petani indramayu berebut air

6

Click here to load reader

Upload: melinda-flynn

Post on 08-Aug-2015

13 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Petani Indramayu Berebut Air

PETANI INDRAMAYU BEREBUT AIR

Ratusan petani di Indramayu, Jawa Barat, sejak sepekan ini saling berebut air irigasi dengan mengoperasikan mesin pompa menyedot air sisa genangan pada sungai dan saluran irigasi sekunder yang berhenti mengalirkan air memasuki musim kemarau.

Rebutan air terpaksa dilakukan petani demi menyelamatkan tanaman padi MT (musim tanam) gadu. Tanaman padi milik petani itu umumnya saat ini masih berusia muda. Antara 2 hingga 4 minggu. Sehingga tanaman padi itu sedang membutuhkan air dalam jumlah yang mencukupi.

Mengingat hampir seluruh tanaman padi itu sama-sama memerlukan air irigasi, menyusul terhentinya pasokan air dari sungai maupun saluran irigasi sekunder, maka petani memburu sisa air yang masih tergenang di dasar sungai atau saluran irigasi sekunder.

“celakanya jumlah sisa air yang tergenang pada dasar sungai maupun saluran irigasi sekunder itu sangat terbatas, sementara petani yang memerlukan air itu cukup banyak maka diantara para petani saling sikut-sikutan demi menyelamatkan tanaman padi MT Gadu dari ancaman gagal panen karena kekeringan,” kata Dasuki, 59 petani di kecamatan Losarang.

Pemantauan kami, di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Cipanas tepatnya di wilayah Kecamatan Losarang dan Kandanghaur, saat ini beroperasi ratusan unit mesin pompa air yang sengaja dipasang petani untuk menyedot air sisa genangan melintasi tanggul menuju sawah.

Page 2: Petani Indramayu Berebut Air

Musim Kemarau Tiba Petani Kelabakan

Indramayu, musim kemarau tiba, ribuan petani di Indramayu, Jawa Barat yang menanam padi MT (musim tanam) Gadu mulai kelabakan mencari air untuk menyelamatkan tanaman padi mereka dari ancaman kekeringan.

Air irigasi yang biasanya mengairi swah-sawah petani sejak sepekan ini terhenti. Hal itu disebabkan karena debit air pada sejumlah sungai di Indramayu memasuki musim kemarau tahun ini terus menerus menyusut.

Bahkan, Sungai Cipanas yang pada saat musim penghujan airnya meluap hingga membanjiri ratusan hektar sawah petani di 5 desa Kecamatan Losarang dan 2 desa di Kecamatan Kandanghaur, kini terlihat kering.

Menurut pemantauan kami, di lokasi Bendung Sumur Watu di tepi kawasan hutan yang mengairi sawah seluas 2.700 HA (hektar) di empat Kecamatan; Cikedung, Terisi, Losarang, dan Kandanghaur debit airnya saat ini menyusut. Pdahal bendung itu semula mampu menampung jutaan meter kubik air yang mengalir dari hulu Sungai Cipanas di Kabupaten Sumedang.

Sisa air pada Bendung Sumur Watu oleh petugas penjaga bendung terpaksa dialirkan ke sawah petani melalui saluran pembagi (intake) SW (Sumur Watu) 2. Itupun debitnya tidak maksimal. Hanya cukup mengairi sawah yang luasnya beberapa ratus hektar saja.

“Air yang tersisa saat ini hanya mampu mengairi bberapa ratus hektar sawah petani di sebagian kecil desa di Kecamatan Terisi,” kata Usman, 48 warga Kecamatan Terisi.

Udin, 43 petugas penjaga Bendung Sumur Watu mengemukakan, musim kemarau debit air dari hulu sungai di Kabupaten Sumedang terhenti sehingga Bendung Sumur Watu di kecamatan Terisi itu saat ini kondisinya tengah istirahat total.

Page 3: Petani Indramayu Berebut Air

Petani Garam Indramayu

Petani garam Indramayu, Jawa Barat minta pemerintah meninjau ulang waktu import garam yang sekarang ini waktunya bersamaan dengan panen garam petani di Indramayu. Petani khawatir import garam tersebut semakin melemahkan posisi tawar garam produksi dalam negeri (petani Indramayu).

Beberapa petani garam di Kecamatan Losarang mengemukakan, harga garam saat panen sekarang ini hanya dihargai tengkulak kecil Rp.400/kg – Rp.450/kg. Harga itu lebih kecil, dibanding saat mulai panen garam yang harganya sempat mencapai Rp.900/kg.

Kadi, 38 seorang petani garam di Kecamatan Losarang mengemukkan, petani sebetulnya tidak mempermasalahkan import garam, sepanjang waktunya tepat. Yaitu 1 bulan sebelum panen garam dan 2 bulan sesudah panen garam. Import garam jangan dilakukan berbarengan dengan masa panen. Sebab dampaknya merendahkan posisi tawar garam petani.

Ia menuturkan harga garam import eks India mencapai Rp.550/kg. Padahal, katanya kualitas garam itu sama dengan kualitas garam yang diproduksi petani Indramayu yaitu kualitas 2. Tetapi yang menjadi masalah, harga garam lokal lebih murah ketimbang garam import.

Petani bingung, kenapa import garam itu membanjiri pasaran pada saat petani garam di Indramayu sedang panen garam. Di pasaran saat ini sedang banjir garam. Dengan banjir garam itu dikhawatirkan menyumbat masuknya garam Indramayu ke gudang-gudang garam milik para tengkulak.

Dikatakan, sekarang ini saja sudah banyak industri makanan dan non makanan yang menolak membeli garam produksi petani Indramayu, dengan alasan gudang-gudang mereka sudah penuh terisi garam. Jika kondisi ini berlanjut posisi tawar garam produksi petani Indramayu akan jatuh lebih rendah lagi. Sehingga secara ekonomi merugikan para petani.

Kabid Industri pada Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Industri dan Perdagangan Indramayu Yayat Supriatna mengakui, sekarang ini garam import eks India sudah menumpuk di Pelabuhan Ciwandan Provinsi Banten dan garan itu siap dipasarkan.

Kehadiran garam import itu bagi petani garam Indramayu jadi tantangan. Apalagi katanya mata rantai penjualan garam di Indramayu terlalu panjang sehingga perlu disederhanakan melalui pendirian koperasi. Tengkulak kecil yang berhubungan langsung dengan petani garam sulit mematuhi harga dasar garam yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp.550/kg.

Page 4: Petani Indramayu Berebut Air

Peran Pemerintah Daerah

Berbeda dengan sektor lainnya, pertumbuhan sektor pertanian lebih didorong oleh investasi masyarakat (community investment), yang mungkin tidak akan tercatat di lembaga pemerintahan. Sejauh ini, investasi masyarakat diperkirakan mencapai 68%, sedangkan kontribusi pemerintah hanya sekitar 24% dan swasta hanya 8%. Oleh karenannya, peran efektif Pemerintah (Daerah) pada dasarnya terletak pada upaya mendorong investasi masyarakat di sektor pertanian, dengan menciptakan iklim ‘usaha’ pertanian yang kondusif. Upaya itu bisa dilakukan dengan beberapa hal berikut.

Pertama, peningkatan infrastruktur pengairan, baik dala bentuk waduk penyimpanan maupun irigasi. Peningkatan infrastruktur ini terutama diarahkan untuk (a) mengatasi persoalan debit air yang berkurang pada musim kemarau dan berlebih saat musim penghujan, serta (b) mampu menjangkau seluruh wilayah Indramayu.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, sebanyak 35% lahan sawah belum memiliki irigasi teknis. Lahan-lahan ini hanya mengandalkan tadah hujan dan biasanya hanya bisa panen sekali dalam setahun, khususnya wilayah di sekitar Kecamatan Krangkeng dan sekitarnya. Dengan luas lahan sekitar 38 ribu ha (35% dari 110 ha) dan produktivitas sekitar 5,5 ton/ha, maka potensi ekonomi yang hilang adalah sebesar 209 ribu ton. Anggap harga gabah per kg Rp.2.000, maka nilai kerugiannya bisa mencapai Rp. 418 milyar oer tahun, atau hampir separuh dari APBD Indramayu tahun 2007. Angka in belum memperhitungkan kerugian akibat banjir yang datang hampir setiap tahun. Oleh karena itu, perlu upaya percepatan peningkatan infrastruktur tersebut. Pemerintah Daerah harus proaktif untuk menggandeng berbagai lembaga pemerintah terkait untuk segera mengatasi persoalan ini sesegera mungkin.

Kedua, memperbaiki tata niaga padi di tingkat lokal. Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa posisi petani sangat lemah dalam penentuan harga. Harga gabah lebih ditentukan oleh pedagang/bandar. Sementara itu, harga dasar (floor price) juga sudah tidak diberlakukan lagi oleh Pemerintah (Pusat), sehingga sangat rentan terhadap permainan harga di lapangan. Ditambah lagi, informasi yang dimiliki petani juga sangat minim, sehingga struktur pasar menjadi asimetri (yang diuntungkan hanya pelaku ekonomi tertentu). Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah Daerah turut mengatasi ‘kegagalan pasar’ tersebut, dengan membuka ruang informasi seluas dan se-transparan mungkin bagi semua pelaku ekonomi. Pemerintah Daerah harus bisa menjembatani antara petani dan pedagang.

Ketiga, menciptakan jejaring lembaga pendukung pertanian, misalnya lembaga permodalan. Dengan pendapatan yang relatif rendah, sudah bisa dipastikan petani akan mengalami kesulitan permodalan menjelang masa tanam berikutnya. Untuk itu, perlu ditumbuhkan lembaga-lembaga keuangan mikro (non bank) yang memberikan kredit lunak (berbunga rendah) kepada para petani. Tentu, lembaga semacam ini akan sulit tumbuh jika kepastian pengembalian modal petani sangat rendah. Karenanya, kedua upaya sebelumnya harus bisa direalisasikan. Selain itu, peranan BUMN yang beroperasi di daerah juga sangat diharapkan dalam menciptkan lembaga bantuan keuangan mikro, seperti PKBL Pertamina UP-VI Balongan.

Page 5: Petani Indramayu Berebut Air

Ke empat, meningkatkan nilai tambah produk pertanian, misalnya dngan (a) pengembangn pertanian organik, (b) pengemasan (packaging) produk beras kualitas terbaik, (c) pengembangan produk tepung beras untuk suplai industri-industri makanan. Ketiga uapaya tersebut harus didukung oleh (a) branding (pengembangan merek) dan (b) skala keekonomian yang memadai. Sebagai ikon pertanian padi Jawa Barat, sudah sepatutnya Indramayu mampu mengembangan “merek” sendiri (seperti beras cianjur). Tinggal persoalan selanjutnya adalah bagaimana Pemerintah Daerah dan Swasta bersama-sama membangun akses pasar (marketing) bagi produk-produk pertanian padi Indramayu.

Dengan keempat upaa tersebut, mudah-mudahan kebanggaan akn potensi pertanian Indramayu berbuah kesejahteraan bagi masyarakatnya. Amin.