perdebatan pemikiran hubungan agama dan negara di...
TRANSCRIPT
-
PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN AGAMA DAN
NEGARA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH KHOIROTUN NISA’
NIM 33030160025
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2020
-
i
PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN AGAMA DAN
NEGARA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH KHOIROTUN NISA’
NIM 33030160025
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA 2020
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO
“Pendidikan berawal dari rasa pahit, namun berbuah manis”
(Aristoteles)
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan
pendidikan, anda dapat mengubah dunia”
(Nelson Mandela)
“Berpikir adalah kegiatan tersulit yang pernah ada. Oleh karena itu hanya
sedikit yang melakukannya”
(Henry Ford)
-
vi
PERSEMBAHAN
Puji Syukur atas kehadirat Allah swt atas limpahan karunia-Nya sehingga dapat
terselesaikan Skripsi ini yang kupersembahkan terkhusus kepada kedua orang
tuaku, saudaraku dan seluruh keluargaku, bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Salatiga, dan tak lupa kepada teman-teman seperjuanganku program Studi
Hukum Tata Negara (HTN) angkatan 2016.
-
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis pajatkan kehadirat Allah
swt atas segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERDEBATAN PEMIKIRAN
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA“
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan atas kehadirat junjungan
kita Nabi Agung Muhammad saw yang telah menuntun kita dari zaman
kebodohan menuju zaman peradaban dan zaman yang terang benderang seperti
sekarang ini serta kita nantikan syafaatnya di dunia sampai akhirat kelak.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawwy, M.Ag., Selaku Rektor IAIN
Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga,
3. Bapak Farkhani, S. HI., M. H. selaku ketua program studi Hukum tata
Negara (HTN)
4. Bapak Munajat, M.A., Ph.D. selaku pembimbing skripsi yang telah
mengarahkan dan membimbing penulis sehingga dapat terselesaikan
skripsi ini,
-
viii
5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga yang telah
mengajarkan berbagai bidang keilmuan,
6. Bapak dan ibu staf Fakultas Syariah IAIN Salatiga yang telah membantu
dalam pengurusan lain-lainnya,
7. Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan
8. Serta teman-teman mahasiswa studi Hukum Tata Negara angkatan 2016
yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat satu sama lain.
Harapan saya semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk pembaca. Penulis
menyadari bahwa tulisan skripsi ini masih belum sempurna, penulis bersifat
terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kemajuan dan kesempurnaan tulisan ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Salatiga, 19 Juli 2020
Khoirotun Nisa’
-
ix
ABSTRAK
Khoirotun, Nisa’. 2020. Perdebatan Pemikiran Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia. Fakultas Syariah. Program studi Hukum Tata Negara. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat, M.A., Ph.D.
Kata Kunci: Agama , Negara
Skripsi ini merupakan library reserch (studi pustaka) yaitu menelaah literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang didasarkan pada
sumber-sumber primer, sekunder, dengan teknik pengumpul data. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara menyesuaikan metode yang digunakan,
kemudian dianalisis secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari perdebatan hubungan
agama dan negara yang terjadi di Indonesia yakni pada masa sebelum kemerdekaan yang diawali oleh perdebatan Soekarno dan Muhammad Natsir. Soekarno (1901-1970) yang berdiri dalam kelompok kebangsaan netral
(nasionalis), serta Mohammad Natsir (1908-1993) dari kelompok Islam, keduanya mewakili dari dua kelompok ideologi yang berseberangan, yaitu Kebangsaan dan
Islam. Soekarno menginginkan bahwa agama dan negara haruslah terpisah sedangkan Natsir berpandangan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, kedua merupakan satu kesatuan. Hingga akhirnya pedebatan
tentang hubungan agama dan negara dibawa dalam sidang BPUPKI saat pembahasan ideologi yang akhirnya disepakati bahwa Pancasila sebagai ideologi
bangsa, hingga pada akhirnya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar pada masa Orde Lama. Kemudian pada tahun 1966 agar tidak ada lagi perdebatan mengenai hubungan agama dan negara pada
awal rezim orde baru dimana Suharto dalam menjalankan pemerintahannya mengeluarkan peraturan dengan menetapkan bahwa Pancasila sebagai asas
tunggal. Perdebatan muncul akibat diterapkannya pancasila sebagai asas tunggal dalam masa Orde Baru. Bahkan gerakan Islam radikal atau yang sering disebut dengan Islam garis keras mulai menampakkan diri secara terbuka pada dekade
1990-an dan lebih terbuka lagi pada era reformasi. Hal ini disebabkan karena suasana transisional politik yang makin terbuka dan adanya sedikit kelemahan
pemerintah, diantaranya FPI, HTI dan MMI. Ketidakpuasannya terhadap hubungan agama dan negara pada masa reformasi, baik FPI, HTI, dan MMI inilah yang menyebabkan mereka menyuarakan khilafah Islam sebagai solusinya.
Berdasarkan hasil penelitian dalan skripsi ini, sebenarnya perdebatan hubungan agama dan negara teruslah berkembang, bukan hanya tokoh saja yang
menginginkan khilafah Islam, namun kemunculan ormas yang berbasis Islam juga menyuarakan tegaknya khilafah Islam di Indonesia.
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................................... iv
MOTTO ......................................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................................... 6
D. Telaah Pustaka .................................................................................................. 6
E. Penegasan Istilah ............................................................................................... 10
F. Metode Penelitian .............................................................................................. 11
1. Jenis penelitian.............................................................................................. 11
2. Sumber Data ................................................................................................ 12
-
xi
3. Teknik Pengumpulan Data........................................................................... 12
4. Analisis Data ................................................................................................ 13
5. Tahap-tahap Penelitian ................................................................................. 13
G. Sistematika Pembahasan ................................................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Hubungan Agama dan Negara ................................................................ 16
BAB III PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI
INDONESIA
A. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Sebelum Kemerdekaan ................. 19
B. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Menjelang Kemerdekaan
Sampai Pada Masa Orde Lama ......................................................................... 23
C. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Orde Baru ................... 33
D. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Reformasi.................... 45
BAB IV ANALISI PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN
NEGARA DI INDONESIA
A. Analisis Perdebatan Hubungan Agama dan Negara di Indonesia ..................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 75
B. Saran ................................................................................................................. 76
C. Penutup.............................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan masalah hubungan agama dan negara adalah
sesuatu yang menarik, karena bagaimanapun juga agama tetap
memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama
merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang
menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga,
peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari
kehidupan masyarakat. Norma-norma agama di pandang sebagai hukum
efektif untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab karena
keberadaan agama bagi setiap individu sangatlah penting.
Sebenarnya, agama di Indonesia diposisikan pada tempat yang
strategis. Sekalipun disebutkan indonesia bukan sebagai negara yang
mendasarkan agama, pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian
luas dan besar terhadap kehidupan agama. Dalam suatu negara tertentu
agama kemudian menjadi dasar bernegaranya, dalam artian agama yang
mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang
diberlakukan didalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk
memisahkan agama dan negaranya, agama baginya adalah adalah urusan
keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak
-
2
untuk mengurus warganya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula
agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia.
Perdebatan tentang hubungan agama dan negara merupakan
permasalahan lama yang dipertentangkan dalam kalangan para pemikir,
yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan, baik dikalangan pemikir di
Eropa Barat atau Timur. Pada tahun 1930-1940 terjadi pergeseran sistem
pemerintahan di beberapa belahan dunia Islam yang sempat
mempengaruhi model perjuangan pemuda dan kaum intelektual Indonesia.
Hal ini berawal dari Persia dan Turki Muda. Jika, dalam pergeseran ini
Persia berupaya membangun kekaisaran dengan maksud mengembalikan
masa jaya kekaisaran Persia sebelum Islam, dalam hal ini Turki Muda,
lewat Kemmal Ataturk, berminat mengganti hukum Syariah dengan kode
hukum Barat, setelah terlebih dulu melebur sistem Khalifah dengan
Republik Turki.1 Kamal Ataturk melakukan perubahan sistem
pemerintahan Turki dengan cara yang cukup radikal. Tetapi tindakan
kamal Ataturk ini segera mendapatkan pertentangan dimana-mana.
Beberapa pendukung utama Kamal Ataturk bahkan mengadakan gerakan
bawah tanah untuk mengulingkannya.
Berawal dari hal inilah gagasan Soekarno tentang pemisahan
agama dan negara yang diinspirasi oleh kasus Turki Muda, dan kasus
tersebut mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Soekarno mencoba
1Mukti AH, islam dan sekularisme di Turki Modern, Jakarta :Djambatan, 1994, h. 15
-
3
merespon secara positif gerakan Turki Muda tersebut. Pada tataran
konseptual Soekarno bersikap keras untuk memisahkan agama dan negara
dengan argumen-argumen yang dapat dipahami. Hal ini diilhami oleh
kondisi sosio-historis negara-negara yang menyatukan agama dengan
banyak melakukan penyimpangan yaitu menjual agama untuk kepentingan
negara, dimana rakyat ditekan oleh penguasa politik dengan
mengatasnamakan agama.
Pada zaman pergerakan nasional , waktu Belanda masih menjajah
nusantara pada tahun 1930 sampai 1942 yang paling legendaris adalah
perdebatan Soekarno dan Natsir. Natsir berkeinginan mendirikan negara
nasional berdasarkan Islam justru karena dia seorang demokrat sejati.
Dalam pandangan Natsir, umat Islam ada 80% maka wajar kalau Natsir
menginginkan negara Islam. Hal ini dibantah oleh Soekarno yang
mengatakan bahwa agama Islam pada bangsa Indonesia hanyalah lapisan
tipis belaka dari keyakinan orang-orang Islam. Kalau lapisan itu dikelupas
maka akan terlihat sebagian besarnya adalah animisme dan dinamisme.
Perdebatan terbuka juga terjadi antara Soekarno dan Haji Agus
Salim, tokoh tua yang disegani semua orang. Soekarno jelas menginginkan
nasionalisme sekuler setelah Indonesia merdeka nanti. Sementara itu Agus
Haji Salim menolak pendapat Soekarno karena khawatir itu sangat rentan
terjatuh pada ultra nasionalisme. Agus Salim menginginkan nasionalisme
Islam, karena lebih bersifar universal.
-
4
Perdebatan hubungan agama dan negara berikutnya berlanjut
dalam sidang BPUPKI ketika masalah ideologi mulai disinggung, iklim
politik menjadi sangat hangat.2 Proses pembentukan dan mempertahankan
kedaulatan negara, seperti Indonesia, telah menimbulkan pertarungan
kepentingan dari berbagai kelompok yang saling bersaing memperebutkan
kekuasaan dan pengaruh. Persaingan ini pada gilirannya melibatkan
pertarungan kelompok ideologi utama yang tumbuh sejak zaman
pergerakan. Dimulai dari perseturuan kelompok Islam dan sekuler dengan
gagasan organisasi dan institusi modern telah menghasilkan beragam
pandangan dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Meskipun sudah
diputuskan bahwa Pancasila adalah jalan tengah untuk mengakomodasi
titik ekstrim hubungan agama dan negara namun sampai saat ini pendapat
Soekarno maupun Natsir masih tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh
aktor yang berbeda dan tentu dengan kepentingan yang berbeda-beda pula.
Persoalan hubungan antara agama dan negara menjadi polemik
yang tetap menarik dan tetap berlanjut sampai saat ini, polemik tersebut
sebenarnya tidak didasarkan pada kenyataan empirik atau tidak punya
dasar sosiologis, tetapi polemik tersebut lebih hanya diakibatkan oleh
adanya kekhawatiran dari kalangan intelektual dan para tokoh pemikir
terhadap adanya penyelewengan agama untuk kepentingan politik.
2 Risalah BPUPKI, Panitia Persiapan Kemerdekaan indonesia(PPKI), 28 Mei-22 Agustus
1945, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1945), h. 80-81. Keterangan ini juga dapat dilihat: Wawan
Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali pancasila “Kumpulan Pidato”, (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2000), h. 28-29.
-
5
Keistimewaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk
menuangkan pemikiran-pemikiran para tokoh dari awal mulai perdebatan
yang terjadi di Indonesia hingga saat ini . Maka dalam hal inilah
pemikiran-pemikiran tersebut akan peneliti tuangkan dalam bentuk suatu
penelitian yang diberi judul “Perdebatan Pemikiran Hubungan Agama
dan Negara di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perdebatan pemikiran hubungan agama dan negara di
Indonesia ?
2. Bagaimana perdebatan hubungan agama dan negara bisa terjadi ?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam menjalankan setiap kegiatan terutama yang berkaitan
dengan penelitian, pasti memiliki tujuan di dalamnya. Hal ini
bertujuan agar peneliti bisa melakukan kegiatan tanpa keluar dari
tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. adapun tujuan
penelitian adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana perdebatan hubungan agama dan
negara di Indonesia
b. Untuk mengetahui bagaimana perdebatan hubungan agama dan
negara bisa terjadi
-
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu memberikan
manfaat, baik teoritis maupun manfaat praktis :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penambahan ilmu
pengetahuan dan pemahaman kepada para mahasiswa dan
masyarakat luas pada umumnya, terkait perdebatan pemikiran
hubungan agama dan negara di indonesia
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan
pengetahuan bagi semua pihak yang memerlukan untuk bahan
penelitian yang sama selanjutnya.
E. Telaah Pustaka
Tinjauan pustaka ini menggemukakan tentang penelitian-penelitian
terdahulu yang berkenaan dengan masalah yanga akan dibahas.
Dwi Siswoyo (2002) Bung karno tentang Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam skripsi ini Pancasila lahir dari kecerdasan dan
kemampuan intelektual tinggi, dengan ijtihad politiknya Soekarno
hingga menggali dari berbagai arus pemikiran nasionalisme, sosialisme,
kapitalisme, dan paham keagamaan.
Akbaruddin AM (2003) S.M. Kartosuwirjo tentang Agama dan
Negara. Dalam penelitian jurnal ini agama dan negara dalam
pandangan Kartosuwiryo tidak boleh dipisahkan karena syariat Islam
-
7
telah mengatur segala urusan tanpa terkecuali, baik mengenai hubungan
manusia dengan penciptanya.
Budi Prayetno (2003) Agama dan negara dalam konsep
sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam skripsi ini dimaksudkan
bahwa konsep sekularisasi untuk “membedakan” bukan
“memisahkan” persoalan dunia dan akhirat. Dengan kata lain
Nurcholish mencoba memberikan penafsiran baru mengenai istilah
tersebut. Di sini istilah sekularisasi digunakan sebagai sarana untuk
membumikan ajaran Islam, karena pada dasarnya sekularisasi dan
sekularisme berbeda.
Diyah Khuniyati (2006) dalam skripsinya yang berjudul,
Muhammad. Natsir Dalam Pengembangan Islam di Indonesia.
Skripsi ini mengulas kegelisahan M. Natsir terhadap fenomena
kehidupan beragama di Indonesia yang terpuruk akibat kolonialisme
akibat yang diberikan dari kolonialisme adalah kecenderungan
memandang lebih terhadap bangsa asing dari pada bangsa sendiri
Zudi Setiawan (2008) MMI dan formalisasi Syariah pada era
Reformasi. Dalam penelitian jurnal ini MMI memiliki pandangan
bahwa dalam Islam terdapat ajaran yang menyeluruh (total), mulai
dari penyucian diri (individu) sampai pada mengatur masyarakat dan
negara atau politik.
Muhammad Zuhri (2010) Pergulatan Islam dan Negara Periode
Asas Tunggal Pancasila. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa tidak
-
8
mengherankan jika pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan untuk
membatasi kekuatan Islam politik. Salah satunya UU tentang organisasi
Massa, menetapkan bahwa semua partai politik dan organisasi massa
hanya menganut asas tunggal Pancasila. Hal itupun menuai perdebatan
dan perpecahan antar organisasi.
Machfud Syaefudin (2014) Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front
Pembela Islam. Dalam penelitian skripsi ini latar belakang situasi
sosial-politik berdirinya FPI adanya penderitaan panjang yang di
alami umat Islam Indonesia Kegagalan aparat negara untuk
menegakkan hukum dan menjamin ketertiban masyarakat adanya
kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar.
Arfansyah (2015) Implikasi Pemberlakuan Perda Syari’at
Terhadap Ideologi Negara Indonesia. Dalam penelitian skripsi ini
penerbitan Perda-perda tersebut bertujuan untuk menghidupkan
kembali kebudayaan lokal masing-masing daerah. Para sejarawan
mencatat bahwa dampak penyebaran Islam ke Nusantara melalui
berbagai media seperti budaya dan sufisme adalah penyatuan ajaran-
ajaran Islam ke dalam budaya lokal.
Zainuudin (2016) Konsepsi agama dan negara dalam pandangan
Kahar Muzakkar. Dalam skripsi ini membahas konsep agama dan
negara dalam pandangan Kahar Muzakkar sama dengan Kartosuwiryo,
yakni yang tidak ingin memisahkan agama dan negara. Karena dalam
-
9
islam sendiri tidak ada istilah agama dan negara dipisahkan dan dalam
menetapkan dasar negara dan sistem pemerintahan disebabkan oleh
demokrasi Soekarno dianggap sebagai demokrasi gadungan sebagai
penerus kerajaan Majapahit.
Susilo Rahman (2016) Agama dan Negara ; Reaktualisasi
Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali. Dalam skripsi ini
pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak hanya melewati
proses yang alot dan polemik keras. Untuk itu Munawir juga
mengajak umat Islam untuk menerima negara Indonesia berdasarkan
Pancasila, sebagai sasaran terakhir aspirasi politik, bukan sasaran
sementara untuk mencapai sasaran- sasaran lainnya
Saeful Arief (2016) Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan di
Indonesia. Dalam jurnal penelitian Saeful Areif HTI menginginkan
sistem pemerintahan khilafah Islamiyah dan formalisasi pelaksanaan
syariat Islam di Indonesia hanya bisa tegak bila negeri ini dipimpin
oleh sistem.
Sri Pajriah (2017) Agama dan Negara menurut Soekarno dan
Natsir. Dalam penelitian jurnal ini Soekarno dan Natsir telah
melakukan polemik tentang Islam dan Negara dalam sebuah artikel
Panji Islam yang memisahkan agama dan negara sebagaimana
dikemukakan oleh kemal pada tahun 1928, hal ini mendapat kritik dari
Natsir dengan melontarkan keheranan Soekarno yang mengagungkan
Kamal dengan memisahkan agama dan negara.
-
10
Bahwasannya dalam penelitian yang ada diatas sebelumnya tidak
membahas hubungan agama dan negara yang mengaitkan dari masa
ke masa.
F. Penegasan Istilah
1. Agama
Agama berasal dari kata bahasa Sansekerta yang artinya haluan,
peraturan jalan atau kebangkitan kepada Tuhan. Kata agama terdiri
dari dua kata yaitu A berarti tidak, sedangkan GAMA artinya kacau
balau, tidak teratur. Jadi agama berarti tidak kacau balau. Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu
adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan atau jalan yang telah
dilimpahkan Tuhan dan di jiwai oleh semangat kebaktian kepada
Tuhan.
2. Negara
Yang terakhir adalah kata Negara. Istilah Negara diterjemahkan
dari bahasa asing: staat (bahasa Belanda dan Jerman), state (bahasa
Inggris), etat (bahasa Prancis). 3 Menurut Miriam Budiardjo, setelah
merujuk berbagai pendapat, menyimpulkan bahwa negara adalah
suatu daerah teritorial yang rakyatnya di perintah oleh sejumlah
penjabat (pemerintah) yang berusaha menuntun warga negaranya taat
3F. Isjwara. Pengantar ilmu politik (Bandung : Bina cipta, 1980), 90.
-
11
pada perundang-undangan melalui penguasaan control monopolis dari
kekuasaan yang sah.4
Selain itu, ada yang mendefinisikan negara sebagai pemerintah
saja, yaitu lembaga pemerintahan. Barang kali di sini juga di
masukkan lembaga militer dan kepolisian. Ada yang mendefinisikan
negara sebagai system pemerintahan. Jadi bukan saja lembaga
eksekutif, tetapi juga lembaga legislative, yudikatif, militer dan
kepolisian.5
G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskritif analisis yang memberikan
gambaran tentang perdebatan hubungan agama dan negara yang diawali
oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Natsir sampai dengan masa sekarang
ini. Metode deskritif lebih memusatkan perhatian pada penemuan fakta-
fakta sebagaimana keadaan sebenarnya, dan data yang dikumpulkan mula-
mula disusun, dijelaskan dengan analisa, kemudian menjelaskan prosedur
pengumpulan data, serta pengawasan dan penilaian pada fakta tersebut.
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,
sehingga dalam metode ini akan dikaji dari berbagai sumber
kepustakaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan
4Meriam Budiardjo. Dasar-dasar ilmu politik (Bandung : Gramedia, 1982), 40.
5Aminuddin. Kekuatan Islam dan pergulatan kekuasaan di Indonesia sebelum dan
sesudah runtuhnya rezim Soeharto (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), 19-20.
-
12
dibahas dalam penelitian ini, baik berupa kajian Pustaka/dokumen
baik jurnal/artikel.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer yang berkaitan dengan perdebatan
pemikiran hubungan agama dan negara di Indonesia adalah buku,
tulisan asli para tokoh, seperti Soekarno “Dibalik Bendera
Revolusi” dan Natsir dalam bukunya “Islam sebagai Ideologi”
Munawir Sadzali dalam bukunya “Islam dan tata Negara : Ajaran
sejarah pemikiran 1993. Abdul Qahhar Mudzakkar dalam
bukunya, “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi
Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno. Dan Nurcholis Madjid
dalam bukunya “Cita-Cita Politik Kita”.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder yang berkaitan dengan perdebatan
pemikiran hubungan agama dan negara di Indonesia adalah
melalui penelitian yang sebelumnya yang sudah membahas tema-
tema yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam Rangka Untuk memperoleh data, penulis menggunakan
metode penggumpulan data sebagai berikut :
-
13
a. Dokumentasi
Peneliti mengumpulkan berbagai jurnal, artikel mengenai
penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Analisis Data
Dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis data kualitatif, yakni menganalisis data yang
ada, dikumpulkan, setelah data terkumpul, maka data tersebut akan
dipilah dalam setiap tahapan perdebatan berdasarkan periode waktu,
yaitu : (1) Era perdebatan Soekarno dan Natsir sebelum kemerdekaan
(2). Pasca Soekarno dan Natsir Era Orde Lama ( kedua tokoh masih
hidup dan soekarno masih menjadi Presiden), (3). Era Orde Baru dan
(4). Era Reformasi hingga saat ini.
Data akan dibandingkan mana isu yang terus sama dan berbeda
dari masa ke masa tentang hubungan agama dan negara. Kemudian
akan dipilah juga, siapa aktor, baik itu perorangan atau institusi yang
turut dalam mendiskusikan perdebatan tersebut di publik. Terakhir,
akan ditarik kesimpulan tentang dinamika polemik hubungan agama
dan negara dari masa ke masa.
5. Tahap-tahap Penelitian
Langkah yang diambil peneliti untuk memulai penelitian ini
adalah dengan menentukan atau memilih topik penelitian, pencarian
-
14
sumber-sumber dan prosedur pengumpulan data, menganalisis data
yang ada dan melakukan penulisan laporan.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun dalam penelitian hasil laporan penelitian adalah sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab 1 merupakan garis-garis besar pembahasan isi pokok penelitian yan
terdiri atas : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, penegasan istilah, metode
penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, sumber
data, prosedur pengumpulan data, analisis data, tahap-tahap penelitian
dan yang terakhir adalah sistematika pembahasan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini akan membahas tentang landasan teori hubungan agama dan
negara.
BAB III PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI
INDONESIA
Bab ini akan membahas perdebatan hubungan agama dan negara
sebelum kemerdekaan, perdebatan hubungan agama dan negara pada
masa orde lama, perdebatan agama dan negara pada masa orde baru,
perdebatan hubungan agama dan negara pada masa reformasi.
-
15
BAB IV ANALISI PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN
AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA
Bab ini akam membahas tentang analisis perdebatan hubungan agama
dan negara di Indonesia yakni pada masa sebelum kemerdekaan sampai
masa reformasi hingga saat ini.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari isi pokok penelitian yaitu
kesimpulan dan saran. Selanjutnya pada bagian akhir memuat daftar
pustaka, lampiran- lampiran dan riwayat hidup penulis.
-
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Hubungan Agama dan Negara
Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern merupakan
salah satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir
Islam yang sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas. Hal ini
dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang. Fenomena yang
mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep
negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu
negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-
sama dan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Di sini otoritas
politik memiliki urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam
bentuk institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di
antara kaum muslimin merasa perlu untuk merumuskan konsep negara.6
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori
tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis
besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma
integralistik (unifed paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic) dan
paradigma sekularistik (secularistic paradigm).7
Paradigma pertama menyatakan bahwa hubungan antara agama
dan negara tidak dapat dipisahkan integralistik (unifed paradigm).
6 Kamaruzzaman, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.,h. 10.
7Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma berarti model dalam teori ilmu
pengetahan, kerangka berpikir. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2002, h. 828.
-
17
Asumsinya ditegakkan di atas pemahaman bahwa Islam adalah satu
agama sempurna yang mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen
kehidupan manusia, termasuk di bidang praktik kenegaraan. Oleh karena
itu, umat Islam berkewajiban untuk melaksanakan sistem politik Islami
sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan empat al-
Khulafa' al-Rasyidin. Dalam pandangan ini menghendaki agar negara
menjalankan dwi fungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik
dan keagamaan. Dan menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu
pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk
kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab dalam penyandang
kedaulatan yang paling hakiki adalah Tuhan. Pandangan ini mengilhami
gerakan fundamentalisme.8 Tokohnya seperti: Syekh Hasan al-Bana,
Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb, Abu al-A'la al-Mawdudi dan 'Ali al-
Nadwy.
Paradigma kedua berpendirian bahwa agama dan negara
berhubungan secara simbiotik , yakni antara keduanya terjalin hubungan
timbal-balik atau saling memerlukan. Dalam kerangka ini, agama
memerlukan negara, karena dengan dukungan negara, agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama
menyediakan seperangkat nilai-nilai dan etika untuk menuntun
perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari
belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan
8 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, Jakarta,
2014, h. 58.
-
18
sekularistik. Pada dasarnya paradigma ini melahirkan gerakan
modernisme dan neo-modernisme.9 Tokohnya seperti : Husayn Haykal,
Fazlur Rahman, Qamaruddin Khan dan Al-Mawardy.
Paradigma ketiga adalah pandangan sekularisme. Menurut
paradigma ini, agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda,
sehingga tidak dapat dikaitkan secara timbal-balik. Islam dimaknai
menurut pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah agama
sebatas mengatur hubungan individu dan Tuhan. Sehingga untuk
mendasarkan agama kepada Islam atau upaya untuk melakukan
determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari negara akan senantiasa
disangkal. 10Tokohnya adalah : Kamal Ataturk, Thoha Husein, Aliy
'Abd. ar-Raziq
9Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2008, h. 13. 10
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2013, H. 15.
-
19
-
19
BAB III
PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI
INDONESIA
A. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Sebelum Kemerdekaan
Persoalan yang menarik pada masa ini adalah wacana dan perdebatan
terhadap konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam sebagai
dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan
hukum lain yang juga berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Polemik Soekarno dan Natsir yang secara langsung berbicara tentang
hubungan agama dan negara dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis
Soekarno di Panji Islam pada tahun 1940. Judul tulisan tersebut adalah
“Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara”. Namun, Sebelumnya
Soekarno juga pernah menulis sebuah ikhtisar penting dalam melihat
masalah ini. Tulisan tersebut berjudul“Memudahkan pengertian Islam”.
Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas
Mansur yang berjudul “Memperhatikan Gerakan Pemuda” di dalam
Majalah Adil dan Panji Islam berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam
yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-pengertiannya. Dalam
tulisannya Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu
diperbaharui karena tidak adanya ijma’ dan tidak dipertahankan secara kolot
sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu menyesuaikan dengan kultur dan
perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan.11 Selain itu
dalam tulisan Soekarno ini juga menyinggung hubungan negara dengan
11
Soekarno, “Me-Muda-kan Pengertian Islam”. dalam Sukarno, Dibawah Bendera
Revolusi, hal. 370.
-
20
agama, yaitu demi kebaikan bahwa agama dan negara keduanya harus
dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal Ataturk pada tahun
1928.
Kemudian tulisan Soekarno ditanggapi oleh Natsir dengan nama
samaran A. Muchlis dalam Majalah al-Mannar dan Panji islam dengan
judul “Persekot” dengan melontarkan keheranan Soekarno yang
mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan negara dengan agama,
dan mengapa pula Soekarno untuk menolak persatuan negara dan agama
dengan alasan tidak ada ijma’, maka dalam tulisan Natsir ini membalik
logika Soekarno tentang ijma’ dengan mananyakan, kalau tidak ada ijma’
tentang persatuan negara dan agama, maka adakah ijma’ tentang
keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena itu
pandangan Soekarno ini ditolak dan tidak dapat diterima karena tidak
adanya ijma’. 12
Selanjutnya bahasan tentang hubungan Islam dan negara ditelaah
lebih rinci di dalam sebuah artikel “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama
dan Negara”. Ada beberapa poin penting dalam pemikiran Soekarno atas
relasi Islam dan negara dalam artikel tersebut. Pertama, Islam harus
dipisahkan dari negara. Kedua, tidak adanya konsep negara Islam. Ketiga,
Islam tetap penting dalam dominan kehidupan bukan kenegaraan. Tidak
relevannya gagasan negara Islam menurut Soekarno juga gagasan ini
bukan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Menurutnya dulu Nabi
12
A. Mukhlis (nama samaran M. Natsir), “Tjinta Agama dan tanah Air, Bersimpang Dua
dan Berpahit-pahit”, yang dimuat dalam majalah Pandji Islam, No. 7 (13 Februari 1939),
sebagaimana dikutip Deliar Noer (1980; 298).
-
21
hanya mendirikan satu agama saja bukan mendirikan negara yang
berlandaskan agama, bukan pula kewajiban mendirikan satu pemerintahan
khilafah atau satu kepala umat untuk urusan negara.13 Banyak ulama
mengatakan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan negara agama. Selain
berdasarkan pandangan historis, Soekarno membandingkan beberapa
negara Barat seperti Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris, Amerika
Serikat yang memisahkan urusan agama dan negara.14 Soekarno juga
melihat realitas negara Indonesia yang heterogen. Kemajemukan negara
ini akan cidera bila Islam diterapkan secara ketat. Asas persatuan negara
dan agama bagi negeri yang penduduknya 100% Islam tidak bisa
berbarengan dengan demokrasi. Untuk negara demikian itu hanyalah dua
alternatif yaitu persatuan negara-agama, tatapi zonder demokrasi, atau
demokrasi tetapi negara dipisahkan dari agama. 15
Menanggapi pemikiran Soekarno tersebut, Natsir mengkritik
Soekarno yang dinilai gagal menggambarkan negara Islam yang
sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki menurut
Soekarno adalah negara Islam, tetapi Natsir menilai kekhilfahan itu tidak
mencerminkan negara Islam sebab membiarkan rakyat dibelenggu
kebodohan dengan memakai Islam dan segala ibadatnya sebagai temeng
belaka. Sesungguhnya Islam dan negara tidak pernah bersatu seperti yang
dikritik kemal dan Soekarno, sehingga Islam harus dipisahkan dari negara
13
Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, Dalam Sukarno, Dibawah
Bendera Revolusi, hal. 406. 14
Ibid.,, hal. 407.
-
22
agar negara menjadi kuat. Natsir mengatakan “Pemerintahan yang zalim
dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan
negara bersatu. Pemerintahan seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan
“memisahkan agama” seperti yang dikatakan Soekarno, sebab memang
agama sudah lama terpisah dari negara yang seperti itu”. Natsir juga
berpendapat bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Islam harus
menjadi landasan negara. Negara adalah alat untuk mewjudkan nilai-nilai
Islam. Natsir berpegang teguh pada apa yang dikatan al-Qur’an agar setiap
orang yang beriman kepada Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan
secara Islami. “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam
Islam secara keseluruhannya”. Prinsip lain yang dipegang Natsir sebagai
seorang Islam yang taat, “Dan kami tidak menjadikan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah aku”.
Dari pemahaman ini menurut Ahmad Syarif Ma’arif, Natsir ingin
menjadi hamba Allah yang sepenuhnya, yakni hamba yang mencapai
kejayaan dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang muslim tidak bisa
melepaskan keterlibatannya begitu saja dalam politik tanpa memberi ruang
bagi Islam.16 Apa yang dikhawatirkan oleh Natsir sebenarnya adalah
apabila Islam dipisahkan dari urusan negara maka akan terjadi hukum
islam yang ditinggalkan. bagaimana undang-undang Islam dapat berlaku
apabila tidak ada kekuasaan negara yang melaksanakan agar undang-
16
Ahmad Syarif Maarif, islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 130.
-
23
undang yang variatif dari berbagai sisi dan eleboratif, bukan hasil
pemaksaan satu golongan terhadap golongan lain.
Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir diatas
memberikan gambaran adanya pertentangan tajam antara kedua tokoh
tersebut. Soekarno yang menegaskan bahwa agama dan negara tidak dapat
disatukan, keduanya harus dipisahkan. Sementara Natsir, menilai bahwa
Agama dan negara harus disatukan , sebab Islam tidak seperti agama-
agama lainnya sebab Islam merupakan agama yang mencakup persoalan
kenegaraan.
B. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Menjelang Kemerdekaan
sampai Orde Lama
Perdebatan hubungan agama dan negara berikutnya terjadi saat
pembahasan tentang ideologi secara formal di Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April
1945. yang terdiri dari 68 orang dimana 60 diantaranya bersala dari
Indonesi aktif sementara 8 sisanya adalah berasal dari pihak Jepang yang
disebut anggota pasif. Untuk perumusan pembentukan dasar negara Pada
sidang BPUPKI yang telah berlangsung, terjadi proses perbedaan pendapat
yang dipengaruhi oleh tiga ideologi. Pertama ideologi kebangsaan, kedua
ideologi islam dan ketiga ideologi komunisme. Aspirasi dari kalangan
Islam ketika itu adalah memandang Islam sebagai ideologi negara,
sedangkan dari kaum Sekuler menempatkan asas kebangsaan sebagai
-
24
ideologi negara termasuk golongan komunis yang mendukung ideologi
atau dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama.
Untuk perumusan dasar negara, ketika itu para wakil rakyat Indonesia
dapat dibagi atas dua kelompok besar, yakni mereka yang mengusulkan
Islam sebagai dasar negara dan mereka yang mengajukan agar Indonesia
berdasarkan kebangsaan, termasuk golongan komunis yang mendukung
dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama.17 Kelompok sekuler
ini diwakili oleh para tokoh, seperti Ir. Soekarno, Dr. Radjiman ,
Muhammad Hatta, Profesor Soepomo, Muhammad Yamin,
Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso dan Dr. Buntaran Martoatmodjo,
semua tokoh ini adalah hasil didikan Barat. Sedangkan dari kelompok
pembela Islam diwakili oleh tokoh terkemuka, seperti Muhammad Natsir,
Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Sanusi, kahar Muzakkar dan K.H. A.
Wachid Hasyim.18 Kalangan agamis menyakini bahwa agama dan politik
tidak dapat dipisahkan (integral) .
Soekarno dari kalangan nasionalis kebangsaan berpendapat,
bahwa agama harus dipisahkan dari negara, karena untuk menjaga
kemurnian, kesucian dan keilahian Islam dari tabiat manusia yang rusak
budi pekertinya. Ketidak setujuan Soekarno dalam mengintegrasikan
agama dan negara bukan untuk mendurkai Islam tetapi justru agar Islam
17
komunisme hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena peristiwa
pemberontakan yang pernah dilakukannya, yaitu pada tahun 1926 di jawa Barat pada tahun 1927
di Sumatra. Dengan peristiwa tersebut, maka dialog ideologis selanjutnya hanya melibatkan dua
kelompok, yakni Kelompok Islamis dan Sekuler. 18
Ahmd Suhelmi, Polemik Negara Islam:Soekarno versus Natsir, (Jakarta : Teraju,
2001);h. viii
-
25
dapat lepas dari belenggu yang menghalangi kemajuannya. Menanggapi
pendapat Soekarno, Natsir mengatakan bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan agama dan negara. Lebih lanjut, Natsir berkata bahwa
kemajuan adalah berhimpunnya kejayaan dunia dan kemenangan akhirat
dan hidup duniawi dengan hidup rohani tidak bisa dipisah dalam ideologi
Islam, walaupun demikian, Soekarno tetap teguh pada pendapatnya. 19
Setelah tiga hari perdebatan tajam itu terus berlanjut, maka pada
tanggal 1 Juni 1945, soekarno menyampaikan gagasan dalam pidatonya,
yang kemudian menjadi amanat terkenal dengan sebutan lahirnya
Pancasila. Soekarno menawarkan lima prinsip sebagai jalan keluar bahwa
negara Indonesia bukan negara agama dan juga buka pula negara sekuler,
tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.
Menurt Kahim, Soekarno menggali lima dasar Pantja Sila, yang
dirasakan akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar falsafah
suatu Indonesia yang merdeka. Soekarno menggali dari berbagai arus
pemikiran barat dari nasionalisme, sosialisme, kapitalisme dan paham
keagamaan, yang disintesiskan menjadi apa yang disebut Pancasila. 20Ia
melakukan ini dengan penuh semangat, mengungkapkan gagasan-gagasan
yang merupakan inti dari pemikiran politiknya selama 20 tahun, yang
dikemukakannya dengan beberapa tambahan dan beberapa tekanan baru,
dalam bentuk lima prinsip dasar, yakni Pancasila.
19
Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 154.
20Musa Asy’arie, NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan , (Yogyakarta, LESFI, 2005),h.
43.
-
26
Pencetusan ide Pancasila berawal dari idenya tentang persatuan
bangsa yang memiliki banyak aliran pemikiran, suku, agama dan
keanekaragaman masyarakat. Soekarno sangat yakin Pancasila sebagai
landasan filosofi negara akan mampu merangkul semua aliran yang
berbeda-beda dan memungkinkan terwujudnya persatuan, yang ia
dambakan. Sehingga ia ingin menetapkan asas bersama, agar dengan asas
tersebut bangsa Indonesia dapat bersatu dan saling menerima. Istilah
Pancasila ditukil dari bahasa sansekerta, yaitu panca artinya lima dan sila
artinya prinsip.
Sebelum dibakukan sebagai dasar negara. Pancasila mengundang
kontroversi tentang siapa yang sesungguhnya merumuskan, karena
sebelum Soekarno pidato pada tanggal 1 Juni 1945 Muhammad Yamin
(1903-1962) dan Soepomo pada sidang pertama lebih dahulu menawarkan
lima prinsip yang digunakan sebagai dasar negara. Gagasan Muhammad
Yamin (29 Mei 1945) Peri Kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan rakyat. Kemudian
Soepomo menyampaikan pidatonya di depan seluruh anggota BPUPKI
pada tanggal 31 Mei, hanya berselang dua hari setelah penyampaian pidato
Muhammad Yamin. Gagasan Soepomo (31 Mei 1945) yakni, Persatuan,
Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, Keadilan Sosial.
Kemudian Soekarno mendapat kesempatan menyampaikan gagasan atau
-
27
pendapatnya di depan anggota BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.21 Ia
berusaha menepati permintaan ketua BPUPKI Radjiman Widyodiningrat
untuk mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka. Gagasan Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945 yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme
dan peri kemanusiaan, Mufakat dan Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan
yang terakhir Ketuhanan yang Maha Esa. Kelima hal ini oleh bung Karno
diberi nama Pancasila.
Selesai sidang pembahasan dasar negara, maka selanjutnya pada hari
yang sama 1 Juni 1945 Soekarno membentuk panitia kecil yang terdiri dari
sembila orang yakni yaitu: Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis,
K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H.
Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. Muh. Yamin. Tugas panitia ini
adalah untuk merumuskan kembali berdasarkan pidato Soekarno dan
mempergunakan teks tersebut untuk memproklamasikan Indonesia
Merdeka.
Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil
membentuk sebuah rumusan yang kemudian terwujud dalam istilah
Muhammad Yamin dengan sebutan “The Jakarta Charter” (Piagam
Jakarta), sedangkan Soekiman menyebutkan sebagai Gentlemen
Agreement (semacam perjanjian luhur) yang ditandatangani pada tanggal
21
Pidato tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian tanggal tersebut
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
-
28
22 Juni 1945. Segera setelah Piagam Jakarta terbentuk pada tanggal 10 Juli
1945 dalam disang BPUPKI.
Pancasila dalam preambul ini belum sepenuhnya dijadikan hasil
kesepakatan untuk dijadikan dasar negara Indonesia, dikarenakan, dalam
Piagam jakarta terdapat tujuh kata sakral bagi umat Islam, yaitu “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh
kata inilah yang menjadi bahan sorotan, baik golongan non Islam maupun
golongan Islam sendiri. Oleh karena itu, pembahasan banyak terpusat pada
kata-kata tersebut. Sehari setelah adanya kesepakatan kata tersebut yakni
pada tanggal 11 Juli 1945 Latuharhari seorang protestan dan anggota
badan penyelidik meyatakan keberatan atas tujuh kata sakral tersebut,
“Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”.22 Kemudian
untuk mengatasi hal tersebut maka disepakatilah untuk menghapus tujuh
kata sakral “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, dan menambahkan “Yang Maha Esa”, setelah kata
“Ketuhanan”. Asas Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 itulah yang
dianggap resmi hingga sekarang, walaupun dalam perjalannaya mengalami
berbagai persoalan fundamental. 23
Disisi Lain Kartosuwiryo tidak terima Indonesia menjadi negara
Sekuler. Dia memberontak keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan
22
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 , h. 32. 23
Yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Keadilan yang di Pimpin Oleh hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
-
29
Indonesia karena menganggap falsafah bangsa menutup ruang penerapan
hukum syariat. Awal kekecewaan Kartosuwirjo adalah ketika tujuh kata
dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya dicoret oleh Hatta.24 Peristiwa pencoretan
itu merupakan pukulan terberat bagi umat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam pandangan Kartosuwirjo pencoretan itu
merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan
nasionalis sekuler di saat negara baru saja dilahirkan. Benih-benih
perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh.
Sementara tiga hari sebelum Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, Kartosuwirjo memproklamirkan negara Islam yang
merdeka pada tanggal 14 Agustus 1945 di Jawa Barat setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu. Namun, setelah Indonesia diproklamirkan oleh
Soekarno–Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwirjo kembali
memihak kepada Republik Indonesia.25 Pasca diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1948 setelah ditariknya Divisi
Siliwangi dari Jawa Barat ke daerah Yogyakarta, perjuangan melawan
Belanda dilanjutkan pasukan gerilyawan Muslim di bawah kepemimpinan
Kartosuwirjo, secara tegas Kartosuwirjo menyerukan perang suci.26 Hal ini
menuai kritik dari pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia. Namun,
sikapnya tidak luntur dan menganggap perjanjian Renville telah melampau
24
Muh, Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
1945 serta konstitusi RIS dan UUD Sementara RI, H. 452. 25
Abd. Rahman Hamid, Qahar Mudzakkar Mendirikan Negara Islam?, hlm. 23. 26
Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik ,. 284.
-
30
supremasi politik Indonesia. Gerakan ini berlanjut dan pada tanggal 7
Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya negara Islam
Indonesia untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu, gerakan ini dianggap
oleh pemerintah sebagai bentuk radikal.27
Sementara itu negara Islam di Indonesia ciptaan Kartosuwirjo
mendatangkan keresahan bagi pemerintah Indonesia yang secara terang-
terangan melawan pemerintahan yang sah, akibat dari dari perlawanannya
ini ia bersama dengan kelompoknya dikatakan sebagai pemberontak
karena sikap radikal yang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya. Bagi Soekarno motif pendirian Negara Islam Indonesia dalah
untuk menggulingkan kepemimpinannya dan Kartosuwirjo naik tahta
menjadi Presiden. Sementara itu isu percobaan pembunuhan Presiden juga
tersebar, akan tetapi hal itu dibantah oleh Kartosuwirjo.28 Kartosoewirjo
menyatakan bahwa Pancasila adalah Jahiliyah bentuk baru, dimana ia telah
menjadi berhala yang disembah di Indonesia. Pancasila merupakan satu
campuran dari berbagai paham, Shintoisme jepang, Animisme Indonesia,
teori kemakmuran asia timur raya dan Nasionalisme Indonesia jahil yang
kemerah-merahan (Komunisme). Pancasila bagi kartosoewiryo tidak
memiliki akar kedalam sehingga ia tidak mampu berdiri secara layak
dalam Istilah “bergantung tak bertali, berdiri tak berakar”.
27
Abd. Rahman Hamid, Qahhar Mudzakkar Mendirikan Negara Islam?, hlm. 24 – 25.
28Seri buku Tempo, Kartosuwirjo Mimpi Negara, h. 29.
-
31
Membaca gagasan Kartosuwiryo diatas, pada dasarnya dalam
kenyataan secara sosiologis bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim, suatu hal yang ironis jika kehendak mayoritas diabaikan. Dengan
alasan-alasan itulah Kartosoewirjo menolak pancasila dengan bentuk
apapun dan menginginkan agama dan negara bersatu dengan tegaknya
negara Islam.
Semenatra itu setelah lima tahun setelah Indonesia merdeka Pada
tahun 1950 terjadi pergerakan Pemberontakan di Sulawesi Selatan yang
dilakukan oleh Kahar Muzakkar melalui pergerakan Darul Islam/ Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Berawal dari rasa sakitnya akibat pemerintah
pusat tidak menerima pasukannya yang bergabung dalam Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) tidak dimasukkan dalam ke dalam APRI
dengan mengambil nama“Brigade Hasanuddin” dengan alasan, mayoritas
KGSS tidak memenuhi syarat sebagai tentara yang profesional.
Secara umum Kahar Muzakkar melakukan perjuangan bersenjata
sebagai sarana paling memungkinkan untuk menghasilkan Indonesia yang
tidak hanya merdeka, melainkan juga Islami. Tujuan pertama adalah
kedaulatan dari cengkraman penjajah, tetapi kedaulatan itu tidak bisa
memakai jubah Pancasila, karena negara Pancasila betapapun
menguntungkannya tidak dapat membebaskan umat Islam dari kaum kafir.
Kahar Muzakkar melihat bahwa perjuangan rakyat Indonesia dalam upaya
kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan mengalami kegagalan
sebagai konsekuensi dari Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia di
-
32
bawah kepemimpinan Soekarno, yang pada akhirnya melahirkan perang
saudara yang berkepanjangan di antara sesama anak bangsa. Lebih lanjut
Kahar Muzakkar menjelaskan bahwa sebab pokok dari kegagalan tersebut
dalam mencari dan menetapkan Pancasila dan sistem pemerintahan ialah
disebabkan oleh demokrasi yang dirancang oleh Soekarno dianggap
sebagai demokrasi gadungan dan adanya tujuan tertentu Soekarno bersama
pengikutnya untuk melakukan penjajahan sebagai penerus cita-cita
kerajaan Majapahit.29
Kahar Muzakkar menegaskan bahwa Soekarno dengan Ketuhanan
Yang Maha Esa-nya ingin menggabungkan semua agama di Indonesia
menjadi Agama Pancasila. Lebih lanjut Kahar Muzakkar mengatakan
bahwa Soekarno hanyalah Islam nama, yang menentang ajaran dan hukum
Islam, dengan begitu menurut Kahar Muzakkar bahwa dengan tegas rakyat
Indonesia mengutuk dan menolak ajaran Pancasila. Kahar Muzakkar
mempertanyakan keislaman Soekarno yang mengaku mencintai Islam tapi
menolak Islam sebagai ideologi, hingga Kahar menyebut Soekarno
sebagai orang munafik, kafir dan dhalim.
Bukan hanya itu saja perdebatan mengenai hubungan agama muncul
kembali Pada Konstitusi RIS. Di dalam Konstitusi RIS dan Mukadimah
UUDS 1950, Pancasila dirumuskan dengan kalimat Ketuhanan,
Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sementara
29
Abdul Qahhar Mudzakkar, Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno, (Jakarta: Madinah Press. 1999), 41.
-
33
Mukadimah UUDS 1950 sebenarnya berasal dari pembukaan UUD 1945.
Namun asas ini dalam sebuah catatan sejarah yang memang memberikan
ide-ide dasar tersebut, oleh karena itu tidak berlangsung sampai satu tahun,
karena terjadi demonstasi massa yang menginginkan agar negara-negara
bagian segera bergabung dengan Republik Indonesia. Maka pada tanggal
17 Agustus 1950, menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia, yang
diatasi oleh Muhammad Natsir tampil dengan mengajukan mosinya
kepada Dewan Perwakilan rakyat Federal (parlemen RIS) pada tanggal 3
April 1950.30 Mosi tersebut kemudian dikenal dengan “Mosi integral
Natsir”
Dari hal ini dapat dilihat bahwasannya hubungan agama dan negara
pada masa orde lama terus berlanjut meskipun dalam sidang BPUPKI telah
disepakati bahwa Pancasila adalah jalan tengah dari perdebatan kelompok
kebangsaan dan Islam namun hal itupun belum juga memuaskan golongan
Islam yang terus gigih memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara.
C. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Orde Baru
Turunnya Soekarno dari tahta kepresidenannya dan naiknya
Soeharto sebagai penggantinya, maka sejak saat itu seperti memberikan
angin segar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia, banyak
pemimpin politik Islam meletakan harapan besarnya pada masa Orde baru
30
Mosi tersebut ditandatangani oleh M. Natsir, Subandino Sastrosatono, Hamid Algadri,
Sakiman, Ki Werdojo, A. M. Tambunan, N. Hardjosubroto, B. Sahetapy Engkel, Tjokronegoro,
M. Tauchid, Amelz dan Sirajuddin Abbas. Mereka adalah perwakilan aliran-aliran politik terbesar
didalam DPR. Lihat Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 122.
-
34
terutama pada kalangan Masyumi yang selama masa orde lama selalu
tersudutkan. Langkah pertama yang dilakukan oleh para pendukung
Masyumi adalah dengan membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang telah
dipenjara oleh Presiden Soekarno (Muhammad Natsir, Sjafrudin
Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto
Mangkusasmito, dan Hamka).
Namun pada kenyataannya mereka salah, pada masa Orde baru
tidak ada niatan untuk membangun politik Islam kembali namun malah
sebaliknya yaitu melemahkan segalam macam ideologi-ideologi yang
berusaha menetang ideologi Pancasila dan UUD 1945, bahkan kelompok
militer dengan tegas dan sangat meyakinkan bahwa mereka akan
menindak tegas siapa saja yang mencoba menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh PKI, Darul Islam dan
Masyumi. Karena sadar bahwa tidak mungkin pemerintahan Orde baru
akan merehabilitasi Mayumi maka para mantan pemimpin Masyumi pun
mulai melakukan strategi baru yaitu dengan cara membuat suatu partai
baru yang diharapkan dapat melanjutkan semangat partai Masyumi.
Pada tanggal 20 Febuari 1968, Partai Muslim Indonesia (Parmusi)
didirikan dibawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun,
yang merupakan aktivitis Muhammadiyah. Meskipun demikian, penting
untuk diketehaui bahwa persetujuan ini bukan tanpa pembatasan sama
sekali. Sepanjang proses pembetukannya, pemerintahan Orde Baru dengan
jelas mengontrol perkembangan politik Islam dengan memberikan
-
35
persyaratan bahwa pemimpin partai tersebut bukanlah dari kalangan bekas
ketua kelompok Masyumi.31 Begitu juga dengan yang dirasakan oleh oleh
DR. Muhammad Hatta untuk mendirikan partai Demokrasi Islam
Indonesia namun gagal karena sebab yang sama.32
Didirikannya Parmusi tampaknya tidak menunjukan adanya
perubahan apapun dalam hal hubungan antara para pemimpin kelompok
aktivis Islam dan para elite pemerintahan Orde Baru. Sepertinya
pemerintahan pada masa Orde baru juga khawatir dengan ideologis yang
ingin dibawa oleh partai ini. Hal ini semakin jelas dan kekhawatiran yang
kuat kepada elite pemerintahan pada masa itu yaitu dengan menolak
beberapa tuntutan kelompok aktivis Islam. pertama, menolak tuntutan
kelompok Islam agar piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1968. kedua,
menolak dilangsukannya kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang
sama.33
Untuk itu pada masa Orde Baru banyak upaya-upaya yang
dilakukan pemerintahan pada masa itu untuk melemahkan lawan-lawan
politiknya, dengan berbagai macam cara melakukan fusi partai-partai
Islam, yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan tahun 1973.
Langkah berikutnya adalah dikemukakannya gagasan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada pemilu 1977, dan kemudia
31
Bahtiar Efendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemkiran Dan Praktik Politik Islam
Di Indonesi, Cet.I,(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm 106. 32
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan,(Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana Yogya, 1993), hlm 4. 33
Ibid, hlm 115.
-
36
menjadi Tap NO. II MPR 1978. Upaya itu mencapai puncaknya, ketika
Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara malalui UU NO. 3 tahun 1985
tentang partai politik dan Golkar, dan UU No. 8 tahun 1985 tentang
organisasi kemasyarakatan.
pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak hanya melewati
proses yang alot dan polemik keras, bahkan sampai menimbulkan korban
jiwa. Reaksi paling keras muncul dari kalangan aktivis dan pemikir Islam
lama yang masih memperjuangkan aspirasi politik Islam secara
formalistik. Dalam situasi sosial politik seperti itulah Munawir Sjadzali
diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir Sjadzali segera
dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih
memperjuangkan ideologi Islam dan secara prioritas menolak Pancasila
sebagai asas tunggal.34 Tugas pokok pertama Munawir sebagai Menteri
Agama adalah mensosialisasikan dan menuntaskan Ketetapan MPR RINo
II Tahun 1983 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh
organisasi kemasyarakatan yang berhaluan keagamaan, termasuk Islam.35
Tugas ini jelas tidak ringan karena masalah ini telah menimbulkan
kontroversi di kalangan agamawan, dan reaksi yang muncul dikalangan
umat Islam terutama dari kelompok Islam ideologis juga demikian keras.
Dalam menyelesaikan tugas berat ini, Munawir bertitik tolak pada prinsip
34
Akhmad Sarori dan Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikiran Politik Islam cetakat pertama,
(Yogyakarta;Deepublish, 2016), h. 245 35
Tentang Tugas pokok ini diakui Munawir Sjadzali dalam "Dari Lembah Kemiskinan" ,
op. cit., hlm. 78
-
37
bahwa pemerintah tidak ada maksud sama sekali untuk menggantikan
agama dengan Pancasila atau mengagamakan Pancasila.36
Sebagai Menteri Agama, Munawir juga mengajak umat Islam untuk
menerima negara Indonesia berdasarkan Pancasila, sebagai sasaran
terakhir aspirasi politik, bukan sasaran sementara untuk mencapai sasaran-
sasaran lainnya. Meskipun Munawir telah berdialog dengan tokoh agama,
reaksi keras dari pemimpin dan aktivis Islam tetap tak terhindarkan. Deliar
Noer, salah seorang tokoh intelektual Islam yang cukup berpengaruh,
mengatakan bahwa pandangan-pandangan Munawir tidak merefleksikan
intelektualitasnya,tetapi lebih merefleksikan dirinya sebagai politisi yang
berperansebagai juru bicara pemerintah Orde Baru. Deliar mengakui
bahwa di bawah Orde Baru kehidupan keagamaan mengalami
perkembangan menggembirakan. Akan tetapi, harus juga dicatat bahwa
pembangunan yang dengan semakin besarnya kesenjangan antara yang
kaya dan yang miskin, Kristenisasi, sekularisme, konsumerisme, kejahatan
dan prostitusi.37 Penolakan Deliar Noer terhadap Pancasila sebagai asas
tunggal didasarkan pada dua alasan pokok. Pertama, Pancasila sebagai
asas tunggal selain bertendensi pada terbentuknya partai tunggal, juga
akan menghalangi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya yang merupakan ciri utama masyarakat yang demokratis.
Kedua, adalah melihat konflikyang terjadi pada masa kampanye
36
Ibid. Wawancara Munawir Sjadzali, Jakarta 6 Septemebr 1991, prinsiptersebut
dikemukakan Presiden dalam Pidato 16 Agustus 1986 37
Deliar Noer, Islam dan Pemikiran Politik: Bahasan Kitab Islam dan Tata Negara oleh
H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: LIPPM, 1990), hlm. 20-21
-
38
merupakan akibat perbedaani ideologis di kalangan partai-partai peserta
Pemilu. Deliar merujuk Pemilu 1955 yang berlangsung tanpa konflik
sebagai bukti. Padahal partai-partai peserta Pemilu waktu itu mendasarkan
diri pada ideologi yang berbeda-beda.38
Tidak hanya Munawir saja yang menerima asas tunggal pancasila
sebagai jalan tengah dari perdebatan agama dan negara tetapi tokoh
Nurcholish Madjid juga menerima asas tunggal Pancasila, karena pada
dasarnya pemikiran Nurcholis Madjid tentang hubungan agama dan negara
adalah didasari atas gagasan tentang sekularisasi. Sekularisasi yang
dipahaminya sebagai kebebasan atau menduniawikan yang semestinya
duniawi dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Selain
itu sekularisasi diartikan oleh Nurcholish Madjid sebagai pembebasan
tatanan sosio-kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan, sehingga
agama ditempatkan pada tingkatan yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai
etis yang mampu melingkupi pluralisme yang ada pada masyarakat. Oleh
karena itu, Nurcholish Madjid menolak keras pemberlakuan bagi
Indonesia sebagai negara Islam.
Sekulerisasi dipahami oleh Nurcholish Madjid sebagai pembebasan
atau meduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan. Karena pada dasarnya
sekulerisasi adalah sebuah rasionalisasi sehingga subtansinya berupa
penolakan terhadap partai Islam dan konsep negara Islam. Negara Islam
38Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal (Jakarta: YayasanPerkhidmatan,
1984)
-
39
menurut Nurcholish Madjid adalah merupakan sikap apologi atau sikap
membela diri di antara golongan Islam yang melihat Islam secara tinggi
dan mampu bersaing dengan paham modern dalam bidang politik,
ekonomi dan negara.39 Oleh karena itulah, Nurcholish Madjid menolak
keras terhadap upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Negara Islam menurut Nurcholish Madjid adalah suatu distorsi hubungan
proporsional antara negara dan agama, karena negara adalah salah satu
kehidupan duniawi yang semestinya rasional dan kolektif. Begitu juga
dengan agama yang merupakan aspek kehidupan spiritual dan pribadi.
Melalui jargon “Islam Yes, Partai Islam No”? inilah dapat
memberikan arah dan tujuan bagi agama sebagai pengayom yang mampu
memberikan landasan nilai moral secara universal. Selain itu, Nurcholish
Madjid juga berupaya untuk menyelamatkan image Islam. Karena dengan
buruknya penampilan partai Islam maka image Islam juga akan
mendapatkan sorotan.
Gagasan Nurcholish tersebut kemudian mengundang reaksi yang
cukup keras baik dari kalangan intelektual muda atau kalangan tua.
Kalangan muda yang memberi tanggapan antara lain Endang Syaifuddin
Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani. Sedangkan dari
kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Abdul
Qadir Djaelani dari kalangan muda misalnya mengatakan bahwa
Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang bertentangan
39Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Bandung, 1987), h. 207
-
40
dengan Islam. Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan sekularisme
tersebut. Endangsyaifuddin Ansari (meski dalam beberapa hal sepakat
dengan Nurcholish) juga berpendapat bahwa memang di dalam al-Qur’an
tidak dijelaskan konsep negara Islam, akan tetapi mengingkari bahwa al-
Qur’an memberikan kaidah tentang kenegaraan merupakan masalah besar.
Endang menanggapi bahwa seolah-olah Nurcholish ingin membuktikan
bahwa setiap usaha umat Islam untuk menuju kekuasaan dianggap sebuah
dosa besar.40
Sedangkan dari kalangan tua yang diwakili Rasyidi, ia berpendapat
pandangan Nurcholish sangat naif karena bersumber dari kekacauan
berpikir. Bahkan Rasyidi menuduh Nurcholish sebagai seorang yang mirip
dengan Orientalis yang begitu tinggi kecurigaannya terhadap Islam. Ia
juga memperingatkan agar umat Islam khususnya kalangan muda untuk
berhati-hati dengan ide pembaruan Nurcholish. Begitupun dengan Hamka
dan Natsir, meski tidak secara langsung menyebut nama Nurcholish tapi
dalam beberapa pidatonya, ia menganjurkan agar umat Islam lebih berhati-
hati dengan ide pembaruan tersebut. Ia menyeru agar umat Islam lebih
bersatu sehingga cita-cita politik bisa tercapai.41
Untuk menghadapi berbagai reaksi tentang ide pembaruan tersebut,
Nurcholish lebih memilih tidak menanggapi secara serius. Hal ini
dilakukan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan, apalagi
40
M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 51. 41
M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru .., h. 53.
-
41
banyak yang tidak bisa memahami ide pembaruan yang digagasnya. Hal
itu terlihat dari banyaknya tanggapan kemarahan dan kecurigaan karena
tidak bisa memahami gagasan pembaruan tersebut. Nurcholish bahkan
dianggap sudah dianggap melenceng dan murtad, bahkan yang lebih serius
banyak ancaman yang ditujukan padanya.42
Sebaliknya bagi para pendukung gagasan Nurcholis seperti Djohan
Effendi, Utomo Danajaya, Eky Syahruddin, Usep Fathuddin. 43 Salah satu
dari pendukung gagasan Nurcholish seperti Dawam Raharjo bahwa
mereka lebih memilih melawan arus dan memberanikan diri melawan
umat, karena menurutnya apa yang dikehendaki oleh umat tersebut
bukanlah yang mereka butuhkan. Ia juga mengkritik pendekatan yang
dilakukan oleh umat Islam yang cenderung menjadikan Islam sebagai
ideologi. Hal itu menurutnya bisa saja menjadikan Islam terdistorsi ke
ruang yang lebih sempit dan berhadapan dengan ideologi lain seperti
Sosialisme atau Nasionalisme.
Kemudian pada level ormas, NU adalah ormas pertama yang
menerima Pancasila sebagai asas organisasinya. NU yang didorong oleh
Kiai Achmad Siddiq dan tokoh-tokoh muda seperti Abdurrahman Wahid
berhasil menerima Pancasila sambil tetap mempertahankan aqidah
islamiyah sebagai dasar aktivitas organisasi.44 NU menunjukkan sikap
42
M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia.., h. 65. 43
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik , (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 97. 44
Peristiwa munas merupakan fase yang sangat penting untuk memahami dinamika dan
pergolakan baik yang terjadi di tubuh NU sendiri maupun jika dikaitkan dengan kekuasaan. Fase
itu menandai sejumlah kebijakan politik penting yang diambil oleh NU. Asep Saiful Muhtadi,
Komunikasi Politik Nahdatul Ulama , (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm.147.
-
42
yang akomodatif, terutama setelah mengadakan Musyawarah Nasional
(Munas) Ulama pada 1983 di Situbondo. 45Pada munas tersebut dicetuskan
suatu deklarasi yang nantinya dipergunakan para elite NU sebagai
justifikasi doktrinal untuk menerima Pancasila.
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak bisa mengambil
keputusan cepat dalam menerima asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah
mengulur-ulur waktu untuk melihat perkembangan keadaan. Kemudian
pada tanggal 31 Mei 1985, RUU Asas Tunggal Pancasila disahkan oleh
DPR dan pada tanggal 17 Juni 1985 Presiden Suharto resmi mengeluarkan
Undang-Undang Keormasan, yaitu UU No. 8 Tahun 1985. 44 Undang-
Undang ini menetapkan Pancasila sebagai satu-satu asas resmi bagi semua
ormas yang ada di Indonesia. Keluarnya Undang-Undang Keormasan ini
membuat Muhammadiyah harus menentukan sikap. Muhammadiyah akan
menentukan sikap melalui muktamarnya yang sudah lama tertunda-tunda.
Pada tanggal 7-11 Desember 1985, Muhammadiyah mengadakan
Muktamar ke-41 di Surakarta. Melalui Muktamar ke-41 ini,
Muhammadiyah menyatakan diri bersedia menerima asas tunggal
Pancasila. Bagi Muhammadiyah, tidak pilihan lain selain menerima asas
tunggal Pancasila, jika Muhammadiyah masih ingin hidup di bumi
Indonesia.
Di kalangan pemuda Islam, asas tunggal Pancasila menjadi bahan
perdebatan yang sangat tajam. HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam
45Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926 , (Bandung: Risalah, 1985), hlm. 57.
-
43
yang berdiri pada tahun 1947 tidak mampu menemukan kata sepakat di
antara kader-kadernya. Hingga Pada tahun 1985, pergesekan ditubuh HMI
mulai memuncak. HMI mendapat tekanan semakin keras dari para alumni
yang mendukung pemikiran baru, terutama dari kelompok Nurcholis
Madjid . Kelompok ini meminta kepada HMI untuk tidak berbenturan
dengan pemerintah, karena hal itu bertentangan fitrah HMI yang dikenal
sebagai organisasi yang demokratis akomodasionis. Selain itu, tekanan
keras juga datang dari pemerintah, dimana pemerintahan Suharto tidak
akan memberikan izin kongres bila HMI tetap menolak pemberlakukan
azas tunggal Pancasila. Besarnya tekanan dari kelompok Nurcholis Majid
dan pemerintah, akhirnya berhasil melunakan sebagian tokoh kunci HMI.
Maka pada awal April 1985, HMI menyatakan penerimaan azas tunggal
Pancasila. Keputusan itu diambil setelah melewati perdebatan panjang di
Ciloto, Jawa Barat.46
Pada Kongres ke-16 di Padang tahun 1986, HMI menegaskan
kembali pernyataannya bahwa HMI secara kelembagaan dapat menerima
asas tunggal Pancasila. Hasil kongres ke-16 ini tidak diterima oleh semua
cabang HMI. Beberapa cabang HMI melakukan protes dan penolakan atas
hasil kongres HMI ke-16 tersebut. Suara-suara penolakan dari beberapa
cabang ini tidak tertampung di PB HMI. Akhirnya, cabang-cabang HMI
yang tidak sepakat dengan keputusan Kongres HMI ke-16 membentuk
HMI Baru yang bernama HMI MPO (HMI Majelis Penyelamat
46
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 161.
-
44
Organisasi). HMI MPO ini dipimpin oleh Eggie Sudjana. Dengan lahirnya
HMI MPO, maka HMI yang menerima asas tunggal Pancasila lebih
dikenal dengan nama HMI Dipo (HMI yang berkantor di Jalan
Diponegoro). Dan sebagai organisasi terlarang, HMI MPO terpaksa
bergerak dibawah tanah. HMI MPO memiliki basis yang kuat di daerah
Yogyakarta dan Makassar.47
Kemudian PII sebagai organisasi pelajar Islam tertua yang lahir pada
tahun 1947 merupakan satu-satunya lembaga yang mampu membuat
keputusan yang solid di kalangan kader-kadernya. Kader-kader PII sepakat
menolak keberadaan asas tunggal Pancasila. Ketua Umum PII, Mutamimul
Ula, mengatakan bahwa PII berkewajiban menggunakan Islam sebagai
asas tunggalnya, untuk membedakan dengan yang lain. Menurutnya,
bahwa keputusan PII untuk tidak menganut Pancasila sebagai asas
tunggalnya diambil setelah meneliti Pancasila secara mendalam dan
menyeluruh dari aspek hokum, sosiologis dan filsafat berdasarkan
pemahaman Islam. Sikap PII yang menolak asas tunggal Pancasila harus
dibayar mahal, dimana rezim Orde Baru melalui Menteri Dalam Negeri
telah mengeluarkan keputusan tentang pembubaran PII sebagai organisasi.
PII dibubarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
120 dan 12 tanggal 10 Desember 1987. PII dibubarkan, karena PII tidak
mengikuti prinsip-prinsip fundamental Undang-Undang Keormasan.
47
Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 12. Jan S.
Aritonang, Op. Cit., hlm. 437.
-
45
Setelah PII dibubarkan oleh rezim Orde Baru, maka PII menjadi organisasi
kader yang bergerak dibawah tanah.48
Berangkat dari fenomena asas tunggal di atas serta dari beragam
kasus yang terjadi sepanjang sejarah Orde Baru, tidak dapat dimungkiri
bahwa Pancasila telah digunakan sebagai alat politik untuk membenarkan
pemerintahan yang represif dan otoriter. Pancasila dijadikan legitimasi
untuk menghancurkan komunisme, membendung Islam politik, serta
elemen masyarakat yang menuntukan demokratisasi. Hal itu sering kali
dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
D. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Reformasi
1. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara saat diterapkannya
Perda Syariah
Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru Soeharto pada tahun
1999, arah perpolitik Indonesia berubah drastis. Presiden Habibie
megeluarkan beberapa Undang-Undang (UU) yang mengindikasikan
perubahan politik Indonesia dari suasana otoriter menjadi demokratis.
Salah satu dari UU tersebut adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, yang kemudian diamandemenkan oleh UU No.
32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Perda tersebut menuai
pro dan kontrak bahkan mengkhawatirkan beberapa kalangan tentang
potensi perubahan konstitusi dan ideologi NKRI. Penerapan peraturan
48
Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 12. Jan S.
Aritonang, Op. Cit., hlm. 89.
-
46
daerah (Perda) bernuansa syari’at antara lain disebabkan oleh kegagalan
Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan permasalahansosial, ekonomi,
dan politik di Indonesia, sehingga syariat dipandang sebagai satu
satunya solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak bisa
diselesaikan tersebut.49 Hingga saat ini, dari 512 kabupaten/kota di
Indonesia, kurang lebih sebanyak 64 kabupaten dan kota di 15 provinsi
di Indonesia telah menerbitkan dan menerapkan perda bernuansa syariat
di yurisdiksi masing-masing.
Meskipun kelompok kontrak mengkritisi perkembangan perda
tersebut tokoh tokoh nasional seperti Azyumardi Azra1dan Gumawan
Fauzi secara terbuka tidak setuju dengan perkembangan perda, namun
hingga kini Pemerintah Pusat belum pernah mengeluarkan kebijakan
baik itu kebijakan hukum maupun politis terhadap perkembangan perda
tersebut.50 Di lain pihak, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam
Negeri dikecam oleh beberapa organisasi non-pemerintahkarena
dianggap tidak responsif.51
49
Robert W. Hefner, “Indonesia: Syari’at Politics and Democtratic Transition,”
Syari’atPolitics: Islamic Law and Soceity in the Modern World, ed. Robert W Hefner
(Bloomington, Indiana:Indiana University Press, 2011); M.B. Hooker, Indonesian Syari’at:
Defining a National School ofIslamic Law (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2008);
Arskal Salim, Challenging theSecular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia
(Honolulu, Hawaii: University of HawaiiPress, 2008). 50
Satu Harapan, “Satu Harapan: Azyumardi Azra: Beberapa Ingin Menerapkan Syariah Islam
Namun Dengan Perspektif Dangkal,”Www. satuharapan.com (www.satuharapan.com, July 18, 2013),
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-beberapa-ingin-menerapkansyariah- islam-
namun-dengan-perspektif-dangkal. 51
Suara Islam, “Suryadharma Ali Dan Gamawan Fauzi, Dua Menteri Yang Dituduh SetaraInstitute
Intoleran” (www.suara-islam.com, February 17, 2014), http://www.suara-
islam.com/read/index/9646/Suryadharma-Ali-dan-Gamawan-Fauzi--Dua-Menteri-yang-Dituduh-
Setara-Institute-Intoleran.
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-beberapa-ingin-menerapkansyariah-http://www.suara-islam.com/read/http://www.suara-islam.com/read/
-
47
Di level nasional, muncul-munculnya partai-partai Islam dan
tuntutan untuk mengislaminisasikan Indonesia adalah bagian dari
upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ideologi-idelogi politik
Islam yang pernah dilarang oleh pemerintahan orde baru. Beberapa dari
partai-partai Islam tersebut (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Bulan Bintang) berusaha mengamandemen konstitusi negara dengan
mengusulkan pemunculan kembali ayat 29 dari Piagam Jakarta yaitu
“Melaksanakan Syari’at Islam bagi Pemeluknya”. Namun upaya ini
tidak populer di kalangan umat muslim dan tidak mampu meningkatkan
stabilitas kedua partai tersebut untuk mendominasi pemerintahan pasca
lengsernya orde baru. Mereka tidak hanya ditentang oleh partai-partai
nasionalis, namun juga oleh dua organisasi muslim terbesar di
Indonesia Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.52
Semasa kampanye pemilihan umum legislatif Indonesia 2019,
Partai Solidaritas Indonesia menyatakan penolakan terhadap perda
syariah, perda Injil, atau perda apapun yang berlandaskan agama.
Namun dukungan Perda Syariah disuarakan oleh Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dan organisas Islam Nahdhatul Ulama (NU).53 Ketua
Umum Pengurus Besar (PBNU) Said Aqil Siroj, pihaknya tidak
sependapat dengan PSI yang menolak adanya perda syariah. Said
menilai perda syariah sangat bagus. Sebab dapat dikeluarkan ketika
52
Hefner, “Indonesia: Syari’at Politics and Democtratic Transition .”, 294 53
http://news.detik.com/read/2018/11/26/115100/4317388/103/psi-kontra-perda-syariah
http://news.detik.com/read/2018/11/26/115100/4317388/103/psi-kontra-perda-syariah
-
48
adanya maksiat dalam suatu daerah.54 Sedangkan Direktur pencapresan
PKS Suhud Aliyudin mengatakan Indonesia merupakan negara yang
dihuni penduduk beragama. Fakta itu pun termuat dalam sila pertama
Pancasila. Selain itu, Suhud menilai penolakan PSI terhadap perda
syariah atau perda Injil bertentangan dengan spirit kebangsaan.55
Seperti yang terjadi penerapan perda syariah di Aceh juga
menuai pro kontra di masyarakat. Ketua Partai Solidaritas Indonesia
(PSI) Grace Natalie, dengan lantang menyuarakan bahwa PSI menolak
perda-perda yang berlandaskan agama, baik perda syariah di Aceh
maupun perda Injil di Papua dengan alasan untuk membela
kebhinekaan. Pernyataan tersebut sontak memancing kontroversi
dimasyarakat, terutama di kalangan pendukung perda-perda berbasis
agama khususnya perda syariah. Penolakan terhadap perda agama ini
pun didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia. Perjuangan, perda
syariah menurut PDIP tidak ada, karena semua perundang-undangan
harus turunan dari konstitusi.56
Sementara Sandiaga Salahuddin Uno mendukung penerapan
perda syariah