perubahan iain menjadi uin
TRANSCRIPT
TELAAH ATAS PERUBAHAN IAIN MENJADI UINAnalisis Politik Terhadap Pengembangan PTAIS
Oleh: Akmaluddin(Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau)
A. Pendahuluan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa
mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi
baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan
internasional, seperti dirumuskan dalam Deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi
pada 1998.
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin
menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis
ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan
mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga
tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam
menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki
daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.
Pengembangan IAIN, dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks
perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan
paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan IAIN sekaligus
pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik
nasional dan global.
Tulisan ini mencoba mengkaji perubahan-perubahan yang dapat ditempuh IAIN
dalam perspektif paradigma baru Perguruan Tinggi yang telah dirumuskan baik pada
tingkat pendidikan nasional maupun internasional. Tulisan ini juga berusaha
menawarkan sejumlah peluang dan alternatif yang dapat ditempuh IAIN—bukan
hanya untuk survive, tetapi lebih-lebih lagi untuk mengembangkan dirinya menjadi
Perguruan Tinggi yang dapat memberikan competitive advantage kepada
mahasiswanya.
B. Pembahasan
1. Paradigma Baru Perguruan Tinggi
Tidak perlu diuraikan secara rinci maka konsep “paradigma baru” bagi Perguruan
Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Paradigma baru itu, mau tidak mau,
melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka,
transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat
melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan
pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan
bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih
luas.
Paradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesiamenjadi
kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari
pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada
tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi, IAIN sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan
yang berkembang dari waktu ke waktu itu.
Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang
menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi,
bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna Amijaya.1
Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia
mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya.
1 D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976)
Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan daya tampung; ketiga
keterbatasan kemampuan berkembang; keempat, kepincangan di antara berbagai
Perguruan Tinggi; dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang
ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini,
Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas
Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan
kepada masyarakat; keempat peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima,
peningkatan kemampuan berkembang.2
Harus diakui, program di atas tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai
kendala, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi itu sendiri dan kebijakan
pendidikan nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku. Sebab itu, sebuah
konsep program pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, 1986-1995, yang
sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwihardjo.3
Beberapa konsep program besar kembali dirumuskan, yakni, pertama,
peningkatan kualitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga,
peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagian besar berdasarkan konsep-konsep ini selanjutnya dirumuskan sebuah
“paradigma baru” Perguruan Tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka
Panjang Ketiga (1996-2005). Paradigma baru ini mencakup antara lain: peningkatan
kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas
manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi
merupakan komponen-komponen terpenting.4
2 Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985)
3 Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005 (Jakarta: Dikti, 1996)
4 Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005 (Jakarta: Dikti, 1996).
Demikian, dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami
perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah.
Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang
menetapkan segala ketentuan secara rinci; atau mengontrol secara terpusat seluruh
gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah
memberikan kerangka dasar; memberikan insentif agar sumber daya manusia dan
keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan
Tinggi; dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
2. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN
Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban
yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.
Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni
satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status
IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan
yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian
Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu
tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal.
Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN)
mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu
umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu
keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan
sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang
melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan
eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum.
Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk
melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang
keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam.
Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah
lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum,
Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu
filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan
menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah
berubah menjadi UIN.5
Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal
sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN
Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari
pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan
disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin
keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab
kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang
tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi,
Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah
bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan
fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang
dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun
jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi
Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain.
Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek
5 www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125
Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal
yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan
gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN
harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang
telah lama berkembang.
Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika
IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang
berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan
Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan
Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan
Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang.
UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan
Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam
sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan
banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran
UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini
masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara
akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan
kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan
terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi
yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai
dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca;
mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri.
Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan
antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam
ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu
mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan
hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan
dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di
bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman.
Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-
Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang
diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi
mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam
rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain
materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada
ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi,
lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang
ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga
harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli,
riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar
berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah
berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda
dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu
sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama
dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus
mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat.
3. Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa
ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib
fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah
menjadi “Universitas”? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang
disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum
dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan?
Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi
pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola
pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan
kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul,6 Pertama, yang harus digaris
bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat
Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai
berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai
institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program
non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka
sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas
utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-
nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan,
jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta
mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus
penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang
adapada universitas.
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah,
Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara,
dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang,
6 http://tri-pdm.blogspot.com/
masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat,
dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadai. Usaha untuk
mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang
baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan
termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan
dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar
metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan
penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini,
sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.
Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami
perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang
diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum
yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003
dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat
interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal
11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh
pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa
untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas
agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan
humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-
fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah,
Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora.
Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi
berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.
Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas
keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya
menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya
menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi.
Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN
sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun
Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial
maupun humaniora.
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut.
Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai
terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi,
meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat.
Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga
lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang
lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.
4. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan
menjadi UIN
a. Idealisme UIN Malang ke Depan7
Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang
bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata,
melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus.
Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak
pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika
UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam
7 Ibid.,
pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk
manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh
(kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan
aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih
sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah
dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan
tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:
1. Tenaga dosen, yakni dosen yang memiliki, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar
belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas
produktivitasnya.M
2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya
bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara
berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan
spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal
dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan
spiritual,maupun intelektual.
3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di
sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya
adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat
malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu
sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan
manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.
4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang
unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.
5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab
suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu
pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui
observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.
6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi,
dan lain-lain.
7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi
Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam
melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip
bangunan akhlakul karimah.
8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan
untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon
pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya
dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya
dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan
calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga
dan seni.
9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi
Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak
mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan
imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas
serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
b. UIN Sunan Gunung Jati Bandung
Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat
diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan
penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan
keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih
mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang
bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para
ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam
pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud
sebagai ajaran agama.
Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama.
UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam
tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam
bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung.
Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah
kajian masing-masing.
Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora
sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada
porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang
esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu
kendaraan yang bergerak dinamis.
Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada
masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi,
teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul.
Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak
statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan
pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan
selalu menampilkan identitas keislamannya.
Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir
tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang
mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-
ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya
program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab,
tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian,
MIPA, Psikologi, dan sebagainya.