plagiat merupakan tindakan tidak terpuji - core.ac.uk · rishe purnama dewi, s.pd., m.hum.,sebagai...
TRANSCRIPT
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN
DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN
DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Nuridang Fitranagara
091224089
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN
DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN
DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Nuridang Fitranagara
091224089
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN
DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN
DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Nuridang Fitranagara
091224089
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing I
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal 10 Desember 2013
Dosen Pembimbing II
Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. Tanggal 10 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN
DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN
DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Nuridang Fitranagara
091224089
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 27 Januari 2014
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ......................
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ......................
Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ......................
Anggota 2 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ......................
Anggota 3 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ......................
Yogyakarta, 27 Januari 2014
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO
Berkacalah pada semut
Sikap gotong royongnya mampu membuat sesuatu yang besar
menjadi seringan kapas dihadapan mereka.
Dan mereka takkan pernah menyerah sampai tercapainya tujuan mereka.
(Nuridang Fitranagara)
Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan; dan
saya percaya pada diri saya sendiri.
(Muhammad Ali)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Tuhan Yang Maha Esa yang selalu mendampingi dan melindungi saya
Kedua orang tua saya yang tercinta Bapak Nurgito dan Ibu Ngadiyem
yang selalu mendoakan, memberikan semangat, mendukung, membimbing,
dan menyayangi saya
Adikku tersayang Nuranggi Fanjari Pangestu
Teman-temanku seperjuangan Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia,
Katarina Yulita Simanulang, dan Valentina Tris Marwati, kebersamaan dan
perjuangan kita tidak akan pernah terlupakan dan tergantikan
Seluruh sahabat PBSI 2009
Dwi Desember Tiana, Amd.Keb. yang senantiasa selalu memberikan dukungan,
semangat, dan doa kepada saya
Skripsi ini saya persembahkan sebagai tanda terima kasih yang sebesar-besarnya
atas dukungan yang telah diberikan selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 27 Januari 2014
Penulis
Nuridang Fitranagara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Nuridang Fitranagara
Nomor Mahasiswa : 091224089
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM
RANAH KELUARGA NELAYAN DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI
TRISIK, DESA BANARAN DAN PANTAI CONGOT, DESA
JANGKARAN, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas,
dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 27 Januari 2014
Yang menyatakan
(Nuridang Fitranagara)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Fitranagara, Nuridang. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Skripsi, Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk tuturan tidak santun dalam ranah keluarga nelayan. Penelitian ini ingin menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang terdapat dalam ranah keluarga nelayan, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh keluarga nelayan, dan (c) maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan.
Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah anggota keluarga nelayan di kampung nelayan pantai Trisik, Desa Banaran dan pantai Congot, Desa Jangkaran, Kulonprogo, Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan oleh keluarga nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Sesuai dengan rumusan masalah, hasil dari penelitian ini adalah pertama wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara yang menyertai tuturan lisan tidak santun yang disampaikan oleh penutur. Kedua penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) intonasi, (2) kata fatis, (3) nada tutur, (4) tekanan, dan (5) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) tujuan penutur, (3) situasi dan suasana, (4) tindak verbal, dan (5) tindak perlokusi. Ketiga maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun meliputi (1) kategori melanggar norma meliputi maksud berbohong, membela diri, dan menunda; (2) kategori mengancam muka sepihak meliputi maksud menggoda, mengejek, menghindar, membela diri, berbohong, dan menolak; (3) kategori melecehkan muka meliputi maksud mengusir, menolak, malas, menyindir, kesal, memaksa, menakut-nakuti, membela diri, berbohong, kecewa, menagih, mengejek, dan memarahi; (4) kategori menghilangkan muka meliputi maksud kesal, kecewa, memarahi, menasihati, mengejek, dan menggoda; dan (5) kategori menimbulkan konflik meliputi maksud kesal, kecewa, memberitahu, dan menolak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Fitranagara, Nuridang. 2014. Linguistic and Pragmatic Impoliteness in Fisherman Family Domain The Fishing Village Trisik Beach, Banaran Village and Congot Beach, Jangkaran Village, Kulonprogo, Yogyakarta. Thesis, Yogyakarta: PBSI, PBSI, FKIP, USD.
This research discuss about the types of impoliteness utterances which is
used by fisherman family domain. This research try to find out three research problems; (a) forms of linguistic and pragmatic impoliteness in using language which happened is fisherman family domain, (b) linguistic and pragmatic impoliteness marker in language used by the fisherman family domain, and (c) what is the basic purpose for someone who is using impolite utterances in fisherman family domain. According to the method, this research is including to the qualitative descriptive research. The source of the data for this research is family members of fisherman family at fisherman village of Trisik beach, Banaran village and Congot beach, Jangkaran village, Kulonprogo, Yogyakarta. The data of this research are the impolite utterances which are used by the fisherman family. The method of data gathering that is used by this research is listening method and speaking method with tapping technique and enticement technique. The instrument that is used in this research is guideline of questionnaire (list of questions), enticement, list of case, and the researcher himself. The data analysis technique in this research is using the method of contextual. According to the research problem, the results of this research are; first, the form of linguistic impolite which is found is the oral utterances that the writer has made the transcript of it, on the other hand the form of pragmatic impolite is oral utterances is how the utterances is delivered by the speaker. Second is the label of the linguistic impolite that is found are (1) intonation, (2) phatic word, (3) tone, (4) stress and (5) diction. The sign of pragmatic impolite can be seen according to the context which contains utterances in it. The context contains of (1) the speaker and partner, (2) the purpose of the speaker, (3) situation and the condition, (4) verbal action, and (5) perlocutionary act. Third, the basic purpose someone who is using the form of impolite utterances are (1) category of impolite which is break the norm contains of lying, defend one self, and delaying, (2) category of face threaten unilaterally impoliteness contains of tease, mocking, avoid, defend one self, lying, dan refuse; (3) category of face threatening impoliteness contains of extrude, refuse, lazy, satirize, annoyed, require, scare, defend one self, lying, disappointed, remind, mocking, and rebuke; (4) category of impolite omitting the face contains of annoyed, disappointed, rebuke, advise, mocking, and tease; and (5) category of impolite rising conflict contains of annoyed, disappointed, notify, and refuse.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah
Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai
Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Skripsi ini disusun
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS),
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai dosen pembimbing I yang
dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., sebagai dosen pembimbing II yang
selalu mengarahkan, membimbing, memotivasi, dan memberikan berbagai
masukan yang memjadikan penulis lebih baik dan dapat menyelesaikan
skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
7. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan karakteristik masing-masing telah
membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan yang penulis
butuhkan
8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat prodi PBSI yang dengan
sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam
menyelesaikan berbagai urusan administrasi.
9. Seluruh keluarga nelayan di Desa Banaran dan Desa Jangkaran, kabupaten
Kulonprogo, Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam melaksanakan
penelitian.
10. Teman-teman seperjuangan Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda
Natalia, Katarina Yulita Simanulang, dan Valentina Tris Marwati yang
selalu penulis sayangi dan selalu bersama dalam tawa dan duka, jatuh dan
bangkit, serta yang selalu berjuang bersama dengan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Konco-konco kenthel Mikael Jati Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik
Putriana, S.Pd., Bambang Sumarwanto, S.Pd., Dedy Setyo Herutomo, Ade
Henta Hermawan, Yudha Hening Pinanditho, Ignatius Satrio Nugroho,
Reinardus Aldo Aggasi, Fabianus Angga Renato, Yustinus Kurniawan,
Yohanes Marwan Setiawan, Danang Istianto, Prima Ibnu Wijaya, Petrus
Temistokles, Agatha Wahyu Wigati, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit
Warasinta, Martha Ria Hanesti, Asteria Ekaristi, Yustina Cantika Advensia,
Elizabeth Ratih Handayani dan semua kawan-kawan PBSI 2009 yang
penulis cintai dan yang telah bersama-sama dalam suka, semangat, lelah,
jatuh, duka, dan akhirnya bersama-sama meraih sukses dari PBSI.
12. Teman-teman kost Narendra Ignatius Satrio Nugroho, Reinardus Aldo
Aggasi, Ulius Ferdian, Ardiansyah Fauzi, Claudius Hans Christian
Salvatore, Faida Fitria Fatma yang selalu selo untuk memberikan semangat
dalam hal apapun.
13. Seluruh keluarga yang selalu mendukung dari awal hingga akhir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
14. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas kehadiran kalian yang telah
memberikan pengalaman luar biasa untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 27 Januari 2014
Penulis
Nuridang Fitranagara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN MOTO .................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN ....................................................................................... xviii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
1.5 Sistematika Penelitian ............................................................................. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 9
2.1 Penelitian yang Relevan .......................................................................... 9
2.2 Pragmatik ................................................................................................ 15
2.3 Fenomena Pragmatik .............................................................................. 16
2.3.1 Praanggapan .................................................................................. 16
2.3.2 Tindak Tutur ................................................................................. 17
2.3.3 Implikatur ...................................................................................... 19
2.3.4 Deiksis .......................................................................................... 21
2.3.5 Kesantunan ................................................................................... 23
2.3.6 Ketidaksantunan ............................................................................ 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.4 Teori Ketidaksantunan ........................................................................... 27
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher .......................................................................................... 28
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Bousfield ...................................................................................... 29
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Culpeper ....................................................................................... 31
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Terkourafi .................................................................................... 32
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher and Watts ......................................................................... 34
2.5 Konteks .................................................................................................. 36
2.6 Unsur Segmental .................................................................................... 44
2.6.1 Diksi ............................................................................................. 44
2.6.2 Kategori Fatis ............................................................................... 50
2.7 Unsur Suprasegmental ........................................................................... 52
2.7.1 Tekanan ......................................................................................... 53
2.7.2 Intonasi .......................................................................................... 53
2.7.3 Nada .............................................................................................. 54
2.8 Maksud dan Makna ................................................................................ 55
2.9 Kerangka Pikir ....................................................................................... 57
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 61
3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 61
3.2 Data dan Sumber Data ........................................................................... 62
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................................. 64
3.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 65
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data .......................................................... 66
3.5.1 Metode dan Teknik Analisis Data secara Linguitik ...................... 67
3.5.2 Metode dan Teknik Analisis Data secara Pragmatik .................... 67
3.6 Sajian Hasil Analisis Data ...................................................................... 68
3.7 Trianggulasi Data ................................................................................... 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 70
4.1 Deskripsi Data ........................................................................................ 70
4.2 Analisis Data .......................................................................................... 74
4.2.1 Melanggar Norma ........................................................................ 75
4.2.1.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 75
4.2.1.2 Subkategori Menunda ...................................................... 78
4.2.2 Mengancam Muka Sepihak .......................................................... 80
4.2.2.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 80
4.2.2.2 Subkategori Mengejek ...................................................... 82
4.2.2.3 Subkategori Menunda ...................................................... 84
4.2.2.4 Subkategori Menolak ....................................................... 85
4.2.3 Melecehkan Muka ........................................................................ 86
4.2.3.1 Subkategori Menyindir .................................................... 87
4.2.3.2 Subkategori Menegaskan ................................................. 88
4.2.3.3 Subkategori Memerintah ................................................. 89
4.2.3.4 Subkategori Menegur ...................................................... 90
4.2.3.5 Subkategori Menolak ....................................................... 92
4.2.3.6 Subkategori Memperingatkan ......................................... 93
4.2.3.7 Subkategori Mengancam .................................................. 94
4.2.3.8 Subkategori Mengusir ..................................................... 95
4.2.3.9 Subkategori Menagih ....................................................... 96
4.2.3.10 Subkategori Mengejek ................................................... 97
4.2.3.11 Subkategori Menasihati ................................................. 98
4.2.4 Menghilangkan Muka .................................................................. 99
4.2.4.1 Subkategori Menyindir .................................................... 100
4.2.4.2 Subkategori Mengejek ..................................................... 101
4.2.4.3 Subkategori Menegur ...................................................... 104
4.2.4.4 Subkategori Menyinggung .............................................. 105
4.2.5 Menimbulkan Konflik .................................................................. 107
4.2.5.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 107
4.2.5.2 Subkategori Menolak ....................................................... 109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.2.5.3 Subkategori Menyinggung .............................................. 111
4.2.5.4 Subkategori Mengumpat ................................................. 112
4.2.5.5 Subkategori Menegur ...................................................... 113
4.2.5.6 Subkategori Mengancam ................................................. 115
4.3 Pembahasan ............................................................................................ 116
4.3.1 Kategori Melanggar Norma ......................................................... 117
4.3.1.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 117
4.3.1.2 Subkategori Menunda ...................................................... 122
4.3.2 Kategori Mengancam Muka Sepihak ........................................... 127
4.3.2.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 127
4.3.2.2 Subkategori Mengejek ..................................................... 131
4.3.2.3 Subkategori Menunda ...................................................... 136
4.3.2.4 Subkategori Menolak ....................................................... 139
4.3.3 Kategori Melecehkan Muka ......................................................... 143
4.3.3.1 Subkategori Menyindir .................................................... 143
4.3.3.2 Subkategori Menegaskan ................................................. 145
4.3.3.3 Subkategori Memerintah ................................................. 148
4.3.3.4 Subkategori Menegur ...................................................... 150
4.3.3.5 Subkategori Menolak ....................................................... 153
4.3.3.6 Subkategori Memperingatkan ......................................... 155
4.3.3.7 Subkategori Mengancam ................................................. 157
4.3.3.8 Subkategori Mengusir ..................................................... 159
4.3.3.9 Subkategori Menagih ....................................................... 162
4.3.3.10 Subkategori Mengejek ................................................... 164
4.3.3.11 Subkategori Menasihati ................................................. 166
4.3.4 Kategori Menghilangkan Muka ................................................... 169
4.3.4.1 Subkategori Menyindir .................................................... 169
4.3.4.2 Subkategori Mengejek ..................................................... 174
4.3.4.3 Subkategori Menegur ...................................................... 178
4.3.4.4 Subkategori Menyinggung .............................................. 182
4.3.5 Kategori Menimbulkan Konflik ................................................... 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
4.3.5.1 Subkategori Menegaskan ................................................. 185
4.3.5.2 Subkategori Menolak ....................................................... 188
4.3.5.3 Subkategori Menyinggung .............................................. 191
4.3.5.4 Subkategori Mengumpat ................................................. 194
4.3.5.5 Subkategori Menegur ...................................................... 196
4.3.5.6 Subkategori Mengancam ................................................. 199
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 202
5.1 Simpulan ................................................................................................ 202
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ..................... 202
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik .................. 202
5.1.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ................. 203
5.1.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak .. 203
5.1.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ................ 204
5.1.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ........... 204
5.1.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik .......... 205
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur ............................................... 206
5.2 Saran ....................................................................................................... 206
5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan .................................................................. 206
5.2.2 Bagi Keluarga Nelayan ................................................................ 207
5.2.3 Implikasi Penelitian ..................................................................... 207
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 209
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pikir ................................................................................... 57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data Tuturan Melanggar Norma ...................................................... 70
Tabel 2 Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak ....................................... 71
Tabel 3 Data Tuturan Melecehkan Muka ...................................................... 71
Tabel 4 Data Tuturan Menghilangkan Muka ................................................ 73
Tabel 5 Data Tuturan Menimbulkan Konflik ................................................ 73
LAMPIRAN ................................................................................................. 212
BIOGRAFI PENULIS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup tidak akan pernah terpisahkan oleh bahasa dan komunikasi,
khususnya manusia. Manusia berkomunikasi melalui bahasa, Sumarsono
(2004:53) memaparkan bahwa masyarakat manusia, apa pun bentuknya, selalu
memerlukan alat atau cara untuk berkomunikasi di antara sesama warganya.
Sedangkan, untuk mengukur apakah seseorang memiliki kepribadian baik atau
buruk adalah dengan melalui ungkapan pikiran dan perasaan melalui tindak
bahasa (baik verbal maupun nonverbal) (Pranowo, 2009:3). Bahasa verbal adalah
bahasa yang diungkapkan secara lisan (bentuk ujaran) atau tertulis, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gestur,
sikap, atau perilaku. Bahasa sangat penting dalam kehidupan menusia walaupun
sering secara tak sadar kita menganggap itu hanya hal yang sepele.
Linguistik merupakan ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa.
Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya
dari makhluk-makhluk yang lain. Ilmu yang mempelajari hakekat dan ciri-ciri
bahasa disebut ilmu lingustik. Linguistiklah yang mengkaji unsur-unsur bahasa
serta hubungan-hubungan unsur itu dalam memenuhi fungsinya sebagai alat
perhubungan antarmanusia (Nababan, 1984:1). Linguistik memiliki dua aspek,
yaitu aspek internal bahasa dan aspek eksternal bahasa. Aspek internal bahasa
mengkaji tentang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan, aspek
eksternal bahasa mengkaji pragmatik yang memiliki ruang lingkup kajian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, dan kesantunan. Pragmatik
merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa dan selalu terkait
dengan konteks. Rahardi (2003:16) mengemukakan bahwa ilmu pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Pragmatik yang mengkaji maksud penutur di dalam
konteks situasi dan lingkungan sosial tertentu berkaitan dengan kesantunan dan
ketidaksantunan berbahasa.
Berbahasa secara baik dan benar, secara santun, bahkan berbahasa dengan
menggunakan bahasa slengekan (bahasa slang) merupakan beberapa penyampaian
informasi kepada mitra tutur oleh penutur. Pranowo (2009:4) mengemukakan
bahwa struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca.
Berbahasa secara santun biasanya digunakan kepada orang yang lebih tua, lebih
tinggi tingkat sosialnya, atau dapat dikatakan dari yang lebih rendah ke yang lebih
tinggi. Sebenarnya untuk berbicara secara santun tidak perlu melihat tingkat
sosial, umur, atau apa pun. Kita sebagai manusia yang mempunyai jiwa sosial
tinggi seharusnya sadar harus selalu berbicara dengan santun kepada siapa pun
sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Kenyataan tersebut menjadi tujuan bagi peneliti untuk mengetahui
bagaimana tingkat ketidaksantunan di dalam keluarga nelayan. Miriam A. Locher
(2008:3) mendefinisikan ketidaksantunan sebagai ‘behaviour that is face-
aggravating in a particular context’. Jadi, menurut Miriam A. Locher
ketidaksantunan adalah perilaku atau tindakan pemakaian bahasa (berbahasa)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
yang melecehkan muka (face-aggravating) di dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam buku Impolineteness in Language (2008:3), Derek Bousfield juga
memaparkan tentang ketidaksantunan yang dipahaminya sebagai, ‘I take
impoliteness as constituting the issuing of intentionally gratuitous and conflictive
face-threatening act (FTAs) that are purposeflly performed’. Maksud Bousfield
mengenai ketidaksantunan adalah apabila perilaku berbahasa seseorang itu
mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono
(gratuitous), hingga akhirnya tindakan sembrono tersebut mendatangkan konflik,
atau bahkan pertengkaran, dan tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan
(purposeflly).
Ketidaksantunan akan dapat menyebabkan rasa curiga, kebencian, sikap
berprasangka buruk oleh mitra tutur terhadap penutur. Contohnya, saat seorang
nelayan pulang dari melaut dalam keadaan lapar dan di rumah tidak ada makanan.
Nelayan yang emosi dengan spontan mengatakan demikian kepada istrinya,
“sedino ki ngopo wae? Wong lanang sayah golek duwit, tekan omah kon mangan
piring!”. Hal ini yang seharusnya dihindari oleh penutur agar terjalin hubungan
yang baik, penuh dengan pikiran positif, dan menjadikan hidup penuh dengan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Manusia hidup membutuhkan bantuan manusia
lainnya, manusia hidup secara sosial, perilaku berbahasa sangatlah penting bagi
manusia dalam berkomunikasi, jadi hindari ketidaksantunan dalam berbahasa.
Status sosial atau strata sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat
mempengaruhi cara berkomunikasi atau berbahasa. Kelompok masyarakat terkecil
atau keluarga merupakan awal terbentuknya bagaimana masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berkomunikasi atau berbahasa, dan itu berkiatan dengan status sosial masing-
masing keluarga. Secara umum, status sosial dibagi menjadi tiga kelas atau
tingkatan, yaitu level masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah.
Kelas atas merupakan kelompok atau keluarga elite di masyarakat seperti keluarga
pejabat dan kelompok elite lainnya. Kelas menengah mewakili kelompok
profesional, kelompok pekerja, wiraswasta, pedagang, dan kelompok fungsional
lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian,
buruh lepas, dan kelompok bawah lainnya. Bungin (2006:49–50) mengemukakan
bahwa kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang
tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada
lingkungan itu. Strata sosial tidaklah hanya berpengaruh terhadap cara
berkomunikasi di lingkungan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi bagaimana
cara berkomunikasi di dalam keluarga.
Kenyataannya kini banyak orang yang kurang santun terhadap orang lain,
bahkan di dalam keluarga. Ketidaksantunan merupakan penyimpangan dari
kesantunan berbahasa yang dilakukan secara tidak sengaja, sengaja, bahkan sudah
menjadi kebiasaan. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya
ketidaksantunan. Salah satunya adalah faktor keluarga. Pendidikan setiap orang
berawal dari keluarga. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap cara berbahasa
seseorang. Pranowo (2009:26–27) mengemukakan bahwa orang tua yang
mendidik anak di rumah dengan bahasa yang santun, halus, dan baik, ketika
mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah, mereka juga akan
berbahasa santun, halus, dan baik. Namun, jika kebiasaan orang tua yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
mendidik anak-anaknya dengan keras dan dengan kata-kata yang kurang santun
membuat anak akan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya, sehingga bisa
saja terjadi ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga.
Tuturan yang diambil sebagai sampel adalah tuturan-tuturan yang dihasilkan
oleh keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Congot, Kabupaten
Kulonprogo, Yogyakarta. Peneliti memilih tuturan keluarga nelayan sebagai
sumber data karena ingin mengetahui ketidaksantunan berbahasa yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari keluarga nelayan di Kabupaten Kulonprogo. Pantai
Trisik yang terletak di Desa Banaran, Galur, Kulonprogo dan Pantai Congot di
Desa Jangkaran, Temon, Kulonprogo memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan
pantai-pantai yang lainnya di Kulonprogo, sebab nuansa nelayan dan
perikanannya yang begitu kuat. Selain itu, kedua desa tersebut merupakan desa
yang nelayannya paling aktif dan memiliki pelabuhan perikanan paling ramai di
Kabupaten Kulonprogo. Pantai Trisik terletak di Desa Banaran, Kecamatan Galur,
Kabupaten Kulonprogo, sedangkan Pantai Congot terletak di Desa Jangkaran,
Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.
Berdasarkan latar belakang di atas, penilitian ini bermaksud mengkaji
ketidaksantunan dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik
di Desa Banaran dan Pantai Congot di Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta yang ditinjau dari kajian pragmatik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat
dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa
Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa saja yang digunakan
oleh keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan
Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan di kampung
nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran,
Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa
Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa saja
yang digunakan oleh keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan di
kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa
Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil bagi berbagai pihak.
Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Manfaat teoretis
a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
bahasa, khususnya pragmatik di PBSI.
b) Memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru.
Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tidak akan
bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya
pragmatik. Jadi, peneliti akan mengkaji secara mendalam mengenai
fenomena ketidaksanunan dalam berbahasa agar dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.
2) Manfaat praktis
a) Kajian ini akan dapat digunakan oleh para praktisi dalam ranah keluarga
untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa
yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
b) Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup
keluarga, yang merupakan faktor penting dan berpengaruh bagi
pembentukan karakter bangsa.
1.5 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-
penelitian yang relevan, (2) fenomena pragmatik, (3) teori pragmatik, (4) teori
ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur
suprasegmental, dan (8) maksud dan makna.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik
pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,
(6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan
berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka
pikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang
digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori
pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental,
unsur suprasegmental, dan maksud dan makna. Kerangka pikir berisi tentang
acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu
dan teori terdahulu yang relevan yang akan digunakan untuk menjawab rumusan
masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Kajian pragmatik tentang ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan
fenomena pragmatik baru dan belum banyak dikaji secara mendalam oleh peneliti
bahasa. Maka itu, penelitian pragmatik yang mengkaji tentang ketidaksantunan
berbahasa ini belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan
berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang
ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang
dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), Ceacilia Petra Gading May
Widyawari (2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Olivia Melissa
Puspitarini (2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka
Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa
Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis
penilitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan
metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa
pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian
ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang
ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud
ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2)
tekanan, (3) intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks
tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak
verbal, dan (4) tindak perlokusi. Ketiga, makna penanda ketidaksantunan dari
masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda
ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan
mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda
ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel
mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna
penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur
bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik,
(4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur
membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna
penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman
atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak
memberikan pilihan bagi mitra tutur.
Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh
Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini
mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna
ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan
2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode
dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik
sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,
kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik
lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Galuh Eka Noviyanti (2013). Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik
dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka,
sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra
tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan,
intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak
verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan
berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan
itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4)
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5)
mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan
penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode
simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa
pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh
Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program
Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan
dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa
panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini
juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni pertama, wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan
pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda
ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda
pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi,
dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa
meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra
tutur, (2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra
tutur, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra
tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik
bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, (4) menghilangkan muka
yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5)
mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra
tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji mengenai
ketidaksantunan berbahasa, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
pendidikan. Keempat penelitian tersebut menemukan tiga hal penting mengenai
masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa dalam ranah pendidikan. Dengan mengacu
pada keempat penelitian di atas, peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai
ketidaksantunan berbahasa, khususnya dalam ranah keluarga nelayan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2.2 Pragmatik
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi. Bahasa sangat dibutuhkan
oleh manusia, karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka
dengan cara berkomunikasi dengan manusia lainnya. Sebagai anggota masyarakat
yang mempunyai jiwa sosial tinggi, masyarakat merupakan orang yang sangat
bergantung pada penggunaan bahasa. Terjadinya komunikasi tidak pernah lepas
dari suasana dan konteks. Salah satu cara untuk mengetahui tentang hal tersebut
adalah melalui sudut pandang pragmatik.
Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa
dan selalu terikat dengan konteks (siapa yang diajak berbicara, kapan, di mana,
apa, dan dalam keadaan yang bagaimana). Dalam kehidupan bersosial atau
bermasyarakat pasti terjadi komunikasi. Komunikasi yang terjadi di masyarakat
memiliki maksud dan tujuan. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis
mengenai apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya (Yule, 2006:3).
Yule (2006:3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang
mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut
konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang mengkaji tentang
ungkapan dari jarak hubungan.
Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of
meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan
definisi pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau
tergantung pada penggunaan bahasa. Definisi lain dijelaskan oleh Levinson
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
(1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik &
Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:
“Pragmatics is the study of those relations between language and context that are
grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi
Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan
konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.
Dari definisi beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan ilmu kebahasaan yang mengkaji mengenai maksud sebuah tuturan
yang berdasar pada penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks situasi
di mana tuturan itu terjadi. Dengan demikian, pragmatik adalah ilmu yang
mengkaji antara hubungan bahasa dan konteks.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji
lima fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, dan
kesantunan. Kelima fenomena tersebut akan dijelasakan lebih lanjut sebagai
berikut.
2.3.1 Praanggapan
Manusia setiap harinya pasti melakukan komunikasi. Dalam berkomunikasi
pasti terdapat gagasan apa yang akan dituturkan kepada mitra tutur. Anggapan
bahwa ketika penutur menyampaikan informasi tertentu sudah diketahui oleh
pendengarnya. Karena informasi tersebut dianggap sudah diketahui, maka
informasi yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan dan akibatnya akan
menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh
penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 2006:43).
Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu presupposisi
eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi nonfaktif, presupposisi leksikal,
presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan.
Levinson (1983:201-202) dalam Nadar (2009:66) menyimpulkan dari
berbagai definisi-definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli bahasa,
mengemukakan bahwa presupposisi pragmatik mengandung dua hal pokok yaitu
kesesuaian ‘appropriateness’ atau kepuasan ‘felicity’ dan pemahaman bersama
‘mutual knowledge’, atau ‘common ground’ dan ‘joint assumption’. Dengan
demikian pemahaman bersama ‘common ground’ dan kesesuaian
‘appropriateness’ merupakan hal-hal mendasar dalam berbagai definisi mengenai
presupposisi pragmatik. Jadi, praanggapan merupakan sesuatu yang dianggap
(oleh penutur) sudah diketahui oelh lawan tutur.
2.3.2 Tindak tutur
Tindakan-tindakan yang ditampilkan melalui tuturan biasanya disebut
tindak tutur. Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan
mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Yang pertama adalah tindak
lokusi, merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan
linguistik yang bermakna. Kedua adalah tindak ilokusi, merupakan beberapa
fungsi yang terbentuk oleh tuturan di dalam pikiran. Tindak ilokusi ditampilkan
melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Ketiga adalah tindak perlokusi,
lawan tutur berasumsi harus melakukan sesuatu sebagai akibat dari suatu tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
(Yule, 2006:83–84). Jadi, tindak tutur merupakan suatu uajaran yang mengandung
tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan
aspek situasi tutur.
Yule (2006:92–94) mengklasifikasi tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi
umum, yaitu:
1) Deklarasi, adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan
(penutur harus mempunyai peran institutional). Contoh: Saya nikahkan
Anda. Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks
khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu
menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.
2) Representatif, adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini
penutur kasus atau bukan. Berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan
pendeskripsian. Contoh: Bumi itu bundar. Pada waktu menggunakan sebuah
representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia
(kepercayaannya).
3) Ekspresif, adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuau yang dirasakan
oleh penutur, berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, dan kesengsaraan. Contoh: Sungguh, saya minta
maaf. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan
oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman
penutur.
4) Direktif, adalah jenis tindak tutur yang dpakai oleh penutur untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu, meliputi perintah, pemesanan, pemberian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
saran, permohonan, dan lain-lain. Contoh: Tolong matikan lampu itu! Pada
waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan
kata (lewat pendengar).
5) Komisif, adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang,
berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar. Contoh: Saya akan kembali. Pada
waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia
dengan kata-kata (lewat penutur).
2.3.3 Implikatur
Yule (2006:61) berpendapat bahwa, seorang pendengar mendengar
ungkapan dari seorang penutur, dan dia harus berasumsi bahwa penutur sedang
melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi.
Informasi itu tentunya memiliki makna yang lebih banyak daripada kata-kata yang
dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah yang disebut dengan implikatur. Jadi bisa
diartikan bahwa, implikatur merupakan maksud yang tersirat di balik tuturan atau
ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur, lawan
tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya (Nadar,
2009:60). Implikatur merupakan contoh utama dari banyaknya informasi yang
disampaikan daripada yang dikatakan. Supaya implikatur-implikatur tersebut
dapat ditafsirkan maka beberapa prinsip kerja sama dasar harus lebih dini
diasumsikan dalam pelaksanannya (Yule, 2006:62).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Pada banyak kesempatan, asumsi kerja sama itu begitu meresap sehingga
asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai prinsip kerja sama percakapan dan
dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang dimaksud dengan maksim
(mengikuti prinsip kerja sama Grice) (Yule, 2006:63).
Yule (2006:69–80) membedakan implikatur menjadi lima macam:
1) Implikatur percakapan
Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah
yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi.
Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan
asumsi kerja sama.
2) Implikatur percakapan umum
Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan
makna tambahan yang disampaikan, hal ini disebut implikatur percakapan
umum.
3) Implikatur berskala
Informasi tertentu yang selau disampaikan dengan memilih sebuah kata
yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini secara khusus tampak
jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang
ditunjukkan dalam skala (semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit)
dan (selalu, sering, kadang-kadang), di mana istilah-istilah itu didaftar dari
skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Dasar implikatur berskala adalah
bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi dilibatkan apabila
bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
4) Implikatur percakapan khusus
Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita
mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi
yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang
disampaikan menghasilkan amplikatur percakapan khusus.
5) Implikatur konvensional
Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini,
implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau
maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam
percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk
menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur
konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan
maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan.
Kata yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan
‘tetapi’.
2.3.4 Deiksis
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal
mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui
bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut
ungkapan deiksis. Ketika seseorang menunjuk suatu objek dan bertanya, “Apa
itu?”, maka ia telah menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk
sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba (Yule, 2006:13).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, dan
membedakan antara ungkapan-ungkapan deiksis ‘dekat penutur (proksimal)’ dan
‘jauh dari penutur (distal)’. Ungkapan yang termasuk dalam deiksis dekat penutur
(proksimal) adalah di sini, ini, sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur
(distal) menggunakan ungkapan itu, di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal
biasanya ditafsirkan sebagai istilah ‘tempat pembicara’, atau ‘pusat deiksis’,
sehingga ‘di sini’ umumnya dipahami sebagai acuan terhadap titik atau keadaan
pada saat tuturan penutur terjadi di tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal
yang menunjukkan ‘jauh dari penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk
membedakan antara ‘dekat dengan lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun
lawan tutur’ (Yule, 2006:14).
Deiksis terbagi menjadi 3 jenis, yakni:
1) Deiksis persona, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk orang.
Misalnya: ku, mu, saya, kamu, dia.
2) Deiksis spasial, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk tempat.
Misalnya: di sini, di sana, di situ.
3) Deiksis temporal, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk waktu.
Misalnya: sekarang, kemudian, kemarin, besok, hari ini, nanti malam.
Levinson (1983:62) via Nadar (2009:55) juga menyebutkan bahwa deiksis
dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu deiksis persona (person deixis),
deiksis ruang (place deixis), dan deiksis waktu (time deixis). Definisi yang
dipaparkan oleh Levinson (1983) dalam Nadar (2009:55-56) tidak jauh berbeda
dengan definisi yang dipaparkan oleh Yule (2006). Deiksis persona berhubungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
dengan pemahaman mengenai peserta pertuturan dalam situasi pertuturan di mana
tuturan tersebut dibuat. Deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi
atau tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi pertuturan.
Deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman titik ataupun rentang waktu saat
tuturan dibuat.
2.3.5 Kesantunan
Bahasa Indonesia sudah memiliki kaidah tentang bahasa yang baik dan
benar. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti ia mampu
menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi, sedangkan bagi seseorang
yang mampu berbahasa secara benar berarti ia mampu menggunakan bahasa
dengan kaidah-kaidah yang berlaku (Panowo, 2009:4–5). Namun, masih terdapat
satu kaidah berbahasa lagi yang perlu mendapat perhatian yaitu kesantunan.
Ketika seseorang sedang berkomunikasi sebaiknya tidak hanya memperhatikan
penggunaan bahasa yang baik dan benar saja, melainkan penggunaan bahasa yang
santun juga harus diperhatikan. Jika seseorang mampu bertutur kata secara halus
dan santun tentu akan mudah diterima dalam masyarakat dan dapat belajar
menghargai atau menghormati lawan tutur. Pranowo (2009:3) mengungkapkan
bahwa, bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Bahkan, bahasa
merupakan cermin kepribadian bangsa. Melalui bahasa yang diungkapkan, baik
verbal maupun nonverbal akan terlihat bagaimana kepribadian seseorang baik atau
buruk.
Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku. Pemakaian bahasa verbal lebih mudah untuk
dilihat atau diamati. Namun, di samping itu terdapat pula bahasa nonverbal yang
mendukung pengungkapan kepribadian seseorang, yakni berupa mimik, gerak-
gerik tubuh, sikap, atau perilaku.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca
(Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan
benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih
baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.
Pemakaian bahasa seseorang berbeda-beda, dalam masyarakat masih
terdapat penggunaan bahasa yang santun maupun tidak santun. Pada
kenyataannya, penggunaan bahasa yang tidak santun lebih banyak terjadi dalam
berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Pranowo (2009:51) memaparkan
beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang
memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir
menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah
kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan
adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak
mahir berbahasa secara santun. Maka dari itu, agar terwujudnya dominasi
penggunaan bahasa santun daripada bahasa yang tidak santun perlu melakukan hal
berikut (a) kaidah kesantunan berbahasa sudah dideskripsikan dengan baik, (b)
kaidah yang sudah dideskripsikan tersebut kemudian disosialisasikan kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
masyarakat, (c) pimbinaan terus menerus melalui berbagai jalur (sekolah, kantor,
lembaga-lembaga lain yang menjadi tempat berkimpulnya orang bnyak), (d)
pengawasan yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk
menggunakan bahasa yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).
Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal,
yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah
ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu
sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, gaya bahasa
digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur.
Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya
pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas
perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut,
Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu
aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek
intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara
(berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur
kalimat. Sedangkan, aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya
masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang
yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur
dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).
Melihat fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat,
beberapa ahli mengidentifikasikan indikator kesantunan berbahasa. Indikator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang
dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009:100–
101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya
memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan
komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan,
segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial
kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Sedangkan, Grice (2000)
dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi.
Kemudian Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip
kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim
kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Selanjutnya, Pranowo
(2009:103–105) mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur
yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang
dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-
nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau
berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.
2.3.6 Ketidaksantunan
Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat
dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun
dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk yang menunjuk pada
perilaku kebahasaan yang tidak baik, kasar, dan melanggar tata krama. Selain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
kelima fenomena di atas, muncul fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh
para ahli linguistik dan pragmatik, fenomena tersebut merupakan ketidaksantunan
berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur
secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung
(menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi
yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur,
penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian
dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur
sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan
menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.
Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat
faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang
yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara.
Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit
meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih
terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena
sifat bawaan “gawan bayi” ang memang suka berbicara tidak santun di hadapan
mitra tutur.
2.4 Teori Ketidaksantunan
Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power
in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) dan telah
dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya yang berjudul “Penelitian
Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Keluarga (Family Domain)”, tampak bahwa beberapa ahli telah menelaah
fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai ketidaksantunan
berbahasa.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Miriam A Locher (2008) dalam Rahardi (2012) berpendapat bahwa
ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour
that is face-aggravating in a particular context.’ Maksud Locher adalah bahwa
ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-
aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak
definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau
sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving
Goffman (cf. Rahardi, 2009).
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-
mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A.
Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan
muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.
Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Locher (2008).
Latar belakang situasi: Kakak sedang menemani adiknya belajar. Kakak
mengomentari tulisan adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Kakak :“Nulis kayak gitu aja lama!” (sambil melihat tulisan adiknya)
“Pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya.”
Adik : “Biarin.”
Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat seorang kakak yang ‘melecehkan
muka’ adiknya. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang kakak
bermaksud untuk mengejek tulisan adiknya. Hal tersebut terlihat dari tuturan
kakak “pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya”, kalimat tersebut menandakan
bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan kepada adiknya
sendiri dan penyampaian tuturan tersebut disampaikan dengan nada guyonan,
tetapi tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan karena akan menyinggung
perasaan mitra tutur.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menfokuskan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud
untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield
Dalam pandangan Bousfield (2008:3) dalam Rahardi (2012),
ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally
gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully
perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’
(gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak
santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka.
Kemudian ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik,
atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan
(purposeful). Berhubungan dengan dimensi-dimensi tersebut, tindakan berbahasa
itu merupakan realitas ketidaksantunan.
Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Bousfield (2008).
Latar belakang situasi: Sore hari bapak dan ibu duduk santai di beranda
rumah. Tiba-tiba janda kembang menyapa mereka.
Janda : “Permisi, Pak, Bu...”(Sambil melanjutkan perjalanan).
Bapak : (Menggrutu kepada sang istri) “Ayu-ayu ko’ janda yo, Bu.
Eman-eman banget.”
Ibu : “Ya sana, kawin meneh karo jandane kae!”
Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat bahwa bapak menyampaikan
tuturan secara ‘sembrono’, hingga tindakan berkategori sembrono demikian
mendatangkan ‘konflik’. Hal tersebut terlihat dari tuturan bapak “ayu-ayu ko’
janda yo, Bu. Eman-eman banget”. Kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat
tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan bukan dengan maksud yang
negatif (suka atau mempunyai rasa terhadap janda tersebut). Tuturan tersebut
seharusnya tidak disampaikan, karena jelas disampaikan secara sembrono dan
mungkin akan menimbulkan konflik. Kemungkinan timbulnya konflik telihat
dalam tuturan yang dilontarkan oleh ibu “ya sana, kawin meneh karo jandane
kae!”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih
menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang
memiliki maksud mengancam muka yang dilakukan secara sembrono dan dapat
memungkinkan terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008) dalam Rahardi (2012) tentang ketidaksantunan
berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative
behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target
to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan
muka’, kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep
‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Jadi, ketidaksantunan dalam berbahasa itu
merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk
membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang
tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Culpeper.
Latar belakang situasi: Malam hari sekitar pukul 19.00 sedang ada
perkumpulan keluarga besar.
Pakde : “Kamu ambil jurusan apa kuliahnya Jon?”
Jono : “Ambil Pendidikan Bahasa Indonesia, Pakde.”
Pakde : “Lho, anak STM ko’ ngambil pendidikan? Bisa po?”
Keluarga : (Tersenyum kecil melihat ke arah Jono dan Pakde).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Jono : (Tersenyum berat)
Berdasarkan contoh di atas, dapat dilihat bahwa Jono merasa ‘kehilangan
muka’ akibat tuturan yang dikeluarkan oleh Pakdenya. Tuturan yang disampaikan
pakde yaitu “lho, anak STM ko’ ngambil pendidikan? Bisa po?” sebenarnya
merupakan suatu candaan atau bisa juga berupa sindiran. Tetapi, candaan atau
sindiran tersebut kurang pantas, karena tuturan itu disampaikan tanpa
memperhatikan konteks situasinya. Konteks situasi di atas adalah dalam konteks
situasi yang sedang ramai karena terdapat kumpul keluarga besar. Dalam hal ini
tuturan tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa mitra tutur merasa dipermalukan oleh penutur. Ketidaksantunan berbahasa
yang diterapkan dalam situasi di atas, termasuk dalam teori menurut pandangan
Culpeper, yakni teori yang menfokuskan pada bentuk penggunaan
ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk
mempermalukan mitra tuturnya.
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi
Terkourafi (2008) dalam Rahardi (2012), memandang ketidaksantunan
sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized
relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no
face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi
perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana
mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu
dari mitra tuturnya.
Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Terkourafi.
Latar belakang situasi: Sebuah keluarga yang beranggotakan Bapak, Ibu,
Kakak, dan Adik sedang makan malam di ruang keluarga sambil menonton
suatu acara di salah satu stasiun televisi swasta.
Kakak : “Minta baksonya, Dik.” (Sambil mengambil satu bakso dari
mengkok adiknya)
Adik : “Waaaasss... Udah punya ko’ masih minta-minta! Kayak
gembel aja.”
Kakak : (Memakan bakso yang diminta dari adiknya dengan asiknya tanpa
menghiraukan apa yang dikatakan oleh adiknya).
Berdasarkan tuturan di atas, menunjukkan bahwa kakak berusaha meminta
bakso milik adiknya, namun hal tersebut membuat adik merasa tidak nyaman.
Dari tuturan yang dihasilkan oleh adik menunjukkan bahwa dia merasakan
ancaman terhadap kehilangan muka, hal ini terlihat dalam tuturan
“waaaasss...udah punya ko’ masih minta-minta! Kayak gembel aja”. Tetapi
kakak tidak merasakan ancaman muka yang dilakukan oleh adiknya yang bertutur
“udah punya ko’ masih minta-minta! Kayak gembel aja”, hal ini terlihat bahwa
kakak tidak merespon ancaman muka yang dilontarkan kepadanya, bahkan kakak
tidak menghiraukannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi (2008) lebih
menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan penutur yang
membuat mitra tutur merasa mendapat ancaman terhadap kehilangan muka, tetapi
penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah memberikan ancaman muka
mitra tuturnya.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts
Locher and Watts (2008) dalam Rahardi (2012), berpandangan bahwa
perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif
(negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan
merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to
negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan
tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more
generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Lohcer
and Watts, 2008:5).
Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Locher and Watts.
Latar belakang situasi: Terdapat anak perempuan bernama Jenni yang
sedang makan di ruang makan.
Jenni : (Sedang makan dengan kaki kanan naik ke atas kursi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Ibu : “Nduk, turunin kakinya! Gak sopan cewek kok makan sambil
jegang gitu.”
Jenni : (Kaget) “Yahh lupa, Bu. Tapi kan gak ada orang lain, Bu, jadi
yaa gak papa dikit-dikit. Heheheee.”
Ibu : “Gimana sihh kamu tuh, kelakuan jelek kayak gitu kok
dipelihara.”
Bahasa tubuh yang dilakukan oleh Jenni merupakan tindakan yang tidak
santun yakni melanggar norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga membuat
ibu marah. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa Jenni sebenarnya tahu
bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan yang tidak santun dengan melanggar
norma-norma sosial yang berada dalam masyarakat, terutama keluarga. Selain itu,
Jenni menanggapi hal tersebut dengan tuturan yang bernada tanpa rasa bersalah.
Hal ini terlihat dari tuturan yang dihasilkan oleh Jenni “Yahh lupa, Bu. Tapi kan
gak ada orang lain, Bu, jadi yaa gak papa dikit-dikit. Heheheee”. Tuturan
tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan karena telah mengacuhkan dan
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
Sebagai rangkuman dari teori yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditegaskan bahwa, pertama, dalam pandangan Miriam A. Locher (2008),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
ketidaksantunan berbahasa adalah tindak berbahasa yang melecehkan dan
memain-mainkan muka mitra tutur atau bisa dikatakan menyinggung perasaan
mitra tutur. Kedua, ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008)
adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono,
hingga mendatangkan konflik. Ketiga, ketidaksantunan menurut pandangan
Culpeper (2008) adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar
kehilangan muka, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Keempat, ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi (2008)
adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap
kehilangan muka, dan penutur tidak mendapat maksud ancaman muka tersebut
dari mitra tutur. Kelima, ketidaksantunan menurut pandangan Locher and Watts
(2008) adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, karena
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori
ketidaksantunan tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melihat
kenyataan berbahasa yang tidak santun dalam ranah keluarga, khususnya keluarga
nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Pantai Congot, Kulonprogo,
Yogyakarta.
2.5 Konteks
Kajian pragmatik tidak lepas dari konteks situasi dan lingkungan sosial
tertentu untuk mengartikan maksud penutur kepada mitra tutur. Rahardi (2003:8)
memaparkan bahwa konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka
macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki
bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi
hadirnya sebuah tuturan.
Konteks telah dibicarakan oleh Malinowsky (1923) jauh sebelum para pakar
linguistik dan pragmatik lainnya membicarakan tentang konteks. Malinowsky
khususnya membahas mengenai konteks yang berdimensi situasi. Malinowsky
(1923) dalam Verschueren (1998:75) via Rahardi (2012) mengatakan, ‘Exactly as
in the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is
a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living
tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation’. Jadi,
Malinowsky (1923) memandang kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk
menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna.
Sejalan mengenai apa yang dipaparkan oleh Malinowsky (1923),
Verschueren (1998) dalam Rahardi (2012) mengatakan bahwa ‘utterer’ (penutur)
dan ‘interpreter’ (mitra tutur) menjadi titik utama dalam pragmatik. Verschueren
(1998:76) via Rahardi (2012) menyebutkan empat dimensi konteks yang sangat
mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.
Pertama adalah ‘The utterer’ dan ‘The interpreter’ adalah dimensi yang
paling signifikan dalam pragmatik. Jadi, penutur dan mitra tutur menjadi titik
fokus dalam pragmatik. Penutur atau utterer memiliki banyak suara (many voice)
atau memiliki banyak kemungkinan kata, sedangkan mitra tutur atau interpreter
memiliki banyak peran. Bahkan seorang penutur atau utterer ada kalanya berperan
sebagai mitra tutur atau interpreter. Jadi, selain penutur berperan sebagai penutur
atau pembicara, tetapi juga sekaligus sebagai pengintepretasi atas apa yang sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
diucapkannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan dalam kaitan dengan penutur
dan mitra tutur selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya adalah jenis kelamin,
adat-kebiasaan, dan semacamnya. Hal tersebut adalah mengenai ‘the influence of
numbers’ alias ‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah
pertutursapaan. Jadi, memang akan menjadi sangat berbeda makna kebahasaan
yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri orang dalam jumlah
banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja, yakni penutur (utterer) dan
mitra tutur (interpreter). Seorang penutur tunggal akan sedikit banyak memiliki
beban psikologis jika berhadapan dengan publik yang jumlahnya tidak sedikit.
Sebaliknya, jika mitra tutur hanya berjumlah satu, sedangkan penutur jumlahnya
jauh lebih banyak, mitra tutur itu akan cenderung menginterpretasi dengan hasil
yang berbeda daripada juka penutur itu hanya satu orang saja jumlahnya. Jadi,
kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan mempengaruhi proses
interpretasi makna oleh mitra tutur. Demikian juga sebaliknya, jika jumlah
penutur itu banyak, maka interpretasi kebahasaan yang akan silakukan mitra tutur
pasti sedikit banyak terpengaruh.
Dimensi kedua yang dipaparkan oleh Verschueren (1998) adalah mengenai
aspek-aspek mental ‘language users’ (pengguna bahasa). Language users
sesungguhnya dapat menunjuk dua pihak, yakni utterer (penutur) dan interpreter
(mitra tutur). Selain hadirnya pihak ke-1 dan pihak ke-2 dalam suatu pertuturan,
kadangkala hadir juga pihak-pihak lain yang perlu sekali dicermati peran dan
pengaruhnya terhadpa bentuk kebahasaan yang muncul. Kehadiran mereka semua
dalam pertutursapaan, akan berpengaruh besar pada dimensi ‘mental’ penutur atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
‘the utterer’. Dengan kata lain harus juga dinyatakan bahwa dimensi-dimensi
mental ‘language users’ dalam peristiwa pertuturan itu berubah. Jadi jelas sekali,
bahwa dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur benar-benar sangat
penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Dalam konteks
pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari penutur dan mitra tutur,
‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan.
Aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan
mitra tutur ini adalah aspek warna emosinya (emotions). Selain dimensi
‘personality’ dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’,
dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau ‘beliefs’
yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks pragmatik ini.
Dimensi-dimensi mental ‘language users’ yang telah disebutkan sebelumnya,
semuanya berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan
mitra tutur dalam pertuturan sebenarnya.
Dimensi yang ketiga adalah aspek-aspek sosial ‘language users’ adalah
dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai warga masyarakat
dan kultur atau budaya tertentu. Kajian pragmatik sama sekali tidak dapat lepas
dari fakta-fakta sosial-kultural. Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan
sebagai ‘social setting’ alias seting sosial atau oleh Verschueren (1998) disebut
‘ingredient of the communicative context’ harus diperhatikan dengan benar-benar
baik dalam analisis pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat
penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan
dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Dimensi keempat atau yang terakhir dijelaskan oleh Verschueren (1998)
adalah mengenai aspek-aspek fisik ‘language users’. Fenomena deiksis (deixis
phenomenon), baik yang berciri persona (personal deixis), deiksis perilaku
(attitudinal deixis), deiksis waktu (temporal deixis), maupun deiksis tempat
(spatial deixis) menjadi dimensi-dimensi fisik yang menarik perhatian para pakar
linguistik dan pragmatik. Verschueren (1998) telah menegaskan, ‘…phenomena
have exerted a strong fascination on linguists, from long before ‘pragmatics’
became a common notion’, yang artinya bahwa fenomena deiksis telah menjadi
perhatian linguis, bahkan sejak jauh sebelum pragmatik terlahir. Deiksis persona,
lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya penggunaan kata
‘saya’, ‘kami’, ‘kita’, dan sebagainya. Selanjutnya masih berkaitan dengan
persoalan deiksis, tetapi yang sifatnya temporal, misalnya saja kapan harus
digunakan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Dalam
konteks waktu pula, kapan orang harus berhati-hati, kapan harus menggunakan
‘event time’ seperti ‘pada Senin’ atau ‘pada 2012’, kapan harus menggunakan
‘time of utterence’ seperti ‘kemarin’, ‘sekarang’, ‘besok’, dan kapan pula harus
menggunakan ‘reference time’ seperti pada ‘ketika, pada saat, manakala’ dan
seterusnya. Aspek-aspek fisik konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan
itu adalah ihwal jarak spasial atau ‘space distance’. Ketika orang sedang bertutur
sapa, jarak spasial yang demikian ini sangat menentukan maksud, juga persepsi
terhadap makna yang disampaikan oleh ‘interpreter’.
Leech (1983) via Rahardi (2012) menggunakan istilah ‘speech situations’
atau situasi tutur dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah
tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah
aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik.
Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.
1) Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca
bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-
aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
2) Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks
yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting
sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya
adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang
dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3) Tujuan penutur
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang
sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan
tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan
pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang
bersifa formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna
yang berbeda.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang
abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi
semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini,
pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret
dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas
penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur.
Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang?
Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini,
dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence)
dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil
kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi
tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan
bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi
aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan
pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan
dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Hymes (1974) via Nugroho (2009:119) menghubungkan konteks dengan
situasi tutur. Hymes melibatkan istilah ‘komponen tutur’ dalam menjelaskan
tentang konteks. Seperti yang dikutip oleh Sumarsono (2008:325−334), Hymes
menyebutkan terdapat enam belas komponen tutur, yaitu (1) bentuk pesan
(message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar (setting), (4) suasana
(scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim (addressor), (7) pendengar
(hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee), (9) maksud-hasil
(purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11) kunci (key), (12)
saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14) norma interaksi (norm
of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), dan (16) kategori
wacana (genre). Dalam situasi tutur tersebut, terdapat delapan komponen yang
mempengaruhi tuturan seseorang. Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi
latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants),
tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur
(instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres) (Hymes, 1974) via
(Nugroho, 2009:119).
Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh
penutur. Konteks tersebut disertai dengan komponen-komponen tuturan yang
sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Kehadiran konteks berhubungan dengan
produksi dan penafsiran dari tuturan.
2.6 Unsur Segmental
Unsur segmental berkenaan dengan wujud tuturan. Unsur segmental hanya
akan didapati pada bahasa tulisan, bukan pada bahasa lisan. Unsur ini mencakup
penggunaan diksi, gaya bahasa, dan kategori fatis yang terdapat dalam tuturan.
Berikut pemaparan dari setiap unsur tersebut.
2.6.1 Diksi
Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai
untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan
kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya
mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Keraf (1986:24)
mendefinisikan pilihan kata atau diksi sebagai kemampuan membedakan secara
tepat bentuk-benuk makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai
hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau
perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud dengan
perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang
dimiliki oleh sebuah bahasa. Penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua
persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan pemilihan kata untuk mengungkapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian
atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi.
Keraf (1986:87−101) menjelaskan bahwa, pendayagunaan kata pada
dasarnya dibagi menjadi dua persoalan pokok, yakni pertama, ketepatan pilihan
kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang
tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh penulis dan pembicara. Beberapa butir perhatian dan persoalan
berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan
kata itu. Berikut persyaratan ketepatan diksi.
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang
mempunyai makna yang mirip satu sama lain, harus menetapkan mana yang
akan dipergunakan untuk mencapai tujuan. Kata yang tidak mengandung
makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut denotasi, sedangkan makna
kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, nilai rasa tertentu
di samping arti yang umum, dinamakan konotasi
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Kata-kata
yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi.
Sebab itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari
sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya,
sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis atau
penutur tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka
akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan bahasa
pertama-tama tampak dari pertambahan jumlah kata baru. Namun, hal itu
tidak berarti bahwa setiap orang boleh menciptakan kata baru seenaknya.
Kata baru biasanya muncul untuk pertama kali karena dipakai oleh orang-
orang terkenal atau pengarang terkenal. Bila anggota masyarakat lainnya
menerima kata itu, maka kata itu lama-kelamaan akan menjadi milik
masyarakat. Neologisme atau kata baru atau penggunaan sebuah kata lama
dengan makna dan fungsi yang baru termasuk dalam kelompok ini.
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut.
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis.
7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus
membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat
menggambarkan sesuatu daripada kata umum. Dengan demikian, semakin
khusus sebuah kata atau istilah, semakin dekat dengan titik persamaan atau
pertemuan yang dapat dicapai antara penulis dan pembaca. Sebaliknya,
semakin umum sebuah istilah, semakin jauh pula titik pertemuan antara
penulis dan pembaca. Sebuah istilah atau kata yang umum dapat mencakup
sejumlah istilah yang khusus.
8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.
Suatu jenis pengkhususan dalam memilih kata-kata yang tepat adalah
penggunaan istilah-istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
diserap oleh pancaindria (serapan indria pengelihatan, pendengaran, peraba,
perasa, dan penciuman. Karena kata-kata indria melukiskan suatu sifat yang
khas dari penserapan pancaindria, maka pemakaiannya pun harus tepat.
9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal. Kenyataan yang dihadapi oleh setiap pemakai bahasa adalah bahwa
makna kata tidak selalu bersifat statis. Dari waktu ke waktu, makna kata-
kata dapat mengalami perubahan sehingga akan menimbulkan kesulitan-
kesulitan baru pemakain yang terlalu bersifat konservatif. Sebab itu, untuk
menjaga agar pilihan kata selalu tepat, maka setiap penutur bahasa harus
selalu memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi. Perubahan-
perubahan makna yang penting diketahui oleh pemakai bahasa adalah
perluasan arti, penyempitan arti, ameliorasi, peyorasi, metafora, dan
metonimi.
10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Kalangsungan pilihan kata
adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau
pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis.
Kelangsungan dapat terganggu bila seorang pembicara atau pengarang
mempergunakan terlalu banyak kata untuk suatu maksud yang dapat
diungkapkan secara singkat, atau mempergunakan kata-kata yang kabur,
yang bisa menimbulkan ambiguitas (makna ganda).
Persoalan kedua dalam penggunaan kata-kata adalah kecocokan atau
kesesuaian. Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau
pembicara, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan
para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut
(Keraf, 1986:102−111).
1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi
yang formal. Bahasa substandar adalah bahasa dari mereka yang tidak
memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Pada dasarnya bahasa
ini hanya digunakan untuk pergaulan biasa, tidak dipakai pada tulisan-
tulisan, bersenda-gurau, berhumor, atau untuk menyatakan sarkasme atau
menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Dengan demikian, dalam suasana formal,
harus dipergunakan unsur-unsur bahasa standar, harus dijaga agar unsur-
unsur nonstandar tidak boleh menyelinap ke dalam tutur seseorang.
2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi
yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata
populer. Kata-kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan kata-kata ilmiah adalah kata-kata yg
biasa dipakai oleh kaum terpelajar, dalam pertemuan-pertemuan resmi,
diskusi-diskusi khusus, teristimewa dalam diskusi ilmiah.
3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon merupakan
bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya bila dipakai
untuk suatu sasaran yang umum.
4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata
slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau
murni. Kata slang adalah kata nonstandar yang informal, yang disusun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata
kiasan yang khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan.
Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja, atau
kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu
bidang makna yang lain.
5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Kata percakapan
adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-
orang yang terdidik. Kata-kata percakapan mencakup kata-kata populer,
kata-kata idiomatis, kata-kata ilmiah, dan kata-kata yang tidak umum
(slang) yang biasa dipakai oleh golongan terpelajar saja.
6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Idiom adalah
pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang
umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan
secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata
yang membentuknya.
7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Yang dimaksud bahasa
artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak
terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk
menyatakan suatu maksud.
Bahasa standar dan bahasa nonstandar digunakan dalam pemilihan kata,
penulis atau pembicara harus dapat membedakan kedua bentuk bahasa tersebut.
Keraf (1986:104) memaparkan pengertian bahasa standar dan bahasa nonstandar
tersebut. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status
sosial yang cukup dalam suatu masyarakat. Secara kasar kelas ini dianggap
sebagai kelas terpelajar. Kelas ini meliputi pejabat-pejabat pemerintah, ahli-ahli
bahasa, ahli-ahli hukum, dokter, pedagang, guru, penulis, penerbit, seniman,
insinyur, serta semua ahli lainnya, bersama keluarganya. Bahasa nonstandar
adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan
yang tinggi. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak
dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur nonstandar dipergunakan
juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau, berhumor, atau untuk
menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Bahasa nonstandar
dapat juga berlaku untuk suatu wilayah yang luas dalam wilayah bahasa standar
tadi.
2.6.2 Kategori Fatis
Kridalaksana (1986:111) mengartikan kategori fatis sebagai kategori yang
bertugas melalui, mempertahankan, atau mengkukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka
kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Berikut adalah bentuk-bentuk dari kata fatis (Kridalaksana, 1986:113–116).
1) ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh.
2) ayo menekankan ajakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
3) deh menekankan pemksaan dengan membujuk, pemberian persetujuan,
pemberian garansi, sekedar penekanan.
4) dong digunakan untuk menghaluskan perintah, menekankan kesalahan
kawan bicara.
5) ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara.
6) halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon,
serta menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
7) kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan
merupakan kependekan dari kata bukan atau bukanlah, dan tugasnya ialah
menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di tengah kalimat maka kan
juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan.
8) kek mempunyai tugas menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan
menggantikan kata saja.
9) kok menekankan alasan dan pengingkaran. Kok dapat juga bertugas sebagai
pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.
10) -lah menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam kalimat.
11) lho bila terletak di awal kalimat bersifat seperti interjeksi yang menyatakan
kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas
menekankan kepastian.
12) mari menekankan ajakan.
13) nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya
kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
14) pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas
menonjolkan bagian tersebut.
15) selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami
sesuatu yang baik.
16) sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, sebagai makna
‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan.
17) toh bertugas menguatkan maksud; adakalanya memiliki arti yang sama
dengan tetapi.
18) ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan
bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan meminta persetujuan atau
pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran.
19) yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah
pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian
terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam
kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau
ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila di tengah
ujaran.
2.7 Unsur Suprasegmental
Dalam bahasa tulisan, tanda baca memiliki peranan penting. Namun, dalam
bahasa lisan tidak akan didapati tanda baca tersebut. Disinilah peranan unsur
suprasegmental. Unsur suprasegmental hanya akan didapati pada bahasa lisan,
unsur ini adalah tekanan, intonasi, nada, jeda. Berikut akan dipaparkan unsur-
unsur suprasegmental tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
2.7.1 Tekanan
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental
yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan
amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah
bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga
amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini
mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola, mungkin juga
bersifat distingtif, dapat membedakan makna, mungkin juga tidak distingtif
(Achmad & Alek, 2013:33−34). Sebelumnya Samsuri (1969:56) dalam bukunya
yang berjudul Fonologi mengungkapkan untuk menandai tekanan dapat dipakai
tanda-tanda diakritik [ “ ] untuk tekanan primer, [ ‘ ] untuk tekanan sekunder.
2.7.2 Intonasi
Intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam pembedaan maksud
kalimat. Bahkan, dengan dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa
Indonesia dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif) ditandai
dengan pola intonasi datar-turun. Kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola
intonasi datar-turun. Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi
datar-tinggi (Muslich, 2009:115−117).
Keraf (1991:208) menambahkan kalimat seru ke dalam kalimat bahasa
Indonesia. Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan perasaan hati, atau
keheranan terhadap suatu hal. Kalimat seru ditandai dengan intonasi yang lebih
tinggi dari kalimat inversi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
2.7.3 Nada
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi-rendahnya (nada) suara tidak
fungsional atau tidak membedakan makna. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis.
Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara,
arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita
suara, yang disebabkan oleh arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada
bunyi tersebut. Begitu juga posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat
akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi (Muslich, 2009:112).
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi
segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai
dengan nada tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran
rendah,tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Achmad & Alek
(2013:33−34) membedakan empat macam nada, yaitu:
1) Nada yang paling tinggi, diberi tanda dengan angka 4
2) Nada tinggi, diberi tanda dengan angka 3
3) Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2
4) Nada rendah, diberi tanda dengan angka 1
Nada ditandai dengan diakritik-diakritik [ ˊ ] untuk nada naik, [ ˋ ] untuk
nada turun, [ - ] untuk nada datar, dan [ ̌ ] untuk nada turun-naik, sedangkan [ ̂ ]
untuk nada naik-turun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
2.8 Maksud dan Makna
Rahardi (2003:16−17) menjelaskan bahwa pragmatik mengkaji bahasa
untuk memahami maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-
budaya tertentu. Pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik dalam
beberapa hal karena pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menyampaikan
tuturannya. Semantik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna
bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi, yang membedakan
antara pragmatik dan semantik adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan
lingual tertentu secara eksternal, sedangkan semantik mengkaji makna satuan
lingual secara internal. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat
konteks (context dependent), sedangkan makna yang dikaji secara semantik
berciri bebas konteks (context independent). Makna yang dikaji di dalam semantik
bersifat diadik (diadic meaning) (dapat dirumuskan dengan pertanyaan ‘Apa
makna x itu?’), sedangkan dalam pragmatik makna itu bersifat triadik (triadic
meaning) (dapat dirumuskan dengan pertanyaan ‘Apakah yang kamu maksud
dengan berkata x itu?’). pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud
penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan lingual
an sich, yang notabene tidak perlu disangkut-pautkan dengan konteks situasi
masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahnya.
Wijana & Muhammad (2008:10–11) juga menjelaskan bahwa makna
berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan informasi bersifat di
luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara,
sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada kalimat (6), (7), (8), dan (9) berikut.
(6) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya 9.
(7) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya saja 4,5.
(8) Ayah membeli buku.
(9) Buku ini dibeli ayah.
Kata “pandai” dalam kalimat (6) bermakna “pintar” karena secara internal
memang kata “pandai” bermakna demikian. Kata “pandai” dalam kalimat (7) yang
bermakna internal “pintar” dimaksudkan secara subjektif oleh penuturnya untuk
mengungkapkan bahwa dia bodoh. Pengungkapannya yang bersifat subjektif
inilah yang disebut “maksud”. “Pandai” yang menyatakan “pintar” pada kalimat
(6) disebut makna linguistik (linguistic meaning), sedangkan “pandai” yang
menyatakan “bodoh” pada kalimat (7) disebut makna penutur (speaker meaning).
Makna linguistik (makna) menjadi bahan kajian semantik, sedangkan makna
penutur (maksud) menjadi bahan kajian pragmatik. Kalimat (8) jelas memiliki
perbedaan makna (gramatikal) dengan kalimat (9). Kalimat (8) adalah kalimat
aktif, sedangkan kalimat (9) adalah kalimat pasif. Akan tetapi, berdasarkan isi
tuturan secara objektif kedua kalimat di atas menyatakan informasi yang sama,
yakni “ayah yang membeli buku” dan “buku yang dibeli ayah”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
2.9 Kerangka Pikir
Ketidaksantunan dalam berbahasa dapat terjadi di mana saja, kapan saja,
dan oleh siapa saja. Penelitian ini memiliki kerangka pikir sebagai berikut, yang
FENOMENA KETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA DI RANAH KELUARGA
TEORI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
LOCHER (2008)
BOUSFIELD (2008)
TERKOURAFI (2008)
LOCHER AND WATTS (2008)
(2008)
CULPEPER (2008)
METODE DAN TEKNIK ANALISIS DATA:
KONTEKSTUAL
METODE PENGUMPULAN DATA:
METODE SIMAK DAN METODE CAKAP
METODE PENELITIAN DESKRIPTIF
KUALITATIF
PENANDA
KETIDAKSANTUNAN
MAKSUD
PENUTUR
WUJUD LINGUISTIS
DAN PRAGMATIS
HASIL PENELITIAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
pertama kali dilakukan adalah pengambilan data atau tuturan yang tidak santun
dalam keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Pantai Congot,
Kulonprogo.
Langkah kedua, penggolongan tuturan yang tidak santun ke dalam teori-
teori ketidaksantunan berbahasa. Terdapat lima teori ketidaksantunan berbahasa
yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori ketidaksantunan menurut
Miriam A Locher (2008), yakni tindak berbahasa yang melecehkan (face-
aggravate) dan memain-mainkan muka. Kedua, teori ketidaksantunan berbahasa
menurut Bousfield (2008), yakni apabila perilaku berbahasa seseorang itu
mengancam muka, dan ancaman tersebut dilakukan secara sembrono (gratuitous),
hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik
(conflictive), atau bahkan pertengakaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan
kesengajaan (purposeful). Ketiga, teori ketidaksantunan berbahasa menurut
Culpeper (2008), yakni perilaku komunikasi yang diperantikan secara intensional
untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face lose), atau setidaknya
orang tersebut merasa kehilangan muka. Keempat, teori ketidaksantunan
berbahasa menurut Terkourafi (2008), yakni apabila ketidaksantunan tuturan
penutur yang membuat mitra tutur merasa mendapat ancaman (addressee)
terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak menyadari bahwa tuturannnya
telah memberikan ancaman muka mitra tuturnya. Kelima, teori ketidaksantunan
berbahasa menurut Locher and Watts, yakni lebih menitikberatkan pada bentuk
penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat (tertentu).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini mendeskripsikan fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
keluarga, khususnya keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa
Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Artinya, penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian (perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan sebagainya), secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap. Peneliti mengumpulkan tuturan keluarga
nelayan dalam berbagai situasi yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Tuturan
ini diperoleh dengan memerantikan metode simak, yakni menyimak pertutuan
langsung maupun tidak langsung di dalam keluarga nelayan. Teknik yang
digunakan dalam penerapan metode simak ini adalah teknik catat dan teknik
rekam, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan secara terbuka maupun
tersembunyi. Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan
dengan cara mengadakan percakapan. Teknik yang digunakan dalam menerapkan
metode cakap ini adalah teknik pancing. Teknik pancing merupakan teknik dasar
yang digunakan dalam metode cakap, karena dimungkinkan muncul jika peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
memberi stimulus (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala
kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun, 2007:95).
Metode dan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini secara
kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam
menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan
ditipifikasikan. Konteks yang diperantikan adalah metode analisis kontekstual,
yang artinya adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan
dan mengaitkan konteks (cf. Rahardi, 2004; Rahardi, 2006 dalam Rahardi,
2009:36).
Hasil penelitian ini berupa wujud-wujud atau bentuk ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, dan
maksud ketidaksantunan penutur dalam ranah keluarga nelayan di kampung
nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran,
Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang jenis penelitian, subjek penelitian, metode dan
teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan teknik analisis data,
serta sajian hasil analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang mencoba untuk memberi gambaran secara sistematis tentang
situasi, permasalahan, fenomena, layanan atau program, ataupun menyediakan
informasi tentang, misalnya, kondisi kehidupan suatu masyarakat pada suatu
daerah, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, sikap,
pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu fenomena,
pengukuran yang cermat tentang fenomena dalam masyarakat (Widi, 2010:47–
48). Penelitian ini mendeskripsikan fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan
seluk-beluk ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga, khususnya keluarga
nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot,
Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya, penelitian ini
tidak memanfaatkan metode-metode kuantifikasi tertentu, mengingat bahwa
tujuan pokok penelitian ini tidak menuntut pemerantian dari semuanya itu.
Moleong (2007:6) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
subjek penelitian (perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll), secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu penelitian ilmiah yang
bertujuan untuk memahami fenomena dalam konteks secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010:9).
3.2 Data dan Sumber Data
Sudaryanto (1993:3) via Mahsun (2006:19) dalam bukunya yang berjudul
Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya
mengatakan bahwa, data merupakan bahan jadi (lawan dari bahan mentah), yang
ada karena pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah). Wujud data
penelitian ini berupa bermacam-macam wujud tuturan yang diperoleh secara
natural dalam ranah keluarga, khususnya keluarga nelayan yang di dalamnya
terdapat bentuk-bentuk kebahasaan yang secara linguistis maupun nonlinguistis
mengandung maksud yang tidak santun. Objek sasaran penelitian dan konteksnya
berupa bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna tidak santun baik secara
linguistis maupun nonlinguistis tersebut merupakan objek sasaran penelitiannya
dan sisa bentuk kebahasaan yang ada merupakan konteksnya. Data dari penelitian
ini berupa gabungan keduanya, yakni objek sasaran penelitian yang berupa
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun bersama entitas kebahasaan yang
mengikuti dan mengawalinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Suharsimi Arikunto (2010:172) mengatakan bahwa, sumber data dalam
penelitian adalah subjek darimana data diperoleh. Sumber data merupakan tempat
asal muasal data diperoleh. Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari
keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai
Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Kata ‘nelayan’
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:779) adalah orang yang mata
pencaharian utamanya adalah menangkap ikan (di laut). Sedangkan arti kata
‘keluarga’ adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga nelayan yang dimaksudkan
peneliti dalam penelitian ini adalah sekelompok keluarga yang tinggap pada satu
tempat atau daerah yang memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan.
Sumber data penelitian ini berasal dari berbagai macam cuplikan tuturan
yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam
ranah keluarga, khususnya keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik,
Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta. Sumber data penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga dapat
berupa rekaman hasil simakan tuturan para orangtua dan anggota keluarga yang
diperoleh baik secara terbuka maupun tersembunyi, sehingga diharapkan data
penelitian yang diperoleh dari sumber termaksud bersifat natural, andal, dan
tepercaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Untuk mempermudah penelitian, peneliti memberikan batasan-batasan
kriteria keluarga nelayan. Keluarga nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah keluarga yang memiliki beberapa atau salah satu ciri berikut.
1) Keluarga yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan di Pantai Trisik
dan Pantai Congot, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
2) Keluarga yang tinggal di daerah pesisir, khususnya di kampung nelayan
Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten
Kulonprogo, Yogyakarta.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang menghasilkan terkumpulnya data
merupakan tahapan strategi pertama dalam linguistik menangani bahasa
(Sudaryanto, 1988:57). Tujuan dari tahapan ini adalah tertulisnya dan tertatanya
data secara sistematis dalam transkripsi tertentu dan pada kartu data tertentu.
Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode simak dan metode
cakap. Peneliti mengumpulkan tuturan dari keluarga nelayan dalam berbagai
situasi yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Tuturan ini diperoleh dengan
memerantikan metode simak, yakni menyimak pertuturan langsung di dalam
keluarga nelayan, yang dipresumsikan di dalamnya terdapat bentuk-bentuk
kebahasaan yang mengandung makna linguistis maupun nonlinguistis. Metode
penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk
memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun,
2006:92). Teknik yang digunakan untuk melaksanakan metode simak ini adalah
teknik catat dan teknik rekam baik secara langsung maupun tidak langsung, baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
secara terbuka mauoun secara tersembunyi. Dari catatan dan rekaman pertuturan
itulah tuturan-tuturan kebahasaan yang di dalamnya mengandung wujud
ketidaksantunan diperoleh sebagai bahan jadi penelitian ketidaksantunan
berbahasa ini.
Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara
mengadakan percakapan. Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode
wawancara (Rahardi, 2009:34). Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu
(Mulyana, 2008:180). Terdapat dua jenis wawancara, yaitu wawancara tak
terstruktur (wawancara mendalam) dan wawancara terstruktur. Teknik yang
digunakan dalam menerapkan metode cakap adalah teknik pancing. Mahsun
(2006:95) mengartikan teknik pancing sebagai teknik dasar dari metode cakap,
karena dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimululasi (pancingan) pada
informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti.
Sejalan dengan Mahsun, Rahardi (2009:34) mengemukakan bahwa teknik pancing
merupakan teknik dasar dari metode cakap yang dilakukan dengan cara
memancing seseorang atau beberapa orang agar mereka berbicara.
3.4 Instrumen Penelitian
Suharsimi Arikunto (2010:203) menjelaskan bahwa instrumen penelitian
adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
agar pekerjaannya menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah diolah. Instrumen yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
digunakan dalam penelitian ketidaksantunan berbahasa ini adalah pedoman atau
panduan wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dengan
berbekal teori ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori tersebut akan digunakan
untuk menganalisis bentuk tuturan dalam keluarga nelayan. Data-data yang
didapat akan dicatat untuk kemudian dianalisis lebih lanjut selanjutnya.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi atau
mengelompokkan data. Sugiyono (2012:244) menyimpulkan bahwa analisis data
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh
diri sendiri maupun orang lain.
Analisis dilakukan secara kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-
dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi,
diklasifikasi, dan ditipifikasikan. Adapun konteks yang diperantikan adalah
metode analisis kontekstual, yang artinya adalah cara analisis yang diterapkan
pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks (cf. Rahardi, 2004;
Rahardi, 2006 dalam Rahardi, 2009:36). Secara garis besar metode kontekstual ini
sejalan dengan metode padan. Terdapat dua metode yang digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini, yakni metode padan intralingual dan
metode padan ekstralingual.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
3.5.1 Metode dan Teknik Analisis Data secara Linguistik
Metode dalam analisis data secara linguistik menggunakan metode padan
intralingual. Metode padan intralingual adalah metode analisis dengan cara
menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat
dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun,
2006:118). Teknik yang digunakan dalam pelaksanaan metode ini adalah teknik
dasar teknik hubung banding yang bersifat lingual.
3.5.2 Metode dan Teknik Analisis Data secara Pragmatik
Metode dalam analisis data secara pragmatik menggunakan metode padan
ekstralingual. Metode padan ekstralingual adalah metode analisis yang digunakan
untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan
masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2006:120).
Teknik yang digunakan dalam pelaksanaan metode ini adalah teknik dasar teknik
hubung banding yang bersifat ekstralingual.
Peneliti menganalisis data dalam penelitian ini dengan tahapan sebagai
berikut.
1) Peneliti mengumpulkan dan mentranskripsi data (tuturan ketidaksantunan).
2) Peneliti mengelompokkan data ke dalam teori-teori ketidaksantunan
berbahasa.
3) Peneliti memasukkan dan mengklasifikasi data ke dalam tabulasi yang berisi
tuturan, penanda ketidaksantunan (penanda lingual dan nonlingual), dan
presepsi ketidaksantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
4) Peneliti menganalisis data yang telah dikelompokkan secara linguistik dan
pragmatik dengan mengacu pada tabulasi yang telah disusun.
5) Peneliti mendeskripsikan dan menyimpulkan hasil analisis data dan
pembahasan ke dalam teori-teori ketidaksantunan berbahasa dalam bentuk
sajian hasil analisis.
3.6 Sajian Hasil Analisis Data
Tujuan akhir analisis data kualitatif adalah untuk memperoleh makna,
menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep serta mengembangkan
hipotesis atau teori baru. Data yang telah diinterpretasi dalam tahapan analisis
data itu kemudian hasilnya disajikan secara tidak formal, dalam arti bahwa hasil
analisis data itu dirumuskan dengan kata-kata biasa, bukan dengan simbol-simbol
tertentu karena memang hasil penelitian ini tidak menuntut model sajian demikian
itu.
3.7 Trianggulasi Data
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan dan
pembanding terhadap data (Moleong, 2007:330). Penelitian ketidaksantunan
berbahasa dalam ranah keluarga nelayan ini menggunakan dua teknik trianggulasi
data. Pertama, teknik trianggulasi teori yang befungsi untuk membandingkan
hasil temuan dengan teori ketidaksantunan berbahasa dari para ahli bahasa.
Kedua, teknik trianggulasi penyidik, yakni dengan membandingkan hasil analisis
data peneliti dengan hasil analisis data peneliti lain dalam satu tim penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Bukan hanya penggunaan kedua teknik trianggulasi diatas, peneliti juga
melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing, yaitu Dr. R. Kunjana Rahardi,
M.Hum dan Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian yang diambil berupa tuturan lisan dalam situasi tertentu
anggota keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan
Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta selama
bulan April 2013 sampai Juni 2013. Data diambil berdasarkan fenomena
kebahasaan yang berwujud tidak santun. Jumlah data yang terkumpul
diidentifikasi atau dikategorikan menurut kategori ketidaksantunannya.
Tuturan melanggar norma ini memiliki arti bahwa tuturan tersebut secara
normatif dianggap negatif, lantaran melanggar norma-norma atau aturan-aturan
yang berlaku dalam masyarakat atau keluarga. Berikut merupakan tuturan tidak
santun yang termasuk ke dalam kategori melanggar norma.
Tabel 1: Data Tuturan Melanggar Norma
No Tuturan Kode Sukategori
1 Enggak! A1 Menegaskan
2 Yoben... Wong arep ngaji kok ra oleh. A2 Menegaskan
3 Mengko sek, Pak! A3 Menunda
4 Mengko Pak! Filme jek apik kie. A4 Menunda
Tuturan yang mengancam muka sepihak memiliki arti bahwa tuturan
tersebut dapat memberikan ancaman pada mitra tutur sehingga membuat mitra
tutur malu dan tersinggung. Akan tetapi, penutur tidak menyadari bahwa tuturan
yang telah dituturkannya membuat mitra tutur malu dan tersinggung. Berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
merupakan tuturan tidak santun yang termasuk ke dalam kategori mengancam
muka sepihak.
Tabel 2: Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak
No Tuturan Kode Subkategori
1 Sinau barang! (Menyenggol adiknya). B1 Mengejek
2 Mengko ahh... (Melanjutkan tidurnya). B2 Menunda
3 Cah enom kok yahene turu, Bu. B3 Menegaskan
4 Iki lagek nen dalan. (padahal masih di
lokasi).
B4 Menegaskan
5 Wegah, males! B5 Menolak
6 (menginjak kaki kakaknya) Walah...
kepidak...
B6 Menegaskan
7 Timbangane ra dibuang mah mung
marakke penyakit.
B7 Menegaskan
8 Iya... aaa... iya... aaa... (bernada seperti
nada tertawa).
B8 Mengejek
9 Resiko! B9 Mengejek
Tuturan yang melecehkan muka memiliki arti bahwa tuturan tersebut dapat
mengarah pada rasa sakit hati mitra tutur. Tuturan tersebut juga dapat
menimbulkan rasa tersinggung karena mitra tutur merasa seperti dihina oleh
penutur dengan tuturannya itu. Berikut merupakan tuturan tidak santun yang
termasuk ke dalam kategori menghilangkan muka.
Tabel 3: Data Tuturan Melecehkan Muka
No Tuturan Kode Subkategori
1 Nyoh tak kei duwit geg ndang lungo’o.
Rasah ganggu Bapak Ibu sek, lagek
nyambut gawe!
C1 Memerintah
2 Alaaah... jupuk dewe, Pak! C2 Memerintah
3 Cah gede kok jeh do gelud. C3 Menyindir
4 Emoh! C4 Menolak
5 Kalo gak mau makan, kamu gag boleh
pergi sama dia (temannya)!
C5 Mengancam
6 Rasah! Deloken kae enek banyune C6 Memperingatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
abang. Hiii... Makanan ini buatnya
bekas cucian orang nyuci lho dek.
7 Wes nyendal motor galho!” (sambil
berjalan keluar ruangan).
C7 Menegaskan
8 Aaassss... minggat kono!” (melanjutkan
tidurnya).
C8 Mengusir
9 Yo jupuk dewe mbah, manja! C9 Memerintah
10 Kok mung diturahi sak emprit? (nada
tinggi).
C10 Menegur
11 Pak, udah cair belum? C11 Menagih
12 Jenggote koyo kowe, Pak. C12 Mengejek
13 Bu, kok masakane enak temen. Cubo
njenengan cicipi.
C13 Menyindir
14 Adik kok ditukokke dolanan, q ra
ditukokke?
C14 Menegaskan
15 Gemang, jeg sayah! C15 Menolak
16 Kalo memang niatnya masih mau
sekolah, Bapak masih ingin ngragati.
Kalo emang maunya nikah, bilang aja
pengen nikah. Bapak nikahke.
C16 Menasihati
17 Mripatmu ki ndokke sikel? C17 Menegur
18 Makanya kalo siang itu maen terus
seharian.
C18 Menyindir
19 Karang nggone yo koyo ngene, rakyo
sesok.
C19 Menegaskan
20 Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali! C20 Memperingatkan
21 Koe arep nendi? C21 Menegur
22 Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-
etokkan? Nek dibel ra nyaut blas, disms
ra ono balesi blas.
C22 Menyindir
23 Pergantian pengurus disms raono balesi,
yowes tinggal bali acarane rampung!
C23 Menyindir
24 Yo embuh! C24 Menegaskan
Tuturan menghilangkan muka memiliki arti bahwa tuturan tersebut dapat
menimbulkan rasa tersinggung dan membuat mitra tutur merasa benar-benar malu
karena tuturan tersebut dikatakan oleh penutur di hadapan orang banyak. Berikut
merupakan tuturan tidak santun yang termasuk ke dalam kategori menghilangkan
muka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Tabel 4: Data Tuturan Menghilangkan Muka
No Tuturan Kode Subkategori
1 Mboten masak, wong wingi dimasakke
yo mboten kepangan kok!
D1 Menyindir
2 Nih kamu gak naik kelas! Gak malu apa
sama yang lain? Besok lagi yang rajin
belajarnya agar naik kelas. Kalo gak
naik kelas lagi mesti kamu mung diisin-
isin karo konco-koncomu.
D2 Menegur
3 Koyo adimu kae lho iso ngoopo-ngopo,
koe kok tura-turu wae.
D3 Menyindir
4 Wah, opo-opo dinas... opo-opo dinas... D4 Menyindir
5 Makanya kalo kamu itu mau belajar ya
belajar, gag belajar cuman maen.
D5 Menegur
6 Halah... Nelayan seprono-seprene
gaweane kok muni ra ngerti!
D6 Mengejek
7 Tak inggoni pitmu motor mas, koe nek
nulisi ora ngono kae! Tulisi ojo
dumeh...
D7 Mengejek
8 Nyuwun ngapunten nggeh, ha kok
njenengan meneng wae.
D8 Mengejek
9 Wah bapak kie pelit, ngene-ngene ra
oleh!
D9 Menyinggung
Tuturan menimbulkan konflik memiliki maksud bahwa tuturan tersebut
dapat mengarah pada rasa tersinggung mitra tutur, sehingga tuturan tersebut dapat
menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur karena tuturan dikatakan
secara sembrono dan disengaja oleh penutur. Berikut merupakan tuturan tidak
santun yang termasuk ke dalam kategori menimbulkan konflik.
Tabel 5: Data Tuturan Menghilangkan Muka
No Tuturan Kode Subkategori
1 Itu kan tanggungjawab suami. E1 Menyinggung
2 Wolha kurang ajar! Asu cenan. E2 Mengumpat
3 Mbog le noto kayu ora teng jlempah.
Nanti kalo ada tamu, nanti kalo ada
orang lewat. Wong omah yo neng
pinggir dalan.
E3 Menegur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
4 Ngematke matane, bawal ko ngene kok
dianggep BS.
E4 Menegaskan
5 Ayo... iso meneng ora! (digeblek atau
dipukul).
E5 Mengancam
6 Alaah Mbok, mbok rasah gemrumung!!
Ijek banter mau bengi. Kui yo wes tak
akonke uwong.
E6 Menegaskan
7 Gak mau! E7 Menolak
8 Wegah! E8 Menolak
9 Iki nggonaku, udu nggonamu iki! E9 Menegaskan
4.2 Analisis Data
Data atau tuturan yang terkumpul diidentifikasi, dikategorisasi, dan
dikodifikasi berdasarkan lima kategori ketidaksantunan, yakni melanggar norma,
mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan
menimbulkan konflik. Aspek-aspek yang diidentifikasi yakni wujud
ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan, dan konteks tuturan. Aspek-aspek
tersebut dimasukkan ke dalam tabulasi.
Wujud laporan ini berupa hasil analisis data berdasarkan makna
ketidaksantunan yang meliputi 3 hal berikut, yaitu (1) wujud ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik, (2) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
dan (3) maksud katidaksantunan dari masing-masing kategori ketidaksantunan.
Wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang telah
ditranskrip. Sedangkan, wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara yang
menyertai tuturan lisan tidak santun yang disampaikan oleh penutur. Penanda
ketidaksantunan linguistik berupa intonasi, penggunaan kata fatis, nada tutur,
tekanan, dan diksi. Sedangkan, penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat
berdasar konteks yang melingkupi tuturan, yakni penutur dan mitra tutur, tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
penutur, situasi dan suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Maksud
ketidaksantunan penutur merupakan maksud penutur menuturkan tuturannya.
Maksud ketidaksantunan ini hanya dimiliki dan diketahui oleh masing-masing
penutur. Berikut ini adalah analisis mengenai ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam keluarga nelayan berdasar lima kategori ketidaksantunan, yakni
melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan
muka, dan menimbulkan konflik.
4.2.1 Melanggar Norma
Locher and Watts (2008) dalam Rahardi (2012), lebih menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif
dianggap negatif(negatively marked behavior), karena dianggap melanggar
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu). Kategori
ketidaksantunan yang melanggar norma memiliki dua subkategori, yaitu
subkategori menegaskan dan menunda. Berikut ini adalah analisis tuturan yang
termasuk dalam subkategori tersebut.
4.2.1.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 1 (A1)
MT : “Tadi beli es ya?”
P : “Enggak!”
MT : “Makanya jangan beli es sembarangan! Jadi sakit to?”
(Konteks A1: Tuturan tersebut terjadi pada malam hari saat penutur akan
tidur. Penutur merupakan anak berusia 12 tahun, sedangkan MT
merupakan ayah dari penutur. Sebelumnya penutur melanggar aturan
untuk tidak minum es sembarangan. Penyakit penutur kambuh karena ia
telah minum es. MT bertanya kepada penutur apakah ia melanggar
aturannya atau tidak.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Cuplikan tuturan 2 (A2)
MT : ”Mau kemana dek?”
P :”Arep ngaji!”
MT : “Kui...mbasan ono gawean malah alasan ngaji, nek raono mung
dolan wae.”
P : “Yo ben... wong arep ngaji kok ra oleh.”
MT : “Dia gag nyapu dibiarin. Malah aku yang jadinya nyapu.”
(mengadu kepada pamannya).
(Konteks A2: Tuturan ini terjadi di rumah pada jam 4 sore. Penutur
merupakan laki-laki berusia 12 tahun, sedangkan MT merupakan
perempuan berusia 15 tahun, kakak dari penutur. Penutur akan pergi
mengaji. MT bertanya kepada penutur dan menegaskan mengenai
kewajibannya. Aturan yang dibuat mengenai pembagian tugas bersih-
bersih rumah.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melanggar norma subkategori
menegaskan adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan A1 : Enggak!
Tuturan A2 : Yoben... Wong arep ngaji kok ra oleh. (Biarin... Ingin
mengaji kok tidak boleh.)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A1 : Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua, yakni ayah dari
penutur. Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara ketus. Penutur
melanggar aturan yang telah dibuat oleh ayahnya dan telah disepakati oleh
penutur. Penutur melanggar aturan untuk tidak minum es sembarangan.
Penutur berbohong kepada MT.
Tuturan A2 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, yakni kakak
dari penutur. Tuturan penutur disampaikan dengan cara ketus. Penutur
melanggar aturan yang telah dibuat oleh pamannya dan telah disepakati
bersama termasuk oleh penutur. Penutur tidak melaksanakan tugasnya. Penutur
beralasan untuk pergi mengaji demi menghindari tugasnya, sedangkan penutur
melimpahkan tugasnya kepada MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A1 : Diksi yang terdapat dalam tuturan A1 adalah penggunaan
bahasa nonstandar (bahasa tidak baku) dan penggunaan bahasa populer.
Tuturan A1 merupakan tuturan yang berintonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan yang terdapat dalam tuturan A1 adalah tekanan
keras pada kata enggak.
Tuturan A2 : Diksi yang terdapat dalam tuturan A2 adalah penggunaan
bahasa nonstandar (bahasa Jawa. Tuturan A2 merupakan tuturan yang
berintonasi berita. Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan yang
terdapat dalam tuturan A2 adalah tekanan keras pada frasa Yo ben.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A1 : Tuturan tersebut terjadi pada malam hari saat akan tidur
malam. Penutur merupakan anak berusia 12 tahun, sedangkan MT merupakan
ayah dari penutur. Penutur menjawab pertanyaan MT dengan kebohongan.
Penutur melanggar aturan untuk tidak minum es sembarangan. Sebelumnya
telah disepakati bahwa penutur tidak boleh membeli es karena MT dan penutur
tahu bahwa penutur mempunyai suatu penyakit yang apabila penutur minum es
sembarangan penyakitnya akan kambuh. Tujuan penutur untuk membohongi
MT, karena penutur tahu telah melanggar janji dan penutur takut akan dimarahi
MT bila ketahuan telah melanggar janjinya. Tindak verbal dari tuturan tersebut
adalah tindak representatif. Tindak perlokusi MT adalah menasihati penutur,
karena MT tahu bahwa penutur telah berbohong dan melanggar janjinya untuk
tidak minum es sembarangan.
Tuturan A2 : Tuturan ini terjadi di rumah pada jam 4 sore. Penutur
merupakan laki-laki berusia 12 tahun, sedangkan MT merupakan perempuan
berusia 15 tahun, kakak dari penutur. Dalam keluarga telah dibuat peraturan
untuk bersih-bersih rumah. Adik mendapat tugas untuk bersih-bersih halaman
rumah, sedangkan kakak mendapat tugas untuk bersih-bersih dalam rumah.
Penutur melanggar aturan yang telah disepakati bersama. MT menyuruh
penutur untuk menyapu halaman rumah karena sudah kotor, tetapi penutur
tidak mau dan beralasan mengaji. Penutur beralasan untuk tidak menyapu
halaman rumah yang sudah menjadi tugasnya. Tujuan penutur adalah
menghindari tugasnya untuk membersihkan halaman rumah yang kotor dengan
alasan pergi mengaji. Tindak verbal tuturan penutur adalah tindak representatif.
Tindak perlokusi MT adalah melapor kepada pamannya karena penutur tidak
mau melaksanakan tugasnya, kemudian MT mengeluh karena justru dia yang
disuruh menyapu halaman rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
5) Maksud Penutur
Penutur A1 : penutur memiliki maksud membohongi MT.
Penutur A2 : penutur memiliki maksud membela diri.
4.2.1.2 Subkategori Menunda
Cuplikan tuturan 3 (A3)
MT : “Belajar sek le. Ayo TVne dipateni, PRe geg ndang digarap!”
P : “Mengko sek, Pak!”
MT : (langsung mematikan televisi).
(Konteks A3: Tuturan ini terjadi di rumah saat jam belajar malam.
Penutur sedang asik menonton televisi. MT menyuruh penutur untuk
belajar tetapi penutur tidak menghiraukannya dan lebih memilih untuk
melanjutkan menonton televisi. MT sudah membuat aturan mengenai jam
belajar untuk anaknya (penutur) kecuali pada saat hari libur jam belajar
tidak berlaku. Penutur melanggar aturan yang telah dibuat oleh MT.)
Cuplikan tuturan 4 (A4)
MT : “Maghrib, ndang shalat, sinau, TVne ayo dipateni!”
P : “Mengko Pak! Filme jek apik kie.”
MT : (Mematikan sekering listrik).
(Konteks A4: Penutur sedang asik menonton salah satu acara di televisi.
MT menyuruh penutur untuk mematikan televisi kemudian shalat dan
belajar, karena sudah memasuki waktu untuk belajar. Penutur menunda
suruhan MT dan memilih untuk menonton televisi. MT (ayah) telah
membuat peraturan untuk tidak menyalakan televisi pada saat maghrib
dan dilanjutkan untuk belajar, setelah itu baru boleh menonton televisi.
Penutur melanggar aturan yang telah dibuat oleh MT.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melanggar norma subkategori menunda
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan A3 : Mengko sek, Pak! (Nanti dulu, Pak!)
Tuturan A4 : Mengko Pak! Filme jek apik kie. (Nanti Pak! Filmnya
masih bagus nih.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A3 : Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua, yakni ayah dari
penutur. Tuturan disampaikan penutur dengan cara ketus. Penutur melanggar
aturan, yakni tidak belajar pada saat jam belajar, dan penutur lebih memilih
menonton televisi. Penutur sudah berkali-kali disuruh untuk belajar oleh MT.
Tuturan A4 : Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua, yakni ayah dari
penutur. Tuturan penutur disampaikan dengan cara ketus. Penutur melanggar
aturan, yakni tidak kunjung shalat maghrib kemudian belajar. Penutur lebih
memilih melanjutkan menonton televisi. Penutur menjawab suruhan MT
dengan tidak memperhatikan MT.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A3 : Diksi yang terdapat dalam tuturan A3 adalah penggunaan
bahasa nonstandar (bahasa Jawa). Tuturan A3 merupakan tuturan yang
berintonasi berita. Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan yang
terdapat dalam tuturan A3 adalah tekanan keras pada kalimat Mengko sek,
Pak!.
Tuturan A4 : Diksi yang terdapat dalam tuturan A4 adalah penggunaan
bahasa nonstandar (bahasa Jawa). Tuturan A4 merupakan tuturan yang
berintonasi berita. Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan yang
terdapat dalam tuturan A4 adalah tekanan keras pada frasa Mengko Pak!.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A3 : Tuturan ini terjadi di rumah saat jam belajar. Penutur
merupakan anak laki-laki berusia 9 tahun, sedangkan MT merupakan ayah dari
penutur, berusia 48 tahun. Penutur sedang asik menonton televisi. MT
menyuruh penutur untuk belajar tetapi penutur tidak menghiraukannya dan
lebih memilih untuk melanjutkan menonton televisi. MT sudah membuat
aturan mengenai jam belajar untuk anaknya (penutur) kecuali pada saat hari
libur jam belajar tidak berlaku. Penutur melanggar aturan yang telah dibuat
oleh MT. Tujuan penutur adalah menunda belajarnya dan memilih untuk
melanjutkan menonton salah satu acara di televisi. Tindak verbal tuturan
tersebut adalah tindak komisif. Tindak perlokusi MT adalah dengan melakukan
tindakan mematikan televisi.
Tuturan A4 : Penutur merupakan laki-laki berusia 6 tahun, anak dari MT,
sedangkan MT merupakan laki-laki berusia 32 tahun, ayah dari penutur.
Penutur sedang asik menonton salah satu acara di televisi. MT menyuruh
penutur untuk mematikan televisi kemudian shalat dan belajar, karena sudah
memasuki waktu untuk belajar. Penutur menunda suruhan mitra tutur dan
memilih untuk menonton televisi. MT (ayah) telah membuat peraturan untuk
tidak menyalakan televisi pada saat maghrib dan dilanjutkan untuk belajar,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
setelah itu baru boleh menonton televisi. Penutur melanggar aturan yang telah
dibuat oleh MT. Tujuan penutur adalah menunda suruhan mitra tutur untuk
shalat kemudian belajar, penutur lebih memilih untuk melanjutkan menonton
televisi. Tindak verbal tuturan tersebut adalah tindak komisif. Tindak perlokusi
MT adalah mematikan sekering listrik.
5) Maksud Penutur
Tuturan A3 : penutur memiliki maksud menunda belajar.
Tuturan A4 : penutur memiliki maksud menunda belajar.
4.2.2 Mengancam Muka Sepihak
Terkourafi (2008) dalam Rahardi (2012) memandang ketidaksantunan
bilaman mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face
threaten), dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka dari mitra tutur.
Kategori ketidaksantunan yang mengancam muka sepihak memiliki empat
subkategori, yaitu subkategori menegaskan, mengejek, menunda, dan menolak.
Berikut ini adalah analisis tuturan yang termasuk dalam subkategori tersebut.
4.2.2.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 7 (B3)
MT : “Langsung tidur aja, gak usah malem2.”
P : “Cah enom kok yahene turu, Bu.” MT : “Ohh. Nek cah enom koyo ngno to?”
(Konteks B3: Tuturan terjadi di rumah, pada malam hari saat jam tidur.
Penutur sedang menonton televisi. MT menyuruhnya untuk tidur, karena
sudah larut malam. Penutur menolak suruhan MT dengan sanggahan.)
Cuplikan tuturan 10 (B6)
P : (menginjak kaki kakaknya) “Walah... kepidak...”
MT : “Mah dipidak!!!”
P : “Salahe mundur-mundur.”
(Konteks B6: Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga.
MT sedang asik mengganggu penutur. Secara tidak sengaja penutur
menginjak kaki MT.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik mengancam muka sepihak subkategori
menegaskan adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan B3 : Cah enom kok yahene turu, Bu. (Anak muda kok jam segini
tidur, Bu.)
Tuturan B6 : (menginjak kaki kakaknya) Walah... kepidak... (Walah...
terinjak...)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B3 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, yakni ibu dari
penutur. Penutur menyanggah suruhan dari MT. Tuturan penutur disampaikan
dengan cara sinis. Penutur memiliki persepsi bahwa anak muda belum pantas
tidur pada jam-jam tersebut. Penutur tidak memperhatikan MT.
Tuturan B6 : Penutur berbicara dan melakukan tindakan kepada orang yang
lebih tua, yakni kepada kakaknya. Penutur menyampaikan tuturannya dengan
cara spontan. Mitra tutur merasa marah karena tindakan penutur. Penutur tidak
menyadari bahwa tindakan dan tuturannya telah mengancam muka MT,
sedangkan penutur justru berbalik menyalahkan MT.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B3 : Tuturan B3 mempunyai intonasi berita. Terdapat kata fatis kok.
Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa Cah enom
dan Bu. Diksi: bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan B6 : Tuturan tersebut mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada sedang (tetapi kakinya menginjak mitra tutur). Tekanan lunak
pada kata kepidak. Diksi: bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa
Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B3 : Tuturan terjadi di rumah, pada malam hari saat jam tidur.
Penutur laki-laki berusia 16 tahun, anak dari MT. MT perempuan, ibu dari
penutur. Penutur sedang menonton televisi. MT menyuruhnya untuk tidur,
karena sudah larut malam. Penutur menolak suruhan MT dengan sanggahan.
Tujuan penutur adalah menegaskan bahwa ia belum ingin tidur, karena penutur
masih ingin menonton televisi, dan penutur masih muda sehingga belum pantas
tidur pada saat itu. Tindak verbal dari tuturan penutur adalah tindak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
representatif. Tindak perlokusi MT adalah menanggapi tuturan penutur dengan
pertanyaan yang sedikit kesal, tetapi penutur tidak menghiraukan MT dan tetap
menonton televisi.
Tuturan B6 : Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga.
Penutur laki-laki berusia 12 tahun, adik dari MT, sedangkan MT laki-laki
berusia 22 tahun, kakak dari penutur. MT sedang asik mengganggu penutur.
Secara tidak sengaja penutur menginjak kaki MT. Tujuan: penutur tidak
sengaja menginjak kaki MT dan dalam bawah sadarnya, penutur mengeluarkan
kata-kata yang membuat MT merasa terganggu. Tindak verbal tuturan tersebut
adalah tindak representatif. Tindak perlokusi MT adalah dengan mengeluarkan
kata-kata kasar, tetapi penutur malah menyalahkan MT karena telah
mengganggunya.
5) Maksud Penutur
Tuturan B3 : penutur memiliki maksud membela diri.
Tuturan B6 : penutur memiliki maksud mengejek.
4.2.2.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 5 (B1)
P : “Sinau barang!” (Menyenggol adiknya).
MT : “Ngopo to? Ganggu wae.”
P : (Tidak menghiraukan dan pergi begitu saja).
(Konteks B1: Tuturan ini terjadi di rumah saat mitra tutur sedang belajar
di ruang keluarga pada tanggal 26 April 2013 jam 19.00. Penutur sedang
berjalan ingin keluar rumah, melewati ruang keluarga dan melihat MT
sedang belajar. Penutur menyenggol MT dengan sengaja. MT merasa
dirinya diganggu oleh penutur.)
Cuplikan tuturan 13 (B9)
MT : “Seng jenengane paku, papan itu kan lama2 menua, padahal yo
jaluk renovasi iku tetep muni.”
P : “Resiko!”
MT : “Yo jenenge wong urip aku percoyo resiko. Tapi kan menjadi
tambah, kudune pikirane awak dewe ra tekan kono.”
P : “Resiko.”
(Konteks B9: Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah sekitar
pukul 4 sore pada tanggal 20 April 2013. MT sedang bercerita mengenai
keluhannya tentang renovasi kapal yang menjadi tanggungan sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Selain penutur dan MT, terdapat juga 2 orang lainnya yang sedang
mendengarkan.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik mengancam muka sepihak subkategori
mengejek adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan B1 : Sinau barang! (Menyenggol adiknya). (Belajar segala!)
Tuturan B9 : Resiko!
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B1 : Penutur mengganggu MT yang sedang belajar. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan sinis. Penutur menyenggol MT dengan
sengaja. Penutur tidak menyadari bahwa dirinya telah mengancam MT.
Tuturan B9 : Penutur berbicara dengan tamunya. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara menyepelekan MT. MT merasa kesal sehingga
menyanggah tuturan penutur. Penutur tetap mengejek MT dengan kata-kata
yang sama.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B1 : Tuturan B1 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa sinau barang. Diksi yang
digunakan dalam tuturan B1 adalah bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
Tuturan B9 : Tuturan tersebut mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan lunak pada kata resiko. Diksi: bahasa populer.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B1 : Tuturan ini terjadi di rumah saat MT sedang belajar di ruang
keluarga pada tanggal 26 April 2013 jam 19.00. Penutur laki-laki berusia 12
tahun, kakak dari MT. MT laki-laki berusia 6 tahun, adik dari penutur. Penutur
sedang berjalan ingin keluar rumah, melewati ruang keluarga dan melihat MT
sedang belajar. Penutur menyenggol MT dengan sengaja. MT merasa dirinya
diganggu oleh penutur. Tujuan dari penutur adalah penutur tidak memiliki
maksud tertentu, penutur hanya lewat, kemudian melihat MT sedang belajar
dan menghampirinya dengan melakukan tindakan menyenggol/ menggoda.
Tindak verbal dari tuturan penutur adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi
MT adalah MT merasa dirinya terganggu oleh penutur, kemudian MT
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
menanggapi penutur dengan ancaman, tetapi penutur pergi begitu saja dengan
acuh.
Tuturan B9 : Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah sekitar
pukul 4 sore pada tanggal 20 April 2013. Penutur laki-laki berusia 42 tahun,
tuan rumah/ kepala nelayan. MT laki-laki berusia 41 tahun, tamu/rekan
penutur. MT sedang bercerita mengenai keluhannya tentang renovasi kapal
yang menjadi tanggungan sendiri. Selain penutur dan MT, terdapat juga 2
orang lainnya yang sedang mendengarkan. Tujuan tuturan penutur adalah
hanya mengejek MT yang sedang mengeluh. Tindak verbal tuturan penutur
adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT adalah menanggapi tuturan
penutur dengan sanggahan.
5) Maksud Penutur
Tuturan B1 : penutur memiliki maksud menggoda.
Tuturan B9 : penutur memiliki maksud mengejek.
4.2.2.3 Subkategori Menunda
Cuplikan tuturan 6 (B2)
MT : “Tangi-tangi... Mengko bar tangi langsung asah-asah piring.”
P : “Mengko ah...” (Melanjutkan tidurnya).
MT : “Wolhaa... Anak jaman saiki nek dikon ra tau mangkat.”
(Konteks B2: Tuturan ini terjadi di rumah tepatnya di kamar penutur
pada pagi hari. MT membangunkan penutur kemudian menyuruhnya
untuk mencuci piring.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik mengancam muka sepihak subkategori
menunda adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan B2 : Mengko ahh... (Melanjutkan tidurnya). (Nanti ahh...)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B2 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
menunda suruhan dari MT dan malah melanjutkan tidurnya. Tuturan ini
disampaikan dengan cara ketus. MT merasa kesal dengan penutur. Penutur
tidak menyadari bahwa tuturannya telah mengancam muka MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B2 : Tuturan B2 mempunyai intonasi seru. Terdapat kata fatis ah.
Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa mengko ah....
Diksi yang digunakan dalam tuturan B2 adalah bahasa nonstandar (bahasa
jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B2 : Tuturan ini terjadi di rumah tepatnya di kamar Penutur pada
pagi hari. Penutur laki-laki berusia 16 tahun, anak dari MT. MT perempuan,
ibu dari penutur. MT membangunkan penutur kemudian menyuruhnya untuk
mencuci piring. Tujuan tuturan penutur adalah menunda suruhan MT. Tindak
verbal tuturan penutur adalah tindak komisif. Tindak perlokusi MT adalah
bergumam terhadap kelakuan penutur, tetapi penutur malah melanjutkan
tidurnya tanpa memperhatikan MT.
5) Maksud Penutur
Tuturan B2 : penutur memiliki maksud menghindar.
4.2.2.4 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 9 (B5)
MT : “Tukokke iki neng warung!”
P : “Wegah, males!”
MT : “Awas koe!”
(Konteks B5: Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur dan MT sedang
santai. Penutur disuruh oleh kakaknya (MT) untuk membelikannya
sesuatu. Penutur menolak suruhan MT.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik mengancam muka sepihak subkategori
menolak adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan B5 : Wegah, males! (Tidak mau, malas!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B5 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
menolak suruhan MT. Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara ketus.
MT merasa kesal dengan jawaban penutur. Penutur tidak menyadari bahwa
tuturannya telah mengancam muka (membuat kesal) MT.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B5 : Tuturan penutur mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada kata wegah. Diksi: bahasa nonstandar
(penggunaan bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B5 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur laki-laki berusia 16
tahun, adik dari MT. MT laki-laki berusia 21 tahun, kakak dari penutur.
Penutur dan MT sedang santai. Penutur disuruh oleh kakaknya (MT) untuk
membelikannya sesuatu. Penutur menolak suruhan MT. Tujuan penutur adalah
menolak suruhan MT. Tindak verbal tuturan penutur adalah tindak komisif.
Tindak perlokusi MT adalah menanggapi tuturan penutur dengan ancaman,
tetapi penutur tetap santai dan diam saja.
5) Maksud Penutur
Tuturan B5 : penutur memiliki maksud menolak.
4.2.3 Melecehkan Muka
Miriam A Locher (2008) dalam Rahardi (2012) berpendapat bahwa
ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-
aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten). Kategori ketidaksantunan yang melecehkan
muka memiliki sebelas subkategori, yaitu subkategori menyindir, menegaskan,
memerintah, menegur, menolak, memperingatkan, mengancam, mengusir,
menagih, mengejek, dan menasihati. Berikut ini adalah analisis tuturan yang
termasuk dalam subkategori tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
4.2.3.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 35 (C22)
P : “Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-etokan? Nek dibel ra
nyaut blas, disms ra ono balesi blas.”
MT : “Mburi dewe piro? Enem belas?”
P : “Payah tenan koe kie!”
MT : “lha rak kelep to?”
P : “seng keri, lemu ngenei seng keri!”
MT :” yo ijek yo, aku ra tau ganti-ganti! Nek janji siji ra kelep.”
(Konteks C22: Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5
sore, pada tanggal 20 April 2013. MT adalah tamu, sedangkan penutur
adalah tuan rumah dan pada saat itu masih terdapat 2 orang tamu lainnya.
MT sudah berpamitan, tetapi penutur menghambat MT dengan bertanya.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori menyindir
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C22 : Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-etokkan? Nek dibel ra
nyaut blas, disms ra ono balesi blas. (Ini memberikan nomer
HP ini benar apa bohong-bohongan? Kalau ditelpon tidak
masuk sama sekali, disms tidak membalas sama sekali.)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C22 : Penutur berbicara dengan tamunya. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara kesal. MT sudah berpamitan dan sudah berada di
halaman rumah tetapi penutur menghambatnya dengan tuturannya. Penutur
tidak percaya dengan nomor Handphone yang MT berikan.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C22 : Tuturan C22 mempunyai intonasi tanya dan berita. Penutur
berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa ra nyaut blas dan
balesi blas. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C22 : Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5 sore,
pada tanggal 20 April 2013. Penutur laki-laki berusia 42 tahun, tuan rumah.
MT laki-laki berusia 41 tahun, tamu. MT adalah tamu, sedangkan penutur
adalah tuan rumah dan pada saat itu masih terdapat 2 orang tamu lainnya. MT
sudah berpamitan, tetapi penutur menghambat MT dengan bertanya. Tujuan
penutur adalah bertanya kepada MT mengenai kebenaran nomor handphone
MT yang diberikan kepada penutur dan penutur mengeluh dengan sikap MT
yang apabila disms tidak membalas dan ditelepon tidak diangkat. Tindak verbal
tuturan penutur adalah tindak representatif. Tindak perlokusi MT adalah
menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan.
5) Maksud Penutur
Tuturan C22: penutur memiliki maksud kesal terhadap MT.
4.2.3.2 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 20 (C7)
MT : “Arep nendi?”
P : “Lungo dijak Bapak.”
MT : “Shalat sek, wes sarungan ngono kok.”
P : “Wes nyendal motor galho!” (sambil berjalan keluar
ruangan).
MT : “Ha iyo shalat sek! Nanggung.”
(Konteks C7: Tuturan ini terjadi di rumah. MT pulang kerja (melaut)
dengan keadaan capek, tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Penutur merasa kesal karena MT pergi seharian tetapi tidak membawa
hasil yang diharapkan. MT meminta penutur untuk mengambilkan makan
dan minum.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori
menegaskan adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C7 : Wes nyendal motor galho!” (sambil berjalan keluar
ruangan). (Sudah menyalakan motor itu!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C7 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. MT menyuruh
penutur dengan baik. Penutur menjawab suruhan MT dengan ketus sambil
berlalu meninggalkan MT. Penutur menolak suruhan MT.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C7 : Tuturan C7 mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa nyendal motor. Diksi: bahasa
nonstandar dan bahasa slang pada kata nyendal.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C7 : Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga, pukul
16.30 WIB, tanggal 28 April 2013. Penutur laki-laki berusia 12 tahun, adik
dari MT. MT laki-laki berusia 23 tahun, kakak dari penutur. Penutur sudah
memakai sarung hendak beribadah shalat dzuhur. MT sedang tiduran di ruang
keluarga sambil menonton televisi. MT menegur penutur yang tadinya sudah
memakai sarung untuk pergi shalat, tetapi justru melepaskannya kembali
karena diajak ayahnya. Tujuan penutur adalah memberitahu kepada MT bahwa
motornya sudah hidup. Tindak verbal tuturan C7 adalah tindak representatif.
Tindak perlokusi MT diam saja karena adiknya susah dinasihati.
5) Maksud Penutur
Tuturan C7: penutur memiliki maksud membela diri.
4.2.3.3 Subkategori Memerintah
Cuplikan tuturan 15 (C2) MT : “Gawekno wedang ro jupukno maem, Bu...”
P : “Alaaah... jupuk dewe, Pak!”
MT : (mengambil minuman sendiri dengan raut wajah kesal).
(Konteks C2: Tuturan ini terjadi di rumah. MT pulang kerja (melaut)
dengan keadaan capek, tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Penutur merasa kesal karena MT pergi seharian tetapi tidak membawa
hasil yang diharapkan. MT meminta penutur untuk mengambilkan makan
dan minum.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori
memerintah adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C2 : Alaaah... jupuk dewe, Pak! (Alaaah... ambil sendiri, Pak!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C2 : Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua (suaminya
sendiri). Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara ketus. Penutur justru
menyuruh MT setelah mendapat suruhan dari MT.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C2 : Tuturan C2 mempunyai intonasi perintah. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada kata Alaaah dan Pak. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C2 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur perempuan berusia 32
tahun, istri dari MT. MT laki-laki, suami dari MT, berusia 34 tahun. MT
pulang kerja (melaut) dengan keadaan capek, tetapi tidak mendapatkan hasil
yang memuaskan. Penutur merasa kesal karena MT pergi seharian tetapi tidak
membawa hasil yang diharapkan. MT meminta penutur untuk mengambilkan
makan dan minum. Tujuan penutur adalah kesal terhadap MT dan menyuruh
MT untuk mengambil makanan dan minuman sendiri. Tindak verbal yang
terdapat dalam tuturan C2 adalah tindak direktif. Tindak perlokusi MT adalah
mengambil sendiri minuman yang dia inginkan.
5) Maksud Penutur
Tuturan C2 : penutur memiliki maksud menolak suruhan MT.
4.2.3.4 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 30 (C17)
P : “Mripatmu ki ndokke sikel?”
MT : (Diam).
P : “Anake nangis neng andinge yo mung meneng wae!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
(Konteks C17: Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur melihat anaknya
yang belum genap berusia 1 tahun rewel/ menangis. MT hanya diam saja,
padahal ia tahu bahwa anaknya sedang menangis.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori menegur
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C17 : Mripatmu ki ndokke sikel? (Matamu itu ditaruh di kaki!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C17 : Penutur berbicara menggunakan kata-kata kasar. Penutur
berbicara kepada istrinya sendiri. Penutur menyampaikan tuturannya dengan
cara keras. Penutur dalam keadaan marah.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C17 : Tuturan C17 mempunyai intonasi tanya. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa Mripatmu ki. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C17 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur laki-laki, suami dari MT.
MT perempuan, istri dari penutur. Penutur melihat anaknya yang belum genap
berusia 1 tahun rewel/ menangis. MT hanya diam saja, padahal ia tahu bahwa
anaknya sedang menangis. Tujuan penutur adalah memarahi MT karena tidak
tanggap dengan keadaan anaknya yang menangis. Tindak verbal tuturan C17
adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT adalah diam saja karena MT
merupakan orang yang sabar menghadapi penutur dan MT langsung berusaha
menenangkan anaknya yang masih bayi.
5) Maksud Penutur
Tuturan C17 : penutur memiliki maksud kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
4.2.3.5 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 17 (C4)
MT : “Ayo... belajar.”
P : “Emoh!”
MT : “Kalo gak belajar gak tak kasih uang jajan!”
(Konteks C4: Tuturan ini terjadi di rumah, pada saat jam belajar tiba. MT
menyuruh penutur untuk belajar. Penutur memang susah bila disuruh
untuk belajar.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori menolak
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C4 : Emoh! (Tidak mau!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C4 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. MT menyuruh
penutur dengan bahasa yang halus. Penutur menyampaikan tuturannya dengan
cara keras. Penutur menolak suruhan MT dengan suara yang keras.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C4 : Tuturan C4 mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada kata Emoh!. Diksi: bahasa nonstandar
(bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C4 : Tuturan ini terjadi di rumah, pada saat jam belajar tiba. MT
menyuruh penutur untuk belajar. Penutur memang susah bila disuruh untuk
belajar. Penutur laki-laki berusia 6 tahun, anak dari MT. MT laki-laki, bapak
dari penutur, berusia 32 tahun. Tujuan penutur adalah menolak suruhan MT
untuk segera belajar. Tindak verbal yang tredapat dalam tuturan C4 adalah
tindak komisif. Tindak perlokusi MT adalah mengancam penutur.
5) Maksud Penutur
Tuturan C4 : penutur memiliki maksud malas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
4.2.3.6 Subkategori Memperingatkan
Cuplikan tuturan 33 (C20)
MT : “Sesok nek ono seng neng kono meneh, aku tak nang...”
P : “Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali!”
(Konteks C20: Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam 4 sore, pada
tanggal 20 April 2013. MT menerima 3 tamu yang mempunyai maksud
dan tujuan yang berbeda-beda. MT sedang berbicara atau menyampaikan
sesuatu kepada salah satu tamunya (penutur). Penutur langsung
menanggapi tuturan MT, padahal MT belum selesai berbicara.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori
memperingatkan adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C20 : Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali! (Besok, kalau
membicarakan besok, nanti lupa!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C20 : Penutur berbicara dengan tuan rumah. Penutur berbicara pada
saat MT belum menyelesaikan bicaranya. Penutur menyampaikan tuturannya
dengan cara ketus.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C20 : Tuturan C20 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa ndag lali. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C20 : Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam 4 sore, pada
tanggal 20 April 2013. Penutur laki-laki berusia 41 tahun, tamu. MT laki-laki
berusia 42 tahun, tuan rumah. MT menerima 3 tamu yang mempunyai maksud
dan tujuan yang berbeda-beda. MT sedang berbicara atau menyampaikan
sesuatu kepada salah satu tamunya (penutur). Penutur langsung menanggapi
tuturan MT, padahal MT belum selesai berbicara. Tujuan penutur adalah
menanggapi tuturan MT. Tindak verbal tuturan C20 adalah tindak direktif.
Tindak perlokusi MT adalah diam saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
5) Maksud Penutur
Tuturan C20 : penutur memiliki maksud kesal.
4.2.3.7 Subkategori Mengancam
Cuplikan tuturan 18 (C5)
P : “Makan dulu, mainnya nanti lagi!”
MT : “Gak mau, nanti aja.”
P : “Kalo gak mau makan, kamu gag boleh pergi sama dia
(temannya)!”
(Konteks C5: Tuturan ini terjadi di rumah, pada siang hari. MT sedang
ingin pergi bermain bersama teman-temannya. Penutur menyuruh MT
untuk makan terlebih dahulu, kemudian baru boleh bermain. MT
menolak suruhan penutur.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori
mengancam adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C5 : Kalo gak mau makan, kamu gag boleh pergi sama dia
(temannya)!
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C5 : Penutur mengeluarkan kata-kata ancaman agar MT menaati
perintahnya. Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara kesal. MT merasa
takut dengan ancaman penutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C5 : Tuturan C5 mempunyai intonasi perintah. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan lunak pada frasa gag boleh pergi sama dia.
Diksi: penggunaan bahasa populer.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C5 : Tuturan ini terjadi di rumah, pada siang hari. Penutur laki-laki
berusia 32 tahun, ayah dari MT. MT laki-laki berusia 6 tahun, anak dari
penutur. MT sedang ingin pergi bermain bersama teman-temannya. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
menyuruh MT untuk makan terlebih dahulu, kemudian baru boleh bermain.
MT menolak suruhan penutur. Tujuan penutur adalah mengancam MT karena
susah makan. Tindak verbal tuturan C5 adalah tindak ekspresif. Tindak
perlokusi MT adalah melakukan apa yang diperintah penutur.
5) Maksud Penutur
Tuturan C5 : penutur memiliki maksud memaksa.
4.2.3.8 Subkategori Mengusir
Cuplikan tuturan 21 (C8) MT : “Tangi-tangi... wes jam telu!” (menendang-nendang kaki
kakaknya yang sedang tidur).
P : “Aaassss... minggat kono!” (melanjutkan tidurnya).
MT : “Yowes... damuk kapok mengko.”
(Konteks C8: Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga
pada sore hari sekitar jam 3 sore, tanggal 28 April 2013. Penutur sedang
tidur di ruang keluarga. MT membangunkan penutur karena sudah sore
dan MT disuruh oleh ibunya agar membangunkan penutur. MT
membangunkan penutur dengan menendang-nendang kaki penutur.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori mengusir
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C8 : Aaassss...minggat kono! (melanjutkan tidurnya).
(Aaassss...pergi sana!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C8 : Penutur mengusir MT dengan suara keras dan kata-kata kasar.
MT memiliki niat baik kepada penutur. Penutur menyampaikan tuturannya
dengan cara keras. MT pergi karena penutur marah.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C8 : Tuturan C8 mempunyai intonasi perintah. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa minggat kono!. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C8 : Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga pada
sore hari sekitar jam 3 sore, tanggal 28 April 2013. Penutur laki-laki, kakak
berusia 23 tahun. MT laki-laki, adik berusia 12 tahun. Penutur sedang tidur di
ruang keluarga. MT membangunkan penutur karena sudah sore dan MT
disuruh oleh ibunya agar membangunkan penutur. MT membangunkan penutur
dengan menendang-nendang kaki penutur. Tujuan penutur untuk menyuruh
pergi MT karena telah mengganggu tidurnya. Tindak verbal tuturan C8 adalah
tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT adalah pergi meninggalkan penutur.
5) Maksud Penutur
Tuturan C8 : penutur memiliki maksud mengusir.
4.2.3.9 Subkategori Menagih
Cuplikan tuturan 24 (C11)
P : “Pak, udah cair belum?”
MT : “Belum.”
(Konteks C11: Tuturan terjadi di rumah pukul 09.00 WIB, tanggal 5 Mei
2013. MT pernah membuat janji dengan penutur akan membelikan
sesuatu bila sudah mempunyai uang. Penutur menagih janji MT.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori menagih
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C11 : Pak, udah cair belum?
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C11 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara sinis. Penutur tidak melihat/tahu
kondisi keuangan MT. Penutur menagih janji kepada MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C11 : Tuturan C11 mempunyai intonasi tanya. Penutur berbicara
dengan nada sedang (sinis). Tekanan lunak pada frasa udah cair belum. Diksi:
bahasa nonstandar (bahasa Jawa) dan bahasa slang pada kata cair.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C11 : Tuturan terjadi di rumah pukul 09.00 WIB, tanggal 5 Mei
2013. Penutur laki-laki berusia 15 tahun, anak dari MT. MT laki-laki berusia
43 tahun, bapak dari penutur. MT pernah membuat janji dengan penutur akan
membelikan sesuatu bila sudah mempunyai uang. Penutur menagih janji MT.
Tujuan penutur untuk meminta uang kepada MT untuk membeli sesuatu.
Tindak verbal tuturan C11 adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT
adalah menanggapi pertanyaan MT.
5) Maksud Penutur
Tuturan C11 : penutur memiliki maksud menagih janji MT.
4.2.3.10 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 25 (C12)
P : “Jenggote koyo kowe, Pak.”
MT : “Kok, kowa-kowe to, ora pantes.”
(Konteks C12: Tuturan terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga.
Penutur perempuan, anak dari penutur. MT laki-laki, ayah dari penutur.
Penutur dan MT sedang menonton televisi di ruang keluarga.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori mengejek
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C12 : Jenggote koyo kowe, Pak. (Jenggotnya seperti kamu, Pak.)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C12 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
menyamakan MT dengan seseorang yang berada di TV. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
menyampaikan tuturannya dengan cara bercanda. Penutur menggunakan kata
“kowe” kepada orang yang lebih tua (bapak dari penutur).
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C12 : Tuturan C12 mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan lunak pada kalimat Jenggote koyo koe, Pak.
Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C12 : Tuturan terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga. Penutur
perempuan, anak dari penutur. MT laki-laki, ayah dari penutur. Penutur dan
MT sedang menonton televisi di ruang keluarga. Tujuan penutur adalah
mengejek MT (menyamakan mitra tutur dengan apa yang dilihat penutur dalam
TV) . Tindak verbal tuturan C12 adalah tindak representatif. Tindak perlokusi
MT adalah memperingatkan penutur.
5) Maksud Penutur
Tuturan C12 : penutur memiliki maksud mengejek MT.
4.2.3.11 Subkategori Menasihati
Cuplikan tuturan 29 (C16)
P : “Kalo memang niatnya masih mau sekolah, Bapak masih
ingin ngragati. Kalo emang maunya nikah, bilang aja pengen
nikah. Bapak nikahke.”
MT : “Lho kok ngono, Pak!
(Konteks C16: Tuturan ini terjadi saat di rumah dan pada saat situasi
santai. Penutur menasihati MT menganai hubungannya dengan lawan
jenis (pacaran). MT merasa dirinya disalahkan dan sedang terpojok.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik melecehkan muka subkategori menasihati
adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud ketidaksantunan
linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan C16 : Kalo memang niatnya masih mau sekolah, Bapak masih
ingin ngragati (biayai). Kalo emang maunya nikah, bilang
aja pengen nikah. Bapak nikahke.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C16 : Penutur membuat pilihan yang memojokkan MT. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara kesal. Secara tidak langsung penutur
telah menuduh MT lebih mementingkan pacaran daripada sekolah.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C16 : Tuturan C16 mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa Bapak nikahke. Diksi: bahasa
nonstandar (campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C16 : Tuturan ini terjadi saat di rumah dan pada saat situasi santai.
Penutur laki-laki, ayah dari MT. MT perempuan, anak dari penutur. Penutur
menasihati MT menganai hubungannya dengan lawan jenis (pacaran). MT
merasa dirinya disalahkan dan sedang terpojok. Tujuan penutur menasihati MT
mengenai pendidikan atau pacaran. Tindak verbal tuturan C16 adalah tindak
direktif. Tindak perlokusi MT adalah menanggapi nasihat dari penutur dengan
sangkalan.
5) Maksud Penutur
Tuturan C16 : penutur memiliki maksud memarahi.
4.2.4 Menghilangkan Muka
Culpeper (2008) dalam Rahardi (2012) memberikan penekanan pada fakta
‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’, kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu
dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Jadi, ketidaksantunan
dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara
intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau
setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. Kategori ketidaksantunan
yang mengancam muka sepihak memiliki empat subkategori, yaitu subkategori
menyindir, mengejek, menegur, dan menyinggung. Berikut ini adalah analisis
tuturan yang termasuk dalam subkategori tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
4.2.4.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 40 (D3)
P : “Koyo adimu kae lho iso ngopo-ngopo, koe kok tura-turu
wae.”
MT : “Joni kae rak tritikan ngene-ngene mesti pengen.”
(Konteks D3: Tuturan terjadi di rumah. MT sedang tiduran dan menonton
televisi. Penutur dan orang ketiga (adik MT) akan pergi bekerja karena
pada saat itu merupakan hari libur. Penutur membandingkan MT dengan
orang ketiga dihadapan orang ketiga.)
Cuplikan tuturan 41 (D4)
MT : “ Habis kumpulan dari kabupaten, ini monggo dicakke.”
P : “Wah, opo-opo dinas... opo-opo dinas...”
(Konteks D4: Tuturan ini terjadi pada saat diadakan perkumpulan
nelayan pantai congot. Penutur laki-laki, nelayan. MT laki-laki, ketua
nelayan salah satu pantai di Kulonprogo. MT sedang mengumumkan
hasil rapat dari Kabupaten mengenai perintah kerja/ pelatihan kerja.
Penutur merasa bahwa MT selalu patuh terhadap dinas.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menghilangkan muka subkategori
menyindir adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan D3 : Koyo adimu kae lho iso ngopo-ngopo, koe kok tura-turu
wae.
Tuturan D4 : Wah, opo-opo dinas... opo-opo dinas...
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D3 : Penutur membandingkan MT dengan adik MT. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara kesal. Penutur membandingkan MT di
depan orang lain. MT merasa dirinya kehilangan muka akibat tuturan dari
penutur.
Tuturan D4 : Penutur berbicara dengan ketua nelayan salah satu pantai di
KP. Penutur kesal kepada MT yang selalu patuh kepada dinas. Penutur
berbicara dengan nada keras kepada MT di hadapan nelayan-nelayan lainnya.
MT merasa tidak dihargai dan kehilangan muka oleh tuturan dari penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D3 : Tuturan D3 mempunyai intonasi berita. Kata fatis: lho dan kok.
Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan lunak pada frasa koe kok tura-
turu wae. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
Tuturan D4 : Tuturan D4 mempunyai intonasi berita. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa opo-opo dinas. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D3 : Tuturan terjadi di rumah. Penutur laki-laki, ayah dari MT. MT
laki-laki berusia 21 tahun, anak dari penutur. MT sedang tiduran dan menonton
televisi. Penutur dan orang ketiga (adik MT) akan pergi bekerja karena pada
saat itu merupakan hari libur. Penutur membandingkan MT dengan orang
ketiga dihadapan orang ketiga. Tujuan penutur adalah menyindir MT. Tindak
verbal tuturan D3 adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT adalah
menanggapi tuturan penutur dengan sanggahan.
Tuturan D4 : Tuturan ini terjadi pada saat diadakan perkumpulan nelayan
pantai congot. Penutur laki-laki, nelayan. MT laki-laki, ketua nelayan salah
satu pantai di Kulonprogo. MT sedang mengumumkan hasil rapat dari
Kabupaten mengenai perintah kerja/ pelatihan kerja. Penutur merasa bahwa
MT selalu patuh terhadap dinas. Tujuan penutur untuk menyindir MT yang
selalu taat/patuh kepada dinas. Tindak verbal tuturan D4 adalah tindak
ekspresif. Tindak perlokusi MT langsung menanggapi penutur, walaupun
begitu MT merasa dirinya dipermalukan di depan rekan-rekan nelayan.
5) Maksud Penutur
Tuturan D3 : penutur memiliki maksud menyindir.
Tuturan D4 : penutur memiliki maksud kecewa.
4.2.4.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 43 (D6)
P : “Gampang nek mung kur ngono. Solusino piro anggarane sayap?
Ngertimu piro?”
MT : ”Rung ngerti aku.”
P : “Halah... Nelayan seprono-seprene gaweane kok muni ra
ngerti!”
(Konteks D6: Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5
sore, pada tanggal 20 April 2013. Dalam situasi ini penutur dan MT
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
sedang membahas biaya perbaikan kapal yang sayapnya patah karena
diterjang ombak. Sebelumnya penutur bertanya kepada MT mengenai
anggaran perbaikan sayap kapal, tetapi pertanyaan tersebut hanya
menguji pengetahuan MT. MT menjawab pertanyaan tersebut.)
Cuplikan tuturan 44 (D7)
P : “Tak inggoni pitmu motor mas, koe nek nulisi ora ngono kae!
Tulisi ojo dumeh...”
MT2 : “Diwarai mas.”
P : “Ojo dumeh koe kie sugeh, ojo dumeh koe kie waras, wong sak
lapangan sewengi ra rampung-rampung nek ojo dumeh, ojo
dumeh koe ki ayu, aku yo iso.”
MT2 : (sambil menyela) “iya...aaa... iya...aaa...”
(Konteks D7: Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5
sore, pada tanggal 20 April 2013. Penutur berada di halaman rumah dan
berada di samping motornya. Di samping motor penutur terdapat motor
MT. Penutur mengomentari tulisan atau stiker yang ada di motor MT. MT
berada di teras rumah beserta 2 orang lainnya.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menghilangkan muka subkategori
mengejek adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan D6 : Halah... Nelayan seprono-seprene gaweane kok muni ra
ngerti!
Tuturan D7 : Tak inggoni pitmu motor mas, koe nek nulisi ora ngono
kae! Tulisi ojo dumeh...
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D6 : Penutur berbicara dengan tuan rumah sekaligus ketua nelayan
pantai setempat. Penutur berbicara dengan MT di hadapan tamu lain. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara sinis. MT merasa kehilangan muka
dengan tuturan tersebut sehingga mengalihkan pertanyaan kepada orang lain.
Tuturan D7 : Penutur berbicara dengan tamu yang baru ia kenal pada saat
itu. Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara bercanda. Penutur
berbicara di hadapan tuan rumah dan tamu lain, tuturan penutur bermaksud
untuk mengejek MT. MT merasa kehilangan muka sehingga ia hanya diam saja
dan sedikit tersenyum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D6 : Tuturan D6 mempunyai intonasi seru. Kata fatis: kok. Penutur
berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa muni ra ngerti. Diksi:
bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
Tuturan D7 : Tuturan D7 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan lunak pada frasa koe nek nulisi ora ngono kae.
Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D6 : Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5 sore,
pada tanggal 20 April 2013. Penutur laki-laki berusia 41 tahun, tamu. MT laki-
laki berusia 42 tahun, tuan rumah sekaligus ketua nelayan. Dalam situasi ini
penutur dan MT sedang membahas biaya perbaikan kapal yang sayapnya patah
karena diterjang ombak. Sebelumnya penutur bertanya kepada MT mengenai
anggaran perbaikan sayap kapal, tetapi pertanyaan tersebut hanya menguji
pengetahuan MT. MT menjawab pertanyaan tersebut. Tujuan penutur adalah
mengejek MT kapal. Tindak verbal tuturan D6 adalah tindak representatif.
Tindak perlokusi MT menimpali pertanyaan tersebut kepada tamunya yang lain
yang merupakan seorang nelayan berpengalaman juga.
Tuturan D7 : Tuturan ini terjadi di teras rumah sekitar jam setengah 5 sore,
pada tanggal 20 April 2013. Penutur laki-laki berusia 41 tahun, tamu. MT laki-
laki berusia 23 tahun, tamu. Penutur berada di halaman rumah dan berada di
samping motornya. Di samping motor penutur terdapat motor MT. Penutur
mengomentari tulisan atau stiker yang ada di motor MT. MT berada di teras
rumah beserta 2 orang lainnya. Tujuan penutur adalah mengomentari sekaligus
mengejek tulisan yang ada di motor MT. Tindak verbal tuturan D7 adalah
tindak direktif. Tindak perlokusi MT hanya tersenyum karena malu.
5) Maksud Penutur
Tuturan D6 : penutur memiliki maksud mengejek.
Tuturan D7 : penutur memiliki maksud menggoda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
4.2.4.3 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 39 (D2)
P : “Nih kamu gak naik kelas! Gak malu apa sama yang lain?
Besok lagi yang rajin belajarnya agar naik kelas. Kalo gak
naik kelas lagi mesti kamu mung diisin-isin karo konco-
koncomu.”
(Konteks D2: Tuturan terjadi di halaman rumah. Penutur pulang dari
sekolah mengambil raport anaknya. Tuturan ini terjadi saat penutur, MT,
dan orang ketiga sedang bercakap-cakap membahas nilai MT.)
Cuplikan tuturan 42 (D5)
P : ”Makanya kalo kamu itu mau belajar ya belajar, gag belajar
cuman maen.”
(Konteks D5: Tuturan ini terjadi di rumah. MT mendapat nilai jelek, hal
ini berbanding terbalik dengan keponakan penutur. Dalam situasi ini
terdapat orang ketiga yakni, istri dan keponakan penutur.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menghilangkan muka subkategori
menegur adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan D2 : Nih kamu gak naik kelas! Gak malu apa sama yang lain?
Besok lagi yang rajin belajarnya agar naik kelas. Kalo gak
naik kelas lagi mesti kamu mung diisin-isin karo konco-
koncomu.
Tuturan D5 : Makanya kalo kamu itu mau belajar ya belajar, gag belajar
cuman maen.
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D2 : Penutur berbicara dengan MT di depan orang lain. Penutur
menakut-nakuti MT bila tidak naik kelas lagi. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara halus. MT merasa kehilangan muka karena
dipermalukan di depan orang lain.
Tuturan D5 : Penutur menegur MT di hadapan orang lain. Penutur
mengomentari nilai buruk yang didapat keponakan istrinya dengan kesal.
Penutur kecewa terhadap MT. MT merasa dirinya kehilangan muka karena
tuturan tersebut disampaikan di depan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D2 : Tuturan D2 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada kalimat Nih kamu gak naik kelas dan
pada frasa Gak malu. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa dan bahasa tidak
baku).
Tuturan D5 : Tuturan D5 mempunyai intonasi berita. Partikel: ya. Penutur
berbicara dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa gag belajar cuman
maen. Diksi: bahasa populer.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D2 : Tuturan terjadi di halaman rumah. Penutur laki-laki, ayah dari
MT. MT laki-laki, anak dari penutur. Penutur pulang dari sekolah mengambil
raport anaknya. Tuturan ini terjadi saat penutur, MT, dan orang ketiga sedang
bercakap-cakap membahas nilai MT. Tujuan penutur adalah menasihati
anaknya yang tidak naik kelas di hadapan orang ketiga (ibunya). Tindak verbal
tuturan D2 adalah tindak direktif. Tindak perlokusi MT adalah merasa malu
dan hanya diam saja sambil menundukkan kepala.
Tuturan D5 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur laki-laki, paman dari MT.
MT laki-laki, keponakan dari istri penutur. MT mendapat nilai jelek, hal ini
berbanding terbalik dengan keponakan penutur. Dalam situasi ini terdapat
orang ketiga yakni, istri dan keponakan penutur. Tujuan penutur adalah
menasihati MT yang mendapat nilai jelek, secara tersirat penutur juga
menyindir dan membandingkan MT dengan keponakannya yang mendapatkan
nilai baik. Tindak verbal tuturan D5 adalah tindak direktif. Tindak perlokusi
MT hanya diam saja.
5) Maksud Penutur
Tuturan D2 : penutur memiliki maksud marah.
Tuturan D5 : penutur memiliki maksud menasihati.
4.2.4.4 Subkategori Menyinggung
Cuplikan tuturan 46 (D9)
P : “Ayo neng pasar, tukokke mobil-mobilan.”
MT : “Sesok yo le.”
P : “Wah bapak kie pelit, ngene-ngene ra oleh!”
MT : “Bapak durung due duit le.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
(Konteks D9: Tuturan ini terjadi di rumah. Awalnya penutur bermain
bersama teman-temannya. Penutur meminta mainan seperti milik
temannya kepada MT. MT menolak karena uangnya dipakai untuk hal
yang lebih penting terlebih dahulu dan MT memberi penawaran kepada
penutur untuk lebih sabar, pasti besok akan dibelikan.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menghilangkan muka subkategori
menyinggung adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan D9 : Wah bapak kie pelit, ngene-ngene ra oleh!
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D9 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
berbicara kepada MT dihadapan teman-teman penutur. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara kesal. Penutur menuduh MT pelit. MT merasa
kehilangan muka karena tuturan tersebut disampaikan di depan orang lain
(teman-teman penutur).
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D9 : Tuturan D9 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa bapak kie pelit. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D9 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur laki-laki berusia 6 tahun,
anak dari MT. MT laki-laki berusia 33 tahun, ayah dari penutur. Awalnya
penutur bermain bersama teman-temannya. Penutur meminta mainan seperti
milik temannya kepada MT. MT menolak karena uangnya dipakai untuk hal
yang lebih penting terlebih dahulu dan MT memberi penawaran kepada
penutur untuk lebih sabar, pasti besok akan dibelikan. Tujuan penutur adalah
menuduh MT pelit karena tidak membelikan mainan. Tindak verbal tuturan D9
adalah tindak ekspresif. Tindak perlukosi MT adalah menanggapi tuturan
penutur dengan malu dan mengakui kalau penutur belum mempunyai uang.
5) Maksud Penutur
Tuturan D9 : penutur memiliki maksud kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
4.2.5 Menimbulkan Konflik
Bousfield (2008:3) dalam Rahardi (2012) memberi penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa
yang tidak santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam
muka. Kemudian ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono
(gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian
mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan
dengan kesengajaan (purposeful). Kategori ketidaksantunan yang menimbulkan
konflik memiliki enam subkategori, yaitu subkategori menegaskan, menolak,
menyinggung, mengumpat, menegur, dan mengancam. Berikut ini adalah analisis
tuturan yang termasuk dalam subkategori tersebut.
4.2.5.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 50 (E4)
P : “Ngematke matane, bawal ko ngene kok dianggep BS.”
MT : “Njajal ayo ditakokke ro liyane iki BS po ora?”
(Konteks E4: Tuturan ini terjadi di TPI (tempat pelelangan ikan). Para
nelayan sedang mengelompokkan ikan bawal.)
Cuplikan tuturan 52 (E6)
MT : “Banyune ki jek banter kae!”
P : “Alaah Mboook, mbog rasah gemrumung!! Ijek banter mau
bengi. Kui yo wes tak akonke uwong.”
MT : “Ha iyo gek didandani!”
(Konteks E6: Tuturan ini terjadi pada saat penutur berada di dalam rumah
dan MT berada di luar rumah hendak mengambil wudhu. Tuturan ini
terjadi pada saat jam shalat maghrib. MT memberitahu bahwa pralon
airnya masih bocor. Penutur merasa emosi karena MT selalu cerewet.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
menegaskan adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E4 : Ngematke matane, bawal ko ngene kok dianggep BS.
(Perhatikan, bawal seperti ini kok dianggap BS.) Tuturan E6 : Alaah Mboook, mbog rasah gemrumung!! Ijek banter mau
bengi. Kui yo wes tak akonke uwong. (Alaah Bu, jangan
ribut! Masih deras tadi malam. Itu juga saya sudah suruh
orang.)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E4 : Penutur berbicara dengan nelayan lainnya. Penutur berbicara
kasar dengan orang lain. Penutur menyampaikan tuturannya dengan suara keras
dan dengan cara ketus. Tuturan penutur menyebabkan terjadi adu argumen
antar nelayan yang berada di sana.
Tuturan E6 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
berbicara dengan suara yang keras kepada MT. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan kesal. MT merasa tidak terima karena suara penutur
dianggap terlalu kasar dan keras sehingga mitra tutur menimpali dengan nada
yang tinggi pula.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E4 : Tuturan E4 mempunyai intonasi berita. Partikel: kok. Penutur
berbicara dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa Ngematke matane dan
frasa dianggep BS. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa) dan penggunaan
jargon pada kata BS.
Tuturan E6 : Tuturan E6 mempunyai intonasi berita. Partikel: yo. Penutur
berbicara dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa Alaah Mboook dan
kata gemrumung. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E4 : Tuturan ini terjadi di TPI (tempat pelelangan ikan). Penutur
laki-laki, nelayan. MT laki-laki, nelayan. Para nelayan sedang
mengelompokkan ikan bawal. Tujuan penutur adalah menegaskan dan
memberitahu kepada MT bahwa bawalnya bukan BS. Tindak verbal penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT adalah menanggapi penutur
dengan kata-kata kasar juga.
Tuturan E6 : Tuturan ini terjadi pada saat penutur berada di dalam rumah
dan MT berada di luar rumah hendak mengambil wudhu. Tuturan ini terjadi
pada saat jam shalat maghrib. Penutur perempuan berusia 36 tahun, anak dari
MT. MT perempuan berusia 70-80 tahun, nenek/ ibu dari penutur. MT
memberitahu bahwa pralon airnya masih bocor. Penutur merasa emosi karena
MT selalu cerewet. Tujuan penutur adalah membela diri. Tindak verbal penutur
adalah tindak ekspresif. Tindak perlokusi MT menanggapi tuturan penutur
dengan nada tinggi juga.
5) Maksud Penutur
Tuturan E4 : penutur memiliki maksud memberitahu.
Tuturan E6 : penutur memiliki maksud kesal.
4.2.5.2 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 53 (E7)
MT : “Ayo ngewangi bapak!”
P : “Gak mau!”
MT : “ Koe nek ra ngewangi bapak, trus sopo seng arep biayani”
(Konteks E7: Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur menolak ajakan
ayahnya untuk membantu pekerjaannya. MT merasa tersinggung dengan
ucapan penutur kemudian memarahinya.)
Cuplikan tuturan 54 (E8)
MT : “Tipine dipindah, Mas?”
P : “Wegah!”
MT : (Berlari mencari orang tua dan minta untuk digendong).
(Konteks E8: Tuturan ini terjadi di ruang keluarga. Penutur dan MT
sedang asik menonton salah satu acara televisi. MT merasa bahwa ia
tidak menyukai acara televisi yang sedang mereka tonton. MT menyuruh
penutur untuk mengganti channel/acara televisi tersebut. Penutur
menolak perintah dari MT karena ia menyukai acara televisi tersebut.
Terdapat orang ketiga yang nantinya memarahi penutur karena
tindakannya terhadap MT.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
menolak adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E7 : Gak mau!
Tuturan E8 : Wegah! (Tidak mau!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E7 : Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur
menolak ajakan MT dengan cara spontan. Penutur menyampaikan tuturannya
dengan cara ketus. MT merasa penutur tidak patuh terhadapnya dan kemudian
memarahinya.
Tuturan E8 : Penutur tidak mau mengalah dengan MT. Penutur menjawab
suruhan MT dengan spontan sambil mempertahankan remote TV-nya dari MT.
Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara ketus. MT tidak terima dan
memanggil MT 2 (bapaknya), dan MT 2 memarahi penutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E7 : Tuturan E7 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada kalimat Gak mau. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa tidak baku) dan bahasa populer.
Tuturan E8 : Tuturan E8 mempunyai intonasi seru. Penutur berbicara
dengan nada sedang. Tekanan keras pada kata Wegah. Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E7 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur laki-laki berusia 16
tahun, anak dari MT. MT laki-laki, ayah dari penutur. Penutur menolak ajakan
ayahnya untuk membantu pekerjaannya. MT merasa tersinggung dengan
ucapan penutur kemudian memarahinya. Tujuan penutur adalah menolak
ajakan ayahnya untuk membantunya bekerja. Tindak verbal penutur adalah
tindak komisif. Tindak perlokusi MT memarahi penutur.
Tuturan E8 : Tuturan ini terjadi di ruang keluarga. Penutur laki-laki berusia
6 tahun, kakak. MT laki-laki berusia 3 tahun, adik. Penutur dan MT sedang
asik menonton salah satu acara televisi. MT merasa bahwa ia tidak menyukai
acara televisi yang sedang mereka tonton. MT menyuruh penutur untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
mengganti channel/acara televisi tersebut. Penutur menolak perintah dari MT
karena ia menyukai acara televisi tersebut. Terdapat orang ketiga yang
nantinya memarahi penutur karena tindakannya terhadap MT. Tujuan penutur
adalah menolak suruhan MT untuk mengganti channel/acara di televisi. Tidak
verbal penutur adalah tindak komisif. Tindak perlokusi MT pergi mencari
orang ketiga (ayah), kemudian orang ketiga memarahi penutur.
5) Maksud Penutur
Tuturan E7 : penutur memiliki maksud menolak.
Tuturan E8 : penutur memiliki maksud menolak.
4.2.5.3 Subkategori Menyinggung
Cuplikan tuturan 47 (E1) MT : “Haduh, Bu. Dino iki ra oleh opo-opo, Bu.”
P : “Itu kan tanggungjawab suami.”
MT : “Wolha kurang ajar.”
(Konteks E1: Tuturan ini terjadi di rumah. Tuturan ini terjadi saat
penutur dan MT sedang bercakap-cakap. Penutur tidak memperhatikan
keadaan MT saat menyampaikan tuturannya. MT sedang dalam keadaan
letih sepulang dari bekerja.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
menyinggung adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E1 : Itu kan tanggungjawab suami.
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E1 : Penutur berbicara dengan suaminya. Penutur berbicara tanpa
berpikir (ngelantur/ ceplas-ceplos). Penutur berbicara dengan cara ketus. MT
menanggapi tuturan penutur dengan kata-kata kasar sehingga menimbulkan
konflik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E1 : Tuturan E1 mempunyai intonasi berita. Partikel: kan. Penutur
berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras pada frasa itu kan dan pada kata
suami. Diksi: bahasa populer.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E1 : Tuturan ini terjadi di rumah. Penutur perempuan, istri dari MT.
MT laki-laki berusia 43 tahun, suami dari penutur. Tuturan ini terjadi saat
penutur dan MT sedang bercakap-cakap. Penutur tidak memperhatikan
keadaan MT saat menyampaikan tuturannya. MT sedang dalam keadaan letih
sepulang dari bekerja. Tujuan penutur adalah menegaskan bahwa mencari
nafkah merupakan tanggung jawab MT. Tindak verbal penutur adalah tindak
representatif. Tindak perlokusi MT tidak terima dengan tuturan penutur,
sehingga MT menanggapi tuturan penutur dengan kata-kata kasar.
5) Maksud Penutur
Tuturan E1 : penutur memiliki maksud kecewa.
4.2.5.4 Subkategori Mengumpat
Cuplikan tuturan 48 (E2)
MT : “Itu kan tanggungjawab suami.”
P : “Wo lha kurang ajar! Asu cenan.”
MT : “Huuusss... Omongane, Pak.”
(Konteks E2: Tuturan terjadi di halaman rumah. Tuturan ini terjadi saat
penutur dan MT sedang bercakap-cakap. Penutur menanggapi tuturan
MT yang kurang berkenan bagi penutur. Penutur sedang dalam keadaan
letih sepulang kerja.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
mengumpat adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E2 : Wo lha kurang ajar! Asu cenan. (Wolha kurang aja!
Memang anjing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E2 : Penutur berbicara kasar kepada istrinya. Penutur berbicara
tanpa berpikir (ceplas-ceplos). Penutur menyampaikan tuturannya dengan suara
keras. MT merasa tidak terima dengan tuturan penutur sehingga MT memberi
peringatan kepada penutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E2 : Tuturan E2 mempunyai intonasi perintah. Penutur berbicara
dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa kurang ajar dan pada frasa asu
cenan. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E2 : Tuturan terjadi di halaman rumah. Penutur laki-laki berusia 43
tahun, suami. MT perempuan, istri dari penutur. Tuturan ini terjadi saat
penutur dan MT sedang bercakap-cakap. Penutur menanggapi tuturan MT yang
kurang berkenan bagi penutur. Penutur sedang dalam keadaan letih sepulang
kerja. Tujuan penutur adalah tidak terima dan menanggapi tuturan MT yang
kurang berkenan di hati penutur. Tindak verbal penutur adalah tindak ekspresif.
Tindak perlokusi MT menanggapi tuturan penutur dengan peringatan.
5) Maksud Penutur
Tuturan E2 : penutur memiliki maksud kesal.
4.2.5.5 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 49 (E3)
P : “Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Nanti kalo ada tamu,
nanti kalo ada orang lewat. Wong omah yo neng pinggir
dalan.”
MT : “Karang nggone yo koyo ngene, rakyo sesok!”
P : “Welha...malah nesu.”
(Konteks E3: Tuturan terjadi di halaman rumah pada sore hari. Terdapat
rumah kayu di samping rumah. Penutur menasihati MT untuk merapikan
tatanan kayunya, karena rumah kayunya berada di samping rumah,
sekaligus di pinggir jalan. Tuturan terjadi pada saat MT sedang
merapikan kayu dan penutur sedang duduk-duduk di depan rumah.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
menegur adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E3 : Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Nanti kalo ada tamu,
nanti kalo ada orang lewat. Wong omah yo neng pinggir
dalan. (Menata kayunya jangan acak-acakan. Nanti kalau
ada tamu, nanti kalau ada orang lewat. Rumah juga di
pinggir jalan.)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E3 : Penutur berbicara kepada istrinya. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara sinis. Tuturan penutur sangat sembrono karena tidak
melihat apa yang dilakukan MT dan apa yang dilakukan penutur. MT merasa
dirinya disalahkan, sedangkan penutur tidak melakukan apa-apa melainkan
hanya duduk santai. MT menyanggah tuturan penutur sehingga terjadi adu
mulut.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E3 : Tuturan E3 mempunyai intonasi berita. Partikel: yo. Penutur
berbicara dengan nada sedang. Tekanan lunak pada kalimat Mbog le noto kayu
ora teng lempah. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa) dan bahasa populer.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E3 : Tuturan terjadi di halaman rumah pada sore hari. Penutur laki-
laki, suami. MT perempuan, istri. Terdapat rumah kayu di samping rumah.
Penutur menasihati MT untuk merapikan tatanan kayunya, karena rumah
kayunya berada di samping rumah, sekaligus di pinggir jalan. Tuturan terjadi
pada saat MT sedang merapikan kayu dan penutur sedang duduk-duduk di
depan rumah. Tujuan penutur adalah menyindir sekaligus menasihati MT untuk
merapikan tatanan kayunya. Tindak verbal penutur adalah tindak direktif.
Tindak perlokusi MT adalah tetap melanjutkan merapikan kayunya sambil
menanggapi tuturan dari penutur dengan sanggahan.
5) Maksud Penutur
Tuturan E3 : penutur memiliki maksud memberitahu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
4.2.5.6 Subkategori Mengancam
Cuplikan tuturan 51 (E5) MT : (menangis)
P : “Ayo... iso meneng ora!” (digeblek atau dipukul).
(Konteks E5: Tuturan terjadi di halaman rumah. Tuturan terjadi pada saat
MT sedang menangis. Penutur pulang bekerja dengan keadaan yang letih.
Penutur tersulut emosinya karena anaknya rewel terus-terusan.)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Wujud ketidaksantunan linguistik menimbulkan konflik subkategori
mengancam adalah berupa transkrip tuturan lisan tidak santun. Wujud
ketidaksantunan linguistik tersebut sebagai berikut.
Tuturan E5 : Ayo... iso meneng ora! (digeblek atau dipukul). (Ayo...bisa
diam tidak!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E5 : Penutur berbicara dengan anaknya. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan suara keras dan dengan cara ketus. Penutur bermain tangan
(memukul) terhadap MT. Tindakan penutur membuat MT 2 tidak terima. MT 2
marah kepada penutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E5 : Tuturan E5 mempunyai intonasi perintah. Partikel: ayo.
Penutur berbicara dengan nada tinggi. Tekanan keras pada frasa iso meneng
ora. Diksi: bahasa nonstandar (bahasa Jawa).
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E5 : Tuturan terjadi di halaman rumah. Penutur laki-laki berusia 34
tahun, ayah dari MT. MT laki-laki berusia 6 tahun, anak dari penutur. Tuturan
terjadi pada saat MT sedang menangis. Penutur pulang bekerja dengan keadaan
yang letih. Penutur tersulut emosinya karena anaknya rewel terus-terusan.
Tujuan penutur adalah menyuruh anaknya untuk tidak rewel lagi, tetapi disertai
dengan pukulan kecil (istilah Jawa digeblek). Tindak verbal penutur adalah
tindak komisif. Tindak perlokusi MT melakukan apa yang diperintah penutur,
tetapi terdapat orang ketiga, yakni istrinya yang marah kepada penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
5) Maksud Penutur
Tuturan E5 : penutur memiliki maksud kesal.
4.3 Pembahasan
Hasil dari kajian yang dilakukan terhadap tuturan yang ada di dalam ranah
keluarga nelayan di kampung nelayan Desa Jangkaran, Pantai Trisik dan Desa
Banaran, Pantai Congot, Kulonprogo, Yogyakarta ditemukan beberapa tuturan
yang mengandung ketidaksantunan. Tuturan yang termasuk ke dalam tuturan yang
tidak santun tersebut terbagi menjadi lima kategori ketidaksantunan, yaitu (a)
melanggar norma, (b) mengancam muka sepihak, (c) melecehkan muka, (d)
menghilangkan muka, dan (e) menimbulkan konflik. Tuturan-tuturan
ketidaksantunan tersebut dianalisis berdasarkan wujud linguistik dan pragmatik,
penanda linguistik dan pragmatik, dan maksud penutur. Wujud linguistik berisi
mengenai bentuk tuturan tidak santun dari penutur, dan hasilnya berupa transkrip
tuturan ketidaksantunan, sedangkan wujud pragmatik berisi mengenai cara
penutur dalam menyampaikan tuturannya, sehingga tuturan tersebut dianggap
tidak santun. Penanda ketidaksantunan linguistik meliputi nada, kata fatis,
tekanan, intonasi dan pilihan kata atau diksi, sedangkan penanda ketidaksantunan
pragmatik meliputi aspek-aspek konteks yang dikemukakan oleh Leech (1983),
yakni penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Kedua penanda
tersebut digunakan sebagai acuan untuk mengkategorikan setiap tuturan yang
berbentuk tidak santun tersebut ke dalam lima kategori ketidaksantunan yang
telah disebutkan pada uraian sebelumnya. Selain itu, penanda ketidaksantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
pragmatik juga digunakan sebagai acuan untuk menentukan subkategori dari
setiap tuturan.Berikut ini adalah contoh tuturannya.
4.3.1 Kategori Melanggar Norma
Locher and Watts (2008) dalam Rahardi (2012), lebih menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif
dianggap negatif(negatively marked behavior), karena dianggap melanggar
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
4.3.1.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 1 (A1)
MT : “Tadi beli es ya?”
P : “Enggak!”
MT : “Makanya jangan beli es sembarangan! Jadi sakit to?”
Cuplikan tuturan 2 (A2)
MT : ”Mau kemana dek?”
P :”Arep ngaji!”
MT : “Kui...mbasan ono gawean malah alasan ngaji, nek raono mung
dolan wae.”
P : “Yo ben... wong arep ngaji kok ra oleh.”
MT : “Dia gag nyapu dibiarin. Malah aku yang jadinya nyapu.”
(mengadu kepada pamannya).
Cuplikan tuturan di atas merupakan contoh tuturan yang termasuk dalam
kategori melanggar norma dengan subkategori menegaskan. Kedua tuturan di atas
memiliki beberapa kesamaan. Penutur tidak mengindahkan teguran atau suruhan
mitra tutur, hal ini ditunjukkan penutur dengan cara ketus dalam penyampaian
tuturannya. Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, sehingga membuat
tuturannya tidak santun. Yang membedakan wujud pragmatik dari kedua tuturan
tersebut adalah ada tuturan A1, penutur berusaha berbohong kepada mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Sedangkan pada penutur A2, penutur melimpahkan pekerjaan yang seharusnya
dilakukan penutur menjadi dilakukan mitra tutur.
Dilihat dari penanda linguistik, tuturan A1 menggunakan pilihan kata
bahasa populer, sedangkan tuturan A2 menggunakan pilihan kata bahasa
nonstandar. Diksi bahasa populer yang digunakan pada tuturan A1 adalah
penggunaan bahasa Indonesia tidak baku, dan kata-kata ini telah dikenal dan
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan pada tuturan A2, penutur
lebih memilih bahasa nonstandar sebagai pilihan katanya. Bahasa nonstandar
disini adalah bahasa yang memiliki unsur kedaerahan, yakni bahasa Jawa.
Tuturan A1 dan A2 dituturkan dengan tekanan keras. Tekanan keras pada
tuturan A1 dimaksudkan untuk menegaskan apa yang penutur yakini. Penutur A1
memberi tekanan kerasnya pada kata seru enggak. Sedangkan pada tuturan A2,
penutur hanya memberi tekanan keras pada frasa Yo ben dari keseluruhan
tuturannya yang tidak santun. Penutur A2 menekankan tuturannya dengan tujuan
menyanggah dengan tegas pernyataan mitra tutur.
Intonasi yang digunakan oleh penutur dalam tuturan A1 dan A2 berbeda.
Tuturan A1 menggunakan intonasi seru. Kalimat seru adalah kalimat yang
menyatakan perasaan hati, atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat seru
ditandai dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi (Keraf, 1991:208).
Penutur A1 menggunakan intonasi seru dalam penyampaian tuturannya karena ia
menjawab dengan tegas pertanyaan dari mitra tutur. Selain itu, penutur mencoba
untuk menyakinkan mitra tutur dengan kebohongannya. Sedangkan, penutur A2
menggunakan intonasi berita dalam tuturannya. Kalimat berita (deklaratif)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
ditandai dengan pola intonasi datar-turun (Muslich, 2009:115−117). Tuturan A2
berintonasi berita karena tuturan tersebut .memiliki tujuan untuk memberitahukan
alasan penutur menghindar dari kewajibannya.
Penutur A1 dan A2 sama-sama menggunakan nada sedang dalam
menyampaikan tuturannya. Meskipun kedua tuturan tersebut memiliki nada
sedang dalam penyampaiannya, kedua tuturan tersebut tetap dianggap tidak
santun. Hal ini dikarenakan pada tuturan A1, penutur berbohong kepada mitra
tutur sekaligus melanggar aturan yang telah disepakati. Tindakan yang serupa
juga dilakukan oleh penutur A2, walaupun ia menggunakan nada sedang, tetapi
penutur telah melanggar aturan yang telah disepakati, sehingga tuturannya
dianggap tidak santun.
Pembahasan penanda ketidaksantunan pragmatik akan dibahas dengan
menggunakan aspek-aspek konteks menurut Leech (1983) dalam Wijana
(1996:10−13), yakni aspek penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan
penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai
produk tindak verbal.
Aspek penutur dan lawan tutur dalam kategori ketidaksantunan melanggar
norma berdasar subkategori menegaskan mengambil contoh pada tuturan A1 dan
A2. Pada tuturan A1, penutur merupakan perempuan berusia 12 tahun, sedangkan
mitra tutur adalah laki-laki, ayah dari penutur. Hubungan mereka berdua adalah
anak dan ayah. Penutur masih duduk di bangku sekolah, yakni SMP. Sedangkan
mitra tutur, bekerja sebagai nelayan di pantai Congot. Penutur dengan tuturan A2
merupakan laki-laki berusia 12 tahun, sedangkan mitra tutur merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
perempuan berusia 15 tahun, kakak dari penutur. Mereka berdua masih duduk di
bangku sekolah, penutur menempuh pendidikannya di SMP dan mitra tutur
menempuh pendidikannya di SMA. Tingkat keakraban mereka sangat erat, karena
mereka merupakan adik kakak kandung.
Aspek yang kedua adalah konteks tuturan yang berisi mengenai semua latar
belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami oleh penutur dan
mitra tutur. Konteks tuturan A1 adalah penutur dan mitra tutur telah menyepakati
sebuah aturan, yakni penutur tidak boleh membeli dan meminum es sembarangan,
karena penutur mempunyai penyakit yang apabila minum es sembarangan,
penyakit tersebut langsung kambuh. Penutur malanggar aturan tersebut dan
berusaha menutupinya dengan kebohongan, tetapi mitra tutur tahu bahwa penutur
telah melanggar aturan, hal ini terlihat dari penutur yang kambuh kembali
penyakitnya. Sedangkan pada tuturan A2, penutur dan mitra tutur telah diberikan
tanggung jawab masing-masing mengenai tugasnya dalam bersih-bersih rumah
dan lingkungannya oleh peman mereka. Penutur dan mitra tutur tinggal di rumah
pamannya. Penutur diberi tanggung jawab untuk mengurus kebersihan halaman
rumah dan mitra tutur mengurus kebersihan di dalam rumah. Mitra tutur
menyuruh penutur untuk menyapu halaman rumah karena sudah kotor, tetapi
penutur tidak mau dan justru beralasan mengaji. Penutur sadar bahwa dirinya
telah melanggar peraturan yang telah disepakati oleh bersama.
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech (1983) dalam Wijana (1996)
adalah tujuan penutur. Tujuan penutur A1 berbicara demikian adalah untuk
menutup-nutupi apa yang terjadi sebenarnya. Penutur berbohong kepada mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
tutur karena ia takut akan dimarahi mitra tutur bila tahu ia telah melanggar
janjinya. Tujuan dari tuturan penutur A2 adalah menghindari pekerjaan yang
sudah menjadi tanggung jawabnya, yakni membersihkan halaman rumah. Penutur
berbicara demikian karena dipojokkan oleh mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan
A1 terjadi pada malam hari saat penutur akan tidur malam di rumah, tepatnya di
kamar penutur. Sedangkan, tuturan A2 di halaman rumah, pada jam 4 sore saat
penutur akan pergi mengaji.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur A1 dan A2 adalah tindak
representatif. Tindak representatif pada penutur A1 adalah menegaskan apa yang
diyakini oleh penutur. Penutur menegaskan bahwa ia tidak minum es
sembarangan, hal ini dilakukan untuk meyakini mitra tutur. Sedangkan, tindak
representatif penutur A2 hampir sama dengan tindakan penutur A1, yakni sama-
sama melakukan penegasan, yang membedakan hanyalah kasusnya. Pada tuturan
A2, secara tersirat penutur menegaskan bahwa mengaji lebih penting daripada
membersihkan halaman. Tindak perlokusi mitra tutur dari tuturan A1 adalah
menasihati penutur, karena mitra tutur sebenarnya mengetahui bahwa penutur
telah berbohong dan telah minum es. Mitra tutur mengetahui keadaan tersebut
terlihat dari kondisi penutur yang jatuh sakit karena penyakitnya kambuh. Mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
tutur pada tuturan A2 memilih tindak perlokusi berupa aduan. Mitra tutur
mengadu kepada pamannya selaku pembuat peraturan.
Berdasar aspek penanda pragmatik yang telah dikemukanan di atas, tuturan
A1 dan A2 termasuk ke dalam subkategori menegaskan. Hal ini terlihat dari
tindak verbal kedua penutur yang menggunakan tindak verbal representatif, dan
mereka cenderung untuk menegaskan apa yang mereka yakini.
Kedua penutur dalam subkategori ini memiliki maksud yang berbeda dalam
penyampaian tuturannya. Maksud penutur dalam tuturan A1 adalah untuk
membohongi mitra tutur. Ia melakukan kebohongan tersebut karena takut
ketahuan bahwa penutur telah melanggar aturannya. Sedangkan, penutur A2
memiliki maksud membela diri. Penutur merasa dirinya tidak bersalah, karena
mengaji memang penting bagi penutur. Alasan lain sehingga penutur mempunyai
maksud membela diri adalah ia dipojokkan oleh mitra tutur.
4.3.1.2 Subkategori Menunda
Cuplikan tuturan 3 (A3)
MT : “Belajar sek le. Ayo TVne dipateni, PRe geg ndang digarap!”
P : “Mengko sek, Pak!”
MT : (langsung mematikan televisi).
Cuplikan tuturan 4 (A4)
MT : “Maghrib, ndang shalat, sinau, TVne ayo dipateni!”
P : “Mengko Pak! Filme jek apik kie.”
MT : (Mematikan sekering listrik).
Cuplikan tuturan di atas merupakan contoh tuturan yang termasuk dalam
kategori melanggar norma dengan subkategori menunda. Kedua tuturan di atas
memiliki beberapa kesamaan. Penutur tidak mengindahkan suruhan mitra tutur,
hal ini ditunjukkan penutur dengan cara ketus dalam penyampaian tuturannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, sehingga membuat tuturannya
tidak santun. Kedua penutur tersebut juga lebih mementingkan menonton televisi
ketimbang belajar.
Bukan hanya dari wujud pragmatik saja yang memiliki kesamaan antara
tuturan A3 dan A4, dilihat dari penanda pragmatiknya, kedua tuturan tersebut juga
mempunyai kesamaan. Pilihan kata yang digunakan kedua penutur di atas adalah
bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar disini adalah bahasa yang memiliki unsur
kedaerahan, yakni bahasa Jawa.
Tuturan A3 dan A4 dituturkan dengan tekanan keras. Penutur A3 memberi
penekanan keras pada frasa Mengko sek karena penutur menekankan bahwa ia
masih ingin melanjutkan menonton televisi. Kata Mengko sek dalam bahasa
Indonesia berarti Nanti dulu. Jadi, disini penutur jelas menunda belajanya. Hal
sama juga dilakukan oleh penutur A4, ia menekankan pada frasa Mengko Pak
dengan tekanan keras.
Intonasi yang digunakan oleh kedua penutur pun sama. Mereka berdua
menggunakan intonasi berita dalam tuturannya. Kalimat berita (deklaratif)
ditandai dengan pola intonasi datar-turun (Muslich, 2009:115−117). Tuturan A3
dan A4 berintonasi berita karena tuturan tersebut .memiliki tujuan untuk
memberitahukan alasan penutur menunda belajarnya. Selain itu, penutur A4
memberitahukan bahwa acara televisi yang sedang ia saksikan bagus.
Penutur A3 dan A4 sama-sama menggunakan nada sedang dalam
menyampaikan tuturannya. Meskipun kedua tuturan tersebut memiliki nada
sedang dalam penyampaiannya, kedua tuturan tersebut tetap dianggap tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
santun. Hal ini dikarenakan pada tuturan A3 dan A4, penutur menentang mitra
tutur sekaligus melanggar aturan yang telah disepakati.
Pembahasan penanda ketidaksantunan pragmatik akan dibahas dengan
menggunakan aspek-aspek konteks menurut Leech (1983) dalam Wijana
(1996:10−13), yakni aspek penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan
penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai
produk tindak verbal.
Setiap tuturan pasti terdapat orang yang menuturkan tuturan dan orang yang
mendengarkan atau menanggapi tuturan tersebut. Aspek pertama dari Leech
(1983) akan membahas aspek tersebut, yakni aspek penutur dan lawan tutur dalam
kategori ketidaksantunan melanggar norma berdasar subkategori menunda. Pada
tuturan A3, penutur merupakan laki-laki berusia 9 tahun, sedangkan mitra tutur
juga laki-laki, berusia 48 tahun. Hubungan keakraban mereka adalah anak sebagai
penutur dan ayah sebagai mitra tutur. Penutur masih bersekolah pada tingkatan
SD, sedangkan mitra tutur bekerja sebagai nelayan. Penutur dengan tuturan A4
adalah laki-laki berusia 6 tahun. Mitra tutur pada tuturan A4 adalah laki-laki
berusia 32 tahun. Hubungan mereka berdua adalah anak dan ayah, sehingga
memiliki hubungan keakraban yang erat. Tingkat sosial penutur masih bersekolah
pada tingkat sekolah dasar, sedangkan mitra tutur bekerja sebagai nelayan di
pantai Trisik.
Aspek yang kedua adalah konteks tuturan yang berisi mengenai semua latar
belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami oleh penutur dan
mitra tutur. Konteks tuturan A3 adalah mitra tutur telah membuat peraturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
mengenai jam belajar, yakni setelah maghrib penutur harus belajar setidaknya 1
jam setiap hari kecuali esoknya adalah hari libur. Penutur sudah mengetahui
aturan tersebut dan menyetujuinya. Pada saat waktu belajar tiba, penutur masih
asik menonton televisi, dan ia pun tahu bahwa sudah tiba waktunya untuk belajar.
Penutur melanggat aturan tersebut dengan sengaja. Hal hampir sama juga
ditunjukkan dalam konteks tuturan A4. Penutur dan mitra tutur telah menyepakati
sebuah aturan mengenai waktu untuk belajar, yakni setelah maghrib televisi harus
sudah mati dan setelah shalat maghrib penutur harus belajar, kemudian setelah
belajar, penutur boleh melanjutkan menonton televisi.
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech (1983) dalam Wijana (1996)
adalah tujuan penutur. Tujuan penutur A3 dan A4 sama, yakni untuk melanjutkan
menonton televsi. Tindakan tersebut membuat kegiatan belajarnya tertunda, dan
hal ini berarti penutur telah melanggar aturannya sendiri.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan
A3 terjadi pada malam hari saat jam belajar tiba, yakni setelah maghrib.
Sedangkan, tuturan A4 terjadi di rumah saat adzan maghrib berkumandang.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindakan kedua penutur tersebut termasuk ke dalam tindak
komisif. Karena tindak komisif merupakan jenis tndak tutur yang dipahami oelh
penutur untuk mengikat dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang, hal ini bisa berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Kedua penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
tersebut sama-sama memiliki janji atau aturan yang sudah mengikat diri penutur,
tetapi tuturan yang disampaikan penutur mengidikasikan bahwa penutur
melanggar suatu tindakan yang telah mengikat dirinya tersebut. Kedua penutur
menunda suatu tindakan yang seharusnya mereka lakukan sekarang. Penutur saat
itu sadar bahwa dirinya sudah melanggat aturan yang telah mengikat dirinnya, hal
ini terlihat bahwa mitra tutur sudah mengingatkan dan penutur tetap tidak
meresponnya. Selain tindak verbal kedua penutur A3 dan A4 yang sama, tindak
perlokusi mitra tutur juga hampir sama, yakni mereka sama-sama melakukan
suatu tindakan. Tindak perlokusi mitra tutur A3 adalah mematikan televisi yang
sedang penutur saksikan. Mitra tutur merasa kesal dengan tindakan penutur yang
tidak patuh terhadapnya. Bagi mitra tutur, tidak ada kata “toleransi” untuk belajar.
Lagi pula penutur sudah sering melakukan hal sama saat tiba waktu belajar.
Tindakan hampir sama juga dilakukan oleh mitra tutur A4. Jika mitra tutur A3
mematikan televisi, maka mitra tutur A4 mematikan sekering listrik. Penyebab
apa yang dilakukan oleh mitra tutur A4 selain penutur tidak menghiraukan
suruhannya untuk belajar, alasan mitra tutur mematikan sekering listrik adalah
karena penutur takut gelap, sehingga ia akan melaksanakan apa yang
diperintahkan mitra tutur.
Berdasar aspek penanda pragmatik yang telah dikemukanan di atas, tuturan
A3 dan A4 termasuk ke dalam subkategori menunda. Hal ini terlihat dari tindak
verbal kedua penutur yang menggunakan tindak verbal komisif, dan tindakan
mereka dengan jelas terlihat bahwa menunda kegiatan belajarnya. Penutur
menjelaskan bahwa sebenarnya mereka hanya ingin melanjutkan menyaksikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
acara televisi tersebut setelah itu mereka akan pergi belajar, mereka hanya
menunda belajarnya sebentar. Jadi, maksud penutur sama dengan subkategori
tuturan tersebut yakni penutur memiliki maksud menunda.
4.3.2 Kategori Mengancam Muka Sepihak
Terkourafi (2008) dalam Rahardi (2012) memandang ketidaksantunan
bilaman mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face
threaten), dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka dari mitra tutur.
4.3.2.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 7 (B3)
MT : “Langsung tidur aja, gak usah malem2.”
P : “Cah enom kok yahene turu, Bu.” MT : “Ohh. Nek cah enom koyo ngno to?”
Cuplikan tuturan 10 (B6)
P : (menginjak kaki kakaknya) “Walah... kepidak...”
MT : “Mah dipidak!!!”
P : “Salahe mundur-mundur.”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari kategori mengancam
muka sepihak yang termasuk ke dalam subkategori menegaskan. Kesamaan dari
kedua tuturan tersebut adalah penutur tidak peduli bahwa tuturan atau tindakannya
telah mengancam muka mitra tutur. Penutur pada cuplikan tuturan 7 tidak
mengindahkan suruhan dari mitra tutur, penutur justru menyanggah suruhan mitra
tutur dengan cara sinis. Pada tuturan B6, penutur berbicara dengan spontan,
karena ia tidak sengaja menginjak kaki mitra tutur, tetapi tuturannya seolah-olah
mengejek mitra tutur. Kedua penutur tersebut sama-sama berbicara dengan orang
yang lebih tua, yakni penutur pada tuturan B3 berbicara dengan ibunya dan
penutur B6 berbicara dengan kakaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Penanda linguis terdiri dari intonasi, nada tutur, kata fatis, tekanan, dan
pilihan kata atau diksi. Penutur B3 dan B6 memiliki intonasi yang sama dalam
tuturannya. Mereka menggunakan intonasi berita. Penutur B3 memberi informasi
kepada mitra tutur bahwa anak muda tidak pantas untuk tidur pada saat mitra tutur
menyuruh penutur untuk tidur, sekitar pukul 21.00. sedangkan intonasi berita pada
tuturan B6 adalah penutur memberi tahu mitra tutur bahwa ia menginjak mitra
tutur, padahal tanpa diberi tahu oleh penutur, mitra tutup pun sudah tahu. Selain
memiliki kesamaan dalam intonasi, kedua penutur juga memiliki kesamaan dalam
hal nada tutur mereka. Kedua penutur di atas menggunakan nada sedang dalam
penyampaian tuturannya. Walaupun menggunakan nada yang sedang kedua
tuturan tersebut menjadi tidak santun karena penutur B3 tidak menuruti suruhan
mitra tutur, justru ia menyanggah suruhan mitra tutur dengan maksud membela
diri, sedangkan tuturan B6 memiliki maksud mengejek mitra tutur. Penutur B3
menggunakan kata fatis kok dalam tuturannya. Kata fatis yang digunakan oleh
penutur B3 memiliki maksud menekankan alasan dan pengingkaran, seperti
dijelaskan oleh Kridalaksana (1986: 113–116). Tekanan keras yang dilakukan
penutur B3 terletak pada kata sapaan Bu. Penutur menekankan pada kata tersebut
karena ia menegaskan sedang berbicara dengan ibunya. Lain halnya dengan
tuturan B6, penutur lebih memilih menggunakan tekanan lunak pada frasa kepidak
untuk menandakan bahwa tuturannya menjadi tidak santun. Persamaan lain dari
kedua tuturan di atas adalah pilihan kata yang penutur gunakan. Hampir seluruh
tuturan yang terkumpul menggunakan pilihan kata bahasa nonstandar, yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
bahasa daerah (bahasa Jawa). Hal tersebut juga dilakukan oleh penutur B3 dan
B6.
Penanda pragmatik terdiri dari aspek penutur dan mitra tutur, konteks
tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan
sebagai produk tindak verbal (Leech, 1983). Aspek yang wajib ada dalam sebuah
percakapan adalah aspek penutur dan lawan tutur. Aspek ini membicarakan
mengenai hal yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur, seperti usia, latar
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Pada
tuturan B3, penutur merupakan laki-laki berusia 16 tahun. Penutur masih duduk di
bangku sekolah. Mitra tutur merupakan perempuan, ia adalah ibu dari penutur.
Mitra tutur memiliki pekerjaan sebagai petani selain sebagai ibu rumah tangga.
Berdasar apa yang telah dijelaskan oleh penutur, tingkat keakraban penutur dan
mitra tutur hanya biasa saja. Hal ini dikarenakan penutur lebih dekat dengan
ayahnya yang bekerja sebagai nelayan. Alasan penutur mengatakan demikian
adalah karena penutur lebih dikenalkan dengan dunia luar oleh ayahnya, misalnya
penutur sering diajak ayahnya melaut dan melakukan pekerjaan lainnya. Penutur
merasa senang bila ayahnya mengajaknya untuk membantu pekerjaan ayahnya.
Aspek yang kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks
tuturan. Tuturan B3 memiliki konteks bahwa pada saat itu penutur dan mitra tutur
sedang berada di ruang keluarga, sebelumnya mereka sedang menonton televisi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, mitra tutur beranjak dari ruang keluarga
menuju kamar tidurnya sembari menyuruh penutur untuk tidur. Penutur belum
ingin tidur dan ia justru menanggapi suruhan tersebut dengan tuturan yang justru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
membuat mitra tutur kesal. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 10 adalah
penutur dan mitra tutur sedang bercanda. Mitra tutur yang merupakan kakak
penutur mengganggu penutur karena ia gemas dengan penutur yang memiliki
badan gemuk. Penutur menginjak kaki mitra tutur dengan tidak sengaja, dan
penutur mengucapkan tuturannya dengan spontan, hal ini yang membuat mitra
tutur kesal dan penutur justru berbalik menyalahkan mitra tutur.
Kedua penutur di atas memiliki tujuan masing-masing dalam penyampaian
tuturannya. Tujuan penutur B3 adalah untuk melanjutkan menonton televisi dan
belum ingin tidur. Sedangkan penutur B6 tidak memiliki tujuan yang pasti dalam
tuturannya, ia hanya menegaskan bahwa ia telah menginjak kaki mitra tutur.
Waktu dan tempat terjadinya percakapan juga menjadi salah satu aspek
yang selalu ada dalam komunikasi. Tuturan B3 terjadi di ruang keluarga sekitar
pukul 21.00. sedangkan tuturan B6 terjadi di ruang keluarga pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindak verbal kedua penutur tersebut termasuk ke dalam
tindak representatif. Tindak representatif adalah jenis tindak tutur yang
menyatakan apa yang diyakini penutur suatu kasus atau bukan, hal ini bisa berupa
fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Kedua penutur di atas sama-
sama menegaskan tuturan mereka. Penutur B3 menegaskan bahwa ia belum
pantas untuk tidur pada waktu yang telah dijelaskan di atas. Penutur B6
menegaskan bahwa ia telah menginjak kaki mitra tutur. Selain menjelaskan
mengenai tindak verbal penutur, aspek ini juga menjelaskan mengenai tindak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
perlokusi dari mitra tutur. Tindak perlokusi inilah yang menentukan santun
tidaknya penutur. Tindak perlokusi mitra tutur dalam cuplikan tuturan 7 adalah
mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan yang sedikit kesal,
tetapi penutur tidak menghiraukan mitra tutur dan tetap melanjutkan menonton
televisi. Mitra tutur pada cuplikan tuturan 10 lebih memilih untuk membentak
penutur sebagai tindak perlokusinya. Bentakan mitra tutur justru menjadi menjadi
tameng bagi penutur, dan ia berbalik menyalahkan mitra tutur. Tindakan kedua
penutur yang tidak menghiraukan kekesalan mitra tutur menjadikan tuturan
penutur termasuk ke dalam kategori mengancam muka sepihak.
Masuknya tuturan B3 dan B6 ke dalam subkategori menegaskan karena
kedua tuturan tersebut memiliki tindak verbal representatif yakni menegaskan
suatu kasus yang diyakini oleh penutur. Penutur B3 menjelaskan maksud dirinya
mengutarakan tuturan demikian adalah untuk membela diri dari suruhan mitra
tutur. Maksud yang berbeda diutarakan oleh penutur B6, ia menggunakan maksud
mengejek karena ia telah diganggu oleh mitra tutur dan dengan tidak sengaja ia
menginjak mitra tutur, sehingga tindakan tersebut menjadi senjata untuk berbalik
mengejek mitra tutur.
4.3.2.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 5 (B1)
P : “Sinau barang!” (Menyenggol adiknya).
MT : “Ngopo to? Ganggu wae.”
P : (Tidak menghiraukan dan pergi begitu saja).
Cuplikan tuturan 13 (B9)
MT : “Seng jenengane paku, papan itu kan lama2 menua, padahal yo
jaluk renovasi iku tetep muni.”
P : “Resiko!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
MT : “Yo jenenge wong urip aku percoyo resiko. Tapi kan menjadi
tambah, kudune pikirane awak dewe ra tekan kono.”
P : “Resiko.”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari kategori mengancam
muka sepihak yang termasuk ke dalam subkategori mengejek. Kesamaan dari
kedua tuturan tersebut adalah penutur tidak bahwa tuturan atau tindakannya
telah mengancam muka mitra tutur. Penutur B1 menyampaikan tuturannya
dengan cara sinis, sehingga tuturan tersebut menjadi tidak santun. Selain itu
penutur bermain fisik (menyenggol mitra tutur) dan membuat mitra tutur
terganggu. Hal yang menarik terjadi pada penutur B9, ia menyampaikan
tuturannya dengan cara menyepelekan, padahal penutur berbicara dengan
tamunya.
Pembahasan mengenai penanda linguistik dapat dilihat dari unsur
segmental dan suprasegmental, yakni diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, kata
fatis, intonasi, tekanan, dan nada bicara penutur. Tuturan B1 dan B9
mengandung empat unsur bila dilihat dari segi linguistik. Kedua tuturan tersebut
menggunakan intonasi yang sama, yakni intonasi seru. Kalimat seru adalah
kalimat yang menyatakan perasaan hati, atau keheranan terhadap suatu hal.
Kalimat seru ditandai denan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi. Nada
yang mereka gunakan juga sama, yakni menggunakan nada sedang dalam
penyampaian tuturannya. Alasan mereka menggunakan nada sedang adalah
karena mereka tidak sedang dalam keadaan emosi, mereka berdua dalam
keadaan santai saat menyampaikan tuturannya, tetapi penutur membuat mitra
tutur terancam muka sepihak. Mitra tutur merasa terganggu dan tidak dihargai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
walaupun penutur hanya menggunakan nada sedang. Kesamaan berikutnya
terletak pada pilihan kata yang kedua penutur gunakan. Bahasa nonstandar
menjadi pilihan kata yang penutur pilih. Mereka berdua menggunakan bahasa
Jawa untuk berkomunikasi dengan mitra tutur. Aspek yang berbeda dari kedua
tuturan tersebut bila dilihat dari segi linguistik terletak pada tekanan dalam
tuturan. Penutur B1 menekankan kata Sinau barang dengan tekanan keras
bertujuan untuk mengekspresikan apa yang dilihat penutur. Berbeda dengan
penutur B1 yang menggunakan tekanan keras pada tuturannya, penutur B9
hanya memakai tekanan lunak pada tuturannya. Walaupun menggunakan
tekanan lunak pada tuturan Resiko, tuturan tersebut bermaksud mengejek mitra
tutur, sehingga menjadikan tuturan tersebut menjadi tidak santun.
Sama halnya dengan penanda linguitik yang membahas lima aspek,
penanda pragmatik juga membahas lima aspek menurut Leech (1983). Kelima
aspek tersebut adalah aspek penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan
penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai
produk tindak verbal.
Pertama, aspek penutur dan lawan tutur. Aspek ini membicarakan
mengenai usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban,
dan sebagainya. Pada tuturan B1 penutur merupaka laki-laki berusia 12 tahun. Ia
merupakan kakak dari mitra tutur. Sedangkan, mitra tutur adalah laki-laki
berusia 6 tahun. Mereka berdua masih duduk di bangku sekolah. Hubungan
mereka pun dapat dikatakan sangat erat karena mereka berdua sering bercanda
dan saling menggoda, walaupun kadang pula mereka bertengkar. Pada tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
B9, penutur dan mitra tutur merupakan laki-laki, mereka berdua adalah nelayan.
Usia penutur 42 tahun, ia merupakan tuan rumah sekaligus ketua nelayan di
pantai Congot. Mitra tutur berusia 41 tahun, kerabat sekaligus rekan seprofesi
penutur. Penutur memiliki kedudukan dalam perkumpulan nelayan pantai
Congot, sedangkan mitra tutur merupakan pengurus kelompok nelayan di pantai
Glagah. Hubungan mereka sangat akrab, hal ini terlihat dari bagaimana mereka
bercanda dan saling mengejek, walaupun mereka kesal satu sama lain tapi
mereka dengan cepat mengembalikan keadaan menjadi santai kembali.
Aspek yang kedua adalah konteks tuturan yang berisi mengenai semua
latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami oleh
penutur dan mitra tutur. Konteks tuturan B1 adalah mitra tutur sedang di ruang
keluarga. Penutur dan mitra tutur memiliki intensitas berkomunikasi yang cukup
tinggi. Mereka berdua sering saling ganggu, saling goda, dan saling bertengkar.
Penutur sedang berjalan ingin keluar rumah, ia melewati ruang keluarga dan
melihat mitra tutur sedang konsentrasi belajar. Melihat mitra tutur yang sedang
konsentrasi belajar, penutur berbuat jahil dengan menggoda mitra tutur, tidak
dengan tuturan saja penutur dalam menggoda adiknya, ia juga menyenggol mitra
tutur. Konteks yang lebih serius terjadi pada tuturan B9. Penutur dan mitra tutur
merupakan nelayan senior yang sudah berpengalaman, sehingga mereka berdua
memiliki jabatan dalam kelompok nelayan daerah mereka masing-masing.
Selain mereka berdua, terdapat 2 mitra tutur lain yang berada di sana, salah satu
dari kedua mitra tutur tersebut adalah nelayan pantai Congot dan yang satunya
adalah tamu dari penutur. Mitra tutur memiliki keluhan yang disampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
kepada penutur, yakni mengenai renovasi kapal yang menjadi tanggungan
pribadi atau kelompok, padahal pemerintah telah berjanji akan membantu. Mitra
tutur yang sedang berbicara serius ditanggapi dengan ejekan oleh penutur.
Ejekan penutur tersebut disampaikan di depan kedua mitra tutur lain sehingga
tuturan penutur dapat digolongkan ke dalam kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak.
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech (1983) adalah tujuan penutur.
Penutur tidak memiliki maksud tertentu, penutur hanya lewat, kemudian melihat
mitra tutur sedang belajar dan menghampirinya dengan melakukan tindakan
menyenggol atau menggoda. Sedangkan, penutur B9 memang hanya memiliki
tujuan untuk mengejek mitra tutur, karena menurut penutur apa yang dikeluhkan
mitra tutur memang tanggungan dari mitra tutur tersebut.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan.
Tuturan B1 terjadi di ruang keluarga pada tanggal 26 April 2013 pukul 19.00
saat mitra tutur sedang belajar. Tuturan B9 terjadi di teras rumah penutur sekitar
pukul 16.00 pada tanggal 20 April 2013.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindakan kedua penutur tersebut termasuk ke dalam tindak
ekspresif. Karena kedua penutur tersebut mengutarakan tuturannya dengan
ekspresif. Tindak verbal ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang
menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur, berupa pernyataan kegembiraan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan kesengsaraan. Bila penutur
memiliki tindak verbal, mitra tutur memiliki tindak perlokusi. Tindak perlokusi
mitra tutur B1 adalah menanggapi tuturan dan tindakan penutur dengan
ancaman, karena dirinya merasa telah diganggu oleh penutur, tetapi penutur
tidak peduli dengan ancaman mitra tutur, dan penutur pergi begitu saja dengan
acuh. Sedangkan mitra tutur B9 memiliki tindak perlokusi yang sama yakni
menaggapi tuturan penutur. Mitra tutur menanggapi penutur dengan sanggahan
karena ia merasa benar, tetapi penutur tetap saja mengejeknya dengan ejekan
yang sama.
Penutur B1 mengungkapkan bahwa dirinya hanya bermaksud sekedar
menggoda mitra tutur, dan tidak memiliki maksud lain. Penutur B9 memiliki
maksud mengejek karena ia menilai apa yang dikeluhkan mitra tutur tidak
sepenuhnya benar, dan penutur lebih memilih untuk mengejeknya ketimbang
menanggapi mitra tutur dengan pernyataan.
4.3.2.3 Subkategori Menunda
Cuplikan tuturan 6 (B2)
MT : “Tangi-tangi... Mengko bar tangi langsung asah-asah piring.”
P : “Mengko ah...” (Melanjutkan tidurnya).
MT : “Wolhaa... Anak jaman saiki nek dikon ra tau mangkat.”
Berdasar hasil analisis, hanya terdapat 1 tuturan yang termasuk ke dalam
kategori mengancam muka sepihak dengan subkategori menunda, yakni pada
tuturan B2. Dilihat dari segi wujud pragmatik tuturan ini dikatakan tidak santun
karena penutur berbicara dengan orang yang lebih tua dan dengan menggunakan
cara yang ketus dalam penyampaian tuturannya. Selain itu, penutur yang menunda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
suruhan mitra tutur justru melanjutkan tidutnya dan tidak peduli bahwa
tindakannya membuat mitra tutur kesal.
Pembahasan mengenai penanda linguistik dapat dilihat dari unsur segmental
dan suprasegmental, yakni diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, kata fatis,
intonasi, tekanan, dan nada bicara penutur. Tuturan B6 memiliki intonasi seru,
yakni dengan ditandai dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
Kalimat seru adalah kalimat yang mengungkapkan perasaan hati. Hal ini terlihat
dari tuturan B2 yang menggambarkan perasaan hati penutur yang masih malas
untuk bangun. Penutur juga menggunakan kata fatis dalam tuturannya. Kata fatis
yang penutur gunakan adalah kata fatis ahh, yang artinya menekankan rasa
penolakan atau acuh tak acuh. Makna kata fatis tersebut tergambar dari penolakan
penutur dari suruhan mitra tutur. Nada yang digunakan penutur dalam
menyampaikan tuturannya adalah nada sedang. Meskipun penutur menggunakan
nada sedang, tuturannya tetap menjadi tuturan tidak santun karena mitra tutur
merasa tidak dihiraukan oleh penutur. Nada yang digunakan penutur adalah nada
sedang, tetapi penutur menekankan tuturannya dengan tekanan keras. Tekanan
keras yang diberikan penutur karena ia menuturkan dengan sedikit tegas, yang
memiliki arti bahwa ia benar-benar belum ingin bangun. Pilihan kata bahasa
nonstandar menjadi pilihan kata yang digunakan penutur. Faktor utama alasan
penutur memilih diksi ini adalah bahwa setiap hari ia berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa dengan keluarganya.
Penanda ketidaksantunan pragmatik yang dipaparkan oleh Leech (1983)
dalam Wijana (1996:10−13) meliputi aspek penutur dan mitra tutur, konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan
sebagai produk tindak verbal. Aspek yang pertama adalah aspek penutur dan
mawan tutur. Penutur B2 adalah laki-laki berusia 16 tahun, sedangkan lawan
tuturnya adalah perempuan, yakni ibu dari penutur. Penutur bersekolah di salah
satu SMA di kabupaten Bantul. Ia merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Mitra tutur adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sebagai
petani. Suami mitra tutur atau ayah dari penutur berkerja sebagai nelayan, selain
bekerja sebagai nelayan, ia mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani.
Hubungan antara penutur dan mitra tutur tidaklah sedekat penutur dengan
ayahnya. Keadaan tersebut dikarenakan penutur lebih sering bersama dengan
ayahnya dalam melakukan banyak hal.
Aspek yang kedua adalah konteks tuturan, yakni mengenai semua latar
belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami oleh penutur dan
mitra tutur. Konteks tuturan B2 adalah penutur masih tidur saat mitra tutur
berusaha membangunkannya. Terdapat kerjaan yang harus dilakukan penutur
setelah bangun tidur, yakni mencuci piring. Penutur menunda suruhan mitra tutur
dan melanjutkan tidurnya. Mitra tutur merasa kesal karena suruhannya tidak
dilaksanakan sesuai kehendak mitra tutur. Tanggapan mitra tutur yang kesal
tersebut menjadikan tuturan penutur tidak santun.
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech (1983) dalam Wijana (1996)
adalah tujuan penutur. Tujuan penutur B2 adalah melanjutkan tidurnya, sehingga
penutur harus menunda suruhan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan
B2 saat pagi hari di kamar tidur penutur.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindakan penutur tersebut termasuk ke dalam tindak
komisif. Karena tindak komisif merupakan jenis tindak tutur yang dipahami oleh
penutur untuk mengikat dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang, hal ini bisa berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Penutur B2
menunda suruhan mitra tutur, sehingga ia menunda suatu tindakan di masa datang
yang seharunya akan penutur kerjakan. Tindak perlokusi mitra tutur adalah
bergumam terhadap kelakuan penutur yang sulit untuk dibangunkan. Mitra tutur
semakin kesal karena penutur tidak memperhatikan mitra tutur dalam bertutur
kata dan justru melanjutkan tidurnya. Hal ini yang menjadi ciri dari tuturan B2
termasuk ke dalam kategori mengancam muka sepihak dan masuk ke dalam
subkategori menunda.
Penutur menjelaskan bahwa sebenarnya ia malas dengan kerjaan mencuci
piring, apalagi pada waktu itu masih pagi. Sehingga penutur menyampaikan
tuturannya dengan maksud menghindari pekerjaan yang diberikan mitra tutur.
4.3.2.4 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 9 (B5)
MT : “Tukokke iki neng warung!”
P : “Wegah, males!”
MT : “Awas koe!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Sama halnya dengan subkategori menunda yang hanya terdapat 1 tuturan,
subkategori menolak juga demikian. Hanya tuturan B5 saja yang masuk ke dalam
subkategori menolak. Tuturan ini disampaikan secara ketus oleh penutur. Bukan
hanya itu saja yang menggambarkan wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan ini,
wujud yang lain adalah penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, dan ia
tidak merasa dirinya telah mengancam muka mitra tutur.
Penanda linguistik yang terdapat dalam tuturan B5 adalah pertama, intonasi
seru. Keraf (1991) menjelaskan bahwa kalimat seru adalah kalimat yang
menyatakan perasaan hati, atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat ini ditandai
dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi. Selain ditandai dengan hal-
hal tersebut, dalam intonasi ini juga ditandai dengan tanda baca seru (!). Penutur
memperlihatkan perasaan yang sedang ia rasakan saat itu, yakni perasaan malas.
Kedua, nada tutur yang digunakan saat menyampaikan tuturannya adalah nada
tinggi. Nada tinggi yang diperlihatkan penutur seperti orang membentak. Selain
itu, nada tinggi juga ditandai dengan emosinya si penutur saat menyampaikan
tuturannya. Pranowo (2012:77) memaparkan bahwa jika suasana hati sedang
marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras, kasar sehingga terasa
menakutkan. Suasana hati penutur sedang kesal karena ia selalu disuruh oleh
mitra tutur untuk apa saja, dalam tuturan ini penutur disuruh untuk pergi ke
warung. Ketiga, selain nada yang digunakan penutur adalah nada tinggi, penutur
juga memberikan penekanan keras pada frasa wegah. Penekanan pada frasa
tersebut membuktikan bahwa penutur benar-benar menolak keras suruhan mitra
tutur. Keempat, penutur dan mitra tutur dalam keseharian berkomunikasi dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
menggunakan bahasa Jawa, sehingga diksi yang digunakan penutur adalah bahasa
nonstandar (bahasa yang terdapat unsur kedaerahan).
Penanda ketidaksantunan pragmatik yang dipaparkan oleh Leech (1983)
dalam Wijana (1996:10−13) meliputi aspek penutur dan mitra tutur, konteks
tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan
sebagai produk tindak verbal. Aspek yang pertama adalah aspek penutur dan
mawan tutur. Penutur B5 adalah laki-laki berusia 16 tahun, sedangkan lawan
tuturnya adalah kakaknya sendiri, yakni laki-laki berusia 21 tahun. Penutur
bersekolah di salah satu SMA di kabupaten Bantul. Mitra tutur sudah berkuliah di
salah satu Univesitas besar di Yogyakarta. Mereka mempunyai hubungan yang
akrab, hal ini dijelaskan sendiri oleh penutur bahwa dirinya dan mitra tutur
sebenarnya mempunyai hubungan yang sangat dekat. Penutur yang setiap hari
tidak bisa berjumpa dengan mitra tutur karena mitra tutur tinggal di Jogja dan
hanya pulang ke rumah pada akhir minggu, mengaku bahwa mereka sering
berkomunikasi melalui telepon genggam dengan intensitas yang cukup tinggi.
Aspek yang kedua adalah konteks tuturan, yakni mengenai semua latar
belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami oleh penutur dan
mitra tutur. Konteks tuturan B5 adalah penutur dan mitra tutur sedang bersantai
dan tiba-tiba mitra tutur menyuruh penutur untuk pergi ke warung membelikan
sesuatu untuk mitra tutur. Penutur kesal karena ia selalu disuruh melakukan
apapun yang sebenarnya mitra tutur bisa lakukan. Penutur menolak suruhan mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech (1983) dalam Wijana (1996)
adalah tujuan penutur. Tujuan penutur B5 adalah menolak suruhan mitra tutur
untuk pergi ke warung. Jelas terlihat bahwa tuturan B5 memiliki tujuan menolak,
hal ini terlihat jelas pada frasa Wegah.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan
ini terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech (1983)
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak
perlokusi mitra tutur. Tindakan penutur tersebut termasuk ke dalam tindak
komisif. Karena tindak komisif merupakan jenis tindak tutur yang dipahami oleh
penutur untuk mengikat dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang, hal ini bisa berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Tuturan penutur
sudah menandakan bahwa penutur menolak suruhan mitra tutur, dan bukti itu
menggambarkan mengenai pengertian tindak verbal komisif. Tindak perlokusi
mitra tutur adalah menanggapi penolakan penutur dengan ancaman. Mitra tutur
mengancam penutur karena ia kesal dengan tindakan mitra tutur yang menolak
suruhannya. Kekesalan mitra tutur tidak diperhatikan oleh penutur, dan penutur
justru sibuk sendiri dengan aktivitasnya.
Penutur membenarkan bahwa ia memang memiliki maksud menolak
suruhan mitra tutur. Penutur kesal dengan mitra tutur karena ia selalu menjadi
korban kemalasan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
4.3.3 Kategori Melecehkan Muka
Miriam A Locher (2008) dalam Rahardi (2012) berpendapat bahwa
ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-
aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten).
4.3.3.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 35 (C22)
P : “Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-etokan? Nek dibel ra
nyaut blas, disms ra ono balesi blas.”
MT : “Mburi dewe piro? Enem belas?”
P : “Payah tenan koe kie!”
MT : “lha rak kelep to?”
P : “seng keri, lemu ngenei seng keri!”
MT :” yo ijek yo, aku ra tau ganti-ganti! Nek janji siji ra kelep.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menyindir dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C22 adalah penutur berbicara dengan kesal dan tuturan tersebut
disampaikan kepada tamunya.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C22 menggunakan
intonasi tanya dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
menanyakan kebenaran nomor Hp yang diberikan oleh mitra tutur. Penutur
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena secara tidak langsung penutur
menuduh mitra tutur berohong. Penutur menggunakan tekanan keras pada
tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa ra nyaut blas dan ra ono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
balesi blas. Penutur menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut
merupakan wujud dari kekesalan penutur. Diksi yang digunakan penutur adalah
bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa
yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah
menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 35 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki. Usia penutur adalah 42 tahun, sedangkan mitra tutur lebih
muda 1 tahun dari penutur. Mereka berdua merupakan nelayan, dan penutur
adalah ketua nelayan pantai Congot. Mereka memiliki hubungan yang sangat
akrab, hal ini tergambar dari ejekan mereka yang selalu ditanggapi dengan santai.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 35 adalah mitra tutur adalah tamu,
sedangkan penutur adalah tuan rumah dan di situ masih terdapat 2 orang tamu
lainnya. Dulu mitra tutur telah memberikan nomor Hpnya kepada penutur. Mitra
tutur susah dihubungi. Mitra tutur sudah berpamitan akan pulang. Penutur
menghambat mitra tutur dengan bertanya.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C22 adalah penutur bertanya kepada mitra tutur mengenai kebenaran
nomor handphone mitra tutur yang diberikan kepada penutur dan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
mengeluh dengan sikap mitra tutur yang bila disms tidak membalas dan ditelepon
tidak diangkat.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 35 terjadi di teras rumah penutur. Waktu terjadinya tuturan pada tanggal
20 April 2012, sekitar pukul 16.30.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C22 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal
representatif adalah tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur
kasus atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.
Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur langsung menanggapi tuturan
penutur dengan pertanyaan.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menyindir. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C22
memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur muncul karena mitra
tutur yang sulit dihubungi bila penutur ada perlu dengannya.
4.3.3.2 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 20 (C7)
MT : “Arep nendi?”
P : “Lungo dijak Bapak.”
MT : “Shalat sek, wes sarungan ngono kok.”
P : “Wes nyendal motor galho!” (sambil berjalan keluar
ruangan).
MT : “Haiyo shalat sek! Nanggung.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menegaskan dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C7 adalah penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Mitra tutur
menyuruh penutur dengan baik, tetapi penutur justru menjawab pertanyaan mitra
tutur dengan ketus.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C7 menggunakan intonasi
berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
memberitahukan bahwa ayahnya telah menghidupkan motor. Penutur
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena mitra tutur menjadi kesal dan
merasa tidak dihargai. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya.
Tekanan keras tersebut terletak pada keseluruhan kalimat, yakni Wes nyendal
motor galho. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni
bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur
kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Selain penggunaan bahasa nonstandar, penutur juga menggunakan bahasa slang
dalam tuturannya, yakni nyendal. Kata nyendal merupakan istilah Jawa untuk
mengkick starter motor.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 20 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki. Usia penutur adalah 12 tahun, sedangkan mitra tutur berusia
23 tahun. Mereka berdua merupakan adik kakak. Penutur masih bersekolah pada
tingkat SMP, sedangkan penutur merupakan mahasiswa salah satu universitas di
DIY.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 20 adalah penutur sudah memakai sarung
hendak beribadah shalat dzuhur. Mitra tutur sedang tiduran di ruang keluarga
sambil menonton televisi. Mitra tutur menegur penutur yang tadinya sudah
memakai sarung untuk pergi shalat justru melepaskannya kembali karena diajak
pergi oleh ayah.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C7 adalah penutur memberitahu kepada mitra tutur bahwa motornya
sudah hidup.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 20 terjadi di ruang keluarga. Waktu terjadinya tuturan pada tanggal 28
April 2013, sekitar pukul 16.30.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C7 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal
representatif adalah tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur
kasus atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi penutur, tetapi karena
ia tidak dihiraukan kemudian mitra tutur diam saja karena adiknya susah
dinasihati.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menegaskan. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C7
memiliki maksud membela diri dalam tuturannya. Pembelaan diri penutur muncul
karena mitra tutur memojokkannya.
4.3.3.3 Subkategori Memerintah
Cuplikan tuturan 15 (C2) MT : “Gawekno wedang ro jupukno maem, Bu...”
P : “Alaaah... jupuk dewe, Pak!” MT : (mengambil minuman sendiri dengan raut wajah kesal).
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
memerintah dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C2 adalah penutur menyampaikan tuturannya dengan ketus kepada
orang yang lebih tua. Penutur justru berbalik menyuruh mitra tutur, padahal
sebelumnya mitra tutur yang menyuruh penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C2 menggunakan intonasi
perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
memerintahkan kedapa mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Penutur
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena penutur bertindak tidak sopan
terhadap orang yang lebih tua. Penutur menggunakan tekanan keras pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa Alaaah. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa
nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur
memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 15 adalah penutur merupakan
perempuan berusia 32 tahun, sedangkan mitra tutur berusia 34 tahun. Penutur
merupakan istri dari mitra tutur. Mitra tutur memiliki mata pencaharian sebagai
nelayan dan penutur hanya sebagai ibu rumah tangga. Hubungan keakraban
mereka sangat dekat, karena mereka adalah suami istri.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 15 adalah mitra tutur pulang kerja (melaut)
dengan keadaan capek, tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Penutur
merasa kesal karena mitra tutur pergi seharian tetapi tidak membawa hasil yang
diharapkan. Mitra tutur meminta penutur untuk mengambilkan makan dan minum.
Penutur justru menyuruh mitra tutur untuk mengambil sendiri makan dan
minumnya.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C2 adalah penutur kesal terhadap mitra tutur dan menyuruh mitra tutur
untuk mengambil makanan dan minuman sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 15 terjadi di ruang keluarga. Waktu terjadinya tuturan adalah pada siang
hari sekitar jam 2 siang.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C2 adalah tindak verbal direktif. Tuturan penutur dikatakan
tindak verbal direktif karena ia memerintah mitra tutur untuk melakukan sesuatu.
Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur mengambil sendiri makanan dan
minuman yang dia inginkan..
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori memerintah. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C2
memiliki maksud menolak dalam tuturannya. Penolakan penutur dilakukan karena
penutur sudah terlanjur kesal dengan mitra tutur.
4.3.3.4 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 30 (C17)
P : “Mripatmu ki ndokke sikel?”
MT : (Diam).
P : “Anake nangis neng andinge yo mung meneng wae!”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menegur dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C17 adalah penutur berbicara dengan kata-kata kasar kepada istrinya
dan penyampaiannya dengan cara keras.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C17 menggunakan
intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
menyerukan tuturannya. Penutur dalam keadaan emosi dengan tingkah mitra
tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya.
Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur emosi dengan mitra tutur yang
tidak peduli apapun. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya.
Tekanan keras tersebut terletak pada frasa Mripatmu. Tekanan keras yang
ditekankan pada frasa tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur.
Kata mripatmu termasuk dalam kata-kata kasar dalam bahasa Jawa. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa
nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur
memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 30 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 30 tahun, sedangkan mitra tutur perempuan berusia 26 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Penutur memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan dan penutur hanya sebagai ibu rumah tangga. Hubungan
keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah suami istri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 30 adalah penutur melihat anaknya yang
belum genap berusia 1 tahun rewel atau menangis. Mitra tutur hanya diam saja,
padahal ia tahu bahwa anaknya sedang menangis. Penutur marah melihat mitra
tutur yang tidak melakukan tindakan terhadap anaknya.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C17 adalah penutur memarahi mitra tutur karena tidak tanggap dengan
keadaan anaknya yang menangis.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 30 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur
sedang menonton televisi.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C17 adalah tindak verbal ekspresif. Tuturan penutur
dikatakan tindak verbal ekspresif karena ia marah dengan perilaku mitra tutur.
Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur diam saja karena mitra tutur
merupakan orang yang sabar menghadapi penutur dan mitra tutur langsung
berusaha menenangkan anaknya yang masih bayi daripada menambah keributan.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menegur. Tuturan ini masuk ke dalam kategori melecehkan muka
karena tindak perlokusi mitra tutur yang langsung tanggap dengan maksud
penutur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C17 memiliki
maksud kesal dalam tuturannya.
4.3.3.5 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 17 (C4)
MT : “Ayo... belajar.”
P : “Emoh!” MT : “Kalo gak belajar gak tak kasih uang jajan!”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menolak dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C4 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian tuturan keras
kepada mitra tutur yang usianya lebih tua daripada penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C4 menggunakan intonasi
seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan
penolakannya terhadap suruhan mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi
dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur
memang susah untuk disuruh belajar. Penutur menggunakan tekanan keras pada
tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada kata Emoh. Tekanan keras yang
ditekankan pada kata tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur
kepada orang tua. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni
bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur
kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 17 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 6 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 32 tahun. Penutur
merupakan anak dari mitra tutur. Penutur masih bersekolah pada tingkat SD,
sedangkan penutur berkerja sebagai nalayan di pantai Trisik. Hubungan keakraban
mereka sangat dekat, karena mereka adalah keluarga.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 17 adalah bahwa penutur sulit untuk
disuruh belajar. Mitra tutur menyuruh penutur untuk belajar.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C4 adalah penutur menolak ajakan mitra tutur untuk segera belajar.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 17 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur
sedang menonton televisi. Waktu terjadinya tuturan pada saat jam belajar tiba,
yakni setelah maghrib.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C4 adalah tindak verbal komisif. Tuturan penutur
dikatakan tindak verbal komisif karena menolak ajakan atau suruhan mitra tutur
untuk belajar. Tindak perlokusi mitra tutur adalah langsung mengancam penutur
untuk segera belajar, karena dengan begitu penutur akan menurut dengan mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menolak. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C4
memiliki maksud malas dalam tuturannya. Penutur menjelaskan alasan mengapa
ia menolak suruhan mitra tutur karena penutur malas untuk belajar.
4.3.3.6 Subkategori Memperingatkan
Cuplikan tuturan 33 (C20)
MT : “Sesok nek ono seng neng kono meneh, aku tak nang...” P : “Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali!”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
memperingatkan dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud
pragmatik dari tuturan C20 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian
tuturan ketus kepada mitra tutur yang merupakan tuan rumah. Penutur memotong
pembicaraan mitra tutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C20 menggunakan
intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
menyerukan ketidaksatujuannya dengan tuturan mitra tutur. Penutur
menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
tinggi penutur karena memang ciri khas dari penutur. Penutur menggunakan
tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa nek
ngomongke sesok. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni
bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur
kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 33 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 41 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 42 tahun.
Penutur dan mitra tutur merupakan nelayan. Penutur adalah nelayan pantai
Glagah, sedangkan mitra tutur adalah nelayan pantai Congot. Mitra tutur memiliki
kedudukan tertinggi di dalam kelompok nelayan pantai Congot. Mereka berdua
merupakan teman dekat, sehingga tingkat keakraban mereka sangat tinggi.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 33 adalah mitra tutur menerima 3 tamu
yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Mitra tutur sedang
berbicara atau menyampaikan sesuatu kepada salah satu tamunya (penutur).
Penutur langsung menanggapi tuturan mitra tutur, padahal mitra tutur belum
selesai berbicara.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C20 adalah penutur menanggapi tuturan mitra tutur karena ia tidak setuju
dengan apa yang dikatakan oleh mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 33 terjadi di teras rumah mitra tutur. Waktu tuturan tersebut terjadi pada
tanggal 20 April 2013, sekitar pukul 4 sore.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C20 adalah tindak verbal direktif. Tuturan penutur
dikatakan tindak verbal direktif karena penutur sebenarnya memberi saran kepada
mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah diam saja, karena ia sadar akan
kalah bila berdebat dengan penutur.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori memperingatkan. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing
dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur
C20 memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur adalah karena
urusan besok justru dibicarakan sekarang.
4.3.3.7 Subkategori Mengancam
Cuplikan tuturan 18 (C5)
P : “Makan dulu, mainnya nanti lagi!”
MT : “Gak mau, nanti aja.”
P : “Kalo gak mau makan, kamu gag boleh pergi sama dia
(temannya)!”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengancam dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C5 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian tuturan kesal
kepada mitra tutur. Penutur mengeluarkan kata-kata ancaman agar mitra tutur
menuruti perintahnya.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C5 menggunakan intonasi
perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
mitra tutur seperti yang penutur inginkan. Penutur menggunakan nada sedang
dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur sudah membuat
mitra tutur takut. Penutur menggunakan tekanan lunak pada tuturannya. Diksi
yang digunakan penutur adalah bahasa populer, yakni bahasa kata-kata yang
dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 18 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 32 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 6 tahun. Penutur
adalah ayah dari mitra tutur. Penutur merupakan nelayan pantai Trisik. Hubungan
keakraban mereka adalah hubungan keluarga.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 18 adalah mitra tutur ingin pergi bermain
bersama teman-temannya. Penutur menyuruh mitra tutur untuk makan terlebih
dahulu, kemudian baru boleh bermain. Mitra tutur menolak suruhan penutur.
Penutur mengancam mitra tutur agar mau makan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C20 adalah menyuruh penutur untuk makan, walaupun suruhannya harus
disertai ancaman.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
tuturan 18 terjadi di rumah penutur dan mitra tutur. Waktu tuturan tersebut terjadi
pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C5 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ekprseif
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur, berupa
pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan
kesengsaraan. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur melakukan apa yang
diperintah penutur, karena mitra tutur sangat takut bila tidak mempunyai teman.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori mengancam. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C5
memiliki maksud memaksa dalam tuturannya. Paksaan perlu dilakukan penutur
karena mitra tutur memang susah untuk disuruh makan bila ia sudah bermain
bersama teman-temannya.
4.3.3.8 Subkategori Mengusir
Cuplikan tuturan 21 (C8) MT : “Tangi-tangi... wes jam telu!” (menendang-nendang kaki
kakaknya yang sedang tidur).
P : “Aaassss... minggat kono!” (melanjutkan tidurnya).
MT : “Yowes... damuk kapok mengko.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengusir dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C8 adalah penutur mengusir mitra tutur dengan suara keras dan kata-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
kata kasar. Mitra tutur sebenarnya memiliki maksud baik dengan penutur, tetapi
penutur justru mengusirnya.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C8 menggunakan intonasi
perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memerintah
mitra tutur pergi, karena penutur merasa terganggu. Penutur menggunakan nada
tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur menandai
bahwa emosi penutur meningkat. Penutur menggunakan tekanan keras pada
tuturannya. Penutur menekankan pada frasa minggat kono, hal ini menandakan
bahwa penutur benar-benar terganggu dan menginginkan mitra tutur untuk pergi.
Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa.
Penutur menggunakan bahasa Jawa dalam pemilihan katanya karena bahasa Jawa
telah menjadi bahasa komunikasi dalam keluarga ini.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 21 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 23 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 12 tahun.
Penutur adalah kakak dari mitra tutur. Penutur berkuliah di salah satu universitas
di Yogyakarta, sedangkan mitra tutur bersekolah pada tingkat SMP. Hubungan
keakraban mereka sangat dekat, walaupun penutur sering memarahi mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 21 adalah penutur sedang tidur di ruang
tengah di depan televisi. Hari sudah sore, sekitar pukul 3 sore dan mitra tutur
disuruh oleh ibunya untuk membangunkan penutur. Mitra tutur membangunkan
dengan cara menendang-nendang penutur. Penutur tidak mempermasalahkan
bagaimana cara mitra tutur membangunkannya, hanya saja ia belum ingin bangun,
sehingga menganggap mitra tutur telah mengganggu penutur.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C8 adalah menyuruh penutur pergi, karena telah mengganggu tidurnya,
dan penutur masih ingin meneruskan tidurnya.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 21 terjadi di rumah penutur dan mitra tutur, tepatnya di ruang keluarga.
Waktu tuturan tersebut terjadi pada sore hari, sekitar pukul 15.00.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C5 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ekprseif
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur, berupa
pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan
kesengsaraan. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi tuturan
penutur dengan pergi meninggalkan penutur.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori mengusir. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C8
memiliki maksud mengusir dalam tuturannya.
4.3.3.9 Subkategori Menagih
Cuplikan tuturan 24 (C11)
P : “Pak, udah cair belum?”
MT : “Belum.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menagih dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C11 adalah penutur berbicara dengan cara sinis kepada orang yang
lebih tua.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C11 menggunakan
intonasi tanya dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
menanyakan apakah mitra tutur sudah mempunyai uang atau belum, tetapi dibalik
pertanyaan penutur, sebenarnya penutur menagih janji mitra tutur. Penutur
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
sedang penutur tidak menandakan naiknya emosi penutur, tetapi tuturannya tetap
dianggap tidak santun karena ia berbicara dengan sinis. Penutur menggunakan
tekanan lunak pada tuturannya. Penutur menekankan pada frasa udah cair belum.
Penggunaan tekanan yang halus menjadi tidak santun akibat cara penyampaian
penutur yang sinis dan bisa saja membuat mitra tutur tersinggung. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa populer, yakni bahasa yang dimengerti atau
dikenal oleh masyarakat. Bukan hanya itu, penutur juga menggunakan bahasa
slang cair. Maksud kata cair dalam tuturan tersebut adalah mengenai kepemilikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
uang. Penutur menanyakan kepada mitra tutur, apakah ia sudah mempunyai
uang?
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 24 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 15 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 43 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur. Penutur masih bersekolah pada tingkat SMA
dan mitra tutur bekerja sebagai nelayan di pantai Congot. Hubungan keakaban
mereka adalah keluarga, selayaknya anak dengan ayah.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 24 adalah sebelumnya penutur pernah
meminta sesuatu kepada mitra tutur, tetapi mitra tutur belum bisa memberikan
pada saat itu, sehingga ia menjanjikan akan memberikan sesuatu tersebut bila
sudah mempunyai uang. Selang beberapa hari penutur menagih janji kepada mitra
tutur secara tidak langsung.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C11 adalah menagih apa yang penutur telah minta kepada mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 24 terjadi di rumah, tepatnya di halaman rumah saat mitra tutur sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
memperbaiki jaring. Waktu tuturan tersebut terjadi pada pagi hari, sekitar pukul
09.00.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C11 adalah tindak verbal komisif. Penutur menggunakan
tindak verbal ini karena ia menagih janji mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur
adalah mitra tutur menjawab pertanyaan penutur.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut jelas tergolong ke
dalam subkategori menagih dan maksud penutur pun menagih janji mitra tutur.
4.3.3.10 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 25 (C12)
P : “Jenggote koyo kowe, Pak.”
MT : “Kok, kowa-kowe to, ora pantes.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengejek dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C12 adalah penutur menyamakan bentuk fisik mitra tutur dengan
orang yang berada dalam sebuah acara televisi. Mitra tutur merupakan orang tua
dari penutur, dan penutur tetap mengejeknya.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C12 menggunakan
intonasi berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
memberitahu mitra tutur mengenai apa yang dipahami penutur. Penutur
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
sedang penutur karena penutur dalam situasi yang santai dan bercanda. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
menggunakan tekanan lunak pada tuturannya. Penutur menekankan pada frasa
jenggote koyo kowe, hal ini yang menandakan bahwa penutur sedang mengejek
mitra tutur. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa
Jawa. Penutur menggunakan bahasa Jawa dalam pemilihan katanya karena bahasa
Jawa telah menjadi bahasa komunikasi dalam keluarga ini.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 25 adalah penutur merupakan
perempuan, anak dari mitra tutur. Sedangkan, mitra tutur adalah ayah dari
penutur. Penutur masih bersekolah pada tingkatan SD kelas 6 dan penutur bekerja
sebagai nelayan di pantai Congot. Mitra tutur memiliki jabatan dalam kelompok
nelayan di daerah tersebut, ia merupakan sekretaris kelompok nelayan pantai
Congot. Hubungan mereka berdua adalah keluarga.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 25 adalah seluruh anggota keluarga sedang
berkumpul menonton salah satu acara televisi. Mereka adalah penutur, mitra tutur,
dan ibu dari penutur. Mitra tutur memiliki jenggot yang lumayan lebat, dan dalam
acara televisi tersebut juga terdapat laki-laki yang hampir sama dengan mitra
tutur, sehingga penutur spontan mengejek mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C12 adalah mengejek mitra tutur dengan menyamakan dirinya dengan
orang yang berada dalam acara televisi.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 25 terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga. Waktu tuturan tersebut
terjadi saat mereka sedang berkumpul menonton televisi, yakni setelah makan
malam.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C5 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal
representatif adalah jenis tintur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus
atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.
Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi tuturan penutur
dengan memperingatkan penutur, karena penutur menggunakan kata-kata yang
tidak pantas diucapkan terhadap orang tua.
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori mengejek dan memiliki maksud yang sama dengan subkategorinya,
yakni maksud mengejek.
4.3.3.11 Subkategori Menasihati
Cuplikan tuturan 29 (C16)
P : “Kalo memang niatnya masih mau sekolah, Bapak masih
ingin ngragati. Kalo emang maunya nikah, bilang aja pengen
nikah. Bapak nikahke.” MT : “Lho kok ngono, Pak!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengejek dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik
dari tuturan C16 adalah penutur penutur menyampaikan tuturannya dengan kesal
dan ia berusaha memojokkan mitra tutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C16 menggunakan
intonasi berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
memberitahu mitra tutur mengenai apa yang dirasakan penutur. Penutur merasa
kesal dengan sikap mitra tutur. Penutur menggunakan nada sedang dalam
penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap masuk ke dalam
kategori tidak santun karena ia memojokkan mitra tutur. Penutur menggunakan
tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras ini menandakan bahwa penutur
benar-benar menekankan tuturannya agar mitra tutur paham. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa dan diselingi
bahasa Indonesia. Penutur menggunakan bahasa Jawa dalam pemilihan katanya
karena bahasa Jawa telah menjadi bahasa komunikasi dalam keluarga ini.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 29 adalah penutur merupakan
ayah dari mitra tutur dan mitra tutur adalah perempuan berusia 16 tahun. Penutur
memiliki jabatan sebagai ketua nelayan dalam kelompok nelayan yang ia pimpin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Mitra tutur masih bersekolah di salah satu SMA di kecamatan Temon. Hubungan
mereka berdua adalah ayah dan anak dan memiliki tingkat keakraban selayaknya
keluarga pada umumnya.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 29 adalah mitra tutur memiliki pacar dan
penutur tidak senang karena mitra tutur masih bersekolah tetapi sudah berpacaran.
Penutur ingin mitra tutur fokus pada pendidikan terlebih dahulu. Ketidaksenangan
penutur dengan tindakan mitra tutur membuat penutur kesal dan harus menasihati
mitra tutur.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur C16 adalah menasihati mitra tutur agar ia bisa lebih mementingkan
pendidikannya daripada berpacaran.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 29 terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga. Waktu tuturan tersebut
terjadi saat mereka sedang bersantai sehabis makan malam.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur C16 adalah tindak verbal direktif. Tindak verbal direktif
jenis tintur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan
sesuatu. Meliputi perintah, pemesanan, pemberian saran, permohonan. Tindak
perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi tuturan penutur karena ia
merasa dipojokkan oleh penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menasihati, karena tujuan penutur adalah menyadarkan anaknya yang
telah bertindak keliru dalam pandangan penutur. Walaupun tuturan penutur masuk
ke dalam subkategori menasihati, tetapi penutur memiliki maksud memarahi mitra
tutur agar mitra tutur takut dan tidak melakukan kesalahan yang sama.
4.3.4 Kategori Menghilangkan Muka
Culpeper (2008) dalam Rahardi (2012) memberikan penekanan pada fakta
‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’, kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu
dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Jadi, ketidaksantunan
dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara
intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau
setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
4.3.4.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 40 (D3)
P : “Koyo adimu kae lho iso ngopo-ngopo, koe kok tura-turu
wae.”
MT : “Joni kae rak tritikan ngene-ngene mesti pengen.”
Cuplikan tuturan 41 (D4)
MT : “ Habis kumpulan dari kabupaten, ini monggo dicakke.”
P : “Wah, opo-opo dinas... opo-opo dinas...”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menyindir
dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka. Bila dibahas dalam wujud
pragmatik, penutur D3 berbicara dengan cara kesal kepada mitra tutur. Penutur
membandingkan mitra tutur dengan adik mitra tutur di hadapan adiknya. Hal yang
hampir sama juga dilakukan oleh penutur D4, ia menyampaikan tuturan tidak
santunnya kepada mitra tutur di hadapan orang banyak. Penutur mengutarakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
tuturannya dengan cara keras kepada mitra tutur, hal ini mengindikasikan bahwa
penutur sedang dalam keadaan emosi (Pranowo, 2012:77). Kedua tuturan tersebut
disampaikan di hadapan orang lain dan membuat mitra tutur kehilangan muka,
sehingga tuturan tersebut dapat digolongkan ke dalam kategori menghilangkan
muka.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Intonasi yang terdapat pada
tuturan D3 dan tuturan D4 adalah intonasi berita. Muslich (2009) menjelaskan
bahwa kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-turun.
Penutur D3 memberitahukan kepada mitra tutur bahwa adiknya lebih rajin
daripada dirinya. Sedangkan, penutur D4 menginformasikan sekaligus menyindir
mitra tutur bahwa ia selalu bergantung pada dinas. Penutur D3 menggabungkan 2
kata fatis dalam tuturannya, kata fatis tersebut adalah lho dan kok. Kata fatis lho
yang digunakan penutur D3 terletak di tengah kalimat, berarti kata fatis tersebut
bertugas untuk menekankan kepastian. Pada frasa pertama memang penutur
memastikan bahwa adik mitra tutur bisa apa saja. Kata fatis kok pada tuturan D3
menggambarkan penekanan alasan penutur menjadi kesal. Nada tutur penutur D3
menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Walaupun
menggunakan nada sedang, tuturan penutur tetap tidak santun karena mitra tutur
merasa kehilangan muka. Penutur D4 yang sudah emosi dengan tindakan mitra
tutur memilih menggunakan nada tinggi dalam pengucapannya. Nada tinggi
penutur mengindikasikan bahwa ia sedang marah atau emosi dengan mitra tutur.
Tekanan lunak terdapat pada tuturan D3 frasa kedua, yakni koe kok tura-turu wae.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Penutur hanya menekankan tuturan tersebut dengan tekanan lunak, tetapi
memiliki makna menyindir mitra tutur. Hal yang berbeda dilakukan penutur D4
dalam menekankan tuturannya. Ia menekankan frasa opo-opo dinas dengan
menggunakan tekanan keras. Seperti apa yang telah dijelaskan pada nada tutur
penutur D4 bahwa penutur sedang dalam keadaan emosi sehingga tuturannya
diucapkan dengan tekanan yang keras. Kedua penutur menggunakan diksi bahasa
nonstandar. Domisili mereka yang berada dalam daerah berbahasa Jawa dalam
berkomunikasi sehari-hari menjadi faktor kuat penggunaan diksi ini.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 40 adalah penutur sebagai laki-
laki, ayah dari mitra tutur yang bekerja sebagai nelayan di pantai Trisik. Mitra
tutur adalah anak laki-laki penutur yang berusia 21 tahun dan sedang menempuh
pendidikan pada tingkat mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta.
Seperti yang dijelaskan oleh nara sumber bahwa mitra tutur memiliki tingkat
sosial yang tidak suka bekerja di lapangan seperti membantu penutur saat melaut
atau bertani. Tingkat keakraban panutur dan mitra tutur adalah tingkat
kekeluargaan biasa, tidak ada yang istimewa pada tingkatan ini. Aspek penutur
dan lawan tutur pada cuplikan tuturan 41 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki dan mereka merupakan anggota nelayan pantai Congot. Mitra
tutur memiliki jabatan sebagai ketua dalam perkumpulan nelayan pantai Congot.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
Hubungan keakraban mereka adalah sebagai teman dan rekan kerja. Selain itu,
mereka mempunyai hubungan dalam kelompok nelayan sebagai ketua dan
anggota dari kelompok tersebut.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 40 adalah mitra tutur sedang tiduran dan
menonton televisi, sedangkan penutur akan pergi ke ladang bersama adik mitra
tutur. Penutur tidak pergi melaut dikarenakan ombak sedang besar, sehingga ia
bekerja di ladang sebagai pekerjaan kedua. Adik mitra tutur sangat rajin
membantu penutur bekerja di ladang, sedangkan mitra tutur tidak suka dengan
pekerjaan kasar seperti itu. Melihat mitra tutur yang hanya malas-malasan,
penutur menyindirnya dengan membandingkan mitra tutur dengan adiknya.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 41 adalah sedang diadakannya rapat
kelompok tani. Mitra tutur mendapat perintah dari Kabupaten mengenai pelatihan
kerja. Mitra tutur mengumumkan hasil keputusan dari Kebupaten mengenai
perintah atau pelatihan kerja kepada seluruh anggota nelayan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
tuturan D3 adalah penutur menyindir mitra tutur karena tidak mau membantu
penutur bekerja, padahal saat itu adalah hari libur dan mitra tutur hanya bersantai
di rumah, sedangkan adiknya membantu penutur untuk bekerja. Selain penutur
menyindir mitra tutur, ia juga membandingkan mitra tutur yang pemalas dengan
adiknya yang rajin membantu orang tua. Tujuan penutur D4 adalah menyindir
mitra tutur yang selalu patuh kepada dinas. Selain itu, penutur juga memiliki
tujuan untuk menolak perintak dari dinas yang diumumkan oleh mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan D3
terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga. Waktu tuturan ini terjadi pada saat
hari libur. Cuplikan tuturan 41 terjadi di basecamp nelayan pantai Congot, di Desa
Jangkaran, Kulonprogo saat diadakannya kumpulan rutin nelayan pantai Congot.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur D3 dan D4 adalah tindak ekspresif. Mereka berdua
mengekspresikan kekesalan mereka kepada mitra tutur di hadapan orang lain.
Tindak verbal ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu
yang dirasakan penutur, berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, dan kesengsaraan. Tindak perkokusi mitra tutur D3
adalah menanggapi tuturan penutur dengan sanggahan. Sedangkan, tindak
perlokusi pada penutur D4 adalah menanggapi tuturan penutur, walaupun penutur
tetap tenang dan tidak emosi, mitra tutur merasa dirinya dipermalukan di depan
anggota nelayan lainnya.
Kedua tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menyindir, hal ini
teridentifiksi berdasar pada penanda pragmatik tiap tuturan. Walau berada dalam
subkategori yang sama, kedua penutur tersebut memiliki maksud yang berbeda
dalam penyampaian tuturannya. Maksud ketidaksantunan penutur hanya diketahui
oleh masing-masing penutur. Penutur D3 memiliki maksud menyindir dalam
tuturannya, karena ia memang ingin menyindir mitra tutur yang kerjaannya hanya
malas-malasan saat hari libur. Sedangkan, penutur D4 memiliki maksud kecewa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
terhadap tindakan mitra tutur yang selalu patuh terhadap perintah dari dinas.
Kedua mitra tutur merasa dirinya dipermalukan di depan orang lain sehingga ia
merasa kehilangan muka.
4.3.4.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 43 (D6)
P : “Gampang nek mung kur ngono. Solusino piro anggarane sayap?
Ngertimu piro?”
MT : ”Rung ngerti aku.”
P : “Halah... Nelayan seprono-seprene gaweane kok muni ra
ngerti!”
Cuplikan tuturan 44 (D7)
P : “Tak inggoni pitmu motor mas, koe nek nulisi ora ngono kae!
Tulisi ojo dumeh...”
MT2 : “Diwarai mas.”
P : “Ojo dumeh koe kie sugeh, ojo dumeh koe kie waras, wong sak
lapangan sewengi ra rampung-rampung nek ojo dumeh, ojo dumeh koe ki
ayu, aku yo iso.”
MT2 : (sambil menyela) “iya...aaa... iya...aaa...”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori mengejek
dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka. Wujud pragmatik dari
tuturan D6 adalah penutur menyampaikan tuturannya dengan cara sinis kepada
mitra tutur. Mitra tutur merupakan tuan rumah dan penutur merupakan tamu.
Tuturan penutur disampaikan di hadapan tamu lain mitra tutur. Sedangkan pada
tuturan D7, penutur dan mitra tutur sama-sama tamu dari ketua nelayan pantai
Congot. Penutur mengejek mitra tutur, padahal mereka baru saja kenal. Tuturan
penutur membuat mitra tutur malu, karena ia diejek di hadapan orang lain. Kedua
wujud pragmatik tersebut yang menunjukkan bagaimana tuturan penutur menjadi
tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur D6 menggunakan intonasi
seru dalam tuturannya. Intonasi seru ini ditandai dengan tanda seru dalam
tuturannya. Intonasi ini juga ditandai dengan perasaan hati penutur yang kesal
terhadap mitra tutur. Intonasi yang terdapat dalam tuturan D7 adalah intonasi
perintah. Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi datar-tinggi
(Muslich, 2009). Penutur D6 menggunakan kata fatis kok dalam tuturannya. Kata
fatis kok yang digunakan penutur terletak di bagian tengah kalimat, hal ini
menandakan bahwa kata fatis tersebut juga dapat bertugas menggantikan kata
tanya mengapa atau kenapa. Persamaan kedua penutur dari segi penanda
linguistiknya adalah pada penyampaian nada tutur dan pilihan kata yang
digunakan. Nada tutur yang mereka gunakan adalah nada sedang. Nada sedang
dapat mengindikasikan bahwa penutur tidak dalam keadaan marah, tetapi tuturan
tersebut tetap dianggap tidak santun karena penutur membuat mitra tutur merasa
kehilangan muka. Pilihan kata yang mereka gunakan adalah bahasa nonstandar,
yakni bahasa Jawa. Mereka menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya karena
bahasa tersebut merupakan bahasa sehari-hari dalam berkomunikasi. Tekanan
yang terdapat dalam tuturan D6 adalah tekanan keras. Penutur menekankan kata
Halah dengan tekanan keras karena penutur merasa tidak percaya dengan tuturan
mitra tutur. Sedangkan, penutur D7 menekankan frasa Tulisi ojo dumeh dengan
tekanan lunak dalam tuturannya karena selain mengkomentari motor mitra tutur,
ia menyuruh mitra tutur untuk menulisi motornya dengan tulisan ojo dumeh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 43 adalah penutur sebagai laki-
laki berusia 41 tahun, ia merupakan tamu dari mitra tutur. Mitra tutur adalah laki-
laki berusia 42 tahun dan ia merupakan tuan rumah. Mereka berdua adalah
nelayan, penutur nelayan di pantai Glagah dan mitra tutur nelayan di pantai
Congot. Hubungan keakraban mereka sangat akrab, selain sebagai rekan
seprofesi, dapat dikatakan mereka adalah teman dekat, karena mereka sangat
santai dalam berkomunikasi walaupun mereka saling ejek. Pada cuplikan tuturan
44, penutur merupakan laki-laki berusia 41 tahun, sedangkan mitra tutur adalah
laki-laki berusia 23 tahun. Mereka berdua adalah tamu dari ketua nelayan pantai
Congot. Penutur berpancaharian sebagai nelayan, sedangkan mitra tutur adalah
mahasiswa salah satu universitas di Yogyakarta. Mereka berdua baru saling kenal
pada saat itu juga, sehingga hubungan keakraban mereka biasa saja.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 43 adalah penutur dan mitra tutur sedang
membahas biaya perbaikan kapal yang sayapnya patah karena diterjang ombak.
Sebelumnya penutur bertanya kepada mitra tutur mengenai anggaran perbaikan
sayap kapal, tetapi pertanyaan tersebut bernadakan untuk menguji pengetahuan
mitra tutur. Konteks tuturan 44 adalah terdapat 4 orang di sana pada saat itu,
termasuk penutur dan mitra tutur. Penutur sudah berpamitan ingin pulang. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
berada di halaman rumah dan berada di samping motornya, dan di samping motor
penutur terdapat motor mitra tutur. Penutur mengomentari tulisan atau stiker yang
ada di motor mitra tutur.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
tuturan D6 adalah untuk mengejek mitra tutur yang sudah menjadi nelayan senior
tetapi tidak tahu berapa anggaran sayap kapal. Tujuan tuturan D7 adalah penutur
mengomentari dan mengejek tulisan yang ada di motor mitra tutur, setelah itu
penutur memberi saran kepada mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 43 dan 44 memiliki tempat yang sama yakni, terjadi di rumah mitra tutur,
tepatnya di teras rumah pada pada tanggal 20 April 2012 sekitar pukul 16.30.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur D6 adalah tindak representatif, karena penutur
mengutarakan kesimpulan dari pernyataan mitra tutur. Walaupun mungkin mitra
tutur berbohong. Tindak verbal penutur D7 adalah tindak direktif. Tindak verbal
direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang
lain melakukan sesuatu. Meliputi perintah, pemesanan, pemberian saran,
permohonan. Tuturan penutur termasuk dalam tindak verbal direktif karena
penutur menyuruh mitra tutur untuk mengganti tulisan yang ada di motornya.
Tindak perlokusi mitra tutur D6 adalah mitra tutur menimpali pertanyaan tersebut
kepada tamunya yang lain yang merupakan seorang nelayan berpengalaman juga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
Sedangkan, penutur D7 memiliki tindak perlokusi berupa tindakan. Mitra tutur D7
hanya tersenyum malu dengan dituturkannya tuturan penutur.
Kedua tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori mengejek, mengejek
adalah situasi dimana penutur sedang dalam keadaan santai. Walau dalam keadaan
santai, bisa saja tuturan tersebut menjadi tidak santun bila mitra tutur merasa
kehilangan muka. Kesamaan subkategori tidak menandakan bahwa maksud dari
kedua penutur tersebut juga sama. Penutur D6 memiliki maksud mengejek.
Maksud mengejek penutur D6 memiliki adalah ia mengejek mitra tutur yang
merupakan nelayan senior sekaligus ketua nelayan pantai Congot tetapi tidak tahu
anggaran perbaikan sayap kapal. Sedangkan, maksud penutur D7 adalah maksud
menggoda. Alasan penutur menggoda mitra tutur karena ia melihat stiker yang
ada di motor mitra tutur bertuliskan ojo gondoel FU, sehingga ia menyarankan
agar diganti dengan tulisan ojo dumeh. Walaupun tuturan kedua penutur di atas
tidak dalam situasi serius, mitra tutur tetap merasa malu karena mereka diejek dan
digoda di hadapan orang lain.
4.3.4.3 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 39 (D2)
P : “Nih kamu gak naik kelas! Gak malu apa sama yang lain?
Besok lagi yang rajin belajarnya agar naik kelas. Kalo gak naik
kelas lagi mesti kamu mung diisin-isin karo konco-koncomu.”
Cuplikan tuturan 42 (D5)
P : ”Makanya kalo kamu itu mau belajar ya belajar, gag belajar
cuman maen.”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menegur
dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka. Wujud pragmatik dari
tuturan D2 adalah penutur menyampaikan tuturannya dengan cara halus kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
mitra tutur. Cara halus yang digunakan penutur justru membuat mitra tutur takut
karena secara tidak langsung mitra tutur sedang dimarahi penutur. Mitra tutur
ditegur oleh penutur di depan orang lain. Sedangkan pada tuturan D5, penutur
menegur mitra tutur di depan bibi dan saudaranya yang mendapat nilai lebih
bagus dari mitra tutur. Penutur menyampaikan tuturannya dengan kesal dan penuh
dengan kekecewaan.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur D2 menggunakan intonasi
seru dalam tuturannya. Intonasi ini ditandai dengan perasaan hati penutur yang
kesal terhadap mitra tutur. Intonasi yang terdapat dalam tuturan D5 adalah
intonasi berita. Kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-
turun (Muslich, 2009). Penggunaan kata fatis hanya terdapat pada tuturan D5,
yakni kata fatis ya. Kata fatis ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa
yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan meminta
persetujuan atau pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran. Penutur
D5 menggunakan kata fatis ya bermaksud untuk mengukuhkan dan membenarkan
pendapat penutur. Nada tutur yang digunakan penutur D2 adalah nada sedang.
Sedangkan, penutur D5 menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya.
Nada tinggi dapat mengindikasikan bahwa penutur benar-benar kesal dengan
mitra tutur. Tekanan keras sama-sama menjadi pilihan penutur dalam menekankan
tuturannya. Penutur D2 menekankan pada frasa Nih kamu gak naik kelas,
sedangkan penutur D5 menekankan pada frasa kalo mau belajar ya belajar.
Kedua penutur tersebut juga menggunakan bahasa populer sebagai pilihan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
katanya. Penggunaan bahasa populer ini mereka gunakan karena agar lebih
dipahami oleh mitra tutur. Bahasa populer adalah kata-kata yang dikenal dan
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 39 adalah sebagai berikut. Penutur
dan mitra tutur merupakan laki-laki, penutur adalah ayah dan mitra tutur adalah
anak. Penutur bekerja sebagai nelayan di pantai Trisik, sedangkan mitra tutur
masih duduk di bangku SD. Penutur dan mitra tutur pada cuplikan tuturan 42
adalah laki-laki. Penutur merupakan paman dari mitra tutur. Penutur bekerja
sebagai nelayan di pantai Congot dan mitra tutur masih bersekolah pada tingkatan
SD.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 39 adalah penutur pulang dari sekolah
mengambil raport mitra tutur. Mitra tutur mendapat raport jelek dan tidak naik
kelas. Tuturan ini terjadi saat penutur, mitra tutur, dan orang ketiga sedang
bercakap-cakap membahas nilai mitra tutur. Konteks tuturan 42 adalah mitra tutur
mendapat nilai jelek, hal ini berbanding terbalik dengan keponakan penutur. Mitra
tutur merupakan keponakan dari istri yang tinggal bersama penutur. Dalam situasi
ini terdapat orang ketiga yakni, istri dan keponakan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
tuturan D2 adalah penutur menasihati anaknya yang tidak naik kelas di hadapan
orang ketiga (ibunya). Tujuan tuturan D5 adalah penutur menasihati mitra tutur
yang mendapat nilai jelek, secara tersirat penutur juga menyindir dan
membandingkan mitra tutur dengan keponakannya yang mendapatkan nilai baik.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 39 bertempat di halaman rumah penutur pada siang hari setelah penutur
pulang dari mengambil raport. Cuplikan tuturan 42 bertempat di rumah penutur
pada siang hari setelah penutur pulang dari mengambil raport.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur D2 dan D5 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal
ini merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan
penutur, berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian,
kesenangan, dan kesengsaraan. Kedua penutur tersebut merasa kesal dan kecewa
dengan apa yang didapat mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur D2 dan D5
hampir sama yakni, mereka merasa malu dan hanya diam saja sambil
menundukkan kepala.
Kedua tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegur, menegur
adalah situasi dimana mitra tutur melakukan hal yang salah sehingga membuat
penutur harus memperingatkannya dengan teguran. Penutur D2 bermaksud untuk
memarahi mitra tutur, karena penutur merasa kecewa dengan tidak naik kelasnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
mitra tutur. Sedangkan penutur D5 bermaksud untuk menasihati mitra tutur yang
mendapat nilai jelek. Kedua penutur di atas sama-sama merasa kecewa dengan
hasil yang diperoleh mitra tutur, tetapi mereka memiliki cara masing-masing
dalam menyampaikan maksud mereka.
4.3.4.4 Subkategori menyinggung
Cuplikan tuturan 46 (D9)
P : “Ayo neng pasar, tukokke mobil-mobilan.”
MT : “Sesok yo le.”
P : “Wah bapak kie pelit, ngene-ngene ra oleh!”
MT : “Bapak durung due duit le.”
Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menyinggung
dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka. Wujud pragmatik dari
tuturan D9 adalah penutur berbicara dengan cara kesal dengan orang yang lebih
tua dan tuturan tersebut disampaikan di hadapan teman-teman penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur D9 menggunakan intonasi
seru dalam tuturannya. Intonasi ini ditandai dengan perasaan hati penutur yang
kesal terhadap mitra tutur. Nada tutur yang digunakan penutur D9 adalah nada
sedang. Walaupun penutur menggunakan nada sedang dalam pengucapannya, hal
tersebut sudah membuat mitra tutur malu. Tekanan keras menjadi pilihan penutur
dalam menekankan tuturannya. Penutur D9 menekankan pada frasa Wah bapak ki
pelit dengan tekanan keras karena frasa tersebut yang membuat mitra tutur
kehilangan muka. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni
bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa oleh penutur karena penutur menggunakan
bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari dengan mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 46 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 6 tahun, sedangkan mitra tutur juga merupakan laki-laki berusia
33 tahun. Penutur merupakan anak dari mitra tutur yang masih sekolah tingkat
SD. Mitra tutur bekerja sebagai nelayan di pantai Trisik. Hubungan mereka
berdua adalah hubungan keluarga.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 46 adalah penutur sedang bermain dengan
teman-temannya. Teman penutur mempunyai mainan baru, dan penutur
menginginkan mainan tersebut. Kemudian penutur memohon kepada mitra tutur
untuk dibelikan mainan yang sama dengan mainan milik temannya. Mitra tutur
menolak karena uangnya dipakai untuk hal yang lebih penting terlebih dahulu dan
mitra tutur memberi penawaran kepada penutur untuk lebih sabar, pasti besok
akan dibelikan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
tuturan D9 adalah penutur menuduh mitra tutur pelit karena tidak mau
membelikan mainan.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
tuturan 46 bertempat di rumah penutur pada siang hari saat penutur pulang dari
bermain.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur D9 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ini
merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur,
berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan
kesengsaraan. Penutur merasa kesal dengan tindakan mitra tutur yang tidak ingin
membelikan mainan. Tindak perlokusi mitra tutur D9 yakni, mitra tutur
menanggapi tuturan penutur dengan malu dan mengakui kalau penutur belum
mempunyai uang.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menyinggung, karena
penutur menyinggung mitra tutur dengan tuduhannya. Penutur D9 memiliki
maksud kesal dalam tuturannya karena ia kecewa dengan mitra tutur yang tidak
ingin membelikannya mainan.
4.3.5 Kategori Menimbulkan Konflik
Bousfield (2008:3) dalam Rahardi (2012) memberi penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa
yang tidak santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam
muka. Kemudian ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono
(gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian
mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan
dengan kesengajaan (purposeful).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
4.3.5.1 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 50 (E4)
P : “Ngematke matane, bawal ko ngene kok dianggep BS.”
MT : “Njajal ayo ditakokke ro liyane iki BS po ora?”
Cuplikan tuturan 52 (E6)
MT : “Banyune ki jek banter kae!”
P : “Alaah Mboook, mbog rasah gemrumung!! Ijek banter mau
bengi. Kui yo wes tak akonke uwong.”
MT : “Ha iyo gek didandani!”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menegaskan dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud
pragmatik dari tuturan E4 adalah penutur berbicara dengan cara kasar kepada
mitra tutur. Sedangkan penutur E6 dengan suara keras dan dengan suasana hati
kesal kepada mitra tutur, padahal mitra tutur merupakan orang tua penutur dan
umurnya sudah sangat tua.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E4 dan E6 menggunakan
intonasi berita dalam tuturannya. Intonasi ini ditandai dengan pola intonasi datar-
turun. Kedua penutur tersebut memberitahu pemahamannya mengenai sesuatu
kepada mitra tutur. Kedua penutur tersebut juga menggunakan kata fatis dalam
tuturannya. Penutur E4 menggunakan kata fatis kok. Kata fatis ini dapat
menggantikan kata tanya mengapa atau kenapa. Sedangkan, penutur E6
menggunakan kata fatis ya. Kata fatis ya pada awal kalimat bertugas
mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan mitra tutur. Nada tutur
yang digunakan kedua penutur di atas adalah nada tinggi. Kedua penutur tersebut
sedang dalam suasana hati yang emosi karena tuturan mitra tutur, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
mereka menggunakan nada tinggi. Selain kedua penutur di atas memiliki intonasi
yang sama, mereka juga menggunakan tekanan yang sama pula dalam tuturannya,
yakni tekanan keras. Penutur E4 menekankan pada frasa Ngematke matane,
sedangkan penutur E6 menekankan pada frasa Kui yo wes tak akonke uwong.
Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa.
Penggunaan bahasa Jawa oleh penutur karena penutur menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi sehari-hari dengan mitra tutur.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 50 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki, nelayan pantai Congot. Hubungan keakraban mereka hanya
sebatas rekan kerja dan teman biasa. Aspek penutur dan lawan tutur pada cuplikan
tuturan 52 adalah penutur dan mitra tutur merupakan perempuan. Penutur berusia
36 tahun, merupakan anak dari mitra tutur yang berusia 70-80 tahun. Penutur
bekerja sebagai pedagang di pasar tradisional, sedangkan mitra tutur tidak
memiliki pekerjaan karena ia sudah lanjut usia. Hubungan keakraban mereka
adalah keluarga.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 50 adalah para nelayan pantai Congot naik
dari melaut, mereka memanen ikan bawal. Nelayan mengelompokkan ikan bawal
di TPI (tempat pelelangan ikan). Keadaan di sana begitu ramai karena selain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
banyaknya nelayan, juga banyak pelelangan ikan. Konteks cuplikan tuturan 52
adalah pralon air di depan rumah bocor sejak sehari yang lalu. Mitra tutur akan
mengambil wudhu pada kran yang pralonnya bocor. Mitra tutur memberitahu
bahwa pralonnya masih bocor. Penutur emosi karena mitra tutur bersuara keras
saat menyampaikan berita tersebut.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E4 adalah untuk memberitahu kepada mitra tutur bahwa bawalnya bukan
BS. Cara pemberitahuan penutur sangatlah kasar sehingga tuturan ini masuk ke
dalam tuturan yang tidak santun. Tujuan penutur E6 menyampaikan tuturannya
adalah memberitahu mitra tutur bahwa penutur sudah tahu kalau pralon air di
depan rumah bocor dan sudah menyuruh orang untuk memperbaiki pralon
tersebut.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 50 terjadi di tempat pelelangan ikan sekitar pukul 2 siang. Sedangkan
cuplikan tuturan 52 terjadi di rumah pada waktu maghrib tiba.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E4 dan E6 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ini
merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur,
berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan
kesengsaraan. Tindak perlokusi mitra tutur E4 yakni, mitra tutur menanggapi
tuturan penutur dengan tantangan dan cara penyampaiannya ketus. Sedangkan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
tindak perlokusi mitra tutur E6 adalah menanggapi dengan nada tinggi. Tindak
perlokusi mitra tutur yang tidak terima dengan tuturan penutur merupakan salah
satu faktor menjadikan tuturan ini masuk ke dalam kategori menimbulkan konflik.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegaskan, karena
penutur menegaskan apa yang diyakininya. Penutur E4 bermaksud memberitahu
bahwa bawal yang didapatnya bukanlah bawal BS. Sedangkan, penutur E6
memiliki maksud kesal, karena mitra tutur selalu banyak bicara walaupun sudah
lanjut usia.
4.3.5.2 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 53 (E7)
MT : “Ayo ngewangi bapak!”
P : “Gak mau!”
MT : “ Koe nek ra ngewangi bapak, trus sopo seng arep biayani”
Cuplikan tuturan 54 (E8)
MT : “Tipine dipindah, Mas?”
P : “Wegah!”
MT : (Berlari mencari orang tua dan minta untuk digendong).
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menolak dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud pragmatik
dari tuturan E7 adalah penutur berbicara dengan cara spontan dan sembrono
kepada mitra tutur, padahal mitra tutur lebih tua dari penutur. Sedangkan penutur
E8 dengan cara ketus kepada mitra tutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E7 dan E8 menggunakan
intonasi seru dalam tuturannya. Kedua penutur tersebut menyerukan denga tegas
penolakannya terhadap suruhan mitra tutur.. Nada tutur yang digunakan kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
penutur di atas adalah nada sedang. Walaupun penutur menggunakan nada
sedang, tuturan mereka tetap dianggap tidak santun. Selain kedua penutur di atas
memiliki intonasi dan nada yang sama, mereka juga menggunakan tekanan yang
sama pula dalam tuturannya, yakni tekanan keras. Penutur E7 menekankan pada
kata Gak mau, sedangkan penutur E8 menekankan pada kata Wegah. Diksi yang
digunakan penutur E7 adalah bahasa populer, yakni kata-kata yang dikenal dan
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan, penutur E8 menggunakan
diksi bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa oleh
penutur karena penutur menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-
hari dengan mitra tutur.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 53 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki. Penutur berusia 161 tahun merupakan anak dari mitra tutur.
Penutur masih bersekolah, sedangkan mitra tutur bekerja sebagai nelayan di
pantai Trisik. Hubungan mereka adalah hubungan keluarga. Aspek penutur dan
lawan tutur dalam cuplikan tuturan 54 adalah penutur dan mitra tutur adalah laki-
laki. Penutur berusia 6 tahun, sedangkan mitra tutur baru berusia 3 tahun. Penutur
sudah bersekolah di tingkat SD dan mitra tutur belum bersekolah. Hubungan
keakraban mereka adalah hubungan keluarga, karena penutur adalah kakak dari
mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 53 adalah hari saat tuturan ini terjadi
adalah hari libur. Mitra tutur akan pergi menjala di pinggiran pantai Mitra tutur
mengajak penutur untuk membantunya bekerja. Konteks pada cuplikan tuturan 54
adalah penutur dan mitra tutur sedang menonton televisi. • MT merasa bahwa ia
tidak menyukai acara televisi yang sedang mereka tonton. Mitra tutur menyuruh
penutur untuk mengganti channel atau acara televisi tersebut. Penutur menolak
perintah dari mitra tutur karena ia menyukai acara televisi tersebut. Terdapat
orang ketiga yang nantinya memarahi penutur karena tindakannya terhadap mitra
tutur.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E7 adalah penutur menolak ajakan bapaknya untuk membantunya
bekerja. Tujuan penutur E8 adalah penutur menolak suruhan mitra tutur untuk
mengganti channel acara di televisi.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 53 terjadi di rumah, tepatnya di ruang keluarga pada pagi hari. Sedangkan,
cuplikan tuturan 54 terjadi di ruang keluarga, saat penutur dan mitra tutur
menonton TV.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E7 dan E8 adalah tindak verbal komisif. Tindak verbal ini
merupakan jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang, berupa janji,
ancaman, penolakan, ikrar. Tindak perlokusi mitra tutur E7 yakni, mitra tutur
memarahi dan menyindir penutur. Sedangkan, tindak perlokusi mitra tutur E8
adalah mitra tutur pergi mencari orang ketiga (bapak), kemudian orang ketiga
memarahi penutur karena tidak mau mengalah dengan adiknya. Tindak perlokusi
mitra tutur yang tidak terima dengan tuturan penutur merupakan salah satu faktor
menjadikan tuturan ini masuk ke dalam kategori menimbulkan konflik.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menolak, karena penutur
menolak suruhan mitra tutur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing
dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur
E7 dan E8 memiliki maksud menolak dalam tuturannya. Mereka sama-sama
menolak suruhan mitra tutur, tetapi penolakan tersebut justru membuat
permasalahan jadi semakin panjang sehingga timbullah konflik antara penutur dan
mitra tutur.
4.3.5.3 Subkategori Menyinggung
Cuplikan tuturan 47 (E1) MT : “Haduh, Bu. Dino iki ra oleh opo-opo, Bu.”
P : “Itu kan tanggungjawab suami.”
MT : “Wolha kurang ajar.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menyindir dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud
pragmatik dari tuturan E1 adalah penutur berbicara dengan cara ketus dan
ngelantur kepada mitra tutur, padahal mitra tutur merupakan suami dari penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E1 menggunakan intonasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
berita dalam tuturannya. Intonasi ini memberitakan atau menginformasikan
sesuatu kepada mitra tutur. Penutur menginformasikan dan mengingatkan kembali
kepada mitra tutur bahwa bekerja dan mencari nafkah itu sudah menjadi tanggung
jawab suami. Penutur menggunakan kata fatis kan pada tuturannya, dan
diletakkan pada tengah kalimat. Kridalaksana (1986) menjelaskan bahwa apabila
kan terletak di tengah kalimat maka kan juga bersifat menekankan pembuktian
atau bantahan. Nada tutur yang digunakan penutur adalah nada sedang. Walaupun
nada tutur yang digunakan adalah nada sedang, tetapi sudah membuat mitra tutur
marah, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Seluruh tuturan penutur ditekankan
dengan keras oleh penutur. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya penutur
benar-benar kesal dengan mitra tutur. Diksi yang digunakan penutur E1 adalah
bahasa populer, yakni kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 47 adalah penutur merupakan
perumpuan berusia 40 tahun dan mitra tutur merupakan laki-laki berusia 43 tahun.
Penutur merupakan istri dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah ibu rumah
tangga, dan mitra tutur bekerja sebagai nelayan di pantai Congot. Mereka berdua
mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban mereka adalah sangat
dekat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 47 adalah mitra tutur baru saja pulang dari
melaut, tapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. Mitra tutur dalam keadaan
lelah sepulangnya dari bekerja. Penutur dan mitra tutur bercakap-cakap di teras
rumah, dan mitra tutur memberitahu penutur bahwa ia tidak membawa hasil yang
banyak. Penutur kesal karena mitra tutur yang bekerja seharian justru pulang
dengan tidak membawa hasil apa-apa.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E1 adalah penutur memberitahu mitra tutur bahwa mencari nafkah
merupakan tanggung jawab mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 47 terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E1 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal ini
merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus
atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.
Tuturan ini masuk ke dalam jenis tindak verbal representatif karena penutur
mencoba untuk menegaskan sesuatu yang diyakini oleh penutur. Tindak perlokusi
mitra tutur adalah karena mitra tutur sedang dalam keadaan lelah, kemudian
emosinya juga menaik dan mitra tutur tidak terima dengan tuturan penutur,
sehingga mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan kata-kata kasar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menyinggung, karena
tuturan penutur cenderung menyinggung perasaan mitra tutur. Setiap penutur
memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya
penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E1 memiliki maksud kecewe dalam
tuturannya. Kekecewaan penutur karena mitra tutur yang pergi seharian tetapi
tidak membawa hasil apa-apa.
4.3.5.4 Subkategori Mengumpat
Cuplikan tuturan 48 (E2)
MT : “Itu kan tanggungjawab suami.”
P : “Wo lha kurang ajar! Asu cenan.”
MT : “Huuusss... Omongane, Pak.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengumpat dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Cuplikan
tuturan 48 ini merupakan kelanjutan dari cuplikan tuturan 47. Wujud pragmatik
dari tuturan E2 adalah penutur berbicara dengan cara keras, kasar, dan ngelantur
kepada mitra tutur, padahal mitra tutur merupakan istri dari penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E2 menggunakan intonasi
seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk membentak mitra
tutur yang sudah membuatnya kesal. Penutur menggunakan nada tinggi dalam
penyampaian tuturannya. Nada tinggi digunakan oleh penutur karena ia sedang
dalam keadaan emosi. Penutur juga menggunakan tekanan keras pada tuturannya.
Tekanan keras tersebut terletak pada frasa kurang ajar dan Asu cenan. Penutur
menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut yang membuat tuturan
menjadi sangat tidak santun. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang
mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena selain sudah
menjadi bahasa sehari-hari, keadaan penutur sangat emosi sehingga keluarlah
bahasa Jawa sebagai bahasa yang sering ia gunakan.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 48 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 43 tahun dan mitra tutur merupakan perumpuan berusia 40 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah nelayan
pantai Congot, dan mitra tutur bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mereka berdua
mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban mereka adalah sangat
dekat.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 48 adalah penutur baru saja pulang dari
melaut, tapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. penutur dalam keadaan lelah
sepulangnya dari bekerja. Penutur dan mitra tutur bercakap-cakap di teras rumah,
dan penutur memberitahu mitra tutur bahwa ia tidak membawa hasil yang banyak.
Mitra tutur kesal karena penutur yang bekerja seharian justru pulang dengan tidak
membawa hasil apa-apa, sehingga mitra tutur menyinggung penutur dengan kata-
kata yang sembrono.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E2 adalah penutur menanggapi tuturan mitra tutur yang kurang berkenan
di hati penutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 48 terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E2 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ekspresif
penutur dikarena ia tidak senang dengan tuturan mitra tutur yang disampaikan
dengan sembrono. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi
tuturan penutur dengan peringatan.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori mengumpat, karena tuturan
penutur menekankan umpatan yang dituturkan penutur. Setiap penutur memiliki
maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu
sendiri yang tahu. Penutur E2 memiliki maksud kesal dalam tuturannya.
Kekesalan penutur karena mitra tutur yang berbicara seenaknya tanpa
memperhatikan keadaan yang sebenarnya.
4.3.5.5 Subkategori Menegur
Cuplikan tuturan 49 (E3)
P : “Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Nanti kalo ada tamu,
nanti kalo ada orang lewat. Wong omah yo neng pinggir
dalan.”
MT : “Karang nggone yo koyo ngene, rakyo sesok!”
P : “Welha...malah nesu.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
menegur dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud pragmatik
dari tuturan E3 adalah penutur berbicara kepada istrinya dengan sembrono dan
tuturan penutur disampaikan dengan cara sinis.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E3 menggunakan intonasi
berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memberitahu
mitra tutur mengenai tatanan kayu yang sedang ia tata. Kata fatis yang digunakan
penutur adalah ya. Kata fatis ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa
yang ditanyakan lawan bicara. Penutur menggunakan nada sedang dalam
penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap menjadikan
tuturannya tidak santun karena disampaikan dengan sembrono dan tidak dalam
situasi yang tepat. Penutur menggunakan tekanan lunak pada tuturannya. Tekanan
keras tersebut terletak pada frasa Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Penutur
menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut yang membuat tuturan
menjadi sangat tidak santun dan membuat mitra tutur kesal. Diksi yang digunakan
penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar
merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini
karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 49 adalah penutur merupakan
laki-laki berusia 42 tahun dan mitra tutur merupakan perumpuan berusia 39 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah nelayan
pantai Congot, dan mitra tutur bekerja sebagai pedagang dan ibu rumah tangga.
Mereka berdua mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban
mereka adalah sangat dekat.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 49 adalah terdapat rumah kayu di samping
rumah penutur. Penutur sedang duduk santai di teras rumah, sedangkan mitra tutur
sedang sibuk menata kayu. Penutur menegur mitra tutur untuk merapikan tatanan
kayunya, karena rumah kayunya berada di samping rumah, sekaligus di pinggir
jalan, sehingga bila tidak rapi akan merusak pemandangan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E3 adalah penutur menegur mitra tutur untuk merapikan tatanan kayunya.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 49 terjadi di rumah, penutur berada di teras rumah, sedangkan mitra tutur
berada di samping rumah. Waktu tuturan ini terjadi pada sore hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E3 adalah tindak verbal direktif. Tindak verbal direktif
penutur dikarena ia menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu, yakni
merapikan tatanan kayunya. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
melanjutkan merapikan kayunya sambil menanggapi tuturan dari penutur dengan
sanggahan.
Berdasar penanda pragmatik di atas, uturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori menegur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E3
memiliki maksud memberitahu dalam tuturannya. Pemberitahuan penutur
sebenarnya baik, tetapi ia tidak melihat situasi yang sedang terjadi saat itu,
sehingga justru membuat suasana menjadi tidak enak.
4.3.5.6 Subkategori Mengancam
Cuplikan tuturan 51 (E5) MT : (menangis)
P : “Ayo... iso meneng ora!” (digeblek atau dipukul).
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori
mengancam dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud
pragmatik dari tuturan E5 adalah penutur berbicara dengan ketus dan dibarengi
dengan ancaman terhadap mitra tutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E5 menggunakan intonasi
perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk
memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kata fatis yang digunakan penutur
adalah ayo. Kata fatis ayo bertugas menekankan ajakan atau suruhan. Penutur
menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
tinggi penutur dikarenakan penutur kesal dengan mira tutur yang selalu menangis
(cengeng). Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
tersebut terletak pada frasa Iso meneng ora. Penutur menekankan pada frasa
tersebut karena frasa tersebut merupakan ancaman dari penutur. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa
nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur
memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 51 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki. Usia mitra tutur baru 6 tahun. Penutur bekerja sebagai
nelayan di pantai Trisik. Hubungan keakraban mereka adalah ayah dan anak.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan.
Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 51 adalah tuturan terjadi pada saat mitra
tutur sedang nangis di rumah. Penutur pulang bekerja dengan keadaan yang letih.
Penutur tersulut emosinya karena anaknya rewel terus-terusan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E5 adalah penutur menyuruh anaknya untuk tidak rewel lagi, tetapi
disertai dengan ancaman akan memukul.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 51 terjadi di rumah, tepatnya di halaman rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E5 adalah tindak verbal komisif. Tindak verbal komisif
penutur dikarena ia mengancam mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah
mitra tutur melakukan apa yang diperintah penutur, tetapi terdapat orang ketiga,
yakni istrinya yang marah kepada penutur karena kasar terhadap anak.
Berdasar penanda pragmatik di atas, uturan tersebut tergolong ke dalam
subkategori mengancam. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E5
memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur muncul karena
anaknya yakni mitra tutur sering menangis, ditambah lagi dengan keadaan penutur
yang letih sehabis pulang dari kerja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
BAB V
PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan dua hal, yaitu (1) simpulan dan (2) saran.
Simpulan meliputi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-
hal relevan yang kiranya perlu diperhatikan, baik untuk mahasiswa jurusan
pendidikan bahasa maupun penelitian lanjutan.
5.1 Simpulan
Dari hasil analisis data ditemukan tuturan yang tidak santun dalam interaksi
dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran
dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
Simpulan hasil analisis dapat dikemukakan sebagai berikut.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Lingustik dan Pragmatik
Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam ranah keluarga
nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot,
Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta berupa tuturan lisan tidak
santun yang telah ditranskrip, yakni tuturan yang melanggar norma, mengancam
muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan
konflik. Sedangkan, wujud ketidaksantunan pragmatiknya berupa cara yang
menyertai tuturan lisan tidak santun yang disampaikan oleh penutur.
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa intonasi,
penggunaan kata fatis, nada tutur, tekanan, dan diksi yang dapat diuraikan dalam
masing-masing kategori ketidaksantunan. Sedangkan, penanda ketidaksantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
pragmatik dapat dilihat berdasar konteks yang melingkupi tuturan. Konteks
tuturan tersebut meliputi penutur dan mitra tutur, tujuan penutur, situasi dan
suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Selanjutnya diuraikan dalam masing-
masing kategori ketidaksantunan di bawah ini.
5.1.2.1 Kategori ketidaksantunan melanggar norma
Kategori ketidaksantunan melanggar norma ditandai dengan
intonasi berita; nada tutur sedang; tekanan keras; dan penggunaan pilihan
kata bahasa nonstandar. Tuturan yang melanggar norma biasanya
dikatakan oleh anak.
Tuturan kategori melanggar norma cenderung dikatakan oleh anak,
karena biasanya aturan dalam keluarga akan diberikan kepada anak.
Tuturan ini dapat terjadi dalam suasana yang cenderung santai. Tindak
verbal penutur dalam kategori melanggar norma berupa tindak
representatif dan komisif. Sedangkan, tindak perlokusi mitra tutur dalam
kategori melanggar norma cenderung berusaha melakukan sesuatu
sehingga penutur melakukan kewajibannya tersebut.
5.1.2.2 Kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak
Kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak ditandai
dengan intonasi berita dan seru; nada tutur sedang; tekanan keras dan
lunak; dan penggunaan pilihan kata bahasa nonstandar, terdapat juga
penggunaan pilihan kata slang dan artifisial.
Tuturan yang mengancam muka sepihak biasanya dapat dikatakan
oleh siapa saja dalam anggota keluarga, tetapi anak cenderung lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
banyak menggunakan tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak.
Tuturan kategori mengancam muka sepihak dapat terjadi dalam suasana
yang santai dan serius. Tindak verbal penutur dalam kategori melanggar
norma berupa tindak representatif, ekspresif, dan komisif. Sedangkan,
tindak perlokusi mitra tutur dalam kategori mengancam muka sepihak
adalah mitra tutur merasa tersinggung, kemudian menanggapi
ketidaksantunan penutur, tetapi tidak disadari oleh penutur.
5.1.2.3 Kategori ketidaksantunan melecehkan muka
Kategori ketidaksantunan melecehkan muka ditandai dengan
intonasi berita, perintah, dan seru; kata fatis kok, ya, dan lho; nada tutur
tinggi dan sedang; tekanan keras dan lunak; dan penggunaan pilihan kata
bahasa nonstandar.
Tuturan yang melecehkan muka dapat dikatakan oleh siapa saja
dalam anggota keluarga. Tuturan kategori melecehkan muka terjadi
dalam berbagai suasana, dapat terjadi dalam susasana santai maupun
serius. Tindak verbal penutur dalam kategori melecehkan muka berupa
tindak ekspresif, representatif, direktif, dan komisif. Sedangkan, tindak
perlokusi mitra tutur dalam kategori melecehkan muka adalah biasanya
mitra tutur diam saja; mitra tutur pergi; dan mitra tutur menanggapi
penutur kerena ia merasa kesal dengan penutur.
5.1.2.4 Kategori ketidaksantunan menghilangkan muka
Kategori keidaksantunan melanggar norma ditandai dengan
intonasi berita dan seru; kata fatis kok dan ya; nada tutur sedang dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
tinggi; tekanan keras dan lunak; dan penggunaan pilihan kata bahasa
nonstandar dan bahasa populer.
Tuturan yang menghilangkan muka dapat dikatakan oleh siapa saja
dalam anggota keluarga, bahkan tamu pun bisa mengatakannya. Tuturan
kategori menghilangkan muka terjadi dalam suasana yang cenderung
santai dan serius. Tindak verbal penutur dalam kategori menghilangkan
muka berupa tindak ekspresif. Sedangkan, tindak perlokusi mitra tutur
dalam kategori menghilangkan muka cenderung menanggapi tuturan
penutur karena dirinya merasa dipermalukan atau telah kehilangan muka.
5.1.2.5 Kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik
Kategori keidaksantunan melanggar norma ditandai dengan
intonasi seru dan tanya; kata fatis yo ;nada tutur tinggi dan sedang;
tekanan keras; dan penggunaan pilihan kata bahasa nonstandar.
Tuturan yang menimbulkan konflik dapat dikatakan oleh seluruh
angggota keluarga. Tuturan kategori menimbulkan konflik terjadi dalam
suasana yang santai dan serius. Tindak verbal penutur dalam kategori
menimbulkan konflik berupa tindak ekspresif, komisif, dan representatif.
Sedangkan, tindak perlokusi mitra tutur dalam kategori menimbulkan
konflik cenderung berusaha menanggapi tuturan penutur dengan suasana
hati yang emosi, biasanya hingga terjadi adu mulut atau bertengkar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur
Maksud ketidaksantunan merupakan maksud penutur menuturkan
tuturannya. Maksud ketidaksantunan ini hanya dimiliki oleh masing-masing
penutur dan hanya penutur yang mengerti maksud tuturannya.
Kategori melanggar norma ditemukan 3 maksud penutur dari 4 penutur
yang berbeda, yakni maksud berbohong, membela diri, dan menunda. Kategori
mengancam muka sepihak ditemukan 6 maksud penutur dari 9 penutur yang
berbeda, yakni maksud menggoda, mengejek, menghindar, membela diri,
berbohong, dan menolak. Kategori melecehkan muka ditemukan 13 maksud
penutur dari 24 penutur yang berbeda, yakni maksud mengusir, menolak, malas,
menyindir, kesal, memaksa, menakut-nakuti, membela diri, berbohong, kecewa,
menagih, mengejek, dan memarahi. Kategori menghilangkan muka ditemukan 7
maksud penutur dari 9 penutur yang berbeda, yakni maksud kesal, kecewa,
memarahi, menasihati, mengejek, dan menggoda. Kategori terakhir adalah
menimbulkan konflik, dalam kategori ini ditemukan 4 maksud penutur dari 9
penutur yang berbeda, yakni maksud kesal, kecewa, memberitahu, dan menolak.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang telah ditemukan, peneliti memberikan beberapa
saran bagi peneliti lanjutan yang ingin meneliti topik yang serupa dengan
penelitian ini. Berikut ini adalah saran-saran peneliti.
5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan
1) Penelitian ini hanya meneliti ketidaksantunan berbahasa linguistik dan
pragmatik dalam lingkup keluarga nelayan saja. Bagi peneliti lain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan subjek dan ranah
yang berbeda.
2) Instrumen dalam penelitian ini masih membutuhkan penyempurnaan,
sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat mengembangkan instrumen
penelitian ini menjadi lebih luas.
3) Penelitian ini hanya sebatas analisis mengenai wujud dan penanda
ketidaksantunan berbahasa, serta maksud ketidaksantunan penutur. Oleh
sebab itu, untuk peneliti selanjutnya dapat memperdalam konsep
ketidaksantunan ini.
5.2.2 Bagi Keluarga Nelayan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau gambaran umum
mengenai bentuk ketidaksantunan berbahasa dalam keluarga, khususnya keluarga
nelayan. Sehingga, dengan adanya acuan ketidaksantunan dalam berbahasa,
anggota keluarga dapat mengurangi bahkan menghindari percakapan atau
komunikasi yang tidak santun. Dengan hasil penelitian yang telah diuraikan,
adanya ikatan kekeluargaan yang erat seharunya dapat menghindari penggunaan
bahasa yang tidak santun antar anggota keluarga maupun dengan orang lain.
5.2.3 Implikasi Penelitian
Fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam keluarga membuat dampak
negatif bagi semua anggota keluarga. Cara yang efektif untuk mencegah atau
menanggulangi ketidaksantunan berbahasa dalam keluarga nelayan adalah melalui
pendidikan dini yang diajarkan kepada anak. Anak-anak rentan akan perilaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
berbahasa yang buruk, karena anak-anak akan menerima apa yang biasa ia lihat, ia
alami, dan kemudian ia pelajari.
Sosialisasi kepada orang tua agar berkomunikasi dengan baik, benar, dan
santun merupakan cara yang akan membantu berkurangnya ketidaksantunan
berbahasa dalam keluarga nelayan. Jadi, bila orang tua membiasakan berbahasa
dengan baik, benar, dan santun, anak akan mengikuti kebiasaan baik orang tuanya
tersebut, sehingga komunikasi dalam keluarga akan terjalin dengan baik dan
harmonis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
DAFTAR PUSTAKA
Achmad dan Alek Abdullah. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Bousfield, Derek dan Miriam A. Locher.2008. Impoliteness in Language: Studies
on its Interplay with Power in Theory and Pratice. New York: Mouton de
Gruyter.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Depdikbud. 2009. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Gramedia.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
George, Yule. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualiitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York: Oxford Univercity Perss.
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
___________. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Mahsun. 2006. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Melissa Puspitarini, Olivia. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP,
USD, Angkatan 2009—2011. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,
USD.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem
Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatif & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noviyanti, Agustina Galuh Eka. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran
2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Nugroho, Miftah. 2009. “Konteks dalam Kajian Pragmatik” dalam Peneroka
Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pusataka Pelajar.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
_______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2012. “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik
dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.
Presentasi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
_______________. 2012. “Re-interpretasi Konteks Pragmatik”. Jurnal.
Samsuri. 1969. Fonologi: Ichtisar Analisa Bahasa Pengantar Kepada Linguistik.
Malang: Lembaga Penerbitan IKIP Malang.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Bagian Pertama, ke Arah Memahami
Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.
Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas-asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan
dan Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan penelitian. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan
2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Skripsi. Yogyakarta: PBSID,
JPBS, FKIP, USD.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun
Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELANGGAR NORMA
NO. KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. A1 Cuplikan tuturan 1
MT: “Tadi beli es ya?”
P: “Enggak!”
MT: “Makanya jangan
beli es sembarangan!
Jadi sakit to?”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
kata “enggak”.
Diksi: bahasa
populer.
Tuturan ini terjadi di rumah pada
malam hari saat akan tidur malam.
Penutur perempuan, anak berusia 12
tahun. MT laki-laki, bapak dari penutur.
Penutur melanggar aturan atau janji
yang telah disepakati.
Penutur dan MT telah sepakat bahwa
penutur tidak diperbolehkan membeli
es sembarangan, karena penutur
mempunyai salah satu penyakit yang
apabila meminum es sembarangan
langsung kambuh.
Penutur melanggar aturannya sendiri
dengan meminum es.
MT mengetahui bahwa penutur telah
melanggar aturannya.
Tujuan: penutur membohongi MT
bahwa dirinya tidak membeli es.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT tahu bahwa
penutur bohong dan MT pun tahu
bahwa penutur telah minum es,
kemudian MT menasihati penutur.
Jenis ketidaksantunan:
melanggar norma.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Tuturan disampaikan dengan
cara ketus
Penutur melanggar aturan
(tidak boleh membeli es
sembarangan).
Penutur berbohong kepada
MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. A2 Cuplikan tuturan 2
MT: ”Mau kemana
dek?”
P: :Arep ngaji!”
MT: “Kui...mbasan ono
gawean malah alasan
ngaji, nek raono mung
dolan wae.”
P: “Yo ben... wong
arep ngaji kok ra
oleh.”
MT: “Dia gag nyapu
dibiarin. Malah aku
yang jadinya nyapu.”
(mengadu kepada
pamannya).
Intonasi berita.
Nada tutur: MT
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras frasa
Yo ben...
Diksi: nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah pada jam 4
sore.
Penutur laki-laki, adik berusia 12 tahun.
MT perempuan, kakak dari penutur,
berusia 15 tahun.
Terdapat aturan yang telah disepakati
bersama mengenai tugas-tugas di
rumah terutama mengenai bersih-bersih
rumah.
Penutur melanggar aturan mengenai
bersih-bersih rumah.
MT menyuruh penutur untuk menyapu
halaman rumah karena sudah kotor,
tetapi penutur tidak mau dan beralasan
mengaji.
Tujuan: penutur beralasan untuk tidak
menyapu halaman rumah yang sudah
menjadi tugasnya.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT melapor kepada
pamannya karena penutur tidak mau
melaksanakan tugasnya.
Jenis ketidaksantunan:
melanggar norma. Makna ketidaksantunan:
menegaskan. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Tuturan disampaikan dengan
cara ketus. Penutur melanggar aturan
(tidak melaksanakan
tugasnya untuk bersih-bersih
halaman rumah). Penutur melarikan diri
dengan mengaji sebagai
alasannya. Penutur melimpahkan
tugasnya kepada MT.
3. A3 Cuplikan tuturan 3
MT: “Belajar sek le.
Ayo TVne dipateni,
PRe geg ndang
digarap!”
P: “Mengko sek,
Pak!”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: nonstandar
Tuturan terjadi di rumah pada saat jam
belajar.
Penutur laki-laki, anak berusia 9 tahun.
MT laki-laki, ayah dari penutur, berusia
48 tahun.
MT sudah membuat aturan mengenai
jam belajar untuk anaknya (penutur)
Jenis ketidaksantunan:
melanggar norma. Makna ketidaksantunan:
menunda. Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Tuturan ini disampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: (langsung
mematikan televisi).
kecuali pada saat hari libur.
Penutur melanggar aturan tersebut,
yakni asik menonton televisi pada saat
jam belajar.
MT menyuruh penutur untuk belajar.
Tujuan: penutur ingin menunda
belajarnya karena masih ingin
menonton televisi
Tindak verbal: komisif
Tindak perlokusi: MT mematikan
televisi.
dengan cara ketus. Penutur melanggar aturan
(tidak belajar pada saat jam
belajar telah tiba). Penutur lebih memilih untuk
menonton televisi daripada
belajar.
Penutur sudah berkali-kali
disuruh untuk belajar oleh
MT.
4. A4 Cuplikan tuturan 4
MT: “Maghrib, ndang
shalat, sinau, TVne ayo
dipateni!”
P: “Mengko Pak!
Filme jek apik kie.”
MT: (Mematikan
sekering listrik).
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
frasa Mengko Pak!.
Diksi: nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
ruang keluarga.
Penutur laki-laki, anak berusia 6 tahun.
MT laki-laki, ayah dari penutur, berusia
32 tahun
MT (bapak) telah membuat peraturan
untuk tidak menyalakan televisi pada
saat maghrib dan dilanjutkan untuk
belajar, setelah itu baru boleh menonton
televisi.
Penutur melanggar aturan tersebut
dengan tetap menonton televisi pada
jam shalat maghrib.
Penutur menolak suruhan MT untuk
shalat maghrib dan memilih
melanjutkan menonton televisi.
Tujuan: penutur menunda suruhan MT
dan lebih memilih melanjutkan
Jenis ketidaksantunan:
melanggar norma. Makna ketidaksantunan:
menunda. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua. Tuturan disampaikan dengan
cara ketus. Penutur melanggar aturan
(saat maghrib TV harus mati
dan setelah shalat maghrib
dilanjutkan belajar).
Penutur lebih memilih
menonton televisi. Penutur menjawab suruhan
MT dengan tidak
memperhatikan MT,
melainkan lebih asik dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menonton televisi.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT langsung
mematikan sekering listrik dan
membuat seisi rumah yang
membutuhkan listrik menjadi mati. Hal
ini dilakukan karena penutur takut
gelap.
acara di televisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGANCAM MUKA SEPIHAK
NO. KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. B1 Cuplikan tuturan 5
P: “Sinau barang!”
(Menyenggol
adiknya).
MT: “Ngopo to?
Ganggu wae.”
P: (Tidak menghiraukan
dan pergi begitu saja).
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
frasa sinau barang.
Diksi: nonstandar.
Tuturan ini terjadi di rumah saat MT
sedang belajar di ruang keluarga pada
tanggal 26 April 2013 jam 19.00.
Penutur laki-laki, kakak berusia 12
tahun. MT laki-laki, adik dari penutur,
berusia 6 tahun.
Penutur sedang berjalan ingin keluar
rumah, melewati ruang keluarga dan
melihat MT sedang belajar.
Penutur menyenggol MT, dan terus
berjalan.
MT merasa dirinya diganggu oleh
penutur.
Tujuan: penutur tidak memiliki maksud
tertentu, penutur hanya lewat,
kemudian melihat MT sedang belajar
dan menghampirinya dengan
melakukan tindakan menyenggol/
menggoda.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: MT merasa dirinya
terganggu oleh penutur, kemudian MT
menanggapi penutur dengan ancaman,
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur mengganggu MT
yang sedang belajar.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan sinis.
Penutur menyenggol MT
dengan sengaja.
Penutur tidak menyadari
bahwa dirinya telah
mengancam muka MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tetapi penutur pergi begitu saja dengan
acuh.
2. B2 Cuplikan tuturan 6
MT: “Tangi-tangi...
Mengko bar tangi
langsung asah-asah
piring.”
P: “Mengko ah...”
(Melanjutkan
tidurnya).
MT: “Wolhaa... Anak
jaman saiki nek dikon
ratau mangkat.”
Intonasi seru.
Kata fatis: ahh.
Nada tutur: MT
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
frasa mengko ahh....
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan ini terjadi saat pagi hari.
Tuturan ini terjadi di rumah tepatnya di
kamar Penutur.
Penutur laki-laki, anak berusia 16
tahun. MT perempuan, ibu dari penutur.
MT membangunkan penutur kemudian
menyuruhnya untuk mencuci piring.
Tujuan: penutur menolak suruhan MT.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT bergumam
terhadap kelakuan penutur, tetapi
penutur malah melanjutkan tidurnya
tanpa memperhatikan MT.
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak. Makna ketidaksantunan:
menunda.
Wujud ketidaksantunan: penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua. Penutur menunda suruhan
dari MT dan malah
melanjutkan tidurnya. Tuturan ini disampaikan
dengan cara ketus.
MT merasa kesal dengan
penutur. Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya telah
mengancam muka MT.
3. B3 Cuplikan tuturan 7
MT: “Langsung tidur
aja, gak usah malem2.”
P: “Cah enom kok
yahene turu, Bu.” MT: “Ohh. Nek cah
enom koyo ngno to?”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Partikel: kok.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa
Tuturan terjadi di rumah.
Malam hari saat jam tidur.
Penutur laki-laki, anak berusia 16
tahun. MT perempuan, ibu dari penutur
Penutur sedang menonton televisi.
MT menyuruhnya untuk tidur, karena
sudah larut malam.
Tujuan: menegaskan bahwa panutur
belum ingin tidur, karena penutur masih
ingin menonton televisi, dan penutur
masih muda sehingga belum pantas
Jenis ketidaksantunan:
menghilangkan muka sepihak. Makna ketidaksantunan:
menegaskan. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menyanggah
suruhan MT. Penutur memiliki persepsi
bahwa anak muda pada jam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidur pada saat itu.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan pertanyaan
yang sedikit kesal, tetapi penutur tidak
menghiraukan MT dan tetap menonton
televisi.
tersebut belum pantas untuk
tidur. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
MT merasa kesal karena
tuturan penutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya telah
mengancam muka MT.
4. B4 Cuplikan tuturan 8
MT: “Koe nandi kok
belum pulang?”
P: “Iki lagek nen
dalan.” (padahal
masih di lokasi).”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras pada
kata dalan.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi pada malam hari saat
penutur tidak berada di rumah, dan MT
berada di rumah.
Penutur laki-laki, anak berusia 16
tahun. MT perempuan, ibu dari penutur.
MT menelepon penutur yang sedang
berada di luar rumah karena telah larut
malam dan belum pulang.
Saat pergi penutur tidak pamit kepada
MT akan pergi kemana dan sampai
kapan.
MT merasa khawatir terhadap penutur.
Tujuan: penutur membohongi MT, MT
khawatir dengan keadaan penutur
karena sudah larut malam belum pulang
dan tidak pamit saat ia pergi
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT menaanggapi
tuturan dengan menyuruh penutur
untuk segera pulang.
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak. Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus. Penutur menegaskan
kepada MT tetapi
membohongi MT yang
mengkhawatirkan penutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa tindakannya
membuat khawatir MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. B5 Cuplikan tuturan 9
MT: “Tukokke iki neng
warung!”
P: “Wegah, males!”
MT: “Awas koe!”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras pada
kata wegah.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, adik berusia 16 tahun.
MT laki-laki, kakak berusia 21 tahun.
Penutur disuruh oleh kakaknya untuk
membelikannya sesuatu.
Penutur menolak suruhan MT.
Penutur dan MT sedang santai.
Tujuan: penutur menolak suruhan MT.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan ancaman, tetapi
penutur tetap santai dan diam saja.
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak. Makna ketidaksantunan:
menolak. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menolak suruhan
MT. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
MT merasa kesal dengan
jawaban penutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya telah
mengancam muka MT.
6. B6 Cuplikan tuturan 10
P: (menginjak kaki
kakaknya)
“Walah... kepidak...”
MT: “Mah dipidak!!!”
P: “Salahe mundur-
mundur.”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang (tetapi
kakinya menginjak
MT).
Tekanan: lunak pada
kata kepidak.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
ruang keluarga.
Penutur laki-laki, adik berusia 12 tahun.
MT laki-laki, kakak berusia 22 tahun.
MT sedang asik mengganggu penutur.
Secara tidak sengaja penutur menginjak
kaki MT.
Tujuan: penutur tidak sengaja
menginjak kaki MT dan dalam bawah
sadarnya, penutur mengeluarkan kata-
kata yang membuat MT merasa
terganggu.
Tindak verbal: representatif.
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dan
melakukan tindakan kepada
orang yang lebih tua.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
spontan.
MT merasa marah karena
tindakan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: MT mengeluarkan
kata-kata kasar, tetapi penutur malah
menyalahkan mitra tutur karena telah
mengganggunya.
Penutur tidak menyadari
bahwa tindakan dan
tuturannya telah
mengancam muka MT.
Penutur menyalahkan MT.
7. B7 Cuplikan tuturan 11
P: (Buang angin).
MT: “Ealah Pak, wong
yo lagi do mangan kok
ngentute diserokke.”
P: “Timbangane ra
dibuang mah mung
marakke penyakit.”
Intonasi berita
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak pada
frasa mung marakke
penyakit.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah pada saat
jam makan malam.
Penutur laki-laki, suami. MT
perempuan, istri.
Penutur buang angin (kentut) pada saat
sedang makan malam bersama anggota
keluarganya.
MT mengeluh terhadap tindakan
penutur.
Tujuan: penutur beralasan atau lebih
mengarah kepada pembelaan diri
mengenai tindaknnya.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT hanya
menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengeluh.
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak.
Makna ketidaksantunan:
membela diri/ mengelak/
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Sebelumnya penutur buang
angin (kentut) pada saat
makan malam bersama
anggota keluarga.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
bercanda.
MT beserta anggota
keluarga lainnya merasa
terganggu dan mengeluh.
Penutur tidak merasa bahwa
dirinya telah mengancam
muka MT dan anggota
keluarga.
8.
B8 Cuplikan tuturan 12
MT: “Aku kroso ora
diperhatekke nang
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak pada
tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
teras rumah sekitar pukul 4 sore pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tuan rumah/ kepala
nelayan berusia 42 tahun. MT laki-laki,
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kabupaten, ora opo-opo.
Mergane opo? Mergane
kelompok nek ra eksis
pancen yo tibo nangi.
Ketika nibo nangi
tulung seng 30 ton itu
buat contoh yang di
Pacitan, maupun 30 ton
yang baru. Mana
hasilnya?
P: “Iya... aaa... iya...
aaa... (bernada seperti
nada tertawa).
MT: “lha kepiye?
Sama-sama dari
provinsi maupun
pemerintah.”
frasa
iya..aaa..iya...aaa....
Diksi: bahasa slang
dan bahasa artifisial.
tamu/rekan penutur berusia 41 tahun.
MT sedang bercerita mengenai
keluhannya terhadap pemerintah.
Selain penutur dan MT, juga terdapat 2
orang lainnya yang sedang
mendengarkan.
Tujuan: penutur hanya mengejek MT
yang sedang mengeluhkan perhatian
pemerintah.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
penutur dengan pertanyaan kesal dan
menjawabnya sendiri.
Penutur berbicara dengan
tamunya.
MT belum selesai berbicara
tetapi penutur langsung
menimpali dengan tuturan
tersebut.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
seperti tertawa tetapi
dibuat-buat.
MT merasa kesal dengan
tuturan penutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya telah
mengancam muka MT.
9. B9 Cuplikan tuturan 13
MT: “Seng jenengane
paku, papan itu kan
lama2 menua, padahal
yo jaluk renovasi iku
tetep muni.”
P: “Resiko!”
MT: “Yo jenenge wong
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak pada
kata resiko.
Diksi: bahasa
populer.
tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
teras rumah sekitar pukul 4 sore pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tuan rumah/ kepala
nelayan berusia 42 tahun. MT laki-laki,
tamu/rekan penutur berusia 41 tahun.
MT sedang bercerita mengenai
keluhannya tentang renovasi kapal
menjadi tanggungan sendiri.
Selain penutur dan MT, juga terdapat 2
Jenis ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tamunya.
Nada bicara penutur seperti
orang mengejek.
Penutur menyampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
urip aku percoyo resiko.
Tapi kan menjadi
tambah, kudune
pikirane awak dewe ra
tekan kono.”
P: “Resiko.”
orang lainnya yang sedang
mendengarkan.
Tujuan: penutur hanya mengejek MT
yang sedang mengeluh.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: menanggapi tuturan
penutur dengan sanggahan.
tuturannya dengan cara
menyepelekan.
MT merasa kesal sehingga
menyanggah tuturan
penutur.
Penutur tetap mengejek MT
dengan kata-kata yang
sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELECEHKAN MUKA
NO. KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. C1 Cuplikan tuturan 14
P: “Ngopo nyusul
dene?”
MT: (Rewel atau
menangis).
P: “Nyoh tak kei
duwit geg ndang
lungo’o. Rasah
ganggu Bapak Ibu
sek, lagek nyambut
gawe!”
Intonasi perintah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: nonstandar
Tuturan ini terjadi di ladang pada siang
hari.
Penutur laki-laki, bapak berusia 34
tahun. MT laki-laki, anak dari penutur,
berusia 6 tahun.
Penutur memiliki pekerjaan sampingan
sebagai petani, selain pekerjaan
pokoknya sebagai nelayan.
MT menghampiri penutur yang sedang
bekerja dengan keadaan rewel/
menangis.
Tujuan: penutur memarahi MT sebagai
anak penutur yang mengganggu orang
tuanya saat bekerja.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT menerima uang,
kemudian pergi dan tidak menggangu
pekerjaan yang dilakukan orang tuanya.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
memerintah.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur memarahi MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
Penutur seolah mengusir
MT dengan memberinya
uang.
2. C2 Cuplikan tuturan 15
MT: “Gawekno wedang
ro jupukno maem,
Bu...”
Intonasi perintah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur perempuan, istri berusia 32
tahun. MT laki-laki, suami dari MT,
berusia 34 tahun.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
memerintah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P: “Alaaah... jupuk
dewe, Pak!” MT: (mengambil
minuman sendiri
dengan raut wajah
kesal).
Tekanan: keras.
Diksi: nonstandar
MT pulang kerja (melaut) dengan
keadaan capek, tetapi tidak
mendapatkan hasil yang memuaskan.
Penutur merasa kesal karena MT pergi
seharian tetapi tidak membawa hasil
yang diharapkan.
MT meminta penutur untuk
mengambilkan makan dan minum.
Tujuan: penutur kesal terhadap MT dan
menyuruh MT untuk mengambil
makanan dan minuman sendiri.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT mengambil
sendiri minuman yang dia inginkan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua
(suaminya sendiri).
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
Penutur bergantian
menyuruh MT setelah
mendapat suruhan dari MT.
3. C3 Cuplikan tuturan 16
MT1&MT2:
(bertengkar).
P: ”Cah gede kok jeh
do gelud.”
Intonasi berita.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
kata gelud.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, bapak dari MT. MT
laki-laki, adik dan kakak, remaja
berusia 16 tahun dan 22 tahun.
Terdapat MT1 dan MT2.
MT1 dan MT2 merupakan kakak-adik.
MT1 dan MT2 sedang berkelahi
layaknya kakak-adik.
Tujuan: penutur menyindir kedua MT
yang masih saja berkelahi walaupun
sudah besar.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT berhenti
berkelahi.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur secara langsung
menyindir kedua MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
MT merupakan anak dari
penutur.
4. C4 Cuplikan tuturan 17 Intonasi seru. Tuturan ini terjadi di rumah, pada saat Jenis ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: “Ayo... belajar.”
P: “Emoh!”
MT: “Kalo gak belajar
gak tak kasih uang
jajan!”
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: nonstandar.
jam belajar tiba.
MT menyuruh penutur untuk belajar.
Penutur memang susah bila disuruh
untuk belajar.
Penutur laki-laki, anak berusia 6 tahun.
MT laki-laki, bapak dari penutur,
berusia 32 tahun.
Tujuan: penutur menolak ajakan MT
untuk segera belajar.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT langsung
mengancam penutur untuk segera
belajar.
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menolak.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
MT menyuruh penutur
dengan bahasa yang halus.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras.
Penutur menolak suruhan
MT dengan suara yang
keras.
5. C5 Cuplikan tuturan 18
P: “Makan dulu,
mainnya nanti lagi!”
MT: “Gak mau, nanti
aja.”
P: “Kalo gak mau
makan, kamu gag
boleh pergi sama dia
(temannya)!”
Intonasi perintah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
populer.
Tuturan ini terjadi di rumah, pada siang
hari.
Penutur laki-laki, bapak berusia 32
tahun. MT laki-laki, anak dari penutur,
berusia 6 tahun.
MT sedang ingin pergi bermain
bersama teman-temannya.
Penutur menyuruh MT untuk makan
terlebih dahulu, kemudian baru boleh
bermain.
MT menolak suruhan penutur.
Tujuan: penutur mengancam MT
karena susah makan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT melakukan apa
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengancam.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur mengeluarkan kata-
kata ancaman agar MT
menaati perintahnya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
MT merasa takut dengan
ancaman penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang diperintah penutur.
6. C6 Cuplikan tuturan 19
MT: “Pak, tumbas
kae?”
P: “Rasah! Deloken
kae enek banyune
abang. Hiii...
Makanan ini buatnya
bekas cucian orang
nyuci lho dek.”
Intonasi seru
Partikel: lho
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi pada saat
melarang anaknya
untuk jajan..
Tekanan: keras pada
kata rasah.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di depan/ halaman
rumah, pada siang hari.
Penutur laki-laki, bapak berusia 32
tahun. MT laki-laki, anak dari MT,
berusia 3 tahun.
Terdapat penjual jajanan (bakso tusuk)
berhenti di halaman rumah.
MT meminta penutur untuk
membelikan jajanan yang lewat di jalan
dekat rumahnya.
Tujuan: penutur menginginkan agar
MT tidak jajan sembarangan.
Tindak verbal: representatif
Tindak perlokusi: MT tidak jadi jajan.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
memperingatkan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur memperingatkan
MT dengan suara keras,
padahal MT baru berusia 3
tahun.
Penutur memberikan
stimulus/ penegasan kepada
MT dengan kata-kata yang
kurang pantas didengar
anak usia balita.
7. C7 Cuplikan tuturan 20
MT: “Arep nendi?”
P: “Lungo dijak
Bapak.”
MT: “Shalat sek, wes
sarungan ngono kok.”
P: “Wes nyendal
motor galho!” (sambil
berjalan keluar
ruangan).
MT: “Haiyo shalat sek!
Nanggung.”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar dan
bahasa slang pada
kata nyendal.
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
ruang keluarga, pukul 16.30 WIB,
tanggal 28 April 2013.
Penutur laki-laki, adik berusia 12 tahun.
MT laki-laki, kakak berusia 23 tahun.
Penutur sudah memakai sarung hendak
beribadah shalat dzuhur.
MT sedang tiduran di ruang keluarga
sambil menonton televisi.
MT menegur penutur yang tadinya
sudah memakai sarung untuk pergi
shalat malah melepaskannya kembali
karena diajak Bapaknya.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
MT menyuruh penutur
dengan baik
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus..
Penutur menjawab suruhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tujuan: penutur memberitahu kepada
MT bahwa motornya sudah hidup.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT diam saja karena
adiknya susah dinasihati.pergi.
MT dengan ketus dan
sambil berlalu
meninggalkan MT.
Penutur menolak suruhan
MT.
8. C8 Cuplikan tuturan 21
MT: “Tangi-tangi... wes
jam telu!” (menendang-
nendang kaki kakaknya
yang sedang tidur).
P: “Aaassss... minggat
kono!” (melanjutkan
tidurnya).
MT: “Yowes... damuk
kapok mengko.”
Intonasi perintah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
di ruang keluarga pada sore hari sekitar
jam 3 sore, tanggal 28 April 2013.
Penutur laki-laki, kakak berusia 23
tahun. MT laki-laki, adik berusia 12
tahun.
Penutur sedang tidur di ruang keluarga.
MT membangunkan penutur karena
sudah sore dan MT disuruh oleh ibunya
agar membangunkan penutur.
MT membangunkan penutur sambil
menendang-nendang kaki penutur.
Tujuan: penutur menyuruh pergi MT
karena telah mengganggu tidurnya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT pergi.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengusir.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur mengusir MT
dengan suara keras dan
kata-kata kasar.
MT memiliki niat baik
kepada penutur.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras.
merasa penutur marah
kemudian MT pergi begitu
saja.
9. C9 Cuplikan tuturan 22
P: “Arep maem ra
mbah?”
MT: “Yo keno.”
P: “Yo jupuk dewe
mbah, manja!”
Intonasi perintah.
Partikel: yo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
meja makan pada jam makan malam.
Penutur laki-laki, cucu berusia 12
tahun. MT perempuan, nenek berusia
70-80 tahun.
Penutur sedang ingin mengambil
makan malam.
MT sedang menonton televisi.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
memerintah.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Sebelumnya penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penutur menawarkan kepada MT untuk
diambilkan makan sekalian atau tidak.
MT menyetujui tawaran penutur untuk
diambilkan makan malam.
Tujuan: penutur menyuruh MT untuk
mengambil sendiri makanannya,
padahal sebelumnya penutur
menawarkan kepada MT..
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT diam saja.
menawarkan ingin
mengambilkan makan
untuk MT, tetapi penutur
berbalik menyuruh dan
mengejek MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
10. C10 Cuplikan tuturan 23
P: “Kok mung
diturahi sak emprit?”
(nada tinggi).
MT: “Iwak sakmono
kok arep dipakani
sakmono!”
Intonasi tanya.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar dan
bahasa slang pada
kata emprit.
Tuturan ini terjadi di rumah, tepatnya di
dapur pada pagi hari sekitar jam 8.
Penutur perempuan, nenek berusia 70-
80 tahun dan MT laki-laki, cucu dari
penutur, berusia 12 tahun.
Penutur menyuruh MT untuk memberi
makan ikan di kolam yang berada di
samping rumah.
Penutur menyuruh MT untuk
menyisakan separuh pakan ikan yang
diberikan.
MT melaksanakan suruhan penutur.
MT hanya menyisakan sedikit pakan
ikannya.
MT memberikan sisa makanan ikan
tersebut kepada penutur.
Tujuan: penutur bertanya kepada MT.
Tindak verbal: ekspresi.
Tindak perlokusi: MT langsung
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegur.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur kurang terima
dengan tindakan yang
dilakukan MT (hanya
menyisakan sedikit pakan
ikan).
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras.
Penutur berbicara dengan
suara yang keras padahal
MT tidak berada jauh dari
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjawab pertanyaan MT.
11. C11 Cuplikan tuturan 24
P: “Pak, udah cair
belum?”
MT: “Belum.”
Intonasi tanya.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang (sinis).
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
populer dan bahasa
slang cair.
Tuturan terjadi di rumah pukul 09.00
WIB, tanggal 5 Mei 2013.
Penutur laki-laki, anak, berusia 15
tahun. MT laki-laki, bapak dari penutur,
berusia 43 tahun.
MT pernah membuat janji dengan
penutur akan membelikan sesuatu bila
sudah mempunyai uang.
Penutur menagih janji MT.
Tujuan: menagih janji mitra tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
pertanyaan MT.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menagih.
Wujud ketidaksantunan:
penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
Penutur tidak melihat/ tahu
kondisi keuangan MT.
Penutur menagih janji
kepada MT.
12. C12 Cuplikan tuturan 25
P: “Jenggote koyo
kowe, Pak.”
MT: “Kok, kowa-kowe
to, ora pantes.”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
ada sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan terjadi di rumah, tepatnya di
ruang keluarga.
Penutur perempuan, anak. MT laki-laki,
bapak dari MT.
Penutur dan MT sedang menonton
televisi di ruang keluarga.
Tujuan: penutur mengejek MT
(menyamakan MT dengan apa yang
dilihat penutur dalam TV) .
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT memperingatkan
penutur.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menyamakan MT
dengan seseorang yang
berada di TV.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
bercanda.
Penutur menggunakan kata
“kowe” kepada orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih tua (bapak dari
penutur).
13. C13 Cuplikan tuturan 26
P: “Bu, kok masakane
enak temen. Cubo
njenengan cicipi.”
MT: “Kenging nopo,
Pak? Kasinen nopo?”
Intonasi perintah.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: lunak pada
kata Bu.
Diksi: bahasa
nonstandar
Penutur makan di meja makan.
Penutur laki-laki, suami. MT
perempuan, istri dari penutur.
Penutur sedang makan di meja makan.
MT sedang melakukan sesuatu, tetapi
jarak mereka tidak begitu jauh.
Masakan MT kurang berkenan
(keasinan/ kurang asin) bagi penutur.
Tujuan: penutur menanggapi masakan
MT dan menyindir masakan MT,
kemudian penutur menyuruh M T untuk
mencicipi masakannya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
sindiran penutur dengan bertanya.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur menyindir masakan
MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
Sindiran penutur
menggunakan kata-kata
yang halus, tetapi membuat
MT tersinggung.
14. C14 Cuplikan tuturan 27
P: “Adik kok
ditukokke dolanan,
aku ra ditukokke?”
MT: “Jileh nggone
adimu sek wae, durung
ono duwite.”
P: “Emoh!”
MT: “Yo sesuk to le.”
P: “Tenan lo, Bu.”
Intonasi tanya.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah, siang hari
saat kakak pulang sekolah.
Penutur laki-laki, anak. MT perempuan,
ibu dari penutur.
Kakak melihat adiknya mempunyai
mainan baru.
Kakak merasa iri karena adiknya
dibelikan mainan dan dia tidak.
Tujuan: penutur merasa iri dengan MT
karena dibelikan mainan baru dan
penutur ingin dibelikan juga.
Tindak verbal: ekspresif.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur tidak mau kalah
dengan adiknya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: MT menjawab atau
menanggapi pertanyaan penutur.
Penutur merasa MT tidak
adil.
15. C15 Cuplikan tuturan 28
MT: “Mbog tulung kae
nek mamak agek repot
diewangi umbah-
umbah?”
P: “Gemang, jeg
sayah!”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di rumah saat
penutur pulang sekolah.
Penutur perempuan, anak. MT laki-laki,
bapak dari penutur.
MT melihat penutur sedang santai
menonton televisi.
MT melihat istrinya sedang sibuk dan
repot sehingga menyuruh penutur untuk
membantu.
Tujuan: MT menolak suruhan penutur
untuk membantu ibunya yang sedang
repot karena MT sedang capek/ letih.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: penutur memaklumi
keadaan MT.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menolak.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menolak suruhan
MT dengan nada tinggi.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
Penutur sedang santai dan
hanya menonton TV.
16. C16 Cuplikan tuturan 29
P: “Kalo memang
niatnya masih mau
sekolah, Bapak masih
ingin ngragati. Kalo
emang maunya nikah,
bilang aja pengen
nikah. Bapak
nikahke.”
MT: “Lho kok ngono,
Pak!”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar
(campuran antara
bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa).
Tuturan ini terjadi saat di rumah dan
pada saat situasi santai.
Penutur laki-laki, bapak. MT
perempuan berusia 16 tahun, anak dari
penutur.
Penutur menasihati MT menganai
hubungannya dengan lawan jenis
(pacaran).
MT merasa dirinya salah dan sedang
terpojok.
Tujuan: penutur memarahi MT dan
menasihati MT mengenai pendidikan
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menasihati.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur membuat pilihan
yang memojokkan MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Secara tidak langsung
penutur telah menuduh MT
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau pacaran.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
nasihat dari penutur dengan sangkalan.
lebih mementingkan
pacaran daripada sekolah.
17. C17 Cuplikan tuturan 30
P: “Mripatmu ki
ndokke sikel?”
MT: (Diam).
P: “Anake nangis neng
andinge yo mung
meneng wae!”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, suami. MT
perempuan, istri dari penutur.
Penutur melihat anaknya yang belum
genap berusia 1 tahun rewel/ menangis.
MT hanya diam saja, padahal ia tahu
bahwa anaknya sedang menangis.
Penutur marah melihat MT tidak
melakukan tindakan terhadap anaknya.
Tujuan: penutur memarahi MT karena
tidak tanggap dengan keadaan anaknya
yang menangis.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT diam saja karena
MT merupakan orang yang sabar
menghadapi penutur dan MT langsung
berusaha menenangkan anaknya yang
masih bayi.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegur.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara
menggunakan kata-kata
kasar.
Penutur berbicara kepada
istrinya sendiri.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras.
Penutur dalam keadaan
marah.
18. C18 Cuplikan tuturan 31
P: “Makanya kalo
siang itu maen terus
seharian.”
MT: (diam).
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
kata makanya dan
frasa maen terus
Tuturan terjadi di rumah pada malam
hari, saat jam belajar.
Penutur laki-laki, paman. MT laki-laki,
keponakan dari penutur.
Sebelumnya, pada siang hari MT
kerjaannya hanya bermain, tidak tidur
siang.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
keponakannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seharian.
Diksi: bahasa
populer.
Keadaan MT mengantuk sehingga
membuat penutur kesal karena MT
tidak belajar melainkan tidur.
Tujuan: penutur menyindir MT yang
tidak belajar melainkan tidur karena
kecapekan seharian bermain.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT lalu diam atas
tuturan penutur tersebut.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Penutur kesal kepada
keponakannya karena tidak
belajar.
19. C19 Cuplikan tuturan 32
MT: “Mbog le noto
kayu ora teng jlempah.
Nanti kalo ada tamu,
nanti kalo ada orang
lewat, wong omah yo
neng pinggir dalan.”
P: “Karang nggone yo
koyo ngene, rakyo
sesok.”
Intonasi berita.
Partikel: yo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan terjadi di halaman rumah, pada
sore hari.
Penutur perempuan, istri. MT laki-laki,
suami dari penutur.
Di samping rumah terdapat rumah
kayu.
Penutur sedang merapikan kayu bakar.
MT sedang duduk-duduk santai di
depan rumah.
MT mengkomentari tatanan kayu yang
sedang dilakukan penutur.
Tujuan: penutur memberitahu MT
bahwa tempatnya tidak memungkinkan
kemudian menjanjikan untuk dilakukan
besok (tapi entah kapan).
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
suaminya.
Penutur berbicara dengan
nada tinggi dan dalam
keadaan kesal.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Penutur menanggapi tuturan
MT dengan tidak
memperhatikan MT.
20. C20 Cuplikan tuturan 33
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam 4 sore, pada tanggal 20
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: “Sesok nek ono
seng neng kono meneh,
aku tak nang...”
P: “Sesok, nek
ngomongke sesok,
ndag lali!”
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar.
April 2013.
Penutur laki-laki, tamu berusia 41
tahun. MT laki-laki, tuan rumah berusia
42 tahun.
MT menerima 3 tamu yang mempunyai
maksud dan tujuan yang berbeda-beda.
MT sedang berbicara atau
menyampaikan sesuatu kepada salah
satu tamunya (penutur).
Penutur langsung menanggapi tuturan
MT, padahal MT belum selesai
berbicara.
Tujuan: penutur menanggapi tuturan
MT.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT diam saja.
Makna ketidaksantunan:
memperingatkan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tuan rumah.
Penutur berbicara pada saat
MT belum menyelesaikan
tuturannya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
21. C21 Cuplikan tuturan 34
MT: “Monggo le
pengandikan ditutukke.
Aku tak mlaku-mlaku.”
P: “Koe arep nendi?”
MT: “Ealah, iki mau yo
wes tak omongke.”
Intonasi tanya.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tuan rumah berusia
42 tahun. MT laki-laki, tamu berusia 41
tahun.
MT adalah tamu.
MT ingin berpamitan.
Tujuan: penutur bertanya kepada MT,
padahal sebelumnnya MT sudah
memberitahu tujuannya selanjutnya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegur.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tamunya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
Penutur sudah mengetahui
bahwa MT berpamitan dan
tetap menanyainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tuturan penutur dengan jawaban kesal.
22. C22 Cuplikan tuturan 35
P: “Iki le ngenei no hp
kie tenan po etok-
etokan? Nek dibel ra
nyaut blas, disms ra
ono balesi blas.”
MT : “Mburi dewe
piro? Enem belas?”
P: “Payah tenan koe
kie!”
MT: “lha rak kelep to?”
P: “seng keri, lemu
ngenei seng keri!”
MT:” yo ijek yo, aku ra
tau ganti-ganti! Nek
janji siji ra kelep.”
Intonasi tanya
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
frasa ra nyaut blas
dan balesi blas.
Diksi: bahasa
nonstandar
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tuan rumah berusia
42 tahun. MT laki-laki, tamu berusia 41
tahun.
MT adalah tamu, sedangkan penutur
adalah tuan rumah dan di situ masih
terdapat 2 orang tamu lainnya.
MT sudah berpamitan.
Penutur menghambat MT dengan
bertanya.
Tujuan: penutur bertanya kepada MT
mengenai kebenaran nomor handphone
MT yang diberikan kepada penutur dan
penutur mengeluh dengan sikap MT
yang bila disms tidak membalas dan
ditelepon tidak diangkat.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT langsung
menanggapi tuturan penutur dengan
pertanyaan.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Cara penyampaian: kesal.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tamunya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
MT sudah berpamitan dan
sudah berada di halaman
rumah tetapi penutur
menghambatnya dengan
tuturan tersebut.
Penutur tidak percaya
dengan nomor HP yang MT
berikan.
23. C23 Cuplikan tuturan 36
P: “Pergantian
pengurus disms raono
balesi, yowes tinggal
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras pada
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tuan rumah berusia
42 tahun. MT laki-laki, tamu berusia 41
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bali acarane
rampung!”
MT: “Lha iki panggilan
ra terjawab wae ra
krungu.”
P: “Podo aku.”
frasa pergantian
pengurus dan
acarane rampung.
Diksi: bahasa
nonstandar
tahun.
MT adalah tamu, sedangkan penutur
adalah tuan rumah dan di situ masih
terdapat 2 orang tamu lainnya.
Awalnya penutur bertanya mengenai
kepastian nomor handphone MT.
MT beralasan bahwa Hpnya tenggelam,
tetapi nomornya tetap menggunakan
nomor yang dahulu..
Penutur masih tetap kesal.
Tujuan: penutur mengeluhkan sikap
MT yang bila disms tidak membalas,
padahal sedang diadakan rapat
pergantian kepengurusan anggota
nelayan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT beralasan bahwa
sering tidak tahu bila ada telepon
masuk.
Penutur berbicara dengan
tamunya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Penutur merasa kesal
dengan MT.
24. C24 Cuplikan tuturan 37
MT : “Takon seng wes
pengalaman wae. Piro
pak Sujad?”
P: “Yo embuh!”
MT : “Kok embuh,
digenahke iki!”
Intonasi seru.
Partikel: yo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tamu berusia 35
tahun. MT laki-laki, tuan rumah berusia
42 tahun.
Dalam situasi ini penutur dan MT
sedang membahas biaya perbaikan
kapal yang sayapnya patah karena
diterjang ombak.
Jenis ketidaksantunan:
melecehkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tuan rumah.
Penutur menjawab
pertanyaan MT dengan
spontan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT menanyakan anggarannya kepada
penutur.
MT menganggap penutur lebih
berpengalaman.
Tujuan: penutur menjawab pertanyaan
MT.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan kesal.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
MT yakin bahwa penutur
mengerahui apa yang
ditanyakan MT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGHILANGKAN MUKA
NO. KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. D1 Cuplikan tuturan 38
MT: “Wes masak
durung, Bu?”
P: “Mboten masak,
wong wingi
dimasakke yo
mboten kepangan
kok!”
Intonasi berita.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: lunak.
Partikel: kok dan yo.
Diksi: bahasa
nonstandar.
Tuturan ini terjadi di rumah saat MT
pulang bekerja dan merasa lapar,
kemudian MT bertanya kepada penutur
sudah masak atau belum.
Penutur perempuan, istri. MT laki-laki,
suami dari MT.
Penutur sedang bercengkrama dengan
tetangganya di depan rumah.
Tujuan: penutur memberitahu MT
bahwa ia tidak memasak dan menyindir
MT.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT merasa malu
karena terdapat orang lain yang
mendengarnya, kemudian MT
menanggapi penutur.
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
suaminya.
Penutur menyindir MT di
depan tetangganya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
Walaupun nada tutur yang
digunakan penutur halus
tetapi membuat MT malu.
2. D2 Cuplikan tuturan 39
P: “Nih kamu gak
naik kelas! Gak malu
apa sama yang lain?
Besok lagi yang rajin
belajarnya agar naik
Intonasi seru.
Nada tutur: MT
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
Tuturan terjadi di halaman rumah.
Penutur laki-laki, bapak. MT laki-laki,
anak dari penutur.
Penutur pulang dari sekolah mengambil
raport anaknya.
Tuturan ini terjadi saat penutur, MT,
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka. Makna ketidaksantunan:
memperingatkan. Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara dengan
MT di depan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelas. Kalo gak naik
kelas lagi mesti kamu
mung diisin-isin karo
konco-koncomu.”
nonstandar (bahasa
Jawa dan bahasa tidak
baku).
dan orang ketiga sedang bercakap-
cakap membahas nilai MT.
Tuturan ini terjadi di rumah.
Tujuan: penutur menasihati anaknya
yang tidak naik kelas di hadapan orang
ketiga (ibunya).
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT merasa malu dan
hanya diam saja sambil menundukkan
kepala.
Penutur menakut-nakuti
MT bila tidak naik kelas
lagi.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
halus. MT merasa kehilangan
muka karena dipermalukan
di depan orang lain.
3. D3 Cuplikan tuturan 40
P: “Koyo adimu kae
lho iso ngopo-ngopo,
koe kok tura-turu
wae.”
MT: “Joni kae rak
tritikan ngene-ngene
mesti pengen.”
Intonasi berita.
Kata fatis: lho, kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, bapak. MT laki-laki,
anak berusia 21 tahun.
MT sedang tiduran dan menonton
televisi.
Penutur dan orang ketiga (adik MT)
akan pergi bekerja karena pada saat itu
merupakan hari libur.
Penutur membandingkan MT dengan
orang ketiga dihadapan orang ketiga.
Tujuan: penutur menyindir MT karena
tidak mau membantu bapaknya bekerja,
penutur mambandingkan MT dengan
orang ketiga yang rajin membantu
orang tua.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan sanggahan.
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan: Penutur membandingkan
MT dengan adik MT. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Penutur membandingkan
MT di depan orang lain. MT merasa dirinya
kehilangan muka akibat
tuturan dari penutur.
4. D4 Cuplikan tuturan 41 Intonasi berita. Tuturan ini terjadi pada saat kumpulan Jenis ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: “ Habis
kumpulan dari
kabupaten, ini monggo
dicakke.”
P: “Wah, opo-opo
dinas... opo-opo
dinas...”
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
nelayan yang dihadiri oleh nelayan-
nelayan pantai congot.
Penutur laki-laki, nelayan. MT laki-
laki, ketua nelayan salah satu pantai di
Kulonprogo.
MT sedang mengumumkan hasil rapat
dari Kabupaten mengenai perintah
kerja/ pelatihan kerja.
Penutur merasa bahwa MT selalu patuh
terhadap dinas
Tujuan: penutur menyindir MT yang
selalu taat/ patuh kepada dinas.
. Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT langsung
menanggapi penutur, walaupun begitu
MT merasa dirinya dipermalukan di
depan rekan-rekan nelayan.
Menghilangkan muka. Makna ketidaksantunan:
menyindir.
Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara dengan
ketua nelayan salah satu
pantai di KP.
Penutur kesal kepada MT
yang selalu patuh kepada
dinas.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras. Penutur berbicara dengan
nada keras kepada MT di
hadapan nelayan-nelayan
lainnya.
MT merasa tidak dihargai
dan kehilangan muka oleh
tuturan dari penutur
5. D5 Cuplikan tuturan 42
P: ”Makanya kalo
kamu itu mau
belajar ya belajar,
gag belajar cuman
maen.”
Intonasi berita.
Partikel: ya.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa populer.
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, paman. MT laki-laki,
keponakan dari penutur.
MT mendapat nilai jelek, hal ini
berbanding terbalik dengan keponakan
penutur.
MT merupakan keponakan istri yang
tinggal bersama penutur.
Dalam situasi ini terdapat orang ketiga
yakni, istri dan keponakan penutur.
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menegur.
Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara menegur
MT di hadapan orang lain. Penutur mengomentari nilai
buruk yang didapat
keponakan istrinya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tujuan: penutur menasihati MT yang
mendapat nilai jelek, secara tersirat
penutur juga menyindir dan
membandingkan MT dengan
keponakannya yang mendapatkan nilai
baik.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT hanya diam saja.
kesal. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal. Penutur kecewa terhadap
MT. MT merasa dirinya
kehilangan muka karena
tuturan tersebut
disampaikan di depan orang
lain.
6. D6 Cuplikan tuturan 43
P: “Gampang nek
mung kur ngono.
Solusino piro
anggarane sayap?
Ngertimu piro?”
MT: ”Rung ngerti
aku.”
P: “Halah... Nelayan
seprono-seprene
gaweane kok muni ra
ngerti!”
Intonasi seru.
Kata fatis: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tamu berusia 41
tahun. MT laki-laki, tuan rumah
sekaligus ketua nelayan berusia 42
tahun.
Dalam situasi ini penutur dan MT
sedang membahas biaya perbaikan
kapal yang sayapnya patah karena
diterjang ombak.
Sebelumnya penutur bertanya kepada
MT mengenai anggaran perbaikan
sayap kapal, tetapi pertanyaan tersebut
bernadakan hanya menguji pengetahuan
MT.
MT menjawab pertanyaan tersebut
(belum tahu aku).
Tujuan: penutur mengejek MT yang
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tuan rumah sekaligus ketua
nelayan pantai setempat.
Penutur berbicara dengan
MT di hadapan tamu lain.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
MT merasa kehilangan
muka dengan tuturan
tersebut sehingga
mengalihkan pertanyaan
kepada orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sudah menjadi nelayan senior tetapi
tidak tahu berapa anggaran sayap kapal.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT menimpali
pertanyaan tersebut kepada tamunya
yang lain yang merupakan seorang
nelayan berpengalaman juga.
7. D7 Cuplikan tuturan 44
P: “Tak inggoni
pitmu motor mas,
koe nek nulisi ora
ngono kae! Tulisi ojo
dumeh...”
MT2: “Diwarai mas.”
P: “Ojo dumeh koe kie
sugeh, ojo dumeh koe
kie waras, wong sak
lapangan sewengi ra
rampung-rampung nek
ojo dumeh, ojo dumeh
koe ki ayu, aku yo
iso.”
MT2: (sambil
menyela) “iya...aaa...
iya...aaa...”
Intonasi perintah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tamu berusia 41
tahun. MT laki-laki, tamu berusia 23
tahun.
Penutur sudah berpamitan ingin pulang.
Penutur berada di halaman rumah dan
berada di smaping motornya.
Di samping motor penutur terdapat
motor MT.
Penutur mengomentari tulisan atau
stiker yang ada di motor MT.
MT berada di teras rumah beserta 2
orang lainnya.
Tujuan: penutur mengomentari tulisan
yang ada di motor MT.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: MT hanya tersenyum
karena malu.
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tamu yang baru ia kenal
pada saat itu.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
bercanda.
Penutur berbicara di
hadapan tuan rumah dan
tamu lain, tuturan penutur
bermaksud untuk mengejek
MT.
MT merasa kehilangan
muka sehingga ia hanya
diam saja dan sedikit
tersenyum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8. D8 Cuplikan tuturan 45
P: “Monggo mas?”
MT: “Nggeh Pak.”
P: “Nyuwun
ngapunten nggeh, ha
kok njenengan
meneng wae.”
Intonasi berita.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di teras rumah
sekitar jam setengah 5 sore, pada
tanggal 20 April 2013.
Penutur laki-laki, tamu berusia 41
tahun. MT laki-laki, tamu berusia 23
tahun.
Sebelumnya penutur berpamitan dan
MT meanggapi tuturan penuutur.
Penutur berada di halaman rumah,
sedangkan MT berada di teras rumah
bersama 2 orang lainnya.
Tujuan: penutur mengejek MT yang
tadi hanya diam saja karena motornya
dikomentari oleh penutur.
Tindak verbal: eksprsif.
Tindak perlokusi: MT hanya tersenyum
karena malu.
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
mengejek.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
tamu yang baru ia kenal
pada saat itu.
Penutur berbicara di
hadapan tuan rumah dan
tamu lain.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
bercanda.
Tuturan penutur bermaksud
untuk mengejek M.
MT merasa kehilangan
muka sehingga ia hanya
sedikit tersenyum.
9. D9 Cuplikan tuturan 46
P: “Ayo neng pasar,
tukokke mobil-
mobilan.”
MT: “Sesok yo le.”
P: “Wah bapak kie
pelit, ngene-ngene ra
oleh!”
MT: “Bapak durung
due duit le.”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, anak berusia 6 tahun.
MT laki-laki, bapak dari penutur
berusia 33 tahun.
Awalnya penutur bermain bersama
teman-temannya.
Penutur meminta mainan seperti milik
temannya kepada MT.
MT menolak karena uangnya dipakai
untuk hal yang lebih penting terlebih
dahulu dan MT memberi penawaran
Jenis ketidaksantunan:
Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:
menyinggung.
Cara penyampaian: kesal.
Wujud ketidaksantunan:
penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara kepada
MT dihadapan teman-teman
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepada penutur untuk lebih sabar, pasti
besok akan dibelikan.
Tujuan: penutur menuduh MT pelit
karena tidak dibelikan mainan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlukosi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan malu dan
mengakui kalau penutur belum
mempunyai uang.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
Penutur menuduh MT pelit.
MT merasa kehilangan
muka karena tuturan
tersebut disampaikan di
depan orang lain (teman-
teman penutur).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENIMBULKAN KONFLIK
NO. KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. E1 Cuplikan tuturan 47
MT: “Haduh, Bu.
Dino iki ra oleh opo-
opo, Bu.”
P: “Itu kan
tanggungjawab
suami.”
MT: “Wolha kurang
ajar.”
Intonasi berita.
Kata fatis: kan.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa populer.
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur perempuan, istri. MT laki-laki,
suami dari penuutur, berusia 43 tahun.
Tuturan ini terjadi saat penutur dan MT
sedang bercakap-cakap dan
disampaikan secara ngelantur.
Penutur tidak memperhatikan keadaan
MT saat menyampaikan tuturannya.
MT sedang dalam keadaan letih
sepulang dari bekerja.
Tujuan: penutur memberitahu MT
bahwa mencari nafkah merupakan
tanggung jawab MT.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT tidak terima
dengan tuturan penutur, sehingga MT
menanggapi tuturan penutur dengan
kata-kata kasar.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik.
Makna ketidaksantunan:
menyinggung.
Wujud ketidaksantunan:
penutur berbicara dengan
suaminya.
Penutur berbicara tanpa
berpikir (ngelantur/ ceplas-
ceplos).
Penutur berbicara dengan
cara ketus.
MT menanggapi tuturan
penutur dengan kata-kata
kasar sehingga
menimbulkan konflik.
2. E2 Cuplikan tuturan 48
MT: “Itu kan
tanggungjawab
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
Tuturan terjadi di halaman rumah.
Penutur laki-laki, suami berusia 43
tahun. MT perempuan, istri dari
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
mengumpat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
suami.”
P: “Wo lha kurang
ajar! Asu cenan.”
MT: “Huuusss...
Omongane, Pak.”
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
penutur.
Tuturan ini terjadi saat penutur dan MT
sedang bercakap-cakap dan
disampaikan secara ngelantur.
penutur menanggapi tuturan MT yang
kurang berkenan bagi penutur.
penutur sedang dalam keadaan letih
sepulang kerja.
Tujuan: penutur menanggapi tuturan
MT yang kurang berkenan di hati
penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan peringatan.
Wujud ketidaksantunan: penutur berbicara kasar
kepada istrinya.
penutur berbicara tanpa
berpikir (ceplas-ceplos).
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan keras.
MT merasa tidak terima
dengan tuturan penutur
sehingga MT memberi
peringatan kepada penutur.
3. E3 Cuplikan tuturan 49
P: “Mbog le noto
kayu ora teng
jlempah. Nanti kalo
ada tamu, nanti kalo
ada orang lewat.
Wong omah yo neng
pinggir dalan.”
MT: “Karang nggone
yo koyo ngene, rakyo
sesok!”
P: “Welha...malah
nesu.”
Intonasi berita.
Partikel: yo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: lunak.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa)
Tuturan terjadi di halaman rumah pada
sore hari.
Penutur laki-laki, suami. MT
perempuan, istri.
Rumah kayu berada di samping rumah.
Penutur menegur istri untuk merapikan
tatanan kayunya, karena rumah
kayunya berada di samping rumah,
sekaligus di pinggir jalan.
Tuturan terjadi pada saat MT sedang
merapikan kayu dan penutur sedang
duduk-duduk di depan rumah.
Tuturan terjadi di halaman rumah.
Tujuan: penutur menyindir sekaligus
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
menegur. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
istrinya. Penutur menegur MT yang
sedang sibuk menata kayu
tetapi penutur hanya duduk
santai di teras rumah. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
sinis.
Tuturan penutur sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menegur MT untuk merapikan tatanan
kayunya.
Tindak verbal:direktif.
Tindak perlokusi: MT tetap
melanjutkan merapikan kayunya
sambil menanggapi tuturan dari penutur
dengan sanggahan.
sembrono karena tidak
melihat apa yang dilakukan
MT dan apa yang dilakukan
penutur. MT merasa dirinya
disalahkan sedangkan
penutur tidak melakukan
apa-apa. MT meyanggah tuturan
penutur sehingga terjadi adu
mulut.
4. E4 Cuplikan tuturan 50
P: “Ngematke
matane, bawal ko
ngene kok dianggep
BS.”
MT: “Njajal ayo
ditakokke ro liyane iki
BS po ora?”
Intonasi berita.
Partikel: kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa) dan penggunaan
jargon.
Tuturan ini terjadi di TPI (tempat
pelelangan ikan).
Penutur laki-laki, nelayan. MT laki-
laki, nelayan.
Para nelayan sedang mengelompokkan
ikan bawal.
Tujuan: penutur memberitahu kepada
MT bahwa bawalnya bukan BS.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT langsung
menanggapi penutur dengan cara
penyampaian yang ketus.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara dengan
nelayan lainnya. Penutur berbicara kasar
dengan orang lain. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras. Tuturan penutur
menyebabkan terjadi adu
argumen antar nelayan yang
berada di sana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. E5 Cuplikan tuturan 51
MT: (menangis)
P: “Ayo... iso
meneng ora!”
(digeblek atau
dipukul).
Intonasi perintah.
Kata fatis: ayo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan terjadi di halaman rumah,
Penutur laki-laki, bapak berusia 34
tahun. MT laki-laki, anak dari penutur,
berusia 6 tahun.
Tuturan terjadi pada saat MT sedang
nangis di rumah.
Penutur pulang bekerja dengan keadaan
yang letih.
Penutur tersulut emosinya karena
anaknya rewel terus-terusan.
Tujuan: penutur menyuruh anaknya
untuk tidak rewel lagi, tetapi disertai
dengan pukulan kecil (istilah Jawa
digeblek).
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT melakukan apa
yang diperintah penutur, tetapi terdapat
orang ketiga, yakni istrinya yang marah
kepada penutur.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
mengancam. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
anaknya.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
keras.
Penutur bermain tangan
dengan memukul MT.
Tindakan penutur membuat
MT2 tidak terima.
MT2 marah kepada
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. E6 Cuplikan tuturan 52
MT: “Banyune ki jek
banter kae!”
P: “Alaah Mboook,
mbog rasah
gemrumung!! Ijek
banter mau bengi.
Kui yo wes tak
akonke uwong.”
MT: “Ha iyo gek
didandani!”
Intonasi berita.
Partikel: yo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi pada saat penutur
berada di dalam rumah dan MT berada
di luar rumah hendak mengambil
wudhu.
Tuturan ini terjadi pada saat jam shalat
maghrib.
Penutur perempuan, anak berusia 36
tahun. MT perempuan, nenek/ ibu dari
penutur, berusia 70-80 tahun.
MT memberitahu bahwa pralon airnya
masih bocor.
Penutur merasa emosi karena MT
dianggap selalu cerewet.
Tujuan: memberitahu MT bahwa
penutur sudah tahu dan sudah berusaha
menyuruh orang untuk memperbaiki
pralon tresebut.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT menanggapi
tuturan penutur dengan nada tinggi
juga.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
menegaskan. Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara dengan
suara yang keras kepada
MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal dan keras. MT merasa tidak terima
karena suara penutur
dianggap terlalu kasar dan
keras sehingga MT
menimpali dengan nada
yang tinggi pula.
7. E7 Cuplikan tuturan 53
MT: “Ayo ngewangi
bapak!”
P: “Gak mau!”
MT: “ Koe nek ra
ngewangi bapak, trus
sopo seng arep
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa populer,
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur laki-laki, anak berumur 16
tahun. MT laki-laki, bapak dari penutur.
Penutur menolak ajakan bapaknya
untuk membantu pekerjaannya.
MT merasa tersinggung kemudian
memarahinya.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
menolak. Wujud ketidaksantunan: Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
Penutur menolak ajakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
biayani” Tujuan: penutur menolak ajakan
bapaknya untuk membantunya dalam
bekerja.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT memarahi
penutur.
MT dengan spontan
menjawabnya. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
MT merasa penutur tidak
patuh terhadapnya dan
kemudian memarahinya.
8. E8 Cuplikan tuturan 54
MT: “Tipine dipindah,
Mas?”
P: “Wegah!”
MT: (Berlari mencari
orang tua dan minta
untuk digendong).
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
sedang.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di ruang keluarga.
Penutur laki-laki, kakak berusia 6
tahun. MT laki-laki, adik berusia 3
tahun.
Penutur dan MT sedang asik menonton
salah satu acara televisi.
MT merasa bahwa ia tidak menyukai
acara televisi yang sedang mereka
tonton.
MT menyuruh penutur untuk
mengganti channel/ acara televisi
tersebut.
Penutur menolak perintah dari MT
karena ia menyukai acara televisi
tersebut.
Terdapat orang ketiga yang nantinya
memarahi penutur karena tindakannya
terhadap MT.
Tujuan: penutur menolak suruhan MT
untuk mengganti channel/ acara di
televisi.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik. Makna ketidaksantunan:
menolak. Wujud ketidaksantunan:
penutur tidak mau
mengalah dengan MT.
Penutur menjawab suruhan
MT dengan spontan sambil
mempertahankan remote
TV-nya dari MT. Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
ketus.
MT tidak terima dan
memanggil MT2
(bapaknya), MT2 memarahi
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tidak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: MT pergi mencari
orang ketiga (bapak), kemudian orang
ketiga memarahi penutur.
9. E9 Cuplikan tuturan 55
P: “Iki nggonaku,
udu nggonamu iki!”
MT: ”Ra wae!
Nggonku kok.”
P: “Nggonku!”
Intonasi seru.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan nada
tinggi.
Tekanan: keras.
Diksi: bahasa
nonstandar (bahasa
Jawa).
Tuturan ini terjadi di rumah.
Penutur adalah laki-laki, kakak berusia
10 tahun. MT laki-laki, adik penutur
berusia 6 tahun.
Penutur dan MT berebut mainan.
Tujuan: penutur merebut mainan dari
adiknya yang sedang bermain dan
menyatakan bahwa mainan itu
miliknya.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT merebut kembali
mainan tersebut dari tangan penutur,
hingga akhirnya mereka berdua saling
berebut.
Jenis ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik.
Makna ketidaksantunan:
menegaskan.
Wujud ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
MT sambil merebut mainan
MT.
Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara
kesal.
MT tidak mau kalah
sehingga mainan tersebut
direbut kembali.
Penutur dan MT berebut
mainan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PARAMETER PENENTU KETIDAKSANTUNAN
No
Kategori
ketidaksantunan
Lingual Nonlingual Contoh
cuplikan
tuturan Nada Kata
fatis
Into-
nasi
Tekan-
an
Diksi Penutur
dan
lawan
tutur
Situasi
tutur
Tujuan
tuturan
Waktu
dan
tempat
Tindak
verbal
dan
tindak
perlokusi
1. Melanggar norma Tuturan
dikata-
kan
dengan
nada
sedang.
Tidak
ditemu
kan
kata
fatis
dalam
kategor
i ini.
Intonasi
yang
digunak
an ada-
lah
intonasi
berita
Tuturan
ditekank
an
dengan
tekanan
keras.
Diksi
yang
digunaka
n adalah
bahasa
nonstan-
dar
(bahasa
Jawa).
Orang yang
terlibat
dalam
tuturan
kategori ini
bisa siapa
saja yang
terlibat
dalam
komunikasi
dan yang
melanggar
aturan.
Situasi
terjadinya
tuturan
adalah
situasi
santai.
Menolak
atau
menunda
tuturan
lawan
tutur yang
menyuruh
nya untuk
melakukan
tugasnya.
Waktu
terjadiny
a tuturan
bisa
kapan
saja.
Tempat
terjadiny
a tuturan
bisa
dimana
saja.
Tindak
verbal:
representa
-tif dan
komisif.
Tindak
perlokusi:
melakukan
sesuatu
sehingga
penutur
melakukan
tugasnya.
MT: “Bel-
ajar sek le.
Ayo TVne
dipateni,
PRe geg
ndang
digarap!”
P: “Meng-
ko sek,
Pak!”
MT: (lang-
sung
mematikan
televisi).
2. Mengancam muka
sepihak
Tuturan
dikata-
kan
dengan
nada
sedang.
Tidak
ditemu
kan
kata
fatis
dalam
kategor
i ini.
Intonasi
yang
digunak
an ada-
lah
intonasi
berita
dan
Tuturan
ditekank
an
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Diksi
yang
digunaka
n adalah
bahasa
nonstan-
dar
(bahasa
Orang yang
terlibat
dalam
tuturan
kategori ini
bisa siapa
saja dalam
anggota
Tuturan
dalam
kategori
ini dapat
terjadi
dalam
situasi
santai dan
Menangga
pi tuturan
lawan
tutur.
Waktu
terjadiny
a tuturan
bisa
kapan
saja.
Tempat
terjadiny
Tindak
verbal:
representa
-tif,
ekspresif,
dan
komisif.
Tindak
P: “Sinau
barang!”
(Menyengg
ol
adiknya).
MT:
“Ngopo to?
Ganggu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seru. Jawa),
slang,
dan
artifisial.
keluarga
yang
terlibat
komunikasi.
serius. a tuturan
bisa
dimana
saja.
perlokusi:
menangga
pi tuturan
penutur
dengan
kesal/
tersinggun
g, tetapi
tidak
disadari
oleh
penutur.
wae.”
P: (Tidak
menghirauk
an dan pergi
begitu saja).
3. Melecehkan muka Tuturan
dikata-
kan
dengan
nada
tinggi
dan
sedang.
Terda-
pat kata
fatis
kok, ya,
dan lho.
Intonasi
yang
digunak
an ada-
lah
intonasi
berita,
perinta
h, dan
seru.
Tuturan
ditekan-
kan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Diksi
yang
digunaka
n adalah
bahasa
nonstan-
dar
(bahasa
Jawa).
Orang yang
terlibat
dalam
tuturan
kategori ini
bisa siapa
saja dalam
anggota
keluarga
yang
terlibat
komunikasi.
Tuturan
ini dapat
terjadi
dalam
berbagai
suasana,
baik santai
maupun
serius.
Menangga
pi tuturan
lawan
tutur.
Waktu
terjadiny
a tuturan
bisa
kapan
saja.
Tempat
terjadiny
a tuturan
bisa
dimana
saja.
Tindak
verbal:
ekspresif,
represen-
tatif,
direktif,
dan
komisif.
Tindak
perlokusi:
lawan
tutur diam
saja atau
lawan
tutur
menangga
pi penutur
karena ia
MT:
“Tangi-
tangi... wes
jam telu!”
(menendang
-nendang
kaki
kakaknya
yang sedang
tidur).
P:
“Aaassss...
minggat
kono!”
(melanjutk
an
tidurnya).
MT: “Yo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merasa
kesal
dengan
penutur.
wes...
damuk
kapok
mengko.”
4. Menghilangkan
muka
Tuturan
dikata-
kan
dengan
nada
sedang
dan
tinggi.
Terda-
pat kata
fatis
kok dan
ya.
Intonasi
yang
diguna-
kan
adalah
intonasi
berita
dan
seru.
Tuturan
ditekan-
kan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Diksi
yang
digunaka
n adalah
bahasa
nonstan-
dar
(bahasa
Jawa)
dan
bahasa
populer.
Orang yang
terlibat
dalam
tuturan
kategori ini
bisa siapa
saja dalam
anggota
keluarga
yang
terlibat
komunikasi
Tuturan
ini dapap
tejadi
dalam
suasana
yang
santai dan
serius.
Menangga
pi tuturan
lawan
tutur.
Waktu
terjadiny
a tuturan
bisa
kapan
saja.
Tempat
terjadiny
a tuturan
bisa
dimana
saja.
Tindak
verbal:
ekspresif.
Tindak
perlokusi:
menangga
pi tuturan
penutur
karena
dirinya
merasa
dipermalu
kan atau
telah
kehilangan
muka.
MT: “Habis
kumpulan
dari
kabupaten,
ini monggo
dicakke.”
P: “Wah,
opo-opo
dinas...
opo-opo
dinas...”
5. Menimbulkan
muka
Tuturan
dikata-
kan
dengan
nada
tinggi
dan
sedang.
Terda-
pat kata
fatis yo
(ya).
Intonasi
yang
diguna-
kan
adalah
intonasi
seru
dan
tanya.
Tuturan
ditekan-
kan
dengan
tekanan
keras.
Diksi
yang
digunaka
n adalah
bahasa
nonstan-
dar
(bahasa
Jawa).
Orang yang
terlibat
dalam
tuturan
kategori ini
bisa siapa
saja dalam
anggota
keluarga
yang
Tuturan
ini dapap
tejadi
dalam
suasana
yang
santai dan
serius
Menangga
pi tuturan
lawan
tutur.
Waktu
terjadiny
a tuturan
bisa
kapan
saja.
Tempat
terjadiny
a tuturan
bisa
Tindak
verbal:
ekspresif,
komisif,
dan repre-
sentatif.
Tindak
perlokusi:
menangga
pi tuturan
P:
“Ngematke
matane,
bawal ko
ngene kok
dianggep
BS.”
MT: “Njajal
ayo
ditakokke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terlibat
komunikasi
dimana
saja.
penutur
dengan
suasana
hati yang
emosi,
biasanya
hingga
terjadi adu
mulut atau
bertengkar
.
ro liyane iki
BS po ora?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INSTRUMEN MAKSUD TUTURAN KETIDAKSANTUNAN
No Jenis/ Kategori Makna/
Subkategori
Kode Tuturan Maksud Penutur
1. Melanggar norma Menegaskan A1 Enggak! Berbohong
A2 Yoben... Wong arep ngaji kok ra oleh. Membela diri
Menunda A3 Mengko sek, Pak! Menunda
A4 Mengko Pak! Filme jek apik kie. Menunda
2. Mengancam muka
sepihak
Mengejek B1 Sinau barang! (Menyenggol adiknya). Menggoda
B8 Iya... aaa... iya... aaa... (bernada seperti nada tertawa). Mengejek
B9 Resiko! Mengejek
Menunda B2 Mengko ahh... (Melanjutkan tidurnya). Menghindar
Menegaskan B3 Cah enom kok yahene turu, Bu. Membela diri
B4 Iki lagek nen dalan. (padahal masih di lokasi). Berbohong
B6 (menginjak kaki kakaknya) Walah... kepidak... Mengejek
B7 Timbangane ra dibuang mah mung marakke penyakit. Membela diri
Menolak B5 Wegah, males! Menolak
3. Melecehkan muka Memerintah C1 Nyoh tak kei duwit geg ndang lungo o. Rasah ganggu Bapak
Ibu sek, lagek nyambut gawe!
Mengusir
C2 Alaaah... jupuk dewe, Pak! Menolak
C9 Yo jupuk dewe mbah, manja! Malas
Menyindir C3 Cah gede kok jeh do gelud. Menyindir
C13 Bu, kok masakane enak temen. Cubo njenengan cicipi. Menyindir
C18 Makanya kalo siang itu maen terus seharian. Kesal
C22 Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-etokkan? Nek dibel ra
nyaut blas, disms ra ono balesi blas.
Kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C23 Pergantian pengurus disms raono balesi, yowes tinggal bali
acarane rampung!
Kesal
Menolak C4 Emoh! Malas
C15 Gemang, jeg sayah! Menolak
Mengancam C5 Kalo gak mau makan, kamu gag boleh pergi sama dia
(temannya)!
Memaksa
Memperingatkan C6 Rasah! Deloken kae enek banyune abang. Hiii... Makanan ini
buatnya bekas cucian orang nyuci lho dek.
Menakut-nakuti
C20 Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali! Kesal
Menegaskan C7 Wes nyendal motor galho!” (sambil berjalan keluar ruangan). Membela diri
C14 Adik kok ditukokke dolanan, q ra ditukokke? Kesal
C19 Karang nggone yo koyo ngene, rakyo sesok. Membela diri
C24 Yo embuh! Berbohong
Mengusir C8 Aaassss... minggat kono!” (melanjutkan tidurnya). Mengusir
Menegur C10 Kok mung diturahi sak emprit? (nada tinggi). Kecewa
C17 Mripatmu ki ndokke sikel? Kesal
C21 Koe arep nendi? Menggoda
Menagih C11 Pak, udah cair belum? Menagih
Mengejek C12 Jenggote koyo kowe, Pak. Mengejek
Menasihati C16 Kalo memang niatnya masih mau sekolah, Bapak masih ingin
ngragati. Kalo emang maunya nikah, bilang aja pengen nikah.
Bapak nikahke.
Memarahi
4. Menghilangkan
muka
Menyindir D1 Mboten masak, wong wingi dimasakke yo mboten kepangan
kok!
Kesal
D3 Koyo adimu kae lho iso ngoopo-ngopo, koe kok tura-turu Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wae.
D4 Wah, opo-opo dinas... opo-opo dinas... Kecewa
Menegur D2 Nih kamu gak naik kelas! Gak malu apa sama yang lain?
Besok lagi yang rajin belajarnya agar naik kelas. Kalo gak
naik kelas lagi mesti kamu mung diisin-isin karo konco-
koncomu.
Memarahi
D5 Makanya kalo kamu itu mau belajar ya belajar, gag belajar
cuman maen.
Menasihati
Mengejek D6 Halah... Nelayan seprono-seprene gaweane kok muni ra
ngerti!
Mengejek
D7 Tak inggoni pitmu motor mas, koe nek nulisi ora ngono kae!
Tulisi ojo dumeh...
Menggoda
D8 Nyuwun ngapunten nggeh, ha kok njenengan meneng wae. Menggoda
Menyinggung D9 Wah bapak kie pelit, ngene-ngene ra oleh! Kesal
5. Menimbulkan
konflik
Menyinggung E1 Itu kan tanggungjawab suami. Kecewa
Mengumpat E2 Wolha kurang ajar! Asu cenan. Kesal
Menegur E3 Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Nanti kalo ada tamu,
nanti kalo ada orang lewat. Wong omah yo neng pinggir
dalan.
Memberitahu
Menegaskan E4 Ngematke matane, bawal ko ngene kok dianggep BS. Memberitahu
E9 Iki nggonaku, udu nggonamu iki! Kesal
E6 Alaah Mbok, mbok rasah gemrumung!! Ijek banter mau
bengi. Kui yo wes tak akonke uwong.
Kesal
Mengancam E5 Ayo... iso meneng ora! (digeblek atau dipukul). Kesal
Menolak E7 Gak mau! Menolak
E8 Wegah! Menolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
KUESIONER PENELITIAN KETIDAKSANTUNAN DALAM
BERBAHASA
A. Pertanyaan Kasus/Situasi untuk Orang Tua dalam Relasi dengan
Anggota Keluarga
PETUNJUK:
Tulislah bentuk kebahasaan yang akan Anda gunakan sebagai respons Anda
terhadap situasi-situasi berikut dengan sejujurnya (pertanyaan disesuaikan
dengan situasi dalam keluarga)!
Situasi 1:
Keluarga Anda memiliki jam belajar pukul 20.00 WIB. Ketika waktu
menunjukkan pukul 20.00 WIB, anak Anda belum juga belajar, tetapi justru
masih menonton televisi. Apa yang akan Anda katakan untuk
memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 2:
Saat Anda menasihati anak Anda ketika terlibat perkelahian di sekolah, anak
Anda justru memainkan handphone dan tidak memperdulikan nasihat Anda.
Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 3:
Ketika Anda sedang menerima telepon dari teman, anak Anda menghidupkan
musik dengan volume yang keras dan tidak menyadari bahwa hal itu
mengganggu percakapan Anda. Apa yang akan Anda katakan untuk
memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
Situasi 4:
Ketika sedang menonton sebuah acara televisi favorit Anda, tiba-tiba anak
Anda mengganti saluran televesi tersebut tanpa meminta izin dari Anda. Apa
yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 5:
Keluarga Anda membuat kesepakatan jam malam untuk anak Anda sampai
pukul 22.00 WIB. Suatu malam, anak Anda pulang melampaui jam yang
telah disepakati. Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak
Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
B. Pertanyaan Kasus/Situasi untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan
Orang Tua
PETUNJUK:
Tulislah bentuk kebahasaan yang akan Anda gunakan sebagai respons
Anda terhadap situasi-situasi berikut dengan sejujurnya (pertanyaan
disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
Situasi 1:
Anda meminta supaya dibelikan handphone baru karena handphone lama
Anda sudah ketinggalan zaman. Anda sudah meminta berulang kali, tetapi
belum juga dibelikan. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 2:
Anda dipaksa oleh ibu Anda untuk membeli sayur di pasar, padahal Anda
tidak suka berbelanja di pasar. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi
seperti ini?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 3:
Anda diajak teman-teman keluar rumah pada malam hari. Namun, orang tua
tidak mengizikinkan Anda untuk pergi. Apa yang akan Anda katakan kepada
orang tua Anda di depan teman-teman Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 4:
Ketika Anda pulang sekolah dan merasa lapar, tidak ada makanan di rumah.
Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 5:
Ketika Anda sedang dimarahi oleh orang tua karena Anda dianggap pergi
tanpa seizin mereka, padahal Anda merasa sudah meminta izin kepada orang
tua Anda. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?
Respons Anda:
---------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian Maksud Penutur
Kode Tuturan :
1. Lokasi :
2. Suasana :
3. Keadaan emosi :
4. Identitas penutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
5. Identitas lawan tutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
6. Tanggal percakapan :
7. Waktu percakapan :
Tuturan:----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
Maksud:----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
A. Daftar Pertanyaan untuk Orang Tua dalam Relasi dengan Anggota
Keluarga
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
perempuan Anda yang sudah cukup dewasa belum bisa memasak atau
anak lelaki Anda yang sudah cukup dewasa hanya bermalas-malasan di
rumah? (melecehkan muka)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
2. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda ketika
anak Anda menjawab sekenanya dan terkesan acuh saat Anda memberikan
nasihat? (menimbulkan konflik)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
3. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sudah kuliah semester 12 belum lulus atau anak Anda yang
masih bersekolah tidak naik kelas jika situasinya sedang ada pertemuan
keluarga? (menghilangkan muka)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
4. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sedang membersikan rumah tanpa sengaja mengganggu
aktivitas Anda (misalnya menulis, membaca, atau menonton televisi)?
(mengancam muka sepihak)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
------------------------------------------------------------------------------------------
5. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda terlambat pulang ke rumah tanpa alasan yang jelas, padahal sudah
disepakati bersama dalam keluarga bahwa batasan jam pulang malam
tidak boleh dilanggar? (melanggar aturan)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
B. Daftar Pertanyaan untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan Orang
Tua
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Bagaimana respon Anda ketika mengetahui bahwa orang tua Anda tidak
dapat mengoperasikan komputer? (melecehkan muka)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
2. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda menegur Anda karena
mendengarkan musik dengan volume yang keras? (menimbulkan konflik)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
3. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda berusaha membanding-
bandingkan nilai Anda dengan kakak/adik yang memiliki nilai lebih baik
dari Anda? (menghilangkan muka)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
4. Bagimana respon Anda bila saat Anda belajar, orang tua Anda meminta
bantuan Anda, tetapi hanya dengan meneriakkan nama Anda tanpa
memberikan penjelasan mengenai bantuan apa yang diperlukan?
(mengancam muka sepihak)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
5. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengotak-atik handphone
Anda dan membaca pesan singkat antara Anda dengan teman dekat Anda?
(melanggar aturan)
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Nuridang Fitranagara lahir di Kulonprogo, Yogyakarta,
tanggal 15 April 1990. Pendidikan dasar ditempuh di SD
Negeri Cibinong 3, Komplek. Yon Bekang 1 Cibinong,
Bogor tahun 1996 – 2000. Ia menamatkan pendidikan
tingkat sekolah dasar di SD Negeri Kanoman 2, Panjatan,
Kulonprogo tahun 2000 – 2002. Pada tahun 2002 – 2005,
ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Panjatan, Kulonprogo.
Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di SMK Negeri 1 Temon,
Kulonprogo tahun 2005 – 2008. Setahun kemudian, ia menempuh studi S1
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir
pada tahun 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI