perspektif hutan ulayat dalam budaya …puspijak.org/uploads/info/hutan ulayatv7n4.pdf · karena...
TRANSCRIPT
1
PERSPEKTIF HUTAN ULAYAT DALAM BUDAYA MINANGKABAU (Studi Kasus di Jorong Koto Malintang, Kabupaten Agam)
Oleh/by : Yanto Rochmayanto, Tateng Sasmita & Syasri Jannetta1
RINGKASAN
Hambatan utama pengembangan hutan ulayat terletak pada dimensi hukum dan
ekonomi. Meski secara hukum keberadaannya diakui, tapi mekanismenya kurang berjalan
karena dualisme pengertian dan tumpang tindihnya peraturan. Selain itu, manfaat ekonomi
hasil hutan bukan kayu belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat, karena yang
ditekankan selama ini adalah manfaat lindung dan koservasi. Namun demikian, hutan ulayat
sangat potensial secara sosial budaya sebagai asset bangsa dalam menyediakan alternatif model
pengelolaan sumber daya hutan. Oleh karena itu, penelitian mengenai hutan ulayat dalam
pandangan sosial budaya diperlukan untuk menjawab kendala pengembangan di atas.
Hasil penelitian di Nagari Duo Koto Kabupaten Agam, menunjukkan bahwa hutan
ulayat dalam pandangan Minangkabau telah diatur secara lengkap, yang meliputi : stasus tanah,
fungsi ulayat, sifat hak, mekanisme pengelolaan, manajemen produksi, sanksi dan
kelembagaan. Komposisi dan struktur hutan ulayat tidak homogen, dan merupakan hasil
kriteria sejarah dan ekonomi. Kayu manis adalah komoditi yang tercatat di BPS Propinsi
Sumatera Barat yang memiliki kapasitas ekspor cukup tinggi dengan volume ekspor 12.755
ton, dan nilai ekspor 6.408.000 US $ pada tahun 2003, sehingga dapat menjadi unggulan bagi
pengembangan HHBK di hutan ulayat.
Kata kunci : Hutan ulayat, sosial budaya, hasil hutan bukan kayu.
1 Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu
2
I. PENDAHULUAN
Salah satu faktor dalam pencapaian SFM (Sustainable Forest Management) adalah
dicapainya social equity (kesejahteraan masyarakat). Tolok ukurnya adalah kehidupan
masyarakat adat tidak terganggu dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pola hidup
tradisional masih boleh dipertahankan dimana hutan yang menjadi andalan hidupnya tidak
terancam akibat pembalakan dan ada peluang untuk mengembangkan diri dalam manajemen
sumber daya hutan (Iskandar, 1999).
Hutan adat atau yang seringkali disebut hutan ulayat merupakan hutan yang dikuasai
oleh masyarakat hukum adat. Bentuk hutan ini umumnya berasal dari hutan alam yang sudah
secara turun-temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi dan budaya
yang sifatnya kolektif. Peraturan pengelolaan dan pemanfaatannya dibuat dan ditetapkan oleh
hukum-hukum adat (Awang, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa elemen-elemen fundamental pengelolaan sumber daya
hutan di Indonesia adalah pengelolaan yang berbasis kepada komunitas masyarakat adat
setempat. Mereka menggunakan dan menjaga hutan sebagai tumpuan dalam penyediaan
kebutuhan yang berkesinambungan. Bahkan sebagian besar kelompok mereka memanipulasi
hutan secara intensif dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan lahan (Handoyo, 2003).
Sistem ini seharusnya dianggap sebagai aset nasional yang penting dalam sebuah
manajemen sumber daya hutan yang terus dilestarikan dan dikembangkan. Dalam sistem adat,
sumber daya hutan dan lahan dapat mempunyai fungsi privat yang tinggi sekaligus juga
memiliki dampak makin tingginya fungsi publik yang diemban. Banyak literatur yang mencatat
bukti bahwa sistem adat dapat bertahan hidup beserta nilai-nilai luhurnya hingga saat ini.
3
Handoyo (2003) mengutarakan hal-hal positif yang diperoleh dengan hak-hak
pengelolaan mandiri masyarakat adat setempat adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai sosial dan budaya yang luhur dalam pengelolaan sumber daya oleh masyarakat
adat setempat dapat menjadi etalase moral sumber pembelajaran bagi masyarakat umum
maupun pelaku kehutanan. Kearifan mereka dapat dijadikan sumber literatur dalam
pengembangan model pengelolaan ekosistem yang suitable dalam suatu unit regional yang
terkait dengan agroklimat yang berbeda-beda (local site spesific).
2. Lingkungan home base dari kelompok-kelompok masyarakat adat yang tersebar di seluruh
tanah air akan kembali daya dukungnya dan terbentuknya self defence dari sumber daya
hutan karena adanya rasa memiliki yang tinggi dari masyarakat adat setempat sehingga
sumber daya tersebut dapat terselamatkan dari interest eksploitasi dari luar.
3. Penghematan anggaran penyelenggara pemerintah dalam belanjanya yang dialokasikan
untuk usaha-usaha konservasi dan pengamanan hutan khususnya untuk daerah-daerah
penyangga kehidupan yang memang masuk dalam home base masyarakat adat setempat.
Meski keberhasilan pengelolaan hutan masyarakat adat yang didukung pengetahuan
kearifan budayanya tak terbantah, namun ternyata masih dirasakan sejumlah kendala untuk
mengangkat sistem ini menjadi sistem pengelolaan hutan yang me-nasional dan bisa
diaplikasikan kedalam manajemen hutan Indonesia.
Berdasarkan studi dari sejumlah literatur (Awang, 2003; Handoyo, 2003; Nugraha,
2000) dan penelitian pendahuluan di lapangan dijumpai beberapa masalah dalam pengelolaan
hutan ulayat, yaitu :
1. Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat dan hutan ulayat dalam bentuknya yang riil
dari pemerintah masih lemah. Selama ini diakui banyak pihak, memang sulit menerapkan
4
hak ulayat. Di satu sisi meski secara hukum keberadaannya diakui, namun dalam kenyataan
mekanismenya kurang berjalan karena dualisme pengertian dan pengakuan serta tumpang
tindihnya undang-undang yang mengaturnya. Aspek hukum dan kebijakan belum
memberikan kekuatan formal bagi masyarakat adat dan hutan ulayat untuk melakukan
pengembangan¸ bahkan untuk pertahanan diri. Status kepemilikan lahan seringkali
tumpang tindih dan banyak versi.
2. Dilihat dari aspek capital investment, dikhawatirkan pengelolaan hutan adat akan
mengalami bias neoliberalisme, semua aspek ekonomi sumberdaya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Dengan demikian hutan ulayat menjadi demikian terbuka terhadap
kapitalisme yang memberi peluang baru bagi kehancuran ekonomi rakyat desa hutan.
3. Dalam skala industri dewasa ini, tampaknya hutan ulayat memerlukan upaya peningkatan
kualitas atas kondisi manajemen produk, sumber daya manusia serta struktur permodalan.
Manfaat ekonomi dari hasil hutan bukan kayu belum dirasakan secara optimal oleh
masyarakat, karena selama ini yang ditekankan adalah manfaat lindung dan koservasi.
Sebenarnya pengelolaan sumber daya hutan yang lestari dan mengarah pada
diversifikasi produk telah menjadi kerangka pengelolaan dalam nilai-nilai luhur masyarakat
adat. Oleh karena itu identifikasi masyarakat adat dan hutan ulayat yang mengandung nilai-
nilai luhur tradisional perlu dilakukan, yang kemudian dimasukkan sebagai aset bangsa yang
penting dan berhaga serta dapat digunakan sebagai model atau pendekatan model pengelolaan
sumber daya hutan dan hasil hutan bukan kayu.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran hutan ulayat menurut perspektif
budaya Melayu Minangkabau, yang dalam hal ini mengambil studi kasus di Hutan Ulayat
5
Jorong Koto Malintang, Kabupaten Agam, dari beberapa dimensi yaitu : (1) dimensi hukum
dan sosial budaya, (2) dimensi biofisik dan silvikultur, dan (3) dimensi ekonomi.
Adapun sasaran penelitian ini adalah memberikan bukti empiris sebuah model
pengelolaan hutan yang berbasis kepada masyarakat tempatan.
Ruang lingkup penelitian ini meliputi dimensi hukum dan sosial budaya, dimensi
biofisik dan silvikultur, serta dimensi ekonomi. Dimensi hukum dan sosial budaya menyangkut
aspek hukum dan perundang-undangan, kelembagaan, serta kebijakan pemerintah daerah yang
berkenaan dengan hutan dan kehutanan masyarakat. Dalam penelitian pada dimensi sosial
budaya ini, diarahkan pada 2 faktor yaitu faktor kekuatan dari dalam masyarakat adat itu
sendiri (antara lain karakteristik wilayah, hukum dan budaya) dan kekuatan hukum positif yang
mendasarinya.
Dimensi biofisik dan silvikultur berkaitan dengan potensi tanah, iklim, topografi dan
vegetasi dari jenis-jenis tumbuhan penghasi bukan kayu andalan setempat. Sedangkan dimensi
ekonomi melihat secara kualitatif manfaat tangible dan intagible dari hasil hutan bukan kayu
yang terdistribusi kepada masyarakat dan stakeholder yang terlibat, potensi pasar, pasar
potensial dan struktur pasar yang tersedia.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Studi ini dilakukan pada hutan ulayat yang secara administratif terletak di Jorong Koto
Malintang, Nagari Duo Koto, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
(peta terlampir). Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2004.
6
Lokasi penelitian ditetapkan secara terarah (purposif sampling) berdasarkan survey
pendahuluan hutan ulayat yang lestari di Agam.
Kabupaten Agam termasuk pada wilayah kebudayaan dan tata hukum melayu
Minangkabau. Karakteristik hukum dan budaya Minangkabau ini sangat melekat kuat pada
tatanan kehidupan masyarakat termasuk pada sistem pemerintahan. Karakter tersebut dikuatan
dengan Perda Propinsi Sumatera Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok
Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat yang mengembalikan pola pemerintahan desa menjadi
pemerintahan nagari yang berlatar adat Minangkabau. Tata pemerintahan nagari mengatur
segala aspek kehidupan bermasyarakat, tata pewilayahan, tenurial dan pengelolaan sumber
daya alamnya.
Nagari Duo Koto berada pada bibir Danau Maninjau dalam jalur lintas Lubuk Basung –
Bukit Tinggi. Bagian belakang nagari berhadapan langsung dengan bukit sehingga secara tata
ruang berurut sebagai berikut : danau (berfungsi sebagai pemasok air bagi nagari, pesawahan,
rekreasi, mata pencaharian keramba), jalan lintas, pesawahan, pemukiman, kebun, dan hutan.
Ketinggian tempat berada pada kisaran 425 m.dpl dengan rata-rata curah hujan 150
mm/tahun dan suhu rata-rata 25-27oC. Jorong Koto Malintang memiliki luas wilayah ± 1800 ha
dengan perincian : pemukiman 60,25 ha, sarana umum 9,6 ha, sawah 174 ha, ladang 529,5 ha,
hutan adat 327,05 ha, hutan warga 149 ha, hutan primer 178 ha.
Terdapat beberapa sarana penunjang ekonomi masyarakat yaitu : pasar untuk komoditas
pertanian, prasarana jalan antar desa/kecamatan/kabupaten, sarana angkutan, dan sarana
teknologi pengolahan hasil pertanian.
Sebagaimana kondisi di pedesaan lainnya, masyarakat Nagari Duo Koto didominasi
oleh penduduk dengan mata pencaharian sebagai petani dengan tingkat pendidikan mayoritas
7
SLTP (Tabel 1). Memelihara ternak merupakan kegiatan sampingan guna menambah aset
keluarga bila suatu saat diperlukan mendesak untuk biaya pendidikan anak atau biaya tak
terduga lainnya.
Tabel 1. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan (Table 1. Composition of people based education level and occupation)
Tingkat Pendidikan (Education Level)
Jenis Pekerjaan (Occupation)
Uraian (Naration) Jumlah (Total) Uraian (Naration) Jumlah (Total)
Buta aksara 0 Petani, buruh tani 250
Tidak tamat SD/sederajat 172 Pedagang 41
Tamat SD/sederajat 97 Guru 46
Tamat SLTP/sederajat 296 PNS lainnya 7
Tamat SLTA/sederajat 173 BUMD 26
Tamat Akademi/sederajat 0 Pens. PNS, ABRI 58
Tamat PT./sederajat 3 Jasa 104
Sumber : Monografi Nagari Duo Koto (2004) (Source : Villages Monografy of Duo Koto, 2004)
B. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan petani dan tokoh adat serta tokoh pemerintahan
setempat, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait diantaranya :
Kantor Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten.
C. Analisa Data
8
Analisis penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif sebagai studi
kasus mikroetnografi (Bungin, 2003), yakni studi kasus terhadap sebuah unit sosial terkecil
mengenai sisi tertentu dalam kehidupan komunitas sosial, yaitu aspek pengelolaan sumber daya
hutannya.
Analisis dimensi hukum dilakukan melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dimensi sosial budaya yang meliputi kelembagaan, demografi,
karakteristik wilayah dan adat istiadat, menggunakan pendekatan RRA (Rapid Rural
Appraisal), dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur dalam kegiatan wawancara.
Analisis biofisik dan silvikultur dilakukan dalam kegiatan observasi lapang dan analisis
data sekunder mengenai : komposisi tegakan, sistem penanaman, sistem pemanenan, dan
efektivitas pengelolaan. Sedangkan dimensi ekonomi dianalisa dengan pendekatan survey pasar
dan tata niaga produk yang dihasilkan dari hutan ulayat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DIMENSI HUKUM DAN SOSIAL BUDAYA
1. Hak Ulayat dalam Perundang-undangan Nasional
Untuk mengetahu bagaimana aspek legalitas dari suatu hak ulayat terhadap tanah atau
hutan dapat ditelusuri melalui peraturan perundangan yang ada di Indonesia, dan menurut
hirarkinya dimulai dari UUD 1945.
a. UUD 1945 pasal 33 ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
b. UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
9
• Pasal 2 ayat (1) : bahwa bumi dan air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
• Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan perundang-undangan lainnya.
• Pasal 3 : hak ulayat dan hak serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, diakui keberadaanya.
c. UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
• Pasal 5 ayat (3) : pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
• Pasal 67 ayat (1) : masyarakat hukum adat berhak : (a) melakukan pemungutan hasil
hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan (c) mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
• Pasal 67 ayat (2) : pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
• Pasal 67 ayat (3) : ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
• Penjelasan pasal 67 ayat (1) : bahwa masyarakaat hukum adat diakui keberadaanya
jika menurut keadaannya memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : (a) masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap), (b) ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasaan adatnya, (c) ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada
pranata dan perangkat hukum (khususnya peeradilan aadat) yang ditaati, (e) masih
melakukan pemungutan hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari.
10
d. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN no. 5 tahun 1999 :
Hak ulayat dan masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
1) Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terlibat oleh tatanan adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuaaan hokum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
3) Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga kesekutuan hukum tersebut..
e. UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Pasal 11 ayat (2) : bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
2. Hak Ulayat dalam Pandangan Pemerintah Daerah
a. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat no. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok
Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.
• Pasal 3 : Wilayah nagari meliputi kesatuan wilayah hukum adat dengan batas-batas
tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun.
• Pasal 7 : Harta kekayaan nagari meliputi :(a) pasar nagari, (b) tanah lapang atau
tempat rekreasi nagari, (c) balai, masjid dan atau surau nagari, (d) tanah, hutan,
batang air, tebat, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari, (e) bangunan yang
dibuat oleh penduduk atau perantau untuk kepentingan umum, dan (f) harta benda dan
kekayaan lainnya.
• Pasal 10 : pedoman pengelolaan dan pemanfaatan ulayat nagari sebagaimana
tercantum pada pasal 7 huruf d diatur tersendiri dengan Peraturan Daerah Propinsi.
11
• Pasal 11 : harta kekayaan nagari yang dikelola oleh pemerintah, Pemerintah Propinsi
dan atau Pemerintah Kabupaten diatur kembali pemanfaatannya dengan
memperhatikan kepentingan nagari.
b. Peraturan Daerah Kabupaten Agam no. 31 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.
• Pasal 1 : nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Kabupaten Agam, yang
terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan
batas-batas tertentu, dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurusi
rumah tangganya dan memilih pemimpin pemerintahannya.
• Pasal 61 : Harta kekayaan nagari meliputi sebagaimana dimaksud pada pasal 60 ayat
(1) huruf a terdiri dari :(a) pasar nagari, (b) tanah lapang atau tempat rekreasi nagari,
(c) labuan, tapian, balai, mesjid, dan atau surau nagari, (c) tanah, hutan, batang air,
tabek, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari, (d) bangunan yang dibuat oleh
penduduk/perantau untuk kepentingan umum, (e) semua harta kekayaan yang berasal
dari desa, beralih menjadi harta kekayaan nagari, dan (f) harta benda dan kekayaan
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hak ulayat dalam
hukum positif telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan
propinsi. Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) telah menyiapkan landasan hukum untuk
mengakomodir perihal hutan ulayat ini termasuk tata cara pengakuan hutan yang dikenai hak
ulayat.
Hanya saja, walaupun secara sosial budaya telah kuat dan dikukuhkan oleh pemerintah
daerah, serta terbukti dalam kenyataanya masyarakat adat dan hutan ulayat masih ada dan
diakui keberadaannya, sampai dengan saat ini pemerintah pusat belum satupun melakukan
penetapan status hutan ulayat sebagaimana yang disebutkan dalam UU no. 41 tahun 1999 di
atas.
12
Guna menetapkan status kawasan hutan ulayat secara selektif kepada kelompok hutan
yang telah memenuhi persyaratan sosial, ekonomi dan budaya, diperlukan political will yang
kuat dari pemerintah. Tetapi, untuk menjamin proses penunjukkan dan penetapan kawasan
hutan ulayat yang selektif dan objektif, hendaknya terlebih dahulu disusun kriteria dan
indikator yang memadai meliputi : aspek property right (status kepemilikan lahan), aspek
ekonomi (status kontribusi hasil hutan bagi rumah tangga dan masyarakat tempatan), aspek
ekologi (status perlindungan hutan terhadap landskap daerah sekitarnya), dan aspek sosial
budaya (status kelembagaan dan kesinambungan adat setempat terhadap lahan dan hutan).
3. Hutan Ulayat dalam Pandangan Minangkabau
a. Status Tanah, Fungsi dan Sifat Hak
Status tanah ulayat ditentukan berdasarkan luas dan jarak hubungan kekerabatan,
terdiri dari 6 bentuk. Keenam bentuk tersebut disebut dalam bahasa Melayu Minang adalah :
1) Ulayat Rajo (penguasaan oleh penghulu beberapa nagari, jauh dari kampung berupa hutan,
bukit, gunung, padang belukar, rawang paya, sungai danau, laut telaga), 2) Ulayat Nagari
(dikuasai oleh seluruh suku/penghulu-penghulu yang terdapat dalam nagari), 3) Ulayat Suku
(dikuasai oleh semua anggota suku secara turun temurun di bawah penguasaan penghulu
pucuk / adat kelarasan Koto Piliang atau Penghulu Andiko / adat kelarasan Bodi Chaniago,
4) Ulayat Kaum (dikuasai oleh suatu kaum secara turun temurun di bawah penguasaan
penghulu atau datuk dari suatu kaum), 5) Ulayat Paruik (dikuasai oleh suatu paruik, berasal
dari ulayat kaum atau dari harta pencaharian yang telah melalui pewarisan tetapi belum
berstatus sebagai harta pusaka tinggi), dan 6) Ulayat Keluarga Inti (dikuasai oleh satu
keluarga yang berasal dari ulayat paruik atau dari harta pencaharian).
13
Ulayat memiliki 2 fungsi utama, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai
social asset, ulayat merupakan media pengikat untuk anggota kerabat yang berada pada
wilayah teritorial tertentu dan menjaga hubungan dengan pihak luar dari kerabat matrilineal
tersebut. Sebagai capital asset, ulayat adalah faktor ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan
anggota kerabat matrilineal.
Secara yuridis hak-hak penguasaan tanah ulayat bersifat perdata dan publik. Bersifat
perdata berarti berupa hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan atas tanah. Bersifat publik berarti yang mengatur peruntukkan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayat tidak selalu dapat dilaksanakan bersama-sama oleh para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tetapi dilimpahkan kewenangannya kepada ketua
lembaga adat.
b. Fungsi dan Macam Hutan
Fungsi hutan berdasarkan versi kearifan tradisional dapat disebutkan sebagai : tempat
berladang dan berkebun, tempat mengambil kayu perumahan, tempat berdiam mahluk halus,
tempat tinggal binatang, tempat mengambil buah, tempat menyimpan air yang jernih, dan
tempat segala benda.
Adapun macam hutan di Minangkabau sesuai fungsi dan artinya terdiri dari : rimbo tuo
(untuk mengambil manau, gaharu dan damar), rimbo besar (tempat binatang buas), rimbo raya
(tempat mengambil buah-buahan), rimbo dalam ( pengatur tata air), rimbo luas (tempat
mengambil kayu perumahan), rimbo lepas (cadangan membangun taratak/pemukiman, dusun,
koto dan nagari), rimbo ana (pangkuan kekuasaan penghulu, rajo), dan rimbo piatu (untuk
berdiam mahluk halus).
14
c. Mekanisme Pengelolaan
Tanah ulayat nagari bebas diolah oleh seluruh anak nagari melalui persetujuan para
penghulu dalam rapat penghulu nagari. Hasil hutan ulayat nagari boleh diambil siapa saja
setelah mendapat izin dan membayar pajaknya kepada penghulu yang berwenang.
Bea atau pajak yang disebut bungo, dipungut penghulu terdiri dari : (1) bungo kayu
adalah pajak hasil kayu yang diperdagangkan, sebesar 10%, (2) bungo aleh adalah pajak hasil
hutan bukan kayu (seperti damar, rotan dan lain-lain) yang diperdagangkan, sebesar 10%, dan
(3) bungo ampiang adalah pajak hasil penggarapan sawah dan ladang, besarnya 10%, serta (4)
bungo tanah adalah pajak hasil tambang, besarnya 10%.
Petugas pemungut bea disebut Jariang atau Pacet, yang diangkat oleh penghulu
berdasarkan musyawarah. Kepada petugas tersebut diberi komisi sebesar 10% dari
pungutannya. Penggunaan hasil pungutan bea ulayat ditentukan oleh keempat penghulu suku
(Kerapatan Adat Nagari).
Pengelolaan ulayat suatu nagari diserahkan kepada pihak lain setelah anak nagari tidak
mampu melakukannya. Syarat pengelolaan oleh pihak lain ditentukan sebagai berikut.
1) Membayar bea.
2) Setelah izin keluar, wajib menyelesaikan pekerjaan membuka ulayat itu menurut jangka
waktu yang telah disepakati. Bila tidak terpenuhi, kesepakatan batal dengan sendirinya.
3) Pemegang izin tidak boleh memindahkan haknya pada orang lain tanpa persetujuan pemberi
izin. Prioritas pemindahan hak disusun menurut ukuran kekerabatan : (a) warga suku
pemilik ulayat, (b) warga nagari tanah ulayat, dan c) pihak lain yang sanggup menerima
pelimpahan hak.
15
4) Pemegang izin wajib mengembalikan izinnya kepada penghulu yang memberikan, bila : (a)
pemegang izin tidak memperpanjang usahanya, atau (b) tidak ada penerima pemindahan
hak.
5) Pemegang izin berhak menerima pampasan dari penghulu yang memberikan izin dalam
jumlah yang disepakati, lazimnya sebanyak bea yang sudah dikeluarkan.
6) Apabila pemegang izin meninggal tanpa ahli waris, lahan tersebut menjadi arato gantuang
(harta gantung) untuk jangka waktu tertentu. Bila kemudian pemegang izin itu ternyata
mempunyai ahli waris, maka izin dapat diteruskan oleh ahli warisnya.
Adapun sanksi diberikan kepada pelanggaran menurut tingkatan pelanggaran dan
musyawarah dengan salah satu dari : ancaman denda, ancaman genealogis (pencabutan
pengakuan warga adat), atau ancaman bencana alam yang diyakini sebagai kutukan.
d. Kelembagaan
Kelembagaan adalah seluruh peraturan, prosedur, organisasi dan instrumen untuk
pengelolaan sumber daya, memberikan penekanan pada aspek-aspek organisasi,
kepemimpinan, profesionalisme dan pengembangan organisasi, mamajemen konflik dan
macam kegiatan (Simon, 2000).
Kelembagaan yang memayungi segenap aspek kehidupan masyarakat adalah konsep
Tigo Tungku Sejarangan. Sistem ini merupakan anutan yang diakui secara kultural, terdiri dari
lembaga pemerintah (kepala desa dan perangkatnya), agama (tokoh agama dan perangkatnya)
dan adat (tokoh adat dan perangkatnya).
Secara keseluruhan kehidupan masyarakat menganut budaya Minangkabau yang
matrilinial. Pada budaya ini terdapat pola hubungan sinergis antara 3 pihak yaitu struktur adat,
16
tokoh keagamaan dan struktur pemerintahan, serta menerapkan acuan garis keturunan dari ibu.
Kekerabatan adat masih dipegang kuat dan jadi anutan, serta ikatan emosinya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan lembaga formal. Tokoh yang menjadi pimpinan dalam struktur adat
disebut dengan Ninik Mamak, Datuk dan Hulu Balang.
Tingkatan sosial antar anggota masyarakat jelas perbedaannya, seperti strata sosial anak
kemenakan, datuk dan ninik mamak. Kedudukan datuk dan ninik mamak dalam kaum
matrilineal sangat kuat dan menentukan dalam pengambilan kebijakan.
Gambar 1. Struktur Lembaga Kesukuan Jorong Koto Malintang
(Figure 1. Structure of ethnic institusion at Koto Malintang)
suku suku
suku suku
kaum kaum kaum
paruik paruik paruik
nagari
Keluarga inti
Keluarga inti Keluarga
inti
17
Dalam struktur sosial, terdapat 3 dasar yang paling pokok mengenai bagaimana
bekerjanya pemusatan orang banyak ke dalam kelompok-kelompok, yaitu : jenis kelamin, usia
dan kekerabatan. Dalam matrinialisme (konsep kebudayaan politik masyarakat Melayu) orang
tua ditempatkan pada kedudukan yang paling istimewa, apalagi dari pihak keluarga ibu.
Pada prakteknya, masyarakat secara formal terikat hak dan kewajibannya dengan 3
struktur kelembagaan diatas (kesukuan, kenagarian/desa dan keagamaan). Lembaga kesukuan
mengatur perikehidupan yang berkenaan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban adat,
termasuk tata cara pengelolaan hutan ulayat, sedangkan lembaga kenagarian merupakan
lembaga formal pemerintahan daerah setingkat desa. Adapun lembaga keagamaan strukturnya
lebih abstrak, yang hanya menampilkan para imam dan pengurus mesjid atau aktivis
keagamaan setempat. Ketiga lembaga tersebut secara sinergis berdampingan dan bersama-sama
mengatur kehidupan masyarakat, dalam ikatan wilayah geografis dan administrasi yang sama
yaitu wilayah nagari (desa).
Majelis Ulama Nagari
Kerapatan Adat Nagari
Badan Perwakilan Rakyat Nagari
Wali nagari
Majelis Musyawarah & Syarak Nagari
Kaur Pemebrdayaan Dan Pemerintahan
Sekretaris nagari
Kaur Ketentraman Dan Ketertiban
Kaur Administrasi Keuangan & Asset Nagari
Kaur Kesejahteraan Rakyat
Kepala Jorong
18
Gambar 2. Struktur Lembaga Kenagarian di Jorong Koto Malintang
(Figure 2. Structure of formal institusion at Koto Malintang)
B. DIMENSI BIOFISIK DAN VEGETASI
Hutan ulayat pada dasarnya tidak homogen, baik dalam komposisi maupun strukturnya.
Perbedaan kombinasi antara komponen tanaman yang dibudidayaikan dengan yang tumbuh
sendiri adalah hasil kriteria sejarah dan ekonomi (Syafrizaldi, 2002). Tanaman semusim dan
berumur pendek merupakan jenis yang tidak pernah tumbuh dominan. Tanaman tersebut adalah
komponen sementara yang sewaktu-waktu muncul pada saat replanting pohon kulit manis dan
seringkali tumbuh berdampingan dengan anakan kulit manis, kopi atau pala. Tanaman seperti
cabai (Capsicum annuum), terong (Solanum melongena), jagung (Zea mays), kacang-kacangan
(Vogna spp., Phaseolus spp.), mentimun (Cucumus sativus), pisang (Musa paradissiaca),
pepaya (Carica papaya), dan lain sebagainya ditanam di sawah di antara dua masa tanam padi.
Jenis tanaman keras hanya mencakup pohon-pohon yang memerlukan pemeliharaan dan
pemanenan secara teratur. Jenis-jenis tersebur adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Deskripsi vegetasi penyusun hutan ulayat di Jorong Koto Malintang
Table 4. Descripsion of vegetation from ulayat forest formation at Koto Malintang
Jenis Pohon Habitus Deskripsi Silvika Produksi
Durian (Durio zibetinus)
Pohon ini merupakan komponen utama penyusun kanopi
Dibiakkan dari biji, tidak memerlukan pemeliharaan khusus, namun sebelum musim berbuah vegetasi bagian bawah dibersihkan untuk memudahkan pengumpulan buah. Berbuah pada bulan Juli-Agustus setelah berumur 7-100 tahun
Buahnya dijual kepada pedagang setempat atau dikonsumsi sendiri. Durian juga menghasilkan kayu yang berwarna merah dan sangat disukai untuk dinding rumah.
Bayur Merupakan komponen Dibiakkan dari anakan alam dan Bayur menghasilkan kayu
19
(Pterospermum javanicum)
hutan ulayat penghasil kayu, tumbuh berdampingan dengan durian.
dapat dipanen pada umur 15-25 tahun.
berwarna merah, untuk lantai dan dinding rumah. Pohon berdiameter 30-50 cm dapat mengahasilkan papan berukuran 300 cm atau 400 cm x 22 cm x 4 cm.
Surian (Toona sureni)
Pohon bertumbuhan sedang, tumbuh sampai tinggi 15 m.
Tanaman ini dibiakkan dari anakan yang dikumpulkan dari tempat kosong di bawah pohon tua (bijinya memerlukan cahaya matahari untuk tumbuh) dan dipanen setelah umur 30 tahun
Menghasilkan kayu untuk bahan perabot rumah tangga, lantai dan dinding rumah. Pohon berdiameter 30 cm dapat menghasilkan 35 papan ukuran 400 x 22 x 4 cm.
Kayu manis (Cinamomum burmanii)
Merupakan spesies tumbuhan bawah yang utama dalam hutan ulayat, ditanam di bawah durian, bayur dan surian. Kerapatan rata-rata berkisar antara 800-1500 pohon/ha.
Anakan berasal dari hutan kemudian dipelihara di persemaian selama setahun. Dapat dipanen pada umur 8-10 tahun (diameter > 10 cm dan tinggi 15 m). Cara pemanenan dilakukan dengan menebang pohon dan kulit batang serta dahannya diambil.
Satu pohon dapat menghasilkan rata-rata 8 kg kulit kering, sedangkan kayu yang kulitnya telah diambil dijadikan kayu bakar untuk dipakai sendiri atau dijual. Teknik pemanenan dilakukan secara tebang habis atau tebang bergantian sebanyak 10-20 pohon per tahun dengan regenasi tunas akar.
Pala (Myristica fragrans)
Kerapatan bervariasi antara 300-500 pohon/ha.
Pala ditumbuhkan dari biji di hutan dan dipelihara di persemaian selam 1 tahun. Anakannya ditanam di bawah pohon durian dan surian yang mempunyai kanopi agak jarang atau berdampingan dengan kayu manis. Pada umur 6 tahun pala mulai berbuah hingga umur 50-70 tahun. Tidak ada musim tertentu untuk berbuah, namun puncaknya bulan Juli dan Januari.
Hasil rata-rata bervariasi antara 10-30 kg biji pala kering/pohon/tahun, dan fuli kering di luar biji juga diambil dan dijual sebagai bunga pala.
Kopi (Cofea sp.)
Ditanam di bawah durian yang berkanopi jarang, atau berdampingan dengan surian muda dan bayur. Tanaman berasal dari anakan yang diambil dari hutan.
Tanaman kopi sering dipupuk dengan kulit durian yang telah membusuk. Pemangkasan kopi umumnya tidak dilakukan. Puncak produksi jatuh pada bulan Juli-Agustus, meskipun masa berbuah kadang-kadang berlangsung sepanjang tahun.
Tingkat produktivitasnya rendah, rata-rata 120 kg biji kering/ha/tahun.
20
Sumber : data primer dan sekunder, diolah (2004) (Source : primary and skundary data, prepared, 2004)
C. DIMENSI EKONOMI
1. Struktur Pasar
Kondisi ekonomi setempat sangat dipengaruhi model perekonomian suku Minang, yaitu
terciptanya dua golongan besar dalam masyarakat : pedagang dan pekerja. Dari kedua
golongan tersebut, golongan pedaganglah yang memiliki posisi paling kuat, sehingga
mempunyai akses pemasaran untuk setiap komoditi yang ada di desa.
Secara umum perekonomian jorong satu dengan lainnya tidak dapat dipisah karena satu
nagari terdiri dari beberapa suku yang masih terikat dalam satu payung kekerabatan. Sehingga
pada tingkat kecamatan hari pasar diatur sedemikian rupa, yaitu pasar rabu di Koto Kaciak,
pasar jumat di Bayur, pasar minggu di Koto Baru, dan pasar selasa di Maninjau. Hasil hutan
yang dijual antara lain durian, kulit manis, bayur dan kopi dengan jalur tata niaga sebagaimana
tertera pada gambar di bawah ini.
Gambar 3. Jalur tata niaga hasil hutan ulayat di orong Koto Malintang
Figure 3. Market Flow of ulayat forest product at Koto Malintang
2. Potensi Pasar
Petani
Pengumpul Pedagang besar
Konsumen
21
Hasil hutan bukan kayu yang memiliki potensi pasar cukup tinggi antara lain kulit
manis, pala dan durian. Pala dan durian telah menjadi andalan pasar lokal, sedangkan kulit
manis menjadi salah satu andalan ekspor Sumatera Barat.
Table 5. Kapasitas Produksi Komoditas Potensial Hutan Ulayat Kab. Agam Tahun 2004
Table 5. Production Capasity of Potenstial Comodity from Ulayat Forest in District of Agam
2004
Produksi (Production) No.
No.
Komoditas
(Comodities) Jumlah
(Volume)
Luas tanaman
(Planted Area)
Keterangan
(Remark)
1.
2.
3.
Kulit manis
Pala
Durian
28.923 ton
285 ton
2.622 ton
8.287 ha
1.103 ha
246,9 ha
buah & bunga (campuran)
Sumber : BPS (2004)
(Source : BPS, 2004)
Table 6. Ekspor Sumatera Barat Menurut Jenis Komoditi
Table 6. Export of West Sumatera By Kind of Comodities
Volume (Volume) Nilai (Value) No.
(No.)
Jenis Komoditi
(Kind of Commodities) Ton
(Tonage) %
US $
(x1000) %
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Karet alam
Kopi
Kayu manis & bunganya
Biji pala, bunga & kapulaga
Ikan
Buah-buahan
Hasil pertanian lainnya
416
216
12.755
278
45
142
45
2,99
1,55
91,78
2,00
0,32
1,02
0,32
358
134
6.408
426
215
71
66
4,66
1,75
83,46
5,55
2,80
0,92
0,86
22
Jumlah (Total) 13.896 100 7.679 100
Sumber : BPS (2004)
(Source : BPS, 2004)
Tabel di atas menunjukkan bahwa kulit manis memiliki kapasitas produksi yang jauh
lebih tinggi dari komoditi lainnya, sekaligus memiliki kapasitas ekspor yang menjanjikan.
Volume ekspornya dari Sumatera Barat mencapai 91,78 % dan mendominasi hasil pertanian
lainnya. Nilai ekspor kulit manis menduduki peringkat 1 dengan 83,46 %, sedangkan pala
berada pada urutan ketiga dengan volume 278 ton (2%) dan nilai 426.000 US $ (5,55%).
Padang merupakan daerah potensi pasar yang baik untuk penjualan kayu manis untuk
tujuan ekspor. Adapun pasar potensial yang dapat menjadi tujuan ekspor antara lain USA,
Belanda dan Singapura. Selengkapnya tabel berikut menunjukkan data ekspor kayu manis dari
Propinsi Sumatera Barat.
Tabel 7. Volume dan Nilai Ekspor Kayu Manis dan Bunganya dari Propinsi Sumatera
Barat Menurut Negara Tujuan Tahun 2003
Table 7. Volume and Value of Export of Cassiavera and Its Flower from West Sumatera
Province by Country of Destination 2003
No. (No.)
Negara tujuan (Country of Destination)
Volumer (ton) (Tonage)
Nilai US $ (x 1000) (Value in US $ x 1000)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Thailand/ Singapura United Arab Emirates US Virgin Island USA Kanada Venezuela Brazil Belanda Perancis Jerman Belgia
13 736 20 25
9.903 458 30 115
1.146 32 100 78
8 363 10 18
4.927 215 14 54 638 14 45 30
23
13 14 15
Portugal Yunani Bulgaria
53 32 12
49 20 4
Jumlah (Total) 12.755 6.408
Sumber : BPS (2004)
(Source : BPS, 2004)
V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hak ulayat secara hukum positif telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah di
tingkat kabupaten dan propinsi. Pemerintah pusat (baca : departemen kehutanan) telah
menyiapkan landasan hukum untuk mengakomodir perihal hutan ulayat ini termasuk
tata cara pengakuan hutan yang dikenai hak ulayat.
2. Hutan ulayat dalam pandangan Minagkabau telah diatur secara lengkap, meliputi :
stasus tanah, fungsi ulayat, sifat hak, mekanisme pengelolaan, manajemen produksi,
sanksi dan kelembagaan.
3. Hutan ulayat pada dasarnya tidak homogen, baik dalam komposisi maupun strukturnya.
Perbedaan kombinasi antara komponen tanaman dibudidaayaikan dengan yang tumbuh
sendiri adalah hasil kriteria sejarah dan ekonomi.
4. Struktur pasar yang ada adalah pasar lokal, pasar kabupaten, dan eksportir.
5. Kayu manis adalah salah satu jenis vegetasi penyusun hutan ulayat dan merupakan
komoditi unggulan yang memiliki nilai dan tujuan ekspor yang cukup banyak.
B. REKOMENDASI
1. Walaupun secara sosial budaya telah kuat dan dikukuhkan oleh pemerintah daerah, dan
terbukti dalam kenyataanya masyarakat adat dan hutan ulayat masih ada dan diakui
24
keberadaanya, sampai dengan saat ini pemerintah pusat belum satupun melakukan
penetapan status hutan ulayat sebagaimana yang disebutkan dalam UU no. 41 tahun
1999 di atas. Oeh karena itu perlu adanya upaya konkrit dari pemerintah pusat untuk
menetapkan status kawasan hutan ulayat secara selektif bagi yang benar-benar memiliki
jaminan sosial budaya dan ekonomi. Tahap awal dari upaya ini adalah menetapkan
kriteria dan indikator kawasan hutan ulayat pada aspek property right, ekonomi,
ekologi dan sosial budaya.
2. Manajemen HHBK pada kawasan hutan ulayat dapat dilakukan secara mandiri oleh
manajemen adat yang bersangkutan yang meliputi pengarturan terhadap : stasus tanah,
fungsi ulayat, sifat hak, mekanisme pengelolaan, manajemen produksi, sanksi dan
kelembagaan. Hal demikian merupakan kekayaan berharga bagi bangsa Indonesia
mengenai model manajemen sumber daya hutan.
3. Kayu manis dapat menjadi alternatif HHBK unggulan bagi pengembangan hutan ulayat
di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Aspek pedoagroklimat, sosial budaya, struktur
pasar dan potensi pasar cukup mendukung dan telah memberikan prakondisi yang baik
dalam budi daya dan perdagangan kayu manis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2002. Peraturan Perundangan Kehutanan di Era Reformasi. Research Institute for Forestry Decentralization Service. Rifdexts. Bogor.
Awang, S. A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for Critical Social Studies (CCSS)
bekerja sama dengan Kreasi Wacana. Yogyakarta. BPS. 2004. Sumatera Barat dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi
Sumatera Barat. Padang.
25
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosopis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Handoyo. 2003. Pemetaan Masyarakat Adat Beserta Sistem Pengelolaan Sumber Daya
Hutannya Sebagai Aset Nasional. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Volume 4 Nomor 2. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Iskandar, U. 1999. Dialog Kehutanan dalam Wacana Global. Biagraf Publishing. Yogyakarta.
Nugraha, A. 2000. Quo Vadis Kehutanan Indonesia : Bunga Rampai Perenungan Seorang
Rimbawan. Biagraf Publishing. Yogyakarta. Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pemerintahan Nagari Simon, Hasanu. 2000. Studi Kolaboratif FKKM : Kelembagaan Kehutanan Masyarakat,
Belajar dari Pengalaman, Aditya Media, Yogyakarta. Syafrizaldi. 2002. Parak, Potret Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Seri
Diskusi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat. LBH Padang. Tanggal 20 Maret 2002.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
26