perbedaan psychological well-being pada...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
KELUARGA BERSTATUS EKONOMI RENDAH DITINJAU DARI
TEMPAT TINGGAL (BERSAMA KEDUA ORANG TUA DAN
TINGGAL DI PANTI ASUHAN) DI WONOSOBO
OLEH
KRISTIAN WIDIATMOKO
802012011
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJADARI KELUARGA BERSTATUS EKONOMI RENDAH DITINJAUDARI TEMPAT TINGGAL (BERSAMA KEDUA ORANG TUA DAN
TINGGAL DI PANTI ASUHAN) DI WONOSOBO
Kristian Widiatmoko
Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being antara
remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua
dengan status ekonomi rendah. Subjek penelitian berjumlah 100 remaja dari keluarga
berstatus ekonomi rendah ( 50 remaja tinggal dengan orang tua & 50 remaja tinggal di
Panti Asuhan ) di Wonosobo. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampeling. Data penelitian diambil menggunakan skala RPWB (Ryff
psychological well-being) yang teridiri dari 37 item yang dinyatakan lolos seleksi daya
diskriminasi dengan koefisien alpha cronbachnya 0,946. Berdasarkan uji perbedaan
menggunakan teknik uji beda uji t diperoleh nilai t = -3,111 dengan (p<0,05). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being antara
remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua
dengan status ekomomi rendah. Berdasarkan hasil uji analisis deskriptif menunjukan
bahwa remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being
lebih tinggi daripada remaja yang tinggal di Panti Asuhan. Berdasarkan pengujian pada
setiap aspek dalam penelitian ditemukan adanya perbedaan pada aspek environmental
mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance dengan
remaja yang tinggal bersama kedua orang tua lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal
di Panti Asuhan. Sedangkan pada aspek autonomy tidak ditemukan adanya perbedaan.
Kata Kunci : psychologycal well-being, tinggal dengan orang tua, tinggal di
Panti Asuhan, Remaja dari keluarga status ekonomi rendah.
ii
Abstract
The purpose of the research is to determine the difference on psychological well -being
among adolescents in a low economic status family, who live in orphanages and
adolescents who live with both parents. The type of research is quantitative research.
The research Subjects numbered 100 adolescents from low economic status families (
50 adolescents living with their parents and 50 adolescents living in orphanages ) in
Wonosobo. Sampling technique used is purposive sampeling. Data research is taken
with RPWB (Ryff psychological well-being), which is consisted of 37 item with alpha
cronbach’s coefficient is 0,946. According to result t test, we got t = -3,111. This result
analysis data showed that there is difference of psychological well -being among
adolescents who live in orphanages and adolescents who live with both parents with
low economic status (p<0,05). Based on the test results of descriptive analysis showed
that adolescents who lived with both parents have the psychological well -being is
higher than the adolescents who live in the Orphanage. Based on the test each aspect
found there is difference in the aspect of environmental mastery, personal growth,
positive relation, purpose in life, and self acceptance with adolescents lived with both
parents have higher score than adolescents living in orphanages while in the aspect of
autonomy did not reveal any difference.
Key Words : psychologycal well-being, orphanages, non- orphanages, low economic
status
1
PENDAHULUAN
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal di belahan dunia, khususnya
Indonesia yang merupakan negara berkembang. Kemiskinan adalah keadaan dimana
terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak bisa mengenyam
pendidikan, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan masalah lain
yang menjuruskan meraka ke arah tindakan kekerasan dan kejahatan untuk bertahan
hidup (Apriliana, 2011).
Di Indonesia sendiri jumlah kemiskinan yang ada semakin meningkat. Hal ini
terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penduduk miskin di
Indonesia pada Maret 2015 sebanyak 28,59 Juta orang atau 11,22 persen dari jumlah
penduduk Indonesia. Hal ini mengalami peningkatan dibanding pada tahun 2014
sebesar 860.000 orang (Kompas.com, Selasa, 15 September 2015).
Dari data BPS, salah satu Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah
Jawa Tengah dengan tingkat kemiskinan mencapai 4,58 juta jiwa (Liputan 6.com, 15
September 2015). Di Jawa Tengah sendiri kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi ada
di Wonosobo dengan tingkat kemisikinan mencapai 22,08%. Angka tersebut masih
menempatkan Wonosobo di posisi 35 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah atau bisa
dikatakan menjadi kabupaten termiskin se-Jawa Tengah (Kedaulatan Rakyat online,
Jumat, 22 Mei 2015). Menurut De Panfilis (2006), kondisi permasalahan ekonomi
keluarga yang kompleks dapat berakibat pada kecenderungan orangtua melakukan
2
pengabaian (fisik, pendidikan, dan emosional) karena perhatian dan waktu lebih
berfokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kondisi ekonomi yang rendah
membuat orangtua menitipkan anak mereka di panti asuhan. Menurut Hartini (2011)
kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orangtua menitipkan anak
mereka di panti asuhan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Kementrian Sosial Republik
Indonesia.co.id, 2008) menemukan bahwa tidak seperti asumsi luas yang ada, hanya ada
persentasi yang sangat kecil untuk anak-anak di panti asuhan yang benar-benar yatim
piatu 6% dan 94% di antaranya memiliki salah satu atau kedua orangtua. Kebanyakan
anak-anak ditempatkan di panti asuhan oleh keluarganya yang mengalami kesulitan
ekonomi dan juga secara sosial dalam konteks tertentu, dengan tujuan untuk
memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan.
Harapan keluarga menitipkan anak mereka di panti asuhan agar mendapat
kehidupan yang layak berbanding terbalik dengan kenyataannya. Dalam Standar
Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011)
mengemukakan bahwa banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari
keluarga. Selain itu, anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang
layak, keharusan kerja di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami
kekhawatiran pada masa depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari
keluarga. Brooks mengungkapkan bahwa pengasuhan didefinisikan sebagai individu
yang mengembangkan seluruh fase pertumbuhan dan perkembangan seorang anak
melalui menjaga kesehatan anak, melindungi anak dan mengarahkan anak dalam
menapaki kehidupan baru mereka menuju ke kedewasaan. Pengasuhan yang diberikan
3
orangtua sangat dibutuhkan untuk perkembangan seorang anak khususnya saat anak
beranjak remaja.
Santrock (2012) membagi masa remaja di mulai dari usia 10 tahun hingga 13
tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Pada masa transisi menuju
dewasa, remaja juga memiliki tugas untuk menemukan identitas dirinya. Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Erikson yang menyebutkan bahwa tugas terpenting bagi remaja
adalah mencapai identitas diri yang lebih mantap melalui pencarian dan eksplorasi
terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Dalam proses pencarian identitas diri diperlukan
pengasuhan dari orang tua ataupun keluarga di dalam mengarahkan remaja dalam
menemukan identitas dirinya.
Menurut Narwoko dan Suyanto (2004) keluarga adalah lembaga sosial dasar di
antara semua lembaga atau pranata sosial lainnya. Hampir sebagian besar kalangan
masyarakat di dunia menganggap keluarga merupakan kebutuhan manusia yang
universal dan mampu menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu.
Hyoscyamina (2011) juga berpendapat bahwa keluarga merupakan forum pendidikan
yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak yang menjadi dasar penting
dalam pembentukan karakter anak itu sendiri. Selain itu, menurut Pattimahu (t.t)
keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan remaja karena dari anggota
keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara - saudaranya, anak memperoleh segala
kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak
ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan
pendapat orang tua atau anggota keluarganya dijadikan model oleh anak dan ini
kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri. Keberadaan figur dan
peran orangtua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari
4
orangtua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya
dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa
yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Demo dan Acock (1996) menemukan bahwa fungsi
keluarga yang baik akan berdampak positif pada kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) seorang remaja. Selain itu Lazzari (2000) mengemukakan
bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psychological
well-being pada remaja. Dukungan sosial pada remaja bisa didapatkan salah satunya
dari keluarga.
Menurut Ryff, psychological well‐being merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi
psikologi positif (positive psychological functioning). Kurang atau tidaknya kasih
sayang dan perhatian yang diterima remaja serta jelas atau tidaknya status diri mereka
merupakan pengalaman hidup yang akan mempengaruhi hasil evaluasi/penilaian remaja
terhadap dirinya. Hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidup remaja ini disebut
dengan psychological well-being, yang dilihat dari keenam dimensinya. Keenam
dimensi tersebut adalah self-acceptance, positive relations with others, personal growth,
purpose in life, environmental mastery, autonomy. Self-acceptance adalah penilaian
remaja tentang dirinya yang harus berjuang untuk merasa nyaman dengan dirinya
sendiri. Positive relations with others adalah penilaian remaja tentang kemampuannya
untuk mempererat hubungan dan keberadaan hubungan dengan orang lain yang hangat,
intim, saling percaya, berempati, dan bekerjasama dengan orang lain. Personal growth
adalah penilaian remaja tentang usahanya yang berkelanjutan untuk menilai dirinya
untuk dan telah bertumbuh serta berkembang, berubah dalam cara yang lebih efektif,
5
mau terbuka pada pengalaman-pengalaman baru, dan mampu merealisasikan
potensinya. Purpose in life merupakan penilaian remaja tentang maksud dan tujuan
dirinya untuk hidup, yang meliputi adanya tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup
itu mempunyai arah. Environmental mastery adalah penilaian remaja tentang
kemampuannya untuk mengenali kebutuhan personalnya, berperan aktif dalam
mengatur dan mengontrol kejadian sehari-hari, mengefektifkan kesempatan yang ada
untuk menciptakan kondisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut.
Autonomy adalah penilaian remaja tentang refleksi dirinya di dalam pencarian akan
penentuan diri (self-determination) dan otoritas personal/ kemandirian dalam
masyarakat yang terkadang mendorong pada sikap obedience dan compliance ( Savitri,
Kiswantomo, dan Ratnawati, t.t).
Langford dan Badeau (2013) mengkategorikan beberapa dampak positif
psychological well-being pada remaja yaitu mengembangkan dan membangun relasi
dalam komunitas sosial; berhasil dalam berinteraksi dengan komunitasnya; dapat
mengenali, mengetahui dan mengekspresikan emosinya dapat menyalurkan emosinya
ke dalam perilaku yang baik, memiliki kebugaran dan kesehatan fisik, dan memiliki
tujuan hidup.
Menurut Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002), faktor – faktor yang mempengaruhi
psychological well-being (PWB) adalah usia, jenis kelamin, perbedaan status sosial,
pendidikan dan pekerjaan, dukungan sosial, kesehatan fisik dan kepribadian. Usia,
menjelaskan posisi individu dalam struktur sosial. Faktor perbedaan status sosial,
beberapa penelitian telah membuktikan bahwa semakin seseorang mementingkan tujuan
yang berhubungan dengan materi dan finansial, semakin rendah tingkat well-being
orang tersebut (Ryan dan Deci, 2001). Ryff dkk. telah meneliti dampak kemiskinan
6
terhadap psychologycal well-being, dimana hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan
hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi.
Mazaya dan Supradewi (2011) berpendapat bahwa remaja yang tinggal di panti
asuhan secara tidak langsung kehilangan fungsi dan peran keluarganya, dimana fungsi
dan peran dalam keluarga ini sangat dibutuhkan remaja dalam melaksanakan tugas
perkembangannya. Individu yang tinggal di panti asuhan akan dihadapkan pada segala
dinamika kehidupan dan problema yang dijalaninya. Dalam menjalani kehidupannya,
remaja yang tinggal di panti akan cenderung untuk mudah putus asa bila tidak memiliki
tujuan hidup, harapan, dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Hal itu dapat
menyebabkan remaja yang hidup di panti asuhan kesulitan mewujudkan kesejahteraan
psikologis (psychological well-being).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsegaye (2013)
menemukan adanya perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di
panti asuhan dan yang tidak tinggal di panti asuhan di Addis Ababa ( dengan t hitung =
3.41 dengan p < 0.05 ). Dengan mean anak yang tinggal di Panti Asuhan adalah 62.5
dan mean pada remaja yang tidak tinggal di Panti Asuhan adalah 64,14. Hal tersebut
menunjukkan bahwa psychological well-being remaja yang tidak tinggal di panti asuhan
lebih tinggi dibandingkan dengan psychological well-being remaja yang tinggal di panti
asuhan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Katyal (2013) menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan psychological well-being antara anak yang tinggal di Panti Asuhan
dan anak yang tidak tinggal di Panti Asuhan di India dengan ( t = 2.0063 dan p < 0,05 ).
7
Dengan mean anak yang tinggal di Panti Asuhan adalah 56,64 dan mean pada remaja
yang tidak tinggal di Panti Asuhan adalah 54,83. Hal ini berarti anak yang tinggal di
Panti Asuhan memiliki psychological well-being lebih tinggi dari anak yang tinggal
diluar Panti Asuhan.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti “Apakah ada
perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan
yang tinggal bersama kedua orang tua dengan status ekonomi rendah di Wonosobo”.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan psychological well-
being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi rendah ditinjau dari ekonomi rendah
ditinjau dari tempat tinggal ( besama orang tua & di Panti Asuhan ) di Wonosobo”
dengan remaja yang tinggal bersama kedua orangtuanya memiliki psychological well-
being lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di panti asuhan.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut
Azwar (2008), pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan dapat
diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh lewat suatu proses pengukuran
di samping valid dan reliabel, juga objektif.
Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitiani adalah:
a. Variabel terikat (Y) : Psychological Wellbeing
b. Variabel bebas (X) : Panti Asuhan dan tinggal dengan orang tua
8
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja panti asuhan di kota Wonosobo
yang keseluruhannya masih memiliki ayah dan ibu namun tinggal di panti asuhan
dikarenakan memiliki status ekonomi rendah. Sedangkan populasi remaja yang tinggal
bersama orang tua adalah remaja SMA di Wonosobo dengan kriteria remaja yang
memiliki status ekonomi rendah. Sedangkan sampel dari penelitian ini berjunlah 50
remaja dari panti asuhan Darul Hadlonah, panti asuhan AL-Mannan, dan panti asuhan
Peduli Pendidikan di Wonosobo dan 50 remaja dari SMA Kristen 01 Wonosobo.
Kriteria sampel
Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah
Rp. 600.000,- per bulan. Orang tua siswa terdaftar sebagai peserta PKH (Program
Keluarga Harapan). Memiliki kartu miskin. Anak mendapat Bantuan Siswa Miskin
(BSM).
Tehnik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang ditentukan dengan teknik tertentu
sehingga mempunyai sifat yang sama dengan populasi (Purwanto 2008). Tehnik
Sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling yaitu pengambilan
sampel yang didasarkan pada keriteria penelitian.
9
Alat Ukur Penelitian
Pengukuran psychological wellbeing yang dilakukan menggunakan instrument RPWB (
Ryff psychological well being) yang di kembangkan oleh Ryff Instrument ini mengukur
psychological wellbeing seseorang melalui enam aspek yaitu autonomy, enviromental
mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance yang
terdiri dari 42 item. Pengukuran RPWB menggunakan enam point skala likert, dimana 1
menunjukan sangat setuju, 2 menunjukan setuju, 3 agak setuju, 4 agak tidak setuju, 5
tidak setuju, dan 6 sangat tidak setuju.
Selanjutnya alat ukur yang digunakan telah diuji lagi dengan uji daya diskriminasi item
dan reliabilitasnya menggunakan bantuan SPSS.17 for Windows dengan standar
validitas.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala psychological well-
being yang terdiri dari 42 item, pada pengujian pertama terdapat 5 item yang gugur
yaitu 3 item yang terdapat pada aspek personal growth, 1 item yang terdapat pada aspek
purpose in life, dan 1 item yang terdapat pada aspek positive relation dan setelah
dilakukan pengujian ulang didapat 37 item yang valid. Daya diskriminasi item dengan
koefisien korelasi item totalnya bergerak antara (0,339-0,748). Sedangkan teknik
pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha
Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala psychological well-being
sebesar 0,946. Hal ini berarti skala psychological well-being tergolong reliable.
Berdasarkan uji reliabilitas per aspek diperoleh hasil Autonomy α = 0,698 Enviromental
α = 0,722, personal growth α = 0,531 , positive relation α = 0,739, purpose in life α =
0,746, self acceptance α = 0,765.
10
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent
Sample t test) dengan bantuan SPSS. 17 for Windows. Beberapa pengujian sebelum
dilakukan uji perbedaan atau uji t adalah pengujian terhadap normalitas data dan
homogenitas varian.
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Pada Skala psychological well-being pada kelompok panti diperoleh nilai K-S-Z
sebesar 0,618 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,839 (p>0,05).
Sedangkan pada skor psychological well-being pada kelompok non panti memiliki nilai
K-S-Z sebesar 0,439 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,991. Dengan
demikian kedua jenis kelompok berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel
psychological well-being pad remaja yang tinggal di panti dan remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Statistic sebesar
0,412. Dengan signifikansi sebesar 0,522. Karena signifikansi > 0,05, sehingga dapat
dikatakan bahwa penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.
11
Analisa Deskriptif
Tabel 1
Tabel Statistik Deskriptif
Kategori Skor psychological well-being remaja yang tinggal di panti asuhan dan
remaja yang tinggal bersama kedua orangtua
Interval Kategori Panti % NonPanti
%
185≤x<222 Sangat Tinggi 0 0% 12 24%
151≤x<185 Tinggi 17 34% 26 52%
113≤x<151 Sedang 23 46% 12 24%
74≤x<113 Rendah 10 20% 0 0%
37≤x<74 Sangat Rendah 0 0% 0 0%
Jumlah 50 100% 50 100%
Mean 149.12 162.94
StDev 20.701 23.631
Data tersebut menunjukan bahwa sebanyak 17 (34%) remaja yang tinggal di
panti asuhan memiliki psychological well-being pada kategori tinggi, sebanyak 23
(46%) remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki psychological well-being pada
kategori sedang. Dan sebanyak 10 (20%) remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki
psychological well-being pada kategori rendah. Dalam hal ini psychological well-being
remaja yang tinggal di panti asuhan tergolong kategori sedang.
Sedangkan 12 (24%) remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki
psychological well-being pada kategori sangat tinggi, dan 26 (52%) remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being pada ketegori tiggi, dan 12
12
(24%) remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being
pada kategori sedang. Dalam hal ini psychological well-being remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua tergolong kategori tinggi.
Tabel 2
Tabel Hasil Uji-t psychologicall well-being pada remaja yang tinggal di panti
asuhan dan tinggal bersama kedua orang tua
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95%
Confidence
Interval of the
Difference
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper
PWB
Equal
variances
assumed
.412 .522 -3.111 98 .002 -13.820 4.443-
22.637
-
5.003
Equal
variances not
assumed
-3.111 96.331 .002 -13.820 4.443-
22.639
-
5.001
Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh (t-hitung = -3,111 dengan p <
0,05). Berdasarkan hasil rata – rata anak yang tinggal di Panti Asuhan memperoleh hasil
149,12 berada pada kategori sedang, sedangkan anak yang tinggal bersama kedua orang
tua memperoleh hasil 162,94 berada pada kategori tinggi. jadi, psychological well-
being remaja yang tinggal di Panti Asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan psychological
13
well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi rendah ditinjau dari tempat
tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di Wonosobo.
Tabel 3
Perbedaan psychological well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi
rendah ditinjau dari tempat tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di
Wonosobo ditinjau dari Aspek.
z t Sig. (2-tailed)
N PANTI NON-PANTI
Std.Deviation
Mean Std.Deviation
Mean
Autonomy -1,864 0,065 50 4,285 29,74 4,407 31,36
EnviromentalMastery
-2,790 0,006 50 4,349 28,02 4,678 30,54
Personal Growth -3,837 0,000 50 2,404 16,12 2,745 18,34
Positive Relation -0,115 0,000 50 4,116 22,40 4,067 25,54
Purpose in Life -2,475 0,015 50 3,859 24,38 4,290 26,40
Self Acceptance -2,439 0,017 50 4,179 28,46 5,200 30,76
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil uji t setiap aspek psychological well-
being sebagai berikut. Pada aspek autonomy diperoleh ( t hitung = -1,864 dan p > 0,05
), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 29,74
sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata
31,36. Pada aspek Enviromental Mastery diperoleh ( t hitung = -2,790 dan p < 0,05 ),
dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,02 sedangkan
remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 30,54. Pada
aspek personal growth diperoleh ( t hitung = -3,837 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang
tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 16,12 sedangkan remaja yang tinggal
14
bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 18,34 dengan. Pada aspek positive
relation diperoleh ( t hitung = -o,115 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti
asuhan memperoleh hasil rata-rata 22,40 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua
orang tua memperoleh hasil rata-rata 25,54. Pada aspek purpose in life diperoleh ( t
hitung = -2,475 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh
hasil rata-rata 24,38 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua
memperoleh hasil rata-rata 26,40. Pada aspek self-acceptance diperoleh ( t hitung = -
2,439 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-
rata 28,46 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil
rata-rata 30,76.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas menunjukan bahwa ada perbedaan
psychological well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan Remaja yang
tinggal bersama kedua orang tua dengan status ekonomi rendah pada aspek
environmental mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self
acceptance.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan psychological well
being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan remaja yang tinggal bersama
kedua orang tua dengan status ekonomi rendah menggunakan program SPSS versi 17.0,
diperoleh (t hitung = -3,111 dengan p< 0,05). Berdasarkan hasil rata – rata anak yang
tinggal di Panti Asuhan memperoleh hasil 149,12, sedangkan anak yang tinggal
bersama kedua orang tua memperoleh hasil 162,94. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan psychological well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi
rendah ditinjau dari tempat tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di
15
Wonosobo, dengan psychological well-being remaja yang tingga di Panti Asuhan lebih
rendah dari pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua. Hal ini sejalan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsegaye ( 2013 ) menemukan adanya
perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan
yang tidak tinggal di panti asuhan di Addis Ababa ( dengan t hitung = 3.41 dengan p <
0.05 ).
Perbedaan tingkat psychological well being pada remaja yang tinggal di Panti
Asuhan dan remaja yang tinggal bersama orang tua ini salah satu faktornya mungkin
dipengaruhi oleh dukungan sosial dari keluarga karena keterlibatan orang tua
mempengaruhi psychological well being remaja terutama dalam hal harga diri, evaluasi
diri dan hubungan dengan orang lain (Amato, 1994;Amato & Ochiltree, 1986; Buri et
al., 1987; Dekovic & Meeus, 1997; Dmitrieva et al, 2004; Flouri & Buchanan, 2003;
GECAS, 1971; Gibson & Jefferson, 2006; Roberts & Bengtson, 1993; Wilkinson,2004).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Demo dan Acock (
1996 ) menemukan bahwa fungsi keluarga yang baik akan berdampak positif pada
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) seorang remaja. Selain itu Lazzari
(2000) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi psychological well-being pada remaja. Sebaliknya dukungan sosial dari
keluarga kurang didapatkan pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan.
Budiharjo (2015) menyatakan Panti Asuhan sebagai lembaga pengasuhan anak
tentu memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan keseimbangan antara asah, asih
dan asuh dalam proses pengasuhan anak. Namun pada prakteknya Panti Asuhan hanya
dominan dalam pemenuhan kebutuhan asuh dan asah. Pemenuhan kebutuhan asuh
terlihat dari pangan, akan, minum dan tempat tinggal anak yang disediakan oleh Panti
16
Asuhan terhadap anak asuh. Pemenuhan akan kebutuhan asah tercermin dari pendidikan
yang disediakan oleh Panti asuhan untuk anak, baik pendidikan umum maupun
pendidikan agama melalui sekolah yang disediakan oleh Panti asuhan. Padahal konsep
dasar pengasuhan anak menitik beratkan pada kemampuan lingkungan untuk menjaga
tumbuh kembang anak secara optimal melalui pendekatan asah, asih dan asuh. Anak
membutuhkan stimulasi mental (asah) yang menjadi cikal bakal dalam proses belajar
(pendidikan dan pelatihan). Kebutuhan akan kasih sayang (asih) dari orang tua akan
menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan kepercayaan dasar (basic trust) antara
anak dan orang tua. Kebutuhan fisik biomedis (asuh) meliputi pangan, gizi dan
pemenuhan kebutuhan dasar anak. Namun di Panti Asuhan anak asuh kurang mendapat
kebutuhan kasih sayang (asih). Hal ini juga didukung Dalam Standar Nasional
Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011) mengemukakan bahwa
banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari keluarga. Selain itu,
anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang layak, keharusan kerja
di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami kekhawatiran pada masa
depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari keluarga. Selain itu,
pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara
kebutuhan emosional anak-anak sendiri tidak dipertimbangkan (Wahyuningrum dan
Tobing, 2013). Kurangya dukungan sosial dan kasih sayang kepada remaja yang tinggal
di Panti Asuhan dapat berdampak negatif seperti mengalami depresi dan kehilangan
tujuan hidup. Hal tersebut didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Sengedo dan
Nambi (1997) yang menemukan bahwa remaja yang tinggal di Panti Asuhan memiliki
potensi yang lebih besar mengalami depresi dan kehilangan tujuan hidup. Hal tersebut
17
membuat remaja yang tinggal di Panti Asuhan tidak memiliki psychological well-being
yang baik.
Pada pengujian setiap aspek psychological well-being juga ditemukan perbedaan
antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua
orang tua dengan status ekonomi rendah pada aspek pada aspek environmental mastery,
personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance. Dan tidak
ditemukan perbedaan pada aspek autonomy.
Pada aspek autonomy tidak ditemukan perbedaan psychological well-being antara
remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang
tua dengan (t hitung = - 1,864, p > 0,065). Remaja yang tinggal di panti asuhan
memperoleh hasil rata-rata 29,74 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang
tua memperoleh hasil rata-rata 31,36. Dari penelitian yang dilakukan oleh Tsayage
bahwa Hal ini dapat terjadi karena remaja yang tinggal di Panti Asuhan telah diberikan
hak untuk mengekspresikan diri mereka sebagai individu melalui cara-cara yang
sederhana contohnya termasuk memungkinkan mereka untuk menghiasi tempat tidur
mereka, membiarkan mereka memasang gambar, menulis nama-nama mereka, membuat
benda-benda kecil - sesuatu yang mengekspresikan diri mereka dan bahwa mereka
benar-benar penting, memiliki nilai, dan tidak dilupakan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Savitri dkk (t.t) mengenai gambaran
psychological well-being remaja yang tinggal di Panti Asuhan menemukan bahwa
dimensi autonomy tinggi karena mereka telah diajarkan untuk dapat menentukan
hidupnya sendiri dan hidup mandiri. Remaja-remaja tersebut diberikan tugas-tugas
harian seperti menyapu, mencuci, menyetrika, mengerjakan tugas sekolah, dan lainnya
18
dan diajarkan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut secara bertanggung jawab. Sejak
kecil mereka juga diajarkan untuk mengambil keputusan sendiri, tetapi ibu asuh dan
Pembina ikut membantu dalam memberikan saran, nasihat, arah, dan pertimbangan
yang dibutuhkan bagi remaja sebelum memutuskan.
Sedangkan pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua kemandirian
mungkin dibentuk dari lingkungan keluarga. Hal ini didukung oleh (Setiadi, 2010)
bahwa keutuhan keluarga sangat diperlukan dan penting dalam pendewasaan anak.
Kehadiran orang tua memungkinkan adanya rasa kebersamaan sehingga memudahkan
orang tua mewariskan nilai-nilai moral yang dipatuhi dan ditaati dalam berperilaku,
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mandiri. Oleh
karena itu, mereka membutuhkan pertolongan dari orang dewasa yaitu melalui
pendidikan dan pelatihan dalam hal ini adalah keluarga, terutama orang tua. Untuk
dapat mandiri seseorang membutuhkan dukungan dan dorongan dari keluarga serta
lingkungan sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas dirinya sendiri.
Pada aspek Enviromental Mastery diperoleh hasil uji beda ( t = -2,790 dan p <
0,05). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pada aspek environmental mastery
anatara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua
orang tua. Remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,02
sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata
30,54. Hal ini berarti Enviromental Mastery remaja yang tinggal di panti asuhan lebih
rendah dari pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua dengan status ekonomi
rendah. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Savitri, Kisantomo,
dan Ratnawati (t.t) bahwa remaja yang tinggal di Panti Asuhan memiliki environmental
mastery yang rendah. Hal tersebut terjadi karena remaja yang tinggal di Panti Asuhan
19
tidak mendapat kesempatan yang efektif untuk mencapai keperluan pribadi mereka, dan
mereka cenderung menyerah dan menerima keadaan tanpa berusaha untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan dan mereka perlukan. Selain itu, rendahhnya environmental
mastery pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan mungkin dipengaruhi oleh pola asuh
yang diterapkan oleh pengasuh di Panti asuhan. Berdasarkan survey yang pernah
dilakukan oleh Kristanti (2013), para pengasuh panti asuhan mengakui bahwa anak asuh
mereka kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya yaitu mereka tidak bisa
mengandalkan orang lain, pendiam, pemalu, tidak berani tampil dan tidak aktif. Jadi
apabila pengasuh menerapkan pola asuh yang tidak tepat akan mengakibatkan remaja
memiliki penilaian terhadap diri yang renda, merasa tidak mampu, dan akan mengalami
keraguan akan dirinya.
Menurut Pattimahu (t.t) keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan
remaja karena dari anggota keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara - saudaranya,
anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan
penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota keluarganya.
Sikap, pandangan dan pendapat orang tua atau anggota keluarganya dijadikan model
oleh anak dan ini kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri.
Keberadaan figur dan peran orangtua yang jelas membuat anak merasa adanya
penerimaan yang hangat dari orangtua berupa pemberian rasa aman dengan menerima
anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak
dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya
diri. Sehingga remaja yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya akan bisa menentukan
cita-cita mereka. Hal ini membantu remaja untuk mengetahui apa yang mereka inginkan
dan butuhkan, serta berusaha untuk mendapatkannya.
20
Pada aspek personal growth diperoleh hasil uji beda ( t = -3,837 dan p<0,05) itu
berarti terdapat perbedaan dalam aspek personal growth antara remaja yang tinggal di
Panti asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja yang tinggal
di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 16,12 sedangkan remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 18,34. Hal ini berarti personal
growth remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal
bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Dalam Standar Nasional
Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011) mengemukakan bahwa
banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari keluarga. Selain itu,
anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang layak, keharusan kerja
di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami kekhawatiran pada masa
depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari keluarga. Selain itu,
pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara
kebutuhan emosional anak-anak sendiri tidak dipertimbangkan (Wahyuningrum dan
Tobing, 2013). Karena aturan yang ketat dalam Panti Asuhan, keharusan remaja kerja di
Panti dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis yang mampu menumbuhkan potensi
yang ada dalam diri remaja itu dapat menghambat remaja dalam mengembangkan
potensi yang ada di dalam dirinya.
Latipun (1999) mengemukakan bahwa keluarga yang lengkap dan fungsional
serta mampu membentuk homeostatis akan meningkatkan kesehatan mental para
anggota keluarganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan anggota
keluarganya dari gangguan gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggotanya.
Hal ini tidak lepas dari kemampuan setiap anggota keluarga, khususnya orangtua yang
21
menciptakan iklim yang dapat mengembangkan kondisi homeostatis. Jika kebutuhan
fisik, sosial, dan psikologis remaja terpenuhi mereka akan lebih mudah untuk
berkembang. Hal tersebut yang mungkin membuat remaja yang tinggal bersama kedua
orang tua memiliki personal growth yang lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di
Panti Asuhan.
Pada aspek positive relation diperoleh hasil uji beda ( t = 0,115 dan p<0,05) itu
berarti terdapat perbedaan pada aspek positive relation pada remaja yang tinggal di
Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orangtua. Remaja yang tinggal
di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 22,40 sedangkan remaja yang tinggal
bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 25,54. Hal ini berarti positive
relation remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal
bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Kurangnya attachment yang
diperoleh remaja yang tinggal di Panti Asuhan, membuat remaja mengembangkan
mistrust baik kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosialnya (Tejalaksana
M.K., 2009), yang pada akhirnya membuat mereka merasa rendah diri dalam pergaulan
mereka sehari-hari. Hal ini didukung degan penelitian yang dilakukan oleh Hartini
(2001) menjelaskan bahwa anak Panti Asuhan memiliki deskripsi atau gambaran
kebutuhan psikologis seperti kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri,
mudah putus asa, dan penuh ketakutan dan kecemasan, sehingga anak panti asuhan akan
sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Sedangkan remaja yang tinggal bersama orang tua cenderung memiliki positive
relation yang baik terhadap lingkungan. Hal ini mungkin terjadi karena orang tua
memiliki fungsi sosialisasi yang merupakan tugas orang tua dalam mendidik anaknya.
Tidak hanya mencangkup pengembangan seorang anak agar menjadi pribadi yang
22
mantap, namun upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat
yang baik. Sehingga anak mampu menjalin relasi yang positif dengan masyarakat dan
lingkungannya (Soelman, 1994).
Pada aspek purpose in life diperoleh uji beda (t = - 2,475 dan p < 0,05) dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan pada aspek purpose in life remaja yang
tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja
yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 24,38 sedangkan remaja yang
tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 26,40. Hal tersebut berarti
bahwa purpose in life remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja
yang tinggal dengan kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Hal ini mungkin
terjadi karena Panti Asuhan kadang masih diberi label negatif di kalangan masyarakat,
(Mazaya dan Supradewi, 2011). Hartini (2001) menjelaskan bahwa anak Panti Asuhan
memiliki deskripsi atau gambaran kebutuhan psikologis seperti kepribadian yang
inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, dan penuh ketakutan dan
kecemasan, sehingga remaja yang tinggal di Panti Asuhan rentan kehilangan tujuan
hidupnya.
Pada aspek self acceptance diperoleh uji beda ( t = - 2,436 dan p < 0,05) dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan pada aspek self acceptance remaja yang
tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja
yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,46 sedangkan remaja yang
tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 30,76. Hal tersebut berarti
bahwa self acceptance remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja
yang tinggal dengan kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Anak panti asuhan
sering mengalami depresi, gelisah dan mempunyai kesukaran seumur hidup dalam
23
mengembangkan hubungan yang intim (Putri, Agusta, dan Najahi, 2013). Hambatan
dalam mengembangkan hubungan yang intim, dapat berpengaruh terhadap interaksi
individu dengan lingkungan sekitarnya. Hidup di panti asuhan dengan aturan yang
sudah ada tentu akan membuat remaja merasa di kekang. Akibat dari perasaan di
kekang ini bisa membuat remaja menjadi membangkang atau sebaliknya menjadi
tertutup dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dan membuat remaja menganggap
dirinya berbeda dari individu seusianya, hal ini tentu akan mempengaruhi penerimaan
diri individu (Putri, Agusta, dan Najahi, 2013).
Salah satu hal yang dapat mempengaruhi penerimaan diri adalah Dukungan sosial.
Menurut Sayless Dukungan sosial dari keluarga dapat berupa pemberian perhatian,
materi nyata, semangat, sehingga dapat menurunkan ketegangan. Hal tersebutlah yang
mungkin membuat remaja yang tinggal bersama kedua orang tua dapat lebih mudah
menerima dirinya walaupun mereka hidup dengan status ekonomi rendah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan psychologycal
well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan remaja yang tinggal bersama
kedua orangtua dengan status ekonomi rendah, maka dapat disimpulkan Bahwa ada
perbedaan psychologycal well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan
remaja yang tinggal bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah di
Wonosobo. Remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-
being lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan. Pada pengujian setiap
aspek ditemukan perbedaan pada aspek environmental mastery, personal growth,
positive relation, purpose in life, dan self acceptance. Dan tidak ditemukan perbedaan
24
pada aspek autonomy. Dari keseluruhan aspek remaja yang tinggal bersama orangtua
memperoleh rata – rata lebih tinggi dari pada remaja yang tingal di Panti Asuhan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Amato, P. R. (1994). Father-child Relations, Motherchild Relations, and Offspring
Psychological Wellbeing in Early Adulthood. Journal of Marriage and Family,
56,1031–1042. Diakses pada 13 Maret,
2016.http://www.midus.wisc.edu/findings/pdfs/853.pdf.
Amawidyati, S.A.G., & Utami, M.S, (t.t). Religiusitas dan Psychologycal Well Being
pada Korban Gempa. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada
Vol. 32 No. 02. 164-176.
Apriliana, DF.(2011). Kemiskinan Sebagai Dampak dari Globalisasi. Skripsi.
Yogyakarta : STIMIK AMIKOM Pendidikan Pancasila.
Ariyanti. (2015, 15 September). Orang Miskin Paling Banyak di Provinsi Ini. Liputan
6.com. http://bisnis.liputan6.com/read/2318060/orang-miskin-paling-banyak-di-
provinsi-ini
Brooks, J. (2008). The Process of Parenting. 7th edition. Boston : Mc.GrawHill.
Budiharjo. (2015). Pendidikan Pengasuh Pada Panti Sosial Asuhan Anak Milik
Organisasi Masyarakat Islam di DKI Jakarta. Jurnal Studia Islamika Vol. 12 No.
01, 19-41
Demo, David H., & Alan C. Acock. (1996). Family structure, family process, and
adolescent well-being. Journal of Research on Adolescence. 6. 457-488.
Hartini, N. (2001). Deskripsi Kebutuhan Psikologi pada Anak Panti Asuhan. Insan
Media Psikologi Vol. 03 No. 02, 109-118.
26
Hyoscyamina, DE. (2011). Peran Keluarga Dalam Membangun Karakter Anak. Jurnal
Psikologi UNDIP. 10. 2. 144-152.
Kementrian Sosial Republik Indonesia.co.id. (2008). Kurangnya Pengasuhan di Panti
Asuhan.http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=67
4%29
Kompas.com. (2015). Penduduk Miskin Indonesia Bertambah 860.000 Orang.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/15/142220626/Penduduk.Miskin
.Indonesia.Bertambah.860.000.Orang
Kristanti. (2013). Stress pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan. Jurnal Online
Psikologi Vol.01 No. 02, 566-580. Diakses pada 22 Maret 2016.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jop/article/download/1661/1757
Langford, B. H., & Badeau, S. (2013, August). A plan for investing in the social,
emotional, and physical well-being of older youth in foster care: Connected by 25.
Retrieved from www.
fostercareworkgroup.org/media/resources/FCWG_WellBeing
_Investment_Agenda.pdf
Latipun. (1999). Kesehatan Mental Malang : UMM Press.
Lazzari, S.A.D., (2000). Emotional Intelligence, Meaning, and Psychological Well
Being: A Comparison Between Early and Late Adolescence. Thesis. Faculty of
Graduate Studies Graduate Counselling Psychology Program Trinity Western
University.
27
Lesmana, W.I.,& Budiani, M.S., (2013). Hubungan Antara Harga Diri dan Tingkat
Stres dengan Psychological Well Being Pada Remaja di Panti Asuhan
Muhammadiyah Wiyung dan Karangpilang Surabaya. Jurnal Online Universitas
Negri Surabaya. 02. 02.
Mazaya, K.N.,& Supradewi, R., (2011). Konsep Diri dan Kebermaknaan Hidup Pada
Remaja di Panti Asuhan. Proyeksi. 6. 2. 103-112.
Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Jakarta: Kencana Media Group.
Putri, K.D,& Najahi.(2013). Perbedaan Self Acceptance (Penerimaan Diri) Pada Anak
Panti Asuhan Ditinjau dari Segi Usia. Proceeding PESAT Vol. 05.
Rahma, A.N.(2011). Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian
Diri Remaja di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Islam (JPI). 8. 2. 231-246.
Ryan, R.M, Decy, E.L. (2001). On happiness and human potentials: a review of
research on hedonic and eudaimonic well-being. annurev.psych.52.1.141.
Ryff, C.D & Keyes, C.(1995). The Structure of Psychological Well Being Revisited
Journal of Personality and Social Psychology, (online) vol.69, no.4, 719-727
diakses tanggal 17 maret
2016..http://thegrandnarrative.wordpress.com/2009/04/06/the-structure-of-
psychological-well-being-revisited- journal-of-personality-and-social-psychology.
Safitri, Kiswantomo, & Ratnawati. (t.t). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-
Being pada Remaja SOS desa Taruna Kinderdorf Bandung.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Terjemahan Shinto B.
Adelar. Jakarta: Erlangga.
28
Sari, R. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Pada
Remaja Penderita HIV di Surakarta. Program Studi Psikologi Universitas Negri
Surabaya Vol. 01 No.03.
Sarwono,& Sarlito, W. (2010). Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali Press.
Sengendo, J. & Nambi, J. (1997). The psychological effect of orphan-hood: a study of
orphans in Rakai district. Health Transitions Review, 7,105-124.
Standart Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. (2011).
Diakses pada 21 Maret 2016. http://docplayer.info/338324-Standar-nasional-
pengasuhan-untuk-lembaga-kesejahteraan-sosial-anak.html.
Tsegaye, A. (2013). A Comparative Study of Psychological Wellbeing Between Orphan
and Non-Orphan Children in Addis Ababa : The Case of Three Selected School in
Yeka Sub-City. Thesis. Addis Ababa: School Of Psychology Clinical, Health, and
Counseling Ps ychology Program Unit.
Wahyuningrum, E., Tobing, M.A., (2013). Pengasuhan Pada Remaja Yang Tinggal di
Panti Asuhan. Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI). 21-28.
29