perbedaan penelitin kualitaif dan penelitian kuantitatif

37
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut: a) Penelitian Kuantitatif Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa tindakan- tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta- 1

Upload: marleeando

Post on 03-Jul-2015

205 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian

dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan

pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari

setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan

terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.

Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif

baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln,

Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-

prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif

Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan

penelitian kualitatif sebagai berikut:

a) Penelitian Kuantitatif

Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme

yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan

filsafat positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud

dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta

sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan

memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan

alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial

untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan

fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan

suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif

diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan

kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan

model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan,

1997:95).

Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif

memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik

tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat

hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang

objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala,

1

Page 2: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas

banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan

hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam

penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan

menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat

diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan

(Suparlan, 1994:6-7).

b) Penelitian Kualitatif

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max

Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan

gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-

tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial

tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber

adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar

dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang

peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat

memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat

pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam

gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).

Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif

memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan

satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.

Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan

dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai

pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi

dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran

kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang

secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan

manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak

harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka

acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan

2

Page 3: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif,

sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).

Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental

antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat

gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian

kualitatif akan dik

emukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba

& Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai

berikut.

Quantitative Style (Model Kuantitatif)

a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)

b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)

c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)

d. Value free (bersifat bebas nilai)

e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)

f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)

g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)

h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

Qualitative Style (Model Kualitatif)

a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial,

makna budaya)

b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan

peristiwa-peristiwa)

c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)

d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)

e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)

f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)

g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)

h. Researcher is involved (peneliti terlibat)

3

Page 4: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif

a. Mengukur fakta yang objektif

Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan

variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan

objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui

kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu

perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan

komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian

yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.

b. Terfokus pada variabel-variabel

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel

atau hal-hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena.

Penentuan variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu

gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya

hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik.

Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja

karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa

yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut.

Misalnya secara teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh

faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh

atau hubungan dari data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara

statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer

mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel

produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan

atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila

hasil analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai

pengaruh atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa

produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer.

Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu

variabel pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan

untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau

4

Page 5: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel

pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple

regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu

variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik

correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-

moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.

c. Reliabilitas merupakan kunci

Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti

bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama

walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen

penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki reliabilitas yang

tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena itu,

reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat

ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak

hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula

harus valid (sahih) atau memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen

penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat mengukur apa

yang seharusnya diukur.

Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis

Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik

untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor

setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item

yang dikorelasikan).

d. Bebas nilai

Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak

dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang

melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap

fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah

satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri

individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan

dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk

dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat

5

Page 6: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-

kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang

demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif

pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma

yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,

kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.

e. Tidak tergantung pada konteks

Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi

atau lingkungan yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama,

konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan

untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham Maslow)

bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-orang pedesaan.

Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang

tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman

Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang

Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi,

bahasa asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di

lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di

pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok

tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai

seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung

konteks dari fenomena yang diteliti.

f. Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak

Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek

yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat

diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel,

dan technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh

atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau

perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah

sebagian dari populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus

representatif (harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat

6

Page 7: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara

pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh

individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random

sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan

sampel dan dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila

individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan

penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel adalah

individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang

representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap

sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir

artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan

pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.

g. Menggunakan analisis statistik

Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat

mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam

penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya

tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna

mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa

macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di

depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-

moment dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada

tidaknya pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan

analisis statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan

rumus t-test. Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang

spesifik dan tidak digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel,

validitas, reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan

untuk menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu

variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan

salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p <

0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu

7

Page 8: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih

kecil dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.

h. Peneliti tidak memihak

Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti

menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian

kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui persepsi subjektif dari subjek

yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan hasil analisis persepsi

subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan

dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir

subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian

kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.

Penjelasan dan contoh Model Kualitatif

a. Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya

Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau

dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka

penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk

itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat

dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena secara

akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di

balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam

dari suatu fenomena (verstehen).

Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak cukup

apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga

mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada

atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses

terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa,

mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia

mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif

(pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang

bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan

kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk

mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya

8

Page 9: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan

bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat

Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan

penelitian bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana,

tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan

penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban

mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau

konsep-konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan

kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana

menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.

Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk

mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan

menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang pemikiran

manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan

makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak

menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga

tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.

Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial, karena

penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme yang

berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan pengalaman

terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang

diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan

bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman

semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.

b. Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa

Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum

penelitian dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang

akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada

proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri,

bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada

waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam

9

Page 10: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan

adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting

saja, tetapi justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau

kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan

bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak

bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan bersamaan

dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan

diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada

waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat

ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara

harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara

khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau

kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi

terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan

tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang

apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara

mendalam (verstehen).

c. Keaslian merupakan kunci

Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis

statistik mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif

keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan

sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif

tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya

penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun

setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat

dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai

kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh

dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan

terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya

penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan

setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam

Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai

10

Page 11: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian

demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam

keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.

d. Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)

Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan

atau tidak memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian

kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif

memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan

dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi)

dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak

menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,

mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam

penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal

(dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman

(1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti

mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti)

dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan

bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.

e. Terikat pada situasi (terikat pada konteks)

Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang

mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah

dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin

menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti harus

menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu berusaha

mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif

dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga

jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya,

atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti.

Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau terikat pada

konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan dapat berubah menjadi

senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya atau

teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti

11

Page 12: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif,

penelitian kualitatif tetap ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki

beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau banyak

individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil

penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian

kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.

f. Terdiri dari beberapa kasus atau subjek

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus

atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga

banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus

yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian

tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.” Negara-

negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi

penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.

Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok

jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis

dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok

jumlah subjek yang diteliti.

g. Bersifat analisis tematik

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau

spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap

perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan

perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku

menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal

(learning-disabilities), dan lain-lain.

h. Peneliti terlibat

Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak

dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari

subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti

12

Page 13: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek

yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan

misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi

terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.

3. PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

a. Paradigma dalam penelitian kuantitatif

Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu

keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan

bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan

hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk

mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut

senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).

Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme

melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap

sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada

akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian

serta mengendalikan peristiwa.

Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of

positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a

reality out there, driven by immutable the natural laws.” Intinya sistem

keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya

akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-

hukum alam yang tetap.

Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang

menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-

hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya

menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat

diringkas sebagai berikut:

“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable

natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms

is conventionally summarized in the form of time and context-free

13

Page 14: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

generalizations. Some of these latter generalizations take the form of cause-

effect laws.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya

realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam

dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri

manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara

konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat

waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk

hukum sebab-akibat.

“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the

enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and

confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the

outcomes.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi:

dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk

mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek

yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya

secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.

“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are

studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests

(falsification) under carefully controlled conditions.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat

eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-

hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan

dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara

cermat.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste

Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme

yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Hill dari Inggris (1843)

memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile

Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam

Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi

para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim

14

Page 15: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut

meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain.

Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam

penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada

individu yang dijadikan responden penelitian.

b. Paradigma dalam penelitian kualitatif

Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post

Positivisme, dan Teori Kritis

a) Konstruktivisme

Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly

believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse,

1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really

work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework

(construct) for thinking about it.”

Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan

percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse,

1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-

benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu

kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.

Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan

berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan

“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot

be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it

can equally be seen only through a value window. Many constructions are

possible.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan

pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya

dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui

jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut

Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya

dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan

nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba

15

Page 16: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut:

“Finally, it depicts knwledge as the outcome or consequence of human

activity; knowledge is a human construction, never certifiable as

ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).

Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai

hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan

konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai

kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”

Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas

manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak

merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.

Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan

bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu

terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil

konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan

Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito

Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito

Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan

khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil

pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan

hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh

karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut

Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui

sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai

dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini

berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu

pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada

materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808).

Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan

pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh

rasio.

16

Page 17: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keayakinan dasar pada

peneliti Konstruktivitas dapat diringkas sebagai berikut:

“Ontology: Relativist – Realities exist in the form of multiple mental

constructions, socially and experientially based local and

specific, dependent for their form and content on the persons

who hold them.”

Asumsi ontologi: “realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi

mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan

pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung

pada mereka yang mengemukakannya.”

“Epistomogy: Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single

(monistic) entity. Findings are literally the creation of the

process of interaction between the two.”

Asumsi epistimologi: “subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke

dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).

Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses

interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”

“Methodology: Hermeneutic – dialectic – individual constructions are

elicited and refined hermeneutically, with the aim of

generating one (or a few) constructions on which there is

substantisl consensus.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi

individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik

dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi

yang secara substansial disepakati”

b) Postpositivisme

Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:

“Postpositivism is best characterized as modified version of positivism.

Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists

strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and

control continue to be the aim.”

Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri

utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya

17

Page 18: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung

Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan

menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari

Postpositivisme tersebut.”

Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-

kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan

pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran

ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada

dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang

mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia

(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental

melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,

sumber data, peneliti dan teori.

Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara

pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa

dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini

menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat

kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat

dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat

dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat

harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat

dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).

Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan

Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme

adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu

sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu

memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain

Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan

kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau

tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti

dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan

18

Page 19: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber

data, data, dan lain-lain.

Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada

peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:

“Ontology: Critical realist – reality exist but can never be fully

apprehended. It is driven by natural laws that can be only

incompletely understood.”

Asumsi ontologi: realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi

tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur

oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.

“Epistomology: Modified objectivist – objectivity remains a regulatory

ideal, but it can only be approximated with special emphasis

placed on external guardians such as the critical tradition and

critical community.”

Asumsi epistomologi: objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap

merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun

objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan

khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas

yang kritis.

“Methodology: Modified experimental/manipulative – emphasize critical

multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more

natural settings, using more qualitative methods, depending

more on grounded theory, and reintroducing discovery into the

inqury process.”

Asumsi metodologi: eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi,

maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki

ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar

yang alamiah, yang tidak banyak menggunakan metode-metode

kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-

theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan

dalam proses penelitian.

c) Teori Kritis (Critical Theory)

19

Page 20: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label

critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives

that can be swept into this category of paradigm. A more appropriate label

would be “ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism,

materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar

movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly

placed together, however because they converge in rejecting the claim of

value freedom made by positivists (and largely continuing to be made by

postpositivists).”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan

lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan

dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang

berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme,

feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang lain

termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas

ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang

dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum

Postpositivis).”

Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba,

Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory)

sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih

tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau

cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis

terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme,

Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-

paham yang setara.

Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori

Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas

secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh

pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara

metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi

untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis,

hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak

20

Page 21: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep

subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai

yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan

kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).

Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori

Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi

lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada

ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan

lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis

dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori

Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan

subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran

dari realitas tersebut.

Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para

peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:

“Ontology : critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya

ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”

“Epistomology : subjectivist, in the sense that values mediate

inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-

nilai menjadi mediasi penelitian.”

“Methodology: dialogic, transformastive; eliminate false consciousness

and energize and facilitate transformation.” Artinya

metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi

kesadaran palsu dan membangkitkan dan memfasilitasi

transformasi.”

Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari

paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-

pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta

implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan

pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai

berikut:

21

Page 22: Perbedaan Penelitin Kualitaif Dan Penelitian Kuantitatif

Tabel 1: Asumsi-asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif

Asumsi Pertanyaan Kuantitatif Kualitatif1. Asumsi Ontologi Apakah realitas itu

secara alamiah?Realitas itu objektif, dan tunggal, terpisah dari peneliti

Realitas itu subjektif dan ganda, seperti yang dilihat oleh peneliti dalam studinya

2. Asumsi Epistomologi

Apa hubungan peneliti dengan yang diteliti?

Peneliti tidak tergantung dari yang diteliti

Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti

3. Asumsi Nilai Apa peran nilai? Bebas nilai dan tidak bias Tidak bebas nilai dan bias

4. Asumsi Bahasa Apa bahasa penelitian?

Formal Berdasarkan pada

seperangkat definisi Bahasa yang tidak

personal (impersonal) Menggunakan kata-

kata yang diterima secara kuantitatif

Informal Terkandung dalam

definisi Bahasa personal Menggunakan kata-

kata yang diterima oleh kualitatif

5. Asumsi Metodologi

Apa proses dari penelitian?

Proses deduktif Sebab dan akibat Disain yang statis,

kategori-kategori terisolasi sebelum studi dilakukan

Bebas konteks Generalisasi

digunakan untuk memprediksi, menjelaskan dan memahami

Keakuratan dan keajegan melalui validitas dan reliabilitas

Proses induktif Faktor-faktor

dibentuk secara bersama

Disain berkembang, kategori-kategori diidentifikasi selama proses penelitian

Terikat pada konteks Pola (kerangka),

teori-teori dikembangkan untuk memahami

Keakuratan dan keajegan melalui verifikasi

Sumber: Firestone (1987), Guba & Lincoln (1988), McCracken (1985 dalam Creswell, 1994:5

22