plagiat merupakan tindakan tidak terpuji · dalam novel tiga orang perempuan karya maria a....
TRANSCRIPT
CITRA PEREMPUAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Anasthassya Hesta Latuny
NIM: 034114044
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Maret 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
CITRA PEREMPUAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Anasthassya Hesta Latuny
NIM: 034114044
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Maret 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa yang
telah memberi kelimpahan dan tuntunan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir ini. Penulis menyusun tugas akhir ini dengan tujuan menyelesaikan program
strata satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan terwujud dan terlaksana
tanpa bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yaitu:
1. Ibu S. E. Peni Adji, S. S, M.Hum. selaku dosen pembimbing I, terima kasih
atas bimbingan, kesabaran, masukan, dan waktunya kepada penulis, sehingga
memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih telah
menunjukkan kepada penulis hati seorang ibu.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum. selaku dosen pembiming II, terima kasih atas
bimbingan, kesabaran, dan masukan, sehingga penulis bisa menyelesaikan
tugas akhir ini.
3. Bapak Drs. Heri Antono, M.Hum. selaku pembimbing akademik angkatan
2003, terima kasih atas semua kasih sayang, perhatian yang berlimpah,
nasihat, dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Tanpa Bapak, tugas akhir ini
tidak akan selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
4. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, terima kasih untuk kesabaran, ilmu yang
diberikan kepada penulis, dan kesediaannya menandatangani surat-surat yang
penulis urus.
5. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, terima kasih untuk kesabaran,
kebaikan, ilmu, dan kebijakan yang membuat penulis bisa menyelesaikan
tugas akhir.
6. Bapak Drs. F. X. Santosa, M.S, terima kasih untuk ilmu dan kesabarannya
mengajarkan Sastra Melayu Lama dan Bahasa Arab sehingga penulis mampu
memahaminya.
7. Bapak Drs. Yapi M. Taum, M.Hum, terima kasih untuk semangat, kesabaran,
kebaikan, dan ilmu yang Bapak berikan sehingga penulis mampu menjalin
komunikasi dengan orang-orang asing.
8. Bapak Widodo, terima kasih untuk nasihat, semangat, kesabaran, dan
kebaikan, sehingga mempermudah penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
9. Segenap dosen yang pernah mengajar penulis: Pak Ari Subagyo, Pak
Bambang, Pak Heri Santoso, Pak Sandiwan, Pak Adisusilo, dan Pak Putu,
terima kasih atas segala kebaikan dan ilmu yang telah diberikan kepada
penulis.
10. Segenap karyawan perpustakaan Sanata Dharma, terima kasih untuk semua
pelayanan dan keramahan yang diberikan sehingga penulis dapat belajar
dengan tenang dan nyaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
11. Mbak Rus, Mas Tri, dan Mbak Niniek, terima kasih untuk pelayanan yang
diberikan kepada penulis.
12. Papa Odik dan Mama Noor terkasih, Kakak Ido tersayang, Adik tercinta Dave
dan Joe; terima kasih untuk doa yang selalu tulus diberikan sehingga penulis
tetap kuat. Terima kasih telah menjadi pembuka jalan kemenangan dan
menghapus keraguan penulis. Terima kasih buat keluarga besar yang selalu
mendukung dan menyisakan waktu untuk mengingat penulis dalam doa.
13. Julian Tuhumury “Hunny”, terima kasih selalu mendoakan penulis dan
membantu penulis dengan tulus. “Hunny” yang sanggup membalut luka hati
dan membukakan mata hati akan arti penderitaan yang diterima selama ini.
Semua air mata dan bilur keringat yang disumbangkan bagi penulis akan
ditambahkan berlipat ganda. “U're my angelheart, ever after!”
14. Rizky Permana Putra “Chonq”, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik
selama delapan tahun ini. Terima kasih sudah meminjamkan bahu untuk
menangis dan dada untuk menghilangkan lelah. Kamu menunjukkan arti
sahabat bagi penulis.
15. Teman-teman [OPTION]: Revan, Aldrin, Edwin, Ozcar, Made, dan Satria.
Teman-teman Lobi dancer: Carlo, Ryan, Sean, Demot, dan Christian. Teman-
teman Marcapada Band: Hendi, Rama, Ndai, Roni, dan Galih. Teman-teman
The Master: Cosmo, Russel, Rhomedal, Dino, dan Boris. Teman-teman
Angkringan Magic: Chief Hadi dan Arif Rubberhand. Teman-teman Magic
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Cafe: Om Bram, Om Handi, dan Rizuki; terima kasih untuk kebersamaan
selama ini, sehingga penulis merasa bahagia.
16. Hendra Sigalingging “Chindil” dan Valentinus Ola Beding “Telor Busuk”,
terima kasih untuk bantuan, masukan dan kritik membangun yang sering
diberikan kepada penulis. Teman-teman Bengkel Sastra, tempat penulis
mendapatkan bekal menghadapi dunia kerja, terima kasih untuk “sharing”
selama ini. Seluruh mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
terutama teman-teman angkatan 2003, terima kasih untuk pertemanan,
kebersamaan, dan kekompakannya pada masa kuliah dulu.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk
dukungan doa yang kalian berikan tulus kepada penulis.
Penulis berharap, Tuhan Yang Mahakuasa dapat membalas semua kebaikan
yang telah diberikan. Penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam
penulisan tugas akhir ini. Penulis berharap tugas akhir ini bermanfaat bagi yang
membutuhkan, terutama para pembaca. Terima kasih.
Yogyakarta, 15 Maret 2011
Penulis
Anasthassya Hesta Latuny
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Karya kecilku
kupersembahkan untuk mereka
yang merasakan kepahitan dan kerapuhanku
Tuhan Yesus
tempat kubersimpuh dan meletakkan jiwa
Papa Odik, Mama Noor, K’Ido, Dave, Joe serta
Kekasihku Julian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Pelayanan Anda Yang Paling
efektif berasal dari luka Anda yang
terdalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
ABSTRAK
Latuny, Anasthassya Hesta. 2011. Citra Perempuan Tokoh Utama dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji citra perempuan tokoh utama dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono. Penelitian ini bertujuan menganalisis dan mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan untuk mengetahui citra perempuan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Diawali dengan melakukan analisis unsur tokoh dan penokohan terhadap novel Tiga Orang Perempuan. Hasil analisis tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis citra perempuan tokoh utama dalam novel Tiga Orang Perempuan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi analisis. Penulis mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan kemudian menganalisis dan menentukan citra perempuan tokoh utama.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan penulis untuk menyimak novel Tiga Orang Perempuan sebagai bahan penelaahan. Teknik catat digunakan penulis untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung pemecahan rumusan masalah, dalam hal ini meliputi unsur tokoh dan penokohan serta citra perempuan tokoh utama.
Hasil analisis unsur tokoh dan penokohan menunjukan Eyang Putri, Ratih, dan Gading sebagai tokoh utama (protagonis). Eyang Kakung, Bapak, dan Mas Hari sebagai tokoh lawan (antagonis). Mas Yoyok, Ida, Mayang, dan Mandaru sebagai tokoh bawahan. Dalam meneliti citra perempuan tokoh utama, penulis menemukan citra diri Eyang Putri dalam aspek fisik adalah cantik, beruban, penglihatan tajam, suara tegas, mengenakan kain batik berbau harum dan bedak buatan sendiri. Citra diri Eyang Putri dalam aspek psikis adalah perempuan dewasa, berkepribadian baik, sabar, tabah, pasrah, mandiri dalam bidang ekonomi, berpendidikan tinggi, tegas dan tegar. Citra sosial Eyang Putri dalam aspek keluarga adalah bertanggung jawab sebagai istri, melayani suami dengan baik. Sebagai seorang ibu, Eyang Putri memberikan yang terbaik untuk kehidupan dan pendidikan anak-anak. Citra sosial Eyang Putri dalam aspek masyarakat adalah bertanggung jawab dalam pekerjaan, mendapat empati dari masyarakat karena sikapnya yang menyenangkan, disegani, dan dihormati. Eyang Putri juga berperan penting dalam bidang sosial masyarakat dan ekonomi. Eyang Putri meneruskan perusahan batik orang tuanya sehingga membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidup, mengurangi tingkat pengangguran, dan menambah devisa bagi negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
Citra diri Ratih dalam aspek fisik adalah cantik, berusia lima puluh tahun, bermata indah sehingga terlihat lebih muda dari usianya. Citra diri Ratih dalam aspek psikis adalah perempuan dewasa, berkepribadian baik, tertutup, mandiri dalam bidang ekonomi, berpendidikan tinggi, tegas, menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Citra sosial Ratih dalam aspek keluarga adalah sebagai seorang anak, Ratih sangat dekat dengan ibunya. Sebagai seorang istri, Ratih sangat dominan, selalu memperhatikan urusan rumah sampai pada hal yang kecil. Sebagai seorang ibu, Ratih sangat perhatian dan tidak ingin anak-anaknya direndahkan. Ketika suaminya dalam kesulitan, Ratih mampu membantu secara moril maupun materi. Citra sosial Ratih dalam aspek masyarakat adalah bertanggung jawab dalam pekerjaan, memiliki peranan dalam bidang pendidikan yaitu mencerdaskan masyarakat lewat profesinya sebagai dosen. Ratih menjunjung tinggi nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ia menjadi dosen yang banyak mendapat empati, sehingga sering dipilih sebagai dosen pembimbing skripsi dan dicalonkan sebagai dekan.
Citra diri Gading dalam aspek fisik adalah cantik, berusia dua puluh delapan tahun, memiliki tangan yang halus dan jari yang indah, sering memakai perhiasan yang senada dengan gaun jika ingin menghadiri acara-acara formal. Citra diri Gading dalam aspek psikis adalah dewasa, berkepribadian baik, cerdas, tegas, berpendidikan tinggi, mandiri dalam bidang ekonomi, dan menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Citra sosial Gading dalam aspek keluarga adalah Gading sangat dekat dengan anggota keluarga lainnya. Gading sering bertukar pikiran dengan mereka. Gading mampu mempersatukan orang tuanya yang hampir bercerai. Citra sosial Gading dalam aspek masyarakat adalah Gading mempunyai peranan sosial yang cukup besar dalam masyarakat. Sebagai wartawan, Gading mampu memberikan informasi bagi masyarakat lewat tulisan-tulisannya. Gading juga mendapat empati dari atasan sehingga jabatannya dinaikkan. Gading juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Gading mampu berkomunikasi dengan masyarakat dari kalangan mana pun dengan kepintaran yang didapatnya.
Berdasarkan citra diri dan citra sosial perempuan ketiga tokoh utama dapat dilihat persamaan dan perbedaan. Persamaan tiga tokoh utama ini adalah Eyang Putri, Ratih, dan Gading merupakan keturunan bangsawan berdarah Jawa, cantik, berpendidikan tinggi, bertanggung jawab dalam pekerjaan, cerdas, tegas, lembut, sabar, mandiri dalam bidang ekonomi, dan memiliki peranan penting dalam keluarga dan masyarakat. Perbedaan tiga tokoh utama ini adalah Eyang Putri, Ratih, dan Gading hidup dalam generasi yang berbeda sehingga pandangan mereka berbeda juga. Eyang Putri beranggapan bahwa laki-laki memiliki tempat di atas perempuan. Ratih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan setara tapi dalam kehidupan nyata, Ratih mendominasi suaminya. Gading beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan setara dan harus saling menghargai. Eyang Putri setuju dengan poligami sedangkan Ratih dan Gading tidak setuju.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
ABSTRACT
Latuny, Anasthassya Hesta. 2011. “The Image of The Main Character Woman in Three Womans Novel by Maria A. Sardjono: Sociology of Letter Observing.” Mini thesis of Strata 1 (S1). Yogyakarta: Study Program of Indonesian Letter. Department of Indonesian Letter. Faculty of Letter. Sanata Dharma University.
This research examines the image of the main character woman in Three
Womans Novel by Maria A. Sardjono. The aims of this research are to describe and analyze the elements of character and characterization in Three Womans Novel to find the image of the main character woman. The image of the woman consisted of human image aspect and social image aspect. Human image aspect devided of physical and phsycal aspect, and social image aspect consist of family aspect and society aspect.
The writer use a sociology letter approach wich prioritizes the letter text as a basis of the study. Started by doing a character and characterization analyze of Three Womans Novel. The result is used as a basis to analyze the image of the main character woman in Three Woman Novel.
The writer use describe and analyze method in this research. The writer describing the element of character and characterization in Three Womans Novel and then analyze and deciding the image of the main character woman.
The techniques which are use consist of two things, a monitor and a note technique. The monitor technique used by the writer to notify closer to Three Womans Novel as a basis of the study. The note technique used by the writer to note formulation in this elements such as a character and characterization and also the image of the woman.
The result of the elements of character and characterization analyze exhibite Eyang Putri, Ratih, and Gading as a main character. Eyang Kakung, Bapak, and Mas Hari as an antagonist character. Mas Yoyok, Ida, Mayang, and Mandaru as a supporting character. In analyze of the image of the main character woman, the writer found the image of Eyang Putri in physical aspect is beautiful on an 84 years old, have a grey hair, good sight, distinct voice, necessary use the fragrant batik and use the powder that do by her self. The image of Eyang Putri in phsycal aspect is adult, have a good personality, patient, resolute, submit, autonomous in economic aspect, have a high education, and distinct. The image of Eyang Putri in family aspect is have a responsibility as a wife, good servant for her husband. As a mother, Eyang Putri gave the best in life and education for her childrens. The image of Eyang Putri in society aspect is have a great responsibility on a work, get a symphaty from the people because of her good attitude, and get a respect. Eyang Putri have a main role on economic and social aspect. Eyang Putri continue her parents company so that can aid people to filling they daily needed, reduce unemployed and increase income of state.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
The image of Ratih in physycal aspect is beautiful on an 50 years old, have a beautiful eyes so that she looks younger from her age. The image of Ratih in phsycal aspect is adult, have a good personality, closed, autonomous in economic aspect, high aducation, distinct, and she put the same right between man and woman on a high place. The image of Ratih in family aspect is she closed to her mother. As a wife, Ratih dominate her husband, she necessary does until a little thing in family bussines. As a mother, Ratih pay attention on her childrens and she does not want people underestimate them. When her husband on a trouble, Ratih can aid with morality and material. The image of Ratih in society aspect is have a great responsibility on her work, have a role on education. She develop mind of society by her proffesion as a lecturer. Ratih being a favourite lecture and candidate as a dean of faculty.
The image of Gading in physical aspect is beautiful on an 28 years old, have a softly hand and beautiful finger. She necessary use the same jewelry with her dress if she goes to formal party. The image of Gading in phsycal aspect is adult, have a good personality, smart, distinct, high education, autonomous in economic aspect, and put the right between man and woman on a high place. The image of Gading in family aspect is she closed to the other family member. She exchanges her mind with them. She can make her parents reconciliation. The image of Gading in society aspect is as a journalist, she can give the information for the society by her written. She capable to make a communication with every element of society.
Based on the human image aspect and social image aspect of three main characters, we can see the similar and the difference of them. The similar of Eyang Putri, Ratih, and Gading is Javanese aristocracy, beautiful, autonomous in economic aspect, high education, responsibility on a work, smart, distinct, patient, have a main role on family economic and society. The difference is they live on a difference generation so that they have a difference gaze. Eyang Putri though that the man have a higher place than the woman. Ratih though that the man and the woman have a same place but in fact he dominate her husband. Gading though that the man and the woman have a same place and must to be respect each other. Eyang Putri agree with polygamy. Ratih and Gading disagree with that one.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ........................................ xi
ABSTRAK .................................................................................................... xiii
ABSTRACT …................................................................................................ xv
DAFTAR ISI ............................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 6
1.5 Tinjauan Pustaka....................................................................... 7
1.6 Kerangka Teori ......................................................................... 8
1.6.1 Tokoh dan Penokohan .................................................. 8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
1.6.2 Sosiologi Sastra ............................................................ 10
1.6.3 Citra Perempuan ........................................................... 12
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan........................................ 13
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan .................................... 14
1.7 Metode Penelitian ................................................................... 14
1.7.1 Pendekatan..................................................................... 14
1.7.2 Metode Penelitian .......................................................... 15
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 15
1.8 Sumber Data ............................................................................. 16
1.9 Sistematika Penyajian............................................................... 17
BAB II. ANALISIS UNSUR TOKOH DAN PENOKOHAN
DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO ................................................. 18
2.1 Tokoh dan Penokohan............................................................. 18
2.1.1 Tokoh Utama.................................................................... 19
2.1.1.1 Eyang Putri ................................................................ 19
2.1.1.2 Ratih........................................................................... 24
2.1.1.3 Gading ....................................................................... 30
2.1.2 Tokoh Lawan ................................................................... 38
2.1.2.1 Eyang Kakung ........................................................... 38
2.1.2.2 Bapak ......................................................................... 40
2.1.2.3 Mas Hari .................................................................... 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
2.1.3 Tokoh Bawahan ............................................................... 45
2.1.3.1 Mas Yoyok ................................................................ 45
2.1.3.2 Ida .............................................................................. 47
2.1.3.3 Mayang ...................................................................... 48
2.1.3.4 Mandaru..................................................................... 50
BAB III. ANALISIS CITRA PEREMPUAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO.................................. 55
3.1 Citra Diri Perempuan ............................................................. 55
3.1.1 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Fisik .................... 56
3.1.1.1 Eyang Putri ...................................................... 56
3.1.1.2 Ratih ................................................................ 58
3.1.2.3 Gading ............................................................. 60
3.1.2 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Psikis ................... 61
3.1.2.1 Eyang Putri ...................................................... 61
3.1.2.2 Ratih ................................................................ 70
3.1.2.3 Gading ............................................................. 76
3.2 Citra Sosial Perempuan ........................................................ 84
3.2.1 Citra Sosial Perempuan dalam Aspek Keluarga .......... 85
3.2.1.1 Eyang Putri ...................................................... 85
3.2.1.2 Ratih ................................................................ 88
3.2.1.3 Gading ............................................................. 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
3.2.2 Citra Sosial Perempuan dalam Aspek Masyarakat....... 94
3.2.2.1 Eyang Putri ...................................................... 94
3.2.2.2 Ratih ................................................................ 97
3.2.2.3 Gading ............................................................. 98
BAB IV. PENUTUP .................................................................................. 105
4.1 Kesimpulan ........................................................................... 105
4.2 Saran ..................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 109
BIOGRAFI PENULIS ................................................................................. 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberi kepuasan
ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap
karya sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja yang membedakannya dengan
seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi, 1984 : 39).
Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melaui proses kreatif
pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang.
Kreativitas ini dapat bersumber dari imajinasi pengarang atau hasil observasi
pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Jakob
Sumardjo yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan
sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra
juga merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial,
politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali
fenomena kehidupan (Sardjono, 1992 : 10).
Karya sastra Indonesia merupakan cermin kehidupan bangsa Indonesia
dan identitas serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia.Berbagai perubahan
yang terjadi di suatu negara seperti ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan teknologi
informasi maupun akibat peristiwa alam merupakan bagian inspirasi di dalam
penulisan karya sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Para penulis karya sastra biasanya mengangkat suatu tema khusus untuk
menjadi ciri khas mereka pada hasil karyanya, seperti Sutan Takdir Alisjahbana
yang banyak mengangkat masalah peranan perempuan dalam lintas budaya yang
secara tidak langsung adalah latar belakang dari kehidupannya sendiri.Salah satu
novelnya adalah Layar Terkembang. Remi Silado juga sering menulis tentang
peranan perempuan modern dalam era globalisasi. Novelnya yang mengangkat
masalah perempuan adalah Kembang Jepun, Kerudung Merah Kirmizi, dan
Boulevard de Clichy(Agonia Cinta Monyet).
Tema tentang perempuan saat ini lebih sering diangkat dalam novel dan
lebih beragam seiring dengan perkembangan zaman. Gaya hidup masyarakat
sekarang lebih hedonis dan fenomena sosial yang terjadi sangat menarik untuk
diangkat dalam cerita. Pertama dimulai dengan Saman dan Larung karya Ayu
Utami, Supernova dan Akar karya Dee (Dewi Lestari), Jendela-jendela, Pintu,
dan Atap trilogi kaya Fira Basuki, dan kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu
berjudul Jangan Main-Main dengan Kelaminmu. Semua karya mereka bercerita
tentang kebebasan perempuan dalam berkehendak, tidak hanya dalam masalah
pendidikan, pekerjaan, ataupun pengambilan keputusan, tetapi juga dalam
kehidupan seksual mereka (Purwanti, 2007 : 3).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
mengenai permasalahan citra perempuan dalam karya sastra. Penulis akan
meneliti karya sastra berupa novel yang berjudul Tiga OrangPerempuan karya
Maria A. Sardjono.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Maria A. Sardjono adalah salah satu pengarang Indonesia yang sering
mengangkat masalah perempuan dalam novelnya, oleh karena itu penulis memilih
salah satu novelnya. Penulis memilih novel Tiga Orang Perempuan sebagai bahan
penelitian karena cerita dalam novel tersebut mengangkat tema perempuan, alur
cerita sederhana, dan mudah dipahami.
Novel Tiga Orang Perempuan menggambarkan kehidupan tiga orang
perempuan berbeda generasi yang terikat dengan budaya patriarkat. Perempuan
pertama adalah Eyang Putri, kedua adalah salah seorang anaknya yang bernama
Ratih, dan ketiga adalah cucu yang bernama Gading.
Eyang Putri merupakan wakil dari kaum perempuan pada zaman dulu
ketika Eyang Putri masih muda. Eyang Putri berpendapat bahwa perempuan
adalah pelayan laki-laki atau dalam bahasa yang lebih terhormat “pengemong
laki-laki”. Eyang Putri juga berpendapat bahwa cinta dalam suatu hubungan tidak
penting jika ingin hidup damai. Menurut Eyang Putri, cinta akan datang dengan
sendirinya jika dua orang berbagi dalam menjalani hidup bersama. Selain itu
Eyang Putri juga berpendapat bahwa Tuhan memberikan penalaran yang lebih
kepada perempuan sehingga mampu menyelesaikan persoalan dengan cermat
dibandingkan laki-laki.
Eyang Putri mampu menata hati sehingga tidak terluka ketika Eyang
Kakung, suaminya, memiliki selir dan membagi waktunya dengan selir tersebut.
Eyang Putri bahkan mampu melayani suaminya dengan tulus dan membantu
menghidupi tujuh orang anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Sikap Eyang Putri yang pasrah diperlakukan tidak adil membuat Ratih
melakukan pemberontakan. Ratih berpendapat bahwa keberadaan perempuan,
dalam arti eksistensinya sebagai seorang manusia atau individu, tidaklah berada di
bawah dominasi siapapun juga termasuk dominasi orang tua atau suaminya.
Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. Seorang istri juga seorang
individu merdeka yang memiliki kehendak bebas dan mampu bertanggung jawab
atas perbuatannya. Menurut Ratih, seorang istri bukan perhiasan rumah atau
inventaris rumah. Seorang istri bukanlah tempat pembibitan untuk mendapatkan
keturunan bagi laki-laki.
Ratih adalah perempuan yang bersikap mandiri, kuat, dan tegar. Sikap
Ratih ini merupakan strategi supaya tidak dikalahkan oleh laki-laki. Ratih ingin
menunjukkan kepada suaminya bahwa laki-laki dan perempuan itu setara dalam
segala hal. Ratih mampu menyelesaikan semua urusan tanpa bantuan suaminya.
Ratih ingin suaminya melakukan hal yang sama seperti mengatur dan mengambil
makanannya sendiri.
Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan Eyang Putri dan Ratih
membuat Gading mendapat banyak pengetahuan hidup. Gading adalah perempuan
yang cukup kritis sehingga tidak menerima begitu saja semua yang dipelajari.
Gading tumbuh di antara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang
berbeda tetapi Gading belajar mengolah semua supaya sesuai dengan hati
nuraninya dan menjadi nilai-nilainya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat citra perempuan pada tokoh
Eyang Putri, Ratih, dan Gading. Tiga tokoh ini menggambarkan kehidupan
perempuan Indonesia dalam keluarga dan masyarakat sosialnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori citra perempuan. Menurut
Kartono, citra perempuan adalah semua gambaran mental, spiritual, dan tingkah
laku keseharian perempuan (Indonesia), yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas
perempuan sebagai makhluk sosial (Sugihastuti, 2000 : 7). Penulis menggunakan
teori citra perempuan menurut Kartono, karena teori citra perempuan tersebut
relevan dengan analisis yang penulis lakukan.
Penulis akan menggunakan pendekatan sosiologi dalam penelitian.
Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat (Semi, 1989 : 46). Pendekatan sosiologi menganalisis
manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke
individu (Ratna, 2009 : 59). Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono mencerminkan kehidupan perempuan khususnya perempuan di
Indonesia yang sampai sekarang masih terikat dengan budaya patriarkat. Selain
itu, terlihat jelas protes para perempuan terhadap budaya yang masih berakar
tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penulis menggunakan teori sosiologi sastra.
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis unsur tokoh dan
penokohan yang terdapat dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono. Penelitian tersebut dilakukan untuk menentukan tokoh utama
(protagonis), tokoh lawan (antagonis), dan tokoh bawahan, kemudian penulis akan
menganalisis citra perempuan tokoh utama. Penulis membatasi penelitian pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
tokoh utama karena tokoh utama sudah mewakili tokoh-tokoh perempuan yang
lain di dalam novel tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana unsur tokoh dan penokohan dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono?
1.2.2 Bagaimana citra perempuan tokoh utama dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.3.1 mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono,
1.3.2 mendeskripsikan citra perempuan tokoh utama dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4.1 Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan
kritik sastra dan ilmu sastra khususnya dalam telaah sastra dengan
pendekatan sosiologi sastra.
1.4.2 Dari segi praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk
meningkatkan apresiasi kesusastraan nusantara khususnya novel Tiga
Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca, peneliti, maupun
sastrawan dalam memahami citra perempuan terkait dengan bidang
sosiologi sastra.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, ada sebuah skripsi yang mengkaji novel Tiga
Orang Perempuan sebagai bahan penelitiannya. Penulisnya adalah Agus Setiawan
(2005) dan judul skripsinya adalah Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita Tentang
Emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Agus
Setiawan memfokuskan penelitiannya dengan menganalisis pandangan tiga tokoh
utama tentang emansipasi. Berbeda dengan penulis. Penulis mengangkat masalah
citra perempuan. Pandangan tokoh utama berbeda dengan citra perempuan tokoh
utama. Pandangan tokoh utama merupakan bagian dari citra perempuan tokoh
utama. Dengan kata lain, Agus Setiawan hanya menganalisis bagian kecil dari
tokoh utama sedangkan penulis menganalisis bagian yang lebih besar.
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono juga pernah
diteliti oleh Ferawati (2005) dengan judul skripsi Persoalan Perempuan Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Pandangan Pengarang Laki-Laki dan Pengarang Perempuan dalam Novel-Novel
Indonesia. Ferawati menggunakan pendekatan kritik sastra feminis sebagai teori
sedangkan untuk analisis tekstual, Ferawati menggunakan pendekatan strukturalis
genetik untuk melihat kepaduan alur cerita. Ferawati tidak menganalisis secara
mendalam novel Tiga Orang Perempuan. Ia menggunakan novel tersebut sebagai
salah satu novel pengarang perempuan yang akan dibandingkan dengan novel lain
karya pengarang laki-laki.
Penulis menggunakan novel Tiga Orang Perempuan sebagai bahan
penelitian dan memfokuskan pada analisis citra perempuan. Penulis menganalisis
secara mendalam tokoh-tokoh utama yang di dalamnya menyangkut pandangan,
sikap, dan peranan tokoh-tokoh utama tersebut dalam keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat perbedaan antara Agus Setiawan,
Ferawati, dan penulis. Dengan kata lain, analisis tentang citra perempuan dalam
novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono belum pernah diteliti
sebelumnya.
1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan bagian penting dalam sebuah cerita. Melalui tokohlah
sebuah cerita dapat disampaikan kepada para pembaca. Melalui watak dan
kebiasaannya, tokoh meleburkan diri dalam penceritaan. Melalui tokoh-tokoh
pula, seorang pengarang menyampaikan ide dan gagasannya. Berbagai hal yang
mewakili pikiran pengarang disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam karyanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 1998 : 165), tokoh adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dalam drama yang oleh pembaca
akan ditafsirkan secara moral. Penafsiran ini cenderung melihat pada ekspresi,
ucapan, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Menurut Jones (via
Nurgiyantoro, 1998 :165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Berdasarkan fungsi
dalam cerita, tokoh dibagi dalam 2 macam, yakni tokoh utama (protagonis) dan
tokoh lawan (antagonis). Selain kriteria tokoh tersebut, Sudjiman juga
menambahkan kriteria tokoh yang lain yakni tokoh bawahan (Nurgiyantoro, 1995
: 129).
Protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh karena itu tokoh
protagonis menarik minat pembaca, sedangkan tokoh antagonis mewakili pihak
yang jahat atau yang salah. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang
atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988 : 17-19).
Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik
pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan
teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh
cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung,
sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan
secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit
sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyiasati para tokoh cerita untuk
menunjukkan kehadirannya sendiri melalui aktivitas yang dilakukan baik secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
verbal lewat kata-kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku dan
juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1995 : 194-198). Penulis
menggunakan teknik dramatik dalam novel Tiga Orang Perempuan untuk
menggambarkan karakter tokoh-tokohnya.
Penulis akan mendeskripsikan penokohan tokoh Eyang Putri, Ratih,
Gading, Eyang Kakung, Bapak, Mas Hari, Mas Yoyok, Ida, Mayang, dan
Mandaru. Hasil deskripsi penokohan membantu penulis membagi tokoh-tokoh
tersebut berdasarkan fungsinya yaitu tokoh utama (protagonis) meliputi Eyang
Putri, Ratih, dan Gading. Tokoh lawan (antagonis) meliputi Eyang Kakung,
Bapak, dan Mas Hari. Tokoh bawahan meliputi Mas Yoyok, Ida, Mayang, dan
Mandaru. Hasil analisis tokoh dan penokohan akan diteliti secara sosiologis
kaitannya dengan citra perempuan.
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra
merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra
dalam hubungannya dengan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat
(Wiyatmi, 2006 : 97).
Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini
oleh beberapa ahli disebut sebagai sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak
berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau
pendekatan sosiostruktural terhadap sastra (Damono, 1979 :2).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono
digambarkan secara gamblang realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan kaum
perempuan. Zaman sekarang eksistensi perempuan telah diakui, namun
perempuan masih saja dianggap berada di bawah laki-laki. Bahkan kehidupan
poligami masih ada sampai sekarang dan dianggap sah oleh beberapa oknum.
Melihat realitas yang ada, Maria A. Sardjono mengangkat masalah perempuan
tersebut dan disertai dengan protes lewat tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading
dalam novel Tiga Orang Perempuan.
Menurut Damono ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis
terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra
merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari
faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks
sastra tidak dianggap utama, hanya dianggap ephinomen (gejala kedua). Kedua,
pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode
yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala
sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1979 : 2-3). Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan pendekatan sosiologi menurut pengertian kedua.
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono merupakan teks
sastra yang akan dijadikan sebagai bahan penelaahan. Teks-teks sastra dalam
novel tersebut akan dianalisis unsur tokoh dan penokohan. Hasil analisis unsur
tokoh dan penokohan kemudian digunakan untuk memahami gejala sosial yang
ada di luar sastra yaitu citra perempuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
1.6.3 Citra Perempuan
Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar
pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang
dimiliki orang banyak mengenai pribadi sistem kerja mental (bayangan) visual
yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat dan merupakan unsur dasar
yang khas dalam karya prosa dan puisi (Sugihastuti, 2000 : 45).
Citra perempuan yang dimaksud dalam hal ini adalah semua gambaran
mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan (Indonesia), yang
menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan sebagai makhluk individu dan
sebagai makhluk sosial (Sugihastuti, 2000 : 7). Dengan demikian, perempuan
dicitrakan sebagai makhluk individu yang beraspek keluarga dan masyarakat
(Sugihastuti, 2000 : 46).
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis citra diri perempuan
dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono dan akan
memfokuskan pada tokoh utama (protagonis). Citra diri perempuan meliputi ciri
fisik dan ciri psikis sedangkan citra sosial perempuan meliputi citra perempuan
dalam keluarga dan citra perempuan dalam masyarakat. Penulis meneliti citra fisik
dan psikis untuk mengetahui secara jelas peranan perempuan khususnya
perempuan Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Penulis meneliti citra
perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat untuk mengetahui peranan
perempuan dalam membangun kehidupan bangsa dan Negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan
Citra diri perempuan terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai
pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya. Perempuan mempunyai
kemampuan untuk berkembang dan membangun dirinya berdasarkan pada pola
pilihannya sendiri. Perempuan bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai
makhluk individu. Citra diri perempuan memperlihatkan bahwa apa yang
dipandang sebagai perilaku wanita bergantung pada bagaimana aspek fisis dan
psikis diasosiasikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
(Sugihastuti, 2000 : 113).
Citra diri perempuan itu diabstraksikan dan diklasifikasikan sebagai citra
fisis dan psikis perempuan. Dalam aspek fisis, citra perempuan itu khas dilihat
melalui pengalaman-pengalaman tertentu yang hanya dialaminya dan tidak
dialami oleh pria misalnya melahirkan dan merawat anak (Sugihastuti, 2000 :
112). Citra fisis perempuan yang tergambar adalah citra perempuan dewasa,
perempuan yang sudah berumah tangga. Selain itu, masa perkawinan dapat
mengisyaratkan bahwa secara fisis perempuan ditunjukkan sebagai perempuan
dewasa (Sugihastuti, 2000 : 85).
Dalam aspek psikis, kejiwaan perempuan dewasa ditandai oleh sikap
pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, nasib sendiri, dan pembentukan
diri sendiri (Kartono via Sugihastuti, 2000 : 100). Dalam penelitian ini, penulis
akan menganalisis citra diri perempuan yang meliputi ciri fisik dan psikis pada
tokoh utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan
Pada dasarnya citra sosial perempuan merupakan citra perempuan yang
erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat tempat perempuan menjadi anggota dan berhasrat
mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok
keluarga dan kelompok masyarakat luas (Sugihastuti, 2000 : 143).
Dalam aspek keluarga, citra sosial perempuan berhubungan dengan
perannya sebagai istri, ibu, dan sebagai anggota keluarga yang semuanya
menimbulkan konsekuensi sikap sosial yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya. Citra sosial perempuan dalam sikap sosialnya terbentuk
karena pengalaman pribadi, pengalaman budaya, dan pengalaman sosialnya
(Sugihastuti, 2000 : xvi). Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis peranan
tokoh utama (protagonist) dalam keluarga dan masyarakat.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam
masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.
Diawali dengan melakukan analisis unsur tokoh dan penokohan terhadap novel
Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Hasil analisis tersebut
digunakan sebagai dasar untuk menganalisis sosiologi sastra pada novel ini, yaitu
citra perempuan dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.7.2 Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk memahami satu objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan cara
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono,
1986 : 14).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan.
Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana =
atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata
menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2009 : 53).
Metode deskripsi analisis digunakan untuk mendeskripsikan unsur tokoh
dan penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono
kemudian menganalisis dan menentukan citra perempuan tokoh utama. Setelah itu
penulis memaparkan dan melaporkan hasil penelitian ini.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik berasal dari kata tekhnikos, bahasa Yunani, juga berarti alat, atau
seni menggunakan alat. Sebagai alat, teknik bersifat paling kongkret, sebagai
instrumen penelitian teknik dapat dideteksi secara indrawi. Dalam hubungan ini,
sejumlah teknik yang sering dimanfaatkan, misalnya: wawancara, kuesioner,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
rekaman, statistik, dokumen, angket, teknik kartu data, dan sebagainya (Ratna,
2009 : 37).
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data didapat melalui studi
pustaka. Teknik tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah
novel berjudul Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono, buku-buku
referensi, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Dalam teknik
ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk
menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat
digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis
dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari
teknik simak.
1.8 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Judul Buku : Tiga Orang Perempuan
Pengarang : Maria A. Sardjono
Tahun Terbit : 2002
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 373 halaman
Ukuran : 11cm x 18cm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
1.9 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini,
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, teknik pengumpulan data,
sumber data, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis unsur tokoh
dan penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Bab tiga merupakan analisis tentang citra perempuan dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono. Bab empat merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
BAB II
ANALISIS UNSUR TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM
NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO
Pada bab ini akan dianalisis unsur tokoh dan penokohan dalam novel Tiga
Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Dengan menganalisis unsur tokoh
dan penokohan diharapkan makna keseluruhan novel tersebut dapat dipahami
yakni terkait dengan citra perempuan. Berdasarkan intensitas kemunculan tokoh
dapat disimpulkan tokoh utama (protagonis) adalah Eyang Putri, Ratih, dan
Gading. Tokoh lawan (antagonis) adalah Eyang kakung, Bapak, dan Mas Hari.
Tokoh bawahan adalah Mas Yoyok, Ida, Mayang, dan Mandaru. Unsur tokoh dan
penokohan akan dianalisis sebagai berikut.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 1998 : 165) tokoh adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dalam drama yang oleh pembaca
akan ditafsirkan secara moral. Penafsiran ini cenderung melihat pada ekspresi,
ucapan, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Menurut Jones (via
Nurgiyantoro, 1998 :165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penulis memilih teori
tokoh dan penokohan karya Abrams dan Jones yang dikemukakan oleh
Nurgiyantoro karena teori tersebut relevan dan membantu penulis menganalisis
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
dan memahami tokoh-tokoh dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono.
2.1.1 Tokoh Utama
2.1.1.1 Eyang Putri
Eyang Putri dulu termasuk perempuan cantik yang banyak disukai para
pria di kampungnya. Ayahnya seorang bangsawan tinggi keraton Solo. Ibunya
anak saudagar batik yang kaya dari keluarga bukan bangsawan. Eyang Putri lahir
di keraton tetapi tidak dibesarkan di sana. Setiap hari orang dari keraton datang
dan mengajarinya kesenian seperti menari, menembang, menyulam, menjahit,
memasak, membuat jamu, menulis, dan membaca. Membatik diajarkan oleh
ibunya sendiri dan disempurnakan oleh gurunya.
Eyang Putri tidak dibesarkan dalam lingkungan keraton, sehingga Eyang
Putri memiliki kebebasan yang lebih dibanding perempuan-perempuan yang
tinggal di sana. Eyang Putri bisa lebih lama melakukan kegiatan di halaman
rumah orang tuanya yang diberi pagar hidup berupa pohon kemuning setinggi satu
setengah meter. Pagar itu membuat Eyang Putri tidak dapat dilihat oleh orang-
orang yang lewat, tetapi para bangsawan yang berada di dalam kereta bisa
melihatnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (1) sebagai berikut
(1) Wajahnya yang rupawan menjadi harapan keluarga untuk memurnikan kembali darah bangsawan mereka. Bibit, bobot, dan bebet Eyang Putri cukup bagus. Wajahnya rupawan. Pendidikannya lumayan. Maka menjadi istri bangsawan tinggi atau malah istri salah satu putra raja merupakan sesuatu yang pantas baginya (Sardjono, 2002 : 24).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Eyang Putri adalah perempuan berumur delapan puluh empat tahun. Ia
masih tampak sehat dan memiliki penglihatan yang tajam. Eyang Putri tinggal di
Solo, di sebuah rumah yang diwarisi dari orang tuanya.
Bagi keluarga besarnya, Eyang Putri merupakan tokoh utama. Eyang Putri
dihormati, dicintai, dan pendapatnya selalu diterima. Eyang Putri memiliki pribadi
yang unik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (2) sebagai berikut.
(2) Di satu sisi, Eyangku ini adalah perempuan yang sangat tabah, lembut, berjiwa seni, dan memperlihatkan segi-segi feminitasnya yang kuat sebagai perempuan Jawa dengan sederet tuntutan mengenai keutamaan yang berhasil digapainya. Tetapi di sisi yang lain, beliau memperlihatkan sikap arogan, sikap keras yang nyaris seperti tangan besi, dan keberanian melakukan sesuatu yang jarang ditemui pada perempuan-perempuan seusianya yang lahir di balik keraton yang tingginya dua setengah meter (Sardjono, 2002 : 22).
Eyang Putri diperistri oleh salah seorang pangeran muda. Eyang Putri
bukanlah istri satu-satunya. Eyang Kakung memiliki beberapa selir sebelum
memperistri Eyang Putri. Eyang Putri tidak merasa sakit hati. Ia merasa bahwa
hidup dengan suami yang memiliki istri lain dan selir merupakan hal yang biasa
terjadi. Sebagai seorang istri, Eyang Putri menerima semua perlakuan suami. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (3) sebagai berikut.
(3) Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa (Sardjono, 2002 : 26).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Eyang Putri adalah istri pertama Eyang Kakung. Mereka memiliki tujuh
orang anak. Tujuh anaknya mendapat pendidikan yang layak dan hidup
berkecukupan. Mereka juga mendapat pendidikan informal yang diajarkan di
rumah. Eyang Putri adalah sosok yang kuat dan pantang menyerah. Ia pandai
menyimpan rasa sakit sehingga tidak ada yang tahu ketika Eyang Putri sedang
sedih. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (4) sebagai berikut.
(4) Namun setidaknya dari mereka, aku mengetahui bahwa Eyang Putri tidak pernah memperlihatkan air muka yang keruh dan wajah yang murung. Apalagi menangis. Kalaupun pernah menitikkan air mata, itu adalah tangis haru ketika anak-anaknya berhasil dalam pendidikan atau ketika mereka menikah dan memberinya cucu (Sardjono, 2002 : 28).
Eyang Putri melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu tanpa banyak
mengeluh. Ia membesarkan tujuh orang anak dengan suami yang jarang berada di
rumah. Eyang Putri pernah mengalami kesulitan melahirkan ketika suaminya
mengambil selir baru sesudah memulangkan yang lama. Eyang Putri menjalani
kehidupan dengan pasrah, seakan-akan hal tersebut seharusnya terjadi dalam
kehidupannya. Eyang Putri membiarkan suaminya membagi waktu dengan selir-
selir yang lain. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (5) sebagai berikut.
(5) Ia telah menyerahkan seluruh dirinya, bahkan hidupnya, bagi kepentingan keluarga dan terutama bagi suaminya. Tubuh, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, dan kebahagiaannya. Semuanya. Lewat pelayanannya, pengabdiannya, kesetiaannya, dan pengorbanannya (Sardjono, 2002 : 30).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Eyang Putri tidak berani mengungkapkan perasaan cinta kepada seseorang
meskipun itu adalah suaminya. Eyang Putri berpendapat bahwa cinta hanya akan
membuat sakit. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (6) sebagai berikut.
(6) Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tidak pernah berani mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang, meskipun orang itu adalah suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan, karena penuh dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, keditakpercayaan diri, ketidaktentraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi, dan terutama ketakutan atau ditinggalkan (Sardjono, 2002 : 32).
Eyang Putri takut mencintai Eyang Kakung meskipun mereka sudah lama
hidup bersama.Eyang Putri tidak pernah merasa bahagia jatuh cinta sepenuhnya.
Ia tidak pernah merasakan dicintai dan mencintai. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (7) sebagai berikut.
(7) Di sepanjang usia perkawinannya dengan Eyang Kakung, Eyang Putriku ini tidak berani jatuh cinta untuk membentengi dirinya dari penderitaan (Sardjono, 2002 : 35).
Eyang Putri tidak memberikan seluruh cintanya kepada Eyang Kakung,
sehingga hidup dengan sikap kompromi. Eyang Putri tidak merasakan sakit
melihat suaminya pergi dengan perempuan lain.
Eyang Putri termasuk sosok perempuan yang berani dan mandiri. Eyang
Putri berani pergi ke Jakarta seorang diri dalam usianya yang sudah tua. Hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
tersebut dapat dilihat melalui percakapan Eyang Putri dan Gading dalam kutipan
(8) sebagai berikut.
(8) “Kami percaya, Eyang masih tetap berani pergi sendirian ke mana-mana dengan pesawat terbang seperti biasanya. Tetapi kamilah yang tidak tega. Eyang sudah semakin tua. Kalau seandainya masuk angin dalam perjalanan, bagaimana?” (Sardjono, 2002 : 36).
Eyang Putri masih sanggup berpikir kritis meskipun usianya sudah
delapan puluh empat tahun.Ingatan Eyang Putri juga masih sangat kuat. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (9) sebagai berikut.
(9) Sebab berbicara di luar hal-hal itu, aku benar-benar merasa kagum bahwa di usianya setinggi itu Eyang masih tampak gesit, pikirannya terang, dan ingatannya masih kuat. Gejala-gejala pikun yang sering terjadi pada umur-umur seperti nenekku itu, tidak kelihatan (Sardjono, 2002 : 37).
Eyang Putri senang mengunjungi anak-anaknya. Eyang Putri tinggal dari
rumah anaknya yang satu ke rumah anaknya yang lain. Selain itu, Eyang Putri
juga sibuk mengontrol pabrik batik di Solo, warisan kedua orang tuanya. Hal
tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Eyang Putri dan Gading dalam
kutipan (10) sebagai berikut.
(10) “Sayangku, eyangmu ini sudah semakin tua saja,” katanya kemudian. “Kalau setiap kali tinggal di rumah anak sampai lebih dari sebulan, Eyang khawatir apakah masih akan ada kesempatan untuk lain kali ke sini dalam keadaan sekuat sekarang. Apalagi di sela giliran tinggal di rumah anak yang satu ke rumah anak yang lain, Eyang harus mengontrol pabrik batik di Solo” (Sardjono, 2002 : 52).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Eyang Putri tidak hanya dicintai oleh anak-anaknya, cucunya, dan juga
oleh pegawai serta buruh di pabrik batiknya. Kehadirannya di mana pun diterima
dengan baik. Hal ini disebabkan oleh pembawaan Eyang Putri yang suka
memberikan nasihat dan ajaran yang bisa menambah pengetahuan. Eyang Putri
suka bercanda dan memberikan teka-teki yang membuat suasana lebih santai.
Bagi keluarga besarnya, kehadiran Eyang Putri mempunyai pengaruh yang besar.
Eyang Putri mampu merangsang otak anak-anak dan cucunya untuk berpikir lebih
jauh dan lebih bijaksana. Hal tersebut diakui sendiri oleh salah satu cucunya,
Gading.
Eyang Putri membuat perbedaan pandangan di antara anak-anaknya dan
cucunya menjadi hal yang positif. Perbedaan itu menambah pengetahuan bagi
anak-anak dan cucunya tentang berbagai macam hal yang menyangkut kehidupan
manusia.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Eyang Putri
adalah sosok perempuan yangtabah, lembut, berjiwa seni, cerdas, mandiri, tegas,
berani, patuh kepada suami, dan menjadi panutan dalam keluarga.
2.1.1.2 Ratih
Ratih adalah anak bungsu Eyang Putri. Ratih berprofesi sebagai dosen di
sebuah perguruan tinggi. Ratih memiliki kemampuan untuk mengatur rumah
tangga. Ratih memiliki empat orang anak hasil perkawinannya yaitu Moyo,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Gading, Mayang, dan Mandaru. Ratih merupakan sosok perempuan yang dingin,
tertutup, dan termasuk dominan dalam keluarga. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (11) sebagai berikut.
(11) Berbeda dengan nenekku yang memiliki hati tegar namun lembut keibuan, hangat dan suka berbicara tetapi keras kepala, ibuku merupakan perempuan yang agak dingin, tertutup, dan termasuk dominan dalam keluarga kami. Baik Eyang Putri maupun Ibuku memang sama-sama termasuk perempuan mandiri dan keras hati (Sardjono, 2002 : 122).
Ratih adalah sosok ibu yang sangat sayang dan perhatian terhadap anak-
anaknya. Ratih akan melakukan apa saja yang mampu ia lakukan untuk anak-
anaknya. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih dan Gading
dalam kutipan (12) sebagai berikut.
(12) “Sudahlah,” katanya kemudian. “Lekaslah ganti bajumu yang basah itu, lalu mandilah dengan air panas. Minta Yu Mi sana. Ibu akan menyiapkan wedang jahe untukmu. Ibu tidak ingin melihatmu sakit lagi!” (Sardjono, 2002 : 114).
Ratih adalah sosok perempuan yang tidak ingin dianggap lemah.Ia tidak
setuju jika perempuan dianggap rendah dan berada di bawah laki-laki. Ratih
beranggapan bahwa perempuan sebagai individu tidaklah berada di bawah
dominasi siapa pun juga termasuk orang tua atau suaminya.Ratih mempertegas
anggapannya dengan menjadi dosen sehingga orang bisa melihat otoritas yang
dimilikinya.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (13) sebagai berikut.
(13) Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga seolah profesi dosen merupakan cara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya (Sardjono, 2002 : 122).
Sikap Ratih yang dominan membuat ia mampu mengatur banyak hal, dari
urusan dapur sampai hal-hal yang terkecil. Ratih beranggapan bahwa perempuan
akan dihargai haknya dan diakui kesetaraannya dengan laki-laki jika perempuan
bisa menunjukkan kemampuan yang sama seperti apa yang dikerjakan oleh laki-
laki. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (14) sebagai berikut.
(14) Acap kali aku ingin mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh ayahku. Bapak memang tidak terlalu mempedulikan penampilannya. Ibulah yang mengaturkan warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren. Kemudian ibuku yang mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran, listrik, telpon dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil (Sardjono, 2002 : 122-123).
Ratih selalu semangat jika berbicara tentang pandangan Eyang Putri dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.Hal ini disebabkan oleh masa kecilnya
yang kurang menyenangkan.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (15) sebagai
berikut.
(15) “Karena pikiran Mbak Gading pasti sama dengan Mayang,” adikku ikut bicara. “Mayang memperhatikan, emosi Ibu selalu terkait kalau kita membicarakan pandangan Eyang. Begitu pun kalau kita sedang diskusi mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan (Sardjono, 2002 : 125).
Ratih merupakan sosok perempuan yang tegas. Ratih tidak ingin dikekang
laki-laki terutama oleh suaminya sendiri. Apa pun yang bisa dikerjakan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
suaminya, harus dikerjakan sendiri. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (16)
sebagai berikut.
(16) Begitupun ketika Eyang Putri menegur Ibu sewaktu beliau melihat Bapak mengambil sendiri minumannya dari meja teh, kudengar Ibu membantah dengan kalem tapi tegas, “Biar sajalah, Bu. Bukan hanya dia yang capek. Ratih juga merasakannya. Kami sama-sama bekerja seharian dan sama-sama pula mengendarai mobil dari kantor ke rumah melalui jalan-jalan yang sama macetnya,” katanya (Sardjono, 2002 : 141).
Ratih juga merupakan sosok perempuan yang cerdas dan bertanggung
jawab dalam pekerjaannya.Sebagai dosen senior, Ratih dicalonkan sebagai
dekan.Selain itu, Ratih termasuk dosen favorit di kampus.Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (17) sebagai berikut.
(17) Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai keberadaannya. Bahkan menurut kabar angin, Ibu termasuk salah seorang yang dicalonkan sebagai dekan. Selain itu, saat ini Ibu juga termasuk dosen favorit, karena banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi (Sardjono, 2002 : 145).
Ratih sering marah ketika melihat suaminya hanya memperhatikan
burung-burung perkututnya dan tidak membantu Ratih menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga. Ratih tidak suka melihat suaminya bermalas-malasan. Menurut
Ratih, suami-istri memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara
Ratih dan suaminya dalam kutipan (18) sebagai berikut.
(18) “Istri jungkir-balik mengurus rumah tangga, kok bisa-bisanya ada yang lebih suka mengobrol dengan burung,” katanya. Mbok ya ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
sedikit pengertian to, Pak. Ini hari Minggu, mestinya kan bisa kupakai untuk sedikit bersantai dan mengistirahatkan semua badanku yang pegal ini (Sardjono, 2002 : 154).
Ratih sering berkonflik dengan suaminya.Ratih tidak pernah menerima
pendapat suaminya terkait dengan pekerjaan perempuan dan laki-laki. Ratih
marah ketika suaminya memandang rendah pekerjaan perempuan. Hal tersebut
dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih dan suaminya dalam kutipan (19)
sebagai berikut.
(19) “Tetapi apa?” sambar Ibu tanpa memberikan kesempatan kepada Bapak untuk menyelesaikan perkataannya. “Dengar, Pak, laki-laki yang merasa malu memegang pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh perempuan, itu sama artinya dengan merendahkan perempuan itu sendiri. Sebab menurut Bapak, hanya perempuan yang pantas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rendah sebagaimana Bapak pikirkan. Sekarang Ibu tanya, di mana sebenarnya letak kehinaan itu?” (Sardjono, 2002 : 155).
Ratih termasuk orang yang keras kepala. Ratih melakukan protes ketika
suaminya tidak membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ratih tidak
peduli dengan pekerjaan yang belum diselesaikannya. Ratih membantah semua
perkataan suaminya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (20) sebagai berikut.
(20) Tidak kudengar jawaban Bapak. Entah mungkin menyadari kebenaran perkataan Ibu, entah karena enggan beradu kata dengan Ibu yang sedang keluar galaknya itu, aku tak tahu. Sebab biasanya kalau Ibu sedang galak begitu, apa pun perkataan Bapak akan disambarnya dengan gesit (Sardjono, 2002 : 156-157).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Ratih tidak pernah memperlihatkan perasaan cintanya kepada
suaminya.Ratih juga tidak pernah menunjukkan sikap mesra dan manja kepada
suaminya tetapi sebenarnya Ratih mencintai suaminya.Ratih menangis ketika
suaminya memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Ratih dan Gading dalam kutipan (21) sebagai
berikut.
(21) “Kemarin-kemarin ibu memang merasa gengsi untuk mengakui bahwa Ibu telah terkalahkan oleh kenyataan pahit ini, bahkan Ibu juga begitu tinggi hati untuk tidak menunjukkan pada siapa pun, termasuk kepada anak-anak, bahwa Ibu telah dikhianati. Tetapi ternyata Ibu salah. Dan sayangnya sudah terlambat bagi ibu untuk memperbaikinya. Gading, Bapakmu baru saja menikahi perempuan itu...” Tangis Ibu semakin keras. Bahunya sampai berguncang-guncang (Sardjono, 2002 : 181).
Ratih yang kuat dan tegar, tidak berdaya menghadapi kenyataan.Ratih
ternyata menjadi lemah karena cinta.Harga diri, kebanggaan, dan pribadinya yang
utuh telah dihancurkan oleh satu-satunya orang yang Ratih cintai.Masalah yang
terjadi tidak membuat Ratih terus bersedih.Ratih mampu menggunakan rasionya
untuk menyelesaikan masalah.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (22) sebagai
berikut.
(22) Aku tahu betul, Ibu bukan orang yang emosional dan juga bukan orang yang pendendam. Beliau pasti akan mendengarkan seluruh perkataan dan pengalamanku bersama Bapak petang ini dengan pikiran yang jernih (Sardjono, 2002 : 216).
Ratih mulai memperbaiki sikap-sikapnya yang terlalu dominan. Ratih
mulai memahami dan mengerti suaminya. Ratih bahkan berusaha untuk memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
kerelaan dalam diri untuk menerima perbedaan yang ada. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Ratih dan Gading dalam kutipan (23) sebagai
berikut.
(23) “Kau sudah melihat sendiri contoh konkret dalam kehidupan kedua orang tuamu belum lama ini. Bahwa bagaimana Bapak dan Ibu yang saling mencintai saja pun bisa menemui jalan buntu karena adanya perbedaan visi kehidupan. Perlu adanya pemahaman, pengertian, kerelaan, dan penerimaan dari masing-masing pihak untuk menjembatani perbedaan-perbedaan.” Aku mencerna perkataan Ibu dan melihat tanda-tanda penurunan derajat kekerasan hatinya terhadap Bapak (Sardjono, 2002 : 223-224).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Ratih adalah
seorang perempuan yang dingin, tertutup, dan termasuk dominan dalam keluarga
namun lembut dan perhatian kepada anak-anaknya, tegas, cerdas, bertanggung
jawab dalam pekerjaan, keras kepala dan tegar. Ratih juga termasuk perempuan
yang tidak pendendam dan mampu menggunakan rasio dalam menyelesaikan
masalah.
2.1.1.3 Gading
Gading adalah perempuan yang berwajah cantik, berpendidikan tinggi,
keturunan bangsawan, dan memiliki karier yang bagus. Karena kecantikan dan
kesuksesannya, Gading disenangi oleh Mas Hari, keturunan bangsawan Solo yang
masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Gading. Gading tidak mencintai
pria itu bahkan Gading membencinya. Gading masih mencintai Mas Yoyok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
meskipun mereka sudah putus dan tidak pernah bertemu selama enam tahun.
Kebencian Gading memuncak ketika Mas Hari mau membawa keluarganya untuk
melamar Gading. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (24) sebagai berikut.
(24) Aku mengertakkan gerahamku dengan diam-diam. Enak saja Mas Hari mau membawa keluarganya untuk melamarku tanpa bertanya lebih dulu padaku apakah aku setuju atau tidak dan apakah aku menyukai dia atau tidak. Seperti apakah aku ini di matanya? Atau seperti apakah perempuan di mata laki-laki itu? Makanan? Enak saja dia berkata kepada Eyang, “menginginkanku” untuk dijadikan istri seolah aku ini bukan subjek, bukan manusia. Tetapi sebuah objek. Ah, tidakkah Eyang memahami itu? (Sardjono, 2002 : 62).
Gading termasuk keturunan Jawa yang masih dididik dalam budaya Jawa
karena komitmen keluarga besarnya. Gading lahir dan dibesarkan serta bersekolah
di kota metropolitan sehingga budaya lain memepengaruhinya. Dia tidak hanya
bergaul dengan orang sesuku saja tetapi dengan berbagai macam orang dan latar
belakang budaya serta status sosial. Gading melihat, pada dasarnya mereka semua
datang dari latar budaya yang sama bagusnya dan ikut mempengaruhi pola
pikirnya. Hal ini yang menyebabkan Gading tidak mau dijodohkan dengan Mas
Hari.
Selain budaya suku lain ikut mempengaruhi pola pikir Gading, latar
belakang pendidikan formal yang ia terima di sekolah ikut membentuk
wawasannya. Hampir semua pengetahuan yang ia dapat di sekolah merupakan
ilmu-ilmu yang didapat dari negara-negara maju sehingga budaya Jawa yang
diterimanya sejak kecil ikut terpengaruh. Di perguruan tinggi, pikirannya diasah
untuk memiliki sikap kritis dan logika yang rasional sehingga tidak semua ajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Eyang Putri diterima. Gading juga tidak menerima begitu saja semua pengetahuan
yang dia dapat di luar karena ajaran-ajaran yang ia dapat di dalam keluarganya.
Gading gemar membaca sehingga dia disebut kutu buku.Kesukaannya
membaca bermula dari Pakde Bambang, kakak ibunya.Kegemarannya semakin
bertambah sampai sekarang.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (25) sebagai
berikut.
(25) Dari beliaulah kecintaanku membaca tumbuh dengan suburnya. Maka kalau Pakde Bambang disebut “kutu buku tua”, aku disebut “kutu buku muda” oleh keluarga besar kami. Aku paling senang menginap di rumahnya. Ruang kerjanya penuh dengan rak berisi pelbagai macam buku menarik yang membuat iri orang (Sardjono, 2002 : 74).
Pada usianya yang masih tergolong muda, Gading memiliki pemikiran
yang jarang dimiliki perempuan seusianya. Gading bersikap tenang dan bijaksana
berusaha menyatukan orang tuanya yang hampir bercerai. Gading masih mampu
berbicara dengan sangat tenang meskipun ia sedih dengan keputusan Bapak.
Pemikiran dan perkataan Gading mampu membuat Bapak memutuskan untuk
tidak menikah dengan perempuan lain. Bapak merasa bangga memiliki anak
seperti Gading.Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Bapak dan
Gading dalam kutipan (26) sebagai berikut.
(26) “Tidak. Di balik godaan itu Bapa sangat merasa bangga bahwa ternyata Bapak mempunyai seorang anak perempuan yang semakin dewasa, semakin arif pemikirannya. Semua hal yang kita bicarakan tadi bukanlah sesuatu yang ringan, tetapi kau membicarakannya dengan pikiran yang matang untuk gadis seusiamu” (Sardjono, 2002 :214).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Gading merasa bahwa sekarang adalah perkembangan kedewasaannya,
baik lahir maupun batin. Gading berharap pembicaraannya dengan Bapak dapat
menyelamatkan mereka dari hal-hal yang buruk.Gading terpaksa
mengikutsertakan kedua adiknya agar mereka membantunya menyatukan Ibu dan
Bapak.Usaha merekaberhasil. Bapak memutuskan hubungannya dengan
perempuan lain.
Hubungan Gading dengan Ratih, ibunya, sangat dekat sehingga Gading
juga dekat dengan Eyang Putri. Gading termasuk cucu yang tidak pernah bosan
bicara dan bertanya tentang banyak hal kepada Eyang Putri. Eyang Putri dan
Ratih banyak memberikan pengetahuan hidup kepada Gading. Ajaran kedua orang
tersebut diolah menjadi nilai-nilainya sendiri yang ia yakini kebenarannya untuk
dijadikan pegangan hidup. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (27) sebagai
berikut.
(27) Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan karena sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka akupun juga cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tidak pernah merasa bosan mengobrol dan bertanya ini-itu padanya. Dengan demikian, dari kedua perempuan terdekatku itulah aku banyak menimba pengetahuan hidup (Sardjono, 2002 : 222).
Gading adalah perempuan yang kritis sehingga dia tidak begitu saja
menerima semua ajaran yang ia dapat dan pelajari. Gading belajar mengolah
semua yang ia dapat agar sesuai dengan hati nuraninya. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (28) sebagai berikut.
(28) Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. Dan meskipun aku tumbuh dewasa di antara dua pola pikir yang berasal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dari dua generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri (Sardjono, 2002 : 222).
Gading terlibat pembicaraan dengan Eyang Putri dan Ratih, Ibunya.Eyang
Putri mendesak Gading untuk memikirkan pernikahannya. Menurut Eyang Putri,
tidak baik seorang perempuan belum juga menikah. Hal itu akan berdampak
buruk bagi adik perempuannya, Mayang. Gading membantah dan mengatakan
bahwa dia tidak keberatan jika Mayang mendahuluinya untuk menikah.Gading
memiliki pendirian yang kuat.Ucapan Gading mendapat protes keras dari Eyang
Putri tapi Gading tetap pada pendiriannya.Hal tersebut dapat dilihat melalui
percakapan antara Gading dan Eyang Putri dalam kutipan (29) sebagai berikut.
(29) “Mayang dan Ndaru tahu pendirian Gading, Yang,” aku menyela. “Seandainya mereka lebih dulu mendapat jodoh, ya silahkan saja duluan menikah. Gading tidak apa-apa kok. Sungguh.” Eee, itu tidak baik. Tidak baik, nduk. Ora ilok, pamali. Seorang kakak, apalagi kakak perempuan, ya harus menikah lebih dulu. Jangan sampai dilangkahi adik. Ingat-ingat itu. Jangan dilanggar kalau segala sesuatunya ingin berjalan dengan baik dan tertata secara harmonis (Sardjono, 2002 : 291).”
Pada suatu sore, di sebuah pertokoan, tanpa sengaja Gading bertemu
dengan Ida, sahabatnya sejak sekolah. Ida adalah adik kandung Mas Yoyok.
Gading terkejut dan tidak mampu melihat wajah Ida yang mirip Mas Yoyok. Ida
mengajak Gading menghadiri acara ulang tahun mamanya tetapi Gading menolak
karena tidak ingin merusak suasana dalam keluarga Ida. Ida tidak putus asa. Ida
memaksa Gading untuk datang ke acara pertunangannya. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Gading dan Ida dalam kutipan (30) sebagai
berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
(30) “Aduh Gading, ini namanya kebetulan. Aku akan menikah tahun depan. Tetapi karena pacarku harus menunaikan suatu tugas kantor di luar negeri selama satu setengah tahun, kami akan bertunangan dulu. Tepatnya pada dua minggu mendatang. Kau harus datang lho. Tidak boleh tidak (Sardjono, 2002 : 229)!”
Gading bingung akan menghadiri pertunangan Ida dengan siapa. Gading
tidak ingin terlihat canggung.Gading memutuskan untuk mengajak
Mandaru.Mandaru tidak bersedia menemani Gadingsehingga Gading terpaksa ke
rumah Ida bersama Mas Hari. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (31) sebagai
berikut.
(31) Apa boleh buat. Maka akhirnya dengan sangat berat hati terpaksalah aku pergi bersama Mas Hari. Seandainya tidak ingat pada surat ancaman Ida, seribu kali lebih baik bagiku kalau aku tinggal di rumah saja dan bersembunyi di kamarku daripada pergi berduaan dengan lelaki itu (Sardjono, 2002 : 241).
Gading tidak menyukai Mas Hari. Dia tidak pernah bicara baik-baik
dengan Mas Hari. Gading berharap Eyang Putri tidak menjodohkannya dengan
Mas Hari. Gading tidak bisa berbuat apa-apa. Hari ini Gading harus bersamaMas
Hari ke acara pertunangan Ida.
Gading tidak mampu menahan emosinya di rumah Ida. Setiap sudut
ruangan mengingatkannya pada saat dia masih berpacaran dengan Mas Yoyok.
Mereka sering duduk berduaan di sudut halaman. Gading merasa tersiksa. Seluruh
kenangan itu teringat kembali.Gading kaget karena Mas Yoyok ada di rumahnya.
Mas Yoyoktiba di Jakarta satu minggu yang lalu, tepat pada hari ulang tahun
mamanya. Gading yang biasanya pandai menguasai keadaan dan pandai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
mengarahkan orang melalui kata-katanya, hanyadiam. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (32) sebagai berikut.
(32) Dan goblok, bego, serta memalukan, aku menambahi perkataan Mas Yoyok di dalam hati. Aku sungguh marah kepada diriku sendiri karena tak mampu menguasai keadaan. Ke manakah segala kemampuanku yang konon menurut atasanku adalah wartawan yang paling pandai mengarahkan orang melalui kata-kataku (Sardjono, 2002 : 247).
Setelah percakapan yang panjang, Gading memutuskan pulang.Gading
terlibat pembicaraan dengan Mas Hari dalam perjalanan menuju rumah. Mereka
membahas masalah perempuan. Gading tidak suka dengan perkataan Mas Hari
yang merendahkan kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilihat melalui
percakapan antara Gading dan Mas Hari dalam kutipan (33) sebagai berikut.
(33) ”Setega itu kau kepada kaum ibumu sendiri, Mas!” Darahku mulai naik ke ubun-ubun. Serendah itu Mas Hari merendahkan kaum perempuan. Sungguh menjijikkan dia. ”Di mana letak tanggung jawabmu Mas? Kasihan betul anak kalian (Sardjono, 2002 : 267)!”
Gading tidak terpengaruh dengan rayuan Mas Hari. Gading memang
sosok perempuan yang dingin dan tak mudah tergoda oleh laki-laki. Bahkan
Gading tetap pada pendiriannya, tidak ingin diperistri Mas Hari. Hal tersebut
dapat dilihat melalui percakapan antara Gading dan Mas Hari dalam kutipan (34)
sebagai berikut.
(34) ”Aku tak berminat belajar mencintaimu, Mas. Tidak sekarang dan tidak nanti. Kalaupun nantinya aku akan menikah, pasti tidak denganmu. Jelas?” Mas Hari terdiam. ”Kedengarannya kau termasuk perempuan frigid, Dik Gading,” dia bergumam. ”Mungkin saja tapi kalau memang iya, lebih baik begitu daripada sebaliknya (Sardjono, 2002 : 270-271).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Gading benar-benar sosok perempuan yang berpendirian. Ketika didesak
oleh Mas Hari, Gading melawan. Mas Hari berusaha mencium dan meraba-raba
tubuh Gading, tetapi Gading dengan sekuat tenaga melawan dan berniat
berteriak. Mas Hari takut dan akhirnya mengalah.Gading menjunjung tinggi
harkat dan martabatnya.Gading menjaga kehormatannya. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Gading dan Mas Hari dalam kutipan (35)
sebagai berikut.
(35) ”Mas, kalau kau tidak melepaskan pelukanmu, aku akan berteriak sekeras-kerasnya. Pasti akan ada orang yang menolongku di sekitar sini,” ancamku dengan sengit sambil terus berusaha melepaskan diri dari pelukannya.”Dan aku tidak akan mau lagi bertemu denganmu selamanya. Aku serius. Bukan cuma menggertak saja (Sardjono, 2002 : 272)!”
Gading menolak Mas Hari bukan karena dia tidak mencintai Mas Hari
saja, tetapi karena Gading masih mencintai Mas Yoyok, meskipun hubungan
mereka telah lama putus. Gading memiliki perasaan yang tulus kepada Mas
Yoyok sehingga sampai sekarang tidak ada laki-laki yang mampu membuat
Gading jatuh cinta lagi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (36) sebagai berikut.
(36) ”Aku tidak bisa mencintai orang lain karena pada kenyataannya sampai hari ini aku masih mencintai Mas Yoyok, meskipun hubungan kami terputus bertahun-tahun yang lalu....(Sardjono, 2002 : 276)”
Gading memilih sendiri daripada menjalin hubungan dengan orang lain.
Gading lebih suka mengurus kariernya daripada hal-hal menyangkut asmara. Apa
yang didapatkannya sekarang memerlukan perjuangan. Gading mulai dari bawah.
Gading mengingat pengalaman di lapangan tentang bagaimana menjalin relasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
dengan responden, dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik dari dunia hiburan
maupun dari dunia akademis. Gading belajar terus dan membaca untuk
menambah pengetahuan. Menurut Gading, pengetahuan dapat membantu tulisan
dan opini Gading sehingga ia mampu berbicara dengan berbagai tingkat
pendidikan maupun strata sosial.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gading adalah
perempuan yang berwajah cantik, berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan,
memiliki karier yang bagus, gemar membaca, memiliki pemikiran yang maju
dalam usianya yang tergolong masih muda dan kritis. Gading juga pandai
mengarahkan orang dengan kata-kata tetapi ketika berhadapan dengan Mas
Yoyok, Gading hanya diam. Gading merupakan sosok perempuan yang tidak suka
direndahkan oleh kaum laki-laki. Gading juga memiliki pendirian yang sangat
kuat dan menjunjung tinggi kehormatannya. Gading lebih memilih berkarier
daripada memikirkan urusan cinta.
2.1.2 Tokoh Lawan
2.1.2.1 Eyang Kakung
Eyang Kakung adalah pangeran muda dari keraton Surakarta. Eyang
Kakung sudah memiliki beberapa selir sebelum memperistri Eyang Putri.Pada
masa mudanya, Eyang Kakung sangat gagah, tampan, dan disukai oleh banyak
perempuan. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Eyang Putri dan
Gading dalam kutipan (37) sebagai berikut.
(37) Eyang tidak mau terluka, Eyang tidak mau dihantui oleh perasaan-perasaan tidak menyenangkan seperti cemburu, persaingan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
semacamnya. Sebab Eyang Putri maklum sekali bahwa Eyang Kakungmu itu sangat gagah, tampan, dan digandrungi perempuan-perempuan (Sardjono, 2002 : 99).”
Eyang Kakung beruntung mendapatkan istri seperti Eyang Putri, tetapi
Eyang kakung tidak pernah menghargai pengorbanan Eyang Putri. Eyang Kakung
menyia-nyiakan Eyang Putri. Selain memiliki selir-selir, Eyang Kakung juga
selingkuh dengan perempuan lain. Eyang Kakungtidak memahami perasaan
Eyang Putri. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (38) sebagai berikut.
(38) Bayangkanlah bagaimana seorang perempuan cantik, muda, dan cerdas seperti Eyang Putri, yang kalau menilik kemampuannya dia bisa hidup mandiri, harus memberikan kesetiaannya dan pengabdiannya kepada seseorang yang tidak pernah menghargai pengorbanannya. Eyang kakung bukan hanya mempunyai selir-selir yang kemudian dinikahinya, tetapi juga sering bermain dengan perempuan lain tanpa memahami bagaimana perasaan istrinya (Sardjono, 2002 : 126).”
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat citra Eyang Putri yang rela
berkorban demi suaminya, Eyang Kakung.
Eyang Kakung memiliki hartaseperti kuda, burung perkutut, dan beberapa
ayam aduan. Eyang Kakung memiliki harta yang cukup untuk membiayai hidup
keluarga besarnya, tetapi tidak cukup untuk biaya sekolah semua anaknya sampai
ke perguruan tinggi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (39) sebagai berikut.
(39) Gaji Eyang Kakung memang mampu membiayai hidup keluarga besarnya, yaitu seorang istri, dua selir, dan tiga belas anak. Tapi untuk biaya sekolah anaknya sampai ke perguruan tinggi, jelas itu tidak akan mencukupi (Sardjono, 2002 : 77).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Eyang Kakung tidak memiliki biaya sehingga ia tidak mengijinkan anak-
anaknya kuliah. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih,
Gading, dan Mayang dalam kutipan (40) sebagai berikut.
(40) ”Ibu rasa alasan Eyang Kakung menghalangi Ibu kuliah, selain karena masalah keuangan, juga disebabkan karena pada bude kalian itu agak terlambat menikah gara-gara menyelesaikan kuliah dulu. Dengan kata lain, Eyang kakung menganggap kuliah bagi perempuan hanya buang-buang waktu dan uang saja (Sardjono, 2002 : 133).”
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Eyang Kakung
adalah sosok pria keturunan bangsawan Solo yang tampan, gagah, dan sangat
disukai oleh banyak perempuan. Eyang kakung tidak bisa menghargai
pengorbanan istrinya. Eyang kakung tidak mampu bertanggung jawab sebagai
kepala keluarga.
2.1.2.2 Bapak
Bapak adalah sosok laki-laki yang lembut, sabar, dan lebih suka mengalah.
Bapak menikah dengan Ratih dan menjalani kehidupan rumah tangga selama tiga
puluh dua tahun. Bapak mendapat ajaran kuno namun sangat relevan dengan
keadaan sekarang, yaitu sebisanya menghindari konflik terbuka demi
keharmonisan relasi antarmanusia. Sikap Bapak inilah yang membuat Ratih,
istrinya selalu bersikap dominan dalam rumah tangga.
Sikap Bapak itu tidak memperlihatkan kelemahan, tetapi memperlihatkan
kekuatan batinnya. Bapak mampu memegang suatu prinsip yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
terkontaminasi keadaan apa pun. Bapak tetap teguh memegang prinsip hidupnya.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (41) sebagai berikut.
(41) Kalau sifat-sifat yang diperlihatkan oleh ibu ditandingi oleh Bapak, wah, apa jadinya rumah tangga mereka. Namun, menurut pikiranku, sikap Bapak itu bukan memperlihatkan kelemahan, tetapi justru memperlihatkan kekuatan batinnya. Sebab menurutku pula, hanya orang yang lemahlah yang mudah terpengaruh situasi dan kondisi yang ada. Bahkan menurutku, Bapak justru mampu memegang suatu prinsip yang tidak terkontaminasi keadaan apa pun. Bapak tetap berpegang teguh pada prinsip hidupnya (Sardjono, 2002 : 140).
Bapak adalah pensiunan salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Setiap
tiga kali seminggu, Bapak ke kantor karena tenaganya masih dibutuhkan dan
memiliki saham di dalam perusahaan. Ketika pembantu harus pulang kampung,
pekerjaan rumah menumpuk. Bapak tahu bahwa Gading dalam keadaan sakit
tetapi Bapak tidak membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bapak tidak
pengertian. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (42) sebagai berikut.
(42) Terus terang, hatiku juga mendongkol. Bahkan diam-diam kusetujui aksi mogok yang sedang dilakukan oleh ibuku. Betapa tidak? Sudah tahu aku dalam keadaan sakit, Bapak tidak juga mau mengerti bahwa pekerjaan rumah tangga itu berat karena tidak ada hentinya. Dan beliau tetap saja merasa tidak sepantasnya ikut campur di dalamnya (Sardjono, 2002 : 158-159).
Kehidupan rumah tangga Bapak dan Ratih penuh dengan keributan. Bapak
selalu mengalah ketika terjadi masalah. Bapak menjalin hubungan dengan
perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap Ratih. Perasaan Bapak kepada
perempuan lain itu merupakan protes terhadap Ratih. Keinginan Bapak untuk
menjadikan perempuan lain sebagai istriadalah protes untuk menunjukkan kepada
Ratih bahwa Bapak bisa melakukan hal yang besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Sikap Bapak menunjukkan bahwa Bapak tidak dewasa. Bapak masih
berpikiran pendek karena membiarkan diri dalam masalah dan berkutat dengan
sudut pandang Bapak sendiri. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (43) sebagai
berikut.
(43) Besar kuberi tanda kutip di sini, sebab kalau dipikir-pikir lebih lanjut, Bapak ini agak kekanakan dan kejam. Tetapi yah, kadang-kadang laki-laki dewasa, bahkan juga laki-laki yang sudah cukup makan asam garam kehidupan pun, masih saja berpikir pendek karena membiarkan diri tenggelam dalam masalahnya dan berkutat dengan sudut pandangnya sendiri sampai tidak melihat sisi-sisi yang lain yan harus dilihat (Sardjono, 2002 : 206).”
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat citra diri Ratih yang dominan
dalam keluarga.
Bapak menyadari kesalahan yang dilakukannya. Bapak berusaha
memperbaiki kesalahannya. Bapak lebih memperhatikan tiap-tiap orang di rumah.
Bapakberinisiatif untuk memperlihatkan kebersamaannya di dalam keluarga. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (44) sebagai berikut.
(44) Aku melirik Ibu dengan diam-diam. Belakangan ini, Bapak lebih banyak memperhatikan tiap-tiap orang di rumah ini. Dan juga ada saja inisiatifnya untuk memperlihatkan kebersamaannya di dalam keluarga ini (Sardjono, 2002 : 297).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Bapak adalah
seorang laki-laki yang lembut, sabar, dan lebih suka mengalah.Bapak adalah
pensiunan salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Bapak kurang pengertian dan
menganggap bahwa laki-laki tidak pantas melakukan pekerjaan perempuan.
Bapak melakukan pengkhianatan terhadap Ratih dengan cara berselingkuh tapi
pada akhirnya Bapak menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.1.2.3 Mas Hari
Mas Hari adalah pria berusia tiga puluh empat tahun dan masih keturunan
bangsawan Solo. Mas Hari masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
Gading. Dari segi fisik, Mas Hari termasuk laki-laki yang tampan dan gagah
bahkan perlente. Gaya hidup Mas Hari masih bersifat konservatif, khususnya
mengenai kebebasan pribadi manusia. Mas Hari masih menerapkan gaya hidup
leluhurnya. Mas Hari juga masih suka meniru-niru gaya hidup para bangsawan,
terutama raja-raja di masa lalu yang mempunyai beberapa orang istri dan selir.
Mas Hari belum beristri tetapi memiliki seorang selir yang cantik.
Mas Hari menggunakan ketampanan, materi, dan kebangsawanannya
untuk memperlakukan perempuan yang memiliki status sosial lebih rendah
sebagai objek kesenangan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (45) sebagai
berikut.
(45) Tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk menaruh respek terhadap seorang laki-laki yang dengan ketampanan, uang, dan darah ningratnya untuk memperlakukan perempuan yang memiliki status sosial lebih rendah sebagai objek kesenangan sebagai tempat dia bisa bermanja dan mendapat kemudahan dalam pelbagai bentuk pelayanan (Sardjono, 2002 : 59).
Mas Hari termasuk pria yang pandai mengambil hati. Dia bisa bergaul
dengan teman-teman sebayanya bahkan dengan orang tua. Mas Hari juga pandai
membuat suasana lebih santai. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara Eyang Putri dan Gading dalam kutipan (46) sebagai berikut.
(46) Ya. Cukup sering juga dia datang, Nduk. Laki-laki itu sungguh menawan hati. Dengan teman sebaya, dia bisa bergaul. Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
orang tua seperti Eyang, dia juga bisa mengobrol berlama-lama. Pokoknya, dia pandai menghangatkan suasana. Para buruh pabrik juga senang kok kepadanya (Sardjono, 2002 : 284)!”
Mas Hari sangat menginginkan Gading menjadi istrinya. Mas Hari
menghubungi Gading setiap hari. Mas Hari menggunakan telepon kantor untuk
urusan pribadi yang sama sekali tidak penting. Sikapnya tidak terpuji dan tidak
bertanggung jawab. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (47) sebagai berikut.
(47) Di mana sih suara hatinya sampai bisa-bisanya dia mempergunakan telepon kantor untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak penting. Tidak sadarkah dia bahwa perbuatannya itu bisa merugikan perusahaan tempatnya bekerja dan merugikan pula orang yang diajaknya bicara (Sardjono, 2002 : 58).
Mas Hari suka menggoda Gading. Setiap kali menelpon, dia mengucapkan
kata-kata rayuan. Selain itu, Mas Hari tidak mampu menghargai perempuan. Ia
hidup bersama perempuan yang tidak dinikahinya. Mas Hari tidak memiliki
kesadaran moral. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih dan
Gading dalam kutipan (48) sebagai berikut.
(48) ”Tidak usah putar-putar, Bu. Bilang saja pada Gading bahwa Mas Hari itu sudah hidup bersama perempuan yang tidak dinikahinya. Jadi Gading harus hati-hati terhadap laki-laki yang kurang memiliki kesadaran moral dan kurang pula rasa tanggung jawabnya (Sardjono, 2002 : 168).
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat jelas citra diri Gading yang tidak
setuju dengan poligami. Dapat dilihat juga keteguhan hati Gading untuk tidak
menikah dengan Mas Hari.
Mas Hari bukan saja mencintai Gading. Dia suka memaksakan
kehendaknya kepada Gading. Mas Hari menganggap cinta itu berhubungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dengan hal-hal yang bersifat fisik. Mas Hari menjadi nekat apabila keinginannya
tidak tercapai. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (49) sebagai berikut.
(49) Ah, alangkah dangkalnya pengertian cinta bagi Mas Hari. Tampaknya perasaan seperti itu selalu dikaitkannya dengan hal-hal yang lebih bersifat jasmaniah belaka (Sardjono, 2002 : 272).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Mas Hari adalah
seorang bangsawan yang memanfaatkan kelebihannya untuk mempermainkan
perempuan. Meskipun Mas Hari bisa menghangatkan suasana, sikapnya tidak
terpuji dan tidak bertanggung jawab. Dia tidak perduli dengan orang lain. Mas
Hari menggunakan fasilitas kantor hanya untuk hal-hal yang tidak penting. Dia
suka menggoda dan menganggap cinta hanya berhubungan dengan hal-hal fisik
saja.
2.1.3 Tokoh Bawahan
2.1.3.1 Mas Yoyok
Mas Yoyok adalah sosok laki-laki yang menarik dan dewasa. Setelah
pulang kuliah dari London, kulitnya tampak bersih. Matanya sangat indah. Setiap
kali tersenyum, mata Mas Yoyok seakan ikut tersenyum. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (50) sebagai berikut.
(50) Ah, betapa menariknya Mas Yoyok sekarang. Memang benar, aku sudah membayangkannya, karena biasanya semakin seseorang lelaki tampak dewasa, akan semakin menarik dia. Tetapi bahwa daya tariknya tampak begitu menonjol, aku sama sekali tidak memperhitungkannya. Kulitnya tampak bersih, mungkin karena dia terbiasa di udara dingin di London. Ada bekas rambut kehijauan yang sangat menarik di atas bibir dan sisi pipinya. Ya Tuhan, ingin sekali aku mengelusnya. Betapa menawannya dia, penuh percaya diri yang menandai kematangan pribadinya (Sardjono, 2002 : 248).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Mas Yoyok menyelesaikan S-1 di Jakarta kemudian kuliah lagi di London,
di bidang lain untuk S-1 dan kemudian dilanjutkan ke S-2. Semuanya dibiayai
kantornya. Mas Yoyok adalah pekerja keras dan pandai menabung. Waktu jadi
mahasiswa di luar, Mas Yoyok bekerja untuk mencari tambahan uang saku.
Selama enam tahun Mas Yoyok terus menabung.
Mas Yoyok pernah mengalami pasang surut ketika terjadi kerusuhan bulan
Mei di London. Mahasiswa Indonesia dimaki-makiorang. Mereka berpikir bahwa
orang Indonesia adalah bangsa yang biadab. Mas Yoyok dan kawan-kawannya
sering berpura-pura menjadi orang Asia lain agar bisa mendapat pekerjaan. Mas
Yoyok pulang ke Indonesia membawa uang yang cukup sehingga mampu
membeli sebuah mobil. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Mas
Yoyok dan Gading dalam kutipan (51) sebagai berikut.
(51) ”Itu hasil simpananku. Waktu jadi mahasiswa di luar sana, aku bekerja untuk mencari tambahan uang saku. Enam tahun bukan waktu sebentar bagiku untuk terus menabung. Memang pernah aku mengalami pasang surut. Terutama waktu terjadi kerusuhan Mei di sini. Jadi singkatnya, meskipun tidak mudah, toh aku pulang ke Indonesia dengan uang yang lumayan besar. Sebagian bisa untuk membayar uang muka cicilan mobil ini (Sardjono, 2002 : 357).”
Mas Yoyok sangat setia. Dia tidak membuka hatinya untuk perempuan
lain. Banyak wanita cantik di London tapi dia tidak memilih satu pun
untukdijadikan kekasih. Mas Yoyok tidak mencari pengganti meskipun telah putus
dengan Gading. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Gading dan
Ida dalam kutipan (52) sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
(52) ”Ya, memang. Biarpun di sana dia mempunyai banyak peluang untuk berkenalan dengan cewek bule yang cantik, tetapi hatinya tak bergerak (Sardjono, 2002 : 231).”
Mas Yoyok masih beranggapan bahwa perempuan harus menjadi ibu
rumah tangga jika sudah menikah. Mas Yoyok tidak menyukai perempuan yang
berkarier. Hubungan Mas Yoyok dan Gading berakhir karena anggapannya itu.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (53) sebagai berikut.
(53) Membicarakan relasi hubungan suami-istri, pikiranku mulai lagi melayang kepada Mas Yoyok. Laki-laki itu tidak begitu menyukai perempuan yang berkarier sendiri selain sebagai ibu rumah tangga. Hubungan kami berdua retak berat karena masalah ini sehingga sampai sekarang aku tak pernah lagi mengetahui kabar beritanya (Sardjono, 2002 : 225).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat jelas citra diri Gading yang tetap
teguh memegang prinsipnya. Gading memilih mengakhiri hubungannya dengan
Mas Yoyok daripada harus berumah tangga dan diam di rumah saja.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Mas Yoyok
adalah laki-laki menarik dan dewasa, memiliki mata yang indah, pekerja keras,
pandai menabung, setia dan tidak mudah tergoda oleh perempuan cantik. Mas
Yoyok memiliki pemikiran bahwa pekerjaan terbaik bagi perempuan setelah
menikah adalah sebagai ibu rumah tangga, bukan perempuan karier.
2.1.3.2 Ida
Ida adalah sahabat Gading. Mereka banyak memiliki kesamaan. Ida pernah
satu sekolah dengan Gading. Hubungan mereka menjadi sangat akrabsetelah
Gading dan kakak kandung Ida, Mas Yoyok, berpacaran. Ketika hubungan Gading
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
dan Mas yoyok mulai retak, Ida tidak pernah bertemu dengan Gading. Gading
menghindar dari Ida. Pada suatu saat, Ida bertemu dengan Gading. Gading heran,
karena Ida semakin cantik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (54) sebagai
berikut.
(54) Ida adalah adik kandung Mas yoyok. Kami sebaya. Dia pernah satu sekolah denganku, tetapi hubungan kami menjadi semakin akrab dan manis setelah aku dan kakaknya menjalin cinta. Aku tertegun, takjub menghadapi Ida yang tiba-tiba sudah ada di depanku. Gadis itu tambah cantik dan mengaitkan dugaanku pada kakaknya (Sardjono, 2002 : 227).
Ida menyayangi Gading. Ida selalu ingin tahu urusan Gading karena
mereka sahabat akrab. Ida selalu menggoda Gading dalam situasi apa pun. Itulah
cara Ida menunjukkan keakrabannya.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (55)
sebagai berikut.
(55) Ida tertawa sambil menepuk pipiku. Kebiasaan buruknya itu belum hilang juga rupanya. Tetapi aku menyukai caranya menunjukkan keakraban itu (Sardjono, 2002 : 255).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat jelas citra diri Gading yang baik
sehingga sahabatnya, Ida tetap menyayanginya meskipun mereka terpisah lama.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Ida adalah
sahabat akrab Gading. Ida adalah pribadi yang menyenangkan dan tidak pernah
melupakan sahabat. Ida mampu membuat suasana lebih hangat walaupun sudah
terpisah lama dengan Gading.
2.1.3.3 Mayang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Mayang adalah sosok perempuan yang berusia dua puluh lima tahun.
Mayang adalah adik kandung Gading. Mereka sangat akrab. Mayang sering
bertukar pikiran dengan ibunya, Ratih dan kakaknya, Gading. Mayang kuliah di
salah satu universitas di Jakarta. Mayang masih polos. Mayang sangat lama
menangkap maksud ibunya ketika terlibat pembicaraan dengan Ratih dan Gading.
Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, dan Mayang
dalam kutipan (56) sebagai berikut.
(56) ”Tongkat apa itu, Bu?” Mayang menjinjitkan alis matanya. Kedua bola matanya dipenuhi rasa ingin tahu. ”Yang pertama, tongkat komando kepemimpinan. Kedua, tongkat komando sebagai pembuat kebijakan. Ketiga, tongkat komando sebagai pengambil keputusan. Keempat, tongkat komando sebagai penentu tata dan aturan. Dan yang kelima...” Ibu menghentikan sesaat perkataannya, kemudian sambil tersenyum beliau menyambung bicaranya. ”Yang kelima, kalian tentu sudah tahu apa itu.” Apa itu, Bu?” aku dan Mayang hampir secara bersamaan melontarkan pertanyaan itu. Mendengar pertanyaan kami yang meluncur hampir secara serentak itu senyum Ibu tambah lebar. ”Ibu lupa kalau kalian masih gadis-gadis hijau,” gumamnya kemudian. ”Begini, tongkat yang kelima itu adalah tongkat yang selalu dibawanya ke mana-mana.” Untuk sejenak lamanya aku mencerna kata-kata Ibu sampai akhirnya ketika menyadari apa yang dimaksud oleh Ibu tadi, aku mulai tertawa geli. Melihat itu Mayang melirikku. ”Apanya yang lucu sih, Mbak?” dia menggerutu karena belum tahu apa yang sudah masuk ke dalam pikiranku itu. Aku terpaksa menjelaskannya dengan rinci. Mayang mengerutkan dahinya sejenak, kemudian tertawa geli. Sekarang dia sudah tahu, rupanya. ”Idih, jorok!” (Sardjono, 2002 : 137-138)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat jelas citra diri Ratih yang
menyayangi dan perhatian kepada anak-anaknya. Selain itu, dapat dilihat juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
citra diri Gading yang bisa diajak bertukan pikiran dengan anggota keluarga
lainnya.
Ketika Mayang mengetahui perselingkuhan ayahnya, Mayang tidak
membenci ayahnya. Mayang bekerja sama dengan kakak dan adiknya untuk
menyatukan kembali kedua orang tuanya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Mayang adalah
sosok perempuan berusia dua puluh lima tahun yang masih polos dan baik.
Mayang bukan orang yang suka mendendam. Ia ingin keluarganya utuh sehingga
bekerja sama dengan kakak dan adiknya untuk mempersatukan kedua orang
tuanya.
2.1.3.4 Mandaru
Mandaru adalah anak bungsu Ratih. Mandaru termasuk laki-laki yang
pandai menyimpan uang. Ia sangat hemat dan selalu menabung uang jajannya.
Mandaru juga sering mencari keuntungan dari kakaknya, Gading. Hal tersebut
dapat dilihat melalui percakapan antara Mandaru dan Gading dalam kutipan (57)
sebagai berikut.
(57) Mandaru tertawa. Tahu betul dia kalau obat pegal yang kumaksud adalah uang. Pemuda itu paling suka mengumpulkan uang. Hampir semua uang sakunya dimasukkannya ke bank. Untuk itu dia sering membujukku agar memberinya uang. Apalagi kalau aku baru gajian. Karena aku tahu dia sangat hemat dan pandai menyimpan uang, permintaan itu sering kululuskan. Aku bahkan sangat bangga mempunyai adik seperti dia. Sebab anak-anak sebayanya biasanya cuma tahu menghambur-hamburkan uang sehingga belum sampai habis bulan, sudah tidak punya uang lagi. ”Berapa jumlahnya, Mbak?” tanya adikku sambil tersenyum nakal. ”Aku tidak mengira akan mempunyai adik yang mata duitan sepertimu, Ndaru!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Mendengar gerutuanku, Mandaru tertawa. Kemudian menepuk lembut pipiku (Sardjono, 2002 : 236).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat jelas citra diri Gading yang baik
dan pengertian kepada adiknya.
Meskipun sifatnya acuh tak acuh, Mandaru termasuk laki-laki yang kritis
dan suka memperhatikan kehidupan sosial di sekelilingnya. Mandaru
mengeluarkan pendapat yang sangat kritis dan masuk akal ketika terlibat
pembicaraan dengan Eyang Putri, Ratih, Gading, dan Mayang. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, Mayang, dan Mandaru dalam
kutipan (58) sebagai berikut.
(58) ”Lagi pula, kalau perempuan ingin mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki, maka mereka juga harus memperlihatkan kemampuan yang sama pula,” Mandaru yang sejak tadi hanya menjadi pendengar dan cuma tersenyum-senyum saja itu mulai ikut bicara. ”Jangan sampai terjadi, perempuan minta diberi hak dan kesempatan yang sama, tetapi minta diistimewakan hanya karena dia perempuan!”
”Misalnya apa, Ndaru?” Mayang tertarik pada omongan adiknya. ”Yah misalnya perempuan-perempuan yang bekerja di pabrik.
Mereka ingin mendapat upah yang sama dan perlakuan yang sama dengan buruh laki-laki. Tetapi kalau hal itu diberlakukan, sebagai konsekuensinya mereka seharusnya mendapat giliran atau aplusan kerja malam, tapi mereka minta diistimewakan dengan antar-jemput mobil. Padahal pekerja laki-lakinya tidak. Nah, bagaimana itu?” Aku tertawa. Kritis juga adikku itu (Sardjono, 2002 : 293-294).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Mandaru adalah
anak bungsu Ratih yang hemat dan pandai menyimpan uang. Mandaru sering
mencari keuntungan dari kakaknya, Gading. Meskipun Mandaru bersifat acuh,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
tetapi ia sangat kritis dan memperhatikan kehidupan bermasyarakat di
sekelilingnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merangkum keseluruhan penokohan
sebagai berikut. Eyang Putri digambarkan sebagai tokoh perempuan yang
memiliki sifat kontradiktif. Eyang Putri mampu mengangkat martabat perempuan
lewat perannya sebagai istri yang membantu suaminya membiayai keluarganya
meskipun Eyang Putri hidup dalam zaman yang masih menganggap bahwa
perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Ratih digambarkan sebagai tokoh perempuan yang mandiri, dominan, dan
menganggap perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Ratih sangat
keras dan menganggap suaminya lemah tetapi Ratih sadar dengan perbuatannya
selama ini. Ratih mampu menghargai keberadaan suaminya dalam keluarga.
Gading adalah tokoh perempuan yang kritis dan pandai. Gading mampu
mengolah semua pengetahuan yang ia dapat. Gading juga beranggapan bahwa
laki-laki dan perempuan itu sama. Ia lebih memilih melanjutkan karier daripada
memikirkan urusan cinta.
Eyang Kakung digambarkan sebagai laki-laki yang tampan tetapi tidak
menghargai keberadaan perempuan. Eyang Kakung tidak mampu bertanggung
jawab sebagai kepala keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat
yang lebih tinggi.
Bapak digambarkan sebagai sosok yang lembut dan selalu mengalah.
Bapak beranggapan bahwa pekerjaan dalam rumah tidak pantas dikerjakan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
laki-laki. Bapak mengkhianati istrinya, Ratih. Bapak akhirnya menyadari
kesalahannya dan berusaha memperbaiki rumah tangganya yang hampir hancur.
Mas Hari digambarkan sebagai lelaki tampan dan gagah tetapi tidak
memiliki tanggung jawab. Mas Hari selalu memaksakan kehendaknya kepada
Gading. Mas Hari memiliki pandangan yang picik mengenai arti cinta. Ia
memaksa untuk menikahi Gading tetapi pada akhirnya menyadari dan menerima
keputusan Gading untuk tidak menikah dengannya.
Mas Yoyok digambarkan sebagai laki-laki yang matang dan memiliki mata
yang indah. Mas Yoyok termasuk laki-laki yang suka bekerja keras dan pandai
menabung. Ia tidak menyukai perempuan yang suka berkarier. Baginya, setelah
menikah, perempuan lebih pantas hidup di rumah dan mengurus anak-anak.
Ida digambarkan sebagai sosok perempuan yang baik dan menyenangkan.
Ia memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sahabatnya. Ida masih tetap menjadi
sahabat yang baik meskipun sudah terpisah jauh dengan sahabatnya.
Mayang digambarkan sebagai sosok perempuan yang masih polos dan
tidak mendendam. Mayang sangat senang bertukar pikiran dengan Ratih dan
Gading.
Mandaru digambarkan sebagai sosok laki-laki yang pandai menyimpan
uang dan hemat. Mandaru sering mencari keuntungan dari kakaknya, Gading.
Mandaru termasuk laki-laki yang acuh dan tidak banyak bicaratetapi kritis dan
memperhatikan kehidupan sosial di sekelilingnya
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, penulis menyimpulkan tokoh dan
penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
berikut. Tokoh utama (protagonis)adalah Eyang Putri, Ratih, dan Gading. Tokoh
lawan (antagonis)adalah Eyang Kakung, Bapak, dan Mas Hari.Tokoh bawahan
adalah Mas Yoyok, Ida, Mayang, dan Mandaru yang berfungsi mendukung
keseluruhan cerita.
Dengan memahami keseluruhan unsur tokoh dan penokohan tersebut
diharapkan penulis dapat menganalisis citra perempuan tokoh utama dalam novel
Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono pada Bab III.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
BAB III
ANALISIS CITRA PEREMPUAN TOKOH UTAMA DALAM
NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN KARYA MARIA A. SARDJONO
Setelah novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono dianalisis
unsur tokoh dan penokohannya dalam bab II, maka hasil analisis tersebut
selanjutnya akan digunakan untuk membantu penulis dalam menganalisis citra
perempuan tokoh utama yaitu tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading. Analisis
yang dimaksud dalam hal ini adalah semua gambaran spiritual dan tingkah laku
keseharian tokoh-tokoh tersebut.
Pembahasan mengenai citra perempuan tokoh ini akan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu citra diri perempuan yang beraspek fisik dan psikis dan citra sosial
perempuan yang beraspek keluarga dan masyarakat. Berikut ini akan dipaparkan
hasil analisis citra perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading dalam novel
Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
3.1 Citra Diri Perempuan
Citra diri perempuan terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai
pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-
kebutuhan pribadi maupun sosialnya. Perempuan mempunyai kemampuan untuk
berkembang dan membangun dirinya berdasarkan pada pola pilihannya sendiri.
Perempuan bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai makhluk individu.
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Citra diri perempuan memperlihatkan bahwa apa yang dipandang sebagai
perilaku wanita bergantung pada bagaimana aspek fisis dan psikis diasosiasikan
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Sugihastuti, 2000 : 113).
Berikut ini akan dipaparkan citra diri perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan
Gading dalam aspek fisik dan psikis.
3.1.1 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Fisik
Citra diri perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading dalam aspek
fisik merupakan hal yang akan diteliti dalam subbab ini.
3.1.1.1 Eyang Putri
Keadaan fisik tokoh Eyang Putri dapat mendukung kejelasan identitas
citra diri perempuan tokoh tersebut. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana
keadaan fisik tokoh Eyang Putri.
Pada masa mudanya, Eyang Putri berwajah sangat cantik dan termasuk
salah satu primadona di kampungnya. Eyang Putri disukai bukan hanya dari
kalangan rakyat jelata tapi juga para bangsawan.Eyang Putri dilamar oleh
pangeran muda dari keraton Surakarta. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (59)
sebagai berikut.
(59) Dari apa yang pernah diceritakan oleh ibuku atau oleh saudara-saudara ibuku, nenekku dulu termasuk perempuan rupawan dan menjadi salah satu bunga di kampungnya. Ayahnya adalah seorang bangsawan tinggi keraton Solo. Ibunya anak saudagar batik yang kaya dari keluarga bukan bangsawan (Sardjono, 2002 : 22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Kecantikan yang dimiliki Eyang Putri masih tetap terlihat di usianya yang
sudah delapan puluh empat tahun. Hidungnya mancung, dagunya lancip, dan
bibirnya mungil. Sekarang kulit wajah dan tubuhnya sudah keriput. Rambutnya
berwarna putih dan mulai tampak jarang, sehingga sebagian kulitnya terlihat. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (60) sebagai berikut.
(60) Diam-diam aku menarik napas panjang. Kutatap sisi wajah nenekku itu. Hidungnya mancung, dagunya konon disebut sebagai lebah bergantung, dan bibirnya yang mungil itu masih tampak jelas. Namun sayangnya, kulit yang membalut hidung dan mulut itu telah berkerut semua. Dan rambutnya yang dulu pasti indah dan tebal kini hampir semuanya telah berubah putih dan mulai tampak jarang sehingga sebagian kulitnya tampak membayang (Sardjono, 2002 : 37).
Eyang Putri masih memiliki penglihatan yang awas dan tajam meskipun
sudah tua. Selain itu, suaraEyang Putri masih terdengar tegas. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (61) dan (62) sebagai berikut.
(61) Kaca matanya nyaris melorot ke ujung hidungnya. Sementara matanya yang masih tampak awas untuk orang seusianya menyambar tajam ke arahku melalui bagian atas gagang kaca matanya (Sardjono, 2002 : 8).
(62) Aku menarik napas panjang lagi untuk yang kedua kalinya. Bukan
main awasnya penglihatan peremuan tua itu. Dan bukan main pula tegas dan tajamnya suaranya (Sardjono, 2002 : 9).
Eyang Putri memiliki ciri khas. Eyang Putri selalu memakai kain
batikyang berbau harum. Setiap kali dicuci, kain batik tersebut diasapi dengan
ratus, sehingga setiap kali Eyang Putri berjalan, aroma yang harum dan lembut
tercium dari kainnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (63) sebagai berikut.
(63) … Seperti misalnya bau-bauan yang tersiar dari tubuh dan kain batiknya. Nenekku itu selalu memakai kain batik yang setiap kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
selesai dicuci dengan lerak dan daun dilem yang harum baunya, selalu diasapi dengan ratus. Ketika Eyang mengenakan kain itu, setiap kali ia melangkahkan kakinya, setiap kali pula aromanya yang lembut tersiar keluar dari kainnya (Sardjono, 2002 : 53).
Aroma bedak yang dipakai Eyang Putri juga khas. Eyang Putri membuat
bedak sendiri dari bahan-bahan alami seperti rempah-rempah. Bedak yang dibuat
sendiri oleh Eyang Putri beda dengan bedak-bedak modern. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (64) sebagai berikut.
(64) … Begitu pun aroma khas bedak yang dipakainya. Bedak yang dibuatnya sendiri itu terbuat dari tepung beras, bunga rampai yang terdiri dari pelbagai bunga dan rempah-rempah, kemudian dibulat-bulat kecil dan ditaburi irisan lembut daun pandan, melati, dan mawar yang kemudian dijemur sampai kering (Sardjono, 2002 : 53-54).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara fisik,
Eyang Putri adalah perempuan cantik yang sudah berusia delapan puluh empat
tahun tetapi masih terlihat cantik. Rambutnya berwarna putih dan mulai tampak
jarang, sehingga sebagian kulitnya terlihat. Matanya masih awas dan tajam,
suaranya juga masih terdengar tegas. Eyang Putri selalu menggunakan kain batik
yang berbau harum dan bedak buatan sendiri yang beda dengan bedak-bedak
modern.
3.1.1.2 Ratih
Keadaan fisik tokoh Ratih dapat mendukung kejelasan identitas citra diri
perempuan tokoh tersebut. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana keadaan fisik
tokoh Ratih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Ratih adalah perempuan berusia lima puluh tahun yang wajahnya terlihat
cantik. Matanya bercahaya sehingga tampak lebih muda. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (65) sebagai berikut.
(65) Aku tertegun. Kutatap wajah ibuku karena aku mendengar nada yang meletup-letup dalam suaranya. Kulihat, wajah perempuan yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun itu tampak bersemangat ketika berbicara. Pada saat seperti itu, wajahnya terlihat cantik sekali, sebab dengan matanya yang bercahaya ia jadi tampak lebih muda (Sardjono, 2002 : 121).
Kecantikan tokoh Ratih memikat banyak laki-laki. Pada masa mudanya,
ada dua orang pemuda yang benar-benar jatuh cinta kepadanya. Laki-laki yang
satu adalah lulusan akademi militer Magelang dan yang lainnya dokter muda.
Ratih tidak memilih salah satu dari mereka. Ratih memilih Bapak sebagai suami.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (66) sebagai berikut.
(66) … Eyang Putri pernah bercerita tentang dua orang pemuda yang jatuh cinta kepada Ibu sebelum akhirnya Ibu memilih Bapak. “Padahal dua pemuda itu sudah kelihatan akan menjadi orang penting di kemudian hari. Yang satu lulusan akademi militer Magelang. Yang satunya lagi, dokter muda. Dan di kemudian hari ternyatalah penglihatan Eyang waktu itu tidak salah (Sardjono, 2002 : 139).”
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara fisik
Ratih adalah perempuan berusia lima puluh tahun yang berwajah cantik, matanya
bercahaya sehingga tampak lebih muda. Ratih dicintai dua orang laki-laki tetapi
Ratih memilih Bapak sebagai suaminya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
3.1.1.3 Gading
Keadaan fisik tokoh Gading dapat mendukung kejelasan identitas citra
diri perempuan tokoh tersebut. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana keadaan
fisik tokoh Gading.
Gading adalah perempuan berusia dua puluh delapan tahun yang
wajahnya sangat cantik. Ketika Gading menjadi wartawan, kecantikannya
bertambah dua kali lipat. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara
Gading dan Ida dalam kutipan (67) sebagai berikut.
(67) “Ah, kau bercanda. Kecantikanmu kini dua kali lipat daripada yang terakhir kulihat dulu. Masa iya sih tidak ada yang berharap bisa membawamu masuk ke dalam perkawinan?” Sambil berkata seperti itu Ida mencubit pipiku, seperti kebiasaannya dulu (Sardjono, 2002 : 229).
Tangan Gading sangat halus dan jari-jarinya juga indah. Keindahan jari-
jari Gading membuat Mas hari sangat suka kepadanya. Mas Hari ingin sekali
berangkat ke Jakarta untuk menemui Gading. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(68) sebagai berikut.
(68) “Aku kangen sekali padamu, Dik Gading. Rasanya aku ingin sekali terbang lagi ke Jakarta hanya untuk merasakan masakan yang kausiapkan dengan tanganmu yang halus berjari indah bagai duri landak itu. Kalau aku datang ke kotamu, tolong dimasakkan seperti itu lagi, ya (Sardjono, 2002 : 116)?”
Gading sangat senang memakai kalung dan giwang imitasi berlapis emas
bermata merah. Gading selalu menggunakan perhiasan tersebut dipadu dengan
sepatu dan tas yang senada apabila ada pesta di kantor atau hajatan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Gading terlihat sangat dewasa dan cantik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(69) sebagai berikut.
(69) Malam itu aku memakai gaun beludru polos berwarna merah hati tanpa lengan, dengan model klasik yang tak pernah usang. Kukenakan kalung dan giwang imitasi berlapis emas bermata merah yang kubeli di Pasar Raya. Sepatu dan tasku senada dengan kalung dan giwangku. Sejak pertama kali kukenakan pada pesta kantor dan kemudian juga di pesta keluarga, selalu saja orang memberi komentar yang menyenangkan hatiku. Begitu pun petang itu ketika aku keluar dari kamar, Bapak dan Ibu mengatakan hal yang serupa. “Kau tampak cantik sekali, Gading!” Begitu secara hampir bersamaan Bapak dan Ibu memujiku (Sardjono, 2002 : 237).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara fisik,
Gading adalah perempuan berusia dua puluh delapan tahun yang cantik,
tangannya halus, dan jarinya indah. Kecantikannya semakin menonjol, ketika
Gading menggunakan perhiasan, sepatu, dan tas senada, sehingga banyak orang
yang memujinya.
3.1.2 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Psikis
Citra diri perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading dalam aspek
psikis merupakan hal yang akan dikaji dalam subbab ini.
3.1.2.1 Eyang Putri
Dalam aspek psikis, citra diri perempuan tokoh Eyang Putri digambarkan
sebagai perempuan dewasa yang memiliki perasaan dan kepribadian yang sangat
baik. Gambaran perasaan dan kepribadian tokoh Eyang Putri terlihat melalui
tingkah laku dirinya setiap hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Tokoh Eyang Putri memiliki kesabaran dalam menghadapi Eyang Kakung,
suaminya. Ia menerima semua perlakuan Eyang Kakung. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (70) sebagai berikut.
(70) Dari budeku, kakak ibuku yang kedua, aku mendengar nenekku melakukan seluruh kewajibannya sebagai istri dan ibu tanpa banyak mengeluh kendati membesarkan tujuh orang anak dengan suami yang tidak selalu ada di tempat bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Bahkan menurut budeku itu, eyangku pernah mengalami kesulitan melahirkan pada saat suaminya baru saja mengambil selir baru sesudah memulangkan yang lama (Sardjono, 2002 : 29).
Eyang Putri adalah istri yang sangat pasrah. Ia menjalani hidupnya dengan
santai. Seakan-akan masalah-masalah yang dihadapinya sudah semestinya terjadi.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (71) sebagai berikut.
(71) Sulit membayangkan bagaimana perempuan tua yang masih kuat dan memiliki sikap keras pernah mengalami kehidupan sepahit itu. Tak bisa pula kumengerti bagaimana nenekku bisa menjalani kehidupannya dengan pasrah, seolah memang sudah semestinya itu terjadi di jalan kehidupannya. Hari-hari yang berlalu dilayarinya sebagai air mengalir dari hulu ke muara. Dibiarkannya sang suami membagikan dirinya ke istri dan selir-selirnya yang lain, sampai tiba pada gilirannya kembali (Sardjono, 2002 : 30).
Eyang Putri tidak peduli dengan kenyataan buruk yang terjadi dalam
hidupnya. Ia sangat kuat. Eyang Putri tidak pernah memperlihatkan wajah sedih
apalagi sampai menangis. Eyang Putri menangis karena terharu ketika anak-
anaknya berhasil dalam pendidikan atau ketika mereka menikah dan
memberikannya cucu. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (72) sebagai berikut.
(72) … Namun setidaknya dari mereka, aku mengetahui bahwa Eyang Putri tidak pernah memperlihatkan air muka yang keruh dan wajah yang murung. Apalagi menangis. Kalaupun pernah menitikkan air mata, itu adalah tangis haru ketika anak-anaknya berhasil dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
pendidikan atau ketika mereka menikah dan kemudian memberinya cucu-cucu (Sardjono, 2002 : 28).
Menurut Eyang Putri, perasaan cinta sejalan dengan persaingan dan
kecemburuan.Hal itu bisa menyakitkankarena penuh dengan perasaan tidak yakin
terhadap masa depan, ketidaktentraman, kegelisahan, penantian, harapan tidak
terpenuhi, dan terutama ketakutan akan ditinggalkan. Eyang Putri tidak pernah
mengungkapkan perasaan cintanya kepada laki-laki. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (73) sebagai berikut.
(73) Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tidak pernah berani mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang meskipun orang itu adalah suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan, karena penuh dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, ketidakpercayaan diri, ketidaktentraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi, dan terutama ketakutan akan ditinggalkan (Sardjono, 2002 : 32).
Eyang Putri menjunjung tinggi ajaran Jawa yang diterimanya dari orang
tuanya. Ajaran itu diterapkan dalam kehidupannya dan diturunkannya kepada
anak cucunya. Eyang Putri tidak bisa menerima perubahan-perubahan yang
terjadi. Eyang Putri tidak setuju jika perempuan mempunyai hak untuk memilih
pasangan hidupnya. Eyang Putri percaya perempuan yang harus dipilih oleh laki-
laki meskipun dalam hubungan rumah tangga akan banyak ketidakcocokan.
Menurut Eyang Putri, hubungan suami-istri tidak semuanya cocok dan tugas
kaum perempuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut. Eyang Putri
beranggapan bahwa kaum perempuan diberikan penalaran lebih mendalam dan
mampu menyaring persoalan secara lebih cermat. Ia selalu saja menempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
kaum perempuan di bawah kaum laki-laki. Baginya, laki-laki memiliki
superioritas yang tidak dimiliki oleh perempuan. Hal tersebut dapat dilihat melalui
percakapan antara Eyang Putri dan Gading dalam kutipan (74), (75), (76), (77),
dan (78) sebagai berikut.
(74) “Ah, kau itu lho, Gading!” Suara lembut yang kudengar tadi sudah berubah nadanya, menjadi lebih keras.“Eyang tadi bilang, kamu itu mbok jangan terlalu memilih dan menimbang-nimbang. Memilih, menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang akan dipilih (Sardjono, 2002 : 8).”
(75) “Katakanlah, antara kau dan Hari memang tidak ada kesesuaian
dalam beberapa hal. Tetapi itu kan wajar. Sebab mana ada sih suami-istri yang cocok segala-galanya,” katanya lagi. “Lagi pula kau harus ingat, Nduk, bahwa tugas kaum perempuanlah untuk bisa menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada di antara suami-istri (Sardjono, 2002 : 11).”
(76) “Dunia ini akan menjadi kacau-balau apabila semua manusia yang
hidup di dalamnya mempunyai persamaan di segala hal dan sama-sama pula mau menang sendiri. Kalau tidak ada yang mau mengalah, kalau tidak ada yang bersikap pasrah, lalu akan seperti apa jadinya dunia ini (Sardjono, 2002 : 70)!”
(77) “Sadarilah bahwa kita kaum perempuan ini dianugerahi Allah
dengan penalaran lebih dalam dan mampu pula menyaring persoalan secara lebih cermat (Sardjono, 2002 : 19).”
(78) Sejak dulu, Eyang Putri selalu saja menempatkan kaum perempuan
di bawah kaum laki-laki. Baginya, laki-laki memiliki superioritas yang tidak dimiliki oleh perempuan (Sardjono, 2002 : 19).”
Karena ajaran-ajaran yang diterimanya itu, Eyang Putri mampu
menghadapi setiap kesulitan dalam hidup dengan pasrah dan tabah. Menurut
Eyang Putri, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah
dan mampu membuat semuanya seimbang, baik hubungan dengan Tuhan, sesama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
maupun diri sendiri. Bagi Eyang Putri, sikap itu tidak dimiliki oleh laki-laki. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (79) sebagai berikut.
(79) Seperti yang Eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan harus rela menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebab menurut ajaran yang diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri. Suatu sikap yang harus dikuasai mereka melebihi kemampuan laki-laki untuk hal yang sama. Sebab laki-laki tidak perlu memperhitungkan kehadiran sesama yang berjenis perempuan sebagai makhluk yang memiliki tataran setara (Sardjono, 2002 : 27).
Salah satu ajaran yang diterapkan Eyang Putri turun-temurun adalah olah
batin dan olah jasmani. Olah batin adalah menghindari nafsu amarah, serakah,
cemburu, dengki, mudah curiga tanpa alasan, dan benci sedangkan olah jasmani
adalah semua hal menyangkut kegiatan sehari-hari, tidak boleh berlebihan, harus
secukupnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (80) sebagai berikut.
(80) “Olah batin itu adalah menghindari nafsu amarah, serakah, cemburu, dengki, mudah curiga tanpa alasan, benci, dan lain sebagainya. Olah jasmani adalah nafsu-nafsu yang berkaitan dengan kesenangan tubuh. Kata eyangmu, kita hidup ini bukan untuk makan, tapi makan untuk hidup. Artinya, makan itu jangan rakus, jangan dipuas-puaskan, tetapi secukupnya kebutuhan. Maka berhentilah sebelum kenyang, sebab selebihnya hanyalah akan menjadi sampah di tubuh kita dan bisa menjadi penyakit. Lalu jangan manjakan diri untuk selalu dilayani, tetapi lakukanlah sendiri apa yang bisa kita lakukan. Tidurlah kalau mengantuk, tetapi jangan tidur karena mengikuti keinginan untuk bermalas-malasan (Sardjono, 2002 : 38).”
Semua ajaran Eyang Putri diterapkan dalam kehidupannya sendiri. Eyang
Putri bisa merasa bahagia meskipun suaminya tidak selalu bersamanya. Eyang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Putri selalu mencoba untuk tetap eling, waspada, nrimo, dan tidak banyak
menuntut yang tidak mungkin dituntut. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (81)
sebagai berikut.
(81) “Seperti yang sudah Eyang katakan berulang kali, kebahagiaan batin itu bisa dicapai dengan cara mengendalikan perasaan. Maka kalau itu mengenai cinta, hendaklah jangan membiarkan diri kita terbius atau terhanyut oleh keindahan-keindahannya yang sebenarnya cuma semusim umurnya. Acap kali, orang merasa mabuk kepayang bukan kepada orang yang dicintainya, tetapi pada perasaan yang membalut cinta itu sendiri. Itulah salah satu resepnya mengapa Eyang bisa mencicipi arti bahagia. Eyang selalu mencoba untuk tetap eling, waspada, nrimo, dan tidak banyak menuntut yang tidak mungkin dituntut (Sardjono, 2002 : 44).”
Eyang Putri menganggap laki-laki dalam beberapa hal tidak dewasa.
Kaum perempuan yang harus melayani sehingga laki-laki merasa menjadi
makhluk yang lebih prima dan hebat. Eyang Putri tidak pernah merasa kalah
meskipun selalu berada di bawah laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat melalui
percakapan antara Eyang Putri dan Gading dalam kutipan (82) sebagai berikut.
(82) “Apa sih enaknya menjadi kaum laki-laki?” gumamnya sambil masih tersenyum. “Sebab ketahuilah, Nduk , laki-laki itu adalah makhluk yang dalam hal-hal tertentu tidak pernah menjadi dewasa. Kaum perempuanlah yang harus mengemong, melayaninya karena mereka tak mampu melakukannya sendiri, menatangnya terus-menerus dan menunjukkan jempol kepadanya agar mereka selalu merasa menjadi makhluk yang lebih prima dan hebat (Sardjono, 2002 : 48).”
Menurut Eyang Putri, kaum laki-laki diciptakan untuk menjadi pemenang
dan menempati tempat utama sementara perempuan tidak. Kaum perempuan
diberi suatu perasaan yang lebih lembut, lebih sabar, lebih panjang akalnya, dan
lebih mampu memakai wawasan serta pandangannya secara lebih mendalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
ketika menghadapi suatu situasi. Selain itu, Eyang Putri beranggapan bahwa kaum
laki-laki memiliki kekuatan tubuh yang lebih dibanding perempuan tetapi yang
lebih unggul adalah perempuan. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara Eyang Putri dan Gading dalam kutipan (83) dan (84) sebagai berikut.
(83) “Dengarkan dulu perkataan Eyang. Kaum laki-laki itu sudah diciptakan untuk menjadi pemenang, menjadi manusia yang harus menempati tempat utama. Lha kaum kita, tidak. Tetapi meskipun begitu, kita kaum perempuan ini diberi oleh alam suatu perasaan yang lebih lembut, lebih sabar, lebih panjang akalnya, dan lebih mampu memakai wawasan serta pandangannya secara lebih mendalam kalau menghadapi suatu situasi (Sardjono, 2002 : 71).”
(84) “Memamg sepintas kaum laki-laki memiliki kekuatan tubuh yang
lebih dibanding perempuan. Lihat saja bentuk tubuh kita yang serba lembut berliku-liku, sementara laki-laki tampak lebih berotot dan kuat. Tetapi, siapakah di antara kedua jenis kelamin manusia itu yang memakai otaknya lebih dulu? Perempuan, Nduk. Ya, perempuan. Sebab laki-laki lebih dulu memakai kekuatan tubuhnya daripada kemampuan otaknya (Sardjono, 2002 : 73).”
Eyang Putri selalu mengalah untuk menjaga keselarasan hidup meskipun
Eyang Putri memiliki kesempatan untuk meninggalkan Eyang Kakung. Hal
tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Eyang Putri dan Gading dalam
kutipan (85), (86), dan (87) sebagai berikut.
(85) “Dunia ini akan menjadi kacau-balau apabila semua manusia yang hidup di dalamnya mempunyai persamaan di segala hal dan sama-sama pula mau menang sendiri. Kalau ada yang mau mengalah, kalau tidak ada yang bersikap pasrah, lalu akan seperti apa jadinya dunia ini (Sardjono, 2002 : 70)!”
(86) “Ya,” nenekku menganggukkan kepalanya. “Mungkin saja begitu.
Tetapi yang pasti, kaum perempuan itu mengalah tidak berarti bahwa mereka itu terkalahkan. Tetapi mengalah demi keseimbangan dunia (Sardjono, 2002 : 75).”
(87) “Eyang menjalani kehidupan ini sebagaimana mestinya, seperti air
sungai yang bergerak dan mengalir ke muara, tanpa pernah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
memikirkan apakah itu suatu kemenangan ataukah suatu kelelahan. Sebab yang penting bagi Eyang, mengalah itu menciptakan kedamaian (Sardjono, 2002 :83).”
Eyang Putri menjodohkan Gading, cucunya, dengan Mas Hari. Meskipun
Gading menolak perjodohan itu, Eyang Putri tetap pada pendiriannya. Eyang Putri
tidak setuju dengan pilihan Gading, Mas Yoyok, karena Mas Yoyok bukan
keturunan bangsawan. Menurut Eyang Putri, Gading pantas menikah dengan Mas
Hari, karena mereka sama-sama keturunan bangsawan. Hal tersebut dapat dilihat
melalui percakapan antara Eyang Putri dan Gading dalam kutipan (88) sebagai
berikut.
(88) “Gading, Eyang sungguh-sungguh berharap supaya kau benar-benar mulai memikirkan masalah ini dengan pikiran yang panjang dan mendalam demi masa depanmu sendiri, agar kelak kau jangan sampai menyesal di belakang hari,” katanya kemudian. “Kau harus tahu, Gading, sudah dua kali keluarga Hari datang secara khusus untuk membicarakan hubungan kalian berdua. Meskipun itu bukan suatu lamaran yang resmi, tetapi mereka sangat serius menginginkan dirimu untuk bisa menjadi istri Hari. Hal itu sangat baik bagi kita semua, untuk semakin mempererat persaudaraan di antara kedua belah pihak keluarga. Sebab, meskipun keluarga Hari dan keluarga kita mempunyai hubungan darah, tetapi itu sudah jauh dan perlu adanya ikatan-ikatan penguat yang baru sebagai usaha nglumpukke balung pisah (mengumpulkan tulang-tulang yang terpisah-pisah). Lagi pula sudah jelas bobot, bibit, dan bebet kalian berdua berada pada derajat yang sama (Sardjono, 2002 : 14).”
Pendapat Eyang Putri bahwa Gading hanya pantas menikah dengan Mas
Hari berubah ketika Eyang Putri berbicara secara langsung dengan Mas Yoyok.
Eyang Putri sadar bahwa bukan kaum bangsawan saja yang memiliki tata krama.
Eyang Putri memutuskan untuk merestui hubungan Gading dengan Mas Yoyok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Eyang Putri dan Gading
dalam kutipan (89) sebagai berikut.
(89) “Bangunlah, Nduk. Usaplah air matamu. Eyang akan merestui pilihanmu. Sebab sudah Eyang perhatikan selama ini dari jauh bahwa Yoyok tidaklah sejelek perkiraan Eyang. Dan malam ini Eyang membuktikan betapa baiknya ajaran dan didikan budaya Jawa yang diberikan oleh keluarganya meskipun mereka bukan keturunan ningrat seperti kita (Sardjono, 2002 : 370).”
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra diri
perempuan tokoh Eyang Putri dalam aspek psikis tergambar sebagai perempuan
dewasa yang memiliki perasaan dan kepribadian yang baik. Selain itu, tokoh
Eyang Putri secara psikis digambarkan sebagai perempuan yang sangat sabar
menghadapi perlakuan suaminya, tabah, pasrah, kuat, dan keras.
Eyang Putri secara psikis telah melalui tahap-tahap pendewasaan diri.
Perilaku suaminya tidak membuat Eyang Putri bersedih dan putus asa. Ia
menerima dengan tabah semua yang dilakukan suaminya. Sebagai perempuan
Jawa, Eyang Putri sangat pengertian. Eyang Putri rela suaminya pergi ke selir-
selirnya sementara Eyang Putri berjuang membesarkan dan menyekolahkan tujuh
anaknya. Eyang Putri menempatkan kaum laki-laki di tempat paling utama tetapi
di sisi lain Eyang Putri menyadari keunggulan perempuan dan menganggap laki-
laki lemah. Eyang Putri selalu menganggap bahwa keturanan bangsawan lebih
unggul dibandingkan rakyat jelata, tetapi pemikirannya berubah ketika Eyang
Putri bertemu langsung dengan MasYoyok. Eyang Putri mengakui bahwa kaum
bangsawan dan rakyat jelata sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
3.1.2.2 Ratih
Dalam aspek psikis, citra diri perempuan tokoh Ratih digambarkan sebagai
perempuan dewasa yang memiliki perasaan dan kepribadian yang baik.
Gambaran perasaan dan kepribadian Ratih terlihat melalui tingkah laku dirinya
setiap hari.
Ratih termasuk perempuan yang mandiri dan keras hati. Hidup Ratih
penuh dengan pergolakan batin waktu kecil. Ratih melihat ketidakadilan yang
terjadi di rumahnya sendiri. Ayahnya memiliki banyak selir dan sering bermain-
main dengan perempuan lain. Ratih merasa kecewa karena kehidupan seperti itu
yang ia alami. Setiap hari ia menyaksikan kehidupan poligami. Ratih tidak ingin
berada di bawah dominasi kaum laki-laki karena trauma masa kecil. Baginya,
laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dan hak yang sama untuk
menentukan masa depan, bekerja, dan mengembangkan potensi diri. Hal tersebut
dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, dan Mayang dalam kutipan
(90), (91), dan (92) sebagai berikut.
(90) “Yah memang. Tetapi hendaknya kita juga jangan bosan-bosan memberinya pemahaman baru bahwa keberadaan perempuan, dalam arti eksistensinya sebagai seorang manusia atau individu, tidaklah berada di bawah dominasi siapa pun juga. Termasuk dominasi orang tua atau suaminya. Perempuan juga memiliki hak atas dirinya sendiri. Maka, seorang istri juga seorang individu merdeka yang memiliki kehendak bebas dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka pula eyangmu harus bisa memahami bahwa istri bukan perhiasan rumah, bukan pula termasuk salah satu inventaris rumah. Lebih-lebih lagi, seorang istri bukanlah tempat pembibitan untuk mendapatkan keturunan bagi laki-laki (Sardjono, 2002 : 120).”
(91) “Sungguh, Gading. Di zaman sekarang ini, di mana pola pikir
manusia sudah banyak yang berubah, kok ya ada orang-orang yang masih saja mengarahkan orientasi nilai pada apa-apa yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
semestinya masuk dalam kotak. Tetapi, mereka itu munafik. Sebab, bisa-bisanya mereka itu berseru-seru mengenai hak asasi manusia, berteriak-teriak pula mengenai makna kemerdekaan dan demokrasi, tetapi tidak mau melihat kenyataan yang ada di sekitar hidupnya sendiri. Terutama kepada para perempuan. Sikap mereka tetap saja diskriminatif dan seksis, tidak mau tahu bahwa perempuan juga mempunyai hak dan cita-cita sendiri. Bahwa, perempuan juga ingin merealisasikan potensi dan bakatnya. Bahwa pula perempuan juga manusia biasa yang mempunyai keterbatasan di saat masyarakat mengharuskan dia menjadi perempuan super yang bisa membagi diri ke dalam pelbagai peran. Ya sebagai ibu, sebagai istri, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai warga masyarakat setempat, sebagai karyawati atau apa pun kariernya di luar rumah, dan sebagai anak bangsa di suatu negara berikut segala kewajibannya (Sardjono, 2002 : 121).”
(92) “Ya, kau betul, Gading. Perempuan memang selalu berada di
tempat yang serba salah. Dia juga tidak banyak memiliki peluang atau kesempatan untuk menentukan diri sendiri secara utuh. Selalu saja dikaitkan dengan statusnya, selalu saja pula keberadaannya dikaitkan dengan identitas orang lain,” sambung Ibu dengan berapi-api. “Ketika masih kecil, orang mengaitkannya dengan ayahnya. Sesudah menikah, orang akan mengaitkannya dengan sang suami. Kalau suaminya ketua RT, Bu RT-lah dia. Kalau suaminya jendral, Bu Jendral-lah dia. Kalau suaminya menteri, Bu Menteri-lah dia. Dirinya sebagai seorang individu terkikis tanpa dia sadari (Sardjono, 2002 : 128).”
Ratih ingin melanjutkan sekolah setelah lulus SMA. Ayahnya
menyarankan Ratih untuk mengikuti kursus ketrampilan saja karena biaya kuliah
tidak ada dan beliau ingin Ratih segera menikah. Ratih protes keras, ia belum mau
menikah. Usia Ratih waktu itu belum delapan belas tahun. Ratih menolak
keinginan ayahnya mentah-mentah. Meski ia nantinya menikah dan harus sering
berada di rumah, ia tidak ingin pengetahuannya sempit. Perempuan mempunyai
kewajiban mendidik anak-anaknya sehingga Ratih tetap ingin melanjutkan
sekolah. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, dan
Mayang dalam kutipan (93) sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
(93) “Mungkin begitu. Sebab waktu melarang Ibu kuliah, Eyang Kakung berkata untuk apa kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma masuk dapur.” “Apa yang ibu katakan sebagai protes atas pemikiran yang sempit itu?” aku menyela lagi. “Banyak. Antara lain Ibu mengatakan bahwa perempuan meski terpaksa harus sering berada di rumah, hendaknya pengetahuan atau cakrawala jangan sesempit ruang dapurnya. Apalagi menurut akal sehat, perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama untuk membangun bangsa dan negara. Sedikitnya, mampu mendidik dan mengantar anak-anaknya ke gerbang kehidupan bermasyarakat dengan kualitas mental yang tinggi. Nah, dari mana dia mampu memberi bekal seperti itu kalau sekolahnya kurang tinggi? Kecuali tentu saja kalau biaya untuk kuliah memang betul-betul tidak ada (Sardjono, 2002 :133-134).”
Menurut Ratih, perempuan harus mandiri supaya tidak direndahkan laki-
laki. Perempuan harus mempunyai pengetahuan tinggi dan kemampuan untuk
bersikap mandiri agar tidak tergantung kepada laki-laki. Ratih tidak setuju dengan
anggapan orang bahwa perempuan harus mengalah demi tatanan alam semesta,
demi harmoni dengan orang-orang sekitar. Menurut Ratih, tatanan alam semesta
yang menyangkut individu dan kehidupannya harus dijaga oleh semua orang
bukan perempuan saja.
Ratih ingin kehidupan rumah tangganya juga adil. Ratih tidak melayani
suaminya seperti apa yang dilakukan oleh ibunya. Ratih ingin suaminya bisa
bekerja sama. Apa yang bisa dikerjakan sendiri, harus dikerjakan sendiri. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (94) sebagai berikut.
(94) Begitu pun ketika Eyang Putri menegur Ibu sewaktu beliau melihat Bapak mengambil sendiri minumannya dari meja teh, kudengar Ibu membantah dengan kalem tetapi tegas, “Biar sajalah, Bu. Bukan hanya dia yang capek. Ratih juga merasakannya. Kami sama-sama bekerja seharian dan sama-sama pula mengendarai mobil dari kantor ke rumah melalui jalan-jalan yang sama macetnya,” katanya. “Lagi pula dia tidak minta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dilayani, seperti orang yang tidak punya tangan dan kaki saja. Mas Hardi itu tidak seperti almarhum Bapak yang selalu minta dilayani dan menuntut perhatian Ibu (Sardjono, 2002 : 141-142)!”
Meskipun Ratih sibuk dengan profesinya sebagai dosen, ia masih
menyempatkan diri bangun pagi dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ratih merasa berat dan badannya seperti kaku. Ratih mulai menggerutu melihat
suaminya hanya memperhatikan burung peliharaannya. Ratih menyuruh suaminya
membantu, tapi suaminya membantah. Ratih tidak terima. Ia mulai menggurui
suaminya.
Ratih menjadi perempuan karier dan bersikap mandiri, kuat dan tegar.
Sikapnya itu merupakan strateginya supaya tidak dikalahkan oleh laki-laki. Ratih
ingin memperlihatkan kepada suaminya bahwa laki-laki dan perempuan itu setara
dalam segala hal. Ratih menunjukkan kepada suaminya bahwa ia mampu
menyelesaikan segala urusan yang ada tanpa harus minta tolong kepada suaminya
tersebut. Ratih juga menginginkan suaminya melakukan hal-hal yang bisa
dilakukannya sendiri tanpa bantuan istri, seperti mengatur dan menyediakan
sendiri pakaian dalam atau mengambil makanannya. Hal tersebut dapat dilihat
melalui percakapan antara Ratih dan suaminya dalam kutipan (95) sebagai
berikut.
(95) “Ibu tidak mengungkit-ungkit. Ibu hanya membeberkan fakta. Apabila Bapak kerepotan menyejahterakan keluarga, maka sebagai istri, Ibu merasa wajib untuk membantu karena kita sudah komitmen untuk sama-sama membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedikitpun tidak ada keterpaksaan dalam hatiku, sebab Ibu merasa bahagia bisa menambah kesejahteraan keluarga, dan juga dapat mengamalkan ilmu buat orang lain. Tetapi kalau Ibu kerepotan, Bapak merasa tidak pantas, merasa hina untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
membantu Ibu di rumah. Di mana letaknya keadilan (Sardjono, 2002 : 156)?”
Ratih beranggapan bahwa cinta itu indah tapi dia tidak ingin terbawa di
dalamnya. Ratih tetap menyadari bahwa kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu
indah. Ratih tetap bersikap realistis dan rasional. Ratih tidak suka melihat
perempuan menangis. Ratih beranggapan bahwa menangis adalah tanda
kelemahan. Ratih tidak pernah menangis di depan orang. Ketika Ratih mengetahui
perselingkuhan suaminya dengan perempuan lain, Ratih menangis. Hal tersebut
dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih dan Gading dalam kutipan (96),
(97), dan (98) sebagai berikut.
(96) Kuulurkan tanganku dan kugenggam telapak tangan perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini. Terasa dingin. “Ibu sungguh-sungguh mencintai Bapak?” tanyaku pelan. Kalau suaraku tidak kupelankan, pasti aku sudah terisak-isak. “Tentu saja. Ibu tidak akan mau menikah dengan laki-laki yang tidak Ibu cintai.” “Sampai sekarang Ibu masih mencintai Bapak?” “Ya, pasti. Dari mana pikiran yang membuatmu meragukan hal itu?” “Ibu tidak pernah memperlihatkan perasaan cinta Ibu kepada Bapak. Ibu juga tidak pernah menunjukkan sikap mesra dan bermanja-manja kepada Bapak. Terus terang Gading sering bertanya-tanya sendiri mengenai hal itu.” “Sayang, Ibu tidak seperti eyangmu yang tidak berani mencintai Eyang Kakung. Ibu mencintai ayahmu dengan cara Ibu sendiri, tidak harus dengan selalu bersikap mesra dan bermanja-manja (Sardjono, 2002 : 179).”
(97) Dan sekarang, Ibu menangis. Padahal bagi Ibu, tangis identik
dengan kelemahan. Oleh sebab itu perasaanku benar-benar tak enak sehingga aku berdiri lama di depan pintu tanpa harus berbuat apa. Dengan gelisah aku berdiri di muka pintu seperti patung. Tetapi akhirnya aku tidak tahan juga. Kuketuk pintu kamar ibuku pelan-pelan dan hati-hati (Sardjono, 2002 : 173).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
(98) Ah, Ibu. Ia yang begitu keras hati, dominan, dan mandiri, serta mampu menanggulangi pelbagai macam persoalan rumah tangga dan keluarga itu, kini tampak lesu tak berdaya. Hatiku terasa nyeri memandangi punggung perempuan itu. Dia yang begitu kuat dan tegar ternyata menjadi rapuh juga oleh cinta. Harga dirinya, kebanggaannya, dan seluruh dirinya sebagai pribadi yang utuh telah diinjak-injak oleh seseorang yang justru merupakan satu-satunya lelaki yang ia cintai dengan sepenuh hati (Sardjono, 2002 : 186).
Ratih sangat mencintai suaminya. Tidak ada laki-laki lain dalam hidupnya.
Meskipun demikian, Ratih tetap teguh dengan prinsip hidupnya yaitu perkawinan
tunggal. Ratih tidak setuju dengan hidup poligami. Ratih tetap konsekuen dengan
suara hati dan penilaian moral dalam batinnya. Ratih memutuskan untuk cerai
dengan suaminya ketika suaminya akan menikah lagi. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (99) sebagai berikut.
(99) “Ibu mencintai Bapak dengan caranya sendiri. Tetapi Gading tahu betul, Ibu sangat mencintai Bapak. Tak ada laki-laki lain dalam hidupnya. Meskipun demikian, betapapun besar cinta Ibu kepada Bapak, tetapi dengan kenyataan seorang perempuan lain telah menyela dalam perkawinannya, tidak mengikis kekuatan prinsip hidupnya. Maka meskipun dengan hati hancur, Ibu akan tetap konsekuen dan berpegang teguh pada suara hati dan penilaian moral dalam batinnya. Gading yakin sekali, tidaklah mudah bagi Ibu untuk menentukan sikap yang bukan hanya melukai dirinya sendiri saja, tetapi juga akan melukai hati kami anak-anaknya. Tetapi kemauan dan tekad Ibu sangat kuat. Dalam hal ini sebagai orang yang paling dekat dengan Ibu, pastilah Bapak lebih mengenalnya (Sardjono, 2002 : 200)!”
Ratih membatalkan niat bercerai dengan Bapak ketika Gading berbicara
dengannya. Ratih menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki
hubungannya dengan Bapak. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (100) dan (101)
sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
(100) “Besok Ibu akan ke pasar sepulang dari mengajar. Nanti Ibu tambahi sedikit petai biasa, daun so, dan udang, lalu lusa Ibu masak. Pasti lebih enak. Bukan hanya Mbak Ninik saja yang bisa memasak enak kok,” kata Ibu sambil tertawa (Sardjono, 2002 : 298).”
(101) Tanpa sengaja aku dan Bapak berpandang-pandangan begitu Ibu
selesai bicara. Rupanya sama seperti pikiranku dan Mayang, Bapak juga semakin merasakan semakin banyaknya perubahan yang terjadi di dalam rumah ini. Terutama pada Ibu. Setiap ada kesempatan, Ibu selalu berusaha menyenangkan kami semua. Terutama Bapak (Sardjono, 2002 : 299).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra diri
perempuan tokoh Ratih dalam aspek psikis tergambar sebagai perempuan dewasa
yang memiliki kepribadian baik dan sangat keras. Ratih sangat mandiri. Bagi
Ratih, pendidikan itu sangat penting sehingga ia membantah keinginan ayahnya
untuk kursus ketrampilan saja. Ratih menjunjung tinggi keselarasan hak antara
laki-laki dan perempuan.
Ratih secara psikis telah melalui tahap-tahap pendewasaan diri. Perilaku
suaminya yang berselingkuh tidak membuat Ratih hanya menangis. Ratih tetap
pada prinsip perkawinan tunggal. Ia memilih bercerai dengan suaminya meskipun
sangat menyakitkan hatinya. Ratih membatalkan niatnya untuk bercerai. Ratih
menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki hubungannya dengan Bapak.
3.1.2.3 Gading
Dalam aspek psikis, citra diri perempuan tokoh Gading digambarkan
sebagai perempuan dewasa yang memiliki kepribadian yang baik, dan cerdas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Gambaran kepribadian tokoh Gading terlihat melalui tingkah laku dirinya setiap
hari.
Gading termasuk perempuan yang mandiri, cerdas, dan tegas. Menurut
Gading, laki-laki dan perempuan memiliki tempat yang sama apalagi menyangkut
martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sebagai hak dasar atau hak
asasi manusia. Laki-laki dan perempuan adalah individu merdeka yang bebas
menentukan dirinya sendiri, dan berhak mengambil keputusan yang sesuai dengan
keinginan dan suara hatinya.
Gading juga beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan hanya memiliki
perbedaan biologis saja. Kemampuan, nalar, kecerdasan, dan bakat semuanya
sama. Apabila ada perbedaan, itu hanya bersifat individual saja.
Gading beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang
yang sama di berbagai sektor kehidupan. Gading menentang budaya patriarkat
yang membatasi perempuan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk meraih
peluang. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (102), (103), (104), dan (105)
sebagai berikut.
(102) Bagiku bicara soal hak untuk memilih, itu adalah milik setiap orang, entah dia itu laki-laki entah pula dia itu seorang perempuan. Bukan hanya milik laki-laki saja. Terlebih jika itu menyangkut martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sebagai hak dasar atau hak asasi manusia. Namun, bagaimana mungkin aku mengatakannya kepada seorang perempuan tua yang pola pikirnya sudah terbentuk selama delapan puluh tahun itu (Sardjono, 2002 : 9)?
(103) Tidak sadarkah beliau bahwa laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak asasi dan martabat luhur yang sama-sama dianugerahkan oleh Tuhan bagi mereka. Bukan hanya untuk laki-laki saja dan bukan hanya untuk perempuan saja. Tetapi untuk keduanya. Oleh sebab itu manusia dari kedua jenis kelamin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
manusia itu adalah individu merdeka yang berhak menentukan dirinya sendiri, berhak pula mengambil keputusan yang sesuai dengan keinginan dan suara hatinya. Tak boleh seorang pun merenggut kebebasan seperti itu. Tak boleh seorang pun melecehkan, merendahkan, dan memperkosa hak individu setiap insan. Dan tidak boleh pula orang membeda-bedakan manusia karena jenis kelamin mereka, sejauh itu tidak menyangkut kodrat mereka. Dan yang namanya kodrat adalah sesuatu yang mutlak dan tidak mungkin bisa diubah oleh manusia. Namun sayangnya orang sering keliru memaknai, sehingga apa yang bukan kodrat acap kali dianggap sebagai kodrat. Maka budaya partriarkat sering kali pula dianggap sebagai kodrat, padahal itu adalah buatan manusia yang bisa berubah dan diubah (Sardjono, 2002 : 66).
(104) “Itu kan karena laki-laki merasa egonya sebagai makhluk yang
menganggap diri lebih segala-galanya dibanding perempuan itu, terkalahkan. Laki-laki maunya memiliki otoritas, superioritas, dan dominasi. Padahal laki-laki seperti itu picik. Sebab mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan kecuali perbedaan biologisnya yang menyangkut urusan reproduksi, semuanya sama. Ya kemampuannya, ya nalarnya, ya kecerdasannya, ya bakat-bakat yang dimilikinya. Kalau toh berbeda, itu bersifat individual. Maka kalau kita hendak membedakan seseorang dalam hal perlakuan atau yang lain, jangan dilihat apa jenis kelaminnya.Tetapi dilihat dari dirinya sebagai seorang pribadi yang bersifat personal (Sardjono, 2002 : 295-296)!”
(105) Ah, Eyang. Apa yang dikatakannya “sudah semestinya demikian”
itu sungguh membuat hatiku tergelitik untuk membantahnya. Sebab menurutku, setiap manusia, laki-laki atau perempuan, mempunyai peluang yang sama di pelbagai sektor kehidupan. Tetapi budaya patriarkat telah membatasi banyak hal yang menyebabkan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk meraih peluang itu. Kata-kata “sudah semestinya demikian”, jelas sekali menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan (Sardjono, 2002 : 74).
Menurut Gading, manusia, laki-laki atau perempuan mempunyai martabat
luhur yang sama sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Perempuan
tidak seharusnyaberpikir bahwa tempat terhormat bagi seorang perempuan adalah
menjadi istri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Gading tidak setuju dengan pendapat bahwa kebahagiaan seorang
perempuan terletak pada perkawinan. Baginya, ada banyak pilihan hidup
mengenai kebahagiaan yang bisa diambil oleh perempuan. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (106) dan (107) sebagai berikut.
(106) … Terutama sekarang ini, setelah kusadari bahwa manusia siapa pun dia, dari mana asalnya, tua atau muda, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, mempunyai martabat luhur yang sama. Sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula. Maka tidak semestinya kalau seorang istri meletakkan status dan identitasnya di balik punggung atau di bawah ketiak sang suami. Dan tidak semestinya pula ia melanggengkan anggapan bahwa tempat terhormat bagi seorang perempuan adalah menjadi istri, sehingga menyebabkan perempuan yang tidak menikah menjadi gamang berada dalam pergaulan. Padahal ada banyak alasan kenapa seorang perempuan tidak menikah. Padahal pula, selain berumah tangga masih banyak tugas lain yang bisa dilakukan oleh perempuan. Dan perempuan tidak harus perlu meletakkan identitas dirinya kepada identitas suami karena dia mempunyai identitas sendiri. Dia berhak pula merealisasikan potensi dan eksistensinya sebagai seorang pribadi, bukan hanya sebagai Nyonya Anu atau Ibu Jendral Polan saja (Sardjono, 2002 : 85).
(107) … Bagiku, kriteria kebahagiaan perempuan bukan hanya terletak
di dalam perkawinannya saja. Ada banyak pilihan-pilihan hidup mengenai kebahagiaan yang bisa diambil oleh perempuan, yang tidak harus berkaitan dengan rumah tangga atau perkawinan. Apalagi aku tahu betul bahwa tidak sedikit kasus-kasus rumah tangga atau keluarga yang dapat digolongkan sebagai neraka dunia telah terjadi dan dialami oleh kaum perempuan dengan mulut terkatup. Sebab ajaran yang diberikan kepada mereka mengatakan bahwa persoalan sebesar apa pun yang dialami oleh seorang perempuan, meski tubuhnya babak belur dianiaya sang suami atau batinnya tercabik-cabik oleh penderitaan, ia harus menyimpannya sendiri. Orang lain tidak boleh tahu (Sardjono, 2002 : 21).
Gading sangat mencintai Mas Yoyok, mantan pacarnya, sehingga Gading
menolak perjodohannya dengan Mas Hari. Gading memegang prinsip bahwa
Gading adalah pribadi yang berhak menentukan masa depannya sendiri. Gading
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
memiliki hak untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pendamping hidupnya
kelak. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (108) sebagai berikut.
(108) Yah, memang benar. Hal pokok yang menyebabkan aku tidak ingin menikah dengan Mas Hari memang karena aku tidak mencintai laki-laki itu. Aku tak mau menikah dengan laki-laki yang tak kucintai. Aku juga tidak mau menikah dengan laki-laki yang tak pantas kuberi respek. Dan kurasa pula, aku berhak untuk mengatakan hal itu secara terus terang. Sebagai orang yang paling bersangkutan, aku berhak menentukan siapa yang akan menjadi suamiku. Lagi pula, aku bukan milik kedua orang tuaku. Aku adalah milik diriku sendiri (Sardjono, 2002 : 86).
Gading tidak mudah dipengaruhi. Apa yang sudah diputuskannya tidak
dapat diubah lagi. Cinta Gading kepada Mas Yoyok sangat kuat. Hubungan
mereka sangat manis, romantis, dan penuh kehangatan.Suatu hari, Gading terlibat
pembicaraan serius dengan Mas Yoyok. Mereka membicarakan tentang posisi
perempuan setelah menikah. Gading tidak setuju dengan pendapat Mas Yoyok.
Menurut Gading, seorang perempuan bisa saja menjadi seorang ibu dan
sekaligus juga menjadi perempuan karier yang mengamalkan pengetahuannya,
sehingga kepandaiannya itu tidak disimpan untuk keperluan pribadinya sendiri.
Seorang perempuan yang bekerja di luar rumah tidak berarti ia akan mengabaikan
rumah tangga dan keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara Gading dan mas Yoyok dalam kutipan (109) sebagai berikut.
(109) “Seorang perempuan bisa saja menjadi seorang ibu dan sekaligus juga menjadi perempuan karier yang mengamalkan pengetahuannya, sehingga kepandaiannya itu tidak disimpan untuk keperluan pribadinya sendiri,” aku membantah perkataan Mas Yoyok dengan sengit. “Tak mungkin seorang dapat mengerjakan dua tugas dengan sama baiknya, Gading. Salah satu pasti akan terbengkalai!” Pendapat itu kutentang dengan pelbagai macam argumentasi yang masuk akal, juga dengan nada kemarahan yang mulai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
menggelegak. Tetapi Mas Yoyok tetap saja pada pendiriannya sehingga acap kali perjumpaan-perjumpaan yang seharusnya diisi dengan persoalan yang membuat masing-masing pihak jadi mendongkol. Apalagi karena aku merasa Mas Yoyok ingin memiliki diriku sepenuhnya. Meskipun atas dasar cinta, dalam hal perbedaan prinsip seperti itu aku tidak ingin tunduk kepada kehendaknya. “Seorang perempuan yang bekerja di luar rumah tidak berarti ia akan mengabaikan rumah tangga dan keluarganya, Mas (Sardjono, 2002 : 89).”
Gading tidak terima jika perempuan harus melakukan pekerjaan ganda
dalam rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga adalah tugas dua orang yang sudah
dipersatukan menjadi suami-istri. Gading tidak bermaksud menjadi kaum feminis.
Gading hanya menuntut keadilan yaitu membiarkan istri ikut berpartisipasi
membangun dunia, mengamalkan pengetahuan bagi sesama semampunya. Hal
tersebut dapat dililhat melalui percakapan antara Gading dan Mas Yoyok dalam
kutipan (110) sebagai berikut.
(110) “Kalaupun tidak mungkin, apa artinya mempunyai suami kalau sang suami tidak mau ikut membantu kerepotannya? Memangnya aku seorang perempuan super yang bisa menyelesaikan segala-galanya? Dan memangnya yang mempunyai peran dan tugas ganda itu hanya perempuan saja? Laki-laki juga harus mendapat peran dan tugas ganda dong. Rumah tangga itu kan milik berdua (Sardjono, 2002 : 90).”
Gading tetap pada prinsipnya. Gading tidak mau menjadi ibu rumah
tangga yang tinggal di rumah saja. Gading ingin membagi pengetahuannya
dengan orang-orang di sekitarnya. Gading ingin ilmunya bisa bermanfaat.Gading
memutuskan hubungannya dengan Mas Yoyok walaupun sedih.
Prinsip Gading yang begitu kuat terbentuk dari didikan Jawa dan juga dari
pergaulannya di Jakarta. Selain budaya suku lain ikut mempengaruhi pola
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
pikirnya, latar belakang pendidikan formal yang diterima di sekolah pun ikut
membentuk wawasannya. Hampir semua pengetahuan yang ia dapat di sekolah
merupakan ilmu-ilmu yang didapat dari negara-negara maju, sehingga budaya
Jawa yang ia terima ikut terpengaruh.
Berdasarkan latar belakang kehidupannya, Gading tidak setuju dengan
poligami. Gading menentang ajaran yang menempatkan laki-laki di atas
perempuan sehingga laki-laki bebas memiliki istri lebih dari satu.
Gading sangat menjunjung tinggi perkawinan tunggal. Tidak ada kawin-
cerai. Menurut Gading perkawinan adalah satu wadah yang suci karena
menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga dan Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat
melalui percakapan antara Gading, Ratih, dan Mas Hari dalam kutipan (111) dan
(112) sebagai berikut.
(111) “Menurut Gading, di zaman sekarang pun ada segolongan laki-laki yang mempunyai simpanan di suatu tempat tanpa diketahui istrinya. Cuma namanya bukan lagi selir, walaupun pada kenyataannya sama saja. Dan kalaupun dinikahi, lusa mereka bisa bercerai dengan mudahnya. Tidak cocok sedikit, cerai. Bertengkar sedikit, cerai. Mereka tidak memperhitungkan rasa tanggung jawab, tidak konsekuen pula janji dan sumpah untuk sehidup-semati. Tak terpikirkan oleh mereka bahwa dua insan yang telah hidup dalam ikatan perkawinan tidak boleh seenaknya melepaskan ikatan mereka hanya karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. Sebab mana ada sih dua orang yang datang dari keluarga yang berbeda bisa cocok segalanya. Lagi pula Ibu kan tahu sendiri, ada segolongan orang yang mudah sekali kawin-cerai tanpa menyadari bahwa mereka telah menghina lembaga perkawinan (Sardjono, 2002 :169).”
(112) “Tak usah diberitahu pun aku sudah tahu mengenai kasih Eyang
padaku. Tetapi kau harus tahu, Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
karena menyertakan Tuhan di dalamnya. Jadi tidak bisa sembarangan (Sardjono, 2002 : 266)!”
Gading tidak setuju apabila seorang perempuan hanya tinggal di rumah
setelah menikah. Gading beranggapan bahwa perempuan harus membagi ilmu
yang dimiliki untuk orang-orang lewat pekerjaannya. Aggapan Gading berubah
ketika dia menjaga keponakannya sendiri, anak Mas Moyo. Gading berpikir
bahwa bayi adalah makhluk lemah yang masih membutuhkan kasih dan perhatian.
Oleh karena itu, Gading memutuskan untuk tinggal di rumah setelah menikah
nanti. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Gading dan Mas Yoyok
dalam kutipan (113) sebagai berikut.
(113) “Baiklah, aku akan menceritakan padamu mengenai pergesaran cara berpikir yang kualami. Mas, belakangan ini sesudah aku sering menjaga keponakanku, anak Mas Moyo, aku melihat secara dekat bahwa bayi adalah makhluk lemah yang masih sangat membutuhkan perhatian, kasih, perlindungan, dan perawatan dari orang dewasa. Dan aku melihat jelas sekali bahwa orang dewasa yang paling tepat untuk itu adalah orangtuanya, baik sang ibu maupun sang ayah. Kedua-duanya, bukan hanya salah seorang saja. Kalau kedua-duanya bekerja, apalagi sampai malam hari, maka kebutuhan si anak akan diterimanya dari orang lain. Betapapun besar kasih orang itu terhadapnya, pasti tdak bisa sepenuh dan setulus yang diberikan oleh orangtuanya. Jadi, Mas, singkat kata, kalau aku nanti sudah mempunyai anak, barangkali aku akan sedikit mengurangi karierku di luar rumah. Itulah yang tadi kusebut dengan kasih, ketulusan, dan pengorbanan yang bisa mengatasi hal-hal lainnya (Sardjono, 2002 : 362-363).”
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra diri
perempuan tokoh Gading dalam aspek psikis tergambar sebagai perempuan
dewasa yang memiliki kepribadian yang sangat baik, cerdas, dan teguh pada
pendirian. Gading beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
yang sama dan tidak boleh dibeda-bedakan.Gading juga menjunjung tinggi
perkawinan tunggal. Bagi Gading, perkawinan adalah hal yang suci dan tidak
boleh dipermainkan.
Gading secara psikis telah melalui tahap-tahap pendewasaan diri.
Perbedaan prinsipnya dengan Mas Yoyok membuatnya memilih untuk berpisah
dengan Mas Yoyok meskipun hal itu membuat Gading sedih. Anggapan Gading
bahwa perempuan harus bekerja di luar rumah setelah menikah, berubah. Gading
memutuskan untuk tinggal di rumah lebih lama dan mengurus anak-anaknya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, citra diri perempuan tokoh Eyang Putri,
Ratih, dan Gading dalam aspek psikis dipengaruhi oleh lingkungan mereka
tinggal dan bersosialisasi, sehingga pandangan hidup mereka berubah. Anggapan
Eyang Putri bahwa kaum bangsawan lebih unggul dibandingkan rakyat jelata,
berubah. Eyang Putri mengakui bahwa rakyat jelata juga memiliki tata krama
yang sama dengan kaum bangsawan. Anggapan Ratih bahwa laki-laki harus
melakukan semuanya sendiri, berubah. Ratih mulai melayani suaminya dan
berusaha memperbaiki hubungannya dengan Bapak. Anggapan Gading bahwa
perempuan seharusnya bekerja di luar meskipun dia sudah menikah, berubah.
Gading memilih tinggal di rumah.
3.2 Citra Sosial Perempuan
Citra sosial perempuan dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua
peran, yaitu peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam
masyarakat. Peran ialah bagian yang dinamis dari seseorang pada setiap keadaan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
dengan cara bertingkah laku untuk menyerahkan diri dengan keadaan (Wolfman
dalam Sugihastuti, 2000 : 121). Berikut ini akan dipaparkan citra sosial
perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading dalam aspek keluarga dan
masyarakat.
3.2.1 Citra Sosial Perempuan dalam Aspek Keluarga
Dalam subbab ini akan dijelaskan citra sosial perempuan tokoh Eyang
Putri, Ratih, dan Gading dalam aspek keluarga.
3.2.1.1 Eyang Putri
Kedudukan tokoh Eyang Putri dalam keluarga merupakan salah satu aspek
yang diteliti dengan tujuan untuk mendukung kejelasan identitas tokoh perempuan
tersebut. Dengan diketahuinya kedudukan tokoh Eyang Putri dalam keluarganya
dapat diperoleh gambaran tentang citra perempuan yang khas dalam novel Tiga
Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Sebagai perempuan dewasa, seperti tercitrakan dari aspek fisik dan
psikisnya, salah satu peran yang menonjol adalah peran perempuan dalam
keluarga. Peran perempuan dalam keluarga berhubungan dengan peran tokoh
Eyang Putri sebagai istri dari Eyang Kakung dan ibu dari tujuh anaknya. Eyang
Putri mengabdi dengan tulus kepada suaminya dan sangat memperhatikan
keutuhan keluarganya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (114) sebagai berikut.
(114) Ia telah menyerahkan seluruh dirinya, bahkan hidupnya bagi kepentingan keluarga dan terutama bagi suaminya. Tubuh, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, dan kebahagiaannya. Semuanya. Lewat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
pelayanannya, pengabdiannya, kesetiaannya, dan pengorbanannya (Sardjono, 2002 : 30).
Eyang Putri mendapat tempat utama dalam keluarga. Eyang Putri sangat
dihormati. Pendapat Eyang Putri selalu didengarkan oleh keluarga besarnya. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (115) sebagai berikut.
(115) Bagiku dan juga bagi keluarga besar kami, Eyang menempati tokoh sentral yang dihormati, dicintai, didengar suaranya dan dipegang pendapatnya (Sardjono, 2002 : 22).
Sebagai seorang istri dan ibu, Eyang Putri sangat tekun dan bekerja keras
dan memberikan ajaran-ajaran yang berguna bagi anak-anaknya. Anak- anaknya
hidup berkecukupan dan taat menjalankan ajaran agama. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (116) sebagai berikut.
(116) “Eyang mempunyai tujuh anak yang semuanya masih ada dan hidup baik serta menjalankan agama dengan taat. Ekonomi mereka, meskipun tidak ada yang berlebih-lebihan, juga tidak pernah kekurangan (Sardjono, 2002 : 42-43).”
Menurut Eyang Putri, pendidikan sangat penting. Prinsip-prinsip hidup
yang dianutnya dijadikan penopang dan pendorong agar tidak mengeluh demi
kebahagiaan dan kedamaian suami dan anak-anaknya.
Eyang Putri bercita-cita menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang
lebih tinggi. Eyang Putri akan melakukan apa saja demi keberhasilan anak-
anaknya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (117) dan (118) sebagai berikut.
(117) Gaji Eyang Kakung memang mampu membiayai hidup keluarga besarnya, yaitu seorang istri, dua selir, dan tiga belas anak. Tetapi untuk biaya sekolah semua anaknya sampai ke perguruan tinggi, jelas itu tidak akan mencukupi. Maka Eyang Putri dengan seluruh tekadnya berusaha menambal kekurangan itu dengan memajukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
pabrik batik warisan orang tuanya. Dan berkat usahanya itulah akhirnya semua anaknya berhasil menjadi sarjana. Bahkan empat orang di antaranya, termasuk ibuku, meraih sarjana strata dua (Sardjono, 2002 : 77).
(118) Dengan kata lain, dalam tekadnya untuk memberi pendidikan
setinggi mungkin bagi ketujuh anaknya dan juga dalam pengorbanannya untuk mengabdikan diri kepada keluarganya, aku melihat ada semacam mekanisme jiwa dalam kiprah nenekku itu. Dia ingin membuktikan diri sebagai perempuan yang kuat, perempuan yang tidak hanya bisa menadahkan tangan menunggu pemberian suami saja. Bahkan juga demi menunjukkan keberhasilannya sebagai istri dan ibu, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan saingannya (Sardjono, 2002 : 79).
Berdasarkan kutipan di atas, Eyang Putri memiliki peranan ekonomi dalam
keluarga. Usaha Batik yang dijalankan oleh Eyang Putri dapat dipergunakan untuk
membiayai anak-anaknya sampai berhasil dalam pendidikan mereka.
Saudara-saudara kandung Eyang Putri pun mengakui tekad Eyang Putri
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (119)
sebagai berikut.
(119) Dari cerita bude-budeku, aku mendengar tentang bagaimana besar tekad Eyang Putri untuk melihat anak-anaknya berhasil di bidang studi mereka. Setiap ada di antara anak-anaknya yang akan menempuh ujian, beliau akan menemani mereka belajar sampai terkantuk-kantuk dengan jahitan atau sulamannya yang lebih banyak dipegang dengan mata tertutup daripada dikerjakan. Begitupun dengan seluruh kasih dan pengabdiannya, nenekku itu selalu berpuasa setiap kali mengetahui ada di antara anaknya yang mengalami kesulitan dalam pelajaran di sekolahnya maupun dalam hal-hal lainnya (Sardjono, 2002 : 79).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Eyang Putri
mempunyai peranan yang sangat besar dalam keluarga. Eyang Putri bertanggung
jawab dengan statusnya sebagai istri yang melayani kebutuhan suaminya. Eyang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Putri telah menyerahkan seluruh hidupnya bagi kepentingan keluarga terutama
bagi suaminya. Hal ini membuat Eyang Putri menjadi istri yang lebih disayangi
dari pada selir-selir Eyang Kakung.
Sebagai seorang ibu, Eyang Putri telah melakukan seluruh tugas dan
tanggung jawabnya dalam mengurus anak-anaknya. Eyang Putri melakukan apa
pun demi keberhasilan anak-anaknya. Eyang Putri berperan penting dalam
ekonomi keluarga. Eyang Putri tidak tinggal diam menunggu pemberian Eyang
Kakung. Eyang Putri berusaha memilliki pendapatan sendiri sehingga anak-
anaknya mampu disekolahkan. Selain itu, Eyang Putri selalu mendampingi anak-
anaknya belajar. Hal ini yang membuat Eyang Putri mendapat tempat terhormat di
hati anak-anaknya. Selain itu, saudara-saudara kandung Eyang Putri kagum
dengan tekad Eyang Putri yang begitu besar untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Eyang Putri juga yang membuat keakraban keluarga besar tetap terjaga.
3.2.1.2 Ratih
Sebagai seorang perempuan dewasa, seperti tercitrakan dari aspek fisik
dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol adalah peran perempuan dalam
keluarga. Peran perempuan dalam keluarga berhubungan dengan peran Ratih
sebagai istri dan ibu dari keempat anaknya yaitu Moyok, Gading, Mayang, dan
Mandaru. Ratih sangat memperhatikan anak-anaknya terutama anak-anak
perempuannya. Ratih tidak ingin anak-anaknya sengsara dan direndahkan. Hal
tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, dan Mayang
dalam kutipan (120) sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
(120) “Ibu berharap tidak seorang pun di antara kalian, anak-anak perempuanku, pernah direndahkan orang hanya karena kalian berjenis kelamin perempuan (Sardjono, 2002 : 123).”
Sebagai anggota keluarga, Ratih merupakan anak bungsu yang sangat
dekat dengan ibunya. Ratih sering menceritakan masalahnya kepada ibunya. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (121) dan (122) sebagai berikut.
(121) Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat terutama dengan ibuku. Dan karena sebagai anak bungsu, ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun cukup dekat dengan beliau…(Sardjono, 2002 : 221).
(122) Kuakui, memang tidak mudah bagi kami untuk menggeser hati Ibu.
Bahkan beliau sempat lari ke Solo selama hampir satu minggu lamanya untuk melepaskan kesesakan hatinya kepada Eyang (Sardjono, 2002 : 222).
Sebagai seorang istri, Ratih sangat dominan. Ratih sangat sempurna dalam
mengatur segala sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang
akan dikenakan oleh suaminya. Ratih juga mengurus hal-hal lain, seperti urusan
rekening koran, listrik, telepon, sampai pada urusan servis mobil. Sikap Ratih
yang sangat dominan tersebut membuat Gading, anaknya sangat mengagumi
sosok ibunya. Sikap Ratih yang dominan mendapat tanggapan berbeda dari
beberapa orang kerabatnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (123) sebagai
berikut.
(123) … Namun entah apa pun alasan maupun kebenarannya, acap kali aku ingin mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh ayahku. Bapak memang tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Ibulah yang mengaturkan warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren. Kemudian ibuku juga mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran, listrik, telpon, dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil. Kapan mobil tuanya harus diservis, kapan pula mobil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Bapak yang juga sudah jauh dari baru itu harus diganti oli gardanya, dan seterusnya (Sardjono, 2002 : 123).
Ratih tidak ingin suaminya duduk bermalas-malasan. Ratih ingin
suaminya ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Menurut Ratih, laki-laki dan
perempuan setara kedudukannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara Ratih dan suaminya dalam kutipan (124) sebagai berikut.
(124) “Istri jungkir-balik mengurus rumah tangga, kok ya bisa-bisanya ada yang lebih suka mengobrol dengan burung,” katanya. “Mbok ya ada sedikit pengertian to, Pak. Ini hari Minggu. Mestinya kan bisa kupakai untuk sedikit bersantai dan mengistirahatkan semua badanku yang pegal ini. Apalagi besok pagi-pagi sekali aku sudah harus pergi lagi mengajar. Bisa hancur badanku kalau terus-terusan begini. Apa Bapak suka melihat istri jadi jompo sebelum waktunya (Sardjono, 2002 : 154)?”
Ratih memiliki sikap keras yang membuatnya tidak mau tunduk di bawah
laki-laki. Ratih adalah istri yang baik di hadapan suaminya meskipun Ratih
bersikap dominan. Suami Ratih memuji sikap rasional yang dimiliki oleh Ratih.
Ratih mendorong suaminya untuk tetap berjuang mengatasi apa pun kesulitannya.
Ratih telah mendampingi suaminya dan memperlihatkan sikap yang lebih rasional
dengan ketegaran dan kekuatannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara Gading dan Bapak dalam kutipan (125) sebagai berikut.
(125) “Bicara memang mudah, Gading. Tapi bagi orang yang menjalaninya sungguh amat berat. Bapak telah hidup puluhan tahun dengan ibumu. Suka dan duka telah kami rasai bersama. Dulu di masa-masa sulit, Ibumu telah mendorong Bapak untuk terus berjuang mengatasi apa pun kesulitan yang menghadang. Dengan ketegaran dan kekuatannya, ibumu telah mendampingi Bapak dengan memperlihatkan sikap yang lebih rasional. Perempuan lain pasti lebih banyak memakai emosinya dan tidak akan setabah atau sekuat dia (Sardjono, 2002 : 201).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat peranan Ratih dalam keluarga di
bidang ekonomi. Selain memberikan semangat kepada suaminya dalam masa-
masa sulit, profesi Ratih sebagai dosen juga mampu membantu kehidupan
ekonomi rumah tangga mereka.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh Ratih
mempunyai peranan penting dalam keluarganya. Ratih sangat memperhatikan
anak-anaknya dan tidak ingin mereka direndahkan oleh kaum laki-laki, Ratih
merupakan anak bungsu yang dekat dengan ibunya dan selalu menceritakan
kesusahan hatinya kepada ibunya. Sebagai seorang istri, Ratih sangat dominan. Ia
melakukan semua urusan rumah tangga sendiri. Ratih tidak suka apabila suaminya
hanya duduk bermalas-malasan dan tidak membantunya menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga. Ratih adalah istri yang baik meskipun bersikap dominan dan keras
terhadap suami. Ratih sangat dikagumi oleh anak-anaknya terutama Gading.
Selain itu, suami Ratih memuji tindakan Ratih yang rasional ketika dihadapkan
dengan situasi yang sulit. Ratih mendorong suaminya untuk tetap berjuang
mengatasi kesulitan yang adabaik secara moril maupun materi.
3.2.1.3 Gading
Sebagai seorang perempuan dewasa, seperti tercitrakan dari aspek fisik
dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol adalah peran perempuan dalam
keluarga. Peran perempuan dalam keluarga berhubungan dengan peran tokoh
Gading sebagai seorang anak dan cucu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Gading adalah anak kedua dari Ratih dan merupakan cucu perempuan
yang paling tua bagi Eyang Putri. Gading sangat dekat dengan Eyang Putri dan
kedua orang tuanya. Eyang Putri dan kedua orang tuanya tidak tanggung-
tanggung menceritakan masalah yang paling penting kepada Gading. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (126) sebagai berikut.
(126) Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan karenanya, sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun juga cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tak pernah merasa bosan mengobrol dan bertanya ini-itu kepadanya (Sardjono, 2002 : 221-222).
Gading tidak segan bertanya hal-hal yang lebih mendalam kepada Eyang
Putri karena dia merasa dekat. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (127) sebagai
berikut.
(127) “Dan apakah Eyang telah merasai kemenangan dari hasil mengalah kepada Eyang Kakung dan kedua selirnya itu?” tanyaku dengan berani. Kali ini Eyang Putri tidak bisa segera menjawab. Ada kabut di matanya sehingga aku merasa menyesal telah melontarkan pertanyaan kurang ajar tadi (Sardjono, 2002 : 39).”
Selain itu Gading adalah orang yang baik untuk bertukar pikiran. Gading
dengan bijak berusaha mendengar dan mencari jalan keluar ketika ibunya tidak
mampu menghadapi pengkhianatan bapaknya. Gading menjadi satu-satunya orang
yang bisa menenangkan perasaan ibunya. Gading juga sabar mendengarkan cerita
dari bapaknya yang telah berselingkuh dengan orang lain. Hal tersebut dapat
dilihat melalui percakapan antara Ratih, Gading, dan Bapak dalam kutipan (128)
dan (129) sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
(128) “Hubungan Ibu dengan ayahmu saat ini seperti sebuah telur di ujung tanduk.” “Kenapa, Bu?” Dadaku semakin terasa tak enak. Seperti ada beban berat diletakkan di situ. “Tidakkah kausadari bahwa ayahmu semakin sering pergi? Katanya rapat ini dan rapat itu. Katanya pula harus ke luar kota untuk mengurus ini dan itu. Padahal porsi pekerjaan yang harus ditanganinya di kantor sudah tidak banyak lagi mengingat statusnya yang sudah pensiun.” “Ibu tidak mempercayai Bapak?” “Tidak.” “Maksud Ibu…?” “Bapak mengkhianati Ibu, Nduk. Ada perempuan lain dalam kehidupannya.” Suara Ibu kembali bergetar. “Sakit sekali rasanya..” Mendengar perkataan Ibu, tanganku mulai bergetar. Cepat-cepat kurapatkan kedua belah tanganku agar Ibu tidak melihat getarannya (Sardjono, 2002 : 176).
(129) “Apakah ada sesuatu yang menyusahkan Bapak?” tanyaku lagi.
Bicara dengan Bapak, aku merasa tidak perlu harus berputar-putar lebih dulu. Sebab menurutku, keadaannya sedang gawat. Maka semakin cepat sampai pada pokok pembicaraan akan semakin baik jadinya. “Ya!” Tak terduga, Bapak mengakuinya. Maka perkiraanku bahwa Bapak akan menegur kelancanganku tadi, sirna (Sardjono, 2002 : 193).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh Gading
mempunyai peranan yang sangat penting dalam keluarga. Gading sangat dekat
dengan Eyang Putri dan kedua orang tuanya. Gading sering bertukar pikiran
dengan Eyang Putri dan bisa menanyakan hal apa saja kepada Eyang Putri.
Gading juga sangat dekat dengan kedua orang tuanya sehingga mereka
menceritakan masalah-masalah yang sangat pribadi kepada Gading. Gading
mampu menjadi penengah dalam masalah yang sedang dihadapi oleh orang
tuanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Gading juga memiliki peranan ekonomi dalam keluarga. Setelah menerima
gaji, Gading sering memberikan uang kepada adik-adiknya, terutama Mandaru,
sehingga Mandaru bisa menabung.
3.2.2 Citra Sosial Perempuan dalam Aspek Masyarakat
Citra sosial perempuan tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading dalam
masyarakat merupakan aspek yang akan diteliti dalam subbab ini. Penggambaran
tentang aspek ini dapat menambah wawasan kita tentang citra perempuan dalam
novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Hal itu dapat ditentukan
berdasarkan keadaan sosial ekonomi tokoh, keturunan, dan tingkat pendidikan
tokoh.
3.2.2.1 Eyang Putri
Peranan tokoh Eyang putri dalam masyarakat, antara lain akan terwujud
dalam pendidikan tokoh. Salah satu yang mempengaruhi pendidikan tokoh itu
sendiri adalah tingkat ekonomi tokoh Eyang Putri.
Eyang Putri termasuk perempuan yang berparas cantik. Eyang Putri adalah
keturunan bangsawan Solo. Ayahnya adalah seorang bangsawan tinggi keraton
Solo sedangkan ibunya adalah anak saudagar batik yang kaya raya dari keluarga
bukan bangsawan. Eyang Putri tidak dibesarkan di lingkungan keraton meskipun
Eyang Putri lahir di sana. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (130) sebagai
berikut.
(130) Dari apa yang pernah diceritakan oleh ibuku atau saudara-saudara ibuku, nenekku dulu termasuk perempuan rupawan dan menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
salah satu bunga di kampungnya. Ayahnya adalah salah satu bangsawan tinggi keraton Solo. Ibunya, anak saudagar batik yang kaya dari keluarga bukan bangsawan. Dan oleh suatu alasan tak jelas yang kurang dipahami oleh ibuku maupun oleh saudara-saudara ibuku, nenekku tidak dibesarkan di lingkungan keraton meskipun beliau lahir di sana (Sardjono, 2002 : 22).
Pendidikan Eyang Putri cukup baik.Setiap hari ada orang dari keraton
yang datang untuk mengajarinya berbagai hal.Eyang Putri mempelajari kesenian
seperti menari, menembang, menyulam, menjahit, memasak, membuat jamu,
menulis, dan membaca.Eyang Putri juga belajar membatik.
Sebagai anak tunggal, Eyang Putri mendapat warisan perusahan batik yang
dikelolanya sampai sekarang.Walaupun perusahan itu sudah tergeser oleh
kemajuan jaman namun hasilnya masih bisa diandalkan untuk hidup
berkecukupan dan memberi penghasilan bagi belasan orang yang bekerja di
pabrik batik itu.Hal tersebut terdapat dalam kutipan (131) sebagai berikut.
(131) … Meskipun perusahan itu sudah tergeser oleh kemajuan zaman yang tidak lagi menempatkan kain batik sebagai pakaian utama orang Jawa, namun hasilnya masih bisa diandalkan untuk hidup berkecukupan. Dan yang penting, masih bisa memberi penghasilan bagi belasan orang yang bekerja di pabrik batik itu. Bahkan di antara para pekerja ada yang sudah mengabdi selama puluhan tahun, sehingga keluarganya juga ikut bekerja di perusahan batik eyangku itu (Sardjono, 2002 : 31).
Peran Eyang Putri sebagai seorang anggota masyarakat dapat dilihat dari
kutipan di atas. Ia masih mempertahankan perusahan batiknya, sehingga para
pekerja batik tidak menjadi pengangguran. Eyang Putri telah menciptakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan berperan penting dalam bidang sosial
masyarakat. Selain itu pabrik batik yang masih dipertahankan oleh Eyang Putri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
dapat menambah devisa negara. Hal ini membuktikan bahwa Eyang Putri mandiri
secara ekonomi.
Eyang Putri masih sanggup mengontrol pabrik batik pada usianya yang
sudah delapan puluh empat tahun. Kehadirannya ditunggu-tunggu sebab selain
menasihati dan memberi arahan-arahan yang menambah pengetahuan, Eyang
Putri suka bergurau dan memberikan teka-teki yang membuat suasana menjadi
santai. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Eyang Putri dan
Gading dalam kutipan (132) sebagai berikut.
(132) Kuanggukkan kepalaku, mengerti betul apa yang dikatakannya. Beliau sangat dicintai bukan hanya oleh anak-anak dan cucunya saja, tetapi juga oleh pegawai dan buruh di pabrik batiknya. Kehadirannya di mana pun selalu dinanti-nanti. Sebab selain menasihati dan memberi arahan-arahan yang bisa memperkaya batin, eyangku itu suka bergurau dan melontarkan teka-teki yang menyegarkan suasana (Sardjono, 2002 :52-53).
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra sosial
tokoh Eyang Putri dalam masyarakat tergambar melalui hubungan dengan sesama
anggota masyarakat. Eyang Putri mempunyai peranan sosial yang besar dalam
melestarikan budaya Jawa, yaitu batik. Eyang Putri adalah simbol seorang
perempuan yang mendapat empati dari masyarakat karena sikapnya yang
menyenangkan. Setiap orang yang mengenal Eyang Putri berpendapat bahwa
Eyang Putri adalah sosok perempuan yang lemah lembut, disegani, dan dihormati.
Eyang Putri juga berperan penting dalam bidang sosial masyarakat dan ekonomi.
Eyang Putri meneruskan perusahan batik orang tuanya sehingga membantu
masyarakat memenuhi kebutuhan hidup dan mengurangi tingkat pengangguran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Selain itu, perusahan batik milik Eyang Putri dapat menambah devisa negara. Hal
ini menunjukkan bahwa Eyang Putri mandiri secara ekonomi.
3.2.2.2 Ratih
Peranan tokoh Ratih dalam masyarakat antara lain akan terwujud dalam
pendidikan tokoh. Salah satu yang mempengaruhi pendidikan tokoh itu sendiri
adalah tingkat ekonomi tokoh Ratih. Ratih adalah keturunan bangsawan. Ayahnya
seorang pangeran muda dari keraton Solo dan ibunya adalah keturunan
bangsawan Solo.
Ratih menempuh pendidikan sampai strata dua dan sekarang menjadi
dosen di salah satu universitas di Jakarta. Ratih menjujung tinggi kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Profesi dosen merupakan cara Ratih
memperlihatkan otoritas yang dimilikinya. Citra perempuan tokoh Ratih dalam
masyarakat terlihat dari empati masyarakat terhadapnya. Ketika Ratih sibuk
dengan berbagai urusan, ada kenalannya yang memberinya nasihat. Hal tertsebut
terdapat dalam kutipan (133) sebagai berikut.
(133) … Seperti seorang kenalan mengatakan bahwa Ibuku seharusnya menyerahkan urusan mobil dan urusan tukang yang membetulkan rumah kepada Bapak (Sardjono, 2002 : 123).
Ratih termasuk dosen senior di universitas tempatnya bekerja.
Keberadaannya sangat dihargai di sana dan dijadikan salah satu calon dekan
bahkan menjadi dosen favorit karena banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai
dosen pembimbing skripsi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (134) sebagai
berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
(134) … Sedangkan Ibu, karena usianya belum memasuki usia pensiun, sampai sekarang beliau masih tetap mengajar. Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai keberadaannya. Bahkan menurut kabar angin, Ibu termasuk salah seorang yang dicalonkan sebagai dekan. Selain itu, saat ini Ibu juga termasuk dosen favorit, karena banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi. Maka kesibukannya semakin bertambah saja (Sardjono, 2002 : 145).
Berdasarkan kutipan di atas, citra perempuan tokoh Ratih dalam
masyarakat terlihat dari empati masyarakat terhadapnya. Ratih dicalonkan sebagai
dekan. Selain itu, banyak mahasiswa yang menyenangi Ratih sehingga dijadikan
dosen pembimbing skripsi dan dosen favorit. Selain itu, dapat dilihat bahwa Ratih
mandiri secara ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra sosial
tokoh Ratih dalam masyarakat tergambar melalui hubungan dengan sesama
anggota masyarakat. Ratih mempunyai peranan sosial yang besar dalam bidang
pendidikan yaitu mencerdaskan masyarakat. Karena Ratih menjunjung tinggi nilai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ia mampu menjadi dosen yang banyak
mendapat empati, sehingga sering dipilih sebagai dosen pembimbing skripsi dan
dicalonkan sebagai dekan.
3.2.2.3 Gading
Peranan tokoh Gading dalam masyarakat antara lain terwujud dalam
pendidikan tokoh. Salah satu hal yang mempengaruhi pendidikan tokoh itu sendiri
adalah tingkat ekonominya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Gading masih merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya masih
merupakan keturunan bangsawan Solo begitu juga dengan ibunya, Ratih. Gading
mengenyam pendidikan sampai strata satu. Setelah lulus kuliah, Gading bekerja
sebagai wartawan di salah satu perusahan penerbitan di Jakarta. Gading ke kantor
menggunakan mobil antar-jemput langganannya.
Gading sering ke luar kota. Sebagai wartawan, Gading bekerja dua puluh
empat jam sehari. Gading bisa kehilangan berita besar jika ia tidak siap dua puluh
empat jam. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Gading dan Ida
dalam kutipan (135) sebagai berikut.
(135) “Ya. Doakan saja aku tidak harus ke luar kota lagi pada hari itu. Kau tahu kan, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang (Sardjono, 2002 : 234)!”
Gading menggantikan posisi atasannya karena kerja keras. Selain itu,
Gading mendapatkan beberapa fasilitas yang tidak dimilikinya sekarang yaitu
ruang tersendiri, mobil dinas, dan kenaikan gaji. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (136) sebagai berikut.
(136) Aku terdiam. Tak kuceritakan bahwa mulai bulan depan aku sudah menempati posisi yang lebih tinggi, menggantikan atasanku yang mendapat tugas baru. Perusahan kami akan menerbitkan satu tabloid baru, mengenai dunia bisnis. Dan juga tak kuceritakan bahwa karena posisi baruku yang lebih menuntut tanggung jawabku nantinya, aku akan mendapat beberapa fasilitas yang sekarang tidak kumiliki, yaitu ruang tersendiri, mobil dinas, dan tentu saja kenaikan gaji…(Sardjono, 2002 : 261).
Citra perempuan tokoh Gading dalam masyarakat terlihat dari empati
masyarakat terhadapnya. Gading mendapat kenaikan jabatan. Selain itu ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
mendapat fasilitas yang tidak dimilikinya sekarang. Hal ini menunjukkan empati
atasannya terhadap kerja Gading.
Gading bekerja keras untuk mencapai semua yang didapatkan sekarang.
Hal ini juga membuktikan bahwa Gading mandiri secara ekonomi. Gading mulai
dari bawah. Ia belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman di lapangan
tentang bagaimana menjalin relasi dengan responden, dengan tokoh-tokoh
masyarakat, baik dari dunia hiburan maupun dari dunia akademis. Gading terus
belajar dan banyak membaca untuk menambah pengetahuan. Bagi Gading,
berbagai pengetahuan yang dimiliki sangat menunjang tulisan dan opini. Gading
mampu berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkat pendidikan maupun
strata sosial. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara Gading dan Ida
dalam kutipan (137) sebagai berikut.
(137) Hebat atau bukan, tetapi untuk mencapai seperti apa yang kudapatkan itu memerlukan perjuangan tersendiri, Ida. Aku mulai dari bawah. Aku menyerap apa saja pengalaman orang lain dan pengalaman di lapangan tentang bagaimana menjalin relasi dengan responden, dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik dari dunia hiburan maupun dari dunia akademis. Kemudian juga terus belajar dan banyak membaca untuk mengisi otak, sebab pelbagai macam pengetahuan yang kita miliki sungguh sangat menunjang tulisan dan opini kita, sehingga kita mampu berbicara dengan berbagai orang dari berbagai tingkat pendidikan maupun strata sosial (Sardjono, 2002 : 302).”
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra sosial
tokoh Gading dalam masyarakat tergambar melalui hubungan dengan sesama
anggota masyarakat. Gading mempunyai peranan sosial yang cukup besar dalam
masyarakat. Sebagai wartawan, Gading mampu memberikan informasi bagi
masyarakat lewat tulisan-tulisannya. Gading juga mendapat empati dari atasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
sehingga jabatannya dinaikkan. Gading juga memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Gading mampu berkomunikasi dengan masyarakat dari kalangan mana pun
dengan kepintaran yang didapatnya dari berbagai lapisan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa citra
diri perempuan pada tokoh Eyang Putri, Ratih, dan Gading mengalamui
perubahan dari aspek fisik, aspek psikis, aspek keluarga, dan aspek masyarakat.
Pada aspek fisik, tokoh Eyang Putri mengalami perubahan. Wajah Eyang
Putri yang cantik berubah menjadi keriput karena usianya yang sudah delapan
puluh empat tahun. Tokoh Ratih mengalami perubahan. Pada usianya yang sudah
lima puluh tahun, wajah Ratih berubah semakin cantik dan bercahaya sehingga
terlihat lebih muda. Tokoh Gading mengalami perubahan. Wajah Gading berubah
menjadi semakin cantik ketika ia bertambah dewasa.
Pada aspek psikis, tokoh Eyang Putri mengalami perubahan sikap dan cara
berpikir. Ajaran yang didapat dari para leluhurnya membuat Eyang Putri
beranggapan bahwa keturunan bangsawan lebih unggul daripada keturunan rakyat
biasa. Anggapan Eyang Putri tersebut berubah ketika ia bertemu langsung dengan
Mas Yoyok. Eyang Putri sadar bahwa tidak hanya bangsawan yang memiliki bibit,
bebet, dan bobot yang baik. Rakyat biasa seperti Mas Yoyok juga memiliki tata
krama dan sopan santun. Tokoh Ratih mengalami perubahan sikap dan cara
berpikir. Pemikiran Ratih bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama
sehingga ia bersikap keras terhadap suaminya telah berubah. Ratih sadar bahwa ia
terlalu bersikap keras. Menurut Ratih, perbedaan pandangan di antara ia dan
suaminya bisa diselesaikan baik-baik dengan pemahaman dan pengertian. Ratih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
mulai memperhatikan suaminya dan berusaha membuat suaminya senang. Gading
mengalami perubahan sikap dan cara berpikir. Pemikiran Gading bahwa
perempuan mampu mengurusi pekerjaan rumah sekaligus berkarier telah berubah.
Ketika Gading menjaga keponakannya, ia sadar bahwa bayi adalah makhluk yang
lemah dan membutuhkan perhatian yang lebih dari orang tuanya sendiri. Gading
memilih mengurusi anak-anaknya di rumah daripada berkarier di luar rumah.
Gading yakin ia masih bisa bekerja walaupun di rumah. Gading bisa menulis dan
mengirim hasil tulisannya ke penerbit-penerbit yang ada.
Pada aspek keluarga, Eyang Putri mengalami perubahan sikap. Eyang
Putri yang selalu menurut dan mematuhi semua keinginan suaminya, berubah
membantah. Eyang Putri tetap menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan
tinggi meskipun suaminya tidak menyetujui. Eyang Putri meneruskan pabrik batik
warisan orang tuanya untuk membiayai kuliah tujuh anaknya. Ratih mengalami
perubahan sikap dan cara berpikir. Ratih selalu bersifat dominan dalam keluarga
dan tidak pernah melayani suaminya. Ratih berubah menjadi sosok yang lebih
pengertian ketika suaminya mengalami kesulitan dalam keuangan dan pekerjaan.
Pada aspek keluarga, tokoh Gading mengalami perubahan sikap maupun
cara berpikir. Gading menjadi anggota keluarga yang bisa diajak bertukar pikiran,
lebih bijaksana, dekat dengan orang tuanya, dan mampu menjadi penengah dalam
keluarganya. Selain itu, Gading juga dekat dan hidup rukun dengan dua orang
saudaranya.
Pada aspek masyarakat, tokoh Eyang Putri tidak mengalami perubahan
sikap dan cara berpikir. Eyang Putri tetap menjadi sosok perempuan yang disegani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
dan dihormati oleh para pekerja di pabrik. Para buruh di pabrik juga sangat senang
dengan Eyang Putri. Mereka selalu menantikan kehadiran Eyang Putri di pabrik
sekedar untuk menyapa dan memberikan teka-teki yang membuat suasana
menjadi santai. Selain itu Eyang Putri berperan penting dalam bidang ekonomi.
Eyang Putri tetap menjalankan usaha batiknya tersebut dan mempekerjakan para
buruh termasuk anak-cucu para buruh sehingga mengurangi tingkat
pengangguran. Eyang Putri juga menambah devisa bagi negara.
Tokoh Ratih mengalami perubahan sikap dan cara berpikir. Pada awalnya,
Ratih menggunakan profesinya untuk menunjukkan bahwa perempuan juga
memiliki otoritas. Ratih selalu membeda-bedakan antara mahasiswa dan
mahasiswi. Ratih memprioritaskan mahasiswi di kelas, tapi akal sehatnya
membuat Ratih berubah pikiran. Ratih menjalani profesi dosen sebagaimana
mestinya sehingga ia menjadi dosen favorit dan dicalonkan sebagai dekan.
Tokoh Gading mengalami perubahan. Gading berpikir bahwa perempuan
harus tetap berkarier di luar rumah meskipun sudah menikah tetapi Gading
berubah pikiran ketika ia mengasuh anak Mas Moyo. Gading memilih untuk
berkarier dari rumah dan tidak meninggalkan anak-anaknya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dilihat persamaan dan perbedaan
antara tiga tokoh utama tersebut. Persamaan tiga tokoh utama ini adalah Eyang
Putri, Ratih, dan Gading merupakan keturunan bangsawan berdarah Jawa, cantik,
berpendidikan tinggi, mandiri secara ekonomi,bertanggung jawab dalam
pekerjaan, cerdas, tegas, lembut, sabar, dan memiliki peranan penting dalam
keluarga dan masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Perbedaan tiga tokoh utama ini adalah Eyang Putri, Ratih, dan Gading
hidup dalam generasi yang berbeda sehingga pandangan mereka berbeda juga.
Eyang Putri beranggapan bahwa laki-laki memiliki tempat di atas perempuan.
Ratih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan setara tapi dalam kehidupan
nyata, Ratih mendominasi suaminya. Gading beranggapan bahwa laki-laki dan
perempuan setara dan harus saling menghargai. Eyang Putri setuju dengan
poligami sedangkan Ratih dan Gading tidak setuju.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari dua analisis yaitu analisis unsur tokoh
dan penokohan dan analisis citra perempuan dalam Novel Tiga Orang Perempuan
karya Maria A. Sardjono”, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Analisis unsur tokoh dan penokohan diuraikan tokoh protagonis meliputi
Eyang Putri, Ratih, dan Gading. Tokoh antagonis meliputi Eyang Kakung, Bapak,
dan Mas Hari. Tokoh bawahan meliputi Mayang, Mandaru, Mas Yoyok dan Ida.
Dalam menganalisis unsur tokoh dan penokohan ditemukan sifat-sifat
Eyang Putri yang meliputi tabah, lembut, berjiwa seni, mandiri secara ekonomi,
tegas, berani, patuh kepada suami, dan menjadi panutan dalam keluarga. Sifat-
sifat Ratih meliputi tegas, tegar, mandiri secara ekonomi, bertanggung jawab
dalam pekerjaan, keras kepala, dan dominan dalam keluarga. Sifat-sifat Gading
meliputi cerdas, lembut, tegas, tegar, mandiri secara ekonomi, dan bisa menajdi
penengah dalam keluarga. Sifat-sifat Eyang Kakung meliputi tidak menghargai
keberadaan perempuan, tidak bertanggung jawab dalam keluarga, dan egois. Sifat-
sifat Bapak meliputi sabar, lembut, mengalah, mengganggap laki-laki memiliki
tempat di atas perempuan sehingga tidak mau membantu istri menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga. Sifat-sifat Mas Hari meliputi suka menggoda
perempuan, pandai bergaul, lebih mementingkan diri sendiri, menggunakan status
sosial yang tinggi untuk mendapatkan kenikmatan, dan mengganggap cinta hanya
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
berhubungan dengan hal-hal fisik.Sifat-sifat Mas Yoyok meliputi dewasa, pekerja
keras, pandai menabung, setia, dan tidak mudah tergoda dengan perempuan
cantik. Sifat-sifat Ida meliputi pribadi yang menyenangkan dan tidak pernah
melupakan sahabat meskipun terpisah lama. Sifat-sifat Mayang meliputi polos,
baik, dan tidak suka mendendam. Sifat-sifat Mandaru meliputi hemat, pandai
menabung, acuh, dan kritis.
Dalam meneliti citra perempuan, penulis menemukan citra diri Eyang
Putri dalam aspek fisik adalah cantik, beruban, penglihatan tajam, suara tegas,
selalu mengenakan kain batik yang berbau harum dan bedak buatan sendiri. Citra
diri Eyang Putri dalam aspek psikis adalah perempuan dewasa yang memiliki
perasaan dan kepribadian yang baik, sabar menghadapi perlakuan suami, tabah,
pasrah,mandiri, berpendidikan tinggi, tegas dan tegar.Citra sosial Eyang Putri
dalam aspek keluarga adalah bertanggung jawab sebagai istri, melayani dan
berkorban untuk suami. Sebagai seorang ibu, Eyang Putri memberikan yang
terbaik untuk kehidupan dan pendidikan anak-anak. Citra sosial Eyang Putri
dalam aspek masyarakat adalahbertanggung jawab dalam pekerjaan.Eyang Putri
melestarikan budaya Jawa, yaitu batik. Eyang Putri mendapat empati dari
masyarakat karena sikapnya yang menyenangkan, disegani, dan dihormati. Eyang
Putri juga berperan penting dalam bidang sosial masyarakat dan ekonomi. Eyang
Putri meneruskan perusahan batik orang tuanya sehingga membantu masyarakat
memenuhi kebutuhan hidup dan mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu,
perusahan batik milik Eyang Putri dapat menambah devisa negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Citra diri Ratih dalam aspek fisik adalah cantik, berusia lima puluh tahun,
bermata indah sehingga terlihat lebih muda dari usianya. Citra diri Ratih dalam
aspek psikis adalah perempuan dewasa, berkepribadian baik, tertutup, mandiri,
berpendidikan tinggi, tegas, menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Citra sosial Ratih dalam aspek keluarga adalah sebagai seorang anak,
Ratih sangat dekat dengan ibunya. Sebagai seorang istri, Ratih sangat dominan,
selalu memperhatikan urusan rumah sampai pada hal yang kecil. Sebagai seorang
ibu, Ratih sangat perhatian dan tidak ingin anak-anaknya direndahkan. Ketika
suaminya dalam kesulitan, Ratih mampu membantu secara moril maupun materi.
Citra sosial Ratih dalam aspek masyarakat adalahbertanggung jawab dalam
pekerjaan, memiliki peranan dalam bidang pendidikan yaitu mencerdaskan
masyarakat lewat profesinya sebagai dosen. Ratih menjunjung tinggi nilai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ia menjadi dosen yang banyak
mendapat empati, sehingga sering dipilih sebagai dosen pembimbing skripsi dan
dicalonkan sebagai dekan.
Citra diri Gading dalam aspek fisik adalah cantik, berusia dua puluh
delapan tahun, memiliki tangan yang halus dan jari yang indah, sering memakai
perhiasan yang senada dengan gaun jika ingin menghadiri acara-acara formal.
Citra diri Gading dalam aspek psikis adalah dewasa, berkepribadian baik, cerdas,
tegas, berpendidikan tinggi, mandiri secara ekonomi, Gading menjunjung tinggi
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Citra sosial Gading dalam aspek
keluarga adalah Gading sangat dekat dengan anggota keluarga lainnya. Gading
sering bertukar pikiran dengan mereka. Gading mampu mempersatukan orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
tuanya yang hampir bercerai. Citra sosial Gading dalam aspek masyarakat adalah
Gading mempunya peranan sosial yang cukup besar dalam masyarakat. Sebagai
wartawan, Gading mampu memberikan informasi bagi masyarakat lewat tulisan-
tulisannya. Gading juga mendapat empati dari atasan sehingga jabatannya
dinaikkan. Gading juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Gading mampu
berkomunikasi dengan masyarakat dari kalangan mana pun dengan kepintaran
yang didapatnya dari berbagai lapisan.
4.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas, saran yang dapat diberikan adalah novel Tiga
Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono masih memiliki banyak permasalahan
yang bisa digunakan sebagai bahan penelitian. Novel ini dapat diteliti dengan
menggunakan pendekatan psikologi sastra karena tokoh Eyang Putri, Ratih, dan
Gading mengalami konflik batin. Konflik batin yang dialami Eyang Putri berupa
keberaniannya menyekolahkan anak-anaknya ketika suaminya melarang. Konflik
batin yang dialami Ratih berupa keberaniannya mengambil keputusan untuk
bercerai dengan suaminya karena pengkhianatan yang telah dilakukan. Konflik
batin yang dialami Gading berupa keberaniannya mengambil keputusan untuk
berpisah dengan Mas Yoyok karena perbedaan prinsip hidup di antara mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ferawati. 2005. “Persoalan Perempuan Menurut Pandangan Pengarang Laki-Laki
dan Pengarang Perempuan dalam Novel-Novel Indonesia”. Stable
URL: http://www. scribd.com/doc/46250846. Diunduh: 16/07/08,
19.00.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Purwanti, Sri Eka. 2007. “Citra Perempuan dalam Novel Perempuan Jogja Karya
Achmad Munif”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sardjono, Maria. A. 1992. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa
Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
_______, Maria A. 2002.Tiga Orang Perempuan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Setiawan, Agus. 2005. “Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi
dalam Novel Tiga Orang PerempuanKarya Maria A. Sardjono”.
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Stable URL: http://www.scribd.com/46250847. Diunduh 16/07/08,
19:12.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty.
Bandung: Nuansa
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yudiono, K. S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
BIOGRAFI PENULIS
AnasthassyaHesta Latuny lahir di RS. Otto
Kuik, Kota Ambon, Maluku pada tanggal 20
Agustus 1984 dari pasangan Bapak Lodwyk
Silvester Latuny dan Ibu Noorce
Lohy/Latuny.Penulis memulai pendidikan
sekolahnya sejak tahun 1989di Taman
Kanak-kanak Kristen Belso.Dilanjutkan ke
jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri 18 Ambon pada tahun 1990-1996,
dan dilanjutkan ke tingkat menengah
pertama di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri 1 Ambonpada tahun 1996-
1999. Penulis melanjutkan ke tingkat
menengah atas diSekolah Menengah Umum
Negeri 1 Ambon pada tahun 1999-2002.
Pendidikan terakhir yang ditempuh penulis pada tahun 2003 hingga sekarang di
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Pada tahun
2007, penulis bekerja sebagai Manager pada ES Management Artist kemudian
pada pertengahan tahun 2008-2009, penulis bekerja untuk Demian Aditya sebagai
Show Director. Pada pertengahan tahun 2009 sampai awal tahun 2010, penulis
bekerja sebagai Public Relationuntuk Edo Shadow, salah satu kandidat The
Master Season 4. Pada pertengahan tahun 2010 penulis mengungdurkan diri dari
pekerjaannya dan fokus pada tugas akhir.
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI