perkembangan hubungan sosial dan proses pembelajaran

36
PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL DAN PROSES PEMBELAJARAN A. Pengertian Hubungan Sosial Secara teoritis, hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman di sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang tua yang otoriter dalam keluarga. Penyebab kesulitan hubungan sosial sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang penuh dengan unjuk kuasa ini adalah timbul dan berkembangnya perasaan takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif dalam berhubungan dengan orang lain, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dipandang cocok. Perkembangan Hubungan Sosial dan Proses Pembelajaran 1

Upload: jaya59

Post on 18-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

MASTER

TRANSCRIPT

PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL DAN PROSES PEMBELAJARAN

A. Pengertian Hubungan SosialSecara teoritis, hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman di sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang tua yang otoriter dalam keluarga. Penyebab kesulitan hubungan sosial sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang penuh dengan unjuk kuasa ini adalah timbul dan berkembangnya perasaan takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif dalam berhubungan dengan orang lain, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dipandang cocok.Situasi kehidupan dalam keluarga yang berupa pola asuh orang tua pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung sulit diperbaiki.Anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan pola anak yang otoriter kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam mengadaptasi diri ke dalam setiap situasi yang dianggap akan menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan kompensasi negatif yang dapat muncul pada diri anak dalam mengolah konfliknya itu, yaitu rasa rendah diri yang akan tetap melekat pada dirinya atau anak berbuat berlebih-lebihan. Dengan demikian, tampak bahwa keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak, dan yang terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak.B. Pengaruh Hubungan Sosial terhadap Tingkah LakuHubungan sosial individu dimulai sejak individu itu berada di lingkungan rumah bersama keluarganya. Segera setelah lahir, hubungan bayi dengan orang di sekitarnya, terutama ibu, memiliki arti yang sangat penting. Hubungan ini paling dirasakan kehangatannya dan kemudian menjadi pengalaman hubungan sosial yang amat mendalam adalah melalui sentuhan ibu terhadap anak bayinya, terutama saat menetek. Bahkan seorang ahli Psikoanalisis yang bernama Sigmund Freud menegaskan bahwa sentuhan lembut seorang ibu, kehangatan dekapan gendongan seorang ibu, dan bahan degupan jantung seorang ibu ketika menyusui anak bayinya dirasakan oleh seorang bayi dalam alam psikologisnya sebagai pernyataan kasih sayang, pengakuan, perasaan diterima, dan perlindungan yang luar biasa yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa anak di kelak kemudian hari, termasuk kemampuan hubungan sosialnya. Gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak yang selama hidupnya berada di rumah titipan atau yatim piatu, merupakan contoh akibat kurangnya kebutuhan akan kasih sayang dan sentuhan lembut seorang ibu. Pada mereka tidak ada kesempatan untuk menikmati kasih sayang ayah atau ibunya sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan hubungan sosialnya.Perkembangan hubungan sosial anak dimulai dari sejak bayi dan semakin berkembang ketika anak mulai memasuki masa prasekolah, kira-kira umur 18 bulan. Pada umur ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri atau yang dikenal dengan kesadaran akan dirinya dan kepemilikannya. Pada umur ini keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan semakin besar sehingga tidak jarang menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kedisiplinan. Anak mulai berhadapan dengan orang-orang sekitarnya yang mungkin menyetujui tetapi ada pula yang menghalangi keinginannya. Pada masa ini sampai akhir masa sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan sosial. Selain dengan anggota keluarganya, anak juga mulai mendekatkan diri kepada orang-orang lain di lingkungannya. Meluasnya lingkungan sosial anak itu menyebabkan anak memperoleh pengaruh-pengaruh yang ada di luar pengawasan orang tuannya. Anak sudah semakin luas bergaul dengan teman-temannya serta berhubungan dengan guru-guru yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap proses hubungan sosial anak. Dalam hubungan sosial pada masa ini anak melakukan proses emansipasi dan sekaligus individualisasi. Dalam proses ini, teman-teman sebayanya juga mempunyai peranan yang sangat penting bagi mereka.Dalam konteks ini, Jean Piaget mengatakan bahwa permulaan kerjasama dan konformisme sosial semakin bertambah pada saat anak mencapai usia 7 sampai 10 tahun dan mencapai puncak kurva pada saat anak berada di antara umur 9 sampai 15 tahun. Ini dapat diartikan bahwa konformisme semakin bertambah dengan bertambahnya usia sampai permulaan remaja dan setelah itu mengalami penurunan kembali. Penurunan ini disebabkan pada masa remaja sudah semakin berkembang keinginan mencari dan menemukan jati dirinya sehingga konformisme semakin berbenturan dengan upaya mencapai kemandirian atau individuasi.

C. Makna InteraksiThibaut dan Kelley (1979), yang merupakan pakar dalam teori interaksi, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi, dalam setiap kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. Sebagai contoh, A bertemu dengan B di jalan, kemudian ia menghentikan B dan mengajaknya ngobrol tentang cuaca, mendengarkan kesulitan-kesulitan yang dialaminya, dan kemudian mereka bertukar pendapat dengan caranya masing-masing. Chaplin (1979) mendefiniskan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara beberapa individu yang bersifat alami di mana individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara serempak.Adapun Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian di mana suatu aktivitas atau sentimen yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) dengan menggunakan suatu aktivitas atau sentimen oleh individu lain yang menjadi pasangannya (Shaw, 1985: 71). Jadi, dalam konsep yang dikemukakan oleh Homans ini, mengandung pengertian bahwa suatu tindakan oleh seseorang dalam suatu interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Sedangkan Shaw (1976:447) mendefinisikan bahwa interaksi adalah suatu pertukaran antarpribadi di mana masing-masing orang menunjukkan perilakunya sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku itu mempengaruhi satu sama lain.Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya, memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekadar terjadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.

D. Jenis-jenis InteraksiAda tiga jenis interaksi, yaitu:1. Interaksi verbal2. Interaksi fisik3. Interaksi emosionalInteraksi verbal adalah interaksi yang terjadi bila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi atau pembicaraan. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling bertukar percakapan satu sama lain.Interaksi fisik adalah interaksi yang terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerik tubuh, dan kontak mata.Sedangkan yang dimaksud interaksi emosional adalah interaksi yang terjadi manakala individu melakukan kontak sama lain dengan melakukan curahan perasaan. Misalnya, mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru, atau bahkan terlalu bahagia.Selain tiga jenis interaksi di atas, jenis interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya individu yang terlibat dalam proses interaksi tersebut serta pola interaksi yang terjadi. Atas dasar itu, maka ada dua jenis interaksi, yaitu:1. Interaksi dyadic2. Interaksi tryadicInteraksi dyadic terjadi manakala hanya ada dua orang yang terlibat di dalamnya atau lebih dari dua orang tetapi arah interaksinya hanya terjadi dalam dua arah. Contoh: interaksi antara percakapan dua orang lewat telepon, interaksi antara guru-murid dalam kelas jika guru menggunakan metode ceramah atau tanya jawab satu arah tanpa menciptakan dialog antar murid.Interaksi tryadic terjadi manakala individu yang terlibat di dalamnya lebih dari dua orang dan pola interaksi menyebar ke semua individu yang terlibat. Misalnya, interaksi antara ayah, ibu, dan anak jika interaksinya terjadi pada mereka semuanya.

E. Pola Interaksi Remaja-Orang TuaSesuai dengan tahapan perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan tersendiri. Jersild, Brook, dan Brook (1998) mengatakan bahwa interaksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai three-act-drama (drama-tiga-tindakan).Drama tindakan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara masa anak-anak dengan orang tua; mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun, remaja sudah mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi daripada masa-masa sebelumnya.Drama tindakan kedua (the second act drama), dapat disebut juga dengan istilah perjuangan untuk emansipasi. Pada masa ini, remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak dalam rangka berusaha mencapai status dewasa. Dengan demikian, remaja dalam interaksinya dengan orang tua sudah mulai berusaha untuk meninggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan sudah semakin bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami pergolakan dan konflik dalam interaksinya dengan orang tua.Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja sudah berusaha untuk dapat menempatkan dirinya untuk berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancar dengan mereka. namun, usaha remaja ini seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Sehingga, remaja seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap orang tuanya.Dalam konteks interaksi remaja-orang tua ini, Fontana (1981) menambahkan adanya aspek obyektif dan subyektif dalam interaksi antara remaja dengan orang tua. Aspek obyektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek subyektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Tidak jarang terjadi remaja cenderung menggunakan aspek subyektif dalam berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya, orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja itu sebagai memarahinya. Padahal sesungguhnya orang tua itu bermaksud untuk melindunginya. Atas dasar aspek subyektif yang seringkali digunakan oleh remaja dalam berinteraksi dengan orang tuanya, maka pemahaman terhadap interaksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaja tentang interaksinya dengan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real interaction).Jadi, yang dimaksud dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang terwujud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya.

F. Persepsi tentang Interaksi Remaja-Orang TuaBerkaitan dengan kualitas interaksi remaja-orang tua, dapat dikemukakan konsep yang di dalamnya meliputi sejumlah aspek dan masing-masing aspek mengandung sejumlah indikator, yaitu:1. Persepsi remaja mengenai partisipasi dan keterlibatan dirinya dalam keluarga. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut:a. Persepsi remaja mengenai sikap saling menghargai di antara para anggota keluarga.b. Persepsi remaja mengenai keterlibatan dirinya dalam membicarakan dan memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.

2. Persepsi remaja mengenai keterbukaan sikap orang tua. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut:a. Persepsi remaja mengenai toleransi orang tua terhadap perbedaan pendapat.b. Persepsi remaja mengenai kemampuan orang tua untuk memberikan alasan yang masuk akal terhadap suatu perbuatan atau keputusan yang diambil.c. Persepsi remaja mengenai keterbukaan orang tua terhadap minat yang luas.d. Persepsi remaja mengenai upaya orang tua untuk mengembangkan komitmen terhadap tugas.e. Persepsi remaja mengenai kehadiran orang tua di rumah dan keakraban hubungan antara orang tua dengan remaja.

3. Persepsi remaja mengenai kebebasan dirinya untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut:a. Persepsi mengenai dorongan orang tua untuk mengembangkan rasa ingin tahu yang lebih besar.b. Persepsi remaja mengenai perasaan aman dan bebas yang diberikan oleh orang tua untuk mengadakan eksplorasi dalam rangka mengungkapkan pikiran dan perasaannya.c. Persepsi remaja bahwa dalam keluarga terdapat aturan yang harus ditaati, tetapi tidak cenderung mengancam.

G. Karakteristik Perkembangan Hubungan Sosial Subjek DidikAda sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan sosial remaja sebagai subjek didik, yaitu:1. Berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan.Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja, hubungan sosialnya semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan.2. Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial. Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendiriannya dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksinya terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan mimiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menuntut norma-norma sosial yang ideal meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya, bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah atau bahkan apatis. Namun, kemungkinan ada juga seseorang remaja tidak akan menuntut norma-norma sosial yang sedemikian ideal, tetapi tidak pula menolak seluruhnya.3. Meningkatnya kesadaran akan lawan jenis. Remaja sangat sadar akan dirinya sendiri dan tentang bagaimana pandangan lawan jenis mengenai dirinya. Dalam konteks ini, Bischof (1983) bahkan menegaskan bahwa: The social interest of adolescent are essentially sex social interest. Oleh sebab itu, masa remaja seringkali disebut juga sebagai masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara dominan bukanlah kesadaran akan jasmaniah yang berlainan melainkan tumbuhnya ketertarikan terhadap jenis kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlalu menghiraukan perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih ke arah hubungan sosial yang dihiasi dengan perhatian terhadap lawan jenisnya. Sampai-sampai ada yang mengistilahkan bahwa dunia remaja telah menjadi dunia erotis. Keinginan untuk membangun hubungan sosial dengan jenis kelamin lain dapat pula dipandang sebagai sesuatu yang berpangkal pada kesadaran akan kensunyian.4. Mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karir tertentu. Karakteristik berikutnya adalah bahwa ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karir tertentu, meskipun dalam pemilihan karir tersebut masih mengalami kesulitan. Ini wajar karena pada orang dewasa pun kerap kali masih terjadi perubahan orientasi karir dan kembali berusaha menyesuaikan diri dengan karir barunya itu.

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hubungan Sosial Subjek DidikProses sosialisasi individu terjadi di tiga lingkungan utama, yaitu: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berikut ini didiskusikan pengaruh lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap perkembangan sosial.1. Lingkungan KeluargaAda sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan secara mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan oleh orang tua tentang pakaian, makanan, mainan, dan sarana lain yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan orang tua. Sedangkan perasaan aman secara mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan memberikan bantuan untuk kestabilan emosionalnya. Manusia normal, baik anak maupun orang dewasa, senantiasa membutuhkan penghargaan atau merasa dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, mempermalukan anak di depan orang banyak merupakan pukulan jiwa yang sangat berat dan dapat berakibat buruk bagi perkembangan hubungan sosial anak. Beberapa aspek psikologis anak dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya saja kemampuan dan kreativitasnya, sehingga mengakibatkan anak menjadi banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya, memberikan pujian kepada anak secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat membesarkan hati dan menimbulkan perasaan disayang pada diri anak yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua. Dengan kata lain, yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan hubungan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan iklim kehidupan keluarga itu? Jay Kesler (1978:47) mendefinisikan iklim kehidupan keluarga sebagai: The set internal characteristics that distinguishes one family from another and influences the behavior of people in it is called family climate ... climate is determined importantly by conduct, attitudes, and expectations of other persons.Jadi, iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur:a. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya.b. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu (termasuk remajanya).c. Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga tersebut.Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut keluarga, maka salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi kemampuan hubungan sosial remaja adalah interaksi antaranggota keluarga. Harmonis-tidaknya dan intensif-tidaknya interaksi antaranggota keluarga akan mempengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja yang ada di dalam keluarga itu. Gardner (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan korelasi faktor yang potensial menjadi penghambat perkembangan hubungan sosial remaja. Pemimpin redaksi News and World Report dalam laporannya menyatakan secara tegas bahwa TV dalam keluarga merupakan variabel yang amat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan hubungan sosial remaja; termasuk timbulnya perilaku nakal. Sebab, di Amerika para remaja pada usia 18 tahun telah menyaksikan 200.000 adegan kekerasan di layar TV. Dalam The Moral Life of Children ditegaskan bahwa selain acara-acara kekerasan di TV, situasi keluarga merupakan faktor utama yang menyebabkan perilaku nakal remaja. Mengapa demikian? Albert Bandura dalam The Social Theory menjelaskan bahwa suatu rangsangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki. Jika cocok, maka rangsangan itu dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu. Oleh sebab itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku. Teori Bandura ini berlaku juga bagi persepsi remaja terhadap kehidupan dalam keluarganya yang kemudian mempengaruhi perkembangan hubungan sosialnya.Karena remaja juga tengah berada pada fase krisis identitas atau ketidak-tentuan, maka mereka amat memerlukan teladan tentang norma-norma yang mapan untuk diidentifikasikannya. Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma. Dengan demikian, faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi perwujudan variasi perkembangan sosial remaja pada keluarga yang bersangkutan. Remaja seringkali menjadi runyam hubungan sosialnya manakala orang tua dan orang dewasa sendiri mulai mendua dan mulai menyuguhkan ukuran ganda; yakni di satu sisi kesalihan dianjur-anjurkan, tetapi di belakang layar orang tua dan orang dewasa melanggarnya. Masalah remaja lantas memperoleh dramatisasi justru karena orang tua sendiri cemas melihat dunianya sendiri digerogoti kemerosotan. Oleh sebab itu, remaja sangat memerlukan keteladanan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Pentingnya faktor keteladanan ini dikuatkan oleh Fawzia aswin Hadis (1991) dan Soetjipto Wirosardjono (1991) bahwa orang tua harus dapat menjadi panutan dan jangan menerapkan orientasi parent-oriented, yakni orang tua serba benar, memiliki privellege, dan menekankan otoritas.

2. Lingkungan SekolahAda empat tahap proses pengembangan hubungan sosial yang harus dilalui oleh anak, yaitu: a. Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain, menghargai, dan menghormati hak orang lain.b. Anak dituntut untuk mentaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok.c. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial berdasarkan azas saling memberi dan menerima.d. Anak dituntut untuk bisa saling memberi dan menerima dengan orang lain.Keempat tahap proses pengembangan hubungan sosial ini berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin kompleks dan semakin menuntut penguasaan sistem respons yang kompleks pula. Selama proses ini sangat mungkin terjadi anak menghadapi konflik yang dapat berakibat pada terhambatnya perkembangan hubungan sosial mereka.Sebagaimana dalam lingkungan keluarga, maka lingkungan sekolah juga dituntut mampu menciptakan iklim kehidupan sekolah yang kondusif bagi perkembangan sosial remaja. Sekolah merupakan salah satu lingkungan di mana remaja hidup dalam kesehariannya. Sebagaimana dalam keluarga, sekolah juga memiliki potensi untuk memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial remaja. Lingkungan sekolah yang kurang positif iklim kehidupannya dapat menciptakan hambatan-hambatan bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Sebaliknya, sekolah yang iklim kehidupannya bagus dapat memperlancar atau bahkan memacu perkembangan hubungan sosial remaja.Kondusif tidaknya iklim kehidupan sekolah bagi perkembangan hubungan sosial remaja itu tersimpul dalam interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, dan etos kepakaran atau kualitas guru yang ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat menjadi model bagi siswanya yang sedang berada masa remaja. Hadir atau tidaknya faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja, meskipun disadari pula bahwa sekolah bukanlah satu-satunya faktor penentu perkembangan hubungan sosial remaja.

3. Lingkungan MasyarakatSalah satu masalah yang dialami oleh remaja dalam proses perkembangan hubungan sosialnya adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja dianggap sudah besar, tetapi kenyataannya di sisi lain mereka tidak diberikan kesempatan atau peran sebagaimana orang yang sudah dewasa.Sebagaimana dalam lingkungan keluarga dan sekolah, maka iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculannya bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Remaja tengah mengarungi perjalanan masa mencari jati diri sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang amat penting. Masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan arah kehidupan yang jelas dan kokoh sehingga seringkali penuh kesulitan. Namun demikian, masa yang sulit ini akan menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam periode remaja yang sedang mencari identitas dan penuh kesulitan ini diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana. Kurangnya keteladanan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja itu diperkuat oleh pendapat Soetjipto Wirosardjono (1991) yang mengatakan bahwa: Bentuk-bentuk perilaku sosial itu merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang syah maupun yang tak terelakkan. Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan sumbangan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja. Apalagi, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu merasa dipandang trendy.

I. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Hubungan SosialMasa kanak-kanak merupakan masa mempelajari berbagai sikap dasar hubungan sosial. Sikap ini bisa berubah dan bahkan berkembang di kemudian hari sebagai hasil dari bertambahnya pengalaman. Pada masa kanak-kanak, sikap-sikap dasar hubungan sosial tersebut masih sangat minim. Tetapi setelah anak mencapai umur sekitar 13 tahun dan mulai meluaskan daerah sosialisasinya ke dalam masyarakat, maka sikap dasar hubungan sosialnya menjadi semakin lenyap yang diperolehnya dari lingkungan pergaulannya, antara lain: pergaulan dengan sebaya, guru, dan orang dewasa lainnya. Dengan semakin lengkapnya sikap dasar hubungan sosial ini anak menjadi semakin tahu tentang apa yang sebaliknya dilakukan dan apa yang sebaliknya dihindari.Perbedaan lingkungan dapat mempengaruhi perbedaan sikap dasar hubungan sosial remaja. Secara psikologi, sikap ini dapat dipelajari melalui tiga cara, yaitu:1. Meniru orang yang lebih berprestasi dalam bidang tertentu.2. Mengkombinasikan pengalaman.3. Menghayati pengalaman emosional khusus secara mendalam.

J. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Hubungan Sosial Subjek Didik.Masa remaja merupakan fase yang sangat potensial bagi tumbuh dan berkembangnya aspek fisik maupun psikis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Remaja menganggap dirinya sudah bukan anak-anak lagi, tetapi orang-orang di sekelilingnya masih menganggap mereka belum dewasa. Seringkali remaja ingin bertindak sebagaimana orang dewasa, tetapi perilaku mereka seringkali masih bersifat impulsif dan belum menunjukkan kedewasaan. Karena dorongan yang kuat ingin menemukan dan menunjukkan jati-dirinya, remaja seringkali berusaha ingin melepaskan diri dari orang tuanya dan mengarahkan perhatiannya kepada lingkungan di luar keluargannya sehingga cenderung lebih senang bergabung dengan teman sebaya.Dalam kegiatan mencari jati diri melalui upaya bergabung dengan lingkungannya itu, remaja cenderung berupaya menemukan tokoh identifikasi dari lingkungan jenis kelamin yang sama tetapi yang memiliki usia sedikit lebih tua. Jika telah menemukan tokoh identifikasinya, maka tokoh ini cenderung lebih diikutinya dan bahkan lebih sering dituruti nasihatnya daripada orang tuanya. Kelompok teman sebaya memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok teman sebayanya. Remaja akan merasa sangat menderita manakala suatu saat tidak diterima atau bahkan diasingkan oleh kelompok teman sebayanya. Penderitaannya akan lebih mendalam daripada tidak diterima oleh keluarganya sendiri. Kohesivitas kelompok sangat kuat dan toleransi antar anggota kelompok sangat tinggi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan manakala suatu saat salah seorang anggota kelompoknya terluka oleh kelompok lain, maka demi solidaritas dan kohesivitas kelompoknya itu mereka dengan tegar membelanya. Di sinilah tawuran antar pelajar seringkali terjadi, yang seringkali hanya disebabkan oleh upaya mewujudkan kohesivitas dan toleransi terhadap anggota kelompoknya yang terluka tersebut.Melihat masa remaja sangat potensial dan potensi itu dapat saja berkembang ke arah positif maupun negatif, maka sudah barang tentu intervensi edukatif dalam bentuk pendidikan, bimbingan, maupun pendampingan sangat diperlukan untuk mengarahkan perkembangan potensi remaja tersebut agar berkembang ke arah yang positif dan produktif. Intervensi edukatif ini harus sejalan dan seimbang, baik dari pihak keluarga/orang tua, sekolah, maupun masyarakat. Kerjasama yang baik antara ketiga komponen ini harus dijalin sebaik-baiknya agar secara simultan dapat mencegah remaja berkembang ke arah negatif dan mendorong remaja berkembang ke arah yang positif dan produktif.Melakukan intervensi pendidikan terhadap remaja di zaman modern sekarang ini jauh lebih sulit dibandingkan zaman dahulu. Ini disebabkan situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan itu, yang pada saat sekarang seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sebagaimana demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan semakin lebih kompleks.Kecenderungan yang muncul di permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa manusia akan semakin didesak ke arah kehidupan yang amat kompetitif. Andersen (1993:718) memprediksikan situasi kehidupan semacam itu dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru yang belum banyak dipahami.Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika kehidupan remaja, apalagi remaja, secara psikologis, tengah berada pada masa topan dan badai dan tengah mencari jati diri. Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara lain perkelahian antarpelajar, penyalagunaan obat dan alkohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal.Dalam konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi, kebiasaaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari kebocoran soal ujian.Problem remaja di atas, yang merupakan perilaku-perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan itu. Menurut Tilaar (1987:2), tantangan kompelksitas masa depan itu memberikan dua alternatif; pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapkan remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia berkualitas dan memiliki kemampuan hubungan sosial yang baik sehingga tidak menjadi manusia yang meresahkan kondisi sosial masyarakat atau senantiasa menjadi sasaran nasihat.Pentingnya ikhtiar mempersiapkan remaja bagi masa depannya itu, di samping mereka tengah mencari jati diri, karena mereka juga tengah berada pada tahap perkembangan yang amat potensial. Perkembangan kognitifnya, menurut teori perkembangan kognitif dari Piaget, telah mencapai tahap puncak perkembangan kognitif, yakni masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi persoalan-persoalan abstrak dan hipotesis karena telah mencapai tahap operasional formal. Perkembangan moralnya tengah berada pada tingkatan konvensional: suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan perlunya ada norma. Perkembangan fisiknya juga tengah berada pada masa perkembangan fisik yang amat pesat.Melihat potensi remaja itu, menjadi sangat penting dan amat menguntungkan manakala ikhtiar pengembangannya difokuskan pada aspek-aspek positif remaja itu daripada lebih menyoroti sisi negatifnya. Sebab, meskipun ada remaja yang menunjukkan perilaku negatif, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari sekian banyaknya remaja yang ada: hanya kurang dari 1% dari jumlah remaja Indonesia.Kegamangan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh kebudayaan modern akan menimbulkan kelompok remaja haus akan perlindungan mental emosional. Ini memberikan implikasi imperatif akan perlunya pendampingan dalam memilah dan memilih nilai yang akan dijadikan pegangan hidupnya. Jika tidak, sangat boleh jadi pada suatu saat remaja jatuh ke dalam kegiatan yang negatif seperti narkoba, minuman keras, penyalahgunaan obat, dan sejenisnya yang dianggapnya yang membebaskan dirinya dari kebingungan, kegamangan, serta ketegangan jiwanya.Dorongan yang kuat pada remaja untuk melepaskan diri dari orang tua dan ditunjang oleh hohesivitas dan solidaritas yang kuat terhadap kelompok teman sebayanya, seringkali remaja membentuk apa yang dikenal dengan istilah gang. Mereka beranggapan bahwa dengan membentuk dan masuk sebagai anggota gang akan merasa kuat dan merasa aman karena anggota gang-nya pasti akan melindungi dan membela dirinya manakala menghadapi sesuatu yang membahayakan dirinya. Akibatnya, dengan terbentuknya gang dan telah diakuinya sebagai anggota gang mereka menjadi lebih berani mengambil risiko karena didorong adanya kebutuhan untuk diakui dan dikagumi. Dorongan seperti ini jika tidak dibarengi dengan pembimbingan dikhawatirkan dapat mengarahkan remaja kepada pengembangan hubungan sosial yang negatif.Sebagaimana telah ditekankan terdahulu bahwa yang lebih penting bagi orang tua maupun pendidik lainnya adalah harus lebih sanggup melihat potensi dan segi-segi positif lain pada remaja. Sebab, segi-segi negatif itu sebenarnya hanya merupakan suatu outgrowth atau suatu akibat wajar dari masa pertumbuhan dan perkembangan yang sedemikian pesatnya sehingga mereka sendiri kurang mampu mengendalikannya, padahal sesungguhnya dalam hati kecil mereka sendiri tidak menghendakinya.Orang tua hendaknya mengakui kedewasaan remaja dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Dalam masalah seks, misalnya, orang tua harus mengemukakan secara hati-hati dan menjaga kerahasiaan remaja (confidential).Iklim kehidupan keluarga yang memberikan kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak akan dapat membantu anak memiliki kebebasan psikologis untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian, remaja akan senantiasa merasa bahwa dirinya dihargai oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. Dalam lingkungan keluarga harga diri remaja akan berkembang dengan baik karena merasa dihargai, diterima, dicintai dan dihormati sebagai manusia. Kondisi seperti ini akan sangat bagus bagi berkembangnya kemampuan hubungan sosial remaja.Dalam konteks pembimbingan orang tua terhadap remaja, ada tiga jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu:1. Pola asuh bina kasih (induction)2. Pola asuh unjuk kuasa (power assertion)3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal) Pola asuh bina kasih adalah perlakukan yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anaknya. Pola asuh otoriter adalah perlakuan yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya. Adapun pola asuh permisif adalah perlakuan yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan membiarkan anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya.Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan untuk diterapkan adalah pola asuh bina kasih (induction). Artinya, setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara demikian, remaja akan dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap keputusan atau perlakuan orang tuanya. Pola asuh ini disarankan karena perkembangan kognitif remaja sudah mencapai tahap operasional formal sehingga sudah mampu untuk mencerna secara logis dan rasional tentang perlakuan yang diterapkan oleh orang tuanya. Namun demikian, bukan berarti bahwa bina kasih ini merupakan satu-satunya pola asuh yang harus diterapkan oleh orang tua. Variasi pola asuh yang diterapkan secara tepat tentunya juga penting untuk diperhatikan dalam penerapannya.Lingkungan pendidikan berikutnya, setelah keluarga, adalah sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil peranannya dalam rangka membantu perkembangan hubungan sosial remaja. Dalam konteks ini guru harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh, maka perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Sebab, remaja sudah bukan anak-anak lagi yang senantiasa memiliki sikap mengagumi gurunya sebagai tokoh yang harus dipatuhi melebihi siapapun. Untuk itu, guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis atau bahkan suatu saat berperan semacam teman sebaya remaja yang dapat dijadikan tempat pertukaran pikiran, meminta pertimbangan, dan mencurahkan segala permasalahan yang dialami. Dengan cara demikian, akan sangat membantu perkembangan hubungan sosial remaja secara maksimal.Untuk dapat membantu perkembangan subjek didik secara maksimal, termasuk di dalamnya perkembangan hubungan sosial, Standar Nasional Pendidikan (2005) menuntut empat kompetensi yang seharusnya dipenuhi oleh seorang guru, yaitu:1. Kompetensi kepribadian (termasuk di dalamnya moral dan religius)2. Kompetensi pedagogis3. Kompetensi sosial4. Kompetensi profesionalKompetensi pribadi, sosial moral, dan religius merupakan kompetensi yang sangat penting untuk membantu perkembangan hubungan sosial remaja di sekolah. Dengan kompetensi pribadi mengandung makna bahwa seorang guru harus memiliki integritas pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagi suatu kepribadian yang utuh sehingga dapat diteladani oleh siswa yang sedang berada pada fase remaja. Dengan kompetensi sosial, seorang mampu melakukan interaksi atau hubungan sosial secara menyenangkan, hangat, terbuka, tulus, empati, dan penuh penghargaan terhadap siswanya yang tengah berada pada fase remaja. Dengan kompetensi moral mengandung makna bahwa seorang guru bukan hanya dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, melainkan sanggup berbuat menurut norma-norma kesusilaan sehingga guru dapat menjadi model norma bagi siswanya yang sedang remaja. Adapun dengan kompetensi religius mengandung makna bahwa seorang guru harus menganut agama yang diyakini dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya yang sedang berada pada masa remaja.Seorang guru harus dapat melihat dengan jelas dan manusiawi bahwa setiap muridnya adalah manusia yang bermartabat yang harus dihargai sepenuhnya. Dengan cara saling menghargai dapat dibangun suatu landasan yang mengandung rasa pengertian, saling percaya, saling menghormati, dan mampu menjauhkan dari berburuk sangka dalam mengembangkan kemampuan hubungan sosial murid yang sedang berada pada masa remaja.Strategi pembelajaran yang demokratis merupakan alternatif yang sangat bermanfaat bagi guru dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja. Atas dasar prinsip demokrasi disusun strategi pembelajaran dan model bimbingan bagi siswa, baik secara individual maupun kelompok. Kebebasan dalam kerangka demokratisasi pendidikan bukan berarti kebebasan seluas-luasnya melainkan kebebasan yang disertai rasa tanggung jawab secara penuh. Pemahaman tentang kebebasan seseorang harus didudukkan dalam kerangka pemahaman bahwa orang lain juga memiliki kebebasan sehingga kalau kebebasan itu dikembangkan tanpa dibatasi dengan tanggungjawab akan berbenturan dengan kebebasan orang lain dan bahkan dapat melanggar atau menghalangi kebebasan orang lain. Pemahaman seperti ini harus senantiasa dikembangkan oleh guru kepada siswa yang sedang berada pada fase remaja itu selama proses pembelajaran berlangsung.Lingkungan ketiga yang amat besar pengaruhnya terhadap perkembangan hubungan sosial remaja adalah lingkungan masyarakat. Berkenaan dengan upaya pengembangan hubungan sosial remaja, peran masyarakat justru amat besar seiring dengan perkembangan psikologis masa remaja. Variasi perkembangan individu terjadi dalam segala macam hubungan dan pengalaman, termasuk variasi kebudayaan dan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Sistem kebudyaan, lapisan sosial, kelompok agama, dan sebagainya memiliki nilai-nilai tersendiri yang sudah tentu sangat berpengaruh terhadap para anggotanya. Sebagai contoh, suatu sistem kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan hormat kepada orang tua, maka akan besar kemungkinannya mampu mengembangkan hubungan sosial remaja sebagai anggota masyarakat yang sangat menentang perilaku-perilaku membohongi orang lain, mencuri, mencopet, berani kepada orang tua, dan sejenisnya. Dengan demikian, dalam konteks ini, tugas utama masyarakat adalah menekan seminimal mungkin tingkah laku atau sikap negatif para remaja dan mengembangkan tingkah laku positif; termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial remaja. Para pemimpin dalam masyarakat, seperti pemimpin organisasi politik, agama, dan organisasi lainnya memikul tugas dan tanggung jawab dalam upaya pengembangan hubungan sosial remaja agar tidak mengarah kepada hubungan sosial yang bersifat negatif dan destruktif.Perkembangan Hubungan Sosial dan Proses Pembelajaran2