petangan dalam kosmologijawa ditengah plurali

8
Situfuno rrjaftyatfi e:t :Mustafa Jlnsliori L. ---------------------------- 15 menyertai gelombang globalisasi membawa tanda-tanda adanya kemungkinan ,,"VA ........ -........-._1- perubahan-perubahan kualitatif struktural di daIam perkembangan £Ii abad ke 21 1991:2). .BerJlmlum dengan kemungkinan teljadinya perubahan- perubahan kualitatif dan struktural bangsa Indonesia sebagai bangsa besar multi etnis dengan demikian dihadapkan tiga permasalahan yang mendasar yang dengan faktor ekstemal, yakni ito sendiri, dan faktor internal, yakni masalah A. Pengantar Abad ke 20 adalah abad perubahan. Sekalipun ahan" sendiri sudah menjadi kodrat perkembangan manusia dan ciri-eiri Abad ke 20 ini adaIah: mendasar, dan yang terpenting adalah berpengaruh global, di samping arab yang sulit diraba. Dalam Abad ke 20 ini terjadi .perubahan-perubahan spetakuler hampir pada semua aspek kehidupan manusia. Dengan demikian wajar bila dinyatakan bahwa gejala-gejala yang Kebudayaan Jawa sebagai unit terbesar kebudayaan Indonesia, dewasa ini menghadapi masalah internal dan masalah eksternal yang cukup kompleks. Secara internal kebudayaanJawa mengalami perubahan mendasar berkaitan d.engan pergantiangenerasi pendukungnya, lemahnya slstem pembelajaran nila!, dan semakin berkurangnya lembaga-Iembaga pendukung budayaJawa. Secara eksternal, sebagai- mana juga dihadapi oleh semua unit kebudayaan lokaI, kebudayaanJawa dihadapkan pada pukulan gelombang modernisasi dan globalisasi. "PETANGAN" DALAM KOSMOLOGI JAWA DI TENGAH PLURALITAS PANDANGAN DUNIA SEBUAH KA}IAN SOSIOLOGI PENGETAHUAN TENTANG TRADISI DAN PERUBAHAN "MINORITAS KOGNITIF"

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

Situfuno rrjaftyatfi e:t :MustafaJlnsliori L.

----------------------------

15

menyertai gelombang globalisasi membawatanda-tanda adanya kemungkinan ,,"VA ........-........-._1-

perubahan-perubahan kualitatifstruktural di daIam perkembangan £Iiabad ke 21 (pranar~ 1991:2). .BerJlmlumdengan kemungkinan teljadinya perubahan­perubahan kualitatif dan struktural terS(~out,

bangsa Indonesia sebagai bangsa besarmulti etnis dengan demikian dihadapkantiga permasalahan yang mendasar yangdengan faktor ekstemal, yakni glo~sasi itosendiri, dan faktor internal, yakni masalah

A. PengantarAbad ke 20 adalah abad perubahan.

Sekalipun ahan" sendiri sudah menjadikodrat perkembangan manusia danmasyarakatny~ ciri-eiri perubah~ Abad ke20 ini adaIah: cepa~ mendasar, dan yangterpenting adalah berpengaruh global, disamping arab yang sulit diraba. Dalam Abadke 20 ini terjadi .perubahan-perubahanspetakuler hampir pada semua aspekkehidupan manusia. Dengan demikian wajarbila dinyatakan bahwa gejala-gejala yang

Kebudayaan Jawa sebagai unit terbesarkebudayaan Indonesia, dewasa ini menghadapi

masalah internal dan masalah eksternal yang cukup kompleks. Secarainternal kebudayaan Jawa mengalami perubahan mendasar berkaitan

d.engan pergantian generasi pendukungnya, lemahnya slstempembelajaran nila!, dan semakin berkurangnya lembaga-Iembaga

pendukung budayaJawa. Secara eksternal, sebagai-mana juga dihadapi oleh semua unit kebudayaan lokaI,

kebudayaan Jawa dihadapkan pada pukulangelombang modernisasi dan globalisasi.

"PETANGAN" DALAM KOSMOLOGI JAWADI TENGAH PLURALITAS PANDANGAN

DUNIASEBUAH KA}IAN SOSIOLOGI PENGETAHUAN TENTANG TRADISI

DAN PERUBAHAN "MINORITAS KOGNITIF"

Page 2: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

pluralitas budaya dan masalah pergantiangenerasi.

Etnis Jawa sebagai unit besar dalamkomunitas bangsa Indonesia, juga tidakterhidar dati imbasan-imbasan gelombangglobalisasi. Modernisme dengan perangkat"ideologi" dan "mitologi"-nya . yangmerambah berbagai aspek kehidupan orangJawa, dengan demikian secara tidakterelakkan menempatkan "setiap manusiaJawa" pada bentnran-bentnran kerangka poordan orientasi nitai. Sebagai gejalakebudayaan, suatu perbenturan kerangka pikirdan orientasi nilai akan mengbasilkan duakemungkinan, yakni terjadinya prosesakulturasi (acculturation), yang secara umumsering digunakan untuk menggambarkanproses adaptasi terhadap dan dominasi olehkerangka poor barat (Keesing, 1992: 277);atau punahnya suatu sistem kepercayaan,karena sebagai kerangka poor dan orientasinilai sistem kepercayaan tersebut sudah tidakakomodatif. Berpijak pada tesa bahwapertama, Ketahanan Budaya Nasional hanyabisa diwujudkan bila memperhitungkan sifatpribadi budaya tokal (Soebadio, 1987: 60);dan kedua, vitalitas dan aktualitas kebudayaanditentukan oleh respon yang tepat terhadapkebutuhan jaman dengan tetapmempertahankan rasa kesinambungan dengannilm-nilai yang diwariskan sejarah(Soejatmoko, 1990: 7), etnis Jawa sebagaiunsur komunitas besar bangsa Indonesiadihadapkan pada kompleks permasalahanyang menootut suatu strategi kebudayaanyang tepat.

Di antara unsur-unsur sistem religi'Jawa, Petangan (Ind.: perhitungan) --sampaisekarang pun masih digunakan oleh orangJawa untuk menentukan saat, hari-hari,tanggal, dan bulan baik untuk melakukanpekerjaan penting dalam kehidupan(Koentjaraningrat, 1984: 421-422)-- memilikikedudukan yang' penting. "Perhitungan haribaik" (Jawa: Petangan) merupakan sistemmagi yang rumit namun diyakini menjaminkeselamatan dan kesejahteraan. Namunterkait dengan gelombang globalisasi danrnasalah internal Kebudayaan Indonesia,timbul pula kekhawatiran terjadinya prosesreifikasi, sebagaimana terlihat pada unsur­unsur material saja yang marnpu bertahanterhadap pembahan jaman (Hardjowirogo,1979: 110-117). Pandangan filsafat Jawa yang

implisit semakin "tenggelam", atau komunitaspendukungnya semakin menyusut. Terlebihazas utama yang menonjolkan nilai budayahorisontal, gotong-royong suatu misal,cenderung hilang di daerah-daerah pedesaan(Koentjaraningrat, 1991: 445).

Dengan fokus telaab pada "perhitunganhari baik" (jawa: petangan) sebagai unsurpenting religiositas Jawa, tulisan kecil inihendak mengungkap dinamika danproblematik- "petangan" sebagai "minoritaskognitif' d.i antara "mayoritas-mayoritaskognitif" yang dominan dalam masyarakatJawa dewasa ini, dan hendak diungkap pulafaktor-faktor yang dominan dalam sistempembelajaran nilai antar generasi. denganmencermati unsur-unsur internal maupunekstemal kebudayaan Jawa dalam dinamikatiga proses: eksternalisasi nilai, objektivasinilai, dan internalisasi nilai dalam masyarakatJawa dewasa ini. Tulisan yang didasarkcm ataspenelitian kecil ini diharapkan merupakansumbangan konseptual bagi pola-bandinganpengembangan "strategi kebudayaan" datiunit kebudayaan lokalJregional yang lain,yang pada akhimya diharapkan memberisumbangan pma bagi pengembangan "StrategiKebudayaan Nasional".

B. Kosmologi Jawa dan perspektif­perspektif kosmologis tentang wakto

Secara sistematis, kosmologi filsafatdibedakan dalam empat kelompok varianbesar dengan dasar pengelompokan: (1)Berpijak dati keyakinan ontis bahwa hakikatdunia itu "jamak" ataukah "tunggal"(monisme, pluralisme). (2) Kedudukanmanusia dalam kosmis (subjektivistis,objektivistis). (3) Esensi dan substansimanusia dengan esensi dan substansi dumayang lain (penonjolan "perbedaan" antaraesensi dan substansi manusia dengan esensidan substansi dunia yang lain pada: RusserLScheler, Hartman, dan Heidegger;pengutamaan pada "kesamaan" antara esensidan substansi "pengkosmos-pengkosmos"pada: panpsikisme dan Whitehead). Dan (4)pendekatan sintesis (Bergson, Theilard deChardin, dan kosmologi Pancasila) (Bakker,1995: 42-52). Klasifikasi yang dilakukanBakker yang masih searah dengankecenderungan kosmologi post-Kantian, yaknimengaitkan telaah kosmologi dengan"metafisika", membawa kajian kosmologi

16

Page 3: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

pada pendekatan integratif dengan bidang­bidang pokok filsafat yang lain, baTh: itumetafis~ epistemologi, aksiologi, maupunfilsafat manusia.

Perspektif-perspektif kosmologimetafisis tentang "waktu", sebagaimanabanyaknya varian pendekatan dalamkosmologi, secara. garis besar dapat dipilahdalam empat kelompok, yakni: (1)Subjektivisme yang menyatakan bahwa waktumerupakan sesuatu yang tidak nyata, hanyabersifat subjektif-individual. Pemikiran yangdemikian dianut oleh Parmenides, Zeno,Budhisme, Advaita Vedanta, Descartes,Leibniz, Locke, Hume, Berkeley, Fichte,Scheling, Hegel, Kant, Morris Schlick,Reichenbach, dan Carnap). (2) RealismeEkstrem yang menyatakan bahwa waktumerupakan realitas absolut yang universal,tidak mempunyai kesatuan yang intrinksikdan hanya menunjukkan urutan-urutan mumi.Kosmologi yang demikian dapat ditemukanpada kosmologi Indonesia! Jawa, Jaina,Nyanya, Vaiseshika, Gassendi, Newton,Clarke, Whitehead, dan Alexander. (3)Realisme lunak, yang menyatakan bahwawaktu merupakan aspek perubahan. yangnyata, sekalipun dihasilkan oleh subjek yangberabstraksi. Corak kosmologi yang demikiannampak pada pemikiran Aristoteles,Agustinus, Thomas Aquinas, Einstein, dankosmologi Pancasila. Dan (4) Subjektivismelunak yang menerima waktu sebagai suatuyang heterogen sebagaimana dikemukakanoleh Bergson, atau sebagai dimensi historisdati pribadi, sebagaimana diyakini oleheksistensialisme (Bakker, 1995: 111-116).Dati· "peta kosmologi" di atas, terlihat bahwatradisi .kosmologi timur paling dominandiwarnai oleh subjektivisme dan realismeekstrem. Dati berbagai vari~ yang ada itupula, kiranya dengan mudah dapat dilihat"konsekuensi-konsekuensi logis" dati suatuvarian pemikiran kosmologis terhadappandangan manusia tentang aspek-aspek laindati kebidupannya.

Khusus berkaitandengan filsafat Jawa,sekalipun tetap ada varian-varian yang terjadikarena "pergantian trend gIobalisasi" (hindu,budha, islam) dati suatu masa ke masa yanglain, atan .varian. yang muncul karenaperubahan internal masyarakat Jawa sendiri,secara umum filsafat Jawa memiliki matyang "berbeda" dengan "f:tlsafat barnt" yang

sering menekankan pencarian kebenaran danrealitas yang sesungguhnya. Filsafat Jawa(dan umumnya filsafat timur) cendenmg lebihmenekankan orientasi etis-eskatologis, yakniuntuk mencapai "kesempumaan" (Abdullah,dalam:Koesno,ed, 1982: 4). Filsafat Jawadan kosmologi filsafat Jawa kemudiancenderung berkaitan dengan "mistik" atau punkecedemngan. "sufistik". Ada dugaan· kuatbahwa terdapat pengaruh yang besarkebudayaan India atas kebudayaan· Indonesia,namun dati telaah filologis hanya diperolehdata yang cukup kering untuk mendukungatau menolak dugaan di atas (Zoetmulder,1985: 9)

c. Tradisi "Petangan" dan k08mologi JawaEtnis Jawa,' sebagaimana terekam

melalui Serat Centhini dan Kitab PrimbonBetaIjemur Adammakna, memiliki tradisiperhitungan hari baik yang pada daSamyamerupakan sistem kepercayaan (religi) yangmenyediakan seperangkat pengetahuantentang cara· manusia berkomunikasi dengankekuatan-kekuatan supra natural atau punkekuatan-kekuatan supra human (Dahnyang,Dewa, Tuhan). Atas dasar keyakinan akanwatak kodrati dati hari, tanggal, bulan danposisi matahari secara tradisional "orangJawa" memperhitungkan aktivitas hidupnyasesuai dengan aturan tertentu dengan harapanagar bidupnya selamat atau lancar dalammencari rejeki. Dengan sistem kepercayaanini "orang Jawa" memiliki seperangkatjawaban terhadap berbagai keberuntunganatau pun malapetaka yang menimpanya.Setiap komunitas atau kebudayaan tentumemiliki "magis"-nya masing-masing, yangpada daSamya merupakan suatu usahamanusia untuk memanipulasikan rangkaiansebab-akibat antara .berbagai peristiwa yangbagi rasionalitas barat tidak salingberhubungan dengan cara-cara yang bagirasionalitas bamt pula, tidak rasional(Keesing, 1992:96). Di batik sistemkepercayaan ini tersusun kosmologi Jawa danantropologi-metafisik Jawa yang selama inicenderung ditelaah atas dasar persepsi pribadi"filsuf Jawa" atau "pandangan pribadi"tentang "kepercayaan bersama" tersebut.

Secara historis muncul dugaan bahwapenyatuan secara sinkretik ajaran-ajaranIslam, hukum Islam, dan tradisi kesusastraanIslam dengan konsep-konsep teologis Hindu-

17

Page 4: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

m.engf~nal penciptaan alam, kematian,kematian, serta hubungan

IJla]rUlSlla M!~n c~*:)n merupakan"strategipenulis sastrawan19 untuk· menjalin

baik d~llgan kekuatan Islam(K~ntjaraningrat, 1984:tendensi yang secara

terbuka untuk dikaji lebihsinkretis Hindu-Islam

"Pllsat kebudayaan" yang~eI1leralSl penerusnya .... saat ini masih memiliki

kultural-simbolik, tentuyang sangat berarti

leg:lUnlaSl JruJlturaI dati "ajaran sinkretis"

Ko:mpone:n"'l<~OmlpO]rlen sinkretis "agamitler10ag31 keyakinan, konsep,

seperti yakin adanyaadanya Mohammad sebagaiyakin adanya nabi-nabi lain,tokoh-tokoh Islam keramat,konsep kosmogoni tertentu,

adanya dewa-dewa tertentumen~IaSaI bagian alam tertentu,

meJmllkl hidup dan kehidupan setelahrnakluk-rnakluk halusmoyang yang telah

adanya roh-roh penjaga,bantu, dan raksasa, dan

kekuatan...kekuatanalam (Koentjaraningrat,

Sebuah "konfigurasi" sistemyang "kaya" namun memuat

yang secara teologis salingoer:seSlIalan.

religi Jawa yangsecara lesan, sedang tradisi

terbatas (Koentjaraningrat, 1984:unsur..unsur klasifikasi

meIlODlOI adalah bahasakesusastraan,

ilmu gmb danbeberat)a pranata dalam

orgarulS3s1 SOSlaIn~va (1<;"oeIlt13J1Ull:ngnll, 1984:Kesusastraan yang memuat

"pe:ta1ll,gaJtl" muncul mulai abad 16 dansastra "Suluk" maupun

"Serat" (K(>enll1ar4IDU1,grclt, 1984: 323) telahnaskah yang

masih lestari hingga sekarang di kratonYogyakarta. Sisa-sisa tradisi penulisanprimbon (huruf jawa) ditunjukkan denganseratus lebih naskah primbon tulisan tangan

sebagaimana terdapat di Muse~ SonoBudoyo Yogyakarta. Hingga saat ini studisistematis tentang jenis dan corak kosmologisdati naskah-naskah Primbon tersebut belumdilakukan.

Namun di samping "tradisi kraton"tersebut, sejak bulan September 1939,diterbitkan suatu Kitab Primbon yang bersifatpopulis, karena ditulis dengan huruf latin dandengan bahasa Jawa madya (Ngoko halus),dan bisa diperoleh di tempat kera..maiantradisional (pasar malam), pedagang kakilima, maupun di toko buku. Kitab Primbontersebut adalah Kitab Primbon BetaljemurAdammakna (KPBA). Dati sejak diterbitkanpertama kali samp3i taboo 1991, bukutersebut sudah dicetak ulang sebanyak 51 kali.Sebuah "prestasi" yang "Inar biasa",mengingat banyak buku-buku "tradisional"lain, seperti "Almanak Dewi Sri" misalnya,sudah sangat sulit dijumpai lagi dewasa ini.

Dasar pembagian "waktu" dalam"petangan", selain atas dasar siang dan malamjuga didasarkan pada lima hari "pasar"(pancawara: kliwon, legi, pahing, pon, danwage), yang diduga merupakan kesatuanwaktu Austronesia kuno: sadwara, dansaptawara (tujuh hari). Orang Jawa masihmeng3Ufl3kan penanggalan Hindu-Jawa yangkuno yang berselisih 78 taboo denganpenanggalan Masehi untuk tujuan-tujuan yangberkaitan dengan "petangan". Selain itu jugadigunakan penanggalan Islam-Jawa yangjumlah harinya lebih sedikit dibandingdengan penanggalan Maseru. Selainpembagian waktu eli atas, sampai saat inimasih dikenal satuan waktu "selapan"hari) dan '\vuku~'

(Koentjaraningrat, 1984: paparandi atas nampak jelas "petangan"sebagai komponen "religio-magi" Jawa secaraintrinsik mengandung unsur yang rumit, baikberkaitan dengan dasar perhitungannya, caramenghitungnya, dan "magi" yang menunjangterwujudnya harapan-harapan. Religiositasyang demikian adalah religiositas yangmemperhitungkan ke~dakterjaminan yangfundamental dan ditempuh berbagai camuntuk menaklukkan "waktu" dan dayanyayang merusak (Davamony, 1995: 114).Karena tuntutan kemampuan profesionalkhusus tersebut, dalam masyarakat Jawadikenal adanya "dhukun petangan", seseorang

18

Page 5: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

D. Tradisi dan pel1lbaban kepercayaankosmologis komunitas Jawa: Dinamika"minoritas kognitif"

Sudah sejak era tahWl enam puluhan,"tradisi" tidak lagi dipandang sebagai suatuhal yang mendahului "modem", namundihargai sebagai suatu proses historis spesiftkdalam konteks masyarakat tertentu (Ufford,dalam: Peursen, ed., 1985: 63). Akar kata"tradisi" yang berasal dati kata latin"traditio" yang berarti: penyerahan,pengoperan, hal menceritakan, riwayat turontemunm, warisan nenek moyang; atau "trado"yang mempunyai arti: menyerahkan,mempercayakan, memberi, meriwayatkan,atau mengajarkan (Prent, dkk, 1969: 874),tidak mengindikasikan sebagai sesuatu"sebelum modem". Dengan demikian tradisimeski dipahami dalam kerangka "sosialisasi",atau dalam ungkapan lain, sebagai komponendan mekanisrne "pembelajaran" antargenerasi. Lebih-Iebih mengingat bahwa

.sosialisasi rnerupakan faktor pokok integrasisosial (Hardiman, 1990: 103).

Dewasa ini terdapat indikasi bahwaorang Jawa yang terdidik dalam polapendidikan Barat belurn merubah orientasitradisionaI mereka terhadap alamo Generasimudanya temyata menghidupkan kembalipertemuan-pertemuan sarasehan atau menjadianggota gerakan-gerakan kebatinan, yang iniberarti pula masih berpengaruhnya religio­magi atau pun mistik di sementara kalangandalam .masyarakat Jawa (Koentjaraningrat,1984: 444). Namun cukup kuatkah indikasitersebut ?

Secara historis bukti adanya perubahanstruktural yang mendasar di antaranya dapatdilihat pada peran para cerdik cendekia dalampelestarian universum simbolik Jawa. Padamasa kolonial peran para kyai, guru, dalampengembangan universum simbolis dati"agami jawi" pada jaman sastra suluk dansastra primbon masih sangat tinggi, kecualiangkatan cendekia "agami jawi" yang telahmengenyam pendidikan Belanda temyatabanyak meriaruh perhatian terhadap filsafatYunani dan Eropa, terutama karya-karyafilsuf Jerman Abad Pencerahan seperti 1.Kant, yang mereka kenaI melalui baba~Belanda (Koentjaraningrat, 1984: 320). Dangambaran kasar temuan lapangan (studi kasusdi Slernan, Bantu!, dan Gunungkidul), terlihatbahwae "perlindungan institusionaI" atas

19

Page 6: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

"agami jam" sebagai 'minoritas kognitif'sudah jauh sekali berkurang. Memang seringmuncul dukungan dati penentu kebijakanuntuk mengangkat unsur universum simbolikJawa tertentu sebagai "idiom nasional",namun pencabutan unsur simbolik lepas datijangkar historis-kultural simbolik tersebutjustru cenderung menjadi "dangkal". Kasus"Semar mBabar Jatidiri" kiranya bisa dipakaisebagai rujukan

Satu hal yang layak diperhatikan, yaknibahwa religi bukanlah pertama-tamamernpakan aktivitas para cerdik pandai ataupun para theolog. Dapat dikatakan demikiankarena dalam religi, impuls pertama yangsecara fundamental mendorong bukanlahuntuk berteori tentang transendensi,melainkan beribadat (Berger, 1991: 111).Adanya realitas ini setidaknya menjelaskanmengapa upaya-upaya kognitif dati religi"tradisional" cenderung kurang diusahakan,

okarena unsur yang dominan bukanlah kognisi­teoritis, melainkan religio-magi. Suatuaktivitas yang sudah tidak sesuai lagi dengan"rasionalitas post-Autklarung", sehinggaakhimya muncul usaha-usaha rasionalisasi,sekalipun rasionalisasi merupakan sebuahfenomena yang terkait dengan reifikasi(Hardiman, 1990: 92), yakni sebuah proses"materialisasi" simbol-simbol nilai.

Faktor lain yang juga berpengaruhterbadap menunmnya kredibilitas religiositasbanyak dikaitkan dengan p/ura/itas modern,yakni suatu situasi yang menempatkan setiapanggota masyarakat di antara lebih dati satupandangan dunia. Sebuah situasi yangmemWlgkinkan adanya persaingan antaraberbagai pandangan dunia tersebut. Kondisiini diperberat oleh berkurangnya jaminansosial bagi individu untuk secara kukuh tetapberpegang pada kepastian subjektif masing­masing (Berger, 1991: 54-55). Temuanempiris yang mengindikasikan adanyakecenderungan "disorientasi" komunitaspendukung religio-magi Jawa mempakanfakta sosial yang "wajar", mengingat"petangan" dan beberapa komponen pokokpendukung universum simbolik Jawa hanyamenempati posisi' yang marginal dalamkomunikasi antar sistem pandangan dunia.

"Petangan" sebagai kognisi dati suatukelompok minoritas kognitif yang "marginal"mempWlyai banyak earn ~tuk

menanggulangi "tekanan" mayoritas kognitif,

yang bisa bempa "pengungsian kognitif' atanpun "kompromi kognitif' dengan resikodisintegrasi rasionalitas. Setiap individumemiliki kemampuan yang berbeda dalambertahan melawan "tekanan masvarakat"(Berger, 1991: 10). Polaritas sikap respondenterbadap "petangan", 0 setidak...tidaknyamemperlihatkan berbagai tingkat perbedaanresistensi "minoritas koginif' Jawa terhadap"mayoritas kognitif' nasional atau pun global.Akibatnya, bagi minoritas kognitif akanmWlcul reaksi dan usaha kognitif yangmembentang dari "isolasi", "toleran", sampaidengan "kompromi" dengan mayoritaskognitif. Sikap isolatif muncul bila individuyang bersangkutan tetap memegang teguhkognisinya sebagai "realitas yang benar",sedangkan sikap "toleran" atau pun"kompromi" bisa muncul dati goyahnya ataubahkan runtuhnya keyakinan individu yangbersangkutan terhadap kognisinya sendiri danmulai menerima "kognisi mayoritas" sebagai"realitas yang benar".

Kemungkinan lebih jauh lagi, individudapat mengalami "keterpecahan jiwa'~ ataupun "disorientasi" karena secara batin iamasih tetap mempertahankan keterikatandengan minoritas kognitif, di samping dalamperilaku menjaga jarak dengan memainkanobeberapa peranan yang tidak tulus (Berger,1991: 055). Konsekuensi lain munculadalah lemahnya rasionalitaskarena hanya menjadi referensi parsial datiindividu yang bersangkutan (Berger, 1991:56). Dalam realitas sekarang, religio-magiJawa hanya sebagai referensi dan"pemecahan bila "upaya....upayarasional-modem" sudah tidak membawa basilsebagaimana diharapkan. Namundemikian sisi lain yangmembahayakan makna simbolikyang dikandung oleh religi maupun magi, bilagejala tersebut yakni bahwa suatumagi ataupun agama menjadi"instrumental" bila lebih berorientasi padapenguasaan 1990: 139).

Pada setiap komponenkebudayaan, baik yang konkrit maupun yangideasional, dihadapkan kemungkinan....kemungkinan bernbah menjadi suatuuntuk tujuan penguasaan, yang berarti pulakehilangan fungsi asalinya sebagai pengantarmakna simbolik. Bila suatu "tradisi" menjadimutlak dan seakan-akan abadi maka simbol

20

Page 7: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

menjadi steril dan formalistis, tanpa sentuhanaktual lagi, yang ini berarti pula terbukanyakemungkinan lahimya simbol-simbol barn yangmenyegarkan (Bakker, 1995: 261). Namundemikian selain unsur positiJ yang menyegarkan,lahimya simbol-simbol barn bisa pula berartisuatu ancaman terhadap haIlIloni yang telah ada,bahkan sekalipun itu hannoni yang semu.

Dari fakta perubahan simbolik tersebut,dapatlah dinyatakan bahwa simbolik manusiabukanlah merupakan sistem tertutup. Sepanjangwaktu suatu simbol dapat berubah-ubah, dalamarti dapat lebih kuat atau lebih luas, misalnyahila semakin dihayati oleh komunitas yangsemakin luas. Namun dapat pula suatu simbolmelemah dan bererosi, misalnya jika suatusimbol yang sakral menjadi profan dankehilangan makna. (Bakker, 1995: 261). Olehkarenanya istilah "perubahan" tidak dapatdirumuskan sebab perubahan selalu merupakanperubahan terhadap sesuatu (Bouman, 1982: 43).

Secara historis. tranfonnasi budaya sejakterbentuknya negara bangsa adalah suatutransfonnasi yang disebabkan oleh nilai-nilairevolusi kemerdekaan, yakni nilai-nilai antikolonialisme, anti feodalisme, patriotisme danheroisme, demokrasi, nasionalisme dan idealisme(Kartodirdjo, dalam: Moedjanto, dkk, ed, 1992:141). Bila dirunut lebih jauh lagi makabangkitnya rasionalitas modem sesungguhnyaberawal dari Zaman Pencerahan. Tradisipencerahan telah menghasilkan konseprasionalitas yang berupa cara berpikir positivistisdewasa ini. Rasionalitas tersebut dikenal puladengan sebutan rasio instrumental dengan ciripokok memusubi metafisika dan pemahamanmitologis atau pun segala upaya "rasional" yangberusaha memahami konsep-konsep abstrakobyeJ:ctif tentang kenyataan yang penuh misteri,misalnya konsep Tuban, kebebasan dan roh.Namun demikian cara berftkir hasil pencerahantidak lain merupakan suatu mitos barn yangmenang dalam sejarah atas mitos yang lama.Mitos dan rasio adalah dua hal yang salingberdialektik. Mitos menghasilkan rasionalitasdan rasionalitas yang membebaskan· dirinya darimitos itu menjadi mitos bam (Hardiman, 1990:64-65). Sebuah paradoks yang mirip denganparadoks di filsafat, yakni seorang antimetafisikus sesungguhnya merupakan seorangmetafisikus bam. Dan dinamika "sejarahrasionalitas" maupun "sejarah mitos" inimuncullah isue-isue "populer" berkaitan dengan"penindasan sim.bo~" atau pun "penindasankognitif' yang berakar pada "ketegangan imanen"manusia itu sendiri sebagai subjek (produser)kebudayaan maupun sebagai objek kebudayaan.

Sekalipun yang paling sering masukdalam diskusi akademis .adalah adanyadiskriminasi dan penindasan terhadap kulit hitamdan wanita, namun dalam lingkup. global dandalam konteks yang lebih luas terdapat jugaketidaksetaraan (inequality) pada berbagaikelompok masyarakat di dunia. Terdapat sebuahfakta yang meski diterima bahwa fenomenaketidak-setaraan bukan merupakan persoalanindividu, namun persoalan struktural (Graham,1988: 91). Ketidakadilan sosial bukan hanyafakta yang sedang diusahakan perbaikannyamelainkan pula suatu keadaan yang terlestarikansecara tersamar dan menjadi suatu iklim(Hardiman, 1990:32). Dalam konteks kultural,adanya ketidak-setaraan antar berbagai unitkebudayaan merupakan persoalan serius yangmenuntut pendekatan dan pemecahan yangholistik, yang mempertimbangkan unsur-unsurdan proses kebudayaan.Terdapat dua langkah strategis yang mungkindilakukan secara simultan, yakni, pertama,dengan memberi peluang~ duk:ungan~ dan iklimyang memadai bagi minoritas kognitif Wltukmelestarikan universum simboliknya sejauhmekanisme pembelajaran simboliknya dalamkomunikasi Y8J}g "sehat". langkah strategispertama ini bisa dimulai daTi unit-unitkebudayaan terkecil meningkat pada unit-unitkebudayaan yang lebih besar. KeduaMembangun suatu kesadaran adanya pluralitassimbolik tanpa teIjebak pada pluralisme. Titik:pijak ini cukup realistis, mengingat dewasa inisecara praktis kondisi multilinguistik, yangberarti pula multiversum-simoolik, tidak bisadihindari olehkebanyakan negara atau unit dibawahnya, yang akhimya menuntun negara­negara multi etnik: untuk mencipta "bahasa inter­etnis" yang dapat diterima secara politis olehsemua etnis (Habsbawn, 1992: 181). Ini berartipula komunikasi inter-kultmal yangmemadaidalam konteks "pembangunan" secara imperatifhams dimasukkan sebagai unsur yang meskidiperhitungkan (peursen,ed., 1985:5). Tanpadasar ini demokrasi kebudayaan sebagaimanadicetuskan melalui Manifesto Kebudayaan tahun1963 (Soekito, dalam: Moedjanto, dkk, ed, 1992:470), kiranya tetap menjadi "strategi kebudayaanyang marginal". Namun demikian bila ketidak­setaraan memang merupakan watak hakikistruktur sosial dan struktur simbolik manusia,maka altematif lain mungkin layakdipertimbangkan. Suatu altematif yang justruberpijak pada ekstremitas "ketidak-setaraan",yakni: "kebudayaan tandingan".

21

Page 8: PETANGAN DALAM KOSMOLOGIJAWA DITENGAH PLURALI

E. Penutup: Masalah-masalah yang tertinggalTerlepas dari altematif "strategi-

kebudayaan-yang-mungkin" yang masing-masing secara teoritis tetap memuat masalab­masalah dasar, moocul pula beberapa persoalanpada dataran operasional. Masalab operasionalsuatu "strategi kebudayaan",diantaranya adalahsejauh mana kontrol dilakukan? Apa hanya olehpemerintah dalam arti sempit, atau jugamelibatkan masyarakat itu sendiri? Sistem dankategori apa yang dipergunakan ootukmelakukan kontrol tersebut ? Sejauh mana pulasistem dan kategori itu hams mendapatlegitimasi dalam masyarakat sebagai sesuatuyang dianggap sab serta dihayati bersama ?(pelly, dalam: Effendi, dkk, ed., 1993: 209).Pengkajian lebih jauh terhadap aspek-aspekoperasional masih bisa dilakukan, namoodemokratisasi dalam kebudayaan hamsmendorong pelaksanaan rekayasa sosial yangtepat budaya (Felly, dalam: Effendi, dkk, ed.,1993: 211). Jawaban terhadap persoalan-

mDAFTAR PUSTAKA

Bakker, A, 1995, Kosmologi Dan Ekologi, FilsafatTentang Kos1noS Sebagai Rumah tangga Manusia,Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Berger, P.L., 1991, A Rumor ofAngels: Modern societyand The Rediscovery of The supernatural~ alihbahasa J.B. Sudannanto "Kabar Angin Dati Langit,Makna teologi Dalam Masyarakat Modem", LP3ES,Jakarta.

Bo~ p.j., 1982, Fundamentele Sociologie, aIih bahasaRatmoko "Sosiologi Fundamental", PenerbitDjambatan, Jakarta.

Dhavamony, M., 1995, The Phenomenology of Religion,alih bahasa Kelompok Studi Agama Driyarkara"Fenomenologi Agama", Kanisius, Yogyakarta.

Effendi,S.,. Sairin, S., Dahlan, M.A, ed, 1993, MembangunMartabat Manusia, Pedoman flmu-Ilmu SosialDalam Pembangunan, Gadjab Mada University Press.

Graham, G., 1988, Contemporery Social Philosophy, BasilBlecwelL Oxford.

Habsba\VDl, E.J., 1992, Nations and Nationalism Since1780, aIih bahasa Hartian Silawati "NasioaIismeMenjelang Abad XXI", Tiara Wacana, Yogyakarta.

Hardim~ F.B., 1990, Kritik Ideologi, Pertautan AntaraPengetahuan Dan Kepentingan, Kanisius,Yogyakarta.

Hardjowlrogo, M., 1979,. Adat Istiadat Jawa, Patma,Bandung

Keesing, R.M., 1992, "Antropologi Budaya, SuatuPerspektif Kontemporer", judul asH: CulturalAnthropology A' Contemporary Perspective, aIihbabasa R.O. Soekadijo Edisi ke-2, Penerbit Erlangga,Jakarta.

persoalan tersebut merupakan komunikasisimbolik yang terbuka bagi dua kemoogkinan:terjadinya harmoni atau dishannoni. Apapunlangkab strategis yang diambil, dinamika sosialmemiliki wataknya sendiri sebagaimanadirumuskan oleh van: Pew-sen sebagai mekanismepe/atuk (peursen, 1976: 2.10-212), yakni tidakada jaminan bahwa suatu langkah strategis akanmengantarkan masyarakat pada sasaran yangdituju. Sekali suatu kebijakan sosial dijalankan,tidak ada jalan moodur lagi sekalipoomenciptakan dampak "di luar perhitungan".

Akhirnya dituntut adanya sikap arif untukselalu mendudukkan pengkosmos ataupun peng­ada lain sebagai subjekuniversum sim.bolik yangsetara, karena hanya dengan asumsi nilai yangdemikian adanya "masyarakat yang arlil" dalam"kebudayaan yang adil" bisa tef\\ujud. Terlebihbila dipertimbangkan bahwa di antarapengkosmos lain, manusialah yang layak dituntutpertanggtmgjawabannya karena sepadan dengan"kebebasan" yang diperolehnya.

Koentjaraningr~ 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka,Jakarta

Koesno, FX, ed, 1982, Sebuah Kumpulan "Puspa Sari",Memperkenalkan Filsafat Jawa, siniwidya Dansimbolisme Dalam Pewayangan dan PedalanganTentang Etika Dalam wayang·Serta Mengenal EnamTokoh FilsufJawa, 00et, tanpa kota.

Moedjanto,G., Rahmanto, B., Sudanninta, J., ed, 1992,Tantangan Kemanusiaan Universal, AntologiFilsafat, Budaya, Sejarah. Politik dan Sastra,Kenangan·70 Tahun Dick Hartoko, Penerbit Kanisius,Yogyakarta.

Peursen, C.A V., 1984, Strategi Kebudayaan, judul asli:'CultuUf in Stroomversnelling', aIih bahasa DickHartoko Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Peursen, C.AV., & Doeser, M.C., ed, 1985, Developmentand Its Rationalities, Philosophical and CultureAspect of The Concept of Development, freeUniversity Press, Amsterdam.

Pranarka, 1991, "Abad XXI sebagai Era Aufklarung"dalam Analisis CSIS, Tabun "XX No.1, Januari­Prebuari 1991, CSIS, Jakarta.

Prent,K.Cm.,Adisubroto,J., Poerwadanninta, 1.S., 1969,Kamus Latin-Indonesia, Penerbit Kanisius,Yogyakarta.

Soemodidjojo, R.,(ed), 1991, Kitab Primbon BetaljemurAdammakna, Cetakan ke-51, CV. Buana Raya, Solo.

Soedjatmoko, 1990, "Dampak IPTEK atas Sistem SosialBudaya dalam Masyarakat", dalam: Jumal Sosiologi,Volume 2 1990, Jurusan Sosiologi FISIP-UI, Jakarta.

Subadio, H., 1987, "Kebudayaan· Indonesia di A/asaDatang" dalam Analisa Tabun XVI. No.1, Januari1997, eSIS, Jakarta.

22