perhitungan porositas dengan metode inversi …repository.ugm.ac.id/135461/1/geo67 perhitungan...
TRANSCRIPT
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
413
PERHITUNGAN POROSITAS DENGAN METODE INVERSI SEISMIK DAN
PENENTUAN DAERAH PROSPEK RESERVOAR BATUPASIR A – E, FORMASI
TALANG AKAR, LAPANGAN “TANGKAP” CEKUNGAN SUMATRA SELATAN
Jarot Setyowiyoto*, Bayu Satiyaputra Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta,
Indonesia Tel. 02574-5138 *corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan perhitungan porositas dengan menggunakan metode inversi seismik serta
persebaran dan lingkungan pengendapan reservoar batupasir yang terpilih dari Formasi Talang Akar,
Cekugan Sumatra Selatan. Data seismik 3D yang mencakup luas area 24 km2 serta data log sumur
dari tiga sumur digunakan.
Area penelitian berada pada Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan yang telah
terbukti menghasilkan hidrokarbon yang cukup banyak pada beberapa puluh tahun terakhir ini. Salah
satu formasi yang mengandung banyak hidrokarbon pada cekungan ini adalah Formasi Talang Akar
yang memiliki reservoar batupasir. Data sumur bor yang digunakan menunjukkan adanya beberapa
lapisan batupasir yang cukup baik untuk dijadikan reservoar yang merupakan endapan channel dari
lingkungan pengendapan fluvial.
Lima penanda yang ditentukan dijadikan acuan dan dipetakan pada data seismik beserta sesar yang
ada. Kelima penanda kemudian diamati dengan menggunakan atribut impedansi untuk
memperkirakan persebaran porositasnya. Zona yang diteliti memiliki rentang porositas total yang
baik. Zona prospek dapat ditentukan berdasarkan hasil penarikan penanda serta persebaran porositas
yang dilakukan.
I. PENDAHULUAN
Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah
satu cekungan yang sangat penting dan
bernilai ekonomis yang berada di pulau
Sumatra, Indonesia. Salah satu formasi yang
dijadikan sebagai reservoar pada cekungan ini
adalah Formasi Talang Akar. Sudah lebih dari
100 lapangan minyak dan gas yang telah di
eksplorasi, dan lebih dari 60 lapangan tersebut
masih aktif hingga saat ini (Ginger dan Fielding,
2005). Lokasi penelitian berada pada Lapangan
“Tangkap”, Sub-Cekungan Palembang Selatan,
Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 1.a).
Penelitian ini menjelaskan tentang
pemanfaatan data eksplorasi awal berupa
seismik 3D untuk menentukan porositas total
dan zona prospek pada suatu daerah. Tujuan
dari penelitian ini adalah perhitungan
porositas total berdasarkan data seismik 3D
guna mengetahui persebaran porositas total
pada Formasi Talang Akar, yang kemudian
ditentukan daerah prospek yang ekonomis
berdasarkan hasil porositas dan peta struktur
waktu dari seismik 3D yang ada. Penelitian ini
diharapkan dapat membantu meminimalisir
kegagalan dalam suatu eksplorasi migas.
II. KONDISI GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah
satu cekungan yang terbesar di pulau Sumatra
dan berada di bagian selatan dari pulau
Sumatra. Menurut penelitian dari Pertamina
BPPKA (1996), cekungan ini dibatasi oleh
batuan dasar kristalin dan batuan
metasedimen Pra-Tersier pada pegunungan
Tigapuluh dibagian utara, Perbukitan Barisan
pada bagian barat, pulau Bangka dan Lingga
pada bagian timur dan timur laut, serta
Tinggian Lampung pada bagian tenggara.
De Coster (1974) mengatakan bahwa terdapat
4 fase tektonik utama yang terjadi pada
Cekungan Sumatra Selatan. Fase yang pertama
adalah fase orogenesa Mesozoik Tengah yang
merupakan fase dimana perlapisan sedimen
yang terendapkan sebelumnya mengalami
pengangkatan, termetamorfosa, tersesarkan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
414
dan terlipat. Hasil dari proses ini adalah sabuk
batuan metamorf yang terdiri dari berbagai
macam litologi dengan derajat deformasi yang
berbeda-beda.
Fase tektonik kedua adalah gaya regangan
terhadap pulau Sumatra pada Kapur Akhir –
Tersier Awal yang membentuk sesar, blok
sesar dan graben. Arah utama dari gaya
regangan ini adalah Utara – Selatan dan Barat
Laut – Tenggara.
Fase tektonik yang ketiga adalah fase tektonik
pasif dimana deformasi tektonik mulai
terhenti dan sedimen Tersier yang
terendapkan mulai memberi beban yang
menghasilkan penurunan isostatik (isostatic
subsidence).
Fase tektonik yang terakhir adalah
pengangkatan Bukit Barisan akibat adanya
pengaruh dari subduksi kerak Samudra Hindia
ke arah Sumatra. Pengangkatan ini
menghasilkan bentukan sesar mendata
Semangko serta mengakibatkan sesar-sesar
normal yang telah terbentuk pada fase
sebelumnya ter-inversi.
Menurut Ginger dan Fielding (2005), terdapat
8 formasi yang menyusun Cekungan Sumatra
Selatan, yaitu batuan dasar Pra-Tersier,
Formasi Lemat/Lahat, Formasi Talang Akar,
Formasi Batu Raja, Formasi Gumai, Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi
Kasai (Gambar 1.b).
Ginger dan Fielding (2005) menyatakan bahwa
Formasi Talang Akar sebagai formasi yang
diteliti pada penelitian ini terendapkan pada
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan
terendapkan secara tidak selaras diatas
formasi Lahat/Lemat. Tebal formasi ini
mencapai 460 m – 610 m. Litologi formasi ini
adalah batupasir, batulanau dan serpih. Pada
akhir fase syn-rift hingga awal post-rift terjadi
pengendapan batuan di lingkungan fluvial dan
delta di Cekungan Sumatra Selatan.
III. KETERSEDIAAN DATA DAN METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah
dengan analisis berbasis perangkat lunak. Data
penelitian yang dianalisis adalah data sumur
bor dan data seismik. Perangkat lunak yang
digunakan adalah PETREL dan GEOVIEW.
Data sumur yang tersedia merupakan data log
yang berjumlah tiga data log sumur yang
masing-masing bernama BSP-01, BSP-02 dan
BSP-03. Data log yang dimiliki ketiga sumur
mencakup data log GR, SP, CALI, MSFL, ILD,
NPHI, RHOB dan DT. Selain data log, terdapat
pula data checkshot yang berguna untuk
mengikat penarikan batas kronostratigrafi dari
log sumur dengan data seismik. Sumur BSP-01
dengan BSP-02 berjarak 2,2 meter kearah
timur, sumur BSP-02 dengan BSP-03 berjarak 2
meter kearah barat daya dan sumur BSP-02
dengan BSP-01 2,4 meter kearah barat laut.
Data seismik yang digunakan merupakan
seismik 3D yang mencakup 229 inline (dari
5000 sampai 5228) dengan panjang lintasan
5.322,67 meter dan 267 xline (dari 1000
sampai 1266) dengan panjang lintasan
4.559,07 meter (Gambar 3).
IV. DATA DAN ANALISIS
Data sumur bor
Dengan ketidakhadiran data batuan inti, maka
data log sumur dijadikan dasar utama untuk
menentukan litologi dan batas parasekuen
pada masing-masing sumur bor. Data log GR
digunakan untuk menginterpretasi jenis
litologi yang dilalui oleh sumur bor, sedangkan
data log SP dan CALI digunakan sebagai data
pendukung apabila log GR tidak ada atau tidak
terlalu bagus. Data log MSFL dan ILD
digunakan untuk mengetahui apakah pada
lapisan tertentu memiliki kemungkinan
mengandung hidrokarbon atau tidak.
Penentuan kandungan hidrokarbon juga dapat
dilakukan dengan menggunakan log RHOB dan
NPHI, sedangkan log DT digunakan sebagai
koreksi checkshot yang ada apabila dibutuhkan.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
415
Cutoff
Cutoff adalah batas pembagian nilai GR guna
menentukan litologi menggunakan log sumur.
Penentuan cutoff sebagai tahap awal
dilakukan pada masing-masing sumur. Cutoff
yang digunakan adalah 60%:40% dari nilai
minimum dan maksimum log GR (33,764 API –
220,606 API) dengan nilai GR antara 33,764
API – 145,864 API sebagai batupasir dan
145,865 API – 220,606 API sebagai serpih.
Penentuan Litologi
Terdapat 3 litologi yang dihasilkan yaitu
batupasir, serpih dan batubara. Litologi yang
dominan pada bagian bawah dari ketiga sumur
(bagian yang lebih dalam) adalah batupasir,
sedangkan semakin keatas (bagian yang lebih
dangkal) batupasir semakin menipis dan serpih
semakin menebal. Selain kedua litologi
tersebut, terdapat pula beberapa sisipan
batubara yang berada pada bagian tengah log.
Litologi batupasir yang ada pada ketiga sumur
mulai dari yang paling dalam hingga yang
dangkal secara gradual menipis dan sedikit
berbeda bentuknya jika diperhatikan pada
pola log GR dan ILD nya. Pada bagian yang
lebih dalam, pola log GR dan ILD menunjukkan
bentukan batupasir yang lebih seragam
ukuran butirnya, sedangkan pada bagian log
yang lebih dangkal, pola log GR dan ILD
menunjukkan bentukan batupasir yang
menghalus keatas.
Litologi serpih yang ada pada ketiga sumur
mulai dari yang paling dalam hingga yang
paling dangkal secara gradual menebal. Serpih
yang berada di bagian yang dalam memiliki
nilai GR dan ILD yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan serpih yang berada di
bagian yang lebih dangkal.
Penentuan Batas Parasekuen
Parasekuen adalah suatu suksesi bed atau
bedset yang dibatasi oleh Marine-Flooding
Surfaces (MFS) atau permukaan korelatifnya.
Pada setiap sumur di daerah penelitian ditarik
sembilan batas parasekuen. Batas – batas
tersebut ditarik dengan acuan litologi yang
telah ditentukan beserta bentukan log yang
ada.
Batas parasekuen 1 ditarik diatas litologi
serpih yang berada diatas batupasir yang
membentuk bentukan blocky pertama pada
tampilan log. Batas parasekuen 2 ditarik diatas
litologi serpih yang berada di perlapisan
batupasir yang cukup tebal dan memiliki pola
blocky namun dengan sedikit sisipan serpih.
Batas parasekuen 3 ditarik diatas batubara
tipis tepat dibawah batupasir yang tebal.
Batas parasekuen 4 berada pada bagian atas
litologi serpih yang berada sekitar 30 meter
diatas batas parasekuen 3. Penarikan batas
parasekuen ini didasari oleh tidak hadirnya
batubara sebagai sisipan diantara batupasir
dan serpih.
Batas parasekuen 5 ditarik pada bagian atas
endapan batubara yang cukup tipis. Penarikan
ini berdasarkan oleh kehadiran beberapa
perlapisan tipis batubara. Batas parasekuen 6
berada diatas serpih yang terletak dibagian
atas lapisan batupasir yang tipis. Batas ditarik
dikarenakan batupasir yang berada dibawah
serpih dianggap sebagai batas awal perubahan
lingkungan pengendapan, yang awalnya
adalah fluvial menjadi semakin kearah delta.
Batas parasekuen 7 ditarik dikarenakan
terdapat beberapa endapan batupasir yang
sedikit mencolok pada parasekuen ini. Batas
parasekuen 8 ditarik dengan memperhatikan
bentukan endapan yang polanya mulai
berubah kembali mengkasar. Batas
parasekuen 9 merupakan batas parasekuen
terakhir yang ditarik pada penelitian ini. Batas
ini ditarik dengan acuan data awal yang
menyatakan bahwa pada batas ini merupakan
batas atas Formasi Talang Akar.
Data Seismik
Data seismik merupakan data yang diolah
setelah pengolahan data sumur bor dilakukan.
Data seismik yang digunakan merupakan data
seismik 3D dengan satuan waktu. Data seismik
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
416
diolah sedemikian rupa sehingga mampu
untuk membentuk peta struktur waktu dan
peta porositas yang akan digunakan untuk
penentuan lokasi daerah prospek reservoar.
Untuk dapat membuat peta struktur waktu
dibutuhkan tahapan penentuan marker pilihan,
kemudian dilakukan interpretasi sesar dan
horison (penanda) pada seismik di daerah
penelitian, hasil interpretasi yang didapatkan
diubah menjadi peta struktur waktu.
Peta porositas didapat dengan inversi data
seismik yang ada menjadi data akustik
impedan yang kemudian dengan melakukan
analisis sensitifitas pada log sumur, akan
didapatkan nilai persamaan untuk mengubah
nilai akustik impedan menjadi nilai porositas.
Penentuan Marker
Marker yang dipilih untuk ditarik sebagai
penanda pada seismik adalah pada batas
parasekuen 1 yang ditarik diatas batupasir A,
parasekuen 3 yang ditarik diatas batupasir B,
parasekuen 5 yang ditarik diatas batupasir C,
parasekuen 8 yang ditarik diatas batupasir D,
dan parasekuen 9 yang ditarik diatas batupasir
E.
Kelima penanda dipilih dikarenakan sebagai
representasi dari masing-masing lingkungan
pengendapan yang ada serta sebagai
perwakilan dari keseluruhan Formasi Talang
Akar. Batupasir A – C sebagai bagian dari
Formasi Talang Akar bagian bawah, sedangkan
batupasir D dan E sebagai bagian dari Formasi
Talang Akar bagian atas.
Interpretasi Sesar dan Horison (Penanda)
Penarikan sesar dan penanda yang telah
terpilih dilakukan pada seluruh lintasan
seismik yang ada guna mendapatkan hasil
yang cukup detil dan akurat. Penarikan
penanda pada seismik mengacu pada
penarikan kronostratigrafi dimana garis
penarikan bukan sebagai korelasi litologi
namun sebagai garis waktu yang membatasi
waktu pengendapan antara lapisan dibawah
penanda dengan lapisan diatas penanda.
Inversi Data Seismik
Inversi data seismik menjadi data akustik
impedan adalah dengan memanfaatkan data
log sumur yaitu p-wave (m/s) x density (g/cc).
inversi yang dilakukan pada data seismik
daerah penelitian adalah post-stack inversion.
Metode yang digunakan adalah Linear
Programming Sparse Spike Inversion (Gambar
2) yaitu metode yang menggunakan perkiraan
pantulan yang disaring dengan batasan
frekuensi tertentu untuk menghasilkan
kontras antara frekuensi yang tinggi dengan
frekuensi yang rendah (Veeken, 2007).
Hasil dari inversi ini adalah tampilan data
seismik yang menunjukkan perbedaan
karakter impedansi akustik formasi. Semakin
rendah nilai impedansi akustiknya maka
semakin tinggi nilai porositasnya, sedangkan
semakin tinggi nilai impedansi akustiknya
maka semakin rendah nilai porositasnya.
Dasar interpretasi ini adalah nilai impedansi
akustik yang berbanding terbalik dengan nilai
porositas. Perbedaan karakter ini ditunjukkan
dengan perbedaan warna pada tampilan hasil
inversi.
Analisis Sensitifitas
Analisis sensitifitas adalah tahapan yang
dilakukan untuk melihat kepekaan antara dua
jenis log. Kedua jenis log yang dibandingkan
utuk dilihat kepekaannya adalah log p-
impedan dan log neutron. Kedua log
digunakan dikarenakan kedua log tersebut
yang dapat digunakan untuk membuat data
inversi. Hubungan p-impedan dan porositas
adalah berbanding terbalik, sehingga kurva
pada crossplot akan dianggap sensitif apabila
polanya semakin besar porositas maka
semakin kecil p-impedan, begitu pula
sebaliknya.
Analisis sensitifitas dilakukan pada ketiga
sumur (BSP-01, BSP-02, dan BSP-03) serta
gabungan ketiga sumur. Setelah diteliti, maka
didapatkan kesimpulan bahwa hanya pada
sumur BSP-01 dan BSP-03 kurva menunjukkan
sensitivitasnya, sedangkan pada sumur BSP-02
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
417
dan gabungan ketiga sumur, hasilnya tidak
sensitif. Kedua metode yang sensitif kemudian
dicari persamaan garisnya untuk mengetahui
rumusan menghitung porositas total dari data
seismik. pada sumur BSP-01 didapat y = -
5,70285e-005x + 0,710831 (Gambar 9a) dan
pada sumur BSP-03 didapat y = -4,3086e-005x
+ 0,597846 (Gambar 3) dengan y adalah
porositas total dan x adalah p-impedan.
V. DISKUSI
Lingkungan Pengendapan
Dengan menggunakan batas parasekuen yang
telah ada, analisis fasies log serta analisis
elektrofasies, didapatkan lingkungan
pengendapan pada lokasi penelitian adalah
lingkungan fluvial yang semakin keatas
mengalami pendalaman dan menjadi
lingkungan fluvio-deltaic. Kehadiran batubara
pada bagian tengah log merupakan penanda
batas perubahan lingkungan.
Pada bagian bawah lingkungan pengendapan
berada di sungai teranyam, pada batas
parasekuen 3 terjadi perubahan menjadi
sungai berkelok, kemudian pada batas
parasekuen 5 kembali berubah menjadi
daerah dataran banjir dan yang terakhir pada
batas parasekuen 8 kembali berubah menjadi
lingkungan yang sudah dekat dengan delta
ditunjukkan dengan pola pengendapan yang
sedikit mengkasar keatas. Pembagian batas
parasekuen, litologi serta lingkungan
pengendapan dapat dilihat pada Gambar 4.
Peta Struktur Waktu
Pembentukan peta struktur waktu dilakukan
setelah kelima penanda ditarik pada lintasan
seismik dan telah diberikan unsur tektonik
berupa sesar pada daerah penelitian. Kelima
peta struktur waktu dapat dilihat pada
Gambar 5a – 9a.
Berdasarkan tampilan peta struktur waktu
kelima penanda, terlihat bahwa pada penanda
batupasir A yang merupakan batas parasekuen
1 hingga penanda batupasir C yang merupakan
batas parasekuen 5 memiliki pola kontur yang
serupa dan sedikit terlihat bentukan sistem
fluvialnya, sedangkan pada penanda batupasir
D yang merupakan batas parasekuen 8 dan
penanda batupasir E yang merupakan batas
parasekuen 9 bentukan pola konturnya sudah
mulai berubah dan berbeda dengan ketiga
penanda sebelumnya.
Hal ini memperkuat interpretasi lingkungan
pengendapan yang berbeda antara kedua
penanda yang diatas dengan ketiga penanda
yang berada dibawahnya. Selain dengan bukti
tersebut, pada tampilan slice seismik dari zona
antara batas parasekuen 3 dan batas
parasekuen 5 juga terdapat beberapa
bentukan aliran sungai berkelok yang lebih
memperkuat interpretasi yang telah ada.
Peta Porositas
Hasil dari analisis sensitifitas kedua sumur
yang sensitif dibandingkan dan terpilih sumur
BSP-03 dikarenakan kelimpahan titik-titik yang
merepresentasikan nilai GR yang rendah pada
lingkaran biru yang berupa zona porositas
tinggi dan nilai impedansi rendah. Sedangkan
sumur BSP-01 tidak terpilih dikarenakan titik-
titik yang melimpah pada zona biru adalah titik
yang memiliki nilai GR yang tinggi yang
diinterpretasikan sebagai serpih.
Nilai impedansi berbanding terbalik dengan
nilai porositas, sehingga daerah yang awalnya
memiliki nilai impedansi tinggi merupakan
daerah yang memiliki nilai porositas total yang
rendah, begitu pula sebaliknya.
Pada hasil perhitungan porositas dengan
menggunakan model impedan Linear
Programming Sparse Spike yang yang telah
dibentuk menjadi peta pada penanda yang
ditarik pada lintasan seismik, didapatkan
persebaran porositas total antara 5% hingga
55% yang cukup merata dibeberapa tempat
pada seismik. Walaupun rentang porositas
total cukup beragam, namun lapisan-lapisan
yang awalnya diinterpretasikan sebagai
batupasir pada model ini memiliki nilai
porositas total antara 20% hingga 40%,
sehingga diyakini bahwa metode ini
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
418
merupakan metode yang paling baik untuk
digunakan pada daerah penelitian.
Peta Prospek Reservoar
Penentuan prospek reservoar dilakukan
dengan penampalan peta struktur waktu
dengan peta persebaran porositas total.
Sedangkan penentuan zona prospek reservoar
menggunakan acuan bentukan kontur yang
menutup dan memiliki nilai porositas yang
cukup tinggi. Pada penelitian ini, unsur
jebakan stratigrafi tidak dimasukkan
dikarenakan keterbatasan data dan waktu
pengolahan.
Penanda Batas Parasekuen 1 (Batupasir A)
memiliki tujuh zona prospek (Gambar 5b),
Batas Parasekeun 3 (Batupasir B) hanya
memiliki dua zona prospek, namun dengan
zona yang luas (Gambar 6b). Terdapat tiga
zona prospek pada Batas Parasekuen 5
(Batupasir C) (Gambar 7b). Pada Batas
Parasekuen 8 (Batupasir D) terdapat 3 zona
prospek (Gambar 8b). Terakhir pada Batas
Parasekuen 9 (Batupasir E) terdapat 4 zona
prospek (Gambar 9b).
VI. KESIMPULAN
1. Lingkungan pengendapan Formasi Talang
Akar berdasarkan analisis elektrofasies
secara vertikal berubah dari sungai
teranyam menjadi sungai berkelok dan
terakhir menjadi daerah fluvio-deltaic.
2. Model Linear Programming Sparse Spike
cukup baik untuk digunakan pada daerah
penelitian dikarenakan memiliki rentang
nilai porositas total yang merata, yaitu
antara 5% hingga 45% dengan dominasi
porositas total pada angka 20% hingga 40%.
3. Berdasarkan penampalan model peta
struktur waktu dan peta porositas total,
maka didapatkan tujuh zona prospek pada
batupasir A, dua zona prospek pada
batupasir B, tiga zona prospek pada
batupasir C, tiga zona prospek pada
batupasir D dan empat zona prospek pada
batupasir E.
VII. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dept.
Eksplorasi PPPTMGB LEMIGAS yang telah
membantu dalam proses penyediaan dan
penggunaan data, serta diskusi yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Bishop, M.G., 2001. South sumatra basin province, indonesia: the lahat/talang akar-cenozoic total
petroleum system, U.S. Department of the Interior, U.S. Geological Survey.
De Coster, G.L., 1974. The geology of the central and south sumatra basins, Proceedings Indonesian
Petroleum Association (IPA) 3rd Annual Convention, P. 77-110.
Ginger, D., Fielding, K., 2005. The petroleum systems and future potential of the south sumatra basin,
proceeding 30th annual convetion and exhibition, Indonesian Petroleum Association, August 2005 p.
67-89.
PERTAMINA BPPKA, 1996. Petroleum geology of indonesian basin: principles, methods and
application, volume X, south sumatra basins, Jakarta, Indonesia.
Robertson Research International Limited, 1983. Petroleum geochemistry of indonesian basins,
Robertson Research International Limited, UK.
Serra, O., 1989. Sedimentary environments from wireline logs, Schlumberger, Prancis.
Veeken, P.C.H., 2007. Seismic stratigraphy, basin analysis and reservoir characterisation, handbook of
geophysical exploration, seismic exploration, Volume 37, Elsevier B.V., Belanda.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
419
Wagoner, J.C.V., Mitchum, R.M., Campion, K.M., Rahmanian V.D., 1990. Silisiclatic sequence
stratigraphy in well logs, cores, and outcrops: concepts for high-resolution correlation of time and
facies, AAPG Methods in Exploration Series No. 7, Tulsa, Oklahoma.
GAMBAR
Gambar 1. (a) Peta daerah penelitian (daerah penelitian merupakan daerah yang berada pada kotak merah). (b) Kolom stratigrafi regional Cekungan Sumatra Selatan (Modifikasi Robertson Research
International Ltd., 1983).
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
420
Gam
bar
3.H
asil
cro
ssp
lot
P-I
mp
edan
vs
NP
HI s
erta
per
sam
aan
yan
g d
idap
at (
kiri
) su
mu
r B
SP-0
1 (
kan
an)
sum
ur
BSP
-03
. Lin
gkar
an b
iru
mer
up
akan
zo
na
den
gan
nila
i po
rosi
tas
yan
g ti
ngg
i dan
nila
i im
ped
ansi
ren
dah
, se
dan
gkan
lin
gkar
an m
erah
mer
up
akan
zo
na
den
gan
nila
i po
rosi
tas
yan
g re
nd
ah d
an n
ilai
imp
edan
si y
ang
tin
ggi.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
421
Gam
bar
2. T
amp
ilan
has
il in
vers
i pad
a in
line
51
40
dan
mel
alu
i su
mu
r B
SP-0
2 d
enga
n m
eto
de
linea
r p
rog
ram
min
g s
pa
rse
spik
e.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
422
Gam
bar
4. P
emb
agia
n li
ngk
un
gan
pen
gen
dap
an p
ada
sum
urB
SP-0
1, B
SP-0
2 d
an B
SP-0
3.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
423
Gambar 5. (a) peta struktur waktu batas parasekuen 1 (b) peta prospek batas parasekuen 1.
Gambar 6. (a) peta struktur waktu batas parasekuen 3 (b) peta prospek batas parasekuen 3.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
424
Gambar 7. (a) peta struktur waktu batas parasekuen 5 (b) peta prospek batas parasekuen 5.
Gambar 8. (a) peta struktur waktu batas parasekuen 8 (b) peta prospek batas parasekuen 8.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
425
Gambar 9. (a) peta struktur waktu batas parasekuen 9 (b) peta prospek batas parasekuen 9.