perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan
TRANSCRIPT
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2011
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI
NIM : 0890561067
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2011
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister HukumPada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATINIM : 0890561067
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2011
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 16 DESEMBER 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Dewa Gede Rudy, SH, MHNIP. 19550306 198403 1 003 NIP. 19590114 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum DirekturProgram Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 19560419 198303 1 003 NIP. 19590215 19851 02 001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 16 Desember 2011
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 2033/UN14.4/HK/2011, Tanggal 7 Desember 2011
Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH
Sekretaris : Dewa Gde Rudy, SH, MH
Anggota : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU
I Ketut Westra, SH, MH
Ida Bagus Putra Atmaja, SH, MH
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Anak Agung Ayu Diah Indrawati
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/11 April 1981
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dr. Sutomo No. 27 Trenggalek Jawa Timur
Nomor Telepon : 081337023796
Jurusan : Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis,
tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu
perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari
hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat
yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi
akademik dan / atau sanksi hukum.
Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Trenggalek, 25 November 2011
Yang menyatakan
(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI)NIM 0890561067
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nyalah akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN”.
Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karenanya
pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) Rektor Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
3. Prof.Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Udayana.
4. I Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH, MH Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Udayana.
5. Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Pembimbing I, yang telah banyak
memberikan masukan dan selalu mengingatkan untuk sesegera mungkin
menyelesaikan tesis ini.
6. Dewa Gede Rudy, SH, MH Pembimbing II yang banyak memberikan arahan,
bimbingan dan saran serta semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak / Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf administrasi Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam
segala hal guna penyelesaian kuliah di Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
8. Suamiku tersayang A.A.Putu Putra Ariyana, SH, Anandaku yang tercinta
A.A.Ayu Citra Nariswari, Ibundaku yang selalu memberi motivasi tiada henti
I.G.A Puspawati, SH, MH, Ajiku I Gusti Putu Gde Suwirya, kakakku
A.A.Putu Agung Suryakusuma, ST, dan adikku A.A.Gde Agung
Prawiranegara, SE dan keluarga di Jero Grenceng dan di Jero Peguyangan
yang begitu perhatian dan memberikan dukungan moril dan materiil dalam
menyelesaikan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana.
9. Teman-teman kuliah serta rekan-rekan kerja di Pengadilan Negeri Tabanan
dan Pengadilan Negeri Trenggalek yang selalu memberi semangat selama
masa perkuliahan dan selama penyusunan tesis ini.
Semoga kebaikan Bapak / Ibu dan Saudara sekalian mendapat pahala dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata, apabila ada kekurangan dalam tesis ini penulis minta maaf dan besar
harapan saya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Om Santi Santi Santi Om.
Trenggalek, November 2011
Penulis
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Panganmenentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keteranganmengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuklain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada ataumerupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahuibahwa didalam label itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas danjujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah labelkhususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen maupun pelakuusaha, padahal label memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen.Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya tercantum dalamlabel bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usahauntuk bertanggungjawab apabila sampai merugikan konsumen. Untuk itu menarikuntuk dikaji apakah pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibathukum dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukumnormative, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitiandalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalamdalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yangmenekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasidengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukumdalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwaketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan labelpangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdatamaupun pidana.Kata kunci : label, informasi, hak konsumen dan perlindungan konsumen.
ABSTRACT
CONSUMER PROTECTION LAW IN LABELINGFOOD PRODUCT
Article 1 (3) of the Government Regulation 69 of 1999 on Food Labels andAdvertising is meant to determine that food labels are : every description of food inthe form of drawing, writings, a combination of both or any other form supplied withfood, put in, affixed to or a part of food packinging. From the above definition, labelcan be seen that the information contained on the label. The right to correctinformation, clearly and honestly is one of the rights of consumers. But unfortunately,the problem of food labels, especially labels received less attention from consumersand businesses, whereas the label holds an important part in efforts to protectconsumers. The absence of correct information, clear and honest that should be listedin the labels could mislead consumers and course the legal consequances on actors inthe business to be responsible if to harm consumers. It is interesting to examinewhether the labeling of food products as stipulated in Government Regulation 69 of1999 has been compliance with the principles of consumer protection and wheatherthe legal effect of information that is not correct, clear and honest in the label.
This type of research applied in this study was normative legal research, astudy that puts the norm as a research object, in this case is Government Regulation69 of 1999. This type of approach used in this research was the normative jurisdicalapproach that emphasizes research on the secondary data from the source materialconsisting of primary law, secondary, tertiary differences. The collection of databegan with an inventory of legal materials by collecting and organizing legalmaterials. Analysis of legal materials in this study was qualititatively andcomprehensively conducted.
From the results, the conclusion can be obtained that the food productlabeling provisions as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 do not meetthe principle of consumer protection, and violation of provisions of the food label bybusinesses may be subject to the responsibility of administarative, civil or criminal.
Keywords : labels, information, consumer rights and consumer protection.
RINGKASAN
Bab I Pendahuluan, menguraikan bahwa hak atas informasi yang benaradalah salah satu hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.Salah satu sumber informasi adalah label.Dalam kaitannya dengan pangan yang merupakan salah salah satu kebutuhan dasarmanusia, maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, danlengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yangdiperlukannya, yang mana hal itu semua bisa diketahui dari label pangan.
Ketentuan mengenai label diatur dalam beberapa undang-undang diantaranyaadalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, danyang lebih spesifik lagi mengenai pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 69Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk darilabelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihansebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yangjelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Namun sayangnya, dari hasil kajianyang dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) masalah labelkurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yangmemperhatikan kelengkapannya. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh pelakuusaha, sehingga di pasaran Indonesia saat ini dapat dengan mudah kita mendapatiproduk pangan yang tidak memberi informasi lengkap dalam label, misalnya sajaproduk dengan bahasa asing. Bagaimana label dengan bahasa asing bisa memberiinformasi. Dalam hal seperti ini, hak konsumen menjadi terabaikan.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-matauntuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melaluipengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiaporang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayahIndonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminankepastian hukum.
Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen menguraikanmengenai pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungankonsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha.
Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungankonsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untukmemberikan perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberikanperlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkanharkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barangdan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur danbertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).
Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen,terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumendilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelakuusaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yangberkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah asas manfaat, asas keadilan, asaskeseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen serta asas kepastianhukum. Kelima asas itu mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitupembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah NegaraRepublik Indonesia. Kelima asas tersebut melandasi tujuan dari perlindungankonsumen sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8Tahun 1999.
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yangdiberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Mengenai hak-hak konsumen diIndonesia diatur dalam l pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen. Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hakkonsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakanantinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hakkonsumen. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/ataujasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yangmenyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label,iklan, dan lain sebagainya.
Bab III, Ketentuan Label Pangan Dalam Kaitannya Dengan AsasPerlindungan Konsumen, menguraikan mengenai pengertian label, label sebagaiwujud hak konsumen atas informasi, arti penting label pangan bagi konsumen danketentuan label pangan terkait dengan asas perlindungan konsumen.
Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksuddengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentukgambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.
Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuatinformasi. Informasi mana sangat berguna bagi konsumen, karena dari informasipada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli danatau mengkonsumsi pangan. Informasi pada label tidak hanya bermanfaat bagikonsumen, karena label juga memberikan dampak signifikan untuk meningkatkanefisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannyaterhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan juga bagi pelakuusaha.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumenpada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung
ide-ide atau asas-asas yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi idetentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi setelah dicermatiketentuan-ketentuan yang ada di dalam PP No. 69 Tahun 1999, rupanya asas-asasperlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum sepenuhnya memenuhi kelima asas-asas yang dimaksud. Mulaidari pengertian label sendiri yang masih memberi peluang terjadinya pelanggaran,masih adanya pengecualian penggunaan bahasa Indonesia, ketentuan penulisan masakadaluarsa yang tidak ada keseragaman.
Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran LabelPangan, menguraikan bahwa dalam hal pelaku usaha melakukan pelanggaranterhadap ketentuan label pangan maka pelaku usaha dapat dimintakanpertanggungjawaban baik secara perdata, pidana maupun administrative. Penegakanperaturan (by the law enforcement) melalui hukum administrative berfungsi untukmencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dengan perijinandan pengawasan. Hukum pidana berfungsi untuk menanggulangi (represif) setiappelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakansanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman. Sedangkan hukum perdataberfungsi untuk memulihkan hak (curative/recovery) dengan membayar kompensasiatau ganti kerugian.
Bab V, Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulanpertama : bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PPNo. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, kedua :pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakansanksi secara perdata, pidana maupun administrative. Adapun saran penulis terhadappermasalahan yang diteliti, Pertama : dalam rangka untuk lebih memberikanperlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah pelabelan pangan, makaperlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah tentang Labeldan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan yang lebih kongkrit dan jelasmengenai label pangan. Dengan adanya rambu -rambu dan peraturan yang jelas daripemerintah, maka konsumen terlindungi dari kemungkinan label yang tidak benar,atau bahkan menyesatkan. Kedua : Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlumelakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat denganmemberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadarankonsumen akan hak dan kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masihkurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintahbaik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yanglebih baik dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan,khususnya produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan. Kepadapelaku usaha penulis juga berharap agar konsep label hendaknya disusun dengantidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus mendidik konsumen. Danterakhir kepada konsumen agar selalu mengecek label sebelum membeli ataumengkonsumsi suatu produk.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN............................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACT..................................................................................................... ix
RINGKASAN .................................................................................................. x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 16
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 17
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................... 17
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................... 17
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 17
1.4.1 Manfaat Teoritis .................................................................. 17
1.4.2 Manfaat Praktis.................................................................... 18
1.5. Orisinalitas Penelitian...................................................................... 18
1.6. Landasan Teoritis ............................................................................ 20
1.7. Metode Penelitian ............................................................................ 34
1.6.1 Jenis Penelitian ...................................................................... 34
1.6.2 Jenis Pendekatan.................................................................... 35
1.6.3 Sumber Bahan Hukum .......................................................... 36
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..................................... 38
1.6.5 Teknik Analisis...................................................................... 38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 40
2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen ................................................ 40
2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ...................................... 46
2.3. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................... 56
2.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha................................................... 73
BAB III KETENTUAN LABEL PANGAN DALAM KAITANNYA
DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN ..................... 78
3.1. Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi.................... 78
3.2. Pentingnya Pelabelan Bagi Konsumen
Untuk Mendapatkan Perlindungan .................................................. 95
3.3. Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen .... 99
BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM
PELANGGARAN LABEL PANGAN............................................ 115
4.1. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan
Hukum Konsumen........................................................................... 115
4.2. Tanggung Jawab Perdata Pelaku Usaha
Dalam Pelanggaran Label Pangan ................................................... 121
4.3. Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha
Dalam Pelanggaran Label Pangan................................................... 139
4.4. Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha
Dalam Pelanggaran Label Pangan ................................................... 148
BAB V PENUTUP........................................................................................ 157
5.1. Kesimpulan...................................................................................... 157
5.2. Saran ................................................................................................ 158
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun
berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen
untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada
beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga
konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “ aman “.1
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional
sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248
Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa 2:
“ Taking into account the interest and needs of consumers in all countries,particularly those in developing countries, recognizing that consumers oftenface imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power,and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazard-ous products, as well as the right to promote just, equitable andsustainable economic and social development,”.
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan
hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada
umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak
1 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam KerangkaPerdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,Mandar Maju, Bandung, h. 33.
2 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari HukumAcara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 3.
hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu
penting untuk dikaji.3
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal
makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen
atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha.
Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung
atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan
dampaknya. 4 Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang
memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan
mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya
permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih
menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan
diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan
yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal
3 Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia-Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17.
4 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 39.
dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas,
atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan
sebagainya.5
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang
sangat penting.6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang
atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk,
keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya,
tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan
jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak
informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini
terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli
konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di
pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk
lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses
yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. 7
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan
menjadi tiga. 8 Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari
berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan
5 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12.6 A.Z. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 76.7 Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,
h. 2.8 Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
13.
secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada
umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan
perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa
di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat
di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam
kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu
terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional,
atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada
pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat
pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes
organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi
konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-
hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada
harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen,
importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber
informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media
nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti
brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada
umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan
memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar
produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang
diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah
informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan
dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha
lainnya. 9
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang
dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen
tersebut antara lain :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barangdan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminanbarang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yangdigunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketaperlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidaksebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
9 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,h. 71.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen
yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi
dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak
konsumen.10
Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa
mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen,
memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan,
mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable).
Disisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang
konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap
perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada
kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa
persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk
mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya
teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya
barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia.
Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan
berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada
10 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 18.
persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan
konsumen di pasar menjadi melemah.
Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)
asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalampenyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkansecara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelakuusaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antarakepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupunspiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikanjaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi ataudigunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumenmenaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas
perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan
bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk
makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan
untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.11
11 Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010, availableFrom URL : http://endrah.blogspot.com.
Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa “
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman”..
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka
masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik
mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai
pangan yang beredar di pasar.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari
labelnya. 12 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan
pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi
yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.13
Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih
banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan
ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan
pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi
makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau
12 Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni 2010,available from URL : http://www.republika.co.id.
13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, CitraAditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h. 15.
perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat
mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada
umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur
dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Selain diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan
diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah
dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan
pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih
spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan
pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang
14 Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen CerdasMajalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010,Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan
pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian
kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label.
Lebih lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa :
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.
Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan
bahwa :
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa
keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia,
angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan
bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di
Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan
olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan :
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latindiperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakanpadanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak
pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa
Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat
diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa
semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69
Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan
huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya
dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu
menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara
menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak
dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam
perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa
mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko
kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan
konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang
terdapat pada produk yang dibelinya.
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi
tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami
konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor
dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan
Jepang.15
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada
padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru
akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan
yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian
yang tidak diinginkan.
Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam
rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus
dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata
untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui
pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap
orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan
kepastian hukum.
15 Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.
Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya,
Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di
Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu
Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan
Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.16 Pada
kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih
mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan
minuman kedaluwarsa.
Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap
makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No.
180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan
mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen,
coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur,
saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.
Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum
ada standar baku. Ada yang sudah mengunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah
penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak
jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best
before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi
masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
16 Ibid.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada
4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan
yang dikonsumsinya, yaitu 17:
1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi
atau tercampur dengan bahan berbahaya
2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan
Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang
tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999)
beserta Permenkes.
4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kedaluarsa.
Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling
banyak ditemui adalah 18:
Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf
latin, terutama produk impor.
Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
Tidak mencantumkan waktu kedaluarsa
Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
17 Konsumen Cerdas, 2009, “ Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait PerlindunganKonsumen ”, diakses 15 Agustus 2010, available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc.
18 Ibid.
Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang
tidak konsisten.
Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian
dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya.
Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label, data lembaga
pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk
pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah
menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk pangan. Sementara itu,
industri pangan di Indonesia mencapai lebih dari satu juta, dimana sekitar 2000
diantaranya merupakan industri besar dan sisanya merupakan industri kecil dan
menengah.
Konsumen dituntut untuk selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya
tidak adil. Harus ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada
konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi pelaku
usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting untuk mengajarkan
tanggung jawab moral kepada pelaku usaha.
Dalam kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu
dicermati, yakni :
1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun karena kelalaiannya danmengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas.Akibatnya kerugian yang diderita konsumen missal (massive effect)karena menimpa apa saja dan siapa saja.
2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika (rapidy effect),sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari mengkonsumsiproduk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal dunia. Ada jugayang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu kemudian (hiddendefect), contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknyapenggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlahproduk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari.
3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karenatidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsibarang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitasdan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan dirimereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancamkesehatan dirinya kapan saja.19
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono 20 , Negara
mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang
berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal.
Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan
dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan
rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa
sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69
Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
19 N.H.T. Siahaan 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung JawabProduk, Panta Rei, Bogor, h. 11.
20 Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang, h. 132.
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran
ketentuan label pangan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang
konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya
dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan
untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin
banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam
label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu
dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur
dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan
konsumen.
2. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan
bagi pelaku usaha.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan
pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen
khususnya tentang pelabelan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran
bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik
Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah
dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian
tentang “ Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan “, belum
pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang
meneliti tentang yang terkait dengan pelabelan, yaitu :
1. Tesis Kamila Hetami pada Program Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum
Ekonomi dan Teknologi Universitas Diponogoro, Semarang, 2009 yang
berjudul “ Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa
Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi “. Adapun
permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimana
implementasi perjanjian internasional mengenai organisme hasil rekayasa
genetika ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. (2) Bagaimana
perlindungan konsumen di Indonesia berkaitan dengan keterbukaan informasi
produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang
berkaitan dengan pelabelan. (3) Bagaimana tanggung jawab produsen
terhadap produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang
berkaitan dengan pelabelan.21
2. Tesis Ali Amran Tanjung pada Program Magister Pasca Sarjana Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, yang berjudul “
Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk
Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen “ . Adapun permasalahan yang
diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana pengaturan, penggunaan label
halal terhadap produk makanan, (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label
halal terhadap produk makanan, (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran
penggunaan label halal.22
3. Selanjutnya ada juga penelitian dari Ari Fatmawati dari Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011, yang berjudul “ Konsumen dan
Label (Study tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam
21 Kamila Hetami, 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan RekayasaGenetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1 Desember 2011, avalaible fromhttp://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila Hetami.
22 Ali Amran, Tanjung, 2009, “ Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label HalalTerhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1 Desember 2011,avalaible from http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922.
Mengkonsumsi Produk Berlabel Halal di Kota Yogyakarta) “. Adapun
permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimanakah profil
label dalam makanan kemasan yang beredar di kota Yogyakarta, (2)
Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat
muslim sebagai konsumen makanan yang beredar di kota Yogyakarta.23
1.6. Landasan Teoritis
Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan
dan tersusun dalam suatu system deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu
gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi
arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.
Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam
diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.24
Teori ini juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan
hukum positif konkrit. 25 Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van
Koecke dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan
23 Ari Fatmawati, 2011, “ Konsumen dan Label “, diakses 1 Desember 2011, available fromhttp://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf.
24 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.25 Ibid.
pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu
pengetahuan terhadap aturan hukum positif.
Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak
terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada
Pancasila dan UUD 1945. Pada bagian pembukaan UUD 1945, alenia ke-4 ada
berbunyi “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ….“. Kata “ segenap bangsa
Indonesia “ adalah asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (sila ke-3
Pancasila Persatuan Indonesia). Dan kata “ melindungi “ mengandung asas
perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut, baik dia laki-laki, perempuan,
kaya, miskin, baik dia pelaku usaha ataupun konsumen.
Untuk menganalisa permasalahan pada penelitian ini penulis menggunakan
beberapa teori hukum, diantaranya teori system hukum dari Lawrence Friedman, teori
pengayoman dari Suhardjo, teori perlindungan dari Philipus M. Hadjon, teori
keadilan dari Aristoteles dan John Rawls, teori negara hukum dan teori / asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller.
Alasan menggunakan teori sistem hukum, karena penulis berpendapat bahwa
ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi dalam sistem hukum.
Kemudian digunakannya teori perlindungan dan teori pengayoman karena ketentuan
mengenai label adalah ditujukan untuk perlindungan dan pengayoman kepada
masyarakat konsumen.
Sedangkan digunakannya teori Negara hukum karena salah satu ciri khas
Negara hukum adalah adanya pengakuan akan hak, termasuk hak konsumen akan
informasi yang benar yang dapat diperoleh dari label. Disamping itu dalam konsepsi
Negara hukum ada dikenal dua tipe Negara hukum yang salah satunya adalah Negara
hukum dalam arti luas dimana Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata
seluas-luasnya, termasuk berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga
negara. Karena seluruh warga Negara adalah konsumen, maka perlindungan dan
kesejahteraan konsumen menjadi tanggungjawab Negara.
Digunakannya teori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
dari Lon. L. Fuller karena nampaknya ketentuan label sebagaimana diatur dalam PP.
No. 69 Tahun 1999 masih banyak ditemukan penyimpangan oleh pelaku usaha.
Kemudian digunakannya teori keadilan dari Aristoteles karena seperti telah
diuraikan sebelumnya, bahwa perlunya undang-undang perlindungan konsumen dan
peraturan pelaksana dibidang konsumen termasuk diantaranya ketentuan label pangan
dalam PP No. 69 Tahun 1999 karena karena lemahnya posisi konsumen dibanding
posisi produsen/pelaku usaha. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada
keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System atau
tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud adalah (1)
struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau budaya. 26
PSubstansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara
menegakkannya, yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada
aturan-aturan yang ada di dalam buku-buku hukum/UU/putusan hakim. Struktural
mencakup wadah maupun bentuk dari system tatanan lembaga-lembaga formal,
hubungan antar lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Kultural
mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.
Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of
meaning, value and preference. 27 Penegakan hukum sebagai suatu system
memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas.
Menurut H.L.A Hart “ the union of primary and secondary rules is at the centre of a
legal system “ 28 (sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer
sekunder).
26 Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : ASocial Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12-18.
27 Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, h.13.28 Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell
Ltd, UK, h. 26.
Teori pengayoman dikemukakan oleh Prof. Suhardjo, Menteri Kehakiman
dalam Kabinet Presiden Soekarno.29 Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif. 30 Secara aktif dimaksudkan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi
dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif
adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk
didalamnya adalah :
1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan
2. Mewujudkan kedamaian sejati
3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat
4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik
lahir maupun bathin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila
warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak
tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.
Teori perlindungan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon,
menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum
29 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 22.
30 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 23.
represif dan perlindungan hukum preventif. 31 Perlindungan hukum represif yaitu
perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku
agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini
biasanya dilakukan di Pengadilan. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan
hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan
hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan,
rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusan tersebut.
Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum
memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek
hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap
subyek hukum yang dilanggar haknya.
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.
Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan
kemakmuran. Menurut Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics maka pada
dasarnya ada 2 (dua) teori tentang keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan
korektif/komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan bagian
kepada setiap orang menurut jasanya, dan pembagian mana tidak didasarkan bagian
yang sama akan tetapi atas keseimbangan. Sedangkan keadilan korektif/komutatif
adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
31 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,Surabaya, h. 3.
mengingat jasa seseorang. Keadilan korektif/komutatif memegang peranan dalam
hal tukar menukar pada peraturan barang dan jasa, dalam mana sedapat mungkin
terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Sehingga keadilan
korektif/komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan, sedangkan
keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat khususnya
negara dengan perseorangan.
Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni
keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan.32
Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah. 33
Menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik, yakni :
1. …a failure to achieve rules at all, so that every issue must be diceded on an hocbasic (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan ataukonsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya,dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukumharus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandungkeputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc);
2. A failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the ruleshe is expected to observe (aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkankepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);
32 Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.33 Erman Raja Guguk, et.all, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, h.
7.
3. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action,but undercuts the integrity of rules prospective in effect, since it puts them underthe threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki dayalaku surut atau harus non retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturanyang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang);
4. A failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusundalam rumusan yang dapat dimengerti);
5. The anactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturanyang bertentangan satu sama lain);
6. Rules that require conduct beyond the poers if the affected party (tidak bolehmengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);
7. Introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient hisaction by them (tidak boleh terus-menerus diubah, artinya tidak boleh adakebiasaan untuk mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorangkehilangan orientasi); dan
8. A failure of congruence between the rules as announced and their actualadministration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yangdiundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).
Dalam kaitannya dengan ketentuan label nampaknya ketentuan label
sebagimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tidak memenuhi kriteria no. 8 dari
teori Lon Fuller.
Keberadaan tentang konsepsi negara hukum sudah ada semenjak
berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan Aristoteles
merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran negara hukum
dimunculkan Plato. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang
diatur oleh hukum. Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan
dalam dua pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) yaitu
negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam)
yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan
kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas (free fight), laisez faire, laisez ealler,
siapa yang kuat dia yang menang. Negara hukum dalam arti formal ini kerjanya
hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan
kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-
undang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya
secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan
kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi adalah prinsip
laiesez faire laiesizealler.
Namun teori Negara hukum dalam arti sempit ini mulai ditinggalkan karena
persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya
dan golongan miskin. 34 Maka para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan
teori negara hukum dalam arti materiil (luas/modern) ialah negara yang terkenal
dengan istilah welfare state (walvaar staat), (wehlfarstaat). Disini Negara bertugas
menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan social (social
security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip
hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar
terjamin dan terlindungi. 35 Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan
kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
warga negara.
34 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h. 16.35 Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Liberty,
Yogyakarta, h. 46.
Dalam penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa “ Negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) “.
Jadi demikian jelas Negara Indonesia adalah Negara hukum. 36
Negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu :
1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
2) negara didasarkan pada teori trias politica.
3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang¬-undang (wetmatig
bestuur).
4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Seperti telah diuraikan diatas, salah satu ciri khas dari Negara hukum adalah
adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Termasuk
dalam hak-hak asasi manusia adalah hak konsumen.
Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan
pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “Generasi
Keempat Hak Asasi Manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi
dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang. 37 Dimana
persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan
kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan
36 Bernard Arief Shidarta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah PenelitianTentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan PengembanganIlmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 47.
37 Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010,available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id
yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau
masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan
kelompok masyarakat di negara lain.
Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru
hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan
penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Konsepsi generasi keempat ini dapat disebut sebagai Konsepsi Generasi Kedua
apabila seluruh corak pemikiran atau konsepsi hak asasi manusia sebelumnya yang
bersifat vertikal dikelompokkan sebagai satu generasi tersendiri dalam pertumbuhan
dan perkembangan konsepsi hak asasi manusia. Konsepsi Generasi kedua adalah
konsepsi hak asasi manusia untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan
kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak
untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.
Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan
oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy “Presiden yang pertama kali
mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato revolusioner di depan
kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia
berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok
ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap
keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang
suaranya nyaris tak didengar.” Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul
A Special Massage of Protection the Consumer Interest.
Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:
(1). the right to safety (hak atas keamanan)
(2). the right to choose (hak untuk memilih)
(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi)
(4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya). 38
Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam
Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right.
Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak
pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan
yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-
hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-
masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak
dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk
memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk
memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga
menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut, hak perlindungan kesehatan
38 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.
dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak
perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische
belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas
penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om te
worden gehord).
Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal
15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah
perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya
diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum
PBB (UN General Assembly) pada tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen
dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection. Lobi yang
konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan Guidelines tersebut merupakan
kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi
kelanjutan gerakan konsumen di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di
negara maju. Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B.
Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product
liability.
Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak: (1). To
select commodities and service of their own will; (2). To know the real circumstances
of the price, quality, Weight-measurement, function, ect., of commodities and service;
(3). To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes
as stipulated by law; (4). To request receipts for payment in purcahsing commodities
and services; (5). To request repairing, replacing, or returning commodities or
service because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law
agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is
caused thereof; (6). To have other rights as stipulated law. Dalam catatan, mengenai
urutan hak-hak diatas tersebut telah beberapa kali diubah dan tidak bersifat tunggal
untuk seluruh negara tersebut. 39
Di Indonesia, mengenai hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsibarang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barangdan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminanyang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi danjaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasayang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaiansengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undanganlainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen
yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang
39 Ibid.
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi
dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak
konsumen.40
Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang
merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena
Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut
konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang
tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. Indonesia melalui
Undnag-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan
kesembilan hak konsumen sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan
Negara kesejahteraan, yaitu pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten.41 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk
dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau
40 Shidarta, Op.Cit, h. 18.41 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta (selanjutnya
disebut Soerjono Soekanto I), h. 42.
penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.42 Data sekunder yaitu data-
data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan
hukum.43
Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya
kekaburan norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam
mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum, maka Moris L. Cohen dan Kent.
C. Olson memberikan definisi tentang penelitian hukum sebagai berikut :44
Legal research is an assential component of legal practice. It is process offinding the law that the foverns an activity and materials that explain or analyse thatlaw. The resource give the lawyers the knowledge with which orovide accurate andinsigful advise, to draft effective document, or defend their clients rights in court.
Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek
hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan
serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum
memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan
ketepatan informasi yang cukup untuk membuat suatu dokumen atau pembelaan
terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan.
1.6.2 Jenis Pendekatan
42 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.Rajawali Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h.15.
43 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,Bandung, h. 108.
44 Moris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, USA.
Penelitian hukum normatif mengenal beberapa jenis pendekatan yang dapat
digunakan, yaitu :
a. Pendekatan Kasus (the Case Approach);b. Pendekatan Perundang-undangan (the Statute Approach);c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach);d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach);e. Pendekatan Prasa (Word and Phrase Approach);f. Pendekatan Sejarah ( Historical Approach); dang. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach);45
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan (the
statue approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan analisa konsep
hukum (analytical and conceptual approach). Permasalahan dikaji dengan
mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara
teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan
hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai
otoritas atau memiliki kekuatan mengikat,46 yaitu:
1) Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata).
45 Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian danPenulisan Tesis, Universitas Udayana, h. 11-12.
46 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,Jakarta, h. 34
2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
6) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
7) Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
8) Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang
perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996
tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan.
9) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang
Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No.
02591/B/SK/VIII/91.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah,
tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.47 Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum
yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan
mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam
penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain efisien, tanpa batas (without
47 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141.
boundry), terbuka 24 jam (24 hours online), interaktif dan terjalin dalam sekejap
(hyperlink).48
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
berupa kamus.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan
hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan
pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis
sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.49 Tujuan dari tehnik dokumentasi ini
adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-
penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.50
1.6.5 Teknik Analisis
Dari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, baik
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan
menggunakan tehnik deskripsi, interpretasi, argumentasi, evaluasi, dan
sistematisasi. 51 Pengertian dari masing-masing tehnik analisis dimaksud adalah
sebagai berikut :
48 Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, h. 325.49 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20, Alumni,
Bandung, h. 150.50 Romy Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 98.51 Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, Op.cit, h. 14-15.
a. Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-
proposisi hukum maupun non hukum.
b. Tehnik interpretasi, adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum,
terutama penafsiran kontekstualnya.
c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum.
d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau
tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan rumusan norma,
keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
e. Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum
atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun yang tidak sederajat.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah
mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “
hukum perlindungan konsumen “.
Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah
sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam
materi keduanya. Juga, apakah kedua “ cabang “ hukum itu identik. 52
M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer
law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of
law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which
ensure that weakness is not unfairly exploted. 53
Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.
Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik
batasnya.
52 Shidarta, Op.cit, h. 9.53 Ibid, h. 23.
Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa
hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum
konsumen menurut beliau adalah :
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan danmasalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.
Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai :
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur danmelindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barangdan atau jasa konsumen.
Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai
berikut :
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan danmasalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukansosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalahsekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampumempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukumperlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yangmengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidakseimbang.
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan
konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak)
konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta
bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi
materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau
hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya
termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya,
baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum
internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara
pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen
mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi :
informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna
kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi
produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan,
peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.
Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya
yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud
perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain
adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya
perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan
konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut
antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab
(konsideran huruf d, UU).
Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undang-
undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma
perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 54:
1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.
Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku
usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang
perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :55
1. keselamatan fisik;
2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;
3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;
4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;
5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti
kerugian;
6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi;
54 Yusuf Sofie II, Op.cit, h. 26.55 Taufik Simatupang, Op.cit, h. 11-13.
7. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan
dan kosmetik.
Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok
mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut56 :
1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa
sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD
1945;
2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak
negative penggunaan teknologi;
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat
rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga
untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan
yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua)
aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade
practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian.
Dalam pandangan ini secara tegas dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan
perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-tindakan atau perbuatan para
pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak jujur sehingga dapat
56 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 6.
merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya mengunakan
bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalanya
formalin. Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan
kepada konsumen dan usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang
dapat merugikan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen mempunyai
suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat
macam kepentingan, yaitu sebagai berikut57 :
1. Kepentingan fisik;
Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan
keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang
dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan
keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh
pelaku usaha.
2. Kepentingan sosial dan lingkungan;
Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan
konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumber-
sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang
57 M. Ali Mansyur, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen DalamPerwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, h. 81.
merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang
benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan
terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak
aman.
3. Kepentingan ekonomi;
Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang
sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen
juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan
keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang
dihasilkan.
4. Kepentingan perlindungan hukum.
Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to
justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku
usaha yang merugikan.
2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang,
biasanya dikenal sejumlah asas atau prisip yang mendasari diterbitkannya undang-
undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan
peraturan pelaksananya.58 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan
undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.59
Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut : “
…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan
pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang
kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum
dalam peraturan kongkrit tersebut “.60
Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat
bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya, asas-asas
hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata
hukum. 61 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu,
pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat
dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung
58 Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, h. 3.59 Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie III)h. 25.60 Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, h. 5-
6.61 Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo I),h. 87.
tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-
peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.62
Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen,
terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen
dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku
usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang
berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal
2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah :
1. Asas manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak
yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing
pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya.
Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada
gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
2. Asas keadilan
62 Ibid, h. 85.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui
perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK
mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan Pemerintah
memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen)
dan Pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak
dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya
yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya
bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan
harta bendanya. Karena itu Undang-Undang ini membebankan sejumlah
kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larang yang harus
dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.
5. Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.
Artinya Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan
kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh
karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini
sesuai dengan bunyinya.
Memperhatikan substansi pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara
Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen,
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.
Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian sebagai “ tiga
ide dasar hukum “ atau “ tiga nilai dasar hukum “, yang berarti dapat dipersamakan
dengan asas hukum. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak
jurist menyebut sebagai tujuan hukum.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam
asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian
dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen
disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.
Sedangkan asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan,
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi
kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah.
Kepentingan Pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam
hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen.
Kepentingan Pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang
kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai
pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen
menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana
pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol
sosial.63
Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen
tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang
terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan
hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas
kebebasan, persamaan dan solidaritas.64 Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek
hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan
orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial.
Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan
yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya.
Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.
Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari
kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak,
maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan
seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan
bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas
63 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 28.
64 Ibid.
solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya
privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah
kepentingan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas
yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum
ekonomi.
Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam
perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku
usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya
paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan
kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan Pemerintah sebagai lembaga
eksekutif di dalam suatu Negara. Sesuai fungsi kehadiran Negara, maka Pemerintah
sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya
yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di
Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Dalam pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan
secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam
rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Mengacu pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan
bahwa :
“ perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanyakepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen .“
Kata segala upaya adalah menyiratkan bahwa perlindungan konsumen
bertujuan untuk membentengi tindakan sewenang-wenangan dan agar pihak pelaku
usaha memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana mestinya.
Agar segala upaya tersebut berjalan efektif, ukurannya secara kualitatif ditentukan
dalam undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya juga
dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun dalam bidang
hukum public (hukum pidana maupun hukum administrasi negara).
Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan
pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untukmelindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dariekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, danmenuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastianhukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungankonsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalamberusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usahaproduksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dankeselamatan konsumen.
Achmad Ali mengatakan bahwa “ masing-masing undang-undang memiliki
tujuan khusus “.65 Hal itu tampak dalam pengaturan pasal 3 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang juga mengatur tujuan khusus
perlindungan konsumen sekaligus membedakan tujuan umum.
Rumusan tujuan perlindungan konsumen huruf a dan e mencerminkan tujuan
hukum mendapatkan keadilan. Sedangkan rumusan huruf a, b, termasuk c dan d serta
huruf f mencerminkan tujuan hukum memberikan kemanfaatan, dan tujuan hukum
khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf
d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita
lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat
dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai
dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila
didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-
undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur
masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran
hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa
65 Achmad Ali, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali I), h. 25.
kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga
unsur yang saling berhubungan.66
Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana
seperti yang telah dicita-citakan, hal ini harus diperkuat oleh kesatuan dari
keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-undang perlindungan
konsumen didukung oleh sarana dan fasilitas yang menunjang.
2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen
Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau
perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara
perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut :67
1) membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk :
a. Memberikan hak dan kewajiban;
b. Menjamin hak-hak para subyek hukum;
2) Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui :
a. Hukum administrasi Negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif)
terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan
pengawasan;
66 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 1988, Yarsif Watampone,Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali II),h. 191.
67 Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,Universitas Lampung, Bandar Lampung, h. 31.
b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap
pelanggaran terhadap peraturan-undangan, dengan cara mengenakan
sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman;
c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative,
recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.
Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi
yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih
hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak
konsumen.
Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal
procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan
hukum (law enforcement) yang menatap adalah dambaan masyarakat Indonesia
sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan
memetik hasilnya.68
Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan
oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang
pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner
di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen.
68 Munir Fuadi, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 184.
Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok
ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap
keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang
suaranya nyaris tak didengar.”
Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of
Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak
konsumen sebagai berikut:
(1). the right to safety (hak atas keamanan);
(2). the right to choose (hak untuk memilih);
(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi);
(4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).
Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam
Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right.
Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi,
hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas
lingkungan yang sehat.
Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak
Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-
masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak
dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk
memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk
memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga
menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :
1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn
gezendheid en veiligheid);
2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn
economische belangen);
3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);
5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal
15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah
perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya
diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum
PBB (UN General Assembly).
Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for
Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang
dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection)
melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang
Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan
konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia adalah :
1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan
keamanan konsumen;
2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;
3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih
sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya;
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen;
6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang
sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk
mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh
tahun dari lembaga-lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh
International Organization of Consumers Union (IOCU).
Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson,
menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability.
Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak:
1. To select commodities and service of their own will;
2. To know the real circumstances of the price, quality, Weight-measurement,
function, ect., of commodities and service;
3. To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes
as stipulated by law;
4. To request receipts for payment in purcahsing commodities and services;
5. To request repairing, replacing, or returning commodities or service because of
unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the
parties, to request compensation when persobal or property damage is caused
thereof;
6. To have other rights as stipulated law.
Lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Negara-negara maju, adalah
bukti adanya hak-hak konsumen dijunjung tinggi dan dihargai, demikian juga dalam
perkembangannya di Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan membanjirnya
aneka macam produk barang dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula
dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai produk tersebut. 69
Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan
keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan
utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen
(terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.
69 C. Tantri D. Sulastri, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga KonsumenIndonesia, Jakarta, h. 18.
Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai
puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di
Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan
konsumen ini telah ditinggalkan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan
merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak,
penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat
pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di
negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi
rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan.
Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi
maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu
menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk
menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya
diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif
dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan
tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas
keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk
negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari
para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional –
dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk-
produk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen.
Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan
keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara
kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi kebijakan-
kebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga menjadi lebih
sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan
cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar
negeri.
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan
kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki
kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih.
Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relatif
rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini
umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun
mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi
tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa
tersebut karena sesuai dengan daya belinya.
Disamping itu hak konsumen dalam memilih barang atau jasa tidak akan ada
artinya bila pengadaan barang atau jasa dimaksud dilakukan secara monopoli.
Untuk kasus seperti ini, lagi-lagi golongan konsumen menengah ke atas tetap
dapat mempraktekkan hak pilihnya, misalnya dengan mencari alternatif pilihan
barang atau jasa yang lain tanpa mempersoalkan harganya. Namun bagi golongan
konsumen dengan penghasilan rendahlah yang akan mengalami tekanan cukup
parah dalam merealisasikan hak pilihnya.
Oleh sebab itu dalam menembus pembatasan akan hak pilih ini, sudah saatnya
konsumen menggalang kekuatan dengan meningkatkan rasa solidaritas. Karena
dengan cara penggalangan kekuatan itulah kekuatan konsumen akan dapat
terwujud.
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
Informasi yang benar serta lengkap dari suatu produk barang/ jasa harus
disertakan oleh produsen. Hal ini sangat penting, karena kelangkaan ataupun
kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan
membahayakan bagi konsumen.
Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi. Antara lain
dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara langsung; (b). melalui media
komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label barang atau jasa.
Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara
langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja,
tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut
kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan
keselamatan konsumen.
Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan
aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar
pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh
produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya.
Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya
pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian informasi secara berlebihan.
Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering
mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen
perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan
dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya,
konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan
mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami
kerugian di belakang hari.
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi.
Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen
berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha
bersangkutan.
Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan
menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang
sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta
keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun
pedagang.
Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu
kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu
memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa
perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini
belum dimanfaatkan.
Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau
sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada
bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang,
biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan
ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang
menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu mendapat perhatian, agar
konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan.
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup
juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan
martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk
berlaku jujur dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa
merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya,
antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling
membutuhkan.
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama
yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen
untuk ditipu atau tertipu semakin kecil.
Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen
memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan
sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk
mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen.
Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan
formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya
masyarakat.
Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen
untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan “ tidak
harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin
kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut
pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk
informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur
komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan
program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti
tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka
membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen
lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang
pejabat tidak perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha
memberikan perlakuan khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak
dibeli konsumen dengan harga sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah
habis, sementara bagi konsumen yang berani membelinya diatas tarif, maka tiket
tersebut akan dengan mudahnya diperoleh.
Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
oleh pelaku usaha.
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasar-
dasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan
hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak
penjual dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku
perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat
mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian
sengketa kepada para pihak.
Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada
konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian,
apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam
kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari
pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan
sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh
kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi.
Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran,
mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya
sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya, berupa :
- Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima
sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di
dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap
makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup
meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.
Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal
5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini
dinyatakan secara tegas.
Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme
hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.
Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil
hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam
The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh
ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya
bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar
terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling
Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah
perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang
disebut SNI 5000.
- Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan
“ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha
menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau
memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana
yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan
perekonomian.
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan
itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh
keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.
Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau
lambat pasti terjadi.
Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan
harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen
saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya
untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada
kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali
dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula
yang dirugikan.
Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat
dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh
Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan
konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh
perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan
(2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24.
Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan
harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi
vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.
Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak
ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen
yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen
yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama
diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-
hak konsumen bersifat universal.
Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan
dalam pasal 5 UUPK, yakni :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian ataupemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
2.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan
dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen.
Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang
harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan kewajiban
tersebut adalah seimbang.
Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK
adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenaikondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikadtidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukumsengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugiankonsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan danpemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidakdiskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkanberdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barangdan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yangdibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibatpenggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yangdiperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ataujasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen
dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.
Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17
menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut
Nurmanjito, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan
agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak
edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik
melalui label, iklan, dan lain sebagainya.70
Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan
terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.71
Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut
dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman,
layak konsumsi bagi konsumen.
Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang
produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa,
antara lain :
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/ataujasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan danketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalamhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barangtersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitunganmenurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ataujasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atauketerangan barang dan/atau jasa tersebut;
70 Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan TentangPerlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju, Bandung, h. 18.
71 Ibid.
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktupenggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat namabarang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keteranganlain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalambahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barangdimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yangrusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasisecara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarangmemperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dariperedaran.
Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan
representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang
diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang
berlaku/tidak melanggar hukum.
Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan
larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana
penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau
menyesatkan konsumen.
Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk
mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian
melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat
mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan
pasal 14 UUPK yang menyebutkan :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untukdiperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-
cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis
konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupunpsikis terhadap konsumen.
Salah satu cara pemaksaan produk yang dimaksud adalah door to door sale,
rayuan dari sales tersebut ke rumah-rumah konsumen disadari baik secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis konsumen. Penawaran
barang melalui cara ini, dapat mengusik ketenangan konsumen, karena walaupun
konsumen telah menyatakan tidak berminat terhadap barang yang ditawarkan, namun
sales tetap berusaha merayu agar konsumen membelinya.
BAB III
KETENTUAN LABEL PANGAN
DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN
3.1 Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi
Ketentuan hukum mengenai pelabelan tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010
tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang, UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah
dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebagai undang-
undang payung tidak mengatur secara spesifik mengenai pelabelan khususnya produk
pangan. Pengaturan secara lebih spesifiknya ada dalam PP No. 69 Tahun 1999.
Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7
Tahun 1996 tentang pangan.
Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud
dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.
Pengertian yang sama juga ada dalam ketentuan pasal 1 angka 15 UU No 7 Tahun
1996.
Lebih lanjut didalam pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa :
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemas pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.
Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan
bahwa :
(1). Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.
(2). Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Dari penjelasan pasal-pasal diatas, dapatlah dilihat bahwa label itu berbeda
dengan merek. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang N0. 15 Tahun 2001 tentang
Merek, merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. 72Merek
memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil
perusahan yang satu dengan perusahaan yang lain.73
Ditinjau dari fungsi, merek dapat berfungsi sebagai tanda pengenal untuk
membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara
bersama sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau
badan hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil
produksinya cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu
barangnya.74
Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat,
asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan
kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi.
Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang
lain, diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan
dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan
terhadap suatu merek (brand loyalty). Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau
brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek.75
Merek dapat dipahami lebih dalam pada tiga hal berikut ini :
73 Rachmad Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan danDimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 48.
74 Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 89.
75 Ahmad Fauzan, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama Widya,Bandung, h. 127.
1. Contoh brand name (nama) : nintendo, aqua, bata, rinso, kfc, acer, windows,
toyota, zyrex, sugus, gery, bagus, mister baso, gucci, c59, dan lain sebagainya.
2. Contoh mark (simbol) : gambar atau simbol sayap pada motor honda, gambar
jendela pada windows, gambar kereta kuda pada california fried chicken (cfc),
simbol orang tua berjenggot pada brand orang tua (ot) dan kentucky friend
chicken (kfc), simbol bulatan hijau pada sony ericsson, dan masih banyak contoh-
contoh lainnya yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari.
3. Contoh trade character (karakter dagang) : ronald mcdonald pada restoran
mcdonalds, si domar pada indomaret, burung dan kucing pada produk makanan
gery, dan lain sebagainya.
Sehingga jelas, dalam hal ini label dan merek itu berbeda, merek semata-mata
lebih difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk,
sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen karena
didalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu produk.
Informasi sebagai pengertian merupakan stimuli yang secara konsisten
menggerakkan perilaku (behavior) antara si pengirim dan penerima informasi. 76
Selanjutnya Vincent Gaspersz, mengatakan informasi adalah data yang telah diolah
menjadi suatu yang berguna bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata atau
76 Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie In deJarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung, h. V.
yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang dan keputusan-
keputusan yang akan datang.77
Pada dasarnya informasi adalah data yang penting yang memberikan
pengetahuan yang berguna. Apakah suatu informasi itu berguna atau tidak tergantung
kepada :
(1) Tujuan Si Penerima
Apabila informasi itu tujuannya untuk member bantuan, maka informasi itu
harus membantu si penerima dalam apa yang ia usahakan untuk
memperolehnya.
(2) Ketelitian penyampaian dan pengolahan data
Dalam menyampaikan dan mengolah data, inti pentingnya informasi harus
dipertahankan. Jadi dengan informasi orang akan memperoleh keterangan yang jelas
mengenai sesuatu hal.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan
pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun
nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut.
Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen
dengan pelaku usaha itu.
77 Vincent Gaspersz,1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico,Bandung, h. 15.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa
yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya,
harga, tentang persyaratan dan/atau cara memperolehnya, terutama jaminan atau
garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jas purna jual, dan
lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan
menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari
berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan
secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada
umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan
perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa
di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat
di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam
kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu
terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional,
atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua, informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada
pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat
pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes
organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi
konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-
hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada
harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen,
importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber
informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media
nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti
brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada
umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan
memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar
produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang
diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah
informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan
dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha
lainnya. 78
Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban
Pencantuman Label pada Barang.
Informasi dapat memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi
dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap
78 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 71.
produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang
memenuhi kebutuhannya.79
Ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah
satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai
suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk
tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa
representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. 80
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu
penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi
terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam
kaitannya dengan misrepresentation banyak sekali disebabkan karena tergiur oleh
iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut
tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya
menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk
tersebut ditutupi.81
Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi
alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan konsumen terhadap
produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui
79 Ibid.80 Agnes M. Toar, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 55.81 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, h. 54-55.
brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan
sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji
yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam
ikatan jual beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas.
Pertimbangan hakim yang menggolongkan perbuatan produsen sebagai
wanprestasi diatas, dapat diartikan bahwa brosur yang dikeluarkan oleh produsen
merupakan bagian dari perjanjian, sehingga sebagai konsekuensinya, yang dapat
menuntut ganti kerugian hanya pihak yang terikat perjanjian dengan pelaku usaha.
Hal ini berbeda dengan Section 402 B Rest 2d of Tort, yang menempatkan
misrepresentasi sebagai alasan pertanggunggugatan pihak penjual terhadap kerugian
yang dialami oleh konsumen walaupun konsumennya tidak membeli atau terikat
kontrak dengan penjual. Lebih jelasnya Section 402 B Rest 2d of Tort, menentukan 82:
“ One engaged in the business of selling chattels who, by advertising, label,or otherwise, make the public a misrepresentation of a metrial fact concerningthe character or quality of a chattel sold by him is subject to liability forphysical harm harm to consumer of the chattel caused by justifiable relianceupon the misrepresentation, even though :a. It is not made fraudulently or negligently, andb. The consumer has not bought the chattel from or enterd into any
contractual relation with seller. “
Pembebanan tanggung gugat/tanggung jawab terhadap produsen yang
merepresentasikan suatu produk secara tidak benar, baik dengan alasan wanprestasi
maupun dengan alasan perbuatan melanggar hukum, merupakan suatu sarana yang
dapat memberikan perlindungan kepada konsumen, karena dengan adanya
82 Ibid.
pertanggungjawaban/pertanggunggugatan tersebut dapat menmbuat produsen lebih
berhati-hati dalam merepresentasikan suatu produk tertentu, sehingga konsumen
dapat memperoleh gambaran yang benar terhadap suatu produk.
Representasi ini lebih menuntut kehati-hatian bagi orang yang mempunyai
keahlian khusus, karena apabila orang yang mempunyai keahlian khusus melakukan
representasi kepada orang lain – berupa nasihat, informasi atau opini- dengan maksud
agar orang lain mengadakan kontrak dengannya, maka dia berkewajiban untuk
berhati-hati secara layak bahwa representasi itu adalah benar, serta nasihat, informasi
atau opini itu dapat dipercaya. Jika ia tidak berhati-hati atau secara sembrono
memberikan nasihat, informasi atau opini yang keliru maka ia akan bertanggung
gugat dalam memberikan ganti kerugian.
Repsentasi suatu produk dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Salah satu
larangan yang berkaitan dengan representasi tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 8
ayat (1) f dan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan.
Disamping larangan diatas, masih banyak larangan bagi pelaku usaha dalam
menawarkan barangnya kepada konsumen, namun secara garis besar, kesemuanya
adalah mengenai kualitas/kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut,
serta pemberian hadiah kepada pembeli.
Berdasarkan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan representasi produk
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka tidak dipenuhinya ketentuan
tersebut oleh produsen yang menyebabkan kerugian konsumen, dapat dituntut
berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yang berarti bahwa untuk menggugat
pelaku usaha, konsumen tidak harus terikat perjanjian dengan pelaku usaha yang
digugat. Dengan demikian ketentuan dalam UUPK dapat memberikan perlindungan
hukum kepada pihak ketiga yang tidak terikat dengan pelaku usaha sebagaimana
halnya ketentuan dalam Section 402 B Rest 2d of Tort. Hal tersebut merupakan
langkah maju dibanding dengan menggolongkan misrepresentasi sebagai wanprestasi.
Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk
yang merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang
berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi
penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan
penggunaan produk.
Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada
konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan
kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaitan dengan keamanan
suatu produk.83 Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib menyampaikan
peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen pembuat tersebut
tidak berakhir hanya dengan menempatkan menempatkan suatu produk dalam
sirkulasi.
Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cara pemakaian dan peringatan
atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu
83 Endang Sri Wahyuni, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya DenganPerlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.
produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi
peringatan sederhana, misalnya “ simpan di luar jangkauan anak-anak “ dan berlaku
pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk
tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian harus
disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai.
Dalam kaitan dengan penyampaian informasi tentang penggunaan produk
kepada konsumen, maka peringatan untuk obat-obatan selayaknya lebih lengkap
dibanding dengan informasi untuk produk lainnya. Begitu pula jika kelompok
pemakai adalah anak-anak, maka harus dicantumkan peringatan yang lebih jelas dan
tegas.
Kelalaian menyampaikan peringatan terhadap konsumen dalam hal produk
yang bersangkutan memungkinkan timbulnya bahaya tertentu akan menimbulkan
tanggung gugat bagi produsen, karena walaupun secara fisik produk tersebut tidak
cacat, namun secara hukum produk tersebut dikategorikan sebagai produk cacat
instruksi, karena dapat membahayakan konsumennya. Pembebanan tanggung gugat
yang demikian hanya akan dibebankan kepada produsen manakala produsen tersebut
mempunyai pengetahuan atau dapat mempunyai pengetahuan tentang adanya
kecenderungan bahaya produk.
Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa produsen telah
menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen
tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya, atau dapat pula terjadi
bahwa peringatan itu telah disampaikan tapi tidak jelas atau tidak mengundang
perhatian konsumen untuk membacanya. Dalam kasus ER Squibb & Sons Inc V Cox,
pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannya
sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen tidak menggunakan cara
yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan
konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti
kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.
Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi
penggunaan produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi
konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau
petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar
produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang
tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.84
Walaupun terdapat kewajiban bagi konsumen untuk mengikuti instruksi
penggunaan suatu produk, namun instruksi tersebut tidak selamanya dipatuhi oleh
konsumen, misalnya penggunaan suatu produk (obat-obatan) oleh dokter atau
berdasarkan etiket produk tersebut telah diberikan instruksi bahwa pemakaiannya
hanya dalam dosis tertentu, misalnya satu tablet per hari, namun konsumen sendiri
yang tidak mematuhi instruksi tersebut. Kesalahan konsumen dalam penggunaan
produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat tanpa resep).
84 Ibid, h. 60.
Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh para ahli aman dan
manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera pada label beserta
peringatannya, namun permasalahannya adalah mengobati diri sendiri dengan
menggunakan obat bebas sesungguhnya bukanlah aktivitas yang mudah, sederhana
dan selalu menguntungkan, karena tanpa dibekali dengan pengetahuan yang
memadai, tindakan tersebuut dapat menyebabkan terjadinya ketidaktepatan
penggunaan obat, yang bukannya menyembuhkan tetapi justru memperparah
penyakit, memperburuk kondisi tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya
menjadi cirri utama penyakit yang lebih serius dan berbahaya.
Instruksi yang disampaikan kepada konsumen suatu produk memang paling
banyak berkaitan dengan produk obat-obatan, karena produk obat-obatanlah yang
akan lebih banyak menimbulkan kerugian manakala konsumen melakukan kesalahan
(ketidaksesuaian instruksi) dalam mengonsumsinya. Ini bukan berarti bahwa produk
lain tidak membutuhkan instruksi tentang cara pemakaiannya, karena terhadap
banyak produk lain, instruksi tersebut juga dibutuhkan oleh konsumen, karena setiap
produk yang memiliki kemungkinan menimbulkan kerugian manakala terjadi
penggunaan secara keliru seharusnya memiliki instruksi tentang cara pemakaiannya.
Hak untuk mendapatkan informasi adalah salah satu hak konsumen yang
paling mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen
kemudian menentukan/memilih produk untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu,
memberi informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur melalui label, adalah
melanggar hak konsumen. Melanggar hak orang lain berarti pula melakukan
perbuatan melanggar hukum.85
Oleh sebab itu, memberi informasi yang benar mengenai produk berarti
membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab
dalam memenuhi kebutuhannya. Ini berarti pula memberi kesempatan kepada
konsumen mempergunakan haknya yang lain, yaitu hak untuk memilih.
Hendaknya produsen tidak mengharapkan konsumen memilih produknya
karena konsumen khilaf atau sesat, tetapi benar-benar sebagai cerminan keinginan
dan kebutuhannya. Dengan demikian, ada pegangan bagi produsen bahwa produknya
benar-benar diminati dan dibutuhkan masyarakat, dan atas dasar inilah produsen
menyusun kebijakan/strategi pengembangan melalui usahanya. Karenanya, memberi
informasi yang benar (melalui label) adalah kebutuhan bersama antara konsumen dan
produsen karena akan memberi keuntungan kepada produsen dan konsumen.
Berkaitan dengan pentingnya informasi ini, Durrel B. Lucas dan Steuart
Henderson Britt menggambarkan sebagai berikut :
If consumers are well informed and armed with honest data, they will make choicesthat will end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency86
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi
yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai
gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan
85 Yusuf Sofie & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap BerbagaiPersoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta, h. 59.
86 Celine Tri Siwi, Op.cit, h. 87.
dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai
media, atau mencantumkan label dalam kemasan produk (barang).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang
mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa
petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan
sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari
manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu
memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation.
Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah
(false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indicator yang jelas, dan (2)
pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat
tertentu padahal tidak.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi
yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat
ini : (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2) daya beli
konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran,
sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat
berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang
lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.
Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang
ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998
membedakan konsumen berdasarkan hak ini. 87 Ia menyatakan, sebelum kita
melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada
persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.
Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu :
a. Konsumen yang terinformasi (well-informed)
b. Konsumen yang tidak terinformasi.
Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah :
- Memiliki tingkat pendidikan tertentu;
- Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan
dalam ekonomi pasar, dan
- Lancar berkomunikasi.
Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab
dan relative tidak memerlukan perlindungan.
Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-
ciri, antara lain :
- Kurang berpendidikan;
- Termasuk kategori kelas menengah ke bawah;
- Tidak lancar berkomunikasi.
Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab
Negara untuk memberikan perlindungan.
87 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 34.
Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus
dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak
dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib
dilindungi oleh Negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua
konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan
informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider
trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius.
Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa
akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat
konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki
kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal
dengan Consumer Ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi
akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja
dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum
perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang
didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara
tidak diskriminatif.
3.2 Pentingnya Pelabelan Pangan Bagi Konsumen Untuk Mendapatkan
Perlindungan
Informasi tentang pangan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia,
karena selama manusia hidup tidak akan pernah lepas dari yang namanya pangan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat
mendasar karena sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia.
Artinya pangan adalah kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi.
Pangan yang cukup aman, bermutu, dan bergizi merupakan prasyarat utama
yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat
serta sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas
merupakan unsur terpenting dan sekaligus tujuan utama pembangunan nasional
karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu keberhasilan
pembangunan nasional yang pada akhirnya ditentukan dengan tingkat konsumsi
pangan / makanan yang bergizi serta tidak mengandung zat-zat kimia yang
membahayakan kesehatan manusia serta terjaminnya ketersediaan pangan yang
memadai serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan
terwujudnya suatu sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada
masyarakat yang mengkonsumsi pangan tersebut, maka pangan yang beredar
dimasyarakat harus memenuhi persyaratan keamanan pangan.
Peredaran pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui mata
rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga
tiba ditangan konsumen. Agar mata rantai tersebut memenuhi persyaratan keamanan,
mutu, dan gizi makanan perlu diwujudkan suatu sistem pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan yang efektif dibidang keamanan , mutu dan gizi makanan.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa
pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang
diolah, diperuntukan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku, dan bahan lainnya dalam diproses
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan, dan minuman.
Lebih lanjut pasal 1 ayat 1 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan
makanan menyebutkan bahwa Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan,
bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka
masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik
mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai
pangan yang beredar di pasaran.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari
labelnya. 88 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan
pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan.
Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat
terjadi.89 Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih
88 Purwiyatno Hariyadi, Op.cit.89 Yusuf Shofie II, Op.cit, h. 15.
banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan
ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat.
Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak
diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan
pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan
masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia,
terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label
pangan. 90
Adalah UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap
label harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar. Produk pangan
hendaknya tidak dinyatakan, didiskripsikan atau dipresentasikan secara salah,
menyesatkan (misleading atau deceptive), atau menjurus pada munculnya impresi
yang salah terhadap karakter produk pangan tersebut. Bahkan, diskripsi atau
presentasi baik melalui kata-kata, gambar, atau cara lain hendaknya tidak secara
sugestif, baik langsung atau tidak langsung, membuat konsumen mempunyai impresi
dan asosiasi terhadap produk lain.
Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti bahwa istilah yang digunakan
pada label hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan
90 Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen CerdasMajalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010,Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc
pengawasan), kalangan produsen (untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun
oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya).
Kebenaran suatu informasi pada label hendaknya dikaji dan dievaluasi dengan
menggunakan prinsip ilmiah, yaitu berdasarkan pada fakta dan data ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini penting khususnya dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional. Namun, perlu disadari bahwa fakta dan data ini bisa saja
berubah terhadap waktu. Bahkan bisa saja hal itu berbeda antar negara sehingga
muncullah keperluan untuk melakukan transparansi informasi dan harmonisasi.
Salah satu manfaat pencantuman informasi yang benar pada label dan iklan
adalah untuk memberikan pendidikan kepada konsumen tentang hal yang berkaitan
dengan pangan. Informasi penting yang umum disampaikan melalui label dan iklan
tersebut antara lain berupa bagaimana cara menyimpan pangan, cara pengolahan yang
tepat, kandungan gizi pada pangan tertentu, fungsi zat gizi tersebut terhadap
kesehatan, dan sebagainya.
3.3 Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, maka produsen dan importir pangan berkewajiban untuk memberikan
keterangan dan atau pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan tentang pangan
dalam label. Akan tetapi jika diperhatikan label pangan yang beredar saat ini terdapat
beragam informasi di dalamnya, mulai dari nama produk tersebut hingga kata-
kata/kalimat bombastis yang biasanya hanya untuk kepentingan promosi semata.
Untuk itu sebagai konsumen yang cerdas, maka kita harus membiasakan diri
membaca/mengecek label dengan cermat. Sayangnya, dari hasil kajian yang
dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ditemukan bahwa
masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7%
konsumen yang memperhatikan kelengkapan pada label.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan label
pangan sesuai ketentuan pasal 1 angka 3 PP No. 69 Tahun 1999 adalah setiap
keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya
atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan
pada atau merupakan bagian kemasan pangan.
Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menurut hemat penulis
menimbulkan persoalan. Kata ditempelkan menimbulkan kesan bahwa label dapat
ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak terpisah dari
kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa dipalsukan.
Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat dengan mudah
dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang.
Label berupa stiker banyak ditemukan pada produk-produk impor. Hal ini
pernah dikeluhkan oleh Ketua bidang Regulasi Gabungan Perusahaan Makanan dan
Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani. 91
91 “ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http://www.hukumonline.com.
Pelabelan kembali dengan cara mencabut, mengganti label tempelan sangat
mudah untuk dilakukan, bila dibandingkan jika produk itu labelnya disertakan pada
kemasan pangan atau yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan.
Kecenderungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis
ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian
pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur. Kecurangan tidak hanya akan
merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab.
Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pelaku
usaha yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan
kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap pelaku
usaha yang melakukan kecurangan dalam kegiatan usahanya.
Asas manfaat dalam hukum perlindungan konsumen, menekankan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen menekankan bahwa keamanan
dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan dijamin oleh Undang-Undang.
Dengan adanya peluang untuk berbuat curang dalam pelabelan karena
ketentuan yang ada terlalu mudah, maka potensi kerugian bagi konsumen dan pelaku
usaha yang jujur semakin besar. Sehingga jelas dalam hal ini asas manfaat dan asas
keselamatan dan keamanan konsumen tidak terpenuhi.
Guna terpenuhinya asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan konsumen,
tidakkah baiknya penggunaan kata ditempel pada pengertian label dihilangkan saja,
karena dengan menghilangkan kata ditempelkan, maka dapat membuat label menjadi
satu dengan kemasan. Penghilangan kata ditempelkan pada pengertian label
setidaknya juga akan meminimalisir terjadi kecurangan-kecurangan seperti yang telah
disebutkan diatas. Dari hasil kajian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
ditemukan bahwa penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak
terjadi salah satunya adalah label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan.
Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 menyebutkan :
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.
Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan
bahwa :
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Hal yang sama juga ditentukan dalam pasal 111 ayat (3) Undang-Undang
Kesehatan No. 36 Tahun 2009.
Point a, c, d dalam pasal 3 ayat (2) dalam pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999
disebut sebagai bagian utama dari label. Yang dimaksud dengan bagian utama yaitu
bagian yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui konsumen.
Nama produk penting karena nama produk menunjukkan identitas mengenai
produk pangan. Padanya harus memberi penjelasan mengenai produk yang
bersangkutan, tidak menyesatkan dan harus menunjukkan sifat dan atau keadaan yang
sebenarnya. Bila terdapat gambar dalam label produk, gambar ini harus menunjukkan
keadaan yang sebenarnya. Misalnya, disuguhkan gambar buah-buahan, sayur, daging,
ikan atau lainnya harus benar mengandung bahan-bahan itu.
Penggunaan nama produk pangan tertentu yang sudah terdapat dalam Standar
Nasional Indonesia, dapat diberlakukan dengan wajib dengan Keputusan Menteri
Teknis. Dengan perkembangan teknologi di bidang pangan maka terdapat produk
pangan tertentu yang tidak atau belum memiliki nama produk, misalnya makanan
ringan yang dikenal dengan dengan istilah snack seperti chiki, tazzoz, dan lain-lain.
Oleh karena itu cukup dicantumkan nama jenis produk pangan yang bersangkutan,
seperti makanan ringan. Nama produk berbeda dengan nama dagang. Nama dagang
adalah merek. Merek sebagaimana diterangkan adalah suatu tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur yang merupakan tanda pembeda produk yang satu dengan produk lan.
Misal, nama produk : minyak goreng, nama dagang/merek : sania.
Berat bersih (isi bersih) adalah pernyataan yang memberikan keterangan
mengenai kuantitas atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan atau
wadah. Penggunaan ukuran isi (liter dan sejenisnya) untuk makanan cair, ukuran
berat (kg dan sejenisnya) untuk makanan padat. Dan ukuran isi atau berat untuk
makanan semi padat atau kental. Khusus pangan yang menggunakan medium cair
maka berat bersih harus diukur dengan medium cair (setelah ditiriskan, drained
weight), dan disebut sebagai berat tiris. Contoh berat bersih 680 g.
Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia juga merupakan bagian utama dari label. Dalam hal pihak
yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia berbeda dengan pihak yang
mengedarkan, maka nama dan alamat pihak yang mengedarkan (distributor) juga
harus dicantumkan dalam label. Pentingnya mencantumkan nama dan alamat ini
adalah untuk memudahkan konsumen jika dikemudian hari produk yang dihasilkan
menimbulkan kerugian pada konsumen. Nama dan alamat ini paling tidak
menginformasikan nama kota, kode pos dan nama Negara.
Daftar bahan yang digunakan (ingredient list) adalah daftar yang memuat
setiap jenis bahan yang diformulasikan untuk produk pangan, kecuali vitamin,
mineral, dan zat penambah gizi lainnya. Dicantumkan berurutan secara menurun
mulai dari bahan yang dominan digunakan berdasarkan berat. Untuk air, bila dalam
proses pengolahan ditambahkan maka harus dicantumkan sebagai bahan yang
digunakan, sedangkan bila merupakan kandungan suatu bahan atau mengalami
penguapan selama proses pengolahan, maka air tidak perlu dicantumkan. Penyebutan
nama bahan baku harus dalam nama umum/nama yang lazim digunakan/ nama yang
telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia. Misalnya untuk bahan gula, tidak
dicantumkan sebagai sukrosa. Dengan dicantumkannya daftar bahan yang digunakan
dalam label, konsumen dapat mengetahui apakah produk tersebut aman untuk
dikonsumsi, hal ini penting karena mungkin saja konsumen ada alergi pada suatu
bahan makanan tertentu.
Tanggal kadaluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya
sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen (pasal
1 huruf d Permenkes RI No. 180/1985), sedangkan makanan daluwarsa adalah
makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsa (pasal 1 huruf c Permenkes RI No.
180/1985).
Makanan yang rusak baik sebelum dan maupun sesudah tanggal kadaluarsa
dinyatakan sebagai bahan berbahaya (pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985).
Dari tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label, konsumen dapat
mengetahui batas tanggal suatu produk makanan masih layak dikonsumsi. Akan
tetapi dari pengertian yang diberikan dalam pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985,
dapat diketahui bahwa belum tentu juga makanan yang masih dalam batas kadaluarsa
aman untuk dikonsumsi.
Jalan yang harus dilalui suatu produk dari produsen hingga sampai ke tangan
konsumen terkadang melalui mata rantai yang panjang. Panjangnya mata rantai yang
harus dilalui mengakibatkan banyak gangguan yang membuat makanan tak layak
dikonsumsi sampai ke tangan konsumen meski secara de jure masih aman.
Pencantuman masa kadaluarsa ini didasarkan pada aspek keamanan
(parameter utamanya adalah cemaran mikrobiologi, seperti jamur dan bakteri
pembusuk makanan) serta kelayakan konsumsi (parameter utamanya adalah
organileptik: penampakan, rasa, tekstur, bau, kandungan kimiawi). Jangan pernah
mengkonsumsi produk yang telah melewati masa kadaluarsanya. Dikhawatirkan ini
menjadi pencetus timbulnya gejala keracunan atau jika bakteri yang berkembang
seperti Clostridium botulinum maka dapat menyebabkan kematian. Gejala awal
umumnya muntah-muntah maupun mual. Oleh sebab itu masyarakat sebagai
konsumen harus proaktif dan kritis dalam menanggapi hal ini.
Beberapa waktu yang lalu pun di media sempat ramai oleh berita beredarnya
produk kadaluarsa di pasar-pasar tradisional yang dijual dengan harga yang sangat
murah dari harga sebenarnya. Bahkan ada juga produsen yang mendaur ulang produk
kadaluarsanya menjadi produk baru lagi. Tentulah kegiatan seperti tersebut diatas
tidak boleh dilakukan dan melanggar peraturan yang ada. Pemerintah perlu
melakukan tindakan pengawasan yang lebih baik lagi dan produsen harus menarik
produknya dari peredaran sebelum waktu kadaluarsanya habis dan memusnahkannya
sesuai prosedur yang berlaku.
Semua produk pangan yang akan dijual di wilayah Indonesia, baik produksi
lokal maupun impor, harus didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari
Badan POM, sebelum boleh diedarkan ke pasar (pasal 30 PP No. 69 Tahun 1999).
Selain nomor pendaftaran, kode produksi pangan pun wajib dicantumkan pada label,
wadah atau kemasan pangan. Kode produksi dicantumkan pada bagian yang mudah
dibaca dan dilihat.
Peraturan ini berlaku bagi semua produk pangan yang dikemas dan
menggunakan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi
Badan POM, nomor pendaftaran ini berguna untuk mengawasi produk-produk yang
beredar di pasar, sehingga apabila terjadi suatu kasus akan mudah ditelusuri siapa
produsennya dan akan mudah pula melakukan penarikannya.
Apabila kita melihat pada produk-produk makanan dan minuman yang
beredar di supermarket, toko, warung dan pasar, maka nomor pendaftaran dapat kita
temukan di bagian depan label produk pangan tersebut dengan kode SP, MD atau ML
yang diikuti dengan sederetan angka. Nomor SP adalah Sertifikat Penyuluhan,
merupakan nomor pendaftaran yang diberikan kepada pengusaha kecil dengan modal
terbatas dan pengawasan diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, sebatas
penyuluhan.
Nomor MD diberikan kepada produsen makanan dan minuman bermodal
besar yang diperkirakan mampu untuk mengikuti persyaratan keamanan pangan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan nomor ML, diberikan untuk produk
makanan dan minuman olahan yang berasal dari produk impor, baik berupa kemasan
langsung maupun dikemas ulang.
Bagi produsen yang mempunyai beberapa lokasi pabrik yang berlainan,
namun memproduksi produk yang sama, maka nomor MD yang diberikan adalah
berdasarkan kode lokasi produk. Sehingga dapat terjadi suatu produk pangan yang
sama, akan tetapi mempunyai nomor MD yang berbeda karena diproduksi oleh pabrik
yang berbeda.
Hal ini dimaksudkan untuk meringankan produsen bila terjadi suatu kasus
terhadap suatu produk dari merek tertentu, yang mengharuskan terjadinya
menghentian produksi atas produk tersebut. Maka yang terkena penghentian produksi
hanyalah di lokasi yang memproduksi produk MD yang terkena masalah.
Nomor pendaftaran tetap berlaku sepanjang tidak ada perubahan yang
menyangkut komposisi, perubahan proses meupun perubahan lokasi pabrik pengolah
dan lain-lain. Apabila terjadi perubahan dalam hal-hal tersebut di atas, maka produsen
harus melaporkan perubahan ini kepada Badan POM, dan bila perubahan ini terlalu
besar, maka harus diregistrasi ulang.
Akhir-akhir ini semakin banyak produsen yang menggunakan jasa produksi
dari pabrik lain, atas istilah tol manufaktur atau maclon. Dalam kasus ini, nomor MD
adalah diberikan kepada pobrik yang memproduksi produk tersebut. Sehingga apabila
produsen tersebut akan mengalihkan produksinya ke pabrik lain, maka harus
mendaftar ulang kembali ke Badan POM.
Sejauh ini pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah
Indonesia ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan
POM. Untuk makanan dalam negeri diperlukan fotokopi izin industri dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Formulir Pendaftaran dapat diperoleh di
Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM, Gedung D
Lantai III, Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat, Telp. 021-4245267. Setelah
formulir ini diisi dengan lengkap, kemudian diserahkan kembali bersama contoh
produk dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan.
Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut penilaian keamanan
pangan. Pada dasarnya klasifikasi penilaian pangan ada dua macam, yaitu penilaian
umum dan penilaian ODS (One Day Service). Penilaian umum adalah untuk semua
produk beresiko tinggi dan produk baru yang belum pernah mendapatkan nomor
pendaftaran. Penilaian ODS adalah untuk semua produk beresiko rendah dan produk
sejenis yang pernah mendapatkan nomor pendaftaran.
Bagian keempatbelas PP No. 69 Tahun 1999 ada menentukan mengenai
keterangan lain pada wajib dicantumkan pada label untuk pangan olahan tertentu.
Pasal 38
Keterangan pada Label tentang pangan olahan yang diperuntukan bagi bayi,anak berumur dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui,orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia, dan orang berpenyakittertentu, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan,dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampakpangan tersebut terhadap kesehatan manusia.
Pasal 39(1). Pada Label untuk pangan olahan yang memerlukan penyiapan dan ataupenggunaan nya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentangcara penyiapan dan atau penggunaannya dimaksud.(2). Apabila tercantum keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)tidak mungkin dilakukan pada Label, maka pencantuman keterangandimaksud sekurang-kurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan Pangan.
Pasal 40Dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan ataumemerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang carapenyimpanan harus dicantumkan pada Label.
Lebih lanjut Pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa keterangan
pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab,
dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan
ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus
menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk
diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Kemudian pasal 16 menyebutkan :
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latindiperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakanpadanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak
pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa
Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat
diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa
semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69
Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan
huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Sejak implementasi liberalisasi perdagangan dalam kerangka perdagangan
bebas Asean China (Asean China Free Trade Agreement/ACFTA), praktis ketakutan
terhadap membanjirnya produk impor makin kuat. Pasalnya, sebelum tarif sejumlah
sektor dibebaskan, produk impor terutama dari China telah beredar dengan bebas.
Pasar Indonesia kini tengah menjadi sasaran empuk bagi produk impor, terutama dari
China, seperti biskuit, permen, coklat, susu dan minuman ringan. Produk-produk
tersebut beredar di pasaran tanpa mengindahkan ketentuan label sebagaimana
ditentukan dalam PP No. 69 Tahun 1999, khususnya menyangkut masalah bahasa.92
Bahasa yang digunakan dalam label produk tersebut masih bahasa asal produk yakni
China.
Darimana konsumen akan tahu mengenai nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, tanggal, bulan, dan tahun
kadaluwarsa, keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, cara penyimpanan
dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak pangan
tersebut terhadap kesehatan manusia bila bahasa yang dipergunakan bukan bahasa
Indonesia.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak
dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam
perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa
mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko
92 “ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26 Oktober
2010, available from : http://m.antaranews.com
kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan
konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang
terdapat pada produk yang dibelinya.
Bagaimana konsumen tahu bahwa produk tersebut cocok, aman, bermanfaat
baginya bila ia tidak paham. Keterangan atau penjelasan pada label terkait dengan
keselamatan, keamanan dan kesehatan konsumen. Konsumen harus dilindungi dari
segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai
atau mengonsumsi produk (khususnya pangan).93 Dengan demikian, setiap produk
baik dari segi komposisi bahannya, dari desain dan kontruksinya, maupun dari segi
kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
Tidak dikehendakinya adanya produk yang dapat mencelakakan dan
mencederai konsumen. Disinilah arti penting label, karena dari label konsumen dapat
mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga
konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok.
Informasi dalam label tidak hanya berdampak signifikan dalam meningkatkan
efisiensi dari konsumen dalam memilih produk, tetapi di satu sisi label dengan
informasi yang lengkap yang dapat dipahami konsumen akan mampu meningkatkan
93 “ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from :
http://bataviase.co.id
kesetiaan konsumen terhadap suatu produk, dan hal ini tentu akan memberikan
keuntungan tersendiri bagi pelaku usaha.
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada
padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru
akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan
yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian
yang tidak diinginkan, karena pesan informasi tidak ditangkap konsumen, karena
kendala bahasa.
Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan
konsumen, asas kepastian hukum tidak dapat dipenuhi
Permasalahan dalam pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 tidak hanya
diberikannya lagi peluang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam label,
permasalahan lainnya juga pasal tersebut tidak memberi penjelasan, dalam hal
perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan.
Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Pasal 27
(1) Tanggal, bulan dan Tahun kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3ayat (2) wajib dicantumkan secara jelas pada Label.
(2) Pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik digunakansebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal produk pangan yang kadaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan,diperbolehkan untuk hanya mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja.
Meski telah ditegaskan bagaimana penulisan pencantuman label kadaluarsa,
tetapi hingga kini masih banyak produk yang tidak mengikuti ketentuan penulisan
tersebut. Banyak produk yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan
penanggalannya, seperti : “ manufacturing or packing date “ (diproduksi atau
dikemas tanggal), “ sell by date “ (dijual paling lama tanggal), “ use by date “
(digunakan paling lama tanggal), “ date of minimum durability / best before ”
(sebaiknya digunakan sebelum tanggal), “ exp ” (daluwarsa) yang diikuti angka-
angka. Bahkan tak jarang pula hanya berisi angka-angka melulu yang bagi
masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keadilan, kepastian hukum, asas
keamanan dan keselamatan konsumen tidak terpenuhi. Mengapa tidak terpenuhi,
karena pencantuman tanggal kadaluarsa pada label produk tidak hanya bermanfaat
bagi konsumen, tetapi juga bagi distributor, penjual maupun produsen itu sendiri,
yaitu :
a. Konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas tentang
keamanan produk tersebut;
b. Distributor dan penjual makanan dapat mengatur stok barangnya (stock
raotation);
c. Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan “ quality
control “ terhadap produknya.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
DALAM PELANGGARAN LABEL PANGAN
4.1 Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Konsumen
Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana
menciptakan ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga
masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna
kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri ialah untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat 94. Hukum juga dituntut untuk memenuhi
nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/ kemanfaatan dan kepastian
hukum. Hukum yang mengatur perlindungan konsumen tentu saja di tuntut pula
untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun
kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi
terabaikan.
Keefektivan hukum bila di kaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya,
maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada faktor yang mempengaruhinya :
a. Undang-undangnya harus dicanangkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja
mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan
penuh kepastian;
94 Soerjono Soekanto ,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung,(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 13.
b. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya
dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara seragam dan sedapat
mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh
warga masyarakat yang terkena;
c. Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut
pelanggar-pelanggar.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen
pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung
ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi
ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh
Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh
perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya
mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan
karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya
hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan
struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi
pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan
sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.
Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya
atau berjalannya suatu sistem hukum karena ddalam suatu sistem hukum menurut
Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which
sructure, substance and culturale interaction.
Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social
engineering) agar hukum (termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) bisa
menentukan corak hidup masyarakat(yang dalam hal ini corak hidup masyarakat
selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak
faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu akan
tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat
kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999). The law,
for Pound should act so to assure the maximum amount of fulfillment of interests in a
society.95 Individu akan selalu memilih aktifitas yang menguntungkan baginya dan
menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut
tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada
perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu.
Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat
konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil
teori Robert Seidman, yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu
melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat
pelaksana dan pemegang peran.
95 Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and HestonPublishers, New York, h. 89.
Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga
komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran.
Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana
pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan darinya,
namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut
adalah 96:
a. Sanksi yang terdapat dalam peraturan;b. Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum;c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang
peran.
Perilaku konsumen dan pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat
pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga
kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan
model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Menurut Hobbs dan
Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya
cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang
cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan
benturan-benturan dengan fihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung
akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan
hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk
mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.
96 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum,Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), h. 36.
Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga
masyarakat konsumen kurang memahami norma-norma tersebut, sehingga mereka
sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu
perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat
tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan
dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup
undang-undang tadi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perlindungan hukum
menurut Philipus M. Hadjon terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum preventif
dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan
hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan
hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan,
rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang
dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan
hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di
Pengadilan.
Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum
memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek
hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap
subyek hukum yang dilanggar haknya.
Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun
1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,
Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Pencantuman
Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan
Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91 dimaksudkan dalam upaya
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat konsumen. Oleh karena itu
tanggung jawab pelaku usaha atas informasi yang tidak memadai dalam label menjadi
kebutuhan yang mutlak. Tuntutan tanggung jawab merupakan perlindungan hukum
represif sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon.
Tanggungjawab yang dimiliki oleh suatu pihak dalam interaksinya dengan
pihak lain seharusnya dipenuhi manakala akibat dari kesalahan dari perbuatannya
menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Tanggungjawab ini harus dipenuhi tidak saja
atas kesalahan perbuatan dari orang yang menjadi tanggungannya atau kerugian yang
ditimbulkan akibat dari barang yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dapat
dicermati dari ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).
Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh
perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk
memperoleh informasi secara benar.
Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat
meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu
instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum
administrasi.
4.2 Tanggung Jawab Perdata Pelaku UsahaDalam Pelanggaran Label Pangan
Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut
serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi
pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada
produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu
melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan
yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu pedoman
bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business , tidak dapat diterapkan, tetapi
harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh
mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi
kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan
kegiatannya (pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggungjawab
untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan
nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku
usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang
bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam
rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha.
Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya
dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi
sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim
berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi
merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula
manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi
pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.
Terkait dengan pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan pelaku
usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, UU Pangan maupun PP No. 69 Tahun 1999. Sanksi ini dapat berupa
sanksi perdata, pidana maupun administratif.
Bagi pelaku usaha, selain dibebani kewajiban sebagaimana telah diuraikan
dalam bab sebelumnya ternyata juga dikenakan larangan-larangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum
dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan
standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan
yang menyesatkan konsumen.
Masuk dalam kualifikasi larangan kedua ini adalah pelanggaran yang
dilakukan pelaku usaha dalam pelabelan.
Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pelaku
usaha, ada tanggung jawab produk (Product Liability) yang harus dipikul oleh pelaku
usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha.
Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari pelaku usaha untuk selalu bersikap hati-
hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya.
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam
BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barangdan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupapengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisatau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberiansantunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) harisetelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkanpembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidakberlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahantersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dansegala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yangdiimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agenatau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabilapenyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atauperwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutupkemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atautidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksuddalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugatmelalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badanperadilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usahalain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatankonsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpamelakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b.pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanyaperubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atautidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan daritanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumenapabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjualkembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barangdan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannyaberkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahunwajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajibmemenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawabatas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelakuusaha tersebut : a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan sukucadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagalmemenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminandan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawabatas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidakdimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barangdibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugisebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakanbeban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha
meliputi :
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat
bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini
berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami
konsumen.
Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip
sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal
yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip
tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu :
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu
prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.97
Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan
perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini
dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata lazim dikenal sebagai pasal
tentang perbuatan melanggar hukum, yang mempunyai empat unsur pokok, yaitu:
1. Adanya perbuatan
2. Adanya unsur kesalahan
3. Adanya kerugian yang diderita
4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum. Pengertian “ hukum “ tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang,
tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil
bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.
Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti
kerugian yang diderita orang lain.
Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal
163 HIR atau 283 Rbg dan pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang
siapa yang mengakui mempunyai hak, harus membuktikan adanya hak atau
97 Innosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan TanggungJawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, h. 48.
peristiwa itu. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum
acara, yakni asas audi et altarem partem atau asas kedudukan yang sama antara
pihak yang berperkara.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu
prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia
dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada
tergugat. Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian
terbalik.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen rupanya mengadopsi system
pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, 23 dan 28.
Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap
bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.
Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian
cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini
harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen
tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.
c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of
nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk
selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung
jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility).
Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute
liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminology diatas.
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab
yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain
itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua pada ada
tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan
kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada
absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute
liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si
pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).
Menurut R.C. Hoeber et.al, biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan
karena (1) konsumen tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk
membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang
kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-
waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah
komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa
produsen lebih berhati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara
umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang,
yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab
itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk
yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga
hal :
(1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak
sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;
(2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar
pembuatan produk yang baik;
(3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).
Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak
pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan
kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat
(konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si
tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas
antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritannya. Selebihnya
diterapkan strict liability.
e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).
Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab
dengan pembatasan ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
Kembali pada ulasan mengenai product liability. Istilah product liability
diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “ tanggung gugat
produk “ atau juga “ tanggung jawab produk “.
Secara historis product liabity lahir karena ada ketidak seimbangan tanggung
jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya
menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah
strateginya menjadi consumer oriented.
Revolusi industry yang melanda Eropa dan kemudian menyebar ke daratan
Amerika Serikat menitik beratkan production centered development , dengan basis
utamanya adalah industrialisasi. Tujuan pembangunan adalah pencapaian
pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving, sementara
capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada
mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.98
Produsen lalu secara bebas dan leluasa memproduksi barang dan
melemparkan hasil produksinya itu ke pasar tanpa perlu mencermati kualitas dan
mutu barang. Pihak konsumenlah yang dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati
dalam membeli barang-barang tersebut demi keselamatan dirinya. Hal ini sesuai
dengan adagium yang berlaku waktu itu : caveat emptor konsumen selaku pembeli
haruslah berhati-hati.
Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia
akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan
dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan
akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industry dan perdagangan, sehingga
mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor
produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan
memasarkan barang-barangnya. Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan
produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya
tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena
pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak
mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai
instrument hukum perlindungan konsumen lahir.
98 John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumenterhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 86.
Pengertian product liability dapat ditemukan pada beberapa sumber berikut,
Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan product liability
sebagai berikut :
Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate buyers,users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defect ingood purchase.
Menurut Natalie O’Connor :
Product Liability, These were designed to protect the consumer from faulty ordefective goods by imposing strict liability upon manufacturers.
Menurut Hursh :
Product liability is the liability of manufacturer, processor or nonmanufacturingseller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused byproduct which has been sold.
Perkins Coie menyatakan :
Product Liability is the liability of the manufacturer or others in the chain ofdistribution of a product to a person injured by the use of product.
Sedangkan dalam convention on the Law Applicable to Products Liability
(The Hague Convention), article 3 menyatakan:
This convention shall applay to the liability of the following persons:1. manufacturers of a finished product or of a component part;2. producers of a natural product;3. suppliers of a product;4. other persons, including repairers, and warehousemen, in the commercial
chain of preparation or distribution of a product. It shall also apply to theliability oh the agents or employees of the persons specified above.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk
(producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu
proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau
badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan jika dilihat dari konvensi tentang product Liability di atas, berlakunya
konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian
komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha
bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-
badan usaha di atas.
Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga
menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik
kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal
yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa
meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha
pembuat produk (produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam
ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau
membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan
tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam
pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat
produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya
kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan
sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya.
Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh
berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal
1365 (dan 1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen
untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan
akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen.
Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian
ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak
manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai
konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang menyebabkan urgenitas penerapan
instrumen hukum product liability :
1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana
perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.
2. Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang telah
diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang
saling menguntungkan antara produsen dan konsumen.
3. Tata hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini,
tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen.
Tata hukum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian
kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kerugian yaitu instrumen
hukum wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) instrumen hukum perbuatan
melangaar hukum (pasal 1365 KUHPerdata).
4. Tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung
jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kotraktuil antara
produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh
pelaku usaha.
5. Seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan
instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum
haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscoeu Pound hukum
adalah a tool of social engineering
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan
prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory,
yaitu :
1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik
untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yan
mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut
dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi
yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil
produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam
suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar
(industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.
Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan
menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal :
pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen,
kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugian/kecelakaan, ketiga, adanya kerugian.
Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus
menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada
prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya
tidak ada modifikasi-modifikasi).
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict
liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk
seluruhnya atau untuk sebagian.
Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah :
a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation),
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian,
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau
diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka
bisnis,
d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah,
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge,
state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat,
f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan
oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen
tersebut,
g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence),
h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan
industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk
yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan
sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati
dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen,
baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum
tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan.
Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara
ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang
menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi
kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan
konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan
karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan
pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.
4.3 Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan
Disamping mempunyai aspek keperdataan, hukum perlindungan konsumen
juga mempunyai aspek pidana. Karena itu, hukum perlindungan konsumen adalah
juga bagian dari hukum pidana. Jelasnya, hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan
di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat dipertahankan melalui hukum
pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam
tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi kejahatan. Artinya,
perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen yang bertentangan
dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,
karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrument pidana.
Mengenai penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan hak-hak
konsumen, David Tench menuliskan pengalaman di negaranya sebagai berikut :99
With the great expansion in consumer law we have experience to our greatsatisfaction mostly-in recent years we are now beginning to wonder whetherthe criminal law is the right way to control commercial behavior in the marketplace. Obviously, where questions are involved, the criminal law will benecessary, and consumers will always require some part of consumer law toremain criminal.
Penuturan David Tench diatas, menunjukkan keampuhan hukum pidana
dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya
bidang hukum ekonomi, yang umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undang-
undang tersebut, menunjukkan fungsi hukum sebagai pengendali.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUH
Pidana atau diluar KUH Pidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat
perlengkapan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. UU
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan
dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping
polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan
tindak penyelidikan.
99 Janus Sidabalok, op.cit, h. 59.
Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang
menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses
perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat
terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau
kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat
memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan
konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian
peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana.
Di dalam KUH Pidana tidak disebutkan kata “ konsumen “. Kendati
demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan
hukum bagi konsumen, antara lain :
- Pasal 204 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan,menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barangitu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itudidiamkannya dihukum pernjara selama-lamanya lima belas tahun.”
- Pasal 204 ayat (2) dalam pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaranperbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
- Pasal 205 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa karena salahnya menyebabkanbarang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan ataudibagi-bagikan , sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahuiakan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilanbulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).”
- Pasal 205 ayat (2) dari pasal ini menyatakan : “Kalau ada orang mati lantaran itu,maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan ataukurungan selama-lamanya satu tahun.”
- Pasal 205 ayat (3) menyatakan : “Barang-barang itu dapat dirampas.”
- Pasal 382 bis menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan menipu untukmengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan maksud akanmendirikan atau membesarkan hasil perdagangannya atau perusahaannya sendiriatau kepunyaan orang lain, dihukum, karena bersaing curang, dengan hukumanpenjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp.13.500,- (tiga belas ribu lima ratus rupiah) jika hal itu dapat menimbulkansesuatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.”
- Pasal 383 menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahunempat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli yaitu yang sengajamenyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli dan tentangkeadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai alatdan tipu muslihat.”
- Pasal 386 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan ataumenyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinyabahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjaraselama-lamanya empat tahun.”
- Pasal 386 ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : “Barang makanan atau minumanatau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebabsudah dicampuri dengan zat-zat lain.”
- Pasal 387 ayat (1) menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuhtahun dihukum seorang pemborong atau ahli bangunan dari suatu pekerjaan ataupenjual bahan-bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan-bahanbangunan itu melakukan suatu alat tipu, yang dapat mendatangkan bahaya bagikeselamatan negara pada waktu ada perang.”
- Pasal 387 ayat (2) dari pasal ini mengatur dengan hukuman itu juga dihukum : “Barangsiapa diwajibkan mengawas-ngawasi pekerjaan atau penyerahan bahan-bahan bangunan itu dengan sengaja membiarkan akal tipu tadi.”
- Pasal 390 menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkandiri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menurunkan atau menaikkan
harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabarbohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”
Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu mengetahui dan
menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si pemakai
barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau menjelaskan
tentang sifat bahaya dari barangbarang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan
menjual barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang
kepada konsumen tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen hal ini tercantum dalam
pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205 KUHPidana
tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir dan
sebagainya. Sedangkan dalam pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam
pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha melakukan
suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri dari publik atau seorang
yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam
perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya.
Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja
kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah lama/tua kepada
pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang tersebut adalah barang baru.
Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual
barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual. Misalnya
penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan cara membuat barang
lain yang hampir serupa, atau menyampurinya dengan bahan-bahan lain sehingga
harga, kekuatan, guna atau kemanjurannya dapat berkurang.
Pasal 387 adanya perbuatan penipuan yang dilakukan pihak pemborong atau
ahli bangunan yang dapat membahayakan jiwa orang lain, misalnya suatu gedung
yang baru dibangun, roboh karena tidak kuatnya pondasi dari bangunan, hal ini bisa
terjadi karena bahan-bahan yang digunakan tidak memadai hal tersebut terjadi karena
adanya perbuatan penipuan dari seorang pemborong atau ahli bangunan, sehingga
merugikan masyarakat.
Pasal 390 adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu
menyiarkan kabar bohong yaitu dengan cara mempromosikan atau mengiklankan
harga atau tarif suatu barang/jasa, tanggung atau jaminan, hak ganti rugi atau suatu
barang dan jasa, adanya penawaran potongan harga atau hadiah menarik.
Sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam
pasal 61, 62 dan 63.
Pasal 61 :
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/ataupengurusnya
Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana
yang tidak daja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal
ini menurut Nurmandjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan sistem bagi
perlindungan konsumen. 100 Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan
sebagai subjek hukum pidana.
Pasal 62 :
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda palingbanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat(1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacattetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Ketentuan pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan
ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku
ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan
demikian, terhadap ilustrasi yang dikemukakan berkenaan dengan ketentuan pasal 61
sebelumnya, persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHP
sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT sebagai subjek hukum,
memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian konsumen.
100 Nurmandjito, Op.cit, hal. 30.
Hal lain yang juga dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana
yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada 2 (dua) tingkatan,
yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), dan sanksi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan
pasal 62, khususnya pasal 62 ayat (3) masih perlu ditinjau kembali karena akibat-
akibat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (3) tersebut, di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikualifikasi sebagai
kejahatan.
Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan diatas, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam jenis hukuman
pokok, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 10 yang menentukan bahwa :
Hukuman-hukuman ialah :
a. Hukuman-hukuman pokok :
1. Hukuman mati,
2. Hukuman penjara,
3. Hukuman kurungan,
4. Hukuman denda.
b. Hukuman-hukuman tambahan ;
1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
2. Perampasan barang tertentu
3. Pengumuman keputusan hakim.
Menjadi masalah apabila sanksi pidana berupa denda yang dijatuhkan atas
perbuatan pidana yang dilakukan pelaku usaha berbadan hukum, hanya dipandang
sekedar “ ongkos “ sebagaimana halnya ongkos yang harus dikeluarkan dalam rangka
operasional produksi suatu perusahaan. Demikian hal ini lebih jelasnya dikemukakan
oleh Susanto bahwa, melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan korporasi,agaknya bagi korporasi, pelanggaran hukum
hanya dipandang sekadar ongkos, yakni biaya atau pengurangan dari keuntungan “
melalui denda “ yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya dengan cara
yang sama seperti halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk
menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang bersangkutan.
Adanya pidana denda yang dipandang sebagai sekedar ongkos operasional
produksi atau pemasaran seperti itu, aan mengakibatkan perusahaan sebagai subjek
hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana yang dimaksud tidak mengubah
perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu
berulang. Jika hal ini terjadi berarti sanksi pidana denda saja, masih belum cukup-
teristimewa sanksi pidana denda yang dimaksud jumlahnya kecil-sehingga harus ada
pertimbangan terhadap kemungkinannya memberikan sanksi tambahan sebagaimana
diatur dalam pasal 63 UUPK.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapatdijatuhkan hukuman tambahan, berupa:a. perampasan barang tertentu;b. pengumuman keputusan hakim;c. pembayaran ganti rugi;d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atauf. pencabutan izin usaha.
4.4 Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha
Dalam Pelanggaran Label Pangan
Di atas sudah diuraikan bahwa Pemerintah memegang peranan penting dalam
upaya mewujudkan perlindungan hukum atas hak-hak konsumen, sebagaimana tipe
Negara kesejahteraan. Peranan itu dapat dimainkan dalam tiga hal, yaitu regulasi,
kontrol penaatan hukum/peraturan (termasuk punishment), dan social engineering.
Pemerintah dalam permasalahan konsumen tidak bisa lepas tangan, dimana telah
menjadi kewajiban Pemerintah untuk memperhatikannya sesuai dengan tujuan
Negara yang tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Negara wajib
melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, perlindungan konsumen dan penanganan masalah
konsumen merupakan bagian tugas dari memajukan kesejahteraan umum secara luas.
101
Di bidang regulasi, Pemerintah dapat mengambil peran melalui
pembuatan/penciptaan peraturan-peraturan yang berisikan pengakuan dan penegasan
101 Muhammad Djumhana, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 345.
hak-hak konsumen yang harus dihormati oleh pihak lain. Misalnya, membuat
sejumlah peraturan yang harus dipenuhi oleh produsen dalam rangka memproduksi
dan mengedarkan produknya ke masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah
penggunaan bahan baku, tahapan-tahapan produksi (pengolahan), pengemasan,
pengangkutan, promosi, label dan periklanan, serta harga.
Kemudian, Pemerintah perlu mengontrol / mengawasi penaatan terhadap
peraturan-peraturan tadi. Sekedar membuat peraturan tanpa mengawasi
pelaksanaannya di lapangan tidaklah bermanfaat banyak. Justru yang paling penting
itu adalah bagaimana produsen menaati peraturan tersebut di dalam usahanya
memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian, jangan sampai beredar
ke masyarakat produk yang tidak memenuhi syarat (standar), yang kemudian dapat
merugikan konsumen. Dalam kaitan ini, Agnes M. Toar mengatakan bahwa
meskipun sudah banyak peraturan mengenai perlindungan konsumen, namun kontrol
penaatan peraturan tersebut (masih) sangat kurang.
Kontrol penaatan peraturan ini menjadi penting apabila berkaitan dengan
produk yang berhubungan erat dengan kesehatan dan keselamatan manusia, seperti
produk pangan. Tentu tidak perlu menunggu lebih dahulu jatuh korban keracunan
makan baru kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sarana dan prasarana
produksinya. Akan tetapi, aparat Negara yang bertugas dan berwenang untuk ini
harus proaktif memeriksa dan mengawasi proses produksi dan peredaran pangan
tersebut.
Pelaksanaan peraturan perlindungan konsumen juga menjadi penting dalam
kaitannya dengan pemberian hukuman (punishment) atas setiap pelanggaran
ketentuan yang berlaku. Pemberian hukuman ini kadang kala menjadi suatu
keharusan apabila pelanggaran itu sudah sedemikian rupa supaya tidak terulang lagu
dan atau pihak lain tidak mengulanginya. Hukuman atau sanksi yang diberikan oleh
Pemerintah ini berupa sanksi administratif yang dapat diterapkan secara berjenjang
mulai dari teguran/peringatan, denda, sampai pada pencabutan ijin usaha.
Akhirnya, faktor yang juga tidak kalah penting adalah faktor situasi dan
kondisi yang memungkinkan produsen melakukannya dengan baik sekaligus yang
memungkinkan untuk memperoleh hak-haknya. Artinya, harus tercipta iklim yang
kondusif (bagi produsen) yang memberi kesempatan baginya untuk berperilaku sesuai
dengan peraturan yang ada. Kondisi seperti tentulah tidak muncul begitu saja, tetapi
harus diciptakan oleh Pemerintah. Tegasnya pihak Pemerintah harus memberi
kebebasan yang cukup bagi produsen untuk memenuhi aturan hukum yang ada.
Kesalahan Pemerintah di tahun-tahun sebelumnya adalah terlalu banyak pungutan
yang dibebankan kepada produsen sehingga menimbulkan biaya tinggi, yang
kemudian oleh produsen dijawab dengan tawaran berkolusi, yang pada gilirannya
dapat merugikan konsumen dan bahkan kehidupan berbangsa secara umum.
Kemudian, perlu juga iklim yang kondusif bagi konsumen untuk menuntut
haknya manakala konsumen telah menderita kerugian karena memakai atau
mengonsumsi produk. Artinya, jika konsumen bermaksud mempertahankan atau
menuntut haknya, seharusnya ia mendapat dukungan yang positif dari lembaga
eksekutif dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang terkait. Tidak seharusnya aparat
Pemerintah atau aparat keamanan berdiri di belakang produsen yang diduga
merugikan konsumen, tetapi harus mengambil posisi yang netral. Aneh sekali kalau
sekelompok konsumen menuntut haknya kepada produsen lalu pejabat Pemerintah
berdiri sebagai juru bicara produsen yang menegaskan bahwa produsen tidak
bersalah. Kecenderungan masyarakat berdelegasi ke Dewan Perwakilan Rakyat
(daerah atau pusat) antara lain disebabkan oleh praktik ini, dimana lembaga
Pemerintahan dirasa sudah tidak netral lagi.
Berjalannya pengadilan sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan
juga banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu Negara. Oleh karena itu,
adalah tugas Pemerintah pula untuk menciptakan suasana sosial politik yang kondusif
sehingga memungkinkan badan-badan peradilan berfungsi dengan baik. Artinya,
hendaknya Pemerintah membiarkan dan menghormati kebebasan badan peradilan,
bukan malah mempengaruhi jalannya peradilan.
Akhirnya, tugas dan tanggungjawab Pemerintah pulalah untuk mengarahkan
seluruh lapisan masyarakat, baik produsen, konsumen maupun aparat Pemerintah
sendiri, untuk menaati hukum demi keadilan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Jangan sampai timbul kesan bahwa kalau mematuhi hukum yang berlaku malah
mendatangkan kerugian dan sebaliknya lebih menguntungkan kalau bertindak
melawan hukum.
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument
hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum
secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi
administrative.102
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi
justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil
produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan.
Pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, ijin-ijin
tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan ijin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari
produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang
atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi
konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan
hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum
administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan
bantuan hukum perdata dan/atau pidana.
Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad
melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya disini terutama
berkenaan dengan kesehatan dan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan
peraturan-peraturan tentang produk pangan diawasi secara ketat. Syarat-syarat
pendirian perusahaan yang bergerak di bidang tersebut dan pengawasan terhadap
proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Peraturan-peraturan masa kolonial itu
bahkan cukup banyak yang masih berlaku sampai sekarang.
102 Shidarta, Op.cit, hal. 95.
Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi
perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.
1. Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan
demikian, karena penguasa sebagai pihak pemberi ijin tidak perlu meminta
persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan,
mungkun dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga
tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena
sanksi ini dibuka kesempatan untuk “ membela diri “, antara lain mengajukan
kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri
dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.
2. Sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi
pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak
seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif
produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan
membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak
sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi tawar
yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen.103
Walaupun secara teoritis instrument hukum administrasi ini cukup efektif,
tetap ada kendala dalam penerapannya, dimana sanksi administrasi sangat jarang
dijatuhkan oleh Pemerintah terhadap produsen. Pemerintah masih mengandalkan
inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah nampaknya menjadikan
103 Shidarta, op.cit, h. 96.
sanksi administrative ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan
pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut
seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen
tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.
Dalam kaitannya dengan pelabelan produk pangan, dalam pasal 61 PP No. 69
Tahun 1999 disebutkan :
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPeraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :a. peringatan secara tertulis;b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
menarik produk pangan dari peredaran;c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia;d. penghentian produksi untuk sementara waktu;e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
dan atau;f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
(3). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hurufb, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak – banyaknya tiga kali.
(4). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) danayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannyaberdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan.
Hal yang sama disebutkan pula dalam pasal 57 UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen bentuk pertanggungjawaban
administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam
pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang :
a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3));
b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (pasal 20);
c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (pasal 25); dan
d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan.
Berdasarkan ketentuan pasal 60 UUPK, maka pelaku usaha yang lalai
memenuhi tanggung jawabnya, maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya
maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ganti kerugian tersebut
merupakan bentuk pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menganut prinsip ganti kerugian “ subjektif terbatas “.
Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif
terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam
perkembangan dinilai tepat. Oleh karena, disamping memberikan perlindungan
kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari
kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang
tanpa batas.
Masalah lain yang muncul dari rumusan pasal 60 tersebut adalah untuk siapa
uang Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tersebut. Apabila untuk konsumen
yang dirugikan, maka bagaimanakah kalau jumlah konsumen yang dirugikan cukup
banyak. Masalah-masalah inilah yang harus diatur secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara penetapan sanksi
administratif tersebut.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun
1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen yakni asas manfaat,
keadilan, keseimbangan, keselamatan dan kepastian hukum. Hal mana dapat
dilihat dari pengertian label sendiri yang masih menimbulkan persoalan.
Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menimbulkan kesan bahwa label
dapat ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak
terpisah dari kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa
dipalsukan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat
dengan mudah dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang
curang. Masih dimungkinkannya pengecualian terhadap penggunaan bahasa
Indonesia juga menyebabkan asas-asas perlindungan konsumen menjadi
terabaikan.
2. Dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan
dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata,
instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi. Oleh karena itu
pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan
pertanggungjawaban atau sanksi secara perdata, pidana dan administratif. Sanksi
secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi
administrative. Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan
dengan sanksi perdata atau pidana, oleh karena, pertama, sanksi administratif
dapat diterapkan secara langsung dan sepihak, kedua sanksi perdata dan/atau
pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi pelakunya, nilai ganti rugi dan
pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan
yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan
putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga
konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen
dihadapkan pada posisi tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan
dengan si produsen.
5.2 Saran
1. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah
pelabelan pangan, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan
Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan
yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label pangan. Dengan adanya rambu -
rambu dan peraturan yang jelas dari pemerintah, maka konsumen terlindungi dari
kemungkinan label yang tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Konsep label
hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur
sekaligus mendidik konsumen.
2. Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan upaya yang terus
menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan
perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan
kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masih kurangnya upaya
pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintah baik di Pusat
maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih baik
dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan, khususnya
produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Adi Nugroho, Susanto, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Ali, Achmad, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta.
__________, 1988, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif
Watampone, Jakarta.
Ali, Mansyur M, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen
Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta.
Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ashsofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, St. Paul Minn
West Publishing Co.
Cohen, Morris L. Kent. C. Olson. 2000, Legal Research, West Group, USA.
Djumhana, Muhammad, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Fuadi, Munir, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Fauzan, Ahmad, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama
Widya, Bandung.
Friedman, Lawrence M. 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal
System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media,
Bandung.
Gaspersz, Vincent, 1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico,
Bandung.
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina
Ilmu, Surabaya.
Hartono, Sri Redjeki, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam
Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati,
Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20,
Alumni, Bandung.
Marzuki, Peter, Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta,
M. Toar Agnes, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta.
Milovanovic, Dragan, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and
Heston Publishers, New York.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mustafa, Bachsan, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Nasution, A.Z., 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri
Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju,
Bandung.
Pieris, John dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan
Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______________, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung.
Raja Guguk, Erman, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,
Jakarta.
Riswandi, Budi Agus, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta.
Samford, Charles, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil
Blackwell Ltd, UK.
Samsul, Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
Pascasarjana.
Sasongko, Wahyu, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan
Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,
Bandung.
Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung
Jawab Produk, Panta Rei, Bogor.
Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.
Shidarta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung.
Shofie, Yusuf, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
Ghalia-Indonesia, Jakarta.
___________, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
___________, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
___________, & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap
Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta.
Simatupang, Taufik, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Soemitro, Romy Hanitidjo, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri,
Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
________________, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.
Rajawali, Jakarta.
________________,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.
________________ & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali
Press, Jakarta.
Soesilo, Zumroetin K., 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta.
Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sulastri, C. Tantri D.,1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia, Jakarta.
Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta.
Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi,
Yogyakarta, Liberty.
Tri Siwi Kristiyanti, Celine, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta.
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008,
Denpasar.
Usman, Rachmad, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Walters, Malcolm ,1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie
In de Jarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung.
Artikel Dalam Format Elektronik (Internet)
Amran Tanjung, Ali, Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal
Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1
Desember 2011, avalaible from
http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922.
Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010,
available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id
Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas
Majalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “,
Diakses 30 Juni 2010, Available from : URL :
http://www.konsumencerdas.co.cc
Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010,
available From URL : http://endrah.blogspot.com.
Fatmawati, Ari, 2011, “ Konsumen dan Label “. Diakses 1 Desember 2011, available
from http://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf.
Hetami, Kamila 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan
Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1
Desember 2011, avalaible from http://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila
Hetami.
Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni
2010, available from URL : http://www.republika.co.id
“ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http:
//www.hukumonline.com.
“ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26
Oktober 2010, available from : http://m.antaranews.com
“ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from :
http://bataviase.co.id
Peraturan Perundang-Undangan
Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan
Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No.
02591/B/SK/VIII/91.