perubahan karakter fisiologi dan senyawa...

20
PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA SEKUNDER JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) DI INDONESIA N igella sativa L. yang dikenal dengan nama jintan hitam adalah tanaman obat yang berasal dari daerah Asia Barat dan Mediterania yang beriklim subtropis. Di daerah beriklim tropis tanaman jintan hitam mampu tumbuh sampai dengan memproduksi biji yaitu di Kebun Percobaan Manoko, Lembang, Jawa Barat, yang terletak pada ketinggian tempat 1.301,5 meter dpl, jenis tanah andisol, suhu dan kelembaban rata-rata 15-27° C dan 71-96%, dengan curah hujan 2.616 mm/tahun. Karakter fisiologi seperti, kehijauan daun, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, dan total klorofil semakin meningkat seiring bertambahnya umur tanaman sampai 11 minggu setelah semai (MSS). Senyawa sekunder yang tertinggi pada asam lemak biji jintan hitam adalah asam lenoleat (36,00%), sedangkan pada minyak atsirinya adalah thymoquinone (0,063%). Jintan hitam yang tumbuh di Indonesia kandungan klorofilnya tidak jauh berbeda, bahkan ada yang lebih tinggi sedangkan thymoquinonenya 2-4 kali lebih rendah dan asam leoleatnya 1,5-1,9 kali lebih rendah dibandingkan dengan di iklim subtropis. Kata kunci: Karakter fisiologi, Nigella sativa L., senyawa sekunder, subtropis, tropis PENDAHULUAN Jintan hitam (Nigella sativa L.) adalah tanaman semusim, famili Ranunculaceae, merupakan tanaman obat asli dari daerah Asia Barat, dan banyak dibudidayakan di kawasan Mediterania, Syria, Turki, Iran, Arab Saudi, Pakistan, Jordania, dan India (Ghouzdi, 2010). Jintan hitam dalam bahasa Inggris disebut black seed atau black cumin, siyah daneh (Persia), kalonji (India), dan dalam bahasa Arab disebut habbat-ul-barakah atau habbat- ul-sauda (Rabbani et al., 2011). Bagian tanaman jintan hitam yang dimanfaatkan adalah bijinya dengan kandungan utama minyak atsiri seperti p-symena, thymoquinone, asam palmitat, asam linoleat, asam oleat (Arshad et al., 2012), asam lemak, tocopherol, sterol (Matthaus dan Özcan, 2011), dithymoquinone, thymohidroquinone, dan thymol (Ghosheh et al., 1999), senyawa alkaloid, seperti nigellidine (Rahman et al., 1995) dan nigellimine (Rahman et al., 1992). Di tempat asalnya seperti di Jordania, Turki, dan Iran yang beriklim subtropis, jintan hitam ditanam pada ketinggian 530-1.725 m dpl, suhu rata-rata 6,9-17,4 °C, kelembapan 45,4-61,7%, curah hujan 140-462,5 mm/tahun, dengan kemasaman tanah 7,7-8,1 (Talafih et al., 2007; Khoulenjani dan Salamati, 2011). Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang umumnya mempunyai suhu, kelembapan, dan curah hujan yang lebih tinggi dengan tingkat kemasaman tanah yang lebih rendah. Tulisan ini bertujuan membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam yang ditanam di daerah tropis dan subtropis. Perbedaan lingkungan tumbuh tersebut kemungkinan akan mempengaruhi karakteristik fisiologi tanaman jintan hitam dan kandungan senyawa sekundernya sebagai upaya adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang baru. KARAKTER FISIOLOGI Pengamatan jintan hitam di KP. Manoko menunjukkan kehijauan daun, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, total klorofil, dan ketebalan daun cenderung meningkat sampai umur 11 minggu setelah semai (MSS). Klorofil a, klorofil b, dan ketebalan daun menurun kembali pada umur 15 MSS, sedangkan rasio klorofil a/b cenderung menurun dari umur 7 MSS sampai 15 MSS (Tabel 1) dan hasil pengamatan secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1. Warna hijau pada daun yang terlihat oleh mata terjadi karena klorofil mengabsorbsi cahaya merah dan biru sedangkan cahaya hijau ditransmisikan atau direfleksikan (Taiz dan Zeiger, 2002). Beberapa karakteristik stomata yang mengontrol atau menentukan laju fotosintesis adalah kerapatan, ukuran dan konduktansi stomata (Khazaei et al., 2010). Kerapatan dan ukuran stomata berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan air yang berkaitan dengan konduktansi stomata. Kerapatan dan ukuran stomata yang besar pada proses fotosintesis, menghasilkan efisiensi penggunaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran kecil (Guo et al., 2011). Salvador et al. (2001) menyatakan bahwa pigmen klorofil merupakan parameter penting untuk mengevaluasi kualitas minyak. Ketebalan daun berkurang pada umur 15 MSS, pengurangan ketebalan daun berkaitan langsung dengan panjang dan susunan lapisan palisade. Semakin panjang sel palisade atau apabila palisade terdiri atas beberapa lapis sel maka daun semakin tebal (Muhuria et al., 2006). Jumlah trikoma pada daun jintan hitam terdapat 1-2 trikoma. Cahaya yang diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun yang trikomanya sedikit (Taiz dan Zeiger 2002). Rudi Suryadi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat E-mail : [email protected] 1 WartaBalittro Inovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016 No. Pengamatan Umur / Minggu Setelah Semai (MSS) 7 11 15 1 Kehijauan daun 10,2 13,6 16,0 2 2 Kerapatan stomata (mm ) 73,0 83,2 91,7 3 Klorofil a (mg/g) 1,2 1,7 1,6 4 Klorofil b (mg/g) 0,4 0,7 0,6 5 Klorofil a/b 2,7 2,6 2,5 6 Total klorofil (mg/g) 1,6 2,3 2,3 7 Tebal daun (µm) 168,0 177,3 158,3 Tabel 1. Karakter fisiologi jintan hitam di KP Manoko, Lembang, Jabar. Sumber : Ridwan et al. (2014).

Upload: others

Post on 03-Jun-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA SEKUNDER

JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) DI INDONESIA

Nigella sativa L. yang dikenal dengan nama jintan hitam

adalah tanaman obat yang berasal d a r i d a e r a h A s i a B a r a t d a n Mediterania yang beriklim subtropis. Di daerah beriklim tropis tanaman jintan hitam mampu tumbuh sampai dengan memproduksi biji yaitu di Kebun Percobaan Manoko, Lembang, Jawa Barat, yang terletak pada ketinggian tempat 1.301,5 meter dpl, jenis tanah andisol , suhu dan kelembaban rata-rata 15-27° C dan 71-96%, dengan curah hujan 2.616 mm/tahun. Karakter fisiologi seperti, kehijauan daun, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, dan total klorofil s e m a k i n m e n i n g k a t s e i r i n g bertambahnya umur tanaman sampai 11 minggu setelah semai (MSS). Senyawa sekunder yang tertinggi pada asam lemak biji jintan hitam adalah asam lenoleat (36,00%), sedangkan pada minyak atsirinya adalah thymoquinone (0,063%). J intan h i tam yang tumbuh di Indonesia kandungan klorofilnya tidak jauh berbeda, bahkan ada yang l e b i h t i n g g i s e d a n g k a n thymoquinonenya 2-4 kali lebih rendah dan asam leoleatnya 1,5-1,9 kali lebih rendah dibandingkan dengan di iklim subtropis.

Kata kunci: Karakter fisiologi, Nigella sativa L., senyawa sekunder, subtropis, tropis

PENDAHULUAN

Jintan hitam (Nigella sativa L.) adalah tanaman semusim, famili Ranunculaceae, merupakan tanaman obat asli dari daerah Asia Barat, dan banyak dibudidayakan di kawasan Mediterania, Syria, Turki, Iran, Arab Saudi, Pakistan, Jordania, dan India (Ghouzdi, 2010). Jintan hitam dalam bahasa Inggris disebut black seed atau black cumin, siyah daneh (Persia), kalonji (India), dan dalam bahasa Arab disebut habbat-ul-barakah atau habbat-ul-sauda (Rabbani et al., 2011). Bagian tanaman jintan hitam yang dimanfaatkan adalah bijinya dengan kandungan utama minyak ats i r i sepert i p-symena, thymoquinone, asam palmitat, asam

linoleat, asam oleat (Arshad et al., 2012), a sam lemak , tocophero l , s t e ro l ( M a t t h a u s d a n Ö z c a n , 2 0 11 ) , dithymoquinone, thymohidroquinone, dan thymol (Ghosheh et al., 1999), senyawa alkaloid, seperti nigellidine (Rahman et al., 1995) dan nigellimine (Rahman et al., 1992).

Di tempat asalnya seperti di Jordania, Turki, dan Iran yang beriklim subtropis, jintan hitam ditanam pada ketinggian 530-1.725 m dpl, suhu rata-rata 6,9-17,4 °C, kelembapan 45,4-61,7%, curah hujan 140-462,5 mm/tahun, dengan kemasaman tanah 7,7-8,1 (Talafih et al., 2007; Khoulenjani dan Sa lamat i , 2011) . Indones ia merupakan negara beriklim tropis yang u m u m n y a m e m p u n y a i s u h u , kelembapan, dan curah hujan yang lebih tinggi dengan tingkat kemasaman tanah yang lebih rendah. Tulisan ini bertujuan membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam yang ditanam di daerah tropis dan subtropis. Perbedaan lingkungan tumbuh tersebut kemungkinan akan mempengaruhi karakteristik fisiologi tanaman jintan hitam dan kandungan senyawa sekundernya sebagai upaya adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang baru.

KARAKTER FISIOLOGI

Pengamatan jintan hitam di KP. Manoko menunjukkan kehijauan daun, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, total klorofil, dan ketebalan daun cenderung meningkat sampai umur 11 minggu setelah semai (MSS). Klorofil a, klorofil b, dan ketebalan daun menurun

kembali pada umur 15 MSS, sedangkan rasio klorofil a/b cenderung menurun dari umur 7 MSS sampai 15 MSS (Tabel 1) dan hasil pengamatan secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1. Warna hijau pada daun yang terlihat oleh mata terjadi karena klorofil mengabsorbsi cahaya merah dan biru sedangkan cahaya hijau ditransmisikan atau direfleksikan (Taiz dan Zeiger, 2002). Beberapa karakteristik stomata yang mengontrol atau menentukan laju fotosintesis adalah kerapatan, ukuran dan konduktansi stomata (Khazaei et al., 2010). Kerapatan dan ukuran stomata be rpenga ruh t e rhadap e f i s i ens i penggunaan air yang berkaitan dengan konduktansi stomata. Kerapatan dan ukuran stomata yang besar pada proses fotosintesis, menghasilkan efisiensi penggunaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran kecil (Guo et al., 2011).

Salvador et al. (2001) menyatakan bahwa pigmen klorofil merupakan parameter penting untuk mengevaluasi kualitas minyak. Ketebalan daun be rkurang pada umur 15 M S S , pengurangan ketebalan daun berkaitan langsung dengan panjang dan susunan lapisan palisade. Semakin panjang sel

palisade atau apabila palisade terdiri atas beberapa lapis sel maka daun semakin tebal (Muhuria et al., 2006). Jumlah trikoma pada daun jintan hitam terdapat 1-2 trikoma. Cahaya yang diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun yang trikomanya sedikit (Taiz dan Zeiger 2002).

Rudi Suryadi

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

E-mail : [email protected]

1WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatTanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016

No. PengamatanUmur / Minggu Setelah Semai (MSS)

7 11 15

1 Kehijauan daun 10,2 13,6 16,0

2 2Kerapatan stomata (mm ) 73,0 83,2 91,7

3 Klorofil a (mg/g) 1,2 1,7 1,6

4 Klorofil b (mg/g) 0,4 0,7 0,6

5 Klorofil a/b 2,7 2,6 2,5

6 Total klorofil (mg/g) 1,6 2,3 2,3

7 Tebal daun (µm) 168,0 177,3 158,3

Tabel 1. Karakter fisiologi jintan hitam di KP Manoko, Lembang, Jabar.

Sumber : Ridwan et al. (2014).

Page 2: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

Karakter fisiologi terutama klorofil daun menunjukkan kandungan yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kandungan klorofil pada daun jintan hitam yang tumbuh di iklim sub tropis. Hal tersebut menggambarkan tanaman jintan hitam mampu beradaptasi dan tumbuh cukup baik di KP Manoko yang beriklim tropis sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia.

KARAKTER SENYAWA SEKUNDER

Hasil analisis biji jintan hitam dengan menggunakan alat GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) menunjukkan kadar asam linoleat lebih tinggi (36%) dibandingkan senyawa lainnya (Tabel 2) dengan struktur senyawanya terlihat pada Gambar 2. Hal yang sama ditemukan pada hasil analisis biji jintan hitam asal Tunisia dan I r a n y a n g m e n u n j u k k a n b a h w a komposisi asam linoleat relatif tinggi dibandingkan dengan senyawa lainnya, yaitu masing-masing sebesar 50,31 dan 49,15 g 100/g dari total asam lemak (Cheikh-Rouhou et al., 2007). Apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain penghasil jintan hitam maka senyawa asam linoleat yang dihasilkan di Indonesia masih rendah (Tabel 3). Jumlah asam lemak yang terkandung dalam biji jintan hitam dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya iklim atau daerah penanaman (Tulukcu, 2011) dan genotipe tanaman (Uzun et al., 2002). Selain faktor tersebut, komposisi minyak esensial juga dapat dipengaruhi oleh metode ekstraksi (Toma et al., 2010).

Kadar thymoquinone paling tinggi dibandingkan dengan kadar senyawa lainnya pada semua bagian biji baik pada seluruh biji, bagian dalam, dan kulit biji (Botnick et al., 2012). Thymoquinone merupakan salah satu senyawa yang paling banyak terdapat pada minyak esensial biji jintan hitam yaitu sekitar 7,8-13,7% (Lewinsohn et al., 2012), dan struktur senyawanya terlihat pada Gambar 3. Kadar thymoquinone yang dihasilkan dari biji jintan hitam yang ditanam di daerah beriklim tropis (Lembang) masih rendah dibandingkan dengan negara lain (Tabel 5).

MANFAAT ASAM LINOLEAT DAN THYMOQUINONE

Asam linoleat (LA) adalah asam lemak tak jenuh yang dapat dibedakan menurut letak ikatan rangkap pertama dari atom karbon gugusan metil, dan dikenal asam lemak omega 3 (n-3), o m e g a 6 ( n - 6 ) , o m e g a 9 ( n - 9 ) (Tangkilisan dan Lestari, 2011). Tubuh manusia dapat membuat asam lemak omega 9 dari asam lemak jenuh, karbohidrat atau keton sehingga asam lemak omega 9 disebut asam lemak tidak esensial. Sebaliknya, tubuh manusia tidak dapat membuat ikatan rangkap pada posisi n-3 dan n-6 sehingga asam lemak omega 3 dan omega 6 harus diperoleh dari sumber di luar tubuh, karena itu disebut sebagai asam lemak esensial. Fungsi terpenting dari asam lemak esensial adalah sebagai konstituen bermacam-macam fosfolipid yang penting sebagai lemak struktural dan fungsional dalam membran sel dan mitokondria, serta sebagai prekursor untuk biosintesis beraneka ragam s e n y a w a e i k o s a n o i d s e p e r t i p ros t ag l and in , t romboksan dan leukotrien. Dalam tubuh asam lemak tak jenuh dapat mengalami desaturasi dan

pemanjangan rantai karbon serta membentuk asam lemak tak jenuh rantai panjang.

Asam linoleat bermanfaat untuk anti peradangan, mengurangi jerawat, menjaga kulit agar tetap lembap, meningkatkan pertumbuhan otot, membantu melawan penyakit jantung dan depresi. Kekurangan asam linoleat terutama omega-6 dapat menyebabkan rambut rontok, gangguan kulit seperti eksim, perubahan perilaku, penurunan intelejensia, penurunan kekebalan tubuh, kelainan detak jantung, kulit tipis dan kering, rambut kering, kuku rapuh, mata kering, kemandulan pada laki-laki, keguguran pada wanita, kerusakan ginjal, arthritis, dan inflltrasi lemak hati (Diana, 2013).

2 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman ObatVol. 33, No. 65, Juni 2016

Gambar 1. A: Tebal daun, B: Stomata, C: Trikoma, D: Klorofil

Sumber : Ridwan et al. 2014

A B C D

Gambar 2. Struktur senyawa asam linoleat (Majalah 1000 guru, 2013)

Tabel 2. Perbandingan kadar klorofil daun dan lingkungan tumbuh jintan hitam dari beberapa negara

No. NegaraTotal klorofil

(mg/g)Ketinggian

(m dpl)Suhu(°C)

Kelembaban(%)

Curah hujan(mm/tahun)

pH Sumber

1 Indonesia *) 1,60-2,30 1.301 15-27 71-96 2.616 6,9 Ridwan et al., 2014

2 Saudi Arabia 1,42 800 14,0 - 349,4 8,3 Ali dan Hasan, 2014

3 India 1,41-1,84 530 11,1-17,4 - 319,2 8,1 Sah dan Samiullah, 2007

4 Iran 2,26 1.209 6,9 45,4-61,7 140 7,7 Khoulenjani dan Salamati, 2011

*) Lembang, Jawa Barat.

Tabel 3. Kadar senyawa asam lemak biji jintan hitam

Waktu retensi

Area(%)

Senyawa

15.37 6,99 Methyl ester

15.82 36,00 Asam linoleat

17.51 5,72 Asam adipat

Sumber : Ridwan et al., (2014)

Tabel 4. Perbandingan kadar asam linoleat biji jintan hitam dari beberapa negara

No Negara Asam linoleat (%) Sumber

123

45

6

Indonesia *) Saudi ArabiaIran

PakistanTurki

Syria

36,0040,2155,6070,8157,3847,9057,0066,46

Ridwan et al.,2014Ali dan Hasan, 2014Nickavar et al., 2003Tulucku, 2011Sultan et al., 2009Kizil et al., 2008Telci et al.,2014Tulucku, 2011

*) Lembang, Jawa Barat.

Page 3: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

Thymoquinone adalah senyawa bioaktif dari golongan terpenoid, yaitu monoterpen (Lewinsohn et al., 2012). Thymoquinone berfungsi sebagai anti-mikroba, anti-parasit, anti-kanker, anti-imflamasi, imunomodulator, anti-oksidan, dan hepatoprotektor (Gali-Muhtasib et al., 2006). Selain itu, thymoquinone berguna untuk mencegah penyakit kanker usus dan leukeumia (Maznah et al., 2011), anti-mikroba (Chaieb et al., 2011) dan mencegah kerusakan eritrosit yang disebabkan oleh 1,2-dimethylhydrazine (Harzallah et al., 2012).

Beberapa hasil penelitian efek farmakologis lainnya dari biji jintan h i tam an ta ra l a in : an t i - i skemia (Hosseinzadeh et al., 2006), anti-tumor (Mbarek et al., 2007), efek estrogenik (Parhizkar et al., 2011), dan menurunkan kadar gula darah (Mohtashami et al., 2011).

PENUTUP

Tanaman jintan hitam berpotensi dikembangkan di Indonesia dan mempunyai peluang pasar yang cukup besar karena untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi dan pengolahan minyak jintan hitam sepenuhnya masih impor. Jintan hitam yang ditanam di KP Manoko kandungan klorofilnya tidak

jauh berbeda bahkan ada yang lebih tinggi tetapi kandungan thymoquinone dan asam linoleatnya lebih rendah dibandingkan dengan daerah beriklim subtropis. Peluang pengembangan budidaya jintan hitam di Indonesia masih memungkinkan namun perlu upaya untuk meningkatkan kandungan senyawa sekundernya melalui teknik budidayanya, seperti pengapuran, pemupukan, dan penanaman di lokasi lingkungan tumbuh yang menyerupai habitat aslinya, yaitu bersuhu dingin dan beriklim kering (curah hujan rendah) dengan kemasaman tanah netral. Di wilayah dataran tinggi Indonesia Timur seperti di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur kemungkinan akan lebih cocok karena bersuhu dingin dan beriklim kering (curah hujan rendah) dibandingkan di wilayah dataran tinggi Indonesia Barat yang bersuhu dingin, tetapi beriklim basah (curah hujan tinggi).

DAFTAR PUSTAKA.Al-Saleh IA, Billedo G, El-Doush II. 2006.

Level of selenium DL-α-tocopherol, DL-γ - t o c o p h e r o l a l l - t r a n s - r e t i n o l , thymoquinone and thymol in different brands of Nigella sativa seeds. J.of Food Composition and Analysis.19:167-175.

Arshad H, Rizvi MM, Khan AA, Saxena G, Naqvi AA. 2012. A comparative study on the chemical composition of oil obtained from whole seeds and crushed seeds of Nigella sativa L. from India. J. Biol. Chem. Research 29: 44-51.

Botnick I, Xue W, Bar E, Ibdah M, Schwartz A, Joel DM, Lev E, Fait A, Lewinsohn E. 2012. Distribution of primary and specialized metabolites in Nigella sativa seeds, a spice with vast traditional and historical uses. J. Molecules 17: 159-177.

Chaieb K, Kouidhi B, Jrah H, Mahdouani K, Bakhrouf A. 2011. Antibacterial activity of thymoquinone, an active principle of Nigella sativa and its potency to prevent bacterial biofilm formation. BMC Complementary and Alternative Medicine 11 (29): 472-882.

Cheikh-Rouhou S, Besbes S, Hentati B, Blecker C, Deroanne C, Attia H. 2007. Nigella

sativa L.: Chemical composition and physicochemical characteristics of lipid fraction. Food Chemistry 101: 673–68.

Diana FM, 2013. Omega 6. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7: 27-31.

Gali-Muhtasib H, El-Najjar N, Schneider-Stock R. 2006. The medicinal potential of black cumin seed (Nigella sativa) and its components. MTH Khan and A. Ather (eds.) Lead molecules from Natural Product. 133 p.

Ghosheh OA, Houdi AA, Crooks PA. 1999. High perfonnance liquid chromatographic analysis of the pharmacologically active quinones and related compounds in the oil of the black seed (Nigella sativa L.). J. Pharm. Biomed. Anal.19: 757-762.

Ghouzhdi HG. 2010. Indigenous knowledge in agriculture with particular reference to black cumin (Nigella sativa) production in Iran. [Review]. Scientific Res. and Essays 5(25): 107-109.

Guo P, Xia X, Yin WL. 2011. A role for stomatal inregulating water use efficiency and P o p u l u s x e u r a m e r i c a n a a n d characterization of a related gene, PdERECTA. Afr. J. Biotechnol.10: 904-912.

Harzallah HJ, Grayaa R, Kharoub W, Maaloul A, Hammami M, Mahjoub T .2012. Thymoquinone, the Nigella sativa bioactive compound, prevents circulatory ox ida t i ve s t r e s s caused by 1 ,2 -Dimethylhydrazine in erythrocyte during colon postinitiation carcinogenesis. Hindawi Publ ishing Corporat ion Oxidative Medicine and Cellular Longevity. 10:11-55

Khazaei H, Monneveux P, Hongbo S, Mohammady S. 2010. Variation for stomatal characteristics and water use efficiency among diploid, tetraploid and hexaploid Iranian wheat landraces. Genet. Resour. Crop. Evol. 57: 307-314.

Hosseinzadeh H, Mahmoud RJ, Khoeib AR, Rahmani M. 2006. Anti ischemic effect of Nigella sativa L. seed in male rats. Iranian J. of Pharm. Res. 1: 53-58.

Khoulenjani MB, Salamati MS. 2011. Morphological reaction and yield of Nigella sativa L. to Fe and Zn. Afr. J. of Agric. Res. 7(15): 359-362.

Lewinsohn E, Botnick I, Xue W, Bar E, Ibdah M, Schwartz A, Joel DM, Lev E, Fait A.

Telci I, A.S. Yaglioglu, F. Eser, H. Aksit, I. Demirtas, S. Tekin. 2014. Comparison of Seed Oil Composition of Nigella sativa L. and N. damascena L. During Seed Maturation Stages. J Am Oil Chem Soc (2014) 91:1.723–1.729.

Uzun B, Ulger S, Cagirgan IM. 2002. Compar i son o f de t e rmina t e and indeterminate types of sesame for oil content and fatty acid composition. Turkish J. Agric. For. 26: 269-274.

3WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatTanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Tabel 5. Perbandingan kadar thymoquinone biji jintan hitam dari beberapa negara.

No Negara Thymoquinone (%) Sumber

1 Indonesia *) 0,063 Suryadi et al., 2014

2 Saudi Arabia0,2250,319

Al-Saleh et al., 2006Ali dan Hasan, 2014

3 India 0,236 Al-Saleh et al., 2006

4 Syria 0,137 Al-Saleh et al., 2006

5 Sudan 0,127 Al-Saleh et al., 2006

6 Ethiopia 0,309 Al-Saleh et al., 2006

*) Lembang, Jawa Barat

Gambar 3. Struktur senyawa thymoquinone (Gali-Muhtasib et al., 2006)

Bersambung ke halaman 9

Page 4: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

INFESTASI NEMATODA PARASIT PADA BENIH JAHE DAN CARA

PENGENDALIANNYA

Setyowati Retno Djiwanti dan KurniatiBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Email: [email protected]

Infestasi nematoda parasit pada rimpang merupakan salah satu

kendala dalam penyediaan benih jahe sehat bermutu. Tingkat infestasi nematoda parasit Meloidogyne spp. pada benih jahe di beberapa lokasi di Jawa Barat cukup tinggi, yaitu sekitar 60–75 %. Penyebaran nematoda terjadi mela lu i r impang yang terinfeksi, yang kemudian dijadikan benih. Penekanan infestasi nematoda parasit pada benih jahe, dapat dilakukan melalui penggunaan benih rimpang sehat, solarisasi tanah, perlakuan benih sebelum tanam, dan aplikasi nematisida pada tanaman di lapang.

Kata kunci: jahe, benih, nematoda parasit, infestasi.

PENDAHULUAN

K o m o d i t a s j a h e ( Z i n g i b e r officinale Rosc.), saat ini merupakan komoditas tanaman obat unggulan d a n m e n e m p a t i u r u t a n t e r a t a s dalam penggunaan sehingga terus dikembangkan melalui perluasan lahan, peningkatan produktivitas tanaman, penurunan kehi langan hasil baik pra panen maupun pasca panen, dan diversif ikasi produk sehingga masih terus dikembangkan melalui pengembangan lahan usaha, produktivitas tanaman, (Anonymous, 2007). Bagian utama tanaman jahe yang dimanfaatkan adalah rimpangnya, baik untuk diperdagangkan, dikonsumsi, maupun untuk benih. Kesehatan rimpang adalah salah satu faktor penting dalam produksi dan berkontribusi lebih kurang 40% terhadap keberhasilan budi daya jahe (Rai, 2006).

Upaya penyediaan benih jahe bermutu masih dibatasi oleh tingginya infestasi /kontaminasi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) termasuk nematoda parasit. Infestasi nematoda t e r s e b u t , s e l a i n m e n u r u n k a n produktivitas tanaman, juga dapat menurunkan mutu r impang dan menghambat ekspor. Infestasi nematoda parasit pada rimpang jahe dapat dijadikan alasan politis untuk menolak ekspor suatu negara oleh negara

pengimpor. Penolakan ekspor jahe Indonesia ke Jepang dan USA pernah ter jadi pada tahun 1991 karena rimpangnya mengandung nematoda Radopholus similis (Puskara, 1994).

Mengingat benih merupakan faktor penting dalam produksi jahe, dan mengingat infestasi nematoda parasit merupakan salah satu kendala dalam penyediaan benih rimpang sehat maka perlu diketahui mekanisme infestasi nematoda parasit dan kerusakan yang ditimbulkan, tingkat infestasi nematoda parasit serta usaha yang dapat dilakukan untuk menekan infestasi nematoda parasit pada benih rimpang jahe.

M E K A N I S M E I N F E S T A S I NEMATODA PARASIT PADA RIMPANG JAHE

Jenis-jenis dan kerusakan nematoda parasit pada jahe

Nematoda buncak/puru akar Meloidogyne spp. (M. incognita , M. javanica), nematoda pelubang akar Radopholus similis, dan nematoda peluka akar Pratylenchus coffeae adalah tiga jenis nematoda yang berasosiasi dengan kerusakan rimpang jahe di Indonesia. Di India, M. incognita, M. arenaria, dan R. similis merupakan spesies penting pada jahe (Sagar, 2006). Nematoda R. similis dapat mengurangi produksi sebesar 40%; sedangkan Meloidogyne spp. sebesar 57%, dan infestasinya menyebabkan rimpang jahe t i d a k m e m e n u h i s y a r a t e k s p o r (Williams, 1980; Pegg et al., 1974).

Infeksi nematoda juga dapat menurunkan ketahanan tanaman jahe terhadap serangan patogen lain, seperti jamur dan bakteri layu sehingga meningkatkan jumlah tanaman layu dan terjadinya layu lebih cepat (Mustika dan Nurawan, 1992). Di India (Darjeeling dan Sikkim Hills), busuk kering rimpang yang disebabkan oleh jamur tanah Fusarium oxysporum berasosiasi sinergis dengan nematoda Pratylenchus sp. (Rai, 2006). Oleh sebab itu, infestasi nematoda pada r impang jahe di pertanaman, dapat diikuti infestasi patogen lain, seperti bakteri layu (Ralstonia solanacearum) dan jamur busuk kering rimpang (F. oxysporum).

S i k l u s h i d u p n e m a t o d a d a n kerusakan yang ditimbulkan

Infestasi nematoda parasit pada b e n i h j a h e d a p a t d i m u l a i d a r i ditanamnya rimpang jahe pada tanah yang telah terinfestasi nematoda atau d i t anamnya r impang t e r i n f eks i nematoda. Nematoda akan menginfeksi akar dan rimpang tanaman jahe yang tumbuh di lahan tersebut.

Hampir semua nematoda parasit tanaman, hidup di dalam tanah sebelum akhirnya menginfeksi tanaman pada bagian akar, batang, umbi, rimpang, daun atau pucuk. Siklus hidup terdiri atas fase telur, empat stadia juvenil/larva (L-1, L-2, L-3, L-4), dan dewasa (betina dan jantan). Telur dihasilkan setelah terjadi perkawinan (mating) atau dihasilkan betina tanpa perkawinan jika jantan tidak ada (partenogenetik) (Agrios, 1988). Stadia larva-1 (L-1) berada di dalam telur. Larva-2 adalah stadia yang paling aktif mencari dan memarasit akar tanaman sehingga menyebabkan kerusakan akar.

Meloidogyne spp. merupakan nematoda yang paling umum menyerang tanaman jahe, telur-telurnya diletakkan dalam kantung telur yang gelatinous. Kantung telur muncul dari puru yang terbentuk akibat interaksi antara inang dan infeksi nematoda larva-2 yang berkembang menjadi betina yang menggembung. Larva-2 muncul dan menetas dari telur, bergerak di dalam tanah menuju ke ujung akar yang sedang tumbuh dan rimpang (Gambar 1).

Larva-2 menginfeksi rimpang melalui pangkal tunas pada rimpang. Pada akar serabut/rambut (fibrous

Gambar 1. Siklus hidup nematoda puru akar Meloidogyne spp. (Agrios, 1988)

4 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman ObatVol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 5: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

roots), nematoda menyerang area pembelahan sel, yaitu pada ujung-ujung akar (root tip); dan pada akar berdaging (fleshy roots), menyerang sepanjang akar (Cheng & Tu, 1979). Luka pada jaringan yang meluas terbentuk pada akar berdaging dan rimpang. Rimpang yang terinfeksi, terutama pada bagian sudut antara rimpang dan bagian tanaman di atas permukaan tanaman terdapat area jaringan basah kecoklatan (brown, water-soaked areas) pada jaringan yang lebih luar (outer tissues). Nematoda terus berkembang menjadi dewasa dalam tanaman seiring dengan pertumbuhan t a n a m a n s a m p a i p e r m a n e n , menyebabkan puru dan busuk pada akar dan permukaan r impangnya dan akhirnya merusak rimpang (Huang, 1966; Shah dan Raju, 1977) (Gambar 2). Tanaman yang terinfeksi berat akan kerdil, daun menguning dengan nekrosis pada bagian tepi daun.

Tanaman yang terinfeksi R. similis menjadi kerdil, vigor menurun dan bercabang (tillering). Daun paling atas menguning dengan ujung daun seperti terbakar. Tanaman cenderung lebih cepat tua dan kering. Infeksi awal terlihat sebagai luka-luka kecil basah/berair yang cekung, dangkal (Vilsoni et al., 1976). Infeksi parah menyebabkan r impang menjadi busuk, kering, berwarna coklat kehitaman dan adanya luka-luka atau berlubang (Gambar 2) (Mustika, 1991).

Rimpang terserang nematoda yang dipanen dapat mengandung nematoda tersebut sehingga terbawa dan bertahan dalam penyimpanan. R. similis dapat bertahan selama 3-12 bulan dalam rimpang jahe yang disimpan pada keadaan suhu kamar (Mustika, 1991). Salah satu mikroorganisme yang berasosiasi dengan jahe di lapang dan penyimpanan benih adalah nematoda peluka akar P. coffeae (Srivastava et al . ,1998) (dalam Dobroo, 2005). Rimpang yang terinfestasi nematoda Meloidogyne spp. umumnya ukurannya

lebih kecil, mengkerut, dan tidak bernas jika disimpan agak lama. Jika digunakan sebagai benih, rimpang terinfeksi akan menjadi sumber utama infeksi nematoda di lapang.

Pada saat panen, sisa-sisa akar yang membusuk karena infeksi nematoda akan tertinggal dalam tanah, dapat m e n j a d i m e d i a b e r t a h a n h i d u p nematoda; dan akan memulai siklus hidupnya jika terdapat tanaman inang baru yang sesuai. Nematoda dapat menyebar secara aktif atau secara pasif terbawa bersama tanah, air, angin, benih/bahan perbanyakan vegetatif, dan alat-alat pertanian.

T I N G K A T I N F E S T A S I NEMATODA PARASIT BENIH RIMPANG JAHE DI JAWA BARAT

Infestasi nematoda parasit pada benih di beberapa lokasi di Jawa Barat cukup tinggi. Hal ini, diketahui dari hasil pengamatan persentase gejala puru pada permukaan rimpang-rimpang jahe yang digunakan sebagai benih untuk penelitian. Setelah diseleksi dari rimpang-rimpang yang busuk oleh bakteri maupun jamur, rimpang-rimpang j a h e y a n g d i p e r o l e h u m u m n y a menun jukkan ge j a l a pu ru pada permukaan rimpangnya, yaitu terlihat benjolan-benjolan besar dan kecil yang tidak beraturan pada permukaan kulit rimpangnya (Gambar 2).

Benih rimpang yang berasal dari petani pada beberapa lokasi jahe di Jawa Barat seperti, Cicurug (Sukabumi), Sumedang, Cigombong dan Bogor; di potong-potong seberat 30-40 g untuk keperluan benih. Pada potongan-potongan rimpang tersebut dilakukan pengamatan terhadap persentase gejala puru pada rimpang.

Tingkat infestasi Meloidogyne sp. pada rimpang jahe di Jawa Barat dianalisis berdasarkan persentase jumlah benih rimpang jahe yang menunjukkan gejala puru terhadap jumlah total benih

jahe berasal dari Cicurug (Sukabumi), Sumedang, Cigombong, dan Bogor. Rimpang dipotong-potong seberat 30-40 g, kemudian diamati persentase gejala purunya. Persentase infstasi puru pada benih rimpang = n/N x 100%, dimana: n = jumlah rimpang jahe yang menunjukkan gejala puru; dan N = jumlah rimpang jahe yg diamati pada suatu lokasi perolehan rimpang jahe. Pengamatan pada rimpang-rimpang jahe tersebut, menunjukkan adanya infeksi nematoda puru akar Meloidogyne spp. yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60-75 % atau rata-rata 67,43% (Tabel 2). Meloidogyne spp. merupakan salah satu OPT yang mendominasi OPT lainnya di Jawa Barat, baik pada jahe besar, emprit (jahe putih kecil), merah, dan berbagai jenis rimpang Zingiberaceae lainnya, seperti kunyit dan kencur (Djiwanti dan Balfas, 2010). Di India, M. incognita merupakan spesies nematoda yang mendominasi infestasi rimpang jahe dibandingkan spesies nematoda lainnya, dengan frekuensi keberadaan di Madhya Pradesh sebesar 63 % (Vadhera et al., 1998).

Tingkat infestasi nematoda parasit lain, seperti P. coffeae dan R. similis belum banyak diteliti di Indonesia. Menurut Mustika (1991), Radopholus umumnya ditemukan di Bengkulu, tetapi tingkat infestasi nematoda tersebut belum diketahui. Di India (Darjeeling dan Sikkim Hills), 54% benih rimpang

jahe terinfestasi dengan nematoda peluka akar Pratylenchus spp. (Rai, 2006).

U S A H A YA N G D I L A K U K A N UNTUK MENEKAN INfESTASI NEMATODA PARASIT PADA BENIH RIMPANG JAHE

Infestasi nematoda parasit maupun O P T lain pada benih jahe terus meningkat dan cukup mengkhawatirkan sehingga perlu dilakukan tindakan p e n c e g a h a n u n t u k m e n e k a n

Gambar 2. Rimpang terinfeksi nematoda buncak akar Meloidogyne spp. (kiri), pelubang akar Radopholus similis (tengah), dan rimpang sehat (kanan)

5WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatTanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 6: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

perkembangan nematoda parasit, seperti penggunaan benih sehat, perlakuan benih (rimpang), dan solarisasi tanah sebelum tanam, serta aplikasi nematisida setelah tanam. Tindakan pengendalian tersebut dapat menekan jumlah tanaman jahe terserang nematoda sehingga menekan jumlah rimpang terserang, dan akhirnya menekan tingkat infestasi nematoda pada benih rimpang.

Penggunaan benih sehat melalui

sortasi rimpang dilakukan dengan memilih rimpang-rimpang yang tua, bernas, dan permukaan kulit rimpang mulus, tidak terdapat benjolan-benjolan/ puru-puru pada bagian ketiak maupun permukaan rimpang. Salah satu metoda perlakuan benih rimpang yang efektif menekan nematoda parasit terbawa benih rimpang adalah perlakuan air panas 50° C selama 10 atau 15 menit (Djiwanti dan Balfas, 2010).

S o l a r i s a s i t a n a h s e b e l u m penanaman jahe dengan tujuan menekan populasi nematoda dalam tanah yang telah terinfestasi nematoda, perlu dilakukan pada tanah yang telah digunakan sebelum untuk penanaman jahe atau tanaman lain yang merupakan inang dari nematoda parasit pada jahe.Solarisasi tanah dengan mulsa plastik tembus cahaya sebelum tanam dapat mengurangi patogen tular tanah (jamur, bakteri, nematoda) dan gulma (Katan et al., 1976).

Karbofuran merupakan nematisida y a n g d i t e t a p k a n d a n d i i z i n k a n penggunaannya oleh Kementerian Per tan ian untuk mengendal ikan nematoda parasit di Indonesia. Selain karbofuran, dapat diaplikasi berbagai jenis bahan nabati yang bersifat anti nematoda seperti mimba dan jarak. Aplikasi sebaiknya dilakukan pada saat tanaman jahe mulai membentuk

perakaran, yaitu sekitar 3 minggu setelah tanam.

PENUTUP

Meng inga t j ahe merupakan komodi tas ekspor dan infes tas i nematoda parasit dalam rimpang jahe dapat menentukan mutu ekspor, serta pentingnya peranan nematoda dalam menginduksi penyakit bakteri layu maka

metoda perlakuan benih yang efektif dan efisien dalam menekan nematoda terbawa benih rimpang perlu diteliti.

PUSTAKA

Anonymous. 2007. Teknologi Unggulan Jahe. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. 16 hlm.

Agrios GN. 1995. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hlm. 612 – 628.

Cheng YH. & Tu C.C. 1979. Pathogenesis of Meloidogyne incognita to edible ginger. Journal of Agricultural Research of China 28: 91-99.

Djiwanti S.R. and Balfas R. 2010. The effect of seed treatment on ginger plant parasitic nematode and scale insect population development in the field. Proceedings of “International Conference and Talk Show on Medicinal Plant. Effective, safe and qualified herbal medicine for diabetes mellitus treatment. Jakarta, 19-21 Oktober 2010. p 325-331.

Dobroo N.P. 2005. Diseases of ginger. (Eds.) P.N. Ravinderan dan K.N. Babu. In Ginger. The genus Zingiber. CRC Press. Boca Ratton, London. p. 305-365.

Huang C.S. 1966. Host-parasite relationships of the root-knot nematode in edible ginger. Phytopathology 56: 755-759.

Katan J., Greenberger A., Alon H. dan Grinstein A. 1976. Solar heating by polyethylene

mulching for the control of diseases caused by so i l -borne pa thogens . Phytopathology 66: 683-688.

Mustika I. 1991. Populasi nematoda parasit pada akar dan rimpang beberapa temu-temuan. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XVI (4): 154-158.

Mustik, I. dan Nurawan, A. 1992. Pengaruh Radopholus similis dan Pseudomonas solanacearum terhadap pertumbuhan jahe. Buletin Littri 4: 37-41.

Pegg K.C., Moffet M.L. and Colbran R.C. 1974. Disease of ginger in Queensland. Queensland Agricultural Jurnal 100: 611-618.

Puskara. 1994. Upaya peningkatan peran serta Karantina Pertanian dalam PJPT-II. Pusat Karantina Pertanian. Departemen Pertanian. Makalah dalam Rapat Teknis Nasional Karantina Pertanian. Jakarta, 17-19 Januari 1994.

Rai S. 2006. Management of ginger (Zingiber officinale Rosc.) rhizome rot in Darjeeling a n d S i k k i m H i m a l a y a n R e g i o n . Programme Coordinator of Darjeeling Krishi Vigyan Kendra, Uttar Banga Krishi Viswavidyalaya, and Kalimpong 734301 District Darjeeling, WB, in India.

Sagar, S.D. 2006. Investigations on the etiology, epidemiology and integrated management of rhizome rot complex of ginger and turmeric. Thesis of Plant Pathology Doctor Degree, Agricultural Sciences of Dharwad University, India. 173 pp.

Shah, J.J. and Raju, E.C. 1977. Histopathology of ginger (Zingiber officinale) infested by soil nematode Meloidogyne sp. Phyton. 16: 79-84.

Vadhera I., Tiwari S.P. and Dave G.S. 1998. Plant parasitic nematodes associated with ginger (Zingiber officinale Rosc.) in Madhaya Pradesh and denematization of i n f e s t e d r h i z o m e t h e r a p y f o r management. Indian J. Agric. Sci., 68 (7): 367-370.

Vilsoni, F., Mc. Clure and Butler L.D. 1979. O c c u r r e n c e , h o s t r a n g e a n d histopathology of Radopholus similis in ginger (Zingiber officinale Rosc.). Plant Disease Rep. 60: 417-420.

Williams, K.J.O. 1980. Plant parasitic nematodes of the Pasific. UNDP/FAO-SPEC Survey of Agricultural Pests and Diseases in the South Pasific. 192 pp.

Tabel 2. Persentase benih (rimpang) jahe yang diperoleh dari beberapa lokasi petani di 4 lokasi di Jawa Barat yang terinfeksi nematoda buncak akar Meloidogyne spp.

UlanganJumlah rimpang bergejala

puru dari jumlah total rimpang yang diamati

Persentase rimpang benih bergejala puru (%)

Cicurug, Sukabumi 46/66 69,7

Sumedang 39/60 65,0

Cigombong 30/50 60,0

Bogor 15/20 75,0

Rata-rata 67,43

6 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman ObatVol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 7: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

erangan u la t pe l ipat daun Smerupakan kendala dalam budi daya tanaman sembukan di Kebun Wisata Ilmiah Tanaman Obat, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Akibat serangan ulat ini daun menjadi transparan dan terlipat. Hama ini telah diidentifikasi di Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong, Bogor, dengan nama Goniorhynchus sp. (Lepidoptera: Pyralidae). Untuk mencegah serangan hama ini perlu dilakukan monitoring. Bila terjadi serangan berat dari hama ini, pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida nabati biji mimba.

Kata kunci: Goniorhynchus sp., Paederia foetida, pelipat daun

PENDAHULUAN

Sembukan (Paederia foetida L.) berkhasiat sebagai obat perut mulas karena angin, mata terasa panas berair, nyeri lambung (gastr i t is) , perut kembung, desentri, herpes zooster (cacar ular), sariawan, radang telinga tengah, eksim, kulit gatal (puritus), dan neurodermatitis (Dalimartha, 2009). Penel i t ian ten tang pemanfaa tan sembukan telah berkembang, yaitu daun sembukan berfungsi sebagai antibakteri terhadap Shigella sonnei (Frederica, 2008) dan antifungi terhadap Candida albicans Abriyanto et al., 2012). (

Salah satu kendala dalam budidaya tanaman sembukan, yaitu adanya serangan hama. Pada bulan Juni 2015 sampai Januari 2016 tanaman sembukan di Kebun Wisata Ilmiah Tanaman Obat, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat terserang ulat pelipat daun. Akibat serangan ulat ini, daun yang dimakan tinggal lapisan epidermis sehingga terlihat transparan dan terlipat. Informasi mengenai jenis ulat yang menyerang tanaman ini belum diketahui. Oleh karena itu, pengamatan terhadap jenis ulat ini dilakukan dengan mengamati morfologi larva, pupa, serangga dewasa, kerusakan tanaman, fluktuasi populasi, kisaran inang, penyebaran, musuh alami, dan strategi pengendaliannya.

MORFOLOGI SERANGGA

Stadia telur dari serangga ini pada tanaman sembukan belum ditemukan. Hal ini mungkin ukurannya terlalu kecil sehingga suli t dikenali , padahal ditemukan stadia ulat/larva yang masih kecil.

Larva pelipat daun sembukan merupakan anggota ordo Lepidoptera, mempunyai metamorfosis holometabola (sempurna), terdiri atas telur, larva, pupa, dan imago. Sampai saat ini belum diketahui siklus hidup (jangka waktu dari telur menjadi imago dan mulai meletakkan telur lagi) karena belum ditemukan stadia telur. Selain itu, ulat ini ditemukan sedikit demi sedikit sehingga tidak didapatkan serangga dewasa yang b a n y a k . S e r a n g g a L e p i d o p t e r a mempunyai alat mulut tipe mengunyah (mandibulat) untuk larva (serangga pradewasa) dan menghisap untuk serangga dewasa (imago) (Borror et al.,1989).

Bagian tubuh larva terdiri atas kepala, toraks atau dada (protoraks, mesotoraks, dan metatoraks), dan a b d o m e n ( p e r u t ) . L a r v a m u d a , kepalanya bening, tubuh bagian pos ter ior (a tas ) berwarna put ih kekuningan bening, bagian tengahnya berwarna gelap yang merupakan saluran pencernaan, bagian anterior (bawah) berwarna putih kekuningan (Gambar 2). Larva yang belum mendekati instar terakhir, pada kepala terdapat noktah berwarna gelap di kiri dan kanan, toraksnya berwarna sama dengan abdomen, tubuh bagian atas berwarna putih keruh, bagian tengahnya berwarna g e l a p y a n g m e r u p a k a n s a l u r a n pencernaan, bagian bawah berwarna putih keruh (Gambar 1). Akan tetapi, pada protoraks instar terakhir terdapat satu pasang noktah besar di kiri dan kanan dan pada mesotoraks terdapat dua pasang noktah kecil di kiri dan kanan. Pada metatoraks juga terdapat dua pasang noktah yang lebih kecil daripada mesotoraks di kiri dan kanan. Tubuh bagian atas larva instar terakhir berwarna hitam yang akhirnya menjadi keruh dan bawahnya berwarna putih (Gambar 1). Larva memiliki tiga pasang tungkai asli yang terdapat pada toraks dan empat pasang tungkai palsu pada ruas abdomen

ketiga, empat, lima, dan enam, serta sepasang pada ruas abdomen terakhir. Panjang larva instar terakhir berkisar antara : 1,1- 1,7 cm dan lebar 1,4 - 2 mm (Gambar 1). Ulat ini memiliki perilaku apabila diganggu akan meloncat dengan aktif. Larva terdiri atas beberapa instar, lama instar sebelum instar terakhir adalah 3 hari dan instar terakhir 4-7 hari. Belum diketahui ada berapa instar larva dalam satu siklus hidupnya karena stadia telur belum ditemukan.

Pada waktu akan berubah menjadi pupa (prepupa), larva berubah warna menjadi merah (Gambar 1), selanjutnya warnanya menjadi pucat. Pada masa ini serangga tidak lagi aktif makan, hanya mengeluarkan kotoran. Lama masa prepupa 1-3 hari. Pupa berada di dalam daun yang dilipat, berwarna cokelat dengan panjang 7,5-9,5 mm dan lebarnya 1,5-2 mm (Gambar 1). Lama masa pupa 6-8 hari.

Tubuh imago (serangga dewasa) berwarna kuning dengan bagian ujung be rwarna k rem dan keh i t aman , berukuran panjang 6,5-7 mm dan lebar 1,5-2 mm. Sayap berwarna kuning, pada tepi be lakang berwarna cokela t kehitaman dengan panjang sayap 6,5-7,5 mm. Pada kedua sayap terdapat variasi warna putih yang dikelilingi oleh warna cokelat kehitaman (Gambar 1). Lama hidup imago di laboratorium 1-7 hari. Selama pengamatan dipertanaman tidak dijumpai adanya imago.

Hasil identifikasi di Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong, Bogor, spesies hama pada tanaman sembukan ini adalah Goniorhynchus sp., termasuk dalam famili Pyralidae/Crambidae, ordo Lepidoptera.

KERUSAKAN TANAMAN

Ciri khas adanya serangga ini adalah terdapat daun-daun yang menjadi transparan karena tinggal lapisan epidermisnya. Ulat ini mengeluarkan cairan dari mulutnya dan melekatkan dari kiri ke kanan dan sebaliknya sehingga daun menjadi terlipat (Gambar 2). Tingkat kerusakan daun di lapang mencapai sekitar 25%. Di dalam lipatan daun tersebut ulat tinggal dan memakan daun. Selain itu, juga ditemukan kotoran dari ulat ini.

Goniorhynchus sp.:

ULAT PELIPAT DAUN SEMBUKAN (Paederia foetida L.)

Tri Lestari MardiningsihBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Email: [email protected]

7WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatTanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 8: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

FLUKTUASI POPULASI

P o p u l a s i u l a t p e l i p a t d a u n sembukan dalam satu hamparan (tanaman merambat) berukuran sekitar

22 x 4 m berfluktuasi. Populasi tertinggi pada November 2015. Fluktuasi populasi serangga dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain adalah curah hujan. Dalam hal serangga ini, populasi tidak selalu dipengaruhi oleh tingginya curah hujan. Seperti bulan September 2015, curah hujan sedang (31,66 mm), tetapi populasi serangga rendah (1 ekor). Demikian pula, bulan November 2015, curah hujan tinggi (40,73 mm), namun populasi serangga tinggi (16 ekor) (Gambar 3). Faktor biotik di antaranya musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen). Dari hasil pemeliharaan di

laboratorium ditemukan ulat terparasit oleh serangga dari ordo Hymenoptera. Selain itu, di pertanaman sembukan dijumpai serangga berguna berupa pemangsa (predator), yaitu Mantidae dan laba-laba. Seberapa jauh peranan predator tersebut belum diketahui karena predator tersebut tidak dalam keadaan memangsa. Musuh alami tersebut merupakan musuh alami yang banyak dijumpai di lapang.

KISARAN INANG DAN PENYEBARAN

Tanaman inang dari ulat pelipat sembukan ini baru diketahui hanya tanaman sembukan (Paederia foetida L.) (Pemberton dan Pratt, 2002). Serangga G. exemplaris tersebar di Jepang, China, dan Korea (Byun et al., 2008; Wikipedia, 2015). Keberadaan serangga genus Goniorhynchus sp. ini mungkin sudah ada d i Indones ia , t e t ap i be lum dilaporkan.

SARAN PENGENDALIAN

Untuk mencegah serangan perlu dilakukan monitoring. Apabila telah terdapat serangan dalam jumlah sedikit dapat dilakukan pengendalian secara mekanis dengan dipetik dan dimusnahkan. Jika serangan terjadi d a l a m j u m l a h b a n y a k m a k a kemungkinan dapat dikendalikan dengan insektisida nabati ekstrak biji mimba. Berdasarkan penelitian, ekstrak biji mimba dalam pelarut etanol pada konsentrasi 6 dan 8 ml/l air efektif menekan perkembangan penggerek polong Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman kacang hijau (Koswanudin et al., 2010). Goniorhynchus sp. berada satu famili dengan M. testulalis.

F

A B

C D

E

Gambar 1. Perkembangan ulat pelipat daun sembukan. (a) Larva muda, (b) larva sebelum instar terakhir, (c) larva instar terakhir, (d) prepupa, (e) pupa, dan (f) imago

Gambar 2. Gejala serangan ulat pelipat daun sembukan

Gambar 3. Populasi ulat pelipat daun sembukan dan curah hujan dari Juni 2015 sampai Januari 2016

8 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman ObatVol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 9: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

PENUTUP

Serangan ulat/larva G. exemplaris dapat menjadi kendala dalam budi daya tanaman sembukan karena sembukan dipanen daunnya sebagai bahan obat. Untuk mengetahui keberadaan serangga ini perlu dilakukan monitoring secara berkala untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar. Apabila populasinya ditemukan masih dalam jumlah sed ik i t dapa t d i lakukan pengendalian secara mekanis, jika terjadi serangan berat dari serangga ini maka dapat dikendalikan dengan insektisida nabati, yaitu ekstrak biji mimba, konsentrasi 6-8 ml/liter.

DAFTAR PUSTAKA

Abriyanto AE, Sabikis, Sudarso. 2012. Aktivitas anti fungi ekstrak etanol daun sembukan (Paederia foetida L.) terhadap Candida albicans . Jurnal Farmasi Indonesia 9 (3): 1-10. http:/pharmacy. ump.ac.id/index.php/ Pharm/article/ view/71. [Diakses 16 September 2015].

Borror DJ, Triplehorn AA, Johnson NF. 1989. In Introduction to the Study of Insects. Sixth edition. Diterjemahkan oleh Partosoedjono S dan Brotodjojo MD. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga edisi keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1.083pp.

Byun BK, Han HL, Lee BW, Park SY, Kwon DH, Jo DG. 2008. Insect Fauna of Mt. Dogo, Chungnam Province, Korea. Journal of Korean Nature 1 (2): 219-227. http:www.researchgate.net/ profile/ Bung_Kyu_Byun/publication/260602648_ Insecta_Fauna_of_Mt._Dogo_ C h u n g n a m _ P r o v i n c e _ K o r e a / l i n . [Diakses 28 Agustus 2015].

Dalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Tumbuhan Indonesia. Jilid 6. Pustaka Bunda, Jakarta. 83 hlm.

Frederica A. 2008. Uji daya antibakteri ekstrak daun sembukan [Paederia scandens (Lour.) Merr.] dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan etanol terhadap Shigella sonnei. Thesis S1 Universitas Katolik Widya Manda la Su rabaya . h t t p : repository.wima. ac.id/id/eprint/3200.

Koswanudin D, Samudra IM, Harnoto. 2010. P e n g a r u h e k s t r a k b i j i m i m b a (Azadirachta indica A Juss.) terhadap perkembangan penggerek polong (Maruca testulalis Gejer) dan kutudaun (Aphis craccivora Koch.) pada tanaman kacang hijau. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman di Bogor, 5-6 Agustus 2009. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hlm. 519-528.

Pemberton RW, Pratt PD. 002. Skunk Vine. In: Driesche RV, Lyon S, Blossey B, Hoddle M, Reardon R (Eds.), Biological Control of invasive Plants inthe eastern United States. p 343-351. http:citeseerx.ist. p s u . e d u / v i e w d o c / d o w n l o a d ? doi=10.1.196.3575&rep-rep1&type= pdf#page351. [Diakses 23 November 2015].

Wikipedia. 2015. Goniorhynchus exemplaris. h t t p : e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / Goniorhynchus_exemplaris. [Diakses 28 Agustus 2015].

2012. Distribution of primary and specialized metabolites in Nigella sativa seeds, a spice with vast traditional and historical uses. J Molecules 17: 159-177.

Majalah 1000 guru. 2013. Obat tadisional (herbal) dan metabol i t sekunder. R u b r i k K i m i a . A g u s t u s 2 0 1 3 . h t t p : / / m a j a l a h 1 0 0 0 g u r u . n e t / 2 0 1 3 / 0 8 / o b a t - t r a d i s i o n a l -metabolitsekunder. diunduh tanggal 26 Januari 2016

Matthaus B, Ozcan MM. 2011. Fatty acids, tocopherol, and sterol contents of some Nigella species seed oil. Czech J. Food Sci. 29(2):145-150.

Maznah I, Norsharina I, Al-Absi A, Al-Naqeeb G. 2011. Thymoquinone rich fraction from Nigella sativa and thymoquinone are cytotoxic towards colon and leukemic carcinoma cell lines. Journal of Medicinal Plants Research 5: 359-366.

Mbarek LA, Mouse HA, Elabbadi N, Bensalah M, Gamouh A, Aboufatima R, Benharref A, Chait A, Kamal M, Dalal A and Zyad A. 2007. Anti-tumor properties of black seed (Nigella sativa L.) extracts. Brazilian J. of Med. and Biol. Res. 40: 839-84.

Mohtashami R, Amini M , Fallah HH, Ghamarchehre M, Sadeqhi Z, Hajiagaee R, Fallah HA. 2011. Blood glucose lowering effects of Nigella Sativa L. seeds oil in healthy volunteers: a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial. J. of Med. plant 10:3-9.

M u h u r i a L , Ty a s K N , K h u m a i d a N , Trikoesoemaningtyas, Sopandie D. 2006. Adaptasi tanaman kedelai terhadap

intensitas cahaya rendah : karakter daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Bul. Agron. 34(3): 133 – 140.

Nickavar B, Mojab F, Javidnia K, Amoli MAR. 2003. Chemical composition of the fixed and volatile oils of Nigella sativa L. from Iran. Naturforsch 58c. 629-631.

Parhizkar S, Latiff LA, Rahman SA, Dollah L A, Parichehr H.2011. Assessing estrogenic activity of Nigella sativa in ovariectomized rats using vaginal cornification assay . African J. of Pharmacy and Pharmacology 5(2): 137-142.

Rabbani MS, Ghafoor A, Masood MS. 2011. Narc-Kalonji: An early maturing and hight yielding variety of Nigella sativa released cultivation in Pakistan. Pak. J. Bot. 43:191-195.

Rahman A, Malik S, Zaman K. 1992. Nigellimine: a new isoquinoline alkaloid from the seeds of Nigella sativa. J. Nat. Prod. 55(5): 676-678.

Rahman A, Malik S, Hasan SS, Choudhary MI, Ni CZ, Clardy J. 1995. Nigellidine, a new indazole alkaloid from the seeds of Nigella sativa. Tetrahedron Lett 36: 1993-1996.

Ridwan T. 2014. Karakter agro-fisiologi dan senyawa sekunder tanaman jintan hitam (Nigella sativa L.) dengan aplikasi pupuk kandang dan fosfat alam. [Thesis]. Institut Pertanian Bogor. 71 hlm.

Salvador MD, Aranda F, Gomes-Alonso S, Fregapane G. 2001. Cornicabra virgin olive oil: a study of five crop seasons.

Composition, quality and oxidative stability. Food Chemistry. 74. 267-274.

Sultan M.T., M.S. Butt. F.M. Anjum, A. Jamil, S. Akhtar, M. Nasir, 2009. Nutritional profile of indigenous cultivar of black cumin seeds and antioxidant potential of its fixed and essential oil. Pak. J. Bot. 41(3): 1321-1330.

Suryadi R. 2014. Karakter morfologi dan pemupukan N dan P anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bioaktif thymoquinone jintan hitam (Nigella sativa L.). [Thesis]. Institut Pertanian Bogor. 62 hlm.

Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Ca l i fo rn ia ( U S ) : The Benjamin / Cummings Pub. Co. Inc. 559 p.

Talafih KA, Haddad NI, Hattar BI, Kharallah K. 2007. Effect of some agricultural practices on the productivity of black cumin (Nigella sativa L.) grown under rainfed semi-arid conditions. Jordan Journal of Agricultural Sciences. 3:385-397.

Tangkilisan HA. dan H. Lestari, 2011. Peran penambahan DHA pada susu formula. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 147 – 151

Toma CC, Simu GM, Hanganu D, Olah N, Vata FMG, Hammami C, Hammami M. 2010. Chemical composition of the Tunisian Nigella sativa L. note i. Profile on essential oil. Farmacia. 58(4): 458-464.

Tulukcu E. 2011. A comparative study on fatty acid composition of black cumin obtained from different regions of Turkey, Iran and Syria. Afr. J.of Agric. Res. 6(4): 892-895.

Sambungan halaman 3

9WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatTanaman Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 10: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

KEBUTUHAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT

SEBAGAI BUMBU DAPUR DAN JAMU GENDONG DI INDONESIA

anaman rempah dan obat (TRO) Tb a n y a k s e k a l i r a g a m d a n j e n i s n y a , s e r t a b a n y a k p u l a manfaatnya untuk kepentingan hidup manusia. Manfaat TRO sebagai bumbu dapur dan jamu gendong masih kurang mendapat perhatian. Padahal, kebutuhan TRO untuk bumbu dapur bisa mencapai 142.989 ton/tahun, dan untuk jamu gendong sebanyak 144.210 ton/tahun Tulisan ini mengulas tentang kebutuhan tanaman rempah dan obat sebagai bahan bumbu dapur dan jamu gendong yang sangat tinggi dan prospektif.

Kata kunci: Tanaman rempah dan obat, kebutuhan, bumbu dapur, jamu gendong

PENDAHULUAN

Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati (mega biological diversity), dimana terdapat sekitar 30.000 jenis plasma nutfah tumbuh-tumbuhan sebagai sumber daya hayati, yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Kosa kata ''tumbuh-tumbuhan'' berarti tanaman tersebut tumbuh liar di alam bebas, sedangkan ''tanaman'' berarti sudah d i b u d i d a y a k a n d a n d i l a k u k a n pemeliharaan. Mandat komoditas yang diemban oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) tidak hanya terbatas pada tanaman penghasil rempah dan obat (herbal) saja, tetapi berkembang menjadi tanaman penghasil minyak atsiri, penghasil bahan formula pestisida nabati, bioadditive, dan sumber energi nabati terbarukan pengganti energi fosil yang diperkirakan akan habis. Semua manfaat itu sudah mendapat perhatian untuk diteliti, namun ada manfaat lain dari pengembangan mandat komoditas Balittro yang terlupakan dan belum mendapat perhatian serius, yaitu manfaat TRO sebagai penghasil bahan keperluan memasak atau bumbu dapur dan jamu gendong. Tanaman penghasil bumbu dapur pemanfaatannya dari segi kuantitas dan nilai ekonomi mungkin kalah bersaing dengan manfaat yang lain. Akan tetapi, dari segi penyedap rasa d a n p e r a n g s a n g s e l e r a m a k a n penilaiannya bersifat kualitatif dan tentu

tidak dapat dinilai secara ekonomi. Biasanya dari produk masakan yang dihasilkan keuntungan yang didapat bisa mencapai 100%, bahkan lebih besar jika di restoran ternama atau hotel berbintang dilihat dari nilai bahan masakan dan bumbu dapur yang digunakan.

Menurut Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) tumbuh-tumbuhan penghasil bumbu dapur yang telah dibudidayakan di Indonesia masih sedikit. Pada umumnya; jahe, lengkuas, kunyit, dan kencur, kebanyakan diambil langsung dari habitat alaminya saja (tumbuhan belantara). Sentra produksi tanaman obat (termasuk bumbu dapur) di Indonesia, yaitu provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo (BPS, 2003).

WISATA KULINER

Dewasa i n i masa l ah masak memasak dan wisata kuliner sedang trend dan sering ditayangkan di media televisi. Tidak terbatas pada kaum perempuan, kaum laki-laki juga banyak yang berminat. Masak memasak sering diperlombakan dan dinilai oleh koki, tukang masak atau chef terkenal. Rating acaranya bisa menyamai acara Opera van Java atau Indonesian lawyer club. Pemenang mendapat hadiah ratusan juta, kitchen set mewah, bahkan mobil dan kesempatan berkunjung ke luar negeri.

Bandung dan Bogor merupakan kota tujuan untuk wisata kuliner bagi penduduk Jakarta atau siapapun yang tertarik. Di samping alamnya yang indah, di kedua kota besar tersebut dapat ditemukan beraneka ragam jenis makanan yang menarik untuk dicicipi. Begitu juga Manado, Makasar, Padang, dan lain sebagainya. Kota-kota tersebut menawarkan agenda wisata kuliner yang menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Demi menancapkan dominasi di industri penerbangan tanah air, Citilink (anak usaha PT Garuda Indonesia) juga terus melakukan berbagai inovasi menyediakan kuliner di udara (dalam pesawat), dengan berbagai menu masakan, salah satunya adalah

rendang daging (sesuai pesanan) dan tentu saja di luar harga tiket pesawat.

Euferia ini tentu berdampak positif terhadap pasokan bahan bumbu dapur dan seyogianya juga meningkatkan aktivitas penelitian dan pengembangan tanaman rempah dan obat sebagai penghasil bumbu dapur. Menarik untuk dikaji, seperti masakan manado atau padang yang ada di Jakarta, mereka mendatangkan bumbu dapur spesifik dari Sulawesi Utara atau Sumatera Barat agar makanan yang dihasilkan betul-betul mempunyai cita rasa yang khas.

Provinsi Sumatera Barat tidak termasuk ke dalam 18 provinsi yang sudah membudidayakan tumbuh-tumbuhan penghasil bumbu dapur ini. Akan tetapi, ranah Minangkabau ini termasuk salah satu tujuan wisata kuliner dan terkenal banyak memanfaatkan b u m b u d a p u r d a l a m m a s a k a n tradisionalnya. Masakan etnik minang yang beraneka ragam tersaji di restoran padang yang menyebar dan mudah ditemui hampir di seluruh Nusantara ini. Penulis mencoba membahas dan juga sudah mempraktekkan berapa kebutuhan bumbu dapur untuk masakan Padang. Pilihan jatuh untuk jenis masakan rendang padang, yang notabene secara nasional sudah tidak asing lagi. Bahkan, m e n u r u t p e n g u s a h a k u l i n e r Wongsosuseno masakan tradisional asal negara Indonesia yang paling dikenal di l u a r n e g e r i d a n j u g a s u d a h g o International adalah rendang padang.

RESEP MASAKAN KAYA BUMBU DAPUR

Hampir semua jenis masakan minang banyak menggunakan bumbu dapur (kaya bumbu). Kebutuhan bumbu dapur khusus untuk rendang daging adalah seperti Tabel 1.

Uraian proses memasaknya tidak perlu dibahas karena topik tulisan ini hanya untuk mengetahui berapa kebutuhan riil bumbu dapur untuk memasak dua kilogram daging sapi. Volume bumbu dapur semuanya dihitung dalam bentuk satuan gram. Dari Tabel 1 terlihat ada tujuh jenis komoditas Balittro yang dimanfaatkan untuk bumbu masakan rendang. Menurut ikatan pengusaha warung

Eliza Mayura dan Michellia Darwis Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Email: [email protected]

10 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Tanaman ObatVol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 11: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

padang terdapat sekitar 50.000 restoran padang di wilayah Jabodetabek. Jumlah daging rendang yang dimasak tentu tergantung besar kecilnya restoran. Jika kebutuhan bumbu dapur tersebut dikalkulasikan tentu jumlah yang digunakan cukup besar, misalkan rata-rata warung padang di Jabodetabek memasak 5 kg daging sapi setiap hari, maka dibutuhkan 50.000 X 5 kg = 250.000 kg daging sapi. Kalkulasi kebutuhan bumbu rendang (5 kg daging) untuk bumbu lengkuas adalah ( 5:2 ) X 100 g = 250 g ; (250.000 : 5) X 250 g = 12.500.000 g (12.500 kg), begitu seterusnya dengan cara kalkulasi yang sama untuk ketumbar 1.250 kg, jahe 6.250 kg, serai dapur 6.250 kg, kunyit 625 kg, daun jeruk 375 kg, dan daun salam 250 kg. Perlu metoda tersendiri untuk menentukan berapa kebutuhan bumbu dapur per kapita per tahun. Konsumsi beras sebagai makanan pokok menurut Bustanil Arifin, ekonom dari Universitas Lampung (Unila), adalah sebanyak 113,5 kg/kapita/ tahun.

K E B U T U H A N T A N A M A N R E M P A H D A N O B A T U N T U K B U M B U D A P U R

Sebagai ilustrasi berapa kebutuhan bumbu dapur dapat dilihat pada resep kebutuhan bumbu dapur untuk masakan rendang padang seperti uraian Tabel 1. Secara nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 sudah mendata berapa konsumsi per kapita beberapa jenis bumbu dapur. Bagaimana metode menghitungnya tidak dijelaskan, namun sebagai lembaga resmi pemerintah, angka tersebut layak dipercaya dan dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia terkini (2015) sebanyak 237 juta jiwa maka kebutuhan untuk bumbu dapur tersebut diperkirakan seperti tercantum pada Tabel 2.

P E R K I R A A N K E B U T U H A N TANAMAN REMPAH DAN OBAT UNTUK JAMU GENDONG

Manfaat tanaman mandat Balittro selain untuk bumbu dapur seperti Tabel 1, juga sebagai jamu. Menurut Kemala et al. (2003), industri obat tradisional menghasilkan produk yang sebagian besar dalam bentuk jamu dan bahan baku yang digunakan masih bertumpu pada tanaman yang mempunyai khasiat beragam (termasuk khasiat sebagai bumbu dapur). Perkiraan kebutuhan tanaman bermanfaat sebagai bumbu dapur dan juga untuk keperluan jamu gendong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1. Resep masakan rendang Padang yang kaya bumbu dapur

Bahan dan bumbu rendang

Non komoditas Balittro Komoditas Balittro

Jenis J u m l a h J e n i s J u m l a h

Daging sapi 2,0 kg Lengkuas 100 g

Kelapa tua 4 butir Ketumbar 10 g

Cabe giling 300 g Jahe 50 g

Bawang merah 250 g Serai dapur 50 g

Bawang putih 150 g Daun kunyit 5 g

Garam Secukupnya Daun jeruk 3 g

Daun salam 2 g

Tabel.2. Perkiraan konsumsi beberapa jenis TRO untuk bumbu dapur di Indonesia.

Jenis Tanaman

Nama ilmiahKons/kapita/th

( kg )Kebutuhan

(t o n)

Asam jawa Tamarindus indica L. 0.107 25.359

Lengkuas Languas galanga L. Struntz 0.100 23.700

Ketumbar Coriandrum sativum L 0.074 17.538

Jahe Zingiber officinale Roxb. 0.070 16.590

Kunyit Curcuma domestica Val. 0.070 16.590

Serai dapur Andropogon nardus L. 0.070 16.590

Daun salam Syzigium polyanthum (Wigh) W 0.030 7.110

Kencur Kaempferia galanga L. 0.030 7.110

Daun jeruk Citrus hystrix DC 0.010 2.370

Temu kunci Boesenbergia pandurata Roxb. 0.010 2.370

Kapolaga Amomum cardamomum Auxt. 0.002 474

Jintan Cuminum cyminum L. 0.001 226

Lada Piper nigrum L. 0.030 7.110

Pala Myristica fragrans Hout. 0.0024 568

Cengkeh Syzigium aromaticum L. 0.0012 284

Jumlah 142.989

Tabel 3. Perkiraan kebutuhan tanaman rempah dan obat untuk jamu gendong.

Jenis TanamanPerkiraan kebutuhan jamu gendong

Simplisia Terna Jumlah (ton)

Asam Jawa 1.208 8.453 9.661

Lengkuas 1.342 9.392 10.734

Jahe 2.013 14.088 16.101

Kunyit 6.709 46.960 53.669

Serai Dapur 2.189 - 2.189

Daun salam - - -

Kencur 4.025 28.176 32.201

Daun jeruk - - -

Temu kunci 1.066 7.044 8.110

Kapolaga 1.409 9.862 11.271

Jintan 274 - 274

Jumlah 144.210

Ket. sumber Pribadi (2009)Tanda (-) tidak ada duamya

Bersambung ke halaman 13

11WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016Tanaman Obat

Page 12: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

PERAN KATALIS LOGAM TRANSISI PADA REAKSI

HIDRORENGKAH MINYAK KULIT JAMBU METE (CNSL) UNTUK

BAHAN BIOENERGI

Pengolahan minyak kulit biji jambu mete atau Cashew Nut

S h e l l L i q u i d ( C N S L ) s e b a g a i sumber bahan baku bioenergi dapat dilakukan melalui reaksi hidrorengkah. Dalam reaksi ini, peran katalis sangat dibutuhkan untuk menurunkan energi aktivasi. Katalis dengan karakter yang baik dapat meningkatkan jumlah produk bioenergi yang dihasilkan.

Kata kunci: CNSL, bioenergi, katalis, reaksi hedrorengkah

PENDAHULUAN

D a m p a k l i n g k u n g a n a k i b a t penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil sangat meresahkan. Selain itu, adanya fokus pemerintah untuk terus meningkatkan produksi minyak bumi siap jual hingga satu juta barel pada tahun 2014 dapat menyebabkan ketersediaan minyak bumi berkurang lebih cepat, jika tidak disertai dengan usaha penemuan cadangan minyak bumi baru, baik di dalam maupun di luar negeri.

A l t e r n a t i f y a n g d a p a t d ikembangkan untuk mengatas i masalah tersebut adalah menghasilkan bahan bakar dari sumber hayati yang bersifat ramah lingkungan. Hal ini sangat praktis dilakukan, karena biaya produksi rendah, terutama dengan memanfaatkan bahan berpotensi, seperti limbah dari kulit biji jambu mete yang mengandung minyak laka atau Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) (Anna, 2011). Akan tetapi minyak CNSL memiliki ke te rba tasan , ya i tu t idak dapa t digunakan secara langsung sebagai b a h a n b a k a r , k a r e n a m e m i l i k i kekentalan cukup tinggi (Twaig et al., 2004 dalam Efiyanti dan Trisunaryanti, 2014). Oleh karena itu, diperlukan metode baru untuk mengkonversinya menjadi bahan bakar. Salah satu metode yang ditawarkan adalah melalui reaksi hidrorengkah. Reaksi ini biasanya berlangsung pada temperatur 290-455°C (Ray, 2010) dan akan memecah rantai karbon yang cukup stabil pada minyak CNSL menjadi senyawa hidrokarbon sederhana menggunakan gas hidrogen, s e h i n g g a p e r a n k a t a l i s s a n g a t dibutuhkan.

Cashew Nut Shell Liquid (CNSL)Cashew Nut Shell Liquid (CNSL)

alami terdiri atas 70% asam anakardat, 18% kardol dan 5% kardanol, sedangkan CNSL teknis terdiri dari 52% kardanol, 10% kardol dan 30% senyawa polimer (Cahyaningrum et al., 2006). Struktur molekul dari senyawa asam anakardat, kardanol, dan kardol ditunjukkan pada Gambar 1.Pemanfaatan CNSL

Produksi CNSL di Indonesia masih tergolong rendah, tidak sebanding dengan kebutuhan CNSL di beberapa negara industri. Akan tetapi, saat ini di Indonesia mulai berkembang beberapa industri yang memanfaatkan CNSL dan turunannya, seperti industri farmasi, vernis, cat dan film coating, resin laminating, semen, formulasi karet, insektisida, perekat, kanvas rem dan plat kopling kendaraan, epoxy resin, pengecoran logam, surfaktant, dan beberapa industri lainnya (Towaha dan Ahmadi, 2011). CNSL juga mampu melindungi DNA dari kerusakan yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif serta hidrogen peroksida (Sivakumar et al., 2014).

P e r a n K a t a l i s p a d a R e a k s i Hidrorengkah CNSL

Karakter katalis akan berpengaruh pada proses reaksi, kuantitas serta kualitas produk hidrorengkah yang dihasilkan. Katalis yang digunakan dalam reaksi ini umumnya berupa

logam transisi dari golongan VIII B dalam sistem periodik unsur. Perpaduan logam Ni dan Mo dengan Zeolit Alam Aktif (ZAA) juga telah terbukti e fek t i f d igunakan da lam reaks i h i d r o r e n g k a h C N S L m e n j a d i biogasoline dan biodiesel (Santi, 2013).

Logam Ni dalam sistem periodik unsur memiliki nomor atom 28 dan mempunyai elektron terluar pada orbital d dengan konfigurasi elektron

8 2[Ar]3d 4sKeberadaan elektron-elektron

pada orbital d sangat menentukan kemampuan logam transisi dalam mengkatalisis reaksi hidrorengkah. Keberadaan orbital d menyebabkan komponen CNSL teradsorbsi secara spesifik pada orbital tersebut, sehingga reaksi terjadi lebih efektif. Orbital d pada logam ini berperan penting dalam menentukan keasaman katalis. Semakin besar keasaman katalis, rantai karbon minyak CNSL akan lebih mudah terpecah menjadi rantai karbon yang lebih sederhana.

Logam Ni yang dipadukan dengan zeolit-Y (NiO-ZY) terbukti mampu mengkonversi minyak CNSL menjadi bensin dan diesel dengan produktivitas masing-masing berturut-turut sebanyak 38,47 dan 25,88% (Efiyanti dan Trisunaryanti, 2014). Sampel produk hasil hidrorengkah CNSL menggunakan katalis NiO/ZY menunjukkan pola kromatogram yang mirip dengan kromatogram bens in dan d iese l komersial. Hal ini, secara kualitatif membuktikan bahwa sampel produk hidrorengkah CNSL mengandung fraksi bensin dan diesel (Gambar 2, 3 dan 4).

Perpaduan logam Ni ke dalam Zeolit-Y akan meningkatkan luas permukaan katalis dan rerata jejari pori. Luas permukaan yang besar akan menambah efektivitas interaksi antara minyak kulit biji jambu mete (CNSL) dengan ka ta l i s seh ingga reaks i hidrorengkah akan berlangsung lebih cepat dan menghasilkan produk yang lebih optimal. Rerata jejari pori yang lebih besar dapat mengakibatkan rantai hidrokarbon panjang lebih mudah masuk ke dalam katalis sehingga proses pemecahan rantai karbon pada CNSL akan maksimal. Secara umum mekanisme reaksi hidrorengkah pada CNSL dapat dilihat pada gambar 5.

EdiningsihBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

e-mail : [email protected]

Gambar 1. Senyawa kimia dalam minyak jambu mete (Cahyaningrum et al., 2006).

12 Tanaman Industri LainnyaWartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat

Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Page 13: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

Minyak kardanol memiliki sifat yang mirip dengan bahan bakar diesel. Semakin panjang rantai karbon minyak kardanol, kelarutannya dalam diesel semakin besar. Selain itu, minyak kardanol memiliki kalori yang cukup besar sehingga akan lebih banyak membebaskan panas selama proses pembakaran serta tidak mengandung sulfur (Sivakumar et al., 2014). Asam anakardat yang mempunyai aktivitas antibakteri dapat dikonversi menjadi kardanol melalui proses dekarboksilasi p a d a s u h u 2 0 0 - 2 4 0 C . R e a k s i dekarboksilasi ini akan menyebabkan perubahan pH CNSL dari asam menjadi basa.

KESIMPULAN

Katalis logam transisi, seperti Ni dan Mo memiliki elektron pada orbital d sehingga efisien dalam mengkatalisis reaksi hidrorengkah CNSL. Adanya modifikasi logam pada suatu padatan berpori yang memiliki luas permukaan spesifik maupun rerata jejari pori yang lebih besar dapat mempengaruhi kuantitas dan produktivitas dari produk yang dihasilkan.

Diharapkan ke depan jenis katalis serta reaksi kimia yang berperan dalam pengolahan minyak kulit biji jambu mete (CNSL) lebih diperbanyak supaya produk yang dihasilkan lebih bervariasi menjadi molekul-molekul bioenergi.

DAFTAR PUSTAKA

Anna. 2011. Reaksi katalitik minyak kulit biji mete dengan metanol menggunakan katalis zeolit KNaX untuk diaplikasikan sebagai biopelumas. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Pascasarjana. Program Studi Magister Ilmu Kimia. Universitas Indonesia. hlm 17-95.

Cahyaningrum, A., T. Setyowati, dan A. Nur. 2006. Ekstraksi cashew nut shell liquid (cnsl). Ekuilibrium. 5 (1) : 40-45.

Efiyanti, L. dan W. Trisunaryanti. 2014. Hidrorengkah katalitik minyak kulit biji jambu mete (cnsl) menjadi fraksi bensin dan diesel. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 32 (1): 71-81.

Ray, D. 2010. Hydrocracking. Industry-Academia interaction Meet at NIT, Jalandar. pp 1-51.

Santi, D. 2013. Modifikasi zeolit alam sebagai katalis dan uji aktivitas katalis dalam reaksi hidrorengkah minyak kulit jambu mete (Anacardium occidentale) menjadi biogasolin dan biodiesel. Istech. 5 (2) : 104-108.

S i v a k u m a r , S . , Ve n k a t a c h a l a m , R . , Nedunchezhian, N., Sivakumar, P., dan Rajendran, P. 2014. Processing of cashew nut shell and feasibility of its oil as bio fuel in compression ignition engine. Journal of Chemical and Pharmaceutical Sciences. 4 : 133-135.

Towaha , J . , dan N.R. Ahmadi . 2011 . Pemanfaatan cashew nut shell liquid sebagai sumber fenol alami pada industri. Buletin RISTRI. 2 (2) : 187-198.

Gambar 2. Kromatogram bensin komersial

Gambar 3. Kromatogram diesel komersial

Gambar 4. Kromatogram produk cair hasil hidrorengkah CNSL dengan katalis NiO/ZY

Gambar 5. Mekanisme reaksi hidrorengkah minyak kulit biji jambu mete (CNSL)

kebutuhan untuk jamu gendong. Paparan ini menunjukkan bahwa penggunaan tanaman mandat Balittro sebagai p e n g h a s i l b u m b u d a p u r c u k u p prospektif, walaupun perbandingannya terbatas pada jamu gendong sebagai obat herbal tradisional. Namun secara keseluruhan kebutuhan tanaman rempah dan obat untuk jamu gendong sebanyak 155.252 ton tidak terlalu berbeda jauh dengan manfaatnya untuk bumbu dapur yaitu sebanyak 142.989 ton.

POTENSI PRODUKSI TANAMAN REMPAH DAN OBAT

Potensi produksi TRO sebagai bahan baku jamu gendong dan bumbu dapur sesuai data BPS (2006) adalah seperti pada Tabel 4.

Pada umumnya potensi produksi tanaman beragam manfaatnya, seperti contoh pada Tabel 4 lebih tinggi daripada kebutuhan untuk bahan jamu gendong dan bumbu dapur. Produksi yang lebih tinggi ini digunakan untuk manfaat lain dari masing-masing tanaman tersebut. Kemungkinan juga untuk ekspor karena potensi produksi jahe adalah 177.138 ton, sedangkan kebutuhan untuk

bahan jamu gendong dan bumbu dapur hanya 32.691 ton. Namun, yang menjadi pertanyaan untuk tanaman temu kunci potensi produksi adalah 2.035 ton, sedangkan kebutuhan untuk bahan jamu dan bumbu dapur saja sudah mencapai 10.480 ton.

PENUTUP

Manfaat tanaman rempah dan obat sebagai bumbu dapur dan jamu gendong belum banyak mendapat perhatian. Ternyata dari contoh kasus kebutuhan untuk bumbu rendang padang saja perlu pasokan bumbu yang cukup banyak. Bahkan, kebutuhan tanaman rempah dan obat untuk bumbu dapur sebanyak 1 4 2 . 9 8 9 t o n h a m p i r m e n y a m a i

kebutuhan untuk jamu gendong sebanyak 144.210 ton di Indonesia. Bumbu dapur adalah masalah selera, tetapi apabila kita menyantap makanan yang tidak menimbulkan selera makan, tentu akan menghambat aktivitas kegiatan lainnya. Jamu gendong adalah industri jamu skala kecil, dari aspek sosial melibatkan banyak masyarakat. Tidak diragukan manfaat jamu bagi kesehatan manusia karena jamu sebagai obat herbal tidak menimbulkan efek samping bagi konsumennya.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2002. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Buku 1. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

BPS. 2003. Statistik Tanaman Obat-obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

BPS. 2006. Statistik Tanaman Obat-obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Kemala S, Sudiarto, Pribadi E.R., Yuhono J.T., Yusron M., Mauludi L., Rahardjo M., Waskito B. dan Nurhayati H. 2003. Studi serapan pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Lap. Tek. Pen. Bag. Pro Tanaman Rempah dan Obat. APBN 2003

Tabel 4. Luas panen dan produksi tanaman bahan jamu gendong dan bumbu dapur

Jenis TanamanLuas Panen

(m2)Produksi (kg)

Lengkuas 18.684.299 44.369.523

Jahe 89.041.808 177.137.949

Kunyit 53.805.760 112.897.776

Kencur 36.438.304 47.081.020

Temu kunci 1.445.859 2.034.690

Kapolaga 8.571.860 13.144.127

Sambungan halaman 11

13WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat

Vol. 33, No. 65, Juni 2016Tanaman Industri Lainnya

Page 14: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

TINGKAT KESERAGAMAN PIT JAMBU METE PADA KARAKTER

PRODUKSI, MORFOLOGI DAUN DAN GELONDONG

DI KAB. JENEPONTO SULAWESI SELATAN

ohon Induk Terpilih (PIT) jambu Pmete di lokasi Blok Penghasil Tinggi (BPT) di Kab. Jeneponto mempunyai tingkat keseragaman yang tinggi berkisar antara 93,14 – 99,95, yang terbagi menjadi dua kelopok besar yaitu kelompok I dan II. Kedua kelompok tersebut terbagi lagi menjadi dua sub kelompok dan sub-sub kelompok lebih kecil yang dipisahkan oleh karakter jumlah gelondong tertinggi dan terendah. Jumlah gelondong tertinggi terdapat pada kelompok II sebesar 13.792– 20.514 gelondong/pohon, sedangkan jumlah gelondong terendah terdapat pada kelompok I berkisar antara 3.632–12.634 gelondong/pohon. Pada karakter morfologi daun, buah dan gelondong tidak begitu bervariasi. Bentuk daun bulat telur (oval) dan lanset, bentuk pangkal daun runcing, bentuk ujung daun tumpul dan bulat dengan permukaan daun halus. Warna buah muda hijau sampai hijau keunguan, sedangkan warna buah tua merah. Bentuk gelondong seperti ginjal dengan ukuran dan bobot gelondong yang bervariasi.

Kata kunci : Keseragaman, jambu mete, produksi, morfologi, daun, gelondong.

PENDAHULUAN

J a m b u m e t e ( A n a c a r d i u m occidentale L.) merupakan salah satu sumber devisa negara yang memberikan k o n t r i b u s i s i g n i f i k a n t e r h a d a p pendapatan petani di lahan marginal. J a m b u m e t e p a d a a w a l n y a dikembangkan di Indonesia sebagai tanaman penghijauan di lahan marjinal, di mana komoditas lain tidak dapat tumbuh. Pengembangannya sampai saat ini menyebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan kondisi lahan dan iklim yang kering. Penanaman jambu mete di Indonesia sebagian besar (97%) diusahakan oleh rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat , ba ik secara monokultur maupun polikultur dengan kondisi pertanaman yang bervariasi dari kurang baik sampai dengan baik.

Keadaan lingkungan (lahan dan iklim) yang sesuai untuk pengembangan tanaman jambu mete pada umumnya adalah pada ketinggian tempat 0 - 600 m dpl, dengan curah hujan 900 - 2.000 mm/th dengan bulan kering yang berurutan selama 4 - 6 bl/th (Abdullah, 1994). Pada tahun 2011 volume produksi mengalami penurunan menjadi 114.789 ton gelondong dengan luas areal 575.841 ha (Ditjenbun, 2012). Hal ini antara lain disebabkan kurangnya pemeliharaan, budi daya anjuran tidak diadopsi dan sebagian besar tanaman sudah tua sehingga perlu peremajaan. Perubahan iklim di mana musim hujan terjadi pada saat tanaman berbunga, juga memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan buah serta kerusakan buah muda.

Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi jambu mete yang tersebar di beberapa kabupaten, terutama: Jeneponto, Pangkep, Luwu, Enrekang, Sidenreng Rappang, Kota Pare Pare, Sopeng, Bone, Pangkajene Kepulauan, Kota Makasar, Gowa, dan Kepulauan Selayar. Total luas lahan jambu mete yang sudah digunakan 63.818 ha, dengan jumlah produksi 24.435 ton (2008), 24.420 ton (2009) dan 19.773 ton (2010). (BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Tulisan ini menguraikan keseragaman PIT jambu mete di lokasi Blok Penghasil Tinggi (BPT) sebagai sumber benih yang mempunyai produksi tinggi.

Evaluasi benih jambu mete di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Evaluasi sumber benih jambu mete dilakukan pada tanggal 7 - 10 September 2015, di Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan. Penilaian kelayakan sumber benih dilakukan di lokasi BPT yang telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, yaitu Desa Marayha, Kec. Bangkale, Sulawesi Selatan. Luas areal yang dievaluasi 6,5 ha, dengan jumlah tegakan 320 dan PIT sebanyak 53 tegakan yang ditanam pada tahun 1987, dan jarak tanam 9 x 9 m. Metode inventarisasi mengacu kepada Petunjuk Teknis dan Penetapan Blok Penghasil Tinggi (Ditjenbun, 2013)

menggunakan observasi langsung di lapangan dengan cara memilih tanaman dengan penampilan yang baik serta mempunyai potensi berproduksi tinggi dengan cara mengamati parameter bentuk dan lebar kanopi, tinggi tanaman, jumlah tanaman, jumlah tanaman terpilih, panjang gelondong, lebar gelondong, tebal gelondong, warna buah tua dan buah muda, bentuk daun, warna daun tua dan daun muda, bentuk pangkal daun, ujung daun, tepi daun, panjang d a n l e b a r d a u n . U n t u k d a t a produksi /pohon/ tahun di lakukan pengamatan jumlah tangkai bunga per meter persegi, jumlah buah per tangkai, dan bobot buah per gelondong.

K A R A K T E R M O R F O L O G I DAUN BENIH JAMBU METE

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Pohon Induk Terpilih (PIT) jambu mete yang ada di Desa Marayha, Kecamatan Bangkale yang telah dipilih masih layak sebagai sumber benih dengan kondisi pertanaman terpelihara baik. Bentuk pertanaman pada umumnya seragam dengan bentuk kanopi setengah bulat atau setengah oval. Tinggi tanaman berkisar antara 7 - 10 m dengan lebar kanopi 10 - 19 m. Warna buah muda hijau sampai hijau keunguan, sedangkan warna buah tua merah . Ben tuk gelondong seperti ginjal dengan ukuran dan bobot bervariasi. Bobot gelondong dibedakan menjadi dua, yaitu gelondong berukuran kec i l dan ge londong berukuran besar. Bobot gelondong berukuran kecil antara 5 - 7 g, sedang yang berukuran besar antara 8 - 10 g (Ditjenbun, 2013) (Gambar 1).

Karakter morfologi daun dan buah jambu mete pada umumnya tidak bervariasi. Karakter bentuk daun terdiri atas bulat telur (oval) dan lanset, bentuk pangkal daun runcing, bentuk ujung daun tumpul dan bula t . Bentuk permukaan daun pada bagian atas dan bawah daun halus. Karakter panjang, lebar dan tebal daun 53 nomor PIT mempunyai karakter bervar ias i . Panjang daun berkisar antara 10,5 - 17,7 cm, lebar daun antara 6,3 - 10,4 cm, sedangkan tebal daun 1,1 - 2,4 mm (Tabel 1).

Wawan HaryudinBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Email: wharyudin @yahoo.com

14 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016 Tanaman Industri Lainnya

Page 15: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

No aksesi

Panjang daun(cm)

Lebar daun(cm)

Tebal daun(cm)

B e n t u k Warna

Daun Pangkal daunUjungdaun

Tepi daunPermukaan atas daun

Permukaan bawah daun

Tajuk Buah muda Buah tua

JP 2 11.5 9.4 1.5 Lanset Runcing Tumpul Rata Halus Halus 1/ bulat Hijau Merah

JP 3 13.5 7.6 1.1 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 4 15.7 7.7 1.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus !/2 bulat Hijau Marah

JP 5 10.5 6.7 1.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus !/2 bulat Hijau keunguan Merah

JP 6 11.6 7.7 1.2 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 7 16.6 8.5 2.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 8 17.6 10.4 2.4 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Marah

JP 9 17.5 10 1.9 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 10 13.5 7.5 1.8 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 11 15.6 7.6 1.5 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 12 16.7 7.7 1.5 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 13 17.5 9.5 1.2 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 14 11.3 6.3 1.3 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 15 12.5 6.6 1.7 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 16 12.5 6.7 1.9 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 17 12.8 6.8 2.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 18 13.7 6.7 2.1 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 19 13.6 6.7 2.1 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 20 14.6 7 2.4 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 21 14.7 7.3 1.4 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 22 10.8 6.5 1.7 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 23 16.6 7.8 1.8 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 24 16.5 7.4 1.5 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 25 13.5 6.5 1.9 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 26 16.8 6.5 1.5 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 27 10.5 6.7 2.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 28 14.7 7.4 2.1 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 29 15.5 7.8 2.4 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 30 17.6 8.7 1.4 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 31 16.5 8.6 1.7 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 32 15.6 8.3 1.8 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 33 13.6 7.5 1.5 Bulat telur Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 34 15.5 7.6 1.9 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 35 15.6 7.5 1.5 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 36 12.6 6.7 2.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 37 12.5 6.3 2.4 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 38 17.4 9.6 1.4 Lanset Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 39 16.6 8.6 1.7 Lanset Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 40 13.3 7.6 2.1 Lanset Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Marah

JP 41 12.4 6.6 2.4 Lanset Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 42 11.7 6.6 1.4 Lanset Runcing Tumpul Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 43 13.5 7.6 1.7 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 44 15.6 7.3 2.1 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Marah

JP 45 16.5 7.8 2.4 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 46 12.5 6.6 1.7 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 47 16 8.7 1.6 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau keunguan Merah

JP 48 15 7.8 2.1 lanset Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 49 12 6.6 2 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 50 17.7 9.9 1.9 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 51 15 8 1.8 Lanset Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

JP 52 12 7 1.7 Bulat telur Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Marah

JP 53 13.5 7.7 1.9 Lanset Runcing Bulat Rata Halus Halus ½ bulat Hijau Merah

Min 10,5 6,3 1,1

Max 17,7 10,4 2,4

Rata2 14,33 7,62 1,8

Tabel 1. Karakter morfologi daun dan warna buah jambu mete di Kabupaten Jeneponto

15WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016Tanaman Industri Lainnya

Page 16: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

K A R A K T E R P R O D U K S I GELONDONG BENIH JAMBU METE.

Hasil pengamatan menunjukkan karakter produksi dan morfologi gelondong jambu mete PIT bervariasi. Produksi gelondong berkisar antara 22,9 – 154,8 kg gelondong/pohon/th dengan jumlah gelondong 3.627 – 20.513 gelondong. Berdasarkan hasil tersebut, populasi jambu mete yang ada di Kab. Jeneponto layak sebagai sumber benih sesuai dengan ketentuan Juknis Ditjenbun (2013) yaitu: rata-rata p r o d u k s i t a n a m a n m i n i m a l 1 0 kg/pohon/tahun dengan umur tanaman minimal 10 tahun dan maksimal 30 tahun. Lebar kanopi pada 53 aksesi, berkisar antara 10 – 16 m, jumlah tangkai/meter/persegi 10,6 – 21, jumlah buah 1,8 – 16 /tangkai, bobot gelondong 5 – 10,3 gr/gelondong. Panjang gelondong berkisar antara 27,43 – 35,3 mm, lebar gelondong antara 18,25 – 27,88 mm dan tebal gelondong 15,13 – 21,79 mm (Tabel 2).

Tingkat keseragaman pohon induk terpilih (PIT) Jambu Mete.

PIT jambu mete di lokasi Blok Penghasil Tinggi (BPT) di Kab. Jeneponto mempunyai tingkat kesamaan yang tinggi berkisar antara 93,14 – 99,95 dan terbagi menjadi dua kelopok besar yaitu kelompok I dan II. Kelompok I terbagi lagi menjadi dua sub kelompok yaitu sub 1 dan sub 2 yang terdiri atas 26 aksesi. Kelompok sub 1 terbagi menjadi

dua kelompok yang lebih kecil, yaitu kelompok sub-sub 1 dan sub-sub 2 yang terdiri atas 21 aksesi yaitu : 1, 2, 10, 50, 32, 38, 53, 3, 7, 8, 18, 39, 31, 6, 33, 12, 35, 14, 40, 25 dan 48. Pada kelompok sub 2 terdiri atas 5 aksesi yaitu : 16, 43, 17, 23 dan 48.

Kelompok II terbagi menjadi dua sub kelompok, yaitu kelompok sub 1 dan sub 2 yang terdiri atas 27 aksesi. Kelompok sub 1 terbagi menjadi dua sub-sub kelompok yang lebih kecil, yaitu sub-sub 1 dan sub-sub 2. Sub-sub 1 terdiri atas 23 aksesi yaitu : 4, 14, 46, 22, 29, 34, 5, 45, 21, 41, 51, 47, 9, 37, 15, 42, 19,20, 52, 49, 27 dan 36, sedangkan pada kelompok sub 2 terdiri atas dua aksesi yaitu aksesi 30 dan 44 (Gambar 2).

Pengelompokan antar Aksesi Jambu Mete.

Analisis cluster dari 53 aksesi jambu mete di lokasi BPT dilakukan berdasarkan karakter jumlah buah, jumlah tangkai buah, bobot gelondong, produksi gelondong, jumlah gelondong, lebar gelondong, dan tebal gelondong. Berdasarkan hasil analisis, kelompok I dan II yang terdiri atas 26 aksesi dipisahkan oleh karakter produksi gelondong dan jumlah gelondong. Kelompok I dipisahkan oleh produksi gelondong terendah berkisar antara 22,9 - 85,7 kg dan jumlah gelondong te rendah an tara 3 .632 - 12 .634 gelondong. Kelompok II dipisahkan oleh karakter produksi gelondong tertinggi berkisar antara 75,6 - 154,8 kg dan jumlah gelondong tertinggi 13.792 - 20.514 gelondong.

Kelompok sub 1 dan sub 2 pada kelompok I dipisahkan oleh karakter produksi dan jumlah gelondong. Kelompok sub 1 dipisahkan oleh karakter produksi gelondong tertinggi antara 44 - 85,7 kg dan jumlah gelondong tertinggi 5.500 - 12.634. Kelompok sub 2 dipisahkan oleh produksi gelondong terendah antara 22–31.5 kg dan jumlah gelondong terendah 3.632 - 4.435. Begitu pula pada kelompok sub-sub 1 dan sub 2 dipisahkan oleh karakter jumlah gelondong.

Kelompok sub 1 dan sub 2 pada kelompok II dipisahkan oleh karakter jumlah gelondong. Jumlah gelondong terendah terdapat pada kelompok sub 1 berkisar antara 13.792 - 18.661 g e l o n d o n g , s e d a n g k a n j u m l a h gelondong tertingg terdapat pada kelompok sub 2 yaitu berkisar antara 19.741 - 20.514 gelondong, begitu pula pada kelompok sub-sub 1 dan sub-sub 2 dipisahkan oleh karakter jumlah gelondong (Tabel 3).

Gambar 1. (a) Penampilan PIT, (b) buah tua, (c) buah muda dan (d) gelondong jambu mete di lahan kebun milik petani, Desa Marayha, Kec. Bangkale, Kab. Jeneponto.

Gambar 2. Dendrogaram 53 PIT jambu mete di Kab. Jenepoto, Sulawesi Tengah.

WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat

Vol. 33, No. 65, Juni 2016 Tanaman Industri Lainnya16

Page 17: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

No. Aksesi

Lebar kanopi

Jumlah buah

Jumlah tangkai

Bobot gelondong

Prod. Gelondong/

phn (kg)

Jumlah gelodong/

phn (Butir)

Panjang gelondong

(mm)

Lebar gelondong

(mm)Tebal Gel

(mm)

JP 1 15 3.4 17.3 7.5 85.7 11.462 30.99 20.98 16.85

JP 2 13 3.4 19.7 7.4 72.3 9.770 31.31 25.56 18.42

JP 3 14.6 2.3 15.6 6.8 44.9 6.602 30.98 24.88 16.98

JP 4 13.4 6.8 14.7 6.4 99.2 15.609 32.66 23.45 15.78

JP 5 15 3.7 19.3 6.8 94.3 13.867 31.57 24.48 16.04

JP 6 13 2.6 15 8 45.5 5.567 32.34 26.18 15.74

JP 7 13 2.2 20 8.8 56.5 6.420 31.24 26.51 18.64

JP 8 14 3.4 10.7 8.33 51.3 6.158 31.13 23.9 15.13

JP 9 13.6 4.5 21 7 105.7 15.100 35.3 27.88 20.58

JP 10 15 2.8 18.7 6.8 69.2 10.176 31.48 20.67 16.08

JP 11 11.6 6.5 21 7.2 114.2 15.861 32.6 20.41 18.92

JP 12 12 3.4 20 6 50.7 8.450 33.05 20.66 17.05

JP 13 12 9.6 15.6 8 148.9 18.612 32 21.43 18.01

JP 14 15 2.6 18 7.2 65.5 9.079 34 20.46 21.08

JP 15 15 5.6 16 7.2 125.4 17.416 31.84 21.64 18.67

JP 16 15 1.8 12.7 6.2 27.5 4.435 30.98 20.56 16.02

JP 17 13 1.8 15 8 31.5 3.937 31.84 19.47 19.39

JP 18 15 2.2 17.3 7.2 53.2 7.388 32.25 21.75 20.64

JP 19 15 5 17.5 6.8 115.6 17.000 30.28 21.34 17.07

JP 20 14 9.2 11 6.8 116.5 17.132 29.83 20.66 16.53

JP 21 13 6.3 15.5 7.8 111.2 14.256 32.14 20.91 16.53

JP 22 15 5.3 15.7 8 129.3 16.162 30.84 20.6 17.98

JP 23 14 2.2 10.6 5.8 22.9 3.948 32.08 20.09 16.65

JP 24 14 7.4 12 10.3 154.8 15.029 30.84 19.31 17.24

JP 25 16 3.3 17.3 5.2 65.7 12.634 31.67 20.11 18.17

JP 26 13 2.2 11.3 6.8 24.7 3.632 33.6 21.28 18.93

JP 27 11 8.2 19.7 5 84.4 16.880 29.7 20.04 17.18

JP 28 13 6.3 20.3 6.8 126.9 18.661 31.04 20.1 16.45

JP 29 13 5.8 19 6 96.5 16.083 32.79 19.76 17.5

JP 30 13 8.1 16.7 5.8 114.5 19.741 30.53 20.81 16.72

JP 31 11.4 4.5 14 8 56.6 7.075 31.42 19.99 19.85

JP 32 11 9 11.7 7 77 11.000 34.35 19.76 17.64

JP 33 10 3.6 17.7 8 44 5.500 27.43 18.97 16.5

JP 34 14 5.2 18.3 6 96.6 16.100 33.32 20.4 20.11

JP 35 13 3 18.3 6 48.1 8.016 30.98 21.53 16.95

JP 36 15.2 7.7 11 7 118.3 16.900 31.07 20.19 20.59

JP 37 15 6 13 7.6 115.2 15.157 30.61 21.62 17.91

JP 38 16 4.3 11.3 6 64.4 10.733 32.2 19.93 20.84

JP 39 13 2.9 17.3 8.2 60 7.317 30.46 18.95 18.36

JP 40 11 5.8 15 9.4 85.4 9.085 30.22 20.23 17.12

JP 41 12 7 16.7 5.2 75.6 14.538 33.67 21.95 21.79

JP 42 14 6.1 17 5.6 98.3 17.553 31.17 19.12 19.37

JP 43 12 2.3 14.7 6.8 28.6 4.205 32.18 19.66 20.21

JP 44 16 5.8 16 6.8 139.5 20.514 31.66 19.91 20.27

JP 45 14 5.7 14.3 8.2 113.1 13.792 31.38 21.11 15.94

JP 46 16 4.3 16.7 7.2 114.3 15.875 30.23 20 16.5

JP 47 15 4.5 16.7 6.2 90.5 14.596 31.3 21.85 18.99

Tabel 2. Karater lebar kanopi, jumlah buah, jumlah tangkai dan produksi gelondong di Kabupaten Jeneponto.

17WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016Tanaman Industri Lainnya

Page 18: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

Tabel 3. Pemisahan kelompok antar PIT jambu mete pada karakter .

KelompokKelompok

SubKelompok

sub-subNomor Aksesi Karakter yang memisahkan

I Produksi gelondong terendah 22,9 – 85,7 kg dan jumlah gelondong terendah 3.632 – 12.634

Sub 1 Prodksi gelondong tertinggi 44 – 85,7 kg dan jumlah gelondong tertinggi 5.500 – 12.634

Sub-sub 1 1, 2, 10, 50, 32, 38, 53, 3, 7, 8, 18, 39, 31, 6, 33, 12, 35, 14, 40

Jumlah gelondong terendah 5.500 – 11.462

Sub-sub 2 25 dan 48 Jumlah gelondong tertinggi 12.383 – 12.634

Sub 2 16, 43, 17, 23 dan 26 Produksi gelondong terendan 22 – 31.5 kg dan jumlah gelondong terendah 3.632 – 4.435

II Produksi gelodong tertinggi 75.6 -154.8 kg dan jumlah gelondong tertinggi 13.792 – 20.514 gelondong

Sub 1 Jumlah gelondong terendah 13.792 – 18.661

Sub-sub 1 4, 11, 46, 22, 29, 34, 5, 45, 21, 41, 51, 47, 9, 37, 24, 15, 42, 19, 20, 52, 49, 27,36.

Jumlah gelondong terendah 13.792 – 17.553

Sub-sub 2 13 dan 28 Jumlah gelondong tertinggi 18.612 – 18.661

Sub 2 30 dan 44 Jumlah gelondong tertinggi 19.741 – 20.514

PENUTUP

Tingkat keseragaman PIT jambu mete di lokasi BPT di Kab. Jeneponto mempunyai tingkat keseragaman yang tinggi berkisar antara 93,14 - 99,95 % terbagi menjadi dua kelopok besar yaitu kelompok I dan II. Kedua kelompok tersebut terbagi lagi menjadi dua sub kelompok dan sub-sub kelompok yang lebih kecil yang dipisah oleh karakter jumlah gelondong ter t inggi dan terendah. Jumlah gelondong tertinggi terdapat pada kelompok II terdiri atas 13.792 - 20.514 gelondong/pohon,

sedangkan jumlah gelondong terendah terdapat pada kelompok I berkisar antara 3.632 - 12.634 gelondong/pohon.

Pada karakter morfologi daun, buah dan gelondong tidak begitu bervariasi. Bentuk daun bulat telur (oval) dan lanset, bentuk pangkal daun runcing, bentuk ujung daun tumpul dan bulat dengan permukaan daun halus. Warna buah muda hijau sampai hijau keunguan, sedangkan warna buah tua merah. Bentuk gelondong seperti ginjal dengan ukuran dan bobot gelondong yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

A b d u l l a h , A . 1 9 9 4 . P a k e t t e k n o l o g i pengembangan jambu mete. Ditjenbun. Jakarta. 59 hal.

BPS Propinsi Sulawesi Selatan (2012). Potensi Produksi Jambu Mete di Sulawesi Selatan. Di akses di internet tgl 14 September 2015.

Ditjenbun, 2013. Petunjuk Teknis Penilaian dan Penetapan Blok Penghasil Tinggi (BPT) jambu mete. 36 hal.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Produksi Jambu mete Menurut Provinsi 2008-2012. www.deptan.go.id/infoeksekutif/bun/ BUN/Prodtv-jambuMete.pdf. Diakses tanggal 15 September 2015.

No. Aksesi

Lebar kanopi

Jumlah buah

Jumlah tangkai

Bobot gelondong

Prod. Gelondong/

phn (kg)

Jumlah gelodong/

phn (Butir)

Panjang gelondong

(mm)

Lebar gelondong

(mm)

Tebal Gel (mm)

JP 48 14 4 18.3 6 74.3 12.383 33.33 20.24 19.74

JP 49 15 5.6 15.7 5.6 95.7 17.089 32.69 19.71 17.96

JP 50 16 3.4 13.7 6.4 65.9 10.296 32.3 21.18 16.44

JP 51 15 4.6 16.3 6.6 96.1 14.560 32.14 20.92 16.17

JP 52 16 5 15.5 6.8 116.5 17.132 31.91 18.25 19.54

JP 53 12 4.5 19.3 7.3 78.8 10.794 30.34 19.81 17.73

Min 10 1.8 10.6 5 22.9 3.627 27.43 18.25 15.13

Max 16 9.6 21 10.3 154.8 20.513 35.3 27.88 21.79

Rata2 13.75 4.8 16.08 6.98 84.1 12.21 31.68 21.15 17.99

Tabel 2. Lanjutan

18 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016 Tanaman Industri Lainnya

Page 19: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

LABORATORIUM PENGUJIBALAI PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT

Nomor akreditasi LPK: LPN-256-IDN

Produk dari tanaman rempah dan obat tidak hanya diukur dari sisi

volume (kuantitas) saja, tetapi kandungan bahan aktif, nabati atau senyawa lain yang terkandung di dalamnya (kualitas) juga menentukan nilai suatu produk rempah dan obat. Keberadaan laboratorium penguji dan perangkat pendukungnya yang mampu melakukan analisa mutu sampel menjadi suatu keniscayaan. Laboratorium Penguji Balittro yang dikelola dengan menerapkan sistem ISO 17025, merupakan salah satu cara untuk menjamin mutu hasil analisis yang telah dilakukan, selain peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang ada.

Sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) tingkat nasional, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) da lam melaksanakan tugas dan fungsinya dilengkapi dengan kebun p e r c o b a a n , l a b o r a t o r i u m d a n peralatannya serta beberapa fasilitas pendukung lainnya.

D i B a l i t t r o t e r d a p a t e m p a t laboratorium yang dirancang untuk mengembangkan inovasi teknologi, khususnya teknologi yang berkaitan dengan aspek budidaya dan pasca panen primer tanaman rempah dan obat. Keempat laboratorium tersebut adalah Laborator ium Pemulia tanaman, Laboratorium Ekofisiologi Tanaman, Laboratorium Proteksi Tanaman dan Laboratorium Penguji Balittro, serta L a b o r a t o r i u m Te r p a d u . T i g a laboratorium yang pertama, dikelola oleh Kelompok Peneliti dari masing-masing disiplin ilmu, dengan tugas utama membantu peneliti terkait di masing-masing bidang kelompok peneliti (pemulia, ekofisiologi dan perlindungan tanaman). Laboratorium ke lima, yaitu Laboratorium Terpadu, merupakan usaha dari Badan Litbang P e r t a n i a n u n t u k m e n i n g k a t k a n kompetensi peneliti melalui kegiatan pene l i t i an yang mengarah pada molekuler. Laboratorium ini nantinya akan diarahkan menjadi bagian dari laboratorium penguji sehingga analisis, konfirmasi atau identifikasi suatu tanaman rempah dan obat atau penyakit t anaman khususnya v i rus dapat dilakukan sampai tingkat molekuler. Keberadaan Laboratorium terpadu juga diharapkan dapat memperluas wawasan bagi masyarakat untuk melakukan penelitian atau pengamatan hingga pada

tahap data yang lebih dalam.Dari lima laboratorium yang ada di

Balittro, Laboratorium Penguji Balittro merupakan laboratorium yang dirancang sebagai bentuk pelayanan publik yang d imanda tkan pada Kementer ian Pertanian. Laboratorium ini lebih banyak bertugas dalam melakukan analisis k a n d u n g a n b a h a n a k t i f d a r i sampel/contoh yang dikirim oleh pelanggan dari luar maupun dari dalam Balittro (sampel hasil penelitian), khususnya sampel yang berasal dari tanaman rempah dan obat, serta tanaman penghasil minyak atsiri dan juga tanaman lainnya yang mempunyai karakteristik serupa dengan tanaman r e m p a h d a n o b a t . S e l a i n i t u , Laboratorium Penguji Balittro juga melakukan analisis unsur hara makro dan mikro dari sampel tanah, tanamana dan pupuk. Ruang lingkup yang menjadi fokus peningkatan kompetensi adalah yang terkait dengan analisis kandungan bahan aktif tanaman rempah, sebagai bentuk pelaksanaan mandat yang diberikan pada Bali t t ro, dimana Laboratorium Penguji ini berada.

Agar pelayanan yang diberikan pada masyarakat luas dapat terlaksana dengan baik dan juga peningkatannya d a p a t t e r s u s u n d e n g a n j e l a s . Laboratorium Penguji menerapkan sistem pengelolaan yang transparan dan akuntable, agar proses yang berlangsung dalam penanganan atau analisis dapat terjamin dari sisi mutu hasil (data hasil analisis).

Labora tor ium Penguj i t e lah mene rapkan s i s t em mana j emen laboratorium SNI/IEC 17025:2008 sejak 2005, dan telah terakreditasi untuk 90 ruang lingkupnya, serta telah melakukan reakreditasi sebanyak dua kali. Reakreditasi terakhir yang telah dilakukan adalah 12 Oktober 2015 oleh tim dari KAN (Komite Akreditasi Nasional) sebagai bagian dari perbaikan sistem manajemen dan mutu yang sudah ada. Kegiatan audit internal dan kaji ulang manajemen dilakukan setiap tahun, demikian juga dengan kalibrasi, validasi, uji kompetensi dan beberapa kegiatan lainnya yang dianggap perlu u n t u k m e n i n g k a t k a n h a s i l u j i laboratorium juga telah dilakukan secara terjadwal.

Sebagai bagian dari pelayanan publik yang bersifat jasa, Laboratorium Penguji menerima kunjungan dari beberapa instansi, sekolah maupun

perguruan tinggi, dan juga menerima siswa praktek kerja lapang dari sekolah kejuruan dan diploma khususnya dalam b idang k imia . Sebaga i l ayanan tambahan, Laboratorium Penguji juga memberikan pelayanan konsultasi bagi p e l a n g g a n ( c u s t o m e r ) t e r k a i t sampel/contoh dan jenis parameter yang akan diujikan serta data hasil pengujian; yang biasanya dilakukan oleh manajer teknis sesuai dengan ruang lingkup pengujian. Data yang diperoleh pada tahun 2015, pelanggan Laboratorium Penguji Balittro terdiri dari berbagai kalangan, dan ± 72% pelanggannya adalah mahasiswa/i (Gambar 1).

Analisis dan metode rujukan yang dapat dilakukan di Laboratorium Penguji Balittro sebagian besar mengikuti SNI yang ada (Tabel 1). Untuk beberapa metode analisis yang belum tersedia di dalam SNI, rujukan metode diambil dari pustaka yang ada setelah melalui uji validasi. Untuk mendukung pelaksanaan analisis, beberapa instrumen dasar telah dimiliki oleh Laboratorium Penguji Balittro, dan telah dikalibrasi secara b e r k a l a s e s u a i d e n g a n S t a n d a r Operasional Prosedur yang diberlakukan (Gambar 2).

M Sukmasari, SE Nurlaelah, M Wijayanti & D WahyunoBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

E-mail : [email protected]

19WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan ObatProfil Vol. 33, No. 65, Juni 2016

Gambar 2. Sebagian instrumen di Laboratorium Penguji Balittro. (A) AAS, (B) TLC Scanner, (C) Microwave digester & fume hood, dan (D) Gas Chromatografi.

Gambar 1. Komposisi pelanggan di Laboratorium Penguji Balittro pada 2015.

Page 20: PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGI DAN SENYAWA ...balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/...membandingkan karakter fisiologi dan senyawa sekunder biji tanaman jintan hitam

No Analisis Metode Rujukan

Analisis minyak atsiri

1 Berat jenis SNI 06-2385-2006

2 Indeks bias SNI 06-2385-2006

3 Kelarutan dalam alkohol SNI 06-2385-2006

4 Putaran optik SNI 06-2385-2006

Analisis minyak nilam

5 Bilangan asam SNI 06-2385-2006

6 Bilangan ester SNI 06-2385-2006

7 Kadar Patchouly Alcohol SNI 06-2385-2006

Analisis minyak serai wangi

8 Kadar total geraniol SNI 06-3953-1995

9 Kadar sitronellal SNI 06-3953-1995

Analisis minyak akar wangi

10 Bilangan ester SNI 06-2385-2006

11 Bilangan ester setelah asetilasi SNI 06-2386-2006

12 Kadar vetiverol SNI 06-2386-2006

Analisis minyak cendana

13 Bilangan esam SNI 06-2385-2006

14 Bilangan ester SNI 06-2385-2006

15 Bilangan ester setelah asetilasi SNI 06-2386-2006

16 Kadar santalol SNI 06-0009-1987

Analisis minyak pala

17 Sisa penguapan SNI 06-2388-2006

18 Kadar miristisin SNI 06-2388-2006

Analisis minyak kenanga

19 Sisa penyulingan uap SNI 06-3949-1995

20 Bilangan ester SNI 06-3949-1995

Analisis minyak daun cengkeh

21 Kadar total eugenol SNI 06-2387-2006

22 Beta caryophillene SNI 06-2387-2006

Analisis minyak kayu putih

23 Kadar sineol SNI 06-3954-1995

24 Bilangan penyabunan IK 5.4.01.8

25 Kadar sitral EOA 1970

26 Kadar sinnamal aldehid SNI 06-3953-1995,

27 Kadar massoi lakton ISO 1970

28 Analisis bahan asing SNI 06-3954-1995

Analisis rempah

29 Bau dan rasa SNI 01-3709-1995

30 Kadar air SNI 01-3709-1995

31 Kadar abu SNI 01-3709-1995

32 Kadar abu tak larut dalam asam SNI 01-3709-1995

33 Kadar minyak atsiri SNI 01-0005-1995

Analisis lada

34 Piperin SNI 01-0005-1995

Analisis vanili

35 Vanilin SNI 01-0010-2002

Analisis tanaman obat

36 Kadar air Gravimetri (Oven)

37 Kadar sari dalam air MMI Jilid VI 1995

38 Kadar sari dalam alkohol MMI Jilid VI 1995

39 Kadar abu SNI 01-3709-1995

40 Kadar abu tak larut asam SNI 01-3709-1995

41 Kadar kurkumin AOAC Methods 20.036

42 Fitokimia MMI jilid VI 1995

43 Kadar tanin MMI Jilid VI 1995

Analisis jahe

44 Kadar serat SNI 01-2891-1992

No Analisis Metode Rujukan

45 Kadar karbohidrat sebagai pati atau sakar-sakar lain

SNI 01-2891-1992

46 Kadar gingerol IK 5.4.01.68

47 Kadar Lemak SNI 01-2891-1992

Analisis temulawak

48 Kadar serat SNI 01-2891-1992

49 Kadar karbohidrat sebagai pati atau sakar-sakar lain

SNI 01-2891-1992

50 Kadar lemak SNI 01-2891-1992

51 Kadar xanthorizol IK 5.4.01.68.1

Analisis tanaman atsiri

52 Kadar air SNI 01-3709-1995

53 Kadar minyak atsiri SNI 01-0005-1995

54 Kadar gula SNI 04-3709-1995

55 Bahan tidak menguap (NVEE)

56 Pencemaran atau kerusakan SNI 01-0010-1990

Analisis tanah

57 Kadar air Gravimetri (oven)

58 Kadar nitrogen total Kjeldahl

59 Kadar C organik Walkley and Black

60 Kadar fosfat (P O ) 2 5 Olsen, Bray I

61 Kadar K, Na, Ca, Mg AAS (larutan ammonium acetat (pH 7,0))

62 Kadar Cu, Zn, Pb, Fe, Co, Cd, dan Mn AAS

63 Tekstur 3 fraksi (pasir, debu, liat) (%) Hidrometer

64 Kemasaman/pH Method of soil chemical analysis

65 Kapasitas tukar kation (KTK) Titrasi

66 Kadar H+ dan Al-dd Titrasi-pengesktrak KCl larutan pengekstrak ; Am acetat

67 Kejenuhan basa Method of soil chemical analysis

Analisis jaringan tanaman

68 Persiapan contoh tanaman IK 5.4.01.46a

69 Kadar air Gravimetri (Oven)

70 Desktruksi basah Digestor

71 Kadar nitrogen total Kjeldahl

72 Kadar Fosfat (P) Spektrofotometri

73 Kadar Na, K, Ca, dan Mg AAS

74 Kadar Cu, Zn, Fe, Mn AAS

75 Kadar Pb, Cd, Co AAS

76 S (belerang) Spektrofotometri

77 Klorofil Spektrofotometri

Analisis pupuk

78 C organik Spektrofotometri

79 Persiapan contoh pupuk organik dan anorganik

80 Nitrogen Titrimetri

81 P O dan K O Total 2 5 2 Spektrofotometri UV/VIS, AAS

82 Belerang Spektrofotometri

83 Fe AAS

84 Ca, Mg AAS

85 Pb, Cd dan Co AAS

86 Kadar Air Gravimetri

Analisis pupuk organik

87 pH pH metri

Analisis benih tanaman rempah

88 Kadar Air Gravimetri

Analisis benih tanaman atsiri

89 Kadar Air Gravimetri

Analisis Kapang

90 Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium Kualitatif

Keterangan: AAS = Atomic Absorption Spectrophotometer, AOAC= the Association of Analitycal Communities, EOA = Essential Oil Association, IK = Instruksi kerja, ISO = International Organization for Standardization, MMI = Materia Medika Indonesia, SNI = Standar Nasional Indonesia,

Tabel 1. Jenis analisis dan metode rujukan yang digunakan di Lab Penguji Balittro

20 WartaBalittroInovasi Tanaman Rempah dan Obat Vol. 33, No. 65, Juni 2016 Profil

PENUTUP

Laboratorium penguji menyadari keterbatasan yang ada, oleh karena itu peningkatan kompetensi SDM dan peralatan yang ada selalu menjadi target perbaikan manajemen dari waktu ke waktu.

Peningkatan kompetensi SDM dilakukan dengan mengikutsertakan jajaran manajemen maupun teknis pada

pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN), seperti pelatihan pemahaman SNI 17025, pelat ihan audi t internal , pelatihan validasi metode, pelatihan ket idakpas t ian pengukuran, dan pelatihan lainnya yang diperlukan.

S e d a n g k a n u n t u k m e n j a g a peralatan agar tetap dalam kondisi baik m a k a d i l a k u k a n p e r a w a t a n alat/instrumen secara berkala baik oleh

operator alat (analis) maupun pihak sup l ie r a la t . Ker jasama dengan laboratorium penguji lainnya yang mempunyai ruang lingkup pengujian yang sama menjadi suatu keharusan; selain melakukan komunikasi dengan koordinator laboratorium di tingkat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan).