pilar ketahanan pangan -...
TRANSCRIPT
ISSN : JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN
BADAN KETAHANAN PANGAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
INTEGRASI PASAR BERAS MEDIUM DI INDONESIA, SUMATERA DAN JAWA
Jan Piter Sinaga, Muhammad Firdaus, Idha Widi Arsanti, Akhmad Fauzi
MARKETABLE SURPLUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
MARKETED SURPLUS PADA BERAS PADA TINGKAT PETANI DI KABUPATEN
MAGELANG
Sadam Mujihartono, Indah Widyarini, Ratna Satriani
KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGURUS
GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN
MASYARAKAT DI KABUPATEN SUBANG DAN BOGOR
Denny Eswant Kosasih, Sarwititi Sarwoprasodjo, Djoko Susanto
PERAMALAN HARGA ECERAN CABAI MERAH DENGAN PERMODELAN TIME
SERIES ARIMA
Irnawati, Toni Tri Susanto
MODEL PERAN START-UP PERTANIAN DALAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS
PANGAN
Mukhamad Najib, Farah Fahma
Volume 01 Nomor 02 Desember 2019
ISSN :
Volume 1 Nomor 1, Juli 2019
ISSN No. 2715-6621
Jurnal Pilar Ketahanan Pangan
Volume 01 Nomor 02 Desember 2019 ISSN No. 2715-6621
Jurnal Pilar Ketahanan Pangan (JPKP) adalah media Jurnal Ilmiah memuat artikel yang membahas isu ketahanan pangan dan gizi hasil-hasil penelitian, kajian dan telaah implementasi kebijakan; meliputi aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan nasional dan daerah. JPKP juga menampung artikel berupa gagasan atau konsepsi original dalam pengembangan ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional dan daerah. Media ini mulai ditebitkan pada bulan Juni 2019. Jurnal Pilar Ketahanan Pangan terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember.
Pengarah Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan) Penanggung Jawab Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan) Pimpinan Redaksi Maino Dwi Hartono, STP, MP (Kepala Bidang Harga Pangan) Sekretaris Redaksi Arifayani Rahman, STP, M.Si (Kepala Sub. Bidang Harga Pangan Konsumen) Editor Lalang Ken Handita, S.Sos, MM (Kepala Sub. Bidang Harga Pangan Produsen) Ir. Dewi Novia Tarwiati, M.Si (APHP Madya) Eddy Suntoro S.Sos, MS.i (Pranata Humas Madya) Arif Syaifudin, ST, M.Sc (Kasubbag Kerjasama) Asti Mintoraras, S.Si Dini Nuraeni, SP, MP Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tetap Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan) Prof Dr. Ir. Achmad Suryana, MS (Peneliti Senior Bidang Kebijakan Pangan dan Pertanian) Prof Dr. Drs. Benny Rachman, MS (Profesor Riset Bidang SosekPertanian, Kementerian Pertanian) Dr. Ir. Roy A Sparringa, M.App.Sc, (Senior Adviser Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Dr. Ir. Riwantoro, MM (Sekretaris Badan Ketahanan Pangan) Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, BKP) Dr. Andriko Noto Susanto, MP, (Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, BKP) Desain Grafis Nurtamtomo Hadi Nugroho, SP Sekretariat Muhammad Yanto, SP, MM Ir. Deshaliman, MM Ari Wahyuningsih, STP, MP Endang Ismaryati, SP, MM Rahmat Yandri, SP, MM Toni Tri Susanto, S.Si Trisno Mulyadi, SE Rini Turino Dewi, A.Md Ely Fauziah Alamat Penerbit/Redaksi Badan Ketahanan Pangan Kantor Pusat Kementerian Pertanian Gedung E Lantai VI Ruang 628 Jalan Harsono RM No. 03 Pasar Minggu Jakarta Selatan 12550 Telepon/Faximile : (021) 7804496 E-mail : [email protected]
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat nikmat dan karunianya, Jurnal Pilar Ketahanan Pangan
(JPKP) Badan Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 02 edisi Desember 2019 berhasil diterbitkan.
JPKP merupakan media Jurnal Ilmiah yang memuat artikel berupa hasil penelitian, kajian, gagasan
dan telaahan implementasi kebijakan dalam aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan,
konsumsi pangan dan gizi, stabilisasi pasokan dan harga serta keamanan pangan di tingkat nasional
dan daerah.
JPKP edisi Desember 2019 ini memuat lima artikel. Artikel Integrasi Pasar Beras Medium di
Indonesia, Sumatera dan Jawa; Marketable Surplus dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Marketable Surplus Pada Beras Pada Tingkat Petani di Kabupaten Magelang; Komunikasi Organisasi
Dalam Pengembangan Kinerja Pengurus Gapoktan Pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi
Pangan Masyarakat di Kabupaten Subang dan Bogor; Peramalan Harga Eceran Cabai Merah Dengan
permodelan Time Series ARIMA dan Model Peran Start-up Pertanian Dalam Peningkatan
Aksesibilitas Pangan.
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia
mengusulkan karyanya untuk diterbitkan di JPKP. Kami juga menghaturkan terima kasih kepada para
Mitra Bestari yang telah bersedia memberikan komentar, koreksi, dan pandangan terhadap naskah
awal artikel yang diajukan kepada Redaksi. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan edisi berikutnya.
Jakarta, Desember 2019
Ketua Dewan Redaksi
Maino Dwi Hartono, STP, MP
ii
JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN VOLUME 01 NOMOR 02, DESEMBER 2019
DAFTAR ISI Artikel INTEGRASI PASAR BERAS MEDIUM DI INDONESIA, SUMATERA DAN JAWA Jan Piter Sinaga, Muhammad Firdaus, Idha Widi Arsanti, Akhmad Fauzi 1 – 16 MARKETABLE SURPLUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADA BERAS PADA TINGKAT PETANI DI KABUPATEN MAGELANG Sadam Mujihartono, Indah Widyarini, Ratna Satriani 16 - 27
KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGURUS GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SUBANG DAN BOGOR Denny Eswant Kosasih, Sarwititi Sarwoprasodjo, Djoko Susanto 28 - 38 PERAMALAN HARGA ECERAN CABAI MERAH DENGAN PERMODELAN TIME SERIES ARIMA Irnawati, Toni Tri Susanto 39 - 48 Model Peran Start-up Pertanian Dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan Mukhamad Najib, Farah Fahma 49 - 60
iii
JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN
VOLUME 01 NOMOR 02, DESEMBER 2019 Novita Nining Widyaningsih
, Kusnandar, Sapja Anantanyu
HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT PADA BALITA Underweight merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Kejadian underweight bisa terjadi karena rendahnya kemampuan terhadap akses pangan. Selain itu dipengaruhi oleh riwayat berat badan lahir yang rendah dan pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir, ketahanan pangan rumah tangga, dan pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Teknik pemilihan subjek dengan teknik simple random sampling. Data berat badan lahir diperoleh dari buku KMS. Ketahanan pangan dan pola asuh makan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data kemudian dianalisis menggunakan path analisis. Hasil path analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara langsung antara ketahanan pangan rumah tangga (0,330), pola asuh makan (0,273) dan berat badan lahir dengan kejadian underweight pada balita (0,312). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor resiko kejadian underweight yang paling dominan adalah ketahananan pangan rumah tangga. Oleh sebab itu perlu peningkatan ketahanan pangan rumah tangga yang akan berdampak pada perbaikan gizi balita yang dalam jangka panjang akan berimplikasi pada peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia.
Kata kunci: Berat Badan Lahir, Ketahanan Pangan, Pola Asuh Makan, Underweight
Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT
Fluktuasi harga bawang merah yang sering terjadi dimanfaatkan oleh para pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat produsen sehingga transmisi harga dari pasar konsumen ke produsen cenderung bersifat asimetris. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi harga belum tersalurkan dengan baik dan pasar tidak terintegrasi. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar bawang merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Analisis yang digunakan adalah infrastuktur pemasaran, struktur pasar dan informasi pasar secara deskriptif dan untuk menentukan derajat integrasi pasar menggunakan pendekatan kointegrasi dengan model Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara pasar produsen dan pasar grosir tidak terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun terintegrasi dalam jangka pendek. Antara pasar produsen dan pasar eceran terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun dalam jangka pendek tidak terintegrasi. Antara pasar grosir dan pasar eceran terintegrasi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Struktur pasar di produsen mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna/oligopsoni. Tingkat pengetahuan pasar petani juga tidak cukup baik karena hanya berkisar pada lingkungan sekitar sedangkan di tingkat pedagang pengetahuan pasarnya sudah cukup baik karena selain informasi yang diperoleh dari lingkungan sekitar, mereka juga mengakses informasi pasar melalui media massa.
Kata kunci: bawang merah; integrasi pasar; kointegrasi johansen; VAR; VECM
iv
Deshaliman, Anggit Gantina PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024 TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN Kebijakan Pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Provinsi Kalimantan Timur menjadi isu penting, yang akan berimplikasi terhadap penyediaan pangan penduduk. Sekitar 6 juta Aparat Sipil Negara beserta keluarga dan warga negara lainnya dari berbagai kementerian/instansi pemerintah serta lembaga terkait lainnya akan berpindah pada tahap awal di tahun 2024. Telaahan ini bertujuan untuk menyusun perencanaan penyediaan pangan penduduk ibukota di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024. Perencanaan penyediaan pangan ini menggunakan data konsumsi pangan Susenas Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta-BPS tahun 2018, diolah berbasis Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata penduduk Indonesia tingkat konsumsi sebesar 2.100 kkal/kap/hari. Perencanaan penyediaan pangan dihasilkan dari proksi 10 persen kecukupan gizi konsumsi seluruh kelompok pangan terhadap kecukupan di level penyediaan (tingkat pasar). Hasil analisis menunjukkan bahwa pasokan pangan yang harus disediakan di tingkat pasar di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024 untuk komoditas beras 498.520 ton, jagung 1.727 ton, terigu 216.394 ton; Untuk komoditas umbi-umbian yaitu singkong 164.832 ton, ubi jalar 39.770 ton, kentang 62.454 ton, sagu 2.108 ton, umbi lainnya (suweg/talas) 5.746 ton. Penyediaan komoditas pangan hewani di tingkat pasar yaitu daging ruminansia 37,945 ton, daging unggas 35.713 ton, telur ayam ras 26.718 ton, susu sapi 115.375 ton, ikan kembung 92.694 ton, minyak kelapa 419 ton, minyak sawit 5.139 ton, minyak lainnya (minyak kacang tanah) 191 ton, kelapa 8.796 ton, kemiri 1.240 ton, kedelai 20.343 ton, kacang tanah 1.033 ton, kacang hijau 1.440 ton, kacang lainnya (kacang kapri) 1.582 ton, gula pasir 18.064 ton, gula merah 953 ton, daun singkong 25.717 ton, terong 19.140 ton, kangkung 22.550 ton, bawang putih 42.750 ton, cabai rawit 34.475 ton, bawang merah 21.487 ton, cabai merah 5.047 ton, pisang 74.448 ton, rambutan 25.575 ton, pepaya 8.624 ton, dan apel 6.675 ton.
Kata Kunci: perencanaan, ketersediaan, kebutuhan
Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih
ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT ECERAN Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauh mana transmisi asimetris harga bawang tingkat produsen terhadap tingkat eceran. Kajian ini menggunakan Metode statistik Error Correction Model (ECM) serta uji kointegrasi dan kausalitas jangka panjang untuk mengindentifikasi asimetris harga. Data yang digunakan merupakan data bulanan harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran di lima lokasi berbeda dari tahun 2014 sampai dengan 2018. Hasil analisis membuktikan adanya asimetris harga secara vertikal antara petani dan eceran. Penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga bawang merah tingkat produsen akan lebih cepat direspon dengan kenaikan harga ditingkat eceran apabila dibandingkan dengan penyimpangan ketika terjadi penurunan harga bawang merah ditingkat produsen. Penyimpangan akan kembali pada titik keseimbangan sekitar 7 bulan.
Kata kunci: asimetris harga, error corection model, bawang merah
Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho
PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA Beras merupakan salah satu pangan pokok strategis di Indonesia, ditinjau dari aspek produksi, ekonomi, dan konsumsi. Dengan tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia yaitu mencapai 111,58 kg/kap/tahun, maka beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok harus aman. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penanganan pascapanen pada produksi beras dan mengetahui profil risiko cemaran mikotoksinnya melalui studi literatur. Penggilingan padi di Indonesia yang didominasi oleh skala kecil, mempunyai potensi menghasilkan beras bermutu rendah dengan kadar air dan beras
v
patah tinggi, serta derajat sosoh rendah. Beras tersebut lebih berisiko terkontaminasi jamur penghasil mikotoksin, terutama bila disimpan pada tempat lembab dan penerapan GMP yang tidak optimal. Aflatoksin dan okratoksin A merupakan jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada komoditas beras. Racun tersebut diproduksi apabila jamur penghasil mikotoksin mengalami stress akibat cekaman faktor lingkungan. Risiko cemaran mikotoksin dapat diturunkan melalui penerapan good practices pada rantai pasok beras. Dengan tingginya tingkat konsumsi serta beragamnya penanganan beras di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian resiko terhadap cemaran mikotoksin ini secara komprehensif untuk pengembangan standar cemaran mikotoksin pada beras, dan upaya penguatan pengawasan dan surveilan komoditas beras.
Kata kunci: beras, cemaran, mikotoksin, pascapanen, risiko
Jan Piter Sinaga, Muhammad Firdaus, Idha Widi Arsanti, Akhmad Fauzi
INTEGRASI PASAR BERAS MEDIUM DI INDONESIA, SUMATERA DAN JAWA
Beras adalah komoditas pangan strategis di Indonesia karena merupakan pangan pokok bagi hampir semua masyarakat Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk membahas integrasi pasar, pasar acuan dan pembentukan harga beras medium dengan menggunakan data harian periode Bulan Juni 2017 – Maret 2019. Integrasi pasar beras medium dianalisis dengan pendekatan kointegrasi Johansen dan menggunakan model Panel Vector Error Correction Model (VECM Panel). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan jangka Panjang antara harga di tingkat petani, grosir dan konsumen. Namun demikian tingkat integrasi pasar secara vertikal tidak cukup kuat. Integrasi vertikal beras medium hanya terjadi di region Pulau Jawa. Secara spasial, pasar referensi yang menjadi pusat distribusi beras medium di Indonesia adalah Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Bandung, Makassar, Palembang dan Surabaya. Dengan demikian, pemerintah harus memastikan kecukupan pasokan beras medium ke pasar di kota-kota tersebut sehingga harga beras medium tidak mengalami fluktuasi secara signifikan.
Kata kunci: Vertical Integration, Spatial Integration, Decomposition Variance, Impulse Response Function, Panel VECM
Sadam Mujihartono, Indah Widyarini, Ratna Satriani
MARKETABLE SURPLUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADA BERAS PADA TINGKAT PETANI DI KABUPATEN MAGELANG
Studi lingkup mikro diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait ketahanan pangan termasuk aspek marketed surplus beras pada tingkat rumah tangga petani. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani dan bentuk penjualan hasil usahatani padi oleh petani di Kabupaten Magelang; 2) Mengetahui besarnya marketable dan marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2017 sampai bulan Januari 2018 dengan sasaran petani padi sawah non organik pada lahan sawah irigasi. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan data primer dan sekunder yang diolah menggunakan analisis deskriptif dan regresi linear berganda. Penentuan sampel menggunakan metode multistage random sampling dan diperoleh 100 responden dengan jumlah luas lahan 42,34 hektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi di Kabupaten Magelang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur, telah memiliki tanda pergeseran corak usahatani, yaitu dari subsisten ke arah komersial dengan bentuk penjualan hasil berupa gabah kering panen yang dijual secara tebasan. Nilai marketable surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang sebesar 86,60 persen dari jumlah produksi dan nilai marketed surplus beras sebesar 90,49 persen dari nilai marketable surplus beras. Nilai marketable surplus beras adalah jumlah potensial dari hasil produksi yang dapat dijual oleh petani dan nilai marketed surplus beras adalah porsi dari hasil produksi yang dijual ke pasar oleh petani. Marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang dipengaruhi oleh variabel jumlah produksi, luas lahan, pengeluaran rumah tangga petani, biaya usahatani (natura), dan harga beras.
Kata kunci: beras, marketable surplus, marketed surplus
vi
Denny Eswant Kosasih, Sarwititi Sarwoprasodjo, Djoko Susanto KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGURUS GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SUBANG DAN BOGOR
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai lembaga ekonomi petani terdiri dari beberapa kelompok tani yang memiliki berbagai karakteristik tertentu, sehingga komunikasi organisasi yang efektif sangat diperlukan. Terciptanya komunikasi organisasi yang baik, diharapkan iklim komunikasi Gapoktan dan kepuasan komunikasi pengurus akan terpenuhi, sehingga Gapoktan lebih berdaya saing dan berkinerja tinggi. Kajian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan karakteristik pengurus Gapoktan, (2) menganalisis iklim komunikasi Gapoktan, (3) menganalisis kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan, (4) menganalisis hubungan antara komunikasi organisasi dengan iklim komunikasi dan hubungan iklim komunikasi organisasi dengan kepuasan komunikasi. Hasil kajian menunjukan: (1) Pengurus Gapoktan umumnya berusia produktif; tingkat pendidikan formal pengurus umumnya SD; tingkat pendidikan non formal sebagian besar pengurus Gapoktan termasuk kategori tinggi; (2) Sebagian besar Gapoktan memiliki Iklim komunikasi yang tinggi, (3) Kepuasan komunikasi sebagian besar pengurus Gapoktan tergolong tinggi, (4) Terdapat hubungan sangat nyata antara komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan dengan iklim komunikasi dan terdapat hubungan sangat nyata antara iklim komunikasi dengan kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan.
Kata Kunci: Komunikasi, Organisasi, Gapoktan
Irnawati, Toni Tri Susanto PERAMALAN HARGA ECERAN CABAI MERAH DENGAN PERMODELAN TIME SERIES ARIMA Cabai merupakan salah satu komoditas pangan penting baik dari sisi pola konsumsi pangan masyarakat maupun dari sisi potensi memberikan keuntungan bagi petani. Harga cabai sangat berfluktuasi yang berpengaruh besar terhadap inflasi. Karena itu, memahami dinamika perkembangan harga dan kemampuan memprediksi harga cabai sangat penting bagi perekonomian nasional. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan peramalan harga cabai merah beberapa bulan ke depan sehingga dapat membantu upaya antisipasi dini untuk mengurangi fluktuasi harga cabai merah. Pemodelan ARIMA digunakan dalam penelitian ini. ARIMA merupakan salah satu model time series yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kenaikan harga cabai. Data yang digunakan adalah harga cabai merah mingguan di tingkat eceran dari Badan Pusat Statistik (BPS) di 10 kota besar periode Januari 2014-Oktober 2019 Penelitian ini menghasilkan tujuh model ARIMA yang kemudian setelah dilakukan estimasi parameter dan diagnosis diperoleh model dengan performansi yang baik, yaitu model ARIMA (1,2,1) dan ARIMA (0,2,2) dengan nilai MS yang lebih kecil. Begitu juga dilihat dari Final Estimates of Parameter, model ini memiliki nilai P di bawah 0,05 dan lolos uji independensi residual atau lolos uji grafik residual ACF dan PACF serta uji normalitas residual. Melalui peramalan dengan data testing, dari dua model tersebut diketahui bahwa model yang paling baik dan dapat dijadikan untuk alat peramalan adalah model ARIMA (1,2,1). Berdasarkan model peramalan ini, arah kecenderungan harga cabai merah empat bulan ke depan dapat diketahui, sehingga pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi kecenderungan harga cabai merah tersebut di antaranya dengan mengupayakan keajegan ketersediaan pasokan cabai merah sepanjang tahun.
Kata kunci : harga cabai, fluktuasi, time series, peramalan, ARIMA
Mukhamad Najib, Farah Fahma MODEL PERAN START-UP PERTANIAN DALAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PANGAN Masalah distribusi dan harga komoditi pangan sangat menentukan terhadap aksesibilitas pangan yang merupakan salah satu pilar ketahanan pangan di Indonesia. Di sisi lain, perkembangan internet yang begitu cepat telah mendorong munculnya bisnis-bisnis baru berbasis teknologi aplikasi. Generasi muda tertarik mengembangankan startup (usaha rintisan) berbasis teknologi digital. Salah satu startup yang saat ini banyak berkembang adalah pemanfaatan aplikasi digital untuk pemasaran online. Hal ini memberi peluang bagi petani untuk melakukan disintermediary (pemotongan jalur
vii
distribusi), sehingga produk bisa tersampaikan langsung ke konsumen secara efisien. Di sisi lain, aplikasi teknologi digital juga telah mendorong generasi muda di Indonesia untuk mengembangkan bisnis pertanian dengan cara yang menguntungkan. Hal ini berpotensi mendorong kegairahan baru dikalangan anak muda untuk kembali memasuki dunia pertanian. Artikel ini bertujuan mengidentifikasi profil startup pertanian di Indonesia, menganalisis tantangan yang dihadapi startup di Indonesia dan memformulasikan model startup bidang pertanian dalam membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pendekatan yang digunakan adalah kajian pustaka yang bersumber dari data sekunder maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil studi menunjukkan terdapat empat peran utama yang bisa dilakukan oleh startup pertanian di Indonesia, yaitu sebagai aggregator produk petani, quality assurance, marketing channel, dan financial support. Keempat peran ini berpotensi mendorong terjadinya peningkatakan kinerja petani dan pada akhirnya dapat berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan.
Kata kunci: aksesibilitas pangan, ketahanan pangan, kinerja petani, start-up pertanian
viii
JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN VOLUME 01 NOMOR 02, DESEMBER 2019 Novita Nining Widyaningsih
, Kusnandar, Sapja Anantanyu
The Relationship Between Birth Weight, Household Food Secutity, Child Feeding Practice, And The Prevalance Of Underweight In Children
Underweight is a form of malnutrition reflecting an inadequate intake of dietary energy. Several studies found that the prevalence of underweight in children is influenced by some factors, such as lack of sufficient access to safe and nutritious food, low birth weight and child feeding practice adopted by mother. This study aims to investigate the relationship between birth weight, household food security, child feeding practice and the prevalence of underweight among children aged 24 – 59 months in Bayat Sub-district, Klaten Regency. A cross-sectional study and simple random sampling technique were conducted in this research. Data of birth weight collected from KMS book meanwhile data of household food insecurity and child feeding practise was obtained through interviews employing a structured questionnaire. Subsequently, the collected data was analyzed using the path analysis. The results show that there was a direct relationship between household food insecurity (0,330), feeding practice (0,273), birth weight and prevalence of underweight (0,312). It can be concluded that household food insecurity becomes the main factors influencing underweight in children. Therefore, it is necessary to increase the household food security situation which will have an impact on improving child nutritional status, and in turn, will improve the quality of human resources in the future.
Keywords: Birth Weight, Food Security, Child Feeding Practice, Underweight Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial
Determinants Factors of Shallot Market Integration in Majalengka District, West Java Unstable shallot price is often used by traders to manipulate the price information at producer’s level, so the price transmission from consumer to producer level tend to be asymmetrical. This condition indicates that the price information is not transfered properly and the market is not integrated. This study aims to analyze factors influencing the integration of shallot market in Majalengka, West Java. A descriptive analyis was conducted to explain shallot marketing infrastructures, market structures, and market information. A Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM) was chosen to understand the degree of market integration. This results show that the producer and the wholesale markets are not integrated in the long-term, but they are integrated in the short-term. On the othe hand, the producer and the retailer markets are integrated in the long-term, but they are not intergrated in the short-term. Meanwhile, the wholesale and the retailer markets are integrated both in the long and short terms. Structure of the producer markets indicates that the shallot market was imperfect competition one/oligopsony. In this circumstance, farmers have insufficient knowledge because they have lack of access to market information, meanwhile traders own better knowledge because they obtain market information not only from the producers but also from mass media.
Keywords: Shallot; market integration; Johansen cointegration; VAR; VECM
Deshaliman, Anggit Gantina Food Supply Planning 2024 in East Kalimantan, Indonesia’s Country’s Capital Desk Analysis based on Desirable Dietary Pattern
The Indonesian Government policy to relocate the national capital from Jakarta to the Province of East Kalimantan becomes a crucial issue, particularly related to food supply for the population. Around 6 million people consisting of State Civil Apparatuses from various ministries/government institutions with their families and the others will move to the new capital at the first stage by 2024. This study aims to formulate a food supply plan for the new capital’s population situated in the Province of in East
ix
Kalimantan in 2024. The food supply plan is based on the Dietary Diversity Score (DDP), which is not only taking into account the quantity aspect, but also its quality, including food diversity and balanced nutrition, as well as referring to the Recommended Dietary Allowance (RDA) of the consumption level of 2,100 kcal. The results show that the ideal food supply at market level for 6 million people in the new capital in 2024 is: rice 498,520 tons, corn 1,727 tons, flour 216,394 tons, cassava 164,832 tons, sweet potatoes 39,770 tons, potatoes 62,454 tons, sago 2,108 tons, other tubers (suweg / taro) 5,746 tons, ruminant meat 37,945 tons, poultry meat 35,713 tons, egg sago purebred chicken 26,718 tons, cow's milk 115,375 tons, mackerel fish 92,694 tons, coconut oil 419 tons, palm oil 5,139 tons, other oils (peanut oil) 191 tons, coconut 8,796 tons, hazelnut 1,240 tons, soybeans 20,343 tons, peanuts 1,033 tons, green beans 1,440 tons, other beans (peas) 1,582 tons, sugar 18,064 tons, brown sugar 953 tons, cassava leaves 25,717 tons, eggplant 19,140 tons, kale 22,550 tons, garlic 42,750 tons, cayenne pepper 42,750 tons, onion chili red 21,487 tons, red pepper 5,047 tons, bananas 74,448 tons, rambutan 25,575 tons, papaya 8,624 tons, and apples 6,675 tons.
Keywords: planning, availability, needs.
Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih
Asymmetric of Shallot Prices on Producer to Retail Level
The objective of this research is to analyze to what extent an asymmetrical transmission of shallot prices from producer to retail level. A statistical method of Error Correction Model (ECM), cointegration test and causality tests was chosen to identify the price asymmetries. The data of monthly shallot price situated in five different locations in the period of 2014 and 2018 was gathered. The results prove the existence of vertical asymmetric prices between farmer and retailer level. The deviation caused by an increase of shallot price at producer level will be quickly responded to an increase of shallot prices at retail level, compared to the deviation when a decrease of shallot price occurs at producer level. Furthermore, the teviations will return to the equilibrium about 7 months.
Keyword: assymetry price, error corection model, shallot
Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho
Mycotoxin Contaminations Profile in Rice and Its Prevention
Rice is considered as a valuable and strategic commodity in Indonesia. It is reported that the rice consumption per capita in Indonesia has been relatively high, namely 111.58 kg/cap/year in 2017. However, rice milling units that convert paddy into rice are mainly dominated by small scale one that tend to produce low quality rice in term of moisture content, broken rice, and milling degree. The low quality rice will be susceptible to deterioration when it is stored in an improper humidity because this circumstance can stimulate the infestation of mycotoxigenic fungi. Aflatoxin and Ochratoxin A are mycotoxin which is commonly found in rice. The risk of toxin contamination will increase in line with the level of broken rice. Hence, considering the strategic position of rice, it is important to review the profile of mycotoxin contamination in rice and the prevention measures. The risk of toxin contamination in rice can be reduced by implementing good practices along rice supply chain. Establishment of standard through surveillance and supervision is also needed as an effort to address the risk of toxin contamination in rice before entering market.
Keywords: contamination, mycotoxin, postharvest, rice, risk.
Jan Piter Sinaga, Muhammad Firdaus, Idha Widi Arsanti, Akhmad Fauzi Medium Rice Market Integration in Indonesia, Sumatera and Jawa
Rice is considered as a strategic commodity in Indonesia because most Indonesian people rely on rice for their dietary intake. This paper aims to discuss market integration, reference market, and price formation of medium rice quality using daily prices data in the period of June 2017 until March 2019. The market integration of medium rice was analyzed by using the Johansen cointegration approach and the Panel Vector Error Correction Model (VECM Panel). The results show that there is the long-term relationship between prices at the level of farmers, wholesalers, and consumers. However, the degree of vertical market integration is not strong. The vertical integration of medium rice only occurs in Java Island. Spatially, the reference markets that are the nodes of Indonesia's medium rice trade
x
are Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Bandung, Makassar, Palembang and Surabaya. Therefore, the government must ensure that the supply of medium rice to the markets situated in those cities is always sufficient, so that the price of medium rice does not fluctuate significantly.
Keywords: Vertical integration, spatial integration, Decomposition Variance, impulse response function, Panel VECM
Sadam Mujihartono, Indah Widyarini, Ratna Satriani Marketable Surplus and Factors That Influence Marketed Surplus of Rice at The Farmer in Magelang Regency
Micro scope studies are needed in policy making related to food security, including marketed surplus of rice aspects at the level of farm households. The purposes of the research are: 1) To figure out the socio-economic characteristics of farmers and the form of rice sale by farmers in Magelang Regency; 2) To figure out the total of marketable and marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency; 3) To analyze the factors that influence marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang regency. The research was conducted between December 2017 and January 2018 with respondent of non-organic rice farmers on irrigated rice fields. The research method was survey using primary and secondary data that was processed by descriptive and multiple linear regression analysis. The samples were determined using multistage random sampling method and included 100 respondents with the total of 42.34 hectares land area. The results shows that rice farming in Magelang Regency is in line with the socio-economic development of the community and the availability of infrastructure, it already has a sign of shifting patterns of farming from subsistence to commercial with the form of sales of dried unhulled rice. The value of marketable surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency amounted to 86.60 percent of the total production and marketed surplus value of rice amounted to 90.49 percent of the marketable surplus of rice value. The value of marketable surplus of rice is the potential amount of production that can be sold by farmers and marketed surplus value of rice is the portion of production that is sold to the market by farmers. Marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency is influenced by variable of production quantity, land area, farmer household expenditure, farming cost (natura), and rice price.
Keywords: rice, marketable surplus, marketed surplus
Denny Eswant Kosasih, Sarwititi Sarwoprasodjo, Djoko Susanto Organizational Communication in Performance Development of Gapoktan’s Committee Members in Program of Strengthening Community Food Distribution Social Organization in District of Subang and Bogor Gapoktan, stands for gabungan kelompok tani, as a farmers group union, is a farmer economical institution consisting of several farmer groups having specific characteristics, so an effective organizational communication is needed. In a conducive organizational communication, communication climate and communication satisfaction among Gapoktan committee members are expected to take place so Gapoktan will be more competitive and has high performance. This study aims to: (1) identify the characteristic of Gapoktan committee members, (2) analyze the communication climate, (3) analyze the communication satisfaction, (4) analyze the correlation between oganizational communication and communication climate as well as between communication climate and communication satisfaction.The results shows that: (1) Gapoktan committee members are mostly at productive age with formal education of elementary school level and they have high level of participation in a nonformal education; (2) the vast majority of Gapoktan committee members have hight communication climate; (3) most of the Gapoktan committee members have hight communication satisfaction; (4) there is hight significant correlation between oganizational communication in the capacity building of Gapoktan committee members and communication climate; as well as there is hight significant correlation between communication climate and communication satisfaction.
Keyword: communication, organization, Gapoktan
xi
Irnawati, Toni Tri Susanto Forecasting Chili Retail prices with Modelling Time Series Arima
Chili is one of the important food commodities in terms of food consumption pattern as well as its potential to provide profit for chili farmers. Fluctuation of chili prices has a profound effect on inflation. Therefore, understanding the dynamic trend and the ability to predict the chili prices are very important for the national economy. The purpose of this research is to predict the prices of red chili for the next several months, so this information can be used for an early anticipation to mitigate the red chili prices fluctuation. ARIMA modeling was used in this study. ARIMA is a time series model that can be used to predict the possibility of the increase of red chili prices in the next several months. The data used in this study was the weekly retail red chili prices from Central Bereau of Statistics of Indonesia (BPS) in 10 big cities in the period of January 2014-October 2019. This study produced seven ARIMA models. To obtain a model with good performance, the parameter estimation and diagnosis were conducted, and the results found two models with better performance or had smaller MS values, namely the ARIMA (1,2,1) and ARIMA (0,2,2) model. Final Estimates of Parameters indicated that this model had a P value less than 0.05 and passed the residual independence test or passed the ACF and PACF residual chart test and normality residual test. Through prediction with data testing, from these two models, the best model for retail red chili prices prediction was the ARIMA (1,2,1). Based on this chosen model, the direction of the retail red chili prices in the next four months can be obtained, so the government can take actions to anticipate the chili prices trends by ensuring a steady supply of red chili all year long.
Keyword: chili prices, fluctuating, time series, forecasting, ARIMA
Mukhamad Najib
, Farah Fahma
The Role Model of Agricultural Start-Ups in Improving Food Accesibility
The issues of food distribution and prices are crucial to food accessibility which is one of the pillars of food security concept. On the other hand, the rapid growth of the internet has stimulated the emergence of new businesses grounded on application technology. Young people are interested in developing digital technology-based startups. One of the startups that is currently developing is the use of digital applications for online marketing. This provides an opportunity for farmers to reduce distribution channels, so products can be delivered directly to consumers efficiently. Furthermore, the application of digital technology has also encouraged young people to develop agricultural businesses in profitable ways. This has the potential to encourage new enthusiasm among young people to re-enter agricultural sector. This article aims to identify the profile of agricultural startups in Indonesia, analyze the challenges faced by startups in Indonesia and formulate the role of agricultural startups in realizing national food security. This study used a literature review approach sourced from secondary data and the results of previous studies. The study shows that there are four main roles that can be carried out by agricultural startups in Indonesia, namely as an aggregator of farmer products, quality assurance, marketing channels, and financial support. These four roles have important potential to encourage farmers to improve their performance and ultimately contribute to the achievement of food security.
Keyword: food accessibility, food security, farmer performance, agricultural startup
1
INTEGRASI PASAR BERAS MEDIUM DI INDONESIA, SUMATERA DAN JAWA
Medium Rice Market Integration in Indonesia, Sumatera and Java
Jan Piter Sinaga1, Muhammad Firdaus
2, Idha Widi Arsanti, Akhmad Fauzi
2
1Staf Bidang Distribusi Pangan, Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan,
2Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Diterima: 27 Oktober 2019 Direvisi: 11 November 2019 Disetujui terbit: 14 November 2019
ABSTRACT
Rice is considered as a strategic commodity in Indonesia because most Indonesian people rely on rice for their dietary intake. This paper aims to discuss market integration, reference market, and price formation of medium rice quality using daily prices data in the period of June 2017 until March 2019. The market integration of medium rice was analyzed by using the Johansen cointegration approach and the Panel Vector Error Correction Model (VECM Panel). The results show that there is the long-term relationship between prices at the level of farmers, wholesalers, and consumers. However, the degree of vertical market integration is not strong. The vertical integration of medium rice only occurs in Java Island. Spatially, the reference markets that are the nodes of Indonesia's medium rice trade are Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Bandung, Makassar, Palembang and Surabaya. Therefore, the government must ensure that the supply of medium rice to the markets situated in those cities is always sufficient, so that the price of medium rice does not fluctuate significantly.
Keywords: Vertical integration, spatial integration, Decomposition Variance, impulse response function, Panel VECM
ABSTRAK
Beras adalah komoditas pangan strategis di Indonesia karena merupakan pangan pokok bagi hampir semua masyarakat Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk membahas integrasi pasar, pasar acuan dan pembentukan harga beras medium dengan menggunakan data harian periode Bulan Juni 2017 – Maret 2019. Integrasi pasar beras medium dianalisis dengan pendekatan kointegrasi Johansen dan menggunakan model Panel Vector Error Correction Model (VECM Panel). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan jangka Panjang antara harga di tingkat petani, grosir dan konsumen. Namun demikian tingkat integrasi pasar secara vertikal tidak cukup kuat. Integrasi vertikal beras medium hanya terjadi di region Pulau Jawa. Secara spasial, pasar referensi yang menjadi pusat distribusi beras medium di Indonesia adalah Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Bandung, Makassar, Palembang dan Surabaya. Dengan demikian, pemerintah harus memastikan kecukupan pasokan beras medium ke pasar di kota-kota tersebut sehingga harga beras medium tidak mengalami fluktuasi secara signifikan.
Kata Kunci: Vertical Integration, Spatial Integration, Decomposition Variance, Impulse Response Function, Panel VECM
PENDAHULUAN
Harga pangan strategis yang sangat berfluktuasi mengakibatkan terjadinya volatilitas harga pangan dan inflasi. Faktor penyebab fluktuasi harga utamanya karena variasi produksi antar waktu dan antar wilayah, bencana alam, distribusi, penyimpanan, dan keterbatasan informasi (Udoh dan Sunday 2007). Harga yang menguntungkan memacu produksi yang lebih banyak. Namun, mayoritas petani memiliki keterbatasan modal untuk merespons perubahan harga (Okoh and Egbon 2005). Pemasaran komoditas pertanian yang efisien akan menguntungkan produsen dan konsumen karena surplus produksi di satu tempat dapat disalurkan ke tempat lain yang mengalami defisit dengan biaya tata niaga yang layak (Adenegan, 2012).
Efisiensi pasar adalah kondisi ekuilibrium di mana semua peluang yang menguntungkan dapat dimanfaatkan oleh masing-masing pelaku pemasaran sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Apabila perbedaan harga antarpasar lebih kecil dari biaya transfer maka dapat dikatakan pasar berjalan
2
secara efisien. Namun, jika perbedaan harga antarpasar lebih besar daripada biaya transfer maka dapat disimpulkan bahwa pasar berjalan tidak efisien (Negassa et al. 2003)
Pemasaran produk dari wilayah surplus ke wilayah defisit akan efisien apabila biaya tataniaga yang dikeluarkan dianggap layak dan dapat menguntungkan produsen dan konsumen (Adenegan, 2012). Apabila biaya transfer lebih kecil dari selisih harga antar kedua pasar maka pasar tersebut efisien (Negassa et al. 2003). Menurut Tomek dan Robinson (1990), hubungan suatu harga dari pasar yang terpisah secara geografis dapat dianalisa dengan konsep integrasi pasar spasial dengan menggunakan model keseimbangan spasial. Menurut Barrett dan Li (2002), integrasi pasar didefinisikan sebagai kemampuan menjual produk antara pasar dimana permintaan, penawaran, dan biaya transaksi di pasar yang berbeda menentukan harga dan arus perdagangan secara bersamaan dan transmisi guncangan harga dari satu pasar ke pasar yang lainnya. Sementara Sonogo dan Amadou (2010) menyebutkan bahwa integrasi pasar terkait dengan arus barang dan informasi, harga, jarak, bentuk dan waktu yang dapat didefinisikan sebagai hubungan perdagangan antar pasar dalam proses pembentukan dan transmisi harga dari satu pasar ke pasar yang lain. Artinya integrasi pasar menunjukkan performa pemasaran suatu komoditas.
Integrasi pasar spasial memiliki hubungan yang kuat pada perdagangan komoditas pangan karena bersifat mudah rusak, produksi tidak merata dan konsumsi relative merata dan tetap, serta jarak yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi (Sexton et al. 1991). Selain itu, berfungsinya pasar dan saluran pemasaran sangat penting untuk mengetahui dampak dari berbagai kebijakan ekonomi, seperti kebijakan makroekonomi dan perdagangan. Pasar yang tersegmentasi secara spasial mengisolasi pelaku pasar dan membatasi transmisi insentif harga. Integrasi pasar ditentukan oleh perilaku pedagang dan kondisi pasar, infrastruktur transportasi, komunikasi, dan tempat penyimpanan yang menyebabkan margin pemasaran yang tinggi (Goletti et al, 1995).
Kebijakan pemerintah juga dapat mempengaruhi pasar melalui kebijakan stabilisasi harga, pembatasan perdagangan, dan peraturan yang terkait dengan transportasi. Rapsomanikis et al (2004) menyatakan perilaku oligopoli dan kolusi antarpedagang menjadi penentu terjadinya integrasi pasar. Pedagang dapat mempertahankan perbedaan harga antarpasar di tingkat yang lebih tinggi dari biaya transfer.
Dalam konteks kewilayahan struktur alur perdagangan antar wilayah yang kurang baik menyebabkan harga menjadi fluktuatif. Volatilitas harga dapat dilihat dari nilai koefisien variasi pada komoditi pangan tiap wilayah. Perbedaan nilai koefisien variasi tiap wilayah memperlihatkan bahwa kemampuan tiap wilayah dalam meredam gejolak harga berbeda. Volatilitas dan varian harga yang tidak terlalu besar merupakan faktor yang membuat kebijakan stabilisasi harga efektif (Borensztein, 1994).
Kebijakan stabilisasi harga pemerintah pusat dan pemerintah daerah membutuhkan pemahaman tentang perilaku harga pangan karena sangat berkaitan dengan risiko dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Kemampuan pemerintah dalam membuat kebijakan penetapan harga yang tepat ditentukan oleh pemahaman terhadap struktur, perilaku, dan efektivitas pasar yang digambarkan oleh derajat integrasi pasar antar wilayah sehingga memungkinkan pembuat kebijakan mampu merespon kejutan harga yang terjadi (Firdaus dan Gunawan, 2012; Tsimpo dan Wodon, 2008).
Pemahaman tentang aspek integrasi pasar yang baik membantu pembuat kebijakan merumuskan kebijakan yang menguntungkan produsen dan konsumen. Pemahaman itu antara lain terkait bagaimana integrasi pasar beras medium, pengaruh pasar utama beras medium di setiap wilayah, serta bagaimana implikasinya pada kebijakan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis struktur, perilaku dan efektivitas pasar yang digambarkan oleh integrasi pasar pasar beras medium Sumatera dan Jawa, serta wilayah Indonesia. Hasil analisis dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan perberasan nasional dan antarwilayah.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Permasalahan dalam pemasaran hasil pertanian antara lain adalah lemahnya infrastruktur, kurang memadainya informasi pasar, relatif kecilnya skala pasar hasil pertanian, kurangnya pengetahuan petani tentang grading dan handling, serta tingginya biaya transaksi. Biaya transaksi yang tinggi
3
dihadapi oleh petani di negara berkembang terutama disebabkan oleh tingginya biaya transportasi sebagai akibat dari jauhnya jarak dari sentra produksi ke sentra konsumsi, kondisi jalan yang buruk, dan pembayaran pelayanan jasa kepada pedagang perantara (Makhura dan Mokoena 2003). Konsep efisiensi pemasaran sangat terkait dengan konsep integrasi pasar (Sharp dan Uebele 2013). Definisi operasional integrasi pasar dikenal dengan The Law of One Price (LOP) (Edi et al, 2014; Zunaedah et al. 2015; Gluschenko, 2018). LOP menyatakan bahwa produk yang sama dijual dengan harga yang relatif sama di berbagai pasar, hanya dibedakan oleh biaya transportasi (Monke dan Petzel, 1984; Crucini et al. 2010). Integrasi pasar mengacu pada hubungan jangka panjang antarharga (Ghafoor et al. 2012). Integrasi pasar juga merupakan sinyal dari transmisi harga dan informasi tentang keterkaitan antarpasar yang terpisah (Golleti et al. 1995). Analisis harga pasar meningkatkan pemahaman terkait dengan sinyal harga, arah perubahan, dan transmisi harga dari pusat produksi ke wilayah konsumsi. Metoda Analisis
Berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya yang secara umum menggunakan data time series dengan model analisis regresi linier, penelitian ini menggunakan data panel harga kabupaten/kota di region Sumatera, Jawa dan lainnya dengan model analisis Panel Vector Autoregression (PVAR). Analisis integrasi pasar beras medium dilakukan secara disagregasi wilayah berdasarkan wilayah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Analisis per wilayah ini kemudian dibandingkan dengan hasil analisis secara nasional untuk mengetahui perbedaan integrasi wilayah dan integrasi secara agregat nasional. Dengan demikian secara keseluruhan terdapat 3 model analisis yaitu Indonesia, Sumatera dan Jawa
Analisis integrasi pasar dilakukan melalui uji akar unit dan uji keterpaduan atau uji kointegrasi. Uji akar unit untuk mengetahui stasionaritas data panel yang digunakan dalam model dan untuk mengetahui ordo stasionaritas data tersebut. Uji keterpaduan dilakukan untuk mengidentifikasi keterkaitan dan hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari data time series. Pendeteksian keberadaan kointegrasi dapat dilakukan dengan model Ravallion (1986), Engle dan Granger (1987), atau Johansen (1988). Model Panel Vector Error Correction Model (Panel VECM) digunakan karena terdapat kointegrasi. Panel VECM (k) penelitian ini merupakan pengembangan model VAR/VECM biasa dengan bentuk umum persamaan sebagai berikut:
∆yt dt + ’yt – 1 + Xt + t untuk t = 1, 2, 3, ....... T
∆yt
[
]
;
[
]
; [
] ;
[
]
∆yt – 1
[
]
;
[
]
; Xt
[
]
; t
[
]
; yit
[
( ) ]
Keterangan:
∆yt = matriks difference p variabel yang diamati = matriks lag 1 variabel yang diamati
4
= matriks parameter komponen determinan model dt = vektor komponen determinan ke t ’ = matriks koefisien persamaan jangka panjang
= matriks diagonal penyesuaian
= matriks diagonal kointegrasi = matriks dinamis persamaan jangka pendek Xt = matriks difference yang diamati pada lag operator k t = matriks error term Eceranit = harga eceran kabupaten/kota ke i pada periode ke t (Rp/kg) Grosirit = harga grosir kabupaten/kota ke i pada periode ke t (Rp/kg) HGKPit = harga GKP/produsen kabupaten/kota ke i pada periode ke t (Rp/kg) Ec (B, C, D, E, ....) = harga eceran di kota besar (B,C,D,E...) pada periode ke t (Rp/kg)
Terdapat 18 kabupaten/kota dalam model analisis wilayah Pulau Sumatera, 21 kabupaten/kota untuk analisis wilayah Pulau Jawa dan 24 kabupaten/kota untuk analisis wilayah lainnya. Dengan demikian dalam model analisis aggreggat Indonesia terdapat sebanyak 63 kabupaten/kota yang menjadi unit analisisnya. Harga produsen dan konsumen kota-kota besar di masing-masing wilayah yang dimasukkan dalam model dilakukan dengan pertimbangan kondisi surplus/defisit, PDRB dan hubungan interaksi spasial dengan kabupaten/kota di dalam dan luar wilayahnya. Sementara itu harga PIBC dimasukkan ke dalam semua model wilayah untuk mengetahui besaran pengaruh pasar yang dianggap sebagai acuan utama ini dan perbandingan pengaruhnya dengan pasar beras kota-kota besar di masing-masing wilayah tersebut.
Beras Medium Sumatera yit
[
]
Beras Medium Jawa yit
[
]
Beras Medium Indonesia yit
[
]
Keterangan:
Ec_Sumit = harga eceran kabupaten/kota Sumatera ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) Gr_Sumit = harga grosir kabupaten/kota di Sumatera ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) HGKP_Sumit = harga GKP kabupaten/kota ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) Ec_Pdngt = harga eceran di kota Padang pada periode ke-t (Rp/kg) Ec_Pdngt = harga eceran di kota Palembang pada periode ket (Rp/kg) Ec_Blamt = harga eceran di kota Bandar Lampung pada periode ke t (Rp/kg) Ec_Jawait = harga eceran kabupaten/kota di Sumatera ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) Gr_Jawait = harga grosir kabupaten/kota di Sumatera ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) HGKP_Jawait = harga GKP kabupaten/kota ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) Ec_Bandt = harga eceran di kota Bandung pada periode ke-t (Rp/kg) Ec_Smrgt = harga eceran di kota Semarang pada periode ke-t (Rp/kg)
5
Ec_Sbyat = harga eceran di kota Surabaya pada periode ke-t (Rp/kg) Ec_Lainnyait = harga eceran kabupaten/kota di wilayah lainnya ke-i pada periode ke-t (Rp/kg) Gr_Lainnyait = harga grosir kabupaten/kota di wilayah lainnya ke-i pada periode ke-t (Rp/kg)
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data berbentuk panel data harga di tingkat produsen, harga eceran dan harga grosir kabupaten/kota yang dipublikasikan oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian dan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dari Bulan Juli sampai dengan Bulan Maret 2019. Data produsen berasal dari data Panel Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, sedangkan data harga di tingkat grosir dan eceran berasal dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Validasi Model
Data yang berbentuk time series pada umumnya bersifat tidak stasioner (Pavel dan Barry 2005). Data yang berbentuk time series dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variasinya konstan sepanjang waktu (Vasciaveo et al. 2013). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan persamaan regresi yang semu (spurious regression), sehingga estimasi parameter yang dihasilkan tidak stabil (Granger dan Newbold, 1974). Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi yang yang bersifat semu adalah dengan melakukan diferensiasi terhadap series data yang digunakan, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat kesatu. Integrasi pasar dan transmisi harga merupakan indikator untuk mengukur kinerja pasar. Integrasi pasar spasial mengukur hubungan antara dua lokasi pasar yang terpisah secara geografis akan memiliki harga jangka panjang yang sama dan hanya dibedakan oleh biaya distribusi dan margin pemasaran (Ardeni 1989).
Panel unit root test menggunakan Levin, Li & Chu, Augmented Dicky Fuller (ADF) dan Philip Peron menunjukkan bahwa harga produsen (GKP) dan harga grosir di wilayah lainnya stasioner pada level sedangkan harga eceran dan grosir tidak stasioner pada level. Hal ini karena pada uji akar unit harga eceran dan grosir, nilai ρ value kurang dari critical value pada taraf nyata 5%, dan 10%. Setelah dilakukan diferensiasi satu kali (first difference) pada semua harga maka hasil uji menunjukkan bahwa semua harga sudah stasioner pada tingkat yang sama sehingga persamaan regresi yang dihasilkan tidak bersifat spurious (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Panel Unit Root Test Beras Medium
Levin, Lin
& Chu Test
Statistic
ρ valueADF Test
Statistic ρ value
PP Test
Statistic ρ value
Levin, Lin &
Chu Test
Statistic
ρ value
ADF
Test
Statistic
ρ value PP Test
Statistic ρ value
1 Harga Eceran Padang Ec_Pdg 6,03 1,00 1,45 1,00 2,27 1,00 -23,75 0.000*** 591 0.000*** 3.177 0.000***
2 Harga Eceran B.Lampung Ec_Blam -0,85 0,19 17,59 0,99 7,63 1,00 -30,63 0.000*** 895 0.000*** 3.184 0.000***
3 Harga Eceran Sumatera Ec_Sum -1,17 0,12 27,69 0,84 90,96 0.000*** 9,52 0.000*** 1.071 0.000*** 2.256 0.000***
4 Harga GKP_Sum GKP_Sum -3,61 0.000*** 59,96 0.007*** 70,97 0.000***
5 Harga Grosir Sumatera Gr_Sum 3,22 0,99 9,44 1,00 7,93 1,00 -35,91 0.000*** 1.151 0.000*** 2.860 0.000***
6 Harga PIBC H_PIBC -0,23 0,41 10,07 1,00 11,59 1,00 44,3 1,00 1.210 0.000*** 2.529 0.000***
7 Harga Eceran Bandung Ec_Band 3,94 1,00 4,71 1,00 6,39 1,00 33,16 1,00 1.048 0.000*** 3.326 0.000***
8 Harga Eceran Semarang Ec_Smrg 2,39 0,99 7,98 1,00 2,99 1,00 -37,44 0.000*** 1.268 0.000*** 3.618 0.000***
9 Harga Eceran Surabaya Ec_Sbya 3,17 0,99 6,16 1,00 6,77 1,00 -29,35 0.000*** 860 0.000*** 3.717 0.000***
10 Harga Eceran Jawa EC_Jawa -2,66 0.004*** 35,86 0,74 41,33 0,5 -6,61 0.000*** 802 0.000*** 2.735 0.000***
11 Harga Grosir Jawa Gr_Jawa -1,06 0,14 29,02 0,94 37,8 0,66 16,9 0.000*** 644 0.000*** 2.748 0.000***
12 Harga GKP_Jawa GKP_Jawa -5,58 0.000*** 79,50 0.000*** 76,43 0.000***
13 Harga Eceran Mataram Ec_Mtrm 2,79 0,99 7,98 1,00 2,35 1,00 -39,61 0.000*** 1.413 0.000*** 3.784 0.000***
14 Harga Eceran Banjarmasin Ec_Bjms -2,90 0.02** 36,04 0,85 29,63 0,97 -45,30 0.000*** 1.729 0.000*** 2.765 0.000***
15 Harga Eceran Makassar Ec_Mksr -0,36 0,36 19,3 0,99 9,31 1,00 -24,23 0.000*** 636 0.000*** 3.965 0.000***
16 Harga Grosir Lainnya Gr_Lain -0,30 0,38 65,28 0.03** 72,84 0.007***
17 Harga GKP Lainnya GKP_Lain -3,42 0.000*** 71,80 0.008*** 102,86 0.000***
Keterangan:
**) : signifikan pada ρ = 5 %
***) : signifikan pada ρ = 1 %
No
Level First Difference
SimbolVariabel
6
Uji kointegrasi dilakukan untuk mengidentifikasi keterkaitan dan hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari data panel. Pendeteksian keberadaan kointegrasi dapat dilakukan dengan model Ravallion (1986), Engle dan Granger (1987), atau Johansen (1988). Johansen Fisher Panel Cointegration Test dilakukanuntuk menentukan ada atau tidak kointegrasi. Kointegrasi akan mengoreksi fluktuasi variabel pada jangka pendek menuju kestabilan pada keseimbangan jangka panjang. Berdasarkan hasil uji kointegrasi yang diuraikan pada Tabel 2, terdapat 2 (dua) kointegrasi pada analisis wilayah Sumatera, Jawa dan lainnya, sedangkan pada analisis Indonesia terdapat 3 (tiga) persamaan kointegrasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada model penelitian ini terdapat kointegrasi jangka panjang sehingga model Panel Vector Error Correction Model (Panel VECM) dipilih sebagai alat estimasi.
Tabel 2. Hasil Uji Kointegrasi Beras Medium
Berdasarkan hasil uji kointegrasi di atas dapat dilihat bahwa nilai trace statistic dan maximum eigenvalue pada rank = 1 lebih besar dari critical value dengan tingkat signifikansi 5% pada analisis wilayah Sumatera, Jawa dan lainnya. Sementara pada analisis Indonesia nilai trace statistic dan maximum eigenvalue pada rank = 2 lebih besar dari critical value dengan tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi ditolak dan hipotesis alternatif yang menyatakan adanya kointegrasi tidak ditolak, sehingga dapat dikatakan pada seluruh variabel terdapat hubungan jangka panjang yang signifikan. Berdasarkan uji kointegrasi dapat dikatakan bahwa pasar beras medium terintegrasi secara spasial. Terdapat dua vektor kointegrasi antara harga eceran di pasar-pasar wilayah Sumatera, Jawa dan lainnya. Harga – harga beras medium memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang dan terdapat keterpaduan yang kuat antarpasar beras medium, sehingga harga di satu pasar dapat digunakan untuk memprediksi harga di pasar lain. Analisis integrasi spasial untuk pasar produk pertanian telah banyak dilakukan, antara lain oleh Firdaus dan Gunawan (2012), dan Katrakilidis (2008).
Beras Medium Sumatera
Unrestricted Cointegration Rank Test
183.3 0.0000 184.3 0.0000
61.87 0.0000 74.22 0.0000
20.82 0.8934 32.94 0.3252
None**
At most 1**
At most 2
Hypothesized
No. of CE (s)
Fisher Stat* (from
trace test)Prob
Fisher Stat* (from
max-eigen test)Prob
Beras Medium Jawa
Unrestricted Cointegration Rank Test
280.6 0.0000 335.1 0.0000
83.57 0.0000 126.5 0.0000
26.26 0.8259 36.25 0.3641
Fisher Stat* (from
max-eigen test)Prob
None**
At most 1**
At most 2
Hypothesized
No. of CE (s)
Fisher Stat* (from
trace test)Prob
Beras Medium lainnya
Unrestricted Cointegration Rank Test
176.0 0.0000 193.6 0.0000
52.51 0.0000 98.29 0.0000
11.83 1,0000 28.28 0.8171
Hypothesized
No. of CE (s)
Fisher Stat* (from
trace test)Prob
Fisher Stat* (from
max-eigen test)Prob
None**
At most 1**
At most 2
Beras Medium Indonesia
Unrestricted Cointegration Rank Test
2090.0 0.0000 1317 0.0000
949.5 0.0000 749.6 0.0000
383.5 0.0001 421.8 0.0000
121.0 0.1851 175.6 0.0000
Keterangan
*) : probabilities are computed using as ymptotic Chi-square distribution
**) : denotes rejection of the hypothesis at the 0.05
Hypothesized
No. of CE (s)Fisher Stat* (from
trace test)
At most 3
At most 2
Prob Fisher Stat* (from
max-eigen test)Prob
None**
At most 1**
7
Keragaan Produksi, Konsumsi dan Surplus Defisit Beras Indonesia
Produksi padi Indonesia berdasarkan pendataan Kerangka Sampel Analisis (KSA) Badan Pusat Statistik (BPSb,2018) dari Januari hingga September 2018 sebesar 49,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 9,46 juta ton, sedangkan produksi terendah pada bulan Januari yaitu sebesar 2,71 juta ton. Potensi produksi padi pada bulan Oktober, November, dan Desember masing-masing sebesar 2,66 juta ton, 2,10 juta ton, dan 2,13 juta ton. Dengan demikian, perkiraan total produksi padi 2018 adalah sebesar 56,54 juta ton. Apabila dikonversikan menjadi beras dengan angka konversi GKG ke beras tahun 2018 setara dengan 28,47 juta ton beras. Dengan memperhitungkan potensi produksi sampai dengan Desember 2018, perkiraan total produksi beras tahun 2018 adalah sebesar 32,42 juta ton beras (Gambar 1).
Gambar 1. Produksi Beras Indonesia Bulanan 2018
Produksi beras 2018 terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera. Produksi beras di kedua
pulau ini mencapai 75% dari total produksi beras Indonesia. Pulau Sulawesi menjadi pulau berikutnya yang menjadi penyumbang produksi beras dengan porsi sebesar 14% dari total produksi beras Indonesia. Wilayah lainnya hanya berkontribusi sebesar 11% dari total produksi (Gambar 2).
Gambar 2. Produksi Beras Indonesia Per Pulau 2018
Hal ini sesuai dengan data yang menunjukkan bahwa 10 provinsi produsen beras tertinggi ada di
tiga pulau tersebut (Gambar 3). Hanya Provinsi Sulawesi Selatan, NTB dan Kalimantan Selatan yang termasuk provinsi penghasil beras terbesar di luar Pulau Jawa dan Sumatera. Lima provinsi dengan produksi beras tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan produksi masing-masing sebesar 6.05 juta ton, 5.48 juta ton, 5.44, 3.28 dan 1.51 juta ton beras. Produksi beras di kelima provinsi tersebut mencapai 67.14% dari total produksi beras Indonesia.
1,55
3,21
5,42
4,20
2,72
2,54
3,07 2,99 2,78
1,32 1,32
1,32
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Pro
du
ksi (
juta
to
n)
Produksi Beras Indonesia 2018 = 32.419.910 ton
8
Gambar 3. Provinsi Produsen Beras Terbesar Indonesia 2018
Gambar 4. Produksi, Konsumsi dan Surplus/Defisit Beras Indonesia Per Pulau 2018
Apabila menggunakan rata-rata konsumsi beras per kapita nasional sebesar 111.58
kg/kapita/tahun, total konsumsi beras nasional Tahun 2018 berada di bawah jumlah produksi yaitu sebesar 29.57 juta ton. Meskipun secara aggregat nasional produksi beras mengalami surplus, namun jika dianalisis secara disaggregat per pulau besar wilayah Bali dan Nusa Tenggara serta Maluku dan Papua mengalami defisit. Sementara produksi beras di Pulau Kalimantan relatif sama dengan jumlah konsumsi komulatif tahun 2018 (Gambar 4).
Sesuai dengan jumlah penduduknya, konsumsi beras terbesar berada di Pulau Jawa sebesar 17.26 juta ton (58.36%) dan Pulau Sumatera (20.60%). Konsumsi beras di Pulau Sulawesi jauh dibawah angka produksinya. Jumlah konsumsi hanya sebesar 2.21 juta ton yang berarti terdapat kelebihan produksi beras di wilayah ini sebesar 2.43 juta ton atau sekitar 85.41% dari total surplus nasional sebesar 2.85 juta ton.
Kondisi surplus defisit per Provinsi menunjukkan bahwa hampir semua provinsi sentra produksi beras mengalami surplus sedangkan provinsi non sentra produksi mengalami kondisi defisit. Namun demikian Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara yang merupakan provinsi sentra produksi secara aggregat tahun 2018 justru mengalami defisit karena jumlah konsumsinya yang lebih besar dari kemampuan produksi. Produksi beras Provinsi Jawa Barat sebesar 5.48 juta ton masih lebih kecil dari total konsumsinya sebesar 6.25 juta ton sehingga defisit sebesar 0.77 juta ton. Defisit produksi beras Provinsi Sumatera Utara sebesar 0.56 juta ton karena produksinya sebesar 1.09 juta ton lebih kecil daripada konsumsi masyarakatnya yang berjumlah 1.65 juta ton.
Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah defisit produksi beras terbesar (1.24 juta ton), karena pemenuhan kebutuhan konsumsi beras masyarakat di wilayah ibukota ini seluruhnya diperoleh dari produksi provinsi lain. Sementara itu, provinsi di luar Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi merupakan wilayah defisit, kecuali Provinsi NTB, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah (Gambar 5).
668.984
792.977
870.705
908.563
973.000
1.087.189
1.088.669
1.511.987
3.277.270
5.442.034
5.480.415
6.053.467
- 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000
Kalsel
Sumbar
Aceh
Sumut
Sulsel
Jabar18.67%
16.90%
4.66%
(5.000.000)
-
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
35.000.000
Sumat
era
Jawa Bali
dan
NT
Kalim
antan
Sulaw
esi
Maluk
u dan
Papua
Indone
sia
Produksi Beras (ton) 6.185.18 18.168.0 1.624.53 1.640.43 4.648.84 152.899 32.419.9
Konsumsi (ton) 6.090.11 17.255.7 1.793.23 1.601.17 2.213.29 614.926 29.568.4
Surplus/Defisit (ton) 95.075 912.263 (168.701 39.260 2.435.54 (462.027 2.851.41
16.79% 10.11%
3.36%
9
Gambar 5. Surplus/Defisit Beras Per Provinsi Tahun 2018
Integrasi Pasar Beras Medium
1. Sumatera
Harga eceran beras medium Sumatera responsif terhadap kejutan harga grosir dan GKP. Harga grosir dan eceran saling merespon secara positif. Harga eceran mulai merespon shock harga di tingkat grosir mulai dari awal periode sampai dengan periode ke-10 dan harga grosir mulai merespon shock harga eceran pada periode ke-4. Shok harga GKP hanya direspon positif oleh harga eceran secara singkat yang kemudian menurun setelah periode ke-4 sedangkan harga grosir cenderung tidak merespon shock harga GKP. Hasil IRF tersebut sesuai dengan uji FEDV yang menunjukkan bahwa harga eceran mempengaruhi harga grosir (0.819) dan GKP (0.408), sementara harga grosir dan GKP tidak mempengaruhi harga eceran Sumatera (Tabel 3).
Tabel 3. Keterkaitan Harga Beras Medium Eceran di Kota-Kota Besar Pulau Sumatera
Pengaruh harga kabupaten/kota (eceran, grosir, dan GKP) yang sangat kecil daripada harga eceran beras di kota-kota besar Sumatera (Padang, Palembang, dan Bandar Lampung) menunjukkan dominasi pasar kota-kota besar tersebut. Keterkaitan harga antarpasar kota - kota besar wilayah Sumatera menjadi penentu pembentukan harga yang ditansmisikan ke pasar kabupaten/kota lainnya sehingga pengaruh harga pasar kabupaten/kota kecil. Kota-kota besar memiliki PDRB yang lebih besar daripada kabupaten/kota lain. Menurut Ismet et al. (1998) dan Hidayanto et al. (2014) PDRB bruto per kapita signifikan dan berpengaruh positif terhadap integrasi pasar beras di Indonesia. Selain itu kabupaten tersebut merupakan daerah dengan kondisi infrastruktur yang cenderung kurang baik daripada kota–kota besar. Kelemahan infrastruktur (fisik, komersial dan kelembagaan) meningkatkan biaya transfer dan menghambat aliran harga dan informasi penting (Baquedano dan Liefert, 2014; Varela et al, 2012; Siddique et al, 2008) mengakibatkan wilayah ini bukan penentu harga.
(1.239.848) (770.587) (564.933) (425.498) (411.044) (194.798) (187.930) (178.031) (168.773) (147.949) (142.276) (141.990)
(138.420) (122.104) (88.778) (83.024) (66.183) (53.848)
(46.764) (36.720) (29.768)
(596) 15.037
178.103 178.135 199.174 207.879 210.385
306.067 315.190
687.694 1.723.904 1.751.828
2.317.880 2.851.414
(2.000.000) (1.000.000) - 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000
DKIJabar
SumutRiau
BantenKep Riau
KaltimNTTBali
Papua BaratMaluku
DIYKep Babel
KalbarMalutPapuaSulut
BengkuluJambi
KaltaraSultra
GorontaloSulbar
NTBKaltengSultengKalsel
SumbarAceh
LampungSumselJatengJatim
SulselIndonesia
No VariabelVariance
Period PIBC Ec_Padang Ec_Palembang Ec_B.Lampung Eceran Harga GKP
1 Ec_Bandar lampung 10 1.072 1.494 0.231
2 Ec_Padang 10 9.364 0.889 0.402
3 Eceran Sumatera 10 0.349 0.466 0.332
4 Ec_Palembang 10 1.804 1.868 0.408 1.723
5 Harga GKP Sumatera 10 0.759 1.227 0.408
6 Grosir Sumatera 10 0.349 0.437 0.819
7 Harga PIBC 10 0.870 3.328 1.586
3.36%
3.35%
3.00%
2.80%
2.69%
2.45%
2.06%
10
Hal ini menunjukkan bahwa secara vertikal terjadi ketidakseimbangan respon antara harga GKP, grosir dan eceran beras medium di wilayah Sumatera. Harga eceran menjadi harga yang menentukan pembentukan harga di tingkat grosir dan produsen karena merespon dan direspon oleh kejutan harga GKP dan grosir, sedangkan kejutan harga GKP cenderung tidak direspon harga di tingkat eceran dan grosir. Respon harga beras medium eceran antarpasar kota – kota besar wilayah Sumatera terhadap kejutan di masing – masing pasar menunjukkan bahwa pasar beras medium Palembang memiliki hubungan respon yang kuat dengan pasar Bandar Lampung dan Padang. Sementara hubungan respon antara pasar Bandar Lampung dengan Padang relatif lebih lemah (Gambar 6).
Harga eceran beras medium Palembang mempengaruhi harga Bandar Lampung dan Padang. Harga eceran beras medium Padang dan Bandar Lampung hanya mempengaruhi harga Palembang, sementara harga eceran beras medium Padang dan Bandar Lampung memiliki hubungan yang lemah. Selain itu Provinsi Sumatera Selatan merupakan empat besar provinsi dengan surplus produksi sebesar 688 ribu kg. Provinsi Lampung juga menjadi provinsi dengan surplus yang besar yaitu sebanyak 315 ribu kg (Gambar 5). Kedua provinsi surplus ini menjadi penentu pergerakan barang dan penentu pembentukan harga eceran beras medium Sumatera dan kabupaten/kota lainnya.
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR_SUM to ECERAN_SUM
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of H_GKP SUM to ECERAN_SUM
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN_SUM to HGKP_SUM
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN_SUM to GROSIR_SUM
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR_SUM to GKP_SUM
-20
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_BLAM to EC_PLBG
-20
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_PLBG to EC_BLAM
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_PLBG to Ec_PDG
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_PDG to Ec_PLBG
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_BLAM to Ec_PDG
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_PDG to Ec_BLAM
Gambar 6. Hubungan Harga GKP, Eceran, dan Grosir Beras Medium di Sumatera
Pasar beras medium Palembang menjadi penghubung keterkaitan harga produsen dan konsumen serta penghubung antardaerah di Sumatera sehingga dapat disimpulkan bahwa Palembang menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Sumatera. Hal ini dibuktikan dengan pengaruh harga beras medium Palembang terhadap harga PIBC yang cukup besar (3.328%), sementara harga PIBC sangat mempengaruhi harga beras medium Padang (9.364%) dan harga beras medium Bandar Lampung (1.072%).
11
2. Pulau Jawa
Harga eceran beras medium Jawa sangat responsif terhadap kejutan harga grosir dan harga GKP Jawa. Kejutan harga beras medium di tingkat grosir Jawa juga direspon oleh harga eceran Jawa dan harga GKP secara positif. Demikian pula kejutan harga GKP juga direspon positif oleh harga eceran dan grosir. Meskipun demikian hubungan respon antara harga eceran dan grosir serta harga eceran dan GKP lebih kuat daripada hubungan antara harga grosir dengan harga GKP. Hal ini berarti bahwa terjadi keseimbangan arah respon secara vertikal mulai dari harga GKP, grosir dan eceran.
Harga eceran menentukan pembentukan harga ditingkat grosir dan produsen, demikian pula pengaruh harga grosir dan juga menentukan harga di tingkat eceran dan GKP, namun respon harga dari tingkat petani ke grosir dan sebaliknya relatif lebih kecil. Hal ini terjadi karena pengaruh kekuatan pedagang besar sebagai penentu harga sehingga kejutan harga di tingkat grosir cenderung direspon lebih lemah dan membutuhkan waktu penyesuaian yang lebih lama oleh harga GKP tingkat petani. Sebaliknya kejutan harga GKP dan grosir direspon sangat kuat dan cepat oleh harga di tingkar eceran.
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN Jawa to GROSIR Jawa
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR_Jawa to ECERAN_Jawa
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN Jawa to H_GKP Jawa
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR_Jawa to H_GKP Jawa
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of HGKP_Jw to GROSIR_Jw
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of H_GKP Jawa to ECERAN_Jawa
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of EC_SMRG to EC_BAND
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_SMRG to PIBC
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_SMRG to Ec_SBYA
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of Ec_BAND to Ec_SBYA
-40
0
40
80
2 4 6 8 10
Response of PIBC to Ec_BAND
-20
0
20
40
60
2 4 6 8 10
Response of Ec_SBYA to EC_BAND
-20
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of PIBC to Ec_SMRG
Gambar 7. Hubungan antara Harga GKP, Eceran, dan Grosir Beras Medium di Jawa
Hubungan respon harga eceran beras medium PIBC dan Bandung sangat besar (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan hasil FEDV yang menunjukkan pengaruh harga PIBC terhadap harga eceran Bandung sebesar 8.271% dan pengaruh harga eceran Bandung sebesar 11.390% terhadap harga PIBC. Harga eceran beras medium Bandung juga memiliki hubungan respon dengan harga eceran Semarang yang sesuai dengan hasil FEDV yang menunjukkan besaran pengaruh harga eceran Bandung sebesar 4.903 % terhadap harga eceran Semarang dan pengaruh harga eceran Semarang sebesar 10.853 % terhadap harga eceean Bandung. Sementara itu, harga eceran Surabaya memiliki hubungan yang paling lemah dengan pasar beras medium kota lainnya di wilayah Pulau Jawa. PIBC menjadi harga acuan utama bagi beras di Jawa, karena sangat mempengaruhi harga eceran semua kota besar Pulau Jawa, termasuk Surabaya (2.172 %). Hal itu juga terlihat dari respon harga eceran Jawa, Bandung, Surabaya, dan Semarang terhadap kejutan pada harga PIBC.
12
Tabel 4. Keterkaitan antar Harga Beras Medium Eceran di Kota-Kota Besar Pulau Jawa
3. Indonesia
Secara aggregat nasional harga eceran beras medium sangat responsif terhadap kejutan harga grosir, namun tidak responsif terhadap kejutan harga GKP. Demikian pula harga grosir juga responsif terhadap kejutan harga eceran, namun tidak responsif terhadap kejutan harga GKP. Hal ini berarti bahwa secara aggregat nasional terjadi ketidakseimbangan respon secara vertikal dari harga produsen (GKP), ke level pasar di atasnya yaitu pasar grosir dan pasar eceran. Harga eceran menjadi harga yang menentukan pembentukan harga di tingkat grosir dan produsen karena merespon dan direspon oleh kejutan harga grosir. Demikin pula harga grosir beras medium juga memiliki respon dan direspon oleh kejutan harga eceran. Namun harga GKP nasional cenderung kurang merespon kejutan harga di tingkat eceran dan grosir dan kejutan harga eceran dan grosir juga cenderung kurang direspon oleh harga GKP.
Harga PIBC sangat mempengaruhi harga eceran beras medium Indonesia. Kejutan harga PIBC sangat direspon oleh harga eceran. Namun kejutan harga eceran kurang direspon oleh harga PIBC. Demikian pula harga kejutan harga PIBC sangat direspon oleh harga eceran, namun kejutan harga GKP kurang direspon oleh harga PIBC. Hal ini terjadi karena pengaruh kuatnya pengaruh pedagang besar yang direspresentasikan oleh pasar PIBC dalam menentukan harga. Pedagang besar sebagai penentu harga mengakibatkan transmisi harga secara vertikal menjadi tidak seimbang. Transmisi kejutan kenaikan harga PBIC ke harga produsen cenderung lambat, sementara kejutan harga di tingkat produsen ditransmisikan secara cepat ke harga konsumsen terutama pedagang besar (PIBC). Secara spasial PIBC memiliki hubungan respon paling besar dengan pasar beras medium Bandung dan Makassar.
Berdasarkan analisis per wilayah dan analisis agegat Indonesia, harga PIBC menjadi acuan bagi harga eceran dan grosir nasional maupun di kota besar lainnya. Harga eceran Bandung dan Makassar merupakan harga yang paling berpengaruh terhadap harga di kota lainnya. Bandung paling berpengaruh di Pulau Jawa sementara Makassar paling berpengaruh di luar Pulau Jawa dan Sumatera. Surabaya lebih terkait dengan Makassar (5.335 %) daripada kota lain di Pulau Jawa
(Tabel 6). Hal ini berarti surplus produksi Jawa Timur banyak mengalir ke wilayah di luar Pulau Jawa. Bersama dengan pasokan Sulawesi Selatan memenuhi kebutuhan konsumsi beras di wilayah defisit Indonesia Timur. Hernandez-Villafuerte (2012) menyebutkan pasar kurang terintegrasi disebabkan oleh lokasi pasar yang dekat dengan pelabuhan atau negara tetangga. Hal ini menyebabkan pasar beras medium Surabaya cenderung kurang terintegrasi dengan kawasan Pulau Jawa.
Dominasi pengaruh Makassar yang besar diduga terjadi akibat keterkaitannya dengan PIBC yang sangat kuat. Makassar mempengaruhi perubahan harga PIBC sebesar 8.930 %. Hal ini sesuai dengan data Food Station Cipinang yang menyatakan bahwa pasokan beras Sulawesi Selatan mencapai 26.9 % dari total pasokan ke PIBC pada tahun 2018.
Harga eceran Makassar sangat dipengaruhi oleh harga Bandung (15.522 %) karena jumlah pasokan beras dari Sulawesi Selatan ke PIBC (yang menjadi acuan harga beras di semua level dan wilayah di Indonesia) sangat tergantung pada kemampuan produksi Jawa Barat sebagai pemasok utama beras. Harga eceran Bandung sangat dipengaruhi oleh PIBC (17.379 %). Selain itu, Sulawesi Selatan termasuk pemasok utama bagi wilayah Sumatera (Susilowati, 2017). Dari sekitar 56,27 % beras Sulawesi Selatan yang mengalir ke luar provinsi, 14.85 % diantaranya mengalir ke wilayah Sumatera (BPS, 2018a). Hal ini menyebabkan harga eceran Makassar sangat mempengaruhi perubahan harga di Sumatera termasuk harga eceran Palembang (14.678 %).
No Variabel Variance
Period PIBC Ec_Band Ec_Smrg Ec_Sbya
Eceran
Jawa
Grosir
Jawa
H_GKP
Jawa
1 Eceran Bandung 10 8.271 10.853 3.625
2 Eceran Semarang 10 1.477 4.903 0.995
3 Eceran Surabaya 10 2.172 2.244 0.398
4 Eceran Jawa 10 0.148 0.988 0.570
5 Harga GKP Jawa 10 1.296 2.145 0.422
6 Grosir Jawa 10 0.365 0.518 0.437
7 PIBC 10 11.390 3.055 3.463
13
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN to GROSIR
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN to GKP
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR to ECERAN
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GROSIR to GKP
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GKP to GROSIR
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of ECERAN to PIBC
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of GKP to PIBC
-10
0
10
20
2 4 6 8 10
Response of PIBC to GKP
0
20
40
2 4 6 8 10
Response of PIBC to EC_MKSR
-20
0
20
40
2 4 6 8 10
Response of PIBC to EC_BAND
Gambar 9. Hubungan antar HGKP, Eceran, dan Grosir Beras Medium Indonesia
Berdasarkan temuan dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pasar utama acuan
beras medium di Indonesia adalah: (1) PIBC yang mempengaruh harga eceran di semua wilayah dan kota besar; (2) Palembang yang merupakan pasar kota besar di provinsi surplus terbesar di wilayah Sumatera. Selain itu secara spasial Palembang sangat terkait dengan Bandar Lampung yang juga merupakan daerah surplus dan wilayah utara Sumatera yang secara agregat merupakan daerah defist; (3) Bandung menjadi pasar acuan bagi Provinsi Jawa Barat yang merupakan produsen beras terbesar kedua setelah Provinsi Jawa Timur.
Tabel 6. Keterkaitan antar Harga Beras Medium Eceran di Kota-Kota Besar Indonesia
Hubungan spasial Jawa Barat dengan PIBC menjadi faktor penting Bandung menjadi pasar acuan karena sebanyak 51,6 % total pasokan PIBC berasal dari Provinsi Jawa Barat; (4) Makassar merupakan kota terbesar di Sulawesi yang merupakan wilayah surplus terbesar nasional. Surplus beras wilayah Sulawesi sebesar 2,32 juta ton atau sekitar 81,23 % dari total surplus beras nasional sehingga menjadi pusat aliran barang ke wilayah lainnya di Indonesia Bagian Timur. (5) Mataram adalah kota besar Provinsi NTB yang merupakan daerah surplus beras karena menjadi Provinsi produsen beras tertinggi setelah Sulawesi Selatan untuk wilayah di luar Pulau Jawa dan Sumatera. Mataram memiliki hubungan spasial dengan Banjarmasin dan Makassar karena harga beras medium Mataram sangat direspon dan mempengaruhi harga Makassar dan Banjarmasin. Selain itu faktor geografis mendukung Mataram mejadi pasar acuan bagi wilayah selatan Indonesia Bagian Timur; (6) Surabaya berperan penting sebagai pasar acuan karena hubungan respon dan pengaruhnya yang sangat kuat dengan pasar beras medium di kota besar wilayah lainnya melalui pasar Kota Makassar. Surabaya memiliki hubungan keterkaitan spasial dengan wilayah lainnya karena pasokan beras ke wilayah ini sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Timur.
No Variabel Variance
Period PIBC Ec_Plbg Ec_Band Ec_Sbya Ec_Mksr Eceran Grosir GKP
1 Ec_Palembang 10 5.782 3.134 14.678
2 Ec_Bandung 10 17.379 0.888 3.344
3 Ec_Surabaya 10 1.464 2.016 5.335
4 Ec_Makassar 10 15.552 2.356 1.795
5 Eceran 10 0.203 0.265 0.083
6 Grosir 10 0.124 0.698
7 Harga GKP 10 0.186 0.185
8 Harga PIBC 10 4.227 1.139 8.930
14
KESIMPULAN
Kesimpulan
Terdapat integrasi spasial antar pasar pada komoditas beras medium secara wilayah maupun nasional yang ditunjukkan oleh adanya kointegrasi jangka panjang pada analisis disagregat wilayah dan aggregat nasional. Namun demikian secara vertikal integrasi pasar beras medium hanya terjadi pada wilayah Pulau Jawa, sementara pada wilayah di luar Pulau Jawa terjadi ketidakseimbangan antara harga produsen, grosir dan eceran. Berdasarkan pengaruh kekuatan pasar, jumlah produksi, surplus/defisit dan keterkaitan spasial maka: (a) PIBC menjadi pasar acuan beras medium Indonesia, (b) Palembang menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Sumatera, (c) Bandung dan Surabaya menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Pulau Jawa, (d) Makassar menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Indonesia Timur.
Variasi antar wilayah dan antar waktu menyebabkan adanya wilayah surplus dan defisit pada periode tertentu maupun sepanjang tahun. Penyimpanan (cadangan dan stok) menjadi faktor penting karena pasokan ke wilayah defisit dan pasokan pada periode defisit dapat dilakukan dengan menyalurkan hasil penyimpanan tersebut. Pengelolaan cadangan dan stok dilakukan di pasar acuan beras medium untuk setiap wilayah. Selain itu pengelolaan cadangan pangan di pasar acuan, pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah, Cadangan Pangan Pemerintah Daerah dan Cadangan Pangan Masyarakat dapat menjadi instrument pengendalian stabilisasi pasokan dan harga beras medium. Pengembangan cadangan dan stok tersebut selanjutnya menjadi pusat distribusi (food hub) regional bagi masing – masing wilayah yang menjadi penghubung pasokan antara wilayah surplus dan defist baik antar kabupaten/kota, antarprovinsi dan antarpulau.
DAFTAR PUSTAKA
Adenegan KO. 2012. Spatial Price Analysis of Tomatoes in Nigeria. Int J Manage Market. 5(2):31-38
Barrett CB, Li JR. 2002. Distinguishing Between Equilibrium and Integration in Spatial Price Analysis. Am J Agric Econ. 84:292-307
Baquedano, FG. Liefert, WM., 2014. Market Integration and Price Transmission in Consumer Markets of Developing Countries. Food Policy 44 (2014) 103 – 114.
Engle RF, Granger CWJ. 1987. Co-integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica. 55(2): 251-276
Granger CWJ, Newbold P. 1974. Spurious Regression in Econometrics. J Econometrics. 2(2):111-120
Badan Pusat Statistik. 2018a. Distribusi Perdagangan Komoditas Beras Indonesia Tahun 2018. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik, 2018b. Luas Panen dan Produksi Beras di Indonesia: Hasil Kegiatan Pendataan Statistik Pertanian Tanaman Pangan Terintegrasi Dengan Metode Kerangka Sampel Area.
Borensztein, E., Khan, M.S., Reinhart, C.M., dan Wickham, P. 1994. The Behavior of Non-oil Commodity Prices. Occasional Paper No.112, International Monetary Fund, Washington.
Crucini MJ, Shintani MT, Tsuruga. 2010. The Law Of One Price Without The Border: The Role of Distance Versus Sticky Prices. Econ J. 120: 462-480.
Edi, Sirojuzilam, Rahmanta. 2014. Analisis Integrasi dan Volatilitas Harga Beras Regional ASEAN Terhadap Pasar Beras Indonesia. J Ekon. 17(2): 126-139.
Firdaus M, Gunawan I. 2012. Integration Among Regional Vegetable Markets in Indonesia. J. ISSAAS. 18(2): 96-106
Ghafoor A, Aslam M. 2012. Market Integration and Price Transmission in Rice Markets of Pakistan. South Asia Network of Economic Research Institute Working Paper No.12. Islamabad (PK): South Asia Network of Economic Research Institute Gluschenko K. 2018. Spatial Integration of Siberian Regional Markets. MPRA Paper No. 85667. Novosibirsk (RU): Institute of Economics and Industrial Engineering, Siberian Branch of the
Russian Academy of Sciencesand Novosibirsk State University.
15
Goletti F, Ahmed R, Farid N. 1995. Structural Determinant of Market Integration: The Case Study of Rice in Bangladesh. Dev Econ. 33(22):185-202. Johansen S. 1988. A Statistical Analysis of Co-integration Vectors. J Econ Dynamics Control. 12(2-3):231-254.
Hernandez-Villafuerte K. 2012. Relationship Between Spatial Price Transmission and Geographical Distance in Brazil. Paper Presented at The Internatioal Association of Agricultural Economist (IAAE) 2012 Congress Change and Uncertainty.
Hidayanto MW, Anggraeni L, Hakim DB. 2014. Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Pangan. 23(1):1-16.
Ismet M, Adrew PB, Richard VL. 1998. Goverment Intervention and Market Integration in Indonesia Rice Markets. Agricultural Economics. 19(3): 283- 295.
Katrakilidis C. 2008. Testing for Market Integration and The Law Of One Price: An Application to Selected European Milk Markets. Int J Econ Res. 5(1):93-104.
Monke E, Petzel T. 1984. Market Integration: An Application to International Trade in Cotton. Am J Agric Econ. 66(4):481–487
Negassa A, Meyers R, Gabre-Mahdin E. 2003. Analyzing Grain Market Efficiency in Developing Countries: Review of Existing Methods and Extensions of the Parity Bound Model. Markets, Trade, and Institutions Division Discussion Paper No. 63. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute.
Pavel V, Barry KG. 2005. Analysis of Price Transmission Along The Food Chain. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers 3. Paris (FR): OECD Publishing
Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. Am J Agric Econ. 68(1): 102-109
Rapsomanikis G, Hallam D, Conforti P. 2006. Market Integration and Price Transmission in Selected Food and Cash Crop Markets of Developing Countries: Review and Applications. In: Sarris A, Hallam D, editors. Agricultural Commodity Market and Trade: New Approaches to Analyzing Market Structure and Instability. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the United Nations. p. 187-217.
Sanogo, I., dan M. Maliki Amadou. 2010. Rice Market Integration and Food Security in Nepal: The Role of Cross-border Trade with India. Food Policy 35(4): 312-322.
Sexton RJ, Sheldon IM, McCorriston S, Wang H. 2004. Analyzing Vertical Market Structure and Its Implications for Trade Liberalization. AAEA Annual Meetings; 2004 June; Denver, Colorado, United States of America
Sharp P, Uebele M. 2013. Rural Infrastructure and Agricultural Market Integration in The United States: A Long Run Perspective. Discussion Papers on Business and Economics. Odense (DK): University of Southern Denmark.
Siddique MAB, Raha SK, Alam MS. 2008. Market Integration: An Application of Co-integration and Error Correction Model to Rice Markets in Bangladesh. The Agriculturists. 6(1&2): 90-98.
Susilowati, SH., 2017. Perdagangan Antarpulau Beras di Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 15. No.1, Juni 2017: 19-42.
Tsimpo C & Wodon Q, 2008. Rice prices and Poverty in Liberia.
Tomek W, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices. London (GB): Cornell University Press.
Udoh E.J, Sunday B.A. 2007. Estimating Exportable Tree Crop Relative Price Variability and Inflation Movement Under Different Policy Regimes in Nigeria. European J Soc Sci. 5(2):17-26.
Varela GE, Aldaz-Carrol, Lacovone. 2012. Determinants of Market Integration and Price Transmission in Indonesia. Policy Research Working Paper The World Bank No. 6098.
Vasciaveo M, Rosa F, Weaver R. 2013. Agricultural Market Integration: Price Transmission and Policy Intervention. Paper prepared for presentation at the 2nd AIEAA Conference on Between Crisis and Development: Which Role for the Bio-Economy; 2013 Jun 6-7; Parma, Italy
Zunaidah AD, Setiawan B, Anindita R. 2015. Analisis Integrasi Pasar Apel. Habitat. 26(3):183-194
16
MARKETABLE SURPLUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS BERAS PADA TINGKAT PETANI
DI KABUPATEN MAGELANG
Marketable Surplus and Factors that Influence Marketed Surplus of Rice at the Farmer in Magelang Regency
Sadam Mujihartono1*
, Indah Widyarini2, dan Ratna Satriani
2
1Calon Analis Ketahanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian
2Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman
*Penulis korespondensi. E-mail: [email protected]
Diterima: 28 November 2019 Direvisi: 30 November 2019 Disetujui terbit: 2 Desember 2019
ABSTRACT
Micro scope studies are needed in policy making related to food security, including marketed surplus of rice aspects at the level of farm households. The purposes of the research are: 1) To figure out the socio-economic characteristics of farmers and the form of rice sale by farmers in Magelang Regency; 2) To figure out the total of marketable and marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency; 3) To analyze the factors that influence marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang regency. The research was conducted between December 2017 and January 2018 with respondent of non-organic rice farmers on irrigated rice fields. The research method was survey using primary and secondary data that was processed by descriptive and multiple linear regression analysis. The samples were determined using multistage random sampling method and included 100 respondents with the total of 42.34 hectares land area. The results shows that rice farming in Magelang Regency is in line with the socio-economic development of the community and the availability of infrastructure, it already has a sign of shifting patterns of farming from subsistence to commercial with the form of sales of dried unhulled rice. The value of marketable surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency amounted to 86.60 percent of the total production and marketed surplus value of rice amounted to 90.49 percent of the marketable surplus of rice value. The value of marketable surplus of rice is the potential amount of production that can be sold by farmers and marketed surplus value of rice is the portion of production that is sold to the market by farmers. Marketed surplus of rice at the farmer level in Magelang Regency is influenced by variable of production quantity, land area, farmer household expenditure, farming cost (natura), and rice price.
Keywords: rice, marketable surplus, marketed surplus
ABSTRAK
Studi lingkup mikro diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait ketahanan pangan termasuk aspek marketed surplus beras pada tingkat rumah tangga petani. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui
karakteristik sosial ekonomi petani dan bentuk penjualan hasil usahatani padi oleh petani di Kabupaten Magelang; 2) Mengetahui besarnya marketable dan marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2017 sampai bulan Januari 2018 dengan sasaran petani padi sawah non organik pada lahan sawah irigasi. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan data primer dan sekunder yang diolah menggunakan analisis deskriptif dan regresi linear berganda. Penentuan sampel menggunakan metode multistage random sampling dan diperoleh 100 responden dengan jumlah luas lahan 42,34 hektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi di Kabupaten Magelang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur, telah memiliki tanda pergeseran corak usahatani, yaitu dari subsisten ke arah komersial dengan bentuk penjualan hasil berupa gabah kering panen yang dijual secara tebasan. Nilai marketable surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang sebesar 86,60 persen dari jumlah produksi dan nilai marketed surplus beras sebesar 90,49 persen dari nilai marketable surplus beras. Nilai marketable surplus beras adalah jumlah potensial dari hasil produksi yang dapat dijual oleh petani dan nilai marketed surplus beras adalah porsi dari hasil produksi yang dijual ke pasar oleh petani. Marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang dipengaruhi oleh variabel jumlah produksi, luas lahan, pengeluaran rumah tangga petani, biaya usahatani (natura), dan harga beras.
Kata kunci: beras, marketable surplus, marketed surplus
17
PENDAHULUAN
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang memegang peranan penting bagi perekonomian dan penunjang ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan di masa mendatang telah menjadi salah satu isu terpenting baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Ketersediaan pangan sangat terkait dengan dinamika perberasan nasional. Beras telah menjadi komoditas yang sangat penting bagi perekonomian bangsa karena beras menjadi makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Isu tentang beras selain menjadi isu ekonomi juga dapat meluas menjadi isu sosial dan politik. Kasus kegagalan produksi, melambungnya harga beras, dan kelangkaan beras di pasar dapat menjadi pemicu gejolak sosial yang dapat berimplikasi pada situasi dan stabilitas politik nasional. Ketersediaan beras yang cukup dari waktu ke waktu menjadi salah satu agenda penting pemerintah pusat, daerah dan stakeholders terkait. Ketersediaan beras di masyarakat tergantung dari besarnya jumlah sisa produksi beras (marketed surplus), makin besar marketed surplus petani maka kebutuhan masyarakat terhadap beras semakin tercukupi. Selain itu, ketersediaan beras di pasar juga mempengaruhi harga beras baik di tingkat produsen maupun konsumen. Pertimbangan petani untuk menjual sebagian atau seluruh hasil produksi beras tentu terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten penghasil pangan di Provinsi Jawa Tengah sehingga produktivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi terus dipacu. Tabel 1 menunjukkan jumlah produksi padi di Kabupaten Magelang selama lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Hasil produksi usahatani padi di Kabupaten Magelang digunakan untuk berbagai macam kebutuhan hidup petani, baik digunakan untuk konsumsi rumah tangga, penggunaan untuk kegiatan usahatani selanjutnya maupun terkait dengan kebutuhan hidup petani sehari-hari lainnya. Petani padi di Kabupaten Magelang belum dapat didefinisikan secara tegas sebagai produsen apabila melihat dari sisi konsumsi petani padi tersebut. Hal ini berarti bahwa di samping petani berperan sebagai produsen, petani juga berperan sebagai konsumen beras. Apabila kebutuhan pangan petani terhadap beras lebih tinggi dari hasil produksinya maka petani padi di Kabupaten Magelang mengusahakan padi dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Namun, apabila terdapat kelebihan hasil produksi maka sisa hasil produksi petani setelah dikurangi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga memiliki potensi untuk dapat dijual atau dipasarkan kepada masyarakat (marketable surplus).
Tabel 1. Luas panen, produktivitas, jumlah produksi padi, jumlah rumah tangga petani padi, dan jumlah penduduk di Kabupaten Magelang tahun 2012-2016
No Tahun Luas Panen
(ha)
Produktivitas
(kw/ha)
Produksi
(ton)
Jumlah Rumah Tangga
Petani Padi
(jiwa)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
1 2012 57.681 59,97 346.042
98.090
(ST2013)
1.219.371
2 2013 59.364 59,79 354.966 1.221.681
3 2014 57.579 60,07 345.883 1.233.695
4 2015 59.084 62,11 366.981 1.245.496
5 2016 66.564 63,42 422.153 1.257.123
Sumber: BPS Kabupaten Magelang, 2017.
Hasil produksi padi di Kabupaten Magelang tidak semuanya dipasarkan oleh petani, tetapi juga digunakan untuk konsumsi pangan keluarga, membayar tenaga kerja panen, sewa lahan, zakat, irigasi, benih, sewa thresher dan hanya sebagian dari hasil produksi yang dijual atau dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan pangan dan non pangan yang tidak dihasilkan oleh rumah tangga petani. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani dan bentuk penjualan hasil usahatani padi oleh petani di Kabupaten Magelang; 2) Mengetahui besarnya marketable dan marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, yaitu: 1) Sebagai bahan kajian bagi Pemerintah Kabupaten Magelang untuk menentukan kebijakan dalam meningkatkan produksi dan mengendalikan supply beras di Kabupaten Magelang; dan 2) Memberikan informasi bagi petani padi di Kabupaten Magelang mengenai jumlah
18
beras yang beredar di pasar sehingga dapat dijadikan pedoman serta gambaran dalam memasarkan hasil usahatani padinya.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Pengertian mengenai marketable dan marketed surplus telah banyak berkembang sampai saat ini, ada yang menyamakan dan membedakan antara marketable dan marketed surplus. Sebetulnya konsep marketable dan marketed surplus berbeda. Menurut Kusnadi dalam Hendriyana (2011), marketable surplus adalah jumlah potensial yang dapat dijual oleh petani. Pengertian tersebut menurut penulis paling sesuai dengan keadaan petani saat ini. Meskipun demikian, produk yang diukur sebagai nilai marketable surplus tersebut dapat dijual, kenyataannya belum tentu semua produk tersebut dijual oleh petani, tetapi dialokasikan untuk kepentingan lain. Jika dikaitkan dengan kondisi petani padi di Indonesia saat ini dan studi-studi yang telah dilakukan, maka marketable surplus adalah jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura.
Marketable Surplus = hasil panen – pembayaran natura.
Nusril dan Sukiyono (2007), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa jumlah produksi dari petani tidak semuanya dijual ke pasar sehingga jumlah beras yang beredar di masyarakat bergantung pada besarnya marketed surplus petani atau jumlah kelebihan hasil panen yang dijual petani. Petani masih mengeluarkan hasil produksinya untuk kebutuhan pangan keluarga, upah-upah tenaga kerja yang berbentuk natura (padi/beras) atau dikeluarkan untuk sewa lahan. Makin besar marketed surplus, semakin besar pula beras yang beredar di pasar. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap besarnya marketable dan marketed surplus untuk mengetahui jumlah beras yang beredar di Kabupaten Magelang sehingga dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah Kabupaten Magelang dalam menentukan kebijakan subsektor pangan terutama beras.
Usahatani padi pada penelitian difokuskan pada usahatani padi non organik yang masih bersifat konvensional, yaitu padi dengan berbagai varietas dibudidayakan di lahan sawah irigasi baik yang berstatus milik pribadi atau sewa. Beras masih memegang peran utama dalam konsumsi pangan, namun karakteristik produsen beras tidak dapat didefinisikan secara tegas, sebagian besar dari produsen juga berperan sebagai konsumen. Alokasi hasil produksi padi oleh petani secara garis besar dapat digunakan untuk konsumsi kebutuhan rumah tangga, pembayaran dalam natura, dan untuk dijual. Ekonomi kebutuhan beras rumah tangga dapat digolongkan ke dalam sektor surplus dan defisit beras. Obyek pada penelitian dibatasi pada sektor surplus beras, yaitu sektor-sektor yang terdiri atas sektor-sektor produsen beras yang konsumsi beras keluarganya lebih sedikit daripada yang mereka hasilkan dalam setahun. Hal ini berarti bahwa dalam sektor surplus beras, tidak termasuk para petani yang tidak menghasilkan beras ataupun mereka yang konsumsi berasnya melebihi jumlah yang mereka hasilkan.
Pembayaran dalam natura merupakan bagian kecil yang dikeluarkan oleh petani sebelum mendapatkan jumlah bersih yang dihasilkan dari usahatani padinya. Pembayaran dalam natura yang dikeluarkan oleh petani dapat berupa bagi hasil pada petani penyakap, pengeluaran bawon untuk membayar buruh tani, dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bukan berupa uang. Namun, dibayarkan berupa hasil produksi beras petani. Setelah hasil produksi beras dikurangi sebagai pembayaran dalam natura, maka jumlah produksi beras yang dihasilkan dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan beras sehari-hari rumah tangga petani. Adanya pengurangan hasil produksi total beras yang dihasilkan petani untuk pembayaran dalam natura, maka hal tersebut yang diukur dalam penelitian sebagai marketable surplus.
Para petani dalam pengalokasian hasil produksi usahatani, terdapat beberapa petani yang tidak menyisihkan sebagian hasil produksi usahatani padinya untuk digunakan sebagai konsumsi kebutuhan rumah tangga. Semua hasil produksi langsung dijual oleh petani pada saat panen, yang sering disebut sebagai sistem tebasan. Proses penjualan yang demikian tentu ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan oleh petani untuk memilih cara tersebut. Petani yang menjual hasil produksinya dengan sistem tebasan, berarti bahwa petani akan memenuhi kebutuhan beras rumah tangganya dengan membeli beras dari pasar. Besarnya jumlah hasil produksi padi oleh petani yang
19
dipanen secara tebasan tanpa adanya pengurangan untuk konsumsi, pada penelitian ini diukur sebagai nilai marketable surplus yang sama besarnya dengan nilai marketed surplus.
Marketable surplus terdiri atas hasil panen lahan yang diusahakan sendiri oleh petani ditambah dengan hasil panen lahan yang disakapkan atau digarap oleh petani lain dengan pembayaran sewanya menggunakan sistem natura ditambah juga dengan sisa stok sebelum panen sisa dari simpanan gabah musim lalu. Pembayaran natura merupakan pembayaran yang dilakukan selama proses usahatani sampai dengan pemanenan yang pembayarannya meggunakan bagian hasil panen yang terdiri atas pembayaran zakat panen, input produksi, pembayaran tenaga kerja selama proses budidaya sampai dengan pemanenan. Lain halnya dengan pengertian marketed surplus. Newman (1977), mendefinisikan marketed surplus sebagai porsi dari produksi yang dijual ke pasar. Petani dalam pelaksanaannya, sering kali menyimpan sebagian hasil panennya sebagai persediaan untuk konsumsi rumah tangga, benih, dan stok cadangan atau penjualan bertahap.
Marketed Surplus = Marketable Surplus – konsumsi
Marketable surplus adalah bagian produksi bersih yang bisa dijual oleh petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus, jika petani tidak menyisihkan hasil panennya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi menjual seluruhnya dari hasil panen tersebut. Konsumsi rumah tangga yang dimaksud adalah konsumsi untuk benih dan konsumsi beras rumah tangga. Petani biasanya menyimpan kebutuhan konsumsi dan benih dalam bentuk cadangan atau stok. Stok atau penyimpanan dilakukan petani dengan berbagai jenis tujuan, diantaranya untuk benih musim tanam selanjutnya, persediaan konsumsi dan cadangan untuk dijual sewaktu-waktu (dijual bertahap). Hasil produksi usahatani padi oleh petani tidak semuanya dijual ke pasar, tetapi dialokasikan untuk berbagai keperluan.
Adapun alur pemikiran yang telah dijabarkan dapat digambarkan oleh kerangka pemikiran pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran.
20
Hipotesis dalam penelitian, yaitu terdapat pengaruh variabel jumlah produksi, pendapatan rumah tangga petani, luas lahan, beras yang dikonsumsi, pengeluaran rumah tangga petani, biaya usahatani (natura), jumlah anggota keluarga, dan harga beras terhadap variabel marketed surplus beras.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2017 sampai dengan bulan Januari 2018 di Desa Gondowangi Kecamatan Sawangan, Desa Payaman Kecamatan Secang, Desa Kajoran Kecamatan Kajoran, dan Desa Kalisalak Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa keempat desa tersebut merupakan desa dengan produksi padi tertinggi pada Daerah Aliran Sungai Progo dan Bogowonto di Kabupaten Magelang. Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode multistage random sampling dengan sasaran penelitian petani padi non organik pada lahan sawah irigasi dan diperoleh sampel sebanyak 100 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara yang dilengkapi dengan kuesioner, dan studi pustaka. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Variabel dan satuan ukuran dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Jumlah produksi
Jumlah produksi beras yang dihasilkan petani, dinyatakan dalam satuan kilogram beras per musim tanam (kg beras/MT).
2. Pendapatan rumah tangga petani Jumlah uang tunai yang didapatkan oleh petani. Pendapatan rumah tangga petani dibedakan menjadi tiga, yaitu pendapatan usahatani padi (on-farm), pendapatan usahatani selain padi (off-farm), dan pendapatan luar usahatani (non-farm) yang diukur dalam satuan rupiah per musim tanam (Rp/MT).
3. Luas lahan Luas lahan yaitu luasan lahan yang digunakan petani untuk kegiatan usahatani padi sawah, dinyatakan dalam satuan hektar (Ha).
4. Beras yang dikonsumsi Jumlah beras yang digunakan untuk konsumsi pangan keluarga petani yang berasal dari hasil panen padi, dinyatakan dalam satuan kilogram beras per musim tanam (kg beras/MT).
5. Pengeluaran rumah tangga petani Besarnya uang tunai yang dikeluarkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga petani baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan yang tidak dihasilkan oleh rumah tangga petani dinyatakan dalam satuan rupiah per musim tanam (Rp/MT).
6. Biaya usahatani (natura) Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja panen, sewa thresher, zakat, irigasi, dan sakap. Pembayaran ini menggunakan hasil panen padi, dinyatakan dalam satuan kilogram beras per musim tanam (kg beras/MT).
7. Jumlah anggota keluarga Anggota keluarga yang terdiri atas istri, anak, dan kerabat yang turut serta dalam keluarga berada atau hidup dalam satu rumah dan makan bersama yang menjadi tanggungan kepala keluarga dinyatakan dalam satuan orang per kepala keluarga (orang/KK).
8. Harga beras Harga beras yang berlaku saat petani menjual hasil produksi padinya saat panen dan berlaku saat petani menjual secara bertahap hasil panennya, dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
9. Marketable Surplus Marketable surplus yang digunakan dalam penelitian adalah jumlah produksi dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura (padi atau beras) seperti tenaga kerja, sewa lahan, dan pengairan dinyatakan dalam satuan kg beras per musim tanam (kg beras/MT), kemudian diukur dalam persen (%).
10. Marketed Surplus Marketed Surplus adalah marketable surplus dikurangi dengan konsumsi beras rumah tangga dan benih, dinyatakan dalam satuan kg beras per musim tanam (kg beras/MT), kemudian diukur dalam persen (%).
21
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan karakteristik sosial ekonomi petani, bentuk alokasi penjualan hasil produksi padi, jumlah marketable dan marketed surplus beras yang dihasilkan.
2. Analisis regresi linear berganda Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya marketed surplus beras di Kabupaten Magelang dengan persamaan sebagai berikut:
MS = ɑ + ꞵ1lnX1 + ꞵ2lnX2 + ꞵ3lnX3 + ꞵ4lnX4 + ꞵ5lnX5 + ꞵ6lnX6 + ꞵ7lnX7
+ ꞵ8lnX8 + e
MS adalah marketed surplus beras (Kg/petani/MT), ɑ adalah konstanta, X1 adalah jumlah produksi (kg beras/MT), X2 adalah pendapatan rumah tangga petani (Rp/MT), X3 adalah luas lahan (Ha), X4 adalah beras yang dikonsumsi (kg beras/MT), X5 adalah pengeluaran rumah tangga petani (Rp/MT), X6 adalah biaya usahatani (kg beras/MT), X7 adalah jumlah anggota keluarga (orang), X8 adalah harga beras (Rp/kg), ꞵi adalah koefisien regresi variabel ke-i (i= 1,2,3…8), dan e adalah standard error.
Pengujian hipotesis:
a. Uji-F
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor (Xi) secara bersamaan (simultan) terhadap variabel terikat (Y) (Sugiyono, 2014).
Hipotesis pengujiannya adalah H0: ꞵ1 = ꞵI = 0 (Semua faktor Xi tidak mempengaruhi Y)
H1: Minimal salah satu ꞵ tidak bernilai nol
Kriteria Uji:
1) Fhitung ≤ Ftabel, maka terima H0 berarti semua variabel bebas tidak mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel terikat.
2) Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 berarti semua variabel bebas mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel terikat.
Rumus Uji F adalah:
( – ( – – ))
R2 adalah koefisien regresi, n adalah jumlah sampel, dan k adalah jumlah variabel bebas.
b. Uji- t
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
Hipotesis pengujiannya adalah:
H0 : ꞵi = 0 (Variabel X tidak mempengaruhi variabel Y)
H1 : ꞵi ≠ 0 (Variabel X mempengaruhi variabel Y) .
Kriteria Uji:
1) thitung ≤ ttabel, maka terima H0 artinya variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
2) thitung > ttabel, maka tolak H0 artinya variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Rumus perhitungan uji t adalah:
22
t adalah nilai thitung, bj adalah koefisien regresi, dan sbj adalah kesalahan baku koefisien regresi (Suliyanto, 2011).
c. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan sebagai pengukur tingkat kebaikan model. Makin besar nilai
koefisien determinasi maka semakin tinggi nilai keragaman yang dapat diterangkan oleh model.
Rumus perhitungan R2 adalah:
( )
( )
R2 adalah koefisien determinasi, Ŷi adalah nilai taksiran (perkiraan) Y ke i, Ȳ adalah nilai Y rata-
rata, Yi adalah nilai Y ke i (Gujarati, 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
Petani padi di Kabupaten Magelang (83 persen) didominasi oleh petani dengan usia produktif mulai dari usia 30 tahun sampai 64 tahun. Petani yang lebih tua usianya bisa jadi mempunyai kemampuan usahatani yang lebih baik karena lebih berpengalaman dan keterampilannya lebih baik, sedangkan petani muda mungkin masih kurang dalam pengalaman dan keterampilan, tetapi biasanya sikapnya terbuka terhadap inovasi baru (Soekartawi, 1995). Mayoritas (57 persen) petani tersebut telah menyelesaikan pendidikan tingkat SMP. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin berkembang pola berpikirnya sehingga dapat dengan mudah mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani padi yang didukung oleh adopsi inovasi teknologi (Yasa dan Hadayani, 2017).
Petani padi di Kabupaten Magelang rata-rata (48 persen) telah menjalankan usahatani padi selama 15 sampai 24 tahun dengan penguasaan akan lahan sawah yang tergolong sempit (65 persen), yaitu di bawah 0,5 hektar. Pengalaman dalam usahatani memegang peranan penting dalam upaya mengefisienkan faktor-faktor produksi yang akan digunakan dalam kegiatan usahatani padi karena dapat mendorong serta mendukung tercapainya produksi yang diharapkan (Suardana, 2013). Begitu pula dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani, luas lahan akan mempengaruhi besarnya marketed surplus, makin luas lahan yang dikuasai petani maka semakin besar jumlah beras yang dapat dipasarkan oleh petani (Ilham et al., 2010).
Jumlah anggota keluarga yang dimiliki oleh keluarga petani sangat menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Makin banyak anggota keluarga, semakin banyak pula kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Petani di Kabupaten Magelang rata-rata (58 persen) memiliki jumlah anggota keluarga antara tiga sampai empat orang dengan pendapatan rumah tangga (54 persen) antara Rp6.000.000 sampai Rp10.999.999 per musim tanam. Hubungannya dengan marketed surplus, makin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin banyak jumlah kebutuhan konsumsi akan beras sehingga jumlah beras yang dapat dipasarkan oleh petani akan semakin kecil dan makin kaya seorang petani maka semakin besar jumlah beras yang dapat dipasarkan oleh petani (Nusril et al., 2007).
Cara dan Bentuk Penjualan Hasil Usahatani Padi
Marketable surplus dan marketed surplus beras dapat dipelajari melalui cara dan bentuk penjualan hasil usahatani padi oleh petani. Cara dan bentuk penjualan hasil usahatani padi oleh petani di Kabupaten Magelang pada musim tanam periode Juli sampai dengan November 2017 disajikan pada Tabel 1.
Cara penjualan hasil usahatani padi yang banyak dilakukan oleh petani berdasarkan Tabel 1, yaitu sebesar 45 persen dengan cara penjualan tebasan dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Alasan yang dikemukakan oleh petani terhadap keputusan penjualan dengan cara tebasan, yaitu petani membutuhkan uang tunai segera untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani, tidak tersedianya fasilitas penjemuran dan penyimpanan gabah, serta sulitnya tenaga kerja panen. Selain itu, harga gabah yang sedang baik juga menjadi alasan yang dikemukakan oleh petani dalam penjualan secara tebasan karena berdasarkan informasi dari responden petani padi, harga padi tebasan pada musim tanam sebelumnya hanya Rp3.500/Kg, sedangkan saat panen pada periode musim tanam Juli
23
sampai November 2017 mencapai Rp4.500/kg. Desakan kebutuhan akan uang tunai merupakan alasan yang banyak dikemukakan di dalam memilih cara penjualan secara tebasan, sekaligus, dan bertahap. Fenomena ini menarik karena mengindikasikan bahwa usahatani padi menjadi salah satu sumber pendapatan tunai yang penting bagi rumah tangga petani. Hal ini juga menjadi indikator awal bahwa usahatani padi di Kabupaten Magelang mulai bergeser dari komoditas subsisten menjadi komoditas penghasil uang tunai.
Tabel 1. Cara dan bentuk penjulan hasil usahatani padi oleh petani di Kabupaten Magelang pada musim tanam periode Juli sampai November 2017
No. Cara Penjualan Bentuk Penjualan Jumlah Responden
(orang)
Persentase
(%)
1 Tebasan Gabah kering panen 45 45
2 Sekaligus Gabah kering panen 31 31
3 Bertahap Gabah kering giling 3 3
4 Bertahap Beras 21 21
Jumlah 100 100
Sumber: Data primer diolah, 2018.
Cara penjualan hasil usahatani padi yang banyak dilakukan oleh petani berdasarkan Tabel 1, yaitu sebesar 45 persen dengan cara penjualan tebasan dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Alasan yang dikemukakan oleh petani terhadap keputusan penjualan dengan cara tebasan, yaitu petani membutuhkan uang tunai segera untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani, tidak tersedianya fasilitas penjemuran dan penyimpanan gabah, serta sulitnya tenaga kerja panen. Selain itu, harga gabah yang sedang baik juga menjadi alasan yang dikemukakan oleh petani dalam penjualan secara tebasan karena berdasarkan informasi dari responden petani padi, harga padi tebasan pada musim tanam sebelumnya hanya Rp3.500/Kg, sedangkan saat panen pada periode musim tanam Juli sampai November 2017 mencapai Rp4.500/kg. Desakan kebutuhan akan uang tunai merupakan alasan yang banyak dikemukakan di dalam memilih cara penjualan secara tebasan, sekaligus, dan bertahap. Fenomena ini menarik karena mengindikasikan bahwa usahatani padi menjadi salah satu sumber pendapatan tunai yang penting bagi rumah tangga petani. Hal ini juga menjadi indikator awal bahwa usahatani padi di Kabupaten Magelang mulai bergeser dari komoditas subsisten menjadi komoditas penghasil uang tunai.
Produksi, Alokasi Penggunaan, Nilai Marketable dan Marketed Surplus Beras Hasil pengamatan terhadap petani padi di Kabupaten Magelang mengenai alokasi produksi hasil
usahatani padi, nilai marketable dan marketed surplus beras pada tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Alokasi produksi responden petani padi di Kabupaten Magelang per luas lahan (42,34 hektar) pada musim tanam periode Juli sampai November 2017
Uraian Jumlah beras
(kg/MT) Rata-rata (kg/MT)
Persentase (%)
Stok sebelum panen 3.880,88 91,66 3,13
Jumlah produksi hasil panen 119.978,66 2.833,70 96,87
Jumlah produksi 123.859,54 2.925,36 100,00
Biaya tenaga kerja panen (bawon) 6.940,34 163,92 5,60
Sewa thresher 0,00 0,00 0,00
Zakat 3.198,25 75,54 2,58
Irigasi 0,00 0,00 0,00
Bagi hasil (Sakap) 6.456,55 152,49 5,21
Marketable surplus 107.264,40 2.533,41 86,60
Konsumsi pangan keluarga 6.943,94 164,00 6,47
Benih 130,07 3,07 0,12
Marketed surplus 97.060,04 2.293.81 90,49
Sisa marketable surplus (stok) 3.130,35 73,93 2,92
Sumber: Data primer diolah, 2018.
24
Nilai jumlah produksi diperoleh dari jumlah produksi hasil panen pada musim tanam periode Juli sampai November 2017 dan stok sebelum panen. Biaya usahatani yang diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam bentuk natura (beras atau padi). Besarnya marketable surplus beras adalah 107.264,40 kg /MT atau 86,6 persen dari jumlah produksi dengan jumlah luas lahan seluas 42,34 hektar atau 0,42 hektar per petani. Sebagian besar responden mengkonsumsi beras yang dihasilkannya. Namun, ada beberapa responden petani padi yang lebih mengutamakan beras yang dihasilkan untuk dijual kemudian membeli beras dengan varietas lain yang harganya lebih rendah atau dengan kualitas yang lebih baik dari hasil panennya. Beberapa petani responden menggunakan hasil panennya untuk dijadikan benih musim tanam selanjutnya apabila hasil panen padi dianggap memiliki kualitas yang baik. Besarnya marketed surplus beras adalah 97.060,04 kg/MT atau 90,49 persen dari nilai marketable surplus beras dengan luas lahan seluas 42,34 hektar atau 0,42 hektar per petani. Sisa marketable surplus beras digunakan sebagai cadangan ketika suatu saat membutuhkan uang tunai dan mencukupi kebutuhan konsumsi pangan keluarga apabila beras yang dialokasikan untuk konsumsi tidak cukup sampai dengan musim tanam selanjutnya. Nilai marketable dan marketed surplus beras di Kabupaten Magelang menunjukkan angka yang lebih besar dari nilai marketable surplus beras di Kabupaten Banyumas hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Masyhuri dan Novia dalam Krisnamurthi (2014), yaitu sebesar 49,6 persen. Artinya petani di Kabupaten Magelang memiliki potensi yang lebih besar untuk dapat menjual hasil dari usahatani padi yang dijalankannya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Beras
Model persamaan regresi yang telah lolos pengujian asumsi klasik (uji normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas) maka telah layak untuk digunakan karena merupakan model yang memiliki sifat tidak bias, linier dan mempunyai varian yang minimum (Best Linear Unbiased Estimators = BLUE). Model persamaan marketed surplus beras di Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut:
MS = -7.226,94 + 357,89 lnX1 + 152,3 lnX2 + 2.348,63 lnX3 - 6,73 lnX4 - 311,23 lnX5 - 93,85 lnX6 + 101,55 lnX7 + 831,41 lnX8 + e
Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus beras di Kabupaten Magelang
Variable Coefficient Std. Error thitung ttabel p-value
Constant -7.226,937 3.894,839 -1,856
1,99
0,067
LnX1 357,894 112,222 3,189 0,002
LnX2 152,302 126,277 1,206 0,231
LnX3 2.348,629 399,777 5,875 0,000
LnX4 -6,734 18,182 -0,370 0,712
LnX5 -311,233 145,105 -2,145 0,035
LnX6 -93,848 17,479 -5,369 0.000
LnX7 101,546 150,163 0,676 0,501
LnX8 831,409 404,941 2,053 0,043
R-square 0,861 Fhitung 70,613
Adjusted R-square 0,849 Ftabel 2,04
Sumber: Output SPSS diolah, 2018.
Besarnya koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berdasarkan Tabel 3, yaitu sebesar 0,861,
artinya 86,1 persen variasi yang terjadi pada marketed surplus beras dapat dijelaskan oleh variasi dari kedelapan variabel bebas (jumlah produksi, pendapatan rumah tangga, luas lahan, beras yang dikonsumsi, pengeluaran rumah tangga, biaya usahatani, jumlah anggota keluarga, dan harga beras), sedangkan sisanya 13,9 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Menentukan suatu keputusan ada atau tidaknya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, maka digunakan uji F dan uji t. Nilai Fhitung 70,61 lebih besar dari nilai Ftabel 2,04 maka pada tingkat kepercayaan 95 persen
25
variabel jumlah produksi, pendapatan rumah tangga, luas lahan, beras yang dikonsumsi, pengeluaran rumah tangga, biaya usahatani, jumlah anggota keluarga, dan harga beras secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel marketed surplus beras sehingga analisis dapat dilanjutkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat.
a. Variabel Jumlah Produksi (LnX1) Nilai thitung untuk variabel jumlah produksi sebesar 3,19 lebih besar dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel jumlah produksi berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel jumlah produksi bernilai 357,894, artinya jumlah produksi memiliki pengaruh positif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan jumlah produksi sebesar satu persen akan meningkatkan marketed surplus sebesar 3,58 kg beras per musim tanam. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Mubyarto (1970) yang menyatakan bahwa faktor yang paling penting mempengaruhi marketed surplus adalah tingkat produksi dari produk itu sendiri.
b. Variabel pendapatan rumah tangga petani (LnX2)
Nilai thitung untuk variabel pendapatan rumah tangga petani sebesar 1,21 lebih kecil dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel pendapatan rumah tangga petani tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilham et al. (2010) yang menyatakan bahwa pada agroekosistem sawah di Pulau Jawa pendapatan total rumah tangga petani menunjukkan hubungan yang positif dan berpengaruh nyata terhadap marketed surplus gabah. Namun, dilihat dari arah parameter dugaan yang diperoleh sebesar 152,302 menunjukkan arah yang sama dengan penelitian tersebut, yaitu arah positif. Artinya makin tinggi pendapatan rumah tangga, semakin tinggi marketed surplus beras.
c. Variabel luas lahan (LnX3)
Nilai thitung untuk variabel luas lahan sebesar 5,88 lebih besar dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel luas lahan berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel luas lahan bernilai 2.348,63, artinya luas lahan memiliki pengaruh positif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan luas lahan sebesar satu persen akan meningkatkan marketed surplus sebesar 23,49 kg beras per musim tanam. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ilham et al. (2010) yang menyatakan bahwa marketed surplus dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan, makin luas lahan yang dikuasai petani maka semakin besar marketed surplus beras.
d. Variabel beras yang dikonsumsi (LnX4)
Nilai thitung untuk variabel beras yang dikonsumsi sebesar 0,37 lebih kecil dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel beras yang dikonsumsi tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nusril et al. (2007) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah kebutuhan konsumsi akan beras maka jumlah beras yang dapat dipasarkan akan semakin kecil. Namun, dilihat dari arah parameter dugaan yang diperoleh sebesar -6,374 menunjukkan arah yang sama dengan penelitian tersebut yaitu arah negatif, artinya makin banyak beras yang dikonsumsi, semakin sedikit jumlah beras yang dapat dipasarkan oleh petani.
e. Variabel pengeluaran rumah tangga petani (LnX5)
Nilai thitung untuk variabel pengeluaran rumah tangga petani sebesar 2,15 lebih besar dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel pengeluaran rumah tangga berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel pengeluaran rumah tangga bernilai -311,233, artinya pengeluaran rumah tangga berpengaruh negatif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar satu persen akan menurunkan marketed surplus sebesar 3,11 kg beras per musim tanam. Hal ini sesuai dengan pendapat Mathur dan Ezeikel dalam (Mubyarto, 1970) yang menyatakan bahwa marketable surplus dari petani perseorangan ditentukan oleh jumlah uang tunai yang diperlukan untuk membeli barang-barang yang tidak dihasilkan oleh keluarganya.
26
f. Variabel biaya usahatani (natura) (LnX6)
Nilai thitung untuk variabel biaya usahatani sebesar 5,37 lebih besar dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel biaya usahatani berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel biaya usahatani bernilai -93,848, artinya biaya usahatani berpengaruh negatif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan biaya usahatani sebesar satu persen akan menurunkan marketed surplus sebesar 0,94 kg beras per musim tanam. Hal ini sesuai dengan pendapat Hendriyana (2011) yang menyatakan bahwa marketable surplus merupakan jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura sehingga semakin tinggi biaya usahatani maka akan mengurangi marketable surplus dan berpotensi untuk mengurangi marketed surplus.
g. Variabel jumlah anggota keluarga (LnX7)
Nilai thitung untuk variabel jumlah anggota keluarga sebesar 0,68 lebih kecil dari ttabel 1,99 maka variabel jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Nusril et al. (2007) yang menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga maka besaran marketed surplus semakin kecil. Hal ini terjadi karena beberapa petani responden menjadikan usahatani padi sebagai sumber penghasilan utama, sehingga semakin banyak jumlah tanggungan keluarga semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu jumlah penjualan harus semakin besar agar pemenuhan kebutuhan dalam bentuk uang tunai dapat dipenuhi melalui penjualan hasil panen padi.
h. Variabel harga beras (LnX8)
Nilai thitung untuk variabel harga beras sebesar 2,053 lebih besar dari ttabel 1,99 maka pada taraf kepercayaan 95 persen variabel harga beras berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel biaya harga beras bernilai 831,41 artinya harga beras berpengaruh positif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan harga beras sebesar satu persen akan meningkatkan marketed surplus sebesar 8,31 kg beras per musim tanam. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nusril et al. (2007) dan Ilham et al. (2010) yang menyatakan bahwa marketed surplus mempunyai hubungan positif dengan harga beras, artinya makin tinggi harga beras pada saat panen akan memacu petani menjual hasil produksinya dalam jumlah yang besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Usahatani padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Magelang telah memiliki tanda pergeseran corak usahatani, yaitu dari subsisten ke arah komersial dilihat dari proporsi alokasi hasil produksi yang lebih besar untuk dijual oleh petani (market oriented) dan juga pergeseran kelembagaan upah yang terjadi, petani di Kabupaten Magelang cenderung lebih banyak menggunakan uang tunai daripada natura padi sebagai alat pembayaran dalam pelaksanaan usahatani padi. Bentuk penjualan hasil usahatani padi yang banyak dilakukan oleh petani pada musim tanam periode Juli sampai November 2017, yaitu dalam bentuk gabah kering panen (GKP) melalui cara penjualan secara tebasan.
2. Marketable surplus beras pada tingkat petani di Kabupaten Magelang sebesar 86,60 persen dari jumlah produksi dengan rata-rata per hektar sebesar 2.533,41 kg/MT dan nilai marketed surplus beras sebesar 90,49 persen dari marketable surplus beras dengan rata-rata per hektar sebesar 2.293,81 kg/MT. Nilai tersebut secara representatif mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Kabupaten Magelang sebesar 47.066.685 kg per musim tanam. Nilai marketed surplus beras petani di Kabupaten Magelang sebesar 147.812.704,20 kg per musim tanam maka Kabupaten Magelang telah surplus beras sebesar 100.746.019,20 kg per musim tanam. Ditinjau dari proporsi marketable dan marketed surplus beras yang besar, Kabupaten Magelang dapat diintensifkan sebagai salah satu daerah pemasok beras di Provinsi Jawa Tengah.
3. Marketed surplus beras di Kabupaten Magelang dipengaruhi oleh variabel jumlah produksi, luas lahan, pengeluaran rumah tangga petani, biaya usahatani dan harga beras.
27
Saran
1. Berdasarkan alasan yang dikemukakan petani terkait cara dan bentuk penjualan hasil usahatani padi di Kabupaten Magelang maka masih diperlukan peran pemerintah dalam pengadaan dan pemerataan fasilitas pasca panen seperti lumbung, lantai jemur gabah atau pengering gabah di tingkat desa.
2. Salah satu faktor pengaruh marketed surplus yang nyata adalah jumlah produksi beras sehingga perlu adanya paket program dan teknologi serta perbaikan infrastruktur penunjang produksi dalam usahatani padi guna meningkatkan jumlah produksi beras yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Magelang dalam Angka Tahun 2017. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Magelang.
Gujarati, D. Alih bahasa oleh Zain, S. 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.
Hendriyana, Y. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Ilham, N., et al. 2010. Faktor-Faktor yang Menentukan Marketed Surplus Gabah. Informatika Pertanian. Vol. 19. No. 2. Hal. 1-31.
Krisnamurthi, B. 2014. Ekonomi Perberasan Indonesia. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bogor.
Mubyarto. 1970. Marketable Surplus Beras di Indonesia. Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Nusril, H. S. Harahap dan K. Sukiyono. 2007. Analisa Marketable Surplus Beras (Studi Kasus di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong). Jurnal Akta Agrosia. Vol. 10. No. 1. Hal. 32-39.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Suardana, P.A., M. Antara, dan M.N. Alam. 2013. Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah dengan Pola Jajar Legowo di Desa Laantula Jaya Kecamatan Witaponda Kabupaten Morowali. Agrotekbis. Vol. 1. No. 5. Hal.477-484.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta, Bandung.
Suliyanto, 2011. Ekonometrika Terapan: Terori & Aplikasi dengan SPSS. ANDI, Yogyakarta.
Yasa, I.N.A. dan Hadayani. 2017. Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Desa Bonemarawa Kecamatan Riopakava Kabupaten Donggala. Agrotekbis. Vol. 5. No. 1. Hal. 111-118.
28
KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGURUS GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN
LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SUBANG DAN BOGOR
Organizational Communication in Performance Development of Gapoktan’s Committee Members in Program of Strengthening Community Food
Distribution Social Organization in District of Subang and Bogor
Denny Eswant Kosasih1, Sarwititi Sarwoprasodjo
2 dan Djoko Susanto
2
1 Analis Ketahanan Pangan Ahli Muda, Badan Ketahanan Pangan
2 Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
*Penulis korespondensi. email: [email protected]
Diterima: 4 Desember 2019 Direvisi: 13 Desember 2019 Disetujui terbit: 6 Januari 2020
ABSTRACT
Gapoktan, stands for gabungan kelompok tani, as a farmers group union, is a farmer economical institution consisting of several farmer groups having specific characteristics, so an effective organizational communication is needed. In a conducive organizational communication, communication climate and communication satisfaction among Gapoktan committee members are expected to take place so Gapoktan will be more competitive and has high performance. This study aims to: (1) identify the characteristic of Gapoktan committee members, (2) analyze the communication climate, (3) analyze the communication satisfaction, (4) analyze the correlation between oganizational communication and communication climate as well as between communication climate and communication satisfaction.The results shows that: (1) Gapoktan committee members are mostly at productive age with formal education of elementary school level and they have high level of participation in a nonformal education; (2) the vast majority of Gapoktan committee members have hight communication climate; (3) most of the Gapoktan committee members have hight communication satisfaction; (4) there is hight significant correlation between oganizational communication in the capacity building of Gapoktan committee members and communication climate; as well as there is hight significant correlation between communication climate and communication satisfaction. Keyword: communication, organization, Gapoktan
ABSTRAK
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai lembaga ekonomi petani terdiri dari beberapa kelompok tani yang memiliki berbagai karakteristik tertentu, sehingga komunikasi organisasi yang efektif sangat diperlukan. Terciptanya komunikasi organisasi yang baik, diharapkan iklim komunikasi Gapoktan dan kepuasan komunikasi pengurus akan terpenuhi, sehingga Gapoktan lebih berdaya saing dan berkinerja tinggi. Kajian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan karakteristik pengurus Gapoktan, (2) menganalisis iklim komunikasi Gapoktan, (3) menganalisis kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan, (4) menganalisis hubungan antara komunikasi organisasi dengan iklim komunikasi dan hubungan iklim komunikasi organisasi dengan kepuasan komunikasi. Hasil kajian menunjukan: (1) Pengurus Gapoktan umumnya berusia produktif; tingkat pendidikan formal pengurus umumnya SD; tingkat pendidikan non formal sebagian besar pengurus Gapoktan termasuk kategori tinggi; (2) Sebagian besar Gapoktan memiliki Iklim komunikasi yang tinggi, (3) Kepuasan komunikasi sebagian besar pengurus Gapoktan tergolong tinggi, (4) Terdapat hubungan sangat nyata antara komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan dengan iklim komunikasi dan terdapat hubungan sangat nyata antara iklim komunikasi dengan kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan. Kata Kunci: Komunikasi, Organisasi, Gapoktan
29
PENDAHULUAN
Berdasarkan identifikasi lapangan dan kajian Badan Ketahanan Pangan tahun 2009, Gapoktan sering dihadapkan pada berbagai masalah antara lain: 1) keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan pengolahan, penyimpanan, pendistribusian/ pemasaran setelah panen; 2) rendahnya posisi tawar petani pada saat panen raya yang bersamaan dengan datangnya hujan, dan 3) keterbatasan akses pangan (beras) untuk dikonsumsi saat mereka menghadapi paceklik karena tidak memiliki cadangan pangan yang cukup. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, sejak tahun 2009 telah melaksanakan kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM), dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan petani, kelompok tani, dan Gapoktan terhadap jatuhnya harga gabah, beras dan jagung di saat panen raya dan masalah aksesibilitas pangan. Dasar pelaksanaan kegiatan Penguatan-LDPM yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan Pasal 23 dan pasal 33 (BKP, 2014).
Dalam pelaksanaan Penguatan-LDPM telah ditetapkan konsep dan langkah operasional, namun dalam kenyataannya Gapoktan masih mengalami kendala diantaranya: (1) pemanfaatan dana bantuan sosial (bansos) masih belum sesuai dengan rencana usaha Gapoktan; (2) Gapoktan kesulitan memiliki jaringan pemasaran yang baik; (3) pembukuan dan administrasi dalam pengelolaan LDPM belum sesuai Modul/Pedoman yang telah ditentukan (BKPD, 2013). Organisasi dibentuk sebagai wadah bagi sekelompok individu dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. Efektif tidaknya organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung kepada sinergi atau kerjasama individu dan kelompok. Sikap dan perilaku individu dalam organisasi semakin diperlukan untuk mendorong efektivitas organisasi yang merupakan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan (Hidayat, 2013). Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani (Syahyuti, 2007).
Gapoktan merupakan organisasi yang belum mapan (establish) memiliki kebijakan dan karakteristik sendiri, namun pengurus Gapoktan diharapkan mampu untuk tetap bertahan. Secara umum Gapoktan belum mampu memberi gaji yang mencukupi, tidak ada reward and punishment yang jelas, tidak ada jam kerja yang teratur dan tidak ada insentif atau bonus. Rata-rata pengurus bertahan karena berdasarkan suasana kekeluargaan, dan suasana yang nyaman dalam melaksanakan tugasnya. Pengurus umumnya membutuhkan untuk dihargai oleh ketua Gapoktan atau sesama pengurus. Pada hakekatnya pengurus Gapoktan berharap mendapat kepuasan dalam lingkungan Gapoktan secara keseluruhan. Salah satu yang berperan penting dalam menjamin kenyamanan pengurus untuk beraktivitas dalam Gapoktan adalah kepuasan pengurus terhadap komunikasi yang terjadi di dalam organisasi ini. Kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan biasanya sangat ditentukan oleh iklim atau suasana komunikasi yang terjadi dalam Gapoktan.
Beberapa penelitian mengenai Gapoktan yang dilakukan oleh Sandyatma (2012), Akbar (2012), Suwardi (2011), Hartati (2011), Hariadi (2007) lebih fokus pada output kegiatan program. Sejauh ini belum banyak penelitian yang fokus terhadap iklim komunikasi organisasi Gapoktan dan kepuasan komunikasi bagi pengurus Gapoktan. Kajian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan karakteristik pengurus Gapoktan, (2) menganalisis iklim komunikasi Gapoktan dalam pengembangan kinerja pengurus, (3) menganalisis kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan, (4) menganalisis hubungan antara komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan dengan iklim komunikasi dan hubungan iklim komunikasi organisasi dengan kepuasan komunikasi.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Kegiatan Penguatan-LDPM merupakan program peningkatan ketahanan pangan dengan memberikan stimulasi dana dalam bentuk bantuan sosial kepada Gapoktan sebagai organisasi petani. Gapoktan selaku penerima sasaran dalam melaksanakan kegiatan dari pemerintah bekerjasama dengan kelompok tani yang terdiri dari kumpulan berbagai petani. Gapoktan dikembangkan baik dari segi organisasi, sumberdaya manusia, manajerial, pengelolaan sistem keuangan dan pelaporan, maupun usaha jual-beli gabah/beras/jagung serta perluasan usahatani
30
sehingga diharapkan menjadi Gapoktan mandiri dan berdaya saing (BKP 2014). Keberhasilan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat pada kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan. Kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan merupakan tingkat kenyamanan pengurus dengan pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan Gapoktan dalam melaksanakan kegiatan Penguatan-LDPM. Dalam penelitian ini indikator kepuasan komunikasi meliputi: (1) kecukupan informasi, (2) kemampuan untuk menyarankan perbaikan (3) efisiensi berbagai saluran komunikasi, (4) kualitas media, (5) cara sejawat berkomunikasi, (6) informasi tentang Gapoktan keseluruhan, (7) integritas Gapoktan.
Kemandirian Gapoktan dapat terjadi apabila suatu organisasi Gapoktan tersebut berfungsi secara efektif, yang didukung oleh pengurus-pengurus Gapoktan yang menjalankan roda organisasi pengurus untuk beraktivitas dalam Gapoktan sehingga pengurusnya harus dapat berkomunikasi organisasi dengan efektif dan efisien. Dalam menjamin kenyamanan berkomunikasi pengurus Gapoktan dapat dilihat dari kepuasan komunikasi pengurus terhadap komunikasi yang terjadi di dalam Gapoktannya, sedangkan kepuasan komunikasi pengurus suatu Gapoktan diduga ditentukan oleh iklim komunikasi yang terjadi dalam Gapoktan. Aspek komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan diduga berhubungan dengan iklim komunikasi, indikator-indikatornya meliputi kepercayaan, pembuatan keputusan bersama, kejujuran, keterbukaan dalam komunikasi ke bawah, mendengarkan dalam komunikasi ke atas, perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi. Iklim komunikasi diduga berhubungan dengan karakteristik pengurus Gapoktan, Indikator-indikatornya meliputi umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan nonformal, dan tingkat pengalaman berorganisasi dan komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan indikator-indikatornya meliputi: format pertemuan merupakan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di dalam Gapoktan; materi pertemuan yaitu tema-tema yang dibahas di dalam suatu pertemuan Gapoktan; dan frekuensi pertemuan yaitu seberapa seringnya pengurus melakukan pertemuan baik secara formal maupun informal seperti rapat, pelatihan, temu usaha, pendampingan, dan pembinaan pada Gapoktan mengenai kegiatan Pengutan-LDPM.
Berdasarkan pada uraian di atas, kerangka pemikiran mengenai komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan pada program Penguatan-LDPM dapat diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kerangka pemikiran komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan pada program Penguatan-LDPM
Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu karakteristik pengurus Gapoktan, komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus
Tingkat Kepuasan Komunikasi
(Y2)
Y2.1 Kecukupan Informasi Y2.2 Kemampuan untuk
Menyarankan Perbaikan Y2.3 Efisiensi Saluran
Komunikasi Y2.4 Kualitas Media Y2.5 Cara Sejawat
Berkomunikasi Y2.6 Informasi Tentang
Gapoktan Keseluruhan Y2.7 Integritas Gapoktan
Iklim Komunikasi Organisasi
Gapoktan (Y1)
Karakteristik Pengurus
Gapoktan (X1)
X1.1 Usia
X1.2 Tingkat Pendidikan
Formal
X1.3 Pendidikan Nonformal X1.4 Tingkat Pengalaman
Berorganisasi Y1.1 Kepercayaan Y1.2 Pembuatan Keputusan
Bersama Y1.3 Kejujuran Y1.4 Keterbukaan Komunikasi Ke
Bawah Y1.5 Mendengarkan Dalam
Komunikasi Ke Atas Y1.6 Perhatian Pada Tujuan
Berkinerja Tinggi
X2.1 Format Pertemuan X2.2 Materi Pertemuan X2.3 Frekuensi Pertemuan
Komunikasi Organisasi (X2)
31
Gapoktan, iklim komunikasi, dan kepuasan komunikasi diperoleh dari survei langsung di lapangan dan data sekunder diperoleh dari deks study di perpustakaan dan instansi terkait, misalnya Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten, dan BPS. Responden penelitian mencakup 13 Gapoktan yang terdiri dari 9 Gapoktan di Kabupaten Subang dan 4 Gapoktan di Kabupaten Bogor. Justifikasi penentuan lokasi tersebut adalah: (1) Kabupaten Subang merupakan lokasi di daerah pantai utara (dataran rendah) dan Kabupaten Bogor di daerah selatan (pegunungan). Kabupaten Subang mempunyai karakteristik berupa hamparan lahan sawah yang luas, beririgasi teknis, merupakan sentra produksi padi dan lumbung pangan di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor merupakan lokasi di daerah selatan sebagai daerah pegunungan dengan karakteristik berupa hamparan sawah yang relatif terbatas dengan produksi padi relatif lebih kecil dibandingkan Kabupaten Subang, (2) Kabupaten Subang dan Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang menerima dana bansos Penguatan-LDPM, secara metodologis, seluruh tahapan penelitian terpenuhi dan dapat dilakukan di Kabupaten Subang dan Kabupaten Bogor dan (3) secara geografis dan ekonomis, lokasi penelitian mudah dijangkau oleh kendaraan dan tidak membutuhkan anggaran yang besar, mengakibatkan pengamatan dapat dilakukan secara intensif, seksama dan cepat. Pengumpulan data primer dan pengamatan di lapangan dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, selama bulan Juni hingga Juli 2014.
Analisis Data
Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei yang bersifat menerangkan (explanatory research) yaitu untuk mengevaluasi dan menjelaskan hubungan antara peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis (Singarimbun & Effendi 2012). Menurut Rakhmat (2005) penelitian yang bersifat menerangkan bertujuan untuk menguji adanya hubungan antar berbagai peubah yang diteliti. Metode penelitian survei dilaksanakan dengan cara mengumpulkan informasi dari responden melalui kuesioner dengan dibatasi pada sampel yang mewakili seluruh populasi. Instrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya dijadikan pedoman untuk pengumpulan data dengan teknik wawancara dengan responden penelitian. Di samping itu dilakukan teknik wawancara mendalam untuk menjembatani unit analisis tersebut sesuai dengan desain penelitian. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan seperti dalam bentuk tabel. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik Inferensial menggunakan uji korelasi rank Spearman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pengurus Gapoktan (X1)
Pengurus Gapoktan tergolong berusia produktif antara 22 tahun sampai 70 tahun dengan rata-rata usia pengurus Gapoktan 47 tahun. Tingkat pendidikan formal pengurus Gapoktan beragam mulai dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi (PT). Rata-rata tingkat pendidikan pengurus adalah SD sebanyak 48,08 persen. Pendidikan nonformal pengurus termasuk kategori tinggi yakni diatas 24 jam, dengan jenis pelatihan antara lain bimbingan teknis pelaksanaan program Pengutan-LDPM mengenai materi-materi pembukuan dan pelaporan, pemberdayaan dan pengembangan usaha Gapoktan yang dilaksanakan oleh provinsi pada awal tahun biasanya dilaksanakan selama 3 hari. Pengurus Gapoktan umumnya tidak pernah mengikuti organisasi lain 71,15 persen, karena sebagian besar pengurus Gapoktan pekerjaan utamanya sebagai petani, Sebagian besar ketua Gapoktan yang aktif dalam organisasi lain seperti Kelompok Tani dan Nelayan Andalan, baik di kabupaten maupun provinsi.
Komunikasi Organisasi dalam Pengembangan Kinerja Pengurus Gapoktan (X.2)
Komunikasi organisasi yang dilakukan oleh Gapoktan dalam rangka pengembangan kinerja pengurus Gapoktan yaitu rapat, pendampingan, pelatihan, pembinaan dan temu usaha.
Format X.2.1
Format adalah bentuk-bentuk pertemuan yang biasa dilakukan oleh Gapoktan dalam rangka pengembangan kinerja pengurus Gapoktan, rataan yang paling tinggi terdapat pada pertemuan temu usaha sebesar 3,38 sedangkan rataan yang paling rendah pada pertemuan pendampingan sebesar 3,19 (Tabel 1). Pertemuan yang paling disukai oleh pengurus Gapoktan adalah temu usaha karena
32
pada pertemuan tersebut Gapoktan membawa produk yang dihasilkan oleh unit-unit usaha seperti beras semi organik dengan label nama Gapoktan sehingga memberikan kebanggaan tersendiri bagi pengurus Gapoktan dan pada saat temu usaha juga bertemu dengan pengusaha-pengusaha beras yang apabila terjadi kesepakatan kontrak jual-beli dapat memberikan keuntungan yang besar bagi Gapoktan. Pertemuan pendampingan diindikasikan memberikan kesan lebih formal pada pertemuannya sehingga pengurus Gapoktan lebih segan kepada pendamping. Namun semua format pertemuan yang biasa dilakukan Gapoktan memiliki rataan yang termasuk kategori baik.
Tabel 1 Nilai Maksimum, Nilai Minimum dan Rataan Format Pertemuan
Format Pertemuan Nilai Maksimum Nilai Minimum Rataan
Rapat Pendampingan Pelatihan Pembinaan Temu Usaha
3.75 3.50 3.50 3.50 3.75
3.00 3.00 3.00 3.00 3.00
3.35 3.19 3.21 3.25 3.38
Materi (X.2.2)
Materi-materi yang diberikan kepada Gapoktan memiliki nilai rata-rata 57,27 dengan nilai rentang 50,75 sampai 63,25 (Tabel 2) termasuk kategori baik. Materi-materi seperti materi pembukuan dan pelaporan, pemberdayaan Gapoktan dan pengembangan usaha yang diberikan pada waktu rapat, pendampingan, pelatihan, ataupun pembinaan sudah tersusun baik, jelas dan sesuai dengan kebutuhan Gapoktan.
Tabel 2 Nilai Maksimum, Nilai Minimum dan Rataan Materi dan Frekuensi Pertemuan
Komunikasi Organisasi Pengembangan Kinerja Pengurus Gapoktan
Nilai Maksimum
Nilai Minimum
Rataan
Materi Frekuensi Pertemuan
63.25 17.50
50.75 12.00
57.27 14.98
Frekuensi Pertemuan (X.2.3)
Tabel 2 menunjukkan frekuensi aktifitas komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan memiliki nilai rata-rata 14,98 dengan nilai rentang antara 12,00 sampai 17,50 (Tabel 2) termasuk kategori jarang. Sebagian besar Gapoktan sudah memasuki tahap mandiri dan pasca mandiri sehingga pertemuan-pertemuan Gapoktan disesuaikan dengan kebutuhan aktifitas Gapoktan.
Iklim Komunikasi Gapoktan (Y.1)
Keberadaan iklim komunikasi organisasi Gapoktan dapat mempengaruhi cara hidup anggotanya, kepada siapa berbicara, siapa yang disukai, bagaimana perasaannya, bagaimana kegiatan kerjanya, bagaimana perkembangannya, apa yang ingin dicapai, dan bagaimana cara menyesuaikan diri dengan organisasi. Bahkan menurut Redding Iklim komunikasi organisasi jauh lebih penting dari pada ketrampilan semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif (dalam Pace dan Faules, 2010). Sejalan dengan pendapat Nordin et al. (2013) bahwa iklim komunikasi sangat penting dalam sebuah organisasi karena memberi kontribusi terhadap efektivitas dan keberhasilan organisasi.
Tabel 3. Nilai Maksimum, Nilai Minimum dan Rataan Iklim Komunikasi
Iklim Komunikasi Nilai
Maksimum Nilai
Minimum Rataan
Kepercayaan Pembuataan Keputusan Bersama Kejujuran Keterbukaan Dalam Komunikasi Ke Bawah Mendengar dalam Komunikasi Ke Atas Perhatian pada Tujuan Berkinerja Tinggi
13.50 14.75 23.50 17.50 22.50 25.50
12.25 10.00 19.50 13.50 17.25 19.25
12.73 12.73 22.00 16.15 19.62 22.88
33
Kepercayaan (Y.1.1)
Kepercayaan responden memiliki nilai rataan sebesar 12,73 dengan nilai rentang antara 12,25 sampai 13,50 (Tabel 3) termasuk ketegori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengurus Gapoktan sudah sepenuhnya memberikan kepercayaan yang tinggi kepada ketua Gapoktan, sesama pengurus dan anggota Gapoktan. Demikian pula sebaliknya ketua Gapoktan dan anggota Gapoktan sudah sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada pengurus.
Pembuatan Keputusan Bersama (Y.1.2)
Pembuatan keputusanan bersama menunjukkan nilai rataan sebesar 12,73 dengan nilai rentang 10,00 sampai 14,75 (Tabel 3), termasuk kategori tinggi. Pengurus Gapoktan dituntut untuk membuat laporan mingguan berupa sms ke BKP pusat dan laporan bulanan ke kabupaten sehingga pengurus Gapoktan diajak berkomunikasi, berkoordinasi dan berkonsultasi serta bertanggung jawab dalam menyajikan data-data dan bahan untuk membuat laporan tersebut. Pengurus Gapoktan terlibat juga dalam penyusunan Rencana Usaha Gapoktan (RUG) sehingga ketua Gapoktan telah membuka ruang komunikasi dalam proses pengambilan keputusan untuk masing-masing unit usaha Gapoktan. Sama halnya dengan hasil penelitian Rachmawati (2010) bahwa hubungan personal merupakan hubungan paling intim dengan orang lain dalam tingkat pribadi, antar pimpinan, teman dan sesama sebaya sehingga berkomunikasi antar personal akan lebih terjalin erat dan masing-masing pihak akan merasa saling membutuhkan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi.
Kejujuran (Y.1.3)
Kejujuran memiliki nilai rataan sebesar 22,00 dengan nilai rentang antara 19,50 sampai 23,50 (Tabel 3) termasuk kategori tinggi. Pengurus Gapoktan dapat berkomunikasi secara transparan baik dengan ketua Gapoktan maupun sesama pengurus dan anggota Gapoktan. Ketua Gapoktan atau anggota dengan pengurus Gapoktan masih ada hubungan keluarga sehingga terjadi komunikasi yang lebih akrab yang mewujudkan kejujuran tinggi.
Keterbukaan Komunikasi ke Bawah (Y.1.4)
Sebagian besar pengurus Gapoktan dalam keterbukaan komunikasi ke bawah termasuk kategori tinggi yakni memiliki nilai rataan sebesar 16,15 dengan nilai rentang antara 13,50 sampai 17,50 (Tabel 3). Keterbukaan antara ketua Gapoktan dan pengurus sehingga pengurus Gapoktan relatif mudah memperoleh informasi dalam melaksanakan tugas di masing-msing unit usahanya, seperti informasi perihal program maupun pengembangan usaha Gapoktan.
Mendengarkan dalam Komunikasi Ke Atas (Y.1.5)
Data yang disajikan pada Tabel 3. menunjukkan bahwa mendengarkan dalam komunikasi ke atas memiliki nilai rataan sebesar 19,62 dengan rentang nilai antara 17,25 sampai 22,50 (Tabel 3), sehingga termasuk kategori tinggi. Pengurus merasa ketua Gapoktan cenderung terbuka dan memandang penting informasi, saran ataupun gagasan/ide maupun kritik. Sejalan dengan hasil penelitian Djati (2003) bahwa pimpinan yang memberikan dukungan yang optimal terhadap bawahannya dengan cara penghargaan semacam ungkapan kata-kata, hal itu akan membuat bawahan merasa diperhatikan dan berpengaruh terhadap kinerjanya.
Perhatian pada Tujuan berkinerja Tinggi (Y.1.6)
Perhatian pada tujuan berkinerja tinggi memiliki nilai rataan sebesar 22,88 dengan rentang nilai antara 19,25 sampai 25,50 (Tabel 2) termasuk kategori tinggi. Upaya-upaya yang dilakukan pengurus Gapoktan sudah mencapai produktivitas dan kualitas kerja yang tinggi, dikarenakan Gapoktan wajib membuat laporan mingguan dan bulanan yang menjadi penilaian dalam keberhasilan usaha Gapoktan.
Kepuasan Komunikasi Pengurus Gapoktan (Y.2)
Dalam upaya mencapai suatu keberhasilan, maka kepuasan komunikasi merupakan faktor yang sangat penting, karena kepuasan komunikasi merupakan hasil dari sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi pengurus Gapoktan yang menyebabkan timbulnya sikap bersemangat dalam melaksanakan kegiatan tertentu.
34
Kecukupan Informasi (Y.2.1)
Nilai rataan dari kecukupan komunkasi memiliki nilai sebesar 17,77 dengan nilai rentang antara 15,50 sampai 19,75 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Kecukupan dan kelengkapan informasi yang diterima oleh pengurus Gapoktan cukup baik dan dapat meningkatkan kepuasan komunikasi. Semakin lengkap pengurus Gapoktan menerima informasi, semakin puas hubungan komunikasinya.
Kemampuan untuk Menyarankan Perbaikan (Y.2.2)
Kemampuan untuk menyarankan perbaikan memiliki nilai rataan sebesar 18,04 yang memiliki nilai rentang antara 16,00 sampai 20,25 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Ketua Gapoktan selalu menerima saran, data dan hasil kegiatan unit usaha dari pengurus Gapoktan untuk kepentingan pembuatan pelaporan secara mingguan dan bulanan. Efisiensi Saluran Komunikasi (Y.2.3)
Nilai Rataan untuk efisiensi saluran komunikasi sebesar 22,56 dengan nilai rentang antara 19,50 sampai 25,25 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Saluran komunikasi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan ketua Gapoktan maupun sesama pengurus biasanya lebih mudah diterima karena mereka menggunakan istilah yang sama-sama dimengerti dan juga karena adanya kesamaan bahasa dan latar belakang pendidikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Emeralda (2002) bahwa dalam penyampaian informasi, responden lebih mudah menyampaikan informasi pada rekan kerja.
Kualitas Media (Y.2.4)
Nilai rataan untuk kualitas media sebesar 18,06 dengan nilai rentang antara 16,00 sampai 20,75 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Pengurus Gapoktan dalam penyampaian dan penerimaaan pesan yang paling mudah dipahami adalah melalui pesan tertulis. Selain menggunakan pesan tertulis pengurus Gapoktan juga merasa mudah memahami pesan melalui gambar-gambar.
Cara Sejawat Berkomunikasi (Y.2.5)
Cara sejawat berkomunikasi memiliki nilai rataan sebesar 17,69 dengan rentang nilai 15,50 sampai 20,50 (Tabel 4) termasuk kategori sedang. Komunikasi dengan rekan sejawat/sesama pengurus kurang dirasakan oleh pengurus Gapoktan dalam meningkatan kepuasan komunikasi. Hal ini karena pengurus tidak menyukai atau kurang waktu berkomunikasi dalam waktu lama atau sering dengan sesama pengurus.
Tabel 4 Nilai Maksimum, Nilai Minimum dan Rataan Kepuasan Komunikasi
Iklim Komunikasi Nilai
Maksimum Nilai
Minimum Rataan
Kecukupan Informasi Kemampuan untuk Menyarankan Perbaikan Efisiensi Saluran Komunikasi Kualitas Media Cara Sejawat Berkomunikasi Informasi Tentang Gapoktan Keseluruhan Integritas Gapoktan
19.75 20.25 25.25 20.75 20.50 14.50 27.00
15.50 16.00 19.50 16.00 15.50 10.75 21.00
17.77 18.04 22.56 18.06 17.69 12.38 24.12
Informasi tentang Gapoktan Keseluruhan (Y.2.6)
Nilai rataan untuk informasi tentang Gapoktan keseluruhan sebesar 12,38 dengan nilai rentang antara 10,75 sampai 14,50 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Semua pihak dilibatkan dalam pendampingan, sehingga pengurus Gapoktan memperoleh informasi mengenai tujuan, kebijakan dan peraturan pemerintah yang mempengaruhi dinamika organisasi Gapoktan.
Integritas Gapoktan (Y.2.7)
Integritas Gapoktan memiliki nilai rataan sebesar 24,12 dengan rentang nilai 21,00 sampai 27,00 (Tabel 4) termasuk kategori tinggi. Setiap pertemuan/ diskusi/ pembinaan/ pendampingan/pelatihan baik ketua Gapoktan maupun pengurus Gapoktan selalu diingatkan akan tujuan penggunaan dana bansos apabila ada penyelewengan atau penyalahgunaan dana tersebut akan dikembalikan ke kas
35
negara sehingga pengurus Gapoktan mengetahui mengenai sasaran dan tujuan kegiatan penguatan-LDPM.
Hubungan Komunikasi Organisasi dengan Iklim Komunikasi
Komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan adalah komunikasi yang dilakukan oleh pengurus baik di dalam maupun di luar Gapoktan dalam rangka pengembangan kinerja pengurus Gapoktan yang diukur mencakup format pertemuan, materi, dan frekuensi pertemuan sedangkan indikator iklim komunikasi yang diukur kepercayaan, pembuatan keputusan bersama, kejujuran, keterbukaan komunikasi ke bawah, mendengarkan dalam komunikasi ke atas dan perhatian pada tujuan berkinerja tinggi.
Terdapat hubungan positif dan sangat nyata antara format pertemuan dengan perhatian pada tujuan berkinerja tinggi, dan terdapat hubungan positif dan nyata dengan kepercayaan (Tabel 5). Semakin baik dan beragam format pertemuan yang terjadi pada Gapoktan maka semakin tinggi perhatian pada tujuan berkinerja tinggi dan semakin tinggi pula kepercayaannya. Pengurus Gapoktan yang selalu hadir pada berbagai pertemuan yang dilaksanakan oleh Gapoktan seperti rapat, pelatihan, pendampingan, pembinaan dan temu usaha maka terjadi interaksi yang saling menunjukan kepercayaan yang tinggi dan mempertahankan hubungan antara pengurus dengan ketua Gapoktan secara timbal balik sehingga pengurus Gapoktan dapat mencapai kinerja yang tinggi.
Indikator materi pertemuan memiliki hubungan positif dan sangat nyata dengan kepercayaan dan perhatian pada tujuan berkinerja tinggi (Tabel 5). Semakin jelas dan mudah dipahami materi yang disampaikan pada saat pertemuan maka semakin tinggi perhatian pada tujuan berkinerja tinggi dan semakin tinggi pula kepercayaannya. Pengurus Gapoktan sudah jelas dan memahami serta sesuai kebutuhan terhadap materi yang disampaikan pada saat pertemuan, sehingga dapat menstimulus respon pengurus dengan membahas segala permasalahan, kebutuhan yang sesuai dengan Gapoktan dan pengembangan usaha dengan ketua Gapoktan.
Terdapat hubungan positif dan sangat nyata antara frekuensi pertemuan dengan pembuatan keputusan bersama, kejujuran dan perhatian pada tujuan berkinerja tinggi serta memiliki hubungan positif dan nyata dengan kepercayaan, keterbukaan komunikasi ke bawah dan mendengar dalam komunikasi ke atas (Tabel 5). Semakin sering komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja Gapoktan, maka akan semakin tinggi iklim komunikasi. Pengurus Gapoktan yang sering mengikuti pertemuan-pertemuan Gapoktan cenderung lebih memahami lingkungan internal Gapoktan dan kejadian yang terjadi dalam Gapoktan.
Tabel 5. Hubungan Komunikasi Organisasi dalam Pengembangan Kinerja Pengurus Gapoktan dengan Iklim Komunikasi
Komunikasi Organisasi
Iklim Komunikasi
Kepercayaan Pembuatan Keputusan bersama
Kejujuran Keterbukaan komunikasi ke bawah
Mendengar dalam
Komunikasi ke atas
Perhatian pada
Tujuan Berkinerja
tinggi
Format Pertemuan
0.280* 0.181 0.266 0.168 0.219 0.385**
Materi 0.382** 0.186 0.197 0.229 0.123 0.387**
Frekuensi Pertemuan
0.350* 0.384** 0.449** 0.290* 0.346* 0.520**
Keterangan : * Nyata pada taraf 0,05 ** Nyata pada taraf 0,01
Hubungan Iklim Komunikasi dengan Kepuasan Komunikasi
Iklim komunikasi organisasi Gapoktan adalah kualitas pengalaman yang bersifat obyektif mengenai lingkungan internal organisasi yang mencakup persepsi pengurus Gapoktan. Indikator-indikator kepuasan komunikasi meliputi kecukupan informasi, kemampuan untuk menyarankan perbaikan, efisien saluran komunikasi, kualitas media, cara sejawat berkomunikasi, informasi tentang Gapoktan keseluruhan dan integritas Gapoktan.
Indikator iklim komunikasi memiliki hubungan positif dan sangat nyata dari aspek kepercayaan dengan kemampuan untuk menyarankan perbaikan dan kualitas media, dan memiliki hubungan
36
positif dan nyata dengan kecukupan informasi, cara sejawat berkomunikasi, informasi tentang keseluruhan Gapoktan dan integritas Gapoktan (Tabel 6). Semakin tinggi kepercayaan pengurus Gapoktan maka tingkat kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan semakin tinggi pula.
Terdapat hubungan positif dan nyata antara pembuatan keputusan bersama dengan saluran komunikasi dan integritas Gapoktan (Tabel 6). Semakin tinggi tingkat pembuatan keputusan bersama pengurus Gapoktan maka semakin puas tingkat integritas Gapoktan. Pengurus Gapoktan yang ikut serta atau terlibat dalam pembuatan keputusan bersama dan selalu diajak ketua Gapoktan dalam menentukan RUG atau pengembangan usaha maka tingkat kepuasan pengurus dalam menerima informasi mengenai tujuan atau rencana Gapoktan semakin tinggi pula.
Tingkat kejujuran pengurus Gapoktan memiliki hubungan positif dan sangat nyata dengan kecukupan informasi, kemampuan untuk menyarankan perbaikan, efisiensi saluran komunikasi, kualitas media, dan integritas Gapoktan. Semakin tinggi tingkat kejujuran pengurus Gapoktan maka semakin puas dalam kecukupan informasi, kemampuan untuk menyarankan perbaikan, efisiensi saluran komunikasi, kualitas media, dan integritas Gapoktan. Pengurus Gapoktan dengan tulus hati dalam mengelola dana bansos dan berani mengakui kesalahan atau kekeliruan yang mungkin dilakukannya.
Keterbukaan berkomunikasi ke bawah memiliki hubungan positif dan sangat nyata dengan efisiensi saluran komunikasi dan integritas Gapoktan. Semakin tinggi tingkat Keterbukaan berkomunikasi ke bawah maka semakin tinggi tingkat efisiensi saluran komunikasi dan integritas Gapoktan. Pengurus Gapoktan semakin mudah dalam memperoleh informasi dalam usahanya dikarenakan saluran komunikasi untuk menyebarkan informasi sudah efisien.
Tabel 6. Hubungan Iklim Komunikasi dengan Kepuasan Komunikasi
Iklim Komunikasi
Kepuasan Komunikasi
Kecukupan Informasi
Kemampuan untuk
Menyarankan Perbaikan
Efisiensi Saluran
Komunikasi
Kualitas Media
Cara Sejawat Berkomunikasi
Informasi Tentang
Gapoktan Keseluru
han
Integritas Gapoktan
Kepercayaan 0.321* 0.408** 0.181 0.434** 0.325* 0.288* 0.331*
Pembuatan Keputusan bersama
0.110 0.167 0.281* 0.195 0.222 0.240 0.328*
Kejujuran 0.378** 0.382** 0.422** 0.377** 0.289* 0.322* 0.374**
Keterbukaan komunikasi kebawah
0.271 0.268 0.401** 0.261 0.340* 0.321* 0.380**
Mendengar dalam Komunikasi keatas
0.078 0.321* 0.243 0.132 0.131 0.215 0.259
Perhatian pada Tujuan Berkinerja tinggi
0.413** 0.516** 0.548** 0.419** 0.515** 0.421** 0.444**
Keterangan : * Nyata pada taraf 0,05 ** Nyata pada taraf 0,01
Mendengar dalam Komunikasi ke atas memiliki hubungan positif dan nyata dengan kemampuan untuk menyarankan perbaikan dan tidak memiliki hubungan nyata dengan kecukupan informasi, efisiensi saluran komunikasi, kualitas media, cara sejawat berkomunikasi, informasi Gapoktan keseluruhan dan integritas Gapoktan (Tabel 6).
Semakin tinggi tingkat mendengarkan dalam komunikasi ke atas maka semakin tinggi kepuasan komunikasi Pengurus Gapoktan dalam kemampuan untuk menyarankan perbaikan. Semakin banyak ide/gagasan ataupun saran yang disampaikan pengurus kepada ketua Gapoktan, maka semakin banyak perubahan yang terjadi dalam Gapoktan guna penyempurnaan Gapoktan. Perhatian pada tujuan berkinerja tinggi memiliki hubungan positif dan sangat nyata dengan seluruh indikator-indikator kepuasan komunikasi (Tabel 6). Semakin tinggi tingkat perhatian pada tujuan berkinerja tinggi, maka semakin tinggi tingkat kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan. Gapoktan
37
telah melakukan upaya-upaya dalam mencapai produktivitas dan kualitas kerja yang tinggi bagi pengurus Gapoktan dikarenakan mudah memperoleh informasi dalam rangka usahanya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengurus Gapoktan umumnya berusia produktif; tingkat pendidikan formal pengurus umumnya SD; tingkat pendidikan nonformal sebagian besar pengurus terkategori tinggi; mayoritas pengurus tidak pernah mengikuti organisasi lain;
2. Sebagian besar Gapoktan memiliki iklim komunikasi yang tinggi, Iklim komunikasi di Gapoktan memiliki suasana yang baik bagi pengurus Gapoktan;
3. Kepuasan komunikasi sebagian besar pengurus Gapoktan tergolong tinggi. Komunikasi yang ada dalam Gapoktan memberikan kecukupan informasi yang diperoleh pengurus Gapoktan;
4. Terdapat hubungan sangat nyata antara komunikasi organisasi dalam pengembangan kinerja pengurus Gapoktan dengan iklim komunikasi, dan terdapat hubungan sangat nyata antara iklim komunikasi dengan kepuasan komunikasi.
Saran
1. Secara umum Gapoktan merupakan organisasi yang belum mapan (establish), namun terbukti sebagian besar Gapoktan memiliki iklim komunikasi organisasi Gapoktan yang baik serta perlu dijaga kenyamanan pengurus Gapoktan dalam beraktivitas menjalankan usaha Gapoktan.
2. Dari segi pengalaman organisasi, pengurus Gapoktan umumnya tidak pernah mengikuti organisasi lain selain Gapoktan, namun memiliki hubungan nyata dengan salah satu peubah iklim komunikasi organisasi Gapoktan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kepengurusan Gapoktan perlu memperhatikan pengalaman organisasi calon pengurus Gapoktan agar pengurus Gapoktan memiliki kemampuan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan usaha Gapoktan.
3. Frekuensi pertemuan pengurus Gapoktan dalam berbagai pertemuan relatif jarang, namun unsur ini memiliki hubungan nyata dengan iklim komunikasi organisasi Gapoktan. Dengan demikian, perlu peningkatan keterlibatan aktif pengurus Gapoktan pada setiap pertemuan rapat, pelatihan, pendampingan, pembinaan, dan temu usaha agar komunikasi tetap terjalin.
4. Dalam mencapai tingkat kepuasan komunikasi pengurus Gapoktan yang optimal, iklim komunikasi Gapoktan harus tetap dijaga dalam situasi yang kondusif. Disisi lain, agar terjadi peningkatan kinerja pengurus Gapoktan, maka perlu mempertimbangkan kesejahteraan pengurus dalam hal pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Gapoktan yang sesuai dan penghargaan bagi pengurus Gapoktan yang berdedikasi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar MF. 2012. Efektivitas Komunikasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Kasus Gabungan Kelompok Tani Maju Bersama Desa Bumiharjo Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Badan Ketahanan Pangan. 2014, Pedoman Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) Tahun 2014. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan.
Badan Ketahanan Pangan Daerah. 2013. Laporan Akhir Kegiatan Penguatan-LDPM Tahun 2013. Jawa Barat (ID): Badan Ketahanan pangan Daerah.
Djati RS. 2003. Iklim Komunikasi Organisasi dan Kepuasan Kerja [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Emeralda. 2002. Kepuasan Komunikasi dengan kinerja Karyawan Bagian Produksi PT. Pan United Shipyard Indonesia [tesis]. Jakarta(ID): Universitas Indonesia.
Hariadi SS. 2007. Kelompok Tani Basis Ketahanan Pangan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.3(2):79-86.
38
Hartati S. 2011. Keragaan Komunikasi Gabungan Kelompok Tani Penerima Dana Program Pengembangan Usaha Agibisnis Perdesaan.(Kasus di Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Riau) [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Hidayat R. 2013. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Komunikasi, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi Pada Industri Perbankan. Makara Seri Sosial Humaninora, 17(1), 19-32.
Nordin SM, Sivapalan S, Bhattacharyya E, Hashim H, Abdullah A. 2013. Organizational Communication Climate and Conflict Management: Management in an Oil and Gas Company.Procedia-Social and Behavioral Sciences.109 (2014):1046-1058.
Pace W, Faules DF. 2010. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya.
Rachmawati TS. 2010. Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi dan Aliran Informasi Terhadap Kepuasan Anggota melalui Pelaksanaan Pelayanan pada Ikatan Pustakawan Indonesia [Disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Sandyatma YH. 2012. Partisipasi Anggota Kelompok Tani Dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan Pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat Di Kabupaten Bogor. Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora 2(3):238-251
Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai Organisasi Ekonomi di Perdesaaan. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(1):15-35
Suwardi S. 2011. Implikasi Pelatihan Penguatan Kinerja pengurus Kelompok dalam Mengembangkan Kemandirian Usaha. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.3(2):79-86
39
PERAMALAN HARGA ECERAN CABAI MERAH DENGAN PEMODELAN TIME SERIES ARIMA
Forecasting Chili Retail Prices with Modeling Time Series ARIMA
Irnawati1*
, Toni Trisusanto2
1 Analis Pasar Hasil Pertanian Ahli Muda, Badan Ketahanan Pangan
2Calon Statistisi Pertama, Badan Ketahanan Pangan
*Penulis korespondensi. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Chili is one of the important food commodities in terms of food consumption pattern as well as its
potential to provide profit for chili farmers. Fluctuation of chili prices has a profound effect on
inflation. Therefore, understanding the dynamic trend and the ability to predict the chili prices are
very important for the national economy. The purpose of this research is to predict the prices of
red chili for the next several months, so this information can be used for an early anticipation to
mitigate the red chili prices fluctuation. ARIMA modeling was used in this study. ARIMA is a time
series model that can be used to predict the possibility of the increase of red chili prices in the
next several months. The data used in this study was the weekly retail red chili prices from
Central Bereau of Statistics of Indonesia (BPS) in 10 big cities in the period of January 2014-
October 2019. This study produced seven ARIMA models. To obtain a model with good
performance, the parameter estimation and diagnosis were conducted, and the results found two
models with better performance or had smaller MS values, namely the ARIMA (1,2,1) and
ARIMA (0,2,2) model. Final Estimates of Parameters indicated that this model had a P value less
than 0.05 and passed the residual independence test or passed the ACF and PACF residual
chart test and normality residual test. Through prediction with data testing, from these two
models, the best model for retail red chili prices prediction was the ARIMA (1,2,1). Based on this
chosen model, the direction of the retail red chili prices in the next four months can be obtained,
so the government can take actions to anticipate the chili prices trends by ensuring a steady
supply of red chili all year long.
Keyword : chili prices, fluctuating, time series, forecasting, ARIMA
ABSTRAK
Cabai merupakan salah satu komoditas pangan penting baik dari sisi pola konsumsi pangan
masyarakat maupun dari sisi potensi memberikan keuntungan bagi petani. Harga cabai sangat
berfluktuasi yang berpengaruh besar terhadap inflasi. Karena itu, memahami dinamika
perkembangan harga dan kemampuan memprediksi harga cabai sangat penting bagi
perekonomian nasional. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan peramalan harga cabai merah
beberapa bulan ke depan sehingga dapat membantu upaya antisipasi dini untuk mengurangi
fluktuasi harga cabai merah. Pemodelan ARIMA digunakan dalam penelitian ini. ARIMA
merupakan salah satu model time series yang dapat digunakan untuk memprediksi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya kenaikan harga cabai. Data yang digunakan adalah harga
cabai merah mingguan di tingkat eceran dari Badan Pusat Statistik (BPS) di 10 kota besar
periode Januari 2014-Oktober 2019 Penelitian ini menghasilkan tujuh model ARIMA yang
kemudian setelah dilakukan estimasi parameter dan diagnosis diperoleh model dengan
performansi yang baik, yaitu model ARIMA (1,2,1) dan ARIMA (0,2,2) dengan nilai MS yang lebih
kecil. Begitu juga dilihat dari Final Estimates of Parameter, model ini memiliki nilai P di bawah
0,05 dan lolos uji independensi residual atau lolos uji grafik residual ACF dan PACF serta uji
normalitas residual. Melalui peramalan dengan data testing, dari dua model tersebut diketahui
40
bahwa model yang paling baik dan dapat dijadikan untuk alat peramalan adalah model ARIMA
(1,2,1). Berdasarkan model peramalan ini, arah kecenderungan harga cabai merah empat bulan
ke depan dapat diketahui, sehingga pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk
mengantisipasi kecenderungan harga cabai merah tersebut di antaranya dengan mengupayakan
keajegan ketersediaan pasokan cabai merah sepanjang tahun.
Kata kunci : harga cabai, fluktuasi, time series, peramalan, ARIMA
PENDAHULUAN
Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang cukup berkembang. Jenis tanaman yang dibudidayakan meliputi buah-buahan, sayuran, bunga dan tanaman hias. Cabai merah (Capsicum annum) merupakan komoditas sayuran yang memiliki peranan penting dan merupakan salah satu komoditas penting yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.Cabai merah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi.Pada tahun 2010, cabai masuk menjadi tiga besar komoditas penyebab inflasi. Badan Pusat Statistik(BPS) mencatat inflasi selamabulan Juli 2019 sebesar 0,31 persen, dan harga cabai merah bulan Juli memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,20 persen.
Berdasarkan data dari BPS yang diolah oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP), selama periode Januari 2014 – Oktober 2019 harga cabai merah di tingkat eceran berfluktuasi dengan rata-rata per tahun sebesar 30,93%, dengan fluktuasi tertinggi terjadi pada tahun 2014 mencapai 58,52%. Fluktuasi harga yang tinggi ini disebabkan harga cabai yang turun bahkan rendah pada pertengahan tahun 2014 dan melonjak mencapai harga rata-rata Rp 74.761/kg pada bulan Desember 2014. Perkembangan harga cabai merah di tingkat eceran tahun 2019, cenderung berfluktuasi dengan nilai fluktuasi sebesar 34,59%. Puncak tertinggi rata-rata harga tahun 2019 terjadi pada bulan Agustus 2019 mencapai Rp 71.000/Kg.
Harga yang cenderung berfluktuasi menyebabkan resiko ketidakpastian. Petani selaku produsen membutuhkan kepastian haga jual sebelum mereka memutuskan untuk menanam cabai atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian jatuhnya harga. Begitu juga dari sisi konsumen, khususnya konsumen industri. Mereka memerlukan kepastian harga cabai untuk mengendalikan biaya bahan baku mereka dalam proses produksi. Sementara para pedagang perantara menghadapi resiko kerugian akibat harga beli dan harga jual yang tidak pasti sehingga mereka juga membutuhkan kepastian harga untuk mengurangi resiko tersebut. Namun fluktuasi harga cabai merah (yang bahkan bisa terjadi dalam rentang waktu singkat) membuat kepastian harga tidak dapat diperoleh baik para petani, pedagang, maupun konsumen. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk dapat memperkirakan harga dari komoditas strategis ini sehingga dapat digunakan untuk pendukung pembuatan keputusan.
Tujuan utama dari penelitian ini ialah (1) menemukan model ARIMA yang tepat untuk peramalan harga cabai merah dan (2) untuk melakukan peramalan harga cabai merah pada masa mendatang. Melalui penelitian ini diharapkan mendapatkan model peramalan yang tepat sehingga dapat membantu dalam upaya antisipasi dini terkait perubahan harga cabai yang tidak pasti dan dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan terbaik yang perlu diterapkan terkait harga cabai.
METODE PENELITIAN
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan peramalan yang akurat dan
bermanfaat adalah sebagai berikut: Pertama adalah pengumpulan data yang relevan yang
berupa informasi yang dapat menghasilkan peramalan yang akurat. Kedua pemilihan teknik
peramalan yang tepat yang akan memanfaatkan informasi data yang diperoleh seoptimal
mungkin (Salamah dkk, 2003).
Menurut Aswi dan Sukarna (2006) metode peramalan dapat dibagi dalam dua kategori
utama, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif lebih banyak menuntut
41
analisis yang didasarkan pada pemikiran intuitif, perkiraan logis dan informasi atau pengetahuan
yang telah diperoleh peneliti sebelumnya. Sedangkan pada metode kuantitatif dibutuhkan
informasi masa lalu yang dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik. Metode peramalan secara
kuantitatif mendasarkan ramalannya pada metode statistika dan matematika. Terdapat dua jenis
model peramalan kuantitatif, yaitu model deret waktu (time series) dan model regresi
(regression). Model regresi memasukkan dan menguji variabel (variable) yang diduga
mempengaruhi variabel terikat (dependent variable) dengan tujuan menemukan bentuk
hubungan tersebut dan menggunakannya untuk menaksir nilai variabel terikat dari variabel
bebas (independent variable). Model deret waktu berupaya untuk meramalkan kondisi masa
yang akan datang dengan menggunakan data historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke
masa depan. Metode yang dapat digunakan untuk peramalan antara lain metode rata-rata
bergerak atau MA (Moving Average), metode penghalusan eksponensial (Exponential
Smoothing), metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Dalam penelitian ini
metode yang digunakan untuk peramalan adalah metode ARIMA (Aswi dan Sukarna, 2006)
Metode peramalan dari Box-Jenkins atau sering juga disebut ARIMA merupakan teknik uji
linier yang istimewa yang mana sama sekali tidak menggunakan variabel independen, melainkan
menggunakan nilai-nilai sekarang dan nilai-nilai lampau dari variabel dependen untuk
menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. Metode ini berbeda dengan metode
peramalan lain karena metode ini tidak mensyaratkan suatu pola data tertentu supaya model
dapat bekerja dengan baik.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari BPS. Data yang dipakai
adalah data harga cabai merah mingguan yang kemudian diolah menjadi rata-rata bulanan di
tingkat eceran. Data diperoleh dari hasil pengamatan di 10 kota, yakni: Medan, Bandar
Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Samarinda dan
Makassar. Dalam penelitian ini data yang diambil untuk proses pengolahan, yakni sebanyak 70
data dengan periode Januari 2014-Oktober 2019.
Analisis Data
a. Time Series Model ARIMA
Time Series merupakan kejadian-kejadian yang terjadi berdasarkan waktu-waktu tertentu secara berurutan. Forecasting dalam time series merupakan prediksi untuk memperkarakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang berdasarkan data-data sebelumnya.
Salah satu model dalam time series adalah ARIMA. ARIMA sering juga disebut sebagai runut waktu Box- Jenkins. ARIMA biasanya digunakan untuk peramalan jangka pendek dan untuk data time series non stasioner pada saat linear.Sedangkan untuk peramalan jangka panjang, model ini memiliki ketepatan kurang baik karena cenderung akan flat untuk periode yang panjang. Selain itu ARIMA akan mengalami penurunan keakuratan apabila terdapat komponen non linear time series pada pengamatan. Kelompok model time series yang termasuk metode ini antara lain:
1. Autoregressive Model (AR) Bentuk umum model autoregressive dengan orde p (AR(p)) atau model ARIMA (p,0,0) dinyatakan sebagai berikut:
(1)
Z = 𝑣 = 𝑣
=
42
2. Moving Average (MA) Bentuk umum model moving average orde q (MA(q)) atau ARIMA (0,0,q) dinyatakan sebagai berikut:
(2)
= 𝑣 𝑣
− = −q
3. Proses Autoregressive Moving Average (ARMA)
4. Model Autoregressive Moving Average (ARMA) sering disebut model campuran. Model ARMA merupakan model ARIMA tanpa proses pembedaan atau ARIMA (p,0,q) dinyatakan sebagai berikut:
(3)
4. Proses Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) merupakan model ARMA (p,q) nonstasioner. Pada model ARMA (p,q) nonstasioner, proses pembedaan sebanyak d kali hingga stasioner, maka model ARMA(p,q) menjadi model ARIMA (p,d,q). Model ARIMA (p,d,q) ditulis
dalam persamaan berikut : ( )( ) ( )
b. Prosedur pemodelan ARIMA
Singkatan ARIMA berasal dari Autoregressive Integrated Moving Average. Box Jenkins adalah orang yang memperkenalkan singkatan ARIMA pada tahun 1970. Oleh karena itu, pemodelan ARIMA juga dikenal dengan metode Box-Jenkins. Secara umum, model ARIMA ditulis dengan ARIMA(p,d,q) yang artinya model ARIMA dengan derajat AR(p), derajat pembedaan d, dan derajat MA(q).Tahapan-tahapan dalam analisis peramalan dengan pemodelan time series ARIMA sebagai berikut :
1. Identifikasi model a. Plot/petakan data time series untuk mengetahui apakah data mengandung trend, musiman,
outlier, dan variansi tidak konstan. b. Uji stasioner data
Identifikasi pada dasarnya adalah untuk melihat pola data.Pembuatan pola data time series bertujuan untuk menyelidiki stasioneitas data time series. Stasioneritas data time series adalah hal pertama yang harus diperhatikan karena aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenaan dengan data time series yang stasioner dalam varians dan dalam rata-rata. Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Secara kasar data harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan. Data yang belum stasioner dalam varians maka harus dilakukan transformasi Box-Cox, yang kemudian setelah stasioner dalam varians/ragam, dilakukan pengecekan data time series apakah stasioner dalam means/rata-rata. Jika belum stasioner, maka dilakukan pembedaan atau disebut differencing pada lag 1, 2, dan seterusnya sampai data tersebut stasioner. Jika sudah stasioner dalam varians dan rata-rata dapat untuk menentukan model awal (penentuan orde AR dan MA). Identifikasi dengan grafik ACF dan PACF (Suhartono,2005:86) disajikan dalam tabel1.
Transformasi Box-Cox adalah metode untuk proses stasioneritas data dalam varians yang dikenalkan oleh Box dan Tiao Cox.Transformasi Box-Cox juga sering disebut transfromasi kuasa. Transformasi dilakukan jika belum diperoleh nilai =1 atau biasa disebut rounded value =1, yang artinya data belum stasioner dalam varians. Berikut nilai beserta formula transformasinya dalam tabel 2. Pada Software Minitab 19 pengecekan stasioneritas dalam varians menggunakan Box-Cox transformation. Jika nilai rounded value tidak bernilai 1 maka harus dilakukan proses transfromasi data.
43
Tabel 1. Identifikasi Model AR, MA, dan ARMA menggunakan pola grafik ACF dan PACF
Model ACF PACF
AR (p) Dies down
(turun cepat secara
eksponensial / sinusoidal)
Cuts off after lag p
(terputus setelah lag p)
MA(q) Cuts off after lag q
(terputus setelah lag q)
Dies down (turun cepat
secara eksponensial
/sinusoidal)
ARMA (p,q) Dies down after lag (q-p)
(turun cepat setelah lag
(p-q)
Dies down after lag
(pq)(turun cepat setelah
lag (p-q)
Transformasi Box-Cox adalah metode untuk proses stasioneritas data dalam varians yang dikenalkan oleh Box dan Tiao Cox.Transformasi Box-Cox juga sering disebut transfromasi kuasa. Transformasi dilakukan jika belum diperoleh nilai =1 atau biasa disebut rounded value =1, yang artinya data belum stasioner dalam varians. Berikut nilai beserta formula transformasinya dalam tabel 2. Pada Software Minitab 19 pengecekan stasioneritas dalam varians menggunakan Box-Cox transformation (Singgih 2009). Jika nilai rounded value tidak bernilai 1 maka harus dilakukan proses transfromasi data.
Tabel 2. Nilai dan Transformasinya
Transformasinya
-1
-0,5
√
0
0,5
√
1
Proses pembedaan (differencing) dilakukan setelah data stasioner dalam varians. Proses ini dilakukan jika data tidak stasioner dalam rata-rata. Proses pembedaan dilakukan dengan cara mengurangkan suatu data dengan data sebelumnya. Notasi B (operator backshift) digunakan dalam proses pembedaan. Pembedaan untuk periode ke-d sebagai berikut :
( )
Pada Software Minitab 19 proses pembedaan dapat dilakukan melalui identifikasi grafik ACF dan PACF. Cek correlogram hingga setidaknya 3 bar pertama berada di dalam batas interval level (garis merah).
2. Estimasi Parameter. Setelah didapatkan model-model ARIMA yang mungkin, langkah selanjutnya estimasi
parameter. Metode yang digunakan untuk estimasi parameter adalah least square. Setelah
dilakukan estimasi paremeter diuji signifikansi untuk mengetahui apakah parameter tersebut
dapat dimasukan dalam model. Pada Software Minitab 19 hasil signifikansi dapat dilihat dari
nilai p value. P value<a atau p-value<0,05 maka parameter tersebut signifikan dapat
𝜆
44
dimasukan kedalam model. Jika telah menemukan parameter yang sesuai, maka dilanjutkan
dengan proses diagnosa.
3. Diagnosa Model Dari beberapa model yang signifikan, dilakukan pengecekan uji independensi residual dan uji normalitas residual
4. Pemilihan model terbaik a. Prinsip parsimony, yaitu pemilihan model terbaik harus sesederhana mungkin. b. Model sebisa mungkin memenuhi (paling tidak mendekati) asumsi-asumsi yang
melandasinya 5. Peramalan
Setelah mendapatkan model terbaik dari hasil uji parameter dan uji diagnosa, maka proses
selanjutnya adalah melakukan peramalan dengan menggunakan model tersebut. Peramalan
dilakukan untuk memperkirakan atau memprediksi harga cabai merah di tingkat eceran
beberapa bulan kedepan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peramalan Harga Cabai Merah
Pemetaan data harga cabai merah di tingkat eceran periode Januari 2014-Oktober 2019
menggunakan Software Minitab 19 ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Grafik Time Series Harga Cabai Merah
Gambar 1. merupakan grafik harga cabai merah bulanan di tingkat eceran dari yang diamati
runtun waktu. Karakteristik harga cabai merah di tingkat eceran cenderung berfluktuasi dan
meningkat signifikan pada bulan-bulan tertentu. Nilai variansi yang tinggi ekivalen dengan resiko
yang tinggi, sehingga melakukan peramalan harga cabai merah di tingkat eceran menjadi hal
yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan harga cabai merah dan resiko pasar. Hasil
analisis stasioner data dalam ragam/varians dan rata-rata/means menujukkan bahwa data tidak
stasioner dalam varians dan tidak stasioner dalam rata-rata sehingga harus dilakukan proses
transformasi dan differencing.
Hasil pengecekan stasioneritas dalam varians menggunakan Box-Cox transformation menunjukkan data belum stasioner dalam varians dengan nilai rounded value ( = -0,5), sehingga dilakukan transformasi data dengan formula .Dari proses transformasi yang disajikan pada gambar 2, diperoleh nilai =1, yang berarti data sudah stasioner dalam varians.
√𝑍𝑡
45
Gambar 2. Transformasi Box-Cox =1
Proses stasioner dalam rata-rata dapat diketahui dari Plot ACF dan PACF dari data yang
telah ditransformasi. Berdasarkan ploting data diketahui bahwa untuk stasioner dalam rata-rata
dilakukan dengan proses diferencing (2). Terlihat pada gambar 3 tidak ada otokorelasi, tiga bar
pertama di dalam interval level sehingga data sudah stasioner dengan proses diferencing (2).
Gambar 3. Hasil Autocorelation Differencing (2)
Proses estimasi dilakukan dengan memasukan beberapa model dengan diferencing (d=2),
dengan kemungkinan model adalah : ARIMA (1,2,0), ARIMA (0,2,1), ARIMA (1,2,1), ARIMA
(2,2,0), ARIMA (0,2,2), ARIMA (1,2,2), dan ARIMA (2,2,2). Dari beberapa model ARIMA yang
mungkin, ternyata hanya model ARIMA (1,2,1) dan model ARIMA (0,2,2) yang signifikan P Value
< 0,05 sehingga model ARIMA (1,2,1) dan model ARIMA (0,2,2) signifikan dan layak diajukan
untuk menjadi model dalam peramalan
Gambar 4. Grafik ACF Residual untuk model ARIMA (1,2,1) dan model ARIMA (0,2,2)
46
Pemeriksaan diagnosis dilakukan dengan uji indepedensi residual dan uji normalitas. Pada
Software Minitab 19 untuk uji independensi residual dapat dilihat nilai Statistik Ljung-Box atau
dapat juga dilihat dari grafik ACF residual. Hasil uji independensi residual untuk ARIMA (1,2,1)
dan untuk ARIMA (0,2,2) disajikan pada gambar 4 menunjukkan bar masih di dalam batas
interval level sehingga dapat dikatakan residualnya independent dan untuk uji normalitas
residual yang disajikan pada gambar 5 memperlihatkan bahwa residual berdistribusi normal
karena pemetaan data mengikuti garis normal.
Gambar 5. Grafik Normal Probability Residual Plot ARIMA (1,2,1) dan ARIMA (0,2,2)
Untuk model ARIMA (1,2,1), ARIMA (0,2,2), ARIMA (1,2,2) dan ARIMA (2,2,2) memiliki Mean
Squared (MS) yang paling kecil dibandingkan model ARIMA lainnya, namun demikian model
ARIMA (1,2,2) dan ARIMA (2,2,2) tidak lolos uji signifikansi sehingga model yang layak adalah
ARIMA (1,2,1) dan ARIMA (0,2,2).
Hasil dari penelitian ini adalah untuk mencari model ARIMA mana yang tepat atau paling baik
untuk digunakan pada data harga cabai merah ini. Setelah didapat model ARIMA yang lolos
pengujian, perlu dilakukan untuk mengecek akurasi hasil peramalan, yaitu peramalan dengan
data testing.
Peramalan dengan Data Testing
Untuk mengecek akurasi data sehingga mendapatkan model yang paling baik, dilakukan
peramalan dengan data testing, dimana telah dipisahkan data harga cabai merah bulan Januari-
April 2019 untuk tidak dimasukan kedalam pengolahan model diatas untuk mengecek tingkat
akurasi dari model yang telah didapat, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Forecasting dengan Data Testing
Periode Aktual ARIMA
(1,2,1)
ARIMA
(0,2,2) I ARIMA (1,2,1) ~ Aktual I I ARIMA (0,2,2) ~ Aktual I
Jan'19 32.713 32.662 35.645 0,002 0,090
Feb'19 27.009 31.319 36.472 0,160 0,350
Mar'19 26.279 29.866 37.320 0,136 0,420
Apr'19 31.724 28.356 38.187 0,106 0,204
Rata-rata 0,101 0,266
47
Berdasarkan hasil peramalan data testing, peramalan dengan model ARIMA (1,2,1) paling baik. Hal ini dikarenakan nilai peramalan lebih mendekati data testing yang merupakan data harga cabai merah kondisi aktual dengan rata-rata perubahan nilai peramalan dibandingkan aktual model ARIMA (1,2,1) lebih kecil dibandingkan model ARIMA (0,2,2), yaitu 0,101 dan 0,266.
Dengan memakai model ARIMA 1,2,1) dapat diramalkan harga cabai merah empat bulan ke
depan (November 2019 sampai Februari 2020) memperlihatkan kecenderungan menurun
sampai Januari 2020, kemudian meningkat di Februari 2020. Hasil peramalan time series harga
cabai merah tingkat eceran dengan tersebut adalah untuk bulan November 2019 sebesar Rp
43.317/Kg, kemudian menurun pada Desember 2019 dan Januari 2020, yaitu Rp 42.702/kg dan
Rp 42.626/Kg, selanjutnya meningkat di Februari 2020 menjadi Rp 42.766/Kg.
Gambar 6. Ploting Data Hasil Peramalan Harga Cabai Merah di Tingkat Eceran Menggunakan Pemodelan Time Series ARIMA (1,2,1)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil pengujian untuk data peramalan harga cabai merah di tingkat eceran menggunakan model time series ARIMA yang paling baik adalah model ARIMA (1,2,1) dengan nilai MS yang lebih kecil dibandingkan beberapa model ARIMA lain yang diajukan. Begitu juga dilihat dari Final Estimatesof Parameter, untuk model ARIMA (1,2,1) nilai P value di bawah 0,05dan lolos uji independensi residual atau lolos uji grafik residual ACF dan PACF serta uji normalitas residual, Selain itu berdasarkan peramalan dengan data testing, model ARIMA (1,2,1) yang paling mendekati nilai aktual. Dengan demikian model ARIMA (1,2,1) merupakan model yang paling baik dan dapat digunakan untuk melakukan peramalan.
Berdasarkan model tersebut diperoleh peramalan harga cabai merah untuk bulan November 2019, yaitu Rp 43.317/Kg, bulan Desember 2019, yaitu Rp 42.702/kg, Januari 2020, yaitu Rp 42.626/Kg dan Februari 2020, yaitu Rp 42.766/Kg. Dengan demikian, terdapat kecenderungan menurun harga cabai merah di tingkat eceran untuk tiga bulan ke depan dan mulai kembali naik pada bulan keempat.
48
Saran
Dengan mengetahui kecenderungan perilaku harga cabai merah empat bulan ke depan, pemerintah dapat mengupayakan antisipasi dini terhadap kecenderungan harga tersebut, melalui koordinasi dengan instansi-instansi terkait dengan berupaya menjaga pasokan cabai merah secara berkelanjutan agar tidak terjadi fluktuasi harga cabai yang merugikan petani maupun konsumen, terutama ketika panen cabai tidak optimal. Upaya penyediaan cabai merah sepanjang musim dilakukan melalui manajemen produksi dan manajemen distribusi (pengaturan pola produksi, pemetaan wilayah-wilayah produksi cabai dan pengembangan daerah produksi baru sebagai buffer zone), perbaikan sistem logistik, pasca panen dan tata niaga. Teknologi pengolahan hasil pasca panen untuk memperpanjang daya simpan cabai perlu disosialisasikan sehingga petani dan pedagang dapat memperoleh harga yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Juan and C. Serrat, Time Series Analysis C5 ARIMA (Box-Jenkins) Models. 2007
Adin, Adi Nugroho Radityo, dan Dwi Kartini. 2015. Peramalan Permintaan Paving Blok dengan Metode
ARIMA. Konferensi nasional Sistem dan Informatika 2015
Aswi dan Sukarna. 2006. Analisis Deret Waktu. Makassar: Andira Publisher
Huang, Theresa. 2013. The Box-Jenkins Methodology for Time Series Models. SAS Global Forum.
Irnawati. 2019. Pedasnya Cabai Jadi Pendongkrak Inflasi. Buletin Pasokan dan Harga Pangan Edisi Agustus 2019. ISBN: 2615-3807. Jakarta : Badan Ketahanan Pangan.
Maria CKP, dan Anggraeni, Wiwik. 2018. Penerapan Metode Campuran Autoregresive Integrated Moving
Average Dan Quantile Regression (Arima-QR) Untuk Peramalan Harga Cabai Sebagai Komoditas
Strategis Pertanian. Jurnal Teknik ITS, Vol. 2, No. 1 2018;2337-3520
Octora, Metta, dan Kunotoro. 2013. Perbandingan Metode ARIMA (Box Jenkins) dan Metode Winter dalam Peramalan Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 2, No. 1 Juli 2013;88-98
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Cabai 2016. Available from: http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2016/ Hortikultura/OUTLOOK, CABAI,2016/files/assets/common/downloads/OUTLOOK,CABAI, 2016.pdf
Puspatika, Kartika, dan Yupie Kusumawati. 2018. Peramalan Harga Cabai Dengan Metode ARIMA Arch-Garch dan Single Moving Average Di Kota Semarang. Journal of Information System, 3(2) :192-201.
Santosa, Singgih. 2009. Business Forecasting Metode Peramalan Bisnis Masa Kini dengan Minitab dan SPSS, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
S. Assauri. 1984Teknik dan Metode Peramalan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI
Wei, W.S. 2006. Time Analysis Univariate and Multivariate Methods, New York : Addis.on Wesley
Publishng Company,Inc
49
Model Peran Start-Up Pertanian Dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan
The Role Model of Agricultural Start-ups in Improving Food Accesibility
Mukhamad Najib
*) dan Farah Fahma
**)
*) Departemen Manajemen, Institut Pertanian Bogor
**) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Corresponding author: [email protected]
Diterima: 8 Desember 2019 Direvisi: 14 Desember 2019 Disetujui terbit: 30 Desember 2019
ABSTRACT
The issues of food distribution and prices are crucial to food accessibility which is one of the pillars of food
security concept. On the other hand, the rapid growth of the internet has stimulated the emergence of new
businesses grounded on application technology. Young people are interested in developing digital technology-
based startups. One of the startups that is currently developing is the use of digital applications for online
marketing. This provides an opportunity for farmers to reduce distribution channels, so products can be delivered
directly to consumers efficiently. Furthermore, the application of digital technology has also encouraged young
people to develop agricultural businesses in profitable ways. This has the potential to encourage new enthusiasm
among young people to re-enter agricultural sector. This article aims to identify the profile of agricultural startups
in Indonesia, analyze the challenges faced by startups in Indonesia and formulate the role of agricultural startups
in realizing national food security. This study used a literature review approach sourced from secondary data and
the results of previous studies. The study shows that there are four main roles that can be carried out by
agricultural startups in Indonesia, namely as an aggregator of farmer products, quality assurance, marketing
channels, and financial support. These four roles have important potential to encourage farmers to improve their
performance and ultimately contribute to the achievement of food security.
Keyword: food accessibility, food security, farmer performance, agricultural startup
ABSTRAK
Masalah distribusi dan harga komoditi pangan sangat menentukan terhadap aksesibilitas pangan yang
merupakan salah satu pilar ketahanan pangan di Indonesia. Di sisi lain, perkembangan internet yang begitu
cepat telah mendorong munculnya bisnis-bisnis baru berbasis teknologi aplikasi. Generasi muda tertarik
mengembangankan startup (usaha rintisan) berbasis teknologi digital. Salah satu startup yang saat ini banyak
berkembang adalah pemanfaatan aplikasi digital untuk pemasaran online. Hal ini memberi peluang bagi petani
untuk melakukan disintermediary (pemotongan jalur distribusi), sehingga produk bisa tersampaikan langsung ke
konsumen secara efisien. Di sisi lain, aplikasi teknologi digital juga telah mendorong generasi muda di Indonesia
untuk mengembangkan bisnis pertanian dengan cara yang menguntungkan. Hal ini berpotensi mendorong
kegairahan baru dikalangan anak muda untuk kembali memasuki dunia pertanian. Artikel ini bertujuan
mengidentifikasi profil startup pertanian di Indonesia, menganalisis tantangan yang dihadapi startup di Indonesia
dan memformulasikan model startup bidang pertanian dalam membantu mewujudkan ketahanan pangan
nasional. Pendekatan yang digunakan adalah kajian pustaka yang bersumber dari data sekunder maupun hasil-
hasil penelitian sebelumnya. Hasil studi menunjukkan terdapat empat peran utama yang bisa dilakukan oleh
startup pertanian di Indonesia, yaitu sebagai aggregator produk petani, quality assurance, marketing channel,
dan financial support. Keempat peran ini berpotensi mendorong terjadinya peningkatakan kinerja petani dan
pada akhirnya dapat berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan.
Kata kunci: aksesibilitas pangan, ketahanan pangan, kinerja petani, start-up pertanian
50
PENDAHULUAN
Start-up atau perusahaan rintisan menjadi fenomena yang tengah berkembang bukan hanya di
Indonesia, tapi juga di banyak negara. Penetrasi internet yang sangat pesat pada dekade terakhir di
Indonesia dan berbagai belahan dunia telah mendorong munculnya banyak start-up berbasis
teknologi. Seiring dengan meluasnya penggunaan telepon pintar, internet dan ragam aplikasinya saat
ini sangat mudah diakses oleh seluruh masyarakat. Di sisi lain, kisah sukses start-up digital di negara
lain telah memberikan inspirasi kepada generasi muda di Indonesia untuk berwirausaha dengan
mendirikan start-up berbasis teknologi digital dan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada
disekitarnya dengan pendekatan teknopreneurship.
McKinsey dalam laporannya berjudul “Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity” memperkirakan,
peralihan ke ranah digital akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia hingga US$ 150
miliar dolar pada 2025. Laporan itu juga menyatakan bahwa 73% pengguna internet di Indonesia
mengakses internet melalui smartphone dan angka ini diperkirakan akan terus bertambah dalam lima
tahun ke depan. Masifnya penggunaan telepon pintar ini juga akan menjadi salah satu faktor
pendukung pertumbuhan startup digital di Indonesia.
Data yang dipublikasikan oleh Digital Creative Industry Society menunjukkan bahwa pada tahun
2018 jumlah perusahaan start-up berbasis teknologi di Indonesia mencapai 992 perusahaan. Dengan
penyebaran terbesar berada di wilayah Jabodetabek (Gambar 1).
Gambar 1. Jumlah start-up di Indonesia
Sumber: Indonesia Digital Creative Industry Society (2018)
Semakin maraknya pertumbuhan star-up ini tentunya akan mendorong dunia usaha untuk menuju
digitalisasi yang masif. Dengan banyaknya start-up baru diharapkan dapat melahirkan banyak inovasi
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Disisi lain, start-up juga dapat berperan dalam
mendorong peningkatan produktivitas rakyat yang memiliki daya saing di pasar internasional yang
menggerakan berbagai sektor strategis termasuk juga sektor pertanian.
Bisnis start-up yang berkembang di Indonesia sampai saat ini masih didominasi oleh start-up yang
bergerak di bidang e-commerce dan layanan on demand. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan
nama-nama start-up besar, seperti Tokopedia dan Bukalapak. Padahal, jika melihat struktur
perekonomian masyarakatnya, sampai saat ini Indonesia masih menjadi negara agraris yang
mayoritas penduduknya bergerak di bidang pertanian. Pada tahun 2018, data BPS menunjukkan
bahwa angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 38 juta orang (BPS, 2018), lebih
besar dari sektor-sektor bisnis lainnya. Sehingga sudah sewajarnya jika start-up berbasis teknologi
juga bisa mendorong kemajuan dunia pertanian di Indonesia.
51
Penelitian McKinsey - tahun 2012 - menyebutkan bahwa pada tahun 2030 seiring bertambahnya
jumlah konsumen yang relatif makmur di India dan China dan juga Indonesia sendiri, pemintaan
terhadap produk makanan dan pertanian akan meningkat secara signifikan. Peningkatan ini terjadi
saat delapan juta petani Indonesia mungkin akan beralih dari pertanian dan lebih memilih mengadu
nasib sebagai buruh parbik atau pekerja informal di kota besar. Kondisi ini mengharuskan pemerintah
untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian dan perikanan. Sebagai gambaran, untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, pada tahun 2030, produktivitas petani Indonesia harus
meningkat 60 persen dari hanya 3 ton per panen untuk tiap petani menjadi 5 ton.
Menurunnya minat generasi muda untuk bertani tentu menjadi salah satu masalah besar dalam
upaya keberlanjutan pertanian. Dari sebanyak 38 juta orang petani di Indonesia, sebaran petani
berusia muda (15 - 24 tahun) masih terbilang sedikit dibanding petani di usia lainnya. Data Februari
2018 yang disajikan Kementrian Pertanian bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan,
persentase petani muda yang bekerja di subsektor tanaman pangan mencapai 8,25%. Petani muda
di subsektor holtikultura 10,13%, perkebunan 13,02%, peternakan 14,95%, dan subsektor pertanian
11,11%.
Keberaadaan start-up digital berpotensi menggairahkan kembali semangat generasi muda untuk
kembali ke dunia pertanian. Karena pertanian tidak lagi dipandang sebagai sekedar kebudayaan, tapi
mulai bergeser menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan baik secara individual maupun sosial.
Start-up digital terbukti menggairahkan generasi muda untuk masuk ke dunia pertanian, maka dunia
pertanian akan memiliki energi baru dan tentunya produktivitas yang baru. Pada akhirnya
produktivitas pertanian ini akan berkontribusi nyata terhadap perwujudan ketahanan pangan nasional.
Badan Ketahanan Pangan (2015) menyebutkan faktor pendukung keberhasilan dalam
melaksanakan ketahanan pangan yaitu dengan adanya tiga pilar indikator ketahanan pangan
diantaranya: (i) Ketersediaan Pangan; (ii) Akses terhadap Pangan; dan (iii) Pemanfaatan Pangan.
Start-up pertanian bisa menjadi alternatif yang solutif dalam menyelesaikan beberapa masalah
pertanian khususnya yang berkaitan dengan aksesibilitas pangan. Artikel ini bertujuan
mengidentifikasi profil startup pertanian di Indonesia, menganalisis tantangan yang dihadapi start-up
di Indonesia dan memformulasikan model start-up bidang pertanian dalam meningkatkan akses
pangan bagi masyarakat.
METODOLOGI
Pendekatan dalam penelitian ini bersifat exploratory dimana penelitian ditujukan untuk
mengidentifikasi peran startup pertanian yang ada di Indonesia selama ini dan memformulasikan
model peran startup pertanian terhadap peningkatan aksesibilitas pangan di Indonesia. Model
dibangun dengan mengkonstruksi teori-teori yang sudah ada sebelumnya dan mengadaptasinya
dengan kemajuan industri khususnya di bidang start-up yang kini sedang berkembang pesat. Data
sekunder diperoleh dari sumber-sumber media massa, jurnal ilmiah, website resmi startup digital dan
laporan-laporan penelitian maupun survey dari berbagai instansi terkait. Data diolah dan dianalisis
dengan pendekatan deskriptif-kualitatif, dimana pendekatan sangat bermanfaat untuk
mengembangkan intial model dari peran start-up pertanian terhadap aksesibilitas pangan sebagai
salah satu ketahanan pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Startup pertanian di Indonesia
Pengertian Start-up digital
Pengertian mengenai start-up sampai saat ini masih beragam sesuai dengan keragaman latar belakang dan sudut pandang pada perumusnya. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa start-up biasanya merupakan bisnis baru yang tumbuh dengan cepat dan berkembang pesat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan mengembangkan model bisnis yang layak seputar produk, layanan, proses, ataupun platform yang inovatif. Menurut Blank dan Dorf (2012) startup adalah organisasi yang bersifat sementara yang bertujuan untuk menemukan bisnis model dalam situasi yang belum pasti. Dalam hal ini startup dapat dikatakan sebagai model awal dalam
52
mencari jati diri sebuah bisnis yang baru. Startup berangkat dari sebuah ide dan asumsi dan belum tentu menghadirkan sebuah solusi tepat guna bagi para calon pelanggan. Maka dapat dikatakan membangun sebuah startup adalah melakukan beberapa eksperimen terhadap pasar dengan percobaan yang dilakukan berulang-ulang hingga menemukan model bisnis dan produk yang tepat dan benar-benar dibutuhkan oleh konsumen.
Satu hal yang dapat disebut sebagai atribut paling penting dalam sebuah startup adalah kemampuannya untuk bertumbuh. Paul Graham, seorang venture capitalist dan startup accelerator, menjelaskan bahwa fokus sebuah startup adalah pertumbuhan bisnis. Menurut Graham (2012), startup adalah sebuah perusahaan yang didesain untuk bisa diukur dengan cepat. Fokus dengan pertumbuhan, sebuah startup diharapkan dapat bertumbuh tanpa mempedulikan lokasi geografis. Ini jugalah yang membedakan startup dengan usaha kecil.
Ries (2011) mendefinisikan startup digital sebagai sekelompok individu yang membuat dan menjual produk baru atau layanan pada dinamika pasar yang tidak menentu dalam mencari model bisnis yang tepat, sehingga startup menghadapi kondisi pasar yang terus berubah dengan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi. Hal inilah yang membedakan startup dengan perusahaan lain pada umumnya. Brikman (2015) mengatakan startup digital merupakan sekumpulan individu yang membentuk organisasi sebagai perusahaan rintisan yang menghasilkan produk dalam bidang teknologi.
Dengan memanfaatkan teknologi internet di zaman yang serba digital, startup dituntut untuk siap memasuki pasar bebas dalam internet yang mampu menjangkau seluruh konsumen dalam memperluas pangsa pasar dengan melakukan ekspansi pasar secara besar-besaran. Maka tidak jarang startup melakukan disrupsi teknologi skala besar dari model konvensional ke dalam bentuk digital yang dapat diakses tanpa batas ruang dan jarak. Hal inilah yang menjadi dasar startup mempunyai target untuk pertumbuhan konsumen yang sangat masif pada awal peluncurannya (Fisher, 2015).
Pada tahapan pengembangan awal, startup seringkali mengalami perubahan dan dituntut untuk melakukan inovasi (McDougall and Oviatt, 1996). Hal ini didorong oleh kebutuhan mereka dalam menyelesaikan masalah keterbatasan yang dihadapi dan menyelaraskan sumberdaya yang dibutuhkan secara internal guna menghadapi situasi eksternal (Katila and Shane, 2005; Hanlon and Saunders, 2007). Startup yang beroperasi dalam kondisi dinamis dan penuh ketidakpastian dalam konteks digitalisasi harus bisa adaptif terhadap perubahan-perubahan (Courtney, et al., 1997; Sirmon et al., 2007), karena memang dampak dari teknologi digital yang luas dan multiguna meningkatkan laju perubahan yang mengarah pada transformasi signifikan di sejumlah industri (Kalakota and Robinson, 1999; Ghezzi et al., 2015).
Profil startup pertanian
Startup pertanian relative baru berkembang di Indonesia. Semua baru memasuki tahap introduction dalam siklus hidup produk maupun organisasinya. Sebagaimana kebanyakan bisnis, tahap introduction merupakan tahap yang kritis. Jika startup pertanian mampu mengatasi persoalan-persoalan internal dan eksternalnya dengan baik maka startup pertanian dapat memasuki siklus hidup berikutnya yaitu siklus pertumbuhan. Beberapa karakteristik perusahaan Startup secara lebih rinci diantaranya:
o Usia perusahaan kurang dari 3 tahun, artinya masih dalam tahap awal suatu perusahaan
digital.
o Jumlah pegawai kurang dari 20 orang, pada awalnya tentu startup hanya memiliki segelintir
orang saja dibalik berdirinya perusahaan.
o Pendapatan kurang dari $100.000/tahun, belum banyak keuntungan yang didapatkan karena
masih dibutuhkan biaya untuk pengembangan startup.
o Masih dalam tahap perkembangan.
o Umumnya bergerak dalam bidang teknologi, penggunaan aplikasi merupakan salah satu
contohnya.
o Produk yang dibuat berupa umumnya aplikasi dalam bentuk digital atau yang lainnya
o Biasanya beroperasi melalui website ataupun media sosial
53
Tabel 1. Startup bisnis pertanian
Nama bisnis aplikasi Profil bisnis
Regopantes
(https://www.regopantes.com)
E-commerce yang menghubungkan petani dengan konsumen akhir secara langsung dengan jaminan kualitas produk tani dan harga yang pantas serta adil bagi kedua belah pihak
TaniHub (https://tanihub.com/) Kanal e-commerce yang memudahkan peternak dan petani untuk menjual hasil langsung kepada masyarakat. Layanan ini dikembangkan sekaligus untuk memberikan harga jual yang kompetitif kepada konsumen. Strateginya dengan memotong rantai distribusi.
Kecipir (https://kecipir.com/) Online marketplace yang memotong mata rantai distribusi konvensional di pasar tradisional sehingga lebih ringkas. Dengan sistem marketplace yang diterapkan oleh Kecipir, akan lebih menguntungkan bagi pihak petani yang bisa memperoleh harga jual lebih tinggi dari cara penjualan sebelumnya. Konsumen sendiri bisa mendapatkan harga yang nilainya bisa 50% lebih rendah dibandingkan dengan harga jual di supermarket atau pasar swalayan pada umumnya.
Agromaret
(https://www.agromaret.com)
Marketplace produk pertanian sebagai solusi permasalahan
bagi para petani yang sulit dalam memasarkan produk
pertaniannya dan mempermudah konsumen mendapatkan
produk pertanian yang diinginkannya.
Eragano Startup yang menyediakan solusi dari hulu ke hilir di sektor
pertanian berupa: penjualan perlengkapan pertanian dan pupuk,
penjualan hasil panen, sistem pengelolaan sawah, pemberian
pinjaman untuk petani
iGrow Sebuah platform yang memungkinkan pemilik modal untuk
berinvestasi di bidang pertanian dan memantaunya secara
online. Mereka menghubungkan tiga pihak penting dalam
industri pertanian yaitu: Investor, Petani, Pembeli produk
pertanian.
Crowde Sebuah platform crowdfunding yang bisa dimanfaatkan untuk
berinvestasi di bidang pertanian. Sebuah tanaman akan
langsung ditanam begitu target pendanaan yang diharapkan di
platform Crowde tercapai.
8Villages Merupakan perusahaan yang membuat aplikasi bernama Petani.
Dengan aplikasi tersebut, para petani bisa bertukar informasi
dengan para pakar pertanian, serta menanyakan berbagai
masalah terkait pertumbuhan tanaman. Para petani juga bisa
mengirimkan foto kondisi tanaman, agar para pakar pertanian
bisa merespons setiap keluhan petani dengan lebih baik.
Aplikasi ini juga bisa berfungsi sebagai forum online yang
memungkinkan para petani untuk saling bertukar informasi.
Simbah Aplikasi yang bisa membantu petani untuk bertanya segala
hal tentang dunia pertanian. Selain itu, mereka pun bisa
membantu para petani untuk menjual hasil panen langsung
kepada konsumen, sehingga bisa meningkatkan harga jual hasil
panen tersebut.
Pantau Harga Aplikasi yang bisa digunakan untuk mengetahui informasi
harga dari beragam komoditas pangan di pasar. Dengan
begitu, transaksi jual beli antara pembeli dan penjual bisa
menjadi lebih transparan.
54
Jumlah startup bidang pertanian di Indonesia sendiri sesungguhnya masih belum terlalu banyak, yaitu baru mencapai puluhan. Namun begitu profil bisnis dari startup pertanian di Indonesia cukup beragam. Sebagian besar menawarkan jasa pemasaran dengan ide menghilangkan peran tengkulak. Model pemasaran online ini juga tidak tunggal, ada yang bersifat marketplace dimana petani dan konsumen bisa berinteraksi secara langsung dalam transaksi jual beli, ada pula yang bersifat toko online dimana ada satu perusahaan yang berfungsi menjadi pengecer di dunia online. Selain itu ada pula startup pertanian yang menawarkan pendanaan, baik dengan pinjaman peer to peer maupun crowdsourcing. Selain yang bersifat bisnis, startup pertanian juga ada yang memerankan diri sebagai konsultan bagi petani, dimana petani bisa bertanya segala permasalahan yang dihadapi dalam bercocok tanam. Selengkapnya profil startup pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tantangan startup pertanian
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai startup memberikan gambaran beberapa tantangan
yang biasanya terjadi diantara startup yang berbeda (Shepherd et al., 2000). Timmons (1999)
mengidentifikasi sebanyak 23.7% startups baru mengalami kegagalan dalam dua tahun pertama, dan
hanya 37.3% yang mampu bertahan lebih dari enam tahun. Hal ini menggambarkan bahwa membuat
startup mampu bertahan dan berkelanjutan adalah suatu hal yang sangat menantang bagi
manajemen. Secara umum ada beberapa tantangan yang biasanya dihadapi oleh berbagai jenis
startup apapun bisnisnya antara lain:
Tantangan permodalan
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa keuangan dan permodalan merupakan bagian
integral dari proses pengembangan startup. Hampir semua startup akan menghadapi isu keuangan
dan permodalan (Colombo & Piva, 2008; Tanha et al., 2011; Salamzadeh, 2015 a, b; Salamzadeh et
al., 2015).
Tantangan Sumber Daya Manusia
Pada umumnya Startups dimulai oleh satu orang pendiri atau beberapa orang pendiri. Seiring dengan
berjalannya waktu, pendiri membutuhkan lebih banyak ahli untuk mengembangankan prototype. Lalu
mereka harus bernegosiasi dengan orang, membuat tim dan merekrut pekerja. Proses ini sangat
kritis dalam mencapai kesuksesan, dan jika para pendiri kurang memiliki cukup pengetahuan dalam
bisnis yang digeluti, startup mungkin gagal karena isu manajemen sumber daya mausia
(Salamzadeh, 2015 a, b; Salamzadeh, 2014).
Mekanisme Dukungan dan fasilitasi
Terdapat beberapa mekanisme dukungan dan fasilitasi terhadap startup yang memainkan peran
penting dalam siklus hidup startup. Mekanisme dukungan dan fasilitasi meliputi; angel investors,
business incubators, science and technology parks, accelerators, small business development
centers, venture capitals, dan lain-lain. Kurangnya akses terhadap dukungan dan fasilitasi dapat
meningkatkan risiko kegagalan (Salamzadeh, 2015 a, b).
Faktor Lingkungan
Berikutnya yang menjadi tantangan dalam pengembangan startup adalah faktor lingkungan, baik
yang menyangkut regulasi maupun menyangkut masalah pasar. Banyak startup gagal karena
kurangnya perhatian pada faktor lingkungan ini, seperti kurangnya memperthatikan trend bisnis yang
berkembang saat ini, keterbatasan dalam memahami situasi pasar beserta perubahan-
perubahannya, maupun lingkungan hukum dan peraturan yang berkembang. Lingkungan yang
mendukung dapat mendorong suksesnya sebuat startup begitupun sebaliknya dapat menyebabkan
kegagalan (Boeker, 1988). Lingkungan untuk startup bahkan lebih sulit dan kritis daripada
perusahaan yang sudah mapan (Bruton & Rubanik, 2002; Van Gelderen et. al., 2005).
Survey Bekraf dan MIKTI (2018) telah memberikan bukti yang mengkonfirmasi penjelasan diatas.
Permasalahan yang dihadapi oleh startup di Indonesiapun tidak jauh berbeda dengan di negara-
negara lain, yaitu permasalahan modal, sumberdaya manusia, fasilitas, regulasi dan pasar (lihat
gambar 2)
55
Gambar 2. Tantangan startup di Indonesia
Sumber: Bekraf dan MIKTI (2018)
Hal lain yang menjadi tantangan dari startup adalah risiko dimana hal ini bersumber dari inovasi yang dikembangkan oleh startup itu sendiri yang tidak pernah dibuat sebelumnya. Ketiadaan pengalaman yang dapat digunakan sebagai referensi dapat menimbulkan risiko operasional startup, mulai dari penciptaan ide hingga ketika pengguna telah membeli/menggunakan produk startup tersebut. Milstein (2014) menjelaskan beberapa risiko yang akan dihadapi startup, yakni: risiko produk, risiko pasar/customer, risiko model bisnis.
Aksesibilitas pangan dan startup pertanian
Aksesibilitas pangan
Ketahanan pangan merupakan isu strategis di banyak negara yang sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan dengan baik. Konsep ketahanan pangan sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1943, Conference of Food and Agriculture mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone untuk mendefinisikan ketahanan pangan. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya yang sering menjadi acuan adalah definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni ketahanan pangan didefiniskan sebagai akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat” (secure access at all times to sufiicient food for a healthy life).
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional (daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu (Soehardjo, 1996). Sementara Simatupang (1999) menyatakan bahwa ketahanan pangan tingkat global, nasional, regional, komunitas lokal, rumah tangga dan individu merupakan suatu rangkaian sistem hierarkis. Dalam hal ini ketahanan pangan rumah tangga tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara ketahanan pangan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan pengolahan pangan dalam rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga, kondisi kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat.
Undang-Undang Pangan No.18 Tahun 2012 di definisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Nainggolan (2008) pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Tantangan utama sistem ketahanan pangan pada tingkat nasional adalah mendekatkan wilayah produsen dengan wilayah konsumen yang diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal.
56
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 di Roma menyebutkan bahwa ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Sementara FAO (1997) mendefinnisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap pangan menjadi faktor penting dalam ekonomi rumah tangga.
Potensi startup dalam mewujudkan aksesibilitas pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, aksesibilitas, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem aksesibilitasi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya.
Berdasarkan definisi dari FAO (1996) dan UU RI No. 18 tahun 2012 ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) Kecukupan ketersediaan pangan; 2) Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; 3) Aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap pangan; 4) kualitas keamanan pangan. Subsistem aksesibilitas berfungsi untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi, sehingga pangan tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah. Kinerja subsistem aksesibilitas dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan.
Dengan demikian, subsistem aksesibilitas ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu distribusi pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin (RAN PG 2006-2010). Dalam hal ini posisi startup pertanian dapat membantu sistem agribisnis yang ada untuk memastikan aksesibilitas pangan yang memadai dan aman dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Model peran startup pertanian
Gambar 3. Model hubungan start-up dengan Aksesibilitas Pangan
Financial Support
Quality Assurance
Agregator produk petani
Kinerja Petani
Aksesibilitas Pangan
Marketing Channel
StartUp Pertanian
57
Agar dapat menjalankan fungsinya guna membantu sistem agribisnis dalam memastikan aksesibilitas pangan dalam jumlah cukup dan berkualitas pada level individu maupun keluarga, maka startup pertanian perlu memainkan beberapa peran yang berpengaruh pada kinerja petani baik dari penyediaan input, maupun pemasaran output. Seperti juga aktor lain dalam sistem agribisnis, petani juga membutuhkan dukungan untuk bisa meningkatkan daya saing mereka. Peningkatan daya saing petani perlu didukung sistem pemasaran yang efisien untuk menjangkau konsumen. Model peran startup pertanian dapat digambarkan seperti pada gambar 3.
1. Agregator produk petani
Startup pertanian dapat berperan menjadi aggregator pemasaran dengan membeli hasil panen petani untuk nantinya dijual ke off-taker. Startup pertanian dalam hal ini dapat menawarkan harga yang adil bagi petani melalui transparansi dalam rantai pemasarannya. Petani akan mengetahui di off-taker manakah produk mereka akan dijual. Dari proses ini, penjualan produk pertanian dengan harga yang menguntungkan bagi petani akan bisa diwujudkan.
Agregator adalah pihak yang bertanggung jawab memastikan kepatuhan level budidaya dan
melindungi hak-hak petani dalam berhubungan dengan pasar (Endeva dan Joyn‐coop, 2012). Dalam hal ini, startup pertanian dapat juga berperan sebagai aggregator bagi penyaluran produk-produk petani yang akan mengisi demand di online marketplace. Sebagai aggregator, startup pertanian akan mengumpulkan produk petani dan memastikan standarisasi produk tersebut sesuai dengan standar e-commerce dan bahkan standar ekspor karena bisa jadi pembelinya berasal dari luar negeri.
Ketika startup berperan sebagai aggregator bagi produk petani, maka diharapkan petani dapat memiliki kepastian bahwa hasil panen mereka dapat tersalurkan ke pasar dengan harga yang adil. Sehingga petani akan memiliki insentif yang cukup kuat untuk menanam dan meningkatkan produktifitas mereka. Pada akhirnya hal ini tentu akan meningkatkan kinerja petani dan mendorong peningkatan aksesibilitas pangan baik di tingkat lokal maupun nasional.
2. Quality assurance
Peran kedua yang dapat dilakukan oleh startup pertanian adalah memastikan mutu produk petani yang akan dijual ke konsumen dengan mutu dan keamanan pangan. Selama ini harga jual produk petani seringkali jatuh karena dianggap mutu nya yang kurang memenuhi persyaratan. Sementara kemampuan petani dalam memastikan mutu dan keamanan pangan yang sesuai dengan permintaan pasar yang dinamis juga terbatas. Startup pertanian dapat melakukan fungsi penjaminan mutu bagi produk petani, sehingga petani bisa mendapatkan harga yang baik karena produk yang dijualnya memang produk yang sudah terseleksi dan terjaga mutunya.
Aplikasi teknologi memungkinkan petani berinteraksi dengan penyuluh maupun pakar pertanian setiap saat. Sehingga petani dapat mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi dalam upaya menciptakan produk yang berkualitas tinggi. Hal ini dapat menjadi bagian dari proses penjaminan mutu yang berkelanjutan dan komprehensif karena proses monitoring terhadap kualitas produk bisa dimulai dari sejak awal masuk masa tanam.
Dalam konteks aksesibilitas pangan, maka peran quality assurance ini sangat penting karena dapat meningkatkan daya saing produksi petani. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang pangan bahwa kecukupan pangan dari sisi jumlah, tapi juga dari sisi mutu dan keamanan pangan itu sendiri. Dengan kata lain masyarakat Indonesia sesuai dengan undang-undang berhak untuk mendapatkan atau mengakses pangan yang bermutu, aman dan dalam jumlah yang cukup. Fungsi startup sebagai quality assurance maka aksesibilitas pangan dalam makna mutu dan kemanan pangan akan dapat diwujudkan.
3. Marketing channel
Marketing memiliki peran yang penting dalam upaya meningkatkan aksesibilitas pangan, pengurangan kemiskinan dan pertanian berkelanjutan khususnya bagi petani kecil di negara berkembang (Altshul, 1998; Lyster, 1990). Meskipun marketing penting, smallholder farmers masih kesulitan dalam mengakses pasar, terlebih lagi ketika liberasi perdagangan sudah mendominasi kehidupan ekonomi. Makhura (2001) menemukan bahwa transaction cost seringkali menjadi hambatan bagi pelaku usaha kecil termasuk petani dalam berpartisipasi di pasar. Makhura menyatakan bahwa kendala pemasaran yang dihadapi oleh petani kecil adalah infrastuktur yang buruk, jaraknya yang jauh dari pasar, tidak memiliki asset dan minimnya informasi pasar.
58
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh petani di negara berkembang termasuk petani di Indonesia adalah ketidakmampuan petani dalam mengakses pasar secara langsung dengan baik. Dalam mendistribusikan produknya, seringkali petani sangat tergantung pada tengkulak, karena memang umumnya saluran distribusi sudah dikuasai oleh para tengkulak. Sementara saluran distribusi yang selama ini ada seringkali sangat panjang dengan margin share yang kurang fair bagi petani. Para tengkulak tidak jarang lebih bertindak sebagai eksploitator ketika membeli produk dari petani dengan harga yang sangat murah.
Startup pertanian berbasis aplikasi dapat berperan dalam melakukan disintermediary atau mengurangi rantai distribusi dalam sistem tata niaga pertanian di Indonesia. Dengan penetrasi teknologi digital yang sangat pesat di Indonesia, hubungan antara petani dan konsumen bisa difasilitasi oleh apklikasi teknologi yang memungkinkan keduanya berinteraksi secara langsung tanpa melalui perantara. Melalui interface aplikasi teknologi, konsumen dapat melakukan order secara langsung pada petani dan petani dapat memasarkan secara langsung kepada konsumen.
Disintermediary pada sistem tataniaga pertanian tentunya akan dapat meningkatkan efisiensi saluran distribusi, dimana biaya-biaya dapat dipangkas dan alokasi margin distribusi dapat diperbaiki pada titik yang adil baik bagi petani maupun bagi konsumen. Hal ini pada akhirnya dapat mendorong terjadinya peningkatan kesejahteraan petani karena petani akan memperoleh harga yang fair dan disisi lain dapat meningkatkan aksesibilitas pangan dalam aspek distribusi pangan ke masyarakat.
4. Financial support
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani kecil di Indonesia pada umumnya adalah kelemahan dari sisi permodalan. Pada dasaernya petani selalu membutuhkan pembiayaan untuk bercocok tanam. Ketiadaan modal kerja yang cukup seringkali menyulitkan mereka dalam mengakses saprodi. Mereka selalu kekurangan modal kerja di awal musim tanam untuk membeli benih, pupuk, pestisida dan lainnya.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa petani, khususnya petani kecil di Indonesia sangat sulit mengakses pembiayaan formal (Rosengard dan Prasentyantoko 2011; Arief dan Rosmiati 2013). Kesulitan dalam mengakses pembiayaan ini pada umumnya karena terkendala dalam hal kepemilikan aset, terutama lahan sebagai collateral (Johnston dan Murdoch 2008; Ayyagari et al. 2010). Dapat dikatakan bahwa kebanyakan petani kecil di Indonesia belum bankable. Artinya memang meminjam uang ke bank belum bisa menjadi opsi bagi mereka. Kalaupun ada yang bisa meminjam ke bank, bank menerapkan sistem pembayaran/pencicilan hutang per bulan. Sedangkan bisnis pertanian pada umumnya lebih memilih menyicil/membayar lunas pinjaman setelah panen.
Dukungan keuangan bagi petani dalam hal ini sangat diperlukan agar petani dapat melanjutkan proses produksinya dan meningkatkan kapasitas produksinya. Selama ini kesulitan petani dalam hal keuangan mengakibatkan tingkat penggunaan saprodi yang rendah, inefisien dalam skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar-menawar ketika panen lemah. Startup pertanian dengan pendekatan financial technology dapat memberikan dukungan financial non bank yang memungkinkan untuk diakses oleh petani secara lebih mudah.
KESIMPULAN
Meskipun masih relative baru berkembang di Indonesia, startup pertanian di Indonesia memiliki
profil yang beragam. Sebagian besar startup pertanian di Indonesia menawarkan jasa pemasaran,
namun ada pula startup pertanian yang menawarkan pendanaan, jasa konsultasi bagi petani, dan
penyedia informasi harga pasar bagi petani. Adapun tantangan yang dihadapi oleh startup pertanian
di Indonesia pada umumnya menyangkut masalah permodalan, sumber daya manusia, fasilitasi
pemerintah dan faktor lingkungan. Hasil studi menunjukkan terdapat empat peran utama yang bisa
dilakukan oleh startup pertanian di Indonesia, yaitu sebagai aggregator produk petani, quality
assurance, marketing channel, dan financial support. Keempat peran ini berpotensi mendorong
terjadinya peningkatkan kinerja petani dan pada akhirnya dapat berkontribusi pada pencapaian
aksesibilitas pangan bagi masyarakat.
59
DAFTAR PUSTAKA
Arief B dan M Rosmiati. 2013. Dampak Akses Kredit terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi. Jurnal Institut Koperasi Indonesia. pp 129138.
Ayyagari M, AD-Kunt, and V Maksimovic. 2010. Formal versus Informal Finance: Evidence from China. The Review of Financial Studies. Vol 23 No. 8, pp 3048-3097.
Blank and Dorf (2012) The startup owner's manual: The step-by-step guide for building a great company, Pescadero, Calif: K&S Ranch, Inc.
Boeker, W. 1988. Organizational origins: Entrepreneurial and environmental imprinting of the time of founding. Ecological models of organizations, 33-51.
Boeker, W., & Wiltbank, R. 2005. New venture evolution and managerial capabilities. Organization Science, 16(2), 123-133.
Brikman. 2015. Hello, Startup: A Programmer's Guide to Building Products, Technologies, and Teams, "O'Reilly Media, Inc.
Bruton, G. D., & Rubanik, Y. 2002. Resources of the firm, Russian hightechnology startups, and firm growth. Journal of Business Venturing, 17(6), 553-576.
Colombo, M. G., & Piva, E. 2008. Strengths and weaknesses of academic startups: a conceptual model. Engineering Management, IEEE Transactions on, 55(1), 37-49.;
Courtney, H., Kirkland, J., Viguerie, P 1997 strategy under uncertainty, Harvard Business Review, Desember
Ghezzi, A., Cortimiglia, MN., Frank AG., 2015. Strategy and business model design in dynamic telecommunications industries: Astudy on Italian mobile network operators, Technological Forecasting and Social Change 90, 346-354
Graham, P. 2012. Startup is growth. www.paulgraham.com/growth.htm
Hanlon and Saunders, 2007. Marshaling Resources to Form Small New Ventures: Toward a More Holistic Understanding of Entrepreneurial Support, Volume: 31 issue: 4, page(s): 619-641
Johnston D and J Murdoch. 2008. The Unbanked: Evidence from Indonesia. The World Bank Economic Review. Vol. 22 No. 3, pp: 517-537.
Katila, R. and Shane, S. 2005. WHEN DOES LACK OF RESOURCES MAKE NEW FIRMS INNOVATIVE, Academy of Management Journal 2005, Vol. 48, No. 5, 814-829
Kalakota, R., and Robinson, M. e-Business: Roadmap for Success, Addison-Wesley, Reading, Massachusetts, 1999.
Nainggolan, K., 2008. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2: 114 - 139
Ries, E. 2011. The Lean Startup: How Today’s Entrepreneurs Use Continuous Innovation to Create Radically Successful Businesses. Crown Business, New York.
Rosengard, JK and A Prasentyantoko. 2011. If The Banks are Doing So Well, Why Can't I Get a Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia. Asian Economic Policy Review. Vol. 6, pp: 273-296.
Salamzadeh, A. 2014. Youth Entrepreneurship in Developing Countries: Do Young People Know Their Potentials. Proceedings of the International Conference on Youth and Our Cultural Heritage, May 15-18, Samsun, Turkey.
Salamzadeh, A., Farsi, J. Y., Motavaseli, M., Markovic, M. R., & Kesim, H. K. 2015. Institutional factors affecting the transformation of entrepreneurial universities. International Journal of Business and Globalisation, 14(3), 271- 291.
Salamzadeh, A. 2015. Innovation Accelerators: Emergence of Startup Companies in Iran. In 60th Annual ICSB World Conference June. UAE (pp. 6- 9).
Salamzadeh, A. 2015. New Venture Creation: Controversial Perspectives and Theories. Economic Analysis, 48(3/4).
Shepherd, D. A., Douglas, E. J., & Shanley, M. 2000. New venture survival: Ignorance, external shocks, and risk reduction strategies. Journal of Business Venturing, 15(5), 393-410.
Tanha, D., Salamzadeh, A., Allahian, Z., & Salamzadeh, Y. 2011. Commercialization of university research and innovations in Iran: obstacles and solutions. Journal of Knowledge Management, Economics and Information Technology, 1(7), 126-146.
60
Timmons JA. 1999. New Venture Creation: Entrepreneurship for the 21st Century. Homewood: IL, Irwin.
Van Gelderen, M., Thurik, R., &Bosma, N. 2005. Success and risk factors in the pre-startup phase. Small Business Economics, 24(4), 365-380.
UCAPAN TERIMAKASIH
Redaksi Jurnal Pilar Ketahanan Pangan mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah
membantu sehingga Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 02, Desember 2019 ini dapat
terbit. Ucapan terima kasih dipersembahkan kepada:
1. Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan)
2. Dr. Ir. Riwantoro, MM ( Sekretaris Badan Ketahanan Pangan)
3. Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, BKP)
4. Dr. Andriko Noto Susanto (Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, BKP)
5. Prof Dr. Ir. Achmad Suryana, MS (Peneliti Senior Bidang Kebijakan Pangan dan Pertanian)
6. Prof Dr. Drs. Benny Rachman, MS (Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian,
Kementerian Pertanian)
JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN PEDOMAN BAGI PENULIS NASKAH
PERSYARATAN UMUM
Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain. Naskah tersebut harus sesuai dengan misi Jurnal Pilar Ketahanan Pangan (JPKP), yaitu sebagai media Jurnal Ilmiah memuat artikel yang membahas isu ketahanan pangan dan gizi hasil-hasil penelitian, kajian dan telaah implementasi kebijakan; meliputi aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan nasional dan daerah. JPKP juga menampung artikel berupa gagasan atau konsepsi original dalam pengembangan ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional dan daerah.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penulisan mencakup aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan.
SUBSTANSI NASKAH
Naskah disusun dengan urutan unsur-unsur sebagai berikut: Judul Naskah (dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), Nama penulis, Nama dan Alamat Instansi tempat penulis bekerja, Abstrak dan Kata Kunci, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, dan Daftar Pustaka.
1. JUDUL NASKAH Judul naskah spesifik, jelas, ringkas, informative dan menggambarkan ini substansi dari tulisan, serta tidak lebih dari 15 kata. Judul tidak perlu diawali dengan kata penelitian, analisis atau studi, kecuali kata tersebut merupakan pokok bahasan. Jika dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegas maksud tulisan. Hindarilah pemilihan judul yang terlalu umum.
2. NAMA PENULIS DAN INSTANSI Nama penulis ditulis lengkap, masing-masing penulis diberi nomor superscript berdasarkan instansinya. E-mail diletakkan setelah nama penulis yang menjadi korespondensinya.
3. ABSTRAK Makalah lengkap dalam bahasa Indonesia didahului dengan Abstract bahasa Inggris dan sebaliknya, masing-masing satu paragraf tanpa sitasi pustaka dan tanpa catatan kaki. Abstrak harus mencakup permasalahan pokok, tujuan penelitian, metode penelitian, termasuk lokasi dan waktu penelitian, hasil utama serta saran atau implikasi kebijakan.
4. KATA KUNCI Kata kunci di tulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Kata kunci merupakan kata atau istilah yang paling penting dalam naskah. Penulisan kata kunci minimal tiga kata, maksimal lima kata.
5. PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang penelitian, perkembangan, dan kondisi saat ini dari topik yang diteliti melalui tinjauan pustaka atau hasil-hasil penelitian sebelumnya, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian.
6. METODE PENELITIAN Metode Penelitian mengungkapkan secara jelas dan rinci mengenai kerangka pemikiran (opsional), sumber dan teknik pengumpulan data (lokasi, waktu, dan sampling), dan metode analisis data. Metode Penelitian harus ditulis secara rinci dan jelas agar reviewer dan pembaca memahami apa yang dilakukan peneliti dan peneliti lain bisa mengkaji dan mengulangi penggunaan metode tersebut.
7. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan menyajikan dan membahas secara jelas dan lengkap hasil penelitian yang dicapai dengan mengacu kepada tujuan. Uraian mengenai Hasil dapat dilengkapi dengan tabel yang ringkas dan ilustrasi (grafik, gambar atau foto) yang jelas. Keterangan untuk tabel (di atasnya) dan ilustrasi (di bawahnya) harus jelas dan bersifat mandiri (menunjukkan apa, di mana, dan kapan) sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya tanpa membaca teks. Grafik, gambar, atau foto diletakkan tidak terpisah dari uraian. Uraian mengenai Pembahasan selain mencakup kupasan mengenai hasil, juga penjelasan tentang arti dan manfaat penelitian, dikaitkan dengan masalah yang akan dipecahkan. Satuan ukuran, baik di dalam teks maupun pada tabel dan ilustrasi menggunakan sistem metriks. Uraian mengenai Hasil dan Pembahasan dituliskan dalam beberapa subjudul dan juga sub-subjudul (jika diperlukan) dengan mengacu pada tujuan penelitian.
8. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan memuat ringkasan benang merah hasil penelitian secara keseluruhan. Kesimpulan harus menjawab tujuan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian. Saran dapat berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh.
9. DAFTAR PUSTAKA
Pustaka yang dikutip paling sedikit sepuluh dan pustaka primer dianjurkan paling sedikit 80% dari total pustaka dan merupakan terbitan lima tahun terakhir. Tidak diperkenankan mengutip yang berasal dari naskah yang tidak diterbitkan seperti petunjuk praktikum, kecuali Laporan Penelitian, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Pustaka yang berasal dari halaman website diperkenankan jika berasal dari majalah elektronik, data base genom, dan paten; namun tidak diperbolehkan jika berasal dari Wikipedia dan blogspot. Kutipan tulisan sendiri dibatasi paling banyak 30% dari total jumlah kutipan (pustaka).
KETENTUAN PENGIRIMAN NASKAH:
a. Naskah atau artikel dikirim dan diterima oleh Tim Redaksi paling lambat 2 bulan sebelum penerbitan.
b. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 x 29,7 cm) dengan jarak 1 spasi. Batas tepi atas 3 cm dan batas tepi kiri, kanan, dan bawah masing-masing 2,5 cm.
c. Naskah diketik dengan menggunakan huruf Arial ukuran 10 untuk teks dan menggunakan huruf Arial 9 untuk abstrak dan Daftar Pustaka, menggunakan program Microsoft Word; tabel dan grafik menggunakan program Microsoft Excel; sedangkan gambar menggunakan format JPEG atau TIFF (dalam format yang dapat diedit). Panjang naskah atau artikel antara 10 hingga 25 halaman.
d. Naskah atau artikel dikirimkan dalam bentuk Microsoft Word Doc (bukan Docx) dan excel (untuk data pendukung) melalui e-mail: [email protected]
e. Naskah atau artikel dan softcopy dalam bentuk Compact Disk (CD) dapat dikirimkan ke: Kantor Pusat Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Gedung E lantai 6 Ruang 628, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kode pos 12550, No Telp (021) 7804496.
CATATAN
Makalah hendaknya ditulis menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. Untuk makalah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, hendaknya penulisan makalah mengacu pada Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sesuai dengan Permendiknas No. 50 Tahun 2015 dan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat.
Satuan pengukuran dalam teks, grafik,dan gambar memakai sistem internasional (SI), misalnya cm, kg, km, ha, t, dan lain sebagainya. Khusus untuk l yang merupakan singkatan dari liter, digunakan L untuk menghindari kemungkinan tertukar dengan angka 1. Penulisan angka desimal dipisahkan dengan tanda koma (,) untuk naskah dalam bahasa Indonesia, sedangkan untuk bahasa Inggris dengan tanda titik (.). Penulisan angka ribuan dipisahkan dengan tanda titik (.) untuk naskah bahasa Indonesia, sedangkan untuk naskah dalam bahasa Inggris di tulis dipisahkan dengan tanda koma (,).
TABEL DAN ILUSTRASI (GRAFIK, GAMBAR ATAU FOTO)
Tabel dan ilustrasi diletakkan di dalam teks, sesuai dengan uraian yang berkaitan dengan tabel dan ilustrasi tersebut. Judul tabel diletakkan di atas tabel dengan posisi justify menggunakan Arial 9 spasi tunggal dengan spacing before 12 dan after 6, serta isi tabel menggunakan Arial 9 spacing before dan after masing-masing 2, sedangkan sumber data dan keterangan tabel menggunakan Arial 8 spasi tunggal dengan spacing before 2 dan after 12. Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi center menggunakan Arial 9 spasi tunggal dengan spacing before 6 dan after 12, sedangkan sumber data dan keterangan gambar menggunakan Arial 8 spasi tunggal dengan spacing before 2 dan after 0 diletakkan tepat di bawah gambar sebelum judul gambar.
1
ISSN
:
Gedung E Lt. 6 Jl Harsono RM, No 3 Ragunan, Jakarta Selatan 12550
Indonesia
Email: [email protected], Telp. (021) 7804496
Alamat Redaksi
Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan
Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian