politik hukum pembaruan agraria (studi terhadap tap mpr no ... · pembaruan agraria ini dilakukan...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No. IX/MPR/2001)
2015
P U S A T P E N G K A J I A N P E N G O L A H A N D A T A D A N I N F O R M A S I S E K R E T A R I A T J E N D E R A L D P R R I
G e d u n g D P R R I N u s a n t a r a I L t . 2 J l . J e n d . G a t o t S u b r o t o J a k a r t a 1 0 2 7 0
Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.
Lidya Suryani W., S.H., M.H
Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.
Harris Y.P. Sibuea, S.H., M.Kn.
Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
EXCECUTIVE SUMMARY
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR No. IX/MPR/2001) memuat
politik hukum sebagai arah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam ke depan. Pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini didasarkan pada
beberapa permasalahan dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam, yaitu:
pertama, pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama
ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik. Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
Ketiga pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan,
dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan
menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan
konflik.
TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini harus ditempatkan sebagai sandaran hukum
utama bagi proses pelembagaan upaya penyelesaian permasalahan agraria. Untuk itu,
MPR menindaklanjutinya dengan memberikan rekomendasi kepada Presiden dan DPR
untuk melaksanakan TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan menugaskan pada Presiden untuk
(1) menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara
proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukum sampai dengan implementasinya,
(2) bersama dengan DPR membahas Undang-Undang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang akan berfungsi sebagai undang-undang pokok,
dan (3) membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun
kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna
menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam agar memenuhi rasa keadilan
kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga
berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi.1
TAP MPR No. IX/MPR/2001 tetap dapat menjadi acuan dalam pengelolaan agraria
dan sumber daya alam dengan alasan, pertama substantif TAP MPR No. IX/MPR/2001
memiliki substansi politik hukum yang masih sangat relevan dengan persoalan yang
dihadapi saat ini. Kedua, secara legal formal, TAP MPR No. IX/MPR/2001 termasuk TAP
MPR yang tetap diakui keberadaannya sampai diganti dengan Undang-Undang,2
sehingga termasuk dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang mencantumkan
kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Implementasi pembaruan agraria ini tidak terbatas
pada pelaksanaan distribusi tanah dan sumber daya alam lainnya tetapi harus disertai
dengan pengadaan infrastruktur penunjang agar sumber-sumber agraria dapat dikelola
secara produktif dan berkelanjutan.3 Dalam implementasinya, substansi politik hukum
pembaruan agraria dan sumber daya alam dituangkan dalam berbagai undang-undang
yang terkait dengan agraria dan sumber daya alam seperti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan), Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (UU Kehutanan), Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH). Dengan demikian maka sudah seharusnya berbagai produk hukum
1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas
Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 dan Tap MPR No. 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR untuk menyampaikan saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003.
2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S.
3 Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), Naskah Akademik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaan di Indonesia, Jakarta: 2014, hal. 7.
tersebut dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya agraria dan
sumber daya alam yang tertuang dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tersebut.
Namun fenomena dan fakta yang terjadi menunjukkan bahwa implementasi dari
undang-undang sektoral tersebut menimbulkan permasalahan regulasi di bidang
agraria dan sumber daya alam yang memicu munculnya masalah agraria di kalangan
masyarakat dan berkembang menjadi konflik. Konflik agraria dan sumber daya alam ini
muncul sebagai dampak dari lahirnya undang-undang sektoral yang telah
mendegradasi UUPA, tidak sinkron satu sama lain, dan saling tumpang tindih.4 Selain
itu, masalah agraria di Indonesia secara garis besar dikarenakan konsentrasi
kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria (tanah, hutan,
tambang, perairan) kepada segelintir orang dan korporasi baik swasta asing, domestik
maupun badan usaha milik negara (BUMN).
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun permasalahan hukum dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam implementasinya harus sejalan dengan TAP MPR
No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam sudah sesuai dengan arah pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam?
2. Apakah struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria/sumber daya alam telah terakomodasi dalam berbagai produk hukum
(undang-undang) setelah pembentukan Tap MPR No. IX/MPR/2001?
3. Bagaimana peranan daerah dan peran serta masyarakat menuju ke arah
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam?
C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan tumpang tindih pengaturan,
struktur penguasaan, kualitas sumber daya alam, aspek peran serta masyarakat, pola
4 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan.
kepemilikan agraria yang adil telah terakomodasi dalam berbagai produk hukum
(undang-undang) setelah pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001.
Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk: pertama, mengkaji dan menganalisa
kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya agraria/sumber daya alam dengan arah Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Kedua, melakukan pengkajian terhadap struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam telah
terakomodasi dalam berbagai produk hukum (undang-undang) setelah pembentukan
Tap MPR No. IX/MPR/2001. Ketiga, mengetahui peranan daerah dan peran serta
masyarakat terkait dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta dapat digunakan sebagai
masukan bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan terkait political will di bidang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam.
D. KERANGKA TEORI
a. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Legislasi
Teori pembentukan legislasi yang akan digunakan adalah teori politik-biro (bureau-
politics) atau teori politik organisasi (organizational politics). Teori bureau-political
memandang pembuatan kebijakan (policy making) yang juga dapat diartikan secara luas
mencakup pembentukan peraturan (law making) tidak sekadar sebagai hasil dari
proses rasional kehendak pemegang kekuasaan politik di mana bagian-bagian atau
faktor-faktor yang bekerja di dalamnya dapat diidentifikasi satu persatu, namun juga
tidak semata-mata sebagai proses yang muncul dari dan terbentuk oleh dinamika
masyarakat (society driven) dengan nuasa kehendak politik dibaliknya. Sebaliknya teori
ini juga memandang proses perumusan kebijakan sebagai perbenturan antara ragam
sektor (biro) dalam administrasi pemerintahan. Masing-masing bagian pemerintahan
yang berbeda-beda ini akan berupaya memasukan urusan mengurus persoalan di atas
ke dalam lingkup kewenangan mereka. Sehingga mereka sendirilah yang dapat
memonopoli urusan mendefinisikan, mendiagnosa, dan mengajukan solusi atas
persoalan yang muncul. Banyak rancangan legislasi menjadi bukti adanya persaingan
dan perseteruan antara pelbagai biro (dalam) administrasi pemerintahan.5
Adanya ketidakharmonisan dan tumpang tindihnya peraturan perundang-
undangan di bidang agraria dan sumber daya alam, menunjukkan adanya
ketidakharmonisan antar-kementerian terkait. Ketidakharmonisan dan tumpang tindih
peraturan perundang-undangan tersebut menyebabkan konflik-konflik sering muncul.
Teori bureau-political juga menegaskan bahwa tidak tepat jika hanya untuk
memberi perhatian sepenuhnya pada kementerian (birokrasi pemerintahan) sebagai
“kekuatan keempat”6 dan begitu saja menerima argumen bahwa kompetisi internal di
dalam setiap kementerian (birokrasi) merupakan satu-satunya kunci untuk memahami
proses pembentukan legislasi. Di beberapa negara dapat kita temukan adanya rentang
yang luas dari dan keragaman agen-agen negara yang berada lebih dekat dengan pusat
kekuasaan politik daripada kementerian yang ada, seperti: sekretaris kabinet, badan
pusat legislasi nasional, dan komite pusat dari partai-partai politik. Pusat kekuasaan
ideologis, budaya atau religius juga mungkin besar pengaruhnya. DPR sebagai lembaga
legislatif dan komisi-komisi di dalamnya serta juga partai-partai politik juga turut
memainkan peran penting. Demikian pula, peran dari politisi perseorangan,
administrator (pegawai negeri) dan juga warga negara biasa tidak dapat
dikesampingkan begitu saja dalam proses mendorong suatu rancangan legislasi.7
Dalam penelitian ini, teori bureau-political digunakan sebagai pisau analisis untuk
menjawab pertanyaan penelitian pertama yaitu mengenai persoalan tumpang tindih
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam dan bagaimana agar peraturan perundang-undangan
ataupun kebijakan serta kepentingan sektoral antar kementerian terkait dapat sesuai
dengan arah pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan TAP
MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
5 J.M. Otto, W.S.R. Stoter, dan J. Arnscheidt, Using Legislative Theory to Improve Law and Development
Project, dalam Lawmaking For Development. Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects, Edited by: J. Arnscheidt, B. van Rooij, J.M. Otto, Leiden University Press, 2008, hal. 60.
6 Pada 1971, Crince LeRoy mempublikasikan analisis revolusioner (pada waktu itu) perihal peran dan pengaruh korps pegawai negeri. Ia selanjutnya berkesimpulan bahwa korps pegawai negeri ini dalam kenyataan mewujudkan diri sebagai kekuatan ke-empat dalam negara demokratis – di samping kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisiil. Lihat Crince LeRoy (1971).
7 J.M. Otto, W.S.R. Stoter, dan J. Arnscheidt, Using Legislative Theory…, loc.cit.
b. Teori Sistem Hukum
Politik hukum, baik dari sisi proses pembentukan, substansi, maupun penegakan
hukum dapat dipahami secara komprehensif apabila dianalisis dengan teori sistem
hukum. Lawrence M. Friedman dalam bukunya ”The Legal System: A Social Science
Perspective” mengemukakan bahwa sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan
hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: struktur (structure), substansi (substance),
dan budaya hukum (legal culture).8
Sedangkan pemikiran tentang substansi hukum secara teoritis akan melahirkan
beberapa substansi hukum yang bersifat otonom, represif, dan responsif sebagaimana
dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick.
Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga karakter hukum, yaitu (1)
law as the servant of repressive power, (2) law as a differentiated institution capable of
taming repression and protecting its own integrity, and (3) law as a facilitation of
response to social need and aspirations.9 Ketiga hal ini dikenal dengan development
theory of law yang terdiri dari hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif.
Oleh karena itu, salah satu analisis penting dalam penelitian ini adalah apakah
peraturan pembaruan yang ada sebagai implementasi dari TAP MPR No. IX/MPR/2001
memiliki karakter yang otonomi, represif, ataukah responsif.
c. Teori Penegakan Hukum
Dalam penelitian ini, pemikiran Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor penegakan
hukum akan menjadi pisau analisisnya. Tidak hanya faktor yuridis, faktor non-yuridis
yang mempengaruhi struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
sumber daya agraria/sumber daya alam akan menjadi kajian dalam penelitian ini.
Soerjono Soekanto mengemukakan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum baik berdampak positif atau negatif, yaitu faktor hukum itu sendiri
(ketentuan peraturan perundang-undangan); faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak
yang membentuk maupun yang menerapkan seperti polisi, jaksa, dan hakim; faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, seperti sumber daya manusia;
8 Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New York & London: W.W. Norton & Company,
1984, hal. 5. 9 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New Jersey:
Transaction Publishers, 2001, p. 14.
faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
dan faktor kebudayaan, seperti kebiasaan masyarakat.10
Dalam konteks penelitian ini, faktor-faktor tersebut meliputi: ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait dengan agraria dan sumber daya alam, faktor penegak
hukum, faktor masyarakat yaitu bagaimana peran serta masyarakat terkait dengan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta faktor kebudayaan
berkaitan pandangan masyarakat terhadap pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam.
E. METODE PENELITIAN
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang Politik Hukum Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam (Studi terhadap Implementasi TAP MPR NO. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Peraturan Peraturan Perundang-
Undangan) merupakan penelitian sosio-legal. Dengan demikian, penelitian tentang
Politik Hukum Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mencakup
penelitian normatif, yaitu suatu penelitian yang melakukan analisis terhadap norma-
norma yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai agraria dan sumber daya alam. Dalam konteks penelitian yuridis normatif,
maka penelitian ini merupakan penelitian terhadap sistematika, asas-asas hukum, serta
sinkronisasi vertikal dan horizontal peraturan mengenai agraria.11
Penelitian ini juga merupakan penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian mengenai
bagaimana pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan normatif mengenai agraria dan
pengelolaan sumber daya alam, terutama mengenai faktor-faktor hukum dan non-
hukum yang mempengaruhi struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam. Penelitian ini menggunakan
10 Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,
2008, hal. 5. 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Presss, 1985, hal 14. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mengemukakan bahwa penelitian normatif atau penelitian kepustakaan mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal, penelitian terhadap perbandingan hukum, dan penelitian sejarah hukum. Namun kami berpendapat bahwa penelitian hukum normatif tidak dapat diidentikkan dengan penelitian kepustakaan, karena suatu penelitian normatif dapat dilakukan pula dengan wawancara terhadap beberapa narasumber yang sangat memahami asas, sistematik, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.
pendekatan yuridis, yaitu pendekatan dalam memahami hukum dari kaidah normatif
aturan hukum tersebut, merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini karena yang
menjadi objek penelitian adalah peraturan perundang-undangan terkait dengan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam. Selain pendekatan yuridis, juga akan dilakukan
pendekatan kebijakan legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
termasuk peraturan daerah yang terkait agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
b. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder (secondary data)
melalui penelitian kepustakaan dan data primer (primary data) melalui penelitian
lapangan.
a) Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau disebut Unobtrusive
Research12 yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka13 yang berarti bahwa
penelitian dilakukan terhadap bahan-bahan atau materi yang sudah ada yaitu
dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat,14 bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas.15 Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 Sedangkan
bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk ataupun
12 Early Babbie, The Practice of Sosial Research, Belmont, CA. Wadsworth Publishing Company, Eight
edition, 1998, hal. 308-325. 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif..., loc.cit. 14 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997., hal. 116. Dalam bukunya, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa bahan hukum primer terdiri dari: a) norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; b) Peraturan dasar, yaitu: UUD NRI Tahun 1945; Ketetapan MPR/S; c) Undang-undang dan perda, yaitu: Undang-undang atau perpu; Peraturan pemerintah; Keputusan presiden; Keputusan menteri; dan Peraturan daerah; d)Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat; e) Yurisprudensi; f) Traktat; g) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP (WvS) dan KUHPerdata (BW).
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-5, 2009, hal. 141.
16 Ibid., hal. 117. Bahan hukum sekunder misalnya rancangan undang-undang (RUU), rancangan peraturan pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus
(hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.17
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah undang-
undang dan peraturan daerah yang terkait dengan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam, yaitu antara lain: UU Minerba, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU PPLH.
Sedangkan bahan hukum sekunder antara lain adalah hasil penelitian/karya ilmiah,
dan buku-buku ilmiah mengenai agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
b) Data primer
Penelitian ini juga menggunakan data primer sebagai pendukung data sekunder.
Data primer merupakan data yang hanya dapat diperoleh dari sumber asli atau
pertama. Metode pengumpulan data berkaitan dengan penelitian empiris untuk
mendapatkan data primer adalah melalui wawancara. Wawancara dilakukan
kepada:
1) Pakar hukum agraria dan pakar hukum;
2) Pejabat Pusat di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional;
3) Pejabat daerah di dinas terkait (Bappeda Provinsi, DPRD Provinsi, Kanwil
Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, Dinas Perkebunan, Dinas
Kehutanan, Dinas Tata Ruang, Dinas Pertanian, Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral); dan
4) Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selain dengan wawancara, pengumpulan data secara langsung juga dilakukan
dengan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD).
c. Analisis Data
Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif,
yaitu analisis yang menguraikan data penelitian menjadi komponen-komponen
melalui rangkaian kata-kata dan/atau gambar. Analisis kualitatif lebih menekankan
analisis terhadap kualitas data daripada kuantitas data itu sendiri untuk
mengungkapkan karakternya yang khas, pengertiannya, konteks sosialnya, dan
relasinya satu sama lain melalui deskripsi dan interpretasi.
17 Ibid.
d. Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.
Yogyakarta) pada tanggal 7-13 Mei 2015 dan Provinisi Jawa Timur (Jatim)pada
tanggal 11-17 Agustus 2015. Kedua provinsi ini dipilih karena memiliki
karakteristik dan kompleksitas masalah agraria yang beragam dan berbeda satu
sama lain, baik untuk sektor pertanahan, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan.
II. ANALISIS
A. HARMONISASI DAN SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AGRARIA/SUMBER DAYA ALAM DENGAN ARAH
PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
1. Agraria
Politik hukum agraria nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan
nasional sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Politik
hukum ini ditegaskan kembali dalam kebijakan hukum sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Legal policy tersebut menyatakan bahwa
”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Political will tersebut
ditindaklanjuti dengan dibentuknya legal policy berupa UUPA, yang pada awal
pembentukannya dimaksudkan untuk berlaku sebagai undang-undang pokok (lex
generalis) bagi pengaturan lebih lanjut secara materiilnya yang berhubungan dengan
obyek agraria sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945.
Politik hukum agraria nasional tersebut dilakukan untuk pertama kalinya dengan
merombak tatanan ekonomi politik agraria nasional dengan membentuk Panitia Negara
Agraria untuk membahas UUPA. UUPA ini memberikan dasar-dasar pokok (prinsip
pokok) dalam hukum agraria nasional, yaitu:
1. Nasionalisme. Mengakhiri politik hukum agraria kolonial.
2. Hak menguasai dari negara. HMN (tafsir MK: bukan memiliki tetapi negara
merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan
pengurusan (betuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan
pengawasan (toezichthundeddaad).
3. Unifikasi Hukum Agraria Nasional.
4. Bersandar pada Hukum Adat. UUPA disusun dengan berdasarkan pada Hukum Adat
dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat diakui oleh negara.
5. Tanah Memiliki Fungsi Sosial. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
kegunaannya dan sifatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan negara serta
tidak dibenarkan hanya utk kepentingan ekonomi.
6. Landreform. Negara berkewajiban melakukan penataan ulang struktur agraria.
7. Kesetaraan gender. Tak membedakan hak laki-laki dan perempuan.
8. Tanah untuk penggarap. Tanah pertanian bagi petani (penggarap).
9. Kelestarian lingkungan. Pengusahaan atas tanah dan sumber daya alam tidak
merusak lingkungan hidup.
10. Usaha bersama. Pengusahaan gotong-royong & bersama.
11. Lintas sektor. Cakupan kebijakan, perencanaan peruntukan dan implementasi
melintasi sekat-sekat sektor agraria.
12. Perencanaan agraria.
13. Kepastian Hukum
Penjabaran lebih lanjut dari UUPA yang berkaitan dengan sumber daya alam selain
tanah tersebut tidak segera dibuat oleh penyelenggara negara untuk melengkapi UUPA.
Di satu sisi muncul beberapa undang-undang sektoral yang dibuat sering dengan
diberlakukannya kebijakan ekonomi yang fokus pada pertumbuhan ekonomi bukan
pada pemerataan ekonomi. Undang-undang sektoral tersebut semakin bertentangan
dengan UUPA karena tidak merujuk pada UUPA selaku peraturan pokok dan landasan
operasional bagi pengelolaan sumber daya alam. Undang-undang sektoral ini juga
bertentangan dengan Konstitusi meskipun pembentukannya langsung merujuk ke UUD
NRI 1945 tanpa mengindahkan UUPA, karena hampir semua undang-undangan sektoral
yang berkaitan dengan sumber daya alam pernah dimohonkan pengujiannya ke
Mahkamah Konstitusi dan sebagian besar dari permohonan tersebut dikabulkan.
Kondisi ini menempatkan UUPA bukan lagi sebagai lex generalis bagi pengaturan
sumber daya alam melainkan sederajat dengan undang-undang sektoral lainnya. Ini
berarti bahwa fungsi UUPA ini semakin tereduksi dengan lahirnya berbagai undang-
undang sektoral bidang agraria (sumber daya alam) yang lahir untuk kepentingan
pembangunan dan UUPA hanya dipahami sebagai lex specialis yang hanya mengatur
sektor pertanahan. Ini disebabkan terdapat perbedaan antara UUPA dengan undang-
undang sektoral yang berkaitan dengan orientasi; keberpihakan; pengelolaan dan
implementasinya; perlindungan hak asasi manusia; pengaturan good governance;
hubungan orang dengan sumber daya alam; dan hubungan negara dengan sumber daya
alam.18
2. Perkebunan
UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan merupakan UU pengganti dari UU No. 18
Tahun 2004 dengan judul yang sama. UU No. 18 Tahun 2004 dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan tidak dapat memberikan keuntungan
yang optimal bagi masyarakat. Pergantian secara resmi dilakukan tanggal 17 Oktober
2014. Artinya, hingga saat ini UU No. 39 Tahun 2014 telah berumur lebih dari satu
tahun.
Memasuki usia 1 tahun ini, UU No. 39 Tahun 2014 menghadapi judicial review di
mahkamah konstitusi. Beberapa pasal dianggap telah melanggar ketentuan HAM dalam
konstitusi seperti: Pasal 55 yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih batas tanah
termasuk potensi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Tidak hanya
bertentangan dengan konstitusi, sejumlah pasal juga dinilai telah menciptakan ketidak
pastian hukum seperti: Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) terkait ketidakjelasan tanah mana
yang akan diberikan oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembangunan 20% kebun
masyarakat. Beberapa pasal juga saling kontradiktif, misalnya antara pasal 42 dengan
Pasal 16 sehingga memberikan peluang perusahaan untuk tidak perlu memiliki HGU
cukup dengan izin usaha perkebunan sudah dapat menjalankan usaha perkebunan.
Kondisi ini akan semakin mempermudah terjadi konflik akibat tidak jelasnya
batas-batas pemilikan tanah, kemudahan pemberian izin, dan tidak jelasnya status dari
masyarakat adat. Ketidakjelasan aturan juga akan memberikan peluang untuk bagi
masyarakat yang mengelola perkebunan digugat karena dianggap telah melakukan
pelanggaran hukum. Keberadaan pasal yang kontradiktif juga akan memunculkan
ketidakadilan karena dapat terjadi perbedaan perlakuan akibat adanya ketentuan yang
saling bertentangan. Bahkan memberikan peluang bagi pengusaha untuk melakukan
18 Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai, Pengaturan Sumber Daya
Alam di Indonesia, antara yang Tersurat dan Tersirat,Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM berkerja sama dengan Gadjah Mada University Press, 2011.
pembakaran hutan akibat perusahaan merasa bebas dari ancaman pencabutan atau
pembatalan HGU.19
3. Lingkungan
Dalam perspektif hukum lingkungan, kesejahteraan yang menjadi tujuan politik hukum
nasional tidak cukup hanya dilandaskan pada prinsip negara hukum dan demokrasi,
tetapi juga harus dilandaskan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Prinsip ini
harus menjadi arahan dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan. Jika
tidak, maka kesejahteraan yang dicapai tidak akan mampu bertahan lama karena
sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu elemen pembangunan tidak dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berlandaskan pada argumentasi ini maka secara
konseptual politik hukum lingkungan dapat dirumuskan sebagai arah kebijakan hukum
yang ditetapkan oleh negara untuk mencapai tujuan dan sasaran dari pengelolaan
lingkungan hidup. Tujuan dan sasaran tersebut adalah agar lingkungan tidak rusak atau
tercemar dan tetap terjaga kelestarian fungsinya untuk memelihara kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan dalam rangka mencapai tujuan negara. Jika
fungsi ini terganggu, maka lingkungan akan rusak atau tercemar, SDA akan menipis
bahkan habis, yang pada akhirnya kesejahteraan rakyat yang menjadi salah satu tujuan
negara tidak akan tercapai secara berkelanjutan.20
Mencegah dan menghadapi kondisi lingkungan yang kualitasnya cenderung
semakin menurun maka politik hukum lingkungan tidak dapat diabaikan baik dalam
pembentukan maupun penegakannya. Beberapa negara yang memiliki sumber daya
alam yang besar justru menghadapi ”resource curse hypothesis” karena politik hukum
pengelolaan lingkungan hidup yang tidak tepat. 21
Salah satu prinsip pokok UUPA adalah tentang kelestarian lingkungan. Namun
sayangnya prinsip ini tidak dijalankan. Demikian pula dalam salah satu dasar
pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001 antara lain adalah adanya permasalahan
penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh pengelolaan agraria dan sumber
daya alam. Prinsip pokok lainnya yang juga terkait dengan prinsip ini adalah bahwa
19 Hilman Rasyid, UU Perkebunan Digugat karena Berikan Peluang Pembakaran Hutan secara Bebas,
http://www.rmol.co/read/2015/10/27/222308/UU-Perkebunan-Digugat-karena-Berikan-Peluang-Pembakaran-Hutan-Secara-Bebas-, diakses tanggal 29 Oktober 2015.
20 Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan. Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 6.
21 Ibid., hal. 7.
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan
ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung
dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
Sebelum dan sesudah dibentuknya TAP MPR No. IX/MPR/2001 terdapat beberapa
undang-undang yang terkait dengan lingkungan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam penegakan hukum lingkungan,
Penjelasan umum atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa penegakan hukum pidana lingkunga
tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan
hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administratif dianggap tidak berhasil. Namun asas ultimum remedium tersebut hanya
berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran
baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU
PPLH. Dengan demikian untuk tindak pidana lainnya (selain dalam Pasal 100) tidak
berlaku asas ultimum remedium. Artinya penegakan hukum terhadap tindak pidana
selain dalam Pasal 100 berlaku asas premium remedium (mendahulukan penegakan
hukum melalui sarana hukum pidana).
Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997
menyatakan bahwa sebagai penunjang hukum administratif, berlakunya ketentuan
hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana
hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administratif dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan
hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat
perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan
masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
lingkungan hidup berdasarkan undang-undang ini menganut asas ultimum remedium.
Sebelum berlakunya UU No. 23 Tahun 1997 terdapat UU No. 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 4
Tahun 1982 terdapat pengaturan mengenai ganti kerugian dan biaya pemulihan (yang
dapat dimasukan sebagai sanksi administratif) dan sanksi pidana. Namun, undang-
undang ini tidak secara tegas menentukan mengenai subsidiaritas sanksi pidana atas
sanksi administratif.
Sedangkan UU lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup, seperti: UU No. 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Perpu No. 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air22, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan,dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, semua UU tersebut
memuat sanksi pidana dan beberapa juga memuat sanksi administratif. Namun,
beberapa UU yang memuat sanksi administratif dan sekaligus sanksi pidana tidak
memuat ketentuan yang menegaskan subsidiaritas sanksi pidana atas sanksi
administratif.
KUHP juga memuat pasal-pasal yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana di
bidang lingkungan hidup, yaitu tindak pidana yang menyebabkan kebakaran, peletusan,
dan banjir, yang diatur dalam Pasal 187–Pasal 189.23 Di dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), seluruh pengaturan tindak pidana
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tersebar di beberapa undang-undang
sektoral dimasukkan di dalam pasal-pasal RUU KUHP. Artinya pembentuk UU
menghendaki penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup melalui hukum pidana.
Dengan kata lain, hal ini sejalan dengan arah kebijakan UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian maka sudah seharusnya berbagai produk hukum tersebut dapat
menyelesaikan permasalahan di bidang lingkungan. Namun dalam praktek
ketidakharmonisan dan tidak adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup menyulitkan dalam penegakan hukumnya. Beberapa
permasalahan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
seperti sampai seberapa jauh konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak
pidana lingkungan. Dalam hal ini timbul masalah apakah korporasi mencakup pula
22 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menghapus keberadaan seluruh pasal
dalam UU No. 7 Tahun 2004 yang diajukan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dkk. UU ini dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD NRI Tahun 1945. Dengan dibatalkannya keberadaan UU tersebut, MK menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru.
23 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2002, hal. 133.
organisasi yang tidak berbentuk badan hukum (legal entity). Permasalahan lainnya
adalah bagaimana kedudukan tindak pidana lingkungan dalam sistem hukum pidana.
Apakah tindak pidana lingkungan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri
(suigeneris) atau tergantung pada bidang hukum lain.24
4. Pertambangan
Pengelolaan sumber daya alam mineral didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Salah satu permasalahan penting yang
terkait dengan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan di bidang pertambangan pasca
TAP MPR No IX/2001 adalah dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah
diterimanya sebagian gugatan atas Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Nomor 4 tahun 2009, putusan tersebut tidak mengurangi kewenangan pemerintah
pusat dalam menentukan wilayah pertambangan. "Hasil Putusan MK atas pengajuan
judicial review UU Minerba oleh Bupati Kutai Timur hasilnya "dikabulkan sebagian"
yaitu Pemerintah tetap berwenang menetapkan WP, WUP, WIUP, yang dulunya "setelah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah" harus diartikan "Penetapaan Pemerintah
atas WP, WUP, WIUP adalah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah." Dengan
demikian tidak mengurangi kewenangan (pemerintah) pusat.
Dalam amar putusan tersebut, pernyataan pasal 6 ayat 1 huruf e, pasal 9 ayat 2,
pasal 14 ayat 1, dan pasal 17 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba diubah sebab
bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.Dalam amar putusan, disebutkan bahwa pasal 9 ayat 2 diubah menjadi "WP
(Wilayah Pertambangan) sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia."
Putusan MK dalam Perkara 10/PUU-XII/2014 mengenai pengujian terhadap UU
No. 4 Tahun 2009 memperkuat peran pemerintah dalam bidang pertambangan.
Putusan ini didasarkan pada dalil para pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 102
dan Pasal 103 UU Minerba dalam implementasinya telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan karena kesewenangan-wenangan Pemerintah dalam
mengambil kebijakan dan menyusun regulasi. Terhadap dalil pemohon tersebut,
24 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan penerbit Universitas
Diponegoro, 2002, hal. 193.
Mahkamah berpendapat bahwa sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk
sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan
pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah fungsi pengaturan oleh negara dapat
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Presiden atau melalui
kewenangan regulasi oleh Pemerintah, yang salah satunya adalah pengaturan melalui
pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Pasal 102 dan Pasal 103
UU Minerba telah mengatur mengenai kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan batubara dan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
pertambangan di dalam negeri. Hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai salah satu cara
untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral
di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Selain itu, Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya
manusia Indonesia dalam industri pertambangan. Untuk melakukan pengaturan lebih
lanjut, Mahkamah berpendapat Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
negara, dapat menetapkan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian rumusan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) justru untuk melindungi sumber daya
mineral dan batu bara, sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945.
B. PENGATURAN MENGENAI STRUKTUR PENGUASAAN, PEMILIKAN,
PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AGRARIA/SUMBER DAYA
ALAM DALAM BERBAGAI PRODUK HUKUM (UNDANG-UNDANG) SETELAH
PEMBENTUKAN TAP MPR NO. IX/MPR/2001
1. Agraria
Setelah dikeluarnya Tap MPR No. IX/MPR/2001, beberapa mandat yang diberikan
oleh UUPA belum dilaksanakan sejak pembentukannya sampai saat ini, antara lain:
a. Peraturan tentang hubungan hukum antara orang dan tanah untuk mencegah
pemerasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUPA;
b. Peraturan tentang monopoli pemerintah dalam usaha agraria sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UUPA;
c. Peraturan tentang badan-badan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21
ayat (2) UUPA;
d. Peraturan tentang terjadinya hak milik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22
ayat (1) UUPA;
e. Peraturan tentang pengawasan transaksi-transaksi hak milik sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA;
f. Peraturan tentang akibat-akibat kehilangan syarat-syarat sebagai pemilik
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA;
g. Peraturan tentang hak guna air dan hak ruang angkasa sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2).
Belum dilaksanakan sepenuhnya UUPA tersebut mengakibatkan (1) terjadi pluralisme
sistem penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berdampak
pada sistema pendaftaran tanah; (2) terjadi ketimpangan sistem penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi perorangan, kelompok masyarakat,
perusahaan, dan negara; (3) fungsi ruang dan pemanfaatannya belum didasarkan pada
asas keadilan, transparansi, kelestarian lingkungan sehingga belum mampu
memberikan kepastian hukum.
Lahirnya berbagai undang-undang yang materi pokoknya sumber daya alam
melahirkan permasalahan regulasi dan juga permasalahan yang berkaitan dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Persoalan ini
menyebabkan timbul ketimpangan struktur agraria, yaitu:
a. Terjadinya penutupan dan penghilangan akses masyarakat terhadap tanah/SDA,
yang berakibat lebih jauh pada hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta
benda bahkan jiwa;
b. Terjadinya penyempitan ruang hidup rakyat di pedesaan berakibat lebih jauh pada
menurunnya kemandirian masyarakat petani dan terjadinya transformasi dari
petani menjadi tenaga kerja upahan;
c. Terjadinya konflik berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis
yang mendorong migrasi penduduk desa ke wilayah baru atau wilayah perkotaan
menjadi golongan miskin perkotaan;
d. Meluasnya konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik lain, seperti: konflik etnis,
konflik agama, konflik antar kampung/desa, konflik antar ‘penduduk asli’ dan
pendatang; dan
e. Merosotnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah dan parlemen, bahkan
Negara.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya konflik agraria yang besifat struktural,
kronis, dan berdampak meluas, karena didukung dengan tidak adanya koreksi atas
putusan-putusan pejabat publik terkait ijin pengelolaan tanah/SDA; tak ada
kelembagaan otoritatif dan lintas sektor; dan protes masyarakat yang disikapi dengan
kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi.
Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan penyempurnaan UUPA dengan
mereposisi atau mengembalikan UUPA sebagai lex generalis atau penyempurnaan UUPA
dengan melalui undang-undang sektoral sebagai lex specialis. Reposisi UUPA dilakukan
berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, dengan mengembalikan
rohnya sebagai undang-undang induk bidang agraria dan sumber daya alam, sehingga
undang-undang sektoral akan mengikuti ketentuan dalam UUPA. Jika hal ini yang
dilakukan maka, undang-undang terkait sumber daya agraria harus (1)
mempertahankan falsafah dan tujuan UUPA; penajaman; (2) prinsip-prinsip UUPA, dan
penyelarasannya dengan prinsip-prinsip dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001; (3) obyek
yang diatur: bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
(harmonisasi pengaturan SDA/hukum di bidang SDA, sebagai sistem/lex generalis),
dengan melakukan pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan di bidang
sumber daya alam yang meliputi tanah, hutan, tambang, air, kelautan, dan lain-lain
sebagai sub-sistem dalam UUPA dan berfungsi sebagai lex specialis.25 Penyempurnaan
UUPA melalui undang-undang sektoral yang bersifat lex specialis dilakukan dengan
membuat undang-undang sektoral, yang berfungsi untuk melengkapi UUPA dan
meluruskan tafsir UUPA sehingga undang-undang sektoral ini berkedudukan sebagai
sub-sistem pengaturan terkait dengan sumber daya agraria secara sektoral (lex
specialis), dengan materi muatan berupa obyek pengaturan bidang-bidang agraria,
melengkapi pengaturan bidang-bidang agraria dalam UUPA, dan memperjelas
penafsiran dalam UUPA.26
25 Maria S.W. Sumanrdjono, disampaikan dalam Focus Discussion Group Penelitian Politik Hukum
Pembaruan Agraria, Yogyakarta, 8 Mei 2015. 26 Ibid.
2. Perkebunan
DIY merupakan daerah dengan potensi perkebunan. Perkebunan di Yogyakarta
umumnya dilakukan dalam wilayah yang sangat luas pada daerah sultan dan
pakualaman ground. Saat ini sedang diinventarisasi terkait sultan dan pakualaman
ground. Ke depannya dengan berlakunya UU Keistimewaan Yogya maka pengaturan
tentang struktur penguasaan, pemilkan, penggunaan dan pemanfaatan tanah-tanah
perkebunan ini bergantung pada sultan.
Di Jawa Timur penguasaan perkebunan dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan
militer. Mengenai penguasaan tanah oleh militer ini telah menimbulkan sejumlah
konflik antara militer dengan masyarakat dan berbuntut pada sejumlah pelanggaran
HAM. Sengketa tanah yang melibatkan militer di Jawa Timur mencapai 25, 72%.27 Dari
hasil wawancara dengan Pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur diketahui bahwa
Pemda sendiri kesulitan menghadapi konflik yang melibatkan unsur militer didalamnya.
3. Lingkungan
Politik hukum pengelolaan lingkungan mengalami perubahan mendasar dalam
amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan mendasar
tersebut adalah melalui konstitusionalisasi norma hukum lingkungan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut meliputi dua hal, yaitu: (1) dimasukkannya
prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atas lingkungan hidup; dan (2)
penegasan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dalam penyelenggaraan
perekonomian nasional. Penambahan pasal dan ayat tersebut menunjukkan kuatnya
keinginan pemimpin negara (the founding leaders) untuk memberikan jaminan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta dan kewajiban mencegah dampak negatif berupa pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan akibat aktivitas perekonomian nasional. Kedua pasal
tersebut merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan
hidup di dalam konstitusi.28
27 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat: Studi Konflik
Penguasaan Tanah oleh Mliter & Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur, Makalah pada konverensi internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Jakarta, 11-13 Oktober 2004.
28 Pan Mohamad Paiz, 2009, dalam Muhammad Akib, 2013, op. cit., hal. 75.
Ketentuan HAM yang semula sangat minim-tidak diatur dalam bab tersendiri dan
hanya terdiri dari enam pasal- kini telah diatur dalam bab tersendiri (bab XA) yang
terdiri dari sepuluh pasal (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J). Jika ketentuan tersebut
dirinci, maka dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah memuat sekitar 45 butir
perlindungan HAM. Kini perumusan HAM menjadi lengkap dan menjadikan UUD NRI
Tahun 1945 merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat perlindungan
terhadap HAM.29
Salah satu materi HAM yang termaktub dalam perubahan tersebut adalah hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatu dalam Pasal 28H ayat (1).
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Demikian pula dalam UUPLH, UULH 1997, dan UULH 1982 juga memuat hak-hak
setiap orang dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Tetapi jika dinabdingkan
antara ketiganya, UUPLH memuat hak-hak lebih banyak daripada UULH 1997 dan UULH
1982. Ada delapan hak yang dikuai dalam UUPLH, yaitu: (1) hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia, (2) hak mendapatkan pendidikan
lingkungan hidup, (3) hak akses informasi, (4) hak akses partisipasi, (5) hak
mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, (6) hak untuk
berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (7) hak untuk
melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, dan (8) hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Diantara kedelapan hak tersebut terdapat hak substantif dan hak prosedural. Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak substantif, sedangkan hak
akses informasi, akses partisipasi, hak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan termasuk ke dalam hak-hak prosedural. Perkembangan penting
dan baru adalah hak yang dirumuskan dalam Pasal 66 UUPPLH, yaitu hak setiap orang
untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana. Penegasan pengakuan atas
keberadaan hak untuk tidak dituntut dilatarbelakangi olrh adanya kasus warga yang
29 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, 2009, dalam Muhammad Akib, 2013, op.
cit., hal. 83.
melaporkan terjadinya pencemaran lingkungan justru kemudian dituntut atau digugat
balik oleh pihak yang diduga telah melakukan pencemaran.30
Selain mengakui adanya hak-hak, UUPPLH juga meletakkan atau menciptakan
kewajiban-kewajiban hukum bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup.
UUPPLH menciptakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a) Kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67).
b) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu (Pasal 68 huruf b).
c) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup (Pasal
68 huruf c).
d) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan
hidup (Pasal 68 huruf c).
Ketidakmampuan atau kegagalan untuk memenuhi kewajiban tanpa alasan-alasan yang
secara objektif menurut hukum dapat diterima, tentu dapat mengakibatkan lahirnya
pertanggungjawaban hukum dalam lapangan hukum perdata ataupun hukum pidana
bagi subjek hukum yang tidak mampu atau gagal memenuhi kewajiban-kewajiban
tersebut.31
4. Pertambangan
Untuk bidang pertambangan, kewenangan pertambangan menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 berada di kabupaten, sedangkan menurut UU Pemda 2014 yaitu
kewenangan pertambangan diserahkan ke provinsi. Ketika kewenangan pertambangan
berada di kabupaten, pemerintah kabupaten mengalami kendala karena fasilitasi dalam
tata ruang nasional memasukkan kawasan kars itu sebagai kawasan lindung, sehingga
belum bisa menerbitkan ijin namun pertambangan kars itu terus berjalan tanpa ijin. Di
wilayah pertambangan kars itu tidak ada ijin pertambangan, tidak ada ijin reklamasi,
dan tidak ada ijin apapun karena UU Tata Ruang sangat moderat, dimana setiap institusi
yang mengeluarkan perijinan atas kawasan tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp
2 Miliar dan pidana kurungan selama 3 tahun. Ini mengakibatkan institusi yang
30 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 65. 31 Ibid., hal. 69.
berwenang dalam perijinan tersebut tidak berani bergerak, tetapi karena hal itu banyak
dilakukan dengan mengatasnamakan pertambangan rakyat yang kemudian berupaya
terus melakukan pertambangan. Kendala ini merupakan problem tata ruang yang dalam
pemahaman di daerah belum bisa sinkron. Misalnya kalau ada tata ruang nasional
dengan skala 1:12.000.000 itu tidak memberi ruang apapun di tingkat bawah. Ini
berarti tidak ada perlindungan di tingkat bawah yang diberikan oleh rencana tata ruang
nasional.Hal ini agak berbeda dengan pemahaman orang hukum yang lebih mengacu
pada aturan dan amanat dari pusat, sedangkan pemahaman orang teknis apabila dalam
skala tersebut masih terdapat spots yang bisa dilakukan aktivitas pertambangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menegaskan dalam Pasal 14 (1) bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa urusan
Pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Sedangkan ayat (3)
menyatakan Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang
berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. Di samping itu, dikatakan dalam ayat (4) bahwa urusan Pemerintahan bidang
energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas
bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Politik hukum yang menempatkan kewenangan urusan di bidang sumber daya alam
kepada pemerintah pusat yang juga tercermin dalam kewenangan pemerintah provinsi
secara positif dapat dilihat sebagai bentuk kontrol pemerintah pusat terhadap
eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh pemerintahan kabupaten/kota.
C. PERANAN DAERAH DAN PERAN SERTA MASYARAKAT MENUJU KE ARAH
PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
1. Agraria
Pasal 2 UUPA mengatur hak menguasai negara, yang kemudian diperluas ruang
lingkupnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hak menguasai negara ini merupakan
penjabaran dari amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang harus
dijalankan oleh Pemerintah selaku penyelenggara negara, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah.32 Penjelasan Bagian Ketiga UUPA juga menjelaskan bahwa
Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang sangat
penting. Ini berarti bahwa UUPA memberikan amanat kepada Pemerintah Daerah, baik
di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa harus berperan
penting terhadap pelaksanaan perombakan hukum agraria menuju terwujudnya tujuan
hukum agraria nasional berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, UUPA, dan
Tap MPR No. IX/MPR/2001.
Peran serta pemerintah daerah di bidang agraria dalam lingkup UUPA juga
didasarkan pada UU Pemda 2014 mengenai pembagian kewenangan urusan
pemerintahan konkuren, baik yang bersifat wajib maupun pilihan yang meliputi
penataan ruang, pertanahan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan, pertanian,
kehutanan, serta energi dan sumber daya mineral. Atas dasar kedua undang-undang
tersebut, pemerintah daerah wajib berperan serta dalam pelaksanaan pembaruan
agraria sebagaimana yang ditentukan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 dan UUPA.
Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan menetapkan kebijakan daerah
berdasarkan pada kebutuhan dan potensi agraria yang dimiliki daerahnya. Kewenangan
ini dapat diselenggarakan oleh provinsi, kabupaten/kota berdasarkan asas
pembantuan, dan dengan cara menugasi desa. Atas dasar itu, Pemerintah Daerah
sepenuhnya berperan untuk mengendalikan sumber daya agraria di daerahnya agar
tidak terjadi konflik pemanfaatan potensi sumber daya agraria serta terwujud keadilan
dan kesejahteraan rakyat. Peran penting pemerintah daerah ini diwujudkan dengan
membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah
maupun peraturan kepala daerah. Legal policy di daerah tersebut mengacu pada politik
hukum agraria nasional yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
dan UUPA, yang ditegaskan kembali dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001. Pemerintah
Daerah juga harus ikut serta melakukan sinkronisasi antar-sektor agraria di daerahnya,
untuk melaksanakan amanat Tap MPR No. IX/MPR/2001.
Dalam hal ini, masyarakat juga dituntut untuk ikut berperan serta. Peran
masyarakat tersebut di antaranya:
a. menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagaimana yang dituangkan dalam UUPA,
khususnya yang berkaitan dengan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan ruang dan sumber daya agraria;
32 Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Peraturan Dasar Agraria.
b. mencegah terjadinya konflik agraria;
c. mendukunga program administrasi kependudukan dan administrasi pertanahan
dengan memberikan data yang sebenarnya dan melakukan pendaftaran terhadap
asetnya yang berhubungan dengan bidang-bidang agraria seperti tanah, hutan, dan
kebun;
d. melaksanakan perbuatan hukum dengan mengacu pada UUPA dan peraturan
pelaksanaannya.
2. Perkebunan
Peranan daerah dalam menangani permasalahan agraria dan pengelolaan Sumber Daya
Alam di bidang perkebunan sangatlah minim. Hal ini dikarenakan secara aturan saja,
mereka tidak mengetahui telah ada UU baru berkaitan dengan perkebunan dalam
menjawab permasalahan penelitian mereka cenderung masih menggunakan UU No. 18
Tahun 2004. Hal ini terlihat dari wawancara dengan pemerintah daerah provinsi Jawa
Timur dan Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Sumber Daya Mineral Pemda DIY.
Masyarakat juga tidak memiliki pengetahuan tentang UU Perkebunan 2014. Hal ini
terlihat dari wawancara dengan perwakilan KPA di Yogyakarta yang mesaih merujuk
pada UU perkebunan yang lama. KPA sebagai LSM yang mewakili masyarakat saja tidak
memiliki pengetahuan yang baik tentang UU Perkebunan 2014 apalagi masyarakat
secara umum.
3. Lingkungan
Dalam UUPPLH tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tetapi
kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota. Perubahan konsep ini tampaknya didasarkan pada
pertimbangan bahwa konsep negara lebih luas karena mencakup pemerintah, teritorial,
dan warga negara. Negara dijalankan oleh pemerintah sebagai sebuah organisasi
kekuasaan negara. Kewenangan pemerintah pada tiga tingkatan diformulasikan lebih
rinci, yaitu meliputi, antara lain: menetapkan kebijakan nasional; menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH nasional; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
mengembangkan standar kerjasama, mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa
genetik; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak
perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas
negara; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah; melakukan pembinaan dan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup; mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja
sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
menetapkan standar pelayanan minimal; menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
mengelola informasi lingkungan hidup nasional; mengoordinasikan, mengembangkan,
dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; memberikan
pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; mengembangkan sarana dan
standar laboratorium lingkungan hidup; menerbitkan izin lingkungan; menetapkan
wilayah ekoregion; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
Sedangkan mengenai kewenangan pemerintah provinsi diatur dalam Pasal 63 ayat
(2) yang meliputi, antara lain yaitu: menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; metapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH provinsi; menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai Amdal dan UKL-UPL; menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan
emisi gas rumah kaca pada tingkay provinsi; mengembangkan dan melaksanakan
kerjasama dan kemitraan; mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah kabupaten/kota, melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup; mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian
perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa; melakukan
pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang
program dan kegiatan; melaksanakan standar pelayanan minimal; menetapkan
kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; mengelola informasi lingkungan
hidup tingkat provinsi; mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup; memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan; menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
Selanjutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan Pasal 63 ayat
(3) meliputi antara lain, yaitu: menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota; mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; memfasilitasi
penyelesaian sengketa; melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan; melaksanakan standar pelayanan minimal;
melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; mengelola informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; memberikan
pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; menerbitkan izin lingkungan pada
tingkat kabupaten/kota; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada
tingkat kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
yang dirumuskan secara terinci sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 63 UUPPLH
tersebut pada dasarnya tidak tepat. Semestinya rumusan normatif dalam tingkatan
undang-undang bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin
dijangkau. Selain itu, penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang
tidak perlu atau berlebihan dan tidak efisien, misalkan penyebutan kewenangan
penegakan hukum. Tanpa penyebutan kewenangan penegakan hukum , pemerintah
sudah semestinya memiliki kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu
sudah inheren dengan pemerintah.33
Sedangkan mengenai peranserta dalam pengelolaan lingkungan dapat dilakukan,
antara lain, dengan cara-cara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 65 ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), yaitu: mengajukan usulan dan keberatan atau menyampaikan
pengaduan kepada pejabat yang berwenang. Selain peranserta masyarakat juga dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 70 UUPPLH, yaitu melakukan pengawasan, pemberian sara,
pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan penyampaian informasi atau laporan.
Dengan demikian, secara normatif UUPPLH sudah sejalan dengan atau mengadopsi
Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang menekankan pentingnya demokratisasi dan
peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.34
Lothar Grundling, sebagaimana telah dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri,
mengemukakan mengenai beberapa manfaat dari adanya peranserta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup yaitu: memberikan informasi kepada pemerintah,
meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah,
mencegah terjadinya pengajuan gugatan oleh masyarakat, dan mendemokratisasikan
pengambilan keputusan.35
4. Pertambangan
Penelitian ini jelas menunjukan pemerintah daerah telah mengambil peran dalam
pengelolaan sumber daya alam antara lain dari segi regulasi, DPRD bersama
33 Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 75. 34 Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 67. 35 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Lingkungan, 1986, dalam Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 68.
Pemerintah Daerah menetapkan berbagai peraturan daerah untuk melindungi sumber
daya alam dari kegiatan eksploitasi yang merusak atau berpotensi merusak lingkungan,
di antaranya Perda No 02 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Air, Perda Nomor 05 Tahun
2012 tentang RTRW, Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Zona Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Perda Nomor 02 Tahun 2013 tentang Tahura S. Surya; Perda Nomor 11 Tahun
2013 tentang Pencabutan Perda Nomor 06 Tahun 2004 tentang Pengadaan Tanah;
Perda Nomor 12 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis di Provinsi
Jawa Timur; Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air
Tanah, Perda Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2012-2032.
Sedangkan dalam implementasi peraturan daerah, dengan mengambil contoh
provinsi jawa Timur misalnya, Gubernur Jawa Timur telah menjatuhkan sanksi teguran
tertulis kepad PT Tjiwi Kimia dan PT Alu Aksara Pratama karena kegiatan pembuangan
limbahanya yang berpotensi mencemari sungai. DPRD Jawa Timur (Komisi A)
menerima banyak pengaduan dari masyarakat terkait kekgiatan eksploitasi
sumberdaya alam yang berpotensi atau telah mencemarkan lingkungan dan kemudian
menindaklanjuti para pihak untuk dipanggil ke DPRD.
Beberapa permasalahan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jawa Timur
adalah:
Pertama, sengketa antar daerah dalam hal kepemilikan sumber daya alam,
misalnya sengketa kepemilikan gunung kelud antara Pemkab Blitar dengan Pemkab
Kediri atau sengketa kepemilikan pulau Galang antara Pemkot Surbaya dan Pemkab
Gresik. Kedua, konflik Perusahaan pengelolaa sumber daya alam dengan buruh,
misalnya di PT Exxon Mobile di Bojonegoro, Konflik masyarakat sekitar dengan
pengelola sumber daya alam, misalnya konflik masyarakat dengan perusahaan tambah
di Jember. Kendala-kendala yang dihadapi daerah Jawa Timur dalam pelaksanaan TAP
MPR No IX/MPR/2001 antara lain: Kendala dari segi hukumnya sendiri. Undang-
Undang Agraria dan Sumber Daya Alam yang jumlahnya sangat banyak seringkali
meteri muatannya saling bertentangan satu sama lain dan hanya terfokus pada masing-
masing sumber daya alam. Padaghal tiap sumberdaya alam saling terkait, misalnya
tambang mineral dan batu bara sangat terkait dengan tanah dan hutan. Jadi, UU Agraria
dan UU sumber daya alam yang ada harus saling bersentuhan dan tidak bisa berdiri
sendiri. Kendala dari segi kapasitas pelaksana, sumber pendanaan dan sarana
prasarana, dan kendala dari masyarakat.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
UUPA sebagai landasan pokok dan pegangan operasional untuk menjalankan program
pembaruan agraria nasional. Namun, UUPA ini belum dilaksanakan dengan sepenuhnya
karena masih ada beberapa amanat UUPA yang belum ditindaklanjuti dengan peraturan
perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, lahir
beberapa undang-undang yang mengatur sektor-sektor agraria yang menyimpang dari
konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan UUPA sebagai peraturan pokok
bidang agraria. Ini merupakan konsekuensi logis dari kelemahan UUPA yang tidak
mengatur secara detail setiap sektor agraria dan terkesan hanya menitikberatkan pada
pengaturan mengenai tanah.
Sumber daya alam bidang perkebunan telah terdapat UU baru tentang
perkebunan yaitu UU No. 38 Tahun 2014 menggantikan UU No. 18 Tahun 2004. Adapun
tujuan pergantian diantaranya adalah untuk menangani sengketa perkebunan,
pembatasan PMA, dan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Tujuan ini
tentunya sejalan dengan Tap MPR No. IX/MPR/2001, akan tetapi muatan pasal-pasal
dalam UU Perkebunan mengandung beberapa kelemahan yaitu bertentangan dengan
HAM, adanya ketidakjelasan aturan dan tumpang tindih dari aturan hukum. Kelemahan
materi hukum dari UU Perkebunan 2014 ini tentunya berdampak pada penegakan
hukum. Berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
perkebunan, masing-masing daerah penelitian memiliki karakter tersendiri terutama
untuk Yogya yang harus disesuaikan dengan aturan tentang UU Keistimewaan DIY.
Adapun peran pemerintah daerah dan masyarakat dibidang perkebunan sangatlah
minim hal ini terlihat dari kurangnya pengetahuan aparat pemerintah daerah dan LSM
sebagai perwakilan dari masyarakat tentang UU Perkebunan 2014.
B. Saran dan Rekomendasi
1. Saran
Pemerintah daerah dan masyarakat harus responsif terhadap pelaksanaan program
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah daerah dapat
mendorong Pemerintah Pusat agar segera melaksanakan pembaruan agraria
sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001; melakukan
pendampingan-pendampingan terhadap masyarakat dengan didasarkan pada perda
yang mengaturnya sehingga akan tercapai adanya pengakuan kearifan lokal dalam
masyarakat tersebut; melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang berkonflik untuk
mengambil jalan dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak (miskin).
Masyarakat juga harus dilibatkan dalam program pembaruan agraria karena:
a. Untuk mencegah masuknya nama-nama yang tidak berhak ke dalam daftar
penerima tanah dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab;
b. Untuk memberikan data yang baik sesuai nama penggarap dan administrasi
kependudukan; dan
c. Untuk mencegah konflik di antara masyarakat.
2. Rekomendasi
Segala peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh undang-undang yang berkaitan
dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk UU Perkebunan harus
segera untuk diundangkan sehingga tercipta kepastian hukum, dapat menjadi sarana
sosialisasi peraturan, menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat
peraturan daerah.
Berkaitan dengan kondisi UUPA saat ini, maka perlu segera dilakukan
penyempurnaan UUPA dengan mereposisi atau mengembalikan UUPA sebagai lex
generalis atau penyempurnakan UUPA sebagai lex specialis.
==========