planning and budgeting study
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
Kerjasama Indonesia – Jerman
Penanggulangan Kemiskinan dan Dukungan Pemerintahan Daerah di NTB dan NTT Poverty Alleviation and Support for Local Governance in the Nusa Tenggara Provinces
EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PROSES PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
DAERAH
STUDI DI KABUPATEN BIMA, SUMBA TIMUR DAN ALOR
Disusun Oleh:
Dr. Deno Kamelus Jessica Ludwig
Suhirman
PROMIS-NT
Juni 2004
Kerjasama Indonesia – Jerman
i
KATA PENGANTAR
Proses perencanaan dan penganggaran selain harus memperhatikan berbagai prosedur normatif juga harus efektif dan efisien. Efektif berarti perencanaan dan penganggaran sesuai dengan prioritas program yang ditetapkan, sedangkan efisien berarti proses perencanaan dan penganggaran berjalan secara konsisten dengan tidak terjadi duplikasi kegiatan yang dapat menghamburkan waktu dan biaya.
Studi ini berusaha mengevaluasi proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Bima, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Alor dari sisi efektifitas dan efisiensi. Dari hasil studi di tiga kabupaten, Tim menemukan beberapa masalah dalam perencanaan dan penganggaran yaitu: 1) ketidakjelasan posisi dokumen perencanaan jangka menengah terhadap perencanaan tahunan, yang sebagian besar disebabkan oleh substansi dari perencanaan jangka menengah yang kurang tajam dan terukur, 2) status usulan dari perencanaan tahunan tingkat desa dan kecamatan (Musbangdes dan UDKP) ke perencanaan sektoral tidak transparan – disebabkan adanya perbedaan format yang dipakai dalam proses pada masing-masing tingkat tersebut, 3) hubungan antara perencanaan dan penganggaran yang bersifat tidak langsung, 4) komitmen dari pemerintah daerah dan DPRD dalam menjalankan proses perencanaan dan penganggaran yang telah disepakati bersama masih rendah di seluruh daerah yang diteliti.
Keempat hal di-atas menyebabkan terjadinya in-efektifitas dan in-efisiensi dalam proses perencanaan dan penganggaran. Selain menyajikan temuan masalah, laporan ini menyajikan rekomendasi Tim peneliti untuk memecahkan masalah tersebut di atas.
Penulis berterima kasih kepada Pemerintah Daerah khususnya Tim Counterpart yang memiliki kontribusi besar dalam studi ini. Tanpa bantuan Tim Counterpart sulit bagi Tim untuk dapat mengakses, menganalisis, dan menafsirkan data yang sangat banyak dan rumit. Tim Counterpart juga merupakan teman diskusi yang produktif bagi Tim Peneliti. Untuk pemahaman mengenai kondisi daerah dan beberapa metode yang dapat diterapkan Tim Peneliti sangat berterima kasih kepada perwakilan GTZ PROMIS-NT di tiga Kabupaten dan Competence Team di Denpasar. Akhirnya, masih banyak pihak yang berjasa dalam studi ini –terutama responden- yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Juni 2004
Dr. Deno Kamelus Jessica Ludwig Suhirman
Kerjasama Indonesia – Jerman
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN viii 1 BAB I P E N D A H U L U A N 1
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan 3 1.3 Metode penelitian 3 1.3.1 Data dan Sumber Data 3 1.3.2 Teknik Pengumpulan Data. 4 1.3.3 Kedalaman Studi dan Fokus Analisis 5 2 BAB II TEMUAN LAPANGAN: EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PERENCANAAN
DAN PENGANGGARAN DAERAH 7
2.1 Praktek Kerangka Normatif tentang Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima, Sumba Timur dan Alor 7
2.1.1 Kabupaten Bima 7 2.1.2 Kabupaten Sumba Timur 8 2.1.3 Kabupaten Alor 8 2.2 Gambaran Umum Keuangan Daerah 10 2.3 Proses Perencanaan dan Penganggaran 19 2.3.1 Kabupaten Bima 20 2.3.2 Kabupaten Sumba Timur 30 2.3.3 Kabupaten Alor 31 2.4 Output Pada Semua Proses Perencanaan dan Penganggaran 34 2.4.1 Kabupaten Bima 35 2.4.2 Kabupaten Sumba Timur 37 2.4.3 Kabupaten Alor 40
Kerjasama Indonesia – Jerman
iii
2.5 Analisis Masalah 43
2.5.1 Musyawarah Pembangunan Desa 43 2.5.2 Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) 45 2.5.3 Rapat Koordinasi Pembangunan 46 2.5.4 Tingkat Dinas dan Panitia Anggaran Eksekutif 47
3 BAB III REKOMENDASI 49
3.1 Masalah Umum Pemerintahan 50 3.1 Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah 53 3.2 Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Daerah 57 DAFTAR PUSTAKA 72 LAMPIRAN 73
Kerjasama Indonesia – Jerman
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2-1 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 11
Tabel 2-2 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2003 12
Tabel 2-3 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2003 12
Tabel 2-4 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan Kabupaten Bima TA 2002 – 2004 13
Tabel 2-5 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima TA 2002 - 2004 14
Tabel 2-6 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004 15
Tabel 2-7 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kalautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – 2004 15
Tabel 2-8 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Peternakan dan Pertanian Kabupaten Alor TA 2002 – 2004 16
Tabel 2-9 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor TA 2002 – 2004 16
Tabel 2-10 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003 17
Tabel 2-11 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2003 18
Tabel 2-12 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Alor TA 2002 - 2003 18
Tabel 2-13 Poses Perencanaan Dan Penganggaran Di Kabupaten Bima 27 Tabel 2-14 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Bima TA
2002 - 2004 35 Tabel 2-15 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di
Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 36 Tabel 2-16 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan
dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 37 Tabel 2-17 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Sumba Timur
TA 2002 - 2004 38 Tabel 2-18 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di
Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 38 Tabel 2-19 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan
dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004 39 Tabel 2-20 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Alor TA 2002
- 2004 40
Kerjasama Indonesia – Jerman
v
Tabel 2-21 Usulan yang Dibahas dan Disetujui Dalam Kegiatan Rakorbang di Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2004 41
Tabel 2-22 Jumlah Kegiatan Dinas Peternakan dan Pertanian Hasil Rakorbang Yang Disetujui Dalam APBD 42
Tabel 2-23 Perbandingan Anggaran Dinas Peternakan dan Pertanian yang Disetujui dalam Rakorbang dengan yang Tercantum dalam APBD 42
Tabel 2-24 Jumlah Kegiatan Dinas Dinas Perikanan dan Kelautan Hasil Rakorbang Yang Disetujui Dalam APBD 43
Tabel 2-25 Perbandingan Anggaran Dinas Perikanan dan Kelautan yang Disetujui dalam Rakorbang dengan yang Tercantum dalam APBD 43
Tabel 2-26 Masalah dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif 48 Tabel 3-1 Kondisi Perlu dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah 52 Tabel 3-2 Rincian Rekomendasi Siklus Perencanaan Dan Penganggaran Tahunan
Daerah 63 Tabel 3-3 Perencanaan Penganggaran Jangka Menengah (Renstra/MTEF) dan
Tahunan Dalam Kerangka Strategi Penanggulangan Kemiskinan 69
Kerjasama Indonesia – Jerman
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 11
Gambar 2-2 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004 12
Gambar 2-3 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2003 13
Gambar 2-4 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur di Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima TA 2002 - 2004 14
Gambar 2-5 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur di Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004 15
Gambar 2-6 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan dan Pertanian dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor TA 2002 - 2004 16
Gambar 2-7 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003 17
Gambar 2-8 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003 18
Gambar 2-9 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003 19
Gambar 2-10 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima (Musbangdes – Rakorbang) 25
Gambar 2-11 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima (Rakorbang – APBD) 26
Gambar 2-12 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur (Forkod – APBD) 32
Gambar 2-13 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Alor (Rakorbang – APBD) 33
Gambar 2-14 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Bima TA 2002 - 2004 35
Gambar 2-15 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 36
Gambar 2-16 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004 37
Gambar 2-17 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004 38
Gambar 2-18 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004 39
Gambar 2-19 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004 40
Kerjasama Indonesia – Jerman
vii
Gambar 2-20 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Alor TA 2002 - 2004 41
Gambar 2-21 Usulan yang Dibahas dan Disetujui Dalam Kegiatan Rakorbang di Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2004 42
Gambar 3-1 Rekomendasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Jangka Menengah Daerah 56
Gambar 3-2 Rekomendasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Daerah 62 Gambar 3-3 Alur Proses Pendokumentasian dalam Perencanaan dan Penganggaran
Daerah (Rekomendasi Tim BMZ) 68
Kerjasama Indonesia – Jerman
viii
LAMPIRAN Lampiran 1 : Analisis Kerangka Hukum Perencanaan Dan Penganggaran
Daerah 71
Kerjasama Indonesia – Jerman
ix
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ADEKSI Asosiasi DPRD Kabupatan Seluruh Indonesia
ADKASI Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADKASI)
APEKSI Asosiasi Pemerintah Kabupatan Seluruh Indonesia
APKASI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
ABT Anggaran Belanja Tambahan
AKU Arah dan Kebijakan Umum APBD
APBD I Anggaran Pendapatan Belanja Propinsi
APBD II Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BMZ Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit
BPD Badan Perwakilan Desa
BPMD Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
BPMPP Badan Pembangunan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
BUMN Badan Usaha Milik Negara
DAK Dana Alokasi Khusus
DANA DEKON Dana Dekonsentrasi
DASK Dokumen Anggaran Satuan Kerja
DAU Dana Alokasi Umum
DIP Daftar Isian Proyek
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DUP Daftar Usulan Proyek
FGD Focus Group Discussion
FORKOD Forum Koordinasi Pembangunan
GAPENSI Gabungan Pengusaha Nasional Indonesia
GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara
GTZ Gesellschaft für technische Zusammenarbeit
INPRES Instruksi Presiden
IPN Indeks Pembangunan Manusia
Kerjasama Indonesia – Jerman
x
JT. Juta
KADIN Kamar Dagang dan Industri
KAB. Kabupaten
KABAG Kepala Bagian
KABID Kepala Bidang
KASIE Kepala Seksi
KDH Kepala Daerah
KEPMEN Keputusan Menteri
KEPMENDAGRI Keputusan Menteri dalam Negeri
KEPRES Keputusan Presiden
LAKIP Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
LPJ Laporan Pertanggungjawab
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
MTEF Medium-Term Expenditure Framework
MUSBANGDES Musyawarah Pembangunan Desa
MUSBANGDUS Musyawarah Pembangunan Dusun
MUSRENBANG Musyawarah Perencanaan Pembangunan
NGO Non-Government Organization
NO. Nomor
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
ORSOS Organisasi Sosial
PANGGAR EKSEKUTIF Panitia Anggaran Eksekutif
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
PEMDA Pemerintah Daerah
PERDA Peraturan Daerah
PERDES Peraturan Desa
PIMPRO Pimpinan Proyek
PJM Pembangunan Jangka Mengenah
PM Pre-Memori
PMD Pembangunan Masyarakat Desa
Kerjasama Indonesia – Jerman
xi
POLDAS Pola Dasar
POLRES Kepolisian Resort
POSKO Pos Koordinasi
PP Peraturan Pemerintah
PROMIS-NT Program Penanggulangan Kemisikinan Nusa Tenggara
PROP. Propinsi
PROPEDA Program Pembangunan Daerah
PROPENAS Program Pembangunan Nasional
PT Perguruan Tinggi
RAKORBANG Rapat Koordinasi Pembangunan
RANPERDA Rancangan Perda
RAPBD Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
RASK Rencana Anggaran Satuan Kerja
REPETADA Rencana Pembangunan Tahunan Daerah
RENSTRA Rencana Strategis
RI Republik Indonesia
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Mengenah
RPTD Rencana Pembangunan Tahunan Desa
RPTK Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan
SE Surat Edaran
SEKCAM Sekretaris Camat
SEKDA Sekretaris Daerah
SETDA Sekretariat Daerah
SDM Sumber Daya Manusia
SK Surat Keputusan
SOP Standard Operating Procedure (Prosedur Standard Operasi)
SP Strategi dan Prioritas APBD
SPKD Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
TA Tahun Anggaran
TAP MPR Ketetapan Majelis Permusyawarahtan Rakyat
TOMA Tokoh Masyarakat
UDKP Unit Daerah Kerja Pembangunan
UU Undang-undang
Kerjasama Indonesia – Jerman
xii
Kerjasama Indonesia – Jerman
1
BAB I P E N D A H U L U A N
1 BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang PROMIS-NT telah memfasilitasi proses perencanaan pembangunan partisipatif jangka menengah sejak akhir tahun 2000, sedangkan perencanaan tahunan dimulai pertengahan tahun 2002 di 4 Kabupaten, yaitu Alor, Bima, Dompu dan Sumba Timur.
Perencanaan jangka menengah ditandai dengan adanya integrasi horizontal dan vertikal dari berbagai kepentingan melalui forum stakeholder di tingkat kabupaten (kelompok perempuan, pemuda, kelompok bisnis/pelaku usaha dan LSM), sedangkan perencanaan tahunan lebih fokus pada integrasi vertikal. Perencanaan dan penganggaran tahunan di lokasi kerja PROMIS-NT umumnya didasarkan pada perencanaan di tingkat desa (Musbangdes) melalui 1 – 1 ½ hari lokakarya untuk menetapkan daftar prioritas kegiatan yang meliputi juga aktifitas yang dapat dijalankan sendiri disamping permintaan dukungan dari pemerintah kabupaten. Pada tingkat kecamatan (Unit Daerah Kerja Pembangunan/UDKP) perwakilan desa dan cabang dinas kecamatan dipertemukan untuk mencocokan program desa (RPTD) dengan program dinas di tingkat kecamatan. Hasilnya tiap-tiap kecamatan menghasilkan rencana pembangunan tingkat kecamatan (RPTK) untuk diajukan ke tingkat kabupaten. RPTK kemudian diseleksi dan dikonsolidasi lagi dalam forum Pra-Rakorbang dan Forum Rakorbang. Hasil Rakorbang kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) -khusus untuk Kabupaten Bima- yang disahkan oleh Pemerintah dan DPRD. Repetada kemudian, diharapkan menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan anggaran daerah. Effek dari proses perencanaan ini selanjutnya sangat tergantung pada komitmen dari perencana anggararan. Metodologi perencanaan tahunan ini ditandai dengan representasi geografis, kesalingterkaitan kebutuhan tingkat lokal (bottom-up) dengan perencanaan sektoral (top-down) di tingkat kecamatan, dan dualisme antara perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran.
Pada bulan Oktober 2003, Kementrian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ) melakukan evaluasi terhadap program GTZ PROMIS-NT di NTB dan NTT. Hasil evaluasi Tim BMZ yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif- antara lain adalah:
Usulan dari kecamatan yang terakomodasi dalam APBD masih rendah (diperkirakan dibawah 23%)
Proyek yang berasal dari usulan desa masih teka-teki (apakah dapat terlaksana/tidak)
Penduduk menjadi kecewa dan kehilangan motivasi untuk ikut kegiatan yang tidak jelas manfaatnya.
Kerjasama Indonesia – Jerman
2
Tim BMZ juga menganalisis bahwa persoalan di atas muncul karena hal-hal sebagai berikut:
Tidak ada plafon anggaran di tingkat desa (usulan yang berasal dari desa sampai 300% lebih dari kemampuan dana)
Pejabat berwenang dari dinas tidak hadir di tingkat UDKP untuk diskusi dengan perwakilan desa. Oleh karena itu usulan yang disampaikan ke Rakorbang tidak memenuhi kebutuhan dari dinas/sektor
Banyak anggota DPRD tidak ikut perencanaan partisipatif di daerah pemilihannya
Prosedur dari Musbangdes sampai ke APBD terlalu panjang
Sistem dualistik antara perencanaan tahunan dengan perencanaan anggaran, prosesnya agak lama dan pada waktu bersamaan hanya menyediakan hubungan tidak langsung antara perencanaan desa dengan penganggaran kabupaten.
Untuk itu Tim BMZ memberikan rekomendasi sebagai berikut:
PROMIS-NT sebaiknya melakukan studi yang lebih mendalam untuk mengevaluasi perencanaan dan penganggaran di lokasi kerja PROMIS-NT
Prosedur perencanaan tahunan sebaiknya lebih langsung ke proses anggaran partisipatif tahunan, artinya Repetada dihilangkan
Sistem perencanaan jangka menengah dan Rencana Strategis (Renstra) harus didukung
Informasi plafon anggaran tahun sebelumnya harus disampaikan ke tingkat desa
Mengembangkan perspektif rolling plan
Lokakarya dengan dinas teknis/unit kerja untuk merumuskan perencanaan anggaran sektoral
Pelatihan dengan anggota DPRD tentang perannya dalam anggaran partisipatif
PROMIS-NT bisa mendukung akuntabilitas melalui penjabaran anggaran sektoral ke anggaran kecamatan dan desa.
Sesuai rekomendasi Tim BMZ tersebut, PROMIS-NT melakukan evaluasi terhadap perencanaan dan pengaanggaran di lokasi kerjanya. Tim memfokuskan perhatian pada efektifitas dan efisiensi perencanaan pembangunan dan penganggaran di tiga lokasi proyek PROMIS-NT yaitu Kabupaten Bima, Kabupaten Alor, dan Kabupaten Sumba Timur. Kabupaten Bima dan Kabupaten Alor mendapatkan dukungan intensif dari PROMIS-NT dalam perencanaan dan penganggaran daerah, sedangkan di Sumba Timur PROMIS-NT di bidang perencanaan partisipatif hanya mendukung kegiatan Musbangdes dan UDKP di satu kecamatan pada TA 2003.
Kerjasama Indonesia – Jerman
3
1.2 Tujuan Studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perbandingan proses dan hasil dari perencanaan dan penganggaran daerah secara empiris. Secara lebih spesifik tujuan dari studi adalah:
Mendapatkan gambaran mengenai konsistensi proses dan hasil perencanaan serta penganggaran di tiga Kabupaten di wilayah proyek PROMIS-NT untuk tahun anggaran 2003 dan
Merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses perencanaan dan penganggaran yang partisipatif dan transparan berdasarkan UU No. 17/2003 dan Kepmen 29/2002.
1.3 Metode Penelitian 1.3.1 Data dan Sumber Data Data Primer
Penelitian ini memerlukan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi informasi langsung dari stakeholder mengenai mekanisme perencanaan pada semua level, yaitu: Musbangdes, UDKP, Rakorbang dan Panitia Anggaran Eksekutif. Dari stakeholder peneliti memperoleh informasi langsung mengenai input, proses konversi dan output pada setiap level perencanaan. Untuk memperoleh informasi pelaksanaan perencanaan pada level desa dan kecamatan, peneliti mendatangi paling kurang dua kecamatan dan dua desa di setiap Kabupaten yang diteliti (Bima, Sumba Timur dan Alor). Satu kecamatan dengan satu desa dengan status telah menjalin kerjasama dengan program GTZ PROMIS-NT. Satu kecamatan dengan satu desa lagi sama sekali belum terjalin kerjasama dengan program GTZ PROMIS-NT. Di Bima, jumlah desa yang dikunjungi sebanyak tiga desa, tapi semuanya diluar wilayah binaan GTZ PROMIS-NT. Untuk memperoleh informasi proses perencanaan di tingkat kabupaten, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa unsur yaitu: Kepala Desa, Bappeda, Kepala Dinas Peternakan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan dan semua unsur yang terlibat dalam Panitia Anggaran Eksekutif.
Keterbatasan waktu penelitian menyebabkan jumlah desa dan kecamatan yang diteliti tidak banyak. Meskipun demikian, dinamika penyelenggaraan antara desa satu dengan desa yang lainnya kurang bervariasi, sehingga informasi dari desa yang diteliti dianggap memberi gambaran yang terjadi di desa secara keseluruhan.
Kerjasama Indonesia – Jerman
4
Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari dokumen perencanaan dan penganggaran serta instrumen hukum yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran.
Dokumen perencanaan dan penganggaran seperti Poldas, Propeda, Renstra, APBD dan dokumen pendukung lainnya serta aturan-aturan normatif yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran merupakan sumber data sekunder yang pokok. Dokumen perencanaan lainnya juga dilihat seperti: Renstra Dinas, RASK Dinas, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Publik. Data anggaran yang dianalisis, baik APBD maupun RASK Dinas, adalah data tiga tahun terakhir (TA 2002 – TA 2004). Aturan hukum sebagai kerangka normatif bidang perencanaan dan penganggaran meliputi aturan di tingkat nasional maupun Surat Edaran yang ditetapkan oleh otoritas anggaran di kabupaten yang diteliti.
Data sekunder umumnya berasal dari pemerintah. Keterbatasan umum yang melekat pada setiap data sekunder dan bersumber dari dokumen pemerintah adalah informasi yang tidak seragam, kurang lengkap, tehnik pengumpulannya yang kurang sistematis. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka peneliti melakukan verifikasi dan mencocokkan setiap data sekunder dengan sumber data yang lain. Dengan demikian dapat meminimalisir kelemahan data sekunder.
1.3.2 Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data primer peneliti melibatkan Tim lokal. Tujuannya selain untuk memudahkan akses data sekaligus memberi pemahaman kepada Tim lokal tentang berbagai masalah yang terkait dengan efektivitas dan efisiensi perencanaan dan penggangaran. Tim peneliti bersama GTZ PROMIS-NT menyepakati instansi yang terlibat dalam Tim lokal. Masing-masing instansi menunjuk personil untuk bergabung dalam Tim lokal. Personil yang dipilih adalah yang memiliki pengalaman dibidang perencanaan dan penganggaran serta mempunyai akses terhadap berbagai jenis data yang dibutuhkan. Peneliti menyiapkan berbagai format yang dibutuhkan sebagai instrumen untuk memudahkan kerja Tim lokal. Data yang telah terkumpul dari Tim lokal diverifikasi oleh peneliti untuk melihat tingkat keabsahan dan keakuratannya. Peneliti sendiri yang melakukan penilaian terhadap setiap data yang telah terkumpul.
Kerjasama Indonesia – Jerman
5
1.3.3 Kedalaman Studi dan Fokus Analisis Kedalaman Studi
Secara etimologis, efektifitas berasal dari kata efektif yang artinya ada efeknya, ada pengaruh atau akibatnya. Konteks pemahaman tersebut terhadap penelitian ini ialah hendak melihat bagaimana akibat dari proses perencanaan terhadap penganggaran atau hubungan antara keduanya. Efisiensi berasal dari kata dasar efisien artinya tepat atau sesuai untuk menghasilkan sesuatu dengan tidak membuang–buang waktu, tenaga dan biaya. Konteks pemahaman tersebut terhadap penelitian ini ialah hendak melihat seberapa besar kegiatan dan usulan yang diproses dalam perencanaan mulai dari Musbangdes-UDKP – Rakorbang sampai terakomodir dalam APBD.
Mengenai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, menarik untuk disimak kesepakatanAsosiasi Pemerintah Kabupatan Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kabupatan Seluruh Indonesia (ADEKSI) dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADKASI) mengenai sepuluh prinisp tata pemerintahan yang baik (Principles of Good Governance). Salah satu prinsip yang ingin ditegakkan adalah efisiensi dan efektifitas, yang didefinisikan sebagai berikut:
Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.1
Penelitan ini belum sampai pada perumusan kriteria tingkat efisiensi (sangat efisien, efisien dan kurang efisien) dengan meperhitungkan semua elemen pada unsur perencanaan (biaya, waktu dan tenaga). Hal itu pada dasarnya dapat dilakukan pada penelitian akademik semata, padahal sifat penelitian hendak memberi gambaran yang akurat mengenai kedudukan anggaran terhadap perencanaan. Gambaran tersebut terlihat
1 Kesepakatan yang dibuat pada tahun 2001 tersebut menberikan penjelasan yang terperinci mengenai
efisiensi dan efektifitas sebagai berikut: Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayanannya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakan teknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa. Instrumen Instrumen dasar dari efisiensi dan efektivitas adalah komitmen politik sedangkan instrumen pendukungnya adalah struktur pemerintahan yang sesuai kepentingan pelayanan masyarakat, adanya standar-standar dan indikator kinerja untuk menilai efektivitas pelayanan, pembukuan keuangan yang memungkinkan diketahuinya satuan biaya, dan adanya survey-survey kepuasaan konsumen. Indikator
Meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya penyimpangan pembelanjaan, berkurangnya biaya operasional pelayanan dan mendapatkan ISO pelayanan. Dilakukannya swastanisasi dari pelayanan masyarakat.
Kerjasama Indonesia – Jerman
6
dari jumlah usulan Rakorbang yang terakomodir dalam APBD dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Oleh karena itu penelitian ini tidak sampai menganalisis secara rinci cakupan setiap nomenklatur anggaran serta dampaknya terhadap pembangunan sektoral dan spasial.
Fokus analisis
Penelitian ini melakukan analisa secara deskriptif mengenai beberapa hal sebagai berikut:
Menganalisis alur serta dokumen perencanaan dan penganggaran untuk TA 2002 – TA 2004, sejauh mana usulan dari desa tertampung dalam Rakorbang dan APBD (sejauh mungkin dihitung dalam % dari usulan desa sesuai indikator dalam Matriks Perencanaan Proyek PROMIS-NT) serta menganalisis sejauh mana ada konsistensi antara Rakorbang, Repetada, dan APBD
Mengevaluasi sejauh mana informasi dari dokumen perencanaan jangka menengah disediakan di tingkat desa sebagai salah satu acuan untuk perencanaan dari bawah
Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dan pendukung penerapan anggaran berbasis kinerja sesuai Kepmen 29/2002
Mengidentifikasi tahapan pengintegrasian dokumen-dokumen perencanaan tahunan (Repetada, dll) dengan proses AKU, Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD
Mengevaluasi kesesuaian program dalam dokumen perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan
Menganalisis strategi untuk mengaitkan perencanaan dari bawah secara lebih erat dengan proses perencanaan dan penganggaran sektoral
Menganalisis kemungkinan penyediaan informasi plafon dana kepada kecamatan dan desa sebagai titik tolak proses perencanaan dari bawah
Mengidentifikasi jenis dokumen perencanaan yang betul-betul dibutuhkan oleh daerah untuk menghindari banjir dokumen perencanaan
Merekomendasikan tahapan praktis untuk perencanaan dan penyusunan anggaran yang mudah diterapkan oleh daerah dengan tidak bertentangan dengan Kepmen 29/2002 maupun UU 17/2003
Merekomendasikan alur tahapan dan pintu masuk bagi dukungan oleh PROMIS-NT kepada daerah dalam proses perencanaan dan penganggaran di tingkat Kabupaten maupun di tingkat Propinsi.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih emprik di tingkat dinas, Tim melakukan studi yang lebih mendalam pada Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Dua dinas ini dijadikan kasus studi dengan alasan: 1) Pertanian, Peternakan, dan Perikanan
merupakan kegiatan utama masyarakat di Kabupaten yang diteliti, sehingga dinas memiliki peran penting dalam mengakselerasi kegiatan ekonomi dan pengurangan kemiskinan; dan 2) perencanaan dan penganggaran di sektor ini sangat mungkin
dilakukan secara partisipatif.
Kerjasama Indonesia – Jerman
7
BAB II TEMUAN LAPANGAN: EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
2 TEMUAN LAPANGAN: EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH 2.1 Praktek Kerangka Normatif tentang Perencanaan dan Penganggaran
di Kabupaten Bima, Sumba Timur dan Alor 2.1.1 Kabupaten Bima Perencanaan di Kabupaten Bima dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 237 Tahun 2002 tanggal 6 September 2002. Keputusan Bupati tersebut mengatur secara rinci dan operasional tentang perencanaan jangka menengah (Poldas, Propeda dan Renstra Dinas) dan perencanaan tahunan (Musbangdes, UDKP, Rakorbang dan Repetada). Setiap dokumen perencanaan diberi bentuk dan landasan hukum. Cakupan Renstra hanya terbatas pada program yang didanai APBD II dan tolok ukur pertanggungjawaban Kepala Daerah. Sedangkan cakupan Propeda lebih luas karena juga meliputi pembiayaan program dari APBD I dan APBN. Kabupaten Bima menyatukan Renstra dengan Repetada. Menggabungkan dua dokumen tersebut membuat substansi dan manfaatnya Renstra dan Propeda menjadi kabur. Secara normatif, munculnya SE Mendagri Nomor 050/987/SJ, tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif mempunyai implikasi terhadap penerapan Keputusan Bupati Bima Nomor 237 Tahun 2002. Kedua regulasi tersebut mengatur substansi yang hamper sama. Kabupaten Bima tentu perlu melakukan pilihan dan penyesuaian. Saat penelitian ini berlangsung, pilihan tersebut masih mengikuti SK Bupati.
Proses penganggaran berpedoman pada Kepmendagri Nomor 29/2002. Beberapa bagian penting dari pelaksanaan Kepmendagri tersebut belum dilaksanakan. Antara lain, Pemda belum menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD. Hilangnya satu mata rantai dalam penyusunan anggaran tersebut selain karena keterbatasan pengalaman dalam mengimplementasikan seluruh kaidah Kepmen 29/2002, juga belum lengkapnya pemahaman akan seluruh isi, tujuan dan manfaat dari Kepmen No. 29/2002. Kalender siklus anggaran yang dijadwalkan Kepmendagri 29/2002 juga belum diikuti secara konsisten. Misalnya, penilaian atas usul anggaran unit kerja terhadap kewajaran beban kerja dan biaya kegiatan (Rencana Anggaran Satuan Kerja/RASK) yang dilakukan Tim Anggaran Eksekutif, seharusnya dilakukan pada September-Oktober tahun 2003 untuk TA 2004, terlambat karena baru dilaksanakan pada bulan Februari 2004. Keterlambatan tersebut menunjukan lemahnya apresiasi pemerintah daerah terhadap berbagai regulasi yang ditetapkan pemerintah pusat, dan pemerintah pusat menetapkan regulasi di bidang penganggaran yang kurang memperhatikan kesiapan daerah untuk melaksanakannya.
Kerjasama Indonesia – Jerman
8
Implikasi lain dari inkonsistensi dalam melaksanakan kalender adalah informasi tentang anggaran yang belum dapat didistribusikan sampai ke level menengah dan desa.
2.1.2 Kabupaten Sumba Timur Kabupaten Sumba Timur melaksanakan perencanaan tahunan berdasarkan SE 080/1160/SJ, 7/6/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Rakorbang Prop/Kab/Kota 2002 serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/987/SJ, tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif. Surat Edaran 050/987/SJ dikeluarkan untuk membantu Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam menyelenggarakan Forum Koordinasi yang memenuhi asas demokratis, partisipatif, kemitraan, transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Pedoman ini memuat prinsip-prinsip, urutan proses penyelenggaraan forum koordinasi perencanaan pembangunan daerah, tujuan, sasaran dan keluaran yang perlu dicapai disetiap tahapan proses, pengaturan penyelenggaraan yang meliputi persiapan, penyusunan agenda dan peserta yang perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian Surat Edaran No 050/987/SJ/2003 meminta perhatian dari pemerintah daerah terhadap mutu perencanaan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan output yang dihasilkannya. Pemerintah Sumba Timur sudah mulai mencoba melaksanakan petunjuk Surat Edaran tersebut, salah satu perubahan mendasar dari penerapan SE No 050/987/SJ/2003 adalah dilibatkannya stakeholder yang lebih luas (LSM dan PT) dalam forum Rakorbang –yang diubah namanya menjadi Forkod. Dalam beberapa kasus, pemahaman tentang fungsi dan tujuan dari setiap dokumen perencanaan masih kabur. Indikasinya, Renstra Kabupaten dipandang sebagai kumpulan Renstra Sektor/Dinas, padahal Renstra Dinas melingkupi program yang didanai APBD dan APBD I serta APBN, sedangkan Renstra Kabupaten cakupannya hanya program yang didanai APBD II saja.
Bidang penganggaran tidak beda dengan Kabupaten Bima, terutama dalam hal inkonsistensi dalam melaksanakan kalender siklus anggaran berdasarkan Kepmen No. 29/2002. Arah Kebijakan Umum APBD dirumuskan setelah RASK disusun. Padahal salah fungsi AKU adalah menjadi dasar untuk melihat prioritas untuk disusun penganggarannya dalam RASK.
2.1.3 Kabupaten Alor Pelaksanaan perencanaan tahunan di Kabupaten Alor berpedoman pada SE 080/1160/SJ, 7/6/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Rakorbang Prop./Kab/Kota 2002 dan Penyusunan Repetada 2003. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/987/SJ, tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif belum diimplementasikan di Kabupaten Alor. Pada tahun 2003, ada sedikit perubahan pada sisi output, karena sejak tahun 2003 Bappeda mengirimkan
Kerjasama Indonesia – Jerman
9
semua hasil Rakorbang untuk masing-masing sektor termasuk ke kecamatan. Dokumen tersebut selanjutnya akan dijadikan salah satu bahan untuk penyusunan RASK.
Pelaksanaan Kepmendagri 29/2002 di Kabupaten Alor relatif sama dengan Kabupaten Sumba Timur dan Bima. Pemerintah Kabupaten Alor sudah mulai dengan plafon anggaran yang ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Bupati. Dasarya adalah kinerja tahun lalu dari dinas/sektor yang bersangkutan yaitu ketersediaan anggaran. Plafon tersebut sifatnya masih tentantif. Plafon memang disebutkan dalam UU No. 17/2003 sebagai satu instrumen untuk mengarahkan anggaran. Plafon harus ditetapkan oleh DPRD bersama pemerintah. Sifatnya sementara di Kabupaten Alor, Bupati sendiri yang menetapkan plafon dan plafon anggaran tidak merujuk pada prioritas pembangunan melainkan pada jumlah belanja dinas tahun yang lalu. Dengan demikian, plafon belum dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan UU No. 17/2003 tetapi didasari pertimbangan tehnis yaitu mempercepat waktu penyusunan RASK dan mengurangi beban kerja Panitia Anggaran Eksekutif. Konsistensi dalam melaksanakan kalender siklus anggaran juga masih lemah. Indikasinya antara lain adalah RASK sudah selesai disusun tetapi AKU APBD belum disusun. Sedangkan Strategi dan Prioritas disamakan dengan hasil Rakorbang. Pemahaman ini sebenarnya tidak menjawab substansi karena strategi dan prioritas lebih bersifat program dan scenario, sedangkan hasil Rakorbang adalah kegiatan.
Beberapa hal pokok yang dapat dikemukakan mengenai implementasi legal framework untuk perencanaan dan penganggaran di tiga Kabupaten adalah:
Masing – masing Kabupaten masih lemah dalam memahami regulasi dan perubahan regulasi bidang perencanaan dan penganggaran
Pemerintah daerah belum menangkap filosofi, arah, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai oleh setiap regulasi (Kepmendagri 29/2002 dan UU N0 17 Tahun 2003) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan konteksnya bagi efisiensi dan efektifitas perencanaan dan penganggaran daerah
Pemerintah yang lebih tinggi membuat regulasi bidang perencanaan dan penganggaran kurang memperhatikan kesulitan daerah dalam upaya memahami dan mengimplementasikannya, termasuk kesulitan dalam menangkap filosofi, arah, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai
Inkonsistensi dalam melaksanakan siklus kalender anggaran mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap tertib administrasi anggaran, efisiensi dan pertanggungjawaban anggaran serta membuka peluang cukup besar untuk manipulasi
Ada beberapa faktor yang menyebebkan tiga kabupaten yang diteliti menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja sesuai dengan KepMen 29/2002:
KepMen 29/2002 baru disahkan pada bulan Juni 2002. Pada waktu itu, daerah sudah
Kerjasama Indonesia – Jerman
10
mulai dengan penyusunan anggaran berdasarkan sistem lama
ToT didilaksanakan oleh Pemerintah Pusat pada quartal ketiga tahun 2002. Oleh karena itu daerah tidak mampu untuk melatih stafnya secara cepat
Seringkali, pelatihanan tentang KepMen 29/2002 tidak dilaksanakan di tingkat daerah. Akibatnya anggaran sistem lama dilaksanakan dengan hanya mengganti istilah saja
Kemampuan staf di bagian keuangan terbatas untuk segera mengadaptasi sistem baru yang cukup berbeda dengan sistem anggaran yang lama. Sehingga diperlukan banyak pelatihanan dan komitmen yang tinggi untuk mengimplementasikan anggaran kinerja secara benar
Sistem anggaran kinerja dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Ada kecenderungan bahwa kemauan politik untuk meningkat transparansi anggaran masih rendah. Di tiga daerah yang diteliti, belanja aparatur relatif tinggi dibandingkan dengan belanja publik
Ada banyak ‘pemain’ dalam proses penyusunan anggaran yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Disiplin anggaran belum begitu dikenal, artinya belanja harus sesuai dengan kebutuhan sektor
Masalah kebijakan anggaran. AKU belum dibuat oleh daerah sebagai suatu kelengkapan perencanaan anggaran. Di beberapa daerah tidak ada AKU pada waktu penyusunan RASK. Seharusnya, kinerja diukur berbasis kebijakan anggaran. Dengan tidak adanya kebijakan anggaran maka akuntabilitas anggaran menjadi rendah
Kalender anggaran belum diikuti dengan sungguh-sungguh. Seharusnya ada konsistensi tindakan pemerintah daerah yang mengarah kepada APBD yang sesuai dengan peraturan dari atas.
2.2 Gambaran Umum Keuangan Daerah Belanja yang diproses secara partisipatif (baik teritorial maupun sektoral) adalah Belanja Pelayanan Publik (sampai TA 2002 menggunakan istilah Belanja Pembangunan). Sedangkan Belanja Aparatur (sampai TA 2002 menggunakan istilah Belanja Rutin), Belanja Bagi Hasil, dan Belanja Tidak Tersangka merupakan otoritas penuh dari pemerintah daerah yang pelaksanaannya dialokasikan oleh Bagian Keuangan Sekda.
Pada tabel 2.1 – 2.3 dan gambar 2.1 – 2.3 dapat disimak bahwa anggaran di tiga Kabupaten yang diteliti masih didominasi oleh Belanja Aparatur. Di Kabupaten Bima Belanja Aparatur TA 2002 – 2004 rata-rata sebesar 69% dari total anggaran, di Kabupaten Sumba Timur 63%, dan di Kabupaten Alor 61%. Ini berarti anggaran untuk Belanja Pelayanan Publik di Kabupaten Bima untuk TA 2002 – 2004 rata-rata sebesar 31% dari total anggaran, Kabupaten Sumba Timur 37%, dan Kabupaten Alor 38%. Sedangkan Belanja Bagi Hasil dan Belanja Tidak Tersangka –yang mulai muncul pada TA 2004 berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002- meskipun memiliki nilai yang cukup besar secara nominal, tetapi dari segi komposisi anggaran tidak besar yaitu 4% untuk
Kerjasama Indonesia – Jerman
11
Sumba Timur dan 2% untuk Alor. Kabupaten Bima bahkan tidak mengalokasikan Belanja Bagi Hasil dan Belanja Tidak Tersangka untuk TA 2003 dan TA 2004.
Di Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumba Timur, tampak kecenderungan peningkatan rasio jumlah belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur. Peningkatan ini dalam beberapa hal disebabkan oleh perubahan posting alokasi anggaran ketimbang oleh penambahan volume belanja. Untuk gaji guru dan dokter misalnya, pada TA 2002 dimasukan dalam belanja rutin/aparatur, sedangkan pada TA 2003 dimasukan dalam belanja pelayanan publik. Di Kabupaten Alor yang terjadi justru sebaliknya. Dengan total APBD yang hampir sama, rasio belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur justru menurun (43% pada TA 2002 dan 33% pada TA 2003), tetapi pada TA 2004 belanja publik meningkat secara signifikan, karena ada rekategorisasi pos-pos belanja.
Tabel 2-1 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
Jenis Belanja Tahun Anggaran 2002 % 2003 % 2004 %
Belanja Aparatur 213,812,803,736 79 177,053,008,173 67 195,081,656,288 60 Belanja Pelayanan Publik 57,099,714,750 21 85,546,901,536 33 130,220,673,965 40 Belanja Bagi Hasil Belanja Tidak Tersangka 270,912,518,486 100 262,599,909,709 100 325,302,330,253 100
Sumber: APBD Kab. Bima TA 2002 – 2003
Gambar 2-1 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
-
50,000,000,000
100,000,000,000
150,000,000,000
200,000,000,000
250,000,000,000
300,000,000,000
350,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004
T ahun A nggaran
Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Publik Belanja Bagi Hasil Belanja Tidak Tersangka Jumlah
Kerjasama Indonesia – Jerman
12
Tabel 2-2 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Sumba Timur
TA 2002 – TA 2003
Jenis Belanja Tahun Anggaran 2002 % 2003 % 2004 %
Belanja Aparatur 99,517,894,142 72 108,290,405,675 56 126,662,858,700 61 Belanja Pelayanan Publik 39,236,105,858 28 76,900,512,650 40 72,854,228,350 35 Belanja Bagi Hasil - 5,751,080,000 3 na Belanja Tidak Tersangka - 1,946,891,675 1 na 138,754,000,000 100 192,888,890,000 100 206,103,158,700 97
Sumber: APBD Kab. Sumba Timur TA 2002 – 2003
Gambar 2-2 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004
-
50,000,000,000
100,000,000,000
150,000,000,000
200,000,000,000
250,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004
Sumba TimurT ahun A nggaran
Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Publik Belanja Bagi Hasil Belanja Tidak Tersangka Jumlah
Tabel 2-3 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Alor TA 2002 –
TA 2003
Jenis Belanja Tahun Anggaran 2002 % 2003 % 2004 %
Belanja Aparatur 95,742,094,263 57 10,366,079,122 64 72,084,988,594 37 Belanja Pelayanan Publik 72,719,593,858 43 57,591,021,328 33 122,073,077,276 63 Belanja Bagi Hasil - - 3,489,062,500 2 - - Belanja Tidak Tersangka - - 539,711,318 0 - - 168,461,688,121 100 171,985,874,268 100 194,158,065,870 100
Sumber: APBD Kab. Alor TA 2002 – 2004
Kerjasama Indonesia – Jerman
13
Gambar 2-3 Perbandingan Belanja Publik Dengan Belanja Aparatur Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2004
Perbandingan Belanja Aparatur dengan Belanja Pelayanan Publik di tingkat Kabupaten Bima tampaknya tidak tercermin dalam struktur belanja Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Meskipun mempunyai karakteristik yang berbeda, nampaknya rasio belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur di dua sektor yang diteliti lebih besar. Untuk TA 2003 bahkan ada kecenderungan belanja pelayanan publik lebih besar dari belanja aparatur.
Pada tabel 2-4 dan tabel 2-5 dapat disimak bahwa di Kabupaten Bima belanja publik untuk Dinas Peternakan untuk TA 2002 – 2004 rata-rata 43% dari total anggaran. Rasio belanja pelayanan publik sangat fluktuatif yaitu 11% pada TA 2002, 63% pada TA 2003, dan 56% pada TA 2004. Besarnya belanja aparatur pada TA 2002 disebabkan masuknya komponen biaya lain-lain sebesar 2 milyar. Sedangkan pada TA 2003 biaya lain-lain tidak masuk pada alokasi anggaran sehingga tampak bahwa belanja aparatur menurun (suatu fenomena yang sangat jarang dalam belanja aparatur). Untuk Dinas Kelautan dan Perikanan, rasio belanja pelayanan publik terhadap total anggaran dinas lebih besar dari Dinas Peternakan yaitu rata-rata 58% (44% pada TA 2002, 59% pada TA 2003, dan 72% pada TA 2004).
Tabel 2-4 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan Kabupaten Bima TA 2002 – 2004
Jenis Belanja Dinas Peternakan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 3,508,966,766 89 1,247,477,656 37 1,486,770,917 44 Belanja Pelayanan Publik 430,000,000 11 2,152,100,000 63 1,856,200,000 56
Jumlah 3,938,966,766 100 3,399,577,656 100 3,342,970,917 100 Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Bima
0
50,000,000,000
100,000,000,000
150,000,000,000
200,000,000,000
250,000,000,000
2002 2003 2004
Belanj a Aparatur Belanj a Pelayanan Publik Belanj a Bagi Hasil Belanj a Tidak Tersangka Jumlah
Kerjasama Indonesia – Jerman
14
Tabel 2-5 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima TA 2002 - 2004
Jenis Belanja Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 589,485,611 56 632,229,683 41 676,986,930 28 Belanja Pelayanan Publik 470,000,000 44 913,000,000 59 1,744,000,000 72
Jumlah 1,059,485,611 100 1,545,229,683 100 2,420,986,930 100 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima
Gambar 2-4 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur di Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima TA 2002 - 2004
0
500,000,000
1,000,000,000
1,500,000,000
2,000,000,000
2,500,000,000
3,000,000,000
3,500,000,000
4,000,000,000
4,500,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004 TA 2002 TA 2003 TA 2004
Dinas Pet ernakan Dinas Kelaut an dan Perikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Publik Jumlah
Di Kabupaten Sumba Timur belanja pelayanan publik untuk Dinas Peternakan TA 2002 – TA 2004 lebih besar dari belanja aparatur yaitu rata-rata 60% dari total anggaran. Belanja pelayanan publik juga ada kecenderungan untuk meningkat. Peningkatan alokasi ini nampaknya disebabkan oleh suksesnya program ‘Sumba Kontrak’ yaitu program pemeliharaan sapi bergulir yang berbasis pada budaya komunitas lokal. Keberhasilan pemeliharaan sapi secara bergulir (di sektor produksi), telah mendorong kebutuhan akan bibit sapi yang baik (input) dan pengelolaan tempat untuk pemasaran. Sedangkan belanja pelayanan publik untuk Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 – TA 2004 tampaknya fluktuatif.
Kerjasama Indonesia – Jerman
15
Tabel 2-6 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004
Jenis Belanja Dinas Peternakan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 1,513,866,800 66 1,455,141,000 36 1,361,919,850 45 Belanja Pelayanan Publik 780,000,000 34 2,551,200,000 64 1,653,019,000 55
Jumlah 2,293,866,800 100 4,006,341,000 100 3,014,938,850 100 Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur
Tabel 2-7 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kalautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – 2004
Jenis Belanja Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 1,008,546,000 74 826,324,900 33 1,115,780,700 39 Belanja Pelayanan Publik 350,000,000 26 1,685,925,000 67 1,770,939,750 61
Jumlah 1,358,546,000 100 2,512,249,900 100 2,886,720,450 100 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Timur
Gambar 2-5 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur di Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004
0
1,000,000,000
2,000,000,000
3,000,000,000
4,000,000,000
5,000,000,000
6,000,000,000
7,000,000,000
8,000,000,000
9,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004 TA 2002 TA 2003 TA 2004
Dinas Pet ernakan Dinas Kelaut an dan Perikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Publik Jumlah
Rasio belanja publik terhadap total belanja Dinas Peternakan dan Pertanian dan Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 – TA 2004 di Kabupaten Alor tampaknya mencerminkan rasio belanja publik dan total belanja APBD (rata-rata 23% untuk Dinas Pertanian dan Peternakan dan 35% untuk Dinas Perikanan dan Kelautan). Yang menarik adalah belanja publik di Kabupaten Alor terhadap total belanja baik dari nilai total maupun dari segi rasio ada kecenderungan menurun. Kecenderungan ini berbeda dengan Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumba Timur.
Kerjasama Indonesia – Jerman
16
Tabel 2-8 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Peternakan dan Pertanian Kabupaten Alor TA 2002 – 2004
Jenis Belanja Dinas Peternakan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 1,238,385,000 60 2,388,085,342 89 2,388,085,342 83 Belanja Pelayanan Publik 834,438,500 40 301,875,000 11 491,973,200 17
Jumlah 2,072,823,500 100 2,689,960,342 100 2,880,058,542 100
Tabel 2-9 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor TA 2002 – 2004
Jenis Belanja Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 % TA 2003 % TA 2004 % Belanja Aparatur 685,521,092 45 936,752,520 64 936,752,520 85 Belanja Pelayanan Publik 829,100,300 55 530,119,200 36 168,750,000 15
Jumlah 1,514,621,392 100 1,466,871,720 100 1,105,502,520 100
Gambar 2-6 Perbandingan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Dinas Peternakan dan Pertanian dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor TA 2002 - 2004
-
500,000,000
1,000,000,000
1,500,000,000
2,000,000,000
2,500,000,000
3,000,000,000
3,500,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004 TA 2002 TA 2003 TA 2004
Dinas Pert anian dan Pet ernakan Dinas Kelaut an dan Per ikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Publik Jumlah
Belanja dinas selain berasal dari APBD Kabupaten (APBD II) juga berasal dari sumber lain yaitu dari Propinsi (APBD I), Dana Dekonsentrasi, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau APBN. Baik dari segi sumber maupun dari segi jumlah –dalam perspektif dinas daerah- belanja dari sumber-sumber non-APBD II/DAU ini sulit diramalkan. Dalam beberapa hal jenis program dan besarnya dana sangat dipengaruhi oleh ‘lobi-lobi’ baik yang dilakukan oleh Kepala Daerah maupun oleh Kepala Dinas. Kondisi ini menyebabkan: 1) sulit untuk meramalkan trend dari sumber-sumber dana ini, dan 2) mendorong kepala dinas dan pejabat penting dinas lebih memprioritaskan pertemuan di tingkat provinsi dan nasional ketimbang pertemuan-pertemuan di tingkat komunitas.
Kerjasama Indonesia – Jerman
17
Pada TA 2002 Dinas Peternakan Kabupaten Bima hanya dapat belanja dari sumber APBD II. Baru pada TA 2003 Dinas Peternakan mendapatkan dana dari sumber APBD I meskipun besarnya tidak lebih dari dana APBD II. Ini berbeda dengan Dinas Kelautan dan Perikanan yang mendapatkan dana dari DAK/APBN pada TA 2002 dan dana dekonsentrasi dan DAK/APBN pada TA 2003. Jumlah dana yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan untuk TA 2003 – TA 2003 bahkan lebih besar dari APBD II.
Tabel 2-10 Perbanding sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003
Sumber Dana Dinas Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
APBD II 430,000,000 2,152,100,000 470,000,000 913,000,000 APBD I - 640,000,000 - - Dekonsentrasi - - - 1,250,000,000 DAK/APBN - - 1,500,000,000 970,000,000 430,000,000 2,792,100,000 1,970,000,000 3,133,000,000
Sumber: Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima
Gambar 2-7 Perbanding sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003
-
500,000,000
1,000,000,000
1,500,000,000
2,000,000,000
2,500,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
Dinas Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
APBD II APBD I Dekonsentrasi DAK/APBN
Berbeda dengan Kabupaten Bima, Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur justru mendapatkan dana dekonsentrasi dalam jumlah yang sangat besar baik pada TA 2002 maupun pada TA 2003. Sedangkan Dinas Kelautan dan Perikanan mendapatkan dana yang bersumber dari DAK/APBN pada TA 2002.
Kerjasama Indonesia – Jerman
18
Tabel 2-11 Perbanding sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2003
Sumber Dana Dinas Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
APBD II 780,000,000 2,551,200,000 350,000,000 1,685,925,000 APBD I - - - - Dekonsentrasi 2,350,000,000 1,630,000,000 - - DAK/APBN - - 800,000,000 - 3,130,000,000 4,181,200,000 1,150,000,000 1,685,925,000 Sumber: Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sumba Timur
Gambar 2-8 Perbanding sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003
-
500,000,000
1,000,000,000
1,500,000,000
2,000,000,000
2,500,000,000
3,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
Dinas Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
APBD II APBD I Dekonsentrasi DAK/APBN
Di Kabupaten Alor pada TA 2002 dan TA 2003 Dinas Pertanian dan Peternakan mendapatkan dana dari APBD I dalam jumlah yang tidak begitu besar dibanding dengan dana yang berasal dari APBD II. Sedangkan Dinas Kelautan dan Perikanan mendapatkan dana dekonsentrasi dalam jumlah yang sangat besar bila dibanding dengan sumber dana yang berasal dari APBD II sendiri.
Tabel 2-12 Perbanding sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Alor TA 2002 – 2003
Sumber Dana Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
APBD II 820,466,000 1,194,837,500 56,000,000 90,000,000 APBD I 13,972,500 155,940,000 - - Dekonsentrasi - - 200,000,000 1,110,238,000 DAK/APBN - 2,500,000,000 - -
Sumber: Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Alor
Kerjasama Indonesia – Jerman
19
Gambar 2-9 Perbanding Sumber-sumber Dana Pembangunan untuk Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bima TA 2002 - 2003
-
500,000,000
1,000,000,000
1,500,000,000
2,000,000,000
2,500,000,000
3,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2002 TA 2003
Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Kelautan dan Perikanan
Tahun Anggaran
Jum
lah
Bel
anja
APBD II APBD I Dekonsentrasi DAK/APBN
Dari uraian di atas, meskipun dari segi trend sumber-sumber dana non-APBD II sulit diramalkan, sumber-sumber dana non-APBD II mempengaruhi perilaku daerah dalam mengalokasikan anggaran. Perilaku yang dapat disimak diantaranya adalah:
1. ketidakpastian kegiatan dan jumlah anggaran menyebabkan dinas akan mengalokasikan dana dari sumber non-APBD II untuk kegiatan yang dianggap tidak mendesak
2. ketidakpastian besarnya jumlah anggaran non-APBD II yang akan diterima menyebabkan dinas harus aktif melobi pejabat yang memiliki otoritas terhadap sumber dana non-APBD jika ingin mendapatkan dana dari sumber-sumber tersebut
3. penerimaan dana non-APBD tampaknya trade-off dengan kegiatan yang didanai oleh APBD II. Ini berarti jika dinas mendapatkan kepastian mendapatkan dana dari sumber-sumber non-APBD maka ia akan mengalokasikan dana APBD II yang kecil untuk dinas tersebut. Kecenderungan ini tampak sangat jelas di Kabupaten Alor.
2.3 Proses Perencanaan dan Penganggaran
Menurut TOR, salah satu tugas Tim Peneliti adalah menganalisis sejauhmana usulan dari desa tertampung dalam REPETADA dan APBD, dan sejauhmana ada konsistensi antara Rakorbang, Repetada dan APBD. Di tiga lokasi studi, peneliti menemukan format dokumen perencanaan partisipatif yang banyak sekali. Selain itu, ada banyak informasi
Kerjasama Indonesia – Jerman
20
yang hilang pada transfer data dari satu fomulir ke formulir yang lainnya (misalnya: sering sekali informasi tentang lokasi hilang). Hal ini menyebabkan prosentase usulan yang diakomodir dalam APBD tidak dapat dihitung secara tepat.2
Informasi tentang jalur usulan dari bawah ditampung dari tahap ke tahap, yaitu dari Musbangdes ke UDKP ke Rakorbang ke Repetada (kalau ada) ke APBD. Oleh karena formulir tidak konsisten –dan dikerjakan secara manual- pertanyanaan tentang konsistensi dokumen juga tidak bisa dijawab. Dengan kata lain, fomulir yang digunakan saat ini telah menyebabkan transparansi jalur usulan dan konsistensi menjadi hilang.
2.3.1 Kabupaten Bima Proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Bima dimulai dengan musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus). Musbangdus membahas tiga masalah pokok yaitu: daftar masalah yang berkaitan dengan geografis dusun, daftar masalah kalender musim, dan daftar masalah yang berkaitan dengan kelembagaan desa. Musbangdus dilakukan secara informal sebagai bagian dari hubungan ketetanggaan dan bisanya berjalan selama satu hari. Output dari Musbangdus adalah inventarisasi masalah dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memecahkan masalah di tingkat dusun. Output Musbangdus dituangkan dalam bentuk format identifikasi masalah dan pemecahan masalah di tingkat dusun (Format 4).
Hasil Musbangdus selanjutnya dibahas dalam Forum Musbangdes. Dalam Musbangdes dibahas identifikasi masalah dan pemecahan masalah yang dirumuskan di tingkat dusun. Selain melakukan identifikasi masalah baik di tingkat dusun dan desa, Musbangdes juga membahas potensi yang dimiliki oleh desa. Potensi desa bisa berasal dari data monografi dan potensi desa maupun berasal dari hasil diskusi peserta musyawarah.
Forum Musbangdes secara formal dipimpin oleh Kepala Desa atau oleh Ketua LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa). Forum Musbangdes juga biasa dihadiri oleh camat atau oleh perwakilan dari Tim Posko UDKP yang dibentuk di Tingkat Kecamatan (biasanya yang hadir adalah Kepala Seksi Pembangunan Masyarakat Desa Kecamatan). Dalam forum Musbangdes, perwakilan Tim Posko UDKP biasanya untuk memberikan arahan mengenai masalah dan program-program yang bisa diusulkan baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan. Kehadiran Camat atau Kadang-kadang Camat atau Tim Posko UDKP tidak dapat hadir dalam forum Musbangdes terutama bila ada Musbangdes yang berjalan bersamaan. Dalam beberapa hal juga mengisyaratkan bahwa Musbangdes merupakan bagian dari proses formal tata pemerintahan.
Musbangdes berlangsung 1 sampai 1 ½ hari. Proses ini bisa lebih lama (sampai 2 hari) terutama jika beberapa dusun tidak melakukan Musbangdus –kecenderungan ini semakin tinggi- apabila usulan di tingkat Musbangdus masih dianggap kurang matang. Proses
2 Penelitian ini menganalisa perencananaan partisipatif secara keseluruhan di masing-masing Kabupaten. Desa yang didukung GTZ tidak dianalisa secara sendiri.
Kerjasama Indonesia – Jerman
21
yang paling penting –dan paling lama- dalam Musbangdes adalah melakukan pengelompokkan masalah dan pengkajian tindakan pemecahan masalah dengan melakukan identifikasi masalah, penyebab masalah, potensi desa, dan tindakan yang layak-, melakukan pemeringkatan masalah (dituangkan dalam Format 4), rekapitulasi masalah dan tindakan pemecahan masalah (Format 5), dan pembobotan masalah dan tindakan pemecahan masalah (Format 6). Proses ini akan berlarut-larut manakala peserta diajak bersama-sama mengisi format isian oleh fasilitator. Perdebatan terjadi bukan hanya berkaitan dengan substansi, melainkan juga pada kolom atau baris mana satu statement dituliskan.
Hasil Musbangdes adalah dokumen Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD). RPTD dibagi dalam tiga bidang yaitu: bidang fisik dan prasarana, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya. Masing-masing kelompok berisi 5 – 10 usulan program yang akan diajukan ke Poskos UDKP untuk dibahas di tingkat kecamatan (Forum UDKP).
Posko UDKP –yang beranggotakan petugas kecamatan dan petugas cabang dinas yang ada di kecamatan bersangkutan- selanjutnya akan memproses RPTD. Proses pertama adalah melakukan rekapitulasi atas seluruh RPTD yang ada dalam wilayah kecamatan (dituangkan dalam Format B-1). Selanjutnya RPTD dikelompokkan ke dalam 5 kelompok yaitu:
1. usulan yang sudah terakomodasi dalam proyek yang sedang berjalan di Kecamatan
(Format B-2),
2. usulan yang bisa dikerjakan secara swadaya (Format B-3),
3. usulan yang siap dibahas dalam forum UDKP (Format B-4),
4. usulan yang siap diberi rangking, dan
5. usulan yang masuk daftar tunggu (Format B-6).
Selain mengelompokkan RPTD dalam berbagai format, Tim Posko UDKP juga menyebarkan formulir usulan program yang diajukan oleh cabang dinas untuk dibahas di tingkat kecamatan (selanjutnya usulan cabang dinas ini akan dimasukkan dalam Format B-4 dan Format B-5). Proses untuk pengisian format B-4 dan diskusi pra- UDKP berlangsung cukup lama yaitu 1 – 2 minggu. Keseluruhan proses ini seringkali disebut sebagai proses Pra-UDKP.
Format B-4 dan B-5 merupakan bahan dasar bagi pembahasan di Forum UDKP. Forum UDKP yang berjalan selama 2 hari ini merupakan proses yang sangat penting dalam perencanaan partisipatif. Dalam forum ini dipertemukan kepentingan komunitas (yang dihadiri oleh 3 orang utusan desa untuk memperjuangkan RPTD), kepentingan wilayah kecamatan (yang diwakili oleh pejabat kecamatan), dan kepentingan sektor/dinas (yang dihadiri oleh petugas cabang dinas atau dinas kabupaten). Forum ini juga menghadirkan Pejabat Bappeda –sebagai institusi perencanaan di tingkat kabupaten. BPMPP sebagai
Kerjasama Indonesia – Jerman
22
lembaga di tingkat kabupaten yang bertanggung jawab dalam pembangunan komunitas dan anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan kecamatan yang bersangkutan.
Forum UDKP dimulai dengan penjelasan mengenai program-program pembangunan baik di tingkat daerah maupun tingkat komunitas yang disampaikan oleh pejabat dari Bappeda, BPMPP dan Kecamatan. Selanjutnya forum akan membahas dan merengking program yang telah ada dalam Format B-4 dan Format B-5. Pembahasan dibagi dalam tiga kelompok sebagaimana dengan pengelompokkan usulan RPTD. Pelaku utama diskusi adalah: perwakilan dari desa (1 orang dalam tiap kelompok), petugas kecamatan, dan petugas dari dinas. Dalam pembahasan program, diskusi kelompok fokus pada perengkingan program atau lebih tepatnya mengisi Format B-5. Bila dianggap perlu, kelompok juga dapat mengajukan program baru (yang belum tercantum dalam Format B-4 dan B-5). Ini terjadi biasanya karena dinas tidak menyampaikan usulan tertulis dalam kegiatan Pra-UDKP sehingga usulan langsung diajukan dalam forum tersebut.
Hasil dari forum UDKP terutama adalah dokumen Rencana Pembangunan Tingkat Kecamatan (RPTK). Dokumen ini berisi 5 – 10 usulan untuk tiap-tiap bidang yang dianggap prioritas untuk diajukan sebagai program pembangunan di tingkat kecamatan.
Dokumen RPTK selanjutnya diajukan kepada Panitia Rakorbang. Panitia Rakorbang beranggotakan pejabat-pejabat pemerintah di tingkat Kabupaten (Bappeda, Bagian Bina Program Setda, Bagian Keuangan Setda dan BPMPP). Panitia Rakorbang diketuai oleh Sekretaris Bappeda. Oleh karena itu, kegiatan operasional berlangsung di Kantor Bappeda dan menjadi tugas pokok Bappeda. Yang menarik adalah meskipun anggota kepanitaan sangat besar, tetapi dalam praktek hanya staf Bappeda –dibawah koordinasi Sekretaris Bappeda- yang terlibat secara intens dalam kepanitiaan. Dalam banyak hal bahkan Kepala Dinas lembaga lain –yang sebenarnya anggota panitia- banyak tidak tahu-menahu mengenai operasional dari Panitia ini.
Kegiatan pertama Panitia Rakorbang adalah melakukan inventarisasi RPTK yang dituangkan dalam dokumen B1b. Panitia Rakorbang juga melakukan inventarisasi usulan dinas/instansi di tingkat kabupaten (dituangkan dalam Format B 1a). Selanjutnya Panitia memfasilitasi pertemuan antara pihak kecamatan dengan pihak dinas/instansi. Pertemuan dan pembahasan dilakukan per-bidang usulan (sesuai dengan bidang usulan dalam RPTK dan pembidangan di Bappeda). Sebagai hasil dari kegiatan pemaduserasian ini adalah: usulan yang disepakati, usulan yang hampir disepakati, dan usulan yang tidak disepakati oleh kecamatan dan dinas. Usulan yang disepakati yaitu usulan ada dalam dokumen usulan RPTK dengan usulan dinas/instansi dituangkan dalam format B3 yang akan dibahas dan dibobot dalam pertemuan Rakorbang.
Penentuan prioritas kegiatan yang akan didanai dalam TA yang akan datang merupakan kegiatan utama dalam Forum Rakorbang ini. Secara teknis kegiatan ini dilakukan dengan melakukan pembobotan dan perengkingan kegiatan yang sudah dimasukkan dalam Format B3. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini (pada bulan Juni) dihadiri oleh 3
Kerjasama Indonesia – Jerman
23
orang pejabat kecamatan (Camat, Sekretaris Camat, dan Kasi PMD) dan pejabat dari dinas daerah (Kepala Dinas atau Kabag Perencanaan Dinas). Kesepakatan hasil pembobotan dituangkan dalam Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah Kabupaten Bima yang disetujui dalam Forum Rakorbang (Format B-5).
Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah Kabupaten Bima yang disetujui dalam Forum Rakorbang (Format B-5) merupakan bahan dasar bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada/Renstra). Selain hasil Rakorbang, Repetada juga mengakomodasi usulan dari Bupati dan Propeda/Renstra Daerah. Bahkan beberapa dinas dapat ‘melobi’ penyusunan Repetada untuk memasukkan program yang tidak dibahas dalam Forum Rakorbang. Alasan utama yang biasanya dikemukakan oleh dinas adalah bahwa program yang diajukan sangat spesifik dan tidak mungkin dibahas atau disetujui dalam Forum Rakorbang. Program-program penelitian, demplot/dempon untuk pertanian dan perikanan, atau operasional pelayanan publik misalnya adalah program-program yang biasa dimasukkan dalam Repetada tanpa diproses dalam Forum Rakorbang. Karena Repetada/Renstra merupakan dokumen program daerah yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maka dalam pembahasan dengan DPRD, anggota DPRD juga dapat mengemukakan beberapa program tambahan.
Repetada sebagai hasil akhir proses perencanaan merupakan dokumen yang harus dijadikan rujukan utama dalam penganggaran daerah. Berdasarkan dokumen Repetada dinas menyusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). Yang menarik dari proses ini adalah, meskipun Repetada telah mencantumkan nilai nominal program, dinas seringkali melakukan survey lapangan dengan alasan ia harus menghitung secara langsung besar biaya yang diajukan sesuai dengan keadaan lapangan. Selain itu, dinas juga masih mungkin mengajukan program baru –yang tidak adal dalam Repetada- dengan alasan program tersebut sudah ada dalam rencana strategi dinas.
Kegiatan survey ini terutama dilakukan manakala dinas berkonsultasi dengan Panitia Anggaran Eksekutif yang operasionalnya berada di Bagian Bina Program. Dengan alasan ‘keterbatasan dana’ Panggar Eksekutif seringkali meminta dinas mengurangi jumlah anggaran atau bahkan jumlah kegiatan dinas. Dalam beberapa kasus Panggar Eksekutif bahkan melakukan survey untuk menetapkan anggaran kegiatan. Survey yang dilakukan berkali-kali baik oleh Dinas maupun Panggar Eksekutif seringkali menyebabkan proses pembuatan RASK menjadi lama.
RASK yang telah diterima –setelah berkali-kali konsultasi yang disebut sebagai kegiatan ‘klinis’- selanjutnya dikompilasi dan dijadikan ’Draft RAPBD’ oleh Panggar Eksekutif. Panggar Eksekutif juga bertindak sebagai wakil pemerintah ketika pembahasan Draft RAPBD dengan Panggar DPRD. Proses ini juga berjalan cukup rumit karena seringkali DPRD melakukan survey dan dengar pendapat langsung dengan dinas.
Kerjasama Indonesia – Jerman
24
Draft RAPBD yang telah disetujui oleh Panggar DPRD selanjutnya menjadi RAPBD. RAPBD diajukan oleh Bupati ke DPRD untuk dibahas dan disyahkan menjadi Dokumen APBD. Berdasarkan APBD kemudian dinas menyusun Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) sebagai dasar bagi belanja.
Proses Musbangdus sampai APBD secara normatif berlansung selama 9 - 10 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan November/Desember. Tetapi ketika survey ini dilakukan – bulan Januari – Februari APBD belum disyahkan. Pengunduran jadwal terjadi terutama dalam proses penyusunan RASK, pembahasan RASK antara dinas dengan Panggar Eksekutif, dan pembahasan Draft RAPBD.
Pada Gambar 2-10 dan Gambar 2-11 dapat disimak proses perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kabupaten Bima. Sedangkan pada tabel 2-13 dapat disimak jadwal, proses, pelaku, dan penanggung jawab dalam tiap proses kegiatan perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kabupaten Bima.
Kerjasama Indonesia – Jerman
25
Gambar 2-10 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima (Musbangdes – Rakorbang)
Dibahas dlmRakorbang?
Musbangdus
RPTD
Musbangdes
Pembahasan danPengisian Format
ForumUDKP
Posko UDKP
Format B5 RPTK
Dibahas dlmforum UDKP?
Ya
Tidak
Format B1 -B3 dan B6
Usulan Lolos dlmPembahasan
UDKP?
Yes
?
No
PanitiaRakorbang
Pembahasan danPengisian Format
UsulanCabang Dinas
Format B1, B2,dan B4
Usulan Dinas Format B3
Rakorbang
Ya
Tidak
Format 4
Format 1 - 3 Monografi &Potensi Desa
Kerjasama Indonesia – Jerman
26
Gambar 2-11 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima (Rakorbang – APBD)
RakorbangUsulan Lolos dlm
PembahasanRakorbang?
Ya
Format B5 (Strategi &Prioritas)
Tidak
DitundaDikembalikan Usulan Dinas
Usulan DariBupati
PenyusunanRASK
RASK
Survey Dinas
PenyusunanDraft
RAPBD
Draft RAPBD
Usulan RASKDiterima?
Ya
Tidak
Pembahasan DraftRAPBD denganPanggar DPRD
RAPBD APBD
PembahasanRAPBD dengan
DPRD
PembahasanRASK dengan
PanggarEksekutif
Poldas, Propeda, &Renstra
?
DASK
PenyusunanRepetada/Renstra
Repetada
Renstra Dinas
Kerjasama Indonesia – Jerman
27
Tabel 2-13 Proses Perencanaan Dan Penganggaran Di Kabupaten Bima
Kegiatan Jadwal Pelaksanaan Input Proses Pelaku Output Penanggung Jawab
Proses Perencanaan Partisipatif Musbangdus Maret (1 hari
per kegiatan) Sketsa desa dan
kalender musim Kelembagaan desa
Identifikasi masalah di tingkat dusun Identifikasi tindakan yang perlu untuk
pemecahan masalah
Kepala Desa Kepala Dusun Warga Dusun
F 4 Kepala Desa
Musbangdes Maret ( 1 atau 1 ½
hari per kegiatan)
PJM Desa Hasil
Musbangdus/F4*) Data Potensi Desa
Analisa dan Pengelompokkan Masalah desa
Analisa Potensi Analisa Pemecahan Masalah Usulan Kegiatan Perengkingan
Kepala dan Aparat Desa LKMD BPD Kelompok Wanita Pemuda Tokoh Agama Kelompok Tani Tim Posko UDKP
RPTD RPJMD
(Bila desa belum buat)
Kepala Desa Kasie PMD Camat
Pra-UDKP April RPTD Usul Dinas Melalui
Cabang Dinas Usul Kecamatan
Rekap RPTD Pengiriman usulan ke dinas melalui
cabang dinas Proses usulan dari cabang dinas
Tim Posko UDKP (Camat, Sekcam, Kasie PMD dan Cabang Dinas/ Instansi Kabupaten)
Format B1 – B6*)
Posko UDKP
UDKP Mei (2
hari/kegiatan)
Format B4 dan Format B5
Presentasi Program Desa (1 Desa) Penjelasan Format oleh Posko UDKP Diskusi Pembahasan Format B4 dan
B5 Per-Bidang Pleno
Tiga Orang dari Desa (Kep. Desa, LKMD, PKK)
Dinas/Instansi dari Kabupaten Sebagai Peserta/Nara Sumber
Anggota DPRD
RPTK Bappeda BPM(PP) Posko UDKP
Pra-Rakorbang Juni Hasil UDKP Usulan Dinas
Inventarisasi Usulan Dinas/Instansi Kabupaten
Inventarisasi RPTK Pemaduserasian RPTK dengan usulan
dinas/instansi (Format B2) Rapat pembahasan Format B2 dan
penyesuaian dengan Propeda/Poldas sehingga diperoleh: usulan disepakati (FB3), usulan hampir disepakati, usulan belum disepakati
Penyusunan hasil rapat pembahasan dan pendokumentasian hasil dalam format B4a dan Format B4b
Panitia Penyelenggaran Pra-Rakorbang
Kecamatan (Camat, Sekcam, Kasie-PMD)
Dinas/Instansi
Format B1 – B4b*)
Panitia Penyelenggara Pra-Rakorbang, Rakorbang, dan Pasca Rakorbang
Rakorbang Juni Format B3
Pembahasan usulan yang tertera dalam Format B3
Pembobota usulan yang tertera pada Format B3 oleh semua peserta dari
Fraksi dan Komisi DPRD Kodim, Polres, Pengadilan,
Kejaksaan Kepala Dinas/Instansi
Format B3 yang telah dirangking
Panitia Penyelenggara Pra-Rakorbang, Rakorbang, dan
Kerjasama Indonesia – Jerman
28
Kegiatan Jadwal Pelaksanaan Input Proses Pelaku Output Penanggung Jawab
dinas dan Kecamatan Penentuan rangking usulan
berdasarkan pembobotan
Kabag Setda Kabid Bappeda Kasub Dinas pada Dinas
Daerah Kecamatan (Kasi PMD,
Sekcam, Camat) Perbankan, BUMN, BUMD Orsos, LSM, Toma, Tokoh
Pemuda, Toga, Tokoh Perempuan
Lembaga Pendidikan, Perguruan Tinggi
KADIN, GAPENSI, ASOSIASI Swasta
Pasca Rakorbang
Pasca Rakorbang
Juni Hasil Rakorbang Pendokumentasian hasil Rakorbang Sosialisasi dan distribusi hasil
Rakorbang ke Kecamatan Penyusunan Bahan untuk Rakorbang
Propinsi dan Nasional
Format B5 Panitia Penyelenggara Pra-Rakorbang, Rakorbang, dan Pasca Rakorbang
Proses Perencanaan Kegiatan Penyusunan Repetada
Juli – Agustus Hasil Rakorbang (Format B5)
Usul Dinas Usul dari Bupati Renstra
Analisis masalah pelaksanaan program tahun lalu
Prioritas Program Formulasi Program Rencana Kegiatan –berikut anggaran
yang akan digunakan
Bappeda Panggar Eksekutif
Repetada Bappeda Panggar
Eksekutif
Proses Penganggaran Penyusunan RASK
Agustus – September
Repetada Rencana Dinas
Penyusunan RASK oleh Dinas/Instansi Konsultasi dengan Panggar Ekseskutif Bila dianggap perlu, Panggar Eksekutif
–melalui Bag. Penyusunan Program- melakukan survey lapangan
Panggar Eksekutif Dinas/Instansi
Panggar Eksekutif
Penyusunan RAPBD
September – Oktober
RASK
Rekap RASK Formulasi RASK dalam format RAPBD
Panggar Eksekutif Draft RAPBD
Panggar Eksekutif
Pembahasan RAPBD dan Penetapan APBD
November - Desember
Rancangan RAPBD Usulan Dewan
Tahapan-tahapan persidangan DPRD Panggar Eksekutif & DPRD APBD Panggar Eksekutif
Kerjasama Indonesia – Jerman
29
Keterangan: Format Musbangdes & Musbangdus F1 : Daftar Masalah dari Sketsa Dusun F2 : Daftar Masalah dari Kalender Musim F3 : Daftar Masalah dari Kelembagaan Desa F4 : Pengelempokan Masalah dan Pengkajian Tindakan
Pemecahan Masalah (Masalah, Penyebab, Potensi, Tindakan yang Layak, Peringkat Masalah)
F5 : Rekapitulasi (Himpunan) Masalah dan Tindakan Pemecahan Masalah
F6 : Pembobotan Masalah dan Tindakan Pemecahan Masalah
Format UDKP: B1 : Rekapitulasi RPTD B2 : Usulan yang sudah terakomodasi dalam Proyek
yang sedang berjalan di Kecamatan B3 : Usulan yang bisa dikerjakan secara swadaya B4 : Usulan yang siap dibahas dalam forum UDKP B5 : Usulan yang siap diberi rangking B6 : Usulan yang masuk daftar tunggu
Format Pra-Rakorbang dan Rakorbang B1a : Inventarisasi Usulan Dinas/Instansi Kabupaten B1b : Inventarisasi RPTK B2 : Pemaduan Usulan dinas/Instansi dengan hasil
UDKP/Usulan Kecamatan B3 : Usulan RPTK yang sama dengan usulan
Dinas/Instansi untuk dibobot B4a : Rencana Pembangunan Tahunan Kabupaten Bima
yang disepakati B4b : Rencana Pembangunan Tahunan Kabupaten Bima
yang Tidak Disekapati (masuk daftar tunggu) B5 : Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan
Daerah Kabupaten Bima yang disetujui dalam Forum Rakorbang
Kerjasama Indonesia – Jerman
30
2.3.2 Kabupaten Sumba Timur Proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Sumba Timur mulai dari Musbangdes sampai Rakorbang secara umum sama dengan proses yang terjadi di Kabupaten Bima. Perbedaan terjadi pada penanggung jawab kegiatan, pengalokasian anggaran, dan pada kegiatan Rakorbang.
Di Kabupaten Bima proses Musbangdes dan UDKP baik dari segi kegiatan maupun pendanaan ada dalam kendali BPMPP. Di Sumba Timur penanggung jawab kegiatan terdesentralisasi pada tingkat desa dan kecamatan masing-masing. Ini merupakan konsekwensi dari pengalokasian dana ke desa dan kecamatan. Berdasarkan SK Bupati, Kabupaten mengalokasikan plafon dana bagi desa dan kecamatan (Desa sebesar 15 juta dan kecamatan sebesar 45 juta). Dana tersebut digunakan untuk program pembangunan desa dan kecamatan maupun untuk mendanai proses-proses kepemerintahan di tingkat desa dan kecamatan. Musbangdes dan UDKP termasuk dalam kegiatan yang didanai oleh plafon dana desa dan kecamatan tersebut. Sebagai konsekwensi dari kebijakan ini adalah desa dan kecamatan merasa lebih memiliki kegiatan dan program-program yang diusulkan.
Sesuai dengan SE Mendagri No. 50/2003, mulai TA 2003 Kabupaten Sumba Timur merubah forum Rakorbang (termasuk Pra-Rakorbang) menjadi Forum Koordinasi Perencanaan Pembangunan (Forkod). Perubahan penting dari Rakorbang ke Forkod adalah diterimanya anggota non-pemerintah (LSM, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Donor) dalam keanggotaan dan kepanitian Forum Musyawarah. Meskipun dalam praktek Forum ini hampir sama dengan Kepanitiaan Rakorbang –terutama karena kurang aktifnya anggota non-pemerintah sebagai akibat tidak adanya alokasi anggaran untuk melakukan kegiatan tetapi dari segi transparansi dan kontrol terhadap program menjadi lebih tinggi. Dengan melibatkan orang dari organisasi non-pemerintah daerah, maka masyarakat terutama yang wakilnya duduk dalam Forkod lebih memahami proses penyusunan program pembangunan dan melakukan kontrol terhadap program yang dijalankan, karena mereka terlibat dalam proses penyusunannya.
Hal lain yang membedakan proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumba Timur dengan Kabupaten Bima adalah tidak dibuatnya dokumen Repetada. Berdasarkan Kepmen 29/2002 sebagai rujukan untuk penyusunan anggaran maka daerah perlu membuat Arah Kebijakan Umum Daerah (AKU). Kabupaten Sumba Timur berusaha menyusun AKU tersebut, tetapi terlambat. AKU disusun justru ketika proses penyusunan RASK telah terjadi. Hal ini menyebabkan dokumen AKU tidak memiliki dampak apapun terhadap anggaran.
Tiadanya Repetada, maka dari segi efektifitas dan efisiensi justru memudahkan dinas. Dinas dapat langsung menyusun RASK dengan berdasarkan pada hasil musyawarah Forkod, kebutuhan berdasarkan hasil dinas sendiri, usulan dinas yang tidak terakomodasi
Kerjasama Indonesia – Jerman
31
dalam Musyawarah Forkod yang dianggap penting, usulan dinas yang tertuang dalam dokumen Renstra Dinas, dan usulan Bupati. Lewat proses ini -tanpa Repetada- proses perencanaan dan penganggaran di tingkat dinas tampak terkait secara langsung.
Proses pembahasan RASK dilakukan oleh Panggar Eksekutif yang operasionalnya dijalankan oleh Bagian Keuangan. Dengan demikian –berbeda dengan Bima- di Sumba Timur proses pengalokasian anggaran, baik belanja aparatur maupun belanja pelayanan publik- dibawah koordinasi Bagian Keuangan (satu bagian).
Dalam membahas RASK Tim Panggar Eksekutif juga memiliki pedoman yang jelas yaitu: prioritas pembangunan daerah (pendidikan, infrastruktur, peningkatan pendapatan, dan kesehatan), tugas pokok dan fungsi dinas, serta satuan harga per-item biaya. Dalam proses pembahasan RASK Panggar Eksekutif juga tidak melakukan survey sebagaimana dilakukan oleh Panggar Eksekutif Kabupaten Bima.
Pada Gambar 2-12 dapat disimak skema proses penganggaran di Kabupaten Sumba Timur.
2.3.3 Kabupaten Alor Dapat disimak pada Gambar 2-13 Kabupaten Alor tidak mengadopsi Forkod. Kabupaten Alor merusaha menyusun AKU meskipun terlambat, sehingga tidak ada dampaknya terhadap perencanaan dan penganggaran. Seperti di Kabupaten Sumba Timur, AKU juga dibuat terlambat sehingga tidak memiliki dampak apapun pada proses penyusunan anggaran. Dengan demikian dinas langsung menyusun RASK setelah Rakorbang selesai. RASK disusun selain berpedoman pada program yang disepakati dalam Forum Rakorbang juga berdasarkan pada Renstra Dinas, Propeda, Renstra, usulan dari Bupati, dan usulan dinas. Yang menarik di Alor adalah Bupati mengeluarkan plafon anggaran sektoral sebagai pedoman bagi dinas dalam mengajukan anggaran. Dengan plafon yang ditetapkan Bupati maka proses pembahasan di Panggar Eksekutif lebih mudah, karena dengan plafon yang telah diberikan maka dinas tidak mengajukan usulan yang lebih besar dari plafon. Sayangnya plafon anggaran hanya berdasarkan pada anggaran tahun lalu, bukan berdasarkan pada prioritas pembangunan.
Proses penganggaran setelah di Panggar Eksekutif tampaknya sama antara Kabupaten Bima, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Alor.
Kerjasama Indonesia – Jerman
32
Gambar 2-12 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur (Forkod – APBD)
ForkodUsulan Lolos dlm
PembahasanForkod?
Yes
Format B5
No
DitundaDikembalikan
Renstra Dinas &Dokumen Perencanaan
LainnyaUsulan Dari
Bupati
PenyusunanRASK
RASK
Survey Dinas
PenyusunanDraft
RAPBD
Draft RAPBD
Usulan RASKDiterima?
Ya
Tidak
Pembahasan DraftRAPBD denganPangar DPRD
RAPBD APBD
PembahasanRAPBD dengan
DPRD
PembahasanRASK dengan
PanggarEksekutif
DASK
Penyusunan AKU
Usulan Dunas
Kerjasama Indonesia – Jerman
33
Gambar 2-13 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Alor (Rakorbang – APBD)
RakorbangUsulan Lolos dlm
PembahasanRakorbang?
Ya
Format B5 (Strategi& Prioritas)
Tidak
DitundaDikembalikan Renstra Dinas
Usulan DariBupati
PenyusunanRASK
Usulan Dinas
RASK
Survey Dinas
PenyusunanDraft
RAPBD
Draft RAPBD
Usulan RASKDiterima?
Ya
Tidak
Pembahasan DraftRAPBD denganPanggar DPRD
RAPBD APBD
PembahasanRAPBD dengan
DPRD
PembahasanRASK dengan
PanggarEksekutif
Poldas,Propeda, &
Renstra
?
DASK
Penyusunan AKU
Plafon AnggaranSektoral dari
Bupati
Kerjasama Indonesia – Jerman
34
2.4 Output Pada Semua Proses Perencanaan dan Penganggaran Salah satu cara untuk menilai efektifitas dan efisiensi suatu proses adalah dengan menilai output dari poses yang telah ditempuh. Untuk itu, Tim berusaha menelusuri output perencanaan dan penganggaran di tiap proses, terutama untuk melihat sejauhmana efektifitas perencanaan yang dibuat secara partisipatif. Output yang diamati oleh Tim peneliti meliputi:
hasil Musbangdes (RPTD) yang masuk hasil UDKP (RPTK)
RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang
hasil Rakorbang yang masuk Repetada
Repetada yang masuk APBD
perbandingan program dinas yang berasal dari Rakorbang dan usulan dinas untuk dana yang dibiayai APBD
Seharusnya, dokumen perencanaan tahunan diturunkan dari dokumen perencanaan jangka menengah. Pada waktu penelitian, Tim melihat bahwa justru semua dokumen perencanaan jangka menengah di masing-masing daerah masih bersifat umum sekali. Artinya, tidak ada arah yang cukup jelas untuk perencanaan tahunan. Apalagi di beberapa daerah ada “banjir dokumen”, sampai pemerintahnya sendiri bingung bagaimana cara menerjemahkan dokumen ini pada perencanaan tahunan. Program yang dicantumkan dalam dokumen jangka menengah tidak menjelaskan prioritas pembangunan ke depan dan juga tidak mengarahkan secara jelas ke outcome yang ingin dicapai pada waktu tertentu.
Tim Peneliti juga mendapat informasi bahwa untuk perencanaan tahunan, Bappeda memulai dari nol untuk menentukan kegiatan. Biasanya, masukan utama adalah usulan dari bawah (Musbangdes dan UDKP). Tetapi usulan kegiatan itu juga sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan prioritas pembangunan daerah yang ada dalam rencana pembangunan jangka menengah. Untuk mengatasi hal ini, tim peneliti mengemukakan rekomendasi khusus bagaimana “banjir dokumen” ini bisa dihindari kedepan pada bab terkakhir. Kecenderungan lain yang menyebabkan terjadinya banjir dokumen adalah daerah masih biasa mengikuti semua peraturan dari atas (misalnya dalam hal dokumen perencanaan) tanpa memperhatikan kebutuhannya sendiri.
Kerjasama Indonesia – Jerman
35
2.4.1 Kabupaten Bima
Selama TA 2002 – TA 2004 rata-rata RPTD (hasil Musbangdes) yang terakomodasi dalam RPTK (hasil UDKP) adalah 65% (69% pada TA 2002, 66% pada TA 2003, dan 59% pada TA 2004). Pada Tabel 2-14 dan Gambar 2-14 juga dapat disimak bahwa usulan desa cenderung meningkat tiap tahun. Peningkatan ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap program yang dilakukan secara partisipatif, atau 2) ketidakpastian diterimanya usulan yang dibahas pada tingkat desa justru membuat masyarakat memperbanyak usulannya. Dua hal tersebut di atas diakibatkan oleh kurangnya informasi mengenai plafon anggaran dan prioritas kegiatan yang dapat didanai oleh APBD. Hal ini juga menyebabkan masyarakat tidak memiliki saringan yang memadai untuk mengurangi jumlah usulannya.
Tabel 2-14 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Bima TA 2002 - 2004
Proses Perencanaan Tahun Anggaran TA 2002 TA 2003 TA 2004 Hasil Musbangdes (RPTD) 1565 1862 2132 Hasil UDKP (RPTK) 1076 1234 1261 Sumber: BPMPP Kabupaten Bima, 20043
Gambar 2-14 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Bima TA 2002 - 2004
1565
1862
2132
10761234 1261
0
500
1000
1500
2000
2500
TA 2002 TA 2003 TA 2004
Tahun Anggaran
Jum
lah
Usul
an
Hasil Musbangdes Hasil UDKP
3 Data tidak termasuk 3 Kecamatan (25 Desa) yang sejak tahun 2003 (TA 2004) berada di wilayah Kota Administrasi Bima dan sekarang telah berubah menjadi Kota Bima. Data ini juga diperoleh dari perhitungan Kasie dan Staf BPM(PP) yang terlibat langsung dalam proses Musbangdes dan UDKP. Data ini kalau kita bandingkan dengan data dari Bappeda tampak ada perbedaan jumlah kegiatan yang besar. Perbedaan ini sulit dikonfirmasikan. Bahkan dalam diskusi antara BPM(PP) dan Bappeda yang difasiltasi peneliti, kedua belah pihak sulit menkonfirmasi dimana letak perbedaan perhitungannya. Ini juga merupakan contoh, bagaimana data yang berasal dari satu sumber (BPM(PP)) tidak sama interpretasinya dengan pihak lain yang akan mengelola data (Bappeda). Penyebabnya adalah: 1) perhitungan dilakukan secara manual, dan 2) format yang berbeda antara BPM(PP) dan Bappeda.
Kerjasama Indonesia – Jerman
36
Forum Rakorbang di Kabupaten Bima tampaknya dapat mengakomodasi Hasil UDKP. Dalam beberapa hal, Forum Rakorbang justru memperbanyak usulan dengan usulan yang disampaikan dinas. Penyusutan jumlah usulan kegiatan justru terjadi sangat drastis dalam Repetada. Usulan Rakorbang yang terakomodasi dalam Repetada selama TA 2002 – 2004 rata-rata sebesar 33% (yaitu 37% pada TA 2002, 25% pada TA 2003, dan 28% pada TA 2004). Yang menarik adalah –sebagai akibat terputusnya proses perencanaan dengan proses penganggaran- masih terjadi pengurangan kegiatan yang diusulkan dalam Repetada meskipun Repetada dengan kegiatan yang disahkan untuk didanai APBD (ini menarik karena dua dokumen tersebut sama-sama disahkan oleh Peraturan Daerah). Kegiatan Repetada yang dapat didanai APBD pada TA 2002 – 2004 rata-rata 32% (12% pada TA 2002, 53% pada TA 2003, dan 31% pada TA 2004). Ini berarti jumlah kegiatan Rakorbang yang dapat didanai oleh APBD pada TA 2002 – 2004 rata-rata sebesar 10% (5% pada TA 2002, 13% pada TA 2003, dan 12% pada TA 2004).
Tabel 2-15 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
Jumlah Kegiatan T A H U N ANGGARAN
2002 2003 2004
RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang 2,277 2,035 1,456 Hasil Rakorbang yang masuk Repetada 842 507 556 Repetada yang masuk APBD 103 268 174
Sumber: Bappeda Kabupaten Bima, 20044
Gambar 2-15 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
2,277
2,035
1,456
842
507 556
103268
174
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
2002 2003 2004
Tahun Anggaran
Jumlah Usulan
RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang Hasil Rakorbang yang masuk RepetadaRepetada yang masuk APBD
4 Jumlah kegiatan yang dihitung pada tahun anggaran 2002-2003 meliputi tiga kecamatan yang termasuk dalam Kota Administratif Bima. Perhitungan dilakukan oleh Staf Sekretaris dan Staf Penelitian Bappeda yang terlibat langsung dalam proses Rakorbang dan penyusunan Repetada Kabupaten Bima.
Kerjasama Indonesia – Jerman
37
Kecenderungan pengurangan jumlah kegiatan juga tercermin dalam pengurangan anggaran yang disetujui dalam setiap kegiatan. Yang sedikit berbeda adalah jumlah pengurangan anggaran yang diajukan dalam Repetada yang tidak begitu berbeda dengan yang disetujui APBD. Dalam menghadapi keterbatasan anggaran, nampaknya Panggar Eksekutif dan dinas-dinas di Kabupaten Bima lebih memilih mengurangi jumlah kegiatan ketimbang mengurangi dana untuk setiap kegiatan. Pada Tabel 2-16 dan Gambar 2-16 dapat disimak kecenderungan tersebut.
Tabel 2-16 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan
Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
Anggaran T A H U N
2002 2003 2004
RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang 330,245,693,030 549,837,311,600 480,847,257,000
Hasil Rakorbang yang masuk Repetada 40,249,385,500 109,527,121,500 229,529,329,000
Repetada yang masuk APBD 54,692,714,750 70,424,782,423 88,309,085,000 Sumber: Bappeda Kabupaten Bima, 20045
Gambar 2-16 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
-
100,000,000,000
200,000,000,000
300,000,000,000
400,000,000,000
500,000,000,000
600,000,000,000
2002 2003 2004
Tahun
Ang
gara
n
RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang Hasil Rakorbang yang masuk RepetadaRepetada yang masuk APBD
2.4.2 Kabupaten Sumba Timur Di Kabupaten Sumba Timur, usulan RPTD yang masuk dalam RPTK pada TA 2002 – TA 2004 rata-rata 78% (86% pada TA 86, 83% pada TA 2003, dan 66% pada TA 2004). Angka ini lebih besar dari Kabupaten Bima, meskipun jumlah RPTD yang terakomodasi
5 Jumlah kegiatan yang dihitung meliputi tiga kecamatan yang termasuk dalam Kota Administratif Bima.
Kerjasama Indonesia – Jerman
38
dalam RPTK cenderungan menurun seperti dapat disimak dalam Tabel 2-17 dan Gambar 2-17.
Tabel 2-17 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004
Jumlah Usulan Kegiatan TA 2002 TA 2003 TA 2004 RPTD 1122 1086 1374 RPTK 969 901 904
Sumber: BPM Kabupaten Sumba Timur 20046
Gambar 2-17 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 - 2004
1122 1086
1374
969901 904
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
TA 2002 TA 2003 TA 2004
Tahun Anggaran (TA)
Jum
lah
Keg
iata
n
RPTD RPTK
Di Kabupaten Sumba Timur –karena keterlambatan dalam penyusunan AKU- maka hasil Rakorbang langsung menjadi bahan penyusunan RASK Dinas/Badan. Salah satu dampak positif dari proses tersebut adalah hubungan perencanaan ke penganggaran menjadi lebih pendek. Rata-rata hasil kegiatan Rakorbang yang terakomodasi dalam APBD pada TA 2002 – TA 2003 adalah 23% (25% pada TA 2002 dan 22% pada TA 2003).
Tabel 2-18 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Bima TA 2002 – TA 2004
Kegiatan Jumlah Kegiatan TA 2002 TA 2003 TA 2004 Kegiatan Hasil Rakorbang 91 143 161 Kegiatan dalam APBD 46 72 na. Kegiatan Hasil Rakorbang yang Terakomodasi dalam APBD 23 31 n.a
Sumber: Rekapitulasi Hasil Rakorbang TA 2002 – TA 2004, dan APBD Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 20047
6 Jumlah RPTD dan RPTK yang dihitung meliputi 9 kecamatan dari total 14 kecamatan. Hal ini disebabkan hanya di 9 kecamatan saja data mengenai RPTD dan RPTK yang tersedia dengan lengkap (TA 2002 – TA 2004). Sedangkan kecamatan lainnya data tidak tersedia. Perhitungan jumlah usulan dilakukan sendiri oleh Kasie dan staf BPM Sumba Timur. 7 Jumlah kegiatan dalam RPTK dan jumlah kegiatan hasil Rakorbang sulit dibandingkan karena dua hal, yaitu: a) data RPTK tidak tersedia untuk seluruh kecamatan, dan b) perbedaan kategori pengelompokan, RPTK dikelompokkan berdasarkan kegiatan di desa dan kecamatan, sedangkan hasil Rakorbang dikelompokkan berdasarkan proyek yang
Kerjasama Indonesia – Jerman
39
Gambar 2-18 Perkembangan Usulan Kegiatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 20048
91
143161
46
72
23 31
020406080
100120140160180
TA 2002 TA 2003 TA 2004
Tahun Anggaran
Jum
lah
Keg
iata
n
Kegiatan Hasil RakorbangKegiatan dalam APBDHasil Kegiatan Rakorbang yang Terakomodasi dalam APBD
Dari segi jumlah anggaran, anggaran yang terakomodasi jauh lebih besar dari jumlah kegiatan yaitu rata-rata 53% pada TA 2002 – TA 2003 (58% pada TA 2002 dan 48% pada TA 2003). Berdasarkan hasil wawancara terhadap Panggar Eksekutif, tingkat pengakomodasian anggaran hasil Rakorbang ini disebabkan oleh aktifnya perwakilan Bappeda yang duduk di Panggar Eksekutif. Setiap pengajuan usulan dari dinas Tim Bappeda di Panggar Eksekutif selalu bertanya “Apakah RASK dinas berasal dari Rakorbang/Forkod atau bukan?” Jika usulan berasal dari Rakorbang maka Tim Panggar langsung membahas anggaran, tetapi jika bukan berasal dari Rakorbang maka dinas harus mampu meyakinkan Tim Panggar Eksekutif –terutama Tim dari Bappeda- bahwa program tersebut betul-betul diperlukan untuk tahun anggaran yang direncanakan.
Tabel 2-19 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004
Tahun Anggaran Kegiatan TA 2002 TA 2003 TA 2004
Kegiatan Hasil Rakorbang 206,928,750,000 174,062,189,000 246,427,097,000 Kegiatan dalam APBD 39,236,105,858 76,900,512,650 na Kegiatan Hail Rakorbang yang Terakomodasi dalam APBD 22,630,565,000 37,091,000,000 na
Sumber: Rekapitulasi Hasil Rakorbang TA 2002 – TA 2004, dan APBD Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004
disetujui dengan tidak menyebutkan lokasi kecamatan, atau kalaupun menyebutkan tidak lengkap. Ini merupakan contoh sistem pendataan yang kurang lengkap, sehingga kegiatan sektor yang berupa proyek sulit ditelusuri asal usulan kecamatan dan desanya. 8 Pada waktu penelitian, pembahasan RASK belum selesai. Karena itu, tidak ada data untuk TA 2004, dan usulan yang terakomodir didalamnya.
Kerjasama Indonesia – Jerman
40
Gambar 2-19 Perkembangan Jumlah Anggaran yang Diajukan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Sumba Timur TA 2002 – TA 2004
-
50,000,000,000
100,000,000,000
150,000,000,000
200,000,000,000
250,000,000,000
300,000,000,000
TA 2002 TA 2003 TA 2004Tahun Anggaran
Jum
lah
Ang
gara
n
Kegiatan Hasil Rakorbang
Kegiatan dalam APBD
Hasil Kegiatan Rakorbang yang Terakomodasi dalam APBD
2.4.3 Kabupaten Alor Hasil Musbangdes yang terakomodasi dalam RPTK pada TA 2002 – 2004 di Kabupaten Alor rata-rata 68% (91% pada TA 2002, 60% pada TA 2003, dan 53% pada TA 2004). Di Kabupaten Alor dapat dilihat juga bahwa jumlah usulan RPTD dan RTPK cenderung meningkat sebagaimana dapat disimak dalam Tabel 2-20 dan Gambar 2-20.
Tabel 2-20 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Alor TA 2002 - 2004
Tahun Anggaran Proses Perencanaan TA 2002 TA 2003 TA 2004
Hasil Musbangdes 338 957 1003
Hasil UDKP 306 571 529 Sumber: BPMD Kabupaten Alor, 2004
Kerjasama Indonesia – Jerman
41
Gambar 2-20 Perbandingan Hasil Musbandes dan Hasil UDKP di Kabupaten Alor TA 2002 - 2004
338
957 1003
306
571 529
0
200
400
600
800
1000
1200
TA 2002 TA 2003 TA 2004
Tahun Anggaran
Tahun Anggaran
Jum
lah
Usu
lan
Hasil Musbangdes Hasil UDKP
Meskipun Rakorbang memberikan peluang bagi sektor untuk mengajukan program tanpa melalui proses UDKP, usulan yang berasal dari RPTK masih lebih besar dari usulan yang diajukan oleh sektor sendiri (rata-rata 70%) sebagaimana dapat disimak pada Tabel 2-21 dan Gambar 2-21. Sedangkan jumlah usulan yang disetujui dalam Rakorbang pada TA 2001 – TA 2004 rata-rata sebesar 30% (14% pada TA 2003 dan 47% pada TA 2004).
Tabel 2-21 Usulan yang Dibahas dan Disetujui Dalam Kegiatan Rakorbang di Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2004
Tahun Anggaran Kegiatan 2002 % 2003 % 2004 % RPTK 591 87 597 81 933 46 Dari Sektor (Bukan dari RPTK) 87 13 141 19 1108 54 Jumlah usulan yang dibahas dalam Rakorbang
678 100 738 100 2041 100
Jumlah usulan yang disetujui Rakorbang
n.a - 108 14 980 47
Sumber: Bappeda Kabupaten Alor, 2004
Kerjasama Indonesia – Jerman
42
Gambar 2-21 Usulan yang Dibahas dan Disetujui Dalam Kegiatan Rakorbang di Kabupaten Alor TA 2002 – TA 2004
0
500
1000
1500
2000
2500
2002 2003 2004
Tahun Anggaran
Jum
lah
Usu
lan
RPTK Dari Sektor (Bukan dari RPTK)
Jumlah usulan yang dibahas dalam rakorbang Jumlah usulan yang disetujui Rakorbang
Di Kabupaten Alor tidak ada data mengenai jumlah total kegiatan hasil Rakorbang yang terakomodasi dalam APBD. Untuk analisa dilakukan terhadap dua dinas sebagai studi kasus yaitu Dinas Peternakan dan Pertanian dan Dinas Perikanan dan Kelautan. Untuk Dinas Peternakan dan Pertanian rata-rata hasil Rakorbang yang terakomodasi dalam APBD dari segi jumlah sangat besar (rata-rata 85%), tetapi dari segi anggaran sangat kecil. Sedangkan untuk Dinas Perikanan dan Kelautan jumlah kegiatan hasil Rakorbang cukup besar, tetapi yang dapat diakomodasi dalam APBD baik dari segi jumlah kegiatan maupun dari segi jumlah anggaran lebih kecil.
Tabel 2-22 Jumlah Kegiatan Dinas Peternakan dan Pertanian Hasil Rakorbang Yang Disetujui Dalam APBD
Tahun Anggaran Jumlah Kegiatan TA 2002 TA 2003 TA 2004 Yang Disetujui Rakorbang 2 18 na Terakomodir Dalam APBD 8 11 8
Sumber: Dinas Peternakan dan Pertanian Alor, 2004
Tabel 2-23 Perbandingan Anggaran Dinas Peternakan dan Pertanian yang Disetujui dalam Rakorbang dengan yang Tercantum dalam APBD
Tahun Anggaran Dana/Biaya (Rp.) TA 2002 TA 2003 TA 2004 Yang Disetujui Rakorbang 466.934.000 4.700.100.000 na Terakomodir Dalam APBD 274.940.000 144.384.500 821.495.200 Sumber: Dinas Peternakan dan Pertanian Alor, 2004
Kerjasama Indonesia – Jerman
43
Tabel 2-24 Jumlah Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Hasil Rakorbang Yang Disetujui dalam APBD
Tahun Anggaran Kegiatan TA 2002 TA 2003 TA 2004 Yang Disetujui Rakorbang 3 24 na Terakomodir Dalam APBD 12 4 4
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Alor, 2004
Tabel 2-25 Perbandingan Anggaran Dinas Perikanan dan Kelautan yang Disetujui dalam Rakorbang dengan yang Tercantum dalam APBD
Tahun Anggaran Dana/Biaya (Rp.) TA 2002 TA 2003 TA 2004 Yang Disetujui Rakorbang 6.457.000.000 8.750.500.000 na Terakomodir Dalam APBD 1.135.440.000 1.604.888.000 493.219.000 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Alor, 2004
2.5 Analisis Masalah
Berdasarkan analisis terhadap proses dan hasil perencanaan (terutama perencanaan partisipatif) maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas perencanaan partisipatif masih rendah. Ini tercermin dari sedikitnya hasil perencanaan partisipatif yang akhirnya terakomodasi dalam APBD. APBD merupakan sinyal apakah suatu rencana kegiatan dapat diimplementasikan atau tidak.
Perencanaan dan pengganggaran daerah pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang dapat dianalisis dengan menggunakan metode input – proses – output. Output pada suatu proses merupakan salah satu input bagi proses yang lain. Dengan pendekatan tersebut Tim peneliti berusaha mengumpulkan data masalah yang bersifat kualitatif untuk menilai efektifitas mengapa perencanaan partisipatif. Pengumpulan data difokuskan pada tiap kegiatan penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah yaitu: Musbangdes, UDKP, Rakorbang, dan Proses Pembahasan di Panggar Eksekutif.
2.5.1 Musyawarah Pembangunan Desa
Masalah dalam input:
Beberapa dusun tidak melaksanakan pertemuan Musbangdus, oleh karena itu di tingkat Musbangdes harus membahas usulan yang betul-betul baru (khususnya di daerah terpencil)
Jadwal Musbangdes seringkali bersamaan dengan periode tanam, sehingga penduduk tidak dapat menghadiri pertemuan
Kadang-kadang penduduk dipaksa oleh kepala desa untuk menghadiri pertemuan. Ini berpengaruh terhadap kualitas usulan di tingkat desa
Peserta tidak mampu mengidentifikasi perkembangan dan perubahan eksternal serta solusi untuk formulasi kebutuhan dan masalah dasar mereka (tanpa informasi dari
Kerjasama Indonesia – Jerman
44
tingkat lebih atas)
Tidak dilakukan evaluasi kegiatan pembangunan tahun lalu yang dilaksanakan di tingkat desa
Partisipan tidak mempunyai informasi yang memadai mengenai proses perencanaan di tingkat kabupaten
Kepala Seksi PMD/Camat tidak selalu hadir dalam Musbangdes
Tidak ada informasi rencana spatial dan rencana sektoral di desa
Tidak ada informasi sebab-sebab hasil rencana tahun sebelumnya tidak diakomodir dalam APBD
Informasi yang diperoleh hanyalah pernyataan bahwa desa harus membuat perencanaan yang akan ‘diadu’ di tingkat kecamatan dan kabupaten.
Masalah dalam proses:
Jumlah format yang harus diisi menurut metode P3MD terlalu banyak (sampai 6 jenis) sehingga peserta lebih sibuk dengan formulasi kalimat dalam format ketimbang mendiskusikan substansi isu
Fasilitator tidak memiliki informasi mengenai prioritas pembangunan di tingkat kabupaten
Fasilitator tidak mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke tingkat kabupaten. Banyak usulan merupakan persoalan yang dapat diselesaikan oleh desa secara internal
Peserta tidak mampu mendiskusikan isu pembangunan yang relevan karena tingkat pendidikan mereka yang sangat rendah (khususnya untuk RPJMD) dan pengalaman yang masih kurang
Sebagian peserta tidak bisa berbahasa Indonesia, padahal musyawarah dilakukan dengan menggunakan Bahasa Indonesia
Pembicaraan hanya didominasi oleh “segelintir” orang yang aktif (Pengurus LKMD & Aparat Desa), perempuan dan orang miskin tidak diberikan kesempatkan khusus untuk ikut aktif dalam diskusi
Banyak waktu terbuang untuk acara seremonial (sambutan kepala desa, ketua LKMD, dan kecamatan).
Masalah dalam output:
Informasi yang tersedia dalam dokumen RPTD tidak dapat diterjemahkan menjadi program dan kegiatan sektor (karena usulan bersifat sangat mikro, dan informasi yang dikumpul perlu diverifkasi ulang oleh sektor) – ada ruang besar untuk misinterpretasi
Peserta sudah memasukan perkiraan biaya kegiatan dan sumbernya, padahal mereka tidak mempunyai informasi teknis untuk memperkirakan besaran biaya proyek atau sumber alokasi biaya
Kerjasama Indonesia – Jerman
45
Khususnya bagi desa yang terpencil, pertemuan tidak didukung oleh aparat kecamatan, sehingga usulan desa sulit ditransfer dalam RPTK
Jumlah usulan yang terkumpul dalam Musbangdes terlalu banyak dibanding dengan proporsi budget (sering melebihi budget proposional sepuluh kali lipat)
Tindak lanjut dari usulan yang ditolak tidak jelas
Pengembangan prioritas tampaknya tidak sama untuk setiap tahapan proses
2.5.2 Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP)
Masalah dalam input:
Dinas/Cabang Dinas banyak yang tidak mengembalikan formulir usulan ke tingkat kecamatan
Informasi perencanaan dari atas banyak yang belum diketahui
Informasi mengenai program yang telah dilaksanakan tidak diketahui
Dinas & instansi tidak hadir dalam forum UDKP (kehadiran hanya 30%)
Petugas dinas yang hadir dalam forum UDKP bukan petugas yang senior (yang punya akses langsung pada kebijakan sektor di tingkat kabupaten)
Anggota dewan sedikit yang hadir (di Kabupaten Bima pada tahun 2001 anggota dewan hadir di 2 kecamatan, sedangkan pada 2002 di 5 kecamatan)
Metode/Instrumen untuk memetakan data tidak lengkap. Akibatnya pengisian data banyak tergantung pada orang (pengisian kolom cukup sulit)
Tidak ada informasi UDKP tahun lalu yang diakomodir
Tidak ada informasi mengenai APBD tahun lalu.
Masalah dalam proses:
UDKP adalah rutinitas. Tidak ada penjelasan manfaat UDKP
Dokumentasi terhadap usulan yang tidak diakomodir tahun sebelumnya (di Rakorbang dan UDKP) tidak tercatat dengan baik sehingga menyulitkan evaluasi program
Pendekatan struktural dominan untuk menentukan keterwakilan dalam proses. Unsur-unsur fungsional (kelompok tani, nelayan) tidak terakomodir. Begitu juga LSM yang bergerak di tingkat kecamatan kurang dilibatkan
Tidak ada proses verifikasi mutu usulan. Konversi hanya mengubah redaksi dari usulan. Dengan kata lain konversi hanya merubah kategori/bahasa dan bukan subtansi.
Masalah dalam output:
Hasil UDKP dituangkan dalam format-format standar yang tidak berubah selama 4
Kerjasama Indonesia – Jerman
46
(empat) tahun terakhir. Ada keluhan bahwa format ini tidak nyambung dengan format di tingkat berikutnya (Rakorbang dan perencanaan sektoral)
Satuan harga dibuat secara sembarangan (prememory/pm). Standar biaya satuan tidak ada di kecamatan
Bahan utama yang dibahas di UDKP adalah dari Musbangdes. UDKP tidak lebih dari Musbangdes versi lain, karena materinya dari desa juga. Jadi UDKP adalah Musbangdes versi kecamatan.
UDKP lebih banyak sebagai kegiatan merekap ulang usulan Musbangdes.
2.5.3 Rapat Koordinasi Pembangunan
Masalah dalam input:
Waktu konsultasi dengan dinas/instansi tidak cukup
Pembagian kegiatan kedalam tiga bidang cukup menyulitkan koordinasi dengan dinas/instansi (ada usul yang harus dibahas lintas bidang)
Ada kesulitan dalam menterjemahkan usulan dari desa ke kegiatan sektoral
RPTK tunda tidak dibahas lagi
Diskusi yang terjadi dalam forum Rakorbang lebih banyak formalitas
Kriteria skoring tidak jelas.
Masalah dalam proses:
Format hasil UDKP yang cukup operasional (jenis proyek/kegiatan; lokasi, sifat, volume, sasaran/manfaat, perkiranaan biaya, sumber biaya) berubah menjadi abstrak dalam Rakorbang (AKU APBD, Program dalam Renstra, Strategi Prioritas, Satuan Kerja Pelaksana)
Sulit memperlihatkan konsistensi hasil UDKP dengan hasil Pra-Rakorbang dan Rakorbang dari jenis informasi yang ditampilkan oleh masing format tersebut
Transfer informasi dari RPTK ke Pra-Rakorbang menjadi kabur dan waktu untuk mengintegrasikan dokumen lama. Perlu waktu lama untuk menyelesaikan berbagai kerumitan yang diakibatkan oleh dokumen yang berbeda
Pembagian diskusi kelompok mencerminkan struktur Bappeda (Ekonomi, Sosbud dan Fisik Prasarana). Dalam pembahasan kelompok, partisipan lebih banyak melihat usulan sektor dan RPTK dan kurang melihat konsistensi usulan dengan dokumen perencanaan jangka menengah
Informasi tentang jenis kegiatan dari RPTK dan sektor yang ditunda atau dikembalikakan kepada instansi pengusul tidak ada. Hal ini membuat Rakorbang diproses tanpa data yang akurat.
Kerjasama Indonesia – Jerman
47
Masalah dalam output:
Hasil Rakorbang adalah gabungan dan seleksi daftar kegiatan usulan UDKP dan sektor. Ada kesan yang kuat bahwa dari tahun ke tahun Rakorbang secara maksimal dilaksanakan untuk melakukan pemaduserasian daftar urutan (prioritas) usulan dari kecamatan dan sektor. Belum tampak pergeseran orientasi hasil ke arah yang lain, misalnya hasil Rakorbang seharusnya mencerminkan kebutuhan pembangunan dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara lebih terarah, penetapan dana alokasi desa dan peningkatan pelayanan publik secara signifikan.
2.5.4 Tingkat Dinas dan Panitia Anggaran Eksekutif
Masalah dalam input:
Angka yang dimuat dalam Repetada terutama yang berasal dari UDKP- masih tentatif sehingga dinas harus turun ke lapangan
RASK yang dibahas tidak memuat data secara lengkap dan “mencurigakan” sehingga Panggar Eksekutif harus turun lapangan
Satuan biaya yang seharusnya dijadikan rujukan bersama tidak jelas
Persepsi dinas/sektor mengenai alokasi komponen biaya dalam RASK berbeda.
Masalah dalam proses:
Meskipun sudah mulai melaksanakan Kepmen 29/2002, tetapi belum konsisten terutama dalam soal waktu. Sekuens penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran belum konsisten
Referensi Tim panggar adalah AKU, hasil Rakorbang, standard anggaran biaya dan dokumen lainnya. Peran Panggar Eksekutif dominan dalam memutuskan alokasi dana dan kegiatan dalam RASK. Terkadang dinas/sektor sulit memahami landasan pengambilan keputusan secara teknis rasional
Kerja Panggar kurang efektif. Sektor datang membawa RASK yang langsung diperiksa. Idealnya, semua RASK dikumpulkan baru dibuat jadwal pembahasan.
Kontrol masyarakat dan DPRD dalam proses pembahasan di panggar eksekutif tidak ada.
Masalah dalam output:
Hanya 40% dari nilai RASK yang lolos Panggar, 60% ditolak. Siapa yang bertanggungjawab untuk mendokumentasikan 60% yang ditolak tidak jelas. Meskipun diasumsikan akan masuk anggaran biaya tambahan (ABT), atau dianggarkan pada tahun berikutnya atau lewat APBD I/APBN.
Kerjasama Indonesia – Jerman
48
Apabila dikategorisasikan berbagai masalah dalam input – proses- output di berbagai tingkat perencanaan dan penganggaran maka masalah yang dihadapi dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif adalah sebagai berikut:
Tabel 2-26 Masalah dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif
Kategori Masalah Rincian
Masalah yang berkaitan dengan informasi
Tidak adanya informasi yang memadai mengenai prioritas dan perkiraan alokasi anggaran untuk pembangunan pada tahun perencanaan menyebabkan meningkatnya usulan kegiatan yang diajukan pada tingkat perencanaan partisipatif (Musbangdes – UDKP – Rakorbang).
Komitmen pejabat Pejabat berwenang banyak yang tidak hadir dalam proses-proses penting perencanaan dan penganggaran. Ini menyebabkan informasi penting tidak sampai ke masyarakat. Selain itu banyak keputusan yang diambil dalam forum musyawarah tidak sampai ke pejabat yang berwenang.
Metode Konversi Kurang mendalamnya diskusi dan verifikasi antara masyarakat (yang mengajukan usulan) dan orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang yang bersangkutan.
Format yang digunakan Tidak ada format dan sistem informasi yang baik mengenai proses konversi usulan dari wilayah ke sektor yang telah menyebabkan sulitnya menelusuri sejauhmana usulan wilayah terakomodasi dalam usulan sektor. Hal ini juga menyebabkan akuntabilitas perencanaan partisipatif menjadi rendah.
Proses perencanaan dan penganggaran belum terdokumentasi dengan baik, ini terbukti dari kurangnya data produk perencanaan dan penganggaran. Dalam beberapa hal data juga dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan oleh para pelaku sendiri.
Alur proses perencanaan dan penganggaran
Masih terjadi dualisme antara proses perencanaan –yang melibatkan masyarakat- dengan proses penganggaran –yang sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah (dinas dan panggar eksekutif)-. Ini menyebabkan usulan yang disepakati dalam proses perencanaan banyak yang tereduksi di proses penganggaran.
Alur/proses perencanaan ke penganggaran –terutama perencanaan partisipatif- sangat panjang. Dalam hal proses perencanaan seperti terpisah dengan proses penganggaran, karena pada proses penganggaran masih ada kegiatan yang harus diverifikasi.
Waktu Sekuens penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran belum konsisten.
Representasi dan kontrol masyarakat
Pendekatan struktural dominan untuk menentukan keterwakilan. Unsur-unsur fungsional (kelompok tani, nelayan) tidak terakmodir. Begitu juga LSM yang bergerak di tingkat kecamatan dan kabupaten kurang dilibatkan.
Kontrol masyarakat dalam proses pembahasan di panggar eksekutif tidak ada sama sekali.
Kapasitas Fasilitator dan partisipan tidak mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke tingkat kabupaten. Banyak usulan merupakan persoalan yang dapat diselesaikan secara internal (swadaya).
Kerjasama Indonesia – Jerman
49
BAB III REKOMENDASI
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektiftias proses perencanaan dan penganggaran daerah, selain memperbaiki proses perencananaan dan penganggaran juga perlu memperbaiki hal-hal yang mendukung proses itu sendiri. Hal ini disebabkan faktor pendukung tersebut mempunyai pengaruh yang besar atas inefisiensi dan inefektifitas proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa masalah yang berkaitan dengan faktor pendukung proses perencanaan dan penganggaran adalah:
3.1. Masalah Umum Pemerintahan
• Masalah Kelembagaan
Di tiga daerah yang diteliti, ada beberapa institusi yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran, yaitu: Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bagian Keuangan. Interaksi antara tiga lembaga ini sangat krusial terhadap effisiensi, effektifitas, transparansi dan akuntabilitas proses perencanaan dan penganggaran. Terpisahnya Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan adalah akibat dari sistem penganggaran lama, yang membagi dokumen anggaran ke dalam dua kategori yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kedua kategori tersebut memiliki mekanisme penyusunan yang berbeda. Dengan adanya KepMen 29/2002 maka hanya ada satu dokumen anggaran. Dokumen dan mekanismenya menunjukkan bahwa KepMen 29/2002 menganut sistem unified budget. Sebagai konsekwensinya, maka dua bagian tersebut juga sebaiknya dijadikan satu. Kalau tidak, maka akan tetap terjadi dualisme (overlapping) dalam perencanaan dan penganggaran.
► Rekomendasi: Harus ada restrukturisasi organisasi perangkat daerah untuk mengatasi dualisme/ overlapping, tugas dan tanggung jawab dibidang perencanaan dan penganggaran dengan menyatukan Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan dan sebaiknya juga Bappeda.
• Transparansi Anggaran
Analisis terhadap keuangan daerah menunjukkan bahwa selain dana APBD II, ada dana dari pemerintah Propinsi dan Nasional (APBD I, Dana Dekonsentrasi dsb.) yang cukup besar. Dana tersebut tidak didokumentasi atau dikelola oleh satu lembaga, tetapi langsung turun ke masing-masing sektor. Kriteria untuk mendapat dana tersebut tidak jelas dan hubungan antara dana itu dengan perencanaan daerah kurang transparan. Jadi, akuntabilitas dan transparansi tentang dana non-APBD belum ada sama sekali.
► Rekomendasi: Harus ada sistem yang mengatur pengelolaan dana non-APBD II secara transparan, dan hubungan dengan perencanaan daerah harus menjadi langsung supaya dana yang begitu besar dapat dierencanakan sesuai dengan sistem dan siklus
Kerjasama Indonesia – Jerman
50
perencanaan dan penganggaran daerah. Sebaiknya jalur dan jumlah dana non-APBD II ditetapkan dalam produk hukum, misalnya PERDA.
• Dana Alokasi Desa
Jumlah usulan dari desa yang diakomodir dalam APBD masih sangat kecil (lihat hasil analisis pada tabel, gambar, penjelasan dalam Bab II). Untuk itu fungsi Musrenbang (istilah yang baru untuk Musbangdes sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah) harus diperluas. Dalam Musrenbang, harus ditetapkan kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya.
Dengan meningkatkan dana alokasi desa secara signifikan, maka masyarakat desa diharapkan mampu melaksanakan banyak kegiatan secara swadaya. Peningkatan dana alokasi desa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan effektifitas. Ini disebabkan desa dapat melaksanakan kegiatan pembangunan infrakstruktur kecil dengan anggaran lebih rendah karena pengelolaan keuangan langsung di desa. Dengan demikian maka proses perencanaan di tingkat kabupaten hanya membahas kegiatan yang benar-benar memerlukan keterlibatan keahlian dinas/instansi teknis dan dana yang besar.
► Rekomendasi: Dana alokasi desa perlu ditingkatkan secara signifikan dengan prasyarat yang cukup jelas serta insentif dan sanksi yang jelas. Artinya, dalam penetapan jumlah dana alokasi desa selain memperhatikan data pokok misalnya jumlah penduduk atau luas wilayah- harus juga diperhatikan aspek kinerja.
• Monitoring dan Evaluasi Partisipatif
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses monitoring dan evaluasi. Walaupun sudah ada evaluasi kinerja di tingkat dinas/kabupaten dalam bentuk dokumen LAKIP, sampai sekarang belum ada mekanisme yang menjelaskan tentang umpan balik dari masyarakat tentang kwalitas proyek, nilai, dan kepuasan masyarakat desa terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan di desa. Sampai saat ini, pada awal tahun tidak pernah ada informasi mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan di salah satu daerah. Hal ini membuat masyarakat tidak mengetahui rencana pembangunan di desanya dan tidak menimbulkan rasa memiliki terhadap program dan proyek yang berjalan. Masyarakat juga tidak bisa melakukan fungsi kontrol terhadap kegiatan pembangunan.
► Rekomendasi: Perlu ada daftar proyek/kegiatan yang dibagi pada awal tahun kepada setiap desa. Daftar itu nanti menjadi dasar untuk menilai hasil proyek/program pada kegiatan Musrenbang tahun berikutnya. Setiap sektor mendapat hasil penilaian itu dan melaksanakan evaluasi sektoral. Input dari masyarakat desa harus masuk dokumen LAKIP. Partisipasi ini perlu dijamin dalam produk hukum daerah yang menjelaskan alur evaluasi masyarakat desa, supaya monitoring dan evaluasi partisipatif juga bermanfaat.
Kerjasama Indonesia – Jerman
51
• Kwalitas Data
Salah satu kesimpulan dari analisis terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran adalah bahwa kwalitas data mulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten masih rendah. Walaupun jumlah data sudah banyak, metode pengumpulan data dan pengelolaannya, misalnya update data, belum ada. Kondisi ini telah menghilangkan akuntabilitas kegiatan dan ukuran kinerja pemerintah.
Untuk menilai kinerja pemerintah, harus ada data yang berkwalitas. Perkembangan pembangunan tidak dapat diukur kalau data pokok pada awal kegiatan tidak ditetapkan. Sampai sekarang, indikator yang tertuang dalam beberapa dokumen perencanaan dan penganggaran tidak dapat diukur dengan jelas. Kalaupun sudah ada indikator, outcome dari salah satu program/kegiatan seringkali tidak jelas. Artinya, belum ada database yang cukup berkwalitas sebagai dasar pengukuran kinerja dan tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menurut KepMen 29/2002, setiap kegiatan yang dianggarkan harus dapat diukur sampai tingkat impact/dampak. Kelemahan tersebut mempersulit pelaksanaan anggaran kinerja secara murni.
► Rekomendasi: Pemerintah daerah harus mengembangkan sistem pengumpulan dan pengelolaan data yang menjadi dasar untuk mengukur kinerja pemerintahannya dengan sungguh-sungguh. Untuk itu perlu ada komitmen dan kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif.
Kerjasama Indonesia – Jerman
52
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran daerah maka perlu perbaikan proses perencanaan dan pengganggaran. Beberapa prinsip penting yang harus dijalankan dalam reformasi perencanaan dan penganggaran daerah adalah:
Tabel 3-1 Kondisi Perlu dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Isu Kondisi Perlu
Informasi perencanaan dan penganggaran
Harus ada informasi yang memadai mengenai prioritas dan perkiraan alokasi anggaran untuk pembangunan pada tahun perencanaan. Informasi alokasi dana secara sektoral di tingkat kabupaten perlu diterjemahkan ke dalam alokasi territorial (anggaran per kecamatan per desa). Informasi ini merupakan saringan bagi usulan kegiatan yang diajukan pada tingkat perencanaan partisipatif (Musbangdes – UDKP – Rakorbang).
Alur proses perencanaan dan penganggaran
Harus ada hubungan yang langsung antara proses perencanaan partisipatif dan proses penganggaran. Perencanaan partisipatif harus juga dilaksanakan untuk perencanaan jangka menengah dan itu adalah titik temu utama antara proses perencanaan dan penganggaran.
Waktu Sekuens penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran harus konsisten.
Komitmen Pejabat Proses perencanaan harus berdampak langsung pada sektor, sehingga pejabat berwenang hadir dalam proses-proses penting perencanaan dan penganggaran.
Metode konversi Harus ada diskusi yang mendalam dan verifikasi antara masyarakat (yang mengajukan usulan) dan orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang yang bersangkutan.
Format yang digunakan Harus ada format dan sistem informasi yang baik mengenai proses konversi usulan dari wilayah ke sektor untuk menjamin kelancaran proses perencaanaan berikutnya dan meningkatkan akuntabilitas perencanaan partisipatif.
Proses pendokumentasian perencanaan dan penganggaran kalau bisa dilakukan secara digital dan tidak menyebabkan terjadinya interpretasi yang berbeda antar para pelaku.
Representasi dan kontrol masyarakat
Partisipan yang mengikuti parencanaan partisipatif bukan hanya representasi wilayah tetapi juga representasi kelompok fungsional (kelompok tani, nelayan, dan LSM).
Masyarakat harus terlibat dalam proses penganggaran. Sampai sekarang, masyarakat hanya terlibat dalam PROSES perencanaan, tetapi tidak sampai tingkat mengambil keputusan. Perencanaan jangka menengah harus ada komponen partisipasi dan juga komponen penganggaran, supaya hubungan antara perencanaan dan penganggaran menjadi langsung.
Kapasitas Fasilitator harus mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke tingkat kabupaten.
Kerjasama Indonesia – Jerman
53
3.2. Perencanaan dan Penganggaran Jangka Menengah Daerah
Beberapa hal pokok yang perlu dilakukan agar perencanaan dan penganggaran daerah efektif dan efisien adalah:
Renstra Daerah dan MTEF harus menjadi satu dokumen dengan masa berlaku tiga tahun (ini memberi kesempatakan kepada kepala daerah untuk memperbaiki dan merubah strategi pada masa jabatan)
Dokumen perencanaan jangka menengah daerah yang lain - selain Renstra dan MTEF- hilang (misalnya: Poldas dan Propeda)
Produk hukum perencanaan jangka menengah harus disusun secara partisipatif, dengan melibatkan stakeholder yang mewakili kepentingan masyarakat desa dan sektoral
Perencanaan pembangunan dari bawah di tingkat UDKP harus diterjemahkan ke kategori sektoral. Masukan ini merupakan dasar untuk membahas kepentingan masyarakat untuk tiga tahun ke depan. Di tingkat sektoral ada kelompok fungsional yang mewakili kepentingan masyarakat –misalnya organisasi petani/nelayan tingkat kabupaten- atau kelompok yang memiliki kompetensi dalam bidangnya untuk skala kabupaten (misalnya: LSM atau Perguruan Tinggi)
Ada tim khusus (Tim Tehnis) dibawah Sekda yang memfasilitasi seluruh proses penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah, yang terdiri dari staf Bappeda, staf Dispenda, staf Bagian Keuangan dan staf Kantor Statistik
Tim ahli (perguruan tinggi dsb.) perlu dilibatkan dari awal dalam proses penyusunan Renstra/MTEF
Perlu ada musyawarah yang memberikan wahana bagi masing-masing stakeholder untuk mempresentasikan kepentingannya sebelum draf awal
Dengan menentukan MTEF, sudah ada plafon sektoral tentatif yang dapat dijadikan pedoman untuk perencanaan pembangunan dari bawah
Ada konsolidasi berulang-ulang dengan stakeholder di tingkat kabupaten pada waktu menyusun draft yang dikoordinasi oleh tim tehnis
Draf akhir Renstra Daerah/MTEF diumumkan di media lokal
Ada komponen monitoring dan evaluasi partisipatif dari bawah dan dari sektor tentang pencapaian program jangka menengah sebelumnya
Kontribusi terhadap penanggulangan kemiskinan harus kelihatan di setiap sektor
Kalender anggaran untuk semua pihak terkait harus lebih jelas dan harus ada kepastian bahwa siklus anggaran dapat diikuti sesuai dengan peraturan
Renstra/MTEF dapat dijabarkan ke dalam Renstra dinas dengan mudah. Hal ini dapat meningkatkan konsistensi prioritas pembangunan
Kerjasama Indonesia – Jerman
54
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah merupakan dasar bagi perencanaan dan penganggaran tahunan. Karena itu dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah daerah harus dapat dioperasionalkan dalam perencanaan dan penganggaran tahunan. Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah dapat berupa Rencana Strategis (berdasarkan PP 108/2000) maupun Midterm Expenditure Framework/MTEF (berdasarkan UU No. 17/2003). Untuk menghilangkan dualisme dokumen perencanaan, maka Renstra sebaiknya disertai oleh MTEF, atau bisa juga dibuat dalam satu dokumen.
Renstra yang disertai dengan MTEF bertujuan untuk:
Meningkatkan disiplin anggaran. MTEF dapat menunjukkan kaitan antara perencanaan dengan kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan daerah (penganggaran) dalam kurun waktu 3 tahun, dengan melihat struktur penerimaan dan kecenderungan yang terjadi selama 3 tahun ke depan baik yang bersifat statis atau dinamis
Alokasi inter dan intrasektor lebih mudah. Tugas yang berbeda dari sektor dapat terintegrasi melalui MTEF dengan melihat dukungan akumulatif dari berbagai bidang terhadap peningkatan pengurangan kemiskinan dan pembangunan wilayah secara keseluruhan
Meramalkan anggaran dinas/badan/unit/sektor. Berdasarkan kemampuan keuangan daerah (pendapatan asli daerah dan dana perimbangan) setiap dinas/badan/ unit/sektor dapat merencanakan anggaran untuk kurun waktu tiga tahun dan secara konsisten menjalankannya. MTEF selain menampilkan anggaran indikatif juga tolok ukur kinerja untuk kurun waktu tahunan dan tiga tahunan
Belanja publik lebih efisien. Dalam kurun waktu tiga tahun belanja publik akan lebih terfokus karena anggaran indikatif telah ditetapkan. Konsistensi anggaran dapat terjamin karena dalam kurun waktu tiga tahun diharapkan tidak terjadi perubahan yang drastis baik mengenai alokasi, fokus dan strategi pencapaiannya. MTEF juga secara langsung dapat dikaitkan dengan Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang mengakomodasikan prioritas pengurangan kemiskinan yang tertuang dalam Strategi Pengurangan Kemiskinan Nasional (SPKN)
Akuntabilitas anggaran meningkat melalui proses pembuatan kebijakan yang lebih absah. Penyusunan Renstra disertai dengan MTEF memerlukan suatu proses yang lebih berbobot dilihat dari sisi masukan - konversi - output
Tahapan-tahapan perencanaan dan penganggaran partisipatif dapat lebih meningkatkan kredibilitas pengambilan keputusan di bidang anggaran daerah.
Renstra dan MTEF dapat dibuat dengan merujuk pada:
Dokumen Perencanaan Jangka Menengah Nasional
Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan Strategi Pengurangan Kemiskinan Nasional (SPKN)
Rencana Strategis Departemen di Tingkat Nasional
Kerjasama Indonesia – Jerman
55
Visi, Misi, dan Program Bupati terpilih
Hasil monitoring dan evaluasi terhadap program pembangunan selama 5 tahun sebelumnya
Hasil analisis mengenai proyeksi pendapatan daerah lima tahun ke depan (diturunkan dalam proyeksi tahunan)
Masukan dari stakeholder dan kelompok fungsional di kabupaten, maupun input dari perencanaan dari bawah
Potensi dan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam kurun waktu tersebut
Untuk mengintegrasikan berbagai masukan tersebut, perlu dilakukan musyawarah perencanaan dan penganggaran jangka menengah. Agar proses musyawarah berjalan efektif, perlu dikembangkan metode perencanaan jangka menengah partisipatif. Unsur yang terlibat dalam proses musyawarah ini adalah: perwakilan kelompok dari desa dan kecamatan, perwakilan kelompok fungsional (misalnya: kelompok petani dan nelayan), unsur dinas/badan/kantor pemerintah, dan DPRD. Proses ini juga bisa disebutkan Participatory Budgeting, karena kebijakan yang disusun secara partisipatif bukan hanya perencanaan, tetapi juga kebijakan anggaran untuk jangka menengah.
Kesimpulan
Dalam proses penyusunan Perencanaan Pembangunan jangka Menengah Daerah/MTEF yang partsipatif, maka orientasi harus difokuskan pada penanggulangan kemiskinan dan kelestarian lingkungan (mengarusutamakan pada pengurangan kemiskinan). Hal ini disebabkan karena dua hal yaitu: 1) pemerintah nasional telah menetapkan pengurangan kemiskinan sebagai prioritas pembangunan nasional (sebagaimana tercermin dalam SPKN), dan 2) kondisi nyata di daerah sendiri menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan harus segera didorong. Hal lain yang harus diperhatikan adalah dokumen perencanaan ruang. Dokumen ini seharusnya mengarahkan pembangunan sektoral. Untuk itu dokumen tata ruang harus segera dilihat atau direvisi untuk disesuaikan dengan prioritas pembangunan daerah. Pada Gambar 3-1 dapat disimak skema perencanaan jangka menengah daerah.
Kerjasama Indonesia – Jerman
56
Gambar 3-1 Rekomendasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Jangka Menengah Daerah
OR
IEN
TASI
PEN
AN
GG
ULA
NG
AN
KEM
ISK
INA
N D
AN
KEL
ESTA
RIA
N L
ING
KU
NG
AN
RENCANA STRATEGIS/MTEF DAERAH
Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang Partisipatif
Proses Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah
Proses PerencanaanPenyusunan Renstra Dinas
REN
CA
NA
TA
TA R
UA
NG
DA
ERA
H
Dokumen PerencanaanJangka Menengah
Nasional
PRSP Nasional danDaerah
Rencana StrategisDepartemen di Tingkat
Nasional
Proyeksi PendapatanDaerah
Hasil Monitoring danEvaluasi Terhadap Program
5 Tahun yang Lalu
Visi, Misi, dan ProgramBupati/ Walikota
Masukan dariStakeholder/Kelompok
Fungsional
Kerjasama Indonesia – Jerman
57
Produk dari musyarawah perencanaan pembangunan jangka menengah adalah dokumen Renstra disertai MTEF yang akan dijadikan rujukan utama dalam perencanaan tahunan daerah dan rencana lima tahun yang akan diajukan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Renstra Daerah/MTEF selain memuat visi, misi, prioritas program, dan rolling plan tahunan, juga harus memuat perkiraan alokasi anggaran untuk tahun perencanaan baik per-wilayah maupun per-sektor. Agar dokumen ini menjadi rujukan maka pemerintah daerah sebaiknya tidak membuat dokumen perencanaan menengah lainnya seperti Poldas dan Propeda.
3.3 Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Daerah
Beberapa hal pokok yang harus dilakukan agar perencanaan dan penganggaran tahunan partisipatif tahunan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi adalah:
Kebijakan umum (draft Arah dan Kebijakan Umum, AKU) sudah ada dalam bentuk Renstra/MTEF yang menjelaskan prioritas pembangunan per tahun penganggaran. Ini juga berarti hanya ada satu dokumen perencanaan tahunan, yaitu: AKU. Dengan adanya draft AKU maka perencanaan di tingkat desa dan kecamatan menjadi lebih terfokus. Ini juga sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Supaya AKU dapat menjadi dokumen perencanaan tahunan yang mengganti REPETADA, AKU perlu cukup detail sampai indikasi program dan target pencapaian. Selain itu, juga harus ada indikator penilaian kegiatan yang langsung terkait dengan LPJ Bupati
Ada satu tim permanen yang memfasilitasi seluruh proses perencanaan dan penganggaran dibawah Sekda
Musrenbang juga mempunyai fungsi sebagai ruang monitoring dan evaluasi secara partisipatif bagi kegiatan yang dilaksanakan di desa pada tahun sebelumnya dan kegiatan yang pernah direncanakan tapi tidak pernah direalisasikan dan dinilai oleh masyarakat
Musrenbang membahas tentang kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya berdasarkan dana alokasi desa yang harus ditingkatkan secara signifikan. Usulan swadaya dan usulan yang diajukan ke pemerintah daerah langsung dipisah waktu Musrenbang berlangsung
Fungsi UDKP agak berbeda, yaitu usulan dari desa akan diterjemahkan ke kategori sektoral dengan memperbaiki usulan dari segi substansi dan bahasa. UDKP menjadi forum yang lebih intensif melakukan pertemuan, mislanya lebih dari sekali setahun yang terjadi sekarang. Dalam pertemuan UDKP juga perlu dibahas wakil desa/kecamatan dalam pertemuan sektoral di tingkat kabupaten. Setelah Musrenbang Kabupaten telah dilaksanakan, forum UDKP bertemu lagi untuk mengevaluasi kegiatan tersebut. Setelah APBD disahkan, forum UDKP mengevaluasi kegiatan yang
Kerjasama Indonesia – Jerman
58
mana pada akhirnya diakomodir dalam APBD (kegiatan sektoral diterjemahkan kembali ke kegiatan dari desa).
Prioritas dicross-check lagi apakah sesuai dengan yang di tingkat lebih atas
Forum Rakorbang diganti ke forum sektoral. Langsung kelompok fungsional bersama dengan sektor dan wakil dari kecamatan membahas bersama tentang kegiatan yang mau dianggarkan. Forum sektoral ini lebih memungkinkan terjadinya diskusi yang intensif antara kepentingan masyarakat desa dengan kepentingan sektor
Stakeholder yang dipilih sebagai wakil dari masyarakat dalam salah satu forum sektoral terlibat dalam diskusi RASK di tingkat Panggar Eksekutif
AKU yang disusun oleh tim permanen diumumkan di media lokal.
Renstra/MTEF merupakan rujukan utama untuk menyusun perencanaan dan penganggaran tahunan. Renstra/MTEF juga dijadikan rujukan bagi dinas untuk menyusun Renstra Dinas dan Rencana Tahunan Dinas.
Dalam perencanaan dan penganggaran tahunan, Renstra/MTEF yang memuat plafon anggaran per-wilayah dan per-dinas/sektor dapat dianggap sebagai Draft AKU untuk perencanaan dan penganggaran tahun bersangkutan. AKU merupakan formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation). Sesuai dengan Kepmen 29/2002 maka AKU ditetapkan oleh Pemerintah dan DPRD dalam bentuk nota kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan dokumen perencanaan lainnya.
Draft AKU (Renstra/MTEF tahun bersangkutan) harus disampaikan dalam forum Musrenbang, UDKP, dan forum-forum sektoral. Informasi mengenai draft AKU berguna untuk:
1. mendapatkan umpan-balik/masukan untuk pembahasan dan penetapan AKU
2. mengorientasikan masyarakat agar mengajukan usulan program sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
3. dengan mengetahui plafon anggaran maka harapan yang berlebihan terhadap program pemerintah dapat dikurangi (sebagai filter usulan).
Agar ada rasa kepemilikan terhadap RPTD dan RPTK serta untuk mengurangi usulan yang sebenarnya dapat didanai/dikelola sendiri maka perlu difikirkan alokasi anggaran yang dikelola oleh pemerintah di tingkat desa dan di tingkat kecamatan. Dengan alokasi anggaran di tingkat desa dan kecamatan untuk kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh desa (termasuk alokasi anggaran untuk perencanaan tahunan) maka usulan yang diajukan dalam forum Musrenbang dan forum UDKP adalah betul-betul usulan yang skala program, pendanaan, dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Hasil UDKP selanjutnya dikategorisasikan berdasarkan dinas-dinas/sektor-sektor pemerintah –yang sebelumnya dinas telah merancang Renstra dan rencana tahunan dinas. Hasil perencanaan di tingkat spasial (komunitas) dan perencanaan dinas/sektoral
Kerjasama Indonesia – Jerman
59
selanjutnya diintegrasikan dalam forum-forum sektoral (misalnya Forum Perencanaan Pembangunan Perikanan dan Kelautan). Forum tersebut selain dihadiri oleh delegasi perwakilan spasial dan perwakilan dinas/sektor juga dihadiri oleh stakeholder lain, misalnya: organisasi nelayan, pengusaha perikanan, profesional di bidang pengelolaan sumber daya pesisir, Perguruan Tinggi, atau LSM yang memiliki kompetensi di bidang/sektor tersebut. Dengan demikian, selain mengintegrasikan usulan spasial dengan usulan sektoral, forum ini juga mendapatkan masukan lain (terutama dari stakeholder yang kompeten) sehingga kualitas perencanaan meningkat. Agar hasil perencanaan transparan dan akuntabel maka harus ada sistem data yang dapat melacak proses konversi dari wilayah ke sektor atau sebaliknya. Selain itu, karena forum sektoral dihadiri oleh pihak yang berkompeten maka forum dapat merumuskan tolok ukur output dan outcome yang ingin dicapai sebagai landasan bagi usulan program. Forum sektoral juga dapat merekomendasikan dari mana program dapat didanai (APBD II, APBD I, DAK, atau Dana Dekonsentrasi).
Hasil pembahasan forum-forum sektoral –yang memuat tolok ukur output/outcome dan program yang diusulkan berdasarkan output/outcome yang ingin dicapai- selanjutnya menjadi dasar bagi penyusunan AKU APBD. Dengan masukan yang lengkap –output/outcome, program, dan kegiatan di tingkat desa dan sektoral- maka pemerintah dan DPRD diharapkan tidak akan terlalu lama membahas AKU.
Setelah AKU ditetapkan, dengan berdasarkan pada estimasi ketersediaan dana pada tahun anggaran bersangkutan, disusun strategi, prioritas, dan plafon anggaran. Dalam proses ini komunikasi dengan sektor dan delegasi masyarakat dan stakeholder lain perlu terus dilakukan. Komunikasi dan kesepatakan baru dengan stakeholder perlu dibuat manakala terjadi perubahan program/kegiatan karena keterbatasan dana.
AKU, Strategi dan Prioritas, dan Plafon merupakan dasar bagi penyusunan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). Agar proses perencanaan partisipatif langsung terhubung dengan penganggaran maka perwakilan warga dari forum sektoral harus dilibatkan dalam pembahasan atau setidak-tidaknya dikomunikasikan, terutama jika ada perubahan kegiatan antara rencana yang telah disepakati dalam forum sektoral dengan rencana yang terdapat dalam RASK.
Kompilasi RASK merupakan dasar bagi RAPBD yang akan dibahas dengan dewan. Untuk menjamin transparansi pengambilan keputusan (terutama perilaku dan keputusan fraksi-fraksi di DPRD) pemerintah sebaiknya mengumumkan secara terbuka proses pembahasan RAPBD di DPRD. Pemerintah/DPRD juga dapat mengundang delegasi masyarakat dan forum sektoral untuk menghadiri pembahasan RAPBD. Kehadiran masyarakat, disamping dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas dewan, juga secara psikologis dapat mendorong dewan untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih populer (terutama kebijakan yang melibatkan masyarakat luas). Meskipun dalam pembahasan APBD masyarakat tidak memiliki hak bicara dan hak suara, tetapi
Kerjasama Indonesia – Jerman
60
masyarakat dapat memutuskan untuk memilih kembali atau menghukum anggota dewan/fraksi yang tidak memihak kepadanya.
Setelah APBD ditetapkan, agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan program dan besaran anggaran maka daerah perlu menyusun rencana implementasi dan SOP. Rencana Implementasi dan SOP ini harus diketahui oleh masyarakat (Peserta Musrenbang – UDKP – dan Forum-forum sektoral). Informasi yang perlu diketahui masyarakat terutama adalah:
1. Pengumuman program yang akan didanai oleh APBD II kepada forum sektoral, dan
forum desa. Program yang diumukan meliputi program spatial dan sektoral
2. Pengumuman program yang akan dilakukan oleh pihak ketiga (Perusahaan, LSM,
atau organisasi komunitas) secara terbuka
3. Pengumuman mekanisme tender bagi program yang akan dilaksanakan melalui
tender
4. Pengumuman mengenai mekanisme pengaduan keluhan terhadap program-program
yang dilaksanakan
Berdasarkan Rencana Implementasi & SOP pemerintah bisa melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan program. Dengan informasi kegiatan dan alokasi dana yang tersebar, masyarakat –baik komunitas maupun kelompok fungsional- dapat terlibat dalam monitoring program.
Salah satu komponen penting dari rekomendasi perencanaan tahunan daerah yang nampaknya banyak diabaikan oleh pemerintah daerah- adalah perlu adanya umpan balik terhadap perencanaan dan pelaksanaan program tahunan. Umpan balik disamping menilai pelaksanaan program juga harus menilai kualitas dan manfaat program dari sisi masyarakat (beneficiary). Untuk itu pemerintah perlu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program-program yang dilaksanakan Selanjutnya hasil monitoring dan evaluasi yang menyerap aspirasi masyarakat dapat dijadikan input bagi proses penyusunan AKU, Proses Musrenbang, UDKP, forum-forum sektoral, dan Renstra/MTEF. PROMIS-NT dapat memfasilitasi untuk mengembangkan metode monitoring dan evaluasi program tahunan dinas.
Pada Gambar 3-2 dapat disimak skema rekomendasi proses perencanaan dan penganggaran tahunan daerah dan pada Tabel 3-2 dapat disimak kegiatan yang dilakukan dan stakeholder yang terlibat berdasarkan pada skema yang direkomendasikan. Pada Gambar 3-3 dapat disimak alur informasi dokumen perencanaan dan penganggaran daerah untuk meningkatkan akuntabiltas berdasarkan pada rekomendasi Tim BMZ. Sedangkan pada tabel 3-3 dapat disimak rekomendasi dan instrumen perencanaan dan penganggaran daerah yang mengarusutamakan pada pengurangan kemiskinan.
Kerjasama Indonesia – Jerman
61
Dengan menjalankan rekomendasi untuk perencanaan lima tahunan dan tahunan diharapkan perencanaan dan penganggaran menjadi lebih efektif dan efisien. Tetapi rekomendasi yang diajukan tidak mudah untuk dilaksanakan. Rekomendasi yang diajukan oleh Tim peneliti akan dapat terlaksana apabila daerah dapat memenuhi kondisi perlu (necessary condition) sebagai berikut:
Semua pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran terutama aparatur daerah, bupati, dan DPRD memiliki kemauan politik yang kuat untuk menjadikan proses penganggaran lebih effektif dan efisien
Fungsi perencanaan dan penganggaran terintegrasi dalam suatu wadah yaitu Badan Perencanaan dan Penganggaran Daerah dengan tugas yang lebih bersifat permanen. Atau jika tetap terpisah maka fungsi perencanaan dan pengaanggaran terkoordinasi dengan baik. Tugas Panggar sifatnya ad hoc karena hanya bekerja setahun sekali ketika menilai RASK dari badan/kantor/dinas/sektor. Formula yang demikian sejalan dengan usulan pengembangan formula Renstra yang disertai dengan MTEF demi tercapainya akuntabilitas anggaran melalui proses pengambilan kebijakan yang lebih absah.
Masyarakat diberi ruang yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran -selama ini masyarakat hanya terlibat dalam proses perencanaan-. Untuk menjamin independensi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran, maka sebaiknya anggota masyarakat sendiri yang memilih wakilnya untuk perencanaan di tingkat yang lebih tinggi (delegasi forum UDKP, delegasi forum sektoral, pembahasan RASK). Bukan ditetapkan berdasarkan posisi secara struktural.
Semua pihak sepakat bahwa dalam kerangka membangun pemerintahan yang baik, maka transparansi dan konsistensi dalam perencanaan dan penganggaran merupakan kebutuhan yang mendasar.
Kerjasama Indonesia – Jerman
62
Gambar 3-2 Rekomendasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Daerah
Perencanaan Operasional Anggaran(Budget Operational Planning)
Formulasi Kebijakan Anggaran(Budget Policy Formulation)
RENSTRA/MTEF TAHUN ANGGARAN YANG DIRENCANAKAN
RENCANA KERJA & RASK
RAPBD
MUSBANGDESUDKP
FORUM-FORUMSEKTORAL
DASK
APBDAPBD I(APBN
=DEKONSENTRASI/DAK dll.)
RENSTRA DINASRENCANATAHUNAN DINAS
Rencana Implementasi &SOP
Rencana usulan 5 Tahun untukProvinsi dan Nasional
STRATEGI, PRIORITAS, &PLAFON
AKU APBD
Monitoring & EvaluasiSecara Partisipatif
Kerjasama Indonesia – Jerman
63
Tabel 3-2 Rincian Rekomendasi Kalender Perencanaan Dan Penganggaran Tahunan Daerah
Kegiatan Waktu
Pelaksanaan Sub-Kegiatan Sumber Informasi Stakeholder
Musrenbang Januari Mereveiw usulan kegiatan tahun sebelumnya yang dilaksanakan
dan yang tidak dilaksanakan
Sosialisasi dan umpan balik terhadap MTEF tahun bersangkutan (Draft AKU) di desa bersangkutan
Menyusun rencana kegiatan yang didanai secara swadaya/ melalui dana alokasi desa
Menyusun rencana kegiatan yang diajukan untuk didanai oleh APBD Kabupaten
Memilih delegasi desa yang akan dikirim ke fourm UDKP
MTEF
Daftar masalah dan potensi desa
Daftar usulan tahun lalu
Masyarakat desa
Kepala dan Aparat Desa
Kelompok-kelompok fungsional yang ada di desa
Petugas dinas/ pelayanan publik yang ada di desa
UDKP Februari Mereveiw usulan kegiatan tahun sebelumnya yang dilaksanakan
dan yang tidak dilaksanakan
Sosialisasi dan umpan balik terhadap MTEF tahun bersangkutan di kecamatan bersangkutan
Mengkompilasi dan membahas program-program yang diajukan oleh desa
Membahas program-program sektor yang akan dilaksanakan di kecamatan
Menyusun rencana kegiatan skala kecamatan yang akan diajukan untuk didanai oleh APBD Kabupaten
Memilih delegasi kecamatan yang akan dikirim dalam forum sektoral dan dalam pembahasan AKU
MTEF
Daftar usulan kegiatan dari desa
Daftar masalah dan potensi kecamatan
Daftar usulan tahun lalu
Delegasi yang dipilih mewakili desa
Kelompok fungsional skala kecamatan
Petugas dinas/pelayanan publik skala kecamatan
Kerjasama Indonesia – Jerman
64
Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Sub-Kegiatan Sumber Informasi Stakeholder
Forum-Forum Sektoral
Maret – April Sosialisasi dan umpan balik terhadap MTEF tahun bersangkutan untuk sektor bersangkutan
Mereveiw program dinas tahun yang lalu
Mereview rencana strategis dinas untuk tahun bersangkutan
Membahas tolok ukur kinerja sektor untuk tahun yang bersangkutan
Membahas usulan program dari UDKP untuk sektor bersangkutan
Memasukan/tidak memasukan/menambah usulan program UDKP untuk sektor bersangkutan
Membahas dan menetapkan program sektor skala kabupaten
Menetapkan perkiraan anggaran untuk program sektor baik dalam skala desa, skala kecamatan, maupun skala kabupaten
Menetapkan usulan program berikut biayanya yang akan diajukan untuk didanai oleh APBD I, DAK, atau Dana Dekonsentrasi
Memilih delegasi sektor (dari unsur non-pemerintah) yang akan dikirim dalam koordinasi penyusunan AKU dan RASK
MTEF
Hasil UDKP
Renstra Sektor
Delegasi yang dipilih mewakili kecamatan
Kelompok fungsional dan NGO skala kabupaten yang memiliki fokus pada sektor bersangkutan
Petugas dinas/pelayanan publik skala kecamatan dan kabupaten
AKU APBD Mei Koordinasi antar sektor/dinas/badan untuk membahas MTEF tahun bersangkutan (Draft AKU) berdasarkan masukan dari usulan UDKP dan forum-forum sektoral (sektor).
Menetapkan tolok ukur kinerja untuk tiap sektor/dinas.
Membahas koordinasi antar sektor
Menetapkan program skala kecamatan dan skala kabupaten
MTEF
Hasil Forum-forum sektoral
Delegasi Masyarakat yang mewakili kelompok desa dan sektoral
PT/LSM di Tingkat Kota yang dispakati oleh delegasi desa, sektoral,
Kerjasama Indonesia – Jerman
65
Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Sub-Kegiatan Sumber Informasi Stakeholder
yang akan dilaksanakan sektor untuk memenuhi kinerja yang telah ditetapkan
Menetapkan perkiraan total anggaran yang dibutuhkan (dibagi berdasarkan sektor dan kecamatan)
Menetapkan AKU APBD yang akan diajukan ke DPRD
dan pemerintah.
Kepala Dinas/Badan/Kantor
Kecamatan
Strategi dan Prioritas, Plafon
Juni Koordinasi antar sektor/dinas/badan untuk membahas AKU yang telah ditetapkan oleh DPRD
Membahas perkiraan kemampuan daerah dalam mendanai kegiatan sesuai dengan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan
Membahas dan menetapkan strategi dan prioritas pendanaan program baik spatial maupun sektoral
Membahas dan menetapkan plafon anggaran desa/kecamatan dan sektoral
Membahas dan menetapkan strategi, prioritas, dan plafon anggaran di dalam sektor bersangkutan
AKU
MTEF/Renstra
Delegasi Masyarakat yang mewakili kelompok desa dan sektoral
PT/LSM di Tingkat Kota yang dispakati oleh delegasi desa, sektoral, dan pemerintah.
Kepala Dinas/Badan/Kantor
Kecamatan
RASK Juli – Agustus Membahas perincian anggaran untuk mendanai kegiatan sektor bersangkutan
Sektor mendiskusikan kembali usulan dengan delegasi sektoral/desa bila ada usulan yang harus dirubah karena keterbatasan anggaran
Menyepakati porgram sektor berikut anggaran biayanya
AKU
Strategi, Prioritas, dan Plafon Anggaran
Delegasi Masyarakat yang mewakili kelompok desa dan sektoral
PT/LSM di Tingkat Kota yang disepakati oleh delegasi desa, sektoral, dan pemerintah
Kepala Dinas/Badan/Kantor
Kerjasama Indonesia – Jerman
66
Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Sub-Kegiatan Sumber Informasi Stakeholder
Kecamatan
Panggar Eksekuti
RAPBD September – Oktober
Kompilasi RASK yang telah disetujui
Mengkonversi RASK menjadi dokumen RAPBD
Konsultasi dengan Panggar Legislatif untuk pembahasan RAPBD di forum legislatif
Mengkonsultasikan perubahan RASK bila Panggar Legislatif mengusulkan perubahan RAPBD
Mengumumkan jadwal pembahasan RAPBD kepada Dinas/Badan/Kantor, Delegasi Desa/Sektoral, dan PT/LSM yang disepakati oleh delegasi desa, sektoral, dan pemerintah
AKU
Strategi, Prioritas, dan Plafon RASK Sektor
Perkiraan Pendapatan Daerah
Tupoksi Dinas
Satuan Anggaran Biaya
Panggar Eksekutif
Dinas/Badan/Kantor
APBD November – Desember
Pengumuman jadwal pembahasan RAPBD kepada Dinas/Badan/Kantor, Delegasi Spatial/Sektoral, dan PT/LSM yang disepakati oleh delegasi desa, sektoral, dan pemerintah
Undangan kepada Delegasi Spatial/Sektoral, dan PT/LSM yang disepakati oleh delegasi desa, sektoral, dan pemerintah untuk menyaksikan pembahasan RAPBD
Pembahasan dan pengesahan APBD
RAPBD Pemerintah
DPRD
DASK Desember Dokumentasi APBD dalam sektor. APBD Dinas/Badan/Kantor
Rencana Implementasi & SOP
Januari Pengumuman program yang akan didanai oleh APBD II kepada forum sektoral, forum spatial, dan desa. Program yang diumukan meliputi program spatial dan sektoral
Pengumuman program yang akan dilakukan oleh pihak ketiga
APBD & DASK Badan Perencanaan/ Penganggaran
Kerjasama Indonesia – Jerman
67
Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Sub-Kegiatan Sumber Informasi Stakeholder
(Perusahaan, LSM, atau organisasi komunitas) secara terbuka.
Pengumuman mekanisme tender bagi program yang akan dilaksanakan dengan melalui tender
Pengumuman mengenai mekanisme pengaduan keluhan terhadap program-program yang dilaksanakan
Monev September - Desember
Survey kepuasan masyarakat terhadap program-program yang dilaksanakan
Evaluasi program-program yang telah dilaksanakan
Indikator kinerja
APBD & DASK
Data primer
Badan Perencanaan/ Penganggaran
Kerjasama Indonesia – Jerman
68
Gambar 3-3 Alur Proses Pendokumentasian dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah (Rekomendasi Tim BMZ)
Kecamatan ProyekDesa
Pendidikan Anggaran
Kecamatan ProyekDesa
Kesehatan Anggaran
Kecamatan ProyekDesa
Pertanian Anggaran
Pertanian
Kesehatan
Pendidikan
................
Kecamatan
Pertanian
Kesehatan
Pendidikan
................
KecamatanPertanian
Kesehatan
Pendidikan
................
KecamatanPertanian
Kesehatan
Pendidikan
................
Usulan Kecamatan
Kecamatan ProyekDesa
Pertanian
Kecamatan ProyekDesa
Kesehatan
Kecamatan ProyekDesa
Pendidikan
Plafon Sektor
Pendidikan
Kesehatan
PertanianRencana Anggaran
Satuan Kerja (RASK)
M MM
DPRD
Pencocokan/Konsultasi
Kerjasama Indonesia – Jerman
69
Tabel 2-27 Perencanaan Penganggaran Jangka Menengah (Renstra/MTEF) dan Tahunan Dalam Kerangka Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Tingkat Nasional Tingkat Daerah Dukungan PROMIS-NT Produk PROMIS-NT
Perencanaan Jangka
Menengah
Mereview kerangka hukum (perencanaan dan anggaran) supaya tampak dengan jelas arus keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan
Membuat kerangka hukum agar Renstra dilengkapi dengan MTEF
Mereview kerangka hukum (perencanaan dan anggaran) supaya tampak dengan jelas arus keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan
Membuat kerangka hukum (Perda/SK) agar Renstra dilengkapi dengan MTEF
Integrasikan PRSP dengan Renstra/MTEF
Membuat pedoman untuk penyelenggaraan perencanaan di tingkat dinas
Membuat kerangka hukum untuk perencanaan tingkat dinas berdasarkan forum-forum sektoral
Memfasilitasi penyusunan kerangka hukum Renstra/MTEF yang Partisipatif
Memfasilitasi penyusunan Renstra/ MTEF yang Partisipatif dan pro-poor.
Memfasilitasi proses penyusunan Renstra dinas yang Partisipatif
Panduan penyusunan Renstra/MTEF yang Partisipatif
Umum Perencanaan dan
Penganggaran Tahunan
Menata kembali fungsi-fungsi kelembagaan yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran daerah ke arah penyatuan fungsi dan kelembagaan perencanaan dan penganggaran untuk mendukung efektifitas dan
Menata kembali fungsi-fungsi kelembagaan yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran daerah ke arah penyatuan fungsi dan kelembagaan perencaan dan penganggaran untuk mendukung efektifitas dan
Sosialisasi hasil dan rekomendasi studi efektifivitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran daerah
Menganalisis tupoksi lembaga-lembaga daerah
Position paper mengenai tupoksi lembaga-lembaga daerah yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran daerah ke arah penyatuan fungsi dan kelembagaan perencanaan dan penganggaran untuk
Kerjasama Indonesia – Jerman
70
Tingkat Nasional Tingkat Daerah Dukungan PROMIS-NT Produk PROMIS-NT efisiensi perencanaan dan penganggaran
Mereview kalender perencanaan dan penganggaran, agar nyambung antara kalender perencanaan penganggaran daerah dengan kalender perencanaan penganggaran nasional
Koordinasi dan sinkronisasi lembaga perencanaan dan penganggaran pusat, provinsi, dan daerah.
efisiensi perencanaan dan penganggaran
Harus ada peraturan (Perda/S) mengenai transparansi dana-dana non-APBD (Dana Dekon, Dana Tugas Pembantuan, dana-dana bantuan darurat)
yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran daerah ke arah penyatuan fungsi dan kelembagaan perencaan dan penganggaran untuk mendukung efektifitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran
mendukung efektifitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran
Musrenbang dan UDKP
Pengambil kebijakan di tingkat nasional (Dep. Keu/Depdagri) mengeluarkan suatu ketentuan tentang perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa
Review terhadap panduan pelaksanaan Musrenbang (dari sisi input, proses, output, dan format)
Daerah mengeluarkan suatu ketentuan tentang perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa
Memfasilitasi review terhadap panduan pelaksanaan Musrenbang dan UDKP (dari sisi input, proses, output)
Memfasilitasi perumusan kebijakan dana perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa
Hasil Revisi Modul panduan pelaksanaan Musrenbang dan UDKP terutama untuk memisahkan secara tegas program yang akan diajukan ke tingkat yang lebih tinggi dan program yang bisa dilaksanakan secara swadaya
Forum Sektoral
Menetapkan kerangka hukum dan kelembagaan untuk pelaksanaan forum-forum sektoral
Memfasilitasi Forum Sektoral Panduan pelaksanaan forum-forum sektoral
Kerjasama Indonesia – Jerman
71
Tingkat Nasional Tingkat Daerah Dukungan PROMIS-NT Produk PROMIS-NT AKU APBD
AKU harus sesuai dengan
kalender anggaran
AKU harus mengakomodasi usulan dari Forum-Forum Sektoral dan MTEF
Memfasilitasi penyusunan AKU APBD
Panduan penyusunan AKU APBD
Strategi, Prioritas, dan Plafon
Menurunkan AKU dalam strategi, prioritas, dan Plafon
Pendampingan untuk menurunkan dokumen AKU dalam strategi, prioritas, dan plafon berdasarkan pada kemampuan anggaran
Metode menetapkan plafon berdasarkan AKU
RASK
Merancang instrumen hukum dan kelembagaan untuk anggaran sektoral yang partisipatif
Dukungan menyusun anggaran sektoral yang partisipatif
Panduan menyusun penganggaran sektor yang partisipatif
Rencana Implementasi dan SOP
Merancang sistem informasi untuk implementasi program
Dukungan untuk mengembangkan model informasi untuk implementasi program
Model-model informasi untuk implementasi program
Monev yang Partisipatif
Melaksanakan Monev yang partisipatif
Memfasilitasi Monev yang Partisipatif
Panduan Monev Partisipatif
Kerjasama Indonesia – Jerman
72
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima: Bima dalam Angka. Bima 2001 Pemerintah Kabupaten Alor: APBD TA 2002 – TA 2003 Pemerintah Kabupaten Bima: APBD TA 2002 – TA 2004 Pemerintah Kabupaten Sumba Timur: APBD TA 2002 – TA 2004 Pemerintah Kabupaten Bima Bagian Organisasi/Sekretariat Daerah: Himpunan Keputusan
Bupati tentang Rincian Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah. Bima 2001 Pemerintah Kabupaten Bima, Bappeda: Bank Data Pemerintah Daerah Kabupaten Bima Tahun
2000 dalam System Komputerisasi. Bima 2000 Pemerintah Kabupaten Bima, Bappeda: Data Pokok Pembangunan Daerah Kabupaten Bima.
Bima 2000 Pemerintah Kabupaten Bima: Peraturan Daerah Kabupaten Bima No. 12 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Kabupaten Bima. Bima 2001 Pemerintah Kabupaten Bima: Peraturan Daerah Kabupaten Bima No. 13 Tahun 200 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Perangkat Daerah Kabupaten Bima. Bima 200
Pemerintah Kabupaten Bima: Peraturan Daerah Kabupaten Bima No. 24 Tahun 2001/No. 2
Tahun 2002 tentang Rencana Strategik Tahunan Daerah Kabupaten Bima. Bima 2001 Pemerintah Kabupaten Bima: Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bima (POLDAS). Bima 2001 Pemerintah Kabupaten Bima: Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten Bima
Tahun 2002-2005. Bima 2001 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8, Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah, 2003 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84, Tahun 2000 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta 2000 PRODA-NT/Bappeda Kabupaten Bima: Inventariasi Sumber Daya dan Pengkajian Potensi
Pembangunan Daerah di Kabupaten Bima. Bali 2001
Kerjasama Indonesia – Jerman
73
Lampiran 1: KERANGKA HUKUM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
1. Keterkaitan antara barbagai instrumen hukum dalam perencanaan dan penganggaran daerah (khususnya UU No. 17/2003 dan Kepmen
29/2002)
Komponen UU No. 17 Tahun 2003 PP No.105 Tahun 2000 PP No. 106 Tahun 2000 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Perencanaan • Pasal 13: Pemerintah bersama DPR
membahas Kebijakan Umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementrian dalam menyusun anggaran.
• Pasal 14: setiap departemen menyusun rencana kerja, yang akan dibahas dengan DPR sebagai pembicaraan pendahuluan rancangan APBN
• Pasal 18: pemerintah daerah ajukan Kebijakan Umum APBD dan rencana kerja Pemda kepada DPRD paling lambat buan Juni.
• Kepala satuan kerja menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja. (selanjutnya akan diatur Perda)
• Dalam rangka menyiapkan APBD Pemda bersama DPRD menyusun AKU APBD
• Bersdasarkan Arah AKU, Pemda menyusun Strategi dan Prioritas
• Atas dasar SP dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan keuangan daerah, Pemda menyiapkan RAPBD (Pasal 21)
Pusat sesuai dengan UU Keuangan • Perlu disusun Arah, kebijakan Umum, Strategi dan Prioritas APBD (Bab III : Pasal 17 dan Lampiran VI)
• Menyusun Strategi dan Prioritas (Pasal 18, Lamp.VII)
• Lampiran VI Kepmendagri 29/2002 mengklasifikasikan perencanaan menjadi 3 ketegori : (1) perencanaan jangka panjang (lima tahunan); (2) perencanaan jangka menengah (tiga tahunan); (3) perencanaan jangka pendek (satu tahun).
• Penganggaran daerah termasuk kategori perencanaan jangka pendek tetapi merupakan bagian dari perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang.
Penganggaran • Pasal 18 (3): Pemerintah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan sebagai acuan bagi setiap kerja perangkat daerah
• Semua aspek yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah
• Instrumen yang mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan bertanggung jawab
• Keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam pendistribusian kewenangan, pembiayaan, dan penataan sistem pengelolaan keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otda secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat.
• Dilaksanakan berdasarkan asas dekosentrasi dan tugas pembantuan
• Pengelolaan (penganggaran, penyaluran dan pertanggungjawaban pelaksanaan; pelaporan) dana dekon sesuai ketentuan yang berlaku bagi APBN
• Pengelolaan (penganggaran, penyaluran dan pertanggungjawaban pelaksanaan; pelaporan) dana tugas pembantuan sesuai ketentuan yang berlaku bagi APBN
• Pemeriksaaan atas pelaksanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dekosentrasi dan tugas
Penganggaran daerah terdiri atas : formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational planning). Penyusunan AKU APBD termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran yang menjadi operasional dalam perencanaan operasional anggaran.
Kerjasama Indonesia – Jerman
74
Komponen UU No. 17 Tahun 2003 PP No.105 Tahun 2000 PP No. 106 Tahun 2000 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 pembantuan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Sumber: UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara PP No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD Dengan berlakunya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, akan membawa perubahan terhadap beberapa hal hal :
Dalam hal perencanaan: • Pemda mengajukan kebijakan umum APBD dan rencana kerja pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan APBD selambat-lambatnya bulan Juni.
(Pasal 18) • Setiap satuan kerja mengajukan rencana kerja dan rencana anggaran paling lambat bulan Juni untuk tahun berikutnya dan dibahas dengan DPRD (pasal
19) • Penuangan dokumen perencanaan selama 5 tahunan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Pertanyaan yang muncul adalah apa dasar satuan kerja menyusun rencana kerja. Tata cara penyusunan rencana kerja tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
• Pertanyaannya adalah bagaimana nasib Musbangdus, Musbangdes, UDKP dalam konteks perubahan baru tersebut. Dalam hal penganggaran: • DPRD dan pemerintah menetapkan prioritas dan plafon sementara sebagai dasar penyusunan RASK. • Sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai kerangka pengeluaran Jangka Menengah (Medium-Term Expenditure Framework)-
Penjelasan Umum angka 6 • Mengembangkan sistem anggaran berbasis prestasi kerja
Kerjasama Indonesia – Jerman
75
2. AKU APBD (KepMen 29/2002) AKU APBD mempunyai fungsi integrasi dokumen sekaligus memuat petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. Arah dan kebijakan umum APBD memuat komponen-komponen pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang kewenangan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Komponen dan kinerja pelayanan yang diharapkan tersebut disusun berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangan kondisi dan kemampuan daerah, termasuk kinerja pelayanan yang telah dicapai dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya.
Komponen pelayanan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik disusun berdasarkan klasifikasi bidang kewenangan pemerintahan pemerintah daerah yang berpedoman pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom. Kriteria Penyusunan:
Arah dan kebijakan umum APBD dapat disusun berdasarkan kriteria sebagai berikut : 1. Sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasasran dan kebijakan yang ditetapkan dalam Renstra/MTEF yang ditetapkan oleh Daerah. 2. Sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berkembang dan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan Daerah. 3. Memuat arah yang diinginkan dan kebijakan umum yang disepakati sebagai pedoman penyusunan strategi dan prioritas APBD serta penyusunan
rancangan APBD DALAM SATU TAHUN ANGGARAN. 4. Disusun dan disepakati bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah. 5. Memberikan fleksibilitas untuk dijabarkan lebih lanjut dan memberi peluang untuk pengembangan kreativitas pelaksanaanya.
Kerjasama Indonesia – Jerman
76
3. Strategi dan Prioritas (KepMen 29/2002) Salah satu fase yang perlu dilakukan pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 adalah mengenai perlunya penyusunan Strategi dan Prioritas. Ruang lingkup penentuan Prioritas Pemahaman situasi yang mendasari perlunya ditetapkan prioritas tersebut Perancangan berbagai alternatif yang dapat dilaksanakan Identifikasi berbagai konsekuensi dari setiap alternatif yang akan dipilih Pembuatan keputusan tindakan terbaik yang akan dilakukan
Kriteria perumusan Strategi AKU APBD kemungkinan dapat dicapai melalui satu atau lebih strategi Keterkaitan dengan pencapaian tingkat pelayanan yang diharapkan dalam arah dan kebijakan umum APBD Kelebihan dan kelemahan saat ini Peluang dan tantangan daerah di masa datang Aspek risiko dan manfaat dalam implementasinya
Penentuan prioritas dapat didasarkan pada pertimbangan Skala bobot pelayanan berdasarkan urgensi dan jangkauannya dalam pemenuhan kebutuhan rakyat Kemampuan untuk memperlancar atau mempercepat pencapaian tingkat pelayanan yang diharapkan dalam arah dan kebijakan umum APBD Ketersediaan sumber daya dan waktu untuk melaksanakan program kegiatan
Kerjasama Indonesia – Jerman
77
4. Keterkaitan Perencanaan Tahunan dengan Perencanaan Jangka Menengah/ (Poldas/Propeda/Renstra, Repetada dan Renstra Dinas)
Poldas Propeda Renstra Repetada Renstra Dinas
Dasar Hukum
Tap MPR No 4 Tahun l999 UU No. 25 Tahun l999 PP 108 Tahun 2000 SE 080/1160/SJ, 7/6/2002
Inpres No. 7 /l999
Input Naskah Akademis yang berisi: • Analisis situasi • Proyeksi pertumbuhan • PDRB • Analisis Lingkungan • Angka kemiskinan • Angka pengangguran • Potensi ekonomi • Potensi konflik
Poldas, terutama: • Visi • Misi • Strategi
• Propeda • APBN • APBD • Swasta • Masyarakat
• Renstra • APBD Prop • PAD • Dana
perimbangan (DAU,DAK, Bagi hasil) dana lain-lain
.
Konversi Survey, metode ilmiah dan proses penyusunan suatu Ranperda
Metode ilmiah dan proses penyusunan suatu Ranperda. Penanggung jawab adalah Bappeda dengan dukungan seluruh unit di lingkungan Setda, dinas tehnis, instansi vertikal dan dibahas secara intensif dengan masyarakat setempat. Dalam rangka transparansi dan peran serta masyarakat, maka draft konsep perlu didiskusikan dengan para ahli, tokoh masyarakat, forum perkotaan, asosiasi profesi, LSM, dunia usaha melalui rapat diskusi dialogis.
• Penanggung jawab adalah Bappeda dengan dukungan seluruh unit di lingkungan Setda, dinas tehnis, instansi vertikal dan dibahas secara intensif dengan masyarakat setempat
• Dalam konteks transparansi dan peningkatan kadar peran serta masyarakat dalam proses penyusunan program
• Ikut tehnik penyusunan Perda • Keterpaduan antar dokumen perencanaan dan
sinergi program antar tingkat pemerintahan yang berbeda perlu kordinasi vertikal dan horisontal
Rakorbang Proses Ilmiah
Output Dokumen perencanaan induk yang memuat komitmen politis daerah tentang visi, misi, strategi dan arah pembangunan jangka menengah daerah. Sebagai dokumen perencanaan induk, Poldas adalah perwujudan aspirasi dan kehendak daerah yang disusun berdasarkan analisis situasi masing-masing daerah serta visi,misi daerah
Merupakan dokumen perencanaan manejerial komprehensif yang berisi antara lain : • Analisis tentang situasi • PDRB dan proyeksi
pertumbuhan ekonomi • Indeks regional (angka IPM,
tingkat pengangguran, angka kemiskinan, angka putus sekolah, gejala kerusakan ekoistem dsb)
Sebagai rujukan untuk menyusun REPETADA, RAPBD dan sebagai acyan LPJ KDH, maka substansi dan muatan Renstra dibatasi hanya pada program dan kegiatan yang dibiayai oleh APBD setempat. Tugas, program dan kegiatan lain yang dilaksanakan oleh kepala daerah berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dipertanggungjawabkan sesuai dengan PP 106/2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam pelaksanaan dekosentrasi dan tugas pembantuan
Dokumen perencanaan tehnis operasional tahunan yang disusun berdasarkan Renstra Daerah dan dikhususkan pada program dan kegiatan yang akan dibiayai
Substansinya adalah semua program dan kegaiatan yang dilaksanakan oleh seluruh pejabat elseon I dan II (pimpinan unit kerja pusat dan daerah) dalam konteks
Kerjasama Indonesia – Jerman
78
Poldas Propeda Renstra Repetada Renstra Dinas dengan berpedoman pada GBHN.
• Kebijakan nasional jangka menengah sebagaimana dijabarkan dalam Propenas.
• Seluruh hasil analisis ini hendaknya digunakan sebagai landasan obyektif bagi penentuan jenis program dan legiatan jangka menengah.
melalui APBD masing-masing daerah.
akuntabilitas kinerja. Ini mencakup kegiatan rutin dan program pembangunan, baik yang dibiayai dari APBN maupun dari APBD setempat
Format Sesuai kebutuhan masing-masing daerah. Sejak tahun 2003, daerah dapat menyusun format sesuai kebutuhan. Alternatif juga ditawarkan (Lamp.1)
Sesuai kebutuhan masing-masing daerah Dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah atau bentuk lain
*) Input adalah: material, dokumen, informasi, dana, sumberdaya manusia, waktu dan sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu atau
kegiatan *) Konversi adalah suatu proses mengubah input menjadi output *) Output adalah produk (dokumen) yang dihasilkan oleh kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan *) Format adalah bentuk dan susunan lembaran isian.
Kerjasama Indonesia – Jerman
79
5. Kerangka Hukum: Fungsi –fungsi Masing Dokumen Perencanaan Daerah
DOKUMEN TAP MPR NO. 14 TAHUN 2000 UU NO. 25/2000 PP NO. 108/2000 SE 080/1160/SJ, 7/6/2002 POLDAS Dokumen perencanaan induk yang
memuat pernyataan tertulis tentang visi, misi, arah dan strategi pembangunan daerah
PROPEDA • Dokumen perencanaan manajerial komprehensif • Penjabaran lebih lanjut dari Poldas dan Propenas berdasarkan indikator: analisis situasi, PDRB & proyeksi pertumbuhan ekonomi; indeks regional; kebijakan nasional jangka menengah • Rujukan dalam penyusunan Renstra
RENSTRA • Menjabarkan visi dan misi penyelenggaraan pemerintahan daerah • Menguraikan rincian daftar program dalam rentang waktu lima tahun (implikasi pada rencana pendapatan daerah dan berimplikasi pada belanja daerah) • Rujukan penilaian kinerja KDH tahunan dan akhir jabatan
Repetada Landasan penyusunan APBD dan dapat dituangkan dalam bentuk keputusan Bupati atau keputusan lain. Format disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Sumber: TAP MPR NO. 14 TAHUN 2000 UU NO. 25/2000 TENTANG PROPENAS PP NO. 108/2000 TENTANG LPJ KDH SE 080/1160/SJ, 7/6/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Rakorbang Prop./Kab/Kota 2002 dan Penyusunan Repetada 2003
Kerjasama Indonesia – Jerman
80