perbandingan kebutuhan koagulan...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN KEBUTUHAN KOAGULAN Al2(SO4)3
DAN PAC UNTUK PENGOLAHAN AIR BERSIH DI WTP
SUNGAI CIAPUS KAMPUS IPB DRAMAGA
PASCA EKA PRASETYA
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan
Kebutuhan Koagulan Al2(SO4)3 dan PAC Untuk Pengolahan Air Bersih di WTP
Sungai Ciapus Kampus IPB Dramaga adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Pasca Eka Prasetya
F44120028
ABSTRAK
PASCA EKA PRASETYA. Perbandingan Kebutuhan Koagulan Al2(SO4)3 dan
PAC Untuk Pengolahan Air Bersih di WTP Sungai Ciapus Kampus IPB Dramaga.
Dibimbing oleh SATYANTO KRIDO SAPTOMO.
Water treatment plant (WTP) IPB mengolah air dari Sungai Ciapus melalui
proses penjernihan air sebelum didistribusikan kepada konsumen. Jenis koagulan
yang digunakan adalah Al2(SO4)3 (aluminium sulfat) atau tawas dan Polyaluminium
Chloride (PAC). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas air dengan
menggunakan koagulan Al2(SO4)3 dan PAC di WTP Sungai Ciapus kampus IPB
Dramaga serta mengidentifikasi dosis optimum dari koagulan tawas dan PAC.
Penelitian ini menggunakan metode jar test dan SNI untuk analisis parameter fisika
dan kimia air. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, PAC lebih baik
dibandingkan tawas dengan dosis optimum sebesar 20 ppm yang menghasilkan
kekeruhan sebesar 0.22 NTU, TSS sebesar 1 mg/l dan TDS sebesar 150 mg/l.
Dengan dosis optimum tawas sebesar 20 ppm diperoleh nilai kekeruhan 0.49 NTU,
TSS 0 mg/l dan TDS sebesar 164 mg/l. Biaya rata – rata untuk penggunaan
koagulan tawas dan PAC adalah sebesar Rp. 95/m3 dan Rp 215/m3, sedangkan rata
– rata nilai efisiensi penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah 91.34% dan 83%.
Hasil penjernihan air dengan kedua koagulan memenuhi kriteria baku mutu kualitas
air bersih yang berlaku di Indonesia.
Kata kunci: jar test, koagulan, PAC, pengolahan air bersih, tawas
ABSTRACT
PASCA EKA PRASETYA. Ratio of Coagulant Needs of Al2(SO4)3 and PAC For
Water Treatment at WTP Ciapus River, IPB Dramaga. Supervised by SATYANTO
KRIDO SAPTOMO.
Water Treatment Plant (WTP) IPB process water from Ciapus River by water
purifying process before distributed to consumers. The type of coagulant used is
Al2(SO4)3 (aluminum sulfate) or alum and Polyaluminium Chloride (PAC). This
study aimed to compare the water quality by using coagulant Al2(SO4)3 and PAC
in WTP Ciapus River IPB Dramaga and to find out the optimum dosage of
coagulant alum and PAC . This study used a test jar method and ISO (SNI) for the
analysis of physical and chemical parameters of water. The result showed that PAC
was better than alum with the optimum dose of 20 ppm which produces 0.22 NTU
of turbidity, 1 mg/l of TSS and 150 mg/l of TDS. With alum optimum dose of 20 ppm,
the result showed 0.49 NTU of turbidity, 0 mg/l of TSS and 164 mg/l of TDS.
Average costs for the use of coagulant alum and PAC were Rp. 95/m3 and Rp
215/m3, while the mean efficiency of using coagulant alum and PAC were 91.34%
and 83%. The results of water purifying process by using both coagulants meets the
criteria of water quality standards in Indonesia.
Keywords: Alum, coagulants, jar test, PAC, water treatment plant
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
PERBANDINGAN KEBUTUHAN KOAGULAN Al2(SO4)3
DAN PAC UNTUK PENGOLAHAN AIR BERSIH DI WTP
SUNGAI CIAPUS KAMPUS IPB DRAMAGA
PASCA EKA PRASETYA
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan karunia dan rahmat-Nya skripsi yang berjudul “Perbandingan Kebutuhan
Koagulan Al2(SO4)3 dan PAC Untuk Pengolahan Air Bersih di WTP Sungai Ciapus
Kampus IPB Dramaga” ini dapat diselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik
Sipil dan Lingkungan. Terimakasih diucapkan kepada Dr. Satyanto Krido Saptomo, STP., M.Si
selaku pembimbing, Dr. Chusnul Arif, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Moh. Yanuar Jarwadi
Purwanto, M.T selaku dosen penguji skripsi atas dukungan dan masukan yang
diberikan. Juga kepada orang tua, Bapak Dodon Sugiharto dan Ibu Lina Herlina
yang selalu mendukung dalam bentuk do’a maupun materi serta teman – teman
tercinta yang selalu memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi.
Harapannya segenap pihak yang terkait dapat memberikan saran, tanggapan, dan
solusi yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
membantu kelancaran pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Pasca Eka Prasetya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sumber Air Bersih 2 Unit Pengolahan Air 3 Proses Koagulasi dan Koagulan 4 Jar Test 5
Karakteristik Air Bersih 6
METODE PENELITIAN 7 Waktu dan Lokasi Penelitian 7 Alat dan Bahan 7
Prosedur Penelitian 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Kondisi Parameter Fisik Air di intake WTP IPB Ciapus 11 Kondisi Parameter Kimia Air di Intake WTP IPB Ciapus 12
Pengaruh Penambahan Koagulan Pada Parameter Fisik dan Kimia Air 14 Pengaruh Dosis Optimum Koagulan Terhadap Parameter Fisik, Kimia dan
Efisisensi Koagulan 16
SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 37
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Koagulan yang biasa digunakan dalam pengolahan air 5 Tabel 2 Alat dan bahan penelitian 7
Tabel 3 Pengaruh dosis optimum terhadap parameter fisika air 18 Tabel 4 Pengaruh dosis optimum terhadap parameter kimia air 19 Tabel 5 Suhu, curah hujan dan hari hujan di wilayah Dramaga tahun 2015 19 Tabel 6 Efisiensi dan biaya penggunaan dosis optimum koagulan 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta lokasi penelitian 8
Gambar 2 Diagram alir penelitian 9
Gambar 3 Skema pengujian jar test 10
Gambar 4 Nilai kekeruhan dan TSS di intake WTP IPB Ciapus 11
Gambar 5 Nilai suhu di intake WTP IPB Ciapus 12
Gambar 6 Nilai pH di intake WTP IPB Ciapus 13
Gambar 7 Nilai kadar ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus 14
Gambar 8 Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap kekeruhan 15
Gambar 9 Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap pH air
bersih 17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 25
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian 26 Lampiran 3 Contoh perhitungan 27
Lampiran 4 Hasil pengukuran tanggal 21 Maret 2016 28 Lampiran 5 Hasil pengukuran tanggal 7 April 2016 29
Lampiran 6 Hasil pengukuran tanggal 19 April 2016 30 Lampiran 7 Hasil pengukuran tanggal 2 Mei 2016 31
Lampiran 8 Hasil pengukuran tanggal 24 Mei 2016 32 Lampiran 9 Hasil pengukuran tanggal 2 Juni 2016 33
Lampiran 10 Baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 429 Tahun 2010 34 Lampiran 11 Rekap data hasil penelitian 35 Lampiran 12 Peta lokasi penelitian 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan dasar (basic need) bagi kehidupan manusia, karena
air merupakan gizi makro yang sangat penting. Air berfungsi sebagai sumber
asupan mineral, mengatur suhu tubuh, pembentuk cairan darah, pembentuk sel, dan
melancarkan pencernaan. Sungai merupakan salah satu sumber air yang berada di
permukaan tanah. Sebagian masyarakat terutama yang tinggal di daerah tepi sungai
masih menggunakan sungai sebagai sumber air untuk melakukan aktifitas sehari-
hari seperti mengairi sawah, mencuci bahkan digunakan untuk mandi. Menurut
Situmorang (2007) kualitas air merupakan syarat untuk kualitas kesehatan manusia,
karena tingkat kualitas air dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan
masyarakat. Hal ini akan berdampak buruk jika air sungai yang digunakan sudah
tercemar dari limbah.
WTP (water treatment plant) IPB menggunakan Sungai Ciapus sebagai
sumber air. Air yang berasal dari Sungai Ciapus akan melewati unit pengolahan air
sebagai proses untuk penjernihan air agar didistribusikan kepada konsumen. WTP
IPB Sungai Ciapus melayani distribusi air untuk asrama putra, asrama putri, dan
perumahan dosen. Salah satu unit yang berperan penting dalam proses penjernihan
air adalah bak koagulasi. Pada bagian unit ini, penambahan zat kimia (koagulan)
dilakukan untuk mempercepat pengendapan partikel-partikel kecil di dalam air.
Jenis koagulan yang digunakan adalah Al2(SO4)3 atau tawas. Namun penambahan
koagulan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan yang menyebabkan air menjadi
keruh dan bau di bagian output. Perlu dilakukan evaluasi penggunaan zat kimia
pada unit koagulan agar kualitas air yang dihasilkan oleh WTP IPB Ciapus dapat
digunakan untuk kegiatan MCK, dikonsumsi, dan sesuai dengan baku mutu.
Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan alat jar test. Jenis koagulan juga
mempengaruhi tingkat kualitas air baku pada Instalasi Pengolahan Air (water
treatment plant). Koagulan adalah bahan kimia yang ditambahkan untuk
mendestabilisasi partikel koloid dalam air agar flok dapat terbentuk (Ebeling dan
Ogden 2004).
Pada umumnya koagulan yang paling sering digunakan adalah Aluminium
Sulfat atau biasanya sering disebut tawas. Tetapi saat ini telah ditemukan koagulan
yang lebih baik kinerjanya dari pada menggunakan tawas yaitu Poly Aluminium
Chloride (PAC). Jika dibandingkan dengan penggunaan koagulan Aluminium
Sulfat, PAC memiliki beberapa keuntungan yaitu korosivitasnya rendah, flok yang
dihasilkan lebih mudah untuk dipisahkan dan pH air hasil pengolahannnya tidak
terlalu rendah (Budiman et al 2008). Kualitas air ditentukan berdasarkan keadaan
air dalam keadaan normal dan bila terjadi penyimpangan dari keadaan normal
disebut sebagai air yang mengalami pencemaran atau disebut air terpolusi. Analisis
penentuan kualitas air sangat penting bagi pengguna air sebagai informasi tentang
keberadaan senyawa kimia yang terkandung di dalam air (Situmorang 2007).
Perumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan penggunaan dosis optimum
koagulan pada WTP IPB Ciapus dan untuk mengetahui jenis koagulan yang lebih
2
efektif dalam menghasilkan kualitas air yang berada di bawah baku mutu Peraturan
Pemerintah No.82 Tahun 2001.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbandingan kualitas air
bersih hasil pengolahan dengan menggunakan koagulan Al2(SO4)3 dan PAC di
WTP Sungai Ciapus kampus IPB Dramaga serta mengidentifikasi dosis optimum
dan efisiensi dari masing-masing koagulan.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dosis koagulan yang tepat pada unit koagulasi.
2. Memberikan informasi efisiensi jenis koagulan yang digunakan.
3. Memberikan informasi jenis koagulan mana yang lebih efektif dan
ekonomis.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini membahas mengenai perbandingan penggunaan koagulan
Al2(SO4)3 dan PAC pada unit koagulasi WTP Sungai Ciapus kampus IPB
Dramaga.
2. Penelitian dilakukan di Bogor Jawa Barat dengan menggunakan data hasil
sampling dan pengujian di laboratorium Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan metode jar test.
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Air Bersih
Secara umum sumber air baku terbagi menjadi dua jenis, yaitu air tanah dan
air permukaan. Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat di
dalam ruang-ruang antara butir-butir tanah yang membentuknya dan didalam retak-
retak dari batuan (Mori 1999). Air permukaan dapat diambil dari sungai-sungai
kecil, sungai-sungai besar, danau-danau atau saluran-saluran irigasi (yang tidak
tercemar). Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air pada
beberapa sumber air permukaan sebagian berasal dari air tanah dan sebagian berasal
dari air hujan yang telah mengalir ke permukaan tanah dan masuk ke dalam
penerima atau penampung air permukaan.
Adanya pergantian musim dapat mempengaruhi kualitas air baku, seperti
tingkat kekeruhan. Tingkat kekeruhan pada musim kemarau umumnya lebih rendah
dibandingkan pada musim hujan. Selain itu, debit sungai pada musim kemarau lebih
rendah dibandingkan dengan musim hujan. Air baku yang telah sampai ke
bangunan penyadap memerlukan pengolahan melalui IPA. Secara umum IPA
ditujukan untuk menghilangkan bau, rasa, turbiditas, serta bakteri dan kontaminan
lainnya dari air (Vesilind et al 1994).
3
Unit Pengolahan Air
Pengolahan air adalah usaha teknis yang dilakukan untuk mengubah sifat
suatu zat sesuai standar air minum yang diinginkan. Proses pengolahan air pada
dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga bagian pengolahan (Reynolds 1982 dalam
Dini 2011), yaitu:
- Pengolahan fisik, yaitu tingkat pengolahan yang bertujuan untuk mengurangi
atau menghilangkan kotoran - kotoran yang kasar, penyisihan lumpur dan
pasir,serta mengurangi kadar zat-zat organik yang ada dalam air yang akan
diubah
- Pengolahan kimia, yaitu tingkat pengolahan dengan menggunakan zat-zat
kimia untuk membantu proses pengolahan selanjutnya
- Pengolahan bakteriologis, yaitu tingkat pengolahan untuk membunuh atau
memusnahkan bakteri-bakteri yang terkandung didalam air.
Unit-unit pengolahan air yang biasa digunakan dalam proses pengolahan air
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Intake
Intake atau bangunan penyadap adalah suatu unit yang berfungsi untuk
menyadap atau mengambil air baku dari badan air sesuai dengan debit yang
diperlukan untuk pengolahan (Utomo 2011). Komponen intake pada WTP Ciapus
terdiri dari pintu air, screen dan pompa. Pintu air berfungsi untuk mengatur
besarnya debit yang masuk ke dalam ruang pompa submersible. Screen berfungsi
untuk menyaring sampah-sampah yang terbawa aliran (Dasir 2014). Komponen
terakhir yaitu pompa submersible yang berfungsi untuk memompa air baku menuju
unit IPA. Pompa submersible merupakan pompa yang dioperasikan di dalam air
dan akan mengalami kerusakan jika dioperasikan dalam keadaan tidak terdapat air
secara terus-menerus (Sibula et al 2013). Jenis pompa ini mempunyai tinggi
minimal air yang dapat dipompa dan harus dipenuhi ketika bekerja agar life time
pompa tersebut lama.
2. Koagulasi dan flokulasi
Koagulasi adalah tempat terjadinya peristiwa pembentukan atau
penggumpulan partikel-partikel kecil dengan menggunakan bahan koagulan.
Koagulasi juga diartikan sebagai proses penambahan koagulan dan pengadukan
cepat air yang diberi bahan koagulan. Koagulasi terjadi karena adanya interaksi
antara bahan koagulan dengan kontaminan seperti partikel koloid. Partikel koloid
merupakan partikel diskrit yang terdapat dalam suspensi air baku, dan partikel
inilah yang merupakan penyebab utama kekeruhan. Proses koagulasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain pH, suhu, dosis koagulan, serta kekeruhan larutan
(Rachmawati et al 2009). Flokulasi adalah proses pengadukan lambat terhadap
partikel yang terdestabilisasi dan membentuk pengendapan flok dengan cepat.
Keberlangsungan proses flokulasi diukur dari distribusi ukuran flok dan struktur
flok. Flok merupakan komponen pencemar yang mengendap (Gurses 2003).
Flokulasi berfungsi sebagai tempat pembentukan flok atau tempat penggabungan
partikel koloid yang terdestabilisasi menjadi flok yang lebih besar dengan cara
pengadukan. Proses flokulasi dilakukan setelah proses koagulasi. Saat proses
flokulasi, pengadukan dilakukan secara bertahap yaitu dari kekuatan besar
kemudian mengecil agar flok yang telah dibentuk tidak terpecah kembali.
4
3. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pemisahan padatan dan air berdasarkan perbedaan
berat jenis dengan cara pengendapan (BSN 2008). Proses sedimentasi juga diartikan
sebagai upaya pemisahan solid dari liquid menggunakan pengendapan secara
gravitasi untuk menyisihkan suspended solid. Unit sedimentasi merupakan suatu
unit operasi yang berfungsi untuk memisahkan solid dan liquid dari suspensi untuk
menghasilkan air yang lebih jernih dan konsentrasi lumpur yang lebih kental
melalui pengendapan secara gravitasi (Kamulyan 1997).
4. Filtrasi
Proses filtrasi merupakan proses mengalirkan air hasil sedimentasi atau air
baku melalui media pasir. Proses yang terjadi selama penyaringan adalah
pengayakan (straining), flokulasi antar butir, sedimentasi antar butir, dan proses
biologis. Dilihat dari segi desain kecepatan, filtrasi dapat digolongkan menjadi
saringan pasir cepat (filter bertekanan dan filter terbuka) dan saringan pasir lambat
(Darmasetiawan 2011). Unit filtrasi berfungsi untuk menyaring sisa-sisa flok yang
tidak terendapkan oleh bak sedimentasi.
5. Desinfeksi
Desinfeksi merupakan salah satu proses dalam pengolahan air baku maupun
air limbah yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen, baik dari
instalasi pengolahan atau yang masuk melalui jaringan distribusi (Bitton 1994).
Desinfeksi juga bertujuan untuk oksidasi materi organik dan anorganik (Fe, Mn),
destruksi bau dan rasa, serta kontrol terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Secara
umum desinfeksi dapat dikelompokkan menjadi desinfeksi secara fisik, ultraviolet,
dan dengan menggunakan bahan kimia.
6. Reservoir
Reservoir merupakan bangunan penampung air sebelum dilakukan
pendistribusian ke konsumen. Reservoir terdiri dari dua jenis, yaitu ground
reservoir dan elevated reservoir. Ground reservoir adalah bangunan penampungan
air bersih yang terletak di bawah permukaan tanah. Elevated reservoir adalah
bangunan penampungan air yang terletak di atas permukaan tanah dengan
ketinggian tertentu sehingga tekanan air pada titik terjauh masih tercapai.
Proses Koagulasi dan Koagulan
Koagulasi
Koagulasi adalah proses yang bersifat kimia yang bertujuan untuk
menghilangkan kekeruhan dan material atau zat yang dapat meghasilkan warna
pada air yang kebanyakan merupakan partikel-partikel koloidal (berukuran 1 - 200
milimikron) seperti alga, bakteri, zat organik anorganik dan partikel lempung (Lin
2007). Proses koagulasi perlu dilakukan apabila kekeruhan air melebihi 30 – 50
NTU. Dari bangunan intake, air akan dipompa ke bak koagulasi. Pada proses
koagulasi ini dilakukan proses destabilisasi partikel koloid, karena pada dasarnya
air sungai atau air-air kotor biasanya berbentuk koloid dengan berbagai partikel
koloid yang terkandung di dalamnya. Destabilisasi partikel koloid ini bisa dengan
penambahan bahan kimia berupa tawas, ataupun dilakukan secara fisik dengan
rapid mixing (pengadukan cepat), hidrolis (terjunan atau hydrolic jump), maupun
secara mekanis (menggunakan batang pengaduk).
5
Koagulan
Koagulan atau flokulan pembantu biasanya dibubuhkan ke dalam air pada
unit koagulasi bertujuan untuk memperbaiki pembentukan flok dan untuk mencapai
sifat spesifik flok yang diinginkan (Haslindah dan Zulkifi 2012). Koagulan adalah
zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam
suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk
mendestabilisasi muatan negatif partikel. Dalam pengolahan air sering dipakai
garam Aluminium, Al (III) atau garam besi (II) dan besi (III) Koagulan yang umum
digunakan pada pengolahan air adalah seperti yang terlihat pada Tabel 1 (Sugiarto
2006).
Tabel 1 Koagulan yang biasa digunakan dalam pengolahan air
Nama
Formula
Bentuk
Reaksi Dengan
Air
pH Optimum
Aluminium
sulfat,
Alum sulfat,
Alum, Salum
Al2(SO4)3.xH2O
x = 14,16,18
Bongkah, bubuk Asam 6.0 – 7.8
Sodium
aluminat
NaAlO2 atau
Na2Al2O4
Bubuk Basa 6.0 – 7.8
Polyaluminium
Chloride, PAC
Aln(OH)mCl3n-
m
Cairan, bubuk Asam 6.0 – 7.8
Ferri sulfat Fe2(SO4)3.9H2O Kristal halus Asam 4 – 9
Ferri klorida FeCl3.6H2O Bongkah, cairan Asam 4 – 9
Ferro sulfat FeSO4.7H2O Kristal halus Asam > 8.5
PAC memiliki rumus kimia umum AlnCl(3n-m)(OH)m banyak digunakan
karena memiliki rentang pH yang lebar sesuai nilai n dan m pada rumus kimianya.
PAC yang paling umum dalam pengolahan air adalah Al12Cl12(OH)24. Senyawa-
senyawa modifikasi PAC di antaranya polyaluminium hydroxidechloride silicate
(PACS) dan polyaluminium hydroxidechloride silicate sulfate (PASS). PAC
digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penyesuaian pH untuk pengolahan,
dan digunakan jika pH badan air penerima lebih tinggi dari 7.5. PAC mengalami
hidrolisis lebih mudah dibandingkan tawas, mengeluarkan polihidroksida yang
memiliki rantai molekul panjang dan muatan listrik besar dari larutan sehingga
membantu memaksimalkan gaya fisis dalam proses flokulasi. Pada air yang
memiliki kekeruhan sedang sampai tinggi, PAC memberikan hasil koagulasi yang
lebih baik dibandingkan tawas. Pembentukan flok dengan PAC termasuk cepat dan
lumpur yang muncul lebih padat dengan volume yang lebih kecil dibandingkan
dengan tawas. Oleh karenanya, PAC merupakan pengganti alum padat yang efektif
dan berguna karena dapat menghasilkan koagulasi air dengan kekeruhan yang
berbeda dengan cepat, menggenerasi lumpur lebih sedikit, dan meninggalkan lebih
sedikit residu aluminium pada air yang diolah (Malhotra 1994).
Jar Test
Jar test merupakan metode standar yang dilakukan untuk menguji proses
koagulasi (Kemmer dan Frank 2002). Data yang didapat dengan melakukan jar test
antara lain dosis optimum penambahan koagulan, lama pengendapan serta volume
6
endapan yang terbentuk. Jar test sebaiknya dilakukan setiap beberapa hari, bulan
atau tahun bahkan musim terutama pada saat dimana terjadi perubahan keadaan air
secara kimia. Jar test terdiri dari enam buah batang pengaduk yang masing-masing
mengaduk satu buah gelas dengan kapasitas satu liter. Satu buah gelas berfungsi
sebagai kontrol dan kondisi operasi dapat bervariasi diantara lima gelas yang tersisa.
Penggunaan sebuah pengukuran rpm di bagian atas perangkat jar test ini berperan
sebagai pengontrol keseragaman kecepatan pencampuran pada keenam gelas
tersebut. Hasil dari uji ini menjadi acuan dalam pemberian dosis koagulan pada
proses koagulasi.
Umumnya jar test dilakukan satu kali oleh satu unit kerja analis di
laboratorium, setiap unit kerja berdurasi 8 jam. Jadi dalam rentang waktu sehari (24
jam) dapat dilakukan 3 kali jar test. Jika penambahan dosis tawas ini menghasilkan
nilai pH dan kekeruhan maksimum yang diperbolehkan maka dosis tawas tersebut
berhenti ditambahkan. Kelemahan dari jar test yaitu selain dari sistem
pelakasanaannya yang bersifat manual, juga ketidaklinieran hubungan antara
penambahan dosis tawas dengan nilai kekeruhan serta pH air terukur (pada proses
akhir koagulasi). Kelemahan lainnya adalah proses jar test yang membutuhkan
waktu cukup lama (Narita et al 2011).
Karakteristik Air Bersih
Karakteristik air bersih dapat ditentukan oleh dua aspek yaitu aspek fisika dan
kimia. Aspek fisika meliputi kondisi air secara fisik. Sedangkan aspek kimia
meliputi kandungan senyawa kimia yang terdapat didalam air. Karakteristik fisika
air meliputi kekeruhan, suhu, warna, zat padat terlarut, bau dan rasa. Penyebab
terjadinya kekeruhan dapat berupa bahan organik maupun anorganik, seperti
lumpur dan limbah industri. Suhu air mempengaruhi jumlah oksigen terlarut. Makin
tinggi suhu air, jumlah oksigen terlarut makin rendah. Warna air dapat dipengaruhi
oleh adanya organisme, bahan berwarna yang tersuspensi dan senyawa-senyawa
organik. Bau dan rasa dapat disebabkan oleh adanya organisme dalam air seperti
alga, juga oleh adanya gas H2S hasil peruraian senyawa organik yang berlangsung
secara anaerobik (Hanum 2002).
Karakteristik kimia air meliputi pH, DO (dissolved oxygent), BOD
(biological oxygent demand), COD (chemical oxygent demand), kesadahan, dan
senyawa kimia beracun. Nilai pH air dapat mempengaruhi rasa dan sifat korosi.
Beberapa senyawa beracun lebih toksik dalam bentuk molekul daripada dalam
bentuk ion, yang bentuk tersebut dipengaruhi oleh pH. Dissolved Oxygen (DO)
menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut berasal dari
hasil fotosintesis selain dari absorbsi atmosfer. Makin tinggi jumlah oksigen terlarut
mutu air makin baik. Biology Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah
oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik
dalam air secara biologi. Makin tinggi nilai BOD menunjukkan tingginya jumlah
bahan organik dan mutu air makin rendah. Chemical Oxygen Demand (COD)
menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik
dalam air secara kimia. Makin tinggi nilai COD menunjukkan tingginya jumlah
bahan organik dan mutu air makin rendah. Kesadahan air mempengaruhi efisiensi
pemakaian sabun. Kesadahan air disebabkan oleh adanya garam-garam kalsium dan
7
magnesium yang terdapat dalam air. Adanya senyawa arsen meskipun dalam
jumlah yang kecil dapat merupakan racun bagi manusia (Mayasari et al 2012).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengumpulan data dilaksanakan selama empat bulan pada bulan Maret
sampai bulan Juni 2016. Penelitian menggunakan data hasil pengukuran di intake
WTP Sungai Ciapus kampus IPB Dramaga dan Laboratorium Limbah Padat dan
B3 Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian. Lokasi WTP Ciapus
ditunjukkan pada Gambar 1 dan Lampiran 12 (Sumber : Google 15 Juni 2016).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup laptop yang dilengkapi
software Microsoft Excel dan dirigen 20 liter. Serta alat – alat laboratorium seperti
spektrofotometer, pH meter, turbiditymeter, jar test, oven, timbangan analitik, gelas
piala, gelas Erlenmeyer, pipet ukur, pipet volume, gelas ukur dan cawan petri.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah koagulan PAC, tawas, akuades, air WTP
ciapus dan bahan kimia untuk pengujian parameter ammoniak dan nitrit. Alat dan
bahan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Alat dan bahan penelitian
Alat Bahan
Perangkat Microsoft Excel Air WTP Ciapus
Jar Test Bahan – bahan kimia
pH meter Tawas (Al2(SO4)3)
Seperangkat komputer Akuades
Spectrofotometer PAC
Turbidity meter Kertas saring
Gelas piala
Erlenmeyer
Oven
Timbangan analitik
Cawan
Vakum
Desikator
Dirigen
Botol sampling
Pipet ukur
Pipet Volumetrik
8
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap seperti pada Gambar 2. Metode
sampling digunakan untuk mendapatkan nilai dari parameter yang akan diukur.
Pada penelitian ini, sampling diambil pada in take Instalasi Pengolahan Air Ciapus
sebelum menuju reservoir. Pada titik sampling dilakukan pengambilan contoh uji
air sebesar 20 liter. Setelah contoh air terkumpul, air dihomogenkan dalam satu
wadah. Air yang telah homogen, diletakkan di ruang terbuka agar terjadi proses
evaporasi yaitu perubahan fase cair menjadi uap untuk menghilangkan kandungan
organik dalam air. Pengujian jar test menghasilkan dosis koagulan optimum.
Pengambilan sample air dilakukan bulan Maret sampai dengan bulan Juni dengan
tujuan didapat data variasi waktu peralihan musim.
Penentuan Karakteristik Air Bersih
Pengukuran karakteristik air dilakukan dengan menghomogenkan contoh uji
air terlebih dahulu menggunakan stirer selama 15 menit. Pengukuran pH dilakukan
dengan menggunakan pH meter digital. Pengukuran pH ini berpedoman pada SNI
06-6989.11-2004 (BSN 2004c). Setelah itu dilakukan analisa parameter ammoniak
dan nitrit terhadap air baku. Untuk menguji parameter ammoniak berpedoman pada
SNI 06-6989.30-2005 (BSN 2005b). Analisa parameter nitrit berpedoman pada SNI
06-6989.9-2004 (BSN 2004b). Pengukuran zat padat tersuspensi (Total Suspended
Solid / TSS) dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman Grade 934
AH yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 103-105 ⁰C. Pengujian TSS
berpedoman pada SNI 06-6989.3-2004 (BSN 2004a). Pengukuran zat padat terlarut
(Total Disolve Solid / TDS) dilakukan dengan menggunakan kertas saring
Whatman Grade 934 AH yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 103-105
⁰C dan cawan yang telah dipanaskan pada suhu 180 ⁰C. Pengujian TDS
berpedoman pada SNI 06-6989.27-2005 (BSN 2005a).
9
Gambar 2 Diagram alir penelitian
Jar Test
Uji laboratorium untuk proses koagulasi pada pengolahan air bersih
dilakukan dengan metode jar test. Pengujian jar test yang dilakukan untuk
membandingkan kinerja koagulan yang digunakan untuk mengendapkan padatan
tersuspensi pada air sungai Ciapus di unit Instalasi Pengolahan Air IPB. Koagulan
yang digunakan pada penelitian ini yaitu aluminium sulfat/alum atau tawas
(Al2(SO4)3) dan PAC. Konsentrasi koagulan harus ditentukan sebelum pengujian
jar test. Pada penelitian kali ini akan digunakan konsentrasi koagulan sebanyak 1%.
Konsentrasi koagulan pada larutan alum tidak digunakan terlalu besar karena pada
air sungai kandungan polutannya tidak sebesar pada air limbah. Pada pembuatan
koagulan tawas 1 %, 10 gram bubuk tawas dilarutkan ke dalam 1000 ml air suling.
Setiap 1 ml larutan alum 1 % terdapat 10 mg koagulan. Pembuatan larutan koagulan
PAC sama dengan pembuatan larutan tawas. Tahapan proses pengujian jar test
dapat dilihat pada Gambar 3.
Pada pengujian jar test ini, contoh uji air dipindahkan ke dalam gelas ukur
dengan penambahan variasi konsentrasi koagulan yang berbeda. Kemudian,
pengadukan cepat (rapid mixing) dengan kecepatan 100 rpm dan pengadukan
Perumusan Masalah
Pengambilan Data
Parameter fisik dan kimia air
Hasil pengujian jar
test
Variasi dosis
koagulan
Perbandingan kualitas air masing - masing koagulan dan dosis optimum koagulan
Studi literatur
Mulai
Selesai
10
lambat (slow mixing) dengan kecepatan 20 rpm. Setelah itu larutan didiamkan
mengendap selama 30 menit dan kemudian fase cairan yang terbentuk setelah
proses pengendapan dianalisis untuk mengetahui dosis optimum koagulan pada
contoh uji.. Dengan menggunakan grafik di Microsoft Excel dilakukan
perbandingan antara turbiditas dan pH sesuai dengan nilai yang diperoleh dari
pencatatan hasil jar test. Grafik dibuat dengan membandingkan nilai sebelum dan
sesudah dilakukan jar test atau pembubuhan koagulan. Dari grafik yang diperoleh
dilakukan perhitungan efisiensi dosis optimumnya. Nilai efisiensi diperoleh dengan
menggunakan persamaan (1).
(1)
Keterangan :
η : Nilai kekeruhan (NTU)
Gambar 3 Skema pengujian jar test
Setelah diketahui dosis koagulan yang akan digunakan dan efisiensinya, maka akan
dihitung jumlah koagulan yang akan digunakan dalam satuan kg/jam serta biaya
yang dibutuhkan. Rumus yang akan digunakan untuk menghitung jumlah koagulan
adalah persamaan (2) (Sugiarto 2006).
Pengolahan air
dengan jar test
Contoh uji
dimasukkan
ke dalam 6
gelas piala
Variasi dosis
koagulan
Pengadukan
cepat 100 rpm
selama 3
menit
Pengadukan
lambat 20 rpm
selama 15
menit
Proses
pengendapan
selama 30
menit
Analisis
parameter
fisika dan
kimia air
η = 𝑛sebelum−𝑛sesudah
𝑛sebelum x 100%
11
(2)
Keterangan :
X : Jumlah koagulan (kg/jam)
Q : Debit intake (liter/jam)
D : Dosis koagulan (mg/liter)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Parameter Fisik Air di intake WTP IPB Ciapus
Sungai merupakan salah satu sumber air baku yang berada di permukaan
(Mori 1999). Air baku yang berasal dari aliran sungai akan mengalir masuk ke
bangunan penampung atau bangunan penyadap (intake). Intake atau bangunan
penyadap adalah suatu unit yang berfungsi untuk menyadap atau mengambil air
baku dari badan air sesuai dengan debit yang diperlukan untuk pengolahan (Utomo
2011. Nilai turbiditas (NTU) dan TSS (mg/l) di intake WTP IPB Ciapus tersaji pada
Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, terlihat nilai kekeruhan pada intake WTP IPB
Ciapus mengalami perubahan. Turbiditas adalah kandungan bahan organic dan
anorganik dalam air, sedangkan TSS (total suspended solid) adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung
(Fardiaz 1992).
Gambar 4 Nilai kekeruhan dan TSS di intake WTP IPB Ciapus
Nilai turbiditas yang tinggi terjadi pada tanggal 19 April dengan nilai turbiditas
sebesar 29.2 NTU. Sedangkan untuk nilai TSS yang paling tinggi terjadi pada
tanggal 21 Maret yaitu sebesar 37 mg/l. Nilai turbiditas dan TSS cenderung semakin
turun dikarenakan intensitas hujan yang mulai berkurang dan level permukaan air
sungai di intake dalam kondisi rendah. Berdasarkan Gambar 4, nilai TSS pada
tanggal 19 April mengalami penurunan yaitu sebesar 12 NTU sedangkan untuk nilai
kekeruhannya mengalami kenaikan. Hal ini terjadi dikarenakan kondisi permukaan
sungai pada tangaal 19 April terhitung paling tingi dan kondisi sedang turun hujan
27.3
20.4
29.2
13.9
9.8 9.8
37
1412
9 10
4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
21 Maret 7 April 19 April 2 Mei 24 Mei 2 Juni
0
5
10
15
20
25
30
35
TSS
(mg/
l)
Tanggal
Turb
idit
as (
NTU
)
Turbiditas
TSS
𝑥 =𝑄 𝑥 𝐷
106
12
sehingga kondisi air menjadi sangat keruh. Menurut Fardiaz (1992), nilai kekeruhan
tidak dapat dikonversi menjadi nilai TSS. Hal ini dikarenakan TSS merupakan zat
– zat padat yang terdapat pada suspensi yang dapat dibedakan menurut ukurannya
menjadi partikel koloid dan partikel biasa. Penyebab nilai kekeruhan mengalami
kenaikan adalah pada tanggal 19 April jenis partikel yang terdapat didalam air
sebagian besar adalah partikel berjenis koloid. Partikel koloid merupakan jenis
partikel penyebab kekeruhan karena menyebabkan terjadinya efek tyndall ketika
dilakukan pengukuran kekeruhan. Kekeruhan diukur dengan turbiditimeter dengan
metode pembiasan cahaya secara optik.
Parameter fisika lainnya yang di ukur adalah suhu. Suhu memegang peranan
penting dalam berbagai aktivitas kimia dan fisika perairan. Aktivitas kimia dan
fisika seringkali mengalami peningkatan dengan naiknya suhu. Mahida (1986)
menyatakan bahwa tingkat oksidasi senyawa organik jauh lebih besar pada suhu
tinggi dibanding pada suhu rendah. Suhu di intake WTP IPB Ciapus tersaji pada
Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 nilai suhu di intake WTP IPB Ciapus selalu
mengalami perubahan. Hal ini juga dikarenakan kondisi sungai Ciapus yang
berubah – berubah mulai dari kedalaman hingga debitnya. Nilau suhu tertinggi
terdapat pada tanggal 19 April dengan nilai 29°C, sedangkan suhu terendah terdapat
pada tanggal 2 Mei yaitu sebesar 27.5 °C. Suhu air di sungai lebih bervariasi
dibanding perairan pantai di sekitarnya. Hal ini dipengaruhi oleh luas permukaan
dan volume airnya. Pada sungai yang memiliki volume air yang besar dapat
ditemukan suhu vertikal. Kisaran suhu terbesar terdapat pada permukaan perairan
dan akan semakin kecil mengikuti kedalaman (Clark 1974).
Gambar 5 Nilai suhu di intake WTP IPB Ciapus
Kondisi Parameter Kimia Air di Intake WTP IPB Ciapus
Selain parameter fisik, parameter kimia juga merupakan faktor penentu
kondisi air baku. Karakteristik kimia air meliputi pH, DO (dissolved oxygent), BOD
(biological oxygent demand), COD (chemical oxygent demand), kesadahan, dan
senyawa kimia beracun. Nilai pH air dapat mempengaruhi rasa dan sifat korosi.
Beberapa senyawa beracun lebih toksik dalam bentuk molekul daripada dalam
bentuk ion, yang bentuk tersebut dipengaruhi oleh pH. Pada pengujian kualitas air
28.5
28
29
27.5
28
27.5
26.5
27
27.5
28
28.5
29
29.5
21 Maret 7 April 19 April 2 Mei 24 Mei 2 Juni
Suh
u (
C)
Tanggal
13
baku, uji DO, BOD dan COD tidak dianjurkan dilakukan karena pengujian DO,
BOD dan COD digunakan untuk pengujian air limbah atau sumber air yang
memiliki tingkat pencemaran tinggi (Mayasari et al 2012). Parameter kimia yang
diukur di intake WTP IPB Ciapus adalah pH, ammoniak dan nitrit. Nilai pH pada
intake WTP IPB Ciapus tersaji pada Gambar 6.
Gambar 6 Nilai pH di intake WTP IPB Ciapus
pH adalah kadar keasaman atau alkalinitas dalam air. pH untuk air minum
umumnya antara 6.5 dan 8.0. Air pada 25°C dengan pH kurang dari 7.0 dianggap
mengandung keasaman, sedangkan pH lebih dari 7.0 dianggap sebagai pH dasar
(alkalin). Jika kadar pH adalah 7.0, maka air diangggap memiliki pH netral (WHO
2011). Berdasarkan Gambar 6, nilai pH di intake WTP IPB Ciapus mengalami
perubahan. Nilai pH pada tanggal 7 April merupakan nilai pH terendah yaitu 6.05.
Nilai ini tidak dapat digunakan sebagai air minum. Penurunan pH dapat diakibatkan
oleh limbah yang mengandung asam-asam mineral bebas dan asam karbonat
(Manik 2003).
Kandungan ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus juga perlu diuji.
Ammoniak dan nitrit akan bersifat toksik didalam air pada kondisi tertentu seperti
kandungan unsur senyawa logam yang banyak, suhu yang rendah dan pH yang
rendah (Effendy 2006). Nilai kadar ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus
tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, nilai kandungan ammoniak di
intake WTP IPB Ciapus mengalami peningkatan. Nilai tertinggi kandungan
ammoniak terdapat pada tanggal 19 April dengan nilai 0.493. Sedangkan
kandungan nitrit mengalami penurunan dan nilai terkecil terdapat pada tanggal 19
April dengan nilai 0.198 mg/l. Peningkatan kadar ammoniak merupakan indikasi
adanya pencemaran yang berasal dari limbah pupuk pertanian, limbah pabrik dan
feses (Widayat et al 2010). Toksisitas ammoniak dipengaruhi oleh pH yang
ditunjukkan dengan kondisi pH rendah akan bersifat racun jika jumlah ammoniak
tinggi, sedangkan dengan kondisi pH tinggi hanya dengan jumlah ammoniak yang
rendah akan bersifat racun juga. Kadar nitrit yang semakin turun diakibatkan karena
nitrit merupakan peralihan antara ammoniak dan nitrat, keberadaannya di perairan
tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Apabila kandungan oksigen terlarut kecil
maka kadar nitrit dalam air jumlahnya sedikit pula (Rohman 2007).
6.94
6.05
6.96.75
7.44
6.72
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
21 Maret 7 April 19 April 2 Mei 24 Mei 2 Juni
pH
Tanggal
14
Gambar 7 Nilai kadar ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus
Pengaruh Penambahan Koagulan Pada Parameter Fisik dan Kimia Air
Unit koagulasi adalah tempat terjadinya peristiwa pembentukan atau
penggumpulan partikel-partikel kecil dengan menggunakan bahan koagulan.
Koagulasi juga diartikan sebagai proses penambahan koagulan dan pengadukan
cepat air yang diberi bahan koagulan. Koagulasi terjadi karena adanya interaksi
antara bahan koagulan dengan kontaminan seperti partikel koloid. Partikel koloid
merupakan partikel diskrit yang terdapat dalam suspensi air baku, dan partikel
inilah yang merupakan penyebab utama kekeruhan (Rachmawati et al 2009).
Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel
di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk
mendestabilisasi muatan negatif partikel. Koagulan atau flokulan pembantu
biasanya dibubuhkan ke dalam air pada unit koagulasi bertujuan untuk
memperbaiki pembentukan flok dan untuk mencapai sifat spesifik flok yang
diinginkan (Haslindah dan Zulkifi 2012). Flok merupakan komponen pencemar
yang mengendap (Gurses 2003).
Koagulan yang digunakan adalah tawas dan PAC. Pengaruh penambahan
koagulan terhadap kekeruhan pada tanggal 21 Maret sampai 2 Juni tersaji pada
Gambar 8. Penurunan kekeruhan pada tanggal 21 Maret, nilai terbaik didapat
setelah dilakukan penambahan tawas 5 ppm dengan penurunan kekeruhan sampai
3.23 NTU. Kondisi cuara ketika pengukuran termasuk cerah dan tidak turun hujan
walaupun masih dalam musim penghujan. Berdasarkan Gambar 8, hasil
pengukuran pada tanggal 7 April penambahan koagulan tawas masih menghasilkan
kekeruhan yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian PAC. Dosis optimum
pada pengukuran ini adalah 20 ppm untuk koagulan tawas dengan penurunan
kekeruhan mencapai 1.8 NTU sedangkan untuk koagulan PAC adalah 5 ppm
dengan penurunan kekeruhan hingga 2.13 NTU. Kondisi cuara cerah dan tidak
turun hujan selama dua hari. Pada tanggal 19 April kekeruhan pada pengukuran
menunjukkan hasil yang lebih optimum dibandingkan hari pengukuran sebelumnya.
Dengan kekeruhan awal 29.2 NTU, setelah dimasukkan koagulan tawas dengan
variasi dosis kekeruhan mengalami penurunan. Nilai kekeruhan terendah didapat
dengan dosis koagulan tawas sebesar 15 ppm. Penambahan koagulan PAC
menghasilkan hasil nilai kekeruhan yang lebih baik dari tawas, nilai kekeruhan
terendah PAC lebih baik dari dosis optimum koagulan tawas yaitu dengan dosis 20
ppm menghasilkan kekeruhan sebesar 0.22 NTU. Kondisi cuara pada pengukuran
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
21 Maret 7 April 19 April 2 Mei 24 Mei 2 Juni
Kad
ar (
mg/
l)
Tanggal
Ammoniak
Nitrit
15
ini yaitu turun hujan sehingga kekeruhan awal lebih tinggi dibanding hari
pengukuran sebelumnya.
(21 Maret)
(7 April)
(19 April)
(2 Mei)
(24 Mei)
(2 Juni)
Gambar 8 Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap kekeruhan
Hasil pengukuran pada tanggal 2 Mei juga tersaji pada Gambar 8 .
Berdasarkan Gambar 8, terlihat perbandingan kekeruhan setelah pembubuhan
koagulan PAC dan tawas. Penambahan koagulan PAC mencapai kekeruhan terbaik
pada dosis 10 ppm dengan nilai 0.56 NTU sedangkan pada penambahan koagulan
tawas, kekeruhan terbaik terdapat pada dosis 20 ppm dengan nilai kekeruhan 0.49
NTU dan kondisi cuara ketika pengukuran termasuk cerah. Kekeruhan pada
pengukuran tanggal 24 Mei menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dari hari
pengukuran sebelumnya. Dengan kekeruhan awal 9.8 NTU, setelah ditambahkan
koagulan tawas dengan variasi dosis kekeruhan mengalami penurunan. Nilai
kekeruhan terendah didapat dengan dosis koagulan tawas sebesar 25 ppm.
Penambahan koagulan PAC menghasilkan hasil nilai kekeruhan yang lebih baik
dari tawas, nilai kekeruhan terendah PAC lebih baik dari dosis optimum koagulan
tawas yaitu dengan dosis 15 ppm menghasilkan kekeruhan sebesar 0.49 NTU dan
kondisi cuara ketika pengukuran tersebut juga termasuk cerah sehingga kekeruhan
awal bernilai rendah. Pengukuran terakhir yaitu tanggal 2 Juni, penambahan
0
10
20
30
0 10 20
NTU
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 0
10
20
30
0 10 20
NTU
Dosis (ppm)
PAC
Tawas
0
10
20
30
0 10 20
NTU
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 0
10
20
30
0 10 20N
TUDosis (ppm)
PAC
Tawas
0
10
20
30
0 10 20
NTU
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 0
10
20
30
0 10 20
NTU
Dosis (ppm)
PAC
Tawas
16
koagulan dosis optimum 25 ppm untuk tawas menurunkan kekeruhan yang nilai
awal 9.8 NTU menjadi 1.55 NTU sedangkan untuk PAC dengan dosis optimum 15
ppm menurunkan kekeruhan menjadi 0.47 NTU. Kondisi cuaca ketika pengukuran
cerah karena pada bulan Juni sudah masuk pada musim kemarau sehingga nilai
kekeruhan cenderung kecil karena debit dan tinggi muka air sungai termasuk
rendah. Secara umum dapat dilihat nilai kekeruhan cenderung menurun dari waktu
ke waktu, artinya kebutuhan koagulan bervariasi dari waktu ke waktu.
Pengaruh penambahan variasi dosis koagulan terhadap pH air bersih pada
pengukuran tanggal 21 Maret sampai 2 Juni tersaji pada Gambar 9. Berdasarkan
Gambar 9, penurunan pH pada tanggal 21 Maret terjadi pada setiap penambahan
koagulan. Hal ini diakibatkan tawas dan PAC akan bersifat asam ketika bereaksi
dengan air. Nilai pH optimum dihasilkan pada penambahan PAC 5 ppm dengan
nilai 6.94 dan tawas 5 ppm dengan nilai pH 6.47. Sedangkan pH setelah pemberian
koagulan pada tanggal 7 April lebih stabil dibandingkan dengan pengukuran pada
tanggal 21 Maret. Hal ini dikarenakan pada proses pembubuhan koagulan diiringi
dengan pemberian larutan kapur 1% dengan perbandingan dosis 1 : 2 dengan dosis
koagulan. Nilai pH pada tanggal 19 April kedua koagulan menunjukkan nilai yang
lebih stabil dibandingkan dengan hari pengukuran sebelumnya. Hal ini diakibatkan
karena nilai pH berkisar antara 5.8 – 7, sedangkan koagulan PAC dan tawas akan
bekerja secara optimum dengan pH antara 5.5 – 8.
Gambar 9 pada tanggal 2 Mei menunjukkan nilai pH yang stabil yaitu antara
6.3 – 6.8 untuk penambahan dosis PAC sedangkan untuk penambahan dosis tawas
yaitu pH terdapat antara nilai 6.6 – 7.1. Nilai rentang ini merupakan nilai pH
optimum pada air baku. Gambar 9 tanggal 24 Mei menunjukkan perubahan pH
setelah dimasukkan koagulan tawas dan PAC. Nilai pH kedua koagulan
menunjukkan nilai yang stabil dengan rentang pH 6.8 – 7.5. Gambar 9 tanggal 2
Juni menunjukkan perubahan pH, nilai pH tertinggi untuk penambahan tawas
adalah sebesar 8.23 sedangkan untuk penambahan PAC adalah sebesar 8.59. Nilai
pH yang tinggi dikarenakan penambahan kapur yang tidak sesuai dengan nilai
kekeruhan dan pH awal sehingga walau telah di tambah koagulan namun nilai pH
secara keseluruhan mengalami kenaikan. Kenaikan nilai pH juga dapat diakibatkan
oleh kondisi awal pH air yang mengandung banyak senyawa CO2. Selain itu,
menurut Gurses (2003) reaksi respirasi dalam air juga mempengaruhi pH karena
saat berfotosintesis, fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari
air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang
hari dan menurun pada waktu malam hari. Namun pada penelitian ini kadar CO2
tidak diuji, maka pada penelitian selanjutnya perlu di uji kadar CO2 dalam badan
air untuk memastikan penyebab perubahan pH adalah karena perubahan kandungan
CO2 di dalam air.
Pengaruh Dosis Optimum Koagulan Terhadap Parameter Fisik, Kimia dan
Efisisensi Koagulan
Dosis optimum koagulan didapat dari nilai kekeruhan terendah dan nilai pH
yang mendekati nilai 7. Berdasarkan hasil pengukuran sebanyak enam kali, didapat
dosis koagulan optimum masing – masing jenis koagulan beserta pengaruhnya
terhadap parameter fisika air yang tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, dosis
optimum dari enam kali pengukuran adalah PAC pada tanggal 19 April dengan
17
dosis 20 ppm dengan hasil kekeruhan sebesar 0.22 NTU , TSS 1 mg/l dan TDS
dengan nilai 150 mg/l. Sedangkan untuk tawas adalah 20 ppm dengan kekeruhan
0.49 NTU, TSS 0 mg/l dan TDS sebesar 164 mg/l. Nilai TDS lebih besar
dibandingkan sebelum penambahan koagulan, hal ini dikarenakan kandungan
padatan terlalut bertambah karena koagulan yang larut sehingga nilai TDS
mengalami kenaikan. Nilai parameter TSS menjadi sangat kecil dikarenakan bahan
pencemar telah mengendap akibat penambahan koagulan. Setelah penambahan
koagulan nilai TSS berkurang dan berada di bawah baku mutu Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 429 Tahun 2010 pada Lampiran 10 yaitu di bawah 50 mg/l.
(21 Maret)
(7 April)
(19 April) (2 Mei)
(24 Mei) (2 Juni)
Gambar 9 Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap pH air bersih
Selain parameter fisika, penambahan dosis optimum koagulan juga
mempengaruhi parameter kimia air. Pengaruh dosis optimum koagulan terhadap
parameter kimia air tersaji pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, penambahan
koagulan PAC dapat menurunkan kadar ammoniak di dalam air sedangkan pada
penambahan koagulan tawas kadar ammoniak didalam air bertambah. Hal ini
dikarenakan ammoniak cenderung lebih mudah bereaksi dengan tawas. Ammoniak
4
6
8
10
0 10 20
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 4
6
8
10
0 10 20 30
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas
4
6
8
10
0 10 20
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 4
6
8
10
0 10 20
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas
4
6
8
10
0 10 20
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas 4
6
8
10
0 10 20
pH
Dosis (ppm)
PAC
Tawas
18
didalam air akan mudah bereaksi dengan kandungan unsur logam (Effendy 2006).
Untuk parameter nitrit, penambahan koagulan PAC tidak menyebabkan perubahan
kadar nitrit didalam air. Untuk penambahan koagulan tawas dan PAC kadar nitrit
cenderung bertambah, hal ini sama dengan yang terjadi pada ammoniak karena
nitrit merupakan pecahan dari senyawa ammoniak sehingga ketika bereaksi dengan
tawas dan PAC didalam air kadarnya akan bertambah.
Tabel 3 Pengaruh dosis optimum terhadap parameter fisika air
Tanggal
Dosis Optimum
(ppm)
Parameter
Kekeruhan
(NTU)
TSS (mg/l)
TDS (mg/l)
PAC Tawas
PAC Tawas
PAC Tawas
PAC Tawas
21 Maret 5 5 20.2 3.23 17 14 - -
7 April 5 5 2.13 1.80 12 10 - -
19 April 20 15 0.22 1.19 1 2 150 76
2 Mei 10 20 0.56 0.49 0 0 154 164
24 Mei 15 25 0.49 0.53 7 7 242 152
2 Juni 15 25 0.47 1.55 1 3 188 156
Kualitas di badan air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah hujan,
aliran sungai dan pola sirkulasi air (Hadikusumah 2008). Curah hujan merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kualitas air sungai. Perubahan curah
hujan merupakan akibat dari perubahan musim. Selain perubahan kondisi curah
hujan, perubahan musim juga mempengaruhi kondisi suhu di badan air yang
merupakan salah satu parameter penentu kualitas badan air. Pengaruh variasi waktu
pengambilan sampel ialah adanya perbedaan cuaca di setiap waktu pengukuran.
Perubahan cuara mengakibatkan perubahan suhu yang akan berdampak pada
perbedaan kualitas air dari segi parameter fisik maupun kimia. Hasil pengukuran
bulan Maret – Mei di Dramaga Bogor (musim penghujan) disajikan pada Tabel 5
(BMG Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor 2016). Namun intensitas penyinaran
matahari di pagi sampai dengan siang hari tergolong tinggi sehingga
mengakibatkan suhu di badan air tinggi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan
kegiatan fotosintesis organisme air meningkat sehingga kekeruhan air dapat
berubah. Curah hujan yang tinggi di daerah Dramaga Bogor menyebabkan
intensitas hujan yang tinggi, hujan dapat menyebabkan turunnya suhu badan air
namun dapat meningkatkan debit dan tinggi muka air sehingga menambah jumlah
partikel – partikel koloid di dalam air yang berdampak pada kenaikan nilai
kekeruhan, TSS dan TDS.
Pengukuran pada bulan Juni sudah masuk musim kemarau yang
mengakibatkan suhu yang tinggi dan intensitas hujan yang rendah. Suhu air yang
tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3
dan NH3N terhadap hewan akuatik. Sumber utamanya berasal dari sampah dan
limbah yang mengandung bahan organik protein. Setelah didapat dosis optimum
masing – masing koagulan setiap tanggal pengukuran, nilai efisiensi dan biaya per
m3 dapat ditentukan. Nilai efisiensi dan biaya koagulan per m3 tersaji pada Tabel 6.
Nilai efisiensi didapat dengan menggunakan persamaan (1). Berdasarkan Tabel 6,
nilai efisiensi tawas pada tanggal 21 Maret yaitu sebesar 88.17% lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan PAC dengan nilai 26%.
19
Tabel 4 Pengaruh dosis optimum terhadap parameter kimia air
Parameter Tanggal Dosis optimum (ppm) Kandungan (mg/l)
Tawas PAC Kontrol Tawas PAC
Ammoniak
21 Maret 5 5 0.140 0.493 0.135
7 April 5 5 0.136 7.880 0.129
19 April 15 20 0.493 4.680 0.140
2 Mei 20 10 0.493 6.160 0.246
24 Mei 25 15 0.246 6.650 0.140
2 Juni 25 15 0.986 7.390 0.140
Nitrit
21 Maret 5 5 0.391 0.379 0.415
7 April 5 5 0.369 0.409 0.371
19 April 15 20 0.198 0.190 0.259
2 Mei 20 10 0.039 0.143 0.168
24 Mei 25 15 0.187 0.207 0.207
2 Juni 25 15 0.154 0.132 0.163
pH
21 Maret 5 5 6.940 6.27 6.23
7 April 5 5 6.050 6.49 6.34
19 April 15 20 6.900 6.36 6.37
2 Mei 20 10 6.750 6.72 6.63
24 Mei 25 15 7.440 6.66 6.97
2 Juni 25 15 6.720 8.23 8.04
Biaya penggunaan koagulan per m3 dihitung dengan menggunakan
persamaan (2). Biaya koagulan tawas lebih murah dibandingkan dengan PAC yaitu
senilai Rp. 30/m3. Untuk tanggal 7 April, nilai efisiensi penggunaan PAC lebih baik
dibandingkan tawas yaitu sebesar 89.55% dengan biaya per m3 Rp. 105. Tanggal
19 April nilai efisiensi penggunaan PAC menghasilkan nilai sebesar 99.24%
dengan biaya per m3nya Rp.420.
Tabel 5 Suhu, curah hujan dan hari hujan di wilayah Dramaga tahun 2015
Bulan Suhu (oC) Total curah hujan
(mm) Hari hujan
Maret 25.77 233.7 13
April 25.89 193.9 18
Mei 26.27 160.1 11
Juni 26.20 82.4 7
Kemudian untuk tanggal 2 Mei nilai efisiensi terbaik adalah menggunakan
tawas dengan nilai 96.48% dengan biaya Rp.120/m3. Tanggal 24 Mei nilai efisiensi
terbaiknya dihasilkan oleh penggunaan PAC dengan nilai efisiensi sebesar 95% dan
biaya per m3nya Rp.315. Pengukuran terakhir tanggal 2 Juni nilai efisiensi terbaik
20
adalah dengan menggunakan PAC sebesar 95.20% dan biaya per m3nya sebesar
Rp.315. Data pada Lampiran 11 dapat digunakan juga sebagai dasar pengembangan
sistem atau prosedur dosing pada unit koagulasi di WTP Ciapus.
Tabel 6 Efisiensi dan biaya penggunaan dosis optimum koagulan
Tanggal Koagulan Dosis Optimum (ppm) Biaya (Rp/m3) Efisiensi (%)
21 Maret Tawas 5 30 88.17
PAC 5 105 26
7 April Tawas 5 30 88.72
PAC 5 105 89.55
19 April Tawas 15 90 95.92
PAC 20 420 99.24
2 Mei Tawas 20 120 96.48
PAC 10 210 95.97
24 Mei Tawas 25 150 94.59
PAC 15 315 95
2 Juni Tawas 25 150 84.18
PAC 15 315 95.20
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, PAC lebih baik dibandingkan tawas dengan
dosis optimum sebesar 20 ppm yang menghasilkan kekeruhan sebesar 0.22 NTU,
TSS sebesar 1 mg/l dan TDS sebesar 150 mg/l. Dosis optimum tawas sebesar 20
ppm yang menghasilkan nilai kekeruhan 0.49 NTU, TSS 0 mg/l dan TDS sebesar
164 mg/l. Biaya rata – rata untuk penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah
sebesar Rp. 95/m3 dan Rp 215/m3, sedangkan rata – rata nilai efisiensi penggunaan
koagulan tawas dan PAC adalah 91.34% dan 83%. Hasil kedua koagulan memenuhi
kriteria baku mutu kualitas air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
429 Tahun 2010.
Saran
Perlu dilakukan jar test seminggu sekali di WTP IPB Ciapus karena kualitas
air berubah setiap waktunya dan juga perlu dipertimbangkan penambahan kapur
pada unit koagulasi ketika akan dibubuhkan koagulan agar tercapai pH optimum.
Koagulan akan lebih efektif apabila kondisi pH berada pada rentang 6.5 – 8. Jar
test sebaiknya dilakukan secara berkala dengan variasi waktu pengujian dengan
tujuan agar saat terjadi perubahan musim, kualitas air yang dihasilkan tetap
memenuhi standar baku mutu.
21
DAFTAR PUSTAKA
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.2016. Data Iklim Harian.
[Internet]. [diunduh 19 Juli 2016]. Tersedia pada:
http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2004a. Cara Uji Padatan Tersuspensi Total
Secara Gravimetri. SNI 06-6989.3-2004. Sekretariat Negara. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2004b. Cara Uji Nitrit (NO2-N) Secara
Spektrofotometri. SNI 06-6989.9-2004. Sekretariat Negara. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2004c. Cara Uji Derajat Keasaman (pH)
dengan Menggunakan Alat pH Meter. SNI 06-6989.11-2004. Sekretariat
Negara. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2005a. Cara Uji Kadar Padatan Terlarut
Total Secara Gravimetri. SNI 06-6989.27-2005. Sekretariat Negara. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2005b. Cara Uji Kadar Amonia Dengan
Spektrofotometer Secara Fenat. SNI 06-6989.30-2005. Sekretariat Negara.
Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2008. Tata Cara Perencanaan Unit Paket
Instalasi Pengolahan Air. SNI 6774:2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
[WHO] World Health Organization. 2011. Guidelines for Drinking-Water Quality.
Fourth Edition. Geneva. Switzerland.
Budiman A, Wahyudi C, Irawati W, Hindarso H.2008. Kinerja Koagulan Poly
Aluminium Chloride (PAC) Dalam Perjernihan Air Sungai Kalimas Surabaya
Menjadi Air Bersih. Jurnal Widya Teknik 7(1) : 25-34. Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya.
Bitton G. 1994. Waterwaste Microbiology. New York: John Wiley & Sons.
Clark J.1974. Coastal Ecosystems. Macmillan Publishing Clone : New York
Darmasetiawan M. 2011. Teori dan Perencanaan Pengolahan Air. Bandung(ID):
Yayasan Suryono.
Dasir FR. 2014. Alternatif Pengembangan Sistem Penyediaan Air Bersih untuk
Zona Pelayanan IPA SEA Kota Manado. Jurnal Sipil Statik. 2(2): 107-114.
Dini PR. 2011. Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Minum Legundi PDAM
Gresik Unit 4 (100 Liter/Detik). Jurnal Teknik Lingkungan. Institut Sepuluh
November Surabaya. Ebeling JM, Ogden SR.2004. “Application of Chemical Coagulation Aids for the
Removal of Suspended Solids (TSS) and Phosphorus from the Microscreen
Effluent Discharge of an Intensive Recirculating Aquaculture System”, North
American Journal of Aquaculture 66:198-207. Effendy. 2006. Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya Antar Molekul Edisi Kedua.
Malang : Bayumedia Publishing.
Fardiaz S.1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta(ID) : Kanisius
Gurses A. 2003. Removal of Remazol Red RB by Using Al(III) as Coagulant
Flocculant: Effect of Some Variables on Settling Velocity. Turkey: Ataturk
University. Journal of Water, Air, and Soil Pollution. 146(1): 297-318.
Hadikusumah. 2008. Karakteristik Parameter Fisika dan Kandungan Klorofil-a di
Laut Jawa. Jurnal Ilmu Kelautan. 13 (2): 103-112. Hanum F.2002. Proses Pengolahan Air Sungai Untuk Keperluan Air Minum. Skripsi.
Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.
22
Haslindah, Zulkifi.2012. Analisis Jumlah Koagulan (Tawas/Al2(SO4)3) yang
Digunakan Dalam Proses Perjernihan Air Pada PDAM Instalasi 1 Ratulangi
Makassar. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 7(13): 947.
Kamulyan B. 1997. Teknik Penyehatan (Bagian A1:Teknik Pengolahan Air).
Yogyakarta(ID): Universitas Gajah Mada.
Kemmer, Frank N.2002. The Nalco Water Handbook 3rd edition. New York:
McGrawHill
Lin SD. 2007. Water and Wastewater Calculations Manual, 2nd edition. New York :
The Mac Graw – Hills Companies, Inc
Mahida UN.1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri.
Jakarta(ID) : Rajawali.
Malhotra S.1994. “Poly Aluminium Chloride as an Alternative Coagulant”, 20th
WEDC Conference on Affordable Water Supply and Sanitation, Colombo,
Sri Lanka.
Manik, K. E. S. 2003. Pengelolaan Lingkungan. Jakarta(ID) : Djambatan
Mayasari R, Margaretha, Syaiful, Subroto.2012. Pengaruh Kualitas Air Baku
Terhadap Dosis dan Biaya Koagulan Aluminium Sulfat dan Poly Aluminium
Chloride. Jurnal Teknik Kimia. 18(4): 23
Mori K. 1999. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta(ID): PT. Pradnya Paramita.
Penerjemah: L. Taulu, Editor : S. Sosrodarsono dan K. Takeda.
Narita K, Lelono B, Arifin S. 2011. Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan untuk
Penentuan Dosis Tawas pada Proses Koagulasi Sistem Pengolahan Air
Bersih. Surabaya(ID): ITS.
Rachmawati, Iswanto B, Winarni. 2009. Pengaruh pH pada Proses Koagulasi
dengan Koagulan Aluminum Sulfat dan Ferri Khlorida. Jurnal Teknologi
Lingkungan. 5(2): 40-45.
Republik Indonesia.2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004, Nomor 32. Sekretariat Negara. Jakarta.
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta(ID) : Pustaka Pelajar.
Situmorang, M. 2007. Kimia Lingkungan. FMIPA-UNIMED. Medan.
Sibula B, Mananoma T, Tanudjaja L. 2013. Perencanaan Sistem Penyediaan Air
Bersih di Desa Rinondoran Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa
Utara. Jurnal Sipil Statik. 1(11): 745-748.
Sugiarto. 2006. Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta(ID) : UI Press
Utomo KS. 2011. Pemanfaatan Air Saluran Klambu-Kudu untuk Pemenuhan
Kebutuhan Air Minum IKK Tegowanu dan IKK Gubuk. Jurnal Kompetensi
Teknik. 3(1): 14.
Widayat, W. Suprihatin. Arie H. 2010. Penentuan Status Kualitas Perairan Sungai
Brantas Hulu Dengan Biomonitoring Makrozoobentos: Tinjauan Dari
Pencemaran Bahan Organik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 6 (1): 64-76.
LAMPIRAN
25
Lampiran 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
PARAMETER SATUAN KELAS
I II III IV
Fisika
Suhu °C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 5
Residu Terlarut mg/l 1000 1000 1000 2000
Residu Tersuspensi mg/l 50 50 400 400
Kimia Anorganik
pH 6-9 6-9 6-9 5-9
BOD mg/l 2 3 6 12
COD mg/l 10 25 50 100
DO mg/l 6 4 3 0
Total Fosfat (P) mg/l 0.2 0.2 1 5
NO3 sebagai N mg/l 10 10 20 20
NH3-N mg/l 0.5 (-) (-) (-)
Arsen mg/l 0.05 1 1 1
Kobalt mg/l 0.2 0.2 0.2 0.2
Barium mg/l 1 (-) (-) (-)
Boron mg/l 1 1 1 1
Selenium mg/l 0.01 0.05 0.05 0.05
Kadmium mg/l 0.01 0.01 0.01 0.01
Khrom (VI) mg/l 0.05 0.05 0.05 0.05
26
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
Proses jar test.
Pengukuran kekeruhan dengan
menggunakan turbiditymeter.
Pengukuran pH dengan pH meter.
Pengujian kadar nitrit dengan
metode gravimetrik.
Pengujian TSS (total suspended
solid).
27
Lampiran 3 Contoh perhitungan
η = 𝑛 sebelum−𝑛 sesudah
𝑛 sebelum x 100%
η = 13.93 −0.49
13.93 x 100%
η = 99.62 %
Contoh perhitungan effisiensi
penggunaan dosis optimum PAC
dengan menggunakan persamaan (1).
𝑥 =𝑄 𝑥 𝐷
106
𝑥 =1.800.000 𝑥 20
106
𝑥 = 36 kg/jam
Pemakaian dosis PAC : 36 kg/jam x Rp
21.000 = Rp. 756.000/jam
Pemakaian dosis PAC : 756.000/1800
= Rp. 420/m3
Contoh perhitungan biaya Rp/m3 PAC
dengan menggunakan persamaan (2).
TSS = 𝑊1 −𝑊0
𝑉 x 1000
TSS = 0.0791 −0.0787
100 x 1000
TSS = 4 mg/l
Contoh perhitungan TSS (total
suspended solid) tanggal 4 Juni
berdasarkan SNI 06-6989.3-2004.
TDS = 𝑊1 −𝑊0
𝑉 x 1000
TDS = 39.8420 −39.8398
50 x 1000
TDS = 44 mg/l
Contoh perhitungan TDS (total
dissolved solid) tanggal 4 Juni
berdasarkan SNI 06-6989.27-2005.
28
Lampiran 4 Hasil pengukuran tanggal 21 Maret 2016
No Tawas
Dosis (ppm) pH Kekeruhan (NTU) Suhu (°C)
1 0 6.47 27.3 28.5
2 5 6.27 3.23 28
3 10 6.05 3.72 28
4 15 5.73 3.25 28.1
5 20 4.77 3.58 28
6 25 4.36 3.15 27.9
No PAC
Dosis (ppm) pH Kekeruhan (NTU) Suhu (°C)
1 0 6.94 27.3 28.5
2 5 6.23 20.2 28.5
3 10 4.77 21.15 28.5
4 15 4.49 20.08 28.5
5 20 4.41 21.55 28.5
6 25 4.36 17.37 28.4
29
Lampiran 5 Hasil pengukuran tanggal 7 April 2016
No
Tawas
Dosis (ppm) pH Turbidity (NTU) Suhu (°C) TSS (mg/l)
1 0 6.05 20.4 28 -
2 5 6.49 2.3 28.3 10
3 10 6.27 2.1 28.3 -
4 15 6.15 2.4 28.3 -
5 20 5.97 1.8 28.5 -
6 25 5.6 2.3 28.5 -
No
PAC
Dosis (ppm) pH Turbidity (NTU) Suhu (°C) TSS (mg/l)
1 0 6.05 20.4 28 -
2 5 6.34 2.13 28.8 12
3 10 6.05 5.14 28.9 -
4 15 5.98 21.9 28.6 -
5 20 5.04 19.22 28.8 -
6 25 4.67 19.35 28.8 -
30
Lampiran 6 Hasil pengukuran tanggal 19 April 2016
No
Tawas
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C) TSS (mg/l) TDS (mg/l)
1 0 6.9 29.2.0 29 - -
2 5 6.29 6.15 28.7 - -
3 10 6.34 2.92 28.7 - -
4 15 6.36 1.19 28,7 1 76
5 20 5.76 1.49 28.6 - -
6 25 5.87 1.36 28.7 - -
No
PAC
Dosis
(ppm) pH Turbidity (NTU)
Suhu
(°C) TSS (mg/l) TDS (mg/l)
1 0 6.9 29.2 29 - -
2 5 6.9 0.25 29.3 - -
3 10 6.81 0.38 29.3 - -
4 15 6.69 0.23 29.1 - -
5 20 6.57 0.22 29.2 2 150
6 25 6.44 0.46 29 - -
31
Lampiran 7 Hasil pengukuran tanggal 2 Mei 2016
No
Tawas
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l)
TDS
(mg/l)
1 0 6.75 13.93 27.5 - -
2 5 7.1 1.48 28.7 - -
3 10 7.15 2.65 28.4 - -
4 15 6.8 0.77 28.2 - -
5 20 6.72 0.49 28.2 0 164
6 25 6.66 0.55 28.3 - -
No
PAC
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l)
TDS
(mg/l)
1 0 6.75 13.39 27.5 - -
2 5 6.7 0.73 28 - -
3 10 6.63 0.56 28.3 0 154
4 15 6.63 1.98 28 - -
5 20 6.37 15.23 27.9 - -
6 25 6.84 1.51 28.7 - -
32
Lampiran 8 Hasil pengukuran tanggal 24 Mei 2016
No
Tawas
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l)
TDS
(mg/l)
1 0 7.44 9.8 28 - -
2 5 7.4 5.25 28.4 - -
3 10 7.23 3.4 28.2 - -
4 15 7.09 1.7 28.3 - -
5 20 6.82 0.92 28.3 - -
6 25 6.66 0.53 28.4 7 152
No
PAC
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l)
TDS
(mg/l)
1 0 7.44 9.8 28 - -
2 5 7.21 0.98 28.2 - -
3 10 7.07 0.54 28.3 - -
4 15 6.97 0.49 28.2 7 242
5 20 6.88 0.68 28.4 - -
6 25 6.91 0.75 28.3 - -
33
Lampiran 9 Hasil pengukuran tanggal 2 Juni 2016
No
Tawas
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l)
TDS
(mg/l)
1 0 6.72 9.8 27.5 - -
2 5 6.96 6.21 28.1 - -
3 10 7 3.92 28.6 - -
4 15 7.33 3.11 28.4 - -
5 20 7.64 2.05 28.4 - -
6 25 8.23 1.55 28.7 3 156
No
PAC
Dosis
(ppm) pH
Turbidity
(NTU)
Suhu
(°C)
TSS
(mg/l) TDS (mg/l)
1 0 6.72 9.8 27.5 - -
2 5 7.8 0.61 28.3 - -
3 10 8.59 1.56 28.4 - -
4 15 8.04 0.47 28.6 1 188
5 20 7.86 0.49 28.5 - -
6 25 7.68 0.51 28.6 - -
34
Lampiran 10 Baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 429 Tahun 2010
No Jenis Parameter Satuan Kadar Maksimum
1. Parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan
a. Parameter mikrobiologi
1) E. Coli
per 100 ml
sampel 0
2) Total Bakteri Koliform
per 100 ml
sampel 0
b. Kimia an-organik
1) Arsen mg / liter 0.01
2) Florida mg / liter 1.5
3) Total Kromium mg / liter 0.05
4) Kadmiun mg / liter 0.003
5) Nitrit (sebagai NO2) mg / liter 3
6) Nitrat (sebagai NO3) mg / liter 50
7) Sianida mg / liter 0.07
8) Selium mg / liter 0.01
2. Parameter yang tidak berhubungan langsung dengan kesehatan
a. Parameter fisik
1) Bau Tidak berbau
2) Warna TCU Tidak berwarna
3) Total zat tersuspensi
(TSS) mg / liter 50
4) Total zat terlarut (TDS) mg / liter 500
5) Kekeruhan NTU 5
6) Rasa Tidak Berasa
7) Suhu OC Suhu Udara ± 3
b. Parameter kimia
1) Aluminium mg / liter 0.2
2) Besi mg / liter 0.3
3) Kesadahan mg / liter 500
4) Khlorida mg / liter 250
5) Mangan mg / liter 0.4
6) pH mg / liter 6.5 - 8.5
7) Seng mg / liter 3
8) Sulfat mg / liter 250
9) Tembaga mg / liter 2
10) Amoniak mg / liter 1.5
35
Lampiran 11 Rekap data hasil penelitian
Tanggal
sampling
Sebelum Jar test
Kekeruhan (NTU) TSS TDS
Ammoniak
(mg/l)
Nitrit
(mg/l) pH
(mg/l) (mg/l)
21 Maret 27.3 37 - 0.14 0.391 6.94
7 April 20.14 14 - 0.136 0.369 6.05
19 April 29.2 12 22 0.493 0.198 6.9
2 Mei 13.93 9 116 0.246 0.039 6.75
24 Mei 9.8 10 120 0.986 0.187 7.44
2 Juni 9.8 4 44 0.391 0.154 6.72
Tanggal sampling
Jar test
Tawas
Optimum
(NTU)
Kekeruhan TSS TDS Ammoniak Nitrit pH
(NTU) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
21 Maret 5 3.23 14 - 0.493 0.379 6.27
7 April 5 1.8 10 - 7.880 0.409 6.49
19 April 15 1.19 2 76 4.680 0.19 6.36
2 Mei 20 0.49 0 164 6.160 0.143 6.72
24 Mei 25 0.53 7 152 6.650 0.207 6.66
2 Juni 25 1.55 3 156 7.390 0.132 8.23
Tanggal sampling
Jar test
PAC
Optimum
(NTU)
Kekeruhan TSS TDS Ammoniak Nitrit pH
(NTU) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
21 Maret 5 20.2 17 - 0.135 0.415 6.23
7 April 5 2.13 12 - 0.129 0.371 6.34
19 April 20 0.22 1 150 0.140 0.259 6.37
2 Mei 10 0.56 0 154 0.246 0.168 6.63
24 Mei 15 0.49 7 242 0.140 0.207 6.97
2 Juni 15 0.47 1 188 0.140 0.163 8.04
Lampiran 12 Peta lokasi penelitian
1 : 100
SKALA SATUAN
cm
36
37
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka Jawa Barat pada
tanggal 4 November 1993. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dodon
Sugiharto dan Ibu Lina Herlina. Penulis lulus dari SDN 7
Kuningan pada tahun 2006 kemudian pada tahun 2009
penulis lulus dari SMPN 1 Kuningan dan melanjutkan ke
SMAN 1 Kuningan. Penulis lulus dari SMAN 1
Kuningan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama
diterima di IPB melalui jalur SBMPTN di Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan. Fakultas Teknologi
Pertanian. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan,
penulis aktif di organisasi HIMATESIL periode 2013/2014 sebagai anggota dari
Departemen Riset dan Teknologi. Kemudian di kepengurusan HIMATESIL
periode 2014 – 2015 sebagai anggota dari Departemen Olahraga dan Seni. Penulis
melaksanakan kegiatan PL pada tanggal 23 Juni sampai dengan 29 Agustus 2015
di Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kuningan yaitu pada proyek penyediaan
sarana air bersih di desa Ciberung Subang Kuningan Jawa Barat. Penulis
melakukan penelitian pada bulan Maret sampai dengan Juni 2016 dengan judul
Perbandingan Kebutuhan Koagulan Al2(SO4)3 dan PAC Untuk Pengolahan Air
Bersih Di WTP Sungai Ciapus Kampus IPB Dramaga, di bawah bimbingan Dr.
Satyanto Krido Saptomo, STP., M.Si.