pola kepekaan bakteri kontaminan luka operasi pasien di bangsal bedah umum rsud ulin banjarmasin...
TRANSCRIPT
POLA KEPEKAAN BAKTERI KONTAMINAN LUKA OPERASI PASIEN DI BANGSAL BEDAH UMUM RSUD ULIN
BANJARMASIN PERIODE MEI-JULI 2013
Tinjauan In Vitro Uji Kepekaan Isolat Bakteri Kontaminan Asal Swab Luka Operasi Pasien di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin terhadap
Gentamisin, Kloramfenikol, Seftriakson, dan Sefotaksim
Luthfi Indiwirawan1, Husna Dharma Putera2, Lia Yulia Budiarti3
1 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
2 SMF Bedah Orthopedi RSUD Ulin Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
3 Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
[email protected]. Veteran No. Banjarmasin
ABSTRAK: Luka operasi adalah terputusnya hubungan jaringan superfisial akibat tindakan operasi yang membuat jalan masuknya bakteri ke tubuh dan dapat mengakibatkan infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kepekaan bakteri kontaminan luka operasi pasien di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin terhadap antibiotika terpilih yaitu gentamisin, kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim selama periode Mei-Juli 2013. Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling menurut kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan isolat bakteri kontaminan luka operasi yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa, Streptococcus sp. Uji kepekaan ketiga jenis bakteri tersebut dilakukan secara in vitro dengan metode difusi Kirby-Bauer. Zona radikal yang terbentuk diukur dan dibandingkan dengan standar CLSI 2011. Hasil uji kepekaan antibiotika menunjukkan Staphylococcus aureus memiliki sensitifitas terhadap gentamisin (94,1%), sefotaksim (41,2%), kloramfenikol (35,3%), dan seftriakson (23,5%). Staphylococcus epidermidis memiliki sensitifitas terhadap kloramfenikol (42,8%), seftriakson (28,6%), sefotaksim (14,3%), gentamisin (0%). Pseudomonas aureugenosa memiliki sensitifitas terhadap sefotaksim (100%) seftriakson (20%), gentamisin (0%) dan kloramfenikol (0%). Streptococcus sp. memiliki sensitifitas 100% terhadap kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim, sensitifitas terhadap gentamisin sebesar 0%. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa bakteri kontaminan pada luka operasi sensitif terhadap Gentamisin (56,7%), Sefotaksim (43,33%), Kloramfenikol (30%), dan Seftriakson (23,33%).
Kata-kata kunci : Bakteri kontaminan, In vitro, Kepekaan antibiotika, Luka operasi
ABSTRACT: Surgical wound is a superficial discontinuity due to surgery. Surgical wound can make the entrance of bacteria through the body and cause infection. The aim of this research was to figure out the susceptibility pattern of bacteria contaminat in surgical wound at surgery ward of RSUD Ulin Banjarmasin to selected antibiotics i.e. gentamicin, chloramphenicol, ceftriaxone, and cefotaxime during June-August 2012. This was descriptive research. The samples were taken with consecutive sampling technique according to inclusion criteria. This research used bacteria contaminant in surgical wound isolates i.e. Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas auregenosa, and Streptococcus sp. Antibiotic susceptibility test was done in vitro with Kirby-Bauer diffusion method. The radical zones were measured and compared to CLSI 2011 standard. The antibiotic susceptibility test result showed that Staphylococcus aureus was sensitive to gentamicin (94,1%), cefotaxime (41,2%), chloramphenicol (35,3%), and ceftriaxone (23,5%); Staphylococcus epidermidis was sensitive to chloramphenicol (42,8,%), ceftriaxone (28,6%), cefotaxime (14,3%), and gentamicin (0%); Pseudomonas auregenosa was sensitive to cefotaxime (100%), ceftriaxone (20%), gentamicin (0%), and chloramphenicol (0%); Streptococcus sp. was sensitive 100% to chloramphenicol, ceftriaxone, and cefotaxime. Streptococcus sp. was sensitive to gentamicin (0%). It was concluded that bacteria contaminat in surgical wound were sensitive to gentamicin (56,7%), cefotaxime (43,33%), chloramphenicol (30%), and ceftriaxone (23,33%).
Keywords: Antibiotic susceptibility, Bacteria contaminant, In Vitro, Surgical wound
PENDAHULUAN:
Luka adalah hasil dari gangguan fisik pada kulit yang merupakan salah satu
pertahanan utama tubuh terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen.
Ketika bakteri dapat menembus pertahanan ini, maka akan terjadi suatu infeksi.
Luka juga merupakan salah satu jalan masuk bakteri patogen ke tubuh (1,2).
Luka terbagi menjadi beberapa macam, salah satunya adalah luka yang
disebabkan karena tindakan operasi. Data dari CDC (Central of Disease Control),
diperkirakan terjadi tindakan operasi sebanyak 16 juta dalam tahun 2010 di
Amerika Serikat. Menurut data rekam medik, Bagian Bedah Umum RSUD Ulin
Banjarmasin selama tahun 2012 rata-rata dilakukan tindakan operasi sebanyak 61
kali perbulan. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian dari
luka operasi cukup tinggi. Tindakan operasi dapat menyebabkan adanya luka
operasi, sehingga akan menimbulkan suatu infeksi. Hasil penelitian terdahulu di
Nigeria tahun 2012, dilaporkan jenis bakteri penyebab infeksi pada luka operasi
tersebut diantaranya berupa bakteri kontaminan yang berasal dari kulit dan
lingkungan seperti E.coli, Enterococcus, dan Staphylococcus (2,3,4).
Untuk menanggulangi terjadinya infeksi saat pembedahan maupun setelah
pembedahan digunakan antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis
harus disertai dengan pertimbangan yang benar, yakni indikasi, waktu, dan lama
pemberian, serta pilihan antibiotiknya (5). Jenis antibiotik yang sering digunakan
sebagai antibiotik profilaksis di bagian Bedah RSUD Ulin Banjarmasin
diantaranya adalah gentamisin, kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim.
Antibiotik mempunyai sifat membunuh atau menghambat bakteri yang
sensitif. Diketahui bahwa pemberian antibiotik yang tidak adekuat serta durasi
pemberian antibiotik yang tidak rasional, terjadi di rumah sakit. Hal ini
menyebabkan adanya seleksi terhadap strain yang resisten sehingga akhirnya
penggunaan antibiotik menjadi tidak efektif dan dapat mengakibatkan perubahan
pola bakteri penyebab infeksi dan selanjutnya terjadi perubahan pola kepekaan
bakteri terhadap berbagai antibiotik (6,7,8).
Pola kepekaan bakteri akan berbeda pada tempat dan waktu yang berbeda.
Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian. Sampai saat ini,
belum ada data tentang pola kepekaan bakteri di Bangsal Bedah Umum. Pada
penelitian ini akan dilakukan uji beberapa antibiotik menggunakan metode difusi
Kirby Bauer terhadap isolat-isolat bakteri dari swab luka operasi di Bangsal
Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin pada periode Mei-Juli 2013 yang
teridentifikasi jenis/strainnya. Antibiotik yang akan diuji adalah gentamisin,
kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kepekaan bakteri kontaminan
luka operasi pasien di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin periode
Mei-Juli 2013 terhadap beberapa antibiotika terpilih secara in vitro.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak
yang berkepentingan khususnya Bagian Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin
mengenai kepekaan isolat bakteri dari luka operasi terhadap antibiotika terpilih
(gentamisin, kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim) periode Mei-Juli 2013
agar dapat memberikan antibiotika profilaksis yang tepat dan rasional sehingga
infeksi dapat dihindari dan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif. Populasi penelitian yaitu
pasien-pasien di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin pada periode
Mei-Juli 2013. Sampel pada penelitian ini yaitu isolat-isolat bakteri yang telah
diidentifikasi sebagai bakteri kontaminan pada pasien luka operasi di Bangsal
Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive
sampling. Instrumen penelitian meliputi adalah kapas lidi steril, tabung reaksi dan
raknya, autoklaf (All American), inkubator (Carbolite), laminary flow (Holten
Maxisafe), aluminium foil (Total Wrap), kaliper skala milimeter, ose bulat,
cawan petri, lampu bunsen, pinset, pipet tetes, gelas beker, labu erlenmeyer,
timbangan, hot plate, dan termos es.
Penelitian ini dilaksanakan di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin
Banjarmasin dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin pada bulan Mei-Juli 2013.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan isolat bakteri, yaitu Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa, dan Streptococcus sp.
yang diambil dari 30 sampel luka operasi pada pasien yang dirawat di Bangsal
Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin selama periode 1 Mei – 31 Juli 2013. Uji
kepekaan terhadap isolat bakteri pada penelitian menggunakan antibiotika
gentamisin (CN), kloramfenikol (C), seftriakson (CRO), dan sefotaksim (CTX)
dengan metode difusi Kirby-Bauer secara in vitro.
Zona radikal yang terbentuk dari masing-masing perlakuan antibiotika
kemudian dibandingkan dengan diameter standar menurut CLSI 2011. Persentasi
kepekaan bakteri-bakteri uji terhadap antibiotika terpilih dapat dilihat pada Tabel
5.1
Tabel 5.1 Persentasi Kepekaan Isolat Bakteri Pada Luka Operasi di Bangsal Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin terhadap Antibiotika Terpilih in Vitro
Keterangan:CN : Gentamisin S : SensitifC : Kloramfenikol I : IntermedietCRO : Seftriakson R : ResistenCTX : SefotaksimGambaran lebih jelas mengenai pola kepekaan bakteri pada luka operasi terhadap
masing-masing antibiotika dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
CN C CRO CTX0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Staphylococcus aureus
Sensitif Intermediet Resisten
JenisBakteri
Kepekaan Antibiotika (%)CN C CRO CTX
S I R S I R S I R S I RStaphylo-coccus aureus
94,1 0 5,8 35,3 35,3
29,4 23,5 47,1
29,4 41,2 41,2
17,6
Staphylo-coccus epidermidis
0 28,6
71,4 42,8 28,6
28,6 28,6 42,8
28,6 14,3 14,3
71,4
Pseudomonas aureugenosa
0 80 20 0 20 80 20 60 20 100 0 0
Strepto-coccus sp.
100 0 0 100 0 0 100 0 0 100 0 0
Gambar 5.1 Pola Kepekaan Isolat Staphylococcus aureus asal sampel luka operasi terhadap Gentamisin, Kloramfenikol, Seftriakson dan Sefotaksim in Vitro
Gambar 5.2 Pola Kepekaan Isolat Staphylococcus epidermidis asal sampel luka operasi terhadap Gentamisin, Kloramfenikol, Seftriakson dan Sefotaksim in Vitro
Gambar 5.3 Pola Kepekaan Isolat Pseudomonas aureugenosa asal sampel luka operasi terhadap Gentamisin, Kloramfenikol, Seftriakson dan Sefotaksim in Vitro
CN C CRO CTX0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
Staphylococcus epidermidis
Sensitif Intermediet Resisten
CN C CRO CTX0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Pseudomonas aureugenosa
Sensitif Intermediet Resisten
Gambar 5.4 Pola Kepekaan Isolat Streptococcus sp. asal sampel luka operasi terhadap Gentamisin, Kloramfenikol, Seftriakson dan Sefotaksim in Vitro
A. Kepekaan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa dan Streptococcus sp. terhadap Gentamisin
Hasil uji kepekaan dari isolat Staphylococcus aureus dan Streptococcus
sp. menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap gentamisin, yaitu sebesar 94,1%
dan 100%, sedangkan sensitifitas gentamisin pada isolat Staphylococcus
epidermidis dan Pseudomonas aureugenosa sebesar 0%.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Harniza di Bangsal Bedah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2009, bahwa
Staphylococcus aureus resisten terhadap gentamisin sebesar 12,10% (9).
Sedangkan penelitian Shittu di Afrika Selatan melaporkan terdapat resistensi
Staphylococcus aureus terhadap gentamisin sebesar 28,6% (10).
Pada penelitian ini didapatkan resistensi Staphylococcus epidermidis
terhadap gentamisin sebesar 71,4%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
CN C CRO CTX0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Streptococcus sp.
Sensitif Intermediet Resisten
penelitian Samuel di Ruang Rawat Inap Bagian Bedah RSUD DR.H.Abdoel
Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2012 yang mendapat resistensi
Staphylococcus epidermidis sebesar 30,77% terhadap gentamisin (11).
Selanjutnya, dari hasil penelitian ini persentase kepekaan Pseudomonas
aureugenosa terhadap gentamisin sebesar 0% sensitif, 80% intermediet, 20%
resisten. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Samuel tahun 2012, yaitu
resistensi pada Pseudomonas aureugenosa terhadap gentamisin sebesar 20% (11).
Dibandingkan dengan hasil penelitian lain, seperti hasil penelitian Harniza tahun
2009, yang melaporkan bahwa Pseudomonas aureugenosa sebesar 37,5% resisten
terhadap gentamisin (9) dan dari hasil penelitian penelitian George pada tahun
2007 menunjukkan bahwa resistensi terhadap gentamisin sebesar 9,6% (12).
Hasil penelitian ini didapatkan sensitifitas Streptococcus sp. sebesar 100%
terhadap gentamisin, hasil berbeda dilaporkan pada penelitian wahyudhi tahun
2010 yang menyebutkan Streptococcus sp. resisten terhadap gentamisin sebesar
100% (13).
Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida seperti gentamisin dapat terjadi
karena kegagalan penetrasi ke dalam kuman, rendahnya afinitas obat pada
ribosom atau inaktivasi obat oleh enzim kuman. Sampai saat ini telah dikenal
berbagai enzim inaktivator aminoglikosida yaitu enzim fosforilase, adenilase,
asetilase gugus hidroksil spesifik atau gugus amino. Informasi genetik untuk
sintesis enzim terutama didapatkan melalui konjugasi, transfer DNA sebagai
plasmid dan transfer faktor resisten kuman. Plasmid pembawa resitensi yang
tersebar luas dan membawa lebih dari 20 kode enzim ini bertanggung jawab
terhadap resistensi gentamisin (14).
B. Kepekaan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa dan Streptococcus sp. terhadap Kloramfenikol
Hasil uji kepekaan isolat Staphylococcus aureus terhadap kloramfenikol
didapatkan persentasi 35,3% sensitif; 35,3% intermediet dan 29,4% resisten. Hasil
uji kepekaan isolat Staphylococcus epidermidis adalah 42,8% sensitif; 28,6%
intermediet dan 28,6% resisten. Hasil uji kepekaan Pseudomonas aureugenosa
terhadap kloramfenikol didapatkan 20% intermediet dan 80% resisten. Sementara
itu, hasil uji kepekaan Streptococcus sp. terhadap kloramfenikol bersifat 100%
sensitif.
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Harniza yang tahun 2009
melaporkan bahwa resistensi Staphylococcus aureus terhadap kloramfenikol
sebesar 22,4% (9). Hasil berbeda dilaporkan oleh beberapa penelitian lain dengan
persentase resistensi yang lebih besar, seperti penelitian Okonko et al (2009) dan
Nkang et al (2009), yang melaporkan bahwa S.aureus 100% resisten terhadap
kloramfenikol dan hasil penelitian Shittu di Afrika Selatan tahun 2006 yang
menyebutkan dari 227 isolat S.aureus yang diuji kepekaan didapatkan resistensi
terhadap kloramfenikol sebesar 4,8% (10,15,16).
Selanjutnya hasil ui kepekaaan Staphylococcus epidermidis pada
penelitian ini didapatkan resistensi terhadap kloramfenikol sebesar 28,6% relatif
berbeda dengan hasil penelitian Samuel tahun 2012 yang mendapat resistensi
terhadap kloramfenikol sebesar 46,15% (10).
Hasil uji kepekaan Pseudomonas aureugenosa terhadap kloramfenikol
pada penelitian ini relatif berbeda dengan dengan hasil penelitian Kristiawan
tahun 2005 melaporkan resistensi P.aureugenosa terhadap kloramfenikol sebesar
24,4% dan pada penelitian Chikwendu tahun 2010 di Nigeria yang mendapatkan
resistensi terhadap P.aureugenosa terhadap kloramfenikol sebesar 14,6% (17,18).
Hasil uji kepekaan Streptococcus sp. terhadap kloramfenikol pada
penelitian ini didapatkan 100% sensitif, relatif sama dengan hasil penelitian
Hermawan di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2011, yang melaporkan bahwa
86,6% Streptococcus sp. sensitif, sedangkan dari hasil penelitian Devi et al
mendapatkan hasil 80% Streptococcus sp. dari 160 isolat yang diuji sensitif
terhadap kloramfenikol (19,20).
Resistensi kloramfenikol terjadi karena bakteri yang resisten terhadap
kloramfenikol menghasilkan enzim kloramfenikol asetiltransferase yang merusak
aktivitas obat (21). Resistensi juga akibat adanya perpindahan plasmid dari bakteri
resisten ke bakteri sensitif, yaitu bila bakteri yang semula sensitif bersama-sama
bakteri yang resisten terhadap suatu antibiotika (2).
C. Kepekaan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa dan Streptococcus sp. terhadap seftriakson
Resistensi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis
terhadap seftriakson didapatkan sebesar 29,4% dan 28,6%. Hasil uji kepekaan
Pseudomonas aureugenosa terhadap seftriakson didapatkan 60% resisten.
Sementara itu, Streptococcus sp. bersifat 100% sensitif terhap seftriakson.
Resistensi Staphylococcus aureus terhadap seftriakson dilaporkan secara
beragam oleh beberapa penelitian lain, Seperti penelitian Sudibyo dkk tahun 2008
menyebutkan resistensi seftriakson sebesar 4,3% (22). Penelitian yang dilakukan
Shelly tahun 2009 di laboratorium mikrobiologi klinik FKUI memperoleh hasil
resitensi S.aureus pada tahun 2004-2006 sebesar 21,4% (23). Hasil penelitian
Omoregie et al tahun 2007 yang melaporkan bahwa hanya 1,44% S.aureus yang
sensitif seftriakson (24). Hasil penelitian ini didapatkan resistensi Stahylococcus
epidermidis sebesar 28,6% terhadap seftriakson, hasil yang relatif sama
didapatkan pada penelitian Rosana tahun 2007 yang menyebutkan resistensi
S.epidermidis terhadap seftriakson sebesar 22,3% (25).
Hasil uji kepekaan Pseudomonas aureugenosa terhadap seftriakson pada
penelitian ini relatif sama dengan hasil pada penelitian Fauziah tahun 2010 yang
mendapatkan bahwa P.aureugenosa resisten terhadap seftriakson sebesar 74,1%
(26), dan juga hasil berbeda didapatkan dari penelitian Refdanita tahun 2004 dan
penelitian Muliawan tahun 2011 yang menyatakan persentase resistensi
P.aureugenosa sebesar 28,6% dan 100% (21,27).
Selanjutnya, hasil uji kepekaan Streptococcus sp. terhadap seftriakson
pada penelitian ini didapatkan sensitifitas sebesar 100%. Hasil yang relatif sama
dengan penelitian Chen yang mendapatkan sensitifitas Streptococcus sp. terhadap
seftriakson lebih dari 80% (28). Sedangkan pada penelitian Hermawan tahun 2011
didapatkan resistensi Streptococcus sp. terhadap seftriakson berada pada
persentase yang cukup tinggi sebesar 80% (19).
Seftriakson memiliki onset kerja yang cepat, penggunaan yang mudah
karena cukup sekali sehari, dan spektrumnya yang luas sehingga sering digunakan
dan akhirnya menyebabkan terjadinya resistensi (26).
D. Kepekaan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa dan Streptococcus sp. terhadap sefotaksim
Hasil uji kepekaan isolat Staphylococcus aureus terhadap sefotaksim
sebesar 41,2% sensitif, 41,2% intermediet dan 17,6% resisten. Isolat
Staphylococcus epidermidis sebesar 14,3% sensitif, 14,3% intermediet, dan 71,4%
resisten. Sedangkan isolat Pseudomonas aureugenosa dan Streptococcus sp.
memilik sensitifitas yang tinggi terhadap sefotaksim yaitu sebesar 100%.
Hasil penelitian yang relatif berbeda didapatkan pada penelitian Samuel
tahun 2012 yang menyatakan bahwa S.aureus dan S.epidermidis memiliki
resistensi terhadap sefotaksim sebesar 100% dan 71,4% (11). Selanjutnya, hasil
penelitian Godebo et al di Ethiopia tahun 2013, melaporkan bahwa isolat
P.aureugenosa mengalami resistensi sebesar 12,2% (29). Hasil penelitian ini
didapatkan Streptococcus sp. sensitif 100% terhadap seftriakson. Penelitian
Wahyudhi tahun 2010 melaporkan bahwa presentase Streptococcus sp. sensitif
terhadap sefotaksim sebesar 28,6% (13).
Salah satu penyebab mekanisme resistensi pada antibiotika golongan beta-
laktam seperti sefotaksim, terutama yang terjadi pada bakteri gram negatif adalah
disintesisnya enzim betalaktamase AmpC oleh bakteri dan menyebabkan
antibiotik betalaktam tidak dapat bekerja (30).
Urutan antibiotika berdasarkan kepekaannya pada isolat Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa, dan
Streptococcus sp. dapat dilihat pada Tabel 5.2
Tabel 5.2 Kepekaan Antibiotika Terpilih pada isolat Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aureugenosa, dan Streptococcus sp. in Vitro
No. Kode Antibiotika Nama Antibiotika Kepekaan (%)1. CN Gentamisin 56,702. CTX Sefotaksim 43,333. C Kloramfenikol 304. CRO Seftriakson 23,33
Tabel 5.2 menunjukkan Gentamisin merupakan antibiotika dengan
kepekaan tertinggi (56,70%) untuk isolat bakteri kontaminan pada luka operasi.
Sefotaksim berada di urutan kedua dengan kepekaan mencapai 43,33%, diikuti
Kloramfenikol di urutan ketiga. Sementara seftriakson memiliki kepekaan paling
rendah, yaitu 23,33%.
Perbedaan hasil uji kepekaan isolat bakteri kontaminan pada luka operasi
terhadap antibiotika terpilih pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian lain
sebelumnya dapat terjadi karena perbedaan jumlah sampel, lama penelitian, lokasi
penelitian, dan resistensi terhadap antibiotika tertentu. Perbedaan jenis antibiotika
yang sering digunakan di masing-masing wilayah akan menghasilkan pola
kepekaan yang berbeda (31). Resistensi terhadap antibiotika dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal, antara lain penggunaan antibiotika dan pasien itu sendiri.
Penggunaan antibiotika yang irasional, seperti pemberian yang terlalu singkat,
dosis yang terlalu rendah, penggunaan suatu antibiotika tertentu secara terus-
menerus dan ketidaksesuaian dengan bakteri penyebab dapat meningkatkan
resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika. Sementara itu, pasien yang sering
menggunakan antibiotika untuk mengobati sendiri penyakit yamg dideritanya
tanpa resep dokter akan meningkatkan intensitas paparan bakteri terhadap
antibiotika , sehingga cenderung meningkatkan resistensi bakteri tersebut.
Lamanya perawatan di rumah sakit juga merupakan faktor timbulnya resistensi
terhadap antibiotik karena dapat memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri yang
didapat dari rumah sakit dan memungkinkan timbulnya resistensi endogen dari
bakteri. Sedangkan penurunan persentase resitensi dapat diakibatkan oleh
pengendalian infeksi dan pembatasan penggunaan antibiotik (32).
Peningkatan resistensi atibiotik dapat diatasi dengan De-eskalasi
penggunaan antibiotik yaitu penggunaan antibiotik spektrum luas untuk terapi
inisial dilanjutkan dengan penggunaan antibiotik dengan spektrum yang lebih
sempit. Selain itu, penggunaan kombinasi antibiotik dari kelas yang berbeda serta
antibiotic cycling juga merupakan upaya pencegahan muculnya resistensi (11).
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa simpulan sebagai
berikut: Staphylococcus aureus memiliki sensitifitas terhadap gentamisin (94,1%),
kloramfenikol (35,3%), seftriakson (23,5%), dan sefotaksim (41,2%).
Staphylococcus epidermidis memiliki sensitifitas terhadap kloramfenikol
(42,8%), seftriakson (28,6%), sefotaksim (14,3%), gentamisin (0%).
Pseudomonas aureugenosa memiliki sensitifitas terhadap sefotaksim (100%)
seftriakson (20%), gentamisin (0%) dan kloramfenikol (0%). Streptococcus sp.
memiliki sensitifitas 100% terhadap kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim,
sensitifitas terhadap gentamisin sebesar 0%. Presentase bakteri kontaminan pada
luka operasi memiliki sifat sensitif terhadap gentamisin 56,7%, Sefotaksim
43,33%, kloramfenikol 30%, dan seftriakson 23,33%. Gentamisin merupakan
antibiotika dengan kepekaan tertinggi, diikuti Sefotaksim dan Kloramfenikol.
Seftriakson memiliki kepekaan terendah.
Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian lanjut dengan
menggunakan jumlah sampel dan variabel penelitian yang lebih banyak mengenai
pola kepekaan bakteri kontaminan pada luka operasi dan jenis luka lainnya di
bagian-bagian lain di RSUD Ulin Banjarmasin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Giacometti A, Cirioni O, Schimizzi AM, et al. Epidemiology and microbiology of surgical wound infections. Journal of Clinical Microbiology 2000; 38 (2): 918-922.
2. Brooks GF, Butel JS, Morse SA, Jawetz, Melnicks, and Adelberg's medical microbiology. 23rd ed. New York: Lange Medical Books, 2004.
3. Central of Diseases Control. Surgical site infection protocol corrections, clarification, and additions. United States : CDC. 2013.
4. Etok A, Ekom N, Ernest O. Aetiology and antimicrobial studies of surgical wound infections in university of uyo teaching hospital uyo, akwa ibom state, nigeria. Department of Microbiology 2012; 1 (7): 1-5.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC, 2010.
6. Lestari ES, Severin JA, Verbrugh HA. Antimicrobial resistance among pathogenic bacteria in Southeast Asia: a review. Department of Medical Microbiology and Infectious Diseases 2009; 2: 17-62.
7. Raja NS. Microbiology of diabetic foot infections in a teaching hospital in Malaysia: a retrospective study of 194 cases. J Microbiol Immunol Infect 2007; 40: 39-44.
8. Billater M. Bacterial resistance. Pharmacotherapy Slef-Assesment Program; 4: 89-169.
9. Harniza Y. Pola resistensi bakteri yang diisolasi di bangsal bedah rumah sakit umum pusat nasional Cipto Mangunkusumo. KTI. Jakarta: FK UI. 2009.
10. Shittu AO and Lin J. Antimicrobial susceptibility patterns and characterization of clinical isolats of Staphylococcus aureus in Kwazulu province, South Africa. BMC Infectious Disease 2006; 6:125.
11. Samuel Andy. Pola resistensi bakteri aerob penyebab infeksi luka operasi terhadap antibiotik di ruang rawat inap bagian bedah dan kebidanan RSUD. DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. KTI. Lampung: FK Unila. 2012.
12. George G Zhanel, et al. Prevelance of antimicrobial-resistant patogens in Canadian hospitals; Results from the CANWARD 2007 study. Can J Infect Dis Med Microbiol 2009; 20: Suppl A:9A-20A.
13. Wahyudi Afrian dan Triana Silvia. Pola kuman dan uji kepekaan antibiotik pada pasien unit perawatan intensif anak RSMH Palembang. Sari Pediatri 2010; 12:1-5.
14. Istiantoro Y, Gan V. Aminoglikosid. Dalam: Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
15. Okonko IO, Soleye FA, Amusan TA, et al. Incidence of multi-drug resistance organisms in Abeokuta, Southwestern Nigeria. Global J. Pharmacol 2009; 3: 69-80.
16. Nkang AO, Okonko IO, Mejeha OK, et al. Assessment of antibiotic susceptibility profiles of some selected clinical isolates from laboratories in Nigeria. Journal of Microbiology and Antimicrobials 2009; 1: 19-26.
17. Kristiawan Ar, Jogjahartono, Pujo Widodo. Pola sebaran kuman dan uji kepekaan antibiotika sekret telinga tengah penderita mastoiditis akut di RS Dr Kariadi Semarang 2004-2005. Cermin Dunia Kedokteran 2007; 155: 77-80.
18. Chikwendu CI et al. Prevalence and antimicrobial resistance in Pseudomonas aureugenosa and Klebsiella pneumoniae isolates from non-clinical urine samples. New York Science Journal 2001; 3: 194-200.
19. Hermawan R. Pola kepekaan isolat Streptococcus sp. dari bahan pemeriksaan klinik terhadap antibiotik terpilih In vitro. KTI. Banjarmasin: FK UNLAM. 2011.
20. Devi A, V Singh, AB Bhatt. Antibiotic sensitivity pattern on Streptococcus sp. against commercial available drugs & comparison with extract of Punica granatum. International Journal of Pharma and Bio Sciences 2011; 2:504-8.
21. Refdanita, Maksum R, Nurgani A, dkk. Pola kepekaan kuman terhadap antbiotika di ruang rawat inap intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara Kesehatan 2004; 8: 41-48.
22. Sudibyo ES,Rohmawati E, Muniro, dkk. Profil resistensi antibiotik pada Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aureugenosa. Berkala Kesehatan Klinik 2008; 16: 98-102.
23. Shelly TN. Profil dan pola resistensi bakteri dari kultur darah terhadap sefalosporin generasi tiga di laboratorium mikrobiologi klinik FKUI tahun 2001-2006. KTI. Jakarta: FK UI.2009.
24. Omoregie R, Egbe CA, Ogefere HO, et al. Effects of gender and seasonal variation on the prevalence of bacterial septicaemia among young children in Benin city, Nigeria. Libyan J Med 2009; 4:153-157.
25. Rosana Y, Kiranasari A, Ningsih I, et al. Patterns of bacterial resistance against ceftriaxone from 2002 to 2005 in the Clinical Microbiology Laboratory of the Faculty of Medicine, University of Indonesia. Med J Indones 2007; 16: 3-6.
26. Fauziah S. Hubungan antara penggunaan antibiotika pada terapi empiris dengan kepekaan bakteri di ruang perawatan ICU (Intensive Care Unit) RSUP Fatmawati Jakarta Periode januari 2009-2010. Tesis. Jakarta: FK UI. 2010.
27. Muliawan R. Pola resistensi isolat Pseudomonas aureugenosa dari berbagai bahan pemeriksaan klinik terhadap antibiotik terpilih In vitro. KTI. Banjarmasin: FK UNLAM. 2011.
28. Chen X, RA Adelman. Pathogen identity and sensitivity in endophtalmitis. Association for Research in Vision and Ophtalmology 2010; 11: 238-40.
29. Godebo G, Kibru G, Tassew H. Multidrug-resistant bacterial isolates in infected wounds at Jimma University Specialized Hospital,Ethiopia. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2013; 12: 17.
30. Parveen M, Harish BN, Parija SC. AmpC beta lactamases among Gram negative clinical isolates from a tertiary hospitals, South India. Brazilian Journal of Microbiology 2010; 41(3): 596-602.
31. Bisht R, Katiyar A, Singh R, et al. Antibiotic resistance: A global issues of concern. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research 2009; 2(2): 34-40.
32. Utami E. Antibiotika, resistensi dan rasionalitas terapi. Sainstis 2012; 1(1): 124-139.