pih bab iv
DESCRIPTION
pengantar ilmu hukumTRANSCRIPT
Bab IV
Konsep-Konsep Dasar Hukum
A. Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra adalah setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum
(rechtsbevoegheid). Sedangkan pengertian wewenang hukum sendiri adalah
kewenangan untuk menjadi subyek dari hak dan kewajiban.
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hokum
ialah manusia atau orang ( aturlijke Person) dan badan hokum (Vicht Person) misalnya
PT, PN, dan Koperasi.
Subyek hukum menurut ahli hukum, antara lain:
Prof. Subekti
Subyek hukum : adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum
(orang)
Prof. Sudikno
Subyek hukum : segala sesuatu yang mendapat hak dan kewajiban dari
hukum
Subyek hukum merupakan segala sesuatu yang memiliki hak/kewenangan melakukan
perbuatan hukum serta cakap dalam masalah hukum. Subyek hukum merupakan pendukung
hak menurut kewenangan atau kekuasaan yang nantinya akan menjadi pendukung sebuah hak.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa subyek hukum adalag pemegang kekuasaan dari hak
dan kewajiban yang berlaku menurut hukum. Dalam hukum Indonesia, yang menjadi subyek
hukum ialah manusia.
Subyek hukum terdiri dari dua jenis :
1) Manusia
Pengertian secara yuridisnya ada 2 alasan yang menyebutkan alasan manusia
sebagai subyek hokum yaitu:
a. Pertama: manusia mempunyai hak-hak subyektif
b. Kedua: kewenangan hukum, dalam hal ini kecakapan untuk menjadi subyek
hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap
bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak
cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan
hukum adalah sebagai berikut :
Cakap melakukan perbuatan hukum :
- Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun).
- Seseorang yang berusia di bawah 21 tahun tetapi pernah menikah.
- Berjiawa sehat dan berakal sehat.
Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH
perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, yaitu:
Orang yang belum dewasa ( belum mencapai usia 21 tahun)
Orang di bawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa,
pemabuk atau pemboros.
Sakit ingatan.
Seorang wanta dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri.
Badan hukum (Rechts Person)
2) Badan Hukum ((Rechtsperson)
Adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan
mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
- Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
- Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban
para anggotanya.
Badan hukum menurut pendapat wirjono prodjodikoro adalah sebagai
berikut: “suatu badan yang di damping menusia perorangan juga dapat
bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban
dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Kalau dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena:
1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri
2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban
3. Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
4. Ikut serta dalam lalu lintas hokum bisa melakukan jual beli
5. Mempunyai tujuan dan kepentingan.
Badan hukum dibedakan dalam dua bentuk, yakni :
1. Badan hukum privat, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau
perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang didalam badan hukum itu. Dengan
demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang dengan
tujuan untuk keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum
yang berlaku secara sah.
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi, Yayasan.
2. Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang
menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian
badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa
berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif
(pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik
Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II. Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.
Contohnya : provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank Negara.
Hakikat Badan Hukum
1. Teori Fictie : sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang yang
menghidupkannyadalam bayangan sebagai subyek hokum yang dapat melakukan
perbuatan hokum sebagaimana manusia.
2. Teori organ : badan hokum bukanlah abstrak (fiksi) dan bukan (hak) yang tidak
bersubyek, tetapi badan hokum adalah suatu organisme riil, yang menjelma sungguh-
sungguh dalam pergaulan hokum yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan
perantara alat-alat yang ada padanya seperti manusia dan panca indra, dll.
3. Teori harta kekayaan bertujuan: hanya manusia yang menjadi subyek hukm, tapi ada
kekayaan yang bukan kekayaan seseorang, tapi terikat pada tukuan tertentu.
B. Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang
dapat menjadi obyek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subyek
hukum. Dalam bahasa hokum, obyek hokum dapat juga disebut hak atau benda yang
dapat dikuasai dan/ dimiliki subyek hukum. Misalnya, Ansi meminjamkan buku kepada
Budi. Di sini, yang menjadi obyek hukum adalah buku karena buku menjadi obyek
hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Ø Bagian-Bagian Objek hukum dapat dibedakan menjadi :
1. Benda bergerak
Pengertian benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri
ataupun dapat dipindahkan. Benda bergerak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Benda bergerak karena sifatnya
Contoh : perabot rumah, meja, mobil, motor, komputer, dll
- Benda bergerak karena ketentuan UU
Benda tidak berwujud, yang menurut UU dimasukkan ke dalam kategori benda bergerak .
Contoh : saham, obligasi, cek, tagihan – tagihan, dsb
2. Benda tidak bergerak
Pengertian benda tidak bergerak adalah Penyerahan benda tetapi dahulu dilakukan dengan
penyerahan secara yuridis. Dalam hal ini untuk menyerahkan suatu benda tidak bergerak
dibutuhkan suatu perbuatan hukum lain dalam bentuk akta balik nama. dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
- Benda tidak bergerak karena sifatnya,
Tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau biasa dikenal
dengan benda tetap.
- Benda tidak bergerak karena tujuannya,
Tujuan pemakaiannya :
Segala apa yang meskipun tidak secara sungguh – sungguh digabungkan dengan tanah atau
bangunan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama
Contoh : mesin – mesin dalam suatu pabrik
- Benda tidak bergerak karena ketentuan UU,
Segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.
Contoh : Kapal dengan bobot 20 M Kubik (Pasal 314 KUHPer) meskipun menurut sifatnya dapat
dipindahkan
Membedakan benda bergerak dan tidak bergerak sangat penting karena berhubungan dengan
4 hak yaitu : pemilikian, penyerahan, kadaluarsa, dan pembebanan.
1. Pemilikan
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal
1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang
tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
2. Penyerahan
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara
nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak
dilakukan balik nama.
3. Daluwarsa
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab
bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk
benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.
4. Pembebanan
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia)
sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah
serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.
Ø Perbedaan Subjek Hukum dan Objek Hukum
Yaitu pendukung hak dan kewajiban yang terjadi pada subjek hukum terjadi dari manusia
(persoon) dan badan hukum (Rechtspersoon). Sedangkan objek hukum, segala sesuatu yang
berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek hukum dari suatu hubungan hukum.
C. Akibat Hukum
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu
akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang
dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna
memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-
akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang
bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek
hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jual-beli maka telah lahir
suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang
mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar
barang tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk
mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan
barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum
menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum itu dapat berujud:
1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
Contoh:
· Usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi
cakap hukum, atau
· Dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.
2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih
subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan
kewajiban pihak yang lain.
Contoh:
A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A
dan B. Setelah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.
3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Contoh:
Seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si
pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan
hukum.
4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum
yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam
keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum.
Misalnya:
Dalam keadaan kebakaran dimana seseorang sudah terkepung api, orang
tersebut merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu dan lain-lain untuk jalan
keluar menyelamatkan diri.
Di Dalam kenyataannya, bahwa perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang
akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun
yang dilakukan dua pihak (bersegi dua). Apabila akibat hukumnya (rechtsgevolg)
timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat diatur dalam pasal
875 KUH Perdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak.
Kemudian apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak, seperti jual
beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.
D. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang
tercantum di dalamnya dapat berlaku konkrit. Misalnya suatu peraturan hukum yang
mengatur tentang kewarisan tentang kematian, akan tetap merupakan perumusan yang
kata-kata abstrak sampai ada seseorang yang meninggal dunia dan menimbulkan masalah
kewarisan.
Jadi, peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum
diberikan akibat-akibat dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat
sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh orang yang melakukannya, maka perbuatannya
tersebut bukan merupakan peristiwa hukum.
Menurut van Apeldorn bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan
hukum menimbulkan atau menghapuskan hak. Begitu pula pendapat Bellefroid yang
menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis
dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila
peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.
Seperti misalnya perkawinan antara pria dan wanita Demikian pula misalnya kematian
seseorang, akan pula membawa berbagai akibat hukum, seperti penetapan pewaris, ahli
waris dan harta waris. Dan apabila dibidang hukum pidana, seandainya kematian tersebut
akibat perbuatan seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat hukum berupa
pertanggung jawab pidana.
Dengan demikian peristiwa hukum ini dapat mengenai berbagai segi hukum baik hukum
publik, privat, tata negara, tata usaha negara, hukum pidana dan perdata.
Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu:
1. Perbuatan subyek hukum (persoon) yaitu berupa perbuatan manusia atau badan
hukum (recht persoon) sebagai pendukung hak dan kewajiban.
2. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subyek hukum.
E. Hubungan Hukum
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek hukum
atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan
kewajiban dipihak yang lain. Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu
dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Jadi hubungan hukum terdiri atas ikatan-ikatan antara
individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat dan seterusnya.
Dengan kata lain hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.
Adapun hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan hukum.
Pertunangan dan lamaran misalnya bukan merupakan hubungan hukum karena tidak diatur
oleh hukum.
Hubungan hukum dapat terjadi diantara sesama subyek hukum dan antara subyek
hukum dengan barang. Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara
seseorang dengan seorang lainnya, antara seseorang dengan suatu badan hukum, dan
anatara suatu badan hukum dengan badan hukum lainnya. Sedangkan hubungan antara
subyek hukum dengan barang berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas
barang tersebut baik barang berwujud dan barang bergerak atau tidak bergerak.
Dilihat dari sifat hubungannya , hubungan hukum dapat dibedakan antarahubungan
hukum yang bersifat privat dan hubungan hukum yang bersifat publik. Dalam menetapkan
hubungan hukum apakah bersifat publik atau privat yang menjadi indikator bukanlah
subyek hukum yang melakukan hubungan hukum itu, melainkan hakikat hubungan itu atau
hakikat transaksi yang terjadi (the nature transaction). Apabila hakikat hubungan itu
bersifat privat, hubungan itu dikuasai oleh hukum privat.
Apabila dalam hubungan itu timbul sengketa, siapapun yang menjadi pihak dalam
sengketa itu, sengketa itu berada dalam kompetensi peradilan perdata kecuali sengketanya
bersifat khusus seperti kepailitan, yang berkompeten yang mengadili adalah pengadilan
khusus juga, kalau memang undang-undang negara itu menentukan demikian. Dan apabila
hakikat hubungan itu bersifat publik, yang menguasai adalah hukum publik. Yang
mempunyai kompetensi untuk menangani sengketa demikian adalah pengadilan dalam
ruang lingkup hukum publik, apakah pengadilan administrasi, peradilan pidana, dan lain-
lain.
Hubungan hukum memerlukan syarat-syarat antara lain:
a. Ada dasar hukumnya, yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan itu.
b. Ada Peristiwa hukum, yaitu terjadi peristiwa hukumnya.
Misalnya: A menjual satu unit mobil kepada B. Perjanjian jual beli ini akan menimbulkan
hubungan antara A dan B dan hubungan itu diatur oleh hukum (Pasal 1457 KUH
Perdata). A wajib menyerahkan satu unit mobil kepada B sebaliknya B wajib membayar
mobil sesuai dengan perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak, atau kedua-duanya
telah melalaikan kewajibannya maka oleh hakim dapat dijatuhi sanksi hukum. Hubungan
antara A dan B yang diatur oleh hukum itu disebut hubungan hukum. Jadi setiap
hubungan hukum mempunyai dua segi: “bevoegdheid” (kekuasaan/kewenangan/hak)
dengan lawannya “plicht”atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan kepada subyek
hukum dinamakan “hak” Hubungan Hukum terdiri dari:
a. Hubungan sederajat dan hubungan beda derajat
Sederajat : suami-isteri (perdata), antar propinsi (tata negara).
Beda derajat: orang tua-anak (perdata), penguasa-warga (tata-negara)
b. Hubungan timbal balik dan timpang bukan sepihak.
Timbal balik jika para pihak sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, timpang
bukan sepihak jika yang satu hanya hanya punya hak saja sedang yang lain punya
kewajiban saja.
F. Hak dan Kewajiban
Tak seorangpun manusia yang tidak mempunyai hak, tetaapi konsekuensinya bahwa orang
lainpun memiliki hak yang sama dengannya. Jadi hak pada pihak yang satu berakibat timbulnya
kewajiban pada pihak yang lain.
Untuk terjadinya “hak dan kewajiban” diperlukan suatu peristiwa yang oleh hokum
dihubungkan sebagai suatu akibat. Artinya, hak seseorang terhadap sesuatu benda
mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu menghormati dan tidak boleh
mengganggu hak tersebut.
1. Hak
Ada 2 teori dalam ilmu hokum untuk menjelaskan keberadaan hak, yaitu:
a. Teori kepentingan (Belangen Theorie) yang dianut Rudolf von Jhering : hak itu
sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum atau suatu
kepentingan yang terlindungi.
Teori ini dibantah oleh Utrecht, menurutnya hokum itu memang mempunyai tugas
melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak boleh mengacaukan
antara hak dan kepentingan. Karena hokum sering melindungi kepentingan dengan
tidak memberikan hak kepada yang bersangkutan.
b. Teori kehendak (Wilsmacht Theorie): hak adalah kehendak yang diperlengkapi
dengan kekuatan dan diberi oleh tat tertib hokum kepada seseorang. Dianut oleh
Bernhard Winscheid. Berdasarkan kehendak seseorang dapat memiliki rumah, mobil,
tanah, dll. Sedangkan anak dibawah umur atau orang gila tidak dapat beri hak.
Teori ini dibantah oleh Urecht, menurutnya walaupun dibawah pengampuan mereka
tetap dapat memiliki mobil, rumah, dsb. Namun, yang menjalankan adalah wali atau
kuratornya.
Hak dapat timbul pada subyek hokum disebabkan oleh beberapa hal berikut:
- Adanya subyek hokum baru, baik orang maupun badan hokum.
- Terjadinya perjanjian yang disepakati oleh para pihak yang melakukan
perjanjian.
- Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian
orang lain.
- Karena seseorang telah melakukan kewajiban.
2. Kewajiban
a. Kewajiban yang sesungguhnya merupakan beban, yang diberikan oleh hokum
kepada subyek hokum. Kewajiban dalam ilmu hokum menurut Curzon dibedakan
beberapa golongan, yaitu:
1. Kewajiban Mutlak dan Kewajiban Nibsi
- Kewajiban Mutlak : kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak .
- Kewajiban Nibsi : kewajiban yang disertai adanya hak.
2. Kewajiban Publik dan Kewajiban Perdata
- Kewajiban Publik : kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak public.
- Kewajiban Perdata : kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak perdata.
3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif
- Kewajiban Positif : kewajiban yang menghendaki suatu perbuatan positif.
- Kewajiban Negatif : kewajiban yang menghendaki untuk tidak melakukan
sesuatu.
G. Asas Hukum
Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan hukum
itu berakar pada suatu asas hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan
masyarakat secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum
adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-
masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,
yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual tersebut
dapat dipandang sebagai penjabarannya’.
Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah yang
berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman
berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.
Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan
hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum,
kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan
aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi
aturan-aturan hukum.
Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan
dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah
kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat ditemukan dari putusan hakim
ataupun hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum,
baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.
Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi
demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani
manusia. Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke
dalam klasifikasi berikut:
1. asas-asas hukum materiil:
a. respek terhadap kepribadian manusia
b. respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari
keberadaan manusia sebagai pribadi
c. asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
d. asas pertanggungjawaban
e. asas keadilan
2. asas-asas hukum formal:
a. asas konsistensi
b. asas kepastian
c. asas persamaan.
Selain asas-asas hukum yang bersifat umum di atas, pada setiap bidang hukum terdapat
berbagai asas hukum yang bersifat khusus. Dalam bidang hukum perdata misalnya, dikenal asas
kebebasan berkontrak, atau dalam bidang hukum tata negara dikenal adanya asas pembagian
atau pemisahan kekuasaan, dalam bidang hukum administrasi dikenal asas-asas umum
pemerintahan yang baik, dan sebagainya.
Pada umumnya, apabila hukum positif tidak mengindahkan asas hukum, tidak ada sanksi
khusus yang diberlakukan. Namun demikian, ada kalanya suatu asas hukum dijadikan
pertimbangan oleh badan yudisial dalam mengadili perkara tertentu. Sebagai contoh, dalam
pengujian Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasan
mengenai jangka waktu pencegahan, Mahkamah Konstitusi menggunakan asas proporsionalitas
sebagai salah satu pertimbangan memutus perkara tersebut (vide Putusan Nomor
64/PUU-IX/2011, hlm. 66).
Secara khusus, dalam hal perkara pengujian Keputusan Tata Usaha Negara, asas hukum
terkait, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijadikan batu uji oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam mengadili perkara tersebut (vide Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Dalam hal suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memberikan sanksi berupa
kewajiban mencabut dan/ atau menerbitkan keputusan tata usaha yang baru, dengan atau
tidak disertai ganti rugi dan/ atau rehabilitasi (vide Pasal 97 ayat (9), (10) dan (11) UU Peradilan
Tata Usaha Negara). Namun demikian, penggunaan asas-asas tersebut sebagai batu uji, lebih
disebabkan karena asas-asas tersebut telah bertransformasi menjadi norma
hukum/normatifisasi (diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya),
tidak murni sebagai asas hukum.
Walaupun pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak mengindahkan
asas hukum, namun jika hal itu tersebut terjadi, maka sangat mungkin hukum positif tersebut
tidak atau kurang memenuhi dasar-dasar keberlakuan hukum yang baik. Dasar–dasar
keberlakuan hukum yang dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis (Bagir
Manan: 1992).
Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas bahwa anak yang
lahir di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu kandung (dan
keluarga ibunya). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah asas yang mendasari
Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut secara fundamental. Putusan tersebut menegaskan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
(vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).
Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa:
“hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata
karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan pada pembuktian adanya
hubungan darah antara anak denganlaki-laki tersebut sebagai bapak” ( vide Putusan Nomor
46/PUU-VIII/2010, hlm. 35).
Artinya, putusan tersebut juga melegitimasi hubungan keperdataan antara anak - bapak,
tanpa didasarkan adanya ikatan “perkawinan” (bukan sekedar tidak dicatatkan). Walaupun
Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan tersebut atas dasar perlindungan hukum terhadap
anak, namun sangat mungkin substansi putusan tersebut, tidak dapat diterima oleh mayoritas
masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan, hubungan seksual tanpa didahului perkawinan,
apalagi yang berakibat pada kehamilan dan kelahiran anak, dianggap sebagai tindakan yang
melanggar kesusilaan. Putusan tersebut menunjukkan adanya hukum positif yang tidak
mengindahkan, atau bahkan mengubah asas hukum secara fundamental, yang jika dilihat dari
segi dasar keberlakuan hukum, kurang memenuhi dasar berlaku dari aspek sosiologis
(penerimaan oleh masyarakat) dan aspek filosofis (pandangan dan nilai-nilai dalam
masyarakat). Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat efektifitas dan keampuhan
(efficacy) putusan tersebut dalam praktik.