perdebatan pemikiran hubungan agama dan negara di...

115
PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH KHOIROTUN NISA’ NIM 33030160025 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2020

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN AGAMA DAN

    NEGARA DI INDONESIA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    OLEH KHOIROTUN NISA’

    NIM 33030160025

    PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

    FAKULTAS SYARI’AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2020

  • i

    PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN AGAMA DAN

    NEGARA DI INDONESIA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    OLEH KHOIROTUN NISA’

    NIM 33030160025

    PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

    FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA 2020

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    “Pendidikan berawal dari rasa pahit, namun berbuah manis”

    (Aristoteles)

    “Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan

    pendidikan, anda dapat mengubah dunia”

    (Nelson Mandela)

    “Berpikir adalah kegiatan tersulit yang pernah ada. Oleh karena itu hanya

    sedikit yang melakukannya”

    (Henry Ford)

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Puji Syukur atas kehadirat Allah swt atas limpahan karunia-Nya sehingga dapat

    terselesaikan Skripsi ini yang kupersembahkan terkhusus kepada kedua orang

    tuaku, saudaraku dan seluruh keluargaku, bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah

    IAIN Salatiga, dan tak lupa kepada teman-teman seperjuanganku program Studi

    Hukum Tata Negara (HTN) angkatan 2016.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum Wr. Wb

    Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis pajatkan kehadirat Allah

    swt atas segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi dengan judul “PERDEBATAN PEMIKIRAN

    HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA“

    Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan atas kehadirat junjungan

    kita Nabi Agung Muhammad saw yang telah menuntun kita dari zaman

    kebodohan menuju zaman peradaban dan zaman yang terang benderang seperti

    sekarang ini serta kita nantikan syafaatnya di dunia sampai akhirat kelak.

    Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawwy, M.Ag., Selaku Rektor IAIN

    Salatiga.

    2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

    Salatiga,

    3. Bapak Farkhani, S. HI., M. H. selaku ketua program studi Hukum tata

    Negara (HTN)

    4. Bapak Munajat, M.A., Ph.D. selaku pembimbing skripsi yang telah

    mengarahkan dan membimbing penulis sehingga dapat terselesaikan

    skripsi ini,

  • viii

    5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga yang telah

    mengajarkan berbagai bidang keilmuan,

    6. Bapak dan ibu staf Fakultas Syariah IAIN Salatiga yang telah membantu

    dalam pengurusan lain-lainnya,

    7. Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan

    8. Serta teman-teman mahasiswa studi Hukum Tata Negara angkatan 2016

    yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat satu sama lain.

    Harapan saya semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk pembaca. Penulis

    menyadari bahwa tulisan skripsi ini masih belum sempurna, penulis bersifat

    terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi

    kemajuan dan kesempurnaan tulisan ini.

    Wassalamualaikum Wr. Wb

    Salatiga, 19 Juli 2020

    Khoirotun Nisa’

  • ix

    ABSTRAK

    Khoirotun, Nisa’. 2020. Perdebatan Pemikiran Hubungan Agama dan Negara di

    Indonesia. Fakultas Syariah. Program studi Hukum Tata Negara. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat, M.A., Ph.D.

    Kata Kunci: Agama , Negara

    Skripsi ini merupakan library reserch (studi pustaka) yaitu menelaah literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang didasarkan pada

    sumber-sumber primer, sekunder, dengan teknik pengumpul data. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara menyesuaikan metode yang digunakan,

    kemudian dianalisis secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari perdebatan hubungan

    agama dan negara yang terjadi di Indonesia yakni pada masa sebelum kemerdekaan yang diawali oleh perdebatan Soekarno dan Muhammad Natsir. Soekarno (1901-1970) yang berdiri dalam kelompok kebangsaan netral

    (nasionalis), serta Mohammad Natsir (1908-1993) dari kelompok Islam, keduanya mewakili dari dua kelompok ideologi yang berseberangan, yaitu Kebangsaan dan

    Islam. Soekarno menginginkan bahwa agama dan negara haruslah terpisah sedangkan Natsir berpandangan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, kedua merupakan satu kesatuan. Hingga akhirnya pedebatan

    tentang hubungan agama dan negara dibawa dalam sidang BPUPKI saat pembahasan ideologi yang akhirnya disepakati bahwa Pancasila sebagai ideologi

    bangsa, hingga pada akhirnya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar pada masa Orde Lama. Kemudian pada tahun 1966 agar tidak ada lagi perdebatan mengenai hubungan agama dan negara pada

    awal rezim orde baru dimana Suharto dalam menjalankan pemerintahannya mengeluarkan peraturan dengan menetapkan bahwa Pancasila sebagai asas

    tunggal. Perdebatan muncul akibat diterapkannya pancasila sebagai asas tunggal dalam masa Orde Baru. Bahkan gerakan Islam radikal atau yang sering disebut dengan Islam garis keras mulai menampakkan diri secara terbuka pada dekade

    1990-an dan lebih terbuka lagi pada era reformasi. Hal ini disebabkan karena suasana transisional politik yang makin terbuka dan adanya sedikit kelemahan

    pemerintah, diantaranya FPI, HTI dan MMI. Ketidakpuasannya terhadap hubungan agama dan negara pada masa reformasi, baik FPI, HTI, dan MMI inilah yang menyebabkan mereka menyuarakan khilafah Islam sebagai solusinya.

    Berdasarkan hasil penelitian dalan skripsi ini, sebenarnya perdebatan hubungan agama dan negara teruslah berkembang, bukan hanya tokoh saja yang

    menginginkan khilafah Islam, namun kemunculan ormas yang berbasis Islam juga menyuarakan tegaknya khilafah Islam di Indonesia.

  • x

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... iii

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................................... iv

    MOTTO ......................................................................................................................... v

    PERSEMBAHAN ......................................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii

    ABSTRAK ..................................................................................................................... ix

    DAFTAR ISI ................................................................................................................. x

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................................... 6

    D. Telaah Pustaka .................................................................................................. 6

    E. Penegasan Istilah ............................................................................................... 10

    F. Metode Penelitian .............................................................................................. 11

    1. Jenis penelitian.............................................................................................. 11

    2. Sumber Data ................................................................................................ 12

  • xi

    3. Teknik Pengumpulan Data........................................................................... 12

    4. Analisis Data ................................................................................................ 13

    5. Tahap-tahap Penelitian ................................................................................. 13

    G. Sistematika Pembahasan ................................................................................... 14

    BAB II LANDASAN TEORI

    A. Teori Hubungan Agama dan Negara ................................................................ 16

    BAB III PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI

    INDONESIA

    A. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Sebelum Kemerdekaan ................. 19

    B. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Menjelang Kemerdekaan

    Sampai Pada Masa Orde Lama ......................................................................... 23

    C. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Orde Baru ................... 33

    D. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Reformasi.................... 45

    BAB IV ANALISI PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN

    NEGARA DI INDONESIA

    A. Analisis Perdebatan Hubungan Agama dan Negara di Indonesia ..................... 71

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ........................................................................................................ 75

    B. Saran ................................................................................................................. 76

    C. Penutup.............................................................................................................. 77

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 78

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Membicarakan masalah hubungan agama dan negara adalah

    sesuatu yang menarik, karena bagaimanapun juga agama tetap

    memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama

    merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang

    menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga,

    peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari

    kehidupan masyarakat. Norma-norma agama di pandang sebagai hukum

    efektif untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab karena

    keberadaan agama bagi setiap individu sangatlah penting.

    Sebenarnya, agama di Indonesia diposisikan pada tempat yang

    strategis. Sekalipun disebutkan indonesia bukan sebagai negara yang

    mendasarkan agama, pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian

    luas dan besar terhadap kehidupan agama. Dalam suatu negara tertentu

    agama kemudian menjadi dasar bernegaranya, dalam artian agama yang

    mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang

    diberlakukan didalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk

    memisahkan agama dan negaranya, agama baginya adalah adalah urusan

    keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak

  • 2

    untuk mengurus warganya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula

    agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia.

    Perdebatan tentang hubungan agama dan negara merupakan

    permasalahan lama yang dipertentangkan dalam kalangan para pemikir,

    yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan, baik dikalangan pemikir di

    Eropa Barat atau Timur. Pada tahun 1930-1940 terjadi pergeseran sistem

    pemerintahan di beberapa belahan dunia Islam yang sempat

    mempengaruhi model perjuangan pemuda dan kaum intelektual Indonesia.

    Hal ini berawal dari Persia dan Turki Muda. Jika, dalam pergeseran ini

    Persia berupaya membangun kekaisaran dengan maksud mengembalikan

    masa jaya kekaisaran Persia sebelum Islam, dalam hal ini Turki Muda,

    lewat Kemmal Ataturk, berminat mengganti hukum Syariah dengan kode

    hukum Barat, setelah terlebih dulu melebur sistem Khalifah dengan

    Republik Turki.1 Kamal Ataturk melakukan perubahan sistem

    pemerintahan Turki dengan cara yang cukup radikal. Tetapi tindakan

    kamal Ataturk ini segera mendapatkan pertentangan dimana-mana.

    Beberapa pendukung utama Kamal Ataturk bahkan mengadakan gerakan

    bawah tanah untuk mengulingkannya.

    Berawal dari hal inilah gagasan Soekarno tentang pemisahan

    agama dan negara yang diinspirasi oleh kasus Turki Muda, dan kasus

    tersebut mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Soekarno mencoba

    1Mukti AH, islam dan sekularisme di Turki Modern, Jakarta :Djambatan, 1994, h. 15

  • 3

    merespon secara positif gerakan Turki Muda tersebut. Pada tataran

    konseptual Soekarno bersikap keras untuk memisahkan agama dan negara

    dengan argumen-argumen yang dapat dipahami. Hal ini diilhami oleh

    kondisi sosio-historis negara-negara yang menyatukan agama dengan

    banyak melakukan penyimpangan yaitu menjual agama untuk kepentingan

    negara, dimana rakyat ditekan oleh penguasa politik dengan

    mengatasnamakan agama.

    Pada zaman pergerakan nasional , waktu Belanda masih menjajah

    nusantara pada tahun 1930 sampai 1942 yang paling legendaris adalah

    perdebatan Soekarno dan Natsir. Natsir berkeinginan mendirikan negara

    nasional berdasarkan Islam justru karena dia seorang demokrat sejati.

    Dalam pandangan Natsir, umat Islam ada 80% maka wajar kalau Natsir

    menginginkan negara Islam. Hal ini dibantah oleh Soekarno yang

    mengatakan bahwa agama Islam pada bangsa Indonesia hanyalah lapisan

    tipis belaka dari keyakinan orang-orang Islam. Kalau lapisan itu dikelupas

    maka akan terlihat sebagian besarnya adalah animisme dan dinamisme.

    Perdebatan terbuka juga terjadi antara Soekarno dan Haji Agus

    Salim, tokoh tua yang disegani semua orang. Soekarno jelas menginginkan

    nasionalisme sekuler setelah Indonesia merdeka nanti. Sementara itu Agus

    Haji Salim menolak pendapat Soekarno karena khawatir itu sangat rentan

    terjatuh pada ultra nasionalisme. Agus Salim menginginkan nasionalisme

    Islam, karena lebih bersifar universal.

  • 4

    Perdebatan hubungan agama dan negara berikutnya berlanjut

    dalam sidang BPUPKI ketika masalah ideologi mulai disinggung, iklim

    politik menjadi sangat hangat.2 Proses pembentukan dan mempertahankan

    kedaulatan negara, seperti Indonesia, telah menimbulkan pertarungan

    kepentingan dari berbagai kelompok yang saling bersaing memperebutkan

    kekuasaan dan pengaruh. Persaingan ini pada gilirannya melibatkan

    pertarungan kelompok ideologi utama yang tumbuh sejak zaman

    pergerakan. Dimulai dari perseturuan kelompok Islam dan sekuler dengan

    gagasan organisasi dan institusi modern telah menghasilkan beragam

    pandangan dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Meskipun sudah

    diputuskan bahwa Pancasila adalah jalan tengah untuk mengakomodasi

    titik ekstrim hubungan agama dan negara namun sampai saat ini pendapat

    Soekarno maupun Natsir masih tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh

    aktor yang berbeda dan tentu dengan kepentingan yang berbeda-beda pula.

    Persoalan hubungan antara agama dan negara menjadi polemik

    yang tetap menarik dan tetap berlanjut sampai saat ini, polemik tersebut

    sebenarnya tidak didasarkan pada kenyataan empirik atau tidak punya

    dasar sosiologis, tetapi polemik tersebut lebih hanya diakibatkan oleh

    adanya kekhawatiran dari kalangan intelektual dan para tokoh pemikir

    terhadap adanya penyelewengan agama untuk kepentingan politik.

    2 Risalah BPUPKI, Panitia Persiapan Kemerdekaan indonesia(PPKI), 28 Mei-22 Agustus

    1945, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1945), h. 80-81. Keterangan ini juga dapat dilihat: Wawan

    Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali pancasila “Kumpulan Pidato”, (Jakarta : PT Gramedia

    Pustaka Utama, 2000), h. 28-29.

  • 5

    Keistimewaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk

    menuangkan pemikiran-pemikiran para tokoh dari awal mulai perdebatan

    yang terjadi di Indonesia hingga saat ini . Maka dalam hal inilah

    pemikiran-pemikiran tersebut akan peneliti tuangkan dalam bentuk suatu

    penelitian yang diberi judul “Perdebatan Pemikiran Hubungan Agama

    dan Negara di Indonesia”

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana perdebatan pemikiran hubungan agama dan negara di

    Indonesia ?

    2. Bagaimana perdebatan hubungan agama dan negara bisa terjadi ?

    C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Dalam menjalankan setiap kegiatan terutama yang berkaitan

    dengan penelitian, pasti memiliki tujuan di dalamnya. Hal ini

    bertujuan agar peneliti bisa melakukan kegiatan tanpa keluar dari

    tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. adapun tujuan

    penelitian adalah sebagai berikut :

    a. Untuk mengetahui bagaimana perdebatan hubungan agama dan

    negara di Indonesia

    b. Untuk mengetahui bagaimana perdebatan hubungan agama dan

    negara bisa terjadi

  • 6

    D. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu memberikan

    manfaat, baik teoritis maupun manfaat praktis :

    1. Manfaat Teoritis :

    Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penambahan ilmu

    pengetahuan dan pemahaman kepada para mahasiswa dan

    masyarakat luas pada umumnya, terkait perdebatan pemikiran

    hubungan agama dan negara di indonesia

    2. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan

    pengetahuan bagi semua pihak yang memerlukan untuk bahan

    penelitian yang sama selanjutnya.

    E. Telaah Pustaka

    Tinjauan pustaka ini menggemukakan tentang penelitian-penelitian

    terdahulu yang berkenaan dengan masalah yanga akan dibahas.

    Dwi Siswoyo (2002) Bung karno tentang Pancasila sebagai dasar

    negara. Dalam skripsi ini Pancasila lahir dari kecerdasan dan

    kemampuan intelektual tinggi, dengan ijtihad politiknya Soekarno

    hingga menggali dari berbagai arus pemikiran nasionalisme, sosialisme,

    kapitalisme, dan paham keagamaan.

    Akbaruddin AM (2003) S.M. Kartosuwirjo tentang Agama dan

    Negara. Dalam penelitian jurnal ini agama dan negara dalam

    pandangan Kartosuwiryo tidak boleh dipisahkan karena syariat Islam

  • 7

    telah mengatur segala urusan tanpa terkecuali, baik mengenai hubungan

    manusia dengan penciptanya.

    Budi Prayetno (2003) Agama dan negara dalam konsep

    sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam skripsi ini dimaksudkan

    bahwa konsep sekularisasi untuk “membedakan” bukan

    “memisahkan” persoalan dunia dan akhirat. Dengan kata lain

    Nurcholish mencoba memberikan penafsiran baru mengenai istilah

    tersebut. Di sini istilah sekularisasi digunakan sebagai sarana untuk

    membumikan ajaran Islam, karena pada dasarnya sekularisasi dan

    sekularisme berbeda.

    Diyah Khuniyati (2006) dalam skripsinya yang berjudul,

    Muhammad. Natsir Dalam Pengembangan Islam di Indonesia.

    Skripsi ini mengulas kegelisahan M. Natsir terhadap fenomena

    kehidupan beragama di Indonesia yang terpuruk akibat kolonialisme

    akibat yang diberikan dari kolonialisme adalah kecenderungan

    memandang lebih terhadap bangsa asing dari pada bangsa sendiri

    Zudi Setiawan (2008) MMI dan formalisasi Syariah pada era

    Reformasi. Dalam penelitian jurnal ini MMI memiliki pandangan

    bahwa dalam Islam terdapat ajaran yang menyeluruh (total), mulai

    dari penyucian diri (individu) sampai pada mengatur masyarakat dan

    negara atau politik.

    Muhammad Zuhri (2010) Pergulatan Islam dan Negara Periode

    Asas Tunggal Pancasila. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa tidak

  • 8

    mengherankan jika pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan untuk

    membatasi kekuatan Islam politik. Salah satunya UU tentang organisasi

    Massa, menetapkan bahwa semua partai politik dan organisasi massa

    hanya menganut asas tunggal Pancasila. Hal itupun menuai perdebatan

    dan perpecahan antar organisasi.

    Machfud Syaefudin (2014) Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front

    Pembela Islam. Dalam penelitian skripsi ini latar belakang situasi

    sosial-politik berdirinya FPI adanya penderitaan panjang yang di

    alami umat Islam Indonesia Kegagalan aparat negara untuk

    menegakkan hukum dan menjamin ketertiban masyarakat adanya

    kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menegakkan amar ma’ruf

    nahi munkar.

    Arfansyah (2015) Implikasi Pemberlakuan Perda Syari’at

    Terhadap Ideologi Negara Indonesia. Dalam penelitian skripsi ini

    penerbitan Perda-perda tersebut bertujuan untuk menghidupkan

    kembali kebudayaan lokal masing-masing daerah. Para sejarawan

    mencatat bahwa dampak penyebaran Islam ke Nusantara melalui

    berbagai media seperti budaya dan sufisme adalah penyatuan ajaran-

    ajaran Islam ke dalam budaya lokal.

    Zainuudin (2016) Konsepsi agama dan negara dalam pandangan

    Kahar Muzakkar. Dalam skripsi ini membahas konsep agama dan

    negara dalam pandangan Kahar Muzakkar sama dengan Kartosuwiryo,

    yakni yang tidak ingin memisahkan agama dan negara. Karena dalam

  • 9

    islam sendiri tidak ada istilah agama dan negara dipisahkan dan dalam

    menetapkan dasar negara dan sistem pemerintahan disebabkan oleh

    demokrasi Soekarno dianggap sebagai demokrasi gadungan sebagai

    penerus kerajaan Majapahit.

    Susilo Rahman (2016) Agama dan Negara ; Reaktualisasi

    Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali. Dalam skripsi ini

    pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak hanya melewati

    proses yang alot dan polemik keras. Untuk itu Munawir juga

    mengajak umat Islam untuk menerima negara Indonesia berdasarkan

    Pancasila, sebagai sasaran terakhir aspirasi politik, bukan sasaran

    sementara untuk mencapai sasaran- sasaran lainnya

    Saeful Arief (2016) Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan di

    Indonesia. Dalam jurnal penelitian Saeful Areif HTI menginginkan

    sistem pemerintahan khilafah Islamiyah dan formalisasi pelaksanaan

    syariat Islam di Indonesia hanya bisa tegak bila negeri ini dipimpin

    oleh sistem.

    Sri Pajriah (2017) Agama dan Negara menurut Soekarno dan

    Natsir. Dalam penelitian jurnal ini Soekarno dan Natsir telah

    melakukan polemik tentang Islam dan Negara dalam sebuah artikel

    Panji Islam yang memisahkan agama dan negara sebagaimana

    dikemukakan oleh kemal pada tahun 1928, hal ini mendapat kritik dari

    Natsir dengan melontarkan keheranan Soekarno yang mengagungkan

    Kamal dengan memisahkan agama dan negara.

  • 10

    Bahwasannya dalam penelitian yang ada diatas sebelumnya tidak

    membahas hubungan agama dan negara yang mengaitkan dari masa

    ke masa.

    F. Penegasan Istilah

    1. Agama

    Agama berasal dari kata bahasa Sansekerta yang artinya haluan,

    peraturan jalan atau kebangkitan kepada Tuhan. Kata agama terdiri

    dari dua kata yaitu A berarti tidak, sedangkan GAMA artinya kacau

    balau, tidak teratur. Jadi agama berarti tidak kacau balau. Dari

    pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu

    adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan atau jalan yang telah

    dilimpahkan Tuhan dan di jiwai oleh semangat kebaktian kepada

    Tuhan.

    2. Negara

    Yang terakhir adalah kata Negara. Istilah Negara diterjemahkan

    dari bahasa asing: staat (bahasa Belanda dan Jerman), state (bahasa

    Inggris), etat (bahasa Prancis). 3 Menurut Miriam Budiardjo, setelah

    merujuk berbagai pendapat, menyimpulkan bahwa negara adalah

    suatu daerah teritorial yang rakyatnya di perintah oleh sejumlah

    penjabat (pemerintah) yang berusaha menuntun warga negaranya taat

    3F. Isjwara. Pengantar ilmu politik (Bandung : Bina cipta, 1980), 90.

  • 11

    pada perundang-undangan melalui penguasaan control monopolis dari

    kekuasaan yang sah.4

    Selain itu, ada yang mendefinisikan negara sebagai pemerintah

    saja, yaitu lembaga pemerintahan. Barang kali di sini juga di

    masukkan lembaga militer dan kepolisian. Ada yang mendefinisikan

    negara sebagai system pemerintahan. Jadi bukan saja lembaga

    eksekutif, tetapi juga lembaga legislative, yudikatif, militer dan

    kepolisian.5

    G. Metode Penelitian

    Jenis penelitian ini bersifat deskritif analisis yang memberikan

    gambaran tentang perdebatan hubungan agama dan negara yang diawali

    oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Natsir sampai dengan masa sekarang

    ini. Metode deskritif lebih memusatkan perhatian pada penemuan fakta-

    fakta sebagaimana keadaan sebenarnya, dan data yang dikumpulkan mula-

    mula disusun, dijelaskan dengan analisa, kemudian menjelaskan prosedur

    pengumpulan data, serta pengawasan dan penilaian pada fakta tersebut.

    1. Jenis Penelitian

    Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,

    sehingga dalam metode ini akan dikaji dari berbagai sumber

    kepustakaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan

    4Meriam Budiardjo. Dasar-dasar ilmu politik (Bandung : Gramedia, 1982), 40.

    5Aminuddin. Kekuatan Islam dan pergulatan kekuasaan di Indonesia sebelum dan

    sesudah runtuhnya rezim Soeharto (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), 19-20.

  • 12

    dibahas dalam penelitian ini, baik berupa kajian Pustaka/dokumen

    baik jurnal/artikel.

    2. Sumber Data

    a. Data Primer

    Sumber data primer yang berkaitan dengan perdebatan

    pemikiran hubungan agama dan negara di Indonesia adalah buku,

    tulisan asli para tokoh, seperti Soekarno “Dibalik Bendera

    Revolusi” dan Natsir dalam bukunya “Islam sebagai Ideologi”

    Munawir Sadzali dalam bukunya “Islam dan tata Negara : Ajaran

    sejarah pemikiran 1993. Abdul Qahhar Mudzakkar dalam

    bukunya, “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi

    Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno. Dan Nurcholis Madjid

    dalam bukunya “Cita-Cita Politik Kita”.

    b. Data Sekunder

    Sumber data sekunder yang berkaitan dengan perdebatan

    pemikiran hubungan agama dan negara di Indonesia adalah

    melalui penelitian yang sebelumnya yang sudah membahas tema-

    tema yang berkaitan dengan penelitian ini.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Dalam Rangka Untuk memperoleh data, penulis menggunakan

    metode penggumpulan data sebagai berikut :

  • 13

    a. Dokumentasi

    Peneliti mengumpulkan berbagai jurnal, artikel mengenai

    penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian.

    4. Analisis Data

    Dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

    menggunakan analisis data kualitatif, yakni menganalisis data yang

    ada, dikumpulkan, setelah data terkumpul, maka data tersebut akan

    dipilah dalam setiap tahapan perdebatan berdasarkan periode waktu,

    yaitu : (1) Era perdebatan Soekarno dan Natsir sebelum kemerdekaan

    (2). Pasca Soekarno dan Natsir Era Orde Lama ( kedua tokoh masih

    hidup dan soekarno masih menjadi Presiden), (3). Era Orde Baru dan

    (4). Era Reformasi hingga saat ini.

    Data akan dibandingkan mana isu yang terus sama dan berbeda

    dari masa ke masa tentang hubungan agama dan negara. Kemudian

    akan dipilah juga, siapa aktor, baik itu perorangan atau institusi yang

    turut dalam mendiskusikan perdebatan tersebut di publik. Terakhir,

    akan ditarik kesimpulan tentang dinamika polemik hubungan agama

    dan negara dari masa ke masa.

    5. Tahap-tahap Penelitian

    Langkah yang diambil peneliti untuk memulai penelitian ini

    adalah dengan menentukan atau memilih topik penelitian, pencarian

  • 14

    sumber-sumber dan prosedur pengumpulan data, menganalisis data

    yang ada dan melakukan penulisan laporan.

    H. Sistematika Pembahasan

    Adapun dalam penelitian hasil laporan penelitian adalah sebagai

    berikut :

    BAB I PENDAHULUAN

    Bab 1 merupakan garis-garis besar pembahasan isi pokok penelitian yan

    terdiri atas : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

    manfaat penelitian, tinjauan pustaka, penegasan istilah, metode

    penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, sumber

    data, prosedur pengumpulan data, analisis data, tahap-tahap penelitian

    dan yang terakhir adalah sistematika pembahasan.

    BAB II LANDASAN TEORI

    Bab ini akan membahas tentang landasan teori hubungan agama dan

    negara.

    BAB III PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI

    INDONESIA

    Bab ini akan membahas perdebatan hubungan agama dan negara

    sebelum kemerdekaan, perdebatan hubungan agama dan negara pada

    masa orde lama, perdebatan agama dan negara pada masa orde baru,

    perdebatan hubungan agama dan negara pada masa reformasi.

  • 15

    BAB IV ANALISI PERDEBATAN PEMIKIRAN HUBUNGAN

    AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

    Bab ini akam membahas tentang analisis perdebatan hubungan agama

    dan negara di Indonesia yakni pada masa sebelum kemerdekaan sampai

    masa reformasi hingga saat ini.

    BAB V PENUTUP

    Bab ini merupakan bagian akhir dari isi pokok penelitian yaitu

    kesimpulan dan saran. Selanjutnya pada bagian akhir memuat daftar

    pustaka, lampiran- lampiran dan riwayat hidup penulis.

  • 16

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Teori Hubungan Agama dan Negara

    Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern merupakan

    salah satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir

    Islam yang sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas. Hal ini

    dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang. Fenomena yang

    mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep

    negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu

    negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-

    sama dan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Di sini otoritas

    politik memiliki urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam

    bentuk institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di

    antara kaum muslimin merasa perlu untuk merumuskan konsep negara.6

    Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori

    tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis

    besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma

    integralistik (unifed paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic) dan

    paradigma sekularistik (secularistic paradigm).7

    Paradigma pertama menyatakan bahwa hubungan antara agama

    dan negara tidak dapat dipisahkan integralistik (unifed paradigm).

    6 Kamaruzzaman, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.,h. 10.

    7Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma berarti model dalam teori ilmu

    pengetahan, kerangka berpikir. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

    2002, h. 828.

  • 17

    Asumsinya ditegakkan di atas pemahaman bahwa Islam adalah satu

    agama sempurna yang mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen

    kehidupan manusia, termasuk di bidang praktik kenegaraan. Oleh karena

    itu, umat Islam berkewajiban untuk melaksanakan sistem politik Islami

    sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan empat al-

    Khulafa' al-Rasyidin. Dalam pandangan ini menghendaki agar negara

    menjalankan dwi fungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik

    dan keagamaan. Dan menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu

    pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk

    kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab dalam penyandang

    kedaulatan yang paling hakiki adalah Tuhan. Pandangan ini mengilhami

    gerakan fundamentalisme.8 Tokohnya seperti: Syekh Hasan al-Bana,

    Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb, Abu al-A'la al-Mawdudi dan 'Ali al-

    Nadwy.

    Paradigma kedua berpendirian bahwa agama dan negara

    berhubungan secara simbiotik , yakni antara keduanya terjalin hubungan

    timbal-balik atau saling memerlukan. Dalam kerangka ini, agama

    memerlukan negara, karena dengan dukungan negara, agama dapat

    berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama

    menyediakan seperangkat nilai-nilai dan etika untuk menuntun

    perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari

    belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan

    8 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, Jakarta,

    2014, h. 58.

  • 18

    sekularistik. Pada dasarnya paradigma ini melahirkan gerakan

    modernisme dan neo-modernisme.9 Tokohnya seperti : Husayn Haykal,

    Fazlur Rahman, Qamaruddin Khan dan Al-Mawardy.

    Paradigma ketiga adalah pandangan sekularisme. Menurut

    paradigma ini, agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda,

    sehingga tidak dapat dikaitkan secara timbal-balik. Islam dimaknai

    menurut pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah agama

    sebatas mengatur hubungan individu dan Tuhan. Sehingga untuk

    mendasarkan agama kepada Islam atau upaya untuk melakukan

    determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari negara akan senantiasa

    disangkal. 10Tokohnya adalah : Kamal Ataturk, Thoha Husein, Aliy

    'Abd. ar-Raziq

    9Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

    Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2008, h. 13. 10

    Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2013, H. 15.

  • 19

  • 19

    BAB III

    PERDEBATAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI

    INDONESIA

    A. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Sebelum Kemerdekaan

    Persoalan yang menarik pada masa ini adalah wacana dan perdebatan

    terhadap konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam sebagai

    dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan

    hukum lain yang juga berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.

    Polemik Soekarno dan Natsir yang secara langsung berbicara tentang

    hubungan agama dan negara dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis

    Soekarno di Panji Islam pada tahun 1940. Judul tulisan tersebut adalah

    “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara”. Namun, Sebelumnya

    Soekarno juga pernah menulis sebuah ikhtisar penting dalam melihat

    masalah ini. Tulisan tersebut berjudul“Memudahkan pengertian Islam”.

    Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas

    Mansur yang berjudul “Memperhatikan Gerakan Pemuda” di dalam

    Majalah Adil dan Panji Islam berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam

    yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-pengertiannya. Dalam

    tulisannya Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu

    diperbaharui karena tidak adanya ijma’ dan tidak dipertahankan secara kolot

    sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu menyesuaikan dengan kultur dan

    perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan.11 Selain itu

    dalam tulisan Soekarno ini juga menyinggung hubungan negara dengan

    11

    Soekarno, “Me-Muda-kan Pengertian Islam”. dalam Sukarno, Dibawah Bendera

    Revolusi, hal. 370.

  • 20

    agama, yaitu demi kebaikan bahwa agama dan negara keduanya harus

    dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal Ataturk pada tahun

    1928.

    Kemudian tulisan Soekarno ditanggapi oleh Natsir dengan nama

    samaran A. Muchlis dalam Majalah al-Mannar dan Panji islam dengan

    judul “Persekot” dengan melontarkan keheranan Soekarno yang

    mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan negara dengan agama,

    dan mengapa pula Soekarno untuk menolak persatuan negara dan agama

    dengan alasan tidak ada ijma’, maka dalam tulisan Natsir ini membalik

    logika Soekarno tentang ijma’ dengan mananyakan, kalau tidak ada ijma’

    tentang persatuan negara dan agama, maka adakah ijma’ tentang

    keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena itu

    pandangan Soekarno ini ditolak dan tidak dapat diterima karena tidak

    adanya ijma’. 12

    Selanjutnya bahasan tentang hubungan Islam dan negara ditelaah

    lebih rinci di dalam sebuah artikel “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama

    dan Negara”. Ada beberapa poin penting dalam pemikiran Soekarno atas

    relasi Islam dan negara dalam artikel tersebut. Pertama, Islam harus

    dipisahkan dari negara. Kedua, tidak adanya konsep negara Islam. Ketiga,

    Islam tetap penting dalam dominan kehidupan bukan kenegaraan. Tidak

    relevannya gagasan negara Islam menurut Soekarno juga gagasan ini

    bukan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Menurutnya dulu Nabi

    12

    A. Mukhlis (nama samaran M. Natsir), “Tjinta Agama dan tanah Air, Bersimpang Dua

    dan Berpahit-pahit”, yang dimuat dalam majalah Pandji Islam, No. 7 (13 Februari 1939),

    sebagaimana dikutip Deliar Noer (1980; 298).

  • 21

    hanya mendirikan satu agama saja bukan mendirikan negara yang

    berlandaskan agama, bukan pula kewajiban mendirikan satu pemerintahan

    khilafah atau satu kepala umat untuk urusan negara.13 Banyak ulama

    mengatakan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan negara agama. Selain

    berdasarkan pandangan historis, Soekarno membandingkan beberapa

    negara Barat seperti Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris, Amerika

    Serikat yang memisahkan urusan agama dan negara.14 Soekarno juga

    melihat realitas negara Indonesia yang heterogen. Kemajemukan negara

    ini akan cidera bila Islam diterapkan secara ketat. Asas persatuan negara

    dan agama bagi negeri yang penduduknya 100% Islam tidak bisa

    berbarengan dengan demokrasi. Untuk negara demikian itu hanyalah dua

    alternatif yaitu persatuan negara-agama, tatapi zonder demokrasi, atau

    demokrasi tetapi negara dipisahkan dari agama. 15

    Menanggapi pemikiran Soekarno tersebut, Natsir mengkritik

    Soekarno yang dinilai gagal menggambarkan negara Islam yang

    sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki menurut

    Soekarno adalah negara Islam, tetapi Natsir menilai kekhilfahan itu tidak

    mencerminkan negara Islam sebab membiarkan rakyat dibelenggu

    kebodohan dengan memakai Islam dan segala ibadatnya sebagai temeng

    belaka. Sesungguhnya Islam dan negara tidak pernah bersatu seperti yang

    dikritik kemal dan Soekarno, sehingga Islam harus dipisahkan dari negara

    13

    Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, Dalam Sukarno, Dibawah

    Bendera Revolusi, hal. 406. 14

    Ibid.,, hal. 407.

  • 22

    agar negara menjadi kuat. Natsir mengatakan “Pemerintahan yang zalim

    dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan

    negara bersatu. Pemerintahan seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan

    “memisahkan agama” seperti yang dikatakan Soekarno, sebab memang

    agama sudah lama terpisah dari negara yang seperti itu”. Natsir juga

    berpendapat bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Islam harus

    menjadi landasan negara. Negara adalah alat untuk mewjudkan nilai-nilai

    Islam. Natsir berpegang teguh pada apa yang dikatan al-Qur’an agar setiap

    orang yang beriman kepada Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan

    secara Islami. “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam

    Islam secara keseluruhannya”. Prinsip lain yang dipegang Natsir sebagai

    seorang Islam yang taat, “Dan kami tidak menjadikan jin dan manusia,

    melainkan supaya mereka menyembah aku”.

    Dari pemahaman ini menurut Ahmad Syarif Ma’arif, Natsir ingin

    menjadi hamba Allah yang sepenuhnya, yakni hamba yang mencapai

    kejayaan dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang muslim tidak bisa

    melepaskan keterlibatannya begitu saja dalam politik tanpa memberi ruang

    bagi Islam.16 Apa yang dikhawatirkan oleh Natsir sebenarnya adalah

    apabila Islam dipisahkan dari urusan negara maka akan terjadi hukum

    islam yang ditinggalkan. bagaimana undang-undang Islam dapat berlaku

    apabila tidak ada kekuasaan negara yang melaksanakan agar undang-

    16

    Ahmad Syarif Maarif, islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang

    Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 130.

  • 23

    undang yang variatif dari berbagai sisi dan eleboratif, bukan hasil

    pemaksaan satu golongan terhadap golongan lain.

    Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir diatas

    memberikan gambaran adanya pertentangan tajam antara kedua tokoh

    tersebut. Soekarno yang menegaskan bahwa agama dan negara tidak dapat

    disatukan, keduanya harus dipisahkan. Sementara Natsir, menilai bahwa

    Agama dan negara harus disatukan , sebab Islam tidak seperti agama-

    agama lainnya sebab Islam merupakan agama yang mencakup persoalan

    kenegaraan.

    B. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Menjelang Kemerdekaan

    sampai Orde Lama

    Perdebatan hubungan agama dan negara berikutnya terjadi saat

    pembahasan tentang ideologi secara formal di Badan Penyelidik Usaha-

    Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April

    1945. yang terdiri dari 68 orang dimana 60 diantaranya bersala dari

    Indonesi aktif sementara 8 sisanya adalah berasal dari pihak Jepang yang

    disebut anggota pasif. Untuk perumusan pembentukan dasar negara Pada

    sidang BPUPKI yang telah berlangsung, terjadi proses perbedaan pendapat

    yang dipengaruhi oleh tiga ideologi. Pertama ideologi kebangsaan, kedua

    ideologi islam dan ketiga ideologi komunisme. Aspirasi dari kalangan

    Islam ketika itu adalah memandang Islam sebagai ideologi negara,

    sedangkan dari kaum Sekuler menempatkan asas kebangsaan sebagai

  • 24

    ideologi negara termasuk golongan komunis yang mendukung ideologi

    atau dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama.

    Untuk perumusan dasar negara, ketika itu para wakil rakyat Indonesia

    dapat dibagi atas dua kelompok besar, yakni mereka yang mengusulkan

    Islam sebagai dasar negara dan mereka yang mengajukan agar Indonesia

    berdasarkan kebangsaan, termasuk golongan komunis yang mendukung

    dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama.17 Kelompok sekuler

    ini diwakili oleh para tokoh, seperti Ir. Soekarno, Dr. Radjiman ,

    Muhammad Hatta, Profesor Soepomo, Muhammad Yamin,

    Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso dan Dr. Buntaran Martoatmodjo,

    semua tokoh ini adalah hasil didikan Barat. Sedangkan dari kelompok

    pembela Islam diwakili oleh tokoh terkemuka, seperti Muhammad Natsir,

    Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Sanusi, kahar Muzakkar dan K.H. A.

    Wachid Hasyim.18 Kalangan agamis menyakini bahwa agama dan politik

    tidak dapat dipisahkan (integral) .

    Soekarno dari kalangan nasionalis kebangsaan berpendapat,

    bahwa agama harus dipisahkan dari negara, karena untuk menjaga

    kemurnian, kesucian dan keilahian Islam dari tabiat manusia yang rusak

    budi pekertinya. Ketidak setujuan Soekarno dalam mengintegrasikan

    agama dan negara bukan untuk mendurkai Islam tetapi justru agar Islam

    17

    komunisme hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena peristiwa

    pemberontakan yang pernah dilakukannya, yaitu pada tahun 1926 di jawa Barat pada tahun 1927

    di Sumatra. Dengan peristiwa tersebut, maka dialog ideologis selanjutnya hanya melibatkan dua

    kelompok, yakni Kelompok Islamis dan Sekuler. 18

    Ahmd Suhelmi, Polemik Negara Islam:Soekarno versus Natsir, (Jakarta : Teraju,

    2001);h. viii

  • 25

    dapat lepas dari belenggu yang menghalangi kemajuannya. Menanggapi

    pendapat Soekarno, Natsir mengatakan bahwa Islam tidak mengenal

    pemisahan agama dan negara. Lebih lanjut, Natsir berkata bahwa

    kemajuan adalah berhimpunnya kejayaan dunia dan kemenangan akhirat

    dan hidup duniawi dengan hidup rohani tidak bisa dipisah dalam ideologi

    Islam, walaupun demikian, Soekarno tetap teguh pada pendapatnya. 19

    Setelah tiga hari perdebatan tajam itu terus berlanjut, maka pada

    tanggal 1 Juni 1945, soekarno menyampaikan gagasan dalam pidatonya,

    yang kemudian menjadi amanat terkenal dengan sebutan lahirnya

    Pancasila. Soekarno menawarkan lima prinsip sebagai jalan keluar bahwa

    negara Indonesia bukan negara agama dan juga buka pula negara sekuler,

    tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.

    Menurt Kahim, Soekarno menggali lima dasar Pantja Sila, yang

    dirasakan akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar falsafah

    suatu Indonesia yang merdeka. Soekarno menggali dari berbagai arus

    pemikiran barat dari nasionalisme, sosialisme, kapitalisme dan paham

    keagamaan, yang disintesiskan menjadi apa yang disebut Pancasila. 20Ia

    melakukan ini dengan penuh semangat, mengungkapkan gagasan-gagasan

    yang merupakan inti dari pemikiran politiknya selama 20 tahun, yang

    dikemukakannya dengan beberapa tambahan dan beberapa tekanan baru,

    dalam bentuk lima prinsip dasar, yakni Pancasila.

    19

    Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 154.

    20Musa Asy’arie, NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan , (Yogyakarta, LESFI, 2005),h.

    43.

  • 26

    Pencetusan ide Pancasila berawal dari idenya tentang persatuan

    bangsa yang memiliki banyak aliran pemikiran, suku, agama dan

    keanekaragaman masyarakat. Soekarno sangat yakin Pancasila sebagai

    landasan filosofi negara akan mampu merangkul semua aliran yang

    berbeda-beda dan memungkinkan terwujudnya persatuan, yang ia

    dambakan. Sehingga ia ingin menetapkan asas bersama, agar dengan asas

    tersebut bangsa Indonesia dapat bersatu dan saling menerima. Istilah

    Pancasila ditukil dari bahasa sansekerta, yaitu panca artinya lima dan sila

    artinya prinsip.

    Sebelum dibakukan sebagai dasar negara. Pancasila mengundang

    kontroversi tentang siapa yang sesungguhnya merumuskan, karena

    sebelum Soekarno pidato pada tanggal 1 Juni 1945 Muhammad Yamin

    (1903-1962) dan Soepomo pada sidang pertama lebih dahulu menawarkan

    lima prinsip yang digunakan sebagai dasar negara. Gagasan Muhammad

    Yamin (29 Mei 1945) Peri Kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri

    Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan rakyat. Kemudian

    Soepomo menyampaikan pidatonya di depan seluruh anggota BPUPKI

    pada tanggal 31 Mei, hanya berselang dua hari setelah penyampaian pidato

    Muhammad Yamin. Gagasan Soepomo (31 Mei 1945) yakni, Persatuan,

    Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, Keadilan Sosial.

    Kemudian Soekarno mendapat kesempatan menyampaikan gagasan atau

  • 27

    pendapatnya di depan anggota BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.21 Ia

    berusaha menepati permintaan ketua BPUPKI Radjiman Widyodiningrat

    untuk mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka. Gagasan Soekarno

    pada tanggal 1 Juni 1945 yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme

    dan peri kemanusiaan, Mufakat dan Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan

    yang terakhir Ketuhanan yang Maha Esa. Kelima hal ini oleh bung Karno

    diberi nama Pancasila.

    Selesai sidang pembahasan dasar negara, maka selanjutnya pada hari

    yang sama 1 Juni 1945 Soekarno membentuk panitia kecil yang terdiri dari

    sembila orang yakni yaitu: Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis,

    K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H.

    Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. Muh. Yamin. Tugas panitia ini

    adalah untuk merumuskan kembali berdasarkan pidato Soekarno dan

    mempergunakan teks tersebut untuk memproklamasikan Indonesia

    Merdeka.

    Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil

    membentuk sebuah rumusan yang kemudian terwujud dalam istilah

    Muhammad Yamin dengan sebutan “The Jakarta Charter” (Piagam

    Jakarta), sedangkan Soekiman menyebutkan sebagai Gentlemen

    Agreement (semacam perjanjian luhur) yang ditandatangani pada tanggal

    21

    Pidato tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian tanggal tersebut

    diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

  • 28

    22 Juni 1945. Segera setelah Piagam Jakarta terbentuk pada tanggal 10 Juli

    1945 dalam disang BPUPKI.

    Pancasila dalam preambul ini belum sepenuhnya dijadikan hasil

    kesepakatan untuk dijadikan dasar negara Indonesia, dikarenakan, dalam

    Piagam jakarta terdapat tujuh kata sakral bagi umat Islam, yaitu “dengan

    kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh

    kata inilah yang menjadi bahan sorotan, baik golongan non Islam maupun

    golongan Islam sendiri. Oleh karena itu, pembahasan banyak terpusat pada

    kata-kata tersebut. Sehari setelah adanya kesepakatan kata tersebut yakni

    pada tanggal 11 Juli 1945 Latuharhari seorang protestan dan anggota

    badan penyelidik meyatakan keberatan atas tujuh kata sakral tersebut,

    “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”.22 Kemudian

    untuk mengatasi hal tersebut maka disepakatilah untuk menghapus tujuh

    kata sakral “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

    pemeluknya”, dan menambahkan “Yang Maha Esa”, setelah kata

    “Ketuhanan”. Asas Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 itulah yang

    dianggap resmi hingga sekarang, walaupun dalam perjalannaya mengalami

    berbagai persoalan fundamental. 23

    Disisi Lain Kartosuwiryo tidak terima Indonesia menjadi negara

    Sekuler. Dia memberontak keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan

    22

    Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 , h. 32. 23

    Yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan

    Indonesia, Keadilan yang di Pimpin Oleh hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan

    Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

  • 29

    Indonesia karena menganggap falsafah bangsa menutup ruang penerapan

    hukum syariat. Awal kekecewaan Kartosuwirjo adalah ketika tujuh kata

    dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan kewajiban menjalankan

    syariat Islam bagi pemeluknya dicoret oleh Hatta.24 Peristiwa pencoretan

    itu merupakan pukulan terberat bagi umat Islam dalam kehidupan

    berbangsa dan bernegara. Dalam pandangan Kartosuwirjo pencoretan itu

    merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan

    nasionalis sekuler di saat negara baru saja dilahirkan. Benih-benih

    perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh.

    Sementara tiga hari sebelum Indonesia memproklamirkan

    kemerdekaannya, Kartosuwirjo memproklamirkan negara Islam yang

    merdeka pada tanggal 14 Agustus 1945 di Jawa Barat setelah Jepang

    menyerah kepada Sekutu. Namun, setelah Indonesia diproklamirkan oleh

    Soekarno–Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwirjo kembali

    memihak kepada Republik Indonesia.25 Pasca diproklamirkannya

    kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1948 setelah ditariknya Divisi

    Siliwangi dari Jawa Barat ke daerah Yogyakarta, perjuangan melawan

    Belanda dilanjutkan pasukan gerilyawan Muslim di bawah kepemimpinan

    Kartosuwirjo, secara tegas Kartosuwirjo menyerukan perang suci.26 Hal ini

    menuai kritik dari pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia. Namun,

    sikapnya tidak luntur dan menganggap perjanjian Renville telah melampau

    24

    Muh, Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia

    1945 serta konstitusi RIS dan UUD Sementara RI, H. 452. 25

    Abd. Rahman Hamid, Qahar Mudzakkar Mendirikan Negara Islam?, hlm. 23. 26

    Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik ,. 284.

  • 30

    supremasi politik Indonesia. Gerakan ini berlanjut dan pada tanggal 7

    Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya negara Islam

    Indonesia untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu, gerakan ini dianggap

    oleh pemerintah sebagai bentuk radikal.27

    Sementara itu negara Islam di Indonesia ciptaan Kartosuwirjo

    mendatangkan keresahan bagi pemerintah Indonesia yang secara terang-

    terangan melawan pemerintahan yang sah, akibat dari dari perlawanannya

    ini ia bersama dengan kelompoknya dikatakan sebagai pemberontak

    karena sikap radikal yang menghalalkan segala cara untuk mencapai

    tujuannya. Bagi Soekarno motif pendirian Negara Islam Indonesia dalah

    untuk menggulingkan kepemimpinannya dan Kartosuwirjo naik tahta

    menjadi Presiden. Sementara itu isu percobaan pembunuhan Presiden juga

    tersebar, akan tetapi hal itu dibantah oleh Kartosuwirjo.28 Kartosoewirjo

    menyatakan bahwa Pancasila adalah Jahiliyah bentuk baru, dimana ia telah

    menjadi berhala yang disembah di Indonesia. Pancasila merupakan satu

    campuran dari berbagai paham, Shintoisme jepang, Animisme Indonesia,

    teori kemakmuran asia timur raya dan Nasionalisme Indonesia jahil yang

    kemerah-merahan (Komunisme). Pancasila bagi kartosoewiryo tidak

    memiliki akar kedalam sehingga ia tidak mampu berdiri secara layak

    dalam Istilah “bergantung tak bertali, berdiri tak berakar”.

    27

    Abd. Rahman Hamid, Qahhar Mudzakkar Mendirikan Negara Islam?, hlm. 24 – 25.

    28Seri buku Tempo, Kartosuwirjo Mimpi Negara, h. 29.

  • 31

    Membaca gagasan Kartosuwiryo diatas, pada dasarnya dalam

    kenyataan secara sosiologis bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah

    Muslim, suatu hal yang ironis jika kehendak mayoritas diabaikan. Dengan

    alasan-alasan itulah Kartosoewirjo menolak pancasila dengan bentuk

    apapun dan menginginkan agama dan negara bersatu dengan tegaknya

    negara Islam.

    Semenatra itu setelah lima tahun setelah Indonesia merdeka Pada

    tahun 1950 terjadi pergerakan Pemberontakan di Sulawesi Selatan yang

    dilakukan oleh Kahar Muzakkar melalui pergerakan Darul Islam/ Tentara

    Islam Indonesia (DI/TII). Berawal dari rasa sakitnya akibat pemerintah

    pusat tidak menerima pasukannya yang bergabung dalam Komando

    Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) tidak dimasukkan dalam ke dalam APRI

    dengan mengambil nama“Brigade Hasanuddin” dengan alasan, mayoritas

    KGSS tidak memenuhi syarat sebagai tentara yang profesional.

    Secara umum Kahar Muzakkar melakukan perjuangan bersenjata

    sebagai sarana paling memungkinkan untuk menghasilkan Indonesia yang

    tidak hanya merdeka, melainkan juga Islami. Tujuan pertama adalah

    kedaulatan dari cengkraman penjajah, tetapi kedaulatan itu tidak bisa

    memakai jubah Pancasila, karena negara Pancasila betapapun

    menguntungkannya tidak dapat membebaskan umat Islam dari kaum kafir.

    Kahar Muzakkar melihat bahwa perjuangan rakyat Indonesia dalam upaya

    kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan mengalami kegagalan

    sebagai konsekuensi dari Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia di

  • 32

    bawah kepemimpinan Soekarno, yang pada akhirnya melahirkan perang

    saudara yang berkepanjangan di antara sesama anak bangsa. Lebih lanjut

    Kahar Muzakkar menjelaskan bahwa sebab pokok dari kegagalan tersebut

    dalam mencari dan menetapkan Pancasila dan sistem pemerintahan ialah

    disebabkan oleh demokrasi yang dirancang oleh Soekarno dianggap

    sebagai demokrasi gadungan dan adanya tujuan tertentu Soekarno bersama

    pengikutnya untuk melakukan penjajahan sebagai penerus cita-cita

    kerajaan Majapahit.29

    Kahar Muzakkar menegaskan bahwa Soekarno dengan Ketuhanan

    Yang Maha Esa-nya ingin menggabungkan semua agama di Indonesia

    menjadi Agama Pancasila. Lebih lanjut Kahar Muzakkar mengatakan

    bahwa Soekarno hanyalah Islam nama, yang menentang ajaran dan hukum

    Islam, dengan begitu menurut Kahar Muzakkar bahwa dengan tegas rakyat

    Indonesia mengutuk dan menolak ajaran Pancasila. Kahar Muzakkar

    mempertanyakan keislaman Soekarno yang mengaku mencintai Islam tapi

    menolak Islam sebagai ideologi, hingga Kahar menyebut Soekarno

    sebagai orang munafik, kafir dan dhalim.

    Bukan hanya itu saja perdebatan mengenai hubungan agama muncul

    kembali Pada Konstitusi RIS. Di dalam Konstitusi RIS dan Mukadimah

    UUDS 1950, Pancasila dirumuskan dengan kalimat Ketuhanan,

    Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sementara

    29

    Abdul Qahhar Mudzakkar, Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno, (Jakarta: Madinah Press. 1999), 41.

  • 33

    Mukadimah UUDS 1950 sebenarnya berasal dari pembukaan UUD 1945.

    Namun asas ini dalam sebuah catatan sejarah yang memang memberikan

    ide-ide dasar tersebut, oleh karena itu tidak berlangsung sampai satu tahun,

    karena terjadi demonstasi massa yang menginginkan agar negara-negara

    bagian segera bergabung dengan Republik Indonesia. Maka pada tanggal

    17 Agustus 1950, menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia, yang

    diatasi oleh Muhammad Natsir tampil dengan mengajukan mosinya

    kepada Dewan Perwakilan rakyat Federal (parlemen RIS) pada tanggal 3

    April 1950.30 Mosi tersebut kemudian dikenal dengan “Mosi integral

    Natsir”

    Dari hal ini dapat dilihat bahwasannya hubungan agama dan negara

    pada masa orde lama terus berlanjut meskipun dalam sidang BPUPKI telah

    disepakati bahwa Pancasila adalah jalan tengah dari perdebatan kelompok

    kebangsaan dan Islam namun hal itupun belum juga memuaskan golongan

    Islam yang terus gigih memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara.

    C. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Orde Baru

    Turunnya Soekarno dari tahta kepresidenannya dan naiknya

    Soeharto sebagai penggantinya, maka sejak saat itu seperti memberikan

    angin segar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia, banyak

    pemimpin politik Islam meletakan harapan besarnya pada masa Orde baru

    30

    Mosi tersebut ditandatangani oleh M. Natsir, Subandino Sastrosatono, Hamid Algadri,

    Sakiman, Ki Werdojo, A. M. Tambunan, N. Hardjosubroto, B. Sahetapy Engkel, Tjokronegoro,

    M. Tauchid, Amelz dan Sirajuddin Abbas. Mereka adalah perwakilan aliran-aliran politik terbesar

    didalam DPR. Lihat Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 122.

  • 34

    terutama pada kalangan Masyumi yang selama masa orde lama selalu

    tersudutkan. Langkah pertama yang dilakukan oleh para pendukung

    Masyumi adalah dengan membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang telah

    dipenjara oleh Presiden Soekarno (Muhammad Natsir, Sjafrudin

    Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto

    Mangkusasmito, dan Hamka).

    Namun pada kenyataannya mereka salah, pada masa Orde baru

    tidak ada niatan untuk membangun politik Islam kembali namun malah

    sebaliknya yaitu melemahkan segalam macam ideologi-ideologi yang

    berusaha menetang ideologi Pancasila dan UUD 1945, bahkan kelompok

    militer dengan tegas dan sangat meyakinkan bahwa mereka akan

    menindak tegas siapa saja yang mencoba menyimpang dari Pancasila dan

    UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh PKI, Darul Islam dan

    Masyumi. Karena sadar bahwa tidak mungkin pemerintahan Orde baru

    akan merehabilitasi Mayumi maka para mantan pemimpin Masyumi pun

    mulai melakukan strategi baru yaitu dengan cara membuat suatu partai

    baru yang diharapkan dapat melanjutkan semangat partai Masyumi.

    Pada tanggal 20 Febuari 1968, Partai Muslim Indonesia (Parmusi)

    didirikan dibawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun,

    yang merupakan aktivitis Muhammadiyah. Meskipun demikian, penting

    untuk diketehaui bahwa persetujuan ini bukan tanpa pembatasan sama

    sekali. Sepanjang proses pembetukannya, pemerintahan Orde Baru dengan

    jelas mengontrol perkembangan politik Islam dengan memberikan

  • 35

    persyaratan bahwa pemimpin partai tersebut bukanlah dari kalangan bekas

    ketua kelompok Masyumi.31 Begitu juga dengan yang dirasakan oleh oleh

    DR. Muhammad Hatta untuk mendirikan partai Demokrasi Islam

    Indonesia namun gagal karena sebab yang sama.32

    Didirikannya Parmusi tampaknya tidak menunjukan adanya

    perubahan apapun dalam hal hubungan antara para pemimpin kelompok

    aktivis Islam dan para elite pemerintahan Orde Baru. Sepertinya

    pemerintahan pada masa Orde baru juga khawatir dengan ideologis yang

    ingin dibawa oleh partai ini. Hal ini semakin jelas dan kekhawatiran yang

    kuat kepada elite pemerintahan pada masa itu yaitu dengan menolak

    beberapa tuntutan kelompok aktivis Islam. pertama, menolak tuntutan

    kelompok Islam agar piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada sidang

    Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1968. kedua,

    menolak dilangsukannya kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang

    sama.33

    Untuk itu pada masa Orde Baru banyak upaya-upaya yang

    dilakukan pemerintahan pada masa itu untuk melemahkan lawan-lawan

    politiknya, dengan berbagai macam cara melakukan fusi partai-partai

    Islam, yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan tahun 1973.

    Langkah berikutnya adalah dikemukakannya gagasan P4 (Pedoman

    Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada pemilu 1977, dan kemudia

    31

    Bahtiar Efendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemkiran Dan Praktik Politik Islam

    Di Indonesi, Cet.I,(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm 106. 32

    Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan,(Yogyakarta:

    PT.Tiara Wacana Yogya, 1993), hlm 4. 33

    Ibid, hlm 115.

  • 36

    menjadi Tap NO. II MPR 1978. Upaya itu mencapai puncaknya, ketika

    Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan

    bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara malalui UU NO. 3 tahun 1985

    tentang partai politik dan Golkar, dan UU No. 8 tahun 1985 tentang

    organisasi kemasyarakatan.

    pelaksanaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak hanya melewati

    proses yang alot dan polemik keras, bahkan sampai menimbulkan korban

    jiwa. Reaksi paling keras muncul dari kalangan aktivis dan pemikir Islam

    lama yang masih memperjuangkan aspirasi politik Islam secara

    formalistik. Dalam situasi sosial politik seperti itulah Munawir Sjadzali

    diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir Sjadzali segera

    dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih

    memperjuangkan ideologi Islam dan secara prioritas menolak Pancasila

    sebagai asas tunggal.34 Tugas pokok pertama Munawir sebagai Menteri

    Agama adalah mensosialisasikan dan menuntaskan Ketetapan MPR RINo

    II Tahun 1983 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh

    organisasi kemasyarakatan yang berhaluan keagamaan, termasuk Islam.35

    Tugas ini jelas tidak ringan karena masalah ini telah menimbulkan

    kontroversi di kalangan agamawan, dan reaksi yang muncul dikalangan

    umat Islam terutama dari kelompok Islam ideologis juga demikian keras.

    Dalam menyelesaikan tugas berat ini, Munawir bertitik tolak pada prinsip

    34

    Akhmad Sarori dan Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikiran Politik Islam cetakat pertama,

    (Yogyakarta;Deepublish, 2016), h. 245 35

    Tentang Tugas pokok ini diakui Munawir Sjadzali dalam "Dari Lembah Kemiskinan" ,

    op. cit., hlm. 78

  • 37

    bahwa pemerintah tidak ada maksud sama sekali untuk menggantikan

    agama dengan Pancasila atau mengagamakan Pancasila.36

    Sebagai Menteri Agama, Munawir juga mengajak umat Islam untuk

    menerima negara Indonesia berdasarkan Pancasila, sebagai sasaran

    terakhir aspirasi politik, bukan sasaran sementara untuk mencapai sasaran-

    sasaran lainnya. Meskipun Munawir telah berdialog dengan tokoh agama,

    reaksi keras dari pemimpin dan aktivis Islam tetap tak terhindarkan. Deliar

    Noer, salah seorang tokoh intelektual Islam yang cukup berpengaruh,

    mengatakan bahwa pandangan-pandangan Munawir tidak merefleksikan

    intelektualitasnya,tetapi lebih merefleksikan dirinya sebagai politisi yang

    berperansebagai juru bicara pemerintah Orde Baru. Deliar mengakui

    bahwa di bawah Orde Baru kehidupan keagamaan mengalami

    perkembangan menggembirakan. Akan tetapi, harus juga dicatat bahwa

    pembangunan yang dengan semakin besarnya kesenjangan antara yang

    kaya dan yang miskin, Kristenisasi, sekularisme, konsumerisme, kejahatan

    dan prostitusi.37 Penolakan Deliar Noer terhadap Pancasila sebagai asas

    tunggal didasarkan pada dua alasan pokok. Pertama, Pancasila sebagai

    asas tunggal selain bertendensi pada terbentuknya partai tunggal, juga

    akan menghalangi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan

    aspirasinya yang merupakan ciri utama masyarakat yang demokratis.

    Kedua, adalah melihat konflikyang terjadi pada masa kampanye

    36

    Ibid. Wawancara Munawir Sjadzali, Jakarta 6 Septemebr 1991, prinsiptersebut

    dikemukakan Presiden dalam Pidato 16 Agustus 1986 37

    Deliar Noer, Islam dan Pemikiran Politik: Bahasan Kitab Islam dan Tata Negara oleh

    H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: LIPPM, 1990), hlm. 20-21

  • 38

    merupakan akibat perbedaani ideologis di kalangan partai-partai peserta

    Pemilu. Deliar merujuk Pemilu 1955 yang berlangsung tanpa konflik

    sebagai bukti. Padahal partai-partai peserta Pemilu waktu itu mendasarkan

    diri pada ideologi yang berbeda-beda.38

    Tidak hanya Munawir saja yang menerima asas tunggal pancasila

    sebagai jalan tengah dari perdebatan agama dan negara tetapi tokoh

    Nurcholish Madjid juga menerima asas tunggal Pancasila, karena pada

    dasarnya pemikiran Nurcholis Madjid tentang hubungan agama dan negara

    adalah didasari atas gagasan tentang sekularisasi. Sekularisasi yang

    dipahaminya sebagai kebebasan atau menduniawikan yang semestinya

    duniawi dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Selain

    itu sekularisasi diartikan oleh Nurcholish Madjid sebagai pembebasan

    tatanan sosio-kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan, sehingga

    agama ditempatkan pada tingkatan yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai

    etis yang mampu melingkupi pluralisme yang ada pada masyarakat. Oleh

    karena itu, Nurcholish Madjid menolak keras pemberlakuan bagi

    Indonesia sebagai negara Islam.

    Sekulerisasi dipahami oleh Nurcholish Madjid sebagai pembebasan

    atau meduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan

    melepaskan umat Islam dari kecenderungan. Karena pada dasarnya

    sekulerisasi adalah sebuah rasionalisasi sehingga subtansinya berupa

    penolakan terhadap partai Islam dan konsep negara Islam. Negara Islam

    38Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal (Jakarta: YayasanPerkhidmatan,

    1984)

  • 39

    menurut Nurcholish Madjid adalah merupakan sikap apologi atau sikap

    membela diri di antara golongan Islam yang melihat Islam secara tinggi

    dan mampu bersaing dengan paham modern dalam bidang politik,

    ekonomi dan negara.39 Oleh karena itulah, Nurcholish Madjid menolak

    keras terhadap upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

    Negara Islam menurut Nurcholish Madjid adalah suatu distorsi hubungan

    proporsional antara negara dan agama, karena negara adalah salah satu

    kehidupan duniawi yang semestinya rasional dan kolektif. Begitu juga

    dengan agama yang merupakan aspek kehidupan spiritual dan pribadi.

    Melalui jargon “Islam Yes, Partai Islam No”? inilah dapat

    memberikan arah dan tujuan bagi agama sebagai pengayom yang mampu

    memberikan landasan nilai moral secara universal. Selain itu, Nurcholish

    Madjid juga berupaya untuk menyelamatkan image Islam. Karena dengan

    buruknya penampilan partai Islam maka image Islam juga akan

    mendapatkan sorotan.

    Gagasan Nurcholish tersebut kemudian mengundang reaksi yang

    cukup keras baik dari kalangan intelektual muda atau kalangan tua.

    Kalangan muda yang memberi tanggapan antara lain Endang Syaifuddin

    Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani. Sedangkan dari

    kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Abdul

    Qadir Djaelani dari kalangan muda misalnya mengatakan bahwa

    Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang bertentangan

    39Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Bandung, 1987), h. 207

  • 40

    dengan Islam. Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan sekularisme

    tersebut. Endangsyaifuddin Ansari (meski dalam beberapa hal sepakat

    dengan Nurcholish) juga berpendapat bahwa memang di dalam al-Qur’an

    tidak dijelaskan konsep negara Islam, akan tetapi mengingkari bahwa al-

    Qur’an memberikan kaidah tentang kenegaraan merupakan masalah besar.

    Endang menanggapi bahwa seolah-olah Nurcholish ingin membuktikan

    bahwa setiap usaha umat Islam untuk menuju kekuasaan dianggap sebuah

    dosa besar.40

    Sedangkan dari kalangan tua yang diwakili Rasyidi, ia berpendapat

    pandangan Nurcholish sangat naif karena bersumber dari kekacauan

    berpikir. Bahkan Rasyidi menuduh Nurcholish sebagai seorang yang mirip

    dengan Orientalis yang begitu tinggi kecurigaannya terhadap Islam. Ia

    juga memperingatkan agar umat Islam khususnya kalangan muda untuk

    berhati-hati dengan ide pembaruan Nurcholish. Begitupun dengan Hamka

    dan Natsir, meski tidak secara langsung menyebut nama Nurcholish tapi

    dalam beberapa pidatonya, ia menganjurkan agar umat Islam lebih berhati-

    hati dengan ide pembaruan tersebut. Ia menyeru agar umat Islam lebih

    bersatu sehingga cita-cita politik bisa tercapai.41

    Untuk menghadapi berbagai reaksi tentang ide pembaruan tersebut,

    Nurcholish lebih memilih tidak menanggapi secara serius. Hal ini

    dilakukan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan, apalagi

    40

    M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang

    Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 51. 41

    M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang

    Cendekiawan Muslim Orde Baru .., h. 53.

  • 41

    banyak yang tidak bisa memahami ide pembaruan yang digagasnya. Hal

    itu terlihat dari banyaknya tanggapan kemarahan dan kecurigaan karena

    tidak bisa memahami gagasan pembaruan tersebut. Nurcholish bahkan

    dianggap sudah dianggap melenceng dan murtad, bahkan yang lebih serius

    banyak ancaman yang ditujukan padanya.42

    Sebaliknya bagi para pendukung gagasan Nurcholis seperti Djohan

    Effendi, Utomo Danajaya, Eky Syahruddin, Usep Fathuddin. 43 Salah satu

    dari pendukung gagasan Nurcholish seperti Dawam Raharjo bahwa

    mereka lebih memilih melawan arus dan memberanikan diri melawan

    umat, karena menurutnya apa yang dikehendaki oleh umat tersebut

    bukanlah yang mereka butuhkan. Ia juga mengkritik pendekatan yang

    dilakukan oleh umat Islam yang cenderung menjadikan Islam sebagai

    ideologi. Hal itu menurutnya bisa saja menjadikan Islam terdistorsi ke

    ruang yang lebih sempit dan berhadapan dengan ideologi lain seperti

    Sosialisme atau Nasionalisme.

    Kemudian pada level ormas, NU adalah ormas pertama yang

    menerima Pancasila sebagai asas organisasinya. NU yang didorong oleh

    Kiai Achmad Siddiq dan tokoh-tokoh muda seperti Abdurrahman Wahid

    berhasil menerima Pancasila sambil tetap mempertahankan aqidah

    islamiyah sebagai dasar aktivitas organisasi.44 NU menunjukkan sikap

    42

    M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia.., h. 65. 43

    Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik , (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 97. 44

    Peristiwa munas merupakan fase yang sangat penting untuk memahami dinamika dan

    pergolakan baik yang terjadi di tubuh NU sendiri maupun jika dikaitkan dengan kekuasaan. Fase

    itu menandai sejumlah kebijakan politik penting yang diambil oleh NU. Asep Saiful Muhtadi,

    Komunikasi Politik Nahdatul Ulama , (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm.147.

  • 42

    yang akomodatif, terutama setelah mengadakan Musyawarah Nasional

    (Munas) Ulama pada 1983 di Situbondo. 45Pada munas tersebut dicetuskan

    suatu deklarasi yang nantinya dipergunakan para elite NU sebagai

    justifikasi doktrinal untuk menerima Pancasila.

    Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak bisa mengambil

    keputusan cepat dalam menerima asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah

    mengulur-ulur waktu untuk melihat perkembangan keadaan. Kemudian

    pada tanggal 31 Mei 1985, RUU Asas Tunggal Pancasila disahkan oleh

    DPR dan pada tanggal 17 Juni 1985 Presiden Suharto resmi mengeluarkan

    Undang-Undang Keormasan, yaitu UU No. 8 Tahun 1985. 44 Undang-

    Undang ini menetapkan Pancasila sebagai satu-satu asas resmi bagi semua

    ormas yang ada di Indonesia. Keluarnya Undang-Undang Keormasan ini

    membuat Muhammadiyah harus menentukan sikap. Muhammadiyah akan

    menentukan sikap melalui muktamarnya yang sudah lama tertunda-tunda.

    Pada tanggal 7-11 Desember 1985, Muhammadiyah mengadakan

    Muktamar ke-41 di Surakarta. Melalui Muktamar ke-41 ini,

    Muhammadiyah menyatakan diri bersedia menerima asas tunggal

    Pancasila. Bagi Muhammadiyah, tidak pilihan lain selain menerima asas

    tunggal Pancasila, jika Muhammadiyah masih ingin hidup di bumi

    Indonesia.

    Di kalangan pemuda Islam, asas tunggal Pancasila menjadi bahan

    perdebatan yang sangat tajam. HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam

    45Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926 , (Bandung: Risalah, 1985), hlm. 57.

  • 43

    yang berdiri pada tahun 1947 tidak mampu menemukan kata sepakat di

    antara kader-kadernya. Hingga Pada tahun 1985, pergesekan ditubuh HMI

    mulai memuncak. HMI mendapat tekanan semakin keras dari para alumni

    yang mendukung pemikiran baru, terutama dari kelompok Nurcholis

    Madjid . Kelompok ini meminta kepada HMI untuk tidak berbenturan

    dengan pemerintah, karena hal itu bertentangan fitrah HMI yang dikenal

    sebagai organisasi yang demokratis akomodasionis. Selain itu, tekanan

    keras juga datang dari pemerintah, dimana pemerintahan Suharto tidak

    akan memberikan izin kongres bila HMI tetap menolak pemberlakukan

    azas tunggal Pancasila. Besarnya tekanan dari kelompok Nurcholis Majid

    dan pemerintah, akhirnya berhasil melunakan sebagian tokoh kunci HMI.

    Maka pada awal April 1985, HMI menyatakan penerimaan azas tunggal

    Pancasila. Keputusan itu diambil setelah melewati perdebatan panjang di

    Ciloto, Jawa Barat.46

    Pada Kongres ke-16 di Padang tahun 1986, HMI menegaskan

    kembali pernyataannya bahwa HMI secara kelembagaan dapat menerima

    asas tunggal Pancasila. Hasil kongres ke-16 ini tidak diterima oleh semua

    cabang HMI. Beberapa cabang HMI melakukan protes dan penolakan atas

    hasil kongres HMI ke-16 tersebut. Suara-suara penolakan dari beberapa

    cabang ini tidak tertampung di PB HMI. Akhirnya, cabang-cabang HMI

    yang tidak sepakat dengan keputusan Kongres HMI ke-16 membentuk

    HMI Baru yang bernama HMI MPO (HMI Majelis Penyelamat

    46

    Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan

    Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 161.

  • 44

    Organisasi). HMI MPO ini dipimpin oleh Eggie Sudjana. Dengan lahirnya

    HMI MPO, maka HMI yang menerima asas tunggal Pancasila lebih

    dikenal dengan nama HMI Dipo (HMI yang berkantor di Jalan

    Diponegoro). Dan sebagai organisasi terlarang, HMI MPO terpaksa

    bergerak dibawah tanah. HMI MPO memiliki basis yang kuat di daerah

    Yogyakarta dan Makassar.47

    Kemudian PII sebagai organisasi pelajar Islam tertua yang lahir pada

    tahun 1947 merupakan satu-satunya lembaga yang mampu membuat

    keputusan yang solid di kalangan kader-kadernya. Kader-kader PII sepakat

    menolak keberadaan asas tunggal Pancasila. Ketua Umum PII, Mutamimul

    Ula, mengatakan bahwa PII berkewajiban menggunakan Islam sebagai

    asas tunggalnya, untuk membedakan dengan yang lain. Menurutnya,

    bahwa keputusan PII untuk tidak menganut Pancasila sebagai asas

    tunggalnya diambil setelah meneliti Pancasila secara mendalam dan

    menyeluruh dari aspek hokum, sosiologis dan filsafat berdasarkan

    pemahaman Islam. Sikap PII yang menolak asas tunggal Pancasila harus

    dibayar mahal, dimana rezim Orde Baru melalui Menteri Dalam Negeri

    telah mengeluarkan keputusan tentang pembubaran PII sebagai organisasi.

    PII dibubarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.

    120 dan 12 tanggal 10 Desember 1987. PII dibubarkan, karena PII tidak

    mengikuti prinsip-prinsip fundamental Undang-Undang Keormasan.

    47

    Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 12. Jan S.

    Aritonang, Op. Cit., hlm. 437.

  • 45

    Setelah PII dibubarkan oleh rezim Orde Baru, maka PII menjadi organisasi

    kader yang bergerak dibawah tanah.48

    Berangkat dari fenomena asas tunggal di atas serta dari beragam

    kasus yang terjadi sepanjang sejarah Orde Baru, tidak dapat dimungkiri

    bahwa Pancasila telah digunakan sebagai alat politik untuk membenarkan

    pemerintahan yang represif dan otoriter. Pancasila dijadikan legitimasi

    untuk menghancurkan komunisme, membendung Islam politik, serta

    elemen masyarakat yang menuntukan demokratisasi. Hal itu sering kali

    dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang

    terkandung dalam Pancasila.

    D. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara Pada Masa Reformasi

    1. Perdebatan Hubungan Agama dan Negara saat diterapkannya

    Perda Syariah

    Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru Soeharto pada tahun

    1999, arah perpolitik Indonesia berubah drastis. Presiden Habibie

    megeluarkan beberapa Undang-Undang (UU) yang mengindikasikan

    perubahan politik Indonesia dari suasana otoriter menjadi demokratis.

    Salah satu dari UU tersebut adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang

    Pemerintahan Daerah, yang kemudian diamandemenkan oleh UU No.

    32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Perda tersebut menuai

    pro dan kontrak bahkan mengkhawatirkan beberapa kalangan tentang

    potensi perubahan konstitusi dan ideologi NKRI. Penerapan peraturan

    48

    Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 12. Jan S.

    Aritonang, Op. Cit., hlm. 89.

  • 46

    daerah (Perda) bernuansa syari’at antara lain disebabkan oleh kegagalan

    Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan permasalahansosial, ekonomi,

    dan politik di Indonesia, sehingga syariat dipandang sebagai satu

    satunya solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak bisa

    diselesaikan tersebut.49 Hingga saat ini, dari 512 kabupaten/kota di

    Indonesia, kurang lebih sebanyak 64 kabupaten dan kota di 15 provinsi

    di Indonesia telah menerbitkan dan menerapkan perda bernuansa syariat

    di yurisdiksi masing-masing.

    Meskipun kelompok kontrak mengkritisi perkembangan perda

    tersebut tokoh tokoh nasional seperti Azyumardi Azra1dan Gumawan

    Fauzi secara terbuka tidak setuju dengan perkembangan perda, namun

    hingga kini Pemerintah Pusat belum pernah mengeluarkan kebijakan

    baik itu kebijakan hukum maupun politis terhadap perkembangan perda

    tersebut.50 Di lain pihak, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam

    Negeri dikecam oleh beberapa organisasi non-pemerintahkarena

    dianggap tidak responsif.51

    49

    Robert W. Hefner, “Indonesia: Syari’at Politics and Democtratic Transition,”

    Syari’atPolitics: Islamic Law and Soceity in the Modern World, ed. Robert W Hefner

    (Bloomington, Indiana:Indiana University Press, 2011); M.B. Hooker, Indonesian Syari’at:

    Defining a National School ofIslamic Law (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2008);

    Arskal Salim, Challenging theSecular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia

    (Honolulu, Hawaii: University of HawaiiPress, 2008). 50

    Satu Harapan, “Satu Harapan: Azyumardi Azra: Beberapa Ingin Menerapkan Syariah Islam

    Namun Dengan Perspektif Dangkal,”Www. satuharapan.com (www.satuharapan.com, July 18, 2013),

    http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-beberapa-ingin-menerapkansyariah- islam-

    namun-dengan-perspektif-dangkal. 51

    Suara Islam, “Suryadharma Ali Dan Gamawan Fauzi, Dua Menteri Yang Dituduh SetaraInstitute

    Intoleran” (www.suara-islam.com, February 17, 2014), http://www.suara-

    islam.com/read/index/9646/Suryadharma-Ali-dan-Gamawan-Fauzi--Dua-Menteri-yang-Dituduh-

    Setara-Institute-Intoleran.

    http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-beberapa-ingin-menerapkansyariah-http://www.suara-islam.com/read/http://www.suara-islam.com/read/

  • 47

    Di level nasional, muncul-munculnya partai-partai Islam dan

    tuntutan untuk mengislaminisasikan Indonesia adalah bagian dari

    upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ideologi-idelogi politik

    Islam yang pernah dilarang oleh pemerintahan orde baru. Beberapa dari

    partai-partai Islam tersebut (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai

    Bulan Bintang) berusaha mengamandemen konstitusi negara dengan

    mengusulkan pemunculan kembali ayat 29 dari Piagam Jakarta yaitu

    “Melaksanakan Syari’at Islam bagi Pemeluknya”. Namun upaya ini

    tidak populer di kalangan umat muslim dan tidak mampu meningkatkan

    stabilitas kedua partai tersebut untuk mendominasi pemerintahan pasca

    lengsernya orde baru. Mereka tidak hanya ditentang oleh partai-partai

    nasionalis, namun juga oleh dua organisasi muslim terbesar di

    Indonesia Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.52

    Semasa kampanye pemilihan umum legislatif Indonesia 2019,

    Partai Solidaritas Indonesia menyatakan penolakan terhadap perda

    syariah, perda Injil, atau perda apapun yang berlandaskan agama.

    Namun dukungan Perda Syariah disuarakan oleh Partai Keadilan

    Sejahtera (PKS) dan organisas Islam Nahdhatul Ulama (NU).53 Ketua

    Umum Pengurus Besar (PBNU) Said Aqil Siroj, pihaknya tidak

    sependapat dengan PSI yang menolak adanya perda syariah. Said

    menilai perda syariah sangat bagus. Sebab dapat dikeluarkan ketika

    52

    Hefner, “Indonesia: Syari’at Politics and Democtratic Transition .”, 294 53

    http://news.detik.com/read/2018/11/26/115100/4317388/103/psi-kontra-perda-syariah

    http://news.detik.com/read/2018/11/26/115100/4317388/103/psi-kontra-perda-syariah

  • 48

    adanya maksiat dalam suatu daerah.54 Sedangkan Direktur pencapresan

    PKS Suhud Aliyudin mengatakan Indonesia merupakan negara yang

    dihuni penduduk beragama. Fakta itu pun termuat dalam sila pertama

    Pancasila. Selain itu, Suhud menilai penolakan PSI terhadap perda

    syariah atau perda Injil bertentangan dengan spirit kebangsaan.55

    Seperti yang terjadi penerapan perda syariah di Aceh juga

    menuai pro kontra di masyarakat. Ketua Partai Solidaritas Indonesia

    (PSI) Grace Natalie, dengan lantang menyuarakan bahwa PSI menolak

    perda-perda yang berlandaskan agama, baik perda syariah di Aceh

    maupun perda Injil di Papua dengan alasan untuk membela

    kebhinekaan. Pernyataan tersebut sontak memancing kontroversi

    dimasyarakat, terutama di kalangan pendukung perda-perda berbasis

    agama khususnya perda syariah. Penolakan terhadap perda agama ini

    pun didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia. Perjuangan, perda

    syariah menurut PDIP tidak ada, karena semua perundang-undangan

    harus turunan dari konstitusi.56

    Sementara Sandiaga Salahuddin Uno mendukung penerapan

    perda syariah