perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang maluku yang … · 2016. 11. 3. · daerah maluku...
TRANSCRIPT
-
i
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan sikap terhadap adat pela antara
orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar
Maluku (kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang Maluku yang
terdiri dari 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota
Ambon) dan 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku
(Kota Salatiga). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala
yaitu skala sikap terhadap adat pela. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik uji-
t. Dari hasil uji beda diperoleh nilai t sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271
(p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku
yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (kota
Salatiga).
Kata Kunci : Sikap terhadap Adat Pela, Orang Maluku, Tempat Tinggal
-
ii
ABSTRACT
This study was conducted to determine different attitudes toward “pela” tradition
between Moluccan who lives and resides in Moluccas and the ones who don’t (a
Mollucan who resides in Salatiga). The sample in this study was 100 Moluccan consist
of 50 participants who reside in the Moluccas (Ambon) and the rest 50 participants was
Moluccan students who resides in Salatiga. Data collection in this research is a scale
method using scale attitudes towards indigenous “pela”. To analyze the data, the
researcher used t-test techniques. Based on the test, there were 1.107 with a
significance = 0.271 (p> 0.05), which means there is no different attitudes toward
“pela” between the subjects of the study.
Keywords: Attitudes toward Indigenous “Pela”, Moluccan, Resides
-
1
PENDAHULUAN
Daerah Maluku merupakan daerah yang adat istiadatnya masih dipegang teguh dan
dipercayai oleh sebagian besar masyarakatnya. Adat yang sangat terkenal di Maluku
adalah adat Pela, dimana adat ini memiliki aturan-aturan beserta sanksi bagi mereka
yang melanggar adat tersebut. Adat Pela telah ada sejak dulu yang diturunkan dari para
leluhur dan harus terus dijaga kelestariannya. Adapun bukti-bukti hukuman yang
dipercaya oleh beberapa orang yang pernah melanggar aturan-aturan yang ada pada
Pela yakni hancurnya keluarga, anak-anak akan mengalami cacat fisik maupun psikis,
atau bahkan kematian dari anggota keluarga (Bartels, 2000).
Dalam Lasamahu (2009), kata Pela berasal dari kata Pila yang berarti buatlah
sesuatu untuk kita bersama, dan kadang-kadang kata pila diberi akhiran „tu‟ sehingga
menjadi „pilatu‟ yang memiliki arti menguatkan, menanamkan atau mengusahakan
sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata ‟pila‟ telah berubah menjadi
„Pela‟. Tanamal (1985) mengungkapkan istilah Pela dalam kenyataannya menunjuk
pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri (desa) baik itu antar
negeri-negeri (desa-desa) Kristen atau negeri-negeri (desa-desa) Islam maupun antar
negeri-negeri (desa-desa) Islam dan Kristen.
Bartels (2000) mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis Pela yaitu, Pela karas
(keras), Pela gandong (kandung) atau bongso (bungsu) dan Pela tampa siri (tempat
sirih). Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan
dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau
bantuan luar yang biasa diberikan oleh satu desa kepada desa yang lain. Jenis Pela
kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga
di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Jenis Pela yang
-
2
ketiga dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah
ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini
juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan.
Pada umumnya Pela di Maluku mempunyai aturan-aturan yang tidak boleh
dilanggar oleh kedua negeri atau desa. Dalam Bartels (2000), pela didasari atas empat
ketentuan yakni; (a) Negeri-negeri (desa-desa) yang ber-pela itu diwajibkan untuk
saling membantu pada masa genting (bencana alam, peperangan dan lain-lain); (b) Jika
diminta, maka negeri (desa) yang satu wajib memberi bantuan kepada negeri (desa)
yang lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan
umum, seperti: pembangunan rumah-rumah ibadah atau bangunan-bangunan umum; (c)
Ketika seseorang mengunjungi negeri (desa) yang memiliki hubungan Pela dengan
negeri-nya (desanya), maka orang-orang negeri (desa) itu wajib untuk memberi
makanan kepadanya; tamu yang se-pela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa
pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan menurut kesukaannya; (d) Semua
penduduk negeri-negeri (desa-desa) yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah;
sebab itu dua orang yang se-pela itu tidak boleh kawin karena dipandang sumbang. Tiap
pelanggaran terhadap aturan itu akan dihukum keras oleh nenek moyang yang
mengikrarkan Pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan kesusahan-
kesusahan lainnya. Penghukuman ini akan dialami baik oleh orang yang melanggar
sendiri atau pada anak-anaknya. Biasanya mereka yang melanggar pantangan kawin itu
akan ditangkap kemudian mereka disuruh berjalan mengelilingi negeri-negeri-nya
(desa-desanya), dengan hanya berpakaian daun-daunan kelapa sedangkan penghuni
negeri (desa) mencaci makinya.
-
3
Untuk menjaga agar Pela tetap hidup, dan untuk membuat kaum muda peduli
tentang tanggungjawab mereka, dilakukan pembaharuan secara berkala melalui upacara
panas Pela. Pada saat itu, semua penduduk desa anggota Pela berkumpul menjadi satu
selama satu minggu untuk merayakan kesatuan mereka dan memperbaharui aturan
sumpah mereka, yang disertai dengan pesta makan, bernyanyi, dan menari (Bartels,
2000). Panas Pela juga merupakan suatu kegiatan ritual masyarakat dan pada saat
tertentu hal ini selalu dilaksanakan. Melalui panas Pela, masyarakat dari kedua desa
atau negeri (desa) menemukan jati dirinya untuk selalu memelihara dan menjaga
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (Makaruku, 2012). Pela memiliki
karakteristik alami, menjadi alat komunikasi budaya sekaligus sebagai alat mediasi
membentuk pengetahuan bersama atau pemikiran kolektif (collegtive mine). Pela
merupakan budaya perekat hidup antarumat beragama yang rukun (Thomas, 2010).
Kenyataannya, banyak orang Maluku yang telah keluar dari Maluku. Mereka
tersebar di berbagai pulau di Indonesia, salah satunya adalah di Jawa tengah. Terdapat
4.000 warga Maluku yang merantau disana, baik itu untuk belajar maupun bekerja
(Prihadi, 2012). Kota Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang
didatangi oleh banyak orang Maluku. Mereka datang dengan berbagai alasan, salah satu
alasannya karena tuntutan pendidikan. Hal yang cukup menarik di Salatiga adalah
banyak ditemukan orang Maluku, yang bukan hanya dilahirkan dan dibesarkan di
Maluku namun juga mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di berbagai daerah di luar
Maluku. Berdasarkan hasil wawancara penulis yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli
2013, bertempat di SC (Student Centre) di Universitas Satya Wacana Salatiga pukul
15:00-19:00, dengan 4 narasumber yang merupakan mahasiswa Maluku yang dilahirkan
dan dibesarkan di luar Maluku, mengenai adat Pela, ditemukan berbagai macam
-
4
jawaban. Ada satu narasumber yang sama sekali tidak tahu mengenai adat Pela. Orang
tuanya tidak pernah menjelaskan mengenai adat tersebut kepada dirinya. Lingkungan
tempat tinggal dan budaya yang berbeda dari daerah asalnya Maluku, juga ikut
mempengaruhi perilaku sehari-harinya. Hal yang berbeda ditemukan pada dua
narasumber lainnya. Pengetahuan tentang Pela dan segala larangannya telah
diketahuinya dari orang tuanya. Namun karena ia dibesarkan dilingkungan yang
berbeda serta tidak adanya bukti-bukti yang kuat mengenai kutukan yang akan mereka
terima ketika melanggar adat Pela itu, membuat dirinya berani melanggar aturan Pela.
Pada narasumber berikutnya, ditemukan bahwa ia tidak mengetahui tentang Pela karena
tidak dijelaskan oleh orang tuanya. Ketika ia telah melanggar salah satu aturan, orang
tuanya pun menjelaskan kepada dirinya tentang larangan Pela dan menyuruhnya untuk
tidak melanggar aturan tersebut. Sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat
disimpulkan bahwa kurangnya informasi serta lingkungan tempat tinggal yang memiliki
budaya yang berbeda dari daerah asalnya cukup mempengaruhi sikap mereka terhadap
Pela, dimana sikap yang dimunculkan adalah sikap negatif terhadap pela. Pela tidak
lagi dianggap sebagai suatu tradisi atau adat yang perlu dijalankan dan dilestarikan.
Melihat pada fenomena yang terjadi di atas dan berdasarkan kesimpulan yang
diambil bahwa lingkungan tempat tinggal yang memiliki budaya yang berbeda dari
daerah asal sesorang dapat mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap budaya aslinya
maka hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh (Mesoudi, 2009) yang
mengatakan bahwa budaya di mana kita hidup mempengaruhi pikiran, perasaan, dan
perilaku melalui pengajaran, imitasi, dan bentuk lain dari transmisi sosial. Fiske,
Kitayama, Markus, & Nisbett (1998) & Matsumoto (2001) juga mengungkapkan bahwa
suatu budaya mewakili sekelompok orang, biasanya hidup dalam suatu wilayah
-
5
geografis tertentu, yang berbagi seperangkat norma-norma sosial, termasuk nilai-nilai
agama dan nilai-nilai keluarga serta keyakinan moral. Dalam Ember & Ember (2011)
disebutkan pula bahwa sesuatu dapat dikatakan budaya jika itu adalah perilaku yang
dipelajari atau ide (kepercayaan, sikap, nilai, ideal) yang dibagikan oleh anggota
masyarakat atau kelompok sosial lainnya.
Sebuah kelompok sosial tidak dapat dipisahkan dari adanya pengaruh sosial dari
sesama anggota kelompok. Konformitas adalah salah satu jenis pengaruh sosial dimana
individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma kelompok atau
sosial yang ada (Baron & Byrne, 2005). Setiap kelompok mengaplikasikan berbagai
macam sanksi kepada anggota yang tidak menerima norma kelompok (Shiraev & Levy,
2012). Lebih lanjut Baron & Byrne (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang memainkan peran penting dalam konformitas, yaitu kohesivitas (derajat
ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok), ukuran kelompok
(semakin besar kelompok, semakin besar pula kecenderungan untuk mengikuti
kelompok), jenis norma sosial (norma himbauan dan norma perintah). Individu
cenderung untuk bertingkah laku secara konsisten dengan norma kelompok ketika
norma-norma tersebut relevan dengan dirinya pada saat individu dapat memilih antara
mengikuti atau mengabaikannya.
Dalam Baron & Byrne (2005) dijelaskan bahwa terdapat dua motif yang mendasari
kecenderungan seseorang untuk melakukan konformitas, yaitu keinginan untuk disukai
orang lain dan keinginan untuk merasa benar atau tepat. Meskipun banyak individu
yang melakukan konformitas namun tak jarang juga ditemukan sebagian masyarakat
yang tetap pada pendapat mereka dan tidak melakukan konformitas. Ada 2 motif yang
mendasari seseorang tidak melakukan konformitas, yakni keinginan untuk
-
6
mempertahankan individualitas diri dan keinginan untuk memiliki kontrol atas
kehidupan diri sendiri.
Selain itu, pengaruh sosial dapat juga terjadi diantara kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas, dimana kedua kelompok tersebut saling mempengaruhi sehingga
dapat menimbulkan perubahan dari salah satu kelompok. Hal ini dapat dilihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Riecanska (1998) yang menyatakan bahwa adanya
tekanan dan diskriminasi pada generasi pertama membuat generasi kedua Etnis Slovakia
yang berimigrasi ke Amerika (Pennsylvania Barat) melakukan pengadaptasian dan
penyesuaian penuh terhadap nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki Amerika yang
merupakan kelompok mayoritas, yang kemudian mengakibatkan melemahnya norma-
norma sosial terkait dengan etnisitas dan tradisi etnis mereka. Dalam penelitian ini
dijelaskan pula bahwa telah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi yang begitu cepat
pada imigran Etnis Slovakia generasi kedua. Kemudian disebutkan bahwa keluarga dan
kerabat seorang individu memainkan peran penting dalam pemeliharaan kontinuitas
tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat menciptakan pondasi emosional yang
positif individu terhadap etnisnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Yusuf (1991), bahwa Indonesia yang memiliki
keragaman suku bangsa dengan dukungan sistem budayanya memungkinkan terjadinya
kontak antarbudaya, terutama bagi yang berada di Pulau Jawa yang merupakan pusat
pertemuan suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam kontak tersebut terjadi ketegangan-
ketegangan atau proses asimilasi, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat
kelompok. Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2008), pada tingkat individual, kehilangan
identitas budaya bisa terjadi karena adanya kontak antar budaya. Seseorang boleh jadi
menolak tradisinya sendiri dan menelan mentah-mentah tradisi dari kebudayaan lain.
-
7
Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang dapat meninggalkan dan tidak menjalankan
tradisi pada kebudayaannya ketika ia berada pada lingkungan tempat tinggal yang di
dalamnya terdapat berbagai macam budaya lain.
Hal diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyarto (2007)
mengenai dinamika interaksi dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura yang
tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun
1950-2012. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa adanya interaksi antara
masyarakat Madura dengan masyarakat Jawa melalui sarana-sarana pembauran berupa
lahan pertanian sebagai tempat bekerja dan tempat memperoleh pendidikan yang
mayoritas teman sekolah dan guru adalah Suku Jawa mengakibatkan semakin capatnya
pembauran budaya dan mempengaruhi pemudaran identitas etnik Madura. Pemudaran
juga disebabkan oleh melemahnya interaksi antara Suku Madura dengan masyarakat
keturunan Madura. Pengaruh pemudaran identitas etnik ini dapat dilihat dari pergeseran
bahasa dan masuknya aliran agama Islam yang berbeda dengan yang telah umum dianut
masyarakat Madura.
Terdapat juga penelittian yang dilakukan oleh Yudha (2014) mengenai perubahan
identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menyatakan bahwa, perubahan
identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas
agama dan kepercayaan (terjadi secara bertahap), perubahan identitas bahasa (terjadi
lintas generasi) dan juga perubahan nama. Terdapat juga beberapa faktor yang
menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor
tersebut adalah adanya kesamaan pandangan antara etnis Bali dan etnis Tionghoa,
adanya faktor sosial ekonomi, dan adanya perubahan politik pemerintah.
-
8
Mulyana (2001) mengemukakan bahwa terdapat model-model perubahan identitas
etnis, yakni model akulturasi, model asimilasi dan model pluralisme. Model akulturasi
adalah fenomena yang timbul ketika kelompok-kelompok individu yang berbeda
budaya berhubungan langsung dan bersinambungan, dan perubahan terjadi pada budaya
asli salah satu atau dua kelompok. Model asimilasi merujuk kepada sejauh mana suatu
kelompok yang semula khas telah kehilangan identitas subjektifnya dan telah terserap
ke dalam struktur social suatu kelompok lain. Sedangkan model pluralisme merujuk
kepada pemeliharaan lembaga-lembaga budaya secara terpisah oleh kelompok-
kelompok budaya yang berlainan dalam suatu entitas politik.
Sebagai salah satu bentuk kearifan budaya lokal masyarakat Maluku yang hingga
kini masih terpelihara, pela menjadi entitas anak negeri (desa) yang harus
diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat Maluku yang bermartabat (“Persatuan
Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai”, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa
pela masih dijalankan dan dilestarikan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di
Maluku. Berbeda dengan masyarakat yang bertempat tinggal di luar Maluku yang telah
mengalami percampuran budaya yang dapat menyebabkan mereka memiliki sikap yang
tidak sepositif sebelumnya terhadap adat pela sehingga adat pela tidak lagi dijalankan
seperti yang dijalankan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di Maluku.
Sebenarnya peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai sikap orang
Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang tinggal di luar Maluku terhadap
adat pela. Namun peneliti menemukan adanya penelitian-penelitian lain mengenai sikap
orang Tana Toraja yang tinggal di Tana Toraja dan yang tinggal di luar Tana Toraja
terhadap adat mereka yakni, Upacara Rambu Solo’. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Baan (2007) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟, yang menyatakan bahwa ada
-
9
beberapa aspek yang ada dalam kepercayaan upacara Rambu Solo’ sudah tidak
dipercayai oleh mahasiswa Tana Toraja berada di luar Kabupaten Tana Toraja. Aspek-
aspek tersebut adalah aspek pembersihan, penyucian, penyesalan, pembangunan
kembali, aspek kesejahteraan dan aspek nilai jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa
individu-individu yang pergi merantau dan meninggalkan kota asalanya secara
perlahan-lahan tidak menjalankan bahkan melupakan adat istiadat yang terdapat pada
kota asalnya.
Terdapat juga juga penelitian yang dilakukan oleh Ribeca dkk (dalam Kombong,
2010) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟ pada orang Tana Toraja yang bertempat
tinggal di luar Kabupaten Tana Toraja (Salatiga). Hasil dari penelitian ini diperoleh
bahwa persepsi responden terhahap upacara Rambu Solo’ antara lain, upacara tersebut
identik dengan kemeriahan dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat
Tana Toraja karena pemborosan secara financial. Diketahui juga bahwa 6 dari 8
responden yang hadir tidak menyetujui pelaksanaan Rambu Solo’ yang identik dengan
kemeriahan tersebut. Artinya bahwa sebagian dari individu-individu yang berasal dari
suatu daerah yang telah bertempat tinggal di daerah lain akan memiliki sikap yang
berbeda dalam hal ini sikap negatif tentang adat yang dimiliki oleh daerah asalnya.
Namun hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh
Kombong (2010) mengenai perbedan sikap antara orang Tana Tora yang tinggal di
Toraja dan yang tinggal di Salatiga terhadap Upacara Rambu Solo’, ditemukan bahwa
tidak adanya perbedaan sikap terhadap Upacara Rambu Solo’ antara orang Tana Toraja
yang bertempat tinggal Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja.
Dalam Dayakisni dan Yuniardi (2008), dikatakan pula bahwa terdapat perbedaan
kecenderungan dalam hal mempertahankan tradisi atau adat pada generasi tua dan
-
10
generasi muda. Generasi yang lebih tua akan cenderung mempertahankan tradisi dan
nilai-nilai masa lampau dalam kaitan dengan kecenderuangan untuk tinggal atau hidup
dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa, tradisi dan kebiasaan atau
adat istiadat. Melalui pendidikan yang diterima di sekolah dan adanya kecenderungan
(atau suatu kebutuhan) untuk mengadopsi nilai-nilai modern, generasi muda memiliki
kencederungan untuk menerima nilai-nilai yang berbeda dari yang lebih tua. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi muda di bangku sekolah
dapat mempengaruhi pola pikir mereka menjadi lebih rasional dari pada generasi tua
yang masih berpikir sesuai dengan tradisi pada masa lampau yang dipercayai dan
diyakini.
Berdasarkan uraian dan penelitian-penliitian yang telah dipaparkan di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan Sikap Terhadap Adat
Pela antara Orang Maluku yang Bertempat Tinggal di Maluku dan yang Bertempat
Tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah adanya perbedaan sikap yang signifikan terhadap Pela antara Orang Maluku
yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga).
Sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku lebih positif terhadap Pela,
daripada sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Variabel
dependen pada penelitian ini adalah Sikap terhadap adat pela, sedangkan variabel
-
11
independen pada penelitian ini adalah tempat tinggal, yaitu Maluku dan daerah di luar
Maluku (Kota Salatiga).
Partisipan
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Maluku yang bertempat
tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di
luar Maluku (Kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang mahasiswa
asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan 50 orang mahasiswa
asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Karakteristik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Subjek adalah
mahasiswa yang termasuk dalam kategori dewasa awal yang berusia 18 tahun - 27
tahun; (b) Mahasiswa asal Maluku yang tinggal di Maluku; (c) Mahasiswa asal Maluku
yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental
sampling.
Instrumen Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan satu skala, yaitu skala sikap terhadap adat Pela yang
disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan pada aspek Pela menurut aturan Pela yang
dikemukakan oleh Bartels (2000). Skala sikap terhadap adat pela terdiri atas 4 aspek,
yakni: 1) sesama pela wajib untuk saling membantu pada masa genting, “Saya merasa
dirugikan dengan adanya aturan pela untuk selalu membantu sesama pela yang
mengalami bencana alam”; 2) sesama pela wajib memberi bantuan jika diminta untuk
melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, “Saya pikir, saya
-
12
akan mengalami kesusahan bila saya tidak bersedia membantu merenovasi rumah adat
di desa yang se-pela dengan desa saya”; 3) orang yang memiliki hubungan pela wajib
berbagi makanan saat mendapat kunjungan dari sesama pela-nya, “Saya percaya bahwa
saya tidak akan mendapatkan rezeki ketika saya tidak membagikan makanan kepada
sesama pela”; 4) sesama pela tidak diizinkan menikah dan jika dilanggar maka akan
mendapat sanksi, “Menurut saya, jika sesama Pela menikah maka akan mendapat
hukuman dari ilah berupa cacat fisik pada keturunannya”.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item, skala sikap terhadap pela yang
terdiri dari 35 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 7 item dengan koefisien
korelasi item totalnya bergerak antara 0,303-0,691, sehingga tersisa 28 item. Penentuan-
penentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang
menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan lolos apabila nilai item
total korelasi ≥0,30.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai. Try out terpakai yaitu
subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian. Subjek
dalam penelitian ini adalah orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang
Maluku yang bertempat tinggal di luar luar Maluku (Kota Salatiga).
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan
teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala sikap
terhadap adat pela sebesar 0,888. Hal ini berarti skala sikap terhadap adat pela reliable.
Prosedur Pengambilan Data
Pengambilan data dilaksanakan setelah penulis mendapatkan surat ijin penelitian
dari fakultas pada tanggal 14 November 2014. Penelitian ini di lakukan didua tempat
yakni di luar Maluku (Kota Salatiga) yang berlangsung dari tanggal 15 November s/d 21
-
13
November dan di luar Maluku (Kota Ambon) yang dimulai pada tanggal 24 November
s/d 29 November 2014. Pembagian skala psikologis di luar Maluku di lakukan di
lingkungan sekitar kampus UKSW, Salatiga dan di Maluku pembagiannya dilakukan di
beberapa kampus yang ada di Kota Ambon. Penulis membagikan 100 skala psikologis
(50 di Maluku dan 50 di luar Maluku), yang mana skala yang dikembalikan pun
berjumlah sama dengan yang dibagikan.
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Ambon Salatiga
N 50 50
Normal Parametersa 85.08 82.60
11.389 11.014
Most Extreme Differences .108 .055
.108 .036
-.102 -.055
Kolmogorov-Smirnov Z .385 .761
Asymp. Sig. (2-tailed) .998 .609
Pada Skala sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang tinggal di Maluku
diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,385 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar
0,998 (p>0,05). Sedangkan pada skor sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang
tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,761 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,609. Dengan demikian kedua jenis sampel
berdistribusi normal.
-
14
Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3: Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Sikap terhadap adat pela
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.039 1 98 .844
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel
orang Maluku yang tinggal di Maluku dan orang Maluku yang tinggal di luar Maluku
(Kota Salatiga) sebesar 0.844. Karena signifikansi 0,844 > 0,05, maka dapat dikatakan
bahwa sampel penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar
deviasi sebagai hasil pengukuran skala sikap terhadap adat pela antara orang Maluku
yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar
Maluku, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: statistik deskriptif hasil pengukuran sikap terhadap pela
Jenis Interval Kategori f % Mean SD Max Min
Orang
yang
tinggal
di
Maluku
91 ≤ x ≤ 112 Sangat Positif 10 20%
11,014
107
56
70 ≤ x < 91 Positif 33 66% 82,60
49 ≤ x < 70 Negatif 7 14%
28 ≤ x < 49 Sangat Negatif 0 0%
Jumlah 50 100
Orang
yang
tinggal
di luar
Maluku
91 ≤ x ≤ 112 Sangat Positif 14 28%
11,389
108
46
70 ≤ x < 91 Positif 31 62% 85,08
49 ≤ x < 70 Negatif 4 8%
28 ≤ x < 49 Sangat Negatif 1 2%
Jumlah 50 100
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar orang Maluku yang tinggal di
Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%,
-
15
yang dimana skor paling rendah adalah 56 dan skor paling tinggi adalah 107, rata-
ratanya sebesar 82,60 dengan standar deviasi 11,014. Begitu juga dengan orang Maluku
yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) yang memiliki sikap yang positif terhadap
adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%, yang dimana skor paling rendah adalah 46
dan skor paling tinggi adalah 108, rata-ratanya sebesar 85,08 dengan standar deviasi
11,389.
Uji-t
Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4: Hasil Uji-t orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan
orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga)
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Sikap
terhadap
adat pela
Equal variances
assumed .039 .844 1.107 98 .271 2.480 2.241 -1.966 6.926
Equal variances
not assumed
1.107
97.89
0 .271 2.480 2.241 -1.966 6.926
Hasil perhitungan uji beda (uji-t) di atas, menunjukkan bahwa nilai signifikansi
untuk perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal
di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku memiliki nilai t-
hitung sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan antara sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang
bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku.
-
16
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa data penelitian tentang perbedaan sikap terhadap adat
pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal
di luar Maluku (Kota Salatiga) dengan menggunakan program Statistical Product and
Service Solution (SPPS) versi 17.0, diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 1,107 dengan
signifikansi 0,271 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini
ditolak yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela, antara orang Maluku
yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga).
Penulis mencoba menjelaskan penyebab terjadinya hipotesis penelitian yang
ditolak. Salah satu alasan yang mendasar adalah digunakanya aturan-aturan pela oleh
penulis sebagai aspek dalam pembuatan alat ukur, yang mana sebagian besar dari
aturan-aturan pela tersebut lebih bersifat umum atau tergolong dalam perilaku sosial
sehingga tanpa adanya ikatan pela pun seseorang dapat melakukannya. Salah satu
contoh pernyataan dalam skala psikologi pada penelitian ini yang tergolong dalam
perilaku sosial ialah “Saya bersedia memberikan bantuan dalam bentuk apa pun kepada
para korban peperanagn di desa yang se-pela dengan desa saya”
Jika dilihat dari penggolongan kategori sikap terhadap adat pela antara mahasiswa
Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa Maluku yang
bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga), keduanya sama-sama berada pada
kategori sikap yang positif, walaupun memiliki mean yang berbeda-beda. Orang
Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) memiliki mean sebesar 82,60,
sedangkan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga)
memiliki mean sebesar 85,08.
-
17
Hal di atas menunjukkan bahwa orang Maluku yang tinggal di Maluku maupun
yang tinggal di luar Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi hingga terbentuknya sikap positif tersebut. Salah
satunya yaitu adanya upacara panas pela yang sering dilakukan di Maluku. Pada saat
upacara panas pela ini, banyak orang Maluku yang telah merantau ke luar Maluku
kembali ke kampung halaman mereka. Upacara panas pela atau biking panas pela
bertujuan untuk menjaga hubungan persaudaraan sebagai nilai dasar pela,
memperkokoh solidaritas kehidupan kolektif dan mempertahankan keharmonisan
sebagai suatu totalitas adat dengan leluhur serta mengingatkan dan menyadarkan
masyarakat akan hubungan persaudaraan (Ralahallo, 2009).
Faktor keluarga juga memiliki peran penting dalam pembentukan sikap yang positif
terhadap adat pela. Menurut Azwar (2012), salah satu faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting, yang
dalam hal ini adalah keluarga. Hal senada juga diungkapkan oleh Riecenska (1998)
yang menjelaskan bahwa keluarga dan kerabat seorang individu memainkan peran
penting dalam pemeliharaan kontinuitas tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat
menciptakan pondasi emosional yang positif individu terhadap etnisnya.
Selain itu, dari pantauan penulis, orang Maluku yang telah lama merantau
membentuk kelompok-kelompok sosial di tempat rantauan mereka, seperti yang ada di
Riau (Ikatan Keluarga Besar Maluku Riau), di Jawa Tengah (Ikatan Keluarga Maluku)
dan diberbagai daerah lainnya. Di Salatiga juga terdapat IKM (Kerukunan Keluarga
Maluku) bahkan dikalangan Mahasiswa Maluku pun terdapat HIPMMA (Himpunan
Pelajar Mahasiswa Maluku). Dalam kelompok-kelompok tersebut sering diadakannya
kegiatan-kegiatan yang mensosialisasikan akan pentingnya menjaga nilai-nilat adat
-
18
Maluku. Dengan adanya kegiatan-kegiatan itulah maka dapat dibuktikan bahwa masih
terdapat ikatan yang kuat antara orang Maluku yang telah merantau dengan daerah asal
mereka, sehingga nilai-nilai adat mereka masih tetap terjaga meskipun mereka berada
jauh dari Maluku. Hal ini jugalah yang dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya
sikap yang positif terhadap adat pela oleh orang Maluku yang bertempat tinggal diluar
Maluku.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan sikap terhadap adat pela antara
orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar
Maluku (Kota Salatiga), diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak ada perbedaan perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang
bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota
Salatiga).
2. Sebagian besar orang Maluku yang tinggal di Maluku memiliki sikap yang positif
terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%. Begitu juga dengan orang
Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki sikap yang positif
terhadap adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%.
-
19
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku
Diharapkan untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela.
Serta dapat menjaga dan melestarikan budaya adat pela sebagai identitas etnis
Maluku yang telah ada dari dulu.
2. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku.
Diharapkan juga untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela
dan lebih waspada terhadap pengaruh yang berasal dari lingkungan tempat tinggal
yang berbeda dari daereh Maluku yang sewaktu-waktu dapat mengubah sikap
terhadap adat pela.
3. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan di luar Maluku
Lebih meningkatkan kesadaran terkhususnya generasi muda bahwa dalam
menjalankan adat pela sebaiknya lebih dipenuhi dengan rasa sukacita dan sukarela
untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang terdapat pada aturan-aturan pela baik
secara umum maupun pada masing-masing desa yang ber-pela sehingga pada
pelaksanaannya pun tidak ditemukan pelanggaran dan rasa takut yang timbul
terhadap sanksi yang berlaku ketika melanggar aturan pela tersebut.
4. Bagi pemerintah daerah.
Lebih meningkatkan kesadaran warga Maluku terkhusunya terhadap pentingnya
menjaga dan melestarikan budaya adat pela dengan mengadakan kegiatan-kegiatan
daerah yang berhubungan dengan adat pela tersebut sehingga orang Maluku baik
-
20
yang bertempat tinggal di Maluku maupun di luar Maluku dapat terus memiliki
sikap yang positif terhadap adat pela.
5. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dari penelitian ini, sebaiknya lebih membahas mengenai mengapa orang Maluku
yang telah beertempat tinggal di luar Maluku masih memiliki sikap yang positif
terhadap adat pela dengan menggunakan pendekatan kualitatif pada penelitiannya.
-
21
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2011). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan XVI.
Yogyakarta: Pustaka pelajar
_______. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Baan, E. (2007). Perbedaan kepercayaan terhadap upacara rambu solo‟ antara
mahasiswa toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan di luar Kabupaten
Tana Toraja. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas
Kristen Satya Wacana
Baron, R.A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 1). Ciracas,
Jakarta: Erlangga
_____________________. (2005). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 2). Ciracas,
Jakarta: Erlangga
Bartels, D. (2000). Tuhanmu bukan lagi Tuhanku: perang saudara muslim-kristen di
Maluku Tengah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan
kesatuan etnis yang berlangsung selama setengah millennium. Arizona: Yavapai
College. Diunduh pada tanggal, 12 Juli 2013, dari
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/07/27/0012.html
Dayakisni, T., & Yuniardi, S. (2008). Psikologi lintas budaya. Edisi revisi. Malang:
UMM Press
Ember, C.R., & Ember, M. (2011). Cultural anthropology. Thirteenth edition. Pearson
Higher Education. Retrieved from
http://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-
Anthropology/9780205711208.page
Fiske, A., Kitayama, S., Markus, H., & Nisbett, R. (1998). The cultural matrix of social
psychology. In D. Gilbert, S. Fiske, & G. Lindzey (Eds.), The handbook of social
psychology (4th ed., pp. 915–981). New York, NY: McGraw-Hill; Matsumoto, D.
(Ed.). (2001). The handbook of culture and psychology. New York, NY: Oxford
University Press.
Kombong, E. (2010). Perbedaan sikap terhadap rambu solo‟ antara orang Tana Toraja
yang bertempat tinggal di Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya
Wacana.
Lasamahu, P. (2009). Gereja dan pela (suatu kajian sosio-teologis mengenai sikap
jemaat GPM Amahai-Soahuku terhadap larangan pernikahan adat sebelum dan
sesudah konflik Maluku. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Teologi,
Universitas Kristen Satya Wacana.
http://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-Anthropology/9780205711208.pagehttp://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-Anthropology/9780205711208.page
-
22
Makaruku, S. (2012). Pela sebagai sarana penyelesaian konflik antara suku alone dan
wemale di kabupaten seram bagian barat propinsi Maluku (suatu kajian hukum
adat). Jurnal Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Undayana
Denpasar. Diunduh pada tanggal, 18 Februari 2013, dari
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/4442/3362
Mercer, J., & Clayton, D. (2012). Psikologi sosial. Ciracas, Jakarta: Erlangga
Mesoudi, A. (2009) How cultural evolutionary theory can inform social psychology,
and vice versa. Psychological Review, 116, 929–952. Diunduh pada tanggal, 29
Agustus 2014, dari
http://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.
pdf
Mulyana, D. (2001). Komunikasi antarbudaya. Bandung: Rosdakarya
Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (buku 1). Jakarta: Salemba
Humanika
Persatuan Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai. (2011, 29 November).
Siwalima. Diunduh pada tanggal 2 November 2013, dari
http://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_dekl
arasi_damai
Prihadi, H. (2012, 16 November). Malam budaya untuk spirit Maluku. Situs Resmi
Pemerintah Kota Semarang. Diunduh pada tanggal 25 April 2014, dari
http://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-
spirit-maluku
Ralahallo, R.N. (2009). Kultur damai berbasis tradisi pela dalam perspektif psikologi
sosial. Jurnal psikologi, Vol. 36 No. 2, desember 2009: 177-188. Diunduh pada
tanggal 13 Juni 2013, dari
http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/50
Riecanska, E. (1998). Contemporary Ethnicity, Maintenance Of Ethnic Culture And
Ethnic Change: The Case Of The Slovak Americans In Western Pennsylvania.
Human affairs, 8, 1998, 1, 68-84. Retrieved August 4, 2014, from
https://www.sav.sk/journals/hum/full/hum198f.pdf
Shiraev, E.B., & Levy, D.A. (2005). Psikologi lintas kultural. Edisi Keempat. Jakarta:
Kencana
Tanamal, P. (1985). Pengabdian dan perjuangan. Ambon: Yayasan Kapatta
Thomas, F. (2010). Wacana Tradisi Pela dalam Masyarakat Ambon. Bahasa dan Seni
FKIP Universitas Pattimura Ambon, 2, 166-180. Diunduh pada tanggal, 14 Juni
2013, dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/4-Frans-Thomas.pdf
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/4442/3362http://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.pdfhttp://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.pdfhttp://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_deklarasi_damaihttp://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_deklarasi_damaihttp://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-spirit-malukuhttp://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-spirit-malukuhttps://www.sav.sk/journals/hum/full/hum198f.pdfhttp://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/4-Frans-Thomas.pdf
-
23
Widyarto, Q. (2007). Dinamika Interaksi dalam Kehidupan Masyarakat Keturunan
Madura yang Tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak,
Kabupaten Malang Tahun 1950-2012. Jurnal Ilmu Sosial Universitas Negeri
Malang. Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014, dari
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0
CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-
online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C0
7C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobR
Zw8twQtSW-
oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=
rja
Yudha, I.P.P.K. (2014). Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. (Tesis). Denpasar: Program Studi
Kajian Budaya Universitas Udayana. Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014,
dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-940-1709744861-thesis.pdf
Yusuf, Y. (1991). Psikologi antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
http://fis.um.ac.id/http://fis.um.ac.id/http://fis.um.ac.id/https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttp://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-940-1709744861-thesis.pdf