkebunan rakyat mau-pun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) optimasi kegiatan pene-litian, khususnya untuk memperoleh klon kakao yang tahan hama penggerek buah kakao (PBK), baik melalui eksplorasi tanaman kakao yang diduga tahan terhadap hama PBK maupun me-lalui rekayasa genetik; (b) gerakan pengendalian hama PBK secara serius yang didukung dengan dana dan sarana yang memadai; (c) peremajaan dan klonalisasi tanaman kakao, terutama dengan menggunakan benih unggul; (d) perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun dan fermentasi; (e) penerapan secara ketat persyaratan mutu biji kakao untuk ekspor dan revisi SNI; dan (f) peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan kelembagaan usaha.

b. Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (kacang), tetapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dapat dinikmati di dalam negeri. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) pengembangan industri hilir kakao, khusus-nya pengolahan bubuk (cocoa powder) dan mentega kakao (cocoa butter), yang dapat dilakukan melalui kemitraan dengan 4 perusa-haan besar yaitu Nestle, Mars, Hershe dan Cadbury; dan (b) mengembangkan kemitraan antara petani kakao dengan industri pengolahan di dalam negeri dan perusahaan luar negeri yang menguasai pasar kakao dunia.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyedia-kan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kakao, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun nonbank (antara lain memanfaatkan penyertaan

Page 7: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

29

dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Ko-lektif, Resi Gudang dan lain-lain).

Komoditas Jarak Pagar

Jarak pagar merupakan salah satu sum-ber bahan baku biodiesel, namun peran tersebut belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan yang diawali pada tahun 2005 baru terbatas pada inventarisasi dan seleksi pohon-pohon induk yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, pembangunan kebun bibit, berbagai percobaan dibidang budidaya ta-naman, serta penelitian mengenai teknik pasca-panen dan pengolahan minyak jarak kasar men-jadi biodiesel.

Sasaran nasional yang ditetapkan peme-rintah untuk tahun 2007 adalah penanaman se-luas 341.000 ha dengan produksi 341.000 ton biji kering. Pemerintah melalui APBN akan memberi kontribusi berupa pembangunan kebun bibit selus 50 ha, penanaman 5.000 ha, dan dukung-an pembiayaan sebesar Rp 21,2 milyar.

KINERJA PEMBANGUNAN TAHUN 2005-2006

Luas Areal, Produktivitas dan Produksi

Perkembangan Penyebaran Areal Menurut Wilayah

Perkembangan areal perkebunan empat komoditas terpilih yaitu kelapa sawit, karet, kakao dan tebu menurut wilayah selama 2003-2005 diperlihatkan pada Tabel 1. Untuk kelapa sawit, secara absolut pengembangan areal terbesar tetap di Sumatera (meningkat sekitar 200 ribu ha), tetapi secara relatif tercepat terjadi di Kalimantan (meningkat 10,62%). Sentra produksi utama tetap di Sumatera, namun Kalimantan sebagai sentra produksi kedua menjadi makin penting.

Untuk karet, secara absolut pengemba-ngan areal terbesar tetap di Sumatera (mening-kat sekitar 132 ribu ha), tetapi secara relatif tercepat terjadi di Kalimantan (meningkat 8,39%). Sentra produksi utama tetap di Sumatera, namun Kalimantan sebagai sentra produksi kedua men-jadi makin penting. Untuk kakao, secara absolut pengembangan areal terbesar juga berada di Sumatera (meningkat sekitar 7 ribu ha), namun secara relatif tercepat terjadi di Bali dan Nusa Tenggara (meningkat 11,04%). Sulawesi tetap mendominasi areal, namun hanya mengalami

perkembangan secara marjinal. Ini menunjukkan adanya pergeseran wilayah pengembangan ka-kao dari Sulawesi ke wilayah-wilayah lain (ter-utama Sumatera). Untuk tebu/gula, pengemba-ngan areal secara absolut dan relatif masih tetap berada di Jawa dan berjalan cepat (sekitar 32 ribu ha atau 15,32%), sehingga secara konsisten wilayah ini makin mendominasi areal komoditas tersebut.

Perkembangan Luas Areal

Luas areal perkebunan empat komoditas terpilih, yaitu kelapa sawit, karet, kakao, dan tebu) pada tahun 2006, dan perkembangannya dibanding tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 2. Pada tahun 2006, luas areal meningkat lambat (kakao) sampai cukup cepat (tebu), sedangkan untuk karet menurun walaupun sangat lambat jika dibanding pada tahun 2005. Peningkatan luas areal yang cepat pada tebu bersumber terutama dari peningkatan luas areal pada PR yaitu 8,61%, sedangkan untuk PBN dan PBS masing-masing hanya 3,57% dan 4,55%/th. Peningkatan luas areal ini merupakan respon positif dari petani produsen tebu terhadap pe-ningkatan harga gula yang cukup signifikan, yaitu hampir 10% per tahun. Harga yang meningkat cepat ini merupakan dampak positif dari kebi-jakan perlindungan industri gula dalam negeri, berupa pengenaan tarif dan pengendalian impor secara lebih ketat serta penetapan harga pato-kan pembelian gula yang cukup tinggi.

Untuk kelapa sawit, peningkatan luas areal yang cukup cepat tersebut bersumber terutama dari peningkatan luas areal PBS yaitu 4,36%, sedangkan untuk PR dan PBN masing-masing hanya 2,02% dan 2,75%/th. Peningkatan luas areal ini merupakan respon positif dari produsen kelapa sawit terhadap peningkatan harga minyak sawit di pasar dunia yang cepat yaitu 12,07%/th. Peningkatan harga ini disebab-kan terutama oleh adanya permintaan tambahan terhadap minyak sawit di pasar dunia sebagai bahan baku biodiesel, disamping permintaan konvensional yang sudah ada sebagai bahan baku minyak goreng, dan lain-lain.

Perkembangan luas areal kakao nasional yang lambat terutama bersumber dari perkem-bangan luas areal PR, PBN, dan PBS yang se-muanya lambat yaitu 1,23%, 0,06%, dan 1,41%/ th, padahal harga kakao dunia meningkat cepat yaitu 8,42%/th. Ini menunjukkan bahwa respon

Page 8: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

30

Tabel 1. Perkembangan Luas dan Pangsa Areal Perkebunan Kelapa Sawit, Kakao, Karet, dan Tebu Menurut Wilayah 2003-2005

2003 2005 Perubahan

Komoditas & wilayah Ha % Ha % Ha %

Kelapa Sawit 1. Sumatera 4.079.618 77,21 4.280.094 76,47 200.476 4,91 2. Jawa 25.442 0,48 26.046 0,47 604 2,37 3. Kalimantan 1.001.931 18,96 1.108.288 19,80 106.357 10,62 4. Sulawesi 126.753 2,40 129.356 2,31 2.603 2,05 5. Papua 49.812 0,94 53.375 0,95 3.563 7,15 Indonesia 5.283.557 100,00 5.597.158 100,00 313.601 5,94 Kakao: 1. Sumatera 98.385 15,00 105.500 15,84 7.115 7,23 2. Jawa 37.036 5,65 36.306 5,45 -730 -1,97 3. Balinus** 24.405 3,72 27.100 4,07 2.695 11,04 4. Kalimantan 28.185 4,30 30.563 4,59 2.378 8,44 5. Sulawesi 411.842 62,77 412.089 61,88 247 0,06 6. Mamalutpa* 56.211 8,57 54.373 8,16 -1.838 -3,27 Indonesia 656.064 100,00 665.931 100,00 9.867 1,50 Karet: 1. Sumatera 1.706.607 72,81 1.838.297 72,80 131.690 7,72 2. Jawa 91.797 3,92 95.269 3,77 3.472 3,78 3. Balinus** 99 0,00 99 0,00 0 0,00 4. Kalimantan 526.115 22,45 570.242 22,58 44.127 8,39 5. Sulawesi 15.066 0,64 15.609 0,62 543 3,60 6. Mamalutpa* 5.323 0,23 5.678 0,22 355 6,67 Indonesia 2.344.007 100,00 2.525.194 100,00 181.187 7,73 Tebu/Gula: 1. Sumatera 110.134 32,80 124.504 32,59 14.370 13,05 2. Jawa 208.566 62,12 240.519 62,95 31.953 15,32 3. Sulawesi 17.025 5,07 17.060 4,46 35 0,21 Indonesia 335.725 100,00 382.083 100,00 46.358 13,81

Sumber: Diolah dari Statistik Perkebunan 2003-2005 (Ditjen Perkebunan) untuk kelapa sawit, kakao, karet dan tebu. Keterangan: * Maluku, Maluku Utara dan Papua; ** Bali, NTB, NTT. Tabel 2. Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Kelapa Sawit, Karet, Kakao, dan Tebu Tahun 2006a)

Luas Areal Produktivitas Produksi Komoditas

ha % b) kg/ha % b) ton % b)

Kelapa sawit 5.785.505 3,37 4.030 1,86 15.795.581 5,52

Karet 3.278.277 -0,03 893 5,96 2.254.781 5,94

Kakao 1.004.470 1,21 999 1,97 675.014 3,47

Tebu 406.852 6,48 6.315 7,61 2.569.268 14,58 Keterangan: a) Data 2006 adalah hasil proyeksi

b) Persentase perubahan dibanding tahun 2005.

Page 9: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

31

produsen kakao terhadap harga kakao memang rendah dan lambat. Faktor penyebabnya ke-mungkinan besar adalah tingginya biaya inves-tasi kebun kakao, dan adanya serangan hama PBK yang dapat menimbulkan risiko gagal panen tinggi.

Berbeda dari tiga komoditas terdahulu, luas areal karet nasional menurun walaupun lambat. Penurunan ini bersumber dari penurunan luas areal PBN dan PBS, masing-masing 0,84% dan 0,22%, sedangkan untuk PR meningkat 0,05%/th, padahal harga karet meningkat hampir 16%/th, lebih cepat dibanding peningkatan harga minyak sawit. Ini menunjukkan bahwa respon produsen karet terhadap harga karet memang sangat rendah. Untuk PR, harga minyak sawit mempunyai dampak negatif terhadap luas areal karet, yang berarti petani karet mengkonversi sebagian areal karetnya menjadi kebun kelapa sawit. Hal yang sama mungkin terjadi juga pada PBN dan PBS. Peningkatan harga karet yang sangat cepat tersebut berkaitan erat dengan melonjaknya harga BBM fosil di pasar dunia (dari US$20 menjadi US$70/barrel), yang menyebab-kan harga bahan baku karet sintetis sebagai substitusi karet alam meningkat tajam, serta me-ningkatnya permintaan karet alam yang sangat cepat oleh Cina (China phenomena) dan nega-ra-negara industri lainnya yang sudah pulih dari resesi ekonomi, seperti Taiwan dan Korea Selatan.

Perkembangan Produktivitas Tanaman

Produktivitas (yield) kelapa sawit, karet, kakao dan tebu pada tahun 2006, dan tingkat perubahannya dibanding tahun 2005 diperlihat-kan pada Tabel 2 di muka. Produktivitas kelapa sawit dan kakao meningkat tetapi lambat, se-dangkan untuk karet cukup cepat. Lambatnya perkembangan produktivitas kelapa sawit, ter-utama disebabkan oleh belum diterapkannya kultur teknis secara baik pada kebun PR, teruta-ma penggunaan pupuk yang sangat rendah, disamping masih terbatasnya klon unggul. Ren-dahnya penggunaan pupuk disebabkan oleh ku-rangnya pengetahuan petani mengenai keguna-an pupuk, tidak tersedianya pupuk secara tepat lokasi, tepat waktu dan tepat harga, serta rendahnya kemampuan petani membeli pupuk. Produktivitas tertinggi terjadi pada PBN yaitu 4.508 kg, sedangkan yang terendah adalah PR yaitu 3.487 kg, dan PBS adalah 4.271 kg/ha/th.

Untuk PR, kebun plasma PIR yang ditanam ta-hun 1979/1980 yang kini berumur lebih dari 25 tahun sudah tidak berproduksi lagi, dan petani tidak mempunyai dana untuk melakukan perema-jaan.

Untuk karet, produktivitas tertinggi terjadi pada PBS yaitu 1.234 kg, sedangkan yang terendah adalah PR yaitu 869 kg, dan PBN adalah 1.014 kg/ha/th. Walaupun terjadi pening-katan cukup cepat, tingkat produktivitas itu sen-diri masih rendah, terutama PR, dimana sebagi-an besar kebun PR menggunakan benih asalan, kultur teknis yang buruk, dan cara penyadapan yang tidak sesuai dengan anjuran.

Untuk kakao, produktivitas tertinggi jus-tru terjadi pada PR yaitu 1.007 kg, sedangkan yang terendah adalah PBN yaitu 869 kg, dan PBS adalah 930 kg/ha/th. Masalah utama yang dihadapi adalah serangan hama penggerek buah kakao (PBK) yang belum dapat diatasi sepe-nuhnya, yang diperberat lagi oleh serangan penyakit busuk buah kakao dan Virus Strip Dieback (VSD). Disamping itu, peremajaan ke-bun kakao sangat lambat sehingga sebagian be-sar tanaman kakao sudah berumur tua.

Tebu mengalami kemajuan sangat pesat dalam produktivitas, yaitu meningkat 7,61% di-banding tahun 2005 sehingga menjadi 6.315 kg kristal/ha. Produktivitas tertinggi terjadi pada PBS yaitu 7.524 kg hablur, sedangkan PBN yang paling rendah yaitu 5.314 kg, dan bahkan PR lebih tinggi dibanding PBN yaitu 6.326 kg/ha/th. Cukup tingginya produktivitas PR terutama di-sebabkan oleh adanya program pemerintah bongkar ratoon sejak tahun 2003, dalam rangka akselerasi peningkatan produksi dan produkti-vitas guna mencapai swasembada gula pada tahun 2009 untuk konsumsi langsung. Dalam program ini, petani mendapat bantuan modal dengan bunga tersubsidi, yaitu 10%/th dan menggunakan klon tebu unggul yang disertai dengan kultur teknis lebih baik. Disamping itu, sebagian pabrik gula juga direhabilitasi sehingga rendemen gula meningkat.

Perkembangan Produksi

Produksi kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu pada tahun 2006 serta perubahannya di-banding pada tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 2 di muka. Keempat komoditas tersebut mengalami peningkatan produksi dengan pening-

Page 10: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

32

katan tertinggi pada tebu, kemudian disusul oleh karet, kelapa sawit dan yang terkecil adalah kakao. Produsen utama kelapa sawit adalah PBS yaitu 8,29 juta ton minyak sawit, disusul oleh PR 4,83 juta ton dan PBN 2,68 juta ton. Untuk karet, produsen utama adalah PR yaitu 1,99 juta ton, diikuti PBS 219,8 ribu ton, dan PBN 184,4 ribu ton. Untuk kakao, produsen utama adalah PR yaitu 605,1 ribu ton, diikuti oleh PBS 37,1 ribu ton dan PBN 33,6 ribu ton. Produsen tebu utama adalah PR yaitu sebesar 1,39 juta ton kristal, kemudian diikuti PBS 0,66 juta ton, dan PBN 0,51 juta ton.

Tanaman Jarak Pagar

Tanaman jarak pagar sudah mulai di-usahakan oleh berbagai pihak, terutama pengu-saha perseorangan dan perusahaan besar, se-dangkan petani sempit belum ada yang mena-nam. Tujuan perusahaan besar memproduksi jarak pagar adalah untuk diolah sendiri menjadi minyak bakar atau biodiesel untuk mencukupi kebutuhan pabriknya sendiri. Tujuan perusahaan perseorangan dalam jangka pendek adalah men-jual bibit, baik dalam bentuk biji maupun stek, yang harganya cukup menguntungkan karena permintaan yang sangat tinggi dan terus mening-kat, sedangkan pasokan masih sangat terbatas. Petani kecil belum ada yang menanam karena lahannya yang sangat terbatas, belum mengenal teknik budidaya dan pemerasan minyak, serta harga biji yang masih sangat rendah sehingga belum menguntungkan. Tim analisis ini belum berhasil mendapatkan data tentang luas areal tanam jarak pagar secara keseluruhan sehingga belum dapat dilihat perkembangannya.

Ekspor dan Impor

Volume dan nilai ekspor minyak sawit, kakao dan karet, serta impor gula pada tahun 2006, dan perkembangannya dibanding pada tahun 2005, diperlihatkan pada Tabel 3. Volume dan nilai ekspor minyak sawit pada tahun 2006, masing-masing meningkat cukup cepat dan sa-ngat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor yang cukup cepat tersebut disebabkan oleh peningkatan harga ekspor dan produksi yang cepat, sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat bersumber dari

efek ganda dari perpaduan peningkatan volume dan harga ekspor yang cepat. Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit, Kakao,

dan Karet dan Impor Gula Tahun 2006a)

Volume Nilai Komoditas

Ton %b) US$'000 %b)

Ekspor:

Minyak sawit 10.851.009 6,51 5.495.078 18,03

Kakao 389.735 3,07 750.066 17,15

Karet 2.065.754 4,98 3.283.695 22,73

Impor:

Gula 376.581 -42,01 102.555 -37,53 Keterangan: a) Data 2006 adalah hasil proyeksi

b) Persentase perubahan dibanding tahun 2005

Untuk karet, volume dan nilai ekspornya pada tahun 2006 masing-masing meningkat cu-kup cepat dan sangat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor tersebut disebabkan oleh perkembangan harga ekspor yang cepat, walaupun perkembangan produksi-nya tidak begitu cepat (lihat uraian di muka). Sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat (paling cepat di antara tiga komo-ditas yang dianalisis) bersumber dari pening-katan volume ekspor, dan terutama peningkatan harga ekspor yang sangat cepat.

Untuk kakao, volume dan nilai ekspornya pada tahun 2006 masing-masing meningkat lambat dan sangat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor tersebut disebab-kan oleh peningkatan harga ekspor yang cepat, walaupun perkembangan produksinya tidak begitu cepat. Sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat bersumber dari pe-ningkatan volume ekspor, dan terutama pening-katan harga ekspor yang sangat cepat.

Berbeda dari tiga komoditas sebelumnya yang merupakan komoditas ekspor, gula meru-pakan komoditas impor bagi Indonesia. Volume dan nilai impor gula tahun 2006 dibanding tahun 2005 masing-masing menurun sangat cepat, dengan penurunan nilai impor lebih lambat dibanding volumenya. Penurunan volume impor yang cepat ini disebabkan oleh meningkatnya produksi gula nasional yang cepat (14,68%/th) dan meningkatnya harga impor (7,72%/th). Penu-runan nilai impor yang cepat disebabkan oleh

Page 11: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

33

menurunnya volume impor yang lebih cepat di-banding peningkatan harga impor.

Konsumsi

Analisis konsumsi hanya dilakukan untuk komoditas yang defisit neraca perdagangannya sangat besar, yaitu gula (kelapa sawit, karet, dan kakao neraca perdagangannya surplus sangat besar). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 konsumsi gula meningkat lambat dibanding tahun 2005, sedangkan produksi meningkat sangat cepat. Perkembangan konsumsi tersebut bersumber dari laju kenaikan jumlah penduduk 1,25%/th dan kenaikan penggunaan gula untuk industri 5%/th. Hal ini menyebabkan defisit pro-duksi gula pada tahun 2006 sebesar 424.678 ton yang sudah mengalami penurunan sangat signifi-kan, yaitu 39,24% dibanding tahun 2005.

Tabel 4. Produksi, Konsumsi, dan Defisit Gula Tahun 2006

Uraian Volume (ton) Perubahan (%)*)

Produksi 2,569,268 14.58 Konsumsi 2,993,946 1.79 Defisit -424,678 -39.24

Keterangan: *) Persentase perubahan dibanding tahun 2005.

PROBLEM DAN PROSPEK TAHUN 2007

Problem

Pada tahun 2007, masih akan ada cukup banyak problem fundamental yang perlu dipecah-kan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu, apalagi jarak pagar yang belum siap untuk dikembangkan dan masih merupakan tanaman baru. Problem yang umum dihadapi di tingkat usahatani (on farm) pada per-kebunan rakyat antara lain adalah produktivitas yang masih rendah (walaupun sudah meningkat). Faktor penyebabnya, antara lain adalah (a) ke-tersediaan bibit unggul masih terbatas, sehingga banyak petani yang menggunakan benih asalan; (b) ketersediaan pupuk masih terbatas dan mahal, sedangkan kemampuan petani membeli pupuk masih rendah; (c) adanya serangan orga-nisme pengganggu tanaman (OPT), dan khusus-nya hama PBK dan akhir-akhir ini penyakit busuk buah kao (virus VSD) pada kakao sangat menu-

runkan produktivitas; (d) kurang diterapkannya teknologi budidaya secara baik (good agricultural practices); (e) terbatasnya insfrastruktur seperti jalan desa dan jalan kebun; (f) banyak tanaman tua tetapi dukungan dana untuk peremajaan dan perluasan sangat kurang; (g) kelembagaan peta-ni masih lemah; (h) kurangnya dukungan riset; (i) rendahnya mutu hasil, khususnya kakao rakyat yang tidak difermentasi dan karet rakyat yang masih dalam bentuk ojol; (j) khusus untuk tebu ketersediaan air untuk lahan sawah terbatas, proporsi yang tidak seimbang antara tanaman baru atau Plant Crop (PC) dan tanaman ratoon atau Ratoon Crop (RC) dengan frekuensi kepras lebih dari 4 kali, padahal idealnya hanya 3 kali (Hadi et al., 2004); dan (k) khusus untuk jarak pagar, belum tersedia data dan informasi pendukung, dan teknologi belum siap pakai (benih, budidaya, pengolahan hasil).

Pada tingkat off-farm, problem utamanya antara lain adalah sebagai berikut. Masalah pertama adalah belum berkembangnya industri hilir sehingga produk yang dihasilkan masih da-lam bentuk primer dengan nilai tambah rendah. Untuk kelapa sawit, produk yang diekspor masih dalam bentuk CPO dan PKO. Disamping itu, berkembangnya PKS yang tidak mempunyai kebun kelapa sawit menyebabkan efisiensi PKS mitra dalam sistem PIR terganggu, karena keku-rangan bahan baku sebagai akibat petani plas-manya menjual hasilnya kepada PKS lain, de-ngan tujuan utama untuk menghindari pemoto-ngan kredit usahatani.

Untuk karet, produk yang diekspor seba-gian besar masih dalam bentuk karet remah (crumb rubber) dari SIR20 yang harganya murah. Untuk merubah ini tampaknya sulit karena akan merubah peralatan pabrik yang nilai investasinya sangat mahal. Hanya PBN dan PBS yang dapat membuat produk dengan nilai lebih tinggi, yaitu RSS.

Untuk kakao, hasil petani masih dalam bentuk biji yang tidak difermentasi karena tidak adanya insentif harga yang memadai dari pihak pembeli (pedagang atau eksportir). Di AS, biji kakao asal Indonesia dikenakan diskon harga sekitar US$90-150/ton (atau Rp 825-1.350/kg dengan nilai tukar Rp 9.200/US$) karena tidak difermentasi, padahal jika difermentasi bisa mendapat premi harga sekitar US$200-285/ton (atau Rp 920-2.625/kg). Untuk fermentasi, petani (kasus di Sulawesi Tenggara) sebenarnya hanya

Page 12: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

34

minta tambahan harga Rp 1.000/kg (Hadi et al., 2004). Dengan harga premi tersebut, eksportir sebenarnya lebih untung membeli dan menjual kakao biji hasil fermentasi. Seharusnya eksportir dapat memenuhi tuntutan petani. Namun negara konsumen kakao Indonesia saat ini memang sangat diuntungkan dengan harga murah, di-mana kakao Indonesia hanya sebagai bahan pencampur (blending), dengan kakao kualitas baik dari negara lain, untuk mendapatkan standar mutu yang sesuai untuk kebutuhan pabrik pengo-lah di negara-negara konsumen tersebut.

Untuk gula, pabrik gula yang ada banyak yang sudah tua, sehingga perlu direhabilitasi agar lebih tinggi rendemen gulanya, dan lebih efisien biaya penggilingannya. Perlu juga pendi-rian pabrik baru dengan teknologi yang lebih maju dan lebih efisien. Namun untuk itu perlu dukungan dana karena pembangunan pabrik ba-ru memerlukan dana sangat besar yaitu sekitar Rp 1 trilyun/ unit pabrik.

Masalah kedua adalah pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% terhadap hasil petani yang dijual ke pabrik pengolahan. Untuk kakao, kebijakan ini menyebabkan terham-batnya perkembangan industri pengolahan kakao (Hadi et al., 2004). Banyak pabrik pengolahan kakao di Indonesia yang berhenti beroperasi (50%), dan yang masih hidup hanya beroperasi 40-60%, dari kapasitas terpasangnya sebagai akibat kekurangan bahan baku karena harganya terlalu mahal (Puslit Koka Indonesia, 2006). Sebagian pabrik direlokasi ke Malaysia, padahal produksi kakao negara ini merosot tajam karena serangan PBK. Faktor penyebab terjadinya relo-kasi pabrik tersebut tidak lain adalah lebih mu-rahnya harga kakao biji asal Indonesia di negara itu karena kakao biji yang diekspor Indonesia tidak dikenakan PPN. Jika PPN dihapus, maka seluruh pabrik pengolahan akan bekerja pada kapasitas penuh dan penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) sebenarnya akan lebih besar daripada dari PPN (Dradjad, 2006a).

Pengenaan PPN pada sektor pertanian dan agroindustri, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini, memang merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah. Namun, penerimaan PPN dari produk agroindustri sebenarnya mem-bebani cash flow industri, bersifat diskriminatif, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta men-ciptakan iklim usaha yang tidak kompetitif dan

tidak kondusif2. Sebagai contoh, industri pengo-lah biji kakao pada tahun 2003 terbebani cash flow dalam bentuk cost of money sebesar 100.000 ton x Rp 15 juta x 3/12 x 20% x 4 = Rp 300 milyar. Pengenaan PPN sebesar 10% ter-bukti memperburuk kinerja dan daya saing lima produk perkebunan Indonesia, yaitu minyak sa-wit, karet, kakao, kopi, dan teh. Dampak penge-naan PPN sebesar 10% pada lima produk perkebunan tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

1) Hasil simulasi historis 2001-2004 (PPN 10% versus 0%) menunjukkan bahwa subsektor perkebunan Indonesia kehilangan nilai pro-duksi dan devisa, masing-masing sebesar Rp 5,1 milyar dan US$ 10,245 juta. Kehilang-an nilai tambah sebesar Rp 1.242.540 juta/ th, sedangkan penerimaan negara dari PPN hanya Rp 543.119 juta/th. Dengan kata lain, kehilangan nilai tambah tersebut sebesar 2,29 kali lipat penerimaan dari PPN. Di-samping itu juga terjadi penurunan daya saing absolut kelima produk perkebunan tersebut di pasar dunia, dengan rata-rata per tahun sebesar 5,06% untuk kakao, 0,76% untuk kopi, 0,22% untuk minyak sawit, 0,28% untuk karet, dan 1,26% untuk teh. Hal yang sama terjadi penurunan daya saing relatif Indonesia terhadap negara-negara pesaing ekspor, yaitu Pantai Gading untuk kakao, Brazil untuk kopi, Malaysia untuk minyak sawit, Malaysia dan Thailand untuk karet, dan India untuk teh.

2) Hasil simulasi peramalan tahun 2005-2008 menunjukkan bahwa penurunan pengenaan PPN dari 10% menjadi 0% akan berdampak sebagai berikut:

a. Mencegah kehilangan nilai produksi dan devisa masing-masing sekitar Rp 6.426 juta/th dan US$ 11,241 juta/th. Kehi-langan nilai tambah yang dapat diper-oleh dari pengenaan PPN 0% adalah Rp 1,432 trilyun/th, yang jauh lebih besar dibanding penerimaan dari PPN yang hanya sebesar Rp 655,1 milyar/th atau 2,19 berbanding 1. Disamping itu, terjadi kenaikan daya saing absolut rata-rata per tahun, yaitu 4,56% untuk kakao, 0,79% untuk kopi, 0,20% untuk minyak sawit, 0,31% untuk karet, dan 1,42%

2 CRPI (2006). Makalah Bahasan dalam lokakarya ini.

Page 13: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

35

untuk teh. Kenaikan daya saing absolut tersebut juga diikuti dengan kenaikan daya saing relatif terhadap negara-negara pesaing ekspor, yang ditunjuk-kan adanya penurunan daya saing negara-negara pesaing ekspor, yaitu Pantai Gading untuk kakao, Brazil untuk kopi, Malaysia untuk minyak sawit, Malaysia dan Thailand untuk karet, dan India untuk teh.

b. Secara politis, pengenaan PPN tidak mendapat dukungan luas di kalangan petani dan pelaku bisnis pertanian yang tergabung dalam berbagai asosiasi pro-dusen dan pengekspor. Berbagai perma-salahan di atas sudah sering disampai-kan oleh para pengekspor produk per-kebunan dan instansi pemerintah, yang berada dalam lingkup Departemen Per-industrian dan Perdagangan, dan Depar-temen Pertanian. Berbagai asosiasi pro-dusen produk perkebunan juga telah beberapa kali mengajukan keberatan atas pengenaan PPN pada produk agro-industri.

c. Secara ekonomi, pengenaan PPN me-nimbulkan beban pajak bagi jutaan petani dan ribuan UKM yang tidak dike-tahui jumlahnya. Untuk produk agro-industri yang sebagian besar diekspor, termasuk produk primer perkebunan, pengenaan PPN menimbulkan inefisien-si. Pembayaran ke depan dan kesulitan restitusi menimbulkan beban biaya bagi pengekspor. Keadaan ini mengakibatkan PPN sama dengan pajak ekspor. Penge-naan PPN juga tidak netral terhadap perdagangan domestik dan internasional. Jumlah beban pajak yang ditanggung konsumen dan yang terkandung dalam harga produk agroindustri yang diekspor tidak dapat dihitung secara pasti.

Masalah ketiga adalah bahwa negara-negara maju pengimpor mengenakan kebijakan eskalasi tarif, yaitu menaikkan tingkat tarif secara progresif dengan makin tingginya tingkat trans-formasi produk. Tujuannya adalah untuk melin-dungi industri pengolahan dalam negeri. Kebija-kan ini juga menghambat perkembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) di Indonesia, terutama pada kakao.

Khusus untuk kelapa sawit, CPO Indone-sia di pasar dunia terkena kampanye negatif dari negara pesaing karena mutunya di bawah standar internasional (Darmosarkoro, 2006). Da-lam hal ini, CPO Indonesia hanya mempunyai kandungan beta karoten 450 ppm dan DOBI 2,6, sedangkan angka standar nasional masing-masing adalah 500 ppm dan 2,8. Kekurangan ini menyebabkan daya saing CPO Indonesia lebih rendah dibanding negara pesaing (Malaysia, dll). Dampak negatifnya adalah ekspor CPO Indone-sia terkena diskon harga 10% sehingga negara menderita kerugian sebesar Rp 6,3 triliun (me-nurut harian Medan Bisnis 19 Februari 2007, ekspor tahun 2007 sebesar 11,7 juta ton dengan harga Rp 5.412/kg).

Upaya Pemerintah

Upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah on-farm tersebut untuk tahun 2007 adalah investasi/pembinaan dan regulasi untuk masing-masing komoditas, yang terbagi menjadi tiga program, yaitu (a) revita-lisasi perkebunan untuk kelapa sawit, karet, dan kakao; (b) akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu; dan (c) pengembangan jarak pagar (Ditjenbun, 2006a).

Revitalisasi Perkebunan

Untuk kelapa sawit, upaya pemerintah adalah pembinaan/investasi dan regulasi. Pem-binaan/investasi mencakup penerapan teknik budidaya yang baik, perluasan areal dan pere-majaan tanaman tua/tidak produktif, penguatan kelembagaan petani, perbaikan/pembangunan infrastruktur dan pemberian subsidi bunga untuk kredit investasi sebesar 10%/th kepada petani. Sedangkan regulasi berupa peraturan yang kondusif untuk mendukung iklim investasi, dan pembentukan Dewan Sawit Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah perusahaan pengelola PKS untuk mengintegrasikan pendirian PKS dengan pengembangan kelapa sawit rakyat, pembelian TBS petani dengan harga wajar, integrasi kebun dengan ternak, dan diversifikasi produk hilir. Adapun pihak perbankan menyedia-kan kredit untuk investasi. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah perluasan areal 350.000 ha dan peremajaan tanaman tua 1.700 ha (tetapi tidak jelas mana yang untuk PR, PBN dan PBS), dan tersedianya kredit perbankan sebesar Rp 3,7

Page 14: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

36

triliun. Kontribusi APBN untuk itu adalah pem-berian subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 190,3 milyar, pembinaan/pendampingan Rp 40,8 milyar, pembangunan infrastruktur berupa ser-tifikasi lahan sebanyak 87.500 persil, pemba-ngunan jalan kebun sepanjang 19.250 km. Untuk mendorong produksi dan ekspor, pajak ekspor (PE) untuk CPO diturunkan dari 3% menjadi 1,5%.

Untuk karet, upaya pemerintah adalah pembinaan/invetasi dan regulasi. Pembinaan/ investasi terdiri dari penerapan teknik budidaya yan baik, penguatan kelembagaan petani, per-baikan infrastruktur, dan pemberian kredit inves-tasi dengan bunga bersubsidi sebesar 10%/th kepada petani. Regulasi terdiri dari peraturan yang kondusif, misalnya penghapusan restribusi/ pajak yang memberatkan dan pembentukan Dewan Karet Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah oleh pabrik crumb rubber yang terinteg-rasi dengan kebun karet rakyat dan perbankan yang menyediakan kredit. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah perluasan areal 20.000 ha peremajaan tanaman tua 90.000 ha (termasuk sasaran 2006 yang belum tercapai), serta kredit perbankan Rp 1,2 triliun. Kontribusi APBN untuk itu adalah subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 69,92 milyar, dana pembinaan Rp 8 milyar, serta pembangunan infrastruktur berupa sertifi-kasi lahan sebanyak 50.000 persil dan pemba-ngunan jalan kebun 440 km.

Untuk kakao, upaya yang akan dilakukan pemerintah adalah pembinaan/investasi dan re-gulasi. Pembinaan/investasi terdiri dari penera-pan teknik budidaya yang baik, perluasan areal, peremajaan dan rehabilitasi tanaman tua/rusak, penguatan kelembagaan petani, perbaikan infra-struktur, pengendalian OPT, pengembangan usa-ha melalui kemitraan, dan pemberian kredit investasi dengan bunga bersubsidi sebesar 10%/th kepada petani. Adapun regulasi terdiri dari penerapan SNI, pelarangan perdagangan kakao nonfermentasi pada daerah tertentu, dan pembentukan Dewan Kakao Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah perusahaan pengelola yang mengitegrasikan kegiatannya dengan ke-bun kakao rakyat, dukungan benih dan sarana produksi, insentif harga terhadap kualitas yang baik, dan pengembangan industri hilir. Sasaran nasional untuk tahun 2007 adalah perluasan areal 18.000 ha, peremajaan tanaman tua 13.000 ha, dan rehabilitasi kebun 8.000 ha (namun tidak jelas mana yang untuk PR, PBN

dan PBS), serta kredit perbankan Rp 807 milyar. Kontribusi APBN untuk itu adalah subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 64,64 milyar, dana pembinaan Rp 15,60 milyar, dan perluasan Sumbar untuk petani miskin Rp 10 milyar.

Akselerasi Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tebu/Gula

Upaya pemerintah terdiri dari investasi/ pembinaan dan regulasi. Kegiatan investasi/pem-binaan meliputi: (a) pembangunan kebun bibit berjenjang seluas 3.430 ha; (b) bongkar ratoon seluas 128.165 ha, termasuk perguliran; (c) penumbuhan dan penguatan Kelompok Petani Tebu Rakyat (KPTR); (d) pengendalian OPT; (e) dukungan infrastruktur dan sarana produksi pertanian; dan (f) pemberian subsidi bunga Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Sementara regulasi terdiri dari (a) pengaturan impor gula, (b) Pengaturan harga, dan (c) kejelasan status P3GI. Disamping pemerintah, diharapkan ada juga upaya masyarakat, yaitu (a) pabrik gula atau perusahaan gula untuk melakukan pem-binaan areal tebunya sendiri seluas 170.632 ha dan rehabilitasi pabrik gula; dan (b) usaha swadaya tebu rakyat mandiri seluas 132.484 ha. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah total luas areal 400.505 ha tebu, dengan produksi 2,66 juta ton (namun tidak jelas mana yang untuk PR dan PBN atau PBS), dan kapasitas giling pabrik 207.000 ton TCD. Untuk itu, kontribusi APBN adalah untuk bongkar ratoon dan Kebun Tebu Giling seluas 22.757 ha ditambah guliran seluas 105.408 ha, dan untuk pembibitan 3.430 ha. Untuk mengamankan harga dalam negeri kebi-jakan proyeksi akan tetap dilanjutkan.

Pengembangan Jarak Pagar

Upaya pemerintah untuk tahun 2007 adalah investasi/pembinaan dan regulasi. Inves-tasi/pembinaan adalah memacu pengembangan klon unggul, pembangunan kebun induk, pe-ngembangan tanaman, sosialisasi, memacu ristek (benih, budidaya dan pengolahan), dan pengembangan industri pengolahan biodiesel. Sedangkan regulasi adalah kepastian pasar dan harga. Upaya oleh masyarakat adalah perusa-haan pengelola untuk mendirikan pabrik biodiesel dan membeli hasil petani dengan harga pem-belian yang wajar. Sasaran nasional untuk tahun 2007 adalah luas areal 341.000 ha dan produksi

Page 15: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

37

biji 341.000 ton (tetapi tidak jelas mana yang untuk PR, PBN, dan PBS). Kontribusi APBN adalah pembibitan 50 hektar, penanaman 5.000 ha, dan pembiayaan Rp 21,2 milyar.

Prospek 2007

Faktor-faktor Pendorong Perkembangan

Prospek suatu komoditas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang mendukung pengembangan produksi dan faktor yang men-dukung peningkatan permintaan. Di Indonesia, faktor-faktor yang mendukung pengembangan produksi adalah tersedianya sumberdaya alam (tanah dan air) yang luas dan iklim yang sesuai, tenaga kerja yang berlimpah dan relatif murah, tenaga ahli yang cukup banyak dan kebijakan pemerintah. Faktor-faktor yang mendukung per-mintaan terdiri dari faktor domestik dan faktor eksternal. Faktor domestik adalah meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Faktor ekternal adalah permintaan dari negara-negara lain dan harga dunia. Harga produk yang terbentuk dari kekuatan permintaan dan pena-waran merupakan indikator mengenai prospek suatu komoditas ke depan.

Perubahan harga ekspor minyak sawit, karet dan karet, serta harga gula dalam negeri pada tahun 2007 dibanding tahun 2006 diper-lihatkan pada Tabel 5. Terlihat bahwa untuk ta-hun 2007 harga ekspor minyak sawit, kakao, dan karet diproyeksikan akan meningkat seperti ter-lihat pada Tabel 5. Tabel 5. Trend Harga Ekspor untuk Minyak Sawit,

Kakao dan Karet, serta Harga Dalam Negeri untuk Gula Tahun 2006-2007 (%)

Komoditas Trend Harga (%) Komoditas Trend

Harga (%)

Minyak sawit 12,07 Kakao 8,42

Karet 15,99 Gula 9,99 Keterangan: Harga selain gula adalah harga ekspor

dalam rupiah; untuk gula adalah harga patokan.

Untuk jarak pagar, pasar dan harga biji masih merupakan wacana karena belum meru-pakan suatu komoditas. Namun prinsip ekonomi yang harus dipegang dalam menentukan harga biji jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel adalah harga jual biodieselnya maksimum harus sama dengan harga solar tanpa subsidi, karena

kedua jenis BBM ini saling mensubstitusi. Harga biodiesel tidak mungkin lebih mahal atau lebih murah daripada harga solar tanpa subsidi (Hadi et al., 2006).

Harga solar tanpa subsidi ditentukan oleh harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (Indonesia Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta biaya dan konversi mi-nyak mentah ke solar. Harga biji jarak pagar ter-gantung pada harga solar tanpa subsidi tersebut, konversi minyak jarak kasar dari biji, biaya ekstraksi minyak jarak kasar, biaya konversi minyak jarak kasar menjadi biodiesel, biaya esterifikasi-transesterifikasi (estrans) minyak ja-rak kasar menjadi biodiesel, serta biaya distribusi dan keuntungan pengusaha biodiesel. Pada harga minyak mentah Indonesia US$70/barel dan nilai tukar Rp 9.183/US$, konversi biji menjadi minyak jarak kasar 25%, biaya ekstraksi Rp 242/kg biji, konversi mintak jarak kasar ke biodiesel 90%, biaya estrans Rp 1.500/liter bio-diesel, serta biaya distribusi dan keuntungan pengusaha Rp 500/liter biodiesel, maka harga biji jarak pagar di tingkat petani sangat rendah yaitu Rp 453/kg (Tabel 6). Jika konversi biji ke minyak jarak kasar bisa mencapai 30% maka harga biji bisa mencapai Rp 592/kg. Dengan harga ini, tidak ada usahatani jarak pagar yang secara finansial feasible, walaupun petani diberi subsidi benih 100%. Tabel 6. Harga Bahan Baku Biji Jarak Pagar per Kg

Berdasarkan Harga Minyak Mentah Dunia, Nilai Tukar Rupiah dan Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar, Tahun 2006

Konversi Biji-Minyak

Kasar Uraian 25% 30% 35%

Harga biji tanpa subsidi solar (Rp/kg): 1. US$60/barel, NT Rp 9.183 309 419 530 2. US$70/barel, NT Rp 9.183 453 592 731 3. US$80/barel, NT Rp 9.183 597 765 933 Harga biji dengan subsidi solar (Rp/kg) 276 379 483

Sumber: Hadi et al (2006).

Pemerintah telah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam RAPBN 2007 sebesar US$65/barel dengan produksi 1,05 juta barrel per hari (sesuai dengan usulan RAPBN 2007 yang disampaikan dalam pidato Presiden RI di depan sidang pleno DPR RI

Page 16: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

38

tanggal 16 Agustus 2006). Dengan harga ini, sesuai dengan hasil analisis dimuka, hanya perusahaan yang bisa bergerak dalam pengem-bangan jarak pagar untuk biodiesel, sedangkan petani tidak akan ada yang berminat karena harga biji akan terlalu rendah sehingga usaha-taninya tidak akan feasible. Harga biji jarak pagar akan jatuh lagi dan usahatani menjadi lebih tidak feasible lagi. Pengembangan jarak pagar oleh petani (rakyat) akan sangat terhambat oleh harga biji jarak pagar yang terlalu rendah dan belum jelasnya pihak yang akan membeli, disamping terlalu kecilnya skala penguasaan lahan.

Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pengusaha untuk membuka kebun jarak pagar, yang kemudian mengolahnya sendiri menjadi biodiesel dan menggunakannya untuk keperluan perusahaan (pabrik) sendiri. Dengan cara ini, pengusaha cukup hanya memfokuskan perhatiannya pada harga pokok produksi biji jarak pagar, serta tidak perlu memperhitungan biaya distribusi biodiesel dan keuntungan pro-sesor. Harga pokok produksi biodiesel adalah sekitar Rp 4.584/l biodiesel untuk konversi biji ke minyak jarak kasar 25% dan Rp 4.070/l untuk konversi 30% (Tabel 7).

Dengan harga solar tanpa subsidi Rp 5.086/l, maka pengusaha biodiesel yang mem-

produksi biji jarak pagar sendiri dapat memper-oleh penghematan biaya bahan bakar yang cukup besar, yaitu Rp 503/l dan Rp 1.017/l untuk masing-masing konversi biji ke minyak jarak kasar 25% dan 30%. Yang penting, pengusaha diberikan insentif agar bersedia untuk melakukan investasi, antara lain pemberian izin usaha secara mudah dan cepat, pembebasan pajak untuk sementara, pembebasan bea masuk untuk impor barang modal (mesin pengolah), penye-diaan lahan, infrastruktur, dan lain-lain.

Proyeksi Luas Areal, Produktivitas dan Produksi

Proyeksi luas areal, produktivitas dan produksi kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu diperlihatkan pada Tabel 8. Areal kelapa sawit tetap didominasi oleh PBS, sedangkan untuk karet, kakao dan tebu tetap didominasi oleh PR. Jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2006, luas areal, produktivitas dan produksi semua tipe manajemen untuk kelapa sawit, kakao dan tebu akan meningkat pada tahun 2007. Untuk karet luas areal, produktivitas dan produksi PBN akan menurun, sedangkan untuk PR dan PBS akan meningkat.

Proyeksi areal kelapa sawit tersebut le-bih rendah daripada target program pemerintah,

Tabel 7. Biaya Produksi per Liter Biodiesel dan Penghematan Biaya Bahan Bakar dengan Bahan Baku Biji Jarak

Pagar Produksi Sendiri oleh Perusahaan Besar pada Harga BBM Dunia US$70/barel, Nilai Tukar Rp 9.183/US$ dan Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar 25%, 30% dan 35%.

Biaya Produksi Biji Biaya Pengolahan

Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar Per kg

(Rp)

Per liter Biodiesel

(Rp)

Ekstraksi (Rp/lt

Biodisel)

Estrans (Rp/lt

Biodisel)

Total Biaya (Rp/lt

Biodisel)

Harga Solar DN

Tanpa Subsidi (Rp/lt)

Saving (Rp/lt

Biodisel)

25% 558 2.010 1.074 1.500 4.584 5.086 503 30% 558 1.675 895 1.500 4.070 5.086 1.017 35% 558 1.675 767 1.500 3.942 5.086 1.145

Sumber: Hadi et al (2006) Tabel 8. Proyeksi Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Komoditas Kelapa Sawit, Karet, Kakao dan Tebu Tahun

2007.

Komoditas Luas Areal (ha)

Produktivitas (kg/ha)

Produksi (ton)

Kelapa sawit 5.980.861 4.106 16.671.040 Karet 3.277.182 947 2.390.891 Kakao 1.016.644 1.014 694.834 Tebu 433.429 6.797 2.946.104

Page 17: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

39

yaitu perluasan 350.000 ha pada tahun 2007, sedangkan menurut proyeksi ini peningkatan areal hanya 205.356 ha. Untuk karet, proyeksi ini juga lebih rendah daripada target program yaitu perluasan 20.000 ha pada tahun 2007, sedang-kan menurut proyeksi ini areal malahan akan menurun 1.505 ha. Demikian pula untuk kakao, proyeksi ini lebih rendah daripada target prog-ram, yaitu perluasan 18.000 ha pada tahun 2007; sedangkan menurut proyeksi ini peningkatan areal hanya 12.174 ha. Untuk tebu, proyeksi areal lebih tinggi daripada target program peme-rintah 400.505 ha, produksi 2,66 juta ton, dan produktivitas 6,642 kg/ha/th.

Untuk jarak pagar, proyeksi luas areal, produktivitas, dan produksi belum dapat dibuat, karena data belum terdokumentasikan secara baik. Namun dari uraian dimuka dapat di-nyatakan bahwa pengembangan jarak pagar untuk biodiesel sebaiknya diberikan kesempatan lebih dahulu kepada pengusaha, sedangkan untuk petani perlu menunggu harga biji yang cukup baik sehingga usahataninya layak untuk dijalankan.

Proyeksi Ekspor dan Impor

Proyeksi volume dan nilai ekspor minyak sawit, karet, dan kakao, serta impor gula di-tunjukkan pada Tabel 9. Volume dan nilai ekspor minyak sawit, kakao, dan karet pada tahun 2007 diproyeksikan akan meningkat dibanding tahun 2006, sedangkan volume dan nilai impor gula diproyeksikan akan menurun. Tabel 9. Proyeksi Volume dan Nilai Ekspor Minyak

Sawit, Kakao, dan Karet serta Impor Gula Tahun 2007

Komoditas Volume (ton)

Nilai (US$'000)

Ekspor: Minyak sawit 11.556.879 6.485.855 Kakao 401.704 878.680 Karet 2.168.716 4.030.074

Impor: Gula 218.383 64.064

Proyeksi Konsumsi

Proyeksi konsumsi hanya dilakukan untuk gula. Pada tahun 2007, konsumsi gula (konsumsi langsung dan kebutuhan industri)

akan meningkat menjadi 2.946.104 ton. Dengan produksi yang diproyeksikan akan meningkat menjadi 3.048.237 ton, maka defisit neraca gula pada tahun 2007 diproyeksikan akan turun menjadi hanya 102.133 ton. Dengan jumlah defisit yang akan terus menurun cepat, diha-rapkan swasembada gula pada tahun 2008 atau 2009 sudah dapat tercapai, baik untuk konsumsi langsung maupun untuk industri.

Bahan Bakar Nabati (Biofuel) dan Lingkungan Hidup

Bahan Bakar Nabati (BBN) sedang dan akan dikembangkan di Indonesia. Sumber bahan baku utama adalah kelapa sawit dan jarak pagar untuk memproduksi biodiesel sebagai pengganti solar, serta tebu dan ubi kayu untuk memproduk-si bio-ethanol sebagai pengganti premium. Na-mun yang paling siap dalam waktu dekat ini adalah bodiesel asal minyak sawit, sedangkan yang paling belum siap adalah jarak pagar.

Menurut Menteri Pertanian RI, Indonesia merencanakan akan mengembangkan 3 juta ha areal baru kelapa sawit selama 5 tahun kedepan untuk memenuhi permintaan akan biodiesel yang meningkat. Sebanyak 2 juta ha di Kalimantan dan 3 juta di daerah lain. Ditargetkan tidak lama lagi Indonesia akan menjadi negara produsen terbesar minyak sawit di dunia. Para analis BBN mengatakan bahwa BBN akan menjadi faktor pendorong terbesar bagi pertumbuhan permin-taan akan minyak sayur, terutama minyak sawit yang merupakan minyak sayur termurah dan termudah dikonversi menjadi bahan bakar.

Pemerintah Indonesia juga akan membe-rikan keringanan pajak kepada investor dalam usaha biodiesel, antara lain (1) pemberian tax allowance 30% dari nilai investasinya; (2) pemberian kemudahan atau keringanan bea masuk untuk barang modal; dan (3) menye-diakan dana Rp 13 triliun dari APBN 2007 untuk pembangunan infrastruktur Rp 10 triliun, subsidi bunga Rp 1 triliun, dan pembentukan lembaga pembiayaan pengembangan BBN Rp 2 triliun. Investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang usaha biodiesel sudah banyak (antara lain Samsung, LBL dan CMC dari Korea; Mitsui, Hitochu dan Kamimatsu dari Jepang; dan Greenergy dari India) dan diperkira-kan mencapai nilai investasi Rp 15-20 triliun yang diharapkan akan masuk pada tahun 2007. Investor domestik yang akan masuk dalam bisnis

Page 18: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

40

biodiesel antara lain adalah Grup Bakrie, Grup Astra dan PTPN. US Trade Development Agency menyediakan grant kepada Indonesia untuk pe-ngembangan biodiesel di Indonesia. Negara lain yang sudah mulai lebih awal adalah Malaysia dan Singapura, yang memberikan dukungan sa-ngat kondusif bagi pengembangan industri bio-diesel di negara tersebut.

Untuk pengembangan BBN dibutuhkan dana Rp 200 triliun, yang 50% di antaranya untuk budidaya bahan baku (on farm), serta 50% untuk pengolahan, pemasaran, dan lain-lain (off farm). Diharapkan pada tahun 2010 BBN bisa meng-gantikan 10% dari konsumsi BBM konvensional, menciptakan lapangan kerja baru 3 juta orang, penghematan devisa US$ 10 milyar, dan peman-faatan lahan kritis seluas sekitar 5 juta ha.

Namun perlu diingat bahwa penggunaam minyak sawit untuk biodiesel jangan sampai mengganggu pasokan untuk kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, baik untuk minyak goreng maupun lainnya. Jika pasokan minyak goreng dalam negeri terganggu maka akan terjadi gejolak harga komoditas ini. Demi-kian pula jika pasokan ekspor terganggu, maka reputasi Indonesia akan menjadi buruk dan tidak lagi dapat dipercaya sebagai eksportir. Untuk itu, pemerintah telah merencanakan untuk mengem-bangkan dedicated area kelapa sawit untuk biodiesel.

Tebu juga dapat digunakan untuk mem-buat ethanol, yaitu cairan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Gasohol, yang merupakan campuran 10-25% ethanol dan gasolin (premium) telah dijual di banyak negara sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan. Ethanol dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar otomotif untuk mesin yang telah dirancang khusus untuk itu. Di Brazil, sekitar 40% dari mobil dirancang untuk menggu-nakan ethanol dan sisanya menggunakan gaso-hol sebagai dampak dari Brazilian Fuel Alcohol Program, salah satu projek energi biomasa komersial terbesar di dunia. Areal seluas sekitar 5 juta ha ditanami tebu. Hingga saat ini alkohol tidak mempunyai pasar internasional, tetapi da-pat menjadi sebuah komoditas.

Pada tahun 2007, biopremium berupa bioethanol sudah bisa digunakan di Indonesia. Sejauh ini penjualan jenis BBM ini oleh Per-tamina baru terbatas di Malang (Jawa Timur)

dengan harga yang sama dengan premium fosil yaitu Rp 4.500/l. Biopremium ini merupakan cam-puran bioethanol 5% dan premium 95% (disebut E5).

Namun akhir-akhr ini tuntutan terhadap pengembangan industri sawit berwawasan ling-kungan gencar disuarakan oleh LSM. Misalnya, Principle and Criteria for Sustainable yang saat ini sedang disosialisaikan oleh Roundtable on Sustainable on Palm Oil (RSPO). Masalahnya adalah bahwa permintaan minyak sawit akan terus meningkat dan diperkirakan akan mening-kat lebih cepat lagi, terutama untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel yang dipromosikan sebagai bentuk energi yang terbarukan yang dapat mengurangi emisi CO2 ke udara secara signifikan. Namun ada dampak terhadap lingku-ngan dari industri minyak sawit, yaitu pemba-batan hutan tropis (reinforest) yang dapat me-ngurangi habitat bagi spesies yang terancam punah, seperti orang utan di Kalimantan dan Sumatera, serta harimau dan badak sumatera. Jika tidak dikelola dengan asas keberlanjutan, dalam waktu 12 tahun spesies-spesies itu diper-kirakan akan punah.

Selain itu, ada juga keinginan pihak tertentu untuk mengkonversi lahan rawa, yang dapat mengeringkan gambut, yang tidak hanya melepaskan karbon di permukaan yang ada tanamannya, tetapi juga terjadi proses oksidasi karbon pada cadangan gambut dimana 5.000 – 10.000 tahun karbon bisa terikat dalam tanah. Pengeringan gambut juga rawan terhadap kebakaran hutan dan ada catatan yang jelas untuk Indonesia, dimana cara pembakaran digu-nakan untuk pembukaan lahan. Dikatakan bahwa biodiesel bukan sumberdaya yang sustainable jika ia berasal dari kelapa sawit yang ditanam dengan membuka hutan topis secara tebang-bakar (slash and burn). Oleh karena itu, peman-faatan hutan tropis untuk usaha perkebunan harus dilihat pada usaha untuk peningkatkan produktivitas lahan-lahan bekas HPH yang sudah tidak produktif lagi dan potensial untuk usaha perkebunan. Luas lahan yang sesuai untuk perkebunan di Indonesia lebih dari 20 juta ha, namun akses untuk usaha perkebunan masih menjadi kendala besar, terutama bagi perke-bunan besar. Untuk itu diperlukan kebijakan yang jelas dan tegas dalam pemanfaatan lahan-lahan tersebut.

Page 19: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

41

Tantangan lainnya adalah adanya peneli-tian dan kebijakan pemerintah kearah prioritas penggunaan kelapa sawit transgenik guna me-ningkatkan produktivitas tanaman dan adanya subsidi pemerintah (Malaysia sebesar RM 1.000/ ha) untuk percepatan peremajaan tanaman dengan menggunakan bibit sawit hasil GMO. Dari aspek kesehatan, produk minyak sawit yang dihasilkan dari tanaman sawit GMO adalah berbahaya.

Diversifikasi Usahatani

Untuk meningkatkan pendapatan petani, kelapa sawit dapat diintegrasikan dengan ternak (Duran, 1995). Pakan untuk ternak adalah hijau-an yang tumbuh di antara pepohonan kelapa sawit dan hasil sampingan pabrik minyak sawit yaitu bungkil sawit dan daun kelapa sawit, yang kaya akan nutrisi dan bermutu tinggi. Bungkil sawit yang mengandung 7,7-18,7% protein (ter-gantung pada metode pengolahan) sangat cocok untuk usaha penggemukan ternak (Jelan et al., 1986). Ternak sapi potong yang diberi pakan 6-8 kg bungkil sawit ditambah dengan sedikit mineral dan vitamin dapat menghasilkan rata-rata pe-ningkatan berat badan ternak 0,7-1,0 kg/hari/ ekor. Daun kelapa sawit yang diperoleh dari pemangkasan, mengandung 15% protein kasar yang sangat potensial untuk ruminansia. Namun kurang ekonomis jika tidak diubah dalam bentuk pelet. Pelet daun sawit berdiameter 9 mm dan panjang 3-5 cm dengan 33,3% total nutrisi yang dapat dicerna dapat meningkatkan berat badan ternak 0,93kg/hari/ekor (Hosan, 1995; Asada et al., 1991).

Hijauan yang berada di sekitar pohon kelapa sawit dapat dimakan langsung oleh ternak (grazing). Tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa dapat dijarangkan untuk memberi ke-sempatan bagi rumput untuk tumbuh tanpa mengurangi produksi per hektar karena produksi per pohon meningkat. Tingkat penggembalaan ternak (stocking rate) adalah sekitar 0,3-3,0 satuan ternak (ST)/ha untuk sapi dan 2,0-14,0 ST/ha untuk domba. Ternak harus direlokasi sesudah 60% hijauan dimakan dengan tujuan untuk penyiangan dan regenerasi hijauan. Rotasi penggembalaan adalah 6-8 sekali seminggu. Di Kolombia, kelapa sawit dapat diintegrasikan de-ngan babi, domba dan ayam ras pedaging secara baik dan menguntungkan (Duran, 1995; Hutagalung, 1985).

PENUTUP

Kinerja pada tahun 2006 dibanding tahun 2005 menunjukkan bahwa kelapa sawit, kakao, dan tebu mengalami peningkatan luas areal, sedangkan karet sedikit mengalami penurunan. Produksi dan produktivitas keempat komoditas tersebut juga meningkat (terutama tebu). Selan-jutnya, volume dan nilai ekspor tiga komoditas (kelapa sawit, kakao, dan karet) meningkat, sedangkan volume dan nilai impor gula menurun karena meningkatnya produksi gula yang cepat. Konsumsi gula meningkat, tetapi defisit produksi menurun karena peningkatan produksi lebih cepat dibanding peningkatan konsumsi. Diharap-kan pada tahun 2008 atau 2009, Indonesia su-dah dapat mencapai swasembada gula nasional.

Untuk tahun 2007, pemerintah telah membuat program revitalisasi untuk kelapa sawit, kakao dan karet, program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu, serta pengem-bangan BBN dari jarak pagar, dengan dukungan dana yang sangat besar. Prospek keempat komoditas pada tahun 2007 akan lebih baik lagi dibanding pada tahun 2006 karena terjadi peningkatan harga output.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius, antara lain (a) pasokan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor jangan sampai terganggu, baik untuk minyak goreng maupun lainnya (Dradjad, 2006c); (b) mendorong proses produksi CPO yang mengandung beta karoten dan DOBI minimal sama dengan standar internasional, yaitu ma-sing-masing 550 ppm dan 2,8; (c) pengusaha/ perusahaan besar perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanam jarak pagar dan mengolah hasilnya menjadi biodiesel, sedangkan petani perlu dirangsang melalui pemberian sub-sidi benih 100%; (d) kebijakan promosi dan pro-teksi untuk mengembangkan subsektor perkebu-nan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan, dan Indonesia dapat menggunakan Special Safe-guard (SSG) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk melindungi industri gulanya dengan meningkatkan tarif impornya jika harga gula jatuh (Sawit et al., 2006); (e) PPN perlu diturunkan secara bertahap agar daya saing produk perke-bunan meningkat dan penciptaan nilai tambah jauh lebih besar dibanding penerimaan pemerin-tah dari PPN; (f) program revitalisasi kelapa sawit, kakao dan karet, serta program akselerasi

Page 20: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

42

peningkatan produksi dan produktivitas tebu, dan tahun 2007 perlu diimplementasikan dengan dukungan pendanaan yang benar-benar mema-dai; (g) dalam melakukan perluasan areal per-kebunan sebaiknya tidak membuka hutan tropis tetapi memanfaatkan areal hutan bekas HPH yang sudah ditinggalkan dan mempertimbangkan kelestarian sumberdaya alam; (h) posisi P3GI perlu diperjelas karena perannya sangat penting dalam menghasilkan bibit unggul tebu dan teknologi lainnya agar produktivitas tebu/gula lebih tinggi lagi; dan (i) untuk meningkatkan pendapatan petani pekebun perlu dilakukan diversifikasi usahatani melalui integrasi kelapa sawit dan ternak ruminansia.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjenbun. 2006a. Rencana Kegiatan Pembangunan

Perkebunan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenbun 2006b. Swasembada Gula Nasional 2009. Makalah disampaikan pada Temu Koordinasi Kehumasan Deptan, di PG Jati Tujuh, tanggal 9-10 Juni 2006. Direktorat Jenderal Per-kebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenbun. 2006c. Rencana Stratejik Pembangunan Perkebunan 2005-2009. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Disbun Jatim. 2006. Pelaksanaan Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional di Jawa Timur. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Asada, T., T. Konno and T. Saito. 1991. Study on Conversion of Oil Palm Leaves and Petioles into Feeds for Ruminants. Proceedings of Third Symposium on the Nutrition of Herbivores. Penang, Malaysia. p. 104.

Darmosarkoro, W. 2006. Usaha Sawit Banyak Tan-tangan. Kompas, 25 Februari 2006.

Dradjat, B. 2006a. Pajak Pertambahan Nilai dan Implikasi Pembebasannya pada Produk Pri-mer Pertanian. Tinjauan Komoditas Perke-bunan 6(1):53-57.

Dradjat, B. 2006b. Mencermati PP No. 35 tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor (PE) (Kasus PE untuk CPO dan Produk Turunannya. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):58-61.

Dradjat, B. 2006c. Aspek Ekonomi Pengembangan Biodiesel: Ada Trade Off dan perlu Dukungan Kebijakan Tambahan. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):63-67.

Duran, A.O. 1995. The African Oil Palm in Integrated Farming Systems in Colombia: New Developments. University of the Llanos. Villavicencio. Colombia.

Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 23(1):82-99.

Hadi, P.U., R.N Suhaeti, S. Nuryanti, T. Nurasa, dan J. Situmorang. 2004. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pertanian Pasca AoA-WTO. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosi-al Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Hadi, P.U., A. Djulin, A.K. Zakaria, V. Darwis, dan J. Situmorang. 2006. Prospek Pengembangan Sumber Energi Alternatif (Biofuel): Fokus pada Jarak Pagar. Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Hassan, O.A. 1995. Utilization of Oil Palm Trunks and Fronds. Proceedings of First Symposium on Integration of Livestock to Oil Palm Kernel Production. Kuala Lumpur, Malaysia. Pp. 129-138.

Herman. 2006. Perkembangan dan Prospek Kakao Dunia. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1): 8- 14.

Hutabarat, B., Kuntohartono, Nahdodin, dan Soedarsono. 2001. Restrukturisasi Industri Gula Nasional. Tim Pengembangan Industri Gula. Jakarta.

Hutagalung, R.I. 1985. Nutrient Availability and Utilisation of Unconventional Feedstuffs Used in Tropical Regions. Proceedings of Feeding Systems of Animals in Temperate Areas. Seoul, Korea. pp. 326-337.

Jelan, Z.A., S, Jalaludin, and P. Vijchulata. 1986. Final RCM on Isotope-Aided Studies on Non-Protein Nitrogen and Agro-Industrial By-Products Utilization by Ruminants. Inter-national Atomic Energy Agency. Australia. p.7.

Nerlove, M. 1958. Distributed Lags and Estimation of Long-run Supply and Demand Elasticities : Theoretical Considerations. Journal of Farm Economics 40(2) : 301-314.

Puslit Koka Indonesia. 2006. Peningkatan Daya Saing Kakao Indonesia melalui Peningkatan Pro-duktivitas dan Kemitraan Usaha. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pameran Kakao dan Cokelat Indonesia 2006. Jakarta, 12 Desember 2006. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta.

Sawit, M.H., S. Nuryanti, S. Bahri, dan FBM Dabukke. 2006. Special Safeguard (SSG), Special Safeguard Mechanism (SSM), dan Peran

Page 21: POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_PUH_07.pdf23 posisi dan masa depan pembangunan perkebunan indonesia current position and

43

Bantuan Domestik di Indonesia. Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Susila, W.R. 2006a. Harga Gula Tinggi: Sudah Sewajarnya. Tinjauan Komoditas Perke-bunan 6(1):15-18.

Susila, W.R. 2006b. Kebijakan Importasi. Pengadaan dan Penyaluran Gula. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):19-39.