perjalanan kepulau ketiga
DESCRIPTION
Buku kumpulan sajak oleh Estu Fardani - tuan Pembual, Ditulis dalam tiga bagian - 3 tahunTRANSCRIPT
Kumpulan Sajak Estu Fardani
[1]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
[2]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
[3]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Seuntai Kata Kalimat
Ada kalimat yang selalu terbayang ketika
saya berangkat tidur, memenggal kata Pramoedya
Ananta Toer “menulislah, selama engkau tidak
menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan
dari pusaran sejarah”, Kalimat ini serupa dengan apa
yang ditulis M. badri di “segurat kata”nya dalam
malam api. Sebagai penyemangat saya untuk menulis
apapun.
Kumpulan sajak ini merupakan rentang
kegelisahan hati saya ketika menapaki cinta dan
persahabatan. Bergelut dalam batin, antara perasaan
dan ego pribadi. Selama setahun lebih mencoba
menggoress pena, merangkai kata sumbang, belajar
menulis isi hati.
Mungkin ini awal karya saya, meski hasil
terbitan sendiri saya tetap berniat menyelesaikannya
karena memang ini tujuan saya. Anggap saja sebagai
catatan perjalanan. Bukan hanya dalam kepala saya,
setidaknya saya pernah mencatat isi kepala.
[4]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Terimakasih saya ucapkan kepada Ayah
Bunda atas semua anugrah, “Gadis Pulau Ketiga”
yang selalu setia menemani, “Gadis Rembulan” atas
semua kenangan, M. Badri untuk “Malam Api”,
Sobirin Zaini “Balada Orang Senja”nya. Sang
himsome untuk printernya dan semua orang tak
tersebut yang telah menyumbangkan inspirasi
kepada saya. Semoga isi kepala saya akan terus
tercatat
Ku hatur Tabik!
Tuan Pembual
[5]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
EPISODE I
Perahu Rubuh
[6]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sti l l Alone
Sebuah goresan tangan seorang tanpa nama mengukir kenangan menoreh rindu menjadi kepingan tanpa makna mengisi setiap puzzle tak bertepi
Doakan ini jadi kenangan goresan jari-jari terakhir sebelum mata ini bertemu manis tertutup
Pekanbaru 21 Ramadhan 1429 H
[7]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Rindu Tak Berperi
Kumulai goresan ini tanpa semangat asa menyisir rindu ratap
Akankah rindu ini berujung? menemukan alur terpenggal diantara serpihan hati mengubur sejuta impian kenangan
Kerinduan ini kerinduan tak berperi menikung alur curam terpahat kokoh dinda....
Setapak jalan telah terlangkah menambah sejarah terukir mencari makna sebuah nyawa demi cinta tak berujung
Semoga kepingan itu ada melengkapi bagian yang hilang hingga esok kembali terang memberi senyuman yang hilang...
Selasih, 17 september 2008
[8]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Risalah Sunyi
-satu- Akhirnya aku menyerah mencari jejakmu dinda kini semakin tak berbekas menghilang bersama angin rindu..
Haruskah ku hentikan langkah ini memutar arah alur namun, kearah mana kan ku ayun jalan itu tlah berimba menyulap padang ilalang jadi semak belukar menyisakan duri perih selalu mengusik disini...dinda
Bayangmu tetap utuh dinda... seluet tubuh manja... semua tentangmu... senyummu.. seakan enggan beranjak sedikit saja mengabur dari kelopak mata ini...
[9]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
-dua- Begitu berat dinda... sedikit melupakanmu kau tlah disini... mengokohkan tunggang kesetiap nafas meracuni seluruh bathinku.. mengalir di setiap nadi... begitu tegar berdebu meski beribu badai setia bertandang..
Tetap tak bisa melupakanmu dinda... aku tak bisa melupakanmu.. atau aku tak ingin melupakanmu...
[10]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
-tiga- Masih mematung terpana dimana terakhir menapak memutuskan mengakhiri langkahku mungkin selamanya aku tetap disini memaku menatap masa itu membayangkan dirimu menjemputku...
Mematung tak bergeming seperti gundukan hati tak bernyawa setia menunggu, menanti kepingan hati kusimpan dilemari hatimu... akankan ingatanmu kembalikan sisa hatiku disini, aku, di dermaga terakhir ini, masih dan masih akan menunggu, menanti walau senja telah terbingkai rapi bersama malam kelam..
Masih menunggu sisa hati walau tersadar itu hanya bunga tidur tak berujung tak bertepi
Tetap berdiri dinda Bale - bale, 11 Januari 09
[11]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Goresan Luka
-satu- Setelah sepi mencekam ku tuliskan nyanyian rindu goresan masa itu dinda.. kurekam semua tentangmu.. memahat setiap jengkal tubuhmu..
Disini aku terusik, dilema antara melangkah dan tikungan patah terjal dan tajam dinda... kau sendiri tak sudi setakat melirik... sekedar menambatkan sauh di dermaga porak-poranda bekas terjang ribuan air mata..
Masihkah hati ini milikmu dinda... setelah sekian lama terkubur menghitam antara puing-puing lumpur
[12]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
-dua- Goresan ini semakin perlahan meniti jalan setapak terjal goresan ini tetap tertulis meski sebentar lagi kan tumbang, terputus untuk sekedar diam selamanya...
Hanya demi dirimu dinda meski kau terlalu cuai tentang diriku yang rapuh, meredup telah urung ayunkan langkah mengejarmu..
-tiga- Terlalu tinggi untuk diraih terlalu indah untuk dimiliki terlalu manis untuk disakiti dinda...
Biarlah tetap disana menjadi bunga tak terpetik tetap menjadi duri mawarmu dari kumbang tak bermarwah
Cinta... masihkan kau dihatinya
Selatan hati, 15 januari 09
[13]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Jangan Datang Lagi
Jangan datang lagi malam ini dinda ceritakan tentang cinta entah apa itu rasa pahit bagiku oleh cinta tak terbalas
Kulipat perahu kertas ini kuhanyutkan dalam aliran air mata buru-buru basah tenggelam seperti juga hati ini sedikit indah kemudian hancur terpuruk
Cerita ini terlanjur kumulai berawal dari kata tak bertuan memahat alur tak terpeta seirama badai hempas pantai setiap kata selalu menegang meruntuhkan hati kerontang jadi debu tanpa api arang
Bicara lautan entahlah.. hanya asin yang puih.. tentang badai gelombang tentang karang terbentang
[14]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Entahlah pernah terdengar tentang dermaga tentang sauh terikat Hanya faham kembang layar pantang surut berlabuh karena ku tahu itu dermagamu terlarang kusinggahi menyesakkan asa menorehkan luka kering mengalirkan biru darahku
Senja menjelang dinda menutup cerita duka selaksa tentang dirimu tentang mendung tak berujung hilang bersama dingin malam berakhir di muara air mata
balai-balai, 19 Januari 09
[15]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Pagi
Pagi ini setumpuk sajak tertulis cerita tentang bayang terputus rindu tak terurus
Hanya angin layu melantunkan aroma luka tercipta goresan lirih membangkai nanah membusuk
Setakut pagi membuka luka lama itu mengalirkan air mata duka salahkah aku terlanjur begini terhanyut dalamnya matamu
Kututup sajak ini walau jari masih ingin menari menumpahkan segala rasa asa namun, mata ini semakin berat untuk melirih cinta... tak sadar aku terbunuh olehmu...
bale-bale, 19 Jannuari 09
[16]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Salahkah Ku Bangun Perahu Bersamamu
-satu- Pantai ini... mungkin cerita indah terakhir terlahir hanya demi dirimu tentang dermaga kita berdua perahu perahu kertasku
-dua- Perlahan ku rengkuh perahumu menyusuri seluruh lautanmu aku tertawa kau juga dinda.. bagiku...badai pasti enggan menyapa
Setelah sepuluh purnama berlalu semua memang tak seperti seharusnya akhirnya badai itu menghampiri kita dinda terhempas perahu ini pisahkan aku dirimu
-tiga- Meski aku tak mengaku kita kalah dinda bertekuk pada badai mungkin kecil perahu ini bertahan demi lautan
[17]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Tapi ini asaku ini niatku kita melaut dinda
Tapi tidak, katamu dinda.. kau ingin berhenti disini lalu aku? apakah sepuluh purnama belum cukup dinda lalu kau pilih untuk tetap diam di dermaga ini tinggalkan aku dengan perahu perahu kertas
-empat- Ringkih aku tanpamu dinda rapuh untuk melangkah sendiri mungkin mimpi lautan itu hanya mimpi yang takkan terwujud dinda tetap menjadi bualan basi hilang antara mimpi-mimpi semu
Kau masih tetap disitu dinda di dermaga itu tak bergeming apa yang kau tunggu dinda? "Menanti perahu yang lebih besar dari perahu kita" mungkin? jawabmu "Aku butuh nahkoda tangguh bukan seperti dirimu.."
[18]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku tak sempurna dan tak akan pernah tapi ini perahuku berpahat air mata kusepuh jutaan cita
Dinda...tapi terserahlah
-lima- Aku ini hanya debu coba jadi emas padahal tabu tinggalkan aku di sini dinda biarkan aku membatu oleh biru belatimu
Rumah Rindu , 19 Januari 09
[19]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Epilog Hati Tak Bertuan
Lelah.. menahan jari berhenti menulis sajak rindu berbahasa ritme kelu harus ku muntahkan semua kata lugu biar luluh semua rindu meluangkan lemari hatimu hapus sketsa kanvas mataku
Bukan itu yang ku mau bukan itu yang kuperlu hanya lepas dari jeratmu dinda terlepas dari bayang-bayang semua tentangmu
Biarlah puzzle ini terkubur bersama hati mati membangkai tertelan senja temaram
Senja Temaram, 20 Januari 09
[20]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Mungkin Aku Akan Tenggelam
Mungkin aku akan tenggelam di dalamnya lumpur kerinduan bertambah gelap saat mata ini bertemu
Takkan ada yang menyentuh jasadku hanya akan menjadi daging membusuk tercabik burung-burung gagak anggap penghargaan terakhir dari cinta tak bertuan
Tanpa sadar bukan belatimu bunuh diriku tapi cintamu remukkan hatiku dinda...
Apalah hidup ini tanpa hati bagai gurun tanpa oase....
Diksi, 20 jan 09
[21]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Paksaku Cinta
Senja itu menyapa membungkus malam sunyi tinggal redup redup tapi itu cerita lain bukan cerita aku
Senja itu kelat bagiku malam itu nanah untukku itu belatimu dinda
Karena semua cerita lama terus terbuka bersama gelap membayang senja melangkah malam hilang disini aku dipaksa dinda untuk katakan tidak pada lembaran silam membalik klise masa itu dinda meski luka itu masih lembab mengalirkan belatung nanah
Cerita itu ceritamu dinda tetap cerita kita tapi bayangmu tinggalkan aku tetap pada lembaran terakhir
Paksa aku pada jejakmu dinda mengoyak semua lembaran kosong katamu... tak ada yang boleh mengisinya selain diriku aku masih membiru, membatu tapi kau sendiri jauh
[22]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
berlari dari apa yang kau tulis semua janji yang kita pahat semua gubuk yang kita semai semua sembilu yang masih tertinggal tersusun rapi di dinding hati
Mengapa kau pinta itu dinda memaksa aku tumpahkan air mata kau tau itu telah kau kuras jadi sesuatu tak berdasar
terserah dinda ingin kau apakan aku ini kau kubur oleh mimpimu kau pahat oleh tangismu atau berkafan langkah darahmu terkurung gundukan tanah merah basah
terbaring bisu memacung mata
Hujan, 30 Januari 09 tak sadar, remuk aku
[23]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Temaram Di Mataku
Tak semudah itu dinda terseok tangan memahatnya , bertakik..entahlah terasa hanya darah, nanah luka terpoles, waktu terjerembab
Hujan dimataku , hujanmu jua bertikam belatimu dinda membiru menyisakan kosong sunyi... malam enggan tersenyum apalagi jariku dinda.. hanya tau lukiskan kata memamah rindumu serpih serpih memungut bayang masa itu puih...entah apalah lagi..
Sajak ini, cuma sajak tak bermaknacoretan garis kosong terlahir hanya dengan dirimu dinda
Biarkan dia tetap melukis meski akhirnya aku menangis terkikis , sadis..puih..
Bale-bale, 2 Februari 09 (Seluruh patung ini telah kau ukir bersama hati membeku jadi abu oleh sajakku)
[24]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Membaca Matahari
Membaca matahari tak sampai terbawa angin melantunkan not-not kota mati rindu... setakat ingin bersua melepas gelora bara redam mengukir tawa remah hari
Selaksa, 3 Februari 09
[25]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Luka Itu Belum Sembuh
Luka itu belum sembuh dinda.. meski tlah diperban seribu hari berbadai air mata sejuta tangisan hati
Ia masih menganga merah, bedenyut basah.. mengalirkan hitam darah anyir nanah mengundang langau entahlah...
Mengurung diri seperti tak bermakna sedikit menghapus jendela mataku menghilangkan sejenak bayangmu dinda...
Rumah kayu, 12 Februari 09
[26]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Senja Terakhir
Ku pahat sajak ini puisi terakhir tentangmu karena semua khayalku tipis terkikis berujung penyesalan miris
Ku nyanyikankan lagi di dermaga rapuh , pantai tak bersepuh perahu tak sampai sauh terputus bersama badai lautan
Menerawang senja terakhir membingkai matahari kelabu menghilang bayang waktu
Ku tinggalkan coretan kliping nada sumbang catatan terakhir dariku tentang sepuluh purnama bersamamu tentang bayang terakhir
Semua tlah terlukis biarlah mengabur bersama separuh hatiku meski kini tak tersentuh lagi beku..memenuhkan lemari hatimu
Senja terahir, 20 Februari 09 teruntuk dirimu dinda, gadis sejuta mimpi seribu mawar violet, selamanya begitu
[27]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Hikayat Sepi
Sejatinya cinta itu berbalas menjadikannya indah meramu kasih berdua namun bila cinta tak bertuan, kemana hati hendak dibawa bernaung sepi luka
Mungkin selamanya sepi... jadi debu meski badai enggan menyerbu asa hilang setakat nyawa lekat di badan jadi coretan nafsu kelam dinda
Pekanbaru, 14 Maret 09
[28]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Episode II
Perjalanan Kota Mati
[29]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Jalan Kota Mati
Mendayung kata kota mati memaknai setiap seduhan nanar ku telan luka ini meski anyir pekat darahmu
Kota ini mati tempat sujud bersimpuh menjauh bingkai dirimu meski berpagar selembar pilu
Terimalah selembar laut, seberkas daun kering dan pintu segala penjuru, kumaknai luka tanpa air mata, dan biarkan perjalanan menyanyikan batu karang. Jalan jalan semakin sulit kupahami*
Setiap sudut kota melukis guratan wajah jejak langkah mengendap tertinggal puing sunyi mengokohkan melodi duri
Kubingkai cerita ini berfigura selendang kenangan terlapis luka kering tersandar di reruntuhan dermaga kupandangi cahaya bulan walau tak utuh sepuh nyanyian mati
[30]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
membayang beriring senja menguning biarlah
Kutelangkahi pasirku mengubur istana sunyi berserak ku hisap sudah lukamu jadi tusuk tusuk onak duri
Menyusuri lorong kota hingga ke ujung jalan melintas dinding suram terduduk di pinggir redup akhirnya...luruh tertutup
Kota Mati, 25 Maret 09
*(sajak Jamal D. Rahma "kado ulang tahun, Reruntuhan Cahaya Bentang Budaya 2003)
[31]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Labirin Ujung Jalan
Deraian kabut memaksaku menggulung waktu menampik semua sejarah masa itu menancapkan belati bekas luka waktu kusibak labirin mati selami makna sendiri mematung...
Tlah kubasahi langkahmu berhujan air mata cerukku hingga jalan seluruh penjuru membuka pintu pintu senja lalu
Kutinggalkan sisa langkah tentang jejak pasir dermagaku buru buru mengabur oleh riak sebatas goresan angin simponi daun kering tentang batu waktu lukisan pilu kupahat dalam selendang lugu mengubur ragu
Kusemai luka lara berharap bukan benih putus asa yang tumbuh tidak juga pohon kesedihan tak berujung hanya rumput kebosanan menyimak dongeng kosongmu
[32]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sedang musim trus berlalu kujumpai wajah-wajah itu bukan dari ceritamu bukan dari lukaku dengan rentak langkah layu berdesir, menyayat setiap detak pena
Kuceritakan dongengku tentang sesuatu yang tak menentu karena tlah kau sembunyikan akhirnya disatu ujung lorong kini lorong kota mati disekotah labirin masa itu
Sekotah luka, 6 april 09
[33]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sudah, Hentikan Saja Semua Ini
Sudah, hentikan saja dongengmu karena aku heran kemana alur ini kan ku bawa jika kabut enggan berpaling sedang irama rebab makin tak tentu meruncing terbawa musim
Pergantian... tak selalu harus darah meski anyir nanah akhirnya tumpah juga tak perlu hujan setakat badai sehari meluluh lantakkan rentak sajak
Membungkam kata maka tersibak apa apa di depanku hingga terkoyak semua sajak tentang rindu engkau sendiri tlah muak mengulang langkah terjejak
Kuakhiri sajakku seharusnya sepuluh purnama lalu tapi aku ragu,mungkin juga gagu hingga akhirnya aku buntu jadi batu benalu
[34]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sudah hentikan dongengmu juga cerita cerita lainmu mungkin juga sajakku semua karena masa itu juga memori tentang hujan perahu, dermaga, pantai pasir
Ambil saja buang atau kau bakar hingga tak berjejak segala tapak retak
Sudah seharusnya kuhentikan saja semua ini
Rumah Labirin, 6 Apri l 09
[35]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Celoteh
Celoteh orang orang di sudut jalan hanya seperti gurauan hujan melesap lalu mereka reka setiap kata terucap
Kupingku nyaris dungu cuma kecap kecap berdenging merobek luluh lantakkan iri berdarah, marah
Ayunan langkah kakiku menyisakan celoteh malam tentang orang bercakap cakap tentang sesuatu asap tak terbaca hilang, buang, kelam, tenggelam
Sore Imagi, 26 apri l 09
[36]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Pantai Sujud
Memungut kepingan waktu selamanya tak kan selesai terjerang retak retak perjalanan tentang lorong lorong gelap jalan jalan belumut
Cinta itu kini sunyi cita itu kini duri menusuk nusuk lengang terasa arang cuma meradang berbulir waktu hilang tertinggal musim lalu lalang
Meski kini jauh oleh waktu peluh kau pikir itu senja cuma pagi jelang setengah fajar bertandang tersisa tangis pilu
[37]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Pikirku ada bahasa hati kan dikatakan seni ternyata nyanyian sumbang tak berisi ketika batuan waktu terentang ribuan langkah mengangkang menyapu mendung kelam hampir tak tersisa tersungkur sujud rebah sunyi mengiang
Dentingan dentingan riak cuma itu tak ada bebayang juga dermaga pasir semua hilang ketika sujudku berakhir
Pantai Seberang, 28 April 09
[38]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Perjalanan Sesuatu
Seusai kutuntaskan bekal perjalanan ini merentangkan sepuluh jari memohon ikhlaskan aku berlayar meresapi segala kabut juga tak terikat peta yang kau bawa karena jalan jalan hanya lembah waktu memerangkap bayang rindu tertumpuk juga tentang langkah langkah gontai meradang
Pinjamkan aku sebatang kompas perjalanan berharap mengantarkan aku pada persinggahan takdir bukan dari dermaga yang kau lukis semalam juga bukan dongeng dongeng sesuatu ku harap jalan jalan teratur tak menyesatkan aku yang memang sudah sesat tak membaca sesuatu harusnya kau curi
Dan ketika arah angin tak bisa kutebak maka ku ayunkan langkahku menerobos detak detak kota ini mengunci setiap nafas nafas sengal berawal luka luka perjalanan risau jalan mana yang kau petakan bila kau tau mata ini tercetak biru pada matamu sedang kepal tangan terus merayap juga ranting ranting hujan semakin retak terbanting jawaban palsu jeritan kaki
[39]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Ku kirim kamboja bukan melati putih atau mawar juga bukan edelwisse seperti janjiku tempo hari maaf, waktu yang ku bunuh bersamamu berakhir jadi kepingan gelisah di ujung remah senja
Buang saja tatapanmu itu matamu takkan kembali mengasah debu debu dermaga desember takkan melengkapi puzle puzle ku tentang januari lalu sebab tlah kau pecahkan Septemberku seperti buih buih pantai itu jadi keping keping senja berakhir di ujung riak riak kecil
Pembayang waktu, 4 Mei 09
[40]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Penggalan Nota
Penggalan perjalanan seharus sudah cukup merapatkan luka luka hujan semalam bekas badai tempo hari juga kepingan nota nota tua selayaknya jadi perban pilu bukankah tlah ku pahatkan seribu malam juga dentingan puisi rindu menyita malam malammu dinda
Kutinggalkan itu untukmu anggap pengganti aku malam ini mungkin juga kemarin besok kusiapkan coretan usang meski cuma setengah jika mata ini terutup
Sebuah Nota, 4 mei 09
[41]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Ratapan Perahu
Sisa persetubuhan malam tinggal kabut tipis, dingin dinda ku baca not not sumbang terdengar merangkak lesap karena hati juga sedih bengap
Seribu perahu tlah kupahatkan juga ratusan dermaga biru tersandar rapi pada pantai pantai tempo lalu kutunggu kau pada persinggahan terakhirsebelum aku kaku oleh lorong lorong airmata kelu tapi jika aku berang karena semua janji kau buang tinggal bebatuan tulang oleh aku yang malang
[42]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Maka oleh siapa aku persalahkan waktu sebab perjalananku mesti berlalu juga langkah langkah waktu tinggal benturan benturan dungu siapa yang tau kusibak tabir langkah karena tlah ku petik hujan berbongkah bongkah ribuan kelat getah siapa yang betah
Tutup saja kompas perjalanan juga bekal bekal usang tentang peta tanggung semakin sulit jalan ku temui
Jika dermaga itu ada, 7 mei 09
[43]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Mengingat Waktu
Duaratus enambelas purnamaku bawa perjalanan tanpa henti langkah kaki kaki meniti jalan labirin senja letih sudah aku bercakap kebu lidah tercecap segala busuk pengap suara kelat potongan cerita tak lengkap
Semua retak retak waktu terkoyak menuntaskan segala coret coret notaku ketika semua nada tak ada petik petik gitar tua tak lagi mampu temani senja dentingan piano tua berakhir jadi simponi buta
Sudah cukup semua sampan air mata berlapis wangi bakau Selat Malakaku
Simponi perjalanan, 7 mei 09
[44]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Riwayat Rintik
Bukankah aku tlah menjauh darimu, berlari pada jalan jalan yang aku sendiri tak tau, berlari pada apa apa yang tak kuat ku baca pada perjumpaan terakhir. Kau sendiri yang menitipkan kata itu padaku saat gerimis bertandang ke kota tua, meski rintik rintik itu tlah aku pesankan untuk menjagamu bila nanti aku tiada, tapi mengapa slalu kau tumpahkan air matamu pada kepingan-kepingan waktu. Bukantah waktu juga menemani kita pada perjumpaan gerimis dan jika aku menjauh darimu, bukan salah waktu jika akhirnya aku berlari. Ini jalan yang kita pilih, tapi andai akhirnya aku yang dipersalahkan, mungkin itu benar adanya. Karena aku hanya bisa berlalu memunggungi retak-retak jalan, dan kau masih ragu untuk memandangi punggungku. Temui aku pada persinggahan takdir, pada dermaga dermaga runtuh, juga pada titik sungai diantara bunyi punai dan dawai. Kau ingin aku catatkan nota-nota perjalanan hujan,padahal petak-petak waktu selalu berkabut, dan jari-jari selalu kalut. Pada lembaran-lembaran kosong pada jalan tak tersentuh, aku pahatkan not-not sumbang setakat nyanyian malam bila mendung tlah membasahi langkah-langkah senja walau kini tak seimbang untukmu.
Pulau Seberang, 8 mei 09
[45]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Pada Jejak Langkah Mata
Bila mata mata terbuka selalu mencakapkan aku tentang sesuatu yang harusnya tabu maka lidah mana yang ku pakai jadi abu andai sesuatu itu yang harus kau tau pada ujung perjalanan waktu
Salahkah aku yang ingin jadi penyair setakat kejap merangkai kata merapatkan jari-jari nada lama mencatat segala sebelum aku lupa
Aku tak mau seperti syamsul, juga tardji, yang kehilangan-kehilangan itu, tapi gunawan mungkin, "keajaiban hanya terjadi ketika kita tak berharap, ketika kita tak disini lagi"* (meminjam sajak Sobirin Zaini, "petunjuk waktu di pergelanganku", Balada orang senja dan kata-kata Gunawan Mohamad)
Kata mana yang ku pakai jika semua serba cuai pada apa apa yang ku gapai sedang engkau sendiri manai memungkiri apa apa yang terbuai pikir aku sendiri yang melangkah tersesat pada gerai hujan kutuntaskan awan-awan kelam pada apa apa yang suram
Mendung kelam, 8 mei 09
[46]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Cerita Selat
Bukankah tlah aku pahatkan untukmu seribu perahu pada ratusan dermaga pasir maka,salahkah aku jika laut engganmemberangkatkan kita pada Selat Malaka ku hanyutkan perahu kertas seirama hujan malam ini ku ingin kau baca suaraku pada rinyai badai selatku,dinda
Perjalanan ini Awalnya langkah kecil berakhir dalam dekapan pulau kutinggalkan perahu air mata pada not not buta
Tunggu aku pada pertemuan waktu jika dermaga dermaga tlah kelabu oleh riak riak siakku
Jika dermaga itu ada, 8 mei 09
[47]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Perjumpaan Taman
Ku tusuk tusuk luka belatimu berharap sembuh padahal menganga meski letih mengalirkan darah nanah aku akan datang malam ini juga malam malam lalu temui aku di taman itu sesudah kau perbankan retak-retak nadi
Kau harus datang percakapan ini tlah kutunggu puluhan purnama tentang sesuatu yang ku peram semalam tentang pesanku pada rintik hujan pada lautan debu belakangmu lekuk lekuk pasir basah inginku ini berakhir
Selat Medio, 10 mei 09
[48]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kabut
Cukup letih bercakap cakap tentang sesuatu yang tak jelas ujung pangkalnya setelah engkau sendiri patahkan jalannya macam hari hari kau duduk dekat perapian kabut tak ndak bergarit meski kukejut mencampakkan kedut kedut
Aku pun tak tentu arah pada langkah mana engkau ku ikut jika pada senja engkau tak beringsut
Sudah, letih aku
Dermaga Pasir, 10 mei 09
[49]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Perjumpaan Rindu
Pada hamparan mana kan kau tancapkan sesuatu perjumpaan pada tenggat waktumu andai malam enggan beranjak pada senja layu dan deru nafasku kian lemah tersedu pintal saja mungkin atau lumat segala sesuatu itu
Seberangi aku lautan katamu jika semua pesanku tak terbaca pilu juga air mata tak lagi nyanyikan syairku maka pada sepuluh purnamaku ikhlaskan aku berlalu pada retak retak penantian beku
Lautan Beku, 10 mei 09
[50]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku Diam
Kubaca detak sungai pada hamparan senja menuliskan apa apa ku ingat aku diam tak bercakap cakap menolehpun tidak , muak aku terus melelehkan air mata tempayanku dah kering, dinda tak tau lagi apa nak dicakap bekerak rase berentam jadi satu tak tentu arah
Entahlah engkaupun ikut diam tak menjawab segala tanya terucap tak menyahut segala paut, senyap tak ade cerita berpesan dengan angin tidak gerimis, hujan, gelombang apalagi , hilang mungkinkah pesanku tak sampai tak mungkin , tak sekali padahal kukirim sms, email tak juga ade balasan kemane engkau
Terus kupandangi lukisan senja menjelang gelap kutuntaskan ketidak mengertianku pada apa apa yang tak terlukiskan oleh gerak gerak jariku
Kabut, 22 mei 09
[51]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Mengapa Harus
Mengapa harus gerimis rintik rintik juga badai mengapa harus sampan sauh nahkoda layar mengapa harus dermaga pantai mengapa harus jika semua tak selesai cuma tinggal aku seorang diam...
Selatan Hari, 25 mei 09
[52]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Ini Percakapan Dua Aku
Rintik rintik gerimis masih turun sisa sisa hujan sore ini teringat perjumpaan gerimis tempo hari entahlah jadi apa aku ini duduk diam menengok kebelakang pada bayang bayang tak jelas mungkin mengapa tak melangkah? bukankah musim tlah berganti, mengantarkan engkau pada persinggahan lain jejakmu belum usai, masih ada sisa langkah
Aku lemah macam orang tertinggal kereta senja aku letih asik nak belari pada perjumpaan gerimis aku tak nak mengingat itu
Bukankah nyanyian malammu masih terdengar? meski kau enggan mengucapkannya, lalu kepada lembaran yang tlah kau catat pahatanmu pada jalan tak tersentuh, kau jadikan apa tuan pembual? kini kau tengah bercakap dengan aku jejak jejak perjalananmu, bayangmu dari dermaga rapuh, perahu rubuh hingga kini perjalanan kota mati
[53]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Bukankah kau ingin jadi layang? maka jika talimu putus, mengapa kau menangis? bukankah putus tali itu ujung jalan kau cari? dan bila kau tetap jadi layang, masih banyak lagi putus putus yang lain "aku tak ingin putus, dan bersambung pada tali lain" persetan itu layang, Tuan Pembual
Kau anak laut,melamun bukan nadimu taklukkanlah untukku seluruh lautan meski akhirnya tak ada dermaga kau singgah tetaplah jadi api laut hingga petang tak berkabut
Pulau Ketiga, 26 mei 09
[54]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Keberpikiranku
Ini pertikaian dua aku seperti tempo hari. Aku masih terlupa untuk menulis, semua tentang dia yang pernah dipikirkan. Bukankah kita diciptakan tanpa henti berpikir? dan masih banyak lagi bukankah-bukankah lain. Dan aku masih berpikir, apakah semua yang aku lupa harus ku tuliskan kembali pada jalan-jalan yang tlah ku lewati. Berpikir, apakah setiap jejak langkahku itu akan menghilang begitu saja ketika musim berlalu. Berpikir, akankah aku jadi sesuatu setelah keberpikiranku pada sesuatu juga tak selesai sehabis senja. Ini juga masih tentang keberpikiranku yang keberapa. Pada gelap-gelap sunyi setelah percakapan dua aku yang tak mungkin selesai jika semua dermaga masih ada pada pantai rapi. Sesuatu yang dimulai bukan untuk selesai meski sang pelakonnya pun mengucapkan, "Aku tlah mengungkapkan semua syairmu pada malam gelap, tapi mengapa pagi masih enggan beranjak?". Itu juga pertanyaan yang mungkin aku lupa. karena aku juga masih enggan untuk menulis percakapan dua aku. Berpikir, apakah setelah seluruh nota yang tertulis berubah jadi jalan-jalanku esok hari, ingatan-ingatan itu akan terpisah dariku, berpikir sendiri, hingga berkurang bebanku sedikit.
[55]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Berpikir juga, puzzle-ku yang berserak-serak pada sepuluh dermaga lain, akankah itu lengkap jika aku sendiri tak menulis, "Aku berniat melengkapi duabelas puzzleku pada ketidakmengertian lautan pada riak-riak badai". Aku lupa itu, biarlah itu menjadi bukankah-bukankah lain dan keberpikiranku sendiri, bertikai antara dua aku hingga sadar, kau tertinggal kereta syair terakhir senja ini, Tuan Pembual.
Pulau Ketiga, 27 mei 09
[56]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Episode Ketiga
Percakapan Dua Aku
Menulislah sebelum aku lupa tak mengingatmu barang sejengkal
Maaf, aku tenggelam dinda
Temui aku pada hujan gerimis saat tak ada lagi dermaga sudi menerimaku pada perjalanan sisa langkah gontai terakhir
Dermaga kedua, 1 Juni 09Sang Pembual
[57]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku Lupa
Aku lupa ini jalan yang mana mengantarkan kau pada lorong tua tak tentu arah jua tidak dari semua peta ini mungkin labirinmu sendiri "Bukankah kini seperti itu hatimu?" kau sendiri menanam itu mungkin kau lupa selalu lupa, sengaja
Ini labirinmu kau semai sejak dermaga rapuh mengapa diam? kau tersesat? harusnya tak mungkin ini labirinmu jalan-jalan milikmu, milik-Nya aku lupa, ini ku awali dari mana "Bukankah kau buat hatimu berkotak-kotak hingga tanpa sadar ia berontak, mengentak-entak"
Sengak, Aku lupa , jangan kau salahkan aku, "Kalau bukan kau, siapa?"
Diam sajalah di situ hingga tiba pemberangkatan waktu kusiram engkau jadi pintu semu sajakku
Ruang Belumut, 4 Juni 09
[58]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Diam
Diam, diamlah kau di situ, di sudut tergelap hatimu. Gelap tanpa cahaya, remah sekalipun. Kau takut? Mengapa? Diam, diam sajalah seperti batu, mungkin kerak, melekat tak bergerak. Diam, usah kau nak mencari cahaya pada kunang-kunang, matahari pun jangan. Jika pada akhirnya kau bunuh jua kunang itu, setelah ia lena pada ucap rayu bibirmu. Diam, jangan kau hendak bercakap, cuma kecap-kecap tak jelas, tak sedap, entah untuk siapa. Diam, hentikan saja air matamu, tak sudi aku menengok air mata palsumu, tak berarti untukku yang sudah tak berhati. Diam, usah nak merengek, segala serakmu sudah aku ingat, bila tlah dalam genggamanmu, kau lupa pada setiap janjimu, menghilang macam kabut. Aku muak. Diam, diamlah kau disudut tergelap hatimu. Hentikan jarimu yang menari, melukis nota-nota sajakku, percuma bila setiap pesanku tak pernah sampai pada wanitamu di seberang pulau ini. Itu sia-sia saja, percuma. Diam, usahlah kau nak melipat, membuka lembaran lalu kita, itu cuma mengiris luka kering, melepas jahitan darah, sakit miris. Diam, usah kau nak bernyanyi, senandung lagumu takkan ia dengar, aku pun tidak, jika angin enggan mengantarkannya, burungpun sama. Diam sajalah. Diam, dan buang kuasmu itu, percuma kau coret-coret kanvasku, melukis tentang retak-retak sampan dermaga lalu. Tak sudi aku mengingat lagi. Itu sesuatu yang harus aku lupa. Hingga kini, itu alasanku berlari pada perjumpaan gerimis, mencari
[59]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
dekapan pulau lain. Ini pulau ketiga, kerumah keberapa entah, hanya untuk lupa itu. Diamlah, ini pertikaian aku, benakku dan kau, jejak-jejak perjalanan. Diamlah, usah kau tatap aku lagi, takkan kau temui lagi api lalu, barapun tidak, setakat gelap seperti gelap hatimu saat ini. Diamlah, akan aku temani diammu kini, layaknya tatapan kosong mataku pada layar monitor. Jariku ini masih merentak-rentak pada keyboard komputer. Lirih, ini sajakku keberapa?
Pulau ketiga, 5 Juni 09
[60]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Terlupa Sujud
Untuk kesekian kali aku terdiam terduduk pada persimpangan jalan pada jalan mana kau pilih, bila tak ada batas petunjuk waktu engkaupun tak ada sekedar tempat tanyaku
"Kau pilihlah jalanmu sendiri" bukankah sejak puluhan purnama lalu aku tak lagi di sampingmu penunjuk jalan-jalan kosongmu tidak juga jadi petamu" "Aku lupa"
Masih lupa, sejak kapan kau tak menulis, tak mencatat isi kepalamu, kepalaku juga? "Aku tak ingat, aku berjalan tanpa peta, tanpa kompas, tanpa bekal perjalanan. Ini langkah pada batas keputusasaanku menemukan dermagamu, dermaga yang sudi menerimaku, petak-petak jalan pulang jua aku tersesat pada sepertiga sisa langkahku"
[61]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kau kata,"Bacalah setiap tandaku, tanda-Nya pada setiap tepi-tepi jalanmu," Tak ku lihat itu, mungkin buta mataku, lelah ia kini aku berjalan tak tentu arah memandang hanya pada ujung sepatuku tak pantas aku mengadahkan muka pada setiap rona ceritamu, sajakku, jalan-jalanku, jalan-Nya. Malu aku terlalu lama lupa pada-Nya asik nak mengejar wanitamu di ujung seberang "Aku lupa"
Ini batas keakuanku pada setiap kata terucap terlukis, tercatat kusujudkan tubuhku, mencium wangi tanah tempat aku berasal kembali terimalah sujudku robbi, meski ini masih ada sisa keakuanku di sini
Rumah sujud, tengah tahun 09
[62]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Ku Tebar Lewat Jendela Nisan
Ku tebar lewat jendela malam ini berpacu anganku pada detak jarum jam entah kemana
Ini seharusnya pada jendela kamarmu aku muncul tak lupa seikat melati, mawar mungkin tak apa ku temui dirimu tersenyum ramah padaku "Ada apa engkau bertandang padaku malam ini lewat nyanyian pasir dan deru angin?" "Cuma setakat jumpa" wajahmu, gadis yang slalu terbayang kubawa lelap terselip dibawah bantal tapi tak sampai, cuma angan-angan hampa kita jauh tak seruang
Ku ketuk pintu rumahmu pagi ini renyot kursi rotan mengartikan kau ada ketemui wajahmu jua, tubuh dengan balutan baju melayu resammu masih lekat tak seperti aku, lupa kapan ku berjoget zapin pada perhelatan kampung
"Maaf, kedatanganku tak seharusnya ada tak pantas untukku berkunjung padamu gadis. ini hanya selongsong rindu yang kita semai berdua tempo lalu" "Cuma sebatas selongsongkah?" "Hanya ini yang tersisa, semua itu menguap,karena aku terlalu lama berpikir pada semua rasaku
[63]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
hingga lupa, ia juga gerah, diam menunggu. tak apa, jika tak berkenan maaf, kata itu terucap dari bibir seorang Tuan Pembual, hingga buat kau mual. tutup saja telingamu bila tak sudi dengar ini cuma gurauan basi bagimu bukan? maaf"
"Tak usah memohon maaf dariku, tak ada yang salah"
Waktu menjauhkan kita, hingga pada perjumpaan tak tercatat, sampai aku, kau lupa tapi Dia tidak, kita pernah ada rasa meski itu tak sampai aku maklum, kita cuma tak cukup beruntung tak bertemu pada tepat waktu
Ini mungkin pertemuan kita terakhir aku ingin melengkapi puzzleku semua pahatan nota perjalanan pada semua jalanku kugenapkan keduabelas dermagaku walau itu bukan sebenar dermaga hanya dua pacang kayu lapuk "Aku kan tidur dibawahnya"
Jangan menangis dinda
Jogja, awal Juni 09
[64]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Simpanlah, Walau Tak Nak
Tak seharusnya aku disini terduduk diam di ujung pelabuhan senja melupakan kepingan waktu bersamamu tak usahlah kau buang, hanyutkannya pada jeruji sungai, kau lumat pada kecap bibirmu atau kau bakar pada perapian ragu. kelak, jika kau butuh tak ada apa tersisa cuma jejak air mungkin serpihan liur basimu atau onggokan abu yang kau temui
Simpanlah, meski engkau enggan mengingatkan simpanlah pada tempat kau tak ingat aku, kau juga. cukup Dia itu sisa kenangan dariku hingga akhir nanti aku kan kembali merayap, menyepuh hatimu
Jogja, awal Juni 09
[65]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Cuma Titipan Ilalang
Aku cuma titipan ilalang belakang rumah tergerai hujan sehari, lemah wangi rerumputan juga, aku rindu seperti rinduku pada secuil daratan terpampang diam pada tepian Selat Malaka itu kampungku, lahir, hidup, tumbuh, layu
Pada gadis diujung tanahku aku ingin pulang, memeluk rembulan pelukmu jua rindu pada bebunyi zapinmu irama kampung tepung tawar rinduku pada apa-apa ditanahku kini semakin lupa terpinggir zaman aku, kau juga
Tak ada lagi untukku sirih penyambut aku pulang cuma ada nyanyian sumbang ini bukan tanahku
Aku rindu padamu dinda memeluk rembulan pelukmu jua ini sudah bukan negeriku lagi tak jua bumi lancang kuningku
Jogja, 10 Juni 09
[66]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Tak Usah
Percakapan-percakapan lirih diujung kotak tua pada bungkus nasi yang kubuang ditepi jalan kudengar teriakan-teriakan lantang memintaku berlari menelusuri jalan setapak "Usah kau pandangi bayangmu" ia teringgal dibelakangmu, takkan menyusul kembali kejarlah matahari didepanmu kan kau temui persinggahan lain bukan gerimis, kabut tak seperti dongengmu sajakku jua
"Usahlah kau diam" semburkan semua kecap bibirmu nyanyikan untukku melodi langkahmu jejak yang kau dapat pada pulau lalu
"Usah kau ragu dengar orang mencakapkanmu" cakaplah, cakaplah lebih keras dari kilat mata mereka biar tau, kau punya cerita itu dongeng kau sendiri mengukir gurat-gurat wajahmu pada derrmaga lalu itu ceritamu
"Usahlah nak menetes air mata tak mungkin selesai, meski luka-luka merapat, tak sembuhh jua" biarlah, itu ceritamu kau pernah jatuh tapi tak henti berlari.
[67]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
"Usahlah tebar pandang" mencari persimpangan jalan ikut saja detak penaku tak perlu peta, kompaspun tak usah, ini jalanmu, cerita langkahmu tak ada sesiapa mengengkangmu tak jua petaku, kompasku cukup kau ingat ada seseorang kau pesan menjaga separuh hatimu pada letak bujur lintang itu janjimu pada gadisku
Tak perlu risau tentang aku aku hilang, sesat, tak jua ku rekat janjimu pada irama angin badai aku takkan hilang berbayang pada setiap detik nadimu "aku ingat"
Jogja, 10 Juni 09 "Semoga kau tak bosan mengingat semua dongengku dongeng tak tentu arah lalu"
[68]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kucumbu Angin Badai Senja
Kucumbu angin badai senja biarlah ia jengah dengar semua ucap rayu bibirku sampai muntah berkelit lantaklah pada akhirnya ia kan tinggalkan aku merayap mencari pegangan usang
Menangispun tidak, percuma perpisahan ini telah kuperam semusim lalu takkan ku persalahkan lagi ini pada sesiapa detak waktupun tidak aku cicipi semua serat pekat getahmu sampai pada batas kegundahanku sesiapa tak lagi ku percaya untuk mencukupkan semua potongan jeruji sajakku
Kini jangan kau pandangi lagi bayangku takkan basah meski kau amukkan seluruh rongga sengalmu, bercampur abu pembakaran surat basiku, tak cukup kelat. berlarilah kau menjauh sejauh pandangan matahari seja, usah kau sisakan lamunanmu pada selembar kenangan kita tempo lalu berlarilah hingga tak terdengar suara gemeretak pergantian musim aku kau, muakkan?
[69]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Bencilah aku, sebenci kau dengan bebunyi riak-riak pantai itu yang kuharap darimu sejak puluhan purnama karena hanya dengan itu, waktu bisa menjauhkan kita serentangan malam pekat aku kau, jauhkan?
Semua ucap tulisku ini kurendam dalam baskom cuci kakiku cepatlah kau remah, hingga lekas aku siramkan kau pada tapak-tapak nisanku
Maaf, tak sedikitpun aku bisa membencimu
Dermaga Jogja, 13 Juni 09 untuk perempuanku
[70]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kegamangan Itu
Kegamangan itu, tiba jua nyatanya seusai beberapa purnama menjauhkan kita kerisauanku pada sisa asaku dihatimu
Ia pudar, kau lupa, kan? menyimpannya pada lorong-lorong gelap hatimu kau serak ia. bertumpuk-tumpuk pada rekat debumu ia berkarat, lapuk. tak kau pelihara seperti aku menyamah butiran hatimu ku rekat satu meski tak utuh aku ingat, aku pernah bersandar di dermagamu hingga kau titipkan itu padaku meski remuk kini...
Aku risau, serisau yang tak pernah bisa kau bayangkan, dinda, aku gamangsegamang batas manusia pada tenggat mana mati menjemputnya berkelu kelit, kelat kau tak peduli kan? anda kau tau rasaku detik ini, tentu ucapan lain yang keluar dari bibirmu
[71]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Tapi pesanku tak pernah sampai pada dinding hatimu, pintu terkecil hatimu tak kau baca tandaku pada rinyai hujan wangi kabut di kotamu, kota bertuahku
Kau tak peduli kah... kau lupa biarlah boleh kau lihat siakku kini ia masih mengalir, menjaga benih-benih harapan terakhir pada gadis diujung pulauku
Jogja-Pekanbaru 14 Juni 09
[72]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku Rindu, Gadis Rembulan
"Aku rindu dinda memeluk rembulan pelukmu jua"
Itu nyanyian pena seusai keletihanku berkutat pada buku tua berceloteh pada rumus-rumus nan pelik mengecap semua untaian kata-kata basi aku rehatkan sejenak. menulis tentangmu.
Kujemput kau lewat sajakku berbisik lewat deru asap knalpot salah, kicauan burung mungkin bukan burung besi seperti di pondokku tak merdu, karena tak usai mengisahkan percakapan sesuatu saja
Kapan kita pulang? memetik bunga bakau pada lapuk pantaiku merenda songket pesanan emak mungkin jua siamang masih rindu mengikhlaskan kita memanen madu bolehkan temankan aku melaut memancing terubuk untuk abahmu, andai engkau sudi.
[73]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
"Aku rindu dinda memeluk rembulan pelukmu jua"
Pantaiku, rindu ia padamu berlari memijak pasir putih bebunyi riak gelombang pasang tak rindu kah engkau? menyimak senja di kotaku saat malam menjemput matahari aku rindu,
Ini kampungku, kampungmu jua
"Aku rindu dinda memeluk rembulan pelukmu jua"
Jogja, 17 Juni 09
[74]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku Masih Ingin Menulis
Aku masih ingin menulis melukis semu noktah wajahmu karena aku tak ingin lupa aku pernah memilikimu meski itu cuma kenangan tak mesti lupa kan?
Kurekam saja goresan tanganku cerita seluruh tubuhmu pada seikat mawar ungu atau melati bila kau ingin itu kurekat ulang semua wangi gerimis biarlah hanyut lewat titipan perahu kertas, sisa permainan origamiku semalam kuhanyut pada parit kenangan belakang taman.
Semoga saja tak basah, tenggelam di sisa perjalanan. aku ingin ia merapat berteduh, diam pada ujung seluruh penjuru rinduku mengendap, sarat
Jogja, 17 Juni 09 cuma ingin sebatas selamanya ingat meski kau sendiri penat
[75]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kesunyian, Ku Peluk Engkau Senja
Kelut ku cekau kesunyian sehabis mendung bertandang ke gubukku mereka-reka kata apa yang pantas kuucap, ku tulis pada seutas tali linglung sedungu lelaki yang menggores coretan ini, berkerut dengan gemeretak tiap-tiap tulangku aku dingin tanpa ada pelukan lain sejak puluhan purnama lalu
Seperti Sobirin yang ucap bergumam "Malam ini tak ada lagi senja, angin telah dibunuh, sunyi tlah berlari jauh sebelum matahari pergi" seperti itu aku karena tak ada lagi senja ku pandang tak ada pantai untuk berkecipak-kecipuk memungut cangkang kerang cuma kabut, suram memerangkap harapku untukmu dinda, tanpa sisa
"Aku masih ingin memelukmu,meski tak sehangat dulu"
Jogja, Dini Hari 23 Juni 09
[76]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Setelah Hatiku Hilang,Kubunuh Bersama Senja
Sebatas hayalku untuk menyentuhmu menggenggam hangat buku-buku jarimu layaknya gelombang pasir pasang ditanahku berpegang erat pada setiap janji lalu aku ingin ini tak setakat lagu
Sirama getar-getir aroma angin ini tiba musim-musim lain tak mengenalku meski sua slalu tak ingat mana lalu untuk kita aku masih lupa
Selimut selatku kelat berat tuk beringsut karena sumpah serapahmu, benci, muak yang kau pendam itu kini kau siram disekujur rinduku tersendat, larat pada sisi waktu tak ingin lewat, lepas malam ini.
"Kubunuh segenap rasa lain yang ada, hingga malam selalu berteman dengan setiap isak tangis, menangis rindu, tak ingin terucap di bibirmu, bibirku. semanjak kesombongan kita menggunung, mengalahkan cerita hasil benih yang kau, aku semai, bermula dari pantai sunyi, hingga pada perjumpaan adatku itu, kau mesti ingat"
[77]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Hanya tertinggal ampas-ampas angan, tak ia, aku hendak tergelak, tersenyum, tak nak ia, aku berucap, cuma aku diam. memandangi senja yang tak lagi ada. kubunuh ia bersama seluruh sisa hati ia pergi sebelum kerismu menyentuhnya,
Kini tinggal aku tak ada senyum, meski ingin ini karena aku sudah tak merasa, tak tersentuh meski seribu tangis remukan, menjerit di kelopak mataku, ini sejak aku jadi insan tak berhati, berasa. salahkan aku?
Seusai hujan di hati, Jogja 29 Juni 09
[78]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Coretan Basi
Bunyi rintikan hujan malam ini kulukis padu seiring not-not tua tersimpan ia pada botol aqua kosong dibawah meja cukuplah sampai di sini dinda
Aku tak ingin menangis mengiba hari setiap detik dengar tak jua isak-isak kuat meski aku takkan mampu menahan segenap keakuanku ini
Seirama baliho, sepanduk menjelang pencarian orang kesatu menjamur, bak cendawan aku ingin rasaku tak seperti itu tetap lekat erat, hidup berbunga. aku ingin seperti edelwis meski enggan kau siram hingga ia meranggas, tak salah ia cuma butuh menatap senja di tanahku.
Sudikah engkau? kupikir jawabmu tak seperti semua kemungkinan yang pernah aku pikirkan cara senyum ragumu dengan seribu kemungkinan lain tak cukup jelas bagiku.
[79]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Masih bimbang dengan segala jawabmu mungkin aku cuma terlalu berharap. "Bukankah keajaiban hanya adasaat kau tak berharap ia terjadi" aku ingat itu.
Lantaklah, ini cuma coretan basi tak sudi kau baca, meski sebaris aku mahfum.
Seusai Gundah, Jogja 29 Juni 09
[80]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
My Facebook Status
Dan tak mungkin bila melepasmu, sungguh hati tak mampu. Mengertilah cintaku. Dan tak mungkin untuk kita bersama, diatas perbedaan yang selamanya mengingkari dan tak mungkin.
Dan mungkin untuk menggenggam merasakan setiap buku jari yang lain maafkan sang tuandbesar yang tak bernyali
Aku juga ingin menampakkan diri. bukan hanya sebatas bayang disampingmu aku Tuan Pembual, senantiasa bercakap denganmu TuandBesar.
Kau bilang itu diri? kata manis itu terasa pahit dan tak berwarna tau kah kau tuandbesar berharap angin tak bersama serta menghantarkan setiap getaran dari Tuan Pembual
Aku tak menyalahkan angin, meski ia enggan mengantarkan kata maafku untuk peri ungu, tak usah kau salahkn aku, aku jua tak ingin salah letih aku.
[81]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Terlalu kering lautan untuk kau bawa serta demi maafmu kepada peri ungu aku tak dapat berfikir tentang kisah resahmu, Tuan Pembual tiap kepak sayapnya hampir sudah punah
Bukankah aku tlah menjauh darimu berlari pada jalan-jalan yang aku sendiri tak tau berlari dari apa yang seharusnya ku akhiri sejak purnama lalu tapi mengapa masih kau tumpahkan airmatamu pada kepingan waktu? bukankah waktu juga menemanimu pada perjumpaan laut. ini juga cerita tentang dirimu tuandbesar.
Terlalu sederhana laut mnjadi teman malamku, dan tak pula decisan tumpah ruah ombak berniat untuk jadi selimut jari-jari kakiku
"Lepaskan saja mereka Tuan" aku mendengar nyanyian disudut kerajaanku selalu terngiang seperti itu, kejam dan menyiksa pengorbananku nyanyian malam itu berlangsung lama, dan bait terakhir menyunggingkan senyuman manis ini "Akan ada manusia indah tuk tuandbesar"
[82]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Akan ku tunggu jua ia hingga tiba pemberangkatan waktu ku lumat ia bersama remah-remah sajak, jadi liur basi bibirku, hingga sadar,kau tertinggal kereta senja terakhir, Tuan Pembual
Tak pun berharap beranjak dari singgasana ketika matahari pergi dari pandangan mata tak berisi cahaya terang nan benderang tak hadir dikala senja, walaupun kau undang dengan ribuan merpati
Jangan ucap salah tetang pemberian ibunda ku, katakan dengan baik, ingat didalam darah yangg mengalir kencang digumpalan kepalamu, Aku;tuandbesar...!!!
Takkan lagi kupersalahkan waktu. hingga saat tak ada lagi sesiapa kupercaya, kau pun jua. Aku hanya ingin memeluk rembulan di kampungku kala rentak marwas masih hangat terdengar, sedang muda mudi asik melenggang zapin. meski aku tak urung menangis jua akhirnya, teringat kampungku kini tlah hanyut, karena nelayan khianat,penguasa jadi bangsat. muak aku
[83]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Mereka adalah bangsamu... manusia pecinta khayalan, perusak tempat mu berpijak, dan kau harus berbesar hati tentang ruang besar ini bukan hanya milikmu fikiranmu terlampau jauh meniti tiap-tiap hamparan atom, dia tidak berasa dan tidak tak mengenal aku
karena aku cuma Tuan Pembual saja. merangkai kata lewat siakmu kupanggil engkau lewat suara laut saat kabut begitu kalut aku kau takut,jalan ini semakin kajut.
Aku tak ada rasa, sebab tlah ku bunuh senja esok bersama remah hati yang tersisa, aku tak ingin berlari pada tapak yang tak aku buat, tak jua dari semua dongeng-dongengku
Kini berlarilah engkau sejauh hamparan matahari, hingga kau temui wajah-wajah lain tak dari sajakku sejenak kau bisa becakap, ini dekapan pulau keberapa?
[84]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku jujur kepada hati-hati yang mencuat karena hidupnya tak lama lagi, bibirku kaku, cuaca pagi tak tau maksud ku tuk mengemis padanya apa yang sebenarnya kau berikan??
Tepian pulau yg kutuju selalu sama, tempat bertemunya dua hal berbeda tapi tak berlawan. tak jua pulau itu terlihat layaknya cinta antara pangeran mahkota dengan bidadari...
Patahkan saja ragumu, sebelum ia melintang. lebh sulit nanti kau sembunyi, ada batas dimana kau aku tak lagi nak becakap kita muak.
Sebelum itu ada, aku dah berlari jauh sejauh yang tak terbayangkan, berlari menjauh dari apa yang tak ingin kulihat kuingat. sebab angin selalu menjauhkan aku dengan dia, gadis diujung pulauku.
Segala ucap tulisku ini, ku rendam dalam baskom cuci kaki. cepatlah kau remah, hingga lekas aku siramkan engkau pada tapak-tapak nisanku.
[85]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Katakan saja berhenti kepada tempat kau dan aku berpijar dia kan berhenti dari porosnya dia letih layak ibunda yang tak jemu menanti tangis buah hatinya dia jenuh akan lembaran yang pernah dilihatnya, lembaran yang mengukir masa depannya, masa depan yang tak lama lagi membawanya menuju kehancuran
Aku pun jenuh pada tingkah laku rakyatku hentikan...!!
Kini,ku cukupkan sajakku, tlah genap ia oleh celoteh kita berdua.
Antara Tuan Besardan Tuan Pembual*, Akhir Juni 09 (Terimakasih kepada sahabatku, Teguh Budianto sebagai teman menulis sajak ini di Facebook saya)
[86]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Hilang Aku
Hilanglah engkau, usah kau ikut jua aku aku cuma setakat buih pantai berkecipak kabut kelat mesih ingin begelut, walau tak patut
Maaf, aku ingin bilang malu aku pada malam tak pantas aku berpijak pada tanah tempat aku berpijar
Memicingkan matamu, tak mau menerima segala bentuk diriku, kau selalu ingin lebih dan lebih. aku tlah berjalan cepat, tapi kau ucap belum cukup aku tlah berlari, tapi kau bilang lariku lambat, kau tak peduli meski aku tlah terseok-soek dan jatuh berulang kali, kau tetap tak perduli.
aku malu dinda, terpaksa jua aku meneriakkan satu saja keputus-asaan itu, "aku kalah! aku kalah!"*
Seusai aku menangis, 6 Juni 09 * meminjam sepenggal sajak Iyut Fitra
[87]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Belum Berjudul(Ini Aku Pada Pelarian Keberapa-entah)
Jey, aku lupa ini catatanku yang mana lagi, tlah cukup banyak, berserak-serak kini aku tertatih-tatih jadinya tak usah menangis, aku, kau entahlah
Kegamangan itu, aku ingin ini cuma setakat mimpi bunga tidur saat aku berangkat lelap tak jua padahal aku cuma ingin ini ketika ku bangun, ku temui kau disampingku tersenyum. tak mungkinkah? ketemui ini kau menghilang bersama kabut lenyap yang teringat tatapan cemburumu kelat, serasa tikaman di setiap nadiku aku menangis
Usahlah kau berlari memunggungiku setelah kau tumpahkan segala rasa bersama sejuta harapku tak kuat aku cuma setakat bayang-bayang saja
[88]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Ku hisap sisa malam seusai kau maki hamun aku beribu getir aku telan jua tak usahlah begitu jika kau tak ingin, aku mahfum
Meski kini terkikis sisa nafasku karenamu tak sedikitpun ku membecimu, tak mampu Tuan
Izinkan aku berlari menyusuri rel kereta senja merekam pahit pada akhirnya harus ke temui jalan pulang, jalan ke rumahmu, tak ingin, kau pun apalagi kini menangislah aku berpijak ranting rapuh
Cerita-cerita tak tentu arah ini haruskah ku benamkan di gemerisik malam sembab saat angin mengantarkanmu tidur ada bulan sabit menggantung di sudut awan bacalah
Aku ingin duduk di tepian dermaga terakhir jauh dari sejarah ratap ceritamu ini aku pada pelarian keberapa-entah
Seusai kau maki aku, 8 Juli 09
[89]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku Lupa Kenangan
-satu- Degup-degup tangan ini masih segar mengukir sketsa wajahmu tlah aku umpat ia untuk hilang, meletakkan pahat itu berhentilah, aku ingin lupa tentang itu, kau pun ia jua kan?
Sisa asa ku cuma tinggal noktah tinta pilpres semalam, tipis, legam, sulit hilang ingin kusimpan ia di balik tirai jendela kamarmu, atau pada saku depan jeket yang ku gantung di belakang pintu, tak usahlah ia terlihat, bercengkerama pada matahari mungkin jua cahaya senja cukup dengan gelap-gelap malam saja.
-dua- Kulipat-lipat bungkus kenangan tempo hari ingin ku kemas, mungkin ku pak pada dus dus supermi, cukup banyak, setelah itu akan ku hanyutkan ia pada Siakku, Kamparmu, tapi tidak! tak ada Siak, tak ada Kampar disini, mungkin Laut Selatan patut, cukup dalam untuk menenggelamkkan semua kepingan memori semalam aku ingin hilang dan lupa seperti pintamu semalam
[90]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
saat ku baca pesan singkatmu mengingatkan aku pada ucap janji lalu saat bermula perjumpaan gerimis
Sebatas bayang yang kupenggal dari seumit kepedihan yang kian bersarang seperti sembilu yang kau hunus mengoyak meluluh lantakkan semua mimpi, aku ingat itu cuma itu yang tak ingin aku lupa
-tiga- Batas malam ini berujung jika gurauan mendung tak kunjung ada mungkin selayaknya akan terbawa angin menguap oleh pekat-pekat bencimu tak jua, tak tentu mungkin, entahlah
-empat- Hanya dengusan nafas panjang cukuplah, "Aku ingin menumpahkan semua tangisku seluruh sesalku”, mungkin bila ada waktu luang, aku ingin memungut semua kenangan, memori yang terjatuh saat aku kau melangkah, ku pajang, mungkin, nanti, tersusun rapi pada lemari, dan berdebu, tak cukupkah semua tangisan bermandi airmata, entalah, seirama apapun yang kau dengar, aku masih ingin memandang senja meski aku lupa,ia telah kubunuh bersama kenangan yang kuhanyutkan di asin lautku,
[91]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kau mungkin tak sudi mungkin? ku rasa pasti, entahlah aku tak lagi pasti, sebab jalan pikirku bertambah runyam, layaknya pikirmu yang semakin kusut masai, aku kau tak ada yang tau kan, aku masih ingin menulis mencomot lembar-lembar buram depan mataku, menggores-gores luang kosongantara Januari dan September.
Masih ingin menulis, memahat langkah perjalanan semakin tajam selang bertambah aneh jalan yang kau aku pilih, aku ingin melipat kertas kenangan, mengubahnya sampan kertas, legam, mungkin ia ingin dihanyutkan pada Siakku seperti jua kenangan lain, kan berujung pada Selat Malaka.
Aku masih ingin berdendang, menari-nari seusai upacara terang bulan saat tetuah kampung selesai memanen madu sialang, kau ingat? tak jua, meski aku tak yakin cukupkanlah ia, seperti aku genapkan kedua belas dermagaku, jumlah tempat yang aku pernah singgah, meski masih ingin, begitu banyak ingin, cukuplah entah, aku tak ingat tak ingin, lupa.
Setelah merenungi lagi pesanmu,
Terang Bulan, Jogja 10 Juli 09
[92]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Air Mata Hujan
Percakapan percakapan dua aku telah sampai pada batas mana aku tak ingin melanjutkan percakapan ini walau Tuan Besar telah melangsungkan petuah "Tak pantas aku menangis lagi, telah cukuplah hujan yang kau tuai sebanyak tetesan titik gerimis air matamu, aku yang selalu melihatmu melangkah dari balik tirai kasat mata, telah jenuh menghiburmu, cukupkanlah"
Mungkin, jangan katakan lagi mungkin sudahlah, aku kalap
Jogja, 11 Juli 09
[93]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Panggil aku Tuan Pembual
Melati, aku lupa kapan terakhir tersenyum lupa kapan kau disini lupa semua yang telah ku raih
Uh, apa ini yang ku tulis tak ada kata patut tuk ku pakai mereka hilang, tercerai lepas semalam hanyut, mengalir,
Aku pangling, satu purnama ini tak ada burung sudi menyampaikan pesanku tak ada nyanyian gerimis lagi terperangkap di kotak kayu tempurung, tak menyentuh dunia lain cuma aku, pena, dan coretan-coretan sajak sampai kapan?
Ini kota kesekian aku singgah tanpa ada aku menambatkan sauh tak ada dermaga yang kan ku singgah karena kini tak ada sauh lagi yang ku punya mungkin juga, tak ada dermaga sudi kusinggahi aku mahfum
[94]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Setelah kau pesankan aku semalam untuk berlayar menelusuri segala petak laut semua arah angin yang melingkupi senja di kotaku aku maklum, dengan semua kebencianmu yang tercatat meski engkau enggan berucap
Ini kota hanya sebatas kota mungkin kota mati bagiku tak ada sesiapa ku kenal dan tak ada sesiapa mengerti aku
Ini cuma setakat kota ibarat lorong lembab, kan mengantarkan aku pada kota-kota lain lorong-lorong lain mungkin sampai tiba pemberangkatan waktu seperti janji-janji ku kemarin
Aku orang linglung kini mungkin juga esok lantaklah, karena hingga kini masih panggil aku Tuan Pembual
Kota Keberapa-entah, 22 Jul i 09
(Musim ini, ingin ku bingkai di seutas tali layang tak usah nak merayap lagi cukup menggantung, dan diam menyusuri angan angin kita aku ingat, musim ini panggil aku Tuan Pembual )
[95]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
"Jalan Pikiran"
Rintik-rintik gerimis yang membasahi semua tapak perjalan, seperti itulah kusut masainya pikiranku, mendung kelabu, aku pun bingung andai kau yang menapakinya, takkan kau temukan jalan pulang terlalu banyak persimpangan jalan kau temukan lebih runyam dari apa yang terbayang di benakmu masih tak paham seperti apa jalan pikiran yang telah kau sepuh, redam diam ini mungkin bila aku ikut menapak tersesat jua aku,
"Cara seperti apa yang kau buat untuk meleraikan segala simpangan pikiranmu, Tuan Pembual? ini aku bertanya padamu setelah kulihat tak ada apa kau perbuat, selain termenung memunggungi senja yang kau pungut hari semalam padahal itu senja terakhir di kotamu, kotaku jua"
Aku nikmati setiap kali ke temui simpangan pikiranku walau tak urung air mataku ini terus mengalir, meresapi seluruh debu-debu kepedihan yang berayun dari sudut-sudut bibirmu aku masih tak ingin beranjak berpijak pada retak ceritamu, ceritaku
[96]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
"Sampai kapan, Tuan Pembual? takkan selamanya aku bisa menemanimu menemani setiap perjumpaan gerimis" karena akhirnya ikut jua aku menangis. aku tak seperti hatimu, lebih ringkih, sejak selesai kau nobatkan aku jadi coretan-coretan sajakmu
"Takkan lama lagi kau di sini, tapi aku masih ingin, jika kau bosan, pergilah biarkan aku tetap tinggal jadi keriput kenangan" di sini di ujung dermaga, tempat yang tempo hari kau janjikan untukku larilah, kau tlah jauh tertinggal khafilahmu, tak mengapa aku sendiri disini. biarkan terik matahari, rinyai badai menyepuhku hingga ia membatu, asal, cukup ada senja yang menyepuh pikirku.
Diam aku
Jogja, 24 Juli 09 (Aku tak menyalahkanmu, Tuan Pembual)
[97]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Tak Ada Lagi Senja Untukku,Meski Itu di Pantaimu
Tlah kulihat pantaimu semalam pantai landai di kotaku yang lain tak seperti di pulauku ini lebih menghanyutkanku dengan semua keinginan untuk melumat, memupuskan apapun yang ku punya ke genggam, ku raih
Kunikamti ia, meski asin pekat tercicip di kulitku, ini lebih tajam dari cacimu tempo hari lebih perih ketika setiap kulihat tetesan airmatamu baiknya ku simpan saja kenangan itu
Merendam jemari kaki pada pasir basah, tak sehangat biasanya tak mampu mencuci luka-luka hasil torehanku, maaf pasir pantai ini tak sanggup ku bawa serta untuk menemaniku menangis "Tak usah menangis, ini lukaku jua"
[98]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku pulang sebelum metahari memeluk malam tak aku ingat sebentar lagi senja bertandang karena aku tau, tak ada senja lagi untukku bukankan dia telah pergi sebelum aku sempat mengucapkan maaf padamu ia muak menatapku, yang tak jemu memandangnya. "Jangan bersedih," bila memang tak ada lagi warna senjadi sampingku di mataku karena kini aku masih kau panggil Tuan Pembual.
Seusai kupandang malamtanpa senja, 29 Jul i 09 (Catatan yang selembar ini terselip rapi tersimpan pada buku harianmu , buku pertamaku )
[99]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Masih Ada Lembar Kosong
Masih ada sisa kertas kosong tanpa huruf angka sebait cukuplah untukku mencoret nota walau cuma kertas buram saja bukankah awalnya kau menyuruhku untuk tetap menulis, memahati segala apapun yang tampak olehmu, oleh mataku meski hanya pada selembar ilalang kering burampun, tak apalah
Setidaknya aku masih menulis seperti janjimu janjiku tempo hari, sebelum aku merangkak pada pulau ketiga ini menulis semua yang pernah aku ingat ku ucap. ku ingin menulis apapun yang patut ku tulis, semua cerita senja, cerita orang-orang dipinggir trotoar tentang seluruh senja pada semua pantai yang tlah kusinggahi tak salahlah?
[100]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kertas ini tak cukup panjang tak banyak yang bisa aku ucapkan padamu berbagi air mata, setidaknya aku tak sendiri meski cuma aku, pena, sajakku tak lupa dua aku, kau dan Tuan Pembual aku maklum inginku ini tak beranjak pagi tak mungkinkah?
(Ku baca lagi catatan lalu) Jogja, akhir Juli 09
[101]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Perjalanan Dua Hati
Menghitung apapun yang ku punya mengingatkan aku deramaga-dermaga yang ku singgahi sesuatu yang tlah lama ku tinggalkan jauh sebelum aku bertemu denganmu Tuan Pembual
Siapakah yang patut ku persalahkan kuhaturkan tabik, entah apapun itu, terimakasih mungkin saja akan kah kubuka lagi jahitan luka yang telah kuperam sejak puluhan purnama lalu
Setelah ku temui dermaga itu ada sesuatu tak patut aku ucapkan pada satu harapan yang aku semai karena aku cuma kerikil tepi jalan bukan, debu mungkn lebih patut tak mampu lagi ku cukupkan janji basi hingga sampai batas aku tak patut lagi kau panggi lelaki aku tak marah bila kau panggil aku pecundang kini
[102]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Maaf, seharusnya takkan ada lagi pertemuan diantara kitasetelah percakapan dua aku kemarin hanya akan ada kecewa aku masih tetap Tuan Pembual tak memijak apapun layaknya pelaut pada pulau karangmu, aku cuma lelaki kalut di setiap cerita yang ku buat karena tak ada tawa dalam setiap kalimatnya
Tak usah kau suruh aku berjalan di dekatmu aku tlah memilih jalan diantara simpangan-simpangan yang kau berikan kuharap tak ada simpangan yang kan mempertemukan kau dan aku "Tlah banyak luka yang kugores disetiap senti kulitmu aku malu itu dinda"
Pergilah, menjauh dari bayangan sajakku aku kan melihat langkahmu dari jendela gelap dalam kabin perahu karangku kau kan kuat tanpa aku..
Jogja, Perjalanan dua hati, 7 Agustus 09
[103]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Benar, Tak Salahkan
Benar, ini tak seperti apa yang kubayangkan sebelumnya, ku pikir akan berakhir indah kini kau tak mencariku lagi setelah pertemuan tempo lalu dinda semua terlanjur kaku, impian semalam telah remah oleh hujan gelisah
Maaf, mungkin hanya aku seorang pembual yang terlalu berharap bukankan sebelum ini memang tak ada lagi apapun diantara kita, aku salah kau maklum saja
Percakapan-percakapan kita setelah ini setakat angin pasang saja, tak masalah untukku inginku kau atau tentang sauh putus di dermagamu, tak salahkan
[104]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Usah menoleh lagi ke belakang jalan yang terbentang di depanku masih belum lagi menampakkan batasnya baiknya ku jemput ia ini ada titipan laut untukmu tentang dendang kesunyian kutipan ujung-ujung gelombang bacalah, dengarkan nyanyian pasir, tentang cerita langkah laut yang pernah teranyun, dinda..
Jogja,Cuma setakat hilang, 9 agustus 09
[105]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Untuk Sajakku
Hai Tuan Pembual, apa kabarmu hari ini? masihkah kau menulis? membolak-balik catatan usangku.. boleh kau baca jika sudi
Cukup lama kita tak bercakap-cakap satu purnama mungkin aku terlalu sibuk pada lembaran sajakku maaf, kata ini mengingatkan aku masih banyak yang belum ku catat, Tuan kau tak berangkan?
Satu purnama ini, ku hitung hanya empat ahad, tapi ada banyak kenangan yang terungkap lagi, terbaca tak sengaja aku temukan kepingan usang di tapak akhir kotaku sebuah catatan tentang dermaga yang terpancang pada pantai-pantai landai memintaku beringsung, mencicipi asinnya, bila kau sudi aku ceritakan kali ini,
Ahad,Seminggu menjelang merah, 10 Agustus 09
[106]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Serak-Serak
Memapah asaku yang tak lagi tegak tertatih di ruang sunyi pengap aku tak seharusnya berlari memugar kenangan lalu mengais darahmu lagi
Aku telah terbang jauh melingkari semua kemungkinan kegetiran yang kau hadiahkan untukku, seolah aku tak lagi indah mengindahkan kegundahan malamku haruskah?
Hiruk pikuk, 17 Agustus 09 (tengah)
[107]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Senja Takut
Bayang senja ku pungut kusimpan sajalah di selembar daun kering inginku senja tak segera hilang tanpa pernah terbunuh pagi
Senja senja lain juga menjauh dariku berlari dari warna pelangi ia takut bertatap muka denganku dengan Tuan Pembual sebegitu menakutkankah aku?
Tuan Senja, 17 Agustus 09
[108]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Masih Tuan Pembual
Sebuah kata, kutulis, kurangkai untukmu dinda, seusai kulihat senja pada pantai lain pantai keberapa-entah
Sebuah diksi sumbang tak apa kan? aku belum mampu seperti Sobirin dengan goresan-goresan "orang-orang senja"-nya aku masih seorang Tuan Pembual berkutat pada lembar-lembar perahu rubuh sedikit cerita tentang pelarianku ke pulau ketiga, ke rumah keberapa-entah hanya bisa setakat ini, kau mahfum kan?
Pantau Rubi, 20 Agustus 09
[109]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Catatan Senja
Hai Tuan, apa kabarmu kali ini maaf, bila ceritaku tempo hari tak selesai aku lupa untuk mencatatnya kali ini kau ingin menulis cerita yang ku rangkai di pantai lain pantai kesekian kali aku lihat ini pada pelarianku ke pulau ketiga ke rumah keberapa-entah
Cuma ini Tuan, seperti juga ceritaku yang lain berujung beratus keraguan entahlah Tuan, aku limbung bila memandang senja, senja yang tak lengkap untukku tak indah meski semua kenangan itu telah kuhanyutkan
Semua dermaga yang ketemui pada pantai rapi setelah kesebelas dermaga yang meremukkan layarku seperti tak melihat aku, seorang Tuan Pembual bersama sekelebat kabut pada perahu karang hasil pahatan darah nadiku, Tuan
Aku maklum jikalau mereka tak mau menerimaku merelakan aku menambatkan talimelepas sauh barangkali perahuku tak bersauh tak berlayar
[110]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
tak bertiang tak berdayung aku berlayar menyusuri tapak lewat hanya angin temanku saja
Di dermaga terakhir yang terlihat ada wanita berkerudung kutemui menebar senyum padaku aku ragu Tuan itu nyata kah? aku takut terjerat getir yang kutanam semalam
Harusnya takkan pernah lagi ku pandangi dia cukup kali ini saja Tuan, maaf
Sholat Subuh, 26 Agustus 09 (Adakalanya aku harus menjerit biar tenang segala kenangan , aku ingin menjerit Tuan Tuan!!! kau mendangar aku? Lantaklah)
[111]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Pertemuan Pantai
Tuan aku teringat dengan gadisku gadis di ujung pulau ini aku rindu Tuan ingin ku peluk cium ia bolehkah Tuan?
Sebulan aku hilang lagi aku masih ingin bercerita kepadamu Tuan, bolehlah yang tadi itu sekelebat rindu menyusuri penjuru nadi mengingatkan aku tentang pelarian cerita lautmu Tuan
Ini pulau ketiga ternyata masih tak hilang terlupa di catatan luka goresan perjalanan kerumah keberapa-entah salah siapa Tuan?
"Sudahlah, bukankah pada pelarianmu ini kau temukan wajah lain, tak indahkah Tuan?"
[112]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Percuma Tuan, jika semua palsu sekedar ilusi sebab, semua senja tak ada lagi tak indah untukku mereka berlari sebelum sempat aku amati tentang wajah-wajah lain tidaklah aku masih pantas mencari dermaga lain Tuan setelah setiap dermaga kurusak sebelum ini cukuplah, tak ada lagi dermaga untuku tak usah menggerutu cukup aku jadi batu Tuan
Pelarian-entah, awal September 09 Tuan Pembual
[113]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Terusik
Sejauh pandangan kosong beradu ia dengan punggung-punggung gelombang ujungnya berlomba menyentuh pantai setiap kenangan hanyut itu mengapa ia tak lupa jua Tuan
Aku selalu menangis sejak kau putuskan berlari ke pulau ini terus kubunuh perasaan rinduku pada gadis rembulan hingga tanpa sadar aku ikut jua terbunuh Tuan
Aku selalu menangis sendiri kala semua mata disekelilingku tertawa renyahmenikmati senja mereka sedang aku Tuan, tanpa senja
Aku pikir sekali-kali sudahlah aku letih terus terisak Tuan kau dengarkan
Dermaga Pagi, 8 September 09
[114]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sudahlah
Berkutat ditetesan airmataku teringat tentang sebuah dermaga lain aku takut jatuh berjalan hingga ke ujung dermaga itu tak harus ingatkan
Perjalan diksiku untuk kesekian tersandar kini di pelabuhan senjamu terlihat tegang terdiam disisimu dinda ku susuri bekas tapak ini lagi menggenggam jemari dinginmu tanpa ada tatapan lembut untukku
"Lari, larilah Tuan takkan ada senja disini meski ini pelarian kepulau ketiga"
Tuansenja, September-Oktober 09 (Cuma ada dua dermaga yang tak ingin ku lupa )
[115]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Lebaran Kali Ini
Malam takbir, Tuan malam kemenangan hatimu, untukku jua kali ini, lebaran paling senyap terasa kaku untukku tanpa keluarga, tanpa sesiapa terkurung dalam ruang 2x3 ini, sunyi aku
Hingar bingar takbir dari surau sebelah terdengar meresapi setiap gang sempit kampung ini namun, hikmadnya tak sampai untukku aku sunyi kini, aku senyap kini
"Hai Tuan, cuma ada satu kalimat untukmu tentang kelimbungan hatimu pada malam indah ini kau belum menang tahun ini tak kau kalahkan egomu sepenuh hati ikhlasmu belum cukup Tuan"
"Pahamkah dirimu?" cukuplah, ini akan berlalu Tuan kuatkan dirimu ini cuma segelintir asam garam cerita perih di pulau pelarianmu terpisah jauh tanpa sanak famili cukuplah Tuan, usah menangis takbir itu akan bergema jua di relung hatimu
Jogja, Penghujung Ramadhan 20 September 09
[116]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Apa lagi yang kau pikirkan masih cerita itukah? kenangan yang tlah beribu kali kau hanyutkan mungkin.....
Diksi, Penghujung Ramadhan
[117]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Kerinduan Kabut
Untuk kali ini saja tuan kau boleh memanggilku pembunuh "Pembunuh?" ya pembunuh karena aku tlah mematikan rasa memungkiri sarafku di setiap tanda, bunyi-bunyi rintik hujan kecipuk gerimis hatiku
Dinda, aku membunuh, membunuh semua harapan yang tak ingin ku raih aku ingkar mencoba lupa luka sayatanmu yang kini kusimpan dilemari terdalam hatiku di setengah sisa perjalanan risau menyebarkan aroma busuk, sebusuk pikiranku di setiap dermaga lalu, sepicik senyum kedengkian manusia airmata ini tak ingin turun menetes kegelisahan sisa persinggahan terakhir kegelisahanku
[118]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Aku terisak (lagi) memandangmu jauh dari pulauku ini pulau ketiga, tak bisa ke sentuh wajahmu dinda gadis rembulan padahal rindu ini memuncak menumpuk merendam segala sembilu harapan yang tlah ku pupuk jauh hari sebelum aku mengayunkan langkah ke pulau ini dinda tak bolehkan ku dengar lagi dendangmu dongeng tidurku aku mahfum dinda setelah sekian luka yang tlah ku tikam di nadi-nadi cintamu maka tak ada sejumput sisa untukku nahkoda linglung melingakari kabut rindu
Akhir November 09 Rumah keberapa-entah
“Aku selalu berlari menuju pantai pantai keberapa, entahlah ada banyak pantai disini memugar kepingan kenangan itu”
[119]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Limbung Tuan
-satu- Tuan, ada burung kecil di depan mataku ia mengaduh, mengiba untukku padahal aku takkan bisa membalas jeritan itu aku ingin menangis, menangis Tuan sisa yang bisa ku buat untukmu aku takut Tuan.
Sebaiknya jadi apa aku disisimu adakah sesuatu yang pantas ku bingkai di dekatmu ataukah kau yang seharusnya jadi bingkaiku merengkuh kepingan kepingan yang tercecer sejak pelarian terakhir aku tak lagi pasti
-dua- Aku selalu teringat senja sunyi senja-senja yang tak pernah utuh mengingatkan aku wajah itu, gadis rembulan tak bisakah kau mengubur kenangan itu padahal selalu ada wajah lain di dekatku tatapanmu masih tak beringsut darinya "Terlanjur luka yang tertoreh padanya, hingga pandangan itu cuma fatamograna kelabu"
Cerita-cerita ini seperti juga tumpahan kegelisahanku sejak berbulan lalu masih tentang dia, tak lupa tak berubah
[120]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
-tiga- Aku bimbang apakah bingkai tadi sanggup merantaiku untuk lupa gadis rembulan takut bercerai berai sampai tak ada apalagi yang tinggal bertempayan air mata tumpah hilang tak berbekas
Apakah memang begitu seharusnya diriku tak pantas berdiri hanya berpendar kemudian lenyap boleh juga ibaratkan aku lilin meleleh dan padam cukup Tuan aku limbung
Hujan Reda, tengah Desember 09
[121]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Mengingat Waktu
Selayaknya ada bayak kutipan-kutipan terlukis di bola matamu ketika ku lihat kau yang tak tersentuh oleku sebuah gadis rembulan juga sajak-sajak yang tlah ku rangkai akankah berakhir saja jadi kiloan pemulung renta cuma jadi sesuatu tak seharusnya ada sampai kapan? aku menangis Tuan
Telah duapuluh empat purnama perahuku rubuh tanpa tiang, dayung, sauh, nahkoda sedang ia kini tlah berlayar ratusan purnama, meninggalkan dermagamu melupakanmu berjalan jauh di depanmu kau masih jua tertatih "Aku rubuh Tuan, kompasku punah, sauhku lenyap, tiangku patah, nahkodaku khianat lantaklah, ku nikmati kubangku
Refleksi akhir Desember, 20 Desember 09
[122]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Selalu Kutuju Pantai
Selalu kutuju pantai entah pantai keberapa meski tak ingin ku jejakkan kakiku jua, kini pada pantai tebing terjal buah dari kotaku ini di pulau ketiga katamu "Semua pantai kan sama, mengingatkanmu kenangan gadis rembulan Tuan" sesuatu yang coba kau enyahkan dari langit-langit hatimu
Asin laut main kelat Tuan, pekat senja, bahkan pagipun enggan bertatap muka denganmu ia sembunyi dibalik kelabu mendung hingga kilat-kilat petir di dekatmu sepertinya gerimis selalu tak jauh darimu seumpama kabut-kabut bergelayut di alis matamu mungkin badai akan bertandang sebentar lagi
Hm, pasir masih saja menyisakan itu, jejak-jejak kakiku kepingan pantai lalu
Tuan, ku akhiri saja cerita ini bukan waktunya lagi aku berbuat ini
Jogja-Parangtrit is, 23 Desember 09
[123]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Sajak Penghabis
Sampailah aku di ujung jalan ini kelokan kelokan sebelum lewat cerita-cerita lain, aku berniat menghentikan semua keinginan untuk menggores catatan memaut kenangan itu
Sebab, aku berpikir satu hal ini "Tak ada apa lagi yang harus ku tunggu gadis rembulan itu tlah merelakan perahu lain berlabuh di dermaganya tapi bukan aku"
Tak ada alasanku untuk terus menari menggores pena lembaran luka setidaknya sudah tak ada lembar kosong kucukupkan tetesan air mata ini
Bukankah kini ada seseorang di sampingku cukuplah...
Sajak Penghabis, Januari-Februari 10
[124]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
Estu Fardani, Bujang tanggung
kelahiran Tanjung Samak,10 Mei 1991.
Menghabiskan masa kecil di sana. Sebuah desa kecil
di tepi Selat Malaka. Kemudian tahun 2001 hijrah ke
sungai pakning ikut orang tua yang pindah tugas,
hingga menamatkan SMP. Mengenyam pendidikan
SMA di MAN 2 Model Pekanbaru. Saat SMA Aktif
sebagai photografer dan layouter di majalah sekolah
AKSI MAN 2 Model. Juga aktif di beberapa
organisasi jurnalistik Pekanbaru.
Mulai belajar menulis sejak SMA hingga kini.
Dan masih terus menulis untuk mengisi beberapa
rublik majalah kampus. Tertarik dengan sastra sejak
[125]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
tergabung sebagai reporter tabloid AKSI yang mau
ga mau akan selalu berkutat dengan bahasa sastra.
Berusaha sebisa mungkin untuk tetap terus
mengikuti perkembangan sastra riau di bumi
lancang kuning ini. Hoby berjunalistiknya hingga kini
masih dilakoni. Hal ini terbukti dengan menjabatnya
ia kini sebagai pimpinan umum tabloid mahasiswa
Metamorfosa Fak. Sains dan Teknologi UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta. Tergabung dalam Kelompok
studi Linux(KSL) Kusuka UIN Sunan Kalijaga dan
Komunitas Ubuntu Jogja, demi mengobati kehausan
akan ilmu komputer,
Kini sejak tahun 2009 silam sedang
melanjutkan study di jurusan Teknik Informatika
Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Yogjakarta.
Anak laki-laki tunggal dari empat bersaudara ini kini
bermastiun di jalan Bimo Kurdo Gg Wijaya Sapen
GK I/423a Yogjakarta.
Email: [email protected]
blog: tuanpembual.blogspot.com
[126]
Kumpulan Sajak Estu Fardani
[127]